Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Menak Tawang Alun

2010

98 2 MENAK TAWANG ALLIN Diceritakan kembali oleh Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Jakarta 2010 MENAK TAWANG ALUN oleh Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka Penyelaras Bahasa Ebah Suh aebah Penata Letak Galih Endroto Diterbitkan pertama kali pada tahun 2010 oleh Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional Jalan Daksinapati Barat IV Rawamangun , Jakarta 13220 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang lsi buku ini, bai k sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan artikel atau karangan ilmiah . Katalog Dalam Terbitan (KDT) 398 .209 598 2 SAS SASANGKA, Sry Satri ya Tjatur Wi snu m Menak Tawang Alun/Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka. Jakarta: Pusat Bahasa , 2010. ISBN 978-979 -069 -016 -5 1. CERITA RAKYAT-JAWA TIMUR 2. FIKSI INDONESIA iii KATA PENGANTAR KEPALA PUSAT BAHASA Penyediaan bacaan sastra untuk anak-anak merupakan investasi budaya untuk masa depan bangsa. Adalah suatu kenyataan bahwa anak-anak kita kini lebih akrab dengan Batman yang bisa berayun-ayun dari ketinggian dan terbang untuk menyelamatkan korban kejahatan daripada dengan Gatotkaca dalam cerita wayang yang juga bisa terbang dan berayun-ayun di udara. Anak-anak kita sekarang lebih mengenal Romi dan Yuli atau Romeo dan Juliet ketimbang mengenal Pranacitra dan Rara Mendut atau Jayaprana dan Layonsari. Pentingnya bacaan anak-anak sudah menjadi kesadaran kolektif bangsa, bahkan sebelum kemerdekaan seperti yang dapat kita lihat pada terbitan Balai Pustaka baik pada masa penjajahan. Pada masa setelah kemerdekaan, misalnya, Balai Pustaka yang telah menjadi badan penerbit Pemerintah telah pula menerbitkan berbagai buku bacaan untuk anakanak itu. Melalui bacaan anak-anak yang dipersiapkan dengan baik, akan dilahirkan para pembaca yang setelah dewas? akan memiliki kebiasaan membaca yang kuat. Tradisi membaca yang kuat memungkinkan berkembangnya dunia bacaan dan pada gilirannya akan mengembangkan pula kehidupan iv kesastraan. Hidup dan berkembangnya kesast raan sebuah bangsa akan bergant ung pada para pembacanya yang setia . Pusat Bahasa sudah sejak lama menyediakan bacaan yang digali dari kekayaan budaya bangsa masa lampau yang berasal dari naskah sastra lama dan sastra daerah. lnven tarisasi yang sudah dilakukan sebelumnya tela h menghasilkan sejumlah karangan yang berupa salinan dan t erjemahan naskah sastra lama ke dalam aksara Latin dan dalam bahasa Indonesia. Penyediaan bacaan anak-an ak yang didasarkan pada naskah tinggalan nenek moyang itu hakikatnya merupakan tindak lanjut ya ng berkesi nambungan . Buku yang sekarang ada di tanga n para pem baca hakikatnya merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pengembangan kesastra an yang disalingkaitkan dengan pem binaan. Setelah wujud dalam bentuk sepert i yang ada di tangan Anda, buku bacaan anak ini telah mengalami proses panjang yang tentu saja melibatkan berbagai pi hak sejak naskah itu masih berada di berbagai t empat di ta nah air hingga men jadi bacaan anak-anak ya ng layak baca. Untuk itu , Pusat Bahasa mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah turut serta t erlibat dalam rangkaian kegiatan yang berujung pada penerbit an buku bacaan anak-anak ini. Semoga buku ini bermanfaat untuk menambah kecintaan anak Indonesia terhada p sastra Indonesia. Jakarta , Juni 2010 Yeyen Maryani Koordinator Intern v UCAPAN TERIMA KASIH Cerita Menak Tawang Alun ini diangkat dari "Babad Tawang Alun" yang terdapat dalam Babad Blambangan tulisan Winarsih Partaningrat Arifin tahun 1995. Babad Blambangan itu sendiri merupakan kumpulan Lima babad yang semuanya bercerita tentang Blambangan. Setelah penguasa Blambangan, Brewirabumi, berontak terhadap Suhita, adiknya yang menjadi penguasa Majapahit , perang saudara sesama keturunan Wirabumi tetap saja sering terjadi di daerah itu. Akibatnya, Blambangan tercabik-cabik, baik tercabik-cabik dari dalam maupun dari luar. Meskipun begitu , keberadaan Blambangan tetap berlangsung hingga kemerdekaan. Blambangan tidak sama dengan Banyuwangi. Wilayah Blambangan pada tahun 1400 mencakup Pasuruan, Besuki, Probolinggo, Lamajang (sekarang Lumajang), Panarukan, dan Banyuwangi. Namun, Blambangan sekarang dianggap sama dengan Banyuwangi. vi Tawang Alun merupakan salah seorang penguasa Blambangan yang begitu terkenal, ia penguasa yang bijaksana dan cintai damai. Untuk mengetahuinya lebih lanjut, silakan menyimak isi cerita ini. Jakarta, Desember 2008 Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka Penulis vii DAFTAR ISi Kata Pengantar Kepala Pusat Bahasa . . . . .. . . .. . . . . . . . . . . . .. Ucapan Teri ma Kasih .. . ........... ..... .. .. ............ ... . ... iii v Daftar Isl . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vii Menak Gadru ................................. ·-·............ Menak Lumpat............................................... Perlawanan Pangeran Kedhawung.................... .... Menak Sembuyu..... .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . Tawang Alun... .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . Adipati Anom......... . ...................................... 1 14 25 41 53 64 7. Daerah Perdikan.......................... .. .. . . . .. .. ... . . . . . . . . .. 74 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1 1. MENAK GADRU Saat itu malam masih gelap, di ufuk timur pun cahaya matahari belum tampak. Sesekali masih terdengar bunyi jangkerik dan belalang. Dengan diterangi cahaya rembulan, tampak beberapa orang mengendap-endap keluar dari belakang rumah. Mereka menuju ke ujung desa. Setelah berjalan agak lama, sampailah mereka ke ujung desa. Di tanah yang agak lapang, beberapa orang itu berhenti. Tak lama kemudian satu dua orang bermunculan, ternyata mereka telah ditunggu beberapa orang yang lain. "Ayo kita segera berangkat, Kakang," kata salah seorang di antara mereka. "Kita tunggu adik Lembayu dulu," jawab yang lain. "Nanti keburu siang. Kakang Pentor akan mengejar kita!" "Tunggu sebentar, kaudengar suara itu?" tanya orang itu sambil konsentrasi mendengarkan suara di sekelilingnya. "Ya, mudah-mudahan rombongan Adik Lembayu." 2 Tak lama kemu dian dari balik pepohonan muncullah beberapa orang dengan menuntun ku da masi ng-masing. Ku rang lebih 10 orang. " Sudah siap Adik Lembayu? Kita berangkat sekarang ." " lya , ayo," jawab laki-laki yang ternyat a bernama Lembayu . " Kita mau ke mana ini, Kaka ng?" t erdengar suara me nyela bertanya . " Terserah Kakang Gadru ," jawab Lembayu. " Ke mana ini, Kakang Gadru?" " Ke luar kotaraja dulu , nanti men uj u Pantai Selatan . Tapi kita berpencar di sin i menjadi dua kelompok supaya tidak menarik perhatian orang. " "Kelompok pertam a lewat jalan biasa dan kelompok kedua lewat jalan setapak. Yang lewat j alan setapak ikut saya, sedangkan yang lewat jalan biasa silakan bersama Adik Lembayu , " kata Menak Gadru sambil membagi rombongan menjadi dua ke lompok. Beberapa saat kemudian iring-iringan itu pun terbagi menjadi dua, yang satu berjalan setengah berlari dan yang lain langsung berjalan melewati jalan setapak. Dinginnya malam yang menggigit t ulang hampir t ak mereka rasakan . Mereka tetap berjalan meskipun harus berkali-kali mengencangkan kain yang melilit di tubuhnya agar t idak hanyut tertelan dingin . Ketika telah jauh dari kota raj a mereka baru menaiki kuda, ke mudian memacunya dengan kencang menuju ke selatan menyusuri Pantai Blambangan . Namun, belum lama mereka memacu kuda, di depan jalan setapak itu tampak tiga ekor kuda menghadang. 3 "Berhenti, Ki Sanak. Malam-malam begini mau ke man a?" "Oh, kami petugas ronda, di daerah timur kota raja memerlukan bantuan keamanan ! " "Dari mana Ki Sanak tahu? Kami baru saja dari sana!" "Baru saja terlihat panah api ke atas sampai tiga kali. Bukankah itu pertanda ada bahaya?" "Oh iya?" selidik orang itu. "Masmirah kulaka warta (Mas permata (Adinda) carilah berita)," salah seorang penghadang itu mengeluarkan kata-kata sandi yang diambil dari pupuh Asmaradana, salah satu jenis tembang Macapat. "Ari mami Anjasmara (adikku Anjasmara)." Menak Gadru menjawab sandi itu. "Tan wurung Layon dasihmu (Pasti akan menjadi mayat)." "Prabalingga ana kutha (berada di kota Prabalingga)," jawab Menak Gadru. Jawaban itu meyakinkan para penghadang sehingga mereka mempersilakan Menak Gardu berlima untuk melanjutkan perjalanan. "Hati-hati Ki Sanak, silakan ke tempat itu. Jika perlu bantuan kami, silakan membunyikan kentongan, atau meluncurkan panah ke arah utara. Kami akan segera mengirimkan prajurit wira tamtama ke sana," kata salah seorang penghadang sambil mempersilakan rombongan Menak Gadru melanjutkan perjalanan. "Terima kasih, mudah-mudahan kami berlima dapat mengatasi mereka." 4 Rombongan Menak Gadru segera memacu kudanya meninggalkan ketiga orang penghadang itu. Kuda-kuda mereka berpacu saling berkejaran menuju ke Pantai Selatan, tetapi mereka harus sedikit memutar ke arah timur dahulu sebelum menuju ke Pantai Selatan. Setelah agak lama mereka menaiki ku da , bunyi deburan air laut sayupsayup mulai terdengar . Hampir berbare ngan mereka mengendurkan kekang kuda mereka . Mereka berjalan pelan . "Hampir saja copot jantungku ! " suara Kerta sambil terengah-engah. "Saya juga," sahut yang lain . "Kalau tadi tidak bisa menjawab kata- kata sandi , kita pasti kesulitan lolos dari mereka! " "Dari mana Mas Gadru tahu sandi itu? ltu tadi kan bait Asmaradana (salah satu jenis tembang Jawa) yang dibalik?" "lya , saya dulu melatih mereka membuat sandi-sandi itu, tapi mereka tidak sadar berhadapan dengan Menak Gadru ." "Bukan tidak sadar, karena masih gelap, mereka tidak mengenali kita ." "Mungkin juga begitu ." "ltu Selat Bali sudah tampak, ayo kita pacu kuda kita kembali , " kata Menak Gadru sambil memacu kudanya. Derap suara kaki kuda kembali terdengar sayup-sayup di sela -sela bunyi ombak ya ng berdeburan menghantam karang dan pohon ba kau. Pantai Blambangan saat itu tampak tak berbatas . Karangnya kukuh tak mudah lekang 5 meskipun tertimpa hantaman ombak dan teriknya siang . Suara derap kuda yang berkejar-kejaran hampir tak terdengar karena saling bergantian dengan deburan ombak pantai Selat Bali. Angin pantai menghembus kencang menerpa mereka berlima. Tubuh mereka menggigil, tapi udara dingin itu tak dirasakan. Mereka tetap memacu kudanya berburu dengan waktu menuju ke arah selatan menyelusuri Pantai Blambangan. Sesekali kuda mereka berjalan pelan, terutama tatkala jalan licin atau tatkala banyak tumbuhan roboh menghadang. Mau tak mau mereka harus turun dari kuda dan menyingkirkan penghalang-penghalang itu. Setelah itu, mereka kembali menaiki kuda dan memacunya dengan cepat. Ketika matahari telah terbit, rombongan Menak Gadru telah sampai di Pantai Selatan. Saat sedang beristirahat, sayup-sayup terdengar derap kaki kuda menuju ke arah mereka. Suara derap kaki kuda itu membuat rombongan Menak Gardu sedikit panik, ia khawatir Menak Pentor mengejar perjalanan mereka. "Kita bersembunyi dulu, tapi jangan lupa tetap waspada," kata Menak Gadru sambil masuk ke semak belukar dan berlindung di balik pohon. Meskipun begitu, Menak Gadru tetap waspada dan siap menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Tak lama kemudian muncullah lima orang berkuda. "Adik Bonari, kita beristirahat di depan tikungan itu. Kita tunggu Kakang Gadru." "Baik, Kakang." 6 "Adik Lembayu bagaimana, kita istirahat dulu?" "lya Kakang ." Setelah mengetahui yang datang adalah rombongan Menak Lembayu, legalah hati Menak Gadru. Mereka segera keluar dari persembunyian dan berbaur dengan rombongan Menak Lembayu. "Bagaimana perjalananmu , Adik Lembayu?" tanya Menak Gadru. "Tidak ada halangan yang berarti, Kakang. Kami harus mencari kelengahan petugas ronda di gardu luar itu. Ketika mereka menyusul teman -temannya, hanya tinggal dua orang yang berjaga. Saya datangi , saya ajak bercakapcakap seperlunya . Saat lengah itulah , teman-te man yang lain menyelinap melewati belakang gar du itu." "Mereka tidak curiga?" "Sama sekali tidak , Kakang ." "Syukurlah." Menak Gadru pun menceritakan pengalamannya. "Untung Kakang Gadru bisa menjawab sandi-sandi itu, ya ," Menak Lembayu menimpali pembicaraan mereka. Setelah beristirah at, rombongan itu kemudian melanjutkan perjalanan. Mula-mula ke arah barat, kemudian ke arah barat daya menuj u Gunung Semeru. Setelah melewati daerah Puger dan Sendura, sampailah mereka di daerah Lamajang. Tatkala matahari tenggelam , rombongan Menak Gadru bersepakat untuk beristirahat. Setelah membuat perapian dan mengikat kuda -kudanya, mereka segera merebahkan badan di atas daun -daun yang ditata seadanya . Arya Denta dan Menak Blawu sengaja belum tidur karena 7 mereka harus berjaga-jaga. Sesekali mereka berjalan mondar-mandir di sekitar api unggun sambil mengawasi yang sedang tertidur. Hampir semalam dan sehari penuh mereka menaiki kuda. Oleh karena itu, begitu tubuh direbahkan di atas dedaunan, tak lama kemudian terdengar desah napas yang teratur, bahkan ada yang mendengkur. Mereka lelap tertidur. Meskipun begitu, mereka tetap ada yang berjaga, bergantian tidur. Ketika Menak Gadru terbangun, ia mendengarkan percakapan teman-temannya. "Saya heran kenapa Kakang Gadru tidak mau berontak kepada Kakang Pentor?" "Kakang Gadru tidak ingin terjadi perselisihan sesama saudara. Kakang Gadru lebih baik menyingkir daripada terjadi perebutan kekuasaan sesama saudara," jawab yang lain. "lya, tetapi Kakang Pentor sudah kelewatan, ia menuduh Kakang Gadru akan memberontak, bahkan menyebar fitnah Kakang Gadru akan merebut istri Kakang Pentor." "ltu kan fitnah yang sangat keterlaluan," yang lain ikut menimpali pembicaraan. "Hem ... hem ... ," terdengar suara berdeham menuju ke arah mereka. "Oh ... , Kakang Gadru," jawab mereka hampir bersamaan. "Mudah-mudahan, kepergianku membuat Kakang Pentor leluasa menjadi penguasa Blambangan dan fitnah itu akan hilang dengan sendirinya," suara Menak Gadru memecah kesunyian. 8 Menak Gardu beserta rombongan meninggalkan Blambangan agar tidak terjadi perang saudara. 9 "Kenapa Kakang tidak bertahan di Blambangan saja?" "Bukankah fitnah sudah menyebar?" tanya Menak Gadru. "lya, tapi kan Kakang bisa menjelaskan kepada Kakang Menak Pentor bahwa kakang tidak akan memberontak." "Sudah saya jelaskan, tetapi Kakang Menak Pentor tidak percaya dengan keterangan saya. Kakang Menak Pentor lebih percaya pada orang kepercayaannya daripada kepada saudara sen di ri ! " "Hanya perkara semacam itu, Kakang Menak Pentor jadi tersinggung?" Menak Gadru menghela napas sejenak, kemudian ia menjawab, "Masalah sebenarnya bukan itu," jawab Menak Gadru. "Terus masalahnya apa?" "Kakang Menak Pentor mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka untuk menghadang kegigihan Sultan Trenggana menyatukan Pulau Jawa. la merasa sakit hati karena Adipati Unus dan penerusnya, Sultan Trenggana, telah merebut wilayah Blambangan seperti Surabaya, Pasuruan, Prabalingga, dan Malang. Kini Panarukan akan pula direbut oleh Sultan Trenggana, anak Adipati Unus dari Demak itu." "Kenapa Kakang tidak setuju?" "Saya tidak setuju karena Kakang Menak Pentor akan minta bantuan Portugis. Jika Portugis setuju, Kakang Meriak Pentor pasti membolehkan Portugis mendirikan kongsi dagang di Panarukan dan Besuki." 10 ·~ "Lalu apa salahn ya?" "Kamu tidak tahu , Portugis di Malaka mula -mula juga berniat berdagang seperti i tu , t ernyata setelah mereka menguasainya , mereka menj ajah negeri itu. Jika itu terjadi di Blambangan , kita pun juga akan dijajahnya seperti mereka menjajah Malaka sehingga kita ti dak akan leluasa lagi berdagang dan berjualan ke Losari , ke Banten , ke Palembang , ke Pagaruyu ng, atau ke Kutai. Bahkan , bisa-bisa kita ke Bali pun akan dilarangnya pula." "O .. ., begitu. " "Jangan-jangan ke Sumenep pun kita tidak bisa! " "Karena itulah saya menolak. Apa sih susahnya mengakui kedaulatan Demak? Paling-pali ng setahun sekali kita hanya diminta menghadap ke sana ." "Raja Demak kan keturunan Brawij aya juga. " "lya, tapi mereka membawa agama baru , nanti kita dipaksa mengikuti agam a mereka?" "Setahu saya tidak, agama baru itu tidak memaksakan keyakinannya kepad a orang lain." "Hem .. ., jadi itu penyebabnya." "Bukan hanya itu , saya mem berikan saran kepada Kakang Menak Pentor agar bersikap adil kepada semua penduduk, baik pada penduduk negeri maupun ke pada para pendatang dari Madura atau dari Bali. Saran saya itu didukung oleh istri Kakan g Menak Pentor dan para punggawa yang lain. " "Pasti malah menam bah runyam permasalahan ! " 11 "lya, saya pikir juga begitu. Sejak saat itulah fitnah yang berkembang seperti yang kalian dengarkan. Saya dituduh akan me rebut istri Kakang Pen tor." "Hem .. ., mudah-mudahan dengan kepergian kita ini, fitnah di Blambangan tidak ada lagi." "Semoga begitu," Menak Gadru menimpali pembicaraan itu. Pagi harinya mereka menebang pepohonan. Ketika sudah cukup, mereka meratakan tanah dan memotongmotong kayu untuk tempat tinggal. Mereka bergotong royong mendirikan rumah. Beberapa hari kemudian rumahrumah itu mulai berwujud. Hari berganti bulan dan bulan pun berganti taun, daerah itu mulai dikenal dengan sebutan Kedhawung. Daerahnya dekat dengan sungai yang mengalir ke Pantai Selatan. Menak Gadru dipercaya menjadi pemimpin mereka. Daerah baru itu dalam waktu yang tidak terlalu lama menjadi ramai. Orang-orang pedalaman di daerah sekitarnya berduyun-duyun berpindah ke Kedhawung. Hal itu membuat Kedhawung berkembang pesat. Di tempat lain, setelah merasa yakin bahwa Menak Gadru telah meninggalkan kota raja, Menak Pentor sangat bersuka ria. "Kakang Pen tor, jejak mereka tak dapat diketahui," salah satu pengawalnya memberi penjelasan. "lya, Tuan. Jejak mereka hanya terlacak sampai Pantai Sela tan," yang lain menimpali pembicaraan. 12 "Kita tetap haru s waspada. Jangan-jangan Menak Gadru sedang menyusu n kekuatan untuk menghancurkan kita!" "Tidak mungkin , Tuan. Tapak kaki kuda mereka hanya 5 ekor ," jelas yang lain. "Hanya lima ekor , berarti antara 5 sampai 10 orang ya ng mengikuti Mena k Gadru ," gumam Menak Pentor. "Mungkin hanya 7 orang , Tuan. Telapak kaki kuda yang agak dalam hanya 2 ekor, yang lain, jejaknya t idak begitu dalam ." "Betul , betul , berarti hanya 7 orang. ltu berarti tidak mungkin 7 orang akan memberontak. Paling-paling mereka akan ke Singhasari (Malang) mencari perlindungan . " "Ha ... ha ... ha ... ha .... " Menak Pent or tertawa senang karena telah berhasil menyingkirkan adiknya. Tak lama kemudian Menak Pentor mengadakan pesta hampir semalam suntuk. Dalam catatan sejarah , Blambangan tetap mengadakan perjanjian dan hubungan persahabatan dengan Portugis di Malaka . Pad a tahun 1531 Portugis mendirikan Padrao (semacam prasasti) di tepi sungai Panarukan . Hal itu membuat Sultan Trenggan a marah. Pada tahun 1528 Surabaya yang menjadi wilayah Blamban gan ditaklukkan Sultan Trenggana . Setelah itu, wilayah Blambangan yang lain , yaitu Panarukan juga ditaklukkan pada tahun 1541. Pada tahun 1545- 1546 Blambangan menj adi lautan api setelah wilayah darat dan laut diserbu pasukan Demak. Menak Pentor pun meninggal. Anak-anak Menak Pentor lari 13 ke Selatan menuju Gunung Merapi. Ternyata pasukan Demak tidak mengejarnya karena Sultan Trenggana dibunuh oleh abdi (hambanya) yang tersinggung oleh ucapan Sultan. Blambangan ditinggalkan dalam keadaan kacau. Baru bebe rapa tahun kemudian, keturunan Menak Pentor kembali muncul di daerah timur Gunung Merapi. 14 2 . MENAK LUMPAT Kehancuran Blambangan diketahui pula oleh Menak Gadru, ia merasa terpukul dan merasa kehilangan. Namun, tak lama setelah keha ncuran Blamban gan , Menak Gadru pun meninggal. la digan tikan Menak Lampor, anak sulungnya. Dalam kekuasaan Menak Lampor inilah Kedhawung sedikit demi sedikit me nguasai daerah-daerah di sekitarnya sehingga Kerajaan Kedh awung semakin dikenal daerah lain, seperti Pasuruan , Probolongga, dan Panarukan. Daerah kekuasaannya pun mulai bertambah sampai ke Lamajang (sekarang menjadi Lumajang). Menak Lampor mempunyai 3 orang anak, yaitu Menak Lumpat , Menak Luput, dan Menak Sumendhi. Menak Lumpat menjadi penguasa Kedhawung setelah Menak Lampor meninggal dunia . Anak sulung Menak Lampor itu mengangkat adik-adi knya menjadi senapati (pemimpin perang). Wilayah Kedhawung bertambah luas, terutama ke wilayah barat dan ke wilayah timur, seperti Wulu dan Tanggul , bahkan para tumenggung di Jember bagian barat 15 lebih senang ke Kedhawung daripada ke Blambangan. Penduduk Blambangan bagian barat dan bagian barat daya banyak yang ikut pindah ke Kedhawung atau ke Lamajang karena di daerah itu tanahnya subur sehingga mereka mudah untuk bercocok tanam. Kemajuan Kedhawung membuat penguasa Blambangan yang berada di Timur Gunung Merapi, Menak Pati, jenggah hatinya. Semua punggawa dikumpulkannya. Cucu Menak Pentor itu ingin menaklukkan Kedhawung. Setelah mereka bersidang, segera diputuskan, Tumenggung Sura menjadi duta Blambangan untuk menemui Menak Lumpat di Kedhawung. Tujuannya, Kedhawung diminta mau bergabung dengan Blambangan atau mau takluk kepada Blambangan. Tumenggung Sura pun segera berangkat ke Kedhawung, ia ditemani empat orang pengawal. Dua hari lamanya ia menempuh perjalanan untuk menuju ke tempat itu. Kedatangan Tumenggung Sura berlima memasuki kota raja menarik perhatian, terlebih pakaian yang ia kenakan agak berbeda dengan kebanyakan orang Kedhawung. Karena itu, agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, Tumenggung Sura berlima turun dari kudanya masing-masing dan berjalan menuju ke keramaian orang. "Ki Sanak, kami akan menghadap Pangeran Kedhawung, di manakah rumahnya?" tanya Tumenggung Sura kepada orang yang sedang berkerumun. "Maksud Ki Sanak?" "Kami mau menemui penguasa daerah ini." 16 "Mungkin Tuan Menak Lumpat yang Ki Sanak maksud?" "Mungkin, dia penguasa daerah ini?" jelas Tumenggung Sura . "Penguasa daerah ini adalah Tuan Menak Lumpat, bukan Menek Lumpat seperti yang Tuan sebut tadi ," orang itu memberi penjelasan kepada Tumen ggung Sura , "tapi, mengapa Tuan tadi menyebut Pangeran Kedhawung?" "Maaf kalau begitu. Biasanya , para penguasa sering menggunakan nama daerah yang dikuasainya itu dan menambah sebutan atau gelar pangeran, gust;, wong agung, sultan, atau nama lain di depan nama daerah itu," jawab Tumenggung Su ra. "O... begitu. Pangeran Kedhawung... Pangeran Kedhawung ... bagus j uga nama itu . Pas juga untuk menyebut gelar Tuan Mena k Lumpat," kata orang itu sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Ki Sanak, di manakah Tuan Menak Lumpat tinggal?" "Ayo kami antar , tetapi ke rumah Pangeran Kedhawung, ya?" jawab orang itu sambil bergurau. "lya , saya diantar ke kediaman Pangeran Kedhawung alias Tuan Menak Lumpat," Tumenggung Sura menimpali gurauan orang itu . Tak berapa lama sampailah utusan Blambangan itu ke kediaman Menak Lumpat. Diterimanya utusan Blambangan itu dengan ramah. Menak Lum pat sadar bahwa penguasa Blambangan masih bersaudara dengan dirinya . Setelah berbasa -basi seperlunya, Tumenggung Sura menyampaikan 17 maksud kedatangannya ke Kedhawung, yaitu Menak Lumpat diminta bergabung dengan Blambangan. Namun, dengan santun Menak Lumpat menolak permintaan itu. "Paman, sampai saat ini biarkanlah kami menata daerah Kedhawung dahulu. Daerah ini baru mulai mekar setelah beberapa puluh tahun kakek saya dan orang tua saya berusaha mengembangkannya. Nanti, jika semuanya telah membaik, kami akan menghadap ke Blambangan. Kami siap bergabung dengan Blambangan. Kita harus kuat, Paman. Saya senang jika Blambangan seperti sedia kala, berwibawa sampai ke Palembang dan Bruni." "Baik anakmas, nanti akan kami sampaikan kepada Mas Menak di Blambangan." Pertemuan itu berlangsung akrab, kedua belah pihak mengungkapkan permasalahan yang dihadapi daerah masing-masing tanpa ada rasa curiga sedikit pun. Keesokan harinya setelah dijamu seadanya, utusan itu kembali ke Blambangan. Mereka tidak melewati Pantai Selatan, tetapi menerabas lewat lebatnya hutan Jatirata, Rambi, Angsana, dan Mrawah. Ketika malam telah datang, tak ada satu rumah pun yang mereka temukan, mereka berusaha mencari tempat beristirahat. Mereka terpaksa tidur di hutan yang lebat dan malam yang gelap. Saat beristirahat, mereka bergantian berjaga agar ketika melanjutkan perjalanan, tubuh mereka telah segar kembali. Tatkala matahari telah sepenggalah, Tumenggung Sora memasuki kotaraja. Mereka langsung menuju ke rumah Menak Pati. 18 "Anakmas, Menak Lumpat belum bisa datang ke Blambangan karena masih membenahi daerah barat Kedhawung. Nanti kalau sudah selesai , Menak Lumpat akan menghadap." "Ah, pasti itu hanya alasan belaka! Alasan halus menolak permintaan kita," kata Menak Pa ti, mencurigai Menak Lum pat. "Jangan mau dibohongi, jangan-j angan mereka sedang menyusun kekuatan untuk menyerang kita," sela punggawa yang berada di sebelah kiri Menak Pa ti. "Tidak Anakmas , setahu saya, yang dikatakan Menak Lumpat itu tulus, dia tidak menyem bunyikan maksudmaksud tertentu , " Tumenggung Sura memberi pengertian, "kalau dia bermaksud menyerang kita, tentu kami tidak mungkin bisa pulang selamat sampai ke Blambangan ini, Anakmas. Selain itu, kalau Kedhawung mau menyerang kita, tentu ayah Pangeran Kedhawung saat itu pasti telah bergabung dengan tentara Demak menghancurkan kita! Ternyata tidak dilakukannya." "Betul Mas Mena k, saya mendengar sendiri, bahkan Menak Lumpat menginginkan Blambangan menjadi besar seperti semula. Menak Lu mpat ingin bersama-sama membangun Blambangan agar kembali berwibawa," pengawal Tumenggung Sura ikut meyakinkan Menak Pati. "Nah, jelas bukan, Mas Menak? Menak Lumpat akan membesarkan Blamban gan! ltu artinya, dia akan menguasai Blambangan dan akan membesarkannya sendiri, atau dia akan menjadi pengu asanya, sedangkan kita menjadi pembantu-pembantunya ." 19 "Dia mungkin beranggapan setelah negeri kita diluluhlantakkan Demak, kita tak mungkin bisa bangkit! Dia menduga kita masih tak berdaya. Dia tidak tahu kalau meriam buatan Portugis telah datang. Pasti Menak Lumpat itu akan memanfaatkan keadaan kita yang seperti ini. Cepat atau lam bat mereka pasti akan balas dendam. Bukankah kakeknya dulu terusir dari Blambangan?" punggawa yang lain memanas-manasi. "Anakmas, kenapa kita selalu curiga pada Menak Gadru dan keturunannya? Tidakkah Anakmas ingat bahwa Menak Lumpat itu saudara Anakmas juga? Kakek Anakmas itu saudara kandung kakek Menak Lumpat. Mengapa memusuhi saudara sendiri?" Tumenggung Sura berusaha sekuat tenaga menasihati Menak Pati agar jangan salah sangka terhadap Menak Lumpat. la juga mengingatkan bahwa antara Menak Pati dan Menak Lumpat itu sama -sama cucu penguasa Blambangan beberapa puluh tahun yang lalu. Namun, usaha tumenggung itu sia-sia belaka. Menak Pati sama sekali tidak memedulikan nasihat yang diberikan Tumenggung Sura. la malah memerintahkan punggawa yang lain untuk mengajak Menak Jebolang menyerbu Kedhawung. Menak Jebolang yang menjadi penguasa Panarukan , mula-mula tidak mau, tetapi setelah dihasut oleh Menak Pati, ia akhirnya bersedia menyiapkan prajurit untuk menggempur Kedhawung. Menak Jebolang akan menyiapkan 1.000 prajurit, sedangkan Menak Pati menyiapkan 2.000 prajurit. Kedua pasukan itu akan bergabung di daerah Kali Bening dua pekan kemudian. 20 Tak tok tak tok tak tok ... , te rdengar de rap kaki kuda yang dipacu kencang meninggalkan kotaraja. Mula-mula orang itu menuju ke arah selatan, tetapi kemudian ber belok ke arah barat daya dan masuk ke dalam hutan. Setelah melewati jalan setapak yang ada di hutan, orang itu mengendorkan kekang kudanya sehingga lari kudanya tidak sekencang ta di . " Ki ... , Ki Tumenggung ... , Ki Tumenggung Sura , tunggu ... ," terdengar teriakan dari belakang memanggilmanggil berkali-kali. Ketika mendengar namanya dipanggil-panggil, orang itu menghentikan kuda nya dan ia menoleh ke belakang . "Ki. .. , tunggu Ki , saya ikut!" Tak berapa lama tampak seseorang menyusul orang itu. "Ki Tumenggung pasti akan ke Kedhawung , kan?" orang itu mengulang pertanyaannya sambil menghentikan kudanya. "Dipa, kenapa kamu menyusul?" tanya Tumenggung Sura. "Beberapa hari ini saya mengawasi Ki Tumenggung." "Memang kenapa?" "Dugaan saya Ki Tumenggung pasti tidak setuju dengan rencana Menak Pati menyerbu Kedhawung!" "lya, makanya saya harus memberi tahu Anakmas Menak Lumpat. Kasih an jika Kedhawung dibantai Blambangan! Padahal, Kedh awung tidak pernah merecoki Blam bangan!" jawab Tumenggun g Sura pelan. "Saya juga heran , mengapa Menak Pati ingin mengu langi kesalahan kakeknya dulu?" 21 "Bukankah buah jatuhnya tidak jauh dari pohonnya, Ki?" "Tapi ini kan Kedhawung tidak bersalah apa-apa. Malah, Kedhawung mau bersatu dengan Blambangan setelah Kedhawung tertata semuanya." "Kenapa Menak Pati bersikap seperti itu ya, Ki?" "Entahlah, yang jelas ia seperti kakeknya, haus kekuasaan ! " jawab Ki Tumenggung sambil menghela napas panjang. "Saya pikir kamu tidak setuju dengan tindakanku," lanjut Ki Tumenggung. "lni tadi Darpa juga akan ikut, Ki, tetapi saya larang. Dia akan menjaga keluarga kita jika terjadi kemungkinan yang tidak diinginkan. Termasuk mengungsi ke lereng Gunung Merapi atau Gunung Arjuna jika keluarga kita diincar Menak Pati," jelas Di pa kepada Ki Tumenggung. Setelah percakapan itu, mereka kembali memacu kudanya beriringan. Ketika jalan sempit, mereka terpaksa berjalan pelan. Akan tetapi, ketika jalan agak leluasa, mereka memacu kudanya kembali. Hampir semalam suntuk kedua orang itu menerobos pekatnya malam. Dingin dan lelah tak mereka rasakan. Mereka berburu dengan waktu agar tidak terjadi kesewenang-wenangan terhadap penduduk Kedhawung. Keesokan harinya mereka telah sampai di Kedhawung. Semua yang terjadi di Blambangan mereka ceritakan. Menak Lumpat terdiam menerima kabar itu. la segera memanggil Menak Luput dan Menak Sumendhi, adikadiknya. 22 "Jadi, Menak Pati akan memaksa kita untuk tunduk kepadanya, Kakang?" Menak Luput bertanya pelan kepada kakaknya setelah mendengar penjelasan Tumenggung Sura. " lya , bagaimana pendapatmu?" " Kita hadapi saja , Kakang ." "Prajurit kita tidak sebanyak mereka," jawab Menak Lum pat. "Tapi kalau tidak kita hadapi mereka akan sewenangwenang, Kakang. " "lya memang . Coba kamu perintahkan setiap kademangan (kecamatan) mengirimkan 50 orang." "Prajurit kita di Kedhawung hanya ada 1.000-an orang," jelas Menak Sumendhi. "Di Lamajang ada 500-an orang," sambung Menak Lu put " Usahakan besok sore mereka telah berkumpul." " Baik, Kakang." Keesokan harinya, sejak pagi sampai menjelang sore, banyak orang mendatangi alun-alun, baik yang muda, yang setengah baya , maupun yang tua. Mereka ingin menjadi sukarelawan mempertahankan Kedhawung dengan segala cara, jika perlu mengorbankan jiwa dan raga untuk mempertahankan wilayah Kedhawung yang mereka cintai dan mereka banggakan . Mereka tidak rela, jika junjun gannya , Pangeran Kedhawung harus menyerahkan kedaulatannya ke tangan Menak Pati. Untuk mempertahankan tanah airnya, para pemuda dari berbagai penjuru Kedhawung mulai banyak yang berdatangan. Kebanyakan mereka bertubuh 23 tegap dan berdada bidang. Para pemuda itu kemudian dilatih berperang oleh Tumenggung Sura, Menak Sumendhi, dan Menak Luput. Bahkan, Menak Lumpat juga mengajari bagaimana cara mereka menghadapi musuh secara ber kelompok atau secara sendiri-sendiri. Mereka hampir setiap hari berlatih berperang dan bela diri. Di tempat lain, sesuai dengan kesepakatan, dua pekan kemudian kedua prajurit Panarukan dan Blambangan bertemu di Kali Bening. Sebanyak 3.000 prajurit segera bergegas ke Kedhawung. Menak Pati memimpin sendiri prajurit Blambangan. la membawa simbol-simbol kebesaran Blambangan yang berupa payung berwarna kuning keemasan. Menak Jebolang juga memimpin sendiri prajuritnya. Selain membawa perlengkapan perang seperti pedang dan keris, Menak Jebolang juga membawa gamelan sederhana untuk hiburan di jalan. Telik sandi dari Kedhawung mengetahui keberadaan pasukan gabungan itu, ia segera berlari ke tengah perkampungan. Setelah bertemu seorang punggawa, diberitahukannya kepada punggawa itu tentang pasukan Blambangan yang telah berada di Kali Bening. Punggawa itu pun segera mengajaknya menghadap Menak Lumpat. "Jadi mereka telah berada di Kali Bening?" tanya Menak Lumpat setelah mendengar penuturan telik sandi itu. "lya, Tuan." "Kapan mereka sampai di Kali Bening?" "Siang tadi." 24 " Berarti paling cepat besok pagi mereka akan sampai ke tempat ini." Setelah percakapan itu , Menak Lu mpat segera me ngumpulkan para pun ggawa dan para adi pati guna me nyongsong musuh. " Ad i Luput , siapkan lah prajuritmu di pematang bagian timur , sedangkan Adi Sumendhi , siapkan praju ritmu di utara pematang. Bu at beteng-beteng tipu an, mereka membawa meriam ." " Baik, Kakang, " jawab Menak Lu put dan Menak Sumendhi hampi r bersamaan . " Saya akan menghadang mereka . Siapkan pem anah pemanah j itu." Kabar keberadaan pasukan Blambangan di Kali Bening pun segera terseba r luas ke seantero Kedhawung . Para pemuda semakin banyak yang mendaftarkan diri menjadi sukarelawan . Mereka siap membela pemimpinnya dan membela daerahn ya. Terlebih setelah ta hu bahwa pemim pinnya berada di pihak yang benar, mereka re la mengorbankan jiwa dan raga demi mempertahan kan harga di ri dan kehormatan dari kesewenangan orang lain. 25 3. PERLAWANAN PANGERAN KEDHAWUNG Ketika matahari masih con dong ke timur, dua kekuatan bertemu. Menak Lumpat berusaha sekuat tenaga menghindari terjadinya pertumpahan darah sesama keturunan Brawijaya di wilayah timur. la mengirim tiga orang utusan, tetapi belum sampai menemui mereka, utusan itu dilempari tombak sehingga ada yang terluka. Utusan itu pun balik kembali dan bergabung dengan Menak Lumpat. Bumi Blambangan menangis sedih, daun-daun tertunduk lesu, matahari redup, bahkan angin seolah-olah berhenti menyaksikan pertempuran yang hanya disebabkan hal sepele, keangkuhan dan kesombongan yang kuat terhadap yang lemah. Pohon-pohon jati tua menjadi saksi bahwa beberapa puluh tahun yang lalu, di bumi ini terjadi pemberontakan Wirabumi terhadap adiknya Suhita hanya karena kemarahan yang tidak teredam. Hanya karena Wirabumi merasa paling berhak menjadi penerus Hayam Wur'uk daripada Suhita, kemenakannya itu. Memang, nafsu serakah selalu membakar hati yang lemah. 26 Perang saud ara terjadi kembali di Blambangan . Prajurit Blambangan terlalu percaya diri akan segera dapat mengalahkan praju ri t Kedhawung karena mereka mempunyai senjata meriam yan g dibeli dari bangsa Portugis. Pertempuran pun t ak dapat dielakkan lagi. Tak lama kemudian terdengar bunyi glegar ... glegar ... glegar ... glegar . .. bunyi meriam memuntahkan bola panas mengarah pasukan Kedhawun g. " Terimalah ini pasukan Kedhawung ... cuit. .. glegar!" Teriakan pasukan Blambangan disusul bunyi meriam menyerang pasukan Kedhawung. Ketika mendapa t serangan itu, praj urit Kedhawung t idak mengira sam a sekali. Mereka hanya melihat bola api te rbang sambil mengeluarkan bunyi. Bahkan ada yang takj ub melihat bola api itu terbang sehi ngga beberapa orang mengejarnya ingin t ahu lebih jauh tentang benda itu . Namun , ketika bola api itu jatuh , meledak, dan menimbulkan bunyi menggelegar, t erdengarlah je rit kesakitan , mereka baru sadar kalau bola api itu merupakan senjata yang berbahaya dan memati kan . lsi meriam itu seben tar-sebenta r dimuntahkan dan mengeluarkan bunyi gelegar yang memekakkan telinga . Setelah berlangsung beberapa lama, meriam itu mulai jarang terdengar , bahkan kemudian tak t erdengar lagi. Menak Pati yang mengagung-agungkan senjata itu sempat bertanya-tanya dalam hati mengapa meriam tidak berbunyi lagi. Diperintahkannya beberapa orang menyelidik. Setelah diselidiki ternyata meriam itu tersum bat kepala orang yang 27 terkena panah, sedang meriam yang lain disumbat panah pada bagian pemantiknya. Setiap ada yang berusaha mendekatinya, orang itu terkapar tertembus panah. Akhirnya, meriam itu ditinggalkan begitu saja. Setelah mendapat laporan itu, Menak Pati segera memerintahkan pasukannya maju menyerang pasukan Kedhawung. Prajurit-prajurit Blambangan dan Panarukan pun segera merangsak menyerang prajurit Kedhawung. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Para prajurit kedua belah pihak silih berganti menyerang lawan. Teriakan kesakitan karena tertebas senjata lawan mulai sering terdengar, korban dari kedua belah pihak mulai banyak yang berjatuhan. Tatkala sang surya telah berada di atas kepala, pasukan Blambangan mulai berhasil mendesak pasukan Kedhawung. Pasukan Kedhawung mundur pelan-pelan sambil mempertahankan diri. Pasukan Blambangan merasa di atas angin ketika melihat keadaan semacam itu. Mereka langsung membunyikan gamelan bertalu-talu memberi semangat pasukan Blambangan agar segera menyelesaikan pertempuran itu. Mendengar bunyi gamelan itu, kejiwaan prajurit Kedhawung berguncang. Wajah mereka mula gelisah. Kecemasan dan ketakutan tertebas pedang lawan mulai terbayang di mata mereka. Prajurit Kedhawung terus mundur. Ketika melihat perubahan yang terjadi seperti itu, Menak Lumpat tidak tinggal diam, ia segera meniup teromi;>et yang ada di pinggang kirinya dengan sepenuh tenaga secara berulang-ulang. Terompet dari tanduk kerbau itu merupakan peninggalan Dewi Kilisuci. 28 Sesaat kemudian terdengar bunyi terompet tet. .. tet... tet... tet... tet ... membuyarkan suara gamelan . Prajurit Kedhawung mendengar bunyi terompet itu dan seketika itu pula wajah mereka mulai berseri-seri kembali. Keberaniannya kembali bangkit. Tak lama kemudian datanglah prajurit yang dipimpin Menak Luput dan Menak Sumendhi dari arah utara dan selatan. Bersamaan dengan itu , wus ... wus ... wus ... , puluhan bahkan ratusan panah beterbangan mengincar prajurit Blambangan. "Aduh ... ," teriak prajurit Blamban gan yang terkena panah. "Awas ... , pan ah ... waduh ... !" teria k prajurit Blambangan mengingatkan temannya , tetapi ia sendiri tertancap panah sebelum akhirnya roboh. Keadaan segera berubah. Prajurit Blambangan bagian depan kocar-kacir. Di antara mereka banyak yang terbunuh dan banyak pula yang luka. Sebelum mereka menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, pasukan Menak Luput dan Menak Sumendhi telah merangsak ke tengah pertempuran. Mereka berdua berusaha menutup pasukan Blambangan yang sudah terperangkap maju ke depan agar tidak bisa kembali bergabung dengan temannya. "Sen thong Minep (pintu menutup) .. . Senthong Minep (pintu menutup ) ... ! " Menak Lu put berkali- kali meneriakkan kalimat itu . Pasukan Blambangan yang terperangkap dengan siasat itu , tidak bisa berbua t banyak. Mereka ada yang menyerah dan ada pula ya ng tetap melawan sampai ajal menjemput. 29 "Gila, ini gelar perang Supit Urang (ekor udang), disusul dengan senthong minep (kamar menutup)," Menak Pa ti membatin dalam ha ti. la kemudian berteriak keraskeras, "Samodra Rob ... ! Samodra Rob ... !" Tak lama kemudian pasukan Blambangan mengubah taktik berperangnya, pasukan yang terluka dan tewas ditariknya mundur dan digantikan pasukan yang lain yang jumlahnya lebih banyak. Kadang-kadang mereka menyerang bagaikan gelombang laut, tetapi setelah itu mundur jauh ke belakang. Hampir saja pasukan Kedhawung terpancing mengejar pasukan Blambangan yang sengaja menarik diri. Untung segera terdengar teriakan yang berulang-ulang. "Jangan terpancing ... , jangan terpancing .... ltu tak tik mereka. Jangan dikejar ... jangan dikejar ... bahaya!" Siasat Samodra Rob tak berpengaruh apa-apa terhadap pasukan Kedhawung. Pertempuran itu masih berlangsung terus. Belum kelihatan siapa yang akan memenangi pertandingan itu meskipun kelihatan pasukan Blambangan mulai banyak yang berjatuhan. Ketika menyaksikan perubahan pasukannya, Wira Truna (Anak Menak Pati) melompat tinggi-tinggi, kemudian kakinya hinggap di atas ranting yang ada di sekitarnya. Dari situ ia melihat ke tempat pertempuran. Setelah mengamati sejenak, ia meloncat turun. "Paman, kekuatan mereka ada di tengah, Paman!" kata Wira Truna kepada Menak Jebolang. "Bukan, anakku. ltu hanya pancingan. Kekuatan mereka yang sebenarnya berada di kedua sayap utara dan 30 selatan. Kalau anakmas bisa menghancurkan salah satu sisi , mereka pas ti akan mudah kita lumpuhkan." "Baik, Paman. Saya akan menerobos ke sebelah utara ," tan pa menunggu jawaban pamannya, Wira Truna segera berkelebat menin ggalkan pamannya. Pertempuran terus berlangsung, bunyi gamelan kembali terdengar , tetapi nadanya berbeda dengan nada yang telah terdengar. ltu pertanda pasukan Blambangan akan segera menggempu r pasukan Kedhawung habis-habisan . Namun , lawan yang dihadapinya adalah anak-anak muda ya ng sangat berani. Di dada anak-anak Kedhawung telah tertanam semangat mati atau mukti (mati atau bermartabat ). Tiba -tiba gemuruh sorak sorai terdengar kembali dari sisi kiri , tak lama kemudian tampak pasukan Kedhawung mulai terdesak. Dalam suasana seperti itu , Wira Truna dengan mudah membinasakan lawan- lawannya. "Marn pus kau ! " kelebat pedangnya menusuk prajurit Kedhawung. la lalu meloncat mencari sasaran yang lain. Disambarnya prajuri t Kedhawung yan g berada di depannya, jerit kesakitan pun terdengar memilukan. Pasukan Kedha wung mulai gentar melihat sepak terjang Wira Truna. Keadaan semacam itu , digunakan Wira Truna untuk menakut-nakuti musuh yang ada di dekatnya. Ditangkapnya dua prajurit Kedhawung dan dilemparkannya ke atas. Dalam waktu sekejap dua orang prajurit itu terpelanting tinggi-tinggi dan kemudian tubuh kedu anya jatuh ke bumi. "G edebruk .... " tubuh kedua praju rit itu jatuh ke tanah meregang nyawa . 31 "Hebat. .. hebat. .. ," terdengar suara memujinya dari kejauhan. Wira Truna menoleh ke arah suara itu, tetapi dia tidak menggubrisnya. Di benaknya timbul keinginan untuk menakut-nakuti prajurit itu, ia ingin membuat prajurit itu mati kaku. Segera disambarnya prajurit Kedhawung yang mendekatinya. Dipilinnya tangan prajurit itu ke belakang sampai berbunyi kretak... Ketika prajurit itu kesakitan, tangan Wira Truna diangkatnya tinggi-tinggi, tak lama kemudian dipukulkannya tangannya itu dengan sekuat tenaga ke prajurit yang sedang kesakitan itu. "Dug ... !" Wira Truna terkejut bukan kepalang. la seolah-olah memukul lempengan besi yang dialiri listrik. Tangannya pun kesemutan dan tubuhnya terguncang hebat. Dipandanginya sekelilingnya, yang ada hanya prajurit yang selalu mengikutinya sejak tadi. "Kau yang melakukan?" tanya Wira Truna singkat sambil melotot. "Ya ... ," jawab orang itu lebih singkat dari pertanyaan Wira Truna. Darah Wira Truna seketika mendidih sampai ke ubunubun. la segera menyerang ingin melumatkan orang itu. Wira Truna ternyata salah perhitungan, dianggapnya lawannya itu tak mempunyai kemampuan bertempur. Dengan sepenuh tenaga, Wira Truna menerkam orang itu seperti harimau kelaparan yang akan memangsa buruannya. Ternyata lawannya tidak seperti yang ia duga, mudah dikalahkan. Kedua orang itu akhirnya terlibat dalam pertempuran sengit. Setelah beberapa puluh jurus berlalu, Wira Truna 32 baru menyadari bahwa lawannya bukanlah prajurit biasa. Karena itu , ia segera mengeluarkan seluruh kemampuannya , tetapi selalu saja prajurit itu dapat menghindar, bahkan kakinya sempat menerjang ulu hatinya hingga ia terjatuh ke belakang. Wira Truna segera mengembangkan kedua tangannya , kaki kanannya ditariknya ke belakang lurus, sedang kaki kirinya ditekuk ke depan sedikit. Di antara kedua tanganya terlihat asap dan tangannya pun tampak memerah. la kemudian meloncat menyerang lawan. "Prajurit sombon g, terimalah ini , " kata Wira Truna sambil mengirimkan serangan ke arah la wan. Wut. .. wut. .. ia mengejar lawan yang mulai kerepotan menghadapi ilmu pamungkasnya . Tak mau lumat oleh ilmu Hasta Grama yang terpancar dari kedua tangan Wira Truna, orang itu pun kemudian melanting ti nggi-tinggi menga mbil jarak. Dalam waktu sekejap , ia pun menata gerakannya , Tangan kiri diletakkan setinggi dada dan tangan kanan dijulurkan ke depan . Lalu , tangan kanannya ditariknya ke belakang pelan-pelan dan dihentakkannya dengan sepenuh hati ketika Wira Truna melompat menerkamnya. Wira Truna terkejut luar biasa melihat perubahan gerakan yang dilakukan lawannya. Lawa nnya sedang mengeluarkan jurus Braja Pani , ilmu pamungkas yang hanya dimiliki keturunan Empu Panulu h. Yang terjadi betu l-betul mengejutkan Wira Truna, ia mengaduh , dadanya seperti tertimpa beribu-ribu batu. la menyeringai kesakitan dan langsung nyawanya meregang. Gemparlah prajurit Bla mbangan . Mereka ketakutan jika di- 33 dekati musuh Wira Truna itu. Menjelang petang, pertempuran itu dihentikan. Pihak Blambangan mendirikan perkemahan di bagian timur, sedangkan pihak Kedhawung mendirikan perkemahan di bagian Barat. Menak Pati terpukul jiwanya setelah melihat anaknya diusung ke tenda tanpa nyawa. la akan membalas kekalahannya hari ini. Hari pertama prajurit Blambangan yang luka ada 353 orang dan yang terbunuh 168. Di pihak Kedhawung, yang tewas 33 orang yang terluka 126 orang. Keesokan harinya, yaitu pada hari kedua, pertempuran berlangsung lambat dan hati-hati. Kedua belah pihak tidak mau mengulang kesalahan yang mereka perbuat pada hari pertama. Karena itu, korban pada hari kedua tidak sebanyak hari pertama. Setelah pertempuran berjalan sepekan, Menak Jebolang dan Menak Pati langsung memimpin perang. Mereka langsung ,merangsak ke depan. Pakaian kebesaran Panarukan dan Blambangan dikenakannya. Sementara itu, di pihak Kedhawung, pemimpin pasukan sama sekali tidak mengenakan pakaian kebesaran apa-apa sehingga tidak dikenali mana yang prajurit dan mana pemimpinnya. Ketika melihat lawannya telah siap menghadang mereka dengan gelar perang Gedhong Minep. Menak Pati dan Menak Jebolang segera memerintahkan gelar perang Diradameta. Kali ini ia tidak mau menggunakan gelar perang Samudra Rob yang ternyata tidak dapat menembus barisan lawan. Kedua pangeran Blambangan itu pun memberi abaaba agar segera menggempur pasukan Kedhawung. Serang- 34 an prajurit Blambangan bagaikan gajah mengamuk yang begitu dahsyat. Sambil menjerit-jerit menebar maut. Namun , prajurit Kedhawung yang diserang begitu hebat tetap kukuh berdiri bagaikan karang hitam di laut yang tak lekang oleh panasnya matahari dan tak lapuk oleh terpaan badai dan hujan. Satu demi satu korban di antara kedua belah pihak mulai berjatuhan kembali. Ada yang tertebas lengannya dan ada pula yang tersobek perutnya. Bahkan, ada pula yang pecah batok kepalanya terkena pukulan musuh. Darah merah mulai berceceran di mana-mana . Setelah sekian lama peperangan itu berlangsung, prajurit Kedhawung tampaknya mu lai kewalahan. Karena itulah, Menak Lumpat dan Menak Luput segera tampil ke depan menghadang Menak Pati dan Pangeran Jebolang. "Kita hentikan peperangan ini segera Adik. Jika tidak, prajurit kita akan ha bis," kata Menak Lum pat kepada Menak Luput. "lya Kakang, prajurit kita mulai terdesak." "Ayo, kita cari pemimpinnya!" Kedua orang itu segera berloncatan menuju ke barisan terdepan medan peperangan dan langsung menghadang Menak Pati. Ta npa basa-basi lagi mereka saling menyerang. Menak Lumpat berhadapan dengan Menak Pati , sedangkan Menak Lupu t berhadapan dengan Menak Jebolang. Menak Lumpat begitu yakin menghadapi Menak Pati. Ketika Menak Pati menyerang dengan tangan kanan dan disertai dengan loncatan yang sangat cepat, Menak Lumpat 35 sengaja membenturkan sikunya untuk mengetahui kekuatan lawan. Begitu tangan dan siku bertemu, terdengar suara dug ... , keduanya tergetar dan surut beberapa langkah ke belakang. "Gila ... , tenaganya kuat juga," kata Menak Lumpat dalam hati. Mereka kembali berdiri dan kembali melancarkan serangan dengan jurus andalan masing-masing. Di tempat lain Menak Luput agak kewalahan menghadapi Menak Jebolang. la sempat terhuyung dan jatuh terduduk ketika pukulan Menak Jebolang mengenai perutnya. Namun, karena tidak ingin binasa, Menak Luput segera bangkit dan sesaat kemudian melancarkan serangan balasan. Tangan kanan Menak Luput segera ditariknya ke belakang setinggi bahu dan tangan kanannya ditariknya lurus ke belakang, sedangkan tangan kirinya ditekuk ke arah dada. la kemudian meloncat dan menyerang Menak Jebolang sekuat tenaga. "Ciat ... , terimalah pukulan ini!" teriaknya lantang. Menak Jebolang tak ingin tubuhnya disakiti. Karena itu, ia segera bergeser ke samping sambil tangan kanannya memukul ke arah perut Menak Luput. Menak Luput segera mengubah serangannya. Sambil menangkis serangan, Menak Luput menjatuhkan diri dibarengi dengan gerakan kakinya menyapu pertahanan Menak Jebolang. Karena tak sempat menghindar, Menak Jebolang akhirnya terjatuh. Plak ... , bug ... , Menak Jebolang menyeringai kesakitan. Kejadian hu hanya sesaat. Mereka kemudian bangkit dan melanjutkan pertempuran lagi. 36 Di sisi lain tampaknya Menak Pati begitu yakin dapat mengalahkan lawannya. Namun , setelah beberapa jurus berlalu Menak Pati malah gelisah . Lawannya ternyata lebih tangguh dari yang diperkirakannya . Saat itu ketika matahari mulai tampak tenggelam , Menak Pati segera meningkatkan serangannya. la ingin segera mengakhiri pertempuran itu. Menak Pati meloncat menyerang dengan pukulanpukulan yang lebih dahsyat. Serangannya semakin kasar dan garang . la meloncat sambil tangannya mengirimkan pukulan ke dada lawan . Menak Lumpat hanya memiringkan tubuh sedikit. Lalu , dalam waktu yang sekejap kakinya dijulurkannya ke perut lawan. Menak Pati terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba itu. la tidak menduga kalau Menak Lumpat tetap dapat menghindar . Bahkan, Menak Lumpat membalas dengan jurus-jurus yang membahayakan. Menak Pati tidak mau perutnya disakiti, karena itu, ia segera menjatuhkan diri dan berguling-guling menjauh. la kemudian melanting tinggi-tinggi dan mendarat agak jauh dari Menak Lumpat. Tiba-tiba ia menekuk kaki kirinya ke depan, sedangkan kaki kanannya ditarik lurus ke belakang. Kemudian, ia meloncat tinggi-tinggi sambil memukulkan tangannya ke arah kepala Menak Lumpat. "Pangeran Kedhawun g yang mulia, ajalmu telah tiba ... ! " kata Menak Pa ti sambil menghina Menak Lum pat. Menak Lumpat sadar betul bahwa lawannya mengeluarkan ilmu andalan yang disebut Brajamusti. Karena tidak mau dilumatkan oleh ajian yang sangat dahsyat itu, Menak Lumpat segera menyilangkan tangan di depan dada 37 Menak Lumpat segera menyilangkan tangan di depan dada dan kedoa kakinya direntangkannya kuat-kuat untuk menahan serangan Menak Pati. 38 dan kedua kakinya direntangkannya kuat-kuat. Dalam waktu yang sekejap , ia pun telah siap dengan ilmu andalannya pula , Tameng Waja . Sekejap kemud ian terjadilah benturan yang sangat dahsyat. "Wut. .. , blar .. . ! Menak Lum pat tergetar sejenak, ia sempat terhuyung beberapa langkah ke belakang . Namun , kakinya masih berdiri tegak. Sementara itu, pukulan Menak Pati seolah-olah membentur dinding baja yang sangat kuat dan seperti membalik menyerang dirinya. Jantungnya terasa co pot seperti dihantam godam yan g sangat besar. Tubuhnya terpental ke belakang dan t ak lama kemudian jatuh terkulai. Napasnya tersengal-sengal sejenak, setelah itu diam untuk selama nya. Sejenak Menak Lumpat terpaku diam , ia kemudian melihat sekelilingnya. Dilihatnya Menak Luput dan Menak Jebolang masih berperang tanding . Menak Lumpat was-was hatinya. la sanksi bahwa adiknya, Menak Luput, dapat mengalahkan Menak Jebolang. "Buk ... , buk .. . , aduh! " terdengar bunyi mengaduh. Menak Luput terdorong beberapa langkah, kepalanya tibatiba berkunang-kunang . la menyeringai kesakitan sebelum akhirnya jatuh terdudu k. "Anak sombong , sebutlah kakekmu ya ng pengecut itu sebelum kau kukirim ke neraka , " kata Menak Jebolang sambil meloncat menyerang Menak Luput yang sedang kesakitan , " Wus ... ! " Namun, tiba-tiba ada bayangan yang berkelebat sangat cepat menghadang serangan Menak Jebolang. Bayangan itu berhasil membentur tangan Menak Jebolang dan menangka p pergelangan tangannya. 39 "Ad uh ... ," Menak Jebolang berteriak kesakitan. Tangannya seperti memukul batu karang dan kemudian tenaganya seperti hilang. Dalam waktu sekejap, sebelum ia sadar dengan apa yang terjadi, bayangan yang membenturnya itu akhirnya melemparkan tubuhnya dengan sepenuh tenaga. Pangeran dari Panarukan itu sama sekali tidak menduga hal itu bisa terjadi, ia tidak sempat berpikir. Tahu-tahu tubuhnya melayang sangat cepat. "Krek ... , bruk!" Tubuh Menak Jebolang membentur pohon sebelum akhirnya roboh. Matanya melotot memandang lawannya dengan penuh kebencian. la hanya mengerang pelan dan akhirnya terbujur kaku. "Terima kasih, Kakang Menak Lumpat ... ," Menak Luput berkata pelan sambil menahan sesak yang ada di dadanya. "Sudahlah, pusatkan nalar budimu. Arahkan ke bagian tubuhmu yang sakit. Ambil napas dalam-dalam." nasihat Menak Lumpat kepada adiknya. Kematian Menak Pati dan Menak Jebolang membuat gempar prajurit Blambangan dan Panarukan. Mereka bertempur hanya sekadar bertahan dan berusaha menghindar dari serangan lawan. Sedikit demi sedikit perlawanan mereka mulai melemah seiring dengan keadaan waktu yang mulai malam. Tanpa menunggu komando lagi mereka banyak yang menyerah, sedangkan sebagian ada pula yang melarikan diri memasuki hutan belantara. Payung kebesaran Blambangan ditinggalkannya begitu saja. Demikian pula seperangkat gamelan milik Menak Jebolang juga di- 40 tinggalkan. Pertempuran itu dikenal sebagai pertempuran perebutan payung (payung merupakan simbol kekuasaan). Sejak saat itulah Menak Lumpat sering disebut Pangeran Rebut Payung atau Pangeran Kedhawung . Setelah Menak Pati dan Menak Jebolang tewas, wilayah kekuasaan Kedhawung sampai ke wilayah Blambangan dan Panarukan bagian selatan. Pada zaman Menak Lumpat berkuasa, Kedhawung menyatakan kesetiaannya kepada Mataram . Hal itu ia lakukan karena di wilayah pesisir utara, yaitu Tuban, Surabaya, Pasuruan, Prabalingga , Besuki , dan Panarukan menjadi kekuasaan Sultan · Pajang , Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Menak Lumpat memerintah Kedhawung kurang lebih 30 tahun . Penyerbuan Menak Pati terjadi ketika ia baru memerintah selama 5 tahun. Pangeran Rebut Payung mempunyai 3 orang anak, yaitu Tawang Alun, Menak Sembuyu, dan Masputri Widarba . Widarba sering disebut Tunjungsari, Melok, atau Gringsing . Widarba berwajah cantik, ia sering mengenakan bunga tunjung dan mengenakan kain gringsing. Karena itulah ia sering dijuluki Putri Melok, Putri Tunjungsari, atau Putri Gringsing . Menak Sembuyu sering pula disebut Menak Wila atau Gdhe Buyut. 41 4. MENAK SEMBUYU Hujan yang mengguyur semalam suntuk membuat penduduk Kedhawung hampir tak ada yang keluar rumah. Mereka kedinginan. Namun, pagi itu udara cerah, sinar matahari pagi mulai memancarkan sinarnya. Kicau burung kepodang, cucak rawa, dan gelatik mulai terdengar. Bunyi kerincing gerobak dan pedati mulai terdengar, pertanda aktivitas penduduk mulai menggeliat setelah semalam suntuk mereka tinggal di dalam rumah. Rumah-rumah penduduk yang berdinding bambu mulai tertembus sinar matahari pagi. Penghuninya yang bermalas-malasan bangun terpaksa beranjak dari tempat tidurnya karena terkena sinar matahari yang masuk lewat celah-celah bilik rumah. Begitu pula yang terjadi di rumah Pangeran Kedhawung, Menak Lumpat terpaksa bangun dari tidurnya karena sinar matahari menerpa wajahnya yang mulai keriput dimakan usia. Meskipun ia penguasa negeri itu, tempat tinggalnya tidak lebih mewah dari yang lain. Kehidupannya pun sederhana. Setelah ke pakiwan (jamban/toilet) dan 42 berpakaian se adanya, ia ke ruang depan. Dipanggilnya beberapa orang yang setia menjaga kediaman nya. " Lurah Widu ra, kumpulkanlah para tumenggung dan para demang . Suruh lah mereka men ghadapku besok pagi. " " Baik, Tuan," jawab salah seorang yang bernama Widura. " Lurah Tumpa k, pergilah kau ke tempat anakanakku . Suruhlah mereka datang. Kalau bisa sekarang , te tapi kalau tidak bisa, usahakan besok pagi mereka telah berada di si ni." " Baik, Pangeran." jawab Lu rah Tu mpak. Lurah Widu ra dan Lurah Tum pa k pun lalu berangkat menuju kediaman para tumenggu ng, para demang, dan anak -anak Pangeran Kedhawung. Keti ga anak Menak Lum pat malam itu juga t elah datang, sedangkan para tumenggung dan para demang baru keesokan paginya mulai berdatangan . " Para Tumenggu ng, Para Demang, dan anak-anakku . Teri ma kasih kalian te lah dat ang memenuhi panggilanku , " kata Menak Lumpat. Setelah men gambil napas sejenak, ia pun melanjutkannya , " Ke tahuilah, Mataram sedang merencanakan penyerbu an ke Batavia. Sultan Agung tentu akan meminta kita untuk membantu nya. Karena itu, kalian bersiap-siaplah mengirim kan prajurit ke Mataram . Adipati Surabaya dan adipat i -adipati yang berada di pesisir utara bagian timur telah bersiap-siap membantu Mataram untuk menyerbu Kompeni Ma rsose (VOC) ke Jayakarta . Tapi saya sudah renta , karen a itu aku minta anakku Tawang Alun menggantikan kedudukanku dan membantu Mata ram." 43 "Baik Pangeran," jawab para tumenggung dan para demang hampir serempak. "Adakah kalian yang tidak setuju dengan pengangkatanku ini? Atau kalian ada usul yang lain?" "Kami setuju, Tuan," jawab mereka kembali kompak. "Baik kalau begitu. Tawang Alun, Menak Sembuyu, dan Masputri Widarba, kalian bertiga adalah saudara kandung. Kalian adalah anak-anakku semua. Janganlah kalian saling bermusuhan. Peliharalah Kedhawung ini dengan baik, janganlah kalian berebut kekuasaan," Menak Lum pat menasihati anak-anaknya. "lya ayah. Akan kami ingat petuah-petuah ayah," jawab mereka hampir bersamaan. "Kalau ada masalah, bicarakanlah bertiga. Jika ada hubungannya dengan pemerintahan Kedhawung, libatkanlah para tumenggung. Mereka pasti akan bersedia membantu," lanjut Menak Lum pat. "Baik, Ayah." "lngatlah, Kedhawung ini didirikan oleh buyutmu (moyangmu) Menak Gadru yang terusir dari Blambangan. Dua puluh satu tahun yang lalu, Blambangan berusaha merebut daerah ini. Yang ingin merebut itu Menak Pati, ia adalah cucu Menak Pentor. Untung ayahmu dapat mengalahkannya," jelas Menak Lum pat. Setelah menghela napas sejenak dan minum wedang jahe yang diberi gula merah, Menak Lumpat melanjutkan, "Menak Pentor itu kakaknya buyutmu Menak Gadru." "Jadi mereka sebenarnya saudara kita juga ya, Ayah?" tanya Tawang Alun kepada ayahnya. 44 " lya ." "Mengapa mereka dengki kepada kita?" Widarba menyela pembicaraan . "Dengki dan saling cu riga itulah pangkal penyebabnya. Karena itu , ingatlah , kalian j angan saling curiga dan jangan saling mendengki," jawab ayahnya sambil ditatapnya wajah anaknya satu per satu . Para demang dan tumenggung t etap mendengarkan pembicaraan mereka. Seolah-olah nasihat Menak Lumpat itu juga ditujukan kepada mereka . Di antara mereka yang dengki , langsung menu ndukkan kepalanya, ia merasa malu. Namun, di dalam hati , ia berjanj i aka n berusaha memperbaiki diri . "Anakku, sekaran g Blambangan dan Panarukan sudah menjadi wilayah kita . Perintahlah secara adil daerah itu . Libatkanlah keturunan Menak Pati dan Menak Jebolang di dalam mengatur negeri ini. Berbuatlah adil kepada mereka. Mereka semua adalah saudara-saudaramu juga," nasihat Menak Lumpat. Setelah peristiwa itu , Kedhawung diperintah oleh Tawang Alun. Kedua adi knya dilibatka n dalam pemerintahannya. Mas Ayu Wid arba diminta menjadi bupati jero negad (dalam negeri) , sedangkan Menak Sembuyu di mintanya menjadi bupati jaba negara (luar negeri) . Para tumenggung yang tela h lama berjasa diangkatnya menjadi penasihatnya . Sement ara anak-anaknya diminta mengganti kan kedudukan ayahnya . Tak lama setelah kejadian itu , Menak Lumpat meninggal du nia. 45 Hanya empat tahun Tawang Alun berkuasa, bibitbibit kedengkian mulai timbul di antara keluarga Kedhawung, terutama setelah kedua pamannya Menak Luput dan Menak Sumendhi tidak berada di Kedhawung lagi. Menak Luput berada di Lamajang dan Menak Sumendhi berada di Karenon. "Kakang, sebaiknya Blambangan segera dibenahi," kata Menak Sembuyu pada suatu kesempatan, "Kalau tidak, hal-hal yang tidak kita inginkan bisa terjadi. Akhir-akhir ini, beberapa orang Bali sering hilir mudik BlambanganPanarukan tanpa tujuan jelas." "Adik, tidakkah kau ingat pesan mendiang ayah?" "Pesan apa?" "Bukankah Blambangan Timur dan Panarukan supaya tetap dipegang oleh keturunan Menak Pati dan Menak Jebolang?" "lya, tapi mereka bukankah acuh tak acuh saja. Bahkan, mereka malah bersekutu dengan Portugis," kata Menak Sembuyu sambil menghela napas panjang, "Karena itulah Kakang, kita sebaiknya mengangkat orang-orang kita untuk mengendalikan Blambangan dan Panarukan," Menak Sembuyu tetap membujuk kakaknya. "Aku tidak bisa melakukan itu. Aku lebih senang di Kedhawung dan membiarkan Blambangan dan Panarukan diperintah oleh keturunan Menak Pati atau Menak Jebolang," jawab Tawang Alun setengah emosi. "Mulai kapan Kakang jadi pengecut?" "Jaga mulutmu, Sembuyu!" 46 " Kalau aku yan g ditunjuk ayah menggantikan kedudukannya, pasti aku akan pindah ke Blambangan. Akan aku hadapi raja Bali yang mulai menyebarkan pengaruh di sa na ." "Cukup Sembu yu. Kalau begitu kei nginanmu , mulai sekarang aku serahkan Kedhawung ke tan ganmu . Aku akan meninggalkan Kedhawu ng," jawab Tawang Alun penuh emosi. "Terserah Kakan g, saya hanya mengingatkan, tetapi ken apa Kakang malah berbuat seperti itu ! " Tanpa berkata -kata lagi, Tawang Alun meninggalkan kediamannya. Anak, istri , beserta beberapa pengawal se tianya diajaknya pula. la pergi ke arah Gunung Raung . Waktu itu matahari sudah condong ke barat, sebentar lagi tertelan bu mi, pertanda malam segera datang . Cit. .. cit. .. , kelelawar terbang dari sarangnya mencari makan . Saat itulah , rombonga n Tawang Alun sampai di lereng Gunung Raung. Mereka mulai membuka daerah itu menjadi permukiman. Tak berapa lama daerah itu menjadi ramai dan berkembang sangat pesat. Daerah baru itu kemudian dikenal dengan sebutan Bayu . Kemajuan daerah Bayu tak dapat dibendung, banyak penduduk Kedhawung yang pindah ke daerah Bayu . Perpindahan penduduk ke daerah baru itu diketahui pula oleh Menak Sembuyu . Setelah peristiwa itu, Kedhawung diperintah oleh Menak Sembuyu . Dalam beberapa bulan ia telah menyiapkan prajurit untuk ditempatkan di wilayah Blambangan bagian Timur dan Panarukan . Setelah yakin dengan ke - 47 kuatannya, ia berangkat membawa kurang lebih 1.000 prajurit ke wilayah itu. Ternyata para tumenggung di wilayah Blambangan timur menyambut baik kedatangannya. Mereka tetap menganggap Blambangan timur bagian dari Kedhawung. Demikian pula dengan Panarukan, daerah ini pun juga tetap menganggap Panarukan bagian dari Kedhawung. Dalam perjalanannya itu, Menak Sembuyu mendapati beberapa prajurit Bali yang mencoba membuat keonaran di wilayah Panarukan bagian timur, tetapi setelah tahu para prajurit Kedhawung mendatanginya, mereka segera melarikan diri menaiki perahu menuju ke arah timur meninggalkan Panarukan. Kepergian mereka ternyata hanya untuk mengelabui prajurit Kedhawung, ketika para prajurit Kedhawung tak tampak lagi, mereka kembali ke Panarukan. Untung Menak Sembuyu berada di Panarukan agak lama sehingga kedatangan kembali para prajurit Bali itu diketahuinya sendiri. Ketika ia menyisir pantai Blambangan bagian timur, didapati juga hal serupa, prajurit Bali banyak berdatangan di wilayah itu. Hal itu membuatnya jenggah. Oleh karena itu, pada suatu malam prajurit Kedhawung yang dipimpin sendiri oleh Menak Sembuyu mengadakan pengintaian di timur laut Selat Bali. Di tempat itu biasanya para prajurit Bali mendarat sebelum memasuki Panarukan atau Blambangan. Hampir semalam suntuk mereka menunggu. Tatkala sumburat cahaya jingga mulai tampak, kurang lebih 15 biduk perahu beriringan mendarat. 48 "Adik Sembuyu , mereka banyak sekali?" bisik seseorang di sebelah Menak Sembuyu . "lya Kakang , setiap biduk berisi 5 orang, berarti sekitar 75 orang." jawab Menak Sembuyu. "Kita hanya membawa 50 orang, kita sergap saja mereka sekarang sebelu m mereka sadar!" "Setuju, kalau tidak kita serang secara mendadak mereka akan memberi perlawanan ." Tak lama kemudi an prajurit Kedhawung mengendapendap mendekati mereka, setelah jarak begitu dekat, Menak Sembuyu menirukan bunyi burung hantu , pertanda penyerangan akan dimulai. "Serbu ... ! "Menak Sembuyu mem beri perintah . Para prajurit Bali kalang kabut mendapat serangan mendadak semacam itu . Mereka memberikan perlawanan seadanya. Pertempuran sengit pun tak terelakkan lagi di pagi itu. Namun , kekurangsiapan mereka membuat para prajurit itu satu dem i satu tewas di tangan prajurit Kedhawung. Dalam beberapa gebrakan praj urit Bali banyak yang tewas sehingga mereka yang masih dekat dengan biduknya segera berbalik kemba li ke biduk dan buru-buru mendorongnya ke tengah laut. "Tunggu pembalasanku oe ... penguasa Blambangan ! " teriaknya dari tengah laut sambil mengayuh sampan yang dinaikinya . Sambil mengayuh sampannya ke arah timur, mereka berkata kepada temannya , "Siapa tadi yang menyerang kita?" 49 "Tak tahulah, mungkin prajurit Panarukan," "Tapi mereka seperti sangat terlatih." "Kalau begitu pasti prajurit Kedhawung!" "Kita laporkan ke Baginda supaya jangan sampai Bali memberi bantuan lagi kepada Blambangan, terutama kepada Pangeran Kedhawung." Setelah orang Bali dapat dikalahkan, Menak Sembuyu melanjutkan perjalananan ke arah selatan menyelusuri Pantai Blambangan. Enam bulan lebih lamanya, Menak Sembuyu dan para prajuritnya berada di daerah Blambangan bagian timur dan di daerah Panarukan. Berdasarkan pengamatannya, ia tahu benar keadaan kedua daerah itu. Daerah itu ternyata mulai didatangi oleh orang-orang Bali, orang Bugis, orang Madura, bahkan oleh orang-orang Portugis. Setelah memasuki bulan ketujuh, Menak Sembuyu bermaksud pulang ke Kedhawung, ia berencana singgah ke Bayu, ke tempat kakaknya, Tawang Alun. Menak Sembuyu hanya membawa pulang prajuritnya sekitar 400 orang. Yang 300 ia tinggalkan di Panarukan untuk membantu Tumenggung Werta dan sisanya ia tinggalkan di Balambangan Timur (Banyuwangi) untuk membantu Tumenggung Dargo. Sekurang-kurangnya 3 bulan sekali kedua daerah itu dimintanya melaporkan hal-hal yang penting kepadanya di Kedhawung atau kepada kakaknya di Bayu. lring-iringan prajurit Kedhawung mulai meninggalkan Banyuwangi dan menuju ke arah barat. Setelah 5 hari ' 5 malam, prajurit Kedhawung sampai di lereng Gunung Raung sebelah barat pada siang hari. 50 Di daerah itulah Kerajaan Bayu didirikan oleh Tawang Alun. "Tuan , ada iring -i ri ngan praj urit bersenjata lengkap menu ju ke arah ki t a." "Dari mana mereka?" Tawang Alu n bertanya kepada prajurit yang melapor . "Mereka da ri t imu r, Tua n." "Ah , itu pasti Me nak Sembuyu ," jawab Tawang Alun . "Siapa Menak Sembuyu i t u ~ Tuan?" "Dia adik kand ung saya ." "Kalau adik Tuan, bukankah seharusnya dari barat? Kedhawung kan terleta k di barat Bayu , bukan dari timur," prajurit yang lain mencoba menjelaskan kepada Tawang Alun . "Lagi pula, j ika itu adik Tuan, mengapa mereka bersenjata lengkap sepert i orang akan perang?" "Benarkah begit u, Wardo?" tanya Tawang Alun mulai was-was . "lya Tuan , mereka bersenjata lengkap. Kalau berniat baik mengapa harus membawa senjata?" "Baik kalau begitu , bunyikan kentongan memanggil para prajurit!" perin t ah Tawang Alun . Tak lama kemudian terdengar bunyi kentongan bertalu -talu memanggil para praj urit Bayu supaya berkumpul di alun -alun . Namun , bersamaan dengan itu t anah yang diinjak terasa mulai bergoyang. Burung-burung beterbangan meninggalkan sarangnya sambil mengeluarkan bunyi yang gaduh . Babi hutan , srigala, dan kera berlarian 51 turun dari gunung meninggalkan hutan yang ada di gunung Raung. Anjing hutan menggonggong ketakutan. Tanah terasa panas. Tak lama kemudian terdengar pula bunyi kentongan yang dipukul berulang-ulang dengan nada yang berbeda dari sebelumnya. Suara-suara itu hanya menambah kegaduhan suasana kerajaan Bayu. Tak lama kemudian hampir seluruh penduduk Bayu keluar rumah berkumpul di alun-alun. Mereka panik, ketakutan. "Tuan kita harus menyingkir, sebentar lagi gunung akan meletus." "lya, perintahkan seluruh penduduk agar lari ke barat menjauhi gunung Raung." Perintah Tawang Alun. "Baik, Tuan." Beberapa prajurit Bayu membimbing para penduduk meninggalkan negari menuju ke tempat yang aman. Mereka menuju ke barat daya. Sementara itu, prajurit yang lain diajak Tawang Alun menemui iring-iringan prajurit yang datang dari Banyuwangi. Namun, belum sempat mereka bergerak, goncangan tanah semakin terasa. Mereka mulai was-was dan cemas. Di tempat lain, prajurit Menak Sembuyu juga panik melihat binatang-binatang hutan turun dari gunung. Terlebih ketika alas kaki mereka lepas, terasa tanah yang diinjaknya panas dan sedikit bergoyang. "Awas lindu (gempa), lindu, lindu ayo lari!" teriak beberapa prajurit bersahut-sahutan. "Ayo .... " 52 Mereka lari ke arah Tawang Alun yang sedang mengawasi mereka. Dari tanah yang agak atas, Prajurit Tawang Alun leluasa melihat mereka berlari ke arahnya. Beberapa prajurit Tawang Alun beranggapan mereka pasti akan menyerang Bayu. Karena itu, mereka sempat melemparkan tombak dan bambu runcing ke arah prajurit Menak Sembuyu. Betapa terkejutnya para prajurit Menak Sembuyu mendapat serangan itu. Mereka menangkis di tengahtengah goncangan tanah yang bergerak-gerak. "Tahan ... tahan ... ada lindu ... ada lindu! Mengapa malah menyerang kami !" teriak Menak Sembuyu. Tawang Alun tersentak mendengar suara yang telah dikenalinya, "Hentikan ... Hentikan ... ! Dia adikku Menak Sembuyul" teriak Tawang Alun keras-keras. Bersamaan dengan itu Gunung Raung mengeluarkan asap hitam kelam bergulung-gulung dan pijar memerah meleleh dari atas bukit . Tak lama kemudian terdengar bunyi jlegur ... , jlegur ... , jlegur .. ., batu sebesar kepala kerbau, kerikil, dan pasir panas muntah dari atas gunung itu dan berhamburan. Awan panas juga mengepul dan bertebaran ke daerah sekitar. Ketika melihat itu semua, hampir bersamaan mereka berteriak, "Lari .. ., lari. . ., gunung meletus ... gunung meletus! " Prajurit Tawang Alun dan prajurit Menak Sembuyu pun berlarian ke arah barat daya meninggalkan Bayu. Letusan gunung berlangsung berulang-ulang dan agak lama. Gempa dan letusan gunung itu menghancurkan Bayu dan sekitarnya. Menjelang maghrib , letusan gunung itu baru reda. 53 5. TAWANG ALLIN Penduduk Bayu hanya dapat menyaksikan kehancuran negerinya dari jauh. Mereka merenung, rumah mereka hancur, roboh tak mungkin ditempati lagi. Batu-batu berserakan di mana-mana. Mereka menangis sejadi-jadinya. Sawah mereka tertimbun pasir panas. Sapi, kerbau, dan kambing banyak yang terkapar mati. Malam itu mereka hampir semalam suntuk tak bisa tidur. Terlebih, jika mendengar Gunung Raung yang sesekali terbatuk-batuk sambil mengeluarkan pijar api yang merah menyala. Di antara mereka banyak pula yang terkena lontaran kerikil letusan gunung. Ada yang bertahan hidup, tapi banyak pula yang tewas seketika. Keesokan harinya mereka masih ketakutan sehingga tak ada yang berani mendekati daerah Bayu. Baru hari ketiga tatkala Gunung Raung sudah tak mengeluarkan api dan tanah tak lagi terasa panas, beberapa prajurit memberanikan diri melihat-lihat keadaan negerinya. Negerinya betul-betul luluh lantak tak berbekas. la lalu menebarkan 54 pandangan ke sekitarnya, "Nyaris tak ada kehidupan," kata hatinya. Namun , ketika hendak menin ggalkan tempat itu , dilihatnya ada batu sebesar kepala kerbau bergerak-gerak. la pun mendekatinya. "Astaga, Tuan ... Tuan ... , Tuan Tawa ng Alun!" orang itu berjongkok memanggil orang yang tergeletak di depannya. Orang yang dipanggilnya membuka mata sejenak, setelah itu ia tidak sadarkan diri kembali. Prajurit itu segera memanggil prajurit yang lain. Segera dipanggulnya Tawang Alun ke tempat pengungsian. Selain Tawang Alun ternyata ditemukan pula tubuh Menak Sembuyu. Di tempat pengungsian mereka berdua dirawat. Baru hari kelima kesehatan Tawang Alu n mulai membaik. Yang dipanggilnya pertama kali bukan istri atau anaknya, melainkan adik kandungnya . "Menak Sembuyu , Menak Sembuyu di mana kau?" Prajurit yang mendengar panggilan itu segera memberi tahu bahwa Menak Sembuyu meninggal dua hari yang lalu. Punggungnya hangus tertimpa letusan batu dan pasir pan as. "Dia menyelamatkanku, tapi dia sendiri malah yang terkena lontaran batu itu." "Bukankah Menak Sembuyu akan menyerang Tuan?" "Tidak, dugaan kalian keliru!" damprat Tawang Alun. Setelah menghela napas sejenak, ia melanjutkan, "sebelum gunung meletus, Sembuyu memberitahuku bahwa Prajurit Bali mulai mengganggu Blambangan Timur dan Panarukan. 55 la sempat mengusir prajurit Bali di Banyuwangi. Bahkan, ia sempat mendengar ancaman prajurit Bali akan menyerang Blambangan secara besar-besaran." Prajurit yang mendapat dampratan itu langsung terdiam. "Makamkan Menak Sembuyu dengan la yak!" perintah Tawang Alun kepada para prajurit yang menghadap. "Baik, Tuan." Para prajurit ditugasi untuk melihat kembali negeri Bayu yang telah rata dengan tanah dan menyelamatkan barang-barang yang masih berguna. Mayat-mayat yang berserakan terkena lahar atau tertimpa bebatuan dikubur secara pantas. Setelah semua selesai, mereka semua menuju ke Kedhawung. Prajurit Kedhawung yang masih hidup menjadi penunjuk jalan. Tak lama kemudian iring-iringan itu berjalan menuju ke arah tenggara. Dari kejauhan iringiringan itu tampak seperti semut berbaris. Tak ada wajah ceria di antara mereka, muram, sedih, dan ketakutan terbayang di wajah mereka. Beberapa orang yang terluka harus ditandu sehingga perjalanan itu sangat lambat. Keesokan harinya iring-iringan itu sampai di Kedhawung. Tatkala memasuki negeri, mereka disambut penduduk Kedhawung dengan perasaan iba. Masayu Widarba segera memerintahkan para tabib untuk mengobati para korban yang terluka. Untuk sementara mereka ditampung di balai desa dan di rumah-rumah penduduk terdekat. Setelah semuanya teratasi, Masayu Widarba mencari kedua kakaknya. Dari rumah yang satu ke rumah yang lain dan 56 dari gubug yang satu ke gubug yang lain ia telusuri satu per satu . Baru setelah menjelang malam , ia temukan kakaknya , Tawang Alun , terkulai lemas . "Kakang Tawang Alun ... ! " teriak Masayu Widarba sambil berlari menu ju ke tempat pembaringan kakaknya. Kakak beradik itu pun akhirnya berpelukan. "Kakang, Kakan g Menak Sembuyu di mana?" tanya Masayu Widarba . " Duduklah Wid arba , " jawab Tawang Alun memper silakan adiknya dudu k di sampingnya . Setelah menghela napas panjang, Tawang Alun menjelaskan, "Sembuyu ter kena longsoran batu ketika Gunung Raung meletus. la mengorbankan diri melindungiku , " mata Tawang Alun berkaca-kaca dan tak terasa air matanya menetes. " Saat itu kaki kananku terperosok ke tanah yang mulai retak, Sembuyu sedang menjelaskan kedatangannya dari Panarukan dan Blambangan Timur. Ti ba -ti ba Gunung Raung meletus. Batu sebesar kepala kerbau menggelinding ke arahku , Sembuyu memagariku dengan menggunakan tubuhnya sebagai tameng. Batu itu mengenai tubuhnya. Punggungnya langsung menghitam. Tak lama kemudian ia meninggal. " Masayu Widarba terdiam , mulutnya seperti terkunci sehingga tak bisa berkata apa -apa . Air matanya deras me ngalir . Tak lama kemudian terkulai lemas, ia pun pingsan. Tawang Alun sedih melihat itu , t etapi ia tidak mau larut dalam kesedihan . Karena itu , ia pun segera memberikan pertolongan . 57 Tiga bulan setelah peristiwa itu, kehidupan penduduk Kedhawung mulai normal kembali. Bahkan, kini Kedhawung bertambah ramai karena penduduk Bayu tak ada yang ingin kembali ke lereng Gunung Raung. Mereka menetap di Kedhawung. Tawang Alun pun dinobatkan kembali menjadi penguasa Kedhawung, sedangkan Masayu Widarba diangkat menjadi patih. Pada masa pemerintahan Tawang Alun ini Kedhawung mencapai zaman keemasan, wilayahnya meluas sampai ke Dringu, Prabalingga (sekarang Probolinggo), Puger, Lamajang (sekarang Lumajang), Besuki, Panarukan, Banyuwangi, Pampang, Rajegwesi, dan Adialit. Pada setiap daerah strategis ditempatkan pasukan yang sangat kuat dan dalam jumlah ribuan. Kedua pamannya tetap diminta menjadi penguasa di daerah Lamajang dan di daerah Karenon. Tawang Alun tetap mengakui kekuasaan Mataram, bahkan ia berbakti kepada Sunan di Mataram sesuai dengan wasiat para pendahulunya, yaitu dengan tetap memberi upeti dan menghadap raja setiap tahun. "Adipati Tawang Alun, saya dengar pangeran Kajoran dibantu Trunajaya akan memberontak terhadap Mataram. Apakah Kakang mengetahuinya?" tanya Amangkurat kepada Tawang Alun pada suatu pertemuan di Siti lnggil di Mataram. "Beberapa waktu yang lalu, Trunajaya mengirim utusan ke Kedhawung," jawab Tawang Alun. Setelah menghela napas sebentar, ia mencari-cari sesuatu di pinggang kirinya. Setelah disibak bajunya, ia mengambil bambu kuning yang ada di sakunya. Setelah itu dibukanya tutup 58 Merah padam muka Amangkurat mendengar bunyi surat itu dibacakan Tawang Alun. 59 bambu itu dan beberapa potong daun tal (rontal) kering yang tertata rapi. Tawang Alun membacakan surat itu. "Adipati Tawang Alun, mulai hari ini Madura akan memberontak terhadap Mataram. Madura tidak sudi tunduk pada penguasa Mataram yang ternyata lalim. la telah membunuh para kiai sebanyak 6.000 orang di Alun-Alun Utara. Bahkan, Pangeran Pekik-Adipati Surabaya-beserta keturunannya juga dibunuh semua hanya gara-gara wanita. Karena itu, jika Adipati Tawang Alun setuju silakan bergabung dengan kami. Jika tidak setuju, janganlah membela penguasa lalim itu. Kami akan menggulingkan kekuasaan Mataram." Setelah membaca surat itu, Tawang Alun melipatnya kembali dan menyerahkannya kepada Sunan Amangkurat. Merah padam muka Amangkurat mendengar bunyi surat itu dibacakan Tawang Alun. la membisu mendengarkan isi surat itu. Suara hatinya 'Jergejolak, antara ingin marah dan mengakui kesalahan sating bergantian sehingga dadanya terasa sesak. Di dalam hati sebenarnya ia menyadari kekeliruannya, tetapi para pengawal pribadinya, terutama yang takut kehilangan jabatan, malah mempengaruhinya supaya tetap melaksanakan kebijakannya. "Anak Prabu, tindakan anak Prabu sangat tepat dengan menumpas para kiai dari Gresik, Sedayu, Tuban, Ampel, dan Demak. Bukankah itu pantas diberikan kepada orang-orang yang tidak mau tunduk dan menyembah Anak Prabu?" kata salah seorang penasihat Sunan Amangkurat yang duduk di sebelah kirinya. 60 Ketika mendapat hasutan semacam itu , kebenaran yang sebenarnya tumbuh di hati Amangkurat kembali sirna. la menata hatinya agar tidak tampak gusar. Setelah menghela napas sejenak, ia kembali melanjutkan perkataannya. " Adipati Tawang Alun, yang dikatakan Trunajaya itu tidak semuanya benar . Yang benar adalah para kiai dari Pesisir Utara Brang Wetan bersekong kol akan memberontak terhadap Mata ram! " jelas Amangkurat membela diri. " Anakmas Tawan g Alun , para kiai itu ingin mengembalikan kekuasaan Dem ak seperti pada zam an Sultan Trenggana. Mereka menginginkan dibentuk Dewan Wali agar kekuasaan mereka tetap ada. " Ketika mendengar nama Sultan Tren ggana disebutsebut, hati Tawang Alun bergetar. la ingat cerita ayahnya bahwa kerajaan Blambangan pernah diluluhlantakkan oleh tentara Demak yang dipimpin Sultan Trenggana sehingga moyangnya harus pindah ke Kedhawung. la terdiam ketika Amangkurat meminta bantuannya agar menumpas Trunajaya. "Karena itulah Kakang Tawang Alun, terimalah adik saya ini sebagai istri Kakang. Peristrilah dia dan rawatlah dia baik-baik, Kakang . Anggap saja ini sebagai pengikat antara Mataram dan Blambangan . Saya berharap Kakang mau membela Mataram dan menumpas Tru najaya dan para sekutunya . " "Baik, Sunan ," jawab Tawang Alun tak bisa menolak titah Amangkurat. Hati nya berdegup keras, terlebih setelah ia melihat dari belakang tempat duduk Sunan Amangkurat 61 muncul beberapa dayang mengiringi perempuan muda berkulit putih, berambut panjang, dan berhidung mancung. "Sungguh cantik," hati Tawang Alun membatin. "Adikku Wilarsih, mulai hari ini kau kujodohkan dengan Adipati Kedhawung. Patuhlah kepadanya. Mudahmudahan kalian menjadi pasangan yang serasi dan keturunan kalian kelak akan menjadi penguasa Blambangan," kata Amangkurat kepada Wilarsih setelah adiknya itu duduk di sampingnya. Sebelum adiknya sempat menjawab, Amangkurat melanjutkan, "Janganlah kautolak titahku. lni semata-mata demi kebaikanmu, bukankah umurmu hampir 26 tahun?" "Baik Kakanda Prabu, saya akan melaksanakan titah kakanda," jawab Mas Ayu Wilarsih malu. Dalam hatinya membatin, "untung kakanda segera menjodohkanku dengan Adipati Tawang Alun. Kalau tidak, pastilah saya akan menjadi perawan tua." Tak lama kemudian Tawang Alun dinikahkan oleh penghulu keraton disaksikan oleh para bupati, para tumenggung, dan para adipati yang hadir di tempat itu. Setelah semuanya selesai, para tumenggung, bupati, dan adipati segera meninggalkan tempat tersebut, tak terkecuali Tawang Alun. Dengan hati yang berbunga-bunga, ia ingin segera cepat sampai ke Kedhawung. Setelah menaiki kuda, ia ingin melarikan kuda itu sekencang-kencangnya. Namun, niat itu ia urungkan karena dalam rombonganriya ada tambahan wanita yang sekarang menjadi istrinya, Mas Ayu - Wilarsih, adik sepupu Sunan Amangkurat. Mas Ayu 62 Wilarsih sangat senan g melihat pemandangan di luar keraton . Sesekali ia harus turun dari kuda dan berjalan kaki atau sesekali ia harus menyeberang sungai dengan perasaan yang was-was . Dalam perjalanan mereka sating mengenal sifat masing-masing . " Ternyata Adipa ti Tawang Alun adalah seorang lakilaki yang baik. Wajahn ya memang tidak tampan , tetapi ia sangat lembut. Tubuhn ya tegap dan dadanya bidang. Sifatnya keras , tetapi jujur dan terus terang." Mas Ayu Wilarsih membatin sambil mema ndangi lelaki yang ada di depannya. Singkat cerita pe rjalanan pulang ke Kedhawung tidak menemui hambatan yang berarti. Ada beberapa penyamun yang menghadangn ya di beberapa daerah, tetapi penyamun-penyamun itu dapat dikalahkan oleh Tawang Alun. Mereka dinasihatinya baik-baik, bahkan ditawari menjadi petani atau tukang kayu di daerah Kedhawung kalau mereka mau. Namun , mereka tidak mau. "Saya sering melewati daerah ini. Karena itu, jika saya nanti menemu i kalian masih seperti ini , kalian akan saya bawa ke Mataram supaya dicincang di sana dan menjadi tontonan masyarakat di alun-alun utara." Ketika mendengar nama Mataram disebut , bergetar hati para penyamun . Mereka betul-betul ketakutan karena kawan penyamunnya beberapa waktu lalu mencegat rombongan bangsawan Mataram di daerah ini dan hingga kini tak kembali. Hanya dua orang yang kembali. Yang lain dibunuh dan dilemparkan ke dalam sungai. "Baik Tuan ... , kami betul -betul bertobat. Kami akan memperbaiki diri dan kami tidak akan mengulangi per- 63 buatan hina seperti ini," kata para penyamun itu hampir berbarengan. Setelah yakin dengan ucapan mereka, Tawang Alun melanjutkan perjalanannya ke arah timur. Dalam perjalanannya itu Tawang Alun berusaha mencari tahu tentang Trunajaya, tetapi sedikit pun tak didapatinya. Hal itu berarti pengaruh Trunajaya belum sampai ke daerah-daerah yang ia lalui. 64 6. ADIPATI ANOM Semilir angin sepoi-sepoi menembus kediaman Adipati Surabaya yang saat itu sedang dihadap para adipati dari Gresik dan Tuban . Wajah mereka murung. Entah apa yang sedang mereka pikirkan. "Anakmas Adipati Anom, sudahlah lupakanlah peristiwa itu , " kata Adipati Tu ban menasihati Adipati Anom. "Tidak semudah itu, Paman , " jawab Adipati Anom. Setelah diam sejenak, ia melanjutkan, "Bagaimana mungkin saya bisa tenang , sementara kejadian itu begitu terbayang di depan ma ta ." "Karena itu berserah dirilah kepada Sang Pencipta dan bertobatlah Anakm as, " nasihat Adi pa ti Gresik. "Mengapa saya menurut saja ketika harus membunuh Rara Hoyi. Padahal , dia wanita yang paling saya cintai, Paman. Mengapa ayahanda tega menyuruh saya membunuh Rara Hoyi?" "Anakmas Adipati Anom , tidakkah Anakmas tahu bahwa Rara Hoyi itu adalah calon istri ayah anda prabu?" Adipati Gresik mencoba menjelaskan. 65 "Maksud, Paman? Rara Hoyi itu akan diperistri ayahanda Amangkurat?" "lya, Anakmas," jawab Adi pa ti Gresik. Adipati Anom langsung terdiam, ia mengepalkan tangannya. Setelah menghela napas sejenak, ia melanjutkan, "Lalu mengapa Paman Adipati Pekik beserta keluarganya juga harus dibunuh?" "Mungkin karena membolehkan bahkan melindungi Anakmas berhubungan dengan Rara Hoyi sehingga ayahanda murka." Entah berapa kali Adipati Anom harus terdiam dan menghela napas panjang mendengarkan penuturan Adipati Tuban dan Adipati Gresik. la mengakui kesalahannya karena tidak bisa membela Rara Hoyi dan Pangeran Pekik. Sementara itu, di sudut hati yang lain ia menyalahkan ayahandanya, Amangkurat. Ketika mereka sedang bercakap-cakap, dari kejauhan tampak beberapa orang menaiki kuda menuju ke kediaman Adipati Anom. Tak lama kemudian, para penunggang kuda itu turun dan mengikatkan kudanya di tempat yang telah tersedia. Mereka kemudian bergegas memasuki rumah itu. "Assa la mu' alikum, kulanuwun (Permisi)," kata ta mu itu mengucapkan salam. "Waalikumsalam, mangga (Mari) ... , mangga ... ," jawab Adipati Anom sambil berdiri dan mempersilakan tamunya. Setelah menyalami penghuni yang ada di ruang tamu, tamu itu duduk dan memperkenalkan diri. 66 " Tuan Adipa ti, masih ingatkah Tuan kepada saya?" tanya tamu itu kepada Adipati Anom dengan logat Madura yang masih kental. Sebelum menjawab, Adipati Anom memperhatikan tamunya dalam-dalam. Namun, setelah beberapa lama ia mengamati tamunya, ia hanya menggelengkan kepalanya sambil berkata , " Maaf, Ki Sanak ini siapa dan dari mana? Ki Sanak pasti dari Madura? Tapi siapa ya?" tanya Adipati Anom kepada tamunya. " Benar, Tuan, saya dari Madura. Saya dulu pernah belajar di Pesantren Giri, bukankah Tuan juga pernah tinggal di pesantren itu beberapa tahun?" jawab tamu itu mencoba mengingatkan Adipati Anom . Setelah mengingat-ingat sejenak, Adipati Anom berkata, " Ah ... , tidak mungkin kalau Ki Sanak itu Kakang Trunajaya. Kakang Trunajaya tidak berjambang dan tidak berjenggot. " jawab Ad ipati Anom masih ragu. " He .. . he ... , saya keluar masuk wilayah Madura untuk suatu kepentingan , jadi saya tidak sempat merawat jambang dan jenggot yang semakin memanja ng ini." " Jadi , ki sanak adalah Kakang Trunajaya?" tanya Adipati Anom belum yakin benar. " lya , bena r saya Trunajaya ." Mereka pun saling berpelukan . Setelah berpelukan agak lama, mereka kemudian melanjutkan pembicaraan. " Adimas Adipati , tidakkah Adimas ingin menjadi pe nguasa Mataram? Ataukah Adimas sudah puas menjadi Adipati Brang Wetan (Adipati wilayah ti mur) yang wilayah - 67 nya hanya dari Tuban, Sedayu, Gresik sampai Surabaya saja?" tanya Trunajaya "Maksud Kakang?" "Saya berharap Adimas segera menggantikan ayahanda Su nan untuk menjadi penguasa Mataram," jawab Trunajaya. "Saya tidak berani, Kakang?" "Mengapa tidak berani? Rakyat mulai membenci Sunan Amangkurat yang bengis dan keji itu." "Tapi, ia ayahku ." "Adimas, kalau ia benar, pantas Adimas bela, tapi kalau ia salah dan tidak mau diingatkan, mengapa Adimas masih saja patuh? Lupakah Adimas dengan ajaran-ajaran yang kita peroleh sewaktu kita berada di pesantren Giri Den ta?" "lya, saya masih ingat, tapi saya tidak berani melawan ayahanda prabu." "Kekejaman Sunan Amangkurat sudah keterlaluan. Tidakkah Adimas mendengar kabar, para kiai dari Demak, Tuban, Gresik, Sedayu, dan Ampel diminta berkumpul ke Mataram. Ternyata mereka di sana dibantai oleh Sunan Amangkurat?" "Tapi yang melakukan bukan Ayahanda Sunan." Adipati Anom mencoba membela ayahnya. "Benar, bukan Sunan Amangkurat sendiri yang melakukan, tapi atas perintah Sunan Amangkurat pembantaian itu terjadi. Mengaku kalifatullah, tetapi bejat akhlaknya." jelas Trunajaya setengah emosi. Setelah ber- 68 henti dan menelan liurnya, ia melanjutkan, "Ketahuilah Adimas , yang dibantai itu tidak tanggung- tanggung, 6.000 kiai." Adipati Tuban dan Adipati Gresik terkejut mendengar berita itu. Mereka berdua sama sekali tidak mengetahui perkembangan yang terjadi di Mataram akhir-akhir ini. Yang mereka ketahui adalah bahwa Mataram sedang memperkuat pasukann ya untuk mempertahankan daerah Panarukan, Besuki , dan Pasuruan dari serangan orang-orang Bali. "Anakmas Trunajaya , hati-hatilah jika mengabarkan sesuatu yang belum ten tu benar, " nasihat Adi pa ti Gresik kepada Trunajaya . "Paman Adipati , lihatlah yang bersama saya ini, tubuhnya penuh dengan bekas sayatan pedang yang dilakukan para prajuri t Mataram itu," jawab Trunajaya sambil menoleh ke teman seperlajanannya yang sedang duduk berada di sebelah kanannya . "Kakang Jayeng , bukalah bajumu," perintah Trunajaya kepada temannya yang bernama Jayeng. Setelah orang itu membuka bajunya, Adipati Gresik, Adipati Tuban, dan Adipati Surabaya terbe lalak matanya menyaksikan bekas luka itu . "Apakah ini kurang jadi bukti atas kekejaman Amangkurat? Paman berdua dan Adimas Adipati , ketahuilah Jayeng ini bisa selamat karena ditolong oleh seorang prajurit yang diperintah untuk menguburkann ya ." "Jayeng cobalah ceritakan apa ya ng sebenarnya terjadi di Mataram ketika para kiai dan para alim ulama di- 69 kumpulkan oleh Su nan Amangkurat!" perintah Adi pa ti Anom. Jayeng pun menceritakan kejadian yang dialaminya. "Saat itu kami dikumpulkan di Alun-Alun Utara. Kami semua diminta bersujud dan menyembah kepada Sunan Amangkurat. Tapi, kami tidak mau karena kami berkeyakinan yang pantas disembah hanyalah Allah, bukan raja. Sunan Amangkurat mengatakan bahwa dia adalah kalif atullah atau wakil Tuhan di dunia. Jadi kami diminta menyembah dan bersujud kepadanya. Katanya, taat kepada Tuhan berarti harus taat kepada rajanya. Membangkang kepada raja berarti membangkang kepada Tuhan. Meskipun diancam seperti itu, kami tetap tidak mau menyembah. Kami hanya memberi hormat dengan menganggukkan kepala, Sunan Amangkurat tidak terima dan murka, akhirnya pembantaian itu terjadi. Semua yang hadir tertegun mendengar penuturan Jayeng. Mereka larut dalam kesedihan dan keheningan. "Adimas Adipati, masih pantaskah kita taat kepada pemimpin yang lalim seperti itu? Beda betul kelakuan Sunan Amangkurat dengan ayahandanya, Sultan Agung. Ayahandanya begitu berwibawa, soleh, dan tegas terhadap musuh-musuhnya. la sangat bijaksana memperlakukan tawanan perang dari Cirebon, Priyangan, Blambangan, dan Bali. Tawanan itu malah ia angkat menjadi penasihatnya," kata Trunajaya mengungkapkan isi hatinya kepada Adip.a ti Anom . 70 Adipati Anom hanya tertunduk lesu , ia bingung untuk mengambil sikap , "Sebaiknya saya harus bagaimana, Kakang? " "Kalau Adimas Adipati setuju , kita sebaiknya mengangkat senjata melawan Mataram . Nanti Kalau berhasil, Adi mas Adi pa ti kami angkat sebagai penguasa Mataram," jelas Trunajaya . "Saya akan mendukung Anakmas. Tuban akan mengirimkan pasukan untuk menggempur Mataram ," kata Adipati Tuban memberi dukungan . "Saya juga akan mengirimkan pasukan untuk mendukung Anakmas Adipati ," kata Adi pa ti Gresik tak mau kalah. "Bagaimana, Adimas? " "Saya berhadapan langsung melawan ayahanda pastilah tidak mungkin , Kakang ," j awab Adi pa ti Anom . " Adimas , yang penting Adimas setuju dan nanti Adimas membantu kami dari dalam . Biar kami yang menggempur dari luar! " pinta Trunajaya. Hari itu terjadilah kesepakatan antara Trunajaya dan Adipati Anom untuk menggulingkan kekuasaan Mataram. Dalam sejarah tercatat, Pangeran Kajoran juga ikut ber gabung dengan Trunajaya. Pemberontakan Trunajaya didukung pula oleh Karaeng Galesong, bangsawan Bugis yang sedang belajar agama di pesantren Ampel. Daerah-daerah wilayah Timur yang menjadi kekuasaan Mataram pun diduduki Trunajaya satu per satu. 71 Ketika mau memasuki kotaraja, berkali-kali Trunajaya menemui kesulitan untuk menembus Mataram. Prajurit Mataram begitu gigih mempertahankan benteng yang dikelilingi sungai. Setiap prajurit Trunajaya yang mencoba menyeberangi sungai itu selalu tewas terpanah. Hal itu membuat Trunajaya hampir berputus asa dan berencana menarik kembali pasukannya. Namun, ia teringat kepada Adipati Anom yang berjanji akan membantunya untuk menggulingkan Sunan Amangkurat. "Para prajurit kepung kraton Mataram dari selatan dan dari utara. Kita tunggu perkembangan," kata Trunajaya kepada para prajurit. "Adi Trunajaya, nanti malam kita akan menyerbu mereka. Kami sedang membuat beberapa penyeberangan," kata Karaeng Galesong kepada Trunajaya. Pada tengah malam, Trunajaya meluncurkan panah api secara berbarengan sebanyak dua kali. "Mudah-mudahan Adi pa ti Anom melihat ini," gumam Trunajaya pelan. Tak lama kemudian dari arah berlawanan terlihat panah api yang mengarah ke Selatan. lsyarat itu memberitahukan kepada Trunajaya agar menyerang dari arah berlawanan dari panah api itu. "Teri ma kasih Adi mas Adipati Anom." Menjelang fajar menyingsing, Trunajaya memerintahkan prajurit yang berani mati untuk mengikutinya. Ada sekitar 500 orang prajurit berjalan ke arah utara mengikuti Trunajaya. Begitu sampai di benteng sebelah barat, ia 72 mendengar suara buru ng perkutut berbun yi berulang-ulang. Tak lama kemudian dari arah berlawanan juga terdengar bunyi burung perkutut. Dalam waktu yang sekejap berkelebatlah beberapa orang menemui rombongan Trunaj aya, setelah itu mereka mengendap-endap memasuki benteng satu per satu . "Kakang Trunajaya, bawa praj urit Kakang ke timur, nanti buka pintu t imur. Saya akan pu ra-pura melindungi ayahanda, " kata oran g itu. "Baik Adi mas Ad ipati, berhati-h atilah." Tak lama kemud ian Adipati Anom segera menghilang dari kegelapan . Ketika matahari mulai tampak, dari luar benteng mulai riuh rendah terdengar sorak-sorai. Ternyata benteng luar bagian timur tela h berhasil dijebol. Tak lama kemudi an prajurit-prajurit Trunajaya menyerbu ke dalam ke raton . Tapi sayang, Amangkurat beserta kelu arganya telah berhasil melarikan diri lewat pintu rahasia yang juga tidak diketahui oleh Adipat i Anom . " Keparat, Amangkurat telah kabur! Saya belum puas kalau belum bisa memenggal raja lalim itu!" sumpah serapah Trunajaya kel uar dari mulutnya. Begitu benteng Mataram hancur, masya rakat yang benci dengan Sunan Amangkurat langsu ng mengelu-elukan Trunajaya . la langsun g dinaikkan ke atas ta nd u dan diarak keliling kotaraja . " Anakmas lebi h pantas menjadi penguasa Mataram daripada si Mangku rat itu ! " seorang ka kek mencoba men dekat dan mengatakan itu kepada Trunaj aya. 73 "Teri ma kasih, Kek," jawab Trunajaya. Setelah hampir seharian diarak keliling Mataram, Trunajaya mencari Adipati Anom di tempat yang telah disepakati. Namun, di tempat itu Trunajaya tidak menemukan Adipati Anom. Malam harinya, Trunajaya memanahkan api ke udara dengan harapan Adipati Anom akan memberikan jawaban, atau setidak-tidaknya memberitahukan di mana ia berada. Akan tetapi, sampai pagi hari, tak ada jawaban apa-apa dari isyarat itu. "Sudahlah Anakmas, kita sudah mencari Adipati Anom untuk kita nobatkan menjadi raj a, tetapi ia tidak ada," kata Adipati Tuban pada siang itu, kemudian ia melanjutkan perkataannya, "Anakmas sajalah yang menjadi penguasa Mataram." "Saya setuju, anakmas Trunajaya yang pantas menjadi penguasa Mataram," Adipati Gresik menimpalinya. "Jangan, Paman. Kita telah berjanji kepada Adimas Adi pa ti Anom untuk menggantikan Su nan Amangkurat," jawab Trunajaya. "Tapi, bukankah dia tidak ada? Paling-paling dia kabur menyusul ayahnya." "Memang Adipati Anom berhati lemah, tidak punya prinsip. Dia tidak pantas menjadi penguasa. Kalau dipaksakan, tidak akan jauh berbeda dengan ayahandanya, Su nan Amangkurat." Akhirnya, pada tahun 1676 Trunajaya dinobatkan menjadi penguasa Mataram. Pusat pemerintahan ia pindahkan ke-daerah Plered. 74 7. DAERAH PERDIKAN Laki-laki itu menaiki kuda keluar dari pintu rahasia benteng Mataram bagian barat. la memacu kudanya sekencang-kencangnya . la tidak menyangka Mataram bisa dihancurkan oleh Trun ajaya . " Bedebah kau Tru naj aya, kau ingkar janji. Katanya aku yang akan kaunobatkan menj adi pengganti Sunan Amangkurat, ternyata kamu sendiri malah yang menjadi penguasa! Tunggu pembalasanku, Trunajaya!" teriak orang itu sambil memacu kudanya ke arah barat. Laki-laki itu tid ak lain adalah Adipati Anom yang semula bersekongkol dengan Tru naj aya dan Pangeran Kajoran untuk menggulingkan Sunan Amangkurat. la kecewa , ia merasa dikhianati oleh Trunajaya. Karena itu, ia menyusul Sunan Ama ngkurat dan akan bergabung dengan ayahnya itu. Hampir sebulan ia mencari jejak pelarian ayahnya. Setelah melewati hutan Lodaya kemudian hutan Loano yang mencekam , Adi pati Anom bisa menyusul Sunan Amangkurat. Ternyat a Su nan Aman gkurat telah memasuki 75 wilayah Tegal bagian selatan. Di situ Sunan Amangkurat tergolek lemas, ia sakit diserang demam yang sangat tinggi. Meskipun begitu, Adipati Anom melihat banyak wanitawanita cantik mengerumuni ayahandanya. Bahkan sekalikali, wanita-wanita itu menari dan menyanyi sambil melenggak-lenggok di hadapan ayahandanya. Adipati Anom hanya membatin, "Perilaku ayahanda Sunan ternyata tidak berubah, ia tidak mau susah, inginnya senang -senang dengan wanita-wanita cantik. ltu pasti penari tayup, yang itu pasti ronggeng. Negara sedang kacau begini tetap saja bersenang-senang." Begitu melihat kedatangan Adipati Anom, Sunan Amangkurat mencoba untuk bangun. "Anakku, saya pikir kau bergabung dengan para pemberontak itu. Ternyata tidak, bagaimana keadaanmu?" tanya Sunan Amangkurat kepada Adipati Anom. "Baik Ayah, hampir saja saya tertembus panah ketika keluar dari persembunyian. Untung kuda yang saya naiki sangat kencang larinya," jawab Adipati Anom. "Anakku, hari ini kau kunobatkan menjadi penggantiku. Rebutlah kembali Mataram dari musuhmu." "Ayah, saya tidak berani. Prajurit kita habis. Mana mungkin kita bisa mengalahkan mereka. Prajurit mereka sangat banyak." "Mintalah bantuan ke Kompeni (VOC) yang ada di Jepara atau yang ada di Jayakarta." Adipati Anom tidak memberi jawaban. Namun, Sunan Amangkurat tetap saja mendesak agar anaknya itu menjadi penggantinya. 76 "Kalau kamu tidak sudi minta bantuan kepada Kompeni , mintalah bantuan ke Kedhawung. Adipati Tawang Alun pasti akan membantumu , " kata Su nan Amangkurat sambil berusaha duduk, lalu katanya, "Juru gurit (juru tulis), tulis kalimatku ini ke lontar dan nanti antarkan ke Kedhawung !" Tak lama kemudian surat itu telah selesai dan ditandatangani oleh Sunan Amangkurat. Keesokan harinya dua orang tampak menaiki kuda menuju ke arah timur. Beberapa hari kemud ian Sunan Amangkurat meninggal dunia, ia sakit yang tidak bisa terobati. Tubuhnya mengeluarkan bau busuk sehingga para petugas yang memandikannya terpaksa harus menutup hidungnya. Untuk menutupi keadaan semacam itu , ia kemudian diberi gelar Pangeran Tegal Arum . Sementara itu, di tempat lain di bagian timur wilayah Jawa, Tawang Alun sedang duduk menemui dua tamu yang membawa bende. la gelisah , sebentar-sebentar berdiri , lalu berjalan mondar-mandi r, dan tak berapa lama ia duduk kernbali. Tawang Alun tidak percaya mendengar berita kehancuran Mataram yang disampaikan oleh kedua utusan Sunan Amangkurat yang sedang berada di hadapannya itu. Namun, setelah ia mem baca surat yang ditandatangani oleh Sunan Amangkurat sendiri, barulah ia percaya. "Jadi sekarang Su nan Amangkurat berada di daerah Tegal?" tanya Tawang Alun kepada kedua orang utusan. "Benar, Tuan . Kalau tidak salah ia akan meminta bantuan kepada Adipati yang berada di Brang Kulon 77 (Wilayah Mataram bagian barat) dan di Brang Lor (Wilayah Mataram bagian utara)." "Mudah-mudahan kedua adipati di Brang Kulon dan Brang Lor mau menerimanya dan segera bergabung dengan kita," harapan Tawang Alun ditujukan kepada kedua utusan Sunan Amangkurat itu. "Kapan Tuan akan berangkat ke Plered?" "Bulan depan saya akan mengadakan penyerbuan ke Plered, kalau adipati Brang Kulon dan Brang Lor mau bergabung silahkan tunggu di daerah Kedu. Nanti dari Kedu, kita kepung Plered dari berbagai penjuru," Tawang Alun menjelaskan hal itu kepada kepercayaan Sunan Amangkurat. "Baik, Tuan. Pesan Tuan akan saya sampaikan langsung kepada Sunan Amangkurat," kata kedua orang itu. Tak lama setelah itu, kedua utusan itu pun segera mohon diri dan meninggalkan Kedhawung. "Tidak masuk akal, Mataram yang sekuat itu dapat . dihancurkan oleh Trunajaya. lni pasti ada orang dalam yang terlibat!" kata Tawang Alun dalam hati. Selapan (35 hari) kemudian Tawang Alun benar-benar membawa prajurit pilihan ke arah barat. la telah berjanji akan membela Sunan Amangkurat untuk menumpas Trunajaya yang sekarang berada di Plered. Ketika sampai di daerah Kedu, prajurit Tawang Alun bertemu dengan prajurit dari Banyumas dan Tegal. Hampir saja mereka perang tanding gara-gara salah paham. Untung kesalahpahaman itu dapat diatasi. Setelah agak lama tinggal di pakuwon 78 (barak) , mereka merencana kan berbagai strategi pengepungan Plered secara matang. lntinya mereka serempak mengepung Plered dari berbagai penjuru. Pada waktu yang telah ditentukan, prajurit gabungan itu barulah menyerbu benteng Tru najaya secara besarbesaran , men dadak, dan serempak. Dari arah barat Tumenggung Martalaya memimpin pasukan dari Tegal dan Baribis (Brebes) , dari se latan Demang Danureja memimpin pasukan dari Banyumas dan Kedu , sedang dari arah utara, Tawang Alun memimpin pasukan Kedhawun g dan Lamajang. Pertempu ran itu berlangsung sengit, korban kedua belah pihak banyak yang berjatuhan satu demi satu. Tibati ba tampak berloncatan dari dalam benteng, laki-laki berpakain putih -putih berjenggot lebat, "Adipati Anom , keluarlah kau , jangan bersembunyi." Dari tempat yang berlawanan juga tam pak seseorang yang berikat kepala berloncatan memenuhi panggilan orang itu. "Ada apa kau memanggilku , Trun ajaya?" Trunajaya agak terkejut dipanggil begitu saja tanpa sapaan kakang seperti biasanya . Meski pun begitu dipendamnya rasa itu , "Mengapa kau kerahkan pasukanmu untuk menggempu r pasukanku?" "Bukankah kau telah ingkar janji. Mengapa kau yang menjadi raja?" tanya Adipati Anom sengit. "Aku mencarimu setengah mati, kutu nggu-tunggu kau tidak datang, terpaksala h aku menuruti permintaan paman dari Tuban dan Gresik untuk menjadi penguasa sementara wilayah ini," jelas Trunajaya. 79 "Maksudmu apa?" "Aku ingin menyerahkan kekuasaan ini kepadamu, tujuanku menggempur Mataram hanya ingin menghukum Su nan Amangkurat yang bengis dan sewenang-wenang itu." "Sunan Amangkurat telah meninggal dalam pelarian." "Kenapa?" "Dia sakit rajasinga. Sebelum meninggal ia menunjukku sebagai penggantinya" "lnnalilahi wa innaillaihi rojiun. Kalau begitu, ambil alihlah kekuasaan ini, aku akan menarik pasukanku pelanpelan ke arah timur. Biarkan aku berkuasa di Sedayu, Wirasaba, Gresik, Surabaya, dan Madura." "Silakan, tetapi harus tetap atas nama Mataram." "Baik." Benar juga yang dikatakan Trunajaya, tak lama kemudian ia memberi isyarat agar para prajuritnya mundur ke arah timur dan kembali ke pesisir utara bagian Timur pulau Jawa. Kurang lebih hanya tiga tahun Trunajaya memerintah di Surabaya. Daerah-daerah Jawa di wilayah timur banyak yang bergabung dengan Trunajaya. Pasuruan dan Malang mengakui kekuasaan Trunajaya, daerah-daerah itu sedikit demi sedikit mulai meninggalkan pengaruh Mata ram. Pengaruh Trunajaya yang begitu kuat, membuat para penjilat Adipati Anom yang telah bergelar Amangkurat II mulai menghasut Sunan Amangkurat II. "Tuan, pengaruh Trunajaya di Surabaya dan sekitarnya semakin kuat. Apakah tidak sebaiknya kita hentikan?" 80 "Danureja , kenapa kamu selalu mencurigai Kakang Trunajaya? Dia kalau berjanji selalu ditepati , mengapa harus kita curigai? " jawab Amangkurat II. "Saya tidak mencurigainya, Tuan . Saya hanya kha wati r kewibawaa n Matara m akan tergerogoti," jawab Danureja. "Yang harus kita cu rigai itu bukan Trunajaya, tetapi seharusnya Pangeran Puger, ia beberapa waktu lalu pergi ke Semarang membawa puluhan prajurit. Jangan-jangan akan minta bantuan Kompeni , " sela Martalaya. " Bena r, Paman Martalaya . Yang Paman katakan itu benar, daripada mencurigai Trunaj aya, saya lebih percaya pendapat Paman Martalaya daripada pendapat Paman Danureja," sela Amangkurat II. "Hati-hat i, Tuan Sunan , mata-mata kompeni mulai banyak berkeliaran di Kartasura ini," kata Martalaya mengingatkan Amangku rat II. " Jangan gampang menuduh dan gampang mencurigai orang, Adi Martalaya," kata Danureja bersungut-sungut. Ketika para pejabat sedang bersidang di pendapa (balai pertemuan) keraton Mataram yang saat itu t elah dipindahkan di Karta (Wanaka rta/ Kartasura), dari luar tam pak beberapa pengawal berlarian memasuki pendapa. "Tuan , ada komendu r Kompeni datang membawa 40 prajurit dengan bersenjata lengkap ... " kata seorang pengawal Sunan Amangkurat II. Belum sempat Sunan Amangkurat II menjawab, tibatiba beberapa orang Kompeni memasuki ruangan . 81 "Selamat Siang, Tuan Su nan Amangkurat." "Selamat Siang, silakan... silakan masuk, Tuan Komendur." "Teri ma kasih, Tuan Su nan." "Ada keperluan apa jauh-jauh Tuan datang ke Kartasura ini?" tanya Sunan Amangkurat. "Maaf, Tuan Sunan. Saya mau menagih janji Tuan Su nan kepada Kompeni." "Hem ... ," Amangkurat hanya berdeham. "Oulu tuan berjanji akan memberikan wilayah Pesisir Utara Pulau Jawa ini kepada Kompeni. Mengapa tidak ditepati?" "Bukankah pesisir utara dari Jayakarta sampai Jepara telah Tuan kuasai sehingga kami tidak bisa berdagang ke Melayu, Palembang, dan Siam lagi? "Ah ... , itu kan sesuai dengan perjanjian kita dulu Tuan. Bukankah pemberontakan Trunajaya dapat dipadamkan karena bantuan tentara Kompeni juga?" "Trunajaya tidak melawan, bahkan dia menarik pasukannya ke timur. Jadi, sebenarnya Tuan Komendur tidak memberikan bantuan apa-apa kepada Mataram." "Ah ... , jangan begitu Tuan. Tidak bag us seorang raja besar seperti Tuan ini ingkar janji." "Terus keinginan Tuan apa?" "Kami menginginkan Pesisir Timur pulau Jawa segera diserahkan kepada kami. Para pelaut pribumi tidak bofeh seenaknya keluar masuk pelabuhan Tuban, Gresik, Sedayu, dan Surabaya. Mereka harus meminta izin Kompeni. Kalau 82 tidak mereka akan kami tangkap dan akan kami bui," jawab Komendur itu . "Saya tidak setuju itu, perjanjian itu tidak pernah ada dalam pembicaraan ," jawab Amangkurat II setengah emosi. "Terserah Tuan, Kalau Tuan Sunan Amangkurat ingkar janji, Kompeni akan mendukung Pangeran Puger, paman Tuan Su nan, menjadi penguasa Mataram di Semarang." "Kamu jangan kurang ajar dengan Mataram!" "Kami tidak takut, kami punya bedil , Tuan. Beberapa puluh tahun yang lalu Sultan Agung tidak bisa mengalahkan kami, apa lagi sekarang ." Setelah diingatkan oleh Martalaya, perdebatan itu pun melunak. "Sebenarnya, keinginan Kompeni itu apa?" "Tadi sudah kam i jelaskan , Kompeni ingin Pesisir Timur Jawa agar diserahkan juga kepada kami." "Baik kalau begitu , asal Kompeni juga tidak mendukung Pangeran Puger menjadi penguasa Mataram." "ltu mudah bagi Kompen i, t api ada satu syarat lagi, Tuan." "Apa?" "Trunajaya tidak boleh menjadi penguasa di pesisir Timur Jawa, jadi Tuan harus t angkap orang itu. " Ketika mendengar permintaan terakhir itu, Sunan Amangkurat II menjadi lemas . Namun, karena desakan Danureja, akhirnya Amangkurat II menyetujui permintaan Kompeni itu . 83 "Nah ini kerja sama yang baik, Tuan. Sudah cukup lama saya di sini, jadi saya pamit Tuan Sunan," kata Komendur itu sambil membungkukkan badan, terus menghilang. "Kurang ajar Kompeni itu!" Martalaya geram. "Sudahlah Adi Martalaya, kita harus menepati janji sebagai seorang kesatria." bujuk Danureja. "Lantas bagaimana dengan Trunajaya?" tanya Amangkurat meminta pendapat. "Biar saya yang menangkapnya, Tuan." "Oh ... Paman Tawang Alun." "Tapi usahakan jangan terjadi pertumpahan darah. Jika berhasil, Blambangan akan menjadi daerah perdikan." "Baik, Tuan." Tak berapa lama pertemuan itu segera berakhir. Danureja dan Martalaya tetap diminta berada di Kartasura mendampingi Sunan Amangkurat II. Sementara itu, Tawang Alun segera pulang ke Kedhawung untuk menangkap Trunajaya. Tawang Alun berhasil membujuk Trunajaya agar menghadap ke Mataram. Pada bulan Oktober tahun 1680 Trunajaya menurut dan dibawa ke Kartasura. Di Kartasura ia diterima dengan baik bagaikan pahlawan yang menang perang. Hal itu membuat Kompeni tidak senang. Trunajaya akhirnya terbunuh dalam insiden yang sengaja diciptakan oleh Kompeni atas persetujuan Amangkurat II di Pasar Gedhe. Atas jasa Tawang Alun menyerahkan Trunajaya kepada Amangkurat, ia diberi kewenangan memerintah Blam- 84 L~- bangan dan daerah itu diberi kewenangan penuh . Pusat pemerintahan pun dipindahkan dari Kedhawung ke Banyuwangi. Setelah menj adi daerah perdikan (merdeka) , Tawang Alun malah tidak mau lagi menghadap ke Sunan Amangkurat II karen a Pangeran Puger telah mendirikan Kerajaan Mataram di Semarang dan bergelar Pakubuwana. -· •. ·v "l NAS c•·• 1 S etelah Bre~iabum gugur di medan perang, Blambangan tetap dikuasai oleh keturunannya. Namun , sesama keturunan Wirabumi itupUfl tidak dapat hidup rukun. Menak Tawang Alun lebih baik mengalah dan menyingkir ke arah barat daya daripada harus berperang dengan adiknya . la melakukan langkah yang sama yang dilakukan oleh Menak Gadru , pendiri Jp..«; J . Kadipaten Kec;itiawung. Karena keberaniannya'· d.an kepahlawanannya mempertahankan prinsip hi9ti p, ia''berani menghadapi musuh., ' . musuhnya dan pada masa pemerintahannya, Blaml;?angan disegani lawan dan kawan. ·- :- ' ·....~ .. 398.2 ~ Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan f'lasional Jelen Daksinopati Baral IV Rowamangun. Jakarta Timur 13220 www.pusotbahasa.diknas.go.id ISBN 978-979-069-016-5 '