Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Generasi Z dan Kesadaran Toleransi Beragama

2023

Indonesia terdiri dari masyarakat dengan latar belakang yang beragam mulai dari perbedaan ras, suku, bahasa, bangsa dan juga agama. Keberagaman ini menjadi salah satu kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia serta menjadi daya tarik negara lain. Seperti yang disebutkan oleh Hermawati, kondisi keberagaman di satu sisi dapat menjadi daya tarik, namun di sisi lain berpotensi menimbulkan konflik. Adanya perbedaan ini tak jarang menyulut konflik di Indonesia mulai dari konflik kecil hingga konflik besar yang melibatkan nyawa manusia. Konflik yang terjadi dapat berupa konflik antar suku, ataupun agama. Beberapa potret intoleransi yang pernah terjadi di Indonesia yaitu konflik antar suku di daerah Papua, bom bunuh diri yang terjadi di dekat gereja, penolakan berdirinya gereja, pengasingan dan permusuhan. Konflik antar umat beragama tersebut perlu ditangani dengan meningkatkan toleransi beragama antar umat beragama. Indonesia memiliki lima agama resmi yang diakui oleh negara. Lima agama tersebut yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. Kondisi umat beragama yang demikian jika tidak diikuti dengan kesadaran untuk saling menghormati, menghargai dan toleransi diantara penganutnya akan memunculkan konflik dan permusuhan. Toleransi beragama mengacu pada kemampuan untuk mengakui dan menghormati kepercayaan dan praktik peribadatan yang tidak sesuai dengan keyakinan seseorang (Bakar, 2010). Hal inilah yang akan menjadi tugas generasinya dalam menciptakan perdamaian di dalam anggota masyarakat. Generasi Z sebagai generasi yang digadang-gadang akan memimpin dunia pada tahun 2045 perlu dipersiapkan kualitasnya. Generasi Z adalah kelompok masyarakat yang lahir pada kurun waktu 1995 sampai tahun 2010 (caraka & nindiya:2017). Sebagai penduduk asli digital (digital native) mereka telah terbiasa hidup berdampingan dengan teknologi yang semua serba cepat dan mudah. Karena hal inilah generasi Z memiliki karakteristik yang unik jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Pengaruh teknologi yang sangat kuat ini tercermin pada ketergantungannya dengan gadget dan durasi konsentrasi yang singkat (ozkan & solmaz, 2015). Ketergantungan mereka terhadap internet membuat mereka rentan terpapar dengan ajaranajaran radikal yang tersebar di internet. Karena mereka adalah generasi yang memilki rentang usia yang masih muda. Remaja pada generasi Z masih pada tahap identity diffusion yang artinya belum merasa memiliki pilihan dan tanggung jawab (Untoro & putri, 2019, Afrizal Mufti dkk, 2022). Apabila remaja pada generasi ini terus terpapar oleh ajaran-ajaran radikal maka akan membahayakan bagi kerukunan dan toleransi beragama. Kelompok radikal juga memilki strategi dalam menyebarkan paham yang mereka yakini. Dan yang menjadi target sasaran dari kelompok radikal ini adalah generasi muda yang belum memiliki cukup bekal untuk memilah dan memilih manakah ajaran yang benar. Dan ketika mereka telah terjerumus dengan ajaran radikal mereka akan memiliki sikap yang intoleran terhadap pemeluk agama lain. Terlebih lagi Indonesia adalah negara dengan penduduk agama yang bervariatif, bersuku-suku, bangsa, dan bahasa. Kemungkinan terjadi konflik akan semakin besar. Karakteristik generasi Z yang seperti ini perlu digali lebih dalam tentang bagaimana mereka memaknai toleransi beragama di lingkungannya. Melihat banyaknya interaksi yang mereka lakukan dengan media sosial, bertemu dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia hanya sebatas virtual. Perubahan interaksi ini menimbulkan situasi kompleks karena melibatkan

Generasi Z dan Kesadaran Toleransi Beragama Nurina Zain (2201016068) UIN Walisongo Semarang nurinazain29033@gmail.com A. Pendahuluan Indonesia terdiri dari masyarakat dengan latar belakang yang beragam mulai dari perbedaan ras, suku, bahasa, bangsa dan juga agama. Keberagaman ini menjadi salah satu kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia serta menjadi daya tarik negara lain. Seperti yang disebutkan oleh Hermawati, kondisi keberagaman di satu sisi dapat menjadi daya tarik, namun di sisi lain berpotensi menimbulkan konflik. Adanya perbedaan ini tak jarang menyulut konflik di Indonesia mulai dari konflik kecil hingga konflik besar yang melibatkan nyawa manusia. Konflik yang terjadi dapat berupa konflik antar suku, ataupun agama. Beberapa potret intoleransi yang pernah terjadi di Indonesia yaitu konflik antar suku di daerah Papua, bom bunuh diri yang terjadi di dekat gereja, penolakan berdirinya gereja, pengasingan dan permusuhan. Konflik antar umat beragama tersebut perlu ditangani dengan meningkatkan toleransi beragama antar umat beragama. Indonesia memiliki lima agama resmi yang diakui oleh negara. Lima agama tersebut yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. Kondisi umat beragama yang demikian jika tidak diikuti dengan kesadaran untuk saling menghormati, menghargai dan toleransi diantara penganutnya akan memunculkan konflik dan permusuhan. Toleransi beragama mengacu pada kemampuan untuk mengakui dan menghormati kepercayaan dan praktik peribadatan yang tidak sesuai dengan keyakinan seseorang (Bakar, 2010). Hal inilah yang akan menjadi tugas generasinya dalam menciptakan perdamaian di dalam anggota masyarakat. Generasi Z sebagai generasi yang digadang-gadang akan memimpin dunia pada tahun 2045 perlu dipersiapkan kualitasnya. Generasi Z adalah kelompok masyarakat yang lahir pada kurun waktu 1995 sampai tahun 2010 (caraka & nindiya:2017). Sebagai penduduk asli digital (digital native) mereka telah terbiasa hidup berdampingan dengan teknologi yang semua serba cepat dan mudah. Karena hal inilah generasi Z memiliki karakteristik yang unik jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Pengaruh teknologi yang sangat kuat ini tercermin pada ketergantungannya dengan gadget dan durasi konsentrasi yang singkat (ozkan & solmaz, 2015). Ketergantungan mereka terhadap internet membuat mereka rentan terpapar dengan ajaran-ajaran radikal yang tersebar di internet. Karena mereka adalah generasi yang memilki rentang usia yang masih muda. Remaja pada generasi Z masih pada tahap identity diffusion yang artinya belum merasa memiliki pilihan dan tanggung jawab (Untoro & putri, 2019, Afrizal Mufti dkk, 2022). Apabila remaja pada generasi ini terus terpapar oleh ajaran-ajaran radikal maka akan membahayakan bagi kerukunan dan toleransi beragama. Kelompok radikal juga memilki strategi dalam menyebarkan paham yang mereka yakini. Dan yang menjadi target sasaran dari kelompok radikal ini adalah generasi muda yang belum memiliki cukup bekal untuk memilah dan memilih manakah ajaran yang benar. Dan ketika mereka telah terjerumus dengan ajaran radikal mereka akan memiliki sikap yang intoleran terhadap pemeluk agama lain. Terlebih lagi Indonesia adalah negara dengan penduduk agama yang bervariatif, bersuku-suku, bangsa, dan bahasa. Kemungkinan terjadi konflik akan semakin besar. Karakteristik generasi Z yang seperti ini perlu digali lebih dalam tentang bagaimana mereka memaknai toleransi beragama di lingkungannya. Melihat banyaknya interaksi yang mereka lakukan dengan media sosial, bertemu dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia hanya sebatas virtual. Perubahan interaksi ini menimbulkan situasi kompleks karena melibatkan beberapa elemen masyarakat lintas agama dari seluruh dunia. Hal apa saja yang perlu disiapkan generasi Z dalam upaya penerapan toleransi beragama berbasis digital. B. Pembahasan 1. Pengertian dan Karakteristik Generasi Z Generasi Z adalah sekelompok orang yang lahir pada kurun waktu tahun 1995 hingga tahun 2010. Generasi ini juga dikenal dengan sebutan i-Generation, Generation net atau Generasi internet. Mereka adalah penduduk asli digital yang mana mereka telah banyak berhubungan dengan dunia digital dalam kehidupan sehari-hari. Hampir dapat dikatakan bahwa mereka tidak bisa terlepas dari kecanggihan bantuan teknologi. Sebagai contoh dalam kegiatan belajar mereka memanfaatkan teknologi untuk mencari materi pelajaran. Dalam kehidupan ekonomi mereka memanfaatkan aplikasi yang telah tersedia untuk memenuhi kebutuhan barang-barang yang mereka perlukan. Kehidupan sosial mereka lebih banyak di habiskan di dunia maya, atau bisa disebut dengan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan platform sosial lain. Mereka senang menghabiskan waktu mereka untuk bercengkrama dengan teman-teman yang ada di sosial media, akibatnya jaringan pertemanan mereka pun luas tersebar hingga seluruh dunia. Berbagai kemudahan tersebut bisa dilakukan hanya dengan satu klik tangan di ponsel pintar mereka. Oleh sebab itu generasi Z tidak dapat terlepas dari gadget atau ponsel pintar mereka dalam kehidupan sehari-hari. Kecenderungan ini mempengaruhi karakteristik generasi Z pada umumnya. Terdapat beberapa indikator yang bisa digunakan untuk menyebut seseorang masuk kedalam generasi Z (Elizabeth T Santosa,2015). Pertama, memilik ambisi yang besar untuk sukses. Ambisi ini adalah sikap positif mereka untuk menggapai impian mereka ke depan. Kedua, cenderung praktis dan berperilaku instan. Mereka cenderung tidak menyukai pemecahan masalah yang melibatakan proses yang lama. Hal ini disebabkan oleh kondisi masyarakat yang serba sudah ada dan cepat. Ketiga, Cinta kebebasan dan memiliki percaya diri yang tinggi. Generasi ini sangat menyukai kebebasan. Kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan berkreasi, dan lain sebagainya. Generasi ini lahir di dunia modern, dimana sebagian besar mereka tidak menyukai pelajaran menghafal dan lebih tertarik dengan pelajaran yang bersifat eksplorasi. Kepercayaan diri tinggi mereka terbentuk karena adanya sikap positif yang mereka miliki yaitu optimis dan ambisius. Keempat, Generasi ini cenderung menyukai hal-hal yang mendetail. Maksudnya adalah mereka gemar mengkritik berbagai kejadian yang mereka lihat dan mereka dengar. Dapat menanggapi berbagai fenomena dengan pikiran yang tajam. Kelima, memiliki keinginan besar untuk mendapatkan pengakuan. Pada dasarnya semua orang memilki kebutuhan untuk diakui oleh lingkungannya. Begitupun generasi Z, mereka memiliki keinginan besar untuk dapat diakui kerja keras, usaha, serta kompetensi yang telah dilakukannya. Pengakuan tersebut dapat berupa reward (pujian, hadiah, serifikat, atau penghargaan). Ke enam, penguasaan digital dan teknologi informasi. Sesuai dengan namanya, generasi Z lahir pada saat perkembangan teknologi sedang berkembang pesat di dunia. Generasi ini sangat mahir menggunakan gadget dan memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak pada generasi ini lebih memilih bersosialisasi di media sosial dibandingkan bersosialisasi diengan bertemu orang lain secara langsung. Indikator yang paling menonjol dari Generasi Z yaitu penguasaan mereka terhadap teknologi informasi. Dapat dikatakan mereka adalah pemilik media sosial karena jumlah mereka lebih banyak jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Dilansir dari katadata.co.id presentase generasi Z di Indonesia menduduki jumlah paling tinggi diantara jumlah generasi milenial dan generasi x sebesar 27.94% dari penduduk Indonesia. Dengan jumlah mereka yang lebih banyak ini bukan tidak mungkin berdampak pada interaksi sosial mereka di masyarakat. Menurut rilis "Indonesia Gen z report 2022" oleh IDN sekitar 30% generasi Z menghabiskan waktu mereka menggunakan gadget 3 jam per hari, 22% menggunakan 2-3 jam per hari, 24% menghabiskan 1-2 jam per hari, 13% menghabiskan 31-60 menit per hari, 10% menghabiskan 15-30 menit perhari dan 1% lainnya menghabiskan kurang dari 15 menit. Terlihat bahwa persentase tersebut lebih di dominasi oleh generasi Z yang menghabiskan waktunya lebih dari 3 jam per hari. Mereka menghabiskan waktu tersebut pada media sosial dan aplikasi chat. Sekitar 68% pada media sosial dan 90% pada aplikasi chatting. Dari data, terlihat generasi Z memainkan peran paling besar dalam meramaikan dunia maya. Banyak diantara mereka memiliki keterampilan bersosialisasi di sosial media memiliki teman atau follower yang banyak namun tidak memiliki kecakapan untuk bersosialisasi di lingkungan nyata. Kelebihan dan kelemahan generasi Z tercermin pada tingkah laku mereka (caraka & nindiya:2017). Kelebihan mereka terletak pada rasa ingin tahu yang tinggi ketika dihadapkan dengan teknologi. Generasi Z dengan sendirinya akan menguasai apa yang dibutuhkan atau apa yang harus dilakukan untuk tahu dan mampu menggunakan teknologi. Selain itu mereka juga multitasking, mampu mengerjakan beberapa hal dalam satu waktu. Seperti berbicara, mendengarkan musik, dan mengerjakan tugas dalam waktu yang bersamaan. Mereka juga merupakan generasi yang sadar dan peduli dengan isu-isu lingkungan dan politik. Terlihat dari banyaknya komunitas pecinta lingkungan yang aktif bergerak dan menyuarakan pendapatnya. Kelemahan generasi ini cenderung tidak sabaran. Sikap mereka yang seperti ini akibat dari perubahan teknologi yang serba mudah, dan apabila mereka dihadapkan dengan situasi yang sulit dan panjang mereka akan mudah marah dan kesal. Sebagian dari generasi ini juga kurang memiliki kecakapan salam bersosialisasi. Mereka lebih memilih sibuk berjalan dengan mendengarkan musik menggunakan headset atau scroll sosial media dari pada bertegur sapa dengan orang yang berada di dekatnya. Sikap mereka yang seperti ini menjadikan mereka terlihat kurang ramah dan tak acuh dengan orang-orang di lingkungannya. Fenomena ini disebut sebagai phubbing. Phubbing adalah gabungan kata satu phone dan snubbing. Menurut Haigh (2015) diartikan sebagai tindakan menyakiti orang lain dalam interaksi sosial karena lebih terfokus pada smartphone nya. Phubbing ini adalah dampak dari kecanduan Smartphone. Karadag (2015) menyebutkan bahwa phubbing dapat digambarkan sebagai individu yang melihat telepon genggamnya saat berbicara dengan orang lain, sibuk dengan smartphone nya dan mengabaikan komunikasi interpersonal nya. Gejala dari kecanduan internet antara lain: pertama, sering lupa waktu. Mengabaikan hal-hal mendasar saat mengakses internet terlalu lama. Kedua, gejala menarik diri. Maksudnya seseorang akan cenderung tidak menghindari untuk bertemu dan berinteraksi dengan orang lain. Dan menghabiskan sebagian besar waktunya pada smartphone (intan dan Nur Hidayah, 2018). 2. Persepsi generasi Z terhadap toleransi beragama Gejala kecanduan memberikan pengertian bahwa ketergantungan generasi Z sangat tinggi dengan adanya smartphone. Secara global, media sosial dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menyebarkan konten berbau propaganda ideologi ekstrimis dan radikal. Media sosial di gunakan karena dianggap lebih populer dan banyak digunakan oleh generasi muda yang belum memiliki ideologi yang kuat sehingga mudah untuk dipengaruhi. Generasi Z ini merupakan target mereka karena generasi ini adalah gerasi yang aktif berselancar dalam sosial media. Sejak lahir, generasi Z telah bersentuhan dengan media sosial dan tidak pernah merasakan kondisi sebelum adanya internet (Hui, 2010, Mowery & Simone, 2002, Wijoyo et al, 2020) Penelitian terdahulu telah mengkaji tentang generasi millenial dengan toleransi beragama. Hasilnya sebagian besar mereka sudah memahami toleransi dan mampu bersikap toleran terhadap penganut agama lain. Hanya sedikit generasi milenial yang masih bersikap intoleran (Nugraha dan Firmansyah, 2019). Kemudian penelitian dilakukan pada generasi Z oleh Leryani dkk dengan metode yang berbeda untuk menilai persepsi generasi Z tentang toleransi beragama. Penelitian ini diambil dari beberapa perguruan tinggi keagamaan yang ada di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Hasilnya persepsi generasi Z tentang toleransi beragama terbentuk dalam proses interaksi di media sosial. Interaksi mereka di media sosial terjadi proses internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai toleransi. Banyaknya perjumpaan dengan orang-orang yang berlatar belakang berbeda membuat mereka memiliki persepsi tentang pentingnya bersikap toleran. Generasi Z juga terkenal dengan karakteristik mereka yang mudah terbuka dan menerima hal baru. Walaupun begitu masih dapat ditemui kelompok generasi Z bersikap intoleran karena terpapar dengan konten-konten radikal yang tersebar di internet (Leryani, Osian dkk, 2022). Dalam jurnal penelitian yang berjudul "Public opinion analysis for moderate religius: Social media data mining aproach" menghasilkan beberapa pandangan terkait dengan moderasi beragama (M. Mudhofi, Ilyas supena, safrodin dkk, 2023). Objek dari penelitian ini adalah pengguna Twitter. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik mining (machine learning) dengan mengumpulkan tweet yang ada dengan kata kunci yang mengikutinya. Salah satu kata tolerance ternyata banyak di tweet kan dengan kalimat yang positif seperti nabi Muhammad dan lainnya. Hal ini mengindikasikan banyaknya penggunaan kata toleransi dalam tweet seseorang. Pengguna Twitter yang mendiskusikan nilai dari toleransi yang diajarkan oleh nabi Muhammad, seperti moralitas, mengajak kepada kebenaran, dan mengajak untuk mengikuti akhlak-akhlak yang diajarkan oleh nabi Muhammad. Secara umum, pengguna Twitter memiliki pandangan yang positif terkait dengan toleransi beragama. Hasil dari analisis sentimen ini didapati 345 tweet berisikan sentimen negatif dan 655 termasuk kedalam kategori sentimen positif. Dari data word cloud radical, kata radikal dalam pengguna Twitter memiliki ukuran yaling besar diantara kata yang mengelilinginya. Hasil ini mengindikasikan bahwa pengguna Twitter banyak yang mendiskusikan hal-hal tentang radikal. Walaupun begitu hasil yang didapat lebih banyak membicarakan tentang hal-hal positif dari kata radikal. Terdapat 151 tweet yang mendiskusikan tentang pernyataan negatif dan 849 merupakan diskusi tentang pernyataan yang positif. Twitter menjadi poros dari sebuah trending. Pengguna Twitter dapat dengan mudah mengutaran pendapatnya, menerima sangghan, kritik, persetujuan dan penolakan dari pengguna Twitter lain. Sehingga terjadi ruang diskusi masyarakat yang luas tentang isu-isu yang tengah menjadi bahan perbincangan banyak orang. Ada timbal balik yang terjadi di dalamnya, transfer ilmu dan transfer nilai. Kabar baiknya adalah masih banyak tweet yang bernilai positif walaupun begitu, masih didapati kelompok yang masih mengeluarkan tweet bernilai negatif. Dari dua penelitian tersebut secara garis besar pengguna Twitter masih dapat menilai positif tentang toleransi beragama dan isu-isu kelompok radikal. Faktor yang mempengaruhi persepsi generasi Z tentang toleransi beragama menurut hasil penelitian (Leryani, Osian, dkk, 2022). Pertama, adanya pengalaman hidup bersama bisa menjadi faktor kesalingpahaman. Kehidupan bersama menyebabkan mereka saling berbagi, baik itu berbagi nilai, maupun berbagi pengalaman hidup. Perbedaan tidak menjadi faktor pemecah, melainkan menjadi faktor penopang. Perbedaan dianggap sebagai suatu pelengkap dalam kehidupan bersama. Walaupun demikian masih ada beberapa kelompok yang menyikapi perbedaan sebatas perbedaan saja. Tanpa adanya perasaan simpati dan empati untuk melihat perbedaan. Faktor kedua, adanya pemahaman yang benar terhadap ajaran agama menjadikan mereka memiliki persepsi positif terhadap umat beragam lain. Umat beragama lain dipandang sebagai sesama manusia yang memiliki harkat dan martabat. Mereka menilai penganut agama lain sebagai rekan, teman, sahabat dan saudara. Kebalikannya, mereka yang terlah terpapar dengan konten-konten ekstrem telah terdoktrin bahwa penganut agama lain merupakan musuh dan lawan. Sehingga dalam berinteraksi di sosial media mereka cenderung menyebarkan ujaran kebencian dan bertindak provokatif. Pemahaman mereka tentang ajaran menentukan bagaimana mereka berinteraksi di sosial media dan akhirnya menentukan persepsi mereka tentang toleransi itu sendiri. Faktor ketiga, Generasi Z yang benar-benar menghayati nilai-nilai kebangsaan dan memiliki semangat kebangsaan, akan memiliki persepsi yang positif mengenai toleransi antar umat beragama. Dari beberapa faktor yang disebutkan, Toleransi beragam dapat diciptakan melalui berbagai pendekatan baik dari bidang keagamaan dan kebangsaan. 3. Upaya internalisasi nilai toleransi beragama pada generasi Z Melihat beberapa hasil penelitian tentang generasi Z dan toleransi beragama. Masih di dapati sekelompok orang yang masih memiliki pemikiran radikal dan intoleran. Walaupun jumlah mereka tidak lebih dari kelompok yang dapat toleran. Namun jika tidak ada penanganan ataupun internalisasi nilai toleransi dalam generasinya bukan tidak mungkin kelompok ini akan terus bergerak dan mengajak yang lain untuk ikut dalam kelompoknya. Toleransi merupakan kemampuan untuk menghormati sifat dasar, keyakinan dan perilaku yang dimiliki oleh orang lain. Dalam literatur agama Islam, toleransi disebut sebagai tasamuh yang artinya adalah sifat atau sikap menghargai, membiarkan, atau membolehkan pendirian (pandangan) orang lain (Kunia muhajarah, 2016). Toleransi beragama merupakan hal penting yang perlu di tingkatkan dalam berkehidupan di masyarakat. Terlebih lagi Indonesia adalah negara dengan penduduk beragama yang beragam. Bukan hanya dua agama saja melainkan lima agama berkumpul dalam satu teritori yang sama. Apabila sikap toleransi beragama tidak mendapat perhatian di masyarakatnya potensi konflik antar agama sangat mungkin terjadi di Indonesia. Selain konflik yang merugikan masyarakat, intoleransi akan menyebabkan disintegrasi di suatu negara. Agama selain menjadi faktor pemersatu bisa jadi fakto pemecah dalam masyarakat majemuk. Fenomena seperti ini ditentukan oleh empat hal: 1) teologi agama dan doktrin ajarannya, 2) sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayati agama tersebut, 3) lingkungan sosio-kultural yang mengelilinginya, 4) peranan dan pengaruh pemuka agama tersebut dalam mengarahkan pengikutnya. Upaya yang dilakukan pada generasi-generasi sebelumnya menggunakan integrasi dunia pendidikan dengan menanamkan nilai-nilai toleransi. Seperti dalam pendidikan kewarganegaraan, keagamaan dan pendidikan multikultural dan karakter (Prosmala dan Baiq, 2020). Berikut penjelasan lebih rinci: 1) Integrasi pendidikan Toleransi dengan pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan. Oleh karena Indonesia terdiri dari beragam latar belakang masyarakat mulai dari suku, bahasa, bangsa dan agama. Diperlukan toleransi dengan berbagai perbedaan agar terjalin rasa persatuan sebagai satu negara. Hal-hal yang diperhatikan dalam mengimplementasikan toleransi di sekolah, yaitu: pertama, melakukan interaksi harmonis di sekolah. Interaksi harmonis dapat dilakukan dengan cara guru memberikan kesempatan murid untuk bertanya dan merespon serta memberikan hadiah atau reward kepada murid. Kedua, menanamkan rasa persaudaraan. Rasa persaudaraan dapat dipupuk dengan cara melakukan permainan-permainan yang membutuhkan kerjasama dan kekompakan. Ketiga, menanamkan sikap peduli kepada siswa. 2) Integrasi pendidikan toleransi melalui pendidikan Islam. Sebagai bagian dari moralitas terhadap sesama manusia, ajaran toleransi sudah mencakup dalam materi pendidikan agama Islam. Oleh karena itu, sudah sangat tepat jika pendidikan toleransi diintegrasikan dengan pendidikan toleransi. Dalam beberapa penelitian yang pernah dilakukan. Mengenai hubungan pelajaran agama Islam dengan sikap toleransi siswa. Hasilnya menyatakan bahwa pelajaran agama Islam mempengaruhi sikap toleransi siswa sebesar 32.8% sedangkan 67.2% lainnya faktor dari luar yang tidak dapat disbutkan oleh peneliti. 3) Integrasi pendidikan toleransi dengan pendidikan multikultural dan karakter. Pendidikan toleransi seharusnya tidak hanya dikaitkan dengan pendidikan agama Islam saja, melainkan dengan pendidikan multikultural dan karakter. Seperti memberikan pengertian bahwa sebagai umat beragama tidak hanya berakhlak kepada tuhan, namun kepada sesama manusia. Tidak memandang dari latar belakang adat, budaya ataupun agama. Mencintai orang karena akhlak kita kepada tuhan sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan. Seluruh upaya diatas dapat dilakukan dan dilanjutkan dengan beberapa penyesuaian dengan kegiatan generasi Z yang sebagian besar berada di internet. Dengan memanfaatkan berbagai platform sosial seperti Instagram, Twitter, YouTube, dan blogger. Seperti yang sudah ada di Instagram dengan nama akun @muslimunited.official. Akun tersebut merupakan akun dakwah yang berisi tentang kajian dakwah, baik quotes ataupun audio visual. Tidak hanya berdakwah secara firtual, akun ini juga melakukan kajian dakwah dengan mengundang narasumber yang populer di kalangan generasi muda. Selain akun Instagram ada juga akun Twitter dengan nama akun @Nugarislucu. Akun tersebut berisi konten kritik, saling sindir antar komunitas keagamaan namun dibawakan dengan humor dan berhasil menciptakan suasana cair. Hal ini menjadi kabar gembira karena dapat membawakan perbedaan yang dahulu dianggap sebagai permusuhan menjadi sesuatu yang bisa diterima di masyarakat. Terakhir, YouTube menjadi platform yang paling banyak diakses oleh generasi muda karena praktis dan dapat memberikan ilmu yang diperlukan oleh orang-orang. Tokoh-tokoh keagamaan pun bisa hadir dalam perkembangan teknologi, seperti Hanan attaki, habib Ja'far dan masih banyak lainnya. Mereka mampu membawakan agama dengan cara yang mengasyikkan dan menarik perhatian generasi muda (Nur Kholis, 2021). Selain perpindahan media penyaluran nilai-nilai toleransi. Konten-konten atau isi dari berbagai platform sosial tersebut perlu disesuaikan dengan cara pikir generasi Z. Generasi Z merupakan generasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Humor menjadi salah satu pilihan yang dapat digunakan dalam memuat konten-konten toleransi beragama. Terdapat satu jurnal yang membahas tentang wacana humor dalam meningkatkan toleransi beragama. Wacana ini muncul karena circle pertemanan generasi Z yang lebih bervariatif. Peneliti memberikan penjelasan mengenai pertemanan beda agama yang didalamnya terdapat humor-humor yang menyinggung tentang agama dan peribadatan. Walaupun begitu, humor toleransi mampu membawakan situasi yang lebih inklusif dan menciptakan toleransi beragama yang baik (Afrizal, Iqbal dkk,2022). Seperti yang telah dilakukan oleh akun @Nugarislucu. Konten-konten yang dimuat berisi humor seputar perbedaan cara beribadatan. Humor tersebut bisa secara efektif memberikan pengertian kepada pembaca bahwa "indahnya perbedaan". Tertulis pada beranda akun tersebut yang berbunyikan "sampaikanlah kebenaran walaupun itu lucu". Peningkatan literasi digital perlu diupayakan lebih baik. Mengingat keterampilan ini digunakan untuk dapat membantu menemukan sumber informasi yang benar dan tidak menyimpang. Dapat membedakan manakah sumber yang valid dan manakah sumber yang hoax. Literasi digital adalah kemampuan untuk memahami, menggunakan, dan mengevaluasi teknologi digital dalam interaksi sosial, ekonomi, dan budaya. Glister mengidentifikasi empat kunci kompetensi literasi digital, yaitu kemampuan dalam knowledge assembly, evaluating information content, searching the internet, and navigating hypertext ( muslem, 2023). Kemampuan ini berupa penggunaan teknologi dan manfaatnya ditambah dengan kemampuan dalam literasi. Menggabungkan cara memilah dan memilki informasi yang didapat dengan cara perolehan informasi tersebut dalam mesin pencarian. Saat ini banyak ditemui orang-orang mencari suatu hukum tentang ibadah dengan mengetik di mesin pencarian. Dan hasil yang diberikan akan sangat bervariatif mulai dari sumber valid hingga tulisan yang tidak memiliki sumber yang kuat. Apabila kemampuan literasi yang dimiliki oleh seseorang sempit, maka mereka akan asal mengambil sumber yang tidak jelas akurat atau tidaknya. Ketika menemukan informasi yang tidak akuran mereka akan mempercayai nya dan menganggap benar karena tidak memiliki keterampilan literasi. C. Kesimpulan Generasi Z kerap kali dipandang negatif oleh sebagian masyarakat karena kebiasaan mereka yang banyak menghabiskan waktu dengan gadget. Sikap mereka yang acuh tak acuh dan kurang bergaul dipandang pesimis oleh sebagian kelompok. Belum lagi tentang kecanduan gadget yang diidap oleh sebagian generasi ini menjadikan mereka lalai dengan hal-hal disekitarnya. Namun beberapa penelitian telah dilakukan oleh sejumlah akademisi tentang bagaimana generasi Z menilai toleransi beragama itu sendiri. Hasil yang diberikan bermacam-macam, namun jumlah terbanyak memiliki cara pandang yang positif terhadap toleransi beragama. Benih-benih kebaikan masih tetap subur di tengah perkembangan teknologi yang semakin pesat. Berbagai upaya juga dilakukan oleh tokoh-tokoh agama dan peran pemudanya untuk mengupayakan perdamaian. Lewat media sosial, nilai-nilai toleransi diselipkan dalam konten-konten keagamaan, kebangsaan dan karakter. Daftar Pustaka Bhakti, Caraka Putra dan Nindiya Eka Safitri. (2017). Peran Bimbingan dan Konseling untuk Menghadapi Generasi Z dalam Perspektif Bimbingan dan Konseling Perkembangan . Jurnal Konseling GUSJIGANG. Elok, Yonuarti. Intan dan Nur Hidayah. (2018). Perilaku Phubbing Sebagai Karakter Remaja Generasi Z. Jurnal Fokus Konseling. Kholis, Nur. . (2021). Dakwah Virtual, Generasi Z dan Moderasi Beragama. Jurnal Dakwah dan Komunikasi. Mince Maria, Leryani. Osian Orjuni M, Tri Juliani Renda dkk. (2022). Persepsi Generasi Z Terhadap Toleransi Beragama di Media Sosial. Jurnal Agama dan Perubahan Sosial. Mudhofi, M. Ilyas Supena, Safrodin, dkk . (2023). Public Opinion Analysis For Modererate for Religious: Social Media Data Mining Aproach. Jurnal Ilmu Dakwah. Mufti, afrizal. Iqbal Syahrul Akbar, Dian Uswatun Hasanah. (2022). Wacana Humor Toleransi Beragama dalam Sudut Pandang Gen-Z: Studi Kasus Pertemanan Beda Agama. Internasional Conference On Cultures and Language (ICCL). Muhajarah Kurnia . (2016). Pendidikan Toleransi Beragama Perspektif Tujuan Pendidikan Islam. Jurnal An-Nuha . Muslem. (2023). Urgensi Literasi Digital Tengku dalam Membangun Kerukunan Umat Beragama . Jurnal Al Hikmah Media Dakwah Komunikasi, Sosial dan Kebudayaan. Saputra, Prosmala Hadi. Baiq Rofiqoh Amaliya Syah. (2020). Tolerance Education in Indonesia: A Literature Review. Jurnal DIalog.