Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
MITOS BUNDO KANDUANG SEBAGAI TIRAI NALAR ORANG MINANGKABAU ATAS DUNIANYA Silvia Rosa Universitas Andalas sylvie_rosha@ymail.com Abstrak Penelitian ini menerapkan teori strulturalisme Levi-Staruss terhadap mitos Bundo Kanduang dalam kaba Cindua Mato dan mempelajari makna yang terkandung di balik mitos itu. Kaba ini ditulis oleh Sy. St Rajo Endah, tahun 1985. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengolahan data adalah pembacaan teks, pemenggalan teks atas beberapa episode, penentuan ceritheme, menyusun ceritheme dalam relasi sintagmatik dan paradigmatik, dan membuat tafsir atas mitos secara keseluruhan. Data dianalisis dengan teori struktural LeviStrauss sebagaimana yang dikerjakannnya dalam analisis mitos Indian yang berjudul “The Story of Asdiwal”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kaba Cindua Mato merupakan mitos yang diciptakan orang Minangkabau dalam memandang masyarakat dan dunianya yang serba mendua. Sistem kekerabatannya yang matrilineal: yang extended family berhadapan dengan egoisme nuclear family yang bernuansa patrilineal. Melalui mitos Bundo Kanduang, orang Minangkabau mencoba memahami paradoks nilai yang dianutnya. Pertentangan konsep yang harus dibuat seirama. Perbenturan yang harus dibuat harmonis. Mitos Bundo Kanduang adalah legitimasi dari cita-cita harmoni yang harus dilaksanakan oleh orang Minangkabau dalam mengharungi bahtera kehidupan budayanya. Agar sesorang dipandang ada, maka ia harus menciptakan harmoni dengan dunia sekitarnya. Makna mitos Bundo Kanduang ini diperoleh dari analisis yang komprehensif terhadap seratus dua puluh ceritheme yang ditemukan dalam kaba Cindua Mato. Melalui analisis yang menyeluruh itu diperoleh struktur kaba Cindua Mato. Ternyata, terdapat suatu keteraturan-keteraturan dalam mitos Bundo Kanduang yang termuat dalam kaba Cindua Mato. Keteraturan itu berupa struktur isi atau gagasan, ide mitos Bundo Kanduang. Struktur itu mencerminkan cara berpikir orang Minangkabau yang cenderung serba mendua. Benturan nilai anatar matrilineal dengan patrilineal. Konsep matrilineal berhomologi dengan adat, dan konsep patrilineal berhomologi dengan agama Islam. Akan tetapi, dualisme itu harus dibuat harmonis. Ketegangan dalam diri menjadi sesuatu yang tidak terelakkan. Mitos mencoba melerai ketegangan itu. Kata kunci: mitos, kaba Cindua Mato, mendua Abstract The current research applied Levi-Staruss structural theory to Bundo kanduang mythology in the story of Cindua Mato and studies the meaning of it. This story have written by Sy. St Rajo Endah, in1985, the tittle Cindua Mato. 1 The several steps in data analysisnare reading the text, make several episodes from the text, determining the ceritheme, composing the ceritheme in syntagmatic-paradigmatic correlation, and comprehension interpreting of mythology. The data were analyzed using Levi-Staruss structural theory as ini his analysis of Indian mythology entitled “The Story of Asdiwal”. The study concluded that the story of Cindua Mato is a mythology created by people of Minangkabau based on the ambigious perspective of their community and world. Their relationship is of matrilineal nature: the extended family versus the egoism of nuclear family having patrilianeal characteristic. Through the mythology of Bundo Kanduang, the Minangkabau people tried to comprehend yhe paradox of their sosial values. The contradicting concept that should be made in accord. A clash that must harmonized. Such mythology represents the legitimacy of a harmonic idealnto be realized by the Minangkabau people in the course of the cultural life. One must created a harmony between he and his surroundings. The nation of Bundo Kanduang mythology was derrived from a comprehensive analysis of 125 ceritheme found in the story of Cindua Mato. The stucture of Cindua Mato story was resulted from such analysis. In fact, there were regularities in Bundo Kanduang mythology contained in the story of Cindua Mato. By regularity we mean a consistency in the structural and idea of Bundo Kanduang mythology. The structure reflects the thinking pattern of the Minangkabau people that tend to be ambigious. A clash of values between matrilineal and patrilineal concept is homologous to tradition, while patrilineal concept is homologous ti Islamic concept. However, such dualism must be harmonized. The tension in oneself is unavoidable. And the mythology tried to reconcile the tension. Keywords: myth, story of Cindua Mato, ambigous PENDAHULUAN Mitos memang bukan sesuatu yang asing dalam kehidupan manusia. Ia merujuk pada suatu cerita yang dianggap berisi hal-hal yang tidak masuk akal, aneh, sulit dipahami makna dan kebenarannya. Mitos berisikan hal-hal yang tidak lazim ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi di sisi lain, mitos hadir sebagai sumber kebenaran dan menjadi alat pembenaran dalam kehidupan manusia. Mitos menurut Bascom (dalam Dananjaya, 1991: 50), menyebutnya mite, adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita, ditokohi oleh dewa atau oleh makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia bukan seperti yang dikenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Sementara itu, Van Ball (1987: 44) mendefinisikan mitos sebagai cerita di dalam kerangka sistem sesuatu religi yang di masa lalu atau di masa kini, telah atau sedang berlaku sebagai kebenaran keagamaan. Di lain pihak, menurut kebanyakan antropolog abad ke-19 (dalam Kaplan, 1999: 240) mitologi merupakan semacam pseudo-sejarah atau pseudo-ilmu yang kegunaan utamanya ialah menjelaskan fakta dari dunia alami dan dunia budaya bagi warga budaya yang bersangkutan. 2 Silang pendapat mengenai mitos di atas merangsang keingintahuan lebih lanjut untuk mempelajari mitos Cindua Mato. Apabila memang mitos adalah pseudo sejarah atau ilmu yang dipakai untuk menjelaskan fakta alami dan fakta budaya bagi warga budayanya, lalu bagaimanakah dengan mitos Cindua Mato. Apakah maknanya juga demikian ? Bila merujuk kepada informasi sejarah, khususnya sejarah Minangkabau, tidak tercatat nama perempuan yang pernah memimpin kerajaan Pagaruyung. Lalu mengapa ada fakta cerita mitos tentang Bundo Kanduang sebagai raja Pagaruyung ? Apa makna yang ada di balik mitos ini sesungguhnya ? Pertanyaan-pertanyaan demikian menggelitik keingintahuan untuk mempelajarinya lebih lanjut, terutama dengan memakai kerangka pemikiran struktural sebagaimana yang ditawarkan oleh Levi-Strauss. Pada hakikatnya budaya, menurut Levi-Strauss (dalam Kaplan, 1999: 239) adalah suatu sistem simbolik atau konfigurasi sistem perlambangan. Untuk memahami sesuatu perangkat lambang budaya tertentu,orang harus lebih dulu melihatnya dalam kaitan dengan sistem keseluruhan tempat sistem perlambangan itu menjadi bagian. Terutama bagaimana pola-pola formal, bagaimana unsurunsur simbol saling berkait secara logis untuk membentuk suatu sistem keseluruhan. Salah satu contoh, sebagaimana halnya mitos. Levi-Strauss dalam salah satu bukunya yang terbit tahun 1963, The Struktural Anthropology mengatakan bahwa keberadaan mitos dalam suatu masyarakat adalah dalam rangka mengatasi atau memecahkan berbagai kontradiksi empiris yang tidak terpahami atau terpecahkan oleh nalar manusia. Agar dapat dipahami nalar manusia memindahkan kontradiksi-kontradiksi ini ke tataran simbolis dengan cara sedemikian rupa, sehingga elemen yang kemudian dapat diothak-athik. Dengan demikian terciptalah suatu sistem simbol yang tertata apik dan rapi. Melalui sistem simbol inilah kemudian manusia memandang, menafsirkan, dan memahami realitas empiris sehari-hari, sehingga realitas yang tampak tak beraturan, amburadul dan tidak terpahami, lalu tampak menjadi rapi dan apik, dan tidak mengandung kontradiksi atau pun hal-hal yang tidak masuk akal. Jadi melalui mitos manusia menciptakan ilusi bagi dirinya bahwa segala sesuatu itu logis. Pada tahap ini mitos menjadi semacam tirai nalar yang menentukan cara manusia memandang, memahami dan menafsirkan kehidupan sehari-hari. Lalu, mitos tidak lagi ditafsirkan sebagai sesuatu yang sakral, yang selalu berkait dengan agama. melainkan tidak lebih dari apa yang dapat disebut dengan dongeng. Dongeng dapat memuat segala sesuatu. Terjadi atau tidak. Demikian pula dengan mitos (Ahimsa Putra dalam Salam (ed), 1998: 45-46). Menurut Levi-Staruss (dalam Kaplan, 1999: 240) analisis mengenai mitos harus berlangsung seperti analisis mengenai bahasa. Unsur-unsur mitos, seperti unsur-unsur bahasa, dalam dirinya sendiri tidaklah mengandung arti. Arti itu baru muncul bila arti itu bergabung membentuk suatu struktur. Mitos mengandung semacam amanat yang dikodekan. Sedangkan struktur mitos itu sendiri adalah dialektis, artinya dari situ ditampilkan oposisi dan kontradiksi tertentu,-laki-laki >< wanita; endogami >< eksogami; kakak >< adik; bumi >< langit; dan seterusnya- kemudian ada semacam penengahan atau pemecahan. Jika dipandang dalam hubungan dengan fungsi-fungsinya, mitos membantu melukiskan 3 kontradiksi tertentu dalam kehidupan, dan kemudian memecahkan kontradiksi itu (dalam Kaplan, 1999: 241). Seorang peneliti budaya, menurut Levi-Staruss, disamping menggeneralisasikan konsep juga mempelajari struktur yang ada di balik ide manusia, seperti ahli bahasa yang mempelajari struktur bahasa, mencari logika di balik fenomena budaya. Ini berlandaskan pada asumsi bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah di balik kenyataan yang empiris karena kenyataan yang sebenarnya tidak dapat ditangkap secara inderawi. Di balik kenyataan empiris terdapat struktur yang melatarbelakanginya. Disadari, aktivitas masyarakat yang terlihat tampil sebagai kenyataan empiris, namun tanpa disadari masyarakat dalam beraktivitas dibatasi dengan aturan-aturan tertentu, yang mengatur aktivitas itu. Aturan-aturan ini, oleh Levi-Staruss disebut sebagai struktur, yang berada pada tingkat kognitif atau merupakan model dari cara berfikir manusia yang dianggap mendasar dan universal (Levi-Staruss, 1978). Pemahaman mengenai aturan-aturan itu, didasari pada pemahaman mengenai bahasa yang dilakukan oleh linguis. Bahasa adalah kode komunikasi simbolis yang berupa seperangkat simbol dan seperangkat aturan (tata bahasa) untuk membentuk pesan (Cremers, 1997). Saussure ( dalam Kridalaksana, 1988) mengatakan bahwa satuan dasar bahasa adalah tanda (sign) yang terdiri atas dua komponen yang tidak dapat dipisahkan, yaitu penanda dan petanda (signifiant dan signifie atau signifier dan signified). Penanda (signifiant) adalah komponen bunyi atau akustik yang menandakan sedangkan petanda (signifie) adalah komponen mental atau konseptual dari yang ditandakan. Apabila penanda merupakan aspek material bahasa maka petanda adalah pengertian yang muncul dalam pikiran penutur atau pendengar pada saat penanda dituturkan. Teori Saussure ini sebenarnya berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara umum. Oleh karena itu, istilah-istilah yang dipakai dalam penerapan teorinya dalam kajian terhadap sastra(semiotik), meminjam dari istilahistilah dan model-model linguistik. Bahasa sebagai sistem tanda, menurut Saussure lebih lanjut (dalam Nurgiyantoro,1993), memiliki dua unsur yang tak terpisahkan; signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Misalnya, bunyi /buku/, yang jika dituliskan berupa rangkaian huruf (atau lambang fonem): b-u-k-u, dapat menyaran pada makna tertentu, (buku !), yang tampak secara nyata. Bunyi atau tulisan “buku” itulah yang disebut penanda, sedangkan sesuatu yang diacu itulah petanda. Menurut Saussure, keduanya dapat disebut dwi tunggal yang berhubungan secara arbitrer (mana suka). Salah satu prinsip penting dalam analisis struktural adalah melihat sesuatu dalam konteks yang lebih luas, yakni dalam konteks relasi sintagmatik dan paradigmatik. Dalam analisis struktural atas fonem, suatu fonem tidak dilihat sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri, tetapi dilihat dalam konteks relasi. Suatu fonem sebenarnya merupakan kumpulan dari ciri pembeda, dan ciri pembeda sebuah fonem hanya dapat diketahui jika ia ditempatkan dalam sebuah konteks, atau suatu jaringan relasi, dengan fonem-fonem yang lain dalam suatu 4 bahasa. Demikian juga halnya dengan tanda-tanda atau simbol. Maknanya tergantung pada relasi dengan fenomena lain yang setara (Ahimsa Putra dalam Paz, 1997). Relasi sintagmatik dan paradigmatik adalah salah satu teori Saussure, yang banyak dipakai dalam kajian kesasteraan. Hal ini pernah dilakukan oleh Roland Barhtes dan Tzvetan Todorov, yang mengelompokkan kedua konsep itu ke dalam aspek sintaksis dan semantik. Di dalam sebuah wacana, kata-kata saling berhubungan dan berkesinambungan, sesuai dengan sifat linearitas bahasa, dan tidak mungkin melafalkan dua unsur sekaligus. Pada sisi yang lain, di luar wacana, kata-kata yang mempunyai kesamaan berasosiasi dalam ingatan dan menjadi bagian kenyataan tiap individu dalam membentuk langue. Hubungan yang bersifat linearitas itu yang disebut relasi sintagmatik, sedangkan hubungan asosiatif disebut relasi paradigmatik. Kedua relasi ini seringkali diterapkan terhadap analisis puisi maupun fiksi (Nurgiyantoro, 1993). Relasi sintagmatik dipakai untuk menelaah struktur karya, dengan menekankan pada urutan satuan-satuan makna karya yang dianalisis. Relasi sintagmatik, menurut Todorov (dalam Nurgiyantoro, ibid) adalah bersifat linear, konfiguratif, dan konstruktif dalam hal bentuk atau susunan. Di dalam karya fiksi, wujud hubungan itu dapat berupa relasi antar kata, peristiwa, atau tokoh. Jadi, bagaimana peristiwa yang satu diikuti oleh peristiwa-peristiwa yang lain yang memiliki hubungan kausalitas, bagaimana kata-kata saling berhubungan dengan makna penuh, dan bagaimana tokoh-tokoh membentuk antitesa dan gradasi. Untuk menelaah linearitas struktur (lengkapnya struktur teks), menurut Barthes (dalam Nurgiyantoro, ibid), yang pertama kali harus dilakukan adalah menentukan satuan-satuan cerita (dan fungsinya) dengan mendasarkan diri pada kriteria makna. Tiap satuan cerita dapat terdiri dari sejumlah sekuen (satuan makna)-dalam kajian karya tiap satuan cerita dan sekuen diberi simbol. Menurut Barthes (dalam Nurgiyantoro, ibid), satuan cerita mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi utama dan katalisator. Satuan cerita yang memiliki fungsi utama berfungsi menentukan jalan cerita (plot). Sedangkan satuan cerita yang memiliki fungsi katalisator berfungsi menghubungkan fungsi-fungsi utama itu. Todorov (1985 :41) mengemukakan bahwa pengurutan satuan cerita mungkin dilakukan berdasarkan urutan temporal dan logis, secara kronologis atau kausalitas. Relasi paradigmatik, di lain sisi, merupakan hubungan makna dan pelambangan, hubungan asosiatif, pertautan makna, antara unsur yang hadir dengan yang tidak hadir. Ia dipakai untuk mengkaji, misalnya, signifiant tertentu mengacu kepada signifie tertentu, peristiwa tertentu mengingatkan pada peristiwa yang lain, melambangkan gagasan tertentu, atau menggambarkan suasana kejiwaan tokoh (Todorov, 1985: 11-12).Oleh karena itu, kajian paradigmatik dapat berupa kajian tentang tokoh (dengan segala aspeknya), suasana, gagasan, dan lain-lain. Dasar kajian ini adalah konotasi, asosiasi-asosiasi yang muncul dalam pikiran pembaca. Peristiwa-peristiwa yang berhubungan secara makna-mungkin melambangkan suasana kejiwaan tokoh, gagasan tertentu, atau karena 5 ada hubungan kausalitas--secara linear (sintagmatik) tempatnya mungkin berjauhan, sehingga hubungan yang demikian pun dapat disebut sebagai hubungan in absentia (paradigmatik). Misalnya, sejumlah peristiwa (satuan cerita) tempatnya dalam teks ada di bagian awal, namun ia berhubungan secara logis (paling tidak dapat diasosiasikan) dengan peristiwa-peristiwa lain di bagian akhir teks. Dengan demikian, relasi sintagmatik dan paradigmatik dapat juga berkaitan dengan kajian dari aspek waktu (Nurgiyantoro, 1993). Todorov (1985) berpendapat bahwa masalah waktu menjadi bagian aspek verbal yang berupa kala. Ada dua tataran waktu dalam teks fiksi, yaitu waktu dari wacana yang menggambarkan tataran penceritaan (bersifat linier), dan waktu dari dunia yang digambarkan (bersifat logis, asosiatif). Metode Penelitian Analisis data dilakukan dengan mengikuti alur berpikir Levi-Staruss dalam menganalisis mitos Indian yang berjudul “The Sory of Asdiwal” yang telah coba diaplikasikan oleh Ahimsa Putra dalam meneliti mitos Orang Bajo di Sulawesi Selatan (Ahimsa Putra, 1995). Berpedoman pada analisis tersebut, maka cerita kaba Cindua Mato dipenggal-penggal atas beberapa episode yang bermakna. Kriteria pemenggalan didasarkan atas suatu deskripsi yang mengandung suatu peristiwa yang terjadi dalam kaba. Pemenggalan cerita ini dimaksudkan untuk memperoleh unit-unit yang ada dalam cerita, yang disebut mytheme, Ahimsa menyebutnya ceritheme. Ceritheme terdapat pada tingkat kalimat yang didalamnya terkandung suatu relasi antar elemen dalam cerita. Seteleh memperoleh ceritheme, fokus pengamatan diarahkan pada penemuan kesatuan kontuitif yang terkecil, yaitu berupa relasi dalam bentuk suatu putusan singkat (subyek-prediket). Relasi ini diberi penomoran, agar tidak bersifat bebas, melainkan terikat menjadi suatu berkas yang menggabungkan berbagai sub-relasi dan menggolongkan semuanya berdasarkan satu tema yang sama yang mencirikan berkas relasi yang bersangkutan. Tiap berkas relasi ditempatkan dalam satu lajur vertikal. Beberapa lajur vertikal akan memperlihatkan makna struktural spesifik dari mitos tersebut. Setelah itu ceritheme disusun secara diakronis dan sinkronis dalam sumbu sintagmatis dan paradigmatis, seumpama dilakukan terhadap bahasa. Cara ini untuk memperoleh makna dari suatu elemen yang tergantung pada relasi sintagmatis dan paradigmatisnya. Seterusnya, akan ditemukan ceritheme yang mengandung relasi bermakna dan tidak sama. Interpretasi atas makna cerita Cindua Mato akan tergantung kepada keseluruhan relasi antar ceritheme yang dapat ditemukan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Setelah melewati tahap pembacaan cerita secara berulang-ulang, kemudian dilanjutkan dengan pemenggalan atas beberapa episode yang bermakna, maka ditemukan sebanyak seratus seratus dua puluh lima ceritheme dalam kaba Cindua Mato. Ceritheme terdapat pada kata-kata, frasa, kalimat, bagian alinea, dan atau 6 alinea yang menunjukkan makna tertentu yang dapat diposisikan dalam relasi tertentu tertentu dengan ceritheme yang lain. Ceritheme-ceritheme disusun dalam larik dan kolom. Setiap ceritheme merupakan suatu simpul relasi-relasi, maksudnya ia merupakan ekspresi kongkrit untuk suatu fungsi relasional. Dengan demikian ceritheme itu disusun secara urut berdasarkan urutan penceritaannya. Penomoran dilakukan untuk setiap ceritheme . Ceritheme di atas dipahami secara sederhana, sebagai pokok cerita. Sehingga dengan hanya membaca ceritheme, dapat diketahui jalan cerita secara keseluruhan. Sebanyak seratus dua puluh lima ceritheme yang ditemukan dalam kaba Cindua Mato, mengandung relasi yang saling berhubungan membentuk sebuah cerita. Seratus dua puluh lima ceritheme yang ditemukan dalam kaba Cindua Mato, selanjutnya dipisahkan berdasarkan ciri pembeda yang ditetapkan, kemudian ditempatkan berdasarkan aturan sintagmatis dan paradigmatis, sebagaimana dalam aturan bahasa. Penempatan ceritheme itu dalam sumbu sintagmatis dan paradigmatis dengan memakai prinsip trial and error, sebagaimana yang disarankan oleh Levi Strauss. Penempatan seratus duia puluh lima ceritheme dalam sumbu sintagmatis dan paradigmatis, memungkinkannya dibaca dengan dua cara. Pertama, mengikuti alur dari kanan ke kiri akan terlihat alur penceritaan kaba Cindua Mato secara keseluruhan. Kedua, membaca dengan mengikuti arah dari atas ke bawah memperlihatkan data yang tersusun atas empat kolom. Kolom pertama dan kedua mengandung gagasan dikotomi antara adat dengan agama. Kolom pertama berisi gagasan tentang adat, sedangkan kolom kedua berisi gagasan tentang agama (Islam). Kolom ketiga dan keempat mengandung gagasan dikotomi antara matrilineal dengan yang bukan matrilineal. Kolom keempat berisi gagasan tentang matrilineal, kolom ketiga berisi gagasan tentang segala sesuatu yang bertentangan dengan konsep matrilineal. Kriteria yang dipakai dalam menyusun kolom-kolom tersebut didasarkan atas aturan-aturan tertentu. Kolom pertama dengan kedua memiliki hububungan yang erat, tetapi paradok satu sama lain. Aturan itu juga berlaku untuk kolom keempat dan ketiga. Kolom pertama bersifat homolog dengan kolom keempat, sedangkan kolom kedua homolog dengan kolom ketiga. Apabila keempat kolom dibaca secara keseluruhan, maka kolom pertama mengandung gagasan tentang adat, sedangkan kolom kedua mengandung gagasan pengingkaran terhadap adat. Ini dapat terlihat pada mimpi Bundo Kanduang yang didatangi oleh orang tua berjanggut putih dan panjang. Orang tua berjanggut puitih ini merupakan simbol orang suci, orang yang berasal dari kalangan agama (dalam hal ini agama Islam). Ini menjadi simbol legitimasi Islam di Minangkabau. Bagian lain yang dapat menjadi ide atau gagasan tentang unsur agama, yaitu peristiwa hamilnya Bundo Kanduang setelah meminum air kelapa nyiur gading. Peristiwa itu juga diikuti dengan hamilnya Kambang Bandahari yang juga hami setelah meminum sisa air kelapa nyiur gading yang diminum oleh Bundo Kanduang. Kedua peristiwa ini menjadi simbol hubungan perkawinan yang sah antara Bundo Kanduang dengan seseorang yang tidak disebutkan dengan tegas identitasnya. Orang yang sama juga menikahi si Kambang Bandahari. 7 Peristiwa ini dapat dilihat sebagai legitimasi dari ide poligami dalam agama Islam. Seorang lelaki dibolehkan beristeri lebih dari satu orang, jika ia mampu, dan mengikuti syarat-syarat yang telah ditentukan. Kebiasaan poligami ini, dahulunya, banyak dilakukan lelaki di Minangkabau, terutama pada lelaki yang memilki status sosial terpandang dalam masyarakat, misalnya penghulu. Tak heran, zaman dahulu banyak penghulu yang beristeri lebih dari satu orang. Akan tetapi, kasus demikian tentu akan memalukan bila menimpa nasib seorang Bundo Kanduang, yang dalam cerita kaba Cindua Mato, diceritakan bahwa dalam struktur kerajaan Pagaruyung berposisi sebagai Rajo Alam Minangkabau. Oleh karena itu, tragedi pelik ini mesti disamarkan dengan tipuan-tipuan magis berupa air keramat yang berasal dari kelapa nyiur gadinglah yang membuat Bundo Kanduang dan Kambang Bandahari hamil bersamaan. Selanjutnya, kolom ketiga merupakan gagasan pengingkaran terhadap unsur matrilineal. Ini tergambar dalam perbuatan Datuak Bandaharo yang membuka gelanggang pertaruhan dalam rangka mencari jodoh yang sesuai untuk anaknya yang bernama Lenggo Geni. Cara ini tidak lazim dilakukan dalam masyarakat Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Orang yang berhak mencarikan jodoh untuk Lenggo Geni dalam struktur kekerabatan Minangkabau, yaitu mamaknya (saudara lelaki dari pihak ibu), bukan ayah si Lenggo Geni. Gagasan yang sama juga terjadi pada kolom selanjutnya, yaitu yang berisi gagasan tentang kesepakatan Datuak Bandaharo dengan Dang Tuanku untuk menjodohkan Lenggo Geni dengan Cindua Mato. Cara yang ditempuh oleh kedua orang ini merupakan kesalahan terbesar dalam pandangan adat Minangkabau. Perjodohan anak dan atau kemenakan hanya dapat dilakukan oleh mamak atau kerabat pihak ibu dari anak dan atau kemenakan tersebut, bukan oleh ayah si anak. Ayah tidak berhak melakukan itu karena posisinya sebagai urang sumando (orang luar/ tamu) di mata keluarga Lenggo Geni dengan Cindua Mato. Seterusnya, juga sangat tidak masuk logika adat Minangkabau, ketika Dang Tuanku melakukan perjodohan Cindua Mato dengan Lenggo Geni. Dang Tuanku secara kekerabatan, bukan siapa-siapa bagi Cindua Mato. Ia adalah orang yang berada di luar garis kekerabatan ibu si Cindua Mato (baca: Kambang Bandahari). Apalagi si Cindua Mato adalah “anak madu” dari ibu si Dang Tuanku (baca: Bundo Kanduang). Bahkan, yang lebih parahnya, ibu si Cindua Mato adalah dayang-dayang istana Pagaruyung. Tidak masuk akal, seorang anak raja mencarikan jodoh, melakukan lamaran, dan kemudian mempertunangankan anak dayang-dayang istananya? Benar-benar tidak logis. Terlalu berlebihan. Sesungguhnya, ini nyata-nyata mengingkari adat matrilineal yang dianut oleh orang Minangkabau. Pengingkaran justru lebih ekstrim lagi terjadi pada bagian yang menggambarkan pertukaran tanda perjodohan Cindua Mato dengan Lenggo Geni, hanya dilakukan oleh Dang Tuanku dengan Datuak Bandaharo saja. Kejadian serupa ini adalah kesalahan fatal bila diteropong dengan kaca mata adat Minangkabau. Gagasan yang terkandung pada kolom ketiga ini benar-benar mengingkari konsep matrilineal. Ketidakhadiran mamak sebagai bagian dari struktur anggota yang termasuk kedalam extended family dalam kaba Cindua Mato, yang tampak 8 hadir hanya bagian dari struktur nuclear family adalah sesuatu yang tidak lazim dalam tatanan sosial masyarakat Minangkabau. Akibat tidak berfungsinya peran mamak dalam kaba Cindua Mato, maka Lenggo Geni menjadi gadis yang tak kunjung mendapat jodoh yang sesuai, sehingga Datuak Bandaharo terpaksa membuka gelanggang pertaruhan untuk mencari jodoh yang sesuai bagi Lenggo Geni. Padahal bila fungsi mamak hadir dalam kaba ini, maka semua itu akan menjadi tanggung jawab mamak. Seorang mamak tidak akan berdiam diri bila ada kemenakan perempuannya yang belum mendapat jodoh. Ia akan “menjemput” lelaki yang cocok dan sepadan yang berasal dari kerabat dekat atau jauh dengan sirih dalam carano untuk jodoh kemenakan perempuannya itu. Kenyataan tragik juga terjadi pada kolom yang berisi pengingkaran pertunangan Puti Bungsu dengan Dang Tuanku. Apabila peran mamak hadir dalam kaba Cindua Mato, maka pemutusan sepihak tali pertunangan antara Puti Bungsu dengan Dang Tuanku tidak akan terjadi. Rajo Mudo sebagai saudara lelaki dari Bundo Kanduang tentu tidak akan membiarkan tragedi itu terjadi bagi kemenakannya yang bernama Dang Tuanku. Pertunangan Dang Tuanku dengan Puti Bungsu adalah ide tentang perkawinan ideal dalam pandangan adat Minangkabau. Oleh karena Dang Tuanku akan menikah dengan anak gadis dari mamaknya sendiri. Ini dipandang sebagai bentuk relasi perkawinan ideal karena dapat mengukuhkan tali kekerabatan. Secara berkias dinyatakan dalam formulasi ungkapan adat yang berbunyi: “kuah tatunggang ka dalam nasi, nasi ka dimakan juo” (kuah tertuang ke dalam nasi, nasi akan dimakan juga). Ungkapan adat ini bermakna apabila ada kusut masai dalam perjalanan perkawinan kelak, tidak harus dibawa ke luar lingkup kerabat untuk mencarikan jalan keluarnya, cukup diselesaikan di dalam saja. Aib atau malu yang barangkali dapat terjadi tidak harus dicabikkan keluar lingkup kaum, karena mereka masih berada dalam lingkaran keluarga dekat, tetapi tidak seketurunan darah. Orang seketurunan darah dilarang saling menikahi. Tidak hadir dan tidak berfungsinya mamak dalam kaba Cindua Mato, maka tragedi pun terjadi. Tali pertunanganan Dang Tuanku dengan Puti Bungsu, diputus secara sepihak oleh Rajo Mudo. Puti Bungsu dinikahkannya dengan Imbang Jayo. Puti Bungsu terpaksa menyetujui meski tidak rela atas keputusan ayahnya. Kemudian, Cindua Mato dengan berbekal restu dari Dang Tuanku menculik dan melarikan Puti Bungsu pada suatu malam sebelum pesta perhelatannya dilaksanakan. Kejadian ini merupakan tragedi atas tidak berperannya mamak dalam kaba Cindua Mato. Tragedi yang terjadi karena mencoba mengingkari kaedah matrilineal. Pada kolom keempat memberikan ide atau gagasan tentang pengukuhan kaedah atau konsep matrilineal. Gagasan ini terkandung dalam kolom yang menyatakan bahwa Dang Tuanku adalah anak dari Bundo Kanduang, dan Cindua Mato adalah anak dari Kambang Bandahari. Bagian ini mengindikasikan adanya pengakuan ide poligami dalam masyarakat Minangkabau yang terutama melekat kepada prinsip agama Islam yang menjadi agama mayoritas di Minangkabau. Bagian lain yang menggambarkan pengukuhan atas ide matrilineal adalah sikap Bundo Kanduang yang memerintahkan melakukan melakukan penyerangan ke 9 kerajaan Rajo Mudo di Sungai Ngiang. Penyerangan itu diinginkan oleh Bundo Kanduang karena tersengat oleh rasa malu dihina oleh Rajo Mudo yang melakukan pemutusan tali pertunangan sepihak antara Dang Tuanku dengan Puti Bungsu, anak si Rajo Mudo. Walaupun Rajo Mudo adalah saudara kandungnya sendiri, tetapi sikap Rajo Mudo yang telah memberi malu dan aib kepada Bundo Kandung adalah malu yang tidak bisa dibagi. Malu karena diingkari. Malu yang harus dituntut balas. Filosofi menuntut malu atau aib ini lazim terjadi dalam masyarakat Minangkabau. Bagian lain yang juga memperlihatkan pengukuhan atas ide matrilineal tampak pada bagian yang menyatakan penolakan sikap Bundo Kanduang untuk menjatuhkan hukuman atas kesalahan Cindua Mato yang menculik dan melarikan Puti Bungsu di malam sebelum hari perhelatannya dengan Imbang Jayo. Bundo Kanduang tetap bersikukuh bahwa yang berhak menjatuhkan hukuman adalah Basa Ampek Balai, bukan dirinya. Prinsip demikian memang berlaku dalam tatanan sosial masyarakat Minangkabau. Raja Alam (Bundo Kanduang berada pada posisi ini) hanya sebagai simbol kerajaan. Tuah saja yang melekat pada diri sang Raja Alam. Permasalahan yang terkait dengan soal agama dan adat diselesaikan oleh Basa Ampek Balai berdasarkan konsultasi dengan Raja Dua Selo, yaitu Raja Adat dan Raja Ibadat. Raja Alam hanya menjadi raja daulat Alam Minangkabau, yaitu untuk mempersatukan rakyat dan negeri Minangkabau. Pembacaan data yang tersusun atas empat kolom itu memperlihatkan adanya pasangan rangkap yang saling berlawanan (homologi). Kolom pertama homolog dengan kolom keempat, kolom kedua homolog dengan kolom ketiga. Kolom pertama mengandung gagasan penyangatan terhadap unsur adat dan mempunyai homolog dengan kolom keempat yang mengandung penyangatan gagasan matrilineal. Demikian juga dengan kolom kedua mengandung gagasan tentang minimalisasi atau pengingkaran unsur adat dan berhomologi dengan kolom ketiga yang mengandung gagasan tentang minimalisasi atau pengingkaran konsep matrilineal. Pembahasan Kaba Cindua Mato merupakan mitos pengukuhan yang diciptakan oleh orang Minangkabau dalam memandang masyarakat dan dunianya yang serba mendua. Keadaan yang serba dua dan saling oposisi ini dihadapi oleh orang Minangkabau dalam kehidupannya sehari-hari. Sistem kekerabatan yang matrilineal (extended family) berhadapan dengan egoisme nuclear family yang bernuansa patrilineal. Keharusan menjaga dan membina harmoni dalam anggota kaum (kerabat setali darah) berhadapan dengan keinginan mendahulukan kepentingan keluarga inti. Tanggung jawab sosial seorang lelaki sebagai mamak beradu dengan hasrat mendahulukan peran lelaki sebagai suami di dalam keluarga intinya. Harmoni dalam kehidupan beradat bertatap muka dengan nuansa kehidupan religius yang kental menurut tradisi agama Islam. Kaedah-kaedah adat yang bersifat matrilineal berhadapan dengan aturan-aturan agama Islam yang patrilineal. Contohnya, kolom yang berisi gagasan tentang Imbang Jayo yang 10 langsung datang sendiri melamar Puti Bungsu kepada ayahnya. Hal ini tidak akan pernah bisa terjadi dalam kehidupan masyarakat Minangkabau yang beradat matrilineal. Orang yang diperbolehkan melamar Puti Bungsu itu adalah mamak dari si Imbang Jayo. Orang yang boleh menerima atau menolak lamaran itu bukan ayah si Puti Bungsu, melainkan mamak dari si Puti Bungsu. Akan tetapi fakta kaba Cindua Mato memperlihatkan tradisi menurut aturan agama Islam yang bersifat patrilineal. Menurut aturan agama Islam, boleh saja Imbang Jayo dan Rajo Mudo melakukan tindakan seperti itu, tetapi adat tidak merekomendasikan perbuatan itu. Perihal aturan pelaksanaan tata cara perkawinan mengikuti aturan adat, terkecuali yang terkait dengan proses nikah dan ijab kabul berlaku aturan agama Islam. Itulah konvensi yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau, sekalipun orang Minangkabau beragama Islam. Dualisme yang saling bertentangan ini terjadi dan dihadapi oleh orang Minangkabau. Dualisme itu diharapkan akan selalu berjalan seiring. Tuntutan terjadinya harmoni dalam menjalani dualisme nilai dan aturan, relatif tinggi bagi orang Minangkabau. Tidak jarang kondisi ini memicu ketegangan dalam diri dan kepribadian, tetapi harmoni harus tetapi diciptakan. Kepelikan menghadapi situasi yang serba mendua dalam berbagai aspek kehidupan menyebabkan orang menciptakan mitos. Mitos yang menjadi tirai nalar yang menentukan cara orang Minangkabau memandang dualisme nilai, norma, konsep, dan aturan yang memenjara diri dan kehidupannya. Mitos yang membantu orang Minangkabau menafsirkan kontradiksi nilai yang ada di alam sekitarnya. Kaba Cindua Mato adalah salah satu mitos yang diciptakan untuk tujuan itu. Melalu mitos Bundo Kanduang yang terdapat dalam kaba Cindua Mato dicoba untuk menafsirkan hakekat aturan adat matrilineal yang berlaku di Minangkabau yang berjalan berdampingan dengan aturan agama Islam. Bundo Kanduang, Basa Ampek Balai, Tungku Tigo Sajarangan merupakan gagasan simbol matrilineal yang berlaku di Minangkabau. Bundo Kanduang sebenarnya bukan raja dalam pengertian yang sebenarnya, melainkan simbol matrilineal saja. Raja Adat dan Raja Ibadat adalah simbol yang melegitimasi harmoni antara kehidupan beradat dengan beragama dalam masyarakat Minangkabau. Keduanya harus berjalan beriringan. Keduanya harus saling melengkapi, keduanya tidak boleh bentrok. Walaupun ada terdapat kerikil tajam di sepanjang perjalanannya, tetap harus dicarikan konsensus agar harmoni selalu tercipta. Mitos tentang Bundo Kanduang jadinya adalah semacam mitos pengukuhan tentang ideologi harmonisasi yang mesti terjadi dalam alam pikiran orang Minangkabau. Harmonisasi yang diharapkan selalu tercipta dalam pelaksanaan aturan adat dengan aturan agama Islam. Mitos tentang Bundo Kanduang dalam kaba Cindua Mato mengukuhkan ideoligi harmoni itu. Kaba Cindua Mato menjadi semacam mitos pengukuhan bagi masyarakat Minangkabau dalam memandang dualisme yang harus dibuat harmonis. 11 SIMPULAN Penelitian ini pada akhirnya membuktikan bahwa mitos berfungsi sebagai tirai nalar bagi manusia, dalam memandang dunia sekitarnya. Melalui mitos manusia menafsirkan fenomena alam. Melalui mitos Bundo Kanduang, yang tertuang dalam kaba Cindua Mato, orang Minangkabau mencoba memahami paradoks nilai yang dianut oleh orang Minangakabau. Pertentangan konsep yang mesti dibuat seirama. Perbenturan yang harus dibuat harmonis. Mitos tentang Bundo Kanduang, sebenarnya adalah semacam legitimasi dari cita-cita harmonis yang harus dilaksanakan oleh orang Minangakabau, dalam mengharungi bahtera kehidupan budayanya, agar seseorang dipandang ada, maka ia harus menciptakan harmoni dengan dunia sekitarnya dengan masyarakatnya. Kehadiran Bundo Kanduang sebagai Raja Alam (dalam sejarah kerajaan Pagaruyung tidak ada namanya tercatat sebagai raja) dalam kaba Cindua Mato, sebenarnya merupakan pengukuhan atas sistem matrilineal yang berlaku di Minangkabau. Kehadiran Bundo Kanduang dilengkapi oleh Tungku Tigo Sajarangan, Basa Ampek Balai. Raja Adat dan Raja Ibadat yang menjadi dua dari tiga unsur Tungku Tigo Sajarangan, di samping Raja Alam, menjadi simbol harmoni yang harus dilaksanakan oleh orang Minangkabau dalam kehidupan budayanya. Makna mitos Bundo Kanduang ini diperoleh dari analisis yang komprehensif terhadap seratus dua puluh lima ceritheme yang ditemukan dalam kaba Cindua Mato. Melalui analisis yang menyeluruh itu diperoleh juga struktur kaba Cindua Mato, sebagaimana yang disarankan oleh Levi Staruss dalam menganalisis mitos. Ternyata, terdapat suatu keteraturan tertentu dalam mitos Bundo Kanduang, yang termuat dalam kaba Cindua Mato. Keteraturan itu berupa struktur isi atau gagasan, ide mitos Bundo Kanduang. Struktur itu memperlihatkan pola berpikir orang Minangkabau yang cenderung serba mendua. Keduaan yang sering terjadi dalam dunia budaya orang Minangkabau. Benturan nilai antara matrilineal dengan patrilineal. Konsep matrilineal berhomologi dengan adat, dan konsep patrilineal berhomologi dengan agama Islam. Tetapi dualisme itu harus dibuat harmonis. Ketegangan dalam diri menjadi sesuatu yang tak terelakan. Mitos mencoba melerai ketegangan itu. Melalui mitos Bundo Kanduang, yang dimuat dalam kaba Cindua Mato, orang Minangkabau mencoba memahami dualisme itu. DAFTAR PUSTAKA Ahimsa Putra, H. 1988. Minawang : Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. _______. 1995. Analisis Struktural dan Makna Mitos Orang Bajo. Yogyakarta. Laporan Penelitian. _______. 1997. “Claude Levi Strauss : Butir-Butir Pemikiran Antropologi” dalam Levi Strauss : Empu Antropologi Struktural (Terj.). Octavio Paz. Yogyakarta : LKIS. 12 _______. 1998. “Levi-Strauss, Orang-Orang PKI, Nalar Jawa, dan Sosok Umar Kayam: Telaah Struktural-Hermeneutik Dongeng Etnografis Dari Umar Kayam” dalam Umar Kayam dan Jaring Semiotik. Aprinus Salam (ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Budiman, Kris. 2000. “Bila(kah) Antropologi dan Sastra Bertemu”, dalam Jerat Budaya. No. 3/III/2000. Hal. 41. B. Lord, Albert. 1981. The Singer Of Tales. London: Harvard University Press. Cremers, A. 1997. Antara Alam dan Mitos : Memperkenalkan Antropologi Struktural Claude Levi-Strauss. Ende NTT: Nusa Indah. Dananjaya, James. 1991 (cet.ke-3). Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta : Graffiti. Kaplan, David and Albert Manners. 1999. Teori Budaya (terj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kridalaksana, Harimurti. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Lane, Michael. 1970. Introduction to Structuralism. New York: Basic Book. Levi-Strauss, Claude. 1963. Structural Anthropology. New York: Basic Books. _______. 1978. Myth and Meaning. London: Routledge and Paul. Navis, A.A. 1986. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafffiti Pers. St. Rajo Endah, Sy. 1985. Cindua Mato. Bukittinggi: Balai Buku Indonesia. Van Ball, J. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia. 13