Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

TAFSIR TENTANG AYAT – AYAT PUASA

TAFSIR TENTANG AYAT – AYAT PUASA PENDAHULUAN Dalam salah satu rukun Islam telah disebutkan bahwa puasa adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan untuk mencapai derajat muslim. Dalam hadits Nabi pun disebutkan bahwa puasa adalah salah satu tiang penyangga Islam. Oleh karenanya sebagai umat Islam kita tentu berkewajiban melaksanakannya. Namun Islam bukanlah agama yang memberatkan, prinsip rahmatan lil alamin telah diteladankan oleh Nabi Muhammad yang tidak lain semua itu bersumber dari Allah. Misalnya bagi orang yang sakit atau musafir tidaklah dikenai kewajiban puasa, karena mereka dalam keadaan yang payah. Dan masih banyak lagi bukti rahmatan lil ‘alamin tersebut, diantaranya yang terkandung dalam QS.Al-Baqarah:183-185. Puasa merupakan suatu tindakan menghindari makan, minum, serta segala hal lain yang dapat memuaskan hasrat-hasrat psikis maupun fisik yang dilakukan pada masa tertentu. Makna dan tujuannya secara umum adalah untuk menahan diri dari segala hawa nafsu, merenung, mawas diri, dan meningkatkan keimanan terhadap Allah SWT. Salah satu hikmah puasa ialah melatih manusia untuk meningkatkan kehidupan rohani. Nafsu jasmani yang terdapat dalam diri tiap individu harus diredam, dikendalikan, dan diarahkan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan yang mulia. Setiap orang yang menjalankan puasa pada hakekatnya sedang memenjarakan dirinya dari berbagai nafsu jasmani. Puasa juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan taraf kehidupan, baik yang duniawi maupun yang ukhrawi. Karena puasa telah dilakukan di setiap syariat agama, bahkan Allah swt menyandarkan puasa kepada zat Nya. Pada sebuah hadist qudsi dikatakan bahwasanya “Semua amal anak adam itu untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Karena puasa itu dikerjakan untuk-Ku, maka Aku-lah yang akan memberi balasannya”. Puasa merupakan salah satu bentuk ritus agama yang dapat meningkatkan kualitas spiritual manusia dan sebagai wahana pensucian diri guna mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tafsir Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang Puasa Pengertian Puasa Secara etimologi puasa berarti manahan, meninggalkan berpindah dari satu perbuatan kepada perbuatan yang lain. Kata shoum bermakna “diam”, hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah, 26.“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". Q.S. Maryam : 26 Shahabat Anas bin Malik dan Ibnu ‘Abbas ra. berkata : صَوْمًا maknanya adalah صَمْتًا yaitu menahan diri dari berbicara. Ahli syi’ir umru’ul qais pun menyebutkan dalam syairnya : حتى اذا صام انهار واعتدل وشال للشمس لعاب فنزل lafadz shooma disini bermakna bahwa siang itu tidak beranjak pergi maka seolah-olah dia berhenti. Secara terminologi puasa berarti menahan dari makan dan minum disertai dengan penetapan niat beribadah sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari dan menyempurnakannya dengan menjauhi segala sesuatu yang dilarang ataupun diharamkan. Dalam bahasa arab puasa disebut shiyaam atau shaum berasal dari kata shaama artinya menahan diri atau berhenti dari melakukan sesuatu, sedangkan menurut syara’ adalah menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh mulai fajar hingga magrib, karena mengharapkan ridha Allah danmenyiapkan diri untuk bertaqwa kepadanya dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah dan mendidik kehendak. Asrori, Tafsir Al-Asraar jilid I, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Daarut Takdiid, 2012), hal. 6 Ayat – Ayat tentang puasa Surah Al-Baqarah ayat 183-184 183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, 184. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Makna Mufradat يا ايها الذين : wahai orang-orang, huruf ya’ disini merupakan huruf nida’ yang berarti seruan kepada orang banyak. امنوا : orang-orang yang beriman, lafadz ini sebagai na’at dari pada lafadz الذين, sehingga seruan ini dikhususkan kepada orang yang beriman saja baik laki-laki atau perempuan. كتب : diwajibkan atau ditetapkan عليكم : atas kamu sekalian (umat Islam), dlomir kum disini kembali pada lafadz امنوا الذين. Lafadz ini juga sebagai pelaku dari lafadz kutiba. الصيام : puasa, menahan dari melakukan sesuatu كما كتب على الذين من قبلكم : seperti halnya diwajibkan kepada umat sebelum kamu(umat Muhammad), yaitu umatnya nabi-nabi terdahulu mulai nabi Adam as. Huruf kaf merupakan tasybih atas hukum dan sifat puasa yang wajib bukan pada bilangannya, namun ada pula yag berpendapat penyerupaan ini pada bilangannya, pendapat yang kedua ini pun menimbulkan kontroversi, ada yang berpendapat bahwa kalimat ini dihapus dengan ayat 185 dan ada yang mengatakan bahwa kalimat ini tidak dihapus dan ayat ini adalah ayat muhkamat. لعلكم تتقون : puasa sebagai jalan menuju takwa أياماً معدودات : hari yang ditentukan, lafadz أياما berkedudukan sebagai dlorof sehingga dibaca nashob sedangkan amilnya yaitu shiyam, jika diperlihatkan menjadi كتب عليكم الصيام في هذه الأيام. Hal ini pun ada 3 pendapat, bahwa hari itu adalah 3 hari dalam setiap bulan, ada pula yang 3 hari tersebut ditambah dengan bulan asyura dan yang lebih shohih adalah hari itu pada waktu bulan ramadlan. فمن كان منكم مريضاً أو على سفر فعدة :kewajiban puasa diatas tidak belaku bagi orang yang sakit dan safar, lafadz ini menunjukkan kebolehan untuk berbuka bagi mereka. Lafadz عدة menurut ar-raghib adalah sesuatu yang berbilang. Menurut qurthubi adalah عدة adalah fiil dari عد yang berarti ma’dud atau bilangan. مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ :hari-hari lain yang sama bilangannya dengan hari ketika sakit atau safar. أُخَر adalah jama’ dari ukhra, أي أياماً أخرى menurut alkisai hal ini tercegah dari perubahan karena jika demikian menunjukkan pada ma’na akhar sedangkan menurut sibawaih jika dijama’kan harus adanya penambahan alif dan lam. وعلى الذين يطيقونه : dan bagi orang yang melakukan hal diatas, يطيقونه berarti orang yang jika berpuasa dapat menimbulkan bahaya dan kesuliatan baginya. فِدْيَةٌ : memberikan sesuatu harta benda atau yang semisalnya (makanan) kepada manusia sebab meringkas atau mengganti ibadah yang telah ditinggalkannya, hal ini serupa dengan kafarat. طعامُ مسكين : makanan kepada orang miskin, mengenai qira’ah untuk kalimat ini dibawah akan kami jelaskan. ً فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًافَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ : menurut ibnu Abbas kalimat tersebut berarti seseorang yang telah memberi makan orang miskin, menurut thowus yaitu orang yang rela memberi makan orang miskin dan menurut mujahid adalah banyaknya orang miskin yang diberi maka memberi tambahan kebaikan kepada si pemberi. وَأَن تَصُومُواْ : dan berpuasa bagi orang-orang yang mampu, dlomir disini tidak kembali kepada orang-orang yang sakit, safar, hamil, menyusui dan orang yang renta. Karena bagi mereka berbuka itu lebih baik dari pada berpuasa. خَيْرٌ لَّكُمْ : lebih baik dari pada membayar fidyah dan melaksanakan kebajikan. إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ : jika kamu mengetahui (keutamaan puasa dan segala kebaikan yang menyertainya), yang termasuk dalam lafadz ini adalah ahlul ilmi yang mau memikirkan keutamaannya. Sedangkan jawab dari lafadz ini dibuang, hal ini menunjukkan pada lafadz sebelumnya yaitu boleh memilih antara puasa atau tidak. Kandungan ayat Pada zaman apa saja dan di kalangan umat apa saja, puasa merupakan kebiasaan yang banyak di kerjakan walaupun seandainya tidak diperintahkan oleh Allah swt. Sebagai contoh : puasa 3 hari tiap bulan (Nabi Nuh), sehari puasa sehari tidak (Nabi Daud), puasa 40 hari (Nabi Musa), puasa Nabi Isa maupun dalam ajaran agama lain: konsep menjauhkan diri dari kemewahan (Budha), konsep nyepi (Hindu), dan lain-lain. Pengakuan bahwa puasa telah biasa dilakukan atau diwajibkan kepada umat terdahulu menunjukkan dua hal, pertama: legitimasi teologis (tekstual) yaitu merupakan ajaran Allah swt untuk peningkatan kualitas dari, kedua: legitimasi budaya (kontekstual) yaitu merupakan nilai luhur yang sudah membudaya dalam masyarakat sebelumk islam. Ada dua legitimasi tersebut menyebabkan puasa berdampak pada wilayah social sekaligus spiritual. Islam memperkenalkan arti puasa yang baru sama sekali. Sebelum islam, puasa hanyalah dimaksudkan untuk mengurangi makan, minum dan tidur pada waktu berkabung dan berduka cita, tetapi oleh islam puasa dijadikan peraturan untuk meninggikan ahlak dan rohani manusia. Hal ini diuraikan dengan jelas dalam akhir ayat yang berbunyi “agar kamu bertaqwa”. Tiga golongan yang dikecualikan boleh meninggalkan puasa yaitu orang sakit, bepergian, dan yang terasa berat untuk berpuasa (hamil/menyusui, pekerja berat). Asrori, Tafsir Al-Asraar jilid I, hal. 7-8 Asbabun Nuzul Diterangkan oleh Ibnu Saad dalam Thabaqatnya, dari Mujahid, beliau berkata, "Ayat ini diturunkan mengenai majikan dari Qais bin Saib (yang sudah sangat lanjut usianya), Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin (Q.S. Al-Baqarah 184). Lalu ia tidak berpuasa dan memberi makan seorang miskin setiap hari Ramadan yang tidak dipuasainya”. Dari Ibnu Jarir dari mu’adz bin jabbal berkata : bahwa Rasulullah SAW.datang ke Madinah pada hari ‘Asyura kemudian beliau berpuasa, dan beliau berpuasa selama tiga hari setiap bulan. Kemudian Allah mewajibkan puasa Ramadlan, dengan menurunkan QS.Al-Baqarah 183-184, maka saat itu ada yang berkeinginan untuk berpuasa, ada yang berbuka dan ada yang memilih untuk memberi makan orang miskin. Kemudian Allah mewajibkan puasa bagi orang yang sehat lagi muqim ( tidak bepergian) dan menetapkan kriteria bagi yang memberi makan orang miskin yaitu orang yang sudah tua dan tidak mampu untuk berpuasa. Penafsiran ayat Dalam ayat ini Allah memanggil umat yang beriman untuk menyuruh mereka berpuasa, yakni menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh dengan niat yang tulus ikhlas kepada Allah sepanjang hari, karena mengandung ajaran menyucikan diri dan membersihkan dari akhlak yang rendah dan keji. Juga diterangkan bahwa kewajiban ini telah diwajibkan kepada umat yang dahulu, karena itu hendaklah rajin-rajin melakukan kewajiban ini, supaya kalian mencapai pengertian taqwa yang sesungguhnya, sebab dalam puasa itu ada tuntunan untuk mempersempit pengaruh setan. Halim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier, cet. Ke-2, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hal. 312 Sebagaimana sabda nabi saw.: يَامَعْشَرَالشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Hai para pemuda, siapa di antaramu yang sanggup menanggung kewajiban maka hendaklah kawin, dan siapa yang belum sanggup maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menahan nafsu.” HR. Bukhari, Muslim Dalam ayat ini pun tampak jelas tujuan dari puasa, yaitu bertaqwa kepada Allah. Taqwa itulah yang membangkitkan kesadaran dalam hati sehingga mau menunaikan kewajiban ini, demi menaati Allah dan untuk mendapatkan ridha-Nya. Syahid Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, (Beirut: Darusy-Syuruq, 1992), diterjemahkan oleh As’ad Yasin, dkk., Tafsir Fi Zhilalil Qua’an di Bawah Naungan Al-Qur’an (Surah Al-Faatihah – Al-Baqarah) Jilid I, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal. 199 Kemudian dijelaskan kadar puasa yakni bukan setiap hari terus menerus, tetapi beberapa hari yang dapat dihitung dengan jari, supaya tidak memberatkan sehingga tidak sanggup mengerjakan, pada mulanya puasa diwajibkan tiap bulan selama tiga hari, kemudian dimansukhkan dengan puasa sebulan pada bulan ramadhan. Diriwayatkan bahwa puasa itu pada mulanya diwajibkan sebagaimana umat-umat yang dahulu pada tiap bulan selam tiga hari sejak zaman nabi Nuh a.s. sehingga dimansukhkan oleh Allah dengan puasa bulan ramadhan. Al-Hasan Al-Basri berkata, “sesungguhnya telah diwajibkan berpuasa atas tiap umat sebelum kami sebagaimana diwajibkan atas kami sebulan cukup dan beberapa hari.” Abdullah bin Umar mengatakan bahwa rasulullah saw. Bersabda: صِيَامُ رَمَضَانَ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى اْلاُمِمَ قَبْلَكُمْ “Berpuasa bulan ramadhan telah diwajibkan oleh Allah kepada umat-umat sebelummu.” HR. Ibnu Abi Hatim Ibnu Abbas berkata, “orang sebelummu ialah ahlul kitab” Kemudian diterangkan hukum puasa pada permulaannya, siapa yang dalam keadaan sakit atau musafir, mereka tidak berpuasa, hanya saja harus qadha menurut bilangan hari yang ia tidak puasa. Halim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier, hal. 313 “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” Pada awalnya, tugas berpuasa itu sangat berat bagi kaum muslimin. Puasa difardukan pada tahun kedua hijriyah, tidak lama sebelum difardukannya jihad. Maka, member rukhshah kepada orang yang berpuasa berat dan inilah petunjuk kata “yuthiiquunahu” yang berarti dapat melakukan dengan sangat payah. Maka, Allah memberikan kemurahan ini, yaitu berbuka (yang tidak puasa) tetapi wajib memberi makan seorang miskin (untuk setiap harinya). Kemudian mereka dirangsang untuk melakukan kebajikan di dalam memberi makan orang-orang miskin ini secara mutlak, mungkin dengan memberi kabajikan yang selain fidyah. Mungkin dengan memberikan tambahan dari batas fidyah, misalnya dengan memberi makan kepada dua orang, tiga orang atau lebih untuk setiap hari puasa ramadhan yang ia tinggalkan. Syahid Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, hal. 203 Salamah bin al-Akwa r.a. berkata, “ketika turun ayat: wa alal ladziina yuthii quunahu fidyatun thaamu miskin, siapa ingin tidak berpuasa boleh asalkan memberi makan kepada seorang miskin, dan ketika turun ayat lanjutannya: faman syahida minkumusy syahra falyashumhu, maka dimansukhkan dan diharuskan berpuasa bagi orang yang kuat, muda, dan sehat.” Ibnu Abbas berkata, “mansukh bagi pemuda yang sehat dan kuat dan tetap bagi orang tua yang sudah tidak kuat puasa.” Ibnu Umar juga menyatakan bahwa ayat 184 di mansukhkan oleh ayat 185. Ibnu Abi Laila berkata, “saya masuk ketempat Atha’ di bulan ramadhan sedang ia makan, lalu Ibnu Abbas berkata, “ayat 185 memansukhkan ayat 184 kecuali bagi orang tua yang tidak sanggup berpuasa maka boleh membayar fidyah untuk tiap hari member makan seorang miskin.” Halim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier, hal. 315-316 “Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya.” Artinya ketika mengqadha puasa itu, maka dilebihkannya jumlah puasa qadhanya dari puasa yang tidak ditunaikannya. Menurut Ibnu Syihab, “selain dari mengqadha itu, hendaklah dia memberi makan.” Menurut Mujahid, “dilebihkannya makanan yang wajib dibayarnya itu, lebih dari satu mudd.” Syekh. H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al- Ahkam, cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 37 “Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” Karena di dalam puasa terdapat sesuatu yang lebih baik dalam hal ini, yang diantaranya tampak bagi kita unsur pendidikan terhadap iradah, Kemauan untuk menguatkan ketabahan, dan lebih mementingkan ibadah kepada Allah daripada beristirahat. Semua ini merupakan unsur-unsur yang dituntut di dalam pendidikan islam. Tampak juga bagi kita bahwa didalam berpuasa terdapat nilai tambah dalam aspek kesehatan bagi yang tidak sakit, meskipun ia merasakan puasa itu berat. Syahid Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, hal. 204 Adapun orang sehat dan kuat puasa maka untuknya boleh berpuasa atau membayar fidyah jika tidak berpuasa untuk tiap harinya memberi makan kepada seorang miskin, dan jika memberi makan lebih daripada seorang maka itu lebih baik, dan bila ia berpuasa itu lebih utama. Halim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier, hal. 313 Kesimpulan ayat 184 tetap mansukh terhadap orang kuat, sehat, dan tidak musafir, adapun terjadap orang tua yang tidak kuat puasa boleh membayar fidyah memberi makan tiap hari pada seorang miskin. Sebab baginya tidak ada harapan untuk biasa kuat kembali. Anas r.a. ketika telah tua tidak berpuasa dan memberi makan untuk tiap hari seorang miskin, bahkan ia membuat roti kuah dan mengundang 30 orang miskin, untuk membayar fidyah bagian 30 hari. Adapun terhadap wanita hamil dan menyusi tidak khawatir atas dirinya atau anaknya, maka dalam hal ini para ulama berbeda. ada yang mengatakan boleh tidak berpuasa tetapi harus qadha dan membayar fidyah. Ada pendapat yang mengatakan harus membayar fidyah tanpa qadha. Ada pendapat yang mengahruskan qadha tanpa fidyah. Halim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier, hal. 316 Surah Al-Baqarah ayat 185 185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. Makna Mufradat شهر رمضان : menurut akhfasy kalimat ini menjadi rofa’ karena menafsiri lafadz أياماً . رمضان berasal dari kata الرّمض, yang berarti panas. Dinamakan ramadlan karena membakar dosa-dosa. الذي أُنزل فيه القرآن : yang mana al-qur’an diturunkan pada bulan itu, mengenai hal ini ada 3 pendapat, menurut ibnu abbas yaitu ketika alqur’an turun secara sekaligus dari baitul izzah menuju langit dunia itulah yang dinamakan lailatul qadar. Menurut mujahid dan dhohak yaitu turunnya alqur’an bersamaan dengan diwajibkannya puasa. Sedangkan menurut ibnu ishaq dan abu sulaiman ad-dimasyqi adalah yang dinamakan awal diturunkannya al-qur’an ketika ia disampaikan kepada nabi Muhammad SAW. هُدًى لّلنَّاسِ : memberi petunjuk dari kegelapan, dibaca nashob karena menjadi hal. Ayat ini menjelaskan bahwa turunnya al-qur’an telah memberi petunjuk manusia kepada kebenaran. وبينات مِّنَ الهدى وَالْفُرْقَان : kalimat ini disebutkan setelah هُدًى لّلنَّاسِ , menunjukkan bahwa Allah menjelaskan beberapa petunjuk yang Dia berikan melalui wahyu yang telah diberikan kepada utusannya, melalui kitab-kitab-Nya, yang disana telah dijelaskan antara yang haq dan bathil, antara petunjuk dan kesesatan. Menurut jalalain huda yang kedua menunjukkan hukum-hukum yang haq. فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ : yaitu orang yang menyaksikan, hadir dan muqim pada bulan itu, tidak sedang musafir. الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ : الشَّهْر dibaca nashob karena berkedudukan sebagai dhorof, sedangkan فَلْيَصُمْهُ (ha’nya) tidak berkedudukan sebagai maf’ul bih tetapi sebagai dhorof. يريد الله بكم اليسر : Imam Ibnu `Abbas, Mujahid, Qotadah, dan imam Dhohak berpendapat bahwa kemudahan itu dimaksudkan untuk mereka yang berada diperjalanan karena sulitnya berpuasa dalam perjalanan tersebut. Sedangkan menurut `Umar bun Abdul `Aziz mengatakan bahwah hal tersebut lebih memudahkan untuk melakukan puasa atau tidak.hal ini senada dengan tafsiran imam baidhowi yang mengatakan bahwa “Allah memberikan kemudahan dan tidak menyusahkan. Oleh karenanya boleh untuk tidak berpuasa bagi orang yang ada berada d perjalanan artau bagi orang yang sakit. ولتكملوا العدة : imam ibnu katsir, nafi` inbu `amir, hamzah dan kisa`i membaca sukun kafnya untuk meringankan, sedangkan abu bakar riwayat `ashim dengan membaca tasydid huruf mimnya. Imam ibnu Abbas menafsirkan perintah menyempurnakan pada bilangan puasa yang telah ditinggalkannya. Begutu juga imam yang lain menegaskan bahwa menyempurkan bilangan bukan berarti menambahkan atau memindah pada waktu yang lain yang telah diwajibkan. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Dalam aisaru tafasir dijelaskan bahwa mengqodho` berarti menyempurnakan bilangan ramadhan. ولتكبروا على ما هداكم : perintah mengagungkan Allah tersebut dilakukan ketika telah ,menyempurnakan puasa dimulai dari terlihatnya hilal hingga pulang selesai dari sholat `id. Takbir(mengagungkan Allah) tersebut memang telah disyari`atkan yangmana didalamnya terkandung pahala. ولعلكم تشكرون : puasa yang diwajibkan serta sunnah untuk mengagungkan tersebut diharapkan menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang bersyukur atas ni’mat-Nya, karena sesungguhnya bersyukur adalah bagian dari sebuah keta`atan. Penafsiran Ayat Ayat inilah yang mewajibkan berpuasa dan menghapus keringanan berbuka, dan membayar fidyah bagi orang yang sehat dan tidak sedang bepergian, selain laki-laki dan perempuan yang tua renta, sebagaimana dijelaskan diatas. Syahid Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, hal. 204 “Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” Yakni seorang muslim yang menetap tinggal dalam suatu negeri dan dalam keadaan sehat, wajib mengerjakan puasa apabila bulan ramadhan telah datang, baik dia bermaksud akan mengadakan perjalanan pada hari itu atau tidak. Menurut jumhur ulama, kalau kebetulan dia mengadakan perjalanan pada hari itu, tidaklah wajib dia meneruskan puasanya. Syekh. H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al- Ahkam, hal. 38 Karena nash ini bersifat umum maka kembali dikecualikan darinya orang yang sakit atau bepergian, “Dan, barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari lain.” Rangsangan ketiga untuk menunaikan kewajiban ini, dan dijelaskannya kasih sayang Allah dalam member tugas dan rukhshah ini, Syahid Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, hal. 205 “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” Maksudnya ialah segala sesuatu yang diwajibkan oleh agama itu tidaklah untuk memberikan kesukaran, melainkan kelapangan atau kemudahan. Syekh. H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al- Ahkam, hal. 39 Nabi Muhammad saw. Bersabda kepada Muaz ketika hendak mengutusnya ke Yaman, يَسِّرَاوَلاَتُعَسِّرَاوَبَسِّرَاوَلاَتُنَفِّرَا “Berilah kelapangan dan janganlah kamu persukarkan, dan gembirakanlah dan janganlah kamu carai-baraikan!” HR. Bukhari, Muslim Ini merupakan kaidah paling besar di dalam tugas-tugsa yang dibebankan akidah islamiah ini secara keseluruhan, yaitu “memberikan kemudahan dan tidak mempersulit.” Hal ini memberikan kesan kepada hati yang merasakannya tentang adanya kemudahan di dalam menjalankan kehidupan ini secara keseluruhan, dan mencetak jiwa yang muslim dengan cetakan khusus yang berupa kelapangan jiwa, tidak memberatkan diri, dan tidak mempersukar. Suatu kelapangan yang menyertai setiap taklif, Tugas setiap kewajiban, dan setiap aktivitas kehidupan yang serius, seakan-akan mengalirkan air yang mengalir dan menumbuhkan pohon ketinggian dengan tenang, penuh percaya diri, dan dengan rela hati. Dan seantiasa disertai perasaan adanya rahmat atau kasih saying Allah dan kehendak-Nya terhadap kemudahan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, dan tidak menghendaki kesukaran. Diwajibkannya berpuasa bagi musafir dan orang sakit (yang berbuka) supaya mengqadhanya pada hari-hari lain, agar orang yang dalam kesulitan ini nanti dapat menyempurnakan puasa bulan ramadhan yang ditinggalkannya itu, sehingga ia tidak terluput dari pahalanya, Syahid Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, hal. 205 “Dan, hendaklah kamu mencukupkan bilangannya.” Yaitu hitungan sebulan itu, baik dia 29 hari maupun 30 hari. Dan jika ketinggalan beberapa hari karena sakit atau karena musafir itu, sempurnakanlah hitungan hari yang ketinggalan itu pada hari yang lain. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ II, cet. Ke-3, (Jakarta: Pustaka Panjimas,1983), hal. 98 Puasa yang demikian ini merupakan nikmat yang patut diucapkan takbir untuknya dan disyukuri, “Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,” Artinya ialah supaya kamu mengucapkan takbir, yaitu lafaz, “Allahu Akbar, Allahu Akbar” setelah mengerjakan puasa ramadhan. Menurut keterangan sebagian ulama, waktu mengucapkan takbir itu mulai dari malam berbuka, yaitu sejak melihat atau memandang bulan (hilal) sampai waktu khotbah. Syekh. H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al- Ahkam, hal. 39 Menurut Malik, “sejak imam keluar dari rumahnya samapi ke tempat salat.” Abu Hanifah mengatakan, bahwa takbir itu hanya pada hari raya raya adha, tidak pada hari raya fitri. Syafi’I berkata, “sejak malam hari raya sampai imam mengerjakan salat, baik hari raya fitri maupun hari raya adha.” Telah meriwayatkan Said bin Mansur dari Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Mas’ud, bahwa takbir itu dengan ucapan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, La ilaha illallah wa lillahil hamd.” Syekh. H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al- Ahkam, hal. 39 “supaya kamu bersyukur.” Semoga kamu dapat mensyukuri nikamat Allah, menunaikan kewajibannya dan meninggalkan larangan-Nya. Halim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier, hal. 320 Inilah salah satu tujuan kewajiban puasa ini, yaitu menimbulkan perasaan dan kesadaran orang-orang yang beriman terhadap petunjuk yang dimudahkan Allah bagi mereka, yang lebih banyak mereka rasakan pada waktu berpuasa dari pada waktu-waktu yang lain. Mereka mengandalikan hati memikirkan maksiat dan menahan anggota tubuhnya agar tidak melakukannya. Mereka merasakan sentuhan dan rabaan petunjuk itu. Karena itu hendaklah mereka mengagungkan Allah atas pentunjuk-Nya yang telah diberikan kepada merka dan supaya bersyukur kepada-Nya atas nikmat-Nya ini. Dan supaya hati mereka kembali kepada-Nya dengan ketaatan ini sebagaimana yang difirmankannya pada awal tentang pembicaraan puasa ini, yaitu “supaya kamu bertaqwa.” Syahid Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, hal. 205 Rukun Puasa Mayoritas ahli fiqh menetapkan dua macam yang menjadi rukun puasa, yaitu: Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Niat. Yang dimaksud dengan niat adalah kehendak atau berkeinginan untuk mengerjakan puasa pada esok harinya, dengan sadar dan sengaja yang dilakukan sebelum terbit fajar. Dalam ajaran islam kedudukan niat didalam setiap perbuatan amatlah penting. Syarat Puasa Dalam syarat puasa ini terbagi menjadi dua syarat, yaitu syarat wajib dan syarat sahnya, antara lain : Syarat wajib puasa : Islam Balig Berakal Mampu berpuasa Mengetahui wajibnya puasa Sehat Syarat sahnya puasa : Orang yang waras Bersih dari haid dan nifas Sesuai dengan waktu yang ditentukan berpuasa niat Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam, (Jakarta : Prenada Media, 2003), hal. 216 Hal-hal yang membatalkan puasa Adapun hal-hal yang membatalkan puasa dan wjib meng-qadha nya adalah: Makan dan minum dengan sengaja. Muntah dengan sengaja. Haid dan nifas. Keluar mani dengan sengaja (Karena bersentuhan dengan perempuan dan lainnya). Gila. Sedangkan yang termasuk hal-hal yang membatalkan puasa dan mewajibkan qadha dan kafarat menurut jumhur fukaha hanyalah melakukan hubungan seksual disiang hari ramadhan. Zainudin, FIQIH IBADAH, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hal. 160-162 Hikmah Puasa Dalam islam tidak ada ibadah yang diperintahkan Allah SWT yang tidak mengandung hikmah. Puasa sebagai ibadah menahan makan dan minum serta hubungan seksual dan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, mengandung hikmah bagi yang melaksanakannya. Ibadah puasa, menurut Zakiyah Daradjat, mengandung hikmah terhadap rohani dan jasmani manusia. Hikmah terhadap rohani antara lain aialah melatih rohani agar disiplin mengendalikan dan mengontrol hawa nafsu agar tidak semena-mena memunculkan keinginannya. Puasa mengekang hawa nafsu dengan dengan mengharamkan memakan dan meminum harta miliknya yang tersedia serta melarang menggauli istrinya yang sah disiang hari meskipun nafsunya sudah bergelora untuk menikmatinya. Sebab, bila nafsu dibebaskan tanpa kendali manusia akan menjadi budak hawa nafsu iti sendiri, bila hal itu terjadi maka rohani manusia akan hancur. Yang selanjutnya yaitu hikmah jasmani, ialah bahwa puasa dengan menahan makan dan minum, disamping membangun kekuatan dan ketahanan rohani juga mempertinggi kekuatan dan ketahan jasmani, karena umumnya penyakit yang menghinggapi tubuh manusia itu bersumber dari perut yang menampung semua apa yang dimakan dan diminum. Zainudin, FIQIH IBADAH, hal. 153-153 Hikmah puasa yang lainya adalah sebagai berikut: Tanda terima kasih kepada Allah, karena semua ibadah mengandung arti terimakasih atas nikmat pemberian-Nya yang tidak terbatas banyaknya Didikan kepercayaan. Didikan belas kasihan terhadap fakir miskin. Sulaiman Rasyid, FIQIH ISLAM, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), hal. 243 Dengan puasa seseorang bisa mencegah keinginan hawa nafsunya. Puasa mendidik manusia agar ikhlas dalam beramal atau menjalankan perintah Allah. Puasa dapat mendidik manusia supaya berlaku jujur dalam melaksanakan amanah. Puasa menjadikan manusia hidup seimbang dan adil antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, jasmani dan ruhani dan menjauhkan manusia dari sifat rakus (tamak). Puasa membiasakan seseorang untuk takut melanggar hukum-hukum Allah baik dalam keadaan sunyi maupun ramai, sendirian maupun bersama orang banyak. Puasa dapat mengendalikan gejolak syahwat dan dapat menjadikan jiwa seseorang tenang dalam menyikapi dan menghadapi berbagai persoalan hidup. Puasa dapat melatih diri orang beriman untuk memupuk rasa kasih sayang kepada sesama manusia. Puasa dapat menciptakan persamaan sosial (musawah ijtima’iyyah) di dalam masyarakat, sehingga tidak ada perbedaan status antara orang kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, semua berkedudukan sama di depan Allah, yang membedakannya adalah nilai taqwa. Puasa mendidik kedisiplinan dalam melaksanakan syari’at atau hukum Allah. Puasa dapat membuat manusia sehat jiwa dan raga serta menormalkan fungsi anatomi dan metabolisme tubuh. Puasa dapat mendidik manusia menjadi hamba Allah yang sabar, karena puasa adalah separuh kesabaran Kesimpulan Dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan, yaitu : Dalam surah al-baqarah ayat 183 berisi tentang kewajiban menjalankan puasa sebagaimana umat sebelumnya dengan tujuan untuk menjadi manusia yang bertaqwa. Surah al-baqarah ayat 184 berisi tentang di bolehkannya meninggalkan puasa bagi orang sakit atau dalam perjalanan, dan diganti dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Surah al-baqarah ayat 185 berisi tentang kewajiban menjalankan puasa ramadhan. Serta mengganti puasa yang di tinggalkan bagi orang yang tidak sakit dan tidak dalam bepergian yang tidak berpuasa. DAFTAR PUSTAKA Asrori, 2012. Tafsir Al-Asraar jilid I, cet. Ke-1, Yogyakarta: Daarut Takdiid. Bahreisy, Halim dan Said Bahreisy, 1987, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier, cet. Ke-2, Surabaya: PT. Bina Ilmu. Hamka. 1983, Tafsir Al-Azhar Juzu’ II, cet. Ke-3, Jakarta: Pustaka Panjimas. Hasan , Abdul Halim. 2006, Tafsir Al- Ahkam, cet. Ke-1, Jakarta: Kencana. Quthb, Syahid Sayyid, 1992, Fi Zhilalil-Qur’an, Beirut: Darusy-Syuruq. diterjemahkan oleh As’ad Yasin, dkk. 2000, Tafsir Fi Zhilalil Qua’an di Bawah Naungan Al-Qur’an (Surah Al-Faatihah – Al-Baqarah) Jilid I, Jakarta: Gema Insani Press. Rasyid, Sulaiman. 1994, FIQIH ISLAM, Bandung: Sinar Baru Algensindo. Raya, Ahmad Thib dan Siti Musdah Mulia, 2003. Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam, Jakarta : Prenada Media. Zainudin, 1997, FIQIH IBADAH, Jakarta: Gaya Media Pratama. 20