Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
1 Pendahuluan Ketika membicarakan mengenai kajian Hubungan Internasional, tidak dapat dipungkiri bahwa negara merupakan suatu unsur penting yang tidak dapat terlepas dari kajian tersebut. Dalam Ilmu Hubungan Internasional, negara dianggap sebagai aktor utama dalam interaksi yang mewarnai dinamika hubungan internasional. Keutamaan peran negara sebagai aktor dalam praktik hubungan internasional ini semakin didukung oleh pendekatan tradisionalis yang melihat negara sebagai aktor uniter dan satu-satunya entitas yang diakui dalam aktivitas hubungan internasional. Seiring berjalannya waktu, kajian Ilmu Hubungan Internasional memang berkembang dan memungkinkan munculnya pengakuan akan aktor-aktor baru selain negara. Namun demikian, nyatanya keutamaan negara sebagai aktor masih tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Walaupun aktoraktor baru lainnya turut berpartisipasi dalam aktivitas hubungan internasional, negara tetap masih menjadi aktor utama. Keutamaan negara sebagai aktor dalam kajian Hubungan Internasional ini menunjukkan bagaimana negara merupakan aktor penting dalam kajian tersebut. Hal ini menunjukkan pula bahwa mempelajari negara merupakan suatu hal yang penting dan diperlukan untuk dapat memahami lebih jauh mengenai realitas hubungan internasional yang terjadi. Mempelajari mengenai negara ini juga dapat memberikan gambaran mengenai karakteristik aktivitas dan hubungan yang terjadi. Hubungan internasional seringkali juga dilihat sebagai sebuah arena struggle for power yang dilakukan oleh negara-negara di dunia dalam struktur internasional yang anarki. Anarki yang dimaksud di sini adalah sebuah kondisi di mana tidak adanya power yang absolut dan lebih besar dari negara (state) yang dapat mengatur keseluruhan sistem internasional. Dalam kondisi anarki, tidak ada pemerintahan pusat yang berdaulat yang dapat mengatur jalannya sistem internasional, dan hal ini disebabkan oleh peran negara yang merupakan aktor utama dan tidak ada power yang lebih besar dari apa yang dimiliki oleh negara.1 Terkait dengan keutamaan negara ini, konsep power dan national interest pun 1 Ma ti G iffiths da Te Routledge, 2004), 2-3. O Callagha , International Relations: The Key Concepts (New York: Universitas Indonesia 2 menjadi konsep-konsep sentral dan dijadikan fokus dalam mengkaji Hubungan Internasional. Dalam struktur internasional, negara-negara berinteraksi antara satu sama lain demi pencapaian akan power dan kepentingan nasionalnya. Hingga pada masa Perang Dingin, praktik hubungan internasional masih diwarnai dengan keutamaan negara dengan power serta kepentingan nasionalnya. Seperti yang diketahui bahwa masa Perang Dingin merupakan masa di mana aktivitas hubungan internasional diisi dengan pertentangan ideologi antara demokrasi liberal seperti yang dijunjung oleh Amerika Serikat, dengan sosialiskomunis yang diusung oleh Uni Soviet. Dalam masa ini, dunia internasional menjadi saksi bagaimana kedua negara ini berusaha menggunakan power-nya untuk memengaruhi negara-negara lainnya dan menanamkan ideologinya sebagai bentuk dari kepentingan nasionalnya demi pencapaian power yang lebih besar lagi. Namun demikian, berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan runtuhnya imperium Uni Soviet menjadi sebuah titik penting yang menjadi suatu fenomena transformatif dalam hubungan internasional. 2 Runtuhnya Uni Soviet ini merupakan awal perubahan warna kajian Hubungan Internasional dan dengan demikian menandai berakhirnya perang dingin yang diwarnai dengan pertentangan ideologi tersebut. Perdebatan mengenai runtuhnya Uni Soviet ini memunculkan banyak pendapat. Namun demikian, akibat dari runtuhnya imperium tersebut diyakini menjadi titik awal munculnya studi identitas dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional. Dengan runtuhnya Uni Soviet, konstelasi politik internasional serta struktur internasional pun turut berubah. Hal inilah yang menyebabkan fenomena runtuhnya imperium Uni Soviet ini dianggap sebagai fenomena yang transformatif dalam hubungan internasional. Perubahan yang terjadi seiring dengan berakhirnya Perang Dingin ini di antaranya adalah munculnya aktor-aktor serta isu-isu baru. Samuel P. Huntington dalam Clash of Civilization menuliskan bahwa pada era pasca Perang Dingin, konstelasi politik tidak lagi berpusat pada pertentangan ideologi. Pembedaan antar aktor dalam struktur internasional pun tidak lagi hanya bersifat ideologis, politis, ataupun ekonomis. Pada masa itu, aktor-aktor 2 Latha Va ada aja , Co st u ti is , Ide tit a d Neoli e al I se u it , Review of International Studies, 30, 3, 2004, 320. Universitas Indonesia 3 dihadapkan pada pertanyaan dasar mengenai diri mereka, yaitu siapa dan apa mereka sebenarnya. 3 Hal itu mengindikasikan bahwa aktor-aktor dalam hubungan internasional pada masa itu, yang didominasi oleh eksistensi negara, mulai berusaha mendefinisikan siapa dirinya sebenarnya. Aktor-aktor dalam hubungan internasional dihadapkan dengan masalah identitas dan bagaimana membentuk dan menjaga identitas tersebut. Masalah identitas yang mencuat pasca Perang Dingin sangatlah beragam. Sejak masa itu, wacana serta studi mengenai identitas pun sangat beragam. Dalam hal ini, identitas yang muncul pun beragam serta memiliki banyak jenis, hal ini juga dipengaruhi dengan munculnya aktor-aktor baru pasca Perang Dingin seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan berakhirnya Perang Dingin, aktor-aktor serta isu-isu baru pun muncul, salah satunya adalah isu mengenai identitas. Namun demikian, tidak dapat dihindari bahwa struktur internasional bergeser dan negara yang masih menjadi aktor utama dalam hubungan internasional pun memiliki tantangantantangan yang baru pula dalam hubungan internasional demi menjaga survivability-nya. Dalam hal ini, bukan berarti konsep power yang sebelumnya sentral menjadi hilang, namun pasca Perang Dingin, power semakin dipahami memiliki berbagai dimensi, dan bukan semata-mata hanya mengenai kapabilitas militer. Pengelompokkan negara pada masa itu tidak lagi berdasarkan tiga blok yang eksis selama Perang Dingin seperti blok barat, blok timur, dan non blok, namun bagi Huntington pada era pasca Perang Dingin pengelompokkan negara yang terbentuk lebih didorong pada peradaban yang ada di dunia atas dasar agama, bahasa, sejarah, nilai, adat, dan institusi. 4 Negara mulai mencari dan membentuk identitasnya dengan berusaha memahami siapa dirinya melalui pemahaman apa yang bukan kita (who we are not) dan seringkali melalui pemahaman siapa yang menjadi lawan kita (whom we are against).5 Dengan demikian, pasca usainya Perang Dingin, aktor-aktor dalam hubungan internasional yang dalam hal ini termasuk negara mulai mencari serta membentuk identitasnya serta mengindikasikan munculnya studi mengenai identitas dalam kajian 3 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (London: Penguin Books Ltd, 1996), 21. 4 Ibid. 5 Ibid. Universitas Indonesia 4 Hubungan Internasional. Periode ini juga menandakan terbentuknya tatanan dunia serta kondisi struktur internasional yang baru. Munculnya studi tentang identitas sejak saat itu, seiring berjalannya waktu, dilihat semakin signifikan dalam Ilmu Hubungan Internasional. Identitas pun memiliki berbagai jenis, seperti identitas agama, etnis, kultural, dan lain sebagainya. Namun demikian, keutamaan negara sebagai aktor dalam aktivitas internasional menjadi topik yang penulis angkat pada literature-review ini. Literature-review ini membahas mengenai identitas pada negara dengan mengangkat pertanyaan permasalahan “Bagaimanakah identitas pada suatu negara dalam hubungan internasional dapat terbentuk?”. Untuk menjawab pertanyaan permasalahan tersebut, penulis mengumpulkan literatur-literatur yang relevan mengenai pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional. Literatur-literatur yang telah berhasil dikumpulkan ini disarikan dan dirangkaikan sedemikian rupa hingga membentuk suatu tulisan yang padu serta diharapkan dapat menjawab pertanyaan permasalahan yang diajukan. Dalam memilih literatur, penulis mencari buku maupun jurnal yang di dalamnya mengandung penjelasan mengenai identitas dan bagaimana atau melalui apa negara membentuk identitasnya dalam lingkup hubungan internasional. Literatur yang telah ditemukan pun disusun sesuai dengan kategorisasi yang memungkinkan. Dalam hal ini, penulis menggunakan berbagai literatur yang tersebar dalam studi-studi seperti Hubungan Internasional, Politik, dan Sosiologi. Penulis mendapatkan jawaban dari pertanyaan permasalahan tersebut dalam literatur-literatur dalam ketiga studi tersebut, di mana penjelasan dari setiap studi menyediakan pendekatan yang berbeda terkait pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional ini. Literatur-literatur ini disusun untuk berusaha menjelaskan bagaimana identitas suatu negara dapat terbentuk dalam konteks hubungan internasional. Pada penyusunan Tugas Karya Akhir yang berbentuk literature-review ini, tulisan ini diawali dengan bagian pendahuluan yang di dalamnya mengandung latar belakang permasalahan, pertanyaan permasalahan, metodologi penulisan, dan struktur penulisan. Selanjutnya, tulisan ini akan menjelaskan pemahaman mengenai identitas, serta mengenai identitas pada negara untuk memberikan Universitas Indonesia 5 pemahaman awal mengenai permasalahan yang diangkat serta signifikansinya dalam ilmu maupun praktik hubungan internasional. Kemudian, tulisan ini akan dilanjutkan dengan pembahasan mengenai jawaban yang dibagi menjadi dua kategori besar yaitu faktor internal pembentuk identitas pada negara dan faktor eksternal pembentuk identitas pada negara. Dalam pembahasan mengenai faktor internal pembentuk identitas, pembahasan dibagi menjadi dua bagian, yaitu pembahasan mengenai faktor-faktor esensial dan faktor-faktor turunan yang juga memengaruhi pembentukan identitas. Kemudian, pembahasan akan dilanjutkan dengan memaparkan faktor eksternal pembentuk identitas pada negara. Selanjutnya tulisan ini akan dilengkapi pula dengan analisis dan penulis terkait literatur yang ditemukan. Pada bagian akhir, tulisan ini diakhiri dengan penarikan kesimpulan oleh penulis untuk dapat menjawab pertanyaan permasalahan yang diajukan sebelumnya. Universitas Indonesia 6 Identitas dan Identitas pada Negara Untuk mengawali tulisan ini, akan dibahas mengenai identitas dan juga identitas pada negara untuk memberikan pemahaman awal mengenai permasalahan yang diangkat. Dalam bagian ini, akan dipaparkan beberapa definisi dari berbagai literatur terkait identitas. Selain itu, penulis juga akan memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai identitas pada negara untuk dapat memberikan pemahaman mengenai identitas pada negara seperti apa yang akan dibahas dalam tulisan ini. Dalam bagian ini pula akan disampaikan signifikansi dari identitas pada negara dalam ilmu serta praktik hubungan internasional untuk mengantarkan tulisan ini pada bagian pokok dari tulisan ini, yaitu mengenai bagaimana identitas pada negara dalam hubungan internasional dapat terbentuk.  Identitas Pada dasarnya tidak terdapat definisi yang pasti dari identitas, namun Jenkins dalam tulisannya menyebutkan bahwa identitas merujuk pada bagaimana individu ataupun sebuah kolektivitas dibedakan dalam hubungan sosialnya dengan individu maupun kolektivitas lainnya. 6 Identitas juga dapat pula dipahami sebagai sebuah pemahaman akan peran spesifik dan ekspektasi akan seseorang yang relatif stabil7, seperti yang dikemukakan oleh Wendt. Hal ini menunjukkan bahwa identitas menyediakan pemahaman dan definisi mengenai siapa aktor tersebut. Lebih jauh lagi, Kowert dan Legro juga menyebutkan bahwa identitas merupakan pedoman atau petunjuk representasi bagi aktor politik mengenai dirinya dan mengenai hubungannya dengan satu sama lain. 8 Apa yang dikemukakan oleh para penulis ini menunjukkan bahwa identitas merujuk pada seperangkat pemahaman yang terdapat pada individu maupun kolektif yang mendefinisikan peran, ekspektasi, serta petunjuk 6 Richard Jenkins, Social Identity (London: Routledge, 1996), 4. Ale a de We dt, A a h is What “tates Make of It , International Organization, 46, 1992, 397. 8 Paul Ko e t da Jeff e Leg o, No s, Ide tit , a d Thei Li its , dalam The Culture of National Security, ed. Peter Katzenstein (New York: Columbia University Press, 1996), 453. 7 Universitas Indonesia 7 mengenai dirinya. Identitas juga menyediakan pemahaman terkait hubungannya antara satu sama lain. Identitas dalam hal ini juga bersifat multidimensional. Hal ini dikarenakan identitas merupakan hal yang terkonstruksi secara kontekstual. Individu ataupun sebuah kolektif dapat memiliki banyak identitas dan beragam peran yang menyertai identitas tersebut.9 Beragamnya identitas yang dapat dimiliki oleh suatu aktor ini didorong oleh banyaknya variasi konteks di mana identitas bekerja. Identitas juga sangat kental dengan unsur pemberian makna. Dalam hal ini, bagaimana suatu aktor memahami identitasnya sangat dipengaruhi dengan bagaimana identitas tersebut diberikan makna. Makna yang dimiliki oleh identitas ini pada akhirnya juga menjadi basis yang menggerakkan identitas dalam menentukan kepentingan dan tindakannya. Keterkaitan identitas dan makna ini juga dikemukakan oleh Manuel Castells yang menyebutkan bahwa identitas merupakan sumber dari makna dan pengalaman yang dimiliki oleh suatu aktor.10 Castells lebih jauh mengemukakan bahwa ketika kita berbicara tentang identitas, maka kita berbicara mengenai aktor sosial yang mana di dalamnya terdapat proses pengkonstruksian makna akan atribut norma dan kultural. 11 Castells juga memahami bahwa pada dasarnya identitas ini memiliki beragam dimensi dan sangat kontekstual, bergantung pada dalam konteks apa identitas sedang dimaksudkan dan diproyeksikan.  Identitas pada Negara Seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, identitas juga memiliki berbagai jenis, seperti identitas agama, etnis, kultural, organisasi, individu, negara, dan lain sebagainya. Pada literature-review ini, ketertarikan penulis akan keutamaan peran negara sebagai aktor dalam hubungan internasional mendorong penulis untuk memfokuskan pembahasan pada 9 Craig Calhoun, Social Identity and the Politics of Identity (Oxford: Blackwell Publisher, 1994), 936. 10 Manuel Castells, The Power of Identity (Chicchester:Wiley–Blackwell, 2010), 5-70. 11 Ibid. Universitas Indonesia 8 identitas yang dimiliki oleh negara. Identitas pada negara yang menjadi fokus utama dalam literature-review ini pada dasarnya merujuk pada identitas negara sebagai aktor dalam hubungan internasional. Dengan demikian, identitas yang akan dibahas ini merupakan identitas yang melekat pada negara dan merujuk pada bagaimana suatu negara pada akhirnya dikenal. Terkait dengan hal ini, identitas pada negara berbeda dengan apa yang disebut sebagai identitas nasional. Hal ini dikarenakan, ketika membicarakan mengenai identitas nasional, kita membahas mengenai identitas yang melekat pada bangsa di dalam negara tersebut. Hal ini dengan demikian, merujuk pada apa yang dikemukakan oleh Maxym Alexandrov, terbatas pada apa yang terkandung dan terbentuk di dalam bangsa dan negara saja tanpa memperhatikan apa yang terjadi di luar bangsa dan negara tersebut. 12 Dengan demikian, identitas pada negara yang akan dibahas di dalam tulisan ini merupakan identitas yang melekat pada negara yang pada akhirnya dapat memengaruhinya untuk dapat dipahami sebagai aktor dalam hubungan internasional. Fenomena berakhirnya Perang Dingin telah memperlihatkan bahwa identitas memiliki peranan yang penting dalam kajian Hubungan Internasional. Identitas dapat memengaruhi konstelasi politik internasional dan identitas menjadi salah satu unsur yang berusaha didefinisikan oleh suatu negara. Negara-negara di dunia memiliki kebutuhan untuk mengidentifikasi dirinya dan untuk memiliki identitas yang distinct sebagai sebuah entitas dalam tatanan dunia internasional. Hal ini jugalah yang dikemukakan oleh Roger Brubaker dan Frederick Cooper dalam “Beyond Identity” yang menyebutkan bahwa identitas negara yang merupakan identitas kolektif memiliki kebutuhan untuk menjadi kelompok yang distinct, terikat, dan meliputi rasa solidaritas dan kesatuan dengan anggota kelompok lainnya dan merasa berbeda dari apa yang bukan merupakan bagian dari kelompok tersebut.13 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada dasarnya struktur internasional terbentuk dari berbagai negara yang masing-masing di dalamnya Ma Ale a d o , The Co ept of “tate Ide tit i I te atio al ‘elatio s: A Theo eti al A al sis , Journal of International Development and Cooperation, 10, 1, 2003, 39. 13 ‘oge s B u ake da F ede i k Coope , Be o d Ide tit , Theory and Society, 29, 2000, 19. 12 Universitas Indonesia 9 berusaha membentuk identitasnya sendiri dan membedakan sekaligus mencari kesamaan antara dirinya dengan identitas lainnya di saat yang bersamaan. Apa yang terjadi pada masa pasca Perang Dingin menunjukkan signifikansi identitas dengan menjadi salah satu unsur yang dapat memengaruhi kondisi konstelasi politik internasional. Mempelajari mengenai identitas sebuah negara dengan demikian pun menjadi suatu hal yang perlu dilakukan. Konsep identitas sendiri pun dianggap akan berdampak signifikan serta berguna dalam kajian Hubungan Internasional. Ted Hopf dalam “The Promise of Constructivism in International Relations Theory” mengemukakan bahwa identitas merupakan hal yang penting untuk memastikan paling tidak tingkatan minimal mengenai prediktabilitas dan tatanan dunia. 14 Ekspektasi di antara negara membutuhkan identitas yang intersubjektif untuk dapat memastikan pola perilaku yang dapat diprediksikan. Bagi Hopf, dunia tanpa identitas berarti a world of chaos yang di dalamnya tidak terdapat kepastian, sehingga dapat menciptakan kondisi dunia yang berbahaya. 15 Identitas sebuah negara menunjukkan preferensi negara tersebut dan aksi-aksi logisnya. Selain itu, identitas menawarkan pemahaman bagi suatu negara mengenai negara lain, sifat negara tersebut, motif, kepentingan, kemungkinan aksi, attitude, dan peran dalam konteks politik jenis apapun. 16 Apa yang dikemukakan oleh Hopf ini memperkuat poin bahwa identitas negara memiliki signifikansi yang tinggi dalam berkontribusi dan memengaruhi praktik dari hubungan internasional. Penekanan mengenai pentingnya identitas negara ini juga dikemukakan oleh Jepperson, Wendt, dan Katzenstein dalam “Norms, Identity, and Culture in National Security”. Dalam tulisannya tersebut disebutkan bahwa variasi ataupun perubahan dalam suatu identitas negara memengaruhi kepentingan ataupun kebijakan keamanan nasional dari negara tersebut. Konfigurasi dari identitas negara juga dapat memengaruhi struktur Ted Hopf, The P o ise of Co st u ti is 23, 1, 1998, 174. 15 Ibid. 16 Ibid., 175. 14 i I te atio al ‘elatio s , International Security, Universitas Indonesia 10 normatif antarnegara, seperti rezim ataupun komunitas keamanan. 17 Pernyataan-pernyataan tersebut pada dasarnya berusaha menunjukkan bahwa identitas pada negara merupakan sebuah hal yang penting. Signifikansi pemahaman mengenai identitas pada negara ini pada akhirnya juga dapat berkontribusi pada ilmu serta praktik dari hubungan internasional. Besarnya peran serta pentingnya identitas pada suatu negara dalam hubungan internasional ini menjadi latar belakang ketertarikan penulis untuk menyusun literature-review mengenai pembentukan identitas pada suatu negara dalam hubungan internasional. Dapat dipahami bahwa seiring dengan perkembangan zaman, peran serta studi mengenai identitas dalam kajian Hubungan Internasional menjadi semakin signifikan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Jika pada masa sebelumnya, identitas negara lebih dikenal melalui besar-kecilnya power yang dilihat dari kapabilitas militernya, melalui status mereka akan keterlibatannya dalam Perang Dunia I dan II, ataupun melalui keanggotaannya dalam blok politik pada Perang Dingin, maka dalam literature-review ini penulis akan membahas lebih dalam mengenai bagaimana identitas pada negara dalam hubungan internasional dapat terbentuk untuk dapat memahami hal-hal apa saja yang dapat memengaruhi pembentukan identitas suatu negara. Untuk menjawab pertanyaan permasalahan yang diajukan dalam literature-review ini, akan dipaparkan mengenai bagaimana identitas pada negara dalam hubungan internasional terbentuk serta faktor-faktor yang memengaruhinya. Pada dasarnya, melihat dari literatur yang telah dikumpulkan, dapat dipahami bahwa identitas pada negara terbentuk secara internal dan secara eksternal. Oleh karena itu, pada bagian berikutnya akan dipaparkan mengenai bagaimana faktor internal memengaruhi identitas pada negara dan akan dilanjutkan dengan pembahasan mengenai bagaimana faktor eksternal dapat pula berkontribusi pada pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional. 17 Ronald J. Jepperson, Alexander Wendt, dan Peter J. Katzenstein, "Norms, Identity, and Culture in National Security", dalam The Culture of National Security, ed. Peter J. Katzenstein (New York: Columbia University Press, 1996), 52. Universitas Indonesia 11 Faktor Internal yang Memengaruhi Pembentukan Identitas pada Negara: Esensial dan Turunan Ketika membicarakan mengenai faktor-faktor apa saja yang membentuk identitas pada suatu negara, pada dasarnya penulis-penulis dalam kajian Hubungan Internasional memiliki argumen yang beragam. Dari pembahasan yang dilakukan oleh penulis-penulis tersebut, pada dasarnya dipahami bahwa terdapat beberapa penulis yang meyakini bahwa identitas terbentuk dari dalam negara itu sendiri atau dalam hal ini disebut sebagai faktor internal. Faktor-faktor internal yang membentuk identitas pada negara dalam tulisan ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu faktor-faktor esensial dan faktor-faktor turunan yang terbentuk dari kombinasi faktor-faktor esensial tersebut. Dalam pembahasan ini juga akan dijelaskan bagaimana kedua jenis faktor tersebut pada akhirnya mampu mendorong pembentukan identitas pada negara.  Faktor-faktor esensial Pembentukan identitas suatu negara menurut beberapa penulis terjadi karena adanya faktor-faktor esensial yang berkontribusi besar. Dalam hal ini, faktor-faktor esensial yang dimaksud di antaranya adalah norma, budaya, bahasa, ide, kepercayaan (belief), dan sejarah. Pada bagian ini akan dipaparkan argumen para penulis yang menyebutkan bahwa faktor-faktor esensial tersebut merupakan unsur-unsur esensi dasar yang membentuk identitas pada suatu negara. Seluruh faktor tersebut disebutkan memiliki peran konstitutif dalam identitas negara.  Norma Norma merupakan salah satu faktor yang disebutkan sebagai unsur yang berperan besar pada pembentukan identitas pada negara. Dalam hal ini, penulis akan memaparkan bagaimana secara internal terdapat norma yang mendorong dan memengaruhi pembentukan identitias pada negara dalam hubungan internasional. Jeffrey T. Checkel menyebutkan bahwa norma merupakan pemahaman dari masyarakat secara kolektif yang Universitas Indonesia 12 memberikan klaim mengenai perilaku yang pantas pada aktor.18 Tidak hanya mengatur perilaku, efek dari adanya norma ini pada akhirnya akan membentuk identitas dan juga kepentingan. Checkel menambahkan pula bahwa norma bukan merupakan struktur yang lebih besar dari material, tetapi norma juga membantu dalam menciptakan dan mendefinisikan unsur-unsur tersebut.19 Dalam pemahaman Checkel, negara sebagai agen dan norma global sebagai struktur saling berinteraksi dan membentuk satu sama lain secara timbal balik. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa norma juga membantu agen, yang dalam hal ini adalah negara, untuk dapat mendefinisikan identitasnya. Hal yang sama dikemukakan oleh Audie Klotz. Klotz menyebutkan bahwa norma merupakan komponen fundamental dari sistem internasional dan komponen fundamental dari definisi aktor terhadap kepentingan.20 Dalam penjelasannya tersebut disebutkan pula bahwa identitas aktor negara sebagian didefinisikan oleh norma konstitutif yang beragam dan berlangsung terus-menerus seiring berjalannya waktu. Klotz kemudian juga menambahkan bahwa norma adalah institusi sosial yang merupakan produk dari interaksi antar aktor. Kemudian, identitas serta kepentingan aktor-aktor tersebut pada akhirnya dikonstruksikan dan didefinisikan oleh norma yang terproduksi dari interaksi. 21 Norma dengan demikian memiliki sebuah peran yang cukup penting dalam identitas negara, karena norma mengandung pemahaman kolektif tentang bagaimana sesuatu seharusnya dilakukan dan dilaksanakan. Oleh karena itu, norma yang terkandung dalam struktur sosial memberikan gambaran pedoman perilaku bagi aktor dalam aktivitasnya. Norma yang terbentuk pada akhirnya berpengaruh dan berkontribusi pada pembentukan identitas. Terkandungnya norma juga diungkapkan oleh Mark Blyth. Senada dengan Checkel sebelumnya, Blyth menyebutkan bahwa norma Jeff e T. Che kel, The Co st u ti ist Tu i I te atio al ‘elatio s Theo , World Politics, 50, 1998, 328. 19 Ibid. 20 Audie Klotz, Norms in International Relations: The Struggle against Apartheid (New York: Cornell University Press, 1999), 15. 21 Ibid., hlm. 19. 18 Universitas Indonesia 13 merupakan ekspektasi kolektif mengenai perilaku yang pantas di dalam suatu identitas tertentu.22 Blyth juga mempercayai bahwa norma memiliki efek konstitutif yang mendefinisikan siapa negara sebenarnya. Namun demikian, Blyth juga menambahkan bahwa dirinya melihat norma juga memiliki efek regulatif. Efek regulatif ini mendefinisikan mana dan apa saja perilaku yang pantas dalam identitas spesifik tertentu.23 Hal ini menunjukkan bahwa norma memiliki peran yang besar dalam memberikan batasan mengenai perilaku suatu negara. Serta, norma yang tertanam dan berlangsung terus menerus ini pada akhirnya akan berkontribusi dalam membentuk identitas. Efek konstitutif serta regulatif dari norma ini pada dasarnya adalah hal yang menjelaskan bagaimana norma dapat memengaruhi pembentukan identitas pada suatu negara. Lebih jauh lagi, Blyth menyatakan bahwa norma juga merupakan fungsi yang tertanam dalam budaya tertentu.24 Budaya yang di dalamnya mengandung norma-norma spesifik tertentu ini diberlakukan secara terus menerus dan memberikan kerangka identifikasi suatu identitas, termasuk identitas negara. Dengan demikian, identitas negara juga merujuk pada budaya yang berlaku di dalam sebuah komunitas tertentu di mana perilaku aktor-aktor di dalamnya diatur dan berada dalam suatu norma tertentu yang tertanam di budaya tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa norma tidak terlepas dari budaya yang berlaku, dan setiap budaya memiliki norma-norma tertentu yang diimplementasikan dalam kehidupan seharihari. Apa yang dikemukakan oleh Blyth ini mengantarkan kita pada faktor esensial selanjutnya yang dapat memengaruhi pembentukan identitas, yaitu faktor budaya.  Budaya dan habit Budaya atau kultur dianggap juga berpengaruh dalam membentuk identitas, termasuk identitas kenegaraan. Menurut Helen Spencer-Oatey, Ma k Bl th, “t u tu es Do Not Co e ith a I st u tio “heet: I te ests, Ideas, a d P og ess in Political Scie e , Perspectives on Politics, 1, 4, 2003, 695-706. 23 Ibid. 24 Ibid. 22 Universitas Indonesia 14 budaya merupakan sebuah konsep yang kompleks, namun dalam hal ini budaya dapat dipahami sebagai seperangkat asumsi dasar dan nilai-nilai, orientasi hidup, kepercayaan, kebijakan, prosedur, dan pedoman berperilaku yang dianut secara bersama oleh sekelompok orang dan memengaruhi perilaku anggota-anggotanya dan interpretasi mereka terkait makna dari perilaku orang lain. 25 Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai ide bahwa bagaimana sebuah komunitas memiliki dan menginternalisasi budaya yang sama juga merupakan faktor pendorong yang membentuk rasa kesatuan dan pada akhirnya memengaruhi identifikasi aktor sebagai sebuah negara. Jonathan M. Acuff dalam tulisannya menjelaskan bagaimana bentuk realisasi dari budaya pada akhirnya dapat memengaruhi pembentukan identitas dalam sebuah negara. Namun demikian, esensi dari tulisan yang ditulis oleh Acuff menjelaskan bahwa pada dasarnya pembentukan identitas kolektif seperti identitas negara juga diturunkan dari konten budaya yang dimiliki masyarakatnya. 26 Budaya yang diinternalisasikan dan dipraktikkan secara sehari-hari mendorong adanya identifikasi bahwa masyarakat tersebut melaksanakan dan memberlakukan budaya yang sama. Bahkan, Geert Hofstede menjelaskan bahwa budaya merupakan sebuah sistem yang mengatur pikiran masyarakat secara kolektif untuk dapat membedakan keanggotaan suatu identitas dengan identitas lainnya. 27 menunjukkan adanya Kesamaan pengimplementasian pemahaman yang serupa budaya sehingga ini dapat memunculkan rasa solidaritas yang memperkuat identifikasi dan pada akhirnya membentuk identitas kolektif tertentu, termasuk identitas pada negara. 25 Helen Spencer-Oatey, Culturally Speaking: Culture, Communication and Politeness Theory, (London: Continuum, 2008), 3. 26 Jo atha M. A uff , “pe ta le a d “pa e i the C eatio of P emodern and Modern Polities: To a d a Mi ed O tolog of Colle ti e Ide tit , International Political Sociology, 6, 2012, 132– 148. 27 Geert Hofstede, Cultures and Organizations: Software of the Mind, (London: Harper Collins Business, 1994), 5. Universitas Indonesia 15 Pemahaman mengenai budaya dalam bentuk praktik, persepsi, serta perasaan terus menerus yang menjadi habit atau kebiasaan ini juga dikemukakan oleh Ted Hopf sebagai hal yang pada akhirnya dapat memproduksi identitas.28 Bahkan Hopf juga menyebutkan bahwa hal ini dapat pula berkontribusi pada bagaimana suatu negara mempersepsikan aktor lainnya, yaitu sebagai teman atau musuh, serta bagaimana negara harus menghadapi aktor tersebut.29 Terkait hal ini, Acuff pun menjelaskan bahwa aktivitas yang menjadi habit atau kebiasaan ini juga berkontribusi dalam pembentukan identitas. Praktik atau aktivitas merupakan bentuk dari pelaksanaan budaya, karena bagi Acuff budaya bukan hanya terdiri dari sistem dan pemahaman teoretis semata, tetapi juga membutuhkan tindakan atau aksi di dalamnya. 30 Hal ini mengindikasikan bahwa tindakan yang dilakukan secara terus menerus sebagai bentuk realisasi dari budaya ini pada akhirnya membentuk pola dan mendorong terbentuknya identitas.  Belief Aktivitas atau praktik ritual yang dilakukan secara terus menerus seperti yang dijelaskan sebelumnya juga terjadi dan terbentuk karena adanya belief atau kepercayaan yang terkandung dalam budaya. Belief juga dapat dipahami sebagai kumpulan dari unsur-unsur ideasional atau gagasan yang diyakini secara bersama-sama. Unsur ideasional berupa gagasan bersama (shared ideas) ini dilihat sebagai Ronen Palan sebagai unsur penentu dalam pembentukan asosiasi masyarakat seperti identitas negara, karena menurut Palan, identitas dan kepentingan aktor dikonstruksikan oleh gagasan bersama tersebut. 31 Penjelasan ini mengindikasikan bahwa gagasan bersama akan suatu hal menciptakan belief dalam budaya masyarakat. Rasa percaya akan budaya yang berlaku dan diinternalisasikan oleh masyarakat tersebutlah yang pada akhirnya Ted Hopf, The logi of ha it i I te atio al ‘elatio s , European Journal of International Relations, 16, 4, 2010, 552. 29 Ibid. 30 Acuff, “pe ta le a d “pa e , -148. 31 ‘o e Pala , A o ld of thei aki g: a e aluatio of the o st u ti ist iti ue i I te atio al ‘elatio s , Review of International Studies, 26, 4, 2000, 576. 28 Universitas Indonesia 16 dapat mendorong terbentuknya pembentukan identitas kolektif termasuk identitas negara. Belief dalam hal ini juga memengaruhi pembentukan identitas. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Marc Lynch yang menyebutkan bahwa identitas negara merupakan seperangkat kepercayaan (belief) mengenai sifat alamiah dan tujuan dari suatu negara.32 Belief atau kepercayaan yang diyakini bersama ini dapat memunculkan pemahaman bahwa suatu komunitas berada di dalam suatu identitas yang sama. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa budaya dan seluruh unsur yang terkandung di dalamnya, termasuk belief, merupakan salah satu faktor esensial yang memengaruhi pembentukan identitas pada negara.  Bahasa Faktor esensial dalam pembentukan identitas pada negara selanjutnya adalah bahasa. Penggunaan bahasa dianggap dapat menjadi faktor pemersatu yang dapat mendukung pembentukan identitas kolektif seperti identitas negara. Hal ini dikemukakan oleh Patricia M. Goff dan Kevin C. Dunn. Disebutkan bahwa kemampuan kolektif dalam membentuk identitas tidak hanya didorong oleh fakta bahwa individuindividu di dalamnya menempati teritori atau wilayah yang sama. Goff dan Dunn melihat bahwa pembentukan identitas kolektif negara lebih didorong oleh fungsi penggunaan aset bersama tertentu yang di dalamnya termasuk bahasa. 33 Penggunaan bahasa sebagai aset bersama ini dilihat sebagai hal yang dapat memunculkan solidaritas dalam masyarakat di suatu lingkup negara. Goff dan Dunn melihat bahwa pemakaian bahasa yang sama dapat menimbulkan „sense of belonging‟ dalam masyarakat dan memunculkan rasa bahwa mereka merupakan suatu kesatuan yang sama. Solidaritas dan Ma L h, A a do i g I a : Jo da 's Allia es a d the Politi s of “tate Ide tit , Security Studies, 8, 2–3, 1999, 399. 33 Pat i ia M. Goff da Ke i C. Du , Co lusio : ‘e isiti g the Fou Di e sio of Ide tit , dalam Identity and Global Politic: Empirical and Theoretical Elaboration, ed. Patricia M. Goff dan Kevin C. Dunn (New York:, Palgrave Macmillan, 2004), 240. 32 Universitas Indonesia 17 „sense of belonging‟ yang muncul dari penggunaan bahasa yang sama ini pada akhirnya menjadi unsur pendorong identifikasi masyarakat tersebut dalam suatu identitas kolektif tertentu, yang dalam hal ini berupa identitas negara. Bukan hal yang mustahil bagi negara memiliki beragam bahasa yang digunakan, dan bukan hal yang mustahil pula bahwa terdapat beberapa negara yang memiliki bahasa nasional yang sama. Namun demikian, dalam hal ini, bahasa tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu unsur konstitutif dalam konteks identitas negara.  Sejarah Sejarah merupakan faktor esensial terakhir yang akan dibahas dalam pembentukan identitas negara secara internal ini. Identitas negara juga dilihat terbentuk karena adanya rasa kesatuan atas pemahaman dan makna dari peristiwa sejarah yang terjadi di masa lampau. Hal ini dikemukakan oleh Friedrich Kratochwil dalam tulisannya. Kratochwil menyebutkan bahwa sejarah bukan hanya merupakan tempat penyimpanan data secara permanen, melainkan merupakan produk dari memori yang pada akhirnya secara dalam terkandung dan memengaruhi pembentukan identitas pada suatu negara. 34 Memori historis dengan demikian merupakan salah satu faktor yang mendorong konstruksi identitas. Kratochwil mengungkapkan bahwa sebelumnya Nietzsche adalah tokoh yang awalnya menekankan dengan kuat mengenai peran refleksi historis ini dalam konstruksi identitas. Dikutip dari Kratochwil bahwa Nietzsche melihat sejarah sebagai produk dari memori dan hal tersebut mengindikasikan bahwa apa yang terjadi di masa lampau sangat terlibat dan berpengaruh dalam mengkonstruksi identitas suatu aktor, termasuk negara. 35 Nietzsche, seperti dikutip oleh Kratochwil, menambahkan pula bahwa dalam memutuskan apa yang harus dilakukan oleh negara, negara sebagai aktor sebelumnya harus dapat melihat dan belajar dari apa yang F ied i h K ato h il, Histo , A tio a d Ide tit : ‘e isiti g the “e o d G eat De ate a d Assessi g its I po ta e fo “o ial Theo , European Journal of International Relations, SAGE Publications and ECPR-European Consortium for Political Research, 12, 1, 2006, 5. 35 Ibid., 15. 34 Universitas Indonesia 18 pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. 36 Hal ini mengindikasikan bahwa sejarah menjadi alat yang dapat memberikan gambaran serta pedoman apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Apa yang dikemukakan oleh Kratochwil dan Nietzsch ini memberikan pemahaman bahwa latar belakang sejarah dengan demikian dapat memengaruhi bagaimana negara berperilaku terhadap suatu kondisi tertentu. Dengan demikian, sejarah dapat berpengaruh pada bagaimana negara mengidentifikasi dirinya sendiri dan perilaku negara yang juga dilatar-belakangi oleh sejarah pun dapat pula memengaruhi bagaimana negara diidentifikasi oleh aktor lainnya dalam hubungan internasional. Pembahasan pada bagian ini menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor esensial yang memiliki peran penting dalam pembentukan identitas. Telah disebutkan sebelumnya bahwa faktor-faktor esensial yang dimaksud dalam hal ini adalah norma, budaya, belief atau kepercayaan, ritual, bahasa, serta latar belakang sejarah. Faktor-faktor tersebut merupakan unsur-unsur utama pembentuk identitas yang eksistensinya secara terus menerus dapat menciptakan rasa solidaritas dan kesatuan. Negara sebagai identitas kolektif terbentuk karena adanya proses tarik-menarik dalam faktor-faktor ini secara terus menerus sehingga membentuk sebuah pola, rasa kesamaan, serta memunculkan „sense of belonging‟ di antara individu-individu yang terlibat. Jika diperhatikan, faktor-faktor esensial yang merupakan bagian dari faktor internal pembentuk identitas negara ini mayoritas berbasiskan unsur ideasional atau non-material. Faktor-faktor ini tidak berbentuk ataupun dapat diukur karena terletak di tatanan ideasional yang dipercaya dan dirasakan oleh anggota-anggota dari identitas tersebut. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa pembentukan identitas pada negara didorong dan dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor esensial yang sifatnya non-material dan terkandung dalam masyarakat. Faktor-faktor ini menjadi perekat dalam masyarakat dan 36 Ibid. Universitas Indonesia 19 mampu menumbuhkan rasa saling memiliki karena melalui faktor-faktor tersebut, individu mulai mengidentifikasi diri dan karakter-karakter yang dimilikinya dengan membandingkannya dengan individu lainnya. Kesamaan karakter faktor tertentu serta pemahaman bersama yang muncul dari faktorfaktor esensial inilah yang pada akhirnya membentuk identitas kolektif dalam negara. Selain sebagai unsur perekat, faktor esensial ini juga pada akhirnya memengaruhi karakter dari identitas negara yang pada akhirnya terbentuk. Faktor-faktor esensial seperti norma, budaya dan habit, belief yang berlaku dalam hal ini, misalnya, juga akan memengaruhi bagaimana identitas pada negara tersebut terbentuk. Karena pada dasarnya nilai-nilai yang terkandung dalam faktor-faktor esensial ini akan menentukan sifat tindakan yang akan dilakukan oleh negara dalam situasi tertentu. Sejarah yang juga merupakan salah satu dari faktor esensial ini juga memiliki andil dalam hal kemungkinan tindakan serta karakter aksi yang akan diproduksi oleh suatu negara. Latar belakang sejarah yang diyakini oleh masyarakat dan elit dalam negara tersebut akan memengaruhi cara pandang dan cara pikir dari negara dalam merumuskan tindakannya, baik secara domestik maupun internasional. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa faktor-faktor esensial internal ini dapat menjadi perekat yang mendorong pembentukan identitas pada negara, serta dapat pula memengaruhi dan menentukan karakter dari identitas negara tersebut.  Faktor-faktor turunan Pada bagian sebelumnya telah dibahas mengenai adanya faktor-faktor esensial internal yang menjadi dasar terbentuknya identitas negara. Seperti yang telah disebutkan, faktor-faktor tersebut mendorong terciptanya perasaan kolektif dan pada akhirnya membentuk suatu kesatuan identitas yaitu identitas negara. Pada bagian ini, akan dijelaskan bagaimana faktor-faktor esensial tersebut bersama dengan faktor-faktor lainnya nyatanya mengkonstruksi bentuk faktor lainnya yang mendukung dan semakin memperkuat identitas Universitas Indonesia 20 negara. Penulis menyebut faktor-faktor ini sebagai faktor turunan karena penulis meyakini bahwa faktor-faktor ini ada karena terbentuk dari gabungan faktor-faktor esensial yang disebutkan pada bagian sebelumnya, serta bagaimana interaksi faktor-faktor tersebut dengan faktor-faktor lainnya pada akhirnya dapat membentuk identitas. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dipaparkan argumen dari penulis-penulis dalam kajian Hubungan Internasional yang menyebutkan bagaimana faktor-faktor turunan dari beragam jenis faktor pada akhirnya dapat mendukung pembentukan identitas negara secara internal. Secara umum, penulis-penulis yang akan disebutkan pada bagian ini tidak membantah bahwa faktor-faktor esensial sebelumnya memiliki peran penting yang mendasar dalam pembentukan identitas negara. Namun demikian, penulis-penulis ini memiliki argumen bahwa pada dasarnya terdapat faktor-faktor lain yang berinteraksi dengan faktor-faktor esensial tersebut, dan pada akhirnya mengkonstruksikan unsur lain yang juga berpengaruh dalam pembentukan identitas. Menurut penulis-penulis ini, faktor-faktor seperti norma, budaya, bahasa, belief, sejarah dan lain-lain ini berinteraksi antara satu sama lain dan membentuk faktor turunan yang memiliki makna tertentu, dan pada akhirnya menjadi hal yang dipercaya dapat memperkuat pembentukan identitas negara. Dalam bagian ini akan disebutkan mengenai unsur naratif diskursus, simbolisasi material, kualitas intrinsik negara, dan kebutuhan politik sebagai bentuk faktor turunan yang juga merupakan pendukung dalam internalisasi serta pembentukan identitas negara.  Diskursus dan Narativisasi Salah satu faktor-faktor turunan dalam pembentukan identitas negara ini adalah diskursus yang melibatkan penggunaan teks atau katakata. Kevin C. Dunn dalam tulisannya menyebutkan bahwa diskursus memiliki kaitan yang erat terkait hubungannya dengan konstruksi Universitas Indonesia 21 identitas.37 Dunn menjelaskan bahwa selama ini banyak penulis tentang identitas yang fokusnya material justru mengacuhkan pentingnya diskursus. Sedangkan bagi Dunn, diskursus juga memiliki pengaruh terhadap pembentukan identitas dengan hubungannya dengan aspek material. Dalam praktiknya, material dan diskursus saling berkaitan karena sulit untuk terus membedakan antara praktik dan diskursus. 38 Melalui pendapatnya ini Dunn berusaha menjelaskan bahwa pada dasarnya diskursus sangat berhubungan dengan identitas dan para elit suatu negara seringkali menggunakan diskursus untuk dapat mengklaim dan mengkonstruksi identitas negaranya. Diskursus dilihat memiliki pengaruh untuk dapat mendorong pembentukan identitas negara. Dalam hal ini, diskursus dapat berupa konteks naratif tertentu yang dikemukakan oleh para elit atau pemimpin negara untuk dapat mengafirmasi baik kepada masyarakat dari negara itu sendiri maupun aktor lainnya dalam hubungan internasional. Apa yang dikemukakan oleh Dunn ini mengindikasikan bahwa diskursus yang pada dasarnya terkonstruksi oleh penggunaan bahasa yang dikemas dalam kata-kata serta kalimat tertentu yang di dalamnya memiliki makna atas pemahaman belief serta norma suatu negara ketika dikemukakan dalam situasi serta kondisi tertentu dapat memperkuat identitas dari negara tersebut. Diskursus dalam hal ini dikatakan memiliki pengaruh dan kapabilitas untuk dapat membentuk identitas. Diskursus ini terlebih lagi ketika dipadukan dengan kapabilitas siapa yang berbicara akan dapat memberikan pengaruh besar dalam pembentukan identitas. Demikian pulalah yang dikemukakan oleh Charlotte Epstein mengenai bagaimana diskursus dan kapabilitas aktor yang berbicara dapat memengaruhi dan memperkuat pembentukan identitas.39 Epstein dalam tulisannya tersebut melihat bahwa diskursus yang di dalamnya Ke i C. Du , Na ati g Ide tit : Co st u ti g the Co go Du i g the 6 C isis , dalam Identity and Global Politic: Empirical and Theoretical Elaborations, ed. Patricia M. Goff dan Kevin C. Dunn (New York:, Palgrave Macmillan, 2004), 126-127. 38 Ibid. 39 Cha lotte Epstei , Who speaks? Dis ou se, the su je t a d the stud of ide tit i i te atio al politi s , European Journal of International Relations, XX(X), 2010, 1–24. 37 Universitas Indonesia 22 mengandung naratif merupakan media ataupun wadah yang cukup efektif dalam mengklaim maupun memperkuat identitas, terutama apabila disampaikan oleh aktor atau agen yang tepat. Epstein pun melihat bahwa diskursus memiliki hubungan yang sangat erat dengan bahasa, norma, kultur, serta agensi. 40 Terkait dengan hubungan antara penggunaan bahasa dan agensi ini Dunn juga menyebutkan mengenai narativisasi. Narativisasi yang dimaksud oleh Dunn ini adalah bentuk usaha agen-agen elit negara untuk mengklaim identitas negaranya, baik kepada konstituennya maupun pada pihak eksternal melalui pembentukan kisah-kisah naratif tertentu untuk menarik dan menyatukan hati rakyat.41 Agen-agen yang biasanya merupakan elit dari negara menggunakan kapabilitas yang dimilikinya dalam konteks tertentu untuk memberikan keyakinan pada konstituen negara yaitu warga negara untuk memahami serta menginternalisasi pembentukan identitas. Selain itu, narativisasi ini juga dilakukan untuk memberikan klaim kepada aktor-aktor negara lainnya mengenai bagaimana negara tersebut mengidentifikasikan dirinya. Teks yang membentuk cerita sebagai diskursus ini dengan demikian menjadi media yang digunakan untuk membentuk identitas dalam negara. Diskursus ketika disampaikan atau dikaitkan dengan agen yang tepat dalam rentang waktu serta momen yang tepat dapat memengaruhi serta menginternalisasikan kepada publik, baik dari dalam maupun luar negara tersebut, mengenai pemahaman akan identitas negara. Penjelasan mengenai diskursus yang dalam tulisan ini dikemukakan oleh Dunn dan Epstein menunjukkan bahwa diskursus merupakan salah satu faktor turunan yang dapat memengaruhi pembentukan identitas pada negara. Diskursus dikonstruksikan oleh konteks peristiwa atau situasi tertentu, kehadiran agen, dan penggunaan bahasa dalam membentuk kisah, baik secara lisan maupun tertulis, sehingga pada akhirnya dapat memengaruhi pemahaman baik bagi warga 40 41 Ibid. Dun , Na ati g Ide tit , 138. Universitas Indonesia 23 negara tersebut, ataupun masyarakat internasional mengenai identitas pada negara. Penggunaan diskursus, agensi, serta cara yang tepat dapat berpengaruh dalam menanamkan pemahaman serta makna akan identitas negara dan dengan demikian merupakan salah satu faktor yang memengaruhi pembentukan identitas pada suatu negara. Pengaruh dari diskursus pada pembentukan identitas negara juga dapat meningkat ketika diiringi oleh pemberlakuan formal dari elit politik karena mereka memiliki posisi legislatif terkait pembuatan keputusan yang strategis, sehingga diskursus tidak lagi hanya sekedar kata-kata kosong, tetapi memiliki dorongan langsung pada hukum dan peraturan formal. Dalam hal ini, diskursus yang dilakukan oleh negara melalui pemberlakuan peraturan formal dapat dijelaskan dengan melihat negara Swiss sebagai contoh. Riano Yvonne dan Wastl-Walter Doris dalam tulisannya menjelaskan mengenai usaha pemerintah Swiss pada abad ke19 dalam menghadapi isu Überfremdung, yaitu gagasan akan kelebihan populasi asing yang dapat mengancam identitas Swiss. 42 Negara-negara Eropa merupakan wilayah yang sangat sering dipilih untuk menjadi tujuan dari para imigran, termasuk Swiss. Dalam hal ini, diskursus mengenai kebijakan „naturalisasi‟ menjadi hal yang lumrah dilakukan. Namun demikian, hal ini berbeda dengan Swiss. Yvonne dan Doris menjelaskan bahwa negara tersebut berupaya keras untuk melakukan penanaman serta pengimplementasian diskursus dalam rangka usaha eksklusi terhadap imigrannya. Sebelum masa Perang Dunia I, Swiss melihat kedatangan pihak asing sebagai hal yang tidak dapat dihindari dan dapat berkontribusi bagi perkembangan ekonomi. Sehingga pada masa itu, menurut Yvonne dan Doris, Swiss melihat naturalisasi menjadi cara yang paling cocok bagi imigran untuk dapat terasimilasi dengan budaya Swiss. 43 Pada masa di antara Perang Dunia I dan II, budaya ancaman nasional mulai Riaño Yvonne dan Wastl-Walte Do is, I ig atio Poli ies, “tate Dis ou ses o Fo eig e s a d the Politi s of Ide tit i “ itze la d , Environment and Planning A, 38, 2006, 1693. 43 Ibid., 1696. 42 Universitas Indonesia 24 berkembang, dan kehadiran orang asing atau imigran dianggap sebagai hal yang dapat membahayakan identitas negara tersebut. Kemudian pasca Perang Dunia II berlangsunglah masa ekspansi ekonomi yang membuat Swiss membutuhkan buruh asing atau imigran, sehingga pada masa itu imigran dianggap sebagai hanyalah fenomena sementara yang tidak dapat dihindarkan. Selanjutnya adalah fase terakhir sejak tahun 1990-an hingga saat ini yaitu yang berkaitan dengan berdirinya Uni Eropa. Pada masa ini, Swiss kedatangan banyak sekali imigran, baik yang menetap di negara tersebut maupun imigran yang merupakan pencari suaka dari perang sipil di bekas Yugoslavia. 44 Swiss merupakan salah satu negara di Eropa yang tidak termasuk dalam Uni Eropa. Yvonne dan Doris menyebutkan bahwa pada awalnya Swiss cukup terisolasi dari Uni Eropa dan elit politiknya menganggap hal ini cukup mengkhawatirkan bagi ekonomi negara tersebut. Namun, mayoritas publik di Swiss memang menolak untuk bergabung dalam Uni Eropa. Terkait hal tersebut, untuk juga menjaga identitas negaranya, Yvonne dan Doris melihat bahwa pemerintah Swiss melakukan diskursus melalui perumusan kebijakan terkait imigrasi. Kebijakan ini diawali dengan three-circle policy yang diimplementasikan dengan membagi pihak asing menjadi tiga jenis melalui proksimitas atau kedekatan budayanya. Namun demikian, hal ini menimbulkan kontroversi karena dianggap sebagai diskriminasi terhadap ras dan latar belakang budaya tertentu. Yvonne dan Doris lebih jauh mengemukakan bahwa pada 2002, Swiss melakukan perjanjian bilateral dengan Uni Eropa mengenai kebebasan untuk melakukan perpindahan (freedom of movement) untuk tetap menjaga kondisi ekonominya. 45 Dalam perjanjian tersebut, penduduk Uni Eropa tidak lagi dimasukkan dalam kategori „asing‟, sehingga penduduk Uni Eropa di Swiss dapat memiliki hak untuk hidup dan bekerja yang sama dengan penduduk asli Swiss, kecuali hak untuk memilih (voting 44 45 Ibid., 1696-1697. Ibid., 1701-1706. Universitas Indonesia 25 rights). Kemudian hingga saat ini, pihak asing atau imigran di luar Uni Eropa pun dibagi berdasarkan kualifikasi personalnya. Sehingga, imigran di luar Uni Eropa yang lebih mudah berintegrasi dengan masyarakat Swiss adalah mereka yang dianggap dapat berkontribusi bagi perekonomian negara tersebut.46 Contoh yang dikemukakan oleh Yvonne dan Doris terkait apa yang terjadi di Swiss ini menunjukkan bagaimana pemerintah negara menggunakan diskursus yang dikeluarkan dalam bentuk kebijakan untuk membentuk dan menjaga identitasnya. Hal ini pada dasarnya juga mengindikasikan bahwa diskursus yang diformalkan sebagai peraturan memiliki pengaruh yang kuat dan dapat memengaruhi pembentukan identitas pada negara. Hal ini kembali menekankan poin bahwa diskursus yang diiringi dengan penggunaan instrumen yang tepat serta dilakukan pada situasi tertentu yang tepat dapat mendorong dan mendukung pembentukan identitas yang diinginkan oleh pihak internal negara.  Simbolisasi Material Faktor selanjutnya adalah faktor yang terkonstruksi dari faktorfaktor esensial seperti budaya atau kultur, norma, peristiwa sejarah, serta belief. Jonathan M. Acuff dalam hal ini memiliki pandangan menarik mengenai apa yang dapat memengaruhi pembentukan identitas pada negara. Jika pada sebelumnya telah disebutkan pendapat Acuff mengenai bagaimana identitas dibentuk dan diturunkan melalui produk dari esensi budaya, maka dalam bagian ini akan dijelaskan bentuk-bentuk realisasi dari produk esensi budaya tersebut. Acuff menjelaskan bahwa budaya yang sering dilihat sebagai bentuk yang abstrak dan bersifat non-material juga membentuk produk-produknya dalam bentuk material yang juga berpengaruh dalam pembentukan identitas. Bagi Acuff, identitas berkaitan erat dengan self-understanding atau pemahaman aktor tersebut mengenai dirinya sendiri. Acuff mengemukakan bahwa self-understanding suatu aktor distrukturisasikan 46 Ibid. Universitas Indonesia 26 melalui praktik-praktik ritual yang dilakukannya. Melalui ritual yang dilakukannya, warga negara atau anggota dari suatu identitas kolektif membentuk identitasnya di antara elemen-elemen material seperti monumen, coliseum, dan ruang publik lainnya. 47 Acuff melihat elemen material tersebut merupakan bentuk simbolisasi yang juga membentuk identitas. Monumen, coloseum, serta arsitektur ruang publik yang ada dalam suatu negara, bagi Acuff, melibatkan unsur emosional yang melekat pada mitos serta norma yang berlaku di masyarakat dan merupakan representasi material dari budaya yang mengandung memori kolektif dari masyarakat dan dengan demikian dapat berkontribusi pada pembentukan identitas kolektif. 48 Melalui hal ini Acuff berusaha mengajak pembacanya untuk melihat bagaimana simbolisasi dari nilai budaya, norma, belief, dan pemahaman sejarah suatu kolektif yang diwujudkan dalam bentuk material mengandung makna tertentu dan memunculkan rasa keterikatan yang pada akhirnya dapat memperkuat identitas kolektif yang terbentuk, seperti identitas negara. Dengan melihat apa yang dikemukakan oleh Acuff, dapat dipahami bahwa pada dasarnya identitas suatu kolektif dipengaruhi pula dengan unsur material yang di dalamnya mengandung unsur emosional. Unsur emosional ini tertanam dan melekat dalam masyarakat terkait mitos maupun simbolisasi yang berlaku sehingga dituangkan dalam bentuk monumen ataupun bangunan-bangunan tertentu. Unsur emosional ini muncul dari memori serta praktik ritual yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam hal ini, memori berkaitan dengan apa yang pernah terjadi dalam kolektif tersebut, seperti peninggalan peristiwa sejarah yang memiliki makna tertentu. Peninggalan tersebut berbentuk nyata namun diartikan secara mendalam dan membentuk sebuah memori tentang apa yang pernah dialami oleh leluhur dari masyarakat tersebut. Memori serta makna yang dipahami secara bersama tersebut memunculkan rasa keterikatan dan pada akhirnya dapat membentuk rasa saling memiliki. Simbolisasi juga 47 48 Acuff , “pe ta le a d “pa e , Ibid. -148. Universitas Indonesia 27 seringkali dituangkan dalam bentuk ritual tertentu yang dalam praktiknya semakin menginternalisasi pemahaman akan identitas kolektif masyarakat tersebut. Acuff juga melihat bahwa tidak hanya monumen, coloseum, ataupun arsitektur keseluruhan dari ruang publik, tetapi pembentukan identitas kolektif negara juga diturunkan dari produk budaya yang dimiliki masyarakat seperti kesenian, musik, literatur, adat, kepercayaan, dan fashion.49 Produk dari budaya yang dianut oleh suatu masyarakat dalam bentuk kolektif tersebut nyatanya juga dapat menjadi pengikat masyarakat sebagai sebuah kesatuan. Selain itu, konten budaya yang dimiliki masyarakat ini pun mengandung nilai serta kepercayaan tertentu yang juga diinternalisasikan dalam diri setiap individu untuk memahami bahwa mereka merupakan bagian dan anggota dari sebuah identitas kolektif tertentu. Produk-produk budaya ini seringkali menjadi representasi mengenai identitas kolektif suatu masyarakat. Suatu kolektivitas termasuk negara seringkali dilihat dan dikenal melalui produk-produk budaya yang memiliki ciri khas berbeda ini. Contoh dari simbolisasi dalam bentuk material yang dapat mendorong pembentukan identitas pada suatu negara adalah negara Italia. Masyarakat internasional mengidentifikasi Italia dengan merujuk pada Menara Pisa, Coloseum yang dimilikinya, dan tipe arsitektur serta suasana kultural yang terkandung ketika mengunjungi negara tersebut. Contoh lainnya adalah Indonesia yang dikenal oleh masyarakat luar dari produk batiknya. Hal ini menunjukkan bahwa representasi dalam bentuk material yang di dalamnya mengandung makna-makna dari faktor esensial yang dimiliki oleh suatu negara memiliki peranan yang juga signifikan dalam pengidentifikasian negara sebagai sebuah identitas kolektif dalam hubungan internasional. Contoh di atas menunjukkan bahwa apa yang dikemukakan oleh Acuff bahwa produk dari budaya juga dapat membentuk dan memperkuat 49 Ibid. Universitas Indonesia 28 pembentukan identitas negara merupakan pendapat yang masuk akal. Namun demikian, perlu dipahami pula bahwa produk-produk budaya ini juga dikonstruksikan melalui hubungan kognitif dan emosional yang dimiliki oleh masyarakat tersebut terkait faktor-faktor esensial seperti belief, norma, keterikatan dengan sejarah, dan lain sebagainya 50 karena pada dasarnya hal-hal yang tersebutlah yang mengikatkan masyarakat pada identitas dan tersimbolisasi melalui produk yang bersifat material.  Kualitas Intrinsik Kualitas intrinsik dalam suatu identitas pada negara pun juga mengindikasikan bahwa hal-hal yang terjadi dalam lingkup internal negara tersebut dapat memengaruhi identitas negara tersebut. Terkait hal ini, Alexander Wendt dalam tulisannya menyebutkan mengenai identitas korporasi dan identitas sosial dalam diri suatu aktor, termasuk negara. Dalam hubungannya dengan faktor internal pada identitas suatu negara, Wendt mengasosiasikannya dengan identitas korporasi. Wendt menjelaskan bahwa identitas korporasi merujuk kepada kualitas intrinsik dan self-organizing yang membentuk individualitas dari aktor.51 Pada manusia, hal ini mengacu pada tubuh dan kesadarannya. Sedangkan pada organisasi, termasuk negara yang juga merupakan identitas kolektif, hal ini mengacu pada individu-individu yang merupakan konstituen, sumber daya, dan pemahaman bersama bahwa indvidu-individu tersebut juga memiliki fungsi bersama sebagai “we” atau “kami”.52 Identitas negara yang merupakan identitas kolektif dipengaruhi secara internal oleh unsur-unsur yang membentuk individualitas dan bersifat intrinsik. Dalam konteks negara, hal ini dengan demikian mengacu pada bagaimana unsur-unsur domestik suatu negara dapat memengaruhi identitas negara tersebut. Dalam penjelasannya mengenai identitas korporasi, unsur-unsur domestik yang dimaksud Wendt dalam hal ini adalah individu-individu dan sumber daya yang ada di dalam negara 50 Ibid. Alexander We dt, Colle ti e Ide tit Fo Political Science Review, 88, 2, 1994, 385. 52 Ibid. 51 atio a d the I te atio al “tate , American Universitas Indonesia 29 tersebut yang pada akhirnya membentuk sebuah pemahaman akan fungsi “we” atau “kami” sebagai sebuah kesatuan dalam lingkup negara. Bagaimana kondisi politik, ekonomi, keamanan, sosial, dan budaya domestik yang dimiliki oleh suatu negara dapat memengaruhi pembentukan identitas negara tersebut juga dijelaskan oleh Patricia M. Goff dan Kevin C. Dunn. Goff dan Dunn menyebutkan bahwa identitas suatu negara dipengaruhi oleh perubahan peristiwa serta kondisi domestik yang terjadi, walaupun juga apa yang terjadi di level internasional juga dapat memengaruhi identitas.53 Dalam hal ini Goff dan Dunn berusaha menekankan untuk tidak melupakan faktor domestik yang memiliki peran dalam memengaruhi identitas suatu negara. Keduanya menyebutkan bahwa identitas tidak semata-mata disematkan atau ditempelkan oleh aktor lain, tetapi internal negara tersebut juga memiliki peran untuk dapat memengaruhi bagaimana identitas itu pada akhirnya terbentuk. Apa yang dikemukakan oleh Goff dan Dunn ini pun diperkuat oleh Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink. Finnemore dan Sikkink dalam tulisannya menyebutkan bagaimana terdapat dikotomi faktor yang memengaruhi identitas negara. Dalam hal internal atau yang mengacu pada kondisi domestik ini, Finnemore dan Sikkink mengutip Katzenstein yang mengungkapkan bahwa identitas negara pada dasarnya merupakan atribut domestik yang muncul dari ideologi nasional mengenai pembedaan kolektif dan tujuannya. 54 Mereka juga menambahkan bahwa identitas ini pada akhirnya membentuk persepsi negara mengenai kepentingan dan juga kebijakannya. 55 Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa identitas negara muncul dari dalam negara itu sendiri dan dipengaruhi oleh kualitas intrinsik atau kondisi domestik dari negara tersebut. Suatu negara membentuk identitasnya didorong oleh domestik negara tersebut dan diturunkan dari ideologi nasional. Hal ini Goff da Du , Co lusion , 239. Ma tha Fi e o e da Kath “ikki k, Taki g “to k: The Co st u ti ist ‘esea h P og a i I te atio al ‘elatio s a d Co pa ati e Politi s , Annual Review of Political Science, 4, 2001, 399. 55 Ibid. 53 54 Universitas Indonesia 30 menunjukkan bahwa identitas merupakan suatu yang dibentuk dan dikonstruksikan, tidak semata-mata diberikan. Dengan melihat literaturliteratur yang menyebutkan mengenai kualitas intrinsik sebagai salah satu faktor internal yang memengaruhi identitas suatu negara, dapat dipahami bahwa pada dasarnya pembentukan identitas suatu negara dipengaruhi dengan apa yang terjadi dalam level domestik negara tersebut. Bentuk dari identitas negara yang terbentuk sebagai wujud kualitas intrinsik menurut Wendt adalah identitas negara sebagai negara liberal, demokrasi, dan sebagainya. 56 Identitas-identitas negara semacam itu merupakan identitas korporasi negara karena kondisi domestiklah yang memengaruhi pembentukan identitas tersebut. Domestik yang merupakan dimensi internal dari negara mendorong dan memengaruhi pembentukan identitas negara, sehingga akhirnya identitas tersebut diproyeksikan dan tercermin melalui kepentingan serta kebijakan negara dalam usahanya untuk mencapai kepentingannya tersebut. Salah satu contoh yang dapat mengilustrasikan bagaimana kualitas intrinsik dapat memengaruhi pembentukan identitas adalah penjelasan yang dilakukan oleh Akitoshi Miyashita mengenai bagaimana identitas negara Jepang terbentuk. Seperti yang kita ketahui, Jepang merupakan salah satu negara di Asia yang maju dan disebut sebagai „Macan Asia‟. Hal ini disebabkan oleh kondisi perekonomian Jepang yang baik dan dipengaruhi pula oleh mental warga negaranya dalam melakukan pekerjaan. Dengan kapabilitas ekonomi Jepang yang tinggi ini, tentu masyarakat internasional akan berekspektasi bahwa Jepang juga akan menyeimbangkan kapabilitas militernya. Namun nyatanya, Jepang memilih tidak melakukan hal tersebut dan fokus pada sektor ekonomi negara tersebut untuk dapat menyejahterakan rakyatnya. Menurut Miyashita, hal ini salah satunya dilatarbelakangi oleh perasaan trauma yang dirasakan oleh negara tersebut saat Perang Dunia II. 57 Kekalahan Jepang di Perang Dunia II membuat Jepang tidak lagi ingin terlalu terlibat Wendt, Colle ti e Ide tit Fo atio , 386. Akitoshi Mi ashita, Whe e do o s o e f o ? Fou datio of Japa s post a pa ifis International Relations of the Asia Pacific, 7, 2007, 101-103. 56 57 , Universitas Indonesia 31 dalam hal militer karena khawatir akan mengulangi kesalahannya. Serta, paska kekalahannya tersebut, Jepang memiliki keyakinan (belief) bahwa kekerasan tidak memberikan keuntungan („violence does not pay‟).58 Sejarah, norma, budaya, serta keyakinan inilah yang mendorong Jepang  untuk dikenal sebagai sebuah „peaceful trading state‟.59 Kebutuhan Politik Negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional berusaha membentuk identitasnya sendiri. Marysia Zalewski dan Cynthia Enloe menuliskan bahwa pembentukan identitas suatu negara perlu dipahami sebagai sebuah proses di mana sebuah aktor berusaha menjawab mengenai siapa dirinya sebenarnya (“Who am I”) dan juga proses di mana pihak-pihak lainnya berusaha memengaruhi jawaban akan pertanyaan tersebut dengan tarik-menarik antar satu sama lain.60 Hal ini menjelaskan bahwa pada dasarnya suatu negara membentuk identitasnya sendiri, walaupun identitas tersebut pada akhirnya juga dipengaruhi oleh pihakpihak lainnya. Namun demikian, dapat dipahami bahwa negara pada awalnya berusaha membentuk identitasnya sendiri terlebih dahulu karena adanya kebutuhan politik dari dalam negara tersebut, serta karena negara merasa perlu untuk mengidentifikasikan siapa dirinya. Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai bagaimana identitas suatu negara dibentuk oleh negara itu sendiri sebagai upaya dari faktor internal untuk membentuk batasan dalam pengidentifikasian diri negara demi kebutuhan politik negara tersebut. Maxym Alexandrov merupakan salah satu penulis yang menyebutkan mengenai faktor internal dan eksternal dalam identitas negara. Alexandrov menyebutkan bahwa faktor internal suatu identitas negara mengacu pada keterwakilan dan pemahaman yang hampir serupa 58 Ibid. Ibid. 60 Ma sia )ale ski da C thia E loe, Questio s a out Ide tit i I te atio al ‘elatio s , dalam International Relations Theory Today, ed. Ken Booth dan Steve Smith (Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press, 1995), 282. 59 Universitas Indonesia 32 oleh kaum elit dan publik umum dalam negara tersebut.61 Bagi Alexandrov, faktor internal ini memiliki makna apa-apa saja yang dipahami dan dianggap mewakili oleh kaum elit dan publik umum di dalam suatu negara mengenai negara tersebut. Faktor internal yang dimaksud oleh Alexandrov dalam hal ini menunjukkan bahwa identitas suatu negara juga merupakan bentuk mengenai bagaimana elit dan publik dalam negara tersebut berusaha memahami dan merepresentasikan dirinya. Apa yang dikemukakan oleh Alexandrov ini juga mengindikasikan bahwa negara membentuk identitas karena menyadari adanya kebutuhan untuk merepresentasikan dirinya. Jika sebelumnya Wendt menyebutkan mengenai bagaimana identitas korporasi merujuk pada kualitas intrinsik negara tersebut, terkait hal ini Wendt juga menambahkan bahwa identitas korporasi memiliki kebutuhan akan pembedaan dan menjadi basis akan perasaan seperti solidaritas, komunitas, dan kesetiaan serta definisi kolektif mengenai kepentingan. 62 Hal ini menjelaskan bahwa identitas suatu negara muncul didorong karena adanya kebutuhan negara tersebut untuk menjadi berbeda (distinct) sehingga akhirnya berusaha memproduksi identitas yang dapat mendasari dan mengembangkan rasa kesatuan dalam individu-individu di dalamnya secara kolektif. Untuk dapat mengidentifikasi siapa dirinya, negara berusaha menjawab pertanyaan “Who am I?” dengan melihat ke dalam sisi domestik negaranya untuk dapat membentuk solidaritas bagi setiap konstituennya, yang dalam hal ini adalah warga negaranya. Negara melihat bahwa dirinya membutuhkan identitas yang mampu merepresentasikan dirinya dan seluruh unsur domestiknya untuk dapat merengkuh kebutuhan akan distinction bagi negaranya. Kebutuhan akan distinction ini merupakan sebuah kebutuhan politik negara tersebut. Identitas yang mendorong rasa kesatuan dan solidaritas ini pada akhirnya dapat membentuk pemahaman kolektif pula mengenai suatu hal tertentu, seperti misalnya kepentingan negara tersebut. 61 62 Alexandrov, The Co ept of “tate Ide tit , Wendt, Colle ti e Ide tit Fo atio , 386. . Universitas Indonesia 33 Identitas yang terbentuk karena adanya dorongan dari dalam negara tersebut sendiri ini juga disebutkan oleh Brent J. Steele. Steele mengemukakan bahwa konstruksi identitas merupakan political project di mana negara membedakan „we‟ sebagai dasar dari aktor sosial.63 Pernyataan Steele ini menguatkan argumen negara membentuk identitasnya sebagai wujud dari kebutuhan politiknya untuk menciptakan rasa ke-‟kami‟-an dan membedakan „kami‟ itu dari unsur-unsur yang lain. Pembedaan atau distinction dengan demikian merupakan sebuah kebutuhan bagi negara yang pada akhirnya mendorong negara membentuk identitas. Kebutuhan ini datang dari dalam diri negara tersebut dan perlu dipenuhi untuk memperlancar negara dalam melaksanakan fungsi politiknya. Bahkan, apa yang dikemukakan oleh Steele menunjukkan bahwa usaha negara sebagai aktor untuk membentuk identitas merupakan sebuah proyek politik untuk bisa menekankan fungsi “we” dan menciptakan batasan sesuai dengan kebutuhan negara tersebut. Selain sebagai proyek politik, Steele juga menambahkan bahwa perkembangan identitas negara merupakan bagian dari kebutuhan negara untuk mendirikan kontrol dan order di dalam perbatasan mereka.64 Pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang kuat untuk dapat menunjukkan bahwa negara sendirilah yang membentuk identitasnya untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Identitas dirasakan perlu untuk dapat mengendalikan dan menciptakan tatanan di dalam negara tersebut. Hal ini pun menunjukkan bahwa pada dasarnya identitas berusaha dibentuk dan dikembangkan oleh negara untuk dapat memenuhi kebutuhan politik negara untuk mendirikan kontrol serta tatanan di dalam wilayahnya. Kontrol dan tatanan ini dianggap sebagai unsur yang penting dan diperlukan untuk dapat diraih oleh negara demi tercapainya sebuah kesatuan yang teratur di dalam negara tersebut. 63 Brent J. Steele, Ontological Security in International Relations: Self-identity and the IR state (New York: Routledge, 2008), 30. 64 Ibid., 31. Universitas Indonesia 34 Dari pembahasan mengenai kebutuhan politik ini, dapat dipahami bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhannya terhadap distinction, negara berusaha membentuk batas-batas tertentu. Dengan demikian, pembentukan identitas suatu negara erat kaitannya dengan proses inklusi dan eksklusi. Hal ini diungkapkan oleh Heather Rae dalam tulisannya. Rae mengemukakan bahwa sistem negara pada dasarnya dikonstruksikan melalui pengeksklusian dengan adanya kategori mana yang termasuk insider dan mana yang termasuk outsider. 65 Hal ini menunjukkan bahwa pada dalam memenuhi kebutuhannya untuk menjadi distinct dan tidak sama dengan aktor lainnya, negara membentuk identitasnya dengan berusaha melakukan inklusi dan eksklusi. Inklusi dan eksklusi ini dilakukan oleh negara dengan mengidentifikasikan siapa dan apa saja yang merupakan bagian dari dirinya, dan apa saja yang tidak sesuai dengan karakternya dan bukan merupakan bagian dari identitasnya. Proses inklusi dan eksklusi ini juga dikemukakan oleh Patricia M. Goff dan Kevin C. Dunn. Goff dan Dunn dalam hal ini menyebutkan bahwa identitas negara-negara di dunia pada dasarnya terdefinisi secara bervariasi. Namun demikian, sebagian besar identitas ini terbentuk karena adanya proses inklusi dan eksklusi yang mengidentifikasi dan mendefinisi pemahaman „self‟ dan „other‟.66 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa proses pembentukan identitas yang dilakukan negara melalui proses inklusi dan eksklusi merupakan hal yang penting untuk memenuhi kebutuhan politik negara. Hal ini didukung oleh John M. Hobson yang merujuk pada Cynthia Weber mengenai „logic of representation‟ yang di dalamnya menyebutkan bahwa negara memiliki keharusan serta kebutuhan untuk membuat pembedaan yang memisahkan dan memberikan batasan apa-apa saja yang termasuk bagiannya dan mana yang bukan. 67 Dengan 65 Heather Rae, State Identities and the Homogenisation of Peoples (New York: Cambridge University Press, 2002), 14. 66 Goff dan Dunn, Co lusio , 8. 67 John M. Hobson, The State and International Relations (New York: Cambridge University Press, 2000), 159. Universitas Indonesia 35 demikian, pemisahan menjadi hal yang diperlukan dalam membentuk dan mengidentifikasikan suatu identitas, termasuk identitas negara. Proses inklusi dan eksklusi dalam pembentukan identitas ini dapat dilakukan oleh negara melalui beberapa hal, termasuk melalui kebijakan yang dibuatnya. Hal ini salah satunya dikemukakan oleh David Campbell. Dalam tulisannya, Campbell berfokus pada identitas negara dan kebijakan luar negeri pada khususnya. Campbell menyebutkan bahwa negara melalui pembentukan kebijakan luar negeri berusaha untuk menegaskan batasanbatasannya, yaitu mana yang foreign dan mana yang domestik. 68 Hal ini mengindikasikan bahwa negara dari dalam telah membentuk identitas dan berusaha mempertegasnya melalui perumusan dan pengimplementasian kebijakan luar negeri negara tersebut. Dalam kebijakan luar negeri, negara merefleksikan serta membentuk batasan atas ruang serta ranah antara domestik dan „foreign‟ atau asing. Konstruksi atas pemahaman „foreign‟ ini juga diiringi dengan praktik-praktik lainnya yang membentuk pemahaman akan „domestik‟. 69 Dengan demikian, kebijakan luar negeri merupakan bentuk spesifik dari suatu aksi politik yang menciptakan batasan (boundaries). Negara membentuk identitasnya dan berusaha mengklaim identitas tersebut melalui pendeklarasian dan pemberlakuan kebijakan luar negerinya. Kebijakan luar negeri merupakan instrumen yang digunakan oleh negara dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Namun demikian, kebijakan luar negeri ini mencerminkan bagaimana identitas negara tersebut dengan segala kondisi yang ada di internal domestiknya memposisikan diri terkait dengan situasi yang terjadi dalam ranah internasional. Kebijakan luar negeri dengan demikian dibuat dengan dorongan kesadaran akan identitas negara tersebut dari dalam. Pemahaman serta apa yang terkandung dan membentuk identitas negara mendorong perumusan 68 David Campbell, Writing Security: United States Foreign Policy and the Politics of Identity (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1992), 69. 69 Ibid. Universitas Indonesia 36 kebijakan luar negeri yang pada dasarnya merefleksikan identitas negara tersebut. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kebijakan luar negeri merupakan salah satu instrumen representasi identitas suatu negara yang sebelumnya sudah terbentuk dan diproduksi di dalam untuk pada akhirnya dapat diproyeksikan ke arena dan level internasional. Kebijakan luar negeri juga merupakan wujud dari bagaimana negara melakukan inklusi serta eksklusi akan ranah serta batas-batas antara mana yang menjadi urusan domestiknya dan mana yang bukan. Dalam pembahasan mengenai kebutuhan politik sebagai salah satu faktor turunan internal dapat dipahami bahwa negara merasa memiliki kebutuhan tertentu untuk pada akhirnya dapat memproduksi suatu identitas yang dapat merepresentasikan negaranya. Kebutuhan-kebutuhan ini datang dari dalam diri (internal) negara tersebut, karena negara tidak ingin dianggap sama, dan ingin menciptakan serta menegaskan batasan identitas kenegaraannya. Melalui identitas, negara berusaha membentuk pemahaman serta menginternalisasi fungsi dari rasa ke-„kami‟-an („we‟) yang hingga pada akhirnya membentuk sebuah solidaritas dalam komunitas yang distinct atau berbeda dengan identitas-identitas negara yang lainnya. Negara pada awalnya berusaha menjawab pertanyaan “Who am I” yang akhirnya membawa dirinya untuk berusaha memahami negaranya sendiri. Usaha untuk menjawab pertanyaan ini juga didorong oleh kebutuhan negara untuk membedakan dirinya dengan negara yang lain. Kebutuhan ini pulalah yang mendorong negara untuk mengidentifikasikan dirinya melalui proses inklusi dan eksklusi yang pada akhirnya dituangkan melalui perumusan kebijakan luar negeri yang membedakan mana yang domestik dan mana yang dianggap urusan luar negeri atau „foreign‟. Penjelasan mengenai faktor turunan ini menunjukkan bahwa pada dasarnya terdapat faktor-faktor lain yang juga mendorong dan memperkuat pembentukan identitas negara selain faktor-faktor esensial yang telah Universitas Indonesia 37 disebutkan pada bagian sebelumnya. Dalam hal ini, identitas suatu negara berkembang dan juga terbentuk karena adanya diskursus dan narativisasi, simbolisasi material, kualitas intrinsik negara, dan kebutuhan politik. Dalam diskursus dan narativisasi disebutkan bahwa identitas diklaim melalui penggunaan teks baik lisan maupun tertulis oleh agen yang tepat pada situasi tertentu. Hal ini nyatanya memiliki pengaruh tersendiri untuk dapat membuat nilai-nilai identitas terinternalisasi di dalam diri tiap individu masyarakat serta untuk mengklaim identitasnya tersebut ke dunia internasional. Dengan demikian, penggunaan diskursus yang tepat ini akan dapat berpengaruh baik bagi internal maupun eksternal dari identitas negara tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa pada dasarnya diskursus dan narativisasi yang terkonstruksi dari bahasa, norma, agen, dan situasi tertentu dapat mendukung dan memperkuat pembentukan pemahaman mengenai identitas pada negara. Diskursus dan narativisasi dengan demikian juga dapat meningkatkan serta menumbuhkan rasa memiliki dari individu terhadap identitas kolektif di mana dirinya merupakan bagian dari identitas tersebut. Dalam pemaparan mengenai simbolisasi material, dijelaskan bahwa identitas negara sebagai identitas kolektif seringkali dipahami dan dikenal melalui produk atau konten material yang dimiliki oleh identitas tersebut seperti bentuk monumen, gaya arsitektur, kesenian, musik, literatur, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut merupakan perwujudan material yang di dalamnya mengandung aspek-aspek seperti norma, budaya, belief, memori akan sejarah, dan lain sebagainya. Dengan demikian, simbolisasi material ini tidak hanya dibangun atau diproduksi begitu saja, namun memiliki pemahaman tertentu yang bergantung pada kepercayaan, tradisi, budaya, ritual, ataupun nilai-nilai lainnya. Adanya simbolisasi dalam bentuk material ini dapat menjadi wadah ataupun media di mana identitas direpresentasikan, dan hal ini seringkali menjadi unsur yang dikenal dan diingat oleh masyarakat luar untuk mengidentifikasi negara tersebut. Selain itu, simbolisasi material ini juga menjadi unsur yang mengikat dan menumbuhkan rasa memiliki dari anggotanya sehingga dapat memperkuat identitas negara tersebut. Simbolisasi material ini tidak terlepas dari unsur Universitas Indonesia 38 emosional yang melekat di dalam material tersebut dan muncul karena adanya faktor-faktor esensial seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur emosional dan material ini dengan demikian bercampur dan pada akhirnya dapat membentuk dan memperkuat pemahaman yang padu mengenai identitas negara. Simbolisasi material ini juga memunculkan rasa memiliki karena menjadi salah satu ciri khas dari masyarakat di dalam identitas negara tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa identitas suatu negara juga dipengaruhi dan diperkuat oleh perpaduan antara material dan emosional atau non-material yang terkandung di dalamnya. Identitas negara juga tidak terlepas dari kualitas yang ada di dalam negara tersebut. Identitas negara dalam hal ini juga merujuk pada unsur-unsur intrinsik dalam negara, yang di dalamnya temasuk pula warga negara sebagai konstituen, sumber daya yang terkandung, ideologi nasional, serta kondisi domestik negara tersebut. Segala hal yang terjadi di suatu negara, pergolakan politik, kondisi ekonomi, sistem pemerintahan dan lain sebagainya yang termasuk dalam urusan domestik negara tersebut juga berkontribusi dan memengaruhi bagaimana identitas negara tersebut dibentuk. Bagaimana negara terepresentasikan, dikenal, dan dipahami oleh aktor lainnya juga tidak terlepas dari bagaimana kondisi domestik dari negara tersebut. Kebutuhan politik menjadi faktor turunan terakhir yang dijelaskan dalam tulisan ini. Telah disebutkan sebelumnya bahwa kebutuhan akan distinction atau pembedaan memiliki peran yang besar dalam mendorong dan memengaruhi pembentukan identitas suatu negara. Negara tidak ingin merasa sama dengan negara lainnya sehingga negara berusaha membentuk identitasnya. Terkait dengan hal tersebut, negara juga berusaha membentuk batasan-batasan tersendiri serta membentuk sense of belonging dan rasa solidaritas akan fungsi „we‟ dalam negara sebagai aktor sosial. Kebutuhan ini mendorong negara untuk mengidentifikasikan identitasnya melalui inklusi dan ekslusi. Proses inklusi dan eksklusi ini dituangkan pula dalam bentuk kebijakan. Dengan demikian, seluruh kebijakan yang dibuat oleh negara pada dasarnya merupakan refleksi dari identitas negara tersebut. Universitas Indonesia 39 Dalam lingkup hubungan internasional, kebijakan luar negeri suatu negara menjadi salah satu instrumen yang dapat mencerminkan identitasnya. Identitas negara dapat terlihat dari bagaimana negara tersebut menyebutkan dan memposisikan dirinya dalam kebijakan luar negerinya. Kebijakan luar negeri, selain menggambarkan tujuan, sifat, serta tindakan yang mungkin dilakukan negara dalam arena internasional, juga menjadi instrumen negara untuk dapat mempertegas batasan mengenai mana yang merupakan urusan „asing‟ atau „foreign‟ dan mana yang termasuk dalam ranah domestiknya. Dengan demikian, identitas pada negara memiliki keterkaitan erat dengan penciptaan batasan-batasan tertentu sehingga identitas tersebut dapat menjadi identitas yang distinct dan dapat dibedakan dengan identitas lainnya. Secara keseluruhan, pembahasan mengenai faktor internal yang terdiri dari faktor esensial dan faktor turunan ini menunjukkan bagaimana identitas yang dimiliki oleh negara dibentuk dan dikarakterisasikan melalui apa yang ada di dalam negara tersebut. Identitas pada negara juga lekat dengan unsur penciptaan batasan, yang diiringi dengan pemahaman dan makna atas batasan yang telah diciptakan tersebut. Pemahaman serta pemaknaan batasan dalam identitas pada negara ini dilengkapi dengan adanya unsur-unsur ideasional yang menyatukan dan membuat masyarakat yang hidup di dalam negara tersebut merasa saling terikat dan saling memiliki. Hal ini dikemukakan dan ditekankan pula oleh Benedict Anderson melalui pembahasannya mengenai „imagined communities‟. Dalam tulisannya tersebut, Anderson pada dasarnya menilai bahwa identitas yang terkandung dan dimiliki oleh negara, serta dirasakan oleh masyarakatnya merupakan hasil dari ide-ide serta pemaknaan yang diimajinasikan sesuai dengan batasan (boundaries) yang telah diciptakan.70 Ide dan makna identitas ini diimajinasikan karena Anderson melihat bahwa masyarakat merasa adanya kesatuan dari sebuah komunitas politik negara walaupun pada dasarnya mereka tidak benar-benar mengenal atau bahkan pernah bertemu seluruh anggota dari identitas tersebut, hanya saja mereka merasa memiliki keterikatan karena berada 70 Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (New York: Verso, 1991), 5-7. Universitas Indonesia 40 dalam sebuah komunitas politik yang mengikat mereka dalam ide imajinasi bersama. 71 Dalam faktor internal ini telah dikemukakan adanya faktor esensial dan faktor turunan yang pemahaman atas nilai-nilai di dalamnya, serta ide-ide yang terkandung dan diimajinasikan bersama pada dasarnya dapat mendorong rasa kesamaan identitas. Hal inilah yang mendorong identitas pada negara dapat terbentuk. Identitas pada negara ini memang juga lekat dengan pembahasan mengenai nasionalisme. Nasionalisme ini pada dasarnya terbentuk melalui ide, nilai, serta makna imajiner yang diinternalisasikan oleh masyarakat di dalam negara tersebut sehingga munculnya rasa kesatuan yang saling memiliki. Pembahasan mengenai faktor internal ini, dengan demikian, memperlihatkan bagaimana identitas pada negara terbentuk karena adanya pemahaman bersama akan nilai dan ide dari faktor-faktor esensial, serta makna yang terkandung dalam faktor-faktor turunan yang telah disebutkan sebelumnya. Namun demikian, nyatanya mengingat identitas tidak hanya diproyeksikan dalam dimensi domestik atau internal, pembentukan identitas pada negara juga dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berada dalam level eksternal atau internasional. Pembahasan mengenai bagaimana pembentukan identitas pada negara dipengaruhi juga oleh faktor-faktor eksternal akan dipaparkan pada bagian selanjutnya. 71 Ibid. Universitas Indonesia 41 Faktor Eksternal yang Memengaruhi Pembentukan Identitas pada Negara Jika sebelumnya telah dibahas mengenai faktor-faktor internal yang dapat memengaruhi pembentukan identitas pada suatu negara, dalam bagian ini akan dijelaskan bahwa pada dasarnya pembentukan identitas ini juga dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor eksternal di mana identitas tersebut diproyeksikan dan dipersepsikan oleh aktor lainnya. Dalam pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa negara membentuk identitasnya karena adanya dorongan dari dalam negaranya, seperti usaha menjawab pertanyaan akan “Who am I” melalui pemahaman bersama (shared understanding) mengenai siapa mereka sebenarnya, serta melalui kebutuhan negara tersebut untuk membedakan dirinya dengan aktor lainnya. Sebelumnya telah disebutkan pula mengenai bagaimana identitas negara tersebut terefleksikan dalam kebijakan-kebijakannya, termasuk salah satunya melalui kebijakan luar negeri. Namun demikian, merujuk kembali pada apa yang disebutkan oleh Zalewski dan Enloe bahwa dalam usahanya menjawab pertanyaan mengenai siapa dirinya sebenarnya, terjadi juga proses di mana pihak-pihak lainnya berusaha memengaruhi jawaban akan pertanyaan tersebut dengan tarikmenarik antar satu sama lain. 72 Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya identitas negara tidak hanya ditentukan dan dipengaruhi oleh bagaimana negara tersebut berusaha mengkonstruksi identitasnya dengan merujuk pada dimensi internal dari negara tersebut, tetapi nyatanya terdapat pihak-pihak lainnya yang dapat memengaruhi pembentukan identitas tersebut. Pada konteks negara sebagai aktor dalam hubungan internasional, maka bagian ini akan menjelaskan bagaimana arena internasional dapat memengaruhi pembentukan identitas suatu negara. Dalam kaitannya dengan arena internasional, pembentukan identitas suatu negara dipengaruhi oleh interaksi yang terjalin antara negara tersebut dengan aktor-aktor lainnya. Hal ini disebutkan oleh Jonathan Mercer. Mercer mengemukakan bahwa negara sebelum adanya interaksi tidak memiliki identitas, 72 Zalewski dan Enloe, Questio s a out Ide tit , . Universitas Indonesia 42 kepentingan, dan ekspektasi. 73 Mercer melihat bahwa interaksilah yang mendorong dan memengaruhi terbentuknya identitas. Dalam konteks tulisannya tersebut, Mercer mengaitkan identitas negara dengan keanarkian struktur internasional. Menurut Mercer, karena dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional sudah terdapat asumsi bahwa struktur internasional bersifat anarki, maka seringkali identitas suatu negara dianggap sebagai sesuatu yang given dan mengacu pada asumsi anarki semata.74 Namun demikian, dalam tulisan tersebut, Mercer melihat bahwa tidak seharusnya negara dengan otomatis disematkan dengan sifat-sifat yang diasosiasikan dengan asumsi anarki tersebut, misalnya mengenai pemahaman akan sifat negara yang egois. Menurut Mercer, pengasumsian negara sebagai identitas yang egois dianggap tidak berguna dan tidak sepenuhnya akurat, mengingat identitas dibentuk dan bukan diberikan.75 Mercer juga mengutip Wendt yang menyebutkan bahwa, karena interaksi memengaruhi pembentukan identitas, maka tidak ada alasan untuk menerima asumsi bahwa sifat alamiah negara adalah self-interested dan defensif. 76 Asumsi yang muncul ini seolah berusaha menanamkan bahwa setiap negara merupakan aktor yang self-interested, padahal asumsi ini belum mempertimbangkan aspek bagaimana interaksi yang terjalin antara negara tersebut dengan aktor-aktor lainnya dalam dunia internasional. Proses bagi Mercer merupakan hal yang penting, dan bukan semata-mata asumsi akan struktur internasional yang memengaruhi. Dengan demikian, dengan pemahaman bahwa proses interaksilah yang memengaruhi bagaimana identitas terbentuk, negara dimungkinkan untuk menciptakan identitas yang tidak egois. Serta, interaksi yang terjalin pun membuat negara menjadi lebih memahami negara atau aktor lainnya sehingga negara dapat memprediksi perilaku negara atau aktor lainnya tersebut.77 Apa yang dikemukakan oleh Mercer ini menunjukkan bahwa interaksi yang dilakukan oleh negara nyatanya membantu negara untuk dapat mengidentifikasi siapa dirinya. Interaksi yang terjalin pun membuat negara Jo atha Me e , A a h a d Ide tit , International Organization, 49, 2, 1995, 235. Ibid. 75 Ibid., 233. 76 Ibid., 235. 77 Ibid., 236. 73 74 Universitas Indonesia 43 menjadi memahami mengenai bagaimana aktor lainnya memperlakukan negara tersebut sehingga hal tersebut pada akhirnya memengaruhi pembentukan identitas. Senada dengan Mercer, Maja Zehfuss juga merupakan salah satu tokoh yang juga mempercayai pentingnya interaksi dalam pembentukan identitas. Bagi Zehfuss, identitas aktor tidak diberikan (given), tetapi dikembangkan dan dijaga ataupun diubah melalui interaksi. 78 Interaksi yang dilakukan oleh negara dalam dimensi eksternalnya menjadi wadah bagi negara untuk dapat mengejawantahkan identitas yang telah dibentuk dalam dimensi internalnya terlebih dahulu. Negara memproyeksikan identitas melalui interaksi yang dilakukannya dengan aktoraktor lain. Namun demikian, dari pernyataan Zehfuss dapat dipahami bahwa interaksi tidak hanya menjaga identitas yang telah dibentuk oleh suatu negara, tetapi identitas juga dapat berubah melalui interaksi. 79 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa interaksi merupakan faktor dalam dimensi eksternal yang dapat memengaruhi identitas. Pernyataan Mercer dan Zehfuss tersebut diperkuat juga oleh pernyataan Joanna Tidy. Identitas negara yang merupakan identitas kolektif dilihat oleh Tidy sebagai hal yang tidak terlepas dari interaksinya dengan aktor lain. Dalam berinteraksi, negara melakukan sosialisasi di dalamnya. Proses sosialisasi di antara negara tersebut melibatkan identitasnya dan sebagai timbal balik, struktur ini membentuk aktor dengan mendefinisikan tujuan dan perannya di sistem internasional dan kemudian membentuk identitasnya. 80 Dengan demikian, identitas terbentuk dalam hubungannya dengan aktor lainnya, dan muncul dari interaksinya dengan aktor lainnya. Dalam konteks negara, identitas muncul dari interaksi dan partisipasi aktor dalam konteks institusional, tidak hanya dalam level domestik, tetapi juga dalam level internasional. 81 Pernyataan Tidy ini memperkuat pendapat mengenai pentingnya interaksi dan partisipasi aktor dalam dimensi eksternal dari suatu negara. Tidy dengan pernyataannya tersebut juga menjelaskan Maja )ehfuss, Co st u ti is a d Ide tit : A Da ge ous Liaiso , European Journal of International Relations, 7, 3, 2001, 317-318. 79 Ibid., 319. 80 Joa a Tid , The “o ial Co st u tio of Ide tit : Is aeli Fo eig Poli a d the 6 Wa i Le a o , School of Sociology, Politics, and International Studies, University of Bristol Working Paper, 05-08, 2008, 16. 81 Ibid. 78 Universitas Indonesia 44 bahwa interaksi serta hubungan antara aktor dengan aktor lainnya membentuk struktur yang pada akhirnya dapat memengaruhi pembentukan identitas negara. Jika sebelumnya telah disebutkan mengenai bagaimana Alexandrov menjelaskan tentang faktor internal dalam identitas negara, dalam bagian ini juga akan dijelaskan mengenai pendapat Alexandrov terkait faktor eksternal dari identitas negara. Berbeda dengan faktor internal yang mengacu pada keterwakilan dan pemahaman di dalam negeri, dalam hal ini dimensi eksternal mengacu pada keterwakilan dan pemahaman mengenai negara tersebut dari sudut pandang kaum elit dan publik di negara lain. 82 Dari kalimat tersebut dapat dipahami bahwa dimensi eksternal lebih menjelaskan mengenai bagaimana representasi negara tersebut dilihat oleh pihak eksternal dari negara tersebut yang dalam hal ini adalah masyarakat, publik, dan kaum elit dari negara lain dalam lingkup dunia internasional. Hal ini mengindikasikan bahwa bagaimanapun negara telah membentuk identitasnya, negara tidak bisa sepenuhnya yakin bahwa identitas itu akan tersampaikan pada aktor lainnya karena pada dasarnya dalam dunia internasional yang terpenting adalah bagaimana identitas tersebut dianggap mewakili negara tersebut dan pada akhirnya dipahami oleh masyarakat negara lain. Sehubungan dengan hal ini, Alexandrov juga menambahkan bahwa secara umum, representasi domestik secara mayoritas bersifat positif, sedangkan yang internasional dapat bersifat positif maupun negatif. 83 Hal ini dikarenakan negara berusaha membentuk representasi identitasnya sebaik mungkin, sedangkan sifat identitas bisa negatif maupun positif karena identitas ini bergantung pada bagaimana negara atau aktor lainnya melihat identitas negara tersebut melalui perilaku dan bagaimana interaksi yang terjalin. Dengan demikian, dalam faktor eksternal ini ditekankan bagaimana pada dasarnya interaksi serta hubungan antar negara memiliki peran besar dalam pemahaman akan representasi suatu negara oleh negara lain sehingga dapat memengaruhi identitasnya. Dalam kaitannya dengan faktor eksternal ini, faktor lainnya yang dapat memengaruhi pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional 82 83 Alexandrov, The Co ept of “tate Ide tit , 39. Ibid. Universitas Indonesia 45 adalah eksistensi dari ide serta nilai yang disebut sebagai model budaya dan norma global yang diikuti oleh kebanyakan negara di dunia sehingga memengaruhi apa yang berusaha dicapai dan identitas yang berusaha dibentuk oleh negara-negara di dunia. Merujuk kembali pada Checkel yang mengemukakan tentang bagaimana norma dapat membentuk identitas pada negara, menyebutkan pula bahwa pada dasarnya negara sebagai agen dalam membentuk identitasnya juga dipengaruhi oleh adanya norma global yang eksistensinya dapat memengaruhi dinamika struktur internasional. 84 Pernyataan ini mengindikasikan bahwa dalam level internasional dan global, terdapat norma-norma serta budayabudaya tertentu yang dipercayai dan diakui secara global sehingga mendorong negara-negara di dunia untuk dapat menyesuaikan diri dengan model global tersebut. Signifikansi dari budaya dan norma global dalam pembentukan identitas pada negara juga dikemukakan oleh John W. Meyer et. al. Meyer dan penulis lainnya ini menyebutkan bahwa identitas negara yang terbentuk dalam sistem dan struktur internasional saat ini merupakan produk turunan yang dikonstruksikan dari model budaya dunia. 85 Meyer et. al. melihat bahwa bagaimana negara dan identitasnya terbentuk sangat dipengaruhi oleh apa yang menjadi kultur dan norma secara global, sehingga negara berusaha agar dapat menyesuaikan dengan model kultur dan norma tersebut. 86 Lebih lanjut lagi, model yang berlaku dan meliputi lingkup global ini mendefinisikan dan melegitimasi agenda untuk tindakan negara secara lokal atau domestik, serta membentuk struktur dan kebijakan dari negara baik secara domestik maupun internasional. 87 Hal ini menunjukkan bahwa terdapat model global tertentu yang dianggap baik secara universal sehingga dapat memengaruhi pembentukan identitas pada negara dan tujuannya. Hal ini dikarenakan, model yang terdiri dari budaya dan norma global ini menanamkan pemahaman akan adanya nilai-nilai universal tertentu yang Che kel, The Co st u ti ist Tu , . John W. Meyer, et. al., "World Society and the Nation-State", American Journal of Sociology, 103, 1, 1997, 144. 86 Ibid. 87 Ibid., 145. 84 85 Universitas Indonesia 46 menjadi pedoman bagi negara terkait bagaimana negara tersebut ingin membentuk identitasnya. Argumen Meyer et. al. ini didasarkan pada realita yang menunjukkan bagaimana pada dasarnya negara-negara di dunia cenderung berusaha mencapai tujuan yang sama dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang dianggap universal secara serupa pula. Meyer et. al. melihat bahwa negara dan identitasnya dalam sistem internasional ini secara struktural cenderung serupa dalam berbagai macam dimensi, dan bahkan berubah serta berkembang juga dalam cara-cara yang serupa.88 Negara-negara di dunia dalam membentuk identitasnya berusaha mengikuti dan mengimplementasikan budaya dan norma global yang merupakan konformitas universal, sehingga pada akhirnya identitas-identitas pada negara di dunia cenderung memiliki bentuk yang seragam. Hal ini menunjukkan bahwa dalam level internasional terdapat budaya dan norma global yang berusaha dicapai oleh negara dan pada akhirnya akan mendorong adanya keseragaman bentuk identitas pada negara. Hal yang serupa juga ditekankan oleh Martha Finnemore dalam tulisannya yang berjudul “Norms, culture, and world politics: insights from sociology's institutionalism”. Dalam tulisannya tersebut, Finnemore mengemukakan bahwa terdapat aturan-aturan budaya dunia yang membentuk aktor, termasuk negara dalam mendefinisikan identitas, dan tujuan yang terlegitimasi, logis, dan berusaha dicapainya. 89 Sejalan dengan Meyer et. al., budaya dan norma dunia ini bagi Finnemore juga memproduksi keserupaan dalam pengaturan dan perilaku dari negara-negara di dunia. 90 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam tingkat dan lingkup internasional, terdapat budaya dan norma yang dipercayai secara global sebagai apa yang seharusnya dimiliki oleh tiap aktor sehingga pada akhirnya memengaruhi pembentukan identitas serta tujuan yang ingin dicapai oleh negara. Budaya dan norma global ini menjadi model yang membuat aktor, termasuk negara, berusaha menyesuaikan diri dan pada akhirnya menunjukkan bahwa adanya efek homogenisasi yang muncul dari eksistensi model budaya dan 88 Ibid. Ma tha Fi e o e, No s, ultu e, a d o ld politi s: i sights f o i stitutio alis , International Organization, 50, 2, 1996, 325-326. 90 Ibid., 326. 89 so iolog s Universitas Indonesia 47 norma global ini. Penetapan model budaya dan norma global ini dengan demikian, tidak terlepas dari unsur power dalam politik internasional. Bagaimana sebuah budaya dan norma dapat dijadikan model secara global membutuhkan agen yang memiliki kapabilitas power yang cukup besar dalam hubungan internasional. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat peran hegemon atau aktor dengan power yang cukup besar yang pada akhirnya dapat mengkonstruksikan pemahaman mengenai budaya dan norma ideal yang menjadi panutan bagi seluruh negara di dunia, seperti misalnya demokrasi, penjunjungan tinggi terhadap Hak Asasi Manusia, dan lain sebagainya. Selain hal-hal yang telah disebutkan sebagai faktor eksternal yang memengaruhi pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional, Zalewski dan Enloe, yang sebelumnya menyebutkan bahwa pembentukan identitas didorong oleh keinginan aktor untuk dapat menjawab dan mengetahui siapa dirinya (“Who am I”), juga menjelaskan bahwa pihak lainnya atau „others‟ memiliki andil dalam proses konstruksi identitas suatu negara. „Others‟ dalam hal ini adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam membuat kategori sosial tertentu dan mencoba membuat aktor tersebut berusaha menyesuaikan diri dengan identitas yang dibentuknya. 91 Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa aktor-aktor lain dalam arena internasional seringkali mengkonstruksi identitas aktor lain dengan maksud tertentu hingga negara yang bersangkutan ikut pula berperilaku sesuai dengan identitas yang terkonstruksi tersebut. Tidak hanya itu, Zalewski dan Enloe juga mengelaborasi mengenai pentingnya unsur „others‟ dalam memengaruhi identitas negara dengan mengkaitkannya dengan ancaman yang muncul dari aktor lain dalam hubungan internasional. Zalewski dan Enloe melihat bahwa ada atau tidaknya ancaman dapat menjadi salah satu latar belakang kebutuhan aktor untuk mengklaim serta menjaga eksistensi identitasnya. 92 Ancaman eksternal yang ditujukan pada negara tertentu nyatanya menjadi salah satu alasan yang mendorong negara untuk membentuk identitasnya. Negara berusaha melakukan pertahanan diri dari ancaman dengan membentuk, mengklaim, dan mengkonsruksi pemahaman akan 91 92 Zalewski dan Enloe, Questio s a out Ide tit , 282. Ibid., 286. Universitas Indonesia 48 identitasnya kepada dunia internasional. Konstruksi dan klaim yang dilaksanakan oleh negara ini diupayakan mampu menghindarkan negaranya dari ancaman pihak „others‟ yang dapat membahayakan keberlangsungan negara tersebut. Pernyataan yang dikemukakan oleh Zalewski dan Enloe ini memperkaya pembahasan mengenai dimensi eksternal dalam pembentukan identitas negara. Penekanan terhadap unsur „others‟ yang dilakukan oleh kedua penulis nyatanya menjelaskan bahwa negara pada dasarnya merupakan aktor sosial yang sangat bergantung pada eksistensi, perilaku, serta persepsi dari aktor lainnya terhadap identitas negara tersebut. Terkait dengan eksistensi aktor lain sebagai „others‟ ini seperti yang dikemukakan oleh Zalewski dan Enloe, Wendt juga mengemukakan mengenai identitas sosial sebagai lawan dari identitas korporasi yang sebelumnya telah dijelaskan di bagian faktor-faktor internal. Identitas sosial yang dimaksud oleh Wendt ini adalah seperangkat makna yang disematkan oleh aktor pada dirinya sendiri dengan juga mempertimbangkan perspektif aktor lainnya sebagai objek sosial. 93 Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan identitas suatu negara juga dipengaruhi oleh bagaimana negara melihat aktor lain mempersepsikan negaranya, serta dapat dipahami juga bahwa aktor negara dapat memiliki beberapa identitas sosial yang bervariasi tergantung dalam aspek apa dan oleh siapa identitas tersebut dilihat atau dipersepsikan. Wendt lebih lanjut mengemukakan bahwa identitas sosial ini juga dipengaruhi oleh struktur, dan yang utama adalah seberapa jauh struktur sosial mempenetrasikan konsepsi akan „self‟ dari negara tersebut.94 Struktur dalam hal ini merujuk pada sistem serta pola yang terbentuk dalam lingkup internasional akibat adanya interaksi yang terjalin secara terus menerus dan dilengkapi dengan nilai serta ide yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, maka pada akhirnya penetrasi oleh struktur tersebut akan memengaruhi pembentukan identitas serta kepentingan dari negara tersebut. Identitas sosial serta kepentingan dari suatu aktor negara akan selalu terbentuk dan terjaga dalam konteks interaksi yang terjalin secara terus menerus sehingga identitas serta kepentingan tersebut 93 94 Wendt, Colle ti e Ide tit Fo Ibid., 386. atio , 385-386. Universitas Indonesia 49 seringkali diihat relatif stabil. Apa yang dikemukakan oleh Wendt ini menunjukkan bahwa dirinya mempercayai ide bagaimana identitas dan kepentingan negara tidak diberikan semata-mata namun merupakan hasil konstruksi timbal balik yang dilakukan oleh aktor negara tersebut serta bagaimana hal itu dipengaruhi oleh struktur internasional dan interaksinya dengan negara lain. Dari pembahasan ini dapat dilihat bagaimana berbagai literatur menekankan interaksi serta eksistensi dari aktor lain dalam lingkup eksternal memengaruhi pembentukan identitas negara. Interaksi yang terjadi antar aktor dalam dunia internasional tersebut pada akhirnya membentuk dan memproduksi struktur internasional yang menjadi wadah serta arena di mana interaksi tersebut terjadi. Struktur internasional yang terbentuk ini mengandung karakter-karakter yang pada dasarnya muncul dan dibentuk oleh aktor yang berinteraksi. Namun demikian, hubungan antara aktor dan struktur ini dapat dipahami sebagai hubungan yang saling memengaruhi antar satu sama lain dan hubungan tersebut terus terjalin secara terus menerus. Dalam kaitannya dengan identitas negara sebagai aktor dalam hubungan internasional, Brent J. Steele juga menyebutkan bahwa struktur tidak hanya dihasilkan oleh aktor dan identitasnya, tetapi struktur juga membentuk aktor dan identitasnya tersebut. 95 Hal ini menunjukkan bagaimana struktur internasional dapat memengaruhi pembentukan identitas dari suatu negara, namun identitas negara yang terproyeksi dalam dimensi internasional (eksternal) juga memengaruhi karakter dari struktur internasional tersebut. Steele juga menambahkan mengenai order atau tatanan dunia. Dalam tulisannya tersebut disebutkan bahwa pengaturan sosial jenis apapun, termasuk identitas negara, dibentuk dengan tujuan untuk dapat membentuk tatanan yang tertib dan teratur serta mematuhi peraturan order. Namun demikian, Steele melihat bahwa pada dasarnya order atau tatanan dunia juga merupakan karakter konstitutif dari setiap pengaturan sosial tersebut, yang dalam hal ini adalah identitas negara.96 Tatanan dalam hal ini dipahami memiliki sifat serta karakter 95 96 Steele, Ontological Security in International Relations, 29. Ibid., 28. Universitas Indonesia 50 yang sama dengan struktur internasional yang pada dasarnya memiliki hubungan yang saling memengaruhi dengan identitas negara. Tatanan dunia yang di dalamnya berisi norma serta seperangkat peraturan yang mengatur landasanlandasan bagi aktor dalam hubungan internasional untuk berperilaku dan berinteraksi antara satu sama lain membantu memberikan pedoman bagi negara dalam membentuk identitasnya sehingga pada akhirnya identitas-identitas yang terbentuk tersebut dapat membentuk tatanan yang mendukung situasi internasional yang tertib serta teratur. Poin terkait struktur internasional dan tatanan dunia juga dikemukakan oleh Patricia M. Goff dan Kevin C. Dunn. Keduanya menyebutkan bahwa kondisi perpolitikan global yang terjadi dalam struktur internasional juga memengaruhi pembentukan identitas. Hubungan internasional tentunya diwarnai dengan perubahan peristiwa politik yang lingkupnya global atau internasional. Perubahan serta perkembangan peristiwa politik yang terjadi ini juga nyatanya memiliki peran dalam perkembangan maupun perubahan identitas bagi setiap negara. 97 Hal ini dikarenakan aktor membentuk identitasnya bergantung pada konteks kondisi politik yang sedang berlangsung saat itu. Kondisi politik internasional memengaruhi perilaku aktor negara dan dengan demikian hal tersebut juga pada akhirnya memengaruhi atau bahkan mengubah persepsi akan identitas aktor tersebut. Dengan demikian peristiwa politik yang terjadi dan memiliki efek dalam hubungan internasional secara umum dapat memengaruhi bagaimana negara berusaha memproyeksikan identitasnya. Sehingga, pergeseran maupun perubahan identitas suatu negara pun bukan menjadi hal yang mustahil untuk terjadi. Pemaparan terkait faktor eksternal ini dengan demikian menjelaskan bahwa pada dasarnya identitas suatu negara tidak hanya dibentuk dan dikonstruksikan dari dalam negara, tetapi juga di luar negara. Hal ini juga dikarenakan identitas negara tidak hanya diproyeksikan dalam lingkup domestik, tetapi juga di level internasional yang di dalamnya mengandung hubungan dan interaksi antar aktor yang membentuk struktur serta tatanan global. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa pada dasarnya pembentukan identitas dikontestasikan 97 Goff dan Dunn, Co lusio , 239. Universitas Indonesia 51 dalam arena internasional dan kontestasi yang terjadi ini juga memengaruhi sifat serta karakter dari identitas tersebut. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa negara membentuk identitasnya sendiri, namun demikian nyatanya mengingat identitas tersebut juga diproyeksikan dalam lingkup eksternal, maka identitas tersebut juga bergantung pada bagaimana aktor lainnya dipahami dan dilihat oleh aktor lainnya. Sehingga, seberapapun kuatnya negara dalam membentuk identitasnya, hal tersebut hanya akan menghasilkan identitas yang kualitasnya subjektif jika tidak dapat dipahami oleh aktor lainnya. Identitas dapat pada akhirnya memiliki kualitas intersubjektif ketika negara memproyeksikan identitas hingga terdapat makna serta pemahaman yang dimiliki oleh aktor-aktor lainnya. Faktor eksternal dalam pemaparan ini merujuk pada bagaimana dunia internasional dan apa yang terjadi di dalamnya dapat memengaruhi pembentukan identitas negara. Dalam bagian ini dapat dipahami bahwa interaksi, budaya dan norma global, eksistensi aktor lain, struktur, serta tatanan global memiliki peran dalam memengaruhi identitas negara yang terbentuk. Seperti yang telah disebutkan pada bagian awal, bahwa negara merupakan aktor utama dalam hubungan internasional, maka bagaimana negara berinteraksi dalam suatu struktur internasional dalam konteks tertentu dapat menyebabkan perubahan atau pergeseran identitas. Identitas berkembang seiring berjalannya waktu, dan demikian pula dengan struktur maupun tatanan global. Berkembangnya zaman ini juga mengandung beberapa perubahan peristiwa politik level global yang dapat memengaruhi perilaku negara. Perilaku negara yang berubah ini dapat memunculkan persepsi tertentu mengenai negara tersebut oleh aktor ataupun negara lainnya. Perilaku negara umumnya dapat terlihat dari kebijakan luar negeri negara tersebut, dan perumusan atau penyusunan kebijakan luar negeri tersebut pada dasarnya bergantung pada konteks situasi politik yang tengah berlangsung saat itu. Namun demikian, terdapat pula faktor budaya dan norma global yang berlaku secara universal yang secara tidak langsung mendorong negara untuk membentuk identitasnya secara cenderung seragam dengan identitas-identitas lainnya. Dengan demikian, secara eksternal, terdapat berbagai macam faktor yang pada dasarnya saling tarik menarik sehingga memengaruhi dinamika pembentukan dan perkembangan pembentukan identitas. Penjelasan pada bagian Universitas Indonesia 52 ini memperlihatkan bahwa identitas pada dasarnya tidak hanya terbentuk dari dalam negara tersebut, tetapi juga terdapat faktor-faktor eksternal yang mampu memengaruhi identitas negara yang terbentuk. Universitas Indonesia 53 Analisis Pembentukan Identitas pada Negara dalam Hubungan Internasional: Identifikasi dan Persepsi Sebelum masuk pada analisis terkait permasalahan yang diangkat dalam literature-review ini, penulis akan memaparkan hasil distribusi literatur yang digunakan dalam tulisan ini. Pada bagian pendahuluan telah disebutkan bahwa penulis menggunakan literatur dari tiga jenis studi yaitu, studi Ilmu Hubungan Internasional, Politik, dan Sosiologi. Ketiga jenis studi tersebut menyediakan pendekatan yang berbeda dalam literatur-literaturnya dalam menjawab pertanyaan permasalahan yang diangkat. Dalam menjelaskan mengenai identitas pada negara, pada dasarnya ketiga studi ini menyediakan penjelasan yang overlapping atau tumpang tindih antara satu sama lain. Namun demikian, pendekatan yang digunakan memiliki perbedaan antara satu sama lain. Dalam hal ini, literatur-literatur dalam studi Ilmu Hubungan Internasional banyak berkontribusi pada bagaimana identitas dapat terbentuk dalam aktor negara, dan bagaimana dimensi internasional serta interaksi antar aktor dapat memengaruhi pembentukan hal tersebut. Sedangkan, literatur dalam studi Politik memberikan pemahaman mengenai bagaimana negara merupakan sebuah aktor politik yang menciptakan batasan-batasannya, serta mendefinisikan efek politik dari norma, budaya, dan faktor-faktor lainnya yang pada akhirnya meregulasikan tindakan dan perilaku yang diekspektasikan untuk diimplementasikan. Studi Politik juga menjelaskan mengenai dimensi power di mana pembentukan identitas tidak dapat terlepas dari hal tersebut. Selanjutnya, literatur dalam studi Sosiologi menekankan dan menyediakan penjelasan bagaimana identitas dikonstruksikan oleh faktor-faktor esensi seperti norma dan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini, studi Sosiologi membuka pemahaman bahwa negara dan identitasnya merupakan sebuah konstruksi dan dibentuk karena adanya proses interaksi yang sifatnya konstitutif di dalamnya. Selanjutnya, dari literatur-literatur yang digunakan dan telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, dapat dipahami bahwa proses pembentukan identitas pada negara terbagi menjadi dua dimensi besar, yaitu internal dan eksternal. Dari pembahasan yang telah dilakukan, pemetaan faktor-faktor yang memengaruhi Universitas Indonesia 54 pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional dapat dijabarkan melalui gambar berikut: Pembentukan Identitas pada Negara dalam Hubungan Internasional Eksternal Internal Faktor Esensial Faktor Turunan Norma Diskursus Budaya Simbolisme Material Belief Kualitas Intrinsik Bahasa Kebutuhan Politik Sejarah Gambar 1: Pemetaan Hasil Temuan Gambar di atas menunjukkan pemetaan hasil temuan penulis bahwa pada dasarnya proses pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional terjadi baik secara internal dan secara eksternal. Dalam hal ini, proses yang terjadi dalam internal mengacu pada faktor-faktor yang datang dari domestik negara tersebut, sedangkan proses eksternal mengacu pada bagaimana identitas negara terbentuk melalui interaksi serta apa yang terjadi di luar negara, atau dalam konteks lingkup internasional. Pada faktor internal, terdapat dua jenis faktor yaitu, esensial dan turunan. Keduanya merupakan faktor yang datangnya dari dalam negara tersebut dan pada dasarnya tidak secara eksklusif memengaruhi pembentukan identitas negara. Pada bagian ini, penulis akan menganalisis bagaimana hubungan antar faktor tersebut dapat memengaruhi pembentukan Universitas Indonesia 55 identitas pada negara serta mengemukakan argumen penulis terkait masalah yang diangkat ini. Seperti yang telah disebutkan, pembahasan yang telah dilakukan ini menunjukkan bahwa dalam membentuk identitas faktor-faktor yang telah disebutkan itu memiliki hubungan antar satu sama lain. Faktor internal terdiri dari dua jenis faktor, yaitu esensial dan turunan. Faktor turunan dalam hal ini pada praktiknya terbentuk dari beberapa faktor esensial serta faktor-faktor lain yang mendukung. Hubungan konstitutif yang terjadi dalam dua jenis faktor dalam lingkup internal ini dapat dipahami melalui gambar berikut: Gambar 2: Pemetaan Hubungan antara Faktor-Faktor Internal Dalam gambar tersebut, terdapat garis-garis panah yang menunjukkan hubungan di antara kedua jenis faktor. Garis-garis tersebut menggambarkan bagaimana faktor-faktor yang merupakan faktor esensial dalam masyarakat pada akhirnya mendorong munculnya faktor turunan. Dapat dilihat pada gambar di atas bahwa sebuah faktor turunan terbentuk dari dua atau lebih faktor esensial. Beberapa faktor esensial tersebut berinteraksi sehingga mendorong adanya diskursus, simbolisme dalam bentuk material oleh negara, kualitas intrinsik yang Universitas Indonesia 56 dimiliki oleh negara, dan kebutuhan politik negara tersebut untuk melakukan inklusi dan eksklusi. Diskursus yang merupakan salah satu bentuk faktor turunan muncul karena adanya kombinasi dari faktor bahasa dan belief. Kedua faktor tersebut mendorong pembentukan diskursus yang dapat menekankan dan mengklaim pembentukan identitas pada negara. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, efektivitas diskursus ini juga dipengaruhi oleh agensi yang menyampaikan dan konteks situasi yang sedang berlangsung. Faktor turunan selanjutnya adalah simbolisme material. Dalam gambar tersebut diperlihatkan bahwa simbolisme dalam bentuk material ini didorong oleh gabungan faktor-faktor norma, budaya, belief, dan sejarah. Faktor-faktor tersebut berinteraksi hingga mendorong pembentukan simbol-simbol dalam bentuk material seperti monumen, produk kesenian adat, coloseum, dan lain sebagainya seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur-unsur nyata yang bersifat material ini terbentuk sebagai simbol dari faktor-faktor esensial yang terkandung dalam masyarakat sehingga memunculkan rasa kepemilikan identitas yang sama, yaitu identitas negara sebagai identitas kolektif. Kualitas intrinsik seperti telah disebutkan sebelumnya merujuk pada kondisi politik serta kondisi konstituen negara tersebut. Sesuai dengan gambar di atas, kualitas intrinsik ini terbentuk akibat interaksi dari kelima faktor esensial yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu norma, budaya, belief, bahasa, dan sejarah. Pada dasarnya keseluruhan faktor tersebut berkontribusi pada pembentukan situasi domestik dan bagaimana warga negara tersebut berperilaku dan membentuk identitas kolektif. Selain itu, faktor-faktor ini juga disertai dengan faktor material seperti sumber daya alam yang dapat memperkaya kualitas intrinsik negara. Kebutuhan politik menjadi faktor turunan terakhir yang dibahas dalam tulisan ini. Dalam hal ini kebutuhan politik merujuk pada kenyataan bahwa negara memiliki keperluan untuk membentuk batasan-batasan antara identitasnya dengan identitas lainnya dengan cara melakukan inklusi dan eksklusi. Kebutuhan politik ini didasarkan kesadaran serta kepercayaan (belief) yang dikandung oleh masyarakatnya bahwa mereka merupakan satu kesatuan yang berbeda dengan entitas lainnya. Selain itu, kebutuhan politik ini juga dibentuk karena adanya Universitas Indonesia 57 faktor-faktor esensial lainnya. Sebab pada dasarnya, kebutuhan politik ini muncul karena negara memiliki kesadaran akan sense of belonging dari keseluruhan faktor tersebut yang membentuk negara sebagai sebuah entitas yang distinct sehingga pada akhirnya mendorong keinginan negara untuk memformalkan bentuk identitas seperti misalnya melalui perumusan dan pengimplementasian kebijakan luar negeri. Dalam penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa faktor-faktor yang datangnya dari dalam negara nyatanya memiliki hubungan antara satu sama lain sehingga membentuk identitas negara yang padu. Penulis secara pribadi melihat bahwa penjelasan dan pemaparan terkait faktor simbolisme dalam bentuk material merupakan hal yang sangat menarik. Penjelasan tersebut berbeda dengan penjelasan mengenai pembentukan identitas yang biasanya diwarnai oleh pendekatan tradisional mengenai pentingnya faktor-faktor non-material. Faktor simbolisme dalam bentuk material ini menunjukkan bahwa nyatanya unsur yang wujud serta sifatnya nyata juga dapat memengaruhi pembentukan identitas pada negara. Simbolisme ini memang mengandung unsur-unsur non-material, namun apa yang dikemukakan oleh Acuff seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa unsur-unsur non-material yang diterjemahkan dan disimbolkan dalam bentuk material nyata juga memiliki signifikansi dalam pembentukan identitas pada negara. Simbolisasi dalam bentuk material ini juga seringkali menjadi hal yang membentuk pemahaman serta merepresentasikan negara tersebut ke masyarakat luar. Penjelasan bagaimana identitas pada negara terbentuk dari dalam negara itu sendiri pada dasarnya juga memperlihatkan bagaimana pada dasarnya internal negara memiliki unsur-unsur yang mampu membentuk pemahaman akan solidaritas dan rasa kesatuan yang diimajinasikan dalam batas-batas negara yang telah dibentuk. Hal ini juga menunjukkan bahwa dalam dimensi internal ini, identitas pada negara yang terbentuk cenderung berusaha menasionalisasi untuk pada akhirnya membedakan identitas pada negara tersebut dengan identitas lainnya. Dalam penjelasan mengenai internal ini terlihat bahwa terdapat unsurunsur di dalam negara yang diyakini bersama secara kolektif dan imajiner sehingga memberikan batas jelas dan membedakan identitas negara yang satu Universitas Indonesia 58 dengan identitas negara lain. Negara berusaha menjadi berbeda, dengan melihat bahwa dirinya memiliki unsur-unsur khas tertentu yang membentuk identitasnya. Unsur-unsur yang terkandung dalam faktor esensial dan faktor turunan ini tidak sama antara negara satu dengan negara lainnya, dengan demikian identitas yang terbentuk pun juga berbeda. Selain itu, pembentukan identitas pada negara dalam lingkup domestik ini pada dasarnya juga tidak terlepas dari unsur power. Dalam penjelasan mengenai faktor internal khususnya, dijelaskan bagaimana identitas pada negara dapat terbentuk dari dalam negara itu sendiri. Nyatanya dalam hal ini, proses yang terjadi tersebut juga melibatkan unsur power. Bagaimana negara membentuk identitasnya seringkali dianggap sebagai sebuah usaha dari pemerintah negara tersebut untuk menanamkan pemahaman identitas kenegaraan. Identitas dalam hal ini juga erat kaitannya dengan pemberian makna. Dalam pemberian makna inilah power pada akhirnya digunakan. Power digunakan dalam upaya penanaman pemahaman dan makna. Dalam lingkup internal, power melekat pada agen-agen tertentu yang berpengaruh. Agen-agen tersebut memiliki kapabilitas power yang didukung oleh posisi yang menentukan sehingga agen tersebut memiliki pengaruh yang besar pada masyarakat melalui klaim dan konstruksi akan identitas pada negara yang dilakukan. Power dengan demikian menjadi relevan dalam pembentukan identitas pada negara, karena penggunaan power yang tepat dapat mendorong pembentukan identitas pada negara sesuai dengan visi yang dimiliki. Agen-agen yang dianggap memiliki power dalam mengkonstruksi pemahaman makna dari identitas misalnya adalah elit politik, orang-orang yang duduk di bangku pemerintahan, tokoh masyarakat, dan aktor-aktor internal yang berpengaruh lainnya. Agen-agen tersebut memiliki power untuk menginternalisasikan pemahaman mengenai identitas pada negara melalui caracara tertentu yang dimungkinkan oleh kepemilikan power tersebut. Analisis penggunaan power dalam lingkup internal ini menggiring kita kepada pemahaman bahwa identitas pada negara dapat dibentuk melalui proses top-down maupun bottom-up. Proses top-down ini mengacu pada bagaimana terdapat agen-agen dalam pemerintahan yang mengklaim dan menanamkan identitas agar pemahaman mengenai identitas pada negara tersebut tumbuh pada Universitas Indonesia 59 diri masyarakat bahkan hingga level akar-rumput. Sedangkan, proses bottom-up dalam pembentukan identitas pada negara merujuk pada bagaimana identitas muncul dalam diri masyarakat dalam level akar-rumput, sehingga hal tersebut pada akhirnya mendorong pembentukan identitas pada negara dalam level yang lebih besar lagi. Penggunaan kedua proses ini dalam pembentukan identitas pada negara pada dasarnya tergantung pada jenis negara tersebut. Negara yang masyarakatnya plural ataupun berbentuk federal, misalnya, cenderung akan membentuk identitas pada negaranya melalui proses top-down agar walaupun plural dan terdiri dari daerah-daerah tertentu, masyarakat dalam negara tersebut dapat tetap merasa terikat oleh suatu identitas yang ditanamkan. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, identitas nyatanya tidak hanya terbentuk dari dalam negara tersebut. Proses pembentukan identitas pada negara juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang datang dari luar negara. Proses bagaimana identitas suatu negara yang telah dibentuk oleh faktor-faktor internal kemudian dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor eksternal dapat dijelaskan melalui gambar berikut: Gambar 3: Proses Pembentukan Identitas Negara dari Internal dan Eksternal Universitas Indonesia 60 Gambar tersebut menunjukkan bagaimana faktor eksternal juga dapat memengaruhi pembentukan identitas pada negara. Merujuk pada pembahasan yang telah disebutkan sebelumnya bahwa faktor eksternal ini merupakan faktorfaktor yang berasal dari luar negara, yaitu lingkup internasionalnya. Jika diperhatikan pula, yang termasuk faktor eksternal dalam hal ini adalah kondisi politik global, budaya dan norma global, tatanan dunia, struktur internasional, serta aktor-aktor lainnya. Dalam hal ini, faktor-faktor tersebut pada praktiknya dapat memengaruhi pembentukan identitas yang sebelumnya sudah terbentuk atas dorongan faktor-faktor yang terdapat dalam internalnya. Lingkup internasional merupakan salah satu dimensi di mana identitas diproyeksikan, selain pada lingkup domestik. Dengan demikian, hal-hal yang terjadi dalam lingkup internasional juga dapat memengaruhi identitas yang terbentuk pada negara. Faktor-faktor yang datang dari eksternal negara memengaruhi bagaimana negara memutuskan bagaimana harus bertindak terhadap suatu situasi tertentu sehingga hal tersebut pada akhirnya dapat berkontribusi bagaimana identitas negara pada akhirnya dilihat oleh aktor-aktor lainnya dalam hubungan internasional. Dengan demikian, dalam lingkup internasional ini dapat dipahami bahwa interaksi merupakan salah satu hal dan proses yang penting. Gambar di atas juga menunjukkan bahwa tidak ada satupun faktor yang secara eksklusif dapat membentuk identitas pada negara. Hal ini dikarenakan pada dasarnya keseluruhan faktor, baik internal maupun eksternal memiliki hubungan saling memengaruhi antar satu sama lain sehingga identitas pada negara pada akhirnya terbentuk. Selain itu perlu dipahami pula dari gambar-gambar serta analisis yang dikemukakan bahwa pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional merupakan proses yang berlangsung terus menerus dan tidak pernah berhenti, sebab interaksi serta perkembangan situasi sosial politik, baik dalam dimensi domestik maupun internasional juga merupakan proses yang akan terus bergulir seiring berjalannya waktu. Identitas pada negara berkembang terus-menerus dan selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor yang juga terus berevolusi dan berkembang. Jika sebelumnya disebutkan bahwa secara internal, negara berusaha membentuk identitasnya supaya berbeda dengan identitas negara-negara lainnya, Universitas Indonesia 61 kehadiran budaya dan norma global sebagai salah satu faktor eksternal yang berkontribusi dalam pembentukan identitas pada negara ini juga menunjukkan bahwa pada dasarnya, dalam lingkup internasional, proses pembentukan identitas negara cenderung berusaha menyeragamkan (uniforming). Hal ini dikarenakan pada dasarnya terdapat model budaya dan norma global yang berlaku secara internasional yang memengaruhi bentuk identitas pada negara, sehingga identitas pada negara-negara di dunia cenderung berusaha menuju ke arah dan model yang sama. Proses yang terjadi baik di level internal dan juga eksternal ini pada akhirnya saling memengaruhi pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, proses ini berlangsung terus menerus dan merupakan proses yang tidak pernah selesai sehingga perubahan atau perkembangan identitas pada negara pun dimungkinkan seiring dengan lingkup internal maupun eksternal yang juga terus berkembang. Dalam analisis terkait pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional ini, signifikansi dari faktor eksternal merupakan poin yang menurut penulis penting untuk dipahami. Hal ini terutama didasarkan pada konteks yang diangkat dalam tulisan ini, yaitu konteks hubungan internasional. Penulis melihat bahwa dalam proses identifikasi siapa negara sebenarnya nyatanya tidak terlepas dari eksistensi aktor lainnya dalam hubungan internasional. Tatanan dunia, budaya dan norma global yang terbentuk, struktur internasional, serta kondisi politik global yang merupakan faktor-faktor eksternal pada dasarnya merupakan hasil dari hubungan antar aktor yang sifatnya konstitutif pada situasi internasional. Interaksi antara suatu negara dengan aktor lainnya nyatanya berpengaruh pada pembentukan identitas negara tersebut. Bahkan, interaksi yang dilakukan oleh aktor-aktor lainnya juga dapat memengaruhi bagaimana suatu negara akan membentuk identitasnya untuk pada akhirnya diterjemahkan ke dalam aksi serta kebijakannya di ranah internasional. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam konteks hubungan internasional ini, penulis melihat bahwa eksistensi aktor lain merupakan hal yang signifikan dalam pembentukan identitas pada negara. Pentingnya eksistensi aktor lain sebagai „other‟ dalam analisis pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional ini juga didasarkan pada fakta bahwa bagaimana aktor lain melihat suatu negara dapat Universitas Indonesia 62 menimbulkan persepsi yang dapat memengaruhi hubungan antar aktor dan juga identitas dari negara tersebut. Bahkan, jika dilihat dalam konteks hubungan internasional, masalah utama yang seringkali muncul terkait identitas adalah bagaimana aktor lain mempersepsikan identitas negara tersebut. Persepsi aktor lain dalam hal ini memegang peranan penting, karena pada dasarnya negara membentuk identitasnya untuk pada akhirnya diproyeksikan dalam lingkup internasional dan pada akhirnya dipersepsikan oleh aktor lain. Bagaimana aktor lain mempersepsikan identitas suatu negara belum tentu sejalan dengan sifat identitas yang berusaha dibentuk oleh negara. Persepsi ini pada akhirnya menentukan bagaimana aktor lain akan menjalin hubungan dengan negara tersebut. Signifikansi dari persepsi aktor lain sebagai unsur „other‟ dalam hal ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: jika identitas suatu negara dipersepsikan negatif sebagai ancaman oleh aktor lainnya, maka hal tersebut akan memengaruhi aksi atau kebijakan yang akan diimplementasikan oleh aktor lainnya terhadap negara sehingga terdapat kemungkinan bahwa hubungan yang terjalin di antara keduanya akan diwarnai dengan rasa tidak aman dan saling curiga. Namun, jika identitas suatu negara dipersepsikan positif dan tidak mengancam, maka kemungkinan keduanya untuk menjalin hubungan kerjasama yang bersifat positif pun lebih besar. Persepsi negatif ataupun positif oleh „other‟ ini pada akhirnya juga dapat berkontribusi pada bagaimana negara memahami identitasnya sendiri, dan bagaimana identitas tersebut pada akhirnya dipersepsikan oleh pihak luar. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi dengan demikian juga merupakan salah satu hal penting dalam pembentukan identitas. Penulis melihat bahwa walaupun negara berusaha membentuk identitasnya sendiri secara internal, nyatanya hubungan internasional lebih ditentukan dan dipengaruhi oleh bagaimana pihak eksternal mempersepsikan identitas negara. Negara memang memiliki kapabilitas untuk menentukan dan membentuk identitasnya sendiri melalui faktor-faktor internal yang terkandung dalam negara tersebut, namun demikian apa yang diidentifikasikan oleh negara tersebut terkait dirinya belum tentu sesuai dengan bagaimana aktor lain melihat dan mempersepsikan negara tersebut. Identitas negara, oleh karena itu, dikontestasikan Universitas Indonesia 63 seiring dengan apa yang tengah berlangsung dalam arena internasional. Negara tentunya berusaha membentuk identitasnya supaya dapat merepresentasikan negaranya secara positif. Namun demikian, hal ini kembali lagi pada bagaimana negara atau aktor lain melihat perilaku, gerak-gerik, serta kebijakan luar negeri negara tersebut. Aktor lain atau pihak eksternal dalam hal ini belum tentu melihat identitas suatu negara bersifat positif, karena hal ini berkaitan dengan konteks yang berlaku dan bagaimana aktor lain memiliki persepsi akan konteks tersebut. Oleh karena itu, dalam tulisan ini argumen penulis menekankan bahwa faktor eksternal memiliki pengaruh yang besar dalam hubungannya dengan identitas suatu negara dalam hubungan internasional. Universitas Indonesia 64 Kesimpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan oleh penulis maka dapat dipahami bahwa pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional merupakan proses yang terjadi akibat dua faktor yaitu internal dan eksternal yang saling berinteraksi secara terus menerus sehingga identitas pada negara pada akhirnya terbentuk dan berkembang seiring berjalannya waktu. Merujuk pada bagian pendahuluan, pertanyaan permasalahan yang diangkat sebagai fokus dalam tulisan ini adalah “Bagaimanakah identitas pada suatu negara dalam hubungan internasional dapat terbentuk?”. Melalui pemaparan literatur, pembahasan, serta analisis yang telah dilakukan dalam tulisan ini, penulis menjawab pertanyaan permasalahan yang diajukan tersebut melalui ilustrasi yang digambarkan melalui model berikut ini: Universitas Indonesia 65 Gambar 4: Ilustrasi Proses Keseluruhan Pembentukan Identitas pada Negara dalam Hubungan Internasional Gambar di atas pada dasarnya mengilustrasikan proses pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional secara keseluruhan berdasarkan pembahasan dan analisis yang telah dilakukan. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa faktor-faktor internal negara berinteraksi untuk membentuk identitas dan identitas tersebut juga dipengaruhi oleh apa yang terjadi serta kondisi arena internasional sebagai faktor eksternal. Dalam kesimpulan ini, penulis ingin menekankan bahwa proses yang terjadi dalam pembentukan identitas negara dalam hubungan internasional ini berlangsung terus menerus dan merupakan proses yang tidak pernah selesai karena identitas dapat terus berkembang, bahkan berubah sesuai dengan kondisi domestik dan internasional yang berlangsung dan juga berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Gambar tersebut juga mengindikasikan bahwa pembentukan identitas negara dalam hubungan internasional dipengaruhi oleh bagaimana negara berusaha membentuk identitas lokal yang distinct dalam batasan-batasan yang telah ditentukan secara internal, dan bagaimana lingkup internasional yang kompleks dan mengandung model budaya serta norma global cenderung membuat negara semakin menuju arah yang serupa atau cenderung menghomogenisasikan bentuk serta tujuan dari identitas negara. Selain itu, pembentukan identitas negara ini juga sangat diwarnai dengan hubungan interaksi saling memengaruhi antara negara sebagai sebuah aktor dengan aktor-aktor lainnya dalam hubungan internasional yang membuat proses ini kental dengan unsur identifikasi dan persepsi. Universitas Indonesia 66 Dalam penarikan kesimpulan terkait pertanyaan permasalahan yang diangkat ini, penulis juga kembali menekankan pada konteks hubungan internasional, yang pada akhirnya membuat penulis berargumen bahwa dalam proses pembentukan identitas ini faktor eksternal memiliki signifikansi yang tinggi. Merujuk pada keseluruhan temuan, pembahasan, dan analisis terkait permasalahan yang diangkat dalam literature-review ini, maka dapat disimpulkan bahwa :  Identitas suatu negara merupakan salah satu objek kajian yang penting dalam hubungan internasional karena pemahaman akan identitas dapat  meningkatkan prediktabilitas dalam hubungan internasional. Terdapat dua faktor yang memengaruhi pembentukan identitas yaitu faktor internal dan eksternal. Proses yang terjadi dalam kedua lingkup faktor ini berlangsung terus menerus dan saling memengaruhi untuk pada akhirnya menghasilkan identitas pada negara yang padu namun dapat terus berubah  seiring dengan perkembangan kondisi domestik maupun internasional. Dalam faktor internal, pembentukan identitas pada negara diwarnai oleh dinamika bagaimana negara berusaha membentuk identitas yang berbeda dari identitas lainnya. Sedangkan, dalam faktor eksternal, pembentukan identitas pada negara dipengaruhi oleh eksistensi model budaya dan norma global yang dianggap ideal secara universal sehingga cenderung menyeragamkan atau menghomegenisasikan bentuk serta tujuan negara  dan identitasnya. Dalam konteks hubungan internasional, faktor eksternal terutama eksistensi dari aktor lain sebagai „other‟ memegang peranan penting dalam  pembentukan identitas pada negara. Dalam pembentukan identitas pada suatu negara dalam hubungan internasional, terjadi dua jenis aktivitas yang berkontribusi, yaitu identifikasi negara terhadap identitasnya sendiri serta persepsi aktor lain terhadap identitas tersebut. Dari pembahasan serta analisis yang telah dilakukan dalam tulisan ini, penulis merekomendasikan perlunya pembahasan lebih jauh mengenai dampak Universitas Indonesia 67 dari persepsi akan identitas suatu aktor negara oleh aktor lainnya. Pembahasan terkait bagaimana persepsi aktor lain dapat berpengaruh pada bagaimana suatu aktor melihat dirinya sendiri serta bagaimana persepsi tersebut memengaruhi bagaimana aktor tersebut berperilaku dalam kerangka hubungan internasional merupakan hal yang menarik untuk dapat ditelaah lebih lanjut. Eksplorasi akan hal tersebut dapat memperkaya kajian Ilmu Hubungan Internasional terkait hubungan antara persepsi dan identifikasi terhadap identitas dalam kerangka hubungan internasional. Serta, melalui hal tersebut pula pembaca dapat memahami dengan lebih jelas mengenai peran besar eksistensi dari pihak „others‟ dalam hubungan internasional, terutama terkait dengan pembahasan mengenai pembentukan identitas pada negara yang pada akhirnya dapat berkontribusi pada pemahaman akan pola interaksi dan struktur hubungan internasional yang terbentuk di antara aktor-aktor yang terlibat. Selain itu, eksplorasi lebih dalam terkait anggapan dan persepsi mengenai model budaya dan norma global yang dianggap ideal dan pengaruhnya terhadap identitas pada negara juga merupakan hal lainnya yang menurut penulis perlu dilakukan. Anggapan bahwa terdapat model budaya dan norma universal tertentu yang perlu dicapai oleh negara dalam hal ini pada dasarnya dapat memperlihatkan dampak dari sisi sosiologi dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional pada pembentukan identitas pada negara dan dapat memperkaya kajian Ilmu Hubungan Internasional lebih lanjut. Penulis melihat signifikansi faktor-faktor eksternal dalam pembentukan identitas pada negara ini cukup tinggi, sehingga pemahaman mengenai unsur-unsur di dalamnya secara lebih dalam diperlukan untuk dapat memahami bagaimana lingkup internasional dapat memengaruhi pembentukan identitas pada negara. Serta, pembahasan mengenai bagaimana identitas yang terbentuk pada negara dapat memengaruhi konstelasi politik dalam lingkup internasional juga merupakan hal lain yang dapat memperkaya kajian ilmu ini, dan mampu memperlihatkan bagaimana identitas pada negara dengan lingkup internasional memiliki hubungan saling memengaruhi antara satu sama lain. Universitas Indonesia 68 DAFTAR REFERENSI Acuff, Jonathan M. “Spectacle and Space in the Creation of Premodern and Modern Polities: Toward a Mixed Ontology of Collective Identity”. International Political Sociology, 6, (2012): 132–148. Alexandrov, Maxym. “The Concept of State Identity in International Relations: A Theoretical Analysis”. Journal of International Development and Cooperation, 10, 1, (2003): 33-46. Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. New York: Verso, 1991. Blyth, Mark. “Structures Do Not Come with an Instruction Sheet: Interests, Ideas, and Progress in Political Science”. Perspectives on Politics, 1, 4, (2003): 695-706. Brubaker, Rogers dan Frederick Cooper. “Beyond Identity”. Theory and Society. 29, (2000): 1-47. Calhoun,Craig (ed.). Social Identity and the Politics of Identity. Oxford: Blackwell Publisher, 1994. Campbell, David. Writing Security: United States Foreign Policy and the Politics of Identity. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1992. Castells, Manuel. The Power of Identity. Chicchester:Wiley–Blackwell, 2010. Checkel, Jeffrey T. “The Constructivist Turn in International Relations Theory”. World Politics, 50, (1998): 324-348. Dunn, Kevin C. “Narrating Identity: Constructing the Congo During the 1960 Crisis”. Dalam Identity and Global Politic: Empirical and Theoretical Elaborations, diedit oleh Patricia M. Goff dan Kevin C. Dunn. New York: Palgrave Macmillan, 2004. Epstein, Charlotte. “Who speaks? Discourse, the subject and the study of identity in international politics”. European Journal of International Relations, XX(X), (2010): 1–24. Finnemore, Martha. “Norms, culture, and world politics: insights from sociology‟s institutionalism”. International Organization, 50, 2, (1996): 325-347. Finnemore, Martha dan Kathryn Sikkink. “Taking Stock: The Constructivist Research Program in International Relations and Comparative Politics”. Annual Review of Political Science, 4, (2001): 391-416. Goff, Patricia M. dan Kevin C. Dunn, “Conclusion: Revisiting the Four Dimension of Identity”. Dalam Identity and Global Politic: Empirical and Universitas Indonesia 69 Theoretical Elaborations, diedit oleh Patricia M. Goff dan Kevin C. Dunn. New York:, Palgrave Macmillan, 2004. Griffiths, Martin dan Terry O‟Callaghan. International Relations: The Key Concepts. New York: Routledge, 2004. Hobson, John M. The State and International Relations. New York: Cambridge University Press, 2000. Hofstede, Geert. Cultures and Organizations: Software of the Mind. London: Harper Collins Business, 1994. Hopf, Ted. “The logic of habit in International Relations”. European Journal of International Relations, 16, 4, (2010), 539-561. Hopf, Ted. “The Promise of Constructivism in International Relations”. International Security, 23, 1, (1998), 171-200. Huntington, Samuel P. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. London: Penguin Books Ltd, 1996. Jenkins, Richard. Social Identity. London: Routledge, 1996. Jepperson, Ronald J., Alexander Wendt, dan Peter J. Katzenstein. "Norms, Identity, and Culture in National Security". Dalam The Culture of National Security, diedit oleh Peter J. Katzenstein. New York: Columbia University Press, 1996. Klotz, Audie. Norms in International Relations: The Struggle against Apartheid. New York: Cornell University Press, 1999. Kowert, Paul dan Jeffrey Legro. “Norms, Identity, and Their Limits”. Dalam The Culture of National Security, diedit oleh Peter Katzenstein. New York: Columbia University Press, 1996. Kratochwil, Friedrich. “History, Action and Identity: Revisiting the „Second‟ Great Debate and Assessing its Importance for Social Theory”. European Journal of International Relations, SAGE Publications and ECPREuropean Consortium for Political Research, 12, 1, (2006): 5-29. Lynch, Marc. “Abandoning Iraq: Jordan's Alliances and the Politics of State Identity”. Security Studies, 8, 2–3, (1999). Mercer, Jonathan. “Anarchy and Identity”, International Organization, 49, 2, (1995): 229-252. Meyer, John M., John Boli, George M. Thomas, dan Francisco O. Ramirez. "World Society and the Nation-State”. American Journal of Sociology, 103, 1, (1997): 144-181. Universitas Indonesia 70 Miyashita, Akitoshi. “Where do norms come from? Foundation of Japan‟s postwar pacifism”. International Relations of the Asia Pacific, 7, (2007): 99-120. Palan, Ronen. “A world of their making: an evaluation of the constructivist critique in International Relations”. Review of International Studies, 26, 4, (2000): 575-598. Rae, Heather. State Identities and the Homogenisation of Peoples. New York: Cambridge University Press, 2002. Spencer-Oatey, Helen. Culturally Speaking: Culture, Communication and Politeness Theory. London: Continuum, 2008. Steele, Brent J. Ontological Security in International Relations: Self-identity and the IR State. New York: Routledge, 2008. Tidy, Joanna. “The Social Construction of Identity: Israeli Foreign Policy and the 2006 War in Lebanon”. School of Sociology, Politics, and International Studies, University of Bristol Working Paper, 05-08, (2008). Varadarajan, Latha. “Constructivism, Identity and Neoliberal (In)security”. Review of International Studies, 30, 3, (2004): 319-341. Wendt, Alexander. “Anarchy is What States Make of It”. International Organization, 46 (1992): 391-425. Wendt, Alexander. “Collective Identity Formation and the International State”, American Political Science Review, 88, 2, (1994): 384-396. Yvonne, Riaño dan Wastl-Walter Doris. “Immigration Policies, State Discourses on Foreigners and the Politics of Identity in Switzerland”. Environment and Planning A, 38, (2006): 1693-1713. Zalewski, Marysia dan Cynthia Enloe. “Questions about Identity in International Relations”. Dalam International Relations Theory Today, diedit oleh Ken Booth dan Steve Smith. Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press, 1995. Zehfuss, Maja. “Constructivism and Identity: A Dangerous Liaison”. European Journal of International Relations, 7, 3, (2001): 315-348. Universitas Indonesia