DOI: 10.24014/ Marwah.v21i2.14039
Marwah: Jurnal Perempuan, Agama, dan Jender
(p-ISSN: 1412-6095 | e-ISSN: 2407-1587)
Vol. 21, No. 2, 2022, Hal. 93 – 105
KAJIAN TEORITIS BUNDO KANDUANG SIMBOL KESETARAAN
GENDER BERDASARKAN ISLAM DAN MINANGKABAU
Mimi Herman
Institut Agama Islam Negeri Batusangkar, Indonesia
mimiherman@iainbatusangkar.ac.id.
ABSTRACT
The problem of gender equality arises because there are some forms of injustice that demean
women. Some forms of injustice are gender equality including subordination, injustice,
stereotype, violence, double burden and marginalization. These things arise because in general
society still equates the concept between gender and sex (sex). This issue is a problem that
continues to grow and can be analyzed from various perspectives, including perspectives of
Islamic religion and Minangkabau adat. The purpose of this study is to theoretically examine
gender equality for women from the perspective of Islamic religious teachings and Minangkabau
traditional teachings. This research is a qualitative study that is a literature study (library
research) using descriptive methods with relevant theory analysis. The results obtained are that
in the teachings of Islam there is no gender injustice for women and in the teachings of Islam
confirms that the difference between women and men is not to distinguish treatment. On the
other hand in the Minangkabau traditional teachings that adhere to the matrilineal system of
women have an important role and position. According to this custom, women are
determinants of lineages, owners and holders of heirlooms and are domiciled as Bundo
Kanduang who lead and protect women in their clans. This concept is very much needed as a
basic principle for the development of women's roles and careers.
Keywords: Gender; Agama Islam; Minangkabau; Bundo Kanduang.
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mrnguji secara teoritis kesetaraan gender bagi wanita dari
perspektif ajaran agama Islam dan ajaran adat Minangkabau. Penelitian ini adalah menggunakan
pendekatan kualitatif yang bersifat studi pustaka (library research) menggunakan metode deskriptif
dengan analisis teori yang relevan. Masalah kesetaraan gender timbul karena adanya beberapa
bentuk ketidakadilan yang merendahkan wanita. Beberapa bentuk ketidakadilan adalah setaraan
gender antara lain subordinasi, ketidakadilan, sterotype, kekerasan, beban ganda (double burden)
dan marjinalisasi. Hal-hal ini muncul karena secara umum masyarakat masih menyamakan
konsep antara gender dengan jenis kelamin (sex). Isu ini adalah masalah yang terus berkembang
dan dapat dianalisis dari berbagai perspektif antara lain prespektif agama Islam dan adat
Minangkabau. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menyatakan bahwa dalam ajaran agama
Islam tidak terdapat ketidakadilan gender bagi wanita dan dalam ajaran agama Islam menegaskan
bahwa perbedaan antara wanita dan pria bukan untuk membedakan perlakuan. Disisi lain dalam
ajaran adat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal wanita memiliki peran dan posisi
93
DOI: 10.24014/ Marwah.v21i2.14039
Marwah: Jurnal Perempuan, Agama, dan Jender
(p-ISSN: 1412-6095 | e-ISSN: 2407-1587)
Vol. 21, No. 2, 2022, Hal. 93 – 105
yang penting. Menurut adat ini wanita adalah penentu garis keturunan, pemilik dan pemegang
harta pusaka serta berkedudukan sebagai Bundo Kanduang yang memimpin dan mengayomi
para wanita dalam kaummnya. Konsep ini sangat diperlukan sebagai prinsip dasar bagi
perkembangan peran dan karir wanita.
Kata Kunci: Gender; Agama Islam; Minangkabau; Bundo Kanduang.
PENDAHULUAN
Fakih Mansur (dalam Siti.2016:3) menjelaskan bahwa Gender pada hakikatnya tidak akan
menjadi masalah selama tidak menimbulkan ketidakadilan. Namun, timbulnya bermacam
masalah karena isu gender memunculkan berbagai ketidakadilan terhadap laki-laki terutama pada
wanita. Ketidakadilan terhadap wanita adalah permasalahan yang sering terjadi di berbagai
lapisan kelompok masyarakat, bahkan di sebagian besar belahan dunia. Menurut Rustan alasan
utamanya adalah masyarakat belum terlepas dari budaya patriarkhis yang telah ribuan tahun
menempatkan wanita berada di bawah kekuasaan pria (Rustan.2014:142).
Mencuatnya isu gender menimbulkan kesadaran bahwa terdapat ketidaksamaan antara
pria dan wanita sehingga memunculkan ketidak adilan dalam berbagai bentuk seperti
marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinate atau anggapan tidak penting dalam urusan
politik, stereotype atau pencitraan yang negatif bagi wanita. Wanita sering dicitrakan dengan istilah
3R (dapur, sumur, kasur), diperlakukan dengan kekerasan, diberi double burden (beban ganda)
yang berujung pada perbuatan tidak adil yang dibenci oleh Allah SWT. (Sarifa.2013:375).
Masalah gender disebabkan oleh beberapa faktor. Persepsi berbeda secara biologis
antara pria dan wanita dipandang menjadi nilai dan norma kepantasan peran, tanggung-jawab
dan status pria dan wanita dalam berbagai aspek kehidupan adalah sumber permasalahan gender
yang utama. Pembenaran berbedanya kesempatan dan hak antara pria dan wanita juga
berdasarkan stigma persepsi dari sudut padang biologis. Masalah berikutnya adalah kapasitas
biologis. Kapasitas biologis wanita secara kodrat adalah melahirkan. Alasan ini menjadi
argument rasional yang menentukan bahwa wanita hanya boleh berperan dalam sektor domestik
tanpa memiliki kepantasan dalam sektor publik. Fenomena yang demikian adalah masalah
perbedaan gender yang mengakibatkan semakin sempitnya kesempatan dan kontribusi wanita
dalam sektor publik, padahal wanita dalam kehidupan dapat menjalankan kedua sektor tersebut.
Perbedaan perlakuan gender inilah yang mengakibatkan perbedaaan kesempatan bagi pria dan
wanita (Rusdi.2012:106).
Menurut Kementerian Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak ada beberapa
bentuk ketidak setaraan gender antara lain subordinasi, ketidakadilan, sterotype, kekerasan,
beban ganda (double burden) dan marjinalisasi. Pertama subordinasi. Subordinasi merupakan
pemikiran yang menganggap terdapat peran yang berbeda berdasarkan jenis kelamin. Perbedaan
ini merendahkan suatu jenis kelamin dan meninggikan jenis kelamin lainnya. Secara umum
dalam masyarakat terjadi pemisahan peran gender. Tanggungjawab wanita secara umum adalah
wilayah domestik atau reproduksi, sedangkan pria betanggung jawab pada wilayah publik atau
produksi. Kedua adalah ketidakadilan. Peran dan fungsi yang berbeda antara pria dan wanita
dalam masyarakat tidak akan bermasalah jika tidak menimbulkan ketidakadilan. Ketidak adilan
dalam peran dan fungsi inilah yang menyebabkan permasalahan dalam gender. Ketiga adalah
94
DOI: 10.24014/ Marwah.v21i2.14039
Marwah: Jurnal Perempuan, Agama, dan Jender
(p-ISSN: 1412-6095 | e-ISSN: 2407-1587)
Vol. 21, No. 2, 2022, Hal. 93 – 105
sterotype. Sterotype adalah sumber dari masalah ketidak adilan gender. Stereotype adalah pelabelan
yang salah terhadap suatu kelompok. Hal ini dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan
dijadikan argumen dalam membenarkan tindakan suatu kelompok terhadap kelompok lainnya.
Sterotype memperlihatkan ketimpangan pada hubungan kekuasaan untuk mengintervensi pihak
lain. Dalam hal masalah gender pelabelan negatif sering diberikan kepada wanita. Sebagai contoh
wanita dinilai lemah, tidak berdaya, mengendepankan emosi, penggoda, tidak cakap dalam
menentukan keputusan, hanya bertugas sebagai ibu rumah tangga serta penyumbang nafkah
tambahan. Disis lain pria dipandang kuat, berkuasa, rasional, bisa memutuskan sesuatu dengan
cepat dan tepat dan sebagai pencari nafkah utama. Keempat adalah kekerasan. Hal ini meliputi
fisik maupun psikis yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin, keluarga, masyarakat atau
negara terhadap jenis kelamin lainnya. Bermula dari diferensiasi karakter yang memunculkan
tindakan kekerasan. Pandangan yang menganggap wanita adalah makhluk lemah dijadikan
argumen untuk disemena-menakan, seperti kekerasan. Contohnya adalah kasus KDRT,
penekanan fisik maupun psikis dan pelecehan seksual. Selanjutnya adalah beban ganda (double
burden). Maksudnya adalah terjadi pemberatan beban pekerjaan kepada satu jenis kelamin
dibandingkan yang lainnya. Selain peran domestic dan peran reproduksi, wanita yang berperan
dalam bidang public tidak mendapatkan bantuan dalam pelaksanaan peran wajibnya dalam
bidang domestik. Walaupun ada upaya menggantikan pekerjaan tersebut kepada pihak lain,
seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga lainnya, namun tanggung jawab
primernya masih harus dilaksanakan oleh seorang wanita. Hal ini menimbulkan beban yang
berlipat ganda. Kelima adalah marjinalisasi. Marjinalisasi adalah proses peminggiran karena
perbedaan jenis kelamin sehingga menimbulkan kemiskinan. Salah satu contohnya adalah
mengemukakan isu gender. Contohnya adalah banyaknya tenaga kerja wanita di perusahaan yang
mudah mengalami pemecatan. Hal ini disebabkan tidak adanya ikatan tertulis dari perusahaan
karena alasan gender seperti sebagai pencari nafkah sampingan, pekerja sambilan serta faktor
reproduksi seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat studi pustaka (library
research) yang menggunkan buku-buku dan literatur-literatur lainnya sebagai objek yang utama.
Data diperoleh dari beberapa dokumen seperti Alquran, buku-buku, artikel jurnal yang terkait
dengan hal-hal yang dibahas. Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan metoda QDA
(Qualitative Data Analysis). QDA dilaksanakan melalui: mengidentifikasi dan mereduksi data
mentah terhadap data yang bias; setelah itu data yang relevan dikumpulkan, dikategorikan
berdasarkan hal-hal yang dikaji; kemudian dikaji berdasarkan teori dan temuan penelitian
sebelumnya sehingga diperoleh jawaban terhadap hal-hal yang dikaji; serta langkah terakhir
adalah mengidentifikasi kesimpulan (O Leary, 2010).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perspektif Gender
Kaum feminis menyatakan terdapat perbedaan konsep secara fundamental antara sex
dan gender. Wilayah sex adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perbedaan biologis dan
fisiologis seperti pria memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan menghasilkan sperma,
95
DOI: 10.24014/ Marwah.v21i2.14039
Marwah: Jurnal Perempuan, Agama, dan Jender
(p-ISSN: 1412-6095 | e-ISSN: 2407-1587)
Vol. 21, No. 2, 2022, Hal. 93 – 105
sedangkan wanita mempunyai alat reproduksi seperti vagina dan rahim, memiliki kelenjar dan
alat menyusui, bisa hamil dan melahirkan. Fenomena ini adalah suatu given yang tidak dapat
dipergantikan. Hal bersifat kodrati dan tidak bisa diganti. Hal yang bersifat biologis berlaku sama
di semua tempat, situasi budaya dan waktu. Disisi lain wilayah gender adalah segala sesuatu yang
menyangkut fungsi, peran, hak dan kewajiban. Fenomena wanita bersifat lemah lembut, mudah
emosi, keibuan dan cantik sedangkan laki-laki bersifat kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Hal
tersebut adalah wilayah gender. Ciri-ciri tersebut dimiliki wanita maupun pria namun tidak
permanen dan sifat-sifat tersebut dapat bertukar. Dengan demikian, gender adalah sifat yang
terbentuk secara sosial ataupun budaya serta yang menyangkut aspek-aspek non biologis pada
pria maupun wanita (Siti.2016:5-6).
Menurut Misbah (dalam Tanwir. 2017:242) gender adalah konsep budaya yang berusaha
membedakan sifat, peran, perilaku, mentalitas, karakteristik, dan posisi antara pria dan wanita.
Gender terbentuk melalui konstruksi masyarakat atau konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh
sisterm kepercayaan, sosial budaya, politik dan sistem ekonomi. Gender dapat berubah dalam
kurun waktu, wilayah dan budaya tertentu. Menurut Nikmatullah (dalam Rosilawati:2014:2)
contoh nyata terhadap pemahaman gender dapat diamati dalam keseharian masyarakat. Sistem
patriarki mendudukan pria dalam posisi penguasa dan pengambil kebijakan, sementara wanita
tidak berperan dalam bidang apapun. Wanita dinilai sebagai the second sex, diposisikan sebagai
subordinasi pria, serta menempati level the second class.
Hal ini berbeda dengan masyarakat yang menganut sistem matriarkhi. Dalam sistem ini
pengambil kebijakan dan sebagai penguasa dalam keluarga dan masyarakat adalah wanita.
Minangkabau adalah contoh suku memposisikan wanita dengan peran yang dominan.
Kebijakan ini dapat diartikan pada waktu dan kondisi tertentu wanita bisa lebih kuat dari pria
sementara disisi yang lain dijajah oleh pria. Kondisi tersebut sangat ditentukan oleh lokasi,
keadaan dan waktu. Menurut Ulfatun (2017:414) perbedaan antara gender dan jenis kelamin
(sex) dirangkum dalam table berikut.
Tabel 1. Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin
Aspek
Gender
Jenis Kelamin
(Sex)
1 Dasar
Konstruksi
Takdir
sosial
2 Pencirian Persepsi kultur Biologis
(non-biologis)
3 Status
Feminin,
Pria, Wanita
yang
maskulin.
Contohnya:
terbentuk
Contohnya:
a. Pria memiliki
penis, jakun
a. Wanita
menghasilkan
bersifat
sperma,
lemah
b.
Wanita
lembut,
mempunyai
cantik,
rahim,saluran
bersifat
96
DOI: 10.24014/ Marwah.v21i2.14039
4 Peran
sosial
Marwah: Jurnal Perempuan, Agama, dan Jender
(p-ISSN: 1412-6095 | e-ISSN: 2407-1587)
Vol. 21, No. 2, 2022, Hal. 93 – 105
emosional,
ovum
memiliki
menghasilkan
sifat
ovum,
keibuan,
mempunyai
b. Pria
vagina, dan
memiliki
memiliki
kekuatan,
kelenjar
cenderung
mamae.
rasional,
jantan, dan
perkasa.
c. Pria
mencari
nafkah dan
bekerja di
sektor
publik,
wanita
bekerja
disektor
domestik
serta
bertanggun
g jawab
dalam
urusan
rumah
tangga,
Dapat berubah, Tidak dapat
peran wanita berubah, wanita
sebagai istri
tidak akan pernah
yang hanya
menghasilkan
mengurus
sperma dan pria
rumah tangga tidak akan pernah
dapat berubah melahirkan.
menjadi pencari
nafkah utama.
Analisis kesetaraan gender dalam ayat-ayat Al-Qur’an
Rahmat (dalam Abbas:2012) menyatakan bahwa agama Islam sebagai rahmat dan sangat
menghormati hak-hak wanita. Al-Quran banyak menjelaskan tentang hal-hal penting tentang
wanita. Terdapat beberapa surat yang menjelaskan wanita antara lain adalah surat al-Nisa,
Maryam, al-Nur, al-Ahzab, al-Mujadalah, al-Muntahanah, al-Thalaq, dan al-Tahrim. (Abbas.2012:192).
Menurut Zaitunah (dalam Lisdamayatun.2018:7) Agama Islam memiliki misi membebaskan
manusia dari semua hal yang mengandung ketidak-adilan. Islam dikenal sebagai agama
pembebasan karena misi utamanya yaitu menyempurnakan akhlak yang membentuk diskriminasi
97
DOI: 10.24014/ Marwah.v21i2.14039
Marwah: Jurnal Perempuan, Agama, dan Jender
(p-ISSN: 1412-6095 | e-ISSN: 2407-1587)
Vol. 21, No. 2, 2022, Hal. 93 – 105
dan dominasi. Sebagai contoh tradisi jahiliah Arab pra Islam adalah membunuh bayi wanita dan
tidak mengenal konsep waris dihapus dengan datangnya agama Islam.
Sumber ajaran utama dalam Islam yaitu ayat-ayat Al-qur’an maupun sunnah memiliki
nilai-nilai universal sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia sepanjang masa. Nilai-nilai tersebut
adalah nilai kemanusiaan, keadilan, kemerdekaan, kesetaraan dan lainnya. Dalam hal nilai
keadilan dan kesetaraan, Islam tidak akan memberi toleransi terhadap perbedaan atau perlakuan
diskriminasi sesama manusia. Al-qur’an surat Al-Isra’ ayat 70 menyatakan bahwa Allah SWT
menciptakan manusia yaitu pria dan wanita dalam kondisi yang sebaik-baiknya dan dalam
kedudukan yang sangat terhormat. Manusia adalah ciptaan Allah yang paripurna dilengkapi
dengan akal, perasaan dan dapat diberi petunjuk. Al-Quran tidak membedakan pria dan wanita
karena disisi Allah SWT pria dan wanita sama dan hanya berbeda secara biologis
(Rusdi.2012:112).
Nasaruddin Umar (dalam Sarifa.2013:379) menyatakan bahwa adanya variabel-variabel
yang berfungsi sebagai standar untuk menganalisis prinsip-prinsip kesamaan gender dalam AlQur’an. Variabel-variabel tersebut antara lain adalah:
1. Keduanya adalah hamba.
Dalam Al-Quran surat Az-Zariyat ayat 56 yang artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah
menciptakan manusia sebagai hamba untuk menyembah-Nya. Semua hamba tidak berbeda
kecuali berdasarkan amal ibadahnya. Allah menilai amal ibadah yang banyaklah yang akan
memperoleh pahala tanpa mempertimbangkan jenis kelamin. Selanjutnya pria dan wanita
sama-sama berpotensi dan berpeluang untuk menjadi hamba ideal. Al-Qur’an
mengistilahkan hamba ideal dengan muttaqûn. Dalam Islam untuk mencapai derajat muttaqûn
tersebut tidak berdasarkan perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis
tertentu. Sebagai hamba, pria dan wanita akan mendapatkan pahala dari Allah sesuai kualitas
dan kuantitas pengabdian, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat an-Nahl ayat 97
yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik pria dan wanita dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan”. Hal-hal khusus bagi pria, seperti seorang suami lebih tinggi setingkat disbanding
isteri dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 228, pria adalah pelindung wanita dalam AlQuran surat An-Nisa ayat 11, pria boleh menjadi saksi yang efektif dalam Al-Quran surat AlBaqarah 282, dan pria dibolehkan menikah maksimal dengan empat orang istri poligami
yang memenuhi syarat dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 3, tidak semerta-merta
menjadikan pria sebagai hamba utama. (Abdul.2015:96).
2. Wanita dan Pria berperan sebagai Khalifah.
Allah menciptakan manusia juga menjadi khalifah di bumi (khalifah fî al-ard). Hal ini
dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran” Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi.” Ayat tersebut tidak merujuk jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Pria dan
wanita sama-sama memiliki tugas sebagai khalifah dan akan diminta tanggungjawabnya
sebagai khalifah seperti harus bertanggung jawab sebagai hamba Allah (Sarifa.2013:380).
3. Pria dan wanita melakukan perjanjian primordial.
98
DOI: 10.24014/ Marwah.v21i2.14039
Marwah: Jurnal Perempuan, Agama, dan Jender
(p-ISSN: 1412-6095 | e-ISSN: 2407-1587)
Vol. 21, No. 2, 2022, Hal. 93 – 105
Pria dan wanita menerima dan memiliki perjanjian primordial dengan Allah. Sebelum
manusia dilahirkan, terlebih dahulu harus berjanji dengan Allah, Al-Quran men jelaskan
dalam surat Al-A’raf ayat ayat 172 yang berbunyi : Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunanmu anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman):”bukankah Aku ini Tuhanmu “Mereka menjawab ”Betul” (Engkau Tuhan kami )”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa baik pria maupun wanita pra kelahiran ke dunia ini
terlebih dahulu menerima perjanjian dari Tuhannya. Janji tersebut berisi pengakuan manusia
terhadap keberadaan Allah. Oleh karena itu, dalam Islam setiap individu bertanggung jawab
sejak kehidupan pra lahir tanpa diskriminasi jenis kelamin terhadap ikrarnya dengan Allah
SWT (Abdul.2015:96).
4. Nabi Adam AS dan Siti Hawa sama-sama terlibat aktif dalam drama kosmis.
Drama kosmis dijelaskan dalam Al-Quran tentang kronologi kehidupan Nabi Adam AS
dan Siti Hawa di surga hingga turun ke bumi. Berdasarkan ayat-ayat Al-Quran tersebut
dijelaskan bahwa Allah selalu menggunakan kata ganti huma yang mengacu kepada Nabi
Adam AS dan Siti Hawa sebagai pelaku. Drama kosmis tersebut adalah tanggung jawab
bersama Nabi Adam AS dan Siti Hawa. Beberapa peristiwa dalam drama kosmis tersebut
adalah (1) Allah menciptakan keduanya di surga dan keduanya diberikan fasilitas surga. Hal
ini dijelaskan Allah dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 35. (2) Kualitas godaaan Setan
kepada Nabi Adam AS dan Siti Hawa adalah sama, hal ini terdapat dalam Al-Quran surat AlA’raf ayat 20. Dalam Al-Quran surat Al-A’raf ayat 23 menjelaskan mereka kemudian
memohon ampun dan sama-sama diampuni oleh Allah. Peristiwa divonisnya Nabi Adam
dan Siti Hawa Allah keluar dari surga diabadikan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 36.
Menurut Al-Quran surat Al Baqarah ayat 187 setiba keduanya di bumi mereka berkembang
dan memiliki keturunan serta tolong-menolong dan bekerja sama.
5. Wanita dan pria memiliki potensi untuk berprestasi.
Al-Quran menjelaskan pria dan wanita memiliki peluang yang sama untuk berprestasi.
Hal ini dijelaskan dalam beberapa ayat berikut : Surat Ali Imran ayat 195; Surat An-Nisa ayat
124; Surat An-Nahl ayat 97. Ayat-ayat tersebut seluruhnya melandasi konsep ideal kesetaraan
gender yang menunjukkan bahwa prestasi individual, dibidang spiritual dan karier secara
professional tidak didominasi salah satu jenis kelamin tertentu. Pria maupun wanita
berkesempatan sama untuk berprestasi maksimal. Dalam Al-Qur’an terdapat perbedaan
(distinction) antara pria dan wanita, namun tidak menjadi pembedaan (discrimination) yang
menguntungkan dan merugikan pihak tertentu. Menurut surat Ar-Rum ayat 21 perbedaan
tersebut bertujuan untuk menciptakan hubungan yang harmonis didasari kasih sayang
(mawaddah wa rahmah) dalam keluarga. Hal ini adalah dasar baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafur sebagaimana Al-Quran menjelaskan dalam surat Saba’ ayat 34. Al-Quran juga memuat
ayat-ayat yang membahas keadilan dan kebaikan pada An-Nahl ayat 90, keamanan dan
ketentraman pada surat An-Nisa’ ayat 58, dan menyuruh melakukan kebaikan dan
menghindari keburukan pada Ali Imran ayat 104. Ayat-ayat tersebut adalah ayat-ayat penting
dan menjadi tujuan umum syari’ah (maqashid al sari’ah merujuk hubungan gender dalam
Islam (Rusdi.2012:112-115).
99
DOI: 10.24014/ Marwah.v21i2.14039
Marwah: Jurnal Perempuan, Agama, dan Jender
(p-ISSN: 1412-6095 | e-ISSN: 2407-1587)
Vol. 21, No. 2, 2022, Hal. 93 – 105
Bundo Kanduang Simbol Kesetaraan Gender di Minangkabau.
Menurut Azyumardi (dalam Ismail.2017:8) Minangkabau yang sekarang ini sebagian
besar berada dalam wilayah administrasi Propinsi Sumatera Barat memiliki karakteristik secara
sosio-kultural unik jika dibandingkan suku bangsa lain di Indonesia. Hal ini dilihat berdasarkan
sistem kekerabatan matrilineal yang dianut. Garis keturunan berdasarkan sistem matrilineal
seseorang ditarik dari garis keturunan ibu. Sistem tersebut juga berlaku pada sistem pembagian
harta pusaka, persawahan, perladangan dan rumah untuk tinggal yang dominan dikendalikan
oleh pihak wanita. Menurut Arifin (dalam Arifin.2013:125) terdapat beberapa karakteristik
sistem matrilineal Minangkabau antara lain: (1) Garis keturunan yang ditarik berdasarkan
keturunan ibu, yang secara lebih luas kemudian membentuk kelompok kaum (lineages) dan suku
(clans). (2) Penguasaan harta pusaka ada di tangan kaum ibu yang dipimpin oleh seorang wanita
senior yang disebut Bundo Kanduang.
Keunikan sistem adat Minangkabau tersebut akan semakin khas jika dikorelasikan
dengan nilai keislaman. Berdasarkan filsafat adat tersebut tidak terdapat perselisihan antara adat
Minangkabau dengan agama Islam. Keduanya tanpa pertetangan bisa sejalan dan beriringan. Hal
ini dikarenakan sebagai institusi kebudayaan posisi adat dan agama dalam masyarakat seimbang
dan harmonis. Hubungan keduanya diungkapkan sebagai “Adat basandi syara’, syara’ basandi
Kitabullah. Syara’ mangato adat memakai. Camin nan tindak kabua, palito nan tidak padam”
(Ismail.2017:57-58).
Hal ini juga terlaksana dalam masalah gender di masyarakat Minangkabau. Jauh sebelum
isu masalah ketidakadilan dan kesetaraan gender mencuat masyarakat Minangkabau telah
memiliki konsep kesetaraan gender dan sangat menghormati wanita. Wanita dalam bahasa
Minangkabau disebut padusi atau wanita dalam bahasa Indonesia. Di Minangkabau, wanita
menduduki porsi dan posisi yang sangat istimewa karena segala keputusan berada di tangannya.
Hal ini seperti relasi kuasa, tanpa adanya kata boleh dari wanita, maka semua rencana belum bisa
dilaksanakan. Wanita Minangkabau juga disebut sebagai Bundo Kanduang yang secara harfiah
diartikan sebagai ibunda atau ibu kandung. Terdapat banyak makna yang terkait dengan bundo
kanduang, secara sederhana, bundo kanduang adalah seorang pemimpin bagi seluruh wanita dan
anak cucunya dalanm suatu kaum secara non formal. Setiap anggota kaum mendukung dan
mengakui kepemimpinan dan kharisma Bundo Kanduang tersebut. Wanita sebagai Bundo
Kanduang di Minangkabau sangat terhormat. Ia memiliki grand position yang sangat baik dan
strategis dalam kaumnya. Bundo kanduang diperlukan dalam suatu kaum untuk memimpin
seluruh wanita beserta anak cucu yang ada dalam kaumnya. Dengan demikian, setiap wanita
Minangkabau harus terdidik dan berpendidikan ibaratnya tau alua jo patuik, tau rantiang nan
kamancucuak, alun takilek lah takalam. Secara tidak langsung, ini sejalan dengan isu gender yaitu
kesetaraan gender (Silmi.2019:94).
Dalam adat Minangkabau wanita diizinkan untuk memasuki wilayah publik. Wanita
Minang tidak selalu terkurung dalam rumah dan hanya berkutat pada sektor domestik. Wanita
dalam sukunya memiliki peran dalam pengambilan keputusan politik serta diizinkan menduduki
jabatan publik. Sejarah, mencatat Raja Wanita pernah memimpin kerajaan Minangkabau yang
bernama “Bundo Kanduang”. Dalam adat Minagkabau jabatan Manti (pemimpin adat), Malin
(pemimpin agama), dan Dubalang (pemimpin keamanan suku) tidak boleh dijabat oleh wanita
sedangkan untuk posisi lainnya wanita diizinkan berkiprah dan mendudukinya” (Iva.2015:46).
100
DOI: 10.24014/ Marwah.v21i2.14039
Marwah: Jurnal Perempuan, Agama, dan Jender
(p-ISSN: 1412-6095 | e-ISSN: 2407-1587)
Vol. 21, No. 2, 2022, Hal. 93 – 105
Kedudukan Bundo kanduang dalam adat Minangkabau sangat kuat. Hal ini dapat dilihat
dalam beberapa aspek yaitu: Pertama, Bundo Kanduang adalah penentu garis keturunan dan
pembentukan perilaku. Ibu mewariskan suku kepada setiap anak yang dilahirkannya dan setiap
anak yang lahir tidak memiliki hubungan suku dengan bapaknya. Keluarga ibu mewarnai dengan
sangat dominan hal yang berhubungan anak-anak termasuk pendidikan dan perilaku, serta
perilaku politik. Kedua, Bundo Kanduang adalah Limpapeh rumah nan gadang (rumah besar).
Maknanya adalah seorang wanita berperan sebagai Bundo Kanduang adalah penguasa rumah nan
gadang (rumah besar). Rumah tempat tinggal adalah hak milik wanita dan rumah bagi wanita
Minangkabau adalah yang sangat penting. Kepemilikan rumah di Minangkabau dijelaskan
melalui ungkapan adat: “Iduik batampek, mati bakuburan; Kuburan hiduik di rumah gadang; kuburan
mati di tangah padang. Maknanya hidup ada tempatnya, meninggal ada makamnya; tempat hidup ialah di
rumah besar, tempat berkubur di tengah padang”. Ketiga, seorang Bundo kanduang merupakan
pewaris dan memiliki harta pusaka. Harta dalam hal ini meliputi tanah dan segala hal yang
terdapat di atas tanah tersebut seperti rumah, persawahan, peladangan dan lainya seperti kolam.
Semua harta tersebut berfungsi sebagai sumber ekonomi. Secara umum semua harta benda
terutama tanah adalah milik wanita, sedangkan laki-laki bertugas dalam hal pengurusan,
pengawasan dan pemeliharaan yang bertujuan untuk keperluan keluarga Bundo Kanduang.
Dalam sistem keluarga Minangkabau, pria adalah andalan yang kuat bagi wanita dengan kata lain
pria berperan menambah harta benda milik keluarga. Keempat Bundo Kanduang adalah
pemimpin. Bundo kanduang berperan dalam mengontrol kekuasaan; semua keputusan termasuk
keputusan politik yang akan laksanakan harus di mufakatkan terlebih dahulu dulu Bundo
Kanduang (Idris.2012:111).
Peran wanita dalam adat Minangkabau didasari pada Adaik Basandi Sara’, Sara’ Basandi
Kitabullah yakni : (1) urang rumah (pemilik rumah besar): hal ini bermakna Bundo Kanduang
wajib memiliki rumah dan tanah pandam pekuburan kaumya; (2) Induak bareh (nan lamah di tueh,
nan condong di tungkek, ayam barinduak, siriah bajunjuang), maksudnya Bundo Kanduang bertugas
mengatur makanan dan minuman seluruh keluarga besar, mengayomi seluruh anggota kaum
yang berekonomi lemah dan bermusyawarah dengan kaum berekonomi mapan; (3) Sebagai
pemimpin, artinya Bundo Kanduang adalah sosok yang arif. Hal ini adalah asas utama
kepemipinan dalam masyarakat. Bundo kanduang merupakan pemimpin keluarga dan
masyarakat, penanggung jawab atas pendidikan anak-anak generasi penerus dalam sistem
kekerabatan matrilineal serta pengontrolnya. Oleh karena itu Bundo Kanduang harus memiliki
sifat yaitu: (1) Hati-hati (khauf), ingek dan jago pado adaik, ingek di adait nan ka rusak, jago limbago
nan kasumbiang; (2) Beriman dan bertaqwa kepada Allah serta mempedomani ajaran Islam; (3)
Memiliki sikap yang patut; yaitu pribadi dan sikap hormat sesuai alur dan patut (uswah
istiqamah), seperti pepatah adat maha tak dapek di bali, murah tak dapek dimintak, takuik di paham
ka tagadai, takuik di budi katajua. Bundo kanduang tidak akan mendahului para pemimpin seperti
niniak mamak dan pangulu; (4) Sifat kaya hati; serta (5) Sifat Pemalu (Idris.2012:112).
Pepatah adat menegaskan Bundo Kanduang diberikan beberapa keistimewaan. Pepatah
adat menyatakan sebagai berikut: “Bundo kanduang limpapeh rumah nan gadang, Amban puruak
pagangan kunci, Pusek jalo kumpulan tali, Kapai tampek batanyo, Kapulang tampek babarito, Sumarak
didalam nigari, Hiasan dalam kampuang, Nan gadang basa batuah, Kok hiduik tampek baniek, Kok mati
101
DOI: 10.24014/ Marwah.v21i2.14039
Marwah: Jurnal Perempuan, Agama, dan Jender
(p-ISSN: 1412-6095 | e-ISSN: 2407-1587)
Vol. 21, No. 2, 2022, Hal. 93 – 105
tampek banasa, Ka unduang-unduang ka madinah, Ka payuang panji ka sarugo”. Makna penjelasan dari
gurindam di atas adalah:
1. Limpapeh rumah nan gadang. Menurut Ibrahim (dalam Nofriadi.2014:182) arti dari kalimat ini
adalah Bundo Kanduang adalah sosok wanita yang dihormati dan disegani dalam sukunya.
Makna kata limpapeh adalah binatang sejenis kupu-kupu yang indah diibaratkan sebagai
bundo kanduang. Motif ukiran hias dalam rumah gadang juga menerapkan pola kupu-kupu
Limpapeh yang terpasang pada tiang utama bagian tengah rumah gadang pada dan langsung
terlihat saat mengunjungi Rumah Gadang. Gurindam di atas berisi makna kiasan bahwa
adanya sifat saling mendukung, melengkapi dan berkaitan antara adat dan agama. Kiasan
adat menjelaskan derajat dan martabatnya sebagai figur yang mengendalikan kaum dan
masyarakat harus mampu dijunjung tinggi oleh Bundo Kanduang. Kiasan agama
menjelaskan Bundo kanduang adalah figur istri yang dicintai oleh suaminya dan ibu yang
disayangi oleh anak-anaknya. Seorang Bundo Kanduang harus arif dan bijaksana saat
menasehati dan mengajari anak-anaknya. Oleh karena itu Bundo Kanduang harus memiliki
sikap dan perilaku sesuai dengan ajaran Minangkabau dan Islam yang menjadi landasan adat
Minangkabau, karena sikap ibu akan menentukan sikap keturunan, seperti ungkapan “karuah
ayaia di ulu, sampai kamuaro karuah juo, kalau kuriak induaknya rintiak tibo dianakanyo”.
2. Amban puruak pagangan kunci. Amban adalah kain berbentuk kantong yang diikat pada
pinggang Bundo Kanduang berfungsi menyimpan segala sesuatu yang penting seperti uang,
emas dan semua kunci lemari. Amban puruak pagangan kunci berfungsi memegang kunci
segala sesuatu yang berkaitan dengan kekayaan suatu kaum (Yesi.2015:70). Simbol ini
menegaskan makna memiliki sifat mulia seperti kearifan dan kebijaksanaan, terhormat,
bersifat khidmat, rajin, menjauhi larangan boros terutama dalam pengendalian ekonomi
rumah tangga (Sismarni.2011:98).
3. Pusek Jalo Kumpulan Tali. Ungkapan ini bermakna bahwa figur ibu mempunyai kedudukan
pusat yang sangat menentukan kesuksesan masa depan anak. Oleh karena itu, seorang
Bundo Kanduang wajib berilmu. Gayatri, (dalam Sismarni. 2011:98) menyatakan bahwa
kebaikan dan keburukan suatu rumah tangga dan kaum ditentukan oleh ibu. Menurut
Gayatri sosok ibu adalah unsur utama dalam menghayati keluhuran budi dalam aspek
kehidupan seperti pendidikan, ekonomi, sosial budaya, dan lainnya. Makna lain tentang
ungkapan ini adalah Bundo Kanduang adalah sumber informasi atau sumber perhimpunan
masalah keluarga dan kaum. Bundo Kanduang berperan sebagai orang yang menyelesaikan
suatu permasalahan yang terjadi dilingkungannya (Nofriadi.2014:182).
4. Sumarak dalam nagari, Hiasan dalam kampuang. Ungkapan ini bermakna bahwa sosok Bundo
Kanduang adalah simbol keindahan. Ajaran Islam yang menyatakan bahwa “Kaum wanita
adalah tiang rumah tangga dan negara kalau baik kaum ibu, baiklah rumah tangga, dan negara” (alHadits).
5. Nan gadang basa batuah. Hal ini bermakna bahwa symbol kebanggaan dan kemuliaan suatu
kaum adalah Bundo Kanduangnya. Oleh karena itu, bundo kanduang harus paham dan
melaksanakan ajaran adat Minangkabau dan ajaran Islam.
6. Kapai tampek batanyo. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah jika ada sesuatu akan
dilaksanakan, maka harus meminta saran, pendapat, arahan dan nasehat kepada Bundo
102
DOI: 10.24014/ Marwah.v21i2.14039
Marwah: Jurnal Perempuan, Agama, dan Jender
(p-ISSN: 1412-6095 | e-ISSN: 2407-1587)
Vol. 21, No. 2, 2022, Hal. 93 – 105
Kanduang. Hal ini bertujuan untuk mencegah sesuatu yang tidak direncanakan sehingga
berakibat buruk terhadap anggota keluarga maupun kaum.
7. Kapulang tampek babarito. Nilai yang terdapat dalam ungkapan tersebut adalah segala sesuatu
seperti berita, pesan atau informasi yang diperoleh dari luar terkait dengan keluarga ataupun
kaum terlebih dahulu disampaikan kepada Bundo kanduang. Hal ini bertujuan agar Bundo
Kanduang dapat mempertimbangkan tanggapan, jalan keluar maupun tindakan terhadap
berita, pesan dan informasi tersebut sebelum diumumkan kepada khalayak umum.
8. Nan gadang basa batuah. Maksud ungkapan ini adalah Bundo kanduang adalah sosok yang
besar dan diagungkan, memiliki karisma yang bijaksana dan segala sesuatu yang
diputuskannya mendatangkan keuntungan dan kesejukan. Menurut Ibrahim (dalam
Nofriadi.2014:187) Bundo Kanduang adalah seseorang memiliki martabat dan sifat luhur,
seperti pepatah adat “patuah jo taat manjauhi sumbang jo salah, tau di larangan jo pantangan, bamalu
jo samalu, mampunyai raso jo pareso, mampunyai taratik sopan, tau dikarajo rumahtanggonyo”. Bundo
Kanduang sebagai figur pemimpin kaum dalam mayarakat memilili fondasi sifat benar dan
lurus, cerdik pandai, adil, ramah dan penyabar. Bundo kanduang senantiasa menjaga
martabatnya, memelihara adat, berilmu pengetahuan yang cukup tentang agama, bersikap
dan berbuat baik serta tepat dalam bertindak. Bundo Kanduang harus berhati-hati dalam
memutuskan sesuatu seperti pepatah “Mangana awal jo akia, managana manfaat jo mudarat dalam
awal tabayang akia, tampak kulik tabayang isi, alun tamakan alah baraso, alun dicaliak alah barupo
alun rabah alah kaujuang, alun pai alah babaliak”.
9. Kok iduik tampek baniaik.Bundo Kanduang adalah figur penting dan teladan dalam kaumnya.
Secara harfiah jika anggota keluarga dan kaum berniat memberikan sesuatu maka Bundo
Kanduang adalah figur yang pantas menerimanya.
10. Kok mati tempat banazar. Maksud dari ungkapan ini adalah Bundo Kanduang adalah sosok
yang tidak bisa terlupakan. Apabila ia telah meninggal nama baik dan kepribadian dan
kebijaksanaan sosoknya akan dikenang orang banyak. Hal ini yang melatarbelakangi jika
seseorang anggota keluarga atau kaum bernazar maka pahalanya diperuntukkan bagi
almarhumah Bundo Kanduang.
11. Ka unduang-unduang ka Madinah. Unduang-unduang adalah selendang yang berfungsi sebagai
pelindung saat panas maupun hujan. Maksud ungkapan ini adalah sosok Bundo Kanduang
adalah pelindung kaumnya dari kesesatan beragama dan figur yang akan mengajari kaumnya
untuk mengamalkan ajaran agama. Ka Madinah maksudnya adalah Bundo Kanduang
bertanggungjawab melindungi keluarga dan kerabatnya dalam hal yang berkaitan dengan
agama. Bundo kanduang wajib memberikan pembelajaran dalam memilih serta
menunjukkan jalan yang benar.
12. Ka payuang panji ka sarugo. Nilai yang terdapat dari arti kata payung panji adalah Bundo
Kanduang merupakan figure yang melindungi keluarga dan kaumnya dari murka Allah. Hal
ini adalah wujud integrasi nilai-nilai Islam dan nilai adat Minangkabau sebagai pedoman
hidup dunia dan akhirat. Bundo Kanduang mengajarkan keluarga dan kaumnya untuk
melaksanakan kebaikan dan menghindari maksiat sehingga mampu mengarahkan keluarga
dan kerabatnya kejalan menuju syurga.
103
DOI: 10.24014/ Marwah.v21i2.14039
Marwah: Jurnal Perempuan, Agama, dan Jender
(p-ISSN: 1412-6095 | e-ISSN: 2407-1587)
Vol. 21, No. 2, 2022, Hal. 93 – 105
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa (1). Berlakunya ajaran Adat Basandi
Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah dalam hal kesetaraan gender terutama untuk wanita di
Minangkabau dibuktikan dengan sinkronnya ajaran Agama Islam dan aturan adat Minangkabau
yang memuliakan dan menghormati wanita. (2) Tidak adanya perbedaan masalah gender dalam
ajaran agama Islam dan aturan adat Minangkabau (3). Dalam tataran adat Minangkabau wanita
menduduki posisi yang terhormat dengan gelar Bundo kanduang. (4) Dalam aturan adat
Minangkabau Bundo Kanduang merupakan sosok yang berperan penting dan strategis dalam
keluarga dan kaumnya.
Daftar Pustaka
Abbas. (2012). Wanita Dalam Pandangan Agama (Studi Gender Dalam Perspektif Islam).
MUWÂZÂH, 4(2): 192
Adam, Askiah. (2004). Islam dan Hak-hak Wanita: Perspektif Asia Tenggara dalam
Menakar Harga Wanita. Bandung: Mizan.
Efendy, Rustan. (2014). Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan. Jurnal Al-Maiyyah, 7
(2):142
Hasanah, Ulfatun. (2019). Gender And Politics: Keterlibatan Perempuan dalam
Pembangunan Politik. SAWWA. 12(3):414
Hermawati, Yesi. (2015). Kedudukan Wanita dalam Budaya Minangkabau, Suatu Analisis
berdasarkan Tambo Adat Minangkabau. Bintang Surabaya: Surabaya
Kementerian Pemberdayaan Wanita Dan Perlindungan Anak, “Glosary Ketidak Adilan
Gender”, https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/view/23# diakses 6 Februari
2020.
Idris, Nurwani. (2012). Kedudukan Wanita dan Aktualisasi Politik dalam Masyarakat
Matrilinial Minangkabau. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. 25 (2): 111-112
Ismail. (2015). Akulturasi Hukum Waris Islam dengan Hukum Adat Kewarisan
Minangkabau. ALHURRIYAH: Jurnal Hukum Islam, 2(1) : 57-58, doi
10.30983/alhurriyah.v2i1.257
Iva, Ariani. (2015). Nilai Filosofis Budaya Matrilineal Di Minangkabau (Relevansinya Bagi
Pengembangan Hak-Hak Wanita Di Indonesia). Jurnal Filsafat. 25(1): 45 doi:
https://doi.org/10.22146/jf.12613
Nurul, Yaqinah Siti. (2016). Problematika Gender Dalam Perspektif Dakwah. Tasâmuh,
14(1): 3
104
DOI: 10.24014/ Marwah.v21i2.14039
Marwah: Jurnal Perempuan, Agama, dan Jender
(p-ISSN: 1412-6095 | e-ISSN: 2407-1587)
Vol. 21, No. 2, 2022, Hal. 93 – 105
Nofriadi, Nofriadi, et al. (2014). Analisis Estetika Mamangan Adat: Refleksi Kecantikan
Wanita dan Figur Bundo Kanduang Minangkabau. Bercadik, 2(1):182
Novita Nurman, Silmi. (2019). Kedudukan Wanita Minangkabau Dalam Perspektif Gender.
Jurnal Al-Aqidah.11(1): 94
O’Leary, Z. (2010). The Essential Guide to Doing Your Research Project. London: Sage
Rahim, Abdul. (2015). Gender Dalam Perspektif Islam. Sosioreligius. 1(1): 95
Rakhmat, Jalaluddin, 1991, Islam Aktual: Rekleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim,
Bandung: Mizan
Rosilawati, Ana. (2014). Perempuan Dan Pendidikan:Refleksi Atas
Berperspektif Gender. Raheema. Jurnal Studi Gender dan Anak.1(1):9
Pendidikan
Sismarni, Sismarni. (2011). Perubahan Peranan Bundo Kanduang Dalam Kehidupan
Masyarakat Minangkabau Modern. Kafa'ah: Journal of Gender Studies. 1(1) :98, doi :
10.15548/jk.v1i1.46
Suhra, Sarifa. (2013). Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Implikasinya
Terhadap Hukum Islam. Al-Ulum. 13(2) : 373-394
Syantik, Lisdamayatun. (2018). Pandangan Islam Terhadap Kesetaraan Gender.
https://www.researchgate.net/publication/329884596_PANDANGAN_ISLAM_TERH
ADAP_KESETARAAN_GENDER/citation/download diakses 7 April 2020
Tanwir. (2017). Kajian Tentang Eksistensi Gender Dalam Perspektif Islam. Jurnal AlMaiyyah. 10(2):242
Zainal, Arifin. (2013). Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang).
Antropologi Indonesia. 34(2): 12
Zubeir, Rusdi. (2012). Gender Dalam Perspektif Islam. An Nisa'a, 7(2): 103 – 118
105