Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
JURNAL PEMERINTAHAN DAN POLITIK VOLUME 1 No.1 JANUARI 2016 ISSN : 2502-0900 DINAMIKA REPRESENTASI PERAN POLITIK BUNDO KANDUANG DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NAGARI MODEREN DARI REPRESENTASI SUBSTANTIF MENUJU REPRESENTASI FORMAL DESKRIFTIF Amaliatulwalidain1) 1) Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri Jl Jend. Sudirman No. 629 KM. 4 Palembang Email : amaliatulwalidain@yahoo.co.id 1) ABSTRACT This study focuses on the representation and political role Bundo Kanduang in Nagari government system. Post back to the village government, through the Regional Regulation No. 9 of 2000 on the Principles of system of village government, in accordance with the policy, which instructed about the representation Bundo Kanduang as part of the political system in the village, bahwasannya provide opportunities for role Bundo Kanduang to sit in formal government institutions in villages namely Bamus institutions and BMAS. Formal representation Bundo Kanduang today, experienced a shift in the role, as the two major constraints, among others, the non-functioning (vacuum) Institutional Bundo Kanduang as the basis of empowerment and increase political awareness Bundo Kanduang in Nagari, due to the dilemma of culture shock, to changing circumstances politics come to give effect to the erosion of the locality indigenous Minangkabau, and also very minimal attention from Sthokeholder the sustainability Institutional Bundo Kanduang, because of political understanding and sruktur politics in Nagari, generally is still held and dominated by men, so it is still difficult to providing a fitting representation space for Bundo Kanduang, and it makes sense to representation and the role of Bundo Kanduang until now have only been in the formal level descriptive. Keywords : Political Representation, Role Bundo Kanduang, Government Nagari anak perempuan sebagai penerus generasi. Dahulu perempuan Minang yang menyandang predikat sebagai Bundo kanduang banyak mempunyai kelebihan, tidak hanya berperan sebagai ibu di sebuah Rumah Gadang, selain mempunyai tanggung jawab penuh terhadap kepemilikan harta pusaka serta kaumnya, Bundo kanduang juga dituntut harus paham terhadap adat istiadat didalam Nagarinya. Dengan posisinya yang demikian wajar saja apabila Bundo kanduang secara tidak langsung mempunyai peranan signifikan di dalam Nagari dan kaumnya. Diantara peranan-peranan penting tersebut, Bundo Kanduang juga turut memainkan peran dalam menentukan sukses dan gagalnya pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman dari pihak ibu), dan penghulu (kepala suku). Walaupun kekuasaan dipegang oleh Penghulu, karena adat tidak membolehkan perempuan untuk memimpin, tetapi saja segala keputusan dan kebijakan menyangkut Nagari harus mendapat legitimasi dari Bundo kanduang, karena sebagian masyarakat Minang percaya, segala keputusan menyangkut Nagari akan menjadi sah dan bijaksana apabila mendapat izin terlebih dahulu dari Bundo kanduang. (Mina Elfira, 2002). Pada kondisi-kondisi tertentu, perempuan di Minangkabau dapat mempergunakan hak vetonya terhadap suatu keputusan kaum. Terutama bila penghulu atau kepala kaum mereka tidak menjalankan fungsinya dengan baik .Pada masa sebelum masuknya intervensi baik dari pemerintah 1. Pendahuluan Nagari sebagai wilayah pemukiman penduduk yang mempunyai pemerintahan sendiri, sudah ada jauh sebelum masuknya bangsa Belanda atau bangsa Eropa lainnya ke Indonesia. Pemerintahan Nagari pada mulanya merupakan pemerintahan adat. Tiap-tiap Nagari memiliki suku dan pemimpin-pemimpin kelompok Matrilineal lainnya yang mengatur ketentuan adat. Jumlah dan komposisi pemerintahannya disesuaikan dengan tradisi adat masing-masing Nagari. Pemerintahan Nagari dahulu, prakteknya berjalan sesuai dengan demokratis yang berdasar dan berakar pada tradisi adat yang mendapat dukungan oleh masyarakatnya. (Asmawi 2006 : 76-77) Hingga kini Nagari, tetap ada, walaupun sudah banyak mengalami perubahan dan tidak sama lagi dengan keadaan Nagari sebelumnya, Nagari dan dengan segala macam kompleksitas yang ada. Salah satu unsur budaya lokal tidak bisa dilepaskan dari kultur adat Minangkabau yang berpijak pada sistem Martilinealnya adalah keberadaan Bundo kanduang. Dapat dikatakan bahwa ‘sistem Matrilineal’ merupakan salah satu aspek utama dalam mendifinisikan identitas Minangkabau. Dampak dari aplikasi prinsip-prinsip matrilineal ini (garis keturunan dan harta warisan diturunkan melalui garis ibu), makanya, kaum perempuan Minangkabau memiliki status istimewa dan dapat memainkan peranan yang cukup signifikan di dalam komunitas mereka. Istilah Bundo kanduang dalam masyarakat Minang adalah panggilan kepada ibu sebagai penarik garis keturunan Matrilineal yang diwariskan secara turun temurun kepada 1 JURNAL PEMERINTAHAN DAN POLITIK VOLUME 1 No.1 JANUARI 2016 ISSN : 2502-0900 dibentuk pada masa Orde Baru, adalah karakter perempuan sebagai stateibuism (Indrasari, 2006 : 283), dimana kaum perempuan, diwajibkan hanya berada di dalam tataran domestik saja dengan menjadi ibu yang baik serta istri yang mendukung penuh karier suami. Perempuan sengaja mindset pada urusan rumah tangga dan hal-hal yang bersifat teknis lainnya. Kemudian ketika pemerintahan Orde baru runtuh, dan digantikan dengan pemerintahan Reformasi, semangat menggantikan sruktur kekuasaan politik warisan Orde baru menjadi tuntutan sentral dalam memaknai pergantian kepempimpinan tersebut. Tuntutan reformasi disegala bidang dan sektor kehidupan sosial politik menjadi tuntutan paling krusial yang diinginkan segenap rakyat Indonesia, termasuk juga tuntutan desentralisasi dan otonomi daerah, sebagai bentuk pembebasan belenggu orde baru , kemudian dengan lahirnya UU No 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, yang memberikan kesempatan setiap daerah di Indonesia untuk mengembangkan potensi daerahnya masing-masing dengan kewenangan untuk mengatur sendiri pemerintahan, dengan landasan dari undang-undang tersebut, akhirnya pemerintahan daerah Sumatera Barat, sepakat untuk kembali kepada sistem pemerintahan Nagari seperti dahulu, dengan menghidupan lagi identitas lokal yang pernah dimiliki dan mengkontruksikan lagi konsep Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Salah satu pilar penting yang melatarbelakangi lahirnya kaedah-kaedah dalam UU No 22 Tahun 1999, terkandung asumsi pokok, bahwa peran serta masyarakat dari semua lapisan merupakan tiang penyangga bagi terselenggaranya pemerintahan otonomi yang sesuai dengan demokrasi, pemerataan dan keadilan (Sari Murti W, 2001 : 42). Termasuk juga peran yang diberikan untuk perempuan dalam keterlibatan dan partisipasi terhadap kehidupan politik. Dalam Perda No 9 tahun 2000, sebagai landasan hukum yang mengatur secara penuh unsur-unsur pendukung kehidupan sistem politik di Nagari, termasuk juga mengatur tentang keterlibatan dari keterwakilan dari institusi-institusi adat lokal yang ada di Nagari, pada pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan formal di Nagari, dengan tujuan untuk membangun lagi citra pemerintahan Nagari sesuai dengan rumusan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Dengan didasarkan Perda tersebut, pokok-pokok pemerintahan Nagari, mulai direspon dan dilaksanakan oleh setiap Kabupaten yang ada di Minangkabau, format Nagari tidak lagi berdasarkan watak pola pemerintahan tradisional Nagari yang lama, akan tetapi menggabungkan pada corak the local state yang menyatukan antara negara, agama, dan adat. Bentuk kepemimpinan juga mengalami perubahan, pemimpin Nagari bukan lagi terletak pada bentuk kekuasaan adat oleh Penghulu, akan tetapi pemimpin Nagari (Wali Nagari) dipilih secara langsung (direct election) oleh masyarakat Nagari, tujuannya agar pemerintahan bisa langsung dikontrol oleh masyarakatnya. (Erwin, 2006 : 233) Semenjak Reformasi bergulir, corak demokrasi dan adat begitu kental menggiringi proses kehidupan Kolonial ataupun pemerintahan Orde Baru, peran Bundo kanduang di Nagari masih bersifat otonom dan mandiri, Bundo Kanduang tidak hanya berpengaruh dan menjadi rujukan dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan adat, tetapi juga Bundo kanduang memiliki fungsi kontrol yang kuat untuk menjaga nilai-nilai adat di nagari agar tetap sesuai dengan tatanan alam Minangkabau Setelah terjadi perubahan dari Nagari ke desa sesuai dengan UU No 5 Tahun 1979, yang menyebabkan penamaan, sistem, orientasi dan filosofi, bergeser dari kemandirian (indepedensi) ke ketergantungan (dependensi), dari demokrasi ke birokrasi, dari populis ke etatisme dan dari sistem tribal ke sistem nasional. Dengan hilangnya Nagari sebagai unit pemerintahan terendah, hilang pula prinsip keterpaduan unit pemerintahan adat dan formal seperti yang menjadi ciri khas dari pemerintahan Nagari selama ini (Suryanef & Rafni, 2005: 352). Dengan menghilangkan peran-peran tertentu dari perangkat adat yang dulunya menjadi basis pemimpinan dalam sruktur adat di Nagari. Akibatnya unsur-unsur perangkat adat, termasuk juga Bundo kandung Kesemuanya dilembagakan dalam satu kesatuan, yaitu pada Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau ( LKAAM ) pada tahun 1983 yang dibentuk oleh pemerintah Orde Baru, sebagai organisasi yang bertujuan untuk mengakomodir nilai-nilai adat selaras dengan ideologi Pancasila, dan pada akhirnya menyebabkan nilai-nilai adat sama sekali tidak berfungsi sebagaimana mestinya, karena itu peranan dan fungsi Bundo kanduang tiba-tiba juga ikut terhenti, selain di alih fungsikan ke dalam bendera LKAAM, keberadaan Bundo kanduang yang mengalami peminggiran orientasi peran, akibat diinstitusikannya Bundo Kanduang menjadi sebuah lembaga perkumpulan perempuan Minang yang digerakkan hanya demi kepentingan pemerintah. Dilembagakannya Bundo Kanduang, malah semakin membatasi partisipasi dan sikap kritis perempuan dalam mengelolah dan memperhatikan aspek kehidupan adat di Minangkabau. Di bawah kendali dan kontrol pemerintah orde baru, setiap keputusan menyangkut adat tidak lagi bisa dimusyawarahkan seperti dahulu, karena setiap keputusan harus disesuaikan dengan keputusan pemerintah pusat. Ditambah hirarkis kepemimpinan serta kebijakan juga tidak memberi ruang lagi kepada Bundo Kanduang, Sehingga Bundo kanduang tidak lagi menjadi sumber kebijakan, justru sasaran kebijakan (Jurnal Perempuan, 2005). Apabila dulunya, Bundo Kanduang mempunyai akses dan kontrol aktif di tengah kaumnya secara nyata dalam memperjuangkan berbagai kepentingan, terutama menyangkut kepentingan perempuan sesuai dengan fungsi dan hak nya di dalam Nagari, maka ketika Orde Baru, semua hal menyangkut itu, tidak ada lagi. Pemerintah Orde baru,tidak memberikan peluang sama sekali terhadap hak politik perempuan, karena seolah politik bukanlah kegiatan yang mudah dilakukan, terutama oleh kaum perempuan, karena politik memiliki citra yang diasosiasikan penuh dengan intrik, keras, dan lebih bersifat maskulin. Citra perempuan,yang sengaja 2 JURNAL PEMERINTAHAN DAN POLITIK VOLUME 1 No.1 JANUARI 2016 ISSN : 2502-0900 terhadap keberadaan penting dari Bundo Kanduang sebagai identifikasi bagi keberadaan seorang Ibu yang mempunyai kekuasaan tiada tanding, seorang Ibu yang bijaksana dan mengayomi, yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Minangkabau baik dalam ranah publik maupun privat. Kaba ini menampilkan sosok Bundo Kanduang sebagai seorang perempuan yang dipercaya oleh masyarakat Minangkabau sebagai raja pertama kerajaan Pagaruyung dan diakui sebagai figur yang meletakkan dasar-dasar sistem pemerintahan Minangkabau yang berlandaskan agama Islam dan adat matrilineal. (Mina Elfira, 2011) Seperti yang dikatakan Evelyn Blackwood (1995 : 26), bahwa kemudian Bundo Kanduang menjadi figur yang memiliki kekuatan bahasa tersendiri di Minangkabau, yang tercermin melalui ’Kaba’ dan cerita sastra lainnya, yang berpengaruh terhadap sruktur masyarakat matrilinealnya, kepada pencitraan turun temurun kepada perempuan Minang yang bersamaan diidentikkan dengan Bundo Kanduang, yang mempunyai sifat, kuat, nurture dan bijaksana. Begitu pula yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau, sosok Bundo Kanduang yang dari awal sudah dipahami memegang peranan penting dalam sruktur matrilineal, kemudian ikut berpengaruh terhadap beberapa fungsi dan peranan umum kaum perempuan yang diatur sedemikian rupa dalam adat istiadat Minangkabau.. Adapun Peran dari Bundo Kanduang berdasarkan pada sifatnya, adalah sebagai berikut : a. Penentu Garis Keturunan b. Limpapeh Rumah Gadang ( Penjaga dalam rumah gadang ) c. Sumarak Dalam Nagari, Hiasan Dalam Kampung ( Penyemarak dalam Nagari) masyarakat di Nagari yang sesuai pada landasan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, sebagai upaya menghidupkan kembali identitas kultural yang sudah lama terpendam, termasuk juga memberi peluang lagi keterlibatan Bundo Kanduang, untuk berkontribusi pada upaya pembangunan Nagari, di dalam Perda No 9 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Nagari, dinyatakan bahwa peranan Bundo Kanduang sebagai mitra pemerintahan Nagari, merupakan faktor penting yang tidak dapat dipisahkan dari unsur pemerintahan Nagari sekarang, melalui Perda tersebut, secara normatif memberi pengaruh kepada keberadaan kembali Institusi Bundo Kanduang yang identik sebagai representasi kaum perempuan di Minangkabau. Maka berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan dalam penelitian ini, adalah ’Bagaimana representasi serta peranan dari Institusi Bundo Kanduang dalam Sistem Pemerintahan Nagari Moderen’. 2. Pembahasan 1. Representasi Bundo Kanduang Dalam Tinjauan Historis Secara umum, Perempuan adalah bagian dari civil society yang merupakan unsur pokok dalam setiap perubahan baik sosial dan politik, Dalam tataran sistem Matrilineal di Minangkabau, secara normatif, keberadaan kaum perempuan atau biasa yang disebut dengan Bundo Kanduang, tidak dapat dipisahkan dari aspek sosial, ekonomi, budaya maupun politik, karena aspek tersebut telah memberikan kedudukan dan ruang tersendiri bagi perempuan Minang untuk berperan dalam setiap dimensi kehidupan masyarakat. Untuk mengetahui bagaimana representasi Bundo Kanduang di Ranah Minang dan bagaimana perannya dalam setiap perubahan sosial dan politik di Minangkabau, maka selanjutnya akan dipaparkan dalam Pembahasan ini. Sampai dengan hari ini, penamaan atau panggilang Bundo kanduang terhadap perempuan di Minangkabau, masih dipakai hingga sekarang. Menurut catatan sejarah, baik yang dilustrasikan dan diekspresikan lewat pepatah adat atau tradisi sejarah (Kaba) (Sjahmunir, 2006 : 201) serta cerita kepahlawanan (Tambo), panggilan Bundo Kanduang, berawal dari legenda masyarakat Minangkabau tentang keberadaan seorang Raja perempuan di istana Pagaruyung kala itu, yang sangat berpengaruh, yang ceritanya berkembang dari mulut ke mulut, atau ada versi lain yang mengatakan bahwa dahulu Minangkabau Bundo Kanduang adalah ibu dari seorang Raja yang bernama Dang Tuangku, untuk urusan kekuasaanya, Dang Tuangku bersandar pada kebijaksanaan ibunya ( Bundo Kanduang) sehingga Dang Tuangku sangat segan dan menghormati ’Ibu’ nya, sebagai perwujudan kendali sistem matrilineal yang menempatkan ’Ibu’ sebagai Bundo Kanduang yang lebih berkuasa ’Ambun Puro Aluang Bunian’ (pemegang, pemelihara kunci harta kekayaan kaumnya, sehingga diibaratkan sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang). Dalam’Kaba Cinduo Mato’, cerita tentang Bundo Kanduang, begitu melegenda di dalam budaya matrilineal masyarakat Minang sampai dengan hari ini, kepercayaan 2. Representasi Substantif Bundo Kanduang Sebelu Kemerdekaan Di awali pada masa sebelum kemerdekaan, kehidupan Nagari di Minangkabau sangat kental sekali dengan corak adat. Di masa itu, dikenal dengan pemerintahan adat tradisional, dengan konsep Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullau, unsur pimpinan pemerintahan menjalankan adat sebagai undang-undang yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara adat, yang berlaku hanya kententuan adat sebagai undang-undang yang merupakan hukum dalam kehidupan masyarakat Minang waktu itu. Dalam membuat produk hukum adat tersebut, sesuai dengan iklim sistem pemerintahan Nagari tradisional kala itu.Segala kebijakan di Nagari, terutama yang terkait dalam proses perumusan kebijakan terlebih dahulu harus dikonsultasikan kepada para Bundo Kanduang dari masing-masing persukuan yang ada, melalui suatu musyawarah adat untuk menentukan baik dan tidaknya kebijakan tersebut apabila diterapkan di Nagari, karena kehidupan di Nagari menyangkut kehidupan dari masingmasing suku dan kaum, maka segala kebijakan yang menyangkut setiap kaum, muaranya ada pada kebijakan Bundo Kanduang yang mewakili suku Fungsi dan peranan Bundo kanduang ketika itu, secara ideal telah dijelaskan sebelumnya diatas, dimana terkait 3 JURNAL PEMERINTAHAN DAN POLITIK VOLUME 1 No.1 JANUARI 2016 ISSN : 2502-0900 sebagai salah satu pelaku dalam sistem pemerintahan Nagari. Akibatnya menyebabkan kepentingan-kepentingan adat menjadi terpinggirkan. Melembagakan semua perangkat adat termasuk juga Bundo Kanduang menjadi sebuah institusi, tentu ketika itu hadirnya Institusi tidak terlepas sebagai alternatif kepentingan di tengah solusi yang ditimbulkan oleh pemerintahan Orde Baru. Bundo Kanduang kemudian secara resmi, tergabung dalam Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) pada tahun 1983. LKAAM sendiri dibentuk sebagai lembaga yang mengakomodir semua institusi-institusi adat dalam satu kesatuan, dan secara hirarkies jenjangnya berada pada tingkat propinsi hingga kecamatan, yang diorganisir dibawah pengawasan pemerintah Orde baru. Payung LKAAM dijadikan sebagai sarana yang bertujuan untuk menggabungkan prinsip-prinsip adat menjadi selaras dengan ideologi Pancasila (Renske Biezeveld, 2005: 224). Pada perjalanan selanjutnya justru ideologi negara sangat dominan berperan dalam pemerintahan di Minangkabau, sebaliknya pemerintah Orde Baru lebih mengakaomodir dan mengarahkan perangkat adat sebagai basis kekuatan politik Orde Baru di Ranah Minang. Eksistensi institusi Bundo kanduang setelah dilembagakan, juga menjadi bidikan politik Orde Baru sebagai sarana dalam memobilisasi kaum perempuan Minang untuk mendukung program pemerintah, karena dengan dilembagakannya Bundo kanduang menjadi sebuah institusi dalam satu bendera yang sama dengan perangkat adat lainnya, didalam naungan LKAAM tentu tidak bisa dielakkan bahwa tujuannya untuk memuluskan kepentingan pemerintahan. Peranan dari Institusi Bundo Kanduang secara garis besar tidak jauh berbeda peranannya dengan lembagalembaga kewanitaan bentukan Orde Baru, seperti contohnya Dharma Wanita, PKK, dan sebagainya. Basis program yang lebih menitikberatkan pada seputar urusan domestik kewanitaan. Institusi Bundo Kanduang, hanya disimbolkan sebagai basis matrilineal yang seolah tetap kokoh berdiri dan tidak luntur dalam perubahan zaman, padahal nyatakanya keberadaan Institusi Bundo Kanduang hanya dikooptasi dan menjadi alat legitimasi politik pemerintahan Orde Baru, sehingga berpengaruh dalam memarjinalkan peran dan fungsi Bundo Kanduang yang membuat sebagian besar peranan Bundo kanduang yang selama ini diyakini menjadi kehilangan esensi sesungguhnya. Proses kooptasi pemerintah ini benar-benar efektif, terbukti peran institusi Bundo Kanduang dominan hanya menjadi simbol dalam upacara-upacara adat dan seremonial tertentu yang seringkali diadakan oleh pemerintahan Orde Baru.Tindakan dan sikap kritis Bundo kanduang terutama dalam mengarahkan adat istiadat tidak dibutuhkan lagi mengingat semua elemen masyarakat harus tunduk dibawah kekuasaan Orde baru. dengan representasi mereka, pada setiap kegiatan proses politik di Nagari tradisional, Bundo Kanduang tidak dapat dipisahkan dengan unsur adat yang lainnya, karena semua akan saling terhubung satu sama lain, sehingga dikenal dengan istilah urang empat jinih ( orang empat jenis) yang terdiri dari ( Ninik Mamak, Alim Ulama, Cerdik Pandai dan Bundo kanduang ). Bisa dikatakan peranan Bundo Kanduang di ranah publik dan politik di Nagari pada masa itu, sangat besar sekali, seperti yang diungkapkan Tenner dan AA Navis (AA Navis, 1986 : 21), yang mengatakan bahwa, perempuan Minangkabau ditengah keluarga besar Matrilineal sangat berperan dan bertindak penting dalam proses pengambilan keputusan, suara perempuan sama dengan suara laki-laki dan setiap masalah wajib dibicarakan dan dimusyawarahkan secara bersama-sama. Dari hal tersebut sudah menjelaskan, bahwa kedudukan antara perempuan dan laki-laki di Minangkabau, terkait dalam proses politik di Nagari berada dalam posisi yang setara. Dapat diasumsikaan, representasi Bundo Kanduang pada masa pemerintahan Nagari tradisional, dapat dilihat dari dua fungsi peranan yang sifatnya internal dan eksternal, berikut ini : a. Peranan Eksternal a. Sebagai Transformasi Dalam Mengembangkan Nilai-nilai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. b. Mempunyai Hak Suara Dan Hak Veto Dalam Musyawarah. c. Sumber Rujukan Dalam Adat Istiadat b. Peranan Internal 1. Memegang Harta Pusaka Dalam Keberlangsungan Dan Kesejateraan Kaumnya. 3. Representasi Simbolik Bundo Kanduang di Masa Orde Baru : Proses Menjadi ’Institusi’ Ketika Orde baru berkuasa, dengan merubah tatanan nagari menjadi pemerintahan desa di Minangkabau melalui kebijakan UU No 5 tahun 1979, yang secara menyolok menghendaki modernisasi dan birokratisasi pemerintahan desa, negaranisasi (negara masuk ke desa) dan marginalisasi terhadap keragaman kesatuan masyarakat hukum adat. Banyak pihak menilai bahwa UU No. 5/1979 merupakan bentuk Jawanisasi atau menerapkan model desa Jawa untuk kesatuan masyarakat adat di Luar Jawa. Dengan sendirinya UU ini tidak mengakui lagi keberadaan Nagari, Huta, Sosor, Marga, Negeri, Binua dan yang lain-lain yang umumnya berada di luar Jawa .(Sutoro Eko, 2005 : 26) Semua kearifan lokal yang dipertahankan dan menjadi kultur adat di banyak daerah dan Minangkabau dari turun temurun berubah drastis sama sekali. Sruktur pemerintahan masyarakat yang awalnya berbasis pada komunitas adat lokal (self governing community) kemudian hilang dengan di gantikan pada sruktur pemerintahan yang lebih birokratis. Nilai-nilai adat, dan fungsi-fungsi dasar dari kepemimpinan masyarakat adat, menjadi hilang termasuk juga peran Bundo Kanduang 4. Representasi Formal Bundo Kanduang di Era Reformasi 4 JURNAL PEMERINTAHAN DAN POLITIK VOLUME 1 No.1 JANUARI 2016 Latar belakang kembali ke Nagari, berawal dari momentum otonomi daerah yang diawali dengan keluarnya UU No 22 Tahun 1999, dianggap merupakan kesempatan strategis untuk mewujudkan kembali keinginan tersebut, yang kemudian terealisasi melalui Perda Propinsi No 9 Tahun 2000 yang mengatur tentang pemerintahan Nagari sebagai landasan hukum dalam memperbaharui sistem pemerintahan politik lokal di Sumatera Barat yang bersandar kepada ideologi rumusan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Dengan adanya otonomi tersebut, berbagai peluang diciptakan dan dimunculkan, terutama untuk kembali memperkuat posisi partisipasi rakyat yang selama ini telah termarginalkan oleh politik Orde baru, termasuk juga proses penguatan partisipasi kaum perempuan dalam ranah politik, terkait dengan hal itu, apabila ruang otonomi dimaknai dalam kacamata gender, maka hal tersebut dapat dikatakan bahwa ’peluang otonomi’ merupakan sebentuk bangunan politik dimana posisi partisipasi antara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal menjadi setara (Pambudi, 2001:165).Termasuk juga peluang bagi kaum perempuan untuk ikut andil dalam proses tersebut. Dalam bingkai dan ruang otonomi tersebut, semakin memperluas tuntuntan peran Bundo kanduang di dalam pemerintahan Nagari dalam konteks era sekarang ini, Bundo Kanduang tidak hanya didaulat sebagai Institusi yang hanya bergelut pada pelestarian adat istiadat saja, tetapi secara langsung juga merambah pada bidang politik, khususnya sebagai mitra pemerintah Nagari dalam mengawasi jalannya pemerintahannya, serta bertujuan untuk melakukan berbagai konsolidasi dengan aparat pemerintahan serta masyarakat, terutama yang terkait dengan peningkatan pada program pemberdayaan kaum perempuan yang basisnya berada di Nagari, sesuai dengan tugas dan peranan dari karakteristik dari peran Bundo Kanduang seperti terdahulu. Pembaharuan dan perubahan sruktur politik di Minangkabau pasca Reformasi, merupakan salah satu bentuk proses menuju arah pembentukan karakter ideologi politik dan ideologi budaya tersebut, tujuannya selain memberikan jalan bagi keterlibatan dan partisipasi Bundo Kanduang dalam pemerintahan Nagari, tetapi bisa jadi sebagai upaya untuk mempertegas kembali bargaining position perempuan Minang, yang dinyatakan melalui peraturan formal dari PERDA Propinsi No 9 Tahun 2000, tentang peran Bundo Kanduang sebagai mitra pemerintahan Nagari dalam mengontrol terbentuknya pemerintahan Nagari yang efektif sesuai dengan rumusan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Peran dari Bundo Kanduang dalam kebijakan PERDA tersebut, diatur dan disesuaikan sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan begitu saja dalam proses pembangunan. Apabila dilihat, implementasi dari peraturan PERDA tersebut, dinyatakan melalui peran yang tercipta lewat keterwakilan Bundo Kanduang di BAMUS (badan musyawarah Nagari) dan di BMAS (badan musyawarah adat dan syarak) sebagai Lembaga-lembaga yang berwenang dalam menentukan setiap peraturan dan ISSN : 2502-0900 kebijakan di Nagari. Keterwakilan Bundo Kanduang di dalam lembaga tersebut disesuaikan dengan pasal yang telah diamanatkan, dan di harapkan dapat turut sehingga pada proses pengambilan keputusan. Adapun peranan dari Bundo Kanduang, yang diatur secara formal menurut PERDA No 9 Tahun 2000, dapat disorot melalui tugas dan wewenang dari representasi Bundo Kanduang melalu dua lembaga penting yang ada di Nagari, yaitu : a. BAMUS Nagari ( Badan Musyawarah ) Bundo Kanduang sebagai representasi dari kaum perempuan didalam sistem pemerintahan Nagari, mendapatkan kembali status dan berperan sebagai bagian dari masyarakat adat untuk menempatkan perwakilannya dalam lembaga politik pada pemerintahan di Nagari. Representasi Bundo Kanduang pada lembaga politik di Nagari, merupakan salah satu contoh konkrit untuk menyampaikan gagasan bahwa sesungguhnya pemerintahan Nagari memiliki peran besar untuk menciptakan politik kesetaraan dan meningkatkan partisipasi politik perempuan sebagai salah satu alternatif untuk pemberdayaan politik para Bundo Kanduang. Posisi yang setara tersebut dapat tercapai apabila ada keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan, ketika keseimbangan itu telah terjadi, maka peluang untuk saling menindas akan menjadi lebih kecil, maka kepentingan perempuan tidak akan banyak dipinggirkan demikian juga laki-laki (Ratnawati, 2004:297). Adapun peranan dari Institusi Bundo Kanduang secara formal, melalui representasinya yang berkedudukan di BAMUS sebagai penyelenggara Pemerintahan Nagari, yang diatur dapat dilihat pada PERDA pada Pasal 19 tentang Peranan dari Bundo, adalah sebagai berikut: a. Memproses pengangkatan dan pemberhentian Wali Nagari b. Mengusulkan pengukuhan, pengangkatan dan pemberhentian Wali Nagari c. Bersama Wali Nagari menetapkan atau membentuk Peraturan Nagari ; d. Bersama Wali Nagari menetapkan anggaran pendapatan belanja Nagari ; e. Bersama dengan Lembaga Kerapatan Adat Nagari mengayomi adat istiadat yang berlaku dalam Nagari ; f. Melaksanakan Pengawasan terhadap : 1. Pelaksanaan Peraturan Nagari (PERNA) dan Peraturan perundang-undangan lainnya 2. Pelaksanaan Keputusan Wali Nagari. 3. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Nagari 4. Kebijakan Pemerintahan Nagari 5. Melaksanakan Kerja sama yang dilakukan oleh Nagari 6. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintahan Daerah terhadaprencana perjanjian yang akan dilaksanakan apabila menyangkut kepentingan di Nagari 7. Bersama Lembaga Kerapatan Adat Nagari menetapkan fungsi, dan pemanfaatan harta kekayaan Nagari untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan anak Nagari. 8. Menerima pertanggunga jawaban Wali Nagari 5 JURNAL PEMERINTAHAN DAN POLITIK VOLUME 1 No.1 JANUARI 2016 ISSN : 2502-0900 yaitu: yang terdiri dari Ninik Mamak, Cerdik Pandai, Bundo Kanduang, Alim Ulama, dan Pemuda. 9. Tugas-tugas dan wewenang lainnya di atur dengan keputusan Bupati 10. Dalam situasi dan kondisi yang mendesak. Maka Bundo Kanduang dapat menunjuk dan menetapkan pejabat sementara Wali Nagari dengan masa jabatan selama 6 bulan. 5. Pergeseran Representasi Bundo Kanduang : Dari Representasi Substantif ke Representasi Formal Deskriptif. Representasi dalam bentuk perwakilan atau parlemen merupakan institusi minimal dalam demokrasi, terutama dalam konteks masyarakat yang berskala besar. Lembaga perwakilan memungkinkan keterwakilan dan akses masyarakat maupun kelompok-kelompok masyarakat yang sangat beragam dalam proses politik, untuk mengakomodasi kepentingan menjadi kebijakan publik. Institusi perwakilan sekecil apapun mempunyai fungsi sebagai jembatan antara pemerintah dan rakyat (Sutoro Eko, 2006 : 216). Dalam logika adat Matrilineal, sangatlah mungkin perempuan dan laki-laki sama pentingnya dalam struktur sosial dan politik Minangkabau. Karena beberapa kewenangan yang diberikan kepada perempuan, merupakan dasar keterwakilan bagi perempuan untuk berperan dalam struktur politik di Nagari, serta berpartisipasi dalam pengelolaan aset di Nagari, karena peranan aktif perempuan di dalam formasi politik Minangkabau, idealnya harus bersifat integral dalam setiap proses pengambilan keputusan dan kebijaksanaan di dalam Nagari. Dari awal diaktifkanya kembali Institusi Bundo Kanduang, tidak terlepas dari program pemerintahan Sumatera Barat untuk membangun lagi corak kepemimpinan lokal dengan kearifan tradisionalnya.Perubahan sruktur pemerintahan, memang telah membawa perubahan yang sangat besar sekali terhadap kedudukan dan peran Bundo Kanduang di Minangkabau. Dalam skala luas, kehadiran dari institusi Bundo Kanduang, tidak hanya mewakili keberadaan dari kaum perempuan yang ada di Nagari secara keseluruhan tetapi juga dapat menjadi pintu masuk sebagai basis penyadaran dan peningkatan potensi yang dimiliki oleh kaum perempuan. Spirit kembali ke Nagari, memang telah membuka ruang bagi kaum perempuan Minangkabau untuk ikut terlibat dalam mengelola asetaset nagari, termasuk keikutsertaan kaum perempuan dalam proses politik, Walaupun secara normatif, partisipasi Bundo Kanduang di Nagari, terlihat tidak dari representasi mereka, di BAMUS dan BMAS Nagari Keterwakilan Bundo Kanduang yang duduk di dalam pemerintahan di Nagari, sejauh ini, peran yang mereka lakukan bisa dikatakan sebatas aktivitas sosial dan hanya menunggu perintah, kenyataannya, ketika ingin memfungsikan kembali peran Bundo Kanduang, masih sedikit sekali Bundo Kanduang yang benar-benar sangat memahami kualitas mereka di Nagari, sedangkan sebagian besar Bundo Kanduang lainnya ketika ditanya, mengaku masih belum memahami secara penuh peran dan tugas mereka semenjak kembali Nagari. Hadirya Institusi Bundo Kanduang, belum bisa memberikan banyak kontribusi ditengah-tengah hambatan yang menyebabkan kevakuman Institusi selama ini, termasuk juga keterwakilan dari Bundo Kanduang yang duduk di b. BMAS Nagari ( Badan Musyawarah Adat Basandi Syarak ) BMAS adalah salah satu lembaga Nagari yang paling urgent mengurusi masalah pertimbangan adat dan syarak, lewat berbagai pertimbangan dan kebijakan kepada Wali Nagari dan BAMUS supaya tetap konsisten menjaga dan memelihara penerapan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah di Nagari dalam menerapkan peraturan adat di Nagari. Sebagai Badan Pertimbangan Adat dan Syarak Nagari, lembaga BMAS juga berhak untuk menyusun dan mengusulkan pendapat atau peraturan kepada Wali Nagari dan BAMUS, terhadap masalah atau seputar kebijakan yang tidak terlepas dari nilai-nilai Adat dan Syarak untuk di terapkan di Nagari Adapun peranan dari Institusi Bundo Kanduang, juga melalui keterwakilan mereka di BMAS, adalah sebagai berikut : 1. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintahan Nagari mengenai pelaksanaan pelestarian dan pengembangan nilai-nilai adat dan syarak. 2. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintahan kabupaten terhadap rencana perjanjian yang akan dilaksanakan apabila menyangkut dengan kepentingan Nagari. 3. Bersama Lembaga Adat Nagari menetapkan kedudukan, fungsi dan pemanfaatan harta kekayaan Nagari, untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan anak Nagari (penduduk Nagari). 4. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintahan Nagari terhadap penyelesaian kasuskasus adat dan syarak Nagari. 5. Memberikan saran dan pertimbangan kepada BAMUS Nagari agar dapat meminta pertanggung jawaban Wali Nagari dalam hal pelaksanaan, perlindungan dan pengayoman terhadap peletarian nilai-nilai adat dan syara’. 6. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintahan Nagari yang sesuai menurut pandangan adat dan ‘syara’. Berbeda dengan BAMUS, yang anggotanya dipilih melalui semacam jalur pemilu yang dilakukan melalui jorong-jorong Nagari, pengurus dan anggota dari BMAS, justru dipilih melalui tahap rekomendasi adat melalui jalur KAN (Kerapatan Adat Nagari), sebagai pihak yang berwenang. Dalam menetapkan anggota dari BMAS, pihak KAN bersama unsur-unsur adat yang ada di Nagari, kemudian mengadakan musyawarah secara mufakat menetapkan siapa-siapa saja yang berhak menjadi anggota dari BMAS yang dipilih berdasarkan keterwakilan dari masing-masing suku induk di Nagari 6 JURNAL PEMERINTAHAN DAN POLITIK VOLUME 1 No.1 JANUARI 2016 BAMUS atau pun BMAS Nagari, sepertinya indikasi untuk mengikutsertakan Bundo Kanduang dalam kepengurusan kelembagaan tersebut, hanya sebagai upaya bentuk perwakilan deskriptif semata. 3. Kesimpulan Representasi Formal Institusi Bundo Kanduang di Nagari yang bertujuan sebagai basis pemberdayaan adat bagi Bundo Kanduang, dalam dinamikanya semenjak kembali pada era pemerintahan Nagari bisa dikatakan mengalami kemunduran peran dan fungsinya, selain kevakuman dan kurangnya perhatian dari stokeholder setempat, dilema culture shock yang dialami sebagian besar kepengurusan ISSN : 2502-0900 [7] Rafni Al & Suryanef. 2005.”Kembali ke Nagari Kembali ke Identitas dan Demokrasi Lokal’.dalam (ed) Jamil Gunawan dkk. Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal; Jakarta: LP3ES. [8] Salim, Agus . 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta : Tiara Wacana. [9] Sjahmunir. 2006.”Kedudukan Wanita Dalam Kepemilikan Tanah Ulayat Di Minangkabau”, (ed) Alfan Miko. Pemerintahan Nagari Dan Tanah Ulayat . Padang : Andalas University Press. [10] Tjandraningsih , Indrasari. 2006.”Buruh Perempuan Menguak Mitos”, dalam Dr. Irwan Abdullah (ed), Sangkan Paran Gender, Yogyakarta : Pustaka Pelajar & Pusat Penelitian Kependudukan. UGM. Bisa dikatakan representasi Bundo Kanduang sebagai mitra pemerintahan nagari, mutlak berada dalam tataran deskriptif, Perda Nomor 9 Tahun 2000 yang menjamin dan mengatur representasi dan peran Bundo Kanduang, dalam struktur formal pemerintahan Nagari, oleh banyak pihak hanya dijadikan sebagai syarat saja untuk memunculkan representasi dan peran Bundo Kanduang secara kelembagaan, sehingga pada perjalanan selanjutnya representasi formal Bundo Kanduang pada era sekarang bisa disimpulkan masih sangat jauh untuk menyentuh ranah representasi Bundo Kanduang secara substansial Bundo Kanduang kenagarian hingga saat ini masih belum bisa teratasi dengan baik. sehingga membuat penguatan kualitas kepemimpinan dari Bundo Kanduang sebagai mitra pemerintahan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Daftar Pustaka [1] Asmawi. 2006.’Strategi Peningkatan Mutu Pelayanan Pemerintahan Nagari’.(ed) Alfan Miko. Pemerintahan Nagari Dan Tanah Ulayat. Padang: Andalas University Press.. [2] Blackwaood, Evelyn,. 1995. Senior, women, Model mothers, And dutiful wives, Managing gender contradictions in a Minangkabau Village. Dalam Bewitching Women In Pious Men, Gender Body Politics In Southeast Asia. (ed ) Aiwang Ong and Micheal G. Peletz. California : Universitity california Press. [3] Biezeveld, Renske. 2005. ’Ragam Peran Adat di Sumatera Barat’. Dalam (ed) James. S. Davidson dkk. Adat Dalam Politik Indonesia ; Jakarta : Obor. [4] Elfira, Mina, 2006. Minangkabau “yang lain”: Negosiasi Matrilineal, Islam dan Identitas Minangkabau. Dalam Penelitian Tahun 20022005Ulayat . Padang : Andalas University Press. [5] Murti W, Sari . 2001.”Perempuan Dan Politik Dalam Otonomi Di Era Otonomi Daerah ( Kajian Akademis Terhadap Peran Politik Perempuan). Yogyakarta : Tim IP4 [6] Pambudi. S, Hiraman, 2001.“Otonomi Desa : Pintu Keadilan Gender Atau Dominasi Baru Rezim Patriarki”, Yogyakarta :Tim : IP4-LAPPERA & Asia Foundation. 7