Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
DEFINISI PUASA Puasa ( shiyam ) menurut bahasa ( etimologi ) ialah mengekang diri dari sesuatu. Jadi apabila seseorang mengekang diri dari bicara, atau makanan, artinya ia tidak bicara dan tidak makan, maka secara bahasa ia bisa dinamakan“orang yang berpuasa” atau “shaim. Diantara contohnya adalah firman Allah SWT : "Sesungguhnya Aku Telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka Aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". ( QS. 19 Maryam : 26 ) Pusa yang dimaksud dalam ayat diatas adalah mengekang diri dari bicara. Adapun pengertian puasa menurut arti istilah ( terminology ) syara’ ialah mengekang diri dari segala yang membatalkan selama satu hari penuh mulai terbit fajar shadiq hingga terbenam matahari, dengan syarata-syarat yang ditentukan. Definisi tersebut diatas telah disepakati antara Ulama Madzhab Hanafi dan Hambali, sedangkan pendapat kalangan Ulama Madzhab Maliki dan Syafi’I, maka mereka menambahi pada akhir definisi puasa tadi dengan perkataan “ niat “. Yang demikian itu karena niat bukanlah rukun dari beberapa rukun puasa menurut Ulama Hanafi dan Hambali. Jadi tidak masuk dalam definisi. Niat hanyalah sebagai syarat yang mesti dan tidak boleh tidak. Jadi barangsiapa tidak niat dengan aturan yang ditetapkan, maka puasanya adalah batal berdasarkan kesepakatan Ulama. Dari sinilah dapat diketahui bahwa di dalam masalah ketentuan niat sebagai syarat atau rukun terdapat filsafat fiqhiyah, dimana para penuntut ilmu perlu mengetahuinya. Sedangkan orang-orang selain mereka hanya diwajibkan mengerti bahwa niat puasa itu wajib. Ibadah puasa tidak sah dengan tanpa niat. RUKUN DAN SYARAT PUASA Rukun Puasa; Niat, niat mengerjakan puasa pada tiap-tiap malam di bulan Ramadhan(wajib) atau hari yang hendak berpuasa(sunnah); Mengekang/meninggalkan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Rukun Puasa menurut pandangan para Ulama; Ulama Hambali dan Hanafi, bahwasanya mereka berpendapat bahwa rukun puasa itu ada satu macam, yaitu mengekang diri dari segala yang membatalkan puasa. Ulama Maliki mereka berpendapat bahwasannya puasa itu ada dua macam, yaitu Mengekang diri dari segala yang membatalkan; Niat, Jadi pengertian puasa bias terwujud secara nyata dengan dua rukun tersebut. Tetapi sebagain dari mereka menerangkan bahwa niat adalah syarat bukan rukun. Jadi pengertian puasa biasa terwujud secara nyata dengan mengekang diri dari segal yang membatalkan. Ulama Syafi’I ( Syafi’iyyah ) Ulama Madzhab Syafi’I menjelaskan rukun puasa ada tiga macam, yaitu; Mengakang diri dari segala yang membatalkan puasa; Niat; Orang yang berpuasa, Menurut Ulama Syafi’I pengertian puasa tidak bias terwujud secara nyata melainkan dengan terwujudnya tiga macam tersebut. Syarat-syarat Puasa; Syarat puasa itu terbagi menjadi;, Syarat wajib; Syarat sah; Syarat menunaikan. Syarat Wajib: Beragama Islam; Baligh (telah mencapai umur dewasa); Berakal; Berupaya untuk mengerjakannya; Sehat; Tidak musafir (berpergian). Syarat Sah Puasa; Beragama Islam; Berakal; Tidak dalam haid, nifas, dan wiladah (melahirkan anak); Hari yang sah berpuasa. Syarat puasa menurut pandangan para Ulama; Madzhab Syafi’I ( Syafi’iyyah ) Ulama Madzhab Syafi’I menerangkan: Syarat-syarat puasa itu terbagi menjadi dua macam, yaitu : Syarat-syarat wajib; Syarat-syarat sah. Syarat-syarat wajib puasa terbagi menjadi empat macam, yaitu: Dewasa (baligh). Jadi puasa tidak diwajikan atas anak kecil, tetapi ia diperintah agar berpuasa setelah berumur tujuh tahun jikalau ia telah kuat melakukannya. Jika ia telah berusia sepuluh tahun tetapi ia malah meninggalkan puasa, maka ia boleh diberi pelajaran. Terhadap syarat ini Ulama Hanafiyah menyetujinya, sedangkan Ulama Madzhab Maliki menerangkan: Wali tidak berkewajiban memerintah anaknya untuk berpuasa dan juga tidak disunnahkan untuk memerintahkannya, meskipun ia telah remaja. Dalam kaitan ini pula Madzhab Hambali menjelaskan: Yang menjadi pedoman dalam hal ini ialah kemampuan melakukan. Jadi kalau si anak telah mengawali remaja dalam kondisi kuat melakukan puasa, maka bagi si wali berkewajiban memerintahkannya untuk berpuasa dan ia berhak membeerikan pengajaran kepadanya jikalau ia membangkang perintah. Islam. Jadi orang kafir tidak dituntut secara wajib untuk berpuasa, walaupun ia kelak akan disiksa diakhirat. Sedangkan orang-orang murtad maka ia dituntut secara wajib untuk berpuasa setelah dituntut kembali kepada Islam. Berakal Sehat. Jadi puasa tidak diwajibkan terhadap orang gila, kecuali kalau hilangnya akal karena unsur kesengajaan sendiri, maka ia berkewajiban ‘meng-qadla’ setelah ia sembuh. Yang serupa ialah orang yang mabuk secara sengaja. Karena ia berkewajiban meng-qadlanya’. Apabila ia tidak sengaja, seperti ia meminum dari bejana yang ia sangka berupa air tiba-tiba berupa arak yang berakibat ia mabuk, maka ia tidak diperintah untuk meng-qadla puasa yang tertinggal saat ia mabuk itu. Sedangkan orang yang pingsan, maka ia secara mutlak berkewajiban meng-qadla puasa, baik ia sengaja maupun tidak sengaja. Mampu berpuasa baik secara nyata ataupun secara agama. Jadi puasa tidaklah waijb atas orang yang tidak melakukannya karena usia tua atau karena sakit yang dapat diharapkan kesembuhannya. Hal ini memang tidak mampu secara nyata. Demikian halnya wanita haidh juga tidak wajib berpuasa karena tidak mampu melakukannya secara agama. Syarat-syarat sahnya berpuasa, ada empat macam juga yaitu : Beragama Islam di waktu melakukan puasa. Jadi puasa tidak sah dikerjakan oleh orang kafir yang asli demikian orang murtad. Pandai ( tamiz ). Jadi puasa tidak sah dilakukan oleh orang atau anak yang belum pandai. Bila orang yang melakukan puasa itu orang gila, maka puasanya tidak sah, meskipun ia gila sekejap dari siang hari. Bila orang yang mabuk atau orang yang pingsan, maka puasanya juga tidak sah, kalau tidak adanya kepandaian itu selama siang hari. Sedangkan jika tidak adanya kepandaian itu hanya sebagian dari siang hari, maka puasanya dinilai sah. Adanya kepandaian bias dianggap mencukupi meskipun secara hukum saja. Seperti kalau seseorang niat berpuasa sebelum fajar, kemudian ia tidur sampai terbenam matahari, maka puasanya dinilai sah. Sebab ia dianggap mempunyai kepandaian ( tamyiz ) secara hukum. Orang yang berpuasa suci dari haidh, nifas dan melahirkan sewaktu melaksanakan puasa, walaupun si wanita tidak melihat adanya darah. Keadaan waktu memang dapat digunakan untuk berpuasa, Karena itu tidak sah berpuasa pada dua hari raya dan hari-hari tasyriq. Sebab hari-hari itu tidak bias digunakan untuk melakukan puasa. Termasuk hari yang tidak bisa digunakan berpuasa ialah hari yang diragukan ( yaumussyak). Kecuali jika terdapat hal yang menghendakinya untuk digunakan berpuasa. Seperti digunakan untuk meng-qadha’ puasa yang menjadi tanggungannya, atau nazar puasa senin mendatang, kemudian hari tersebut bertepatan dengan hari yang diragukan, maka ia boleh berpuasa, atau jika kebiasaan seseorang berpuasa dihari kamis, lalu hari itu tepat pada hari syak, maka ia boleh saja berpuasa. Adapun seseorang bersengaja untuk berpuasa pada hari yang diragukan tadi ( hari syak ), maka tidak sahlah puasanya, begitu pula jika seseorang berpuasa separuh yang kedua bulan Sya’ban atau hanya sebagian saja, maka puasanya tidak dinilai sah, bahkan hukumnya haram, kecuali jika terdapat sebab yang menghendakinya untuk berpuasa sebagaimana sebab yang telah diterangkan terlebih dahulu pada hari syak, atau ia menyambungkan hari puasanya dengan sebagian hari separuh bulan Sya’ban yang awal, walaupun hanya disambung dengan satu hari. Itulah syarat-syarat puasa menurut Ulama Madzhab Syafi’i. Dari syarat-syarat tersebut dimuka tidak memasukan niat. Sebab niat merupakan rukun sebagaimana terdahulu. Disamping itu wajib juga niat, mesti dilakukan untuk setiap hari berpuasa. Niat harus dijatuhkan dimalam hari sebelum terbit fajar, meskipun mulai sejak waktu maghrib. Kendati setelah niat itu terjadi kontradiksi dengan puasa namun masih terselenggara dimalam hari. Karena puasa itu terwujud secara nyata pada siang hari bukan malam hari. Bila yang dikerjakan itu puasa fardhu, seperti puasa dibulan Ramadhan, puasa kifarat dan puasa nazar, maka wajiblah menjatuhkan niatnya dimalam hari dengan sekaligus menentukan puasanya itu. Misalnya dihatinya ia berniat: Saya berniat untuk berpuasa besok pagi dari bulan Ramadhan, atau sebagai nazar atas diri saya, atau niat semisalnya. Kecuali itu disunnahkan agar orang yang berpuasa mengucapkan niat dengan lisannya. Sebab yang demikian itu dapat membantu hati. Misalnya ia mengucapkan : نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانَ اْلحَاضِرِ لِلهِ تَعَالَى Artinya : Saya berniat untuk berpuasa besok pagi untuk menunikan kewajiban puasa Ramadhan sekarang ini karena Allah SWT. Apabila puasa yang digunakan puasa sunnah, maka niatnya dipandang mencukupi walau terselenggara disiang hari. Tetapi dengan syarat niat tersebut terlaksana sebelum “zawal” artinya sebelum matahari tergelincir kearah barat. Dan juga dengan ketentuan syarat tidak didahului oleh hal-hal yang membatalkan puasa. Demikian ketentuan yang utama. Perlu kiranya diketahui bahwa makan sahur dalam segala macam puasa tidak bisa menggantikan niat, Demikian itulah bisa berfungsi sebagai niat jikalau ketika makan sahur terlintas hatinya untuk berpuasa dan berniat untuknya. Misalnya seseorang makan sahur dengan bersengaja untuk berpuasa. Demikian halnya ketika ia khawatir batal puasanya, maka yang demikian itu bisa befungsi sebagai niat. Madzhab Hanafi ( Al-Hanafiyah ) Ulama madzhab Hanafi menerangkan : Syarat-syarat puasa ada tiga macam yaitu : Syarat-syarat wajib; Syarat-syarat wajib menunaikan; Syarat-syarat sah menunaikan. Syarat-Syarat wajibnya puasa ada tiga macam yaitu : Islam, jadi puasa tidaklah wajib bagi orang kafir, sebab ia tidak menerima perintah melakukan cabang-cabang syari’ah sebagaimana terdahulu. Dan demikian pula tidak sah darinya, sebab niat merupakan syarat sahnya puasa, sedangkan niat itu sendiri tidak dianggap sah kecuali dari orang muslim. Jadi Islam sebagai syarat wajib dan syarat sahnya puasa. Berakal sehat, jadi puasa tidaklah wajib atas orang gila tatkala ia sedang gila. Apabila seseorang gila setengah bulan, lalu sembuh, maka ia berkewajiban berpuasa untuk setengah bulan sisanya dan meng-qadha hari-hari yang terluput. Apabila ia sembuh setelah habisnya bulan, maka ia tidak wajib meng-qadhanya. Yang sama dengan orang gila ialah orang pingsan dan orang yang tidur yang dijangkiti penyakit tidur sebelum bulan Ramadhan tiba, kemudian ia terus tidur sampai bulan tadi selesai. Dewasa, jadi tidaklah wajib berpuasa untuk anak kecil meskipun ia telah pandai ( tamyiz ), namun setelah ia mencapai usia 7 tahun hendaknya diperintah untuk mengerjakan puasa, dan ketika ia telah beusia 10 tahun namun ia tidak berpuasa padahal ia kuat untuk melakukannya, maka ia boleh diberi ganjaran. Adapun syarat-syarat wajib untuk menunaikannya, maka ada dua macam, yaitu : Sehat, jadi wajib menunaikan puasa bagi orang yang sakit, meskipun begitu ia tetap untuk meng-qadha setelah ia sembuh dari sakitnya. Mukim atau tinggal dirumah, jadi tidak wajib menunaikan puasa atas orang yang sedang berpergian. Namun begitu pula ia berkewajiban meng-qadhanya. Adapun syarat-syarat sahnya menunaikan puasa juga ada dua macam, yaitu : Suci dari haid dan nifas, jadi bagi orang yang sedang haid dan sedang nifas tidak sah menunaikan puasa. Namun begitu ia berkewajiban meng-qadhanya. Niat, jadi tidak sahlah berpuasa kecuali dengan niat. Hal ini untuk membedakan antara ibadat dan adat kebiasaan. Kreteria yang dianggap mencukupi dalam hal niat ialah bahwasanya seseorang mengerti dengan hatinya bahwa ia berpuasa. Tetapi disunnahkan agar niat itu diucapkan. Waktu niat ialah setiap hari setelah terbenam matahari sampai batas waktu sebelum setengah siang. Adapun “siang” menurut syara’ ialah dari tersebarnya cahaya diufuk timur tatkala terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Masa itu kemudian dibagi dua dan niat puasa terletak pada separuh yang pertama sekiranya sisa siang hingga terbenamnya matahari lebih banyak dari masa yang telah berlalu. Bila orang yang berpuasa tidak menjatuhkan niatnya di malam hari setelah matahari terbenam, hingga pagi hari ia tidak makan dan tidak minum tetapi tidak niat, maka ia diperbolehkan hingga batas waktu sebelum separuh siang hari sebagaimana penjelasan terlebih dahulu. Perlu dimengerti bahwasannya untuk setiap hari dibuan Ramadhan diwjibkan berniat, makan sahur saja sudah dibilang niat, kecuali jika bersama makan sahur itu ia berniat tidak akan berpuasa, maka yang demikian tidak dibilang sebagai niat. Apabila seseorang niat berpuasa dimalam hari, kemudian ia mencabut niatnya itu sebelum terbitnya fajar, maka pencabutannya itu dianggap sah dalam segala macam puasa. Untuk puasa Ramadhan, puasa nazar mua’yyan dan puasa sunnah memperbolehkan berniat secara mutlak, atau dengan puasa sunnah sejak malam hari hingga waktu sebelm separuh siang, tetapi yang lebih utama itu menjatuhkan niat dimalam hari dan menentukannya. Apabila seseorang berniat puasa untuk dihari yang lain, baik puasa nazar maupun puasa sunnah, namun hal itu dilakukan dibulan Ramadhan, maka yang demikian puasanya terlaksana sebagai bulan Ramadhan, kecuali jika memang orang musafir dan berniat sebagai puasa wajib, maka puasa dengan niat macam ini tadi terlaksana sebagai puasa wajib tersebut. Sebab ia diberi kemurahan untuk tidak berpuasa dikala berpergian. Adapun puasa qadha, puasa kifarat dan puasa nazar mutlak, maka diwajibkan menjatuhkan niat dimalam hari dan diwajibkan menentukannya. Adapun hari-hari yang dilarang berpuasa yaitu dua hari raya, dan hari-hari tasyriq, maka puasa dihari itu hukumnya sah tetapi haram. Jadi jikalau seseorang bernazar berpuasa dihari tersebut, maka sahlah nazarnya. Ia wajib meng-qadhanya pada hari-hari yang lain. Seandainya ia meng-qadhanya pada hari-hari itu, maka sahlah nazarnya tetapi ia berdosa. Madzhab Maliki ( Al-Malikiyyah ) Ulama Madzhab Maliki menerangkan: Ibadah puasa itu mempunyai : Beberapa syarat wajib; Beberapa syarat sah; Beberapa syarat-syarat wajib sekaligus syarat sah. Adapun syarat wajib ada dua macam yaitu : Dewasa ( baligh ); Mampu melaksanakannya. Anak kecil, meskipun ia mendekati remaja tidak wajib berpuasa dan bagi si walinya tidak berkewajiban untuk menyuruhnya berpuasa Demikian pula orang yang tidak mampu melaksanakan puasa, ia tidak berkewajiban melaksanakannya. Adapun syarat-syarat sahnya puasa ada tiga macam, yaitu : Islam, jadi tidak sah puasa dari orang kafir, walaupun puasa itu diwajibkan atasnya dan dia akan disiksa jika meninggalkannya sebagai tambahan atas siksa kekafirannya. Masa yang bias digunakan untuk berpuasa, karena itu tidak sah berpuasa di hari raya ( yaumu-l-ied ). Niat, demikian menurut hokum ketentuan yang kuat. Adapun syarat-syarat wajib sekaligus syarat sahnya puasa, maka ada tiga macam, yaitu : Berakal sehat, karena itu tidak sahlah berpuasa bagi orang gila dan orang yang pingsan dan juga tidak wajib atas mereka. Sedangkan mengenai kewajiban meng-qadhanya maka ada perincian hukum yang pada kesimpulannya adalah : Apabila seseorang pingsan sehari penuh, dari terbit fajar sampai terbenam matahari, atau pingsan dalam masa yang cukup dalam sehari, biak ia sembuh pada waktu niat ataupun tidak dala dua kondisi diatas, maka ia berkewajiban meng-qadhanya setelah ia sembuh dalam contoh-contoh tersebut, sedangkan jika ia pingsan setengah hari atau kurang dari itu, sedangkan ia pada waktu niat memang orang yang masih dalam keadaan sadar dalam dua keadaan tadi, maka ia tidak berkewajiban meng-qadhanya jikalau ia telah niat sebelum terjadinya pingsan. Dalam perincian ini gila disamakan dengan pingsan. Dan ia wajib meng-qadha sesuai dengan perincian dahulu apabila ia gila atau pingsan, meskipun hal itu berlangsung dalam waktu cukup lama. Orang yang mabuk adalah sama dengan orang yang pingsan dalam hal perincian meng-qadha’ puasa yang luput sewaktu ia tidur, bilamana ia diawal bulan telah menjatuhkan niat puasa dimalam hari. Suci dari darah haid dan nifas, karena itu wanita yang sedang haid dan sedang nifas tidak berkewajiban berpuasa dan puasa itu sendiri tidak sah dari mereka. Apabila salah seorang tadi suci sebelum fajar, walau selisih masa sebentar, maka ia berkewajiban niat di malam hari. Perlu dimengerti bahwa wanita yang sedang haid dan sedang nifas, setelah mereka itu kembali suci, maka mereka berkewajiban meng-qadha’ puasa Ramadhan yang terluput. Masuknya bulan Ramadhan, jadi puasa Ramadhan tidaklah wajib sebelum bulan tersebut itu ditetapkan tiba. Dan puasa tidak sah sebelum waktunya. Sedangkan niat syarat untuk sahnya puasa. Demikian ketentuan hokum yang kuat sebagaimana terdahulu. Niat adalah bersengaja untuk berpuasa. Adapun niat mendekatkan diri ( taqarrub ) kepada Allah SWT maka memang disunnahkan. Jadi tidak sahlah puasa fardhu ataupun puasa sunnah bila tidak disertai dengan niat. Dalam niat diwajibkan menentukan puasa yang diniati tersebut, baik puasa fardhu maupun puasa sunnah, atau puasa qadha’ atau puasa nazar misalnya. Bila seseorang telah mantap berpuasa, namun ia ragu-ragu setelah itu, apakah dia itu niat puasa sunnah, ataukah nazar, ataukah puasa qadha? Maka yang demikian tadi dianggap puasa sah sebagai puasa sunnah. Apabila ia ragu-ragu apakah ia niat puasa nazar ataukah puasa qadha? Dalam hal ini puasa tadi dianggap mencukupi untuk keduanya dan puasa tersebut dianggap sah sabagai puasa sunnah. Karena itu wajiblah baginya untuk menyempurnakannya. Waktu niat sejak matahri terbenam sampai terbit fajar. Apabila seseorang niat berpuasa pada akhir malam sekiranya fajar akan terbit mengiringi niat, maka niat seperti itu adalah sah. Yang lebih uatama adalah didahulukan atas akihr malam, sebab yang demikian itu lebih berhati-hati. Segala hal yang terjadi setelah niat, berupa makan, minum, bersetubuh atau tidur, adalah tidak membahayakan apapun. Berbeda denngan gila atau pingsan apabila salah satu darinya terjadi setelah niat. Kalau demikian niat menjadi batal. Karena itu wajib diperbaharui meskipun waktunya masih tersisa setelah sadar kembali. Niat tidak dianggap sah jikalau terlaksana di siang hari dalam puada apapun saja, walau puasa sunnah. Tetapi niat yang hanya satu kali dianggap telah mencukupi untuk setiap puasa yang diwajibkan berturut-turut melakukannya, seperti puasa Ramadhan, puasa kifarat Ramadhan, puasa kifarat pembunuhan atau puasa kifarat zhihar, selama kelangsungannya belum terputus. Bila kelangsungannya telah terputus karena sakit atau berpergian atau semisalnya, maka wajiblah menjatuhkan niat pada setiap malam hari, walau seseorang berpuasa selamanya. Demikianlah ketentuan hukum yang kuat. Apabila berpergian telah selesai dan penyakit telah sembuh, maka satu kali niat telah mencukupi untuk sisa-sisa hari dalam sebulan. Sedangkan puasa yang tidak diwajibkan berturut-turut dalam melaksanakannya, seperti puasa qadha Ramadhan dan puasa kifarat sumpah, maka diwajibkan niat setiap malamnya, dan tidak cukup niat satu kali pada awal puasa. Adapun niat secara hukum maka telah dianggap mencukupi. Jadi seandainya seseorang makan sahur dan dihatinya tidak terlintas suatu tujuan puasa, namun kalau ia ditanya : mengapa engkau makan sahur? Ia menjawab : Sesungguhnya saya makan sahur ini karena akan niat berpuasa. Kalau demikian maka cukuplah niat yang demikian itu. Madzhab Hambali ( Al-Hanabilah ) Ulama Madzhab hambali menerangkan bahwa syarat-syarat puasa terjadi tiga macam, yaitu : Syarat Wajib; Syarat sah; Syarat wajib sekaligus syarat sah. Adapun syarat-syarat wajib puasa maka ada tiga macam, yaitu : Islam Dewasa Mampu melaksanakan puasa Jadi puasa tidak diwajibkan atas anak kecil, meskipun ia telah remaja. Tetapi bagi walinya diwajibkan agar memerintahnya agar berpuasa bila telah kuat menunaikannya, dan memberikan pengajaran kepadanya jika ia membangkang. Adapun orang yang lemah atau tidak mampu menunaikan puasa karena sudah tua, atau karena sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, maka ia berkewajiban berpuasa jika telah sembuh dan meng-qadha puasa Ramadhan yang luput. Adapun syarat-syarat sah puasa, maka ada tiga macam, yaitu : Niat. Waktu melaksanakan niat adalah malam hari, sejak terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar jikalau puasa fardhu. Apabila yang dikerjakan puasa sunnah maka sah saja niat puasa di siang hari walaupun setelah zawal ( tergelincirnya matahari ) bilamana orang yang berpuasa makan atau minum misalnya sejak awal siang harinya. Pada masalah niat ini diwajibkan menentukan puasa yang diniatkan, apakah puasa Ramadhan ataupun lainnya, tetapi tidak wajib menyatakan kefardhuan puasa. Juga ada ketentuan bahwa niat puasa itu diwajibkan untuk setiap harinya baik puasa Ramadhan dan puasa lainnya Suci dari darah haid Suci darah dari nifas Oleh Karena itu perempuan yang sedang haid atau sedang nifas tidak sah berpuasa, walaupun ia berkewajiban meng-qadhanya. Adapun syarat-syarat wajib sekaligus juga syarat sah, maka ada tiga macam, yaitu : Islam. Jadi tidak wajib bagi orang kafir untuk berpuasa walau kafir murtad. Juga tidak sah puasanya; Berakal sehat. Jadi orang gila tidak wajib berpuasa dan tidak sah puasanya; Pandai ( tamyiz ). Jadi anak yang belum pandai, seperti anak yang belum mencapai tujuh tahun tidak sah puasanya. Namun jika ia gila di tengah hari di bulan Ramadhan, atau memang ia sedang gila dan sembuh pada pertengahan hari dibulan Ramadhan, maka ia berkewajiban meng-qadha puasa hari itu. Adapum kalau ia gila sehari penuh atau bahkan lebih dari itu, maka ia tidak berkewajiban meng-qadha. Berbeda dengan orang pingsan, maka orang ini berkewajiban meng-qadha meskipun masa pingsan tersebut cukup lama. Orang mabuk dan orang gila adalah sama dengan orang pingsan. Taka da bedanya anatara orang yang mabuk itu sengaja mabuk ataupun tidak sengaja. MACAM-MACAM PUASA Macam-macam puasa ialah ada empat, yaitu : Puasa Wajib, yaitu : puasa Ramadhan, puasa kifarat, dan puasa nazar; Puasa Sunnah; Puasa Haram; Puasa Makruh. Menurut ulama Madzhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali mereka sepakat bahwasanya puasa itu terbagi menjadi empat macam, yaitu seperti yang telah diterangkan sebelumnya. Sedangkan para Ulama Hanafiyah mengatakan : Sesungguhnya macam-macam puasa itu cukup banyak. Madzhab Hanafi ( Al Hanafiyah ) Ulama Madzhab Hanafi menerangkan: Pendapat kalangan Hanafiyah memang berbeda-beda tentang puasa nazar ( puasa yang dinazarkan ) baik nazar tersebut ditentukan seperti berpuasa pada hari kamis, atau bernazar puasa tidak ditentukan. Misalnya bernazar untuk berpuasa satu hari atau satu bulan dengan tanpa menentukan hari atau bulan. Dalam hal ini sebagian dari mereka menegatakan: Bahwasanya mengqadha puasa nazar macam ini adalah wajib bukan fardhu, masalah elah terdahulu dimengerti bahwa wajib menurut mereka adalah dengan arti “sunnah muakkadah”, dimana orang yang meninggalkannya tidak akan disiksa didalam neraka meskipun ia terhalang memperoleh syafa’at Nabi SAW. Argumentasi orang yang mempunyai pendapat ini ialah bahwasannya melaksanakan nazar itu ditetapkan berdasarkan Firman Allah SWT : Artinya : “Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka” ( QS.Al Hajj : 29 ) Ayat tersebut tidak qoth’I atau pasti segi dalalahnya. Sebaba orang yang bernazar melakukan maksiat maka ia tidak berkewajiban menepatinya. Apabila ayat tersebut ditakhsiskan pada nazar melakukan maksiat, maka jelas ayat itu tidaklah qoth’I dalam pengertian kewajiban memenuhi nazar. Di samping itu para Ulama Madzhab Hanafi telah membedakan antara meng-qadha shalat yang dinazarkan dan antara meng-qadha shalat fardhu. Mereka mengatakan : Bilamana seseorang bernazar melakukan shalat dua raka’at misalnya, maka dia tidak dianaggap sah shalatnya yang dinazarkan itu dikerjakan setelah shalat Ashar. Berbeda dengan masalah ketika seseorang terluput melakukan shalat Shubuh, maka orang ini boleh melakukan shalat qadha Shubuh setelah shalat Ashar. Yang demikian itu menunjukan bahwasannya nazar adalah wajib, bukan fardhu. Sebab berbeda dengan fardhu dalam hal menunaikannya. Sebagian dari mereka menerangkan: Bahwa menepati nazar adalah fardhu. Jadi barangsipa melakukan puasa pada hari yang ditentukan, satu hari atau lebih, atau bernazar akan melakukan puasa satu hari tanpa ditentukan, maka difardhukan baginya menepati nazar tersebut itu. Kefardhuan nazar itu tidaklah berdasarkan ayat yang berbunyi : Artinya : “Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka” ( QS.Al Hajj : 29 ) Tetapi kefardhuannya berdasarkn ijma’. Pendapat inilah yang dinilai utama dikalangan Ulama Hanafiyyah. Dan dengan pendapat ini juga Ulama-ulama yang lain mengatakannya. Jadi menurut pendapat pertama tersebut, maka puasa terbagi menjadi delapan macam, yaitu : Puasa Fardu mu’ayyan, seperti puasa Ramadhan yang dilaksanakan pada waktunya. Puasa Fardhu ghairu mua’yyan, artinya puasa yang fardhu namun tidak ditentukan waktunya, seperti qadha puasa Ramadhan tidak pada waktunya, Jadi barangsiapa yang terluput puasa Ramadhan atau sebagiannya, maka ia tidak diwajibkan meng-qadhanya pada waktu yang khusus. Contoh lain seperti puasa kifarat. Puasa macam ini adalah puasa ghairu mu’ayyan. Puasa wajib mu’ayyan, seperti nazar yang ditentukan. Puasa wajib ghairu mu’ayyan seperti puasa nazar yang mutlak. Puasa nafli. Puasa yang disunnahkan (as shaumul masnun). Puasa yang disukai (as shaumul mustahab). Puasa makruh, makruh tanzih ataupun makruh tahrim. Jadi macam-macam puasa menurut pendapat pertama adalah delapan macam, sedangkan menurut pendapat kedua maka ada tujuh macam, yaitu : Puasa fardhu mu’ayyan, yaitu puasa yang mempunyai waktu tertentu seperti puasa bulan Ramadhan yang dilakukan pada waktunya dan puasa nazar yang ditentukan. Puasa fardhu ghairu mu’ayyan, yaitu puasa yang tidak mempunyai waktu tertentu seperti puasa bulan Ramadhan yang dikerjakan secara qadha dan puasa nazar yang tidak ditentukan. Puasa wajib, yaitu puasa tathawuu’ (sunnah) yang tengah dilakukan. Jadi barangsiapa yang ingin melakukan puasa sunnah hari kamis misalnya dan ia pun telah memulainya, maka ia berkewajiban menyempurnakannya. Artinya bila ia membatalkannya maka ia menaggung dosa kecil sebagaimana terdahulu, ia berkewajiban mwng-qadhanya jika membatalkannya. Demikian juga puasa I’tikaf yang tidak dinazarkan, maka juga wajib diqadha bila dibatalkan. Puasa haram. Puasa sunnah (Ash Shiyamul Masnun). Puasa nafli. Puasa makruh. PUASA PADA HARI YANG DIRAGUKAN ( Yaumussyak ) Pada penetapan definisi “hari syak” dan hukum berpuasa pada hari itu terdapat perincian dalam beberapa madzhab Madzhab Syafi’I ( Asy Syafi’iyyah ) Ulama Madzhab Syafi’I menerangkan : Apabila umat manusia berpuasa dengan dasar persaksian seseorang yang adil dan bulan Ramadhan yang genap 30 hari, maka mereka wajib berbuka ( berhari raya ) menurut hukum yang lebih shahih, baik keadaan cerah maupun tidak. Madzhab Hambali ( Al Hanabilah ) Ulama madzhab hambali menerangkan : Apabila puasa Ramadhan ditetapkan dengan persaksian dua orang yang adil dan bulan itu sempurna 30 hari, sedangkan kaum muslimin tidak melihat hilal pada malam ke 31, makamereka berkewajiban berbuka ( berhari raya ) secara mutlak. Tetapi kalau puasa Ramadhan ditetapkan dengan seorang saksi yang adil atau dengan didasarkan bulan Sya’ban 29 hari karena mendung atau lainnya, maka mereka berkewajiban berpuasa pada hari ke 31. Madzhab Hanafi ( Al Hanafiyyah ) Ulama Madzhab Hanafi menerangkan : Yaumussyak ( hari yang diragukan ialah penghabisan dari bulan Sya’ban yang dimungkinkan hari itu ) termasuk bulan Ramadhan. Hal itu karena hilal tidak bias diliihat karena mendung setelah terbenamnya matahari tanggal 29 bulan Sya’ban, kemudian terjadilah keraguan pada hari berikutnya apakah hari itu termasuk bulan ataukah termasuk bulan Ramadhan. Atau keraguan itu terjadi karena hakim menolak persaksian para saksi, atau orang-orang ramai mengatakan sudah melihat hilal tetapi belum ditetapkan. Mengenai hukum berpuasa pada hari itu, maka adakalanya makruh tahrim atau makruh tanzih , adakalanya mandub (sunnah ), dan adakalanya batal. Hukumnya makruh tahrim jika seseorang berpuasa pada hari itu dengan niat yang mantap bahwa hari itu termasuk bulan Ramadhan. Hukumnya makruh tanzih jika ia berpuasa dengan niat menunaikan kewajiban puasa nazar. Demikin juga makruh tanzih jika ia berpuasa dalam keadaan ragu-ragu antara fardhu dan wajib, misalnya ia berniat dengan ucapan lesannya : saya berniat puasa fardhu besok pagi jika termasuk bulan Ramadhan, dan puasa sunnah jika termasuk bulan Sya’ban. Memang juga disunnahkan berpuasa pada hari syak itu dengan niat puasa sunnah jika hari syak itu bertepatan pada hari yang ia telah biasa berpuasa. Dan memnang tidak mengapa puasa pada hari syak itu dengan niat puasa sunnah, meskipun tidak bertepatan dengan kebiasaan puasa. Dan hukumnya batal pada hari syak itu jika ia berpuasa dalam keadaan ragu-ragu antara puasa dan tidak puasa, misalnya ia mengucapkan niatnya : saya niat berpuasa besok pagi jika termasuk bulan Ramadhan, jiak tidak termasuk bulan Ramadhanmaka saya tidak jadi berpuasa. Apabila telah ditetapkan bahwasanya hari syak itu termasuk bulan Ramadhan, maka puasa hari itu dianggap mencukupi, meskipun bersetatus hukum makruh tahrim, atau tanzih, atau mandub, atau mubah. PUASA YANG DIHARMKAN Puasa Hari Raya dan Puasa Wanita Tanpa Izin Suaminya. Tuhan yang menentukan hukum agama telah mengharamkan puasa dalam beberapa keadaan, diantaranya ialah ; Puasa pada dua hari raya, yakni Hari Raya Fitrah ( Idul Fitri ) dan Hari Raya Qurban ( Idul Adha ) Tiga hari setelah Hari Raya Qurban. Demikian menurut tiga orang Madzhab, hanya hanya saja kalangan Ulama Madzhab Hanafi mengatakan : Sesungguhnya puasa pada hari-hari tersebut adalah makruh tahrim. Sementara itu Ulama Malikiyah mengatakan : Diharamkan puasa di dua hari setelah Idul Adha, bukan tiga hari. Madzhab Maliki ( Al Malikiyyah ) Ulama Madzhab Maliki menerangkan : Diharamkan berpuasa pada hari raya Fitrah, hari raya Qurban dan dua hari raya kurban, kecuali dalam ibadahhaji bagi orang-orang yang melakukan haji tamattu’dan haji qiran. Bagi mereka boleh berpuasa pada dua hari raya Qurban, sedangkan berpuasa pada hari keempat dari hari raya Qurban adalah makruh. Madzhab Syafi’I ( As Syafi’iyyah ) Ulama Madzhab Syafi’I menerangkan : hukumnya haram dan tidak sah puasa pada hari raya Fitrah, hari raya Qurban, dan tiga hari setelah hari Qurban secara mutlak meskipun dalam ibadah haji Madzhab Hambali ( Al Hanabilah ) Ulama Madzhab Hambali menerangkan : hukumnya haram berpuasa pada hari raya Idul Fitri , Idul Adha, dan tiga hari sesudah Idul Adha, kecuali bagi orang yang melakukan haji tamattu’ dan haji qiran dalam ibadah hajinya. Madzhab Hanafi ( Al Hanafiyyah ) Ulama Madzhab Hanafi menerangkan : berpuasa pada dua hari raya dan hari tiga hari tasyrik hukumnya makruh tahrim, kecuali dalam ibadah haji. Puasa seorang wanita tanpa seizing suaminya dengan melakukan puasa sunnat, atau dengan tanpa kerelaan sang suami apabila ia tidak memberi izin secara terang-terangan, kecuali jika sang suami memang tidak memerlukan kepada istrinya, misalnya suami pergi, atau sedang ihram, atau sedang beri’tikaf. Demikianlah pandangan para Ulama Madzhab Syafi’I dan Ulama Madzhab Maliki sedangkan para Ulama Hanafi dan Hambali akan diterangkan di penjelasan selanjutnya. Madzhab Hanafi ( Al Hanabilah ) Ulama Madzhab Hanafi menerangakan : berpuasanya seorang wanita tanpa seizing suaminya adalah makruh. Madzhab Hambali ( Al Hanabilah ) Ulama Madzhab Hambali mengatakan : Bilamana sang suami berada di rumah, maka si wanita tidak boleh berpuasa dengan tanpa izinnya, meskipun si suami mempunyai hal yang menghalangi dirinya untuk bersetubuh, misalnya sedang berihram, I’tikaf atau sedang sakit. PUASA SUNNAH ( PUASA MANDUB ) Puasa Hari Tasu’a, Asyura, dan Hari-hari putih Puasa sunnah diantaranya ialah berpuasa pada bulan Muharram. Yang lebih utama yaitu pada tanggal ke 9 dan ke 10 dari bulan tersebut. Menurut Ulama Hanafiyyah dua hari tersebut jika dijadikan hari puasa maka dinamakan puasa sunnah bukan mandub. Kita telah mengerti bahwa kalangan Ulama Syafi’Iyyah dan Hanabilah sepakat membuat istilah tersebut, sebab menurut mereka taka da bedanya antara sunnah dan mandub. Sedangkan kalangan Ulama Malikiyyah, maka mereka tidak sepakat. Sebab mereka tetap membedakan antara sunnah dan mandub sebagaiman Ulama Hanafiyyah. Termasuk puasa sunnah lagi ialah berpuasa tiga hari setiap bulan. Sunnahnya pada hari-hari putih, yaitu pada tanggal 13,14,dan15 dari tiap bulan Arabiyyah. Dalam hal ini kalangan Ulama Malikiyyah berbeda pandangan , bahwasannya menurut pandangan Ulama Malikiyyah dimakruhkan bersengaja berpuasa pada hari-hari putih. Puasa Hari Arafah Disunnahkan berpuasa pada tanggal 9 dari bulan Dzulhijah, dan hari itu disebut hari Arafah. Disunnahkannya hari itu bagi selain orang yang sedang melaksanakan ibadah haji. Adapun kalau seseorang sedang melaksanakan ibadah haji, maka dalam hal ia berpuasa pada hari itu terdapat perincian hukum dalam beberapa Madzhab, yang akan diterangkan dalam penjelasan selanjutnya. Madzhab Hambali ( Al Hanabilah ) Ulama Madzhab Hambali menerangkan : Orang yang beribadah haji disunnahkan berpuasa pada hari Arafah jika ia melakukan wukuf di malam hari, tidak di siang hari. Bila ia melakukan wukuf di siang hari maka baginya dimakruhkan berpuasa. Madzhab Hanafi ( Al Hanafiyyah ) Ulama Madzhab Hanafi menerangkan : Dimakruhkan berpuasa dihari Arafah bagi orang yang melakukan ibadah haji jka ia melemahkan tenaganya. Demikiannya juga dimakruhkan berpuasa hari “tarwiyah”, yaiut tanggal 8 Dzulhijjah. Madzhab Maliki ( Al Malikiyyah ) Para Ulama Madzhab Malki menerangkan : Orang yang beribadah haji dimakruhkan berpuasa hari Arafah, sebagaimana dimakruhkan juga berpuasa hari tarwiyyah yaitu hari tanggal 8 Dzulhijjah. Madzhab Syafi’I ( As Syafi’iyyah ) Ulama Madzhab Syafi’I menerangkan : Orang yang beribadah haji bila ia bermukim di Mekkah kemudian ia pergi ke Arafah siang hari, maka jika ia berpuasa hukumnya khilaful aula artinya kurang utama. Tetapi kalau ia pergi ke arafah malam hari, maka bolehlah ia berpuasa. Adapun kalau orang yang beribadah haji itu orang musafir, maka disunnahkan tidak berpuasa secara mutlak. Puasa Hari Senin dan Kamis Disunnahkan berpuasa hari senin dan kamis setiap minggu dan didalam melakukan puasa dua hari itu mengandung kebaikan pada tubuh. Hal demikian taka da keraguan lagi. Puasa 6 Hari di Bulan Syawal Disunnahkan berpuasa selama 6 hari dari bulan Syawal secara mutlak dengan tanpa syarat-syarat menurut tiga kalangan Imam-imam Madzhab. Sedang kalangan Imam Maliki berbeda pandangan. Yang lebih utama melakukannya ialah secara berturut-turut tidak dipisah-pisah. Demikian menurut Ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, sedangkan para Ulama Malikiyyah dan Hanfiyyah berbeda pandangan. Madzhab Maliki ( Al Malikiyyah ) Ulama Madzhab Maliki menerangkan : Dimakruhkan berpuasa 6 hari dari bulan Syawal jika ia memenuhi syarat-syarat tersebut : Orang yang berpuasa selaku orang panutan,atau dikhawatirkan atas dia meyakini kewajibannya. Puasa itu dilakukan bersambung dengan hari Idul Fitri Puasa itu dilakukan berturut-turut Orang tersebut menampakan puasanya. Apabila salah satu syarat tersebut tiada, maka puasa hari-hari itu tidak dimakruhkan, kecuali kalau orang yang melakukannya meyakini bahwa menyambungkan dengan hari I’dul Fitri hukumnya sunnah, maka makrulah puasanya, meskipun ia tidak menampakan atau ia melakukannya secara terpisah-pisah, tidak berturut-turut. Madzhab Hanafi ( Al Hanafiyyah ) Ulama Madzhab Hanafi menerangkan : Disunnahkan hendaknya dilakukan secara terpisah-pisah, artinya tidak berturut-turut, untuk tiap-tiap seminggu dua hari. Berpuasa Sehari dan Berbuka Sehari Disunnahkan bagi orang yang mampu agar berpuasa sehari dan tidak berpuasa sehari. Diterangkan bahwa puasa macam ini merupakan salah satu macam puasa sunnah yang lebih utama. Puasa Bulan Rajab, Sya’ban, dan Bulan-bulan Mulia yang lain. Disunnahkan berpuasa pada bulan Rajab dan Sya’ban menurut kesepakatan tiga kalangan imam-imam madzhab. Dalam hal ini Ulama Imam Hambali berbeda pendapat. Madzhab Hambali ( Al Hanabilah ) Ulama Madzhab Hambali menerangkan : Menyendirikan bulan Rajab untuk puasa sunnah adalah makruh, kecuali dipertengahnnya membatalkan puasa, maka hukumnya tidak makruh. Adapun bulan-bulan mulia ada empat, yang tiga berturut-turut, yakni : Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, dan yang satu sendiri yakni bulan Rajab, maka berpuasa di bulan-bulan tersebut memang disunnahkan menurut tiga kalangan imam-imam madzhab. Sementara kalangan Ulama Hanafiyyah berbeda pendapat, Madzhab Hanafi ( Al Hanafiyyah ) Ulama Madzhab Hanafi menerangkan : Yang disunnahkan pada bulan-bulan mulia ialah berpuasa tiga hari setiap bulan, yaitu hari Kamis, Jum’at, dan hari Sabtu. Bila Seseorang Memulai Berpuasa Sunnah lalu Membatalkannya. Menyempurnakan puasa sunnah setelah dimulai dan meng-qadhanya jika dibatalkan adalah disunnahkan menurut Ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah. Dalam hal itu kalangan Ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah berbeda pandangan, Madzhab Hanafi ( Al Hanafiyyah ) Ulama Hanafiyyah menerangkan : Apabila seseorang telah memulai dalam puasa sunnah kemudian membatalkannya, maka wajiblah baginya meng-qadhanya. Wajib menurut mereka ialah sunnah muakkadah. Sebab membatalkan puasa sunnah menurut mereka adalah makruh tahrim, dan tidak meng-qadhanya juga makruh tahrim, PUASA MAKRUH Puasa Hari Jum’at secara tersendiri, puasa awal tahun Qibthi, dan puasa hari perayaan besar. Diantara puasa makruh ialah puasa hari awal Qibthi, puasa hari perayaan besar yang keduanya disendirikan tanpa ada puasa sebelumnya atau sesudahnya selama hal itu tidak bertepatan dengan kebiasaan, maka puasa itu dimakruhkan menurut tiga kelompok Imam Madzhab. Namun begitu Madzhab Syafi’I mengatakan : Tidak dimakruhkan berpuasa pada dua hari itu secara mutlak. Termasuk puasa makruh lagi ialah puasa hari Jum’at yang disendirikan. Demikian juga puasa hari Sabtu disendirikan. Ulama Madzhab Maliki menerangkan : Tidak dimakruhkan hari Jum’at atau lainnya dibuat puasa. Termasuk puasa makruh lagi ialah berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan. Tetapi tidak makruh jika lebih dari itu. Demikian menurut Ulama Madzhab Hanafi dan Hambali. Sedangkan Ulama Madzhab Maliki mengatakan : Tidak dimakruhkan puasa sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan. Sementara itu Ulama Madzhab Syafi’I berbeda pendapat bahwa diharamkan puasa sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan. Demikian juga berpuasa pada separuh yang kedua dari bulan Sya’ban jika tidak disambungkan pada hari-hari sebelumnya dan tidak ada sebab berupa nazar atau adat kebiasaan yang menghendaki untuk berpuasa. Termasuk puasa yang dimakruhkan ialah puasa pada hari syak atau hari yang diragukan. Masih terdapat juga puasa makruh yang akan dirinci dalam beberapa madzhab. Madzhab Hanafi ( Al Hanafiyyah ) Ulama Madzhab Hanafi menerangkan : Puasa makruh terbagi menjadi dua macam, yaitu : Makruh Tahrim, yaitu berpuasa pada hari-hari raya, dan hari-hari tasyriq. Apabila seseorang berpuasa pada hari-hari tersebut, maka sahlah puasanya tetapi berdosa. Bila ia telah memulainya dan membatalkannya, maka ia tidak berkewajiban meng-qadhanya. Makruh Tanzih, puasa hari assyura disendirikan dari tanggal Sembilan atau sebelas. Termasuk puasa makruh tanzih ialah menyendirikan puasa awal tahun Qibthi dan hari-hari perayaan besar jika tidak bertepatan adat kebiasaan puasa, sebagaimana terdahulu. Juga puasa tahunan atau saumud dahri. Sebab puasa itu melemahkan tubuh adat kebiasaannya. Begitu juga puasa wishal, yaitu puasa menyambung puasa sehari semalam. Termasuk juga puasa membisu yaitu puasa tidak berkata-kata. Termasuk lagi puasa wanita yang berupa sunnah dengan tanpa izin suaminya. Kecuali jika sang suami sedang sakit, atau sedang mengerjakan ihram haji atau umrah. Begitu pula puasanya musafir tatkala merasa payah dengan puasanya itu. Madzhab Maliki ( Al Malikiyyah ) Ulama Madzhab Maliki menerangkan : Dimakruhkan berpuasa pada hari keempat dari hari raya Qurban. Tetapi dikecualikan dari itu orang yang melaksanakan ibadah haji secara qiran dan tamattu’ dan orang yag berkewajiban menyembelih hadiah disebabkan kekurangan dalam ibadah haji atau umrah, maka ia boleh menggantinya dengan puasa dan tidak makruh. Apabila seseorang berpuasa pada hari keempat dari hari raya Qurban dengan puasa sunnah, maka puasanya itu sah. Tetapi kalau ia membatalakannya secara sengaja dan perbuatannya itu tidak ia sengaja untuk menyelamatkan diri dari larangan, maka ia berkewajiban meng-qadhanya. Apabila seseorang beranazar untuk berpuasa pada hari keempat dihari raya Qurban, maka ia berkewajiban menunaikannya karena memandang puasa itu merupakan ibadah dilihat dari keadaannya. Madzhab Syafi’I ( As Syafiiyyah ) Ulama Madzhab Syafi’I menerangkan : dimakruhkan berpuasa bagi orang yang sakit, wanita yang hamil, orang musafir, wanita yang sedang menyusui, orang yang lanjut usia jika mereka semua sangat khawatir. Terkadang malah bias diharamkan dalam kondisi mereka yang sangat khawatir terhadap diri mereka akan ditimpa kerusakan lantaran tidak makan. Juga dimakruhkan menyendirikan Jum’at atau hari Sabtu , atau hari Ahad untuk berpuasa jika tidak ada sebab yang membolehkannya seperti nazar dan semisalnya. Sedangkan jika seseorang berpuasa pada hari itu karena suatu sebab, maka hukumnya tidak makruh. Seperti ketika ketepatan pada adat istiadat atau kebetulan bertepatan hari ini unutk berpuasa. Termasuk puasa makruh lagi ialah puasa tahunan atau puasa shiyamud dahri. Begitu pula dimakruhkan puasa sunnah sehari padahal orang yang melakukan puasanya memikul qadha yang fardhu. Sebab menunaikan fardhu adalah lebih penting dari pada mengerjakan yang sunnah. Madzhab Hambali ( Al Hanabilah) Ulama Madzhab Hamabali menerangkan : Dimakruhkan melakukan puasa wishal, yaitu tidak berbuka semalam dua hari. Tetapi kemakruhannya bias hilang dengan cara berbuka barang sedikit, misalnya sebiji kurma dan semisalnya. Demikian juga menyendirikan bulan Rajab unutk berpuasa. Ini dimakruhkan. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA Bila puasa itu menjadi sah karena memenuhi beberapa syarat dan rukunnya, maka terdapat juga beberapa hal yang menyebabkan batalnya puasa. Adapun sebab-sebab tersebut antara lain : Memasukan benda kedalam tubuh. Yang dimaksud lubang tubuh disini ialah perut, karenanya pengarang kitab ini setelah menyebut lubang tubuh. Masih menyebut lagi lubang kepala dan obat yang masuk kedalam lubang kemaluan. Muntah dengan sengaja, maka ia membatalkan puasa. Bila ia terpaksa muntah, maka tidak batal puasanya. Bersetubuh pada kemaluan , demikian juga mengeluarkan air mani. Hal ini sudah menjadi ijma ulama. Tentang adanya “persentuhan” maka hal ini menjadi syarat, baik persentuhan itu bersifat haram seperti mengeluarkan air mani dengan tangannya sendiri ( onani ), atau tidak haram seperti mengeluarkan air mani dengan tangan istrinya atau jariyahnya ( hamba sahaya perempuan ) Suci dari haidh dan nifas. Imam nawawi telah menukil ijma ulama bahwa sahnya puasa itu tergantung kepada kesucian seseorang dari haid dan nifas, sehingga andaikata ditengah-tengah menjalani puasa, lalu haid atau nifas itu datang, maka batallah puasanya. Demikian juga andaikata ditengah-tengah puasa ia gila atau murtad, maka batallah puasanya, karena ia dianggap sudah bukan lagi ahli ibadah, kemudian bila seorang tidur sehari penuh maka apakah sah puasanya? menurut pendapat yang shahih maka tidur itu tersebut tidak membahayakan puasanya karena ia dianggap masih sah melakukan ibadah. HAL-HAL YANG MAKRUH DILAKUKAN OLEH ORANG YANG BERPUASADAN HAL-HAL YANG TIDAK DIMAKRUHKAN. Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa beberapa hal yang terperinci dalam beberapa madzhab. Madzhab Hanafi ( Al Hanafiyyah ) Ulama Madzhab Hanafi menerangkan dimakruhkan bagi orang yang berpuasa beberapa hal berikut ini, yaitu : Mencicipi sesuatu yang tidak akan masuk ke dalam perut orang yang berpuasa. Ini tidak dibedakan antara puasa fardhu maupun sunnah, kecuali dalam keadaan darurat. Oleh karena itu dibolehkan untuk seorang wanita mencicipi makanan agar bias jelas asinnya atau manisnya jika suaminya berbudi buruk. Yang sama dengannya ialah masak. Demikian pula diperbolehkan bagi orang yang membeli sesuatu yang akan dimakan atau diminum, akan mencicipinya jika ia khawatir mengalami kerugian padahal ia tidak menyetujuinya. Mengunyah sesuatu tanpa ada uzur. Apabila karena uzur, seperti ketika seorang wanita mengunyah makanan untuk puteranya dan ia memang tidak menjumpakan orang yang mengunyahkan selain dirinya sendiri, maka tidak dimakruhkan. Termasuk dimakruhkan lagi ialah mengunyah getah yang dimamah yang darinya tidak akan sampai ke perut besar. Mencium istrinya, baik menciumnya itu sampai keterlaluan, seperti sampai mengunyah bibirnya ataupun tidak keterlaluan. Demikian halnya menyenggol istrinya dengan senggolan yang keterlaluan, misalnya suami meletakan kemaluannya pada vagina isterinya dengan tanpa alas penghalang. Hal demikian ini dimakruhkan jikalau dirasa tidak aman dari keluar mania tau senggama. Sedangkan kalau bias dirasa aman darinya, maka tidak dimakruhkan. Mengumpulkan ludahnya ke mulut kemudian ia telan. Hal ini dimakruhkan karena kesalahpahaman yang diakibatkannya. Melakukan hal yang dikira melemahkan dirinya untuk berpuasa, seperti berbekam. Madzhab Hambali ( Al Hanabilah ) Ulama Madzhab Hambali menerangkan dimakruhkan bagi orang yang berpuasa : Berkumur secara bermain-main, atau berlebih-lebihan, atau karena panas, atau karena haus Menyelam kedalam air Mengumpulkan ludahnya kemudain menelannya Membiarkan sisa makanan yang ada disela-sela giginya Mencium dan melakukan hal-hal yang mendorong untuk bersenggama Melakukan persetubuhan dalam keadaan ragu-ragu tentang terbitnya fajar. Madzhab Syafi’I ( As Syafi’iyyah ) Mencaci maki kepada orang lain Mengakhirkan berbuka setelah matahari terbenam Mengunyah makanan Mencicipi makanan Berbekam dan berpantik Mencium jika tidak menggerakan nafsu birahi Masuk tempat mandi bersugi setelah tergelincirnya matahari Adapun hal yang tidak dimakruhkan bagi orang yang berpuasa : Menyium atau menyenggol yang keterlaluan jika aman dari keluar sperma atau senggama. Menyimaki kumis Bercelak dan semisalnya Berbekam dan semisalnya jikalau tidak melemahkan puasa Bersugi ( bersiwak ) Berkumur dan menghisap air ke hidung Mandi Mendinginkan tubuh dengan air dengan cara membalutkan kain basah ditubuhnya. Uzur yang membolehkan berbuka puasa / tidak berpuasa Sakit dan Menderita kepayahan yang sangat Khawatir wanita hamil dan wanita menyusui terhadap bahaya bila berpuasa Berbuka sebab berpergian Puasa wanita yang sedang haid dan nifas Hukum orang yang ditimpa kelaparan atau kehausan yang sangat Hukum berbuka bagi orang yang lanjut usia Bila orang yang berpuasa ditimpa penyakit gila. Hal-hal yang disunnahkan bagi orang yang berpuasa Disunnahkan bagi orang yang berpuasa beberapa hal : Bersegera untuk berbuka setelah nyata-nyata matahari terbenam Berdoa setelah berbuka dengan doa yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW Makan sahur dengan sesuatu makanan walaupun sedikit, meskipun hanya seteguk air Menjaga lisan dari omongan yang tak berfaidah Memperbanyak sedekah dan berbuat baik kepada sanak saudara, kaum fakir dan miskin Menyibukkan diri dalam menuntut ilmu Beri’tikaf. Keutamaan-keutamaan Puasa Diriwayatkan oleh Al Bukhari dar Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah bersabda yang artinya : “Telah berfiman Allah Azza Wa Jalla : “Tiap-tiap amal anak Adam untuknya sendiri 1, selain dari puasa itu untuk-Ku dan Aku akan memberikan pembalasan kepadanya.2 Puasa itu “Junnah” (perisai) ; karena itu apabila seseorang kamu sedang berpuasa, janganlah ia menuturkan kata-kata yang buruk-buruk, yang keji-keji dan yang membangkitkan rangsangan syahwat, dan janganlah pula ia mendatangkan hiruk-pikuk hingar bingar”. Apabila ia dimaki atau di tantang oleh seseorang hendaklah ia katakan “Saya ini berpuasa, saya ini sedang berpuasa.3 Demi Allah yang diriku (Muhammad) di tangan-Nya, bau busuk mulut orang yang berpuasa lebih baik dan lebih harum di sisi Allah dari bau kasturi yang harum semerbak. Orang yang berpuasa itu mempunyai dua kesenangan : Kesenangan di kala berbuka karena berbuka dan kesenangan di kala bertemu dengan Tuhannya karena puasanya.”4 Hadits ini menandaskan keutamaan puasa dan menggerakkan kita untuk mengerjakannya. Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. Bersabda, yang artinya : “Segala amalan kebajikan anak Adam dilipatgandakan pahalanya dengan sepuluh hingga 700 ganda. Allah berfirman : “Kecuali puasa, puasa itu untuk-Ku dan Aku memberikan pembalasan (pahala) kepadanya ; ia telah meninggalkan syahwat dan makan-minumnya lantaran Aku”. Seorang yang berpuasa memperoleh dua kesenangan : Kesenangan dikala berbuka dan kesenangan di kala berhadpan dengan Allah. Dan benar-benar bau busuk mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi disisi Allah dari pada bau kasturi”.5 Kedua hadits di atas menyatakan keutamaan puasa. Hadits Bukhari (yang pertama) menegaskan, bahwa puasa itu kepunyaan Allah (walaupun sudah pasti amalan-amalan hamba adalah untuk Allah), adalah untu menyatakan, bahwa puasa itu lebih mulia dari yang lain-lain, karena pada puasa itu terdapat suatu sifat yang tinggi, sifat meninggalkan makan, minum dan bersetubuh. Hadits Muslim (yang kedua) menerangkan, bahwa segala amalan hamba-hamba itu dibatasi Allah dengan berlipat ganda, mulai dari sepuluh sampai 700 ganda selain puasa. Puasa itu tidak dihingga, tidak dihitung jumlah gandanya. Hal ini arena itu separuh iman. Maka puasa itu seperempat agama. Sebab-Sebab Keutamaan Amalan Puasa. Berlipat gandanya pahala ibadah disebabkan beberapa hal : Kemuliaan tempat melakukan amalan, seperti shalat yang dilakukan di masjid Makkah atau masjid Madinah. Kemuliaan masa, seperti berpuasa di bulan Ramadhan dan beribadah di sepuluh hari yang pertaa di bulan Dzulhijjah. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari Salman Al Farisi bahwa Rasulullah saw, bersabda yang artinya : “Barang siapa bertathawwu’(mengerjakan sunnat) di dalam bulan Ramadhan dengan sesuatu perbuatan kebajikan, adalah seperti orang menunaikan sesuatu fardlu di bulan lainnya. Dan barang siapa menunaikan sesuatu fardlu, adalah seperti orang yang menunaikan 70 fardlu di bulan yang lain”.6 Sebab-Sebab Puasa Disandarkan kepada Allah Puasa disandarkan kepada Allah SWT karena puasa itu berarti meninggalkan segala keinginan diri dan segala hasrat hati yang memang telah menjadi tabi’at pada manusia. Meninggalkan keinginan-keinginan diri, tidak terdapat pada ibadah-ibadah lain. Dalam ihram yang tidak diperbolehkan hanyalah menyetubuhi istri saja, sedangkan makan minum masih diperbolehkan. Dalam shalat, hanya sebentar saja kita menahan diri, karena itu tiada terasa kesukaran apa-apa. Tetapi dalam berpuasa ini, terasa benar kepedihan dan kesulitan menahan makan, minum dan menahan diri dari mendekati istri. Apabila seseorang berpuasa di bawah tekanan udara yang amat panasnya, perut bergoncang, kerongkongan menjerit-jerit minta dikasihani dan si shaim (orang yang berpuasa) itu tinggal di tempat yag sunyi pula, nyatalah benar-benar ia menahan nafsu lantaran Tuhannya dan lantaran menunaikan perintah Allah SWT. Puasa itu suatu rahasai antara hamba dan Khaliqnya yang tidak sekalipun diketahui selain Allah sendiri. Puasa itu tersusun dari niat yang tersembunyi yang hanya Allah sendiri yang mengetahui niat itu dan tersusun dari meninggalkan segala keinginan yang boleh dicapainya dalam bulan selain Ramadhan. Kita mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan syahwat, makan minum dan bersetubuh, padahal ketiga-tiganya syahwat inilah yang paling sukar dihindari dari bani Adam. Faedah Meninggalkan Syahwat dengan Puasa Meninggalkan syahwat dengan berpuasa, sungguh-sungguh mengandung beberapa faedah : Kenyang, puas dari dahaga dan kepuasan nafsu seksual, membawa diri kita kepada kelalaian, kelengahan dan kesombongan yang akibatnya membutakan mata hati kita kepada Allah. Tetapi lapar dan haus itu menyadarkan kita dari kelalaian dan menginsafkan kita kepada kebenaran Menanamkan di dalam sendi dan lubuk jiwa kita perasaan lapar, haus dan perasaan menderita karena menjunjung awamir Allah. Dengan berpuasa kita merasa kepedihan, lapar, haus sedang penderitaan-penderitaan seperti ini senantiasa dialami oleh fakir miskin. Dengan demikian tergeraklah hati untuk mensyukuri Allah yang telah member kelapangan, tergerak pulalah hati yang mempunyai timbang rasa untuk memberi bantuan dan sokongan kepada hamba Allah yang berhajat dan membutuhkan pertolongan-pertolongan dan bantuan-bantuan hidupnya dari kita. Menyempitkan perjalanan darah. Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa darah itu dalah arus perjalanan syaithan mengalir di tubuh kita, sebagaimana darah mengalir dan membiasakan tabiat marah. Maka puasa itulah yang menentang atau mengurangkan tabiat marah itu dan puasa itu pulalah yang mematahkan nafsu syahwat. Rahasia-rahasia puasa Seyogianya benar bagi seseorang yang berpuasa berusaha dengan sepenuh-penuh tenaga dan jiwa supaya puasanya diterima Allah, yitu dengan menjaga adab puasa dengan sebaik-baiknya. Kemudian apabila kita periksa dengan teliti benar ternyata puasa itu mengandung rahasia-rahasia yang tersebut di bawah ini : Mengurangan kekuatan badaniah, mengurangkan makan dan minum supaya dengannya tinggilah jiwa keikhlasan dan supaya bertambahlah jiwa malakiyah yang bersifat dengan aneka macam sifat keutamaan dan kesempurnaan. Bersifat dengan salah salah satu sifat Allah yaitu tidak makan dan tidak minum dan tidak menyerupakan diri dengan orang-orang muqarrabin yang menahan diri dari menuruti keinginan syahwat keduniaan. Untuk mengingatkan bahwa kita adalah hamba Allah yang sangat hina, yang amat membutuhkan makan dan minum. Menjaga diri dari jatuh ke dalam dosa dan maksiat. Menggerakkan orang-orang yang berpunya atau orang kaya untuk menolong orang-orang miskin. Menghidupkan kekuatan pikiran dan kekuatan bashirah (pengihatan mata hati). Hikmah-hikmah puasa. Sebenarnya hikmah puasa telah diterangkan oleh Allah dalam Al Qur’an, yaitu untuk menjadi tangga taqwa, menjadi tangga yang menyampaikan kita kepada derajat Muttaqin. Allah menjelaskan hal itu karena para penyembah patung berpuasa untuk menghilangkan kemarahan tuhannya, bila mereka mengerjakan suatu pekerjaan yang salah, atau mohon keridloan tuhannya memberikan pertolongan. Mereka berpendapat bahwa jalan mencari keridlaan tuhan, ialah dengan mengazabkan diri, dengan menghilangkan kenikmatan duniawi. Kepercayaan ini yang trsebar di kalangan ahlul kitab. Adapun hikmah puasa dalam Islam, adalah untuk menyiapkan kita memperoleh taqwa, bukan untuk sesuatu kepentingan tuhan. Kemudian dengan memperhatikan dan mempelajari rahasia-rahasia puasa, kita berkesimpulan bahwa Allah memfardlukan puasa atas kita adalah : Untuk menanamkan rasa sayang dan ramah kepada fakir miskin, kepada anak yatim dan kepada orang yang melarat. Untuk membiasakan diri dan jiwa memelihara amanah. Kita mengetahui, bahwa puasa itu suatu amalan Allah yang berat dan sukar. Maka apabila kita dapat memelihara amanah Allah dengan sempurna, terdidiklah kita untuk memelihara segala amanah yang dipertaruhkan kepada kita. Untuk menyuburkan dalam jiwa kita kekuatan menderita bila kita terpaksa menderita dan untuk menguatkan iradat atau kehendak kita dan untuk meneguhkan azimah atau keinginan dan kemauan. 20