Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Predica Verbum: Jurnal Teologi dan Misi Vol. 2, No. 2 (2022): 133-150 © The Author(s) 2022 https://ejournal. sttii-yogyakarta. ac. id/index. php/predicaverbum/index ISSN: 2798-1444 (online), 2798-1495 (print) Published by: Sekolah Tinggi Teologi Injili Indonesia (STTII) Yogyakarta Received: 2 November 2022, Accepted: 27 December 2022, Publish: 31 December 2022 Penerapan Syarat-Syarat Bagi Gembala Jemaat Berdasarkan Kitab 1 Timotius 3:1-7 Yoel Benyamin Sekolah Tinggi Teologi Ekklesia Pontianak Email: yoelstii@gmail.com Abstact The requirements as a church pastor in the book of 1 Timothy 3:1-7 are very relevant to the life of the church today in determining the pastor of the church. This application by the local church is very useful in finding a qualified church pastor according to Bible values. This article appears based on text research conducted with the method of grammatical study which finally found biblical truth about the requirements for church pastors. This grammatical study uses library research methods that rely on scientific references, credible books and online articles. The author finds that the values that Paul conveyed to Timothy can be a reference for appointing a pastor in the local congregation. The implication obtained based on text research is that a church pastor must comply with the conditions taught by the apostle Paul, physically and spiritually. Keywords: Pastor, Congregation, Spiritual, Timothy. Abstrak Syarat-syarat sebagai pendeta jemaat dalam kitab 1Timotius 3:1-7 sangat relevan bagi kehidupan gereja masa kini dalam penetapan pendeta jemaat. Penerapan tersebut oleh gereja lokal sangat bermanfaat dalam menemukan seorang pendeta jemaat yang berkualitas sesuai nilainilai Alkitab. Artikel ini muncul berdasarkan penelitian teks yang dilakukan dengan metode studi gramatikal yang akhirnya menemukan kebenaran biblikal tentang syarat bagi pendeta jemaat. Studi gramatikal ini dengan metode penelitian pustaka yang mengandalkan referensi-referensi ilmiah, buku maupun artikel online kredibel. Penulis menemukan bahwa nilai-nilai yang disampaikan Paulus kepada Timotius dapat menjadi acuan untuk menetapkan seorang pendeta dalam jemaat lokal. Implikasi yang didapat berdasarkan penelitian teks ialah seorang pendeta jemaat harus sesuai dengan syarat-syarat yang diajarkan rasul Paulus, secara jasmani dan rohani. Kata kunci: Pendeta, Jemaat, Rohani, Timotius. 133 Pendahuluan Seringkali terdengar keluhan jemaat dari beberapa gereja mengenai kelakuan dan kehidupan pendeta jemaat, baik yang positif maupun yang negative. Disadari atau tidak, kehidupan pendeta jemaat menjadi sorotan umum maupun jemaat, mulai dari kehidupan pribadi pendeta, keluarga, komitmen, konsistensi, keuangan, moralitas dan lain sebagainya. Berkenaan dengan itu, dalam menetapkan seorang pendeta jemaat ada banyak hal yang harus dipertimbangkan oleh gereja antara lain, pendidikan, latarbelakang, kompetensi, motivasi, pengalaman, usia dan riwayat hidup. Gilbert Beers mengatakan: “meskipun demikian, motif kita melayani Allah dan orang lain jangan sekali-kali untuk memperoleh sesuatu dari pelayanan itu. Jika itu yang menjadi motif kita, berarti kita tidak memberi dengan hati yang bersih, dan Tuhan tidak akan memberi kita upah dengan berkat yang penuh.”1 Untuk hal ini kadang kala luput dari system seleksi yang dilakukan gereja dalam menetapkan pendeta jemaat. Ada faktor lain yang mempengaruhi pertimbangan gereja dalam memutuskan sesuatu kebijakan pengangkatan pendeta jemaat. Factor gaya hidup hamba Tuhan juga perlu dicermati agar tidak menjadi batu sandungan jemaat. Waharman menyelidiki teks dalam Timotius tersebut dengan mengatakan: “Gaya hidup seorang pelayan Tuhan di dalam Gereja akan menjadi kesaksian hidup untuk memperlihatkan kepada orang yang berada disekitar Gereja.”2 Tulisan ini melihat bahwa gaya hidup tersebut muncup karena beberapa syarat kependetaan dalam jemaat belum terpenuhi. Oleh karena itu menekankan syarat-syarat bagi seorang pendeta jemaat amatlah penting daripada menyoroti gaya hidup semata. Penulis sepakat dengan Bernike Sihombing yang menekankan bahwa sangat penting karakter seorang hamba Tuhan dalam melayani. “Seorang hamba Tuhan akan menjadi batu sandungan seperti di dalam Gereja dan sekitarnya akibat kurangnya memahami pentingnya karakteristik kepribadian kehidupan dan pelayanan seorang hamba Tuhan.”3 Namun apa yang disampaikan Bernike tersebut hanyalah sebuah akibat dari system penetapan hamba Tuhan yang kurang kredibel dan kompeten. Oleh sebab itulah penting menetapkan syarat-syarat bagi seorang Pendeta jemaat agar tidak menjadi batu sandungan, khususnya berdasarkan 1Timotius 3:1-7. Ulasan terhadap kitab Timotius ini dibahas juga oleh Stefanus dan Jusuf dengan mengatakan “Paulus langsung membicarakan nama baik yang seharusnya dimiliki oleh penilik jemaat, supaya anggota jemaat jangan diumpat karena dia.”4 Tidak ada yang diharapkan oleh banyak orang dalam jemaat atas Pendetanya selain bersih namanya di dalam dan di luar jemaat. Sebab itu, apa yang dikatakan oleh Otniel adalah penting, bahwa “kecakapan seorang penilik jemaat harus dapat terlihat melalui syarat yang diajukan Paulus dalam bagian ini agar dapat menjadi perhatian bagi Timotius dalam mengangkat seorang penilik jemaat,”5 dan juga hendaknya menjadi perhatian bagi gereja-gereja dalam menetapkan jabatan Pendeta dalam jemaat. 1 V. Gilbert Beers, Pelayanan Dan Pertumbuhan Rohani (Malang: Gandum Mas, 2002), 961. Waharman, “KARAKTERISTIK SEORANG PELAYAN TUHAN BERDASARKAN 1 TIMOTIUS 3:1-7,” Manna Raflesia 1, no. Oktober (2017): 1–7. 3 Bernike Sihombing, “Kepribadian Dan Kehidupan Hamba Tuhan Menurut 1 Timotius 3:1-13,” Kurios: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristenku 2, no. 1 (2014): 1–13. 4 Jusupf Leo Stefanus Dully; Pelleng, “KRITERIA PEMIMPIN ROHANI : BERDASARKAN 1 TIMOTIUS 3 : 1-13,” PENDAR CAHAYA: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran 2, no. 3 (2022): 1–13. 5 Otniel S. Laoly, “KUALIFIKASI GEMBALA SIDANG BERDASARKAN 1 TIMOTIUS 3:1-7 DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN JEMAAT,” PROVIDENSI: Jurnal Pendidikan dan Teologi 4, no. 2 (2021): 1–7. 2 134 Kitab 1Timotius 3 umumnya menjadi pedoman rohani untuk mengangkat seorang pendeta jemaat. Ada beberapa factor mengapa mengangkat seorang pendeta jemaat harus dilakukan secara selektif. Pertama, karena pendeta jemaat adalah seorang manejer yang “dituntut melaksanakan seluruh fungsi administratif.”6 Dia harus memiliki kemampuan managerial atas pengelolaan gereja serta menata pekerja di bawahnya dengan baik. Kedua, karena pendeta adalah seorang yang harus memberi teladan rohani bagi jemaat. Sehingga dari seorang pendeta jemaat “dituntut syarat-syarat susila yang lebih tinggi daripada anggota jemaat lain.”7 Ketiga, karena pendeta jemaat adalah tokoh yang berpengaruh dalam masyarakat luas. Banyak pendeta jemaat yang diperhitungkan oleh pejabat atau politisi dengan alasan pendeta jemaat adalah pemimpin atas suatu umat, yang mana pendeta jemaat juga berperan aktif dalam membina manusia untuk hidup dengan benar sesuai hukum di negeri ini. Dengan demikian seorang pendeta juga harus terbuka dengan perkembangan kemasyarakatan di luar lingkungan gereja. Dia harus melek sosial dan peka dengan kemajuan zaman dan iptek, sehingga kemampuan, kapabilitas dan pengetahuan seorang pendeta jemaat sedapat mungkin melebihi dari jemaat yang lainnya. Penelitian ini dilakukan dengan semangat untuk menemukan ketentuan Alkitabiah bagi seorang pendeta jemaat yang dapat diterapkan bagi semua denominasi gereja. Setiap gereja memiliki tata aturan untuk menetapkan seorang gembala atau pendeta jemaat, berdasarkan konsensus yang dimiliki oleh gereja tersebut. Segala persyaratan menjadi pendeta jemaat diatur oleh denominasi masing-masing gereja dan tidak ada aturan baku yang dapat diterapkan pada gereja lainnya. Metode Penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian kualitatif deskriptif yang dilakukan dengan studi kepustakaan yang terkait dengan teks 1Timotius 3:1-7 yang “mengumpulkan dari literatur-literatur yang ada kaitannya dengan topik penelitian.”8 Kemudian melakukan eksegesa dan studi gramatikal. Penelitian ini terfokus pada bagaimana syarat-syarat bagi seorang pendeta jemaat yang patut dilantik dalam jabatan rohani untuk tugas penggembalaan jemaat. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini ialah penelitian deskriptif melalui kajian pustaka dan penyelidikan teks kitab suci secara mendalam. Untuk eksegesis teks dalam surat 1Timotius 3:1-7, penulis menggunakan metode biblikal-gramatikal yakni memahami teks sebagaimana yang dimaksud oleh teks. Kemudian menggali makna kata berdasarkan rumus gramatikal Bahasa Yunani sehingga diperoleh penafsiran biblika yang kemudian dirumuskan secara konseptual. Beberapa narasi nasihat Paulus dirumuskan untuk menemukan syarat-syarat yang memadai bagi penetapan seorang pendeta jemaat lokal untu menunjang pelayanan Kristen masa kini. Hasil Dan Pembahasan Definisi Pendeta (Teori Kependetaan) / Pandangan Teolog Secara teologis istilah Pendeta tidak ditemukan dalam Alkitab, sehingga para Teolog sulit memaparkan definisi “Pendeta” secara tepat. Hal yang tepat untuk menggambarkan istilah Pendeta jemaat dalam Alkitab adalah Penilik atau juga Gembala. 6 Edgar Walz, Bagaimana Mengelola Gereja Anda (BPK Gunung Mulia, 2006), 8. M.Born-Storm, Apakah Penggembalaan Itu? (BPK Gunung Mulia, 2005), 35. 8 Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: Unpar Press, 2006). 7 135 Edgar Walz mengatakan istilah Pendeta dimaksud dapat disamakan dengan pengertian sebagai Penilik jemaat, yang sangat gamblang dijabarkan oleh rasul Paulus dalam 1Timotius 3:1-7. “Pendeta yang terpanggil sebagai pelayan firman juga berperan sebagai penilik di gereja tempat ia melayani.”9 Baik istilah Pendeta ataupun Penilik memiliki tugas pokok dan fungsi yang sama dalam Tubuh Kristus karena keduanya “memberikan tekanan pada tanggung jawab kepemimpinan dalam memelihara para pengikutNya bagi pengembangan dan perkembangan gereja.”10 Sesungguhnya gembala jemaat secara komprehensif wajib memberikan perhatian kepada jemaat-jemaat yang dilayani sehingga padanya melekat suatu tanggung jawab atas jiwa-jiwa yang dipercayakan Tuhan. Dengan demikian ada keterikatan antara Pendeta dan gereja atau jemaat yang dilayani sehingga penetapan jabatannya harus melalui proses dari pemilihan sampai peneguhan oleh gereja secara organisasi. Edy dan Daud mengatakan: “Rasul Paulus menasihatkan Timotius dan jemaat agar tugas ini tidak diberikan kepada sembarang orang. Memang melayani Tuhan adalah suatu panggilan terhormat dan juga indah (1 Tim. 3:1). Maka, harus ada syarat atau kriteria yang khusus untuk orang yang dipilih ke dalam pelayanan ini.”11 Ini harus dilakukan secara selektif dan hati-hati karena betapa mulianya jabatan tersebut di hadapan manusia dan di hadapan Allah. Paul Enns melihat bahwa istilah Pendeta, sekalipun tidak bersumber dari Alkitab, dapat dilantik oleh Penilik atau Presbiter, “seorang penilik / bishop diwariskan otoritas untuk menahbiskan pendeta atau imam.”12 Meskipun Enns mengatakan bahwa Pendeta dilantik oleh Penilik namun selanjutnya pendeta atau imam ini bertanggung jawab dalam pelayanan rohani umat, penggembalaan dan tugas lainnya. Sebagaimana umumnya tugas seorang pendeta dalam jemaat juga dapat dilihat sebagai tugas penggembalaan atau penilik maka pendeta jemaat harus memenuhi syarat yang ditetapkan gereja untuk dapat mengawasi jemaat sedemikian rupa supaya tidak ada yang terhilang dari umat Allah Menginginkan Pekerjaan yang Indah Paulus menyadari sudah pasti banyak orang berpikir untung dan ruginya dalam sebuah pekerjaan pelayanan gereja, sehingga pasti ada yang berpikir jika tidak menguntungkan maka pekerjaan tersebut dianggap rendah dan cenderung tidak diinginkan sebagai pilihan. Mengingini pekerjaan yang indah merupakan keinginan semua orang. Otniel juga mengatakan: “dilihat dari sifatnya pekerjaan ini adalah sangat berharga, maka layaklah syarat-syarat yang ada dalam ayatayat selanjutnya disampaikan dengan tegas oleh Paulus.”13 Namun mengapa Paulus katakan pelayanan penggembalaan adalah pekerjaan yang indah? Menzies mengatakan: “para pendeta itu harus memimpin seluruh Jemaat dalam tugas menjangkau dunia.”14 Memenangkan jiwa-jiwa bagi Tuhan adalah merupakan keinginan yang harus dimiliki seorang pendeta atau gembala jemaat. Dalam kitab Bahasa Inggris New International Version, kata menginginkan itu ditulis desires15 9 Edgar Walz, Bagaimana Mengelola Gereja Anda, 7. John Virgil, Kompleksitas Penggembalaan Gereja (Jakarta: Yayasan Kasih Imanuel, 2001), 89. 11 Eddy Banne and Daud Manno, “Menerapkan Makna Ibadah Menurut 1 Timotius Di Gereja Pantekosta Di Indonesia Jemaat Hosana Keerom Barat,” EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani 4, no. 1 (2020): 57–70. 12 Paul Enns, The Moody Handbook of Theology (Malag: Gandum Mas, 2006), 444. 13 Laoly, “KUALIFIKASI GEMBALA SIDANG BERDASARKAN 1 TIMOTIUS 3:1-7 DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN JEMAAT.” 14 William W Menzies, “Doktrin Alkitab” (Malang: Gandum Mas, 2001), 183. 15 Holy Bible, "1 Thimoty. (New York: Amercian Bible Society, 2015). 10 136 yang berarti “hasrat, nafsu, keinginan.”16 Rasul Paulus tidak pernah memandang pekerjaan sebagai penilik atau pendeta jemaat adalah pekerjaan rendah, melainkan ia memandang tinggi jabatan pendeta atau penilik jemaat, bahkan menyebut pendeta atau penilik sebagai tiang penopang dan dasar kebenaran di dunia (1Tim.3:14). Sehingga pengertian demikian dapat dijelaskan bahwa seorang yang akan menjadi pendeta atau gembala jemaat haruslah memiliki tekat yang kuat dan menggebu-gebu. Kata menginingkan dalam teks 1Timotius 3:1 yakni ἐπιθυμεῖ dalam Bahasa Yunani berarti “strong impulse toward something desire”17 atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukan/bertindak. Dorongan kuat inilah yang penulis analisa sebagai dorongan dari Allah atau panggilan suci dari Allah untuk sebuah pelayanan. Sehingga, menginginkan pekerjaan yang indah dapat berarti seorang pendeta memiliki panggilan suci dari Allah untuk melayani. Dalam buku Exegetical Dictionary of the New Testament, kata ini memiliki arti sebagai “spirit, courage, sense, passion”18 (semangat, keberanian, rasa, gairah). Persepsi yang normal dari pemikiran Kristen bahwa seorang yang menginginkan jabatan pelayanan gerejawi harus memiliki antusias dan kecintaannya terhadap pelayanan yang tampak dalam semangat tinggi dan gairah dalam pelayanan. Kata καλοῦ “(kalou)”19 dalam Bahasa Yunani berbentuk tunggal, yang berarti Paulus menekankan hal yang indah dimaksud hanya satu / tunggal, tidak jamak. Dengan demikian seorang pendeta jemaat seharusnya tidak memelihara banyak keinginankeinginan, apalagi keinginan yang bersifat duniawi, pemuasan hawa nafsu dan kepentingan diri sendiri. Memperbanyak keinginan duniawi membuat seorang pendeta jemaat tidak fokus memikirkan penggembalaan jemaat karena perkara-perkara duniawi selalu membayangi kehidupannya, mulai dari keinginan pribadi, kebutuhan hidup, kebutuhan keluarga, tuntutan gaya hidup, serta keinginan aktualisasi diri. Ketulusan hati seorang Pendeta dalam pelayanan dilihat dari fokus yang dimiliki dalam dirinya terhadap pekerjaan Tuhan. Janganlah kekuatiran seorang pendeta jemaat membuat pekerjaannya terganggu dan tidak tentu arah. Oleh sebab itu seorang pendeta harus “memiliki keyakinan akan pekerjaan Allah menetapkan dirinya sendiri untuk menjadi gembala, seorang Pendeta misalnya, ia menjadi Pendeta hanya karena pemilihan Allah.”20 Bukankah Yesus mengajarkan sebagai hamba Tuhan tidak boleh kuatir tentang apapun juga (Mat. 6:33), jadi biarlah Pendeta jemaat konsisten dalam mengurus jiwa manusia dengan penuh kepedulian. Dalam hal inilah seorang Pendeta jemaat akan teruji motivasinya dalam melayani Tuhan, apakah murni untuk pekerjaan Tuhan atau ada dorongan keinginan duniawi. Sebagai pemimpin rohani atas jemaat Tuhan, motivasi ini dapat memajukan maupun mencelakakan jemaat atau gereja Tuhan. David Hocking berkata: “Pemimpin terbaik memiliki hati seorang hamba, dia tidak pilih kasih, tetapi belajar untuk menjadi hamba untuk semua.”21 Dengan kata lain seorang pendeta jemaat tidak memiliki motivasi 16 John M. Echols; Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarata: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), 177. 17 “BibleWork 10,” n.d. 18 Horst Balz & Gerhard Schneider, ed., Exegetical Dictionary of The New Testament, vol. 2. (Grand Rapids: William B.E Publishing Co, 1994), 27. 19 “BibleWork 10.” 20 E.P. Gintings, Penggembalaan Hal-Hal Yang Pastoral (Bandung: Jurnal Info Media, 2009), 63. 21 David Hocking, Rahasia Keberhasilan Seorang Pemimpin (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2003), 133. 137 lain dalam melayani selain dorongan kasih yang tulus akan Allah dan kasih kepada jiwajiwa yang dilayaninya. Seorang pendeta jemaat tidak perlu memusingkan diri dengan banyak kemelut dan persoalan duniawi. Aritonang mengatakan: “Tugas pendeta adalah memberitakan firman dan melayankan sakramen, dan bersama dengan penatua mengawasi kehidupan jemaat, dan kalau perlu menegur warga gereja yang menyimpang dari ajaran dan peraturan gereja.”22 Untuk tugas mulia atau pekerjaan indah ini sudah pasti memerlukan waktu dan perhatian Pendeta secara sepenuh hati. Membebaskan diri dari keinginan dan motivasi akan keuntungan duniawi adalah keharusan yang tak dapat ditawar sebagai syarat kependetaan. Pendeta yang tidak Bercacat Ketentuan yang wajib terjadi dalam pribadi seorang pendeta ialah tidak bercacat dalam kehidupan kristennya. Semua jemaat pasti sepakat dan tidak menginginkan bahwa pendeta mereka adalah seorang yang bercacat secara moral karena kehidupan yang demikian kontras dari kebenaran firman Tuhan. 1Timotius 3:2 mengamanatkan seorang hamba Tuhan harus tidak memiliki celah dari perilaku yang buruk. A Duane Litfin mengatakan: “He must be blameless in his behavior”23 (Dia harus tidak bersalah dalam kelakuannya). Artinya tidak ada catatan perbuatan yang dilihat orang yang bisa membuat dia jatuh atau direndahkan atau dipermalukan orang lain. Sebab jika ada catatan tentang perbuatan tidak baik pada seorang hamba Tuhan, maka dia dianggap tidak berlayak dalam kedudukan penggembalaan umat. Secara etimologi, kata ἀνεπίληπτον (1 Tim. 3:2 BYZ) dapat diartikan “moral conduct blameless”24 (perilaku moral tanpa cela). Artinya ini menunjukan ciri kata sifat bagi seorang hamba Tuhan harus bersih serta tidak ada celah dia untuk dipersalahkan atau dipermasalahkan, dan sifat tidak bercacat ini dijabarkan dalam beberapa bentuk perilaku yang sehat bagi hamba Tuhan pada kalimat selanjutnya dalam 1Timotius 3:2 ini. Alkitab Perjanjian Baru interlinier menerjemahkan kata ἀνεπίληπτον ini sebagai “yang tidak perlu dicela.”25 Sehingga jelas sekali bahwa Pendeta harus benar benar bersih dalam kehidupannya, jemaat akan menilai, masyarakat sekitar juga pasti memperhatikan. Dapat Menahan Diri Seorang Pendeta harus memiliki karakter yang baik dan menjalankan nilai-nilai hidup yang rohani dan sehat. Tulus Tu’u mengatakan: “Perilaku mempengaruhi dan membentuk karakter. Karakter mempengaruhi dan membentuk kehidupan, dan itulah hidup seseorang. Dengan demikian, bagaimana hidup seseorang, ditentukan oleh keyakinan awalnya, sebagai titik berangkatnya. Hal itu akan berpengaruh bagi karakter hidupnya.”26 Karakter seorang Pendeta harus terbentuk sejak awal sebelum menduduki jabatannya agar dapat menahan diri dari godaan iblis dan dunia. 22 Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Sekitar Gereja (Jakarata: BPK Gunung Mulia, 2008), 68. 23 A Duane Litfing, “1Timothy,” in The Bible Knowledge Commentary New Testament (Colorado: Dvid C. Cook, 1984), 736. 24 “BibleWork 10.” 25 Hasan Sutanto, ed., Perjanjian Baru Interlinier, vol. 5 (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2019). 26 Tulus Tu’u, Pemimpin Kristiani Yang Berhasil (Bandung: Bina Media Informasi, 2010), 29. 138 Kata νηφάλιον dalam Bahasa Yunani memiliki arti “temperate in the use of alcoholic beverages, sober, clearheaded, self-controlled”27 (mengendalikan diri dalam minuman beralkohol, sadar, berpikiran jernih, mengendalikan diri). Kata νηφάλιον lebih tepat diterjemahkan sebagai “waspada”28 yang menekankan dan mengingatkan seorang hamba Tuhan agar selalu sadar dan waspada dalam tindak tanduk dan tutur katanya. Dengan kata lain sebagai rohaniawan haruslah waspada akan pengaruh di luar dirinya yang dapat menjerumuskan dia ke dalam persoalan moral dan tutur kata dari sikap yang tidak dapat mengendalikan diri karena emosi yang tak terkendali. Bukan Seorang Peminum / Pemabuk Seorang pendeta jemaat tidak boleh terlihat dalam pengaruh alkohol karena minuman keras atau psikotropika lainnya dan tidak boleh terikat pada alhkoholisme di dalam maupun di luar gereja. Alkohol sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu dan digunakan manusia dalam berbagai keperluan. Namun penggunaan secara berlebihan dan tidak sesuai peruntukan menyebabkan banyak dampak yang tidak baik dalam hidup manusia. Kenneth dan John Myers melakukan penelitian tentang gereja dan alkohol, mengatakan: “kehadiran di gereja merupakan penanda bagi seperangkat perilaku, harapan, dan sikap lingkungan keluarga yang mengurangi risiko penggunaan alkohol berat.”29 Dengan kata lain penikmat alkohol enggan untuk ke gereja beribadah, mungkin karena dirinya merasa berperilaku kurang “memenudi syarat” untuk ke gereja. Dapat dibayangkan jika yang terikat dengan alkohol adalah seorang Pendeta jemaat, maka yang terlintas dalam pikirannya ialah kesenangan dan hura-hura. Sikap demikian akan berdampak pada pengabaian tugas tanggung jawabnya dalam pelayanan kepada gereja dan jemaat Tuhan. Bukan Hamba Uang Sebagai Pendeta jemaat tentu berhak menerima tunjangan gereja untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan keluarganya. Namun tidak dipungkiri ada gereja yang belum mampu memberi tunjangan yang cukup bagi Pendetanya, sehingga memberi kebebasan bagi Pendeta untuk mencari penghasilan lain di luar gerejanya. Tidak salah jika Seorang Pendeta jemaat mencari penghasilan di luar lingkungan gereja atau bekerja untuk mencari penghasilan demi kebutuhan hidup bersama keluarganya, selagi pekerjaan yang dilakukannya sesuai dengan firman Tuhan dan bukan pekerjaan tercela. Namun perlu menjaga agar kegiatan mencari penghasilan tambahan berupa uang tidak mengikat dia sehingga terjebak dalam kecintaan akan uang dengan begitu melekat dan menghabiskan waktunya untuk itu. Teks dalam 1Timotius 3:3 menyebutkan “bukan hamba uang”, ini menjelaskan kepada apa atau siapa seorang hamba Tuhan menaklukan dirinya, apakah kepada uang atau kepada Tuhan yang dilayani. Interlinier Perjanjian Baru menerjemahkan dengan “yang tidak suka uang”30 berasal dari kata afilarguron. Jika diterjemahkan ‘yang tidak suka uang’ maka seorang Pendeta jemaat hendaknya menghapus bayangan tentang “BibleWork 10.” Ibid. 29 M.S Kenneth S. Kendler, M.D. John Myers, “A Developmental Twin Study of Church Attendance and Alcohol and Nicotine Consumption: A Model for Analyzing the Changing Impact of Genes and Environment,” accessed September 5, 2021, https://ajp.psychiatryonline.org/doi/full/10.1176/appi.ajp.2009.09020182. 30 Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinier, vol. 5, 156. 27 28 139 “uang” dalam pikirannya sehingga yang ada dalam pikirannya ialah pekerjaan Tuhan dan pelayanan jemaat saja. Kecintaan akan uang menyebabkan seorang Pendeta Jemaat terlibat dengan berbagai permasalahan, baik etika dan hukum. Memiliki suatu bisnis dengan prospek menguntungkan boleh saja, namun untuk mencapai hal itu seorang Pendeta jemaat jangan terlibat pelanggaran hukum atau suap yang memalukan. Menjadi seorang Pendeta jemaat harus menjaga supaya ketamakan akan uang dan kekayaan tidak menguasai dirinya. Kadangkala gereja jarang sekali berbicara tentang ketamakan dan soal-soal sosial lingkungan, sehingga tampak suci di gereja saja tetapi kehidupan di luar gereja bertentangan dengan kesuciannya, berlaku curang dan tidak adil. Semua ini terjadi karena seorang Pendeta Jemaat terjebak pada kecintaan akan uang. Getz mengatakan: “Seorang pemimpin Kristen yang matang tidak mencintai uang. Kitab Suci tidak mengajarkan secara khusus bahwa uang itu jahat. Juga Kitab Suci tidak mengajarkan bahwa memiliki banyak uang itu salah. Apa yang Kitab Suci ajarkan adalah bahwa jika kita mencintai uang maka itu merupakan pelanggaran yang serius terhadap kehendak Allah.”31 Dengan demikian seorang yang ingin menjadi Pendeta Jemaat haruslah sadar bahwa mencitai uang adalah pelanggaran rohani dan dapat dikatakan mengingkari komitmen pelayanannya. Dia harus menyadari bahwa kegemaran akan uang harus ditinggalkan ketika menduduki jabatan Pendeta jemaat yang memfokuskan dirinya dalam pelayanan. Bukan Baru Bertobat Ketentuan dalam penetapan seorang Pendeta jemaat adalah bukan seorang yang baru bertobat, artinya dalam lingkungan gereja terlebih lingkungan pelayanan, dia bukanlah orang baru melainkan sudah dikenal baik dalam lingkungan jemaat dan sudah diketahui memiliki kerinduan untuk melayani. Tentu saja orang yang baru bertobat belum terbukti dalam kesetiannya dalam pelayanan, dan masih harus banyak belajar menempa diri dalam pelayanan. “Kesetiaan terbentuk melalui latihan dan kebiasaan. Kalau sudah dilatih dan dibiasakan setia dan benar dalam hal-hal kecil, maka ia akan biasa dan terlatih juga untuk setia dan benar dalam perkara yang besar.”32 Pendeta jemaat harus membiasakan dan melatih diri dalam kesetiaan melayani oleh sebab itu dia bukanlah seorang yang baru bertobat supaya tidak mudah goyah menghadapi tantangan pelayanan, namun tetap setia. Kata dalam Bahasa Yunani untuk seorang petobat baru adalah “νεόφυτον (neofuton) yang dalam Bahasa inggris disebut newly converted”33 (petobat baru). Maksud dari petobat baru ini adalah orang yang baru saja menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, belum ada pengalaman iman sebagai orang Kristen. Jika demikian mudah sekali untuk terjerat dalam tipu daya iblis dan jatuh dalam godaan duniawi, kesombongan dan keangkuhan. Hendra G. Mulia dalam Jurnal Veritas mengatakan: “Dimensi pengalaman religius perlu mendapatkan tempat dalam rencana pembinaan anggota gereja.”34 Artinya jemaat yang baru percaya terlebih dahulu harus dibina dan dibimbing terus menerus kepada pengalaman rohani untuk menjadi Kristen yang dewasa rohani, baru diperbolehkan masuk dalam pembinaan pelayanan. Selanjutnya pun jika terlibat dalam Gene Getz, “Menjadi Seorang Pemimpin Yang Dewasa Secara Rohani,” in Leaders On Leadership, ed. George Barna (Malang: Gandum Mas, 2002), 124. 32 Tulus Tu’u, Pemimpin Kristiani Yang Berhasil, 36. 33 “BibleWork 10.” 34 Hendra G. Mulia, “Fromasi Spiritualitas Martin Luther Dan Pewujudannya Dalam Gereja-Gereja Injili Di Indinesia,” Jurnal VERITAS 11, no. 2 (2010). 31 140 melayani harus ada pembekalan bertahap dan pemberian nama jabatan pelayanan hingga pada waktunya dapat menjadi Pendeta jemaat. Tahapan pembekalan dalam pelayanan ini berguna untuk mendidik kerendahan hati dan komitmen melayani, sehingga tidak muncul kesombongan rohani apalagi jika dilantik sebagai Pendeta Jemaat. Budiman mengatakan: “Sebaliknya orang Kristen baru, yang penuh semangat. Jangan dibiarkan tanpa dimanfaatkan potensinya, karena dengan demikian imannya akan mundur (bdk Mat.5:15). Ia dapat diaktifkan secara bertahap dalam bermacam-macam kegiatan gereja sebagai latihan pelayanan kepada Tuhan.”35 Pada satu sisi gereja harus menjaga supaya petobat baru tidak diberi beban pelayanan berlebihan dan di sisi lain gereja juga harus melatih secara bertahap seorang anggota baru sesuai tahapan perkembangan imannya. Seorang yang bukan petobat baru dapat dilihat melalui tanda-tanda berikut: (1). Memiliki pemahaman dasar iman Kristen yang benar dan kuat, dapat menjadi pengajar kebenaran firman. Memahami dasar iman Kristen mulai dari belajar tentang penyataan Allah serta meninggalkan penyembahan yang sia-sia dan menempa diri dengan pengetahuan yang benar tentang Kristus. Sproul berkata: “Semua manusia memutarbalikkan dan menolak pengetahuan yang benar tentang Allah. Karena semua manusia mengenal Allah tapi menolak pengetahuan tersebut maka manusia berdosa.”36 Kesadaran akan keberdosaan manusia menuntun pada pengenalan akan Allah yang benar. Sebagaimana juga Paulus mengatakan “Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus” (2Tim.3:15). Berbeda halnya dengan Simon (Kis.8:14-24), mantan penyihir, yang hendak membeli karunia Roh Kudus dari rasul Petrus tanpa mengerti dasar kebenaran iman telebih dulu dan mendalami kepecayaan dengan benar. (2). Mengalami pengalaman iman yang membuat rohaninya terlatih. Penulis Ibrani mengatakan: “Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat” (Ibrani 5:14). Menjadi orang Kristen sejati tidak mudah dan melewati banyak tantangan iman yang dilalui. Setiap tantangan pasti membawa pembelajaran iman kehidupan Kristen yang mengubah setiap pribadi menjadi lebih kuat dan setia dalam Tuhan. Pengalaman iman ini menuntun orang Kristen pada kedewasaan rohani, tidak terikat usia seseorang. Derek dan Nancy berkata: “Dewasa berarti bertumbuh cukup besar untuk melihat dengan obyektif situasi-situasi ini… orang dewasa sanggup mengkritik secara obyektif, dan dikritik tanpa harus bermusuhan atau mendapat goncangan emosional yang tidak perlu.”37 Saling memberi masukan di antara orang Kristen dewasa adalah hal yang wajar, dan orang Kristen dewasa tidak mudah patah semangat, tersinggung, atau merasa dikucilkan dengan masukan dan kritik dari sesama jemaat lain. (3). Sudah teruji komitmen untuk melayani jemaat Tuhan dengan menjaga kekudusan dan nama baik di dalam dan di luar gereja. Komitmen kekudusan dan nama baik ini menjadi tuntutan umat terhadap Pendeta. Sproul mengatakan: “Pendeta harus hidup berdasarkan pengharapan yang tinggi dari jemaat mereka dan kata-kata klise klasik yang membentuk tingkah laku mereka. Godaan untuk menunjukkan kesalehan yang palsu sangat besar.”38 Melihat tuntutan kekudusan seorang Pendeta, maka dia harus benar-benar memiliki komitmen kuat dalam melayani Tuhan dengan kekudusan hidup. 35 R. Budiman, Surat-Surat Pastoral 1&2 Timotius Dan Titus (Jakarata: BPK Gunung Mulia, 2011), 28. R.C. Sproul, Mengapa Percaya (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2003), 49. 37 Derek & Nancy Copley, Membangun Dengan Pisang (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2001), 28. 38 R.C. Sproul, Mengapa Percaya, 73-74. 36 141 Cakap Mengajar Mengajar tidak saja dengan pola-pola yang monoton sebagai pengkhotbah, tetapi dia sebaiknya memiliki ketrampilan lebih dalam berpidato, pandai menyampaikan orasi, dapat memprediksi bagaimana khotbah yang relevan dan menarik. Selain itu kecakapan seorang pengajar umat juga harus menguasai tekhnologi informasi dan komunikasi terlebih masa sekarang ini adalah era digitalisasi. Khotbah yang ditampilkan dalam bentuk visual dan audiovisual yang menarik perlu dilakukan supaya menarik antusiasme jemaat dan pendengar dapat menangkap pesan dengan baik dari Pendeta. Ingatlah bahwa tugas seorang Pendeta adalah mengkomunikasikan pesan firman Tuhan kepada jemaat, jadi pesan firman Tuhan harus disampaikan dengan cara yang sesuai dan menarik juga. Dalam pengertian Kristen, seorang Pendeta jemaat yang berkhotbah atau mengajar jemaat disebut sebagai komunikator, artinya “melakukan segala usaha untuk menyatakan Allah kepada orang berdosa yang terkungkung oleh situasi tertentu….Gereja lokal dapat meningkatkan kualitas komunikatornya melalui latihan-latihan tentang tekhnik komunikasi efektif.”39 Penguasaan komunikasi yang baik bertujuan untuk “membuat pendengar mengerti suatu berita yang disampaikan oleh pembicara dan slanjutnya mendorong si pendengar bertindak sesuai dengan keinginan pembicara.”40 Seorang Pendeta jemaat yang cakap mengajar atau menyampaikan firman Tuhan di jemaat ialah seorang yang memiliki pendidikan yang cukup secara teologi dan menguasai doktrin Kristen serta Alkitab. Maka kepentingan pendidikan teologi bagi Pendeta jemaat adalah: “sebagai wadah untuk mempelajari variasi teologi agar gereja memliki landasan yang kuat, karena tanpa teologi dan doktrin yang benar serta sesuai dengan Alkitab, maka kegiatan tidak mempunyai arah.”41 Pendeta menjadi benteng dalam menghadapi kemungkinan ajaran sesat yang menyimpang dan tidak sesuai Alkitab sehingga dia perlu menguasai pendidikan teologi secara baik. Secara gramatikal, seorang Pendeta jemaat yang cakap mengajar (διδακτικόν) adalah seorang yang “skillful in teaching, able to teach”42 (terampil dalam mengajar, mampu mengajar). Artinya seorang Pendeta harus memiliki kemampuan lebih dalam hal mengajar jemaat, baik mengajarkan firman juga mengajar dengan melakukannya. Lamberthus Kattu mengatakan: “Pendeta dalam mengajar harus memiliki dasar teologi yang mantap dan berkualitas serta dedikasi yang tinggi dalam pelayanannya. Pendeta harus mantap dalam imannya dan memiliki prestasi yang tinggi serta menjadi teladan dalam iman dan perbuatan bagi jemaat atau orang yang dilayani yang mana mereka menyatakan pimpinan Roh Kudus Ef 4:11-15.”43 Sehingga semua pengetahuan yang ia miliki dipersembahkan kepada Tuhan, dan yang Nampak dalam pelayanan adalah kuasa Allah yang luar biasa dan bukan kehebatan dan kemegahan pendeta itu sendiri sebab Pendeta hanya alat Tuhan saja. Melalui pengajaran atau teologi Pendeta memimpin jemaat untuk bertumbuh dalam iman, pengharapan dan kasih ( I Tes 5:8). Maka seorang pendeta yang mengajar dan memimpin jemaat haruslah mengetahui kehendak Tuhan dan mau melakukan perintah Tuhan dalam aplikasi kehidupan sehari-hari. Untuk mengajar penting sekali bagi pendeta mempunyai pengetahuan teologi atau pengajaran Alkitab yang berbobot, supaya pendeta dapat memberi penjelasan Firman Tuhan dengan benar. 39 John Virgil, Kompleksitas Penggembalaan Gereja, 123. Y. Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Malang: Gandum Mas, 1993), 82. 41 John Virgil, Kompleksitas Penggembalaan Gereja, 125. 42 “BibleWork 10," διδακτικόν (1 Tim. 3:2 BGT) 43 Lamberthus Kattu, Managemen Gereja I (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1999). 40 142 Pendeta harus memahami bahwa gereja adalah lembaga pendidikan iman bagi orang-orang Kristen untuk mengajarkan mereka tentang doktrin Alkitab dan organisasi kekristenan. Karena pendidikan ini berdampak pada pertumbuhan gereja, Pendeta sebagai pemimpin umat seyogyanya menjalankan pendidikan dan pengajaran dalam lingkungan keumatan. Mengajarkan jemaat tentang kebenaran firman Tuhan adalah tanggung jawab seorang Pendeta, oleh sebab itu dia harus dapat mengemban tugas sebagai pengajar yang cakap. Seorang Pendamai Gereja hadir dalam dunia memliki tujuan agar damai terjadi di seluruh dunia, dan tugas gereja untuk menyatakan damai dalam dunia. Untuk membawa damai ke seluruh dunia, maka gereja “jangan mengasingkan diri dari dunia tetapi jangan pula terlalu dipengaruhi oleh dunia sehingga wujudnya menjadi hilang.”44 Juga gereja menyadari dirinya sebagai garam atas pembusukan dan terang atas kegelapan dunia yang berdosa. Pendeta jemaat adalah seorang pendamai, bukan pendendam, yang berarti selalu ingin mencari damai dalam konflik yang terjadi dalam jemaat. Juga ia bukan memihak salah satu pihak yang sedang berkonflik dalam jemaat tetapi di menemukan jalan tengah bagi jemaat dalam pertikaian. Sekalipun Tuhan Yesus telah mengajarkan tentang berdamai dengan sesama, namun inilah tugas penting seorang Pendeta jemaat dalam menjadi juru damai bagi pertikaian antara jemaat yang seringkali terjadi dan tidak bisa dihindari. Pendeta harus belajar seni memimpin dalam konflik di antara jemaat tanpa harus memusuhi salah satu dari mereka. Sebagaimana juga dikatakan oleh Borrong “Pendeta juga melaksanakan kepemimpinan kepada umat, menolong warganya menghadapi berbagai masalah bersama, mengarahkan mereka, dan menolong mereka menentukan sikap dan mengambil keputusan.”45 Pemakaian Bahasa Yunani ἄμαχον diterjemahkan “tidak suka bertengkar”46 untuk menekankan bahwa bertengkar bukanlah kebiasaan seorang Pendeta jemaat, apalagi sikap ini menyangkut keteladanan dalam gereja. Menyelesaikan konflik jemaat secara adil bukan berarti memenangkan salah satu pihak saja, tetapi memberikan jalan damai bagi semua pihak secara berimbang dan memberikan jalan win-win solution. London JR mengatakan: “Di tengah-tengah konflik, setiap pendeta – pemimpin harus pertama kali bertanya pada diri sendiri: apakah saya adil?”47 Pendeta, dalam pergumulan bersama Tuhan, harus mengambil langkah yang tepat sehingga tidak ada yang merasa diuntungkan di atas penderitaan orang lain. Setiap pengambilan keputusan juga didasarkan atas kasih kepada sesama dan memperhatikan kepentingannya, sehingga yang tercipta ialah damai bukan sebaliknya pertengkaran tiada henti. Keberhasilan seorang Pendeta menghadirkan damai dalam lingkungan umat akan menjadi pujian dan teladan semua orang. 44 E.P. Gintings & Saur Hasugian, Apakah Hukum Gereja (Bandung: Jurnal Info Media, 2009), 109. Robert Borrong, “Signifikansi Kode Etik Pendeta,” Gema Teologi 39, no. 1 (2015): 24, http://journaltheo.ukdw.ac.id/index.php/gema/article/view/194. 46 Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinier, vol. 5, 1113 . 47 H.B. London JR, “Menjadi Pemimpin Yang Tegas Tetapi Lembut,” in Leaders On Leadership (Malang: Gandum Mas, 2002), 136. 45 143 Berlaku Bijaksana Menjadi bijaksana bagi seorang Pendeta jemaat bukan perkara mudah tetapi memerlukan banyak pengalaman dalam perjalanan pelayanan. Seorang bijaksana dapat menempatkan diri dalam persoalan sehingga mengeluarkan keputusan yang tepat. Pendeta atau pemimpin jemaat yang bijaksana dapat menuntun semua orang, yang berkonflik sekalipun, kepada tujuan bersama dalam gereja. Pendeta harus menjaga agar jemaat tetap terikat dengan gerejanya. Jaharianson Saragih mengatakan “Pelayan selalu dianggap panutan. Dalam keteladanan pendeta, jemaat memiliki tokoh untuk mengidentifikasi diri dan akan memperkuat keterikatan warga jemaat pada gerejanya.”48 Kata dalam Bahasa Yunani σώφρονα (1 Tim. 3:2 BGT) memiliki arti: “strictly having a sound or healthy mind; as having ability to curb desires and impulses so as to produce a measured and orderly life self-controlled, sensible”49 (benar-benar memiliki pikiran yang sehat; memiliki kemampuan untuk mengekang keinginan dan dorongan hati sehingga menghasilkan kehidupan terukur dan teratur yang terkendali; berakal). Seorang pendeta yang memimpin bijaksana pastilah memiliki keadaan hidup yang sehat untuk mengatur banyak orang kepada visi bersama. Budiman melihat kata bijaksana dalam 1Timotius 3 ayat 2 ini dengan mengatakan: “Bijaksana - sikap yang sesuai dengan akal budi yang telah diperbarui Roh Kudus.”50 Dengan tuntunan Roh Kudus seorang Pendeta jemaat dapat melakukan tugas dengan bijaksana. Elfri Darlin Sinaga menjelaskan tentang kebijaksanaan seperti berikut: “Pendeta sebagai seorang gembala jemaat memiliki peran penting untuk memelihara anggota jemaat, memberi makan, membimbing dan membela mereka. Ia akan melengkapi dirinya dengan kebijaksanaan yang besar, dan akan menyatakan pertimbangan yang lembut terhadap semua orang.”51 Bersikap Sopan Salah satu syarat penting bagi seorang Pendeta jemaat ialah memiliki budaya sikap sopan santun di dalam jemaat maupun di luar jemaat. Hal ini terkait erat dengan kebiasaan seorang Pendeta dalam berpenampilan, bertutur kata, dan perilakunya yang dilihat oleh jemaat dan masyarakat sekitar yang mana menjadi acuan teladan bagi banyak orang. Keadaan ini menyangkut etika dalam penampilan juga dalam kedisiplinan yang konsisten, tidak berubah-ubah dalam tutur kata, tetapi selalu mengatakan perkataan yang membangun dan dapat diterima semua orang. Adab kesopanan seorang Pendeta merupakan saluran kasih Allah bagi sesama orang percaya dan masyarakat. “Kasih Allah bukan tanpa bentuk. Di dalamnya terdapat etiket. Kasih Allah tidak kasar. Ia menyampaikan hal-hal yang tepat pada saat yang tepat dengan cara yang mengasihi.”52 Rasul Paulus sendiri mengatakan: “Kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang” (2 Kor. 3:2 ITB). Artinya apa saja yang dilakukan oleh seorang Pendeta jemaat selalu dipantau oleh jemaat Jaharianson Saragih, “PENDETA SEBAGAI HAMBA TUHAN ANATARA HARAPAN DAN KENYATAAN” (n.d.), https://ejurnal.sttabdisabda.ac.id/index.php/JSPL/article/view/2/2. 49 “BibleWork 10, σώφρονα (1 Tim. 3:2 BGT)” 50 R. Budiman, Surat-Surat Pastoral 1&2 Timotius Dan Titus, 27. 51 Elfri Darlin Sinaga, “Pengaruh Peran Pendeta Jemaat Untuk Mempertumbuhkan Iman Warga Jemaat Antar Denominasi Di Kota Pematangsiantar,” Jurnal Theologia Forum STFT Surya Nusantara VIII, no. 1 (2020): 1–12. 52 Hocking, Rahasia Keberhasilan Seorang Pemimpin, 287. 48 144 dan masyarakat umum. Jika perlakuan Pendeta menunjukkan kasih yang sopan santun maka banyak orang diberkati. Kata Bahasa Yunani κόσμιον (1 Tim. 3:2 BGT) yang diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia sebagai ‘sopan’ memiliki arti “Orang yang disiplin, terhormat, berpakaian yang bercirikan sopan santun.”53 Dengan kata lain sopan santun ini juga berkaitan dengan budaya bertutur kata dan berbusana seorang Pendeta jemaat. Berpakaian rapi dan bersih serta perawakan sehat sangat penting bagi seorang Pendeta jemaat serta bertutur kata yang sopan sangat diharapkan, supaya seluruh kehidupannya dapat menjadi berkat, dan orang melihat Tuhan dalam dirinya. Pendeta di dalamnya selalu dituntut menampilkan jati diri yang sempurna tanpa cacat, baik dari sisi pribadi maupun penampilan luarnya, berkenaan dengan cara dia berbicara, kesopanan, perhatian dan lain-lain. Seorang Peramah Bukan Pemarah Pendeta jemaat diharapkan memiliki budaya penyabar, tidak mudah untuk marah, sebab dia melakukan pelayanan kepada jemaat yang memiliki beragam karakter. Tulus Tu’u menuliskan beberapa manfaat dari kesabaran: “Kalau pemimpin pelayan melatih dan mengembangkan kesabaran, sungguh luar biasa pengaruh dan hasilnya bagi kepemimpinannya. Ia akan penuh akal budi dan pengertian. Perbantahan dan kesalahan besar dapat dihindari. Mampu bertahan dalam kesesakkan.”54 Seorang yang gampang untuk marah akan menimbulkan perbantahan dan perselisihan dalam jemaat atau masyarakat sekitar. “Sebagai seorang pemimpin yang harus mampu berkomunikasi dengan orang lain, ia tidak boleh gampang marah.”55 Jika amarah dikedepankan maka banyak hal-hal negatif yang akan menghampiri diri seseorang. Seorang Pendeta yang peramah dapat dilihat dari cara berkomunikasi dan tata krama yang dia lakukan. Ini juga akan terlihat dalam kasihnya kepada sesama dan kepada jemaat yang dia layani. Sikap peramah ini tidak hanya dimiliki Pendeta, tetapi juga anggota keluarganya yang lain, sebagai bagian dari dukungan atas pelayanan kependetaan yang diembannya. Penyelidikan terhadap teks Bahasa Yunani πλήκτην (1 Tim. 3:3 BGT) menunjukan arti “orang yang garang, pengganggu, orang yang suka betengkar.”56 Sudah pasti bahwa seorang pemarah tidak dapat menahan diri dalam pertengkaran dengan percakapan bernada tinggi, tidak bisa mengalah dan maunya menang sendiri. Seorang Pendeta jemaat mungkin saja pernah bertengkar, namun seorang Pendeta bukan seorang yang menyukai pertengkaran, artinya jangan sampai sedikit saja persoalan pertengkaran menjadi-jadi tidak terkendali, disertai kemarahan luar biasa. Ini juga menjadi alasan mengapa menetapkan jabatan seorang Pendeta harus diadakan penelusuran jejak kepribadiaan dan dilakukan tes kejiwaan / psikotest. Karena mungkin saja seseorang temperamental namun ketika dikukuhkan dalam jabatan Pendeta tidak diketahui, tetapi dalam perjalanan pelayanannya ternyata menunjukkan permasalahan dimaksud. Screening yang ketat sangat diperlukan mengingat pentingnya kepemimpinan penggembalaan jemaat gereja. Pendeta sebagai pemimpin jemaat menjadi wujud wajah gereja di hadapan masyarakat, oleh sebab itu dia harus dapat menjalin hubungan yang ramah dengan semua orang dalam jalinan persaudaraan yang baik. Virgil berkata: “Pemimpin penatalayanan “BibleWork 10, όσμιον (1 Tim. 3:2 BGT)” Tulus Tu’u, Pemimpin Kristiani Yang Berhasil, 33. 55 R. Budiman, Surat-Surat Pastoral 1&2 Timotius Dan Titus, 27. 56 “BibleWork 10, πλήκτην (1 Tim. 3:3 BGT)” 53 54 145 bagi pertumbuhan gereja harus berupaya membangun dan memlihara hubungan baik agar terjadi pelayanan yang berkualitas di dalam jemaat.”57 Dengan demikian seorang Pendeta jemaat harus membangun hubungan yang baik dalam pelayanan, salah satu hal sederhananya ialah dengan keramahtamahannya. Nama Baik di Luar Jemaat Pendeta jemaat secara khusus harus menyadari panggilan ini dengan menjaga nama baik dirinya sendiri dan nama baik gereja, sehingga kekristenan dirasakan benarbenar berdampak. Rubin Adi Abraham mengatakan: “Tuhan ingin agar kita menjadi orang Kristen yang berdampak dan berpengaruh. Saya yakin kita mempunyai potensi untuk mempengaruhi orang di sekitar kita, baik secara negatif maupun positif. Orang yang mempengaruhi secara positif seringkali disebut motivator, tetapi orang yang memengaruh secara negatif disebut provokator.”58 Jika Pendeta memiliki dampak baik di lingkungan gereja dan masyarakat umum maka nama baiknya dikenal banyak orang, dalam arti menjadi berkat bagi semua. Pendeta mempertauhkan nama baiknya dalam pelayanan. Hal ini menurut Herlince Rumahorbo karena “Gembala memiliki pelayanan dalam memberi makan, memelihara dan mendewasakan anggota kawanan dombanya,”59 jadi dampak dari seorang Pendeta harus terasa di luar jemaat terlebih kepada jemaat yang digembalakannya. Menurut John C. Maxwell yang dikutip oleh Kenneth O Gangel, model keteladanan diuraikan seperti berkiut: “Saya sebagai Model (saya melakukan sesuatu). Saya sebagai Mentor (Saya melakukan sesuatu dan anda memperhatikan saya). Saya sebagai Monitor (saya melakukan sesuatu dan saya memperhatikan anda). Saya mendorong (anda melakukan sesuatu). Kita melipatgandakan (anda melakukan sesuatu dan melatih orang lain).”60 Seorang Pendeta yang menjadi teladan dia akan menjadi contoh dalam berbuat sesuatu dan menunjukkan kepada orang lain bagaimana melakukannya. Demikian pula dalam memelihara nama baik dia harus sangat memperhatikan hal itu sehingga dipandang baik di lingkungannya. Suka Memberi Tumpangan Sebagai seorang Pendeta yang melayani jemaat dan masyarakat harus memiliki kemurahan hati, yang ditunjukkan dalam kesediaan memberi tumpangan bagi yang membutuhkan. Pada teks 1Timotius 3:2, Budiman menjelaskan tentang memberi tumpangan berikut: “Ini merupakan kebajikan yang dijunjung tinggi dalam kehidupan jemaat Kristen zaman itu. Ini dapat dimengerti, karena ia adalah bentuk yang nyata dari kasih di tengah-tengah situasi masyarakat, yang belum mempunyai fasilitas-fasilitas penginapan yang baik seperti pada zaman sekarang.”61 Pendeta jemaat harus memiliki kerelaan hati memberi tumpangan, sebagai wujud kasih kepada sesama. Ketika jemaat mengalami kesulitan tempat tinggal gereja, melalui kebijaksanaan Pendeta, dapat memberi tempat tumpangan sementara, atau orang-orang Kristen dan hamba Tuhan dari 57 John Virgil, Kompleksitas Penggembalaan Gereja, 97. Rubin Adi Abraham, Menjadi Berkat Berbuah Lebat (Yogyakarta: ANDI, 2015), 3. 59 Herlince Rumahorbo, “Keteladanan Yesus Sebagai Gembala Menjadi Dasar Pelayanan Hamba Tuhan Masa Kini,” Phronesis: Jurnal Teologi dan Misi 3, no. 2 (2020): 135–154, https://jurnal.sttsetia.ac.id/index.php/phr/article/view/68/63. 60 Kenneth O. Gangel, “Apa Yang Dilakukan Oleh Para Pemimpin,” in Leaders On Leadership, ed. George Barna (Malang: Gandum Mas, 2002), 37. 61 R. Budiman, Surat-Surat Pastoral 1&2 Timotius Dan Titus, 27. 58 146 tempat jauh yang memerlukan tumpangan, bahkan misalnya masyarakat yang terkena bencana alam gereja dan Pendeta bisa memberi tempat untuk penampungan sementara. Dalam hal demikian ini kasih Allah dapat dilihat dan dirasakan oleh semua orang baik di dalam dan di luar gereja. Dalam keadaan bencana covid-19 yang semakin meluas, Sekum PGI, Jacky Manuputty pernah menghimbau agar gereja-gereja menyediakan tempatnya untuk isolaso covid-19. Jacky mengatakan: "Gereja-gereja bisa menyiapkan gedunggedungnya yang saat ini kosong dan tidak dipakai untuk digunakan sebagai tempat isolasi bagi mereka yang terpapar corona, bilamana hal itu layak dan dibutuhkan.”62 Sebagai respon atas arahan PGI ini, dalam hal gereja memberikan tempat untuk isolasi covid-19, gereja HKBP membuka tempat perawatan covid di lingkungan gedung gereja. Dalam peresmian tempat, Pendeta Halomoan mengatakan: “Mari kita implementasikan pelayanan dengan sepenuh hati, sehingga kita dapat menjadi garam pelayanan kesehatan ditengah masyarakat mengikut Yesus sebagai garam dunia.”63 Gereja memberikan tumpangan, bukan hanya untuk masyarakat gereja saja, tetapi juga bagi masyarakat umum. Banyak langkah yang dapat dilakukan oleh Pendeta gereja dalam rangka memberi tumpangan kepada orang yang memerlukan, seperti, membuka rumah singgah bagi tuna wisma, membuka panti asuhan bagi anak yatim, membangun sekolah bagi yang tidak mampu, mendirikan panti jompo, dan lain-lain. Kegiatan ini membuka peluang bagi gereja agar menjadi tumpangan bagi orang lain. Suami dari satu istri Seorang pendeta jemaat haruslah seorang yang memiliki hanya satu pasangan hidupnya, dalam pernikahan dia monogamy bukan poligami, dan mencintai istrinya sebagai satu-satunya teman sekerja dalam Tuhan. Scott Thomas mengatakan: “A Pastor must love his wife exclusively with his mind, will and emotions and not just her body”64 body” (seorang Pendeta harus mencintai istrinya secara ekslusif dengan pikiran kemauan dan emosinya dan bukan hanya tubuhnya). Kemurnian pernikahan seorang Pendeta harus terjaga dari penodaan dan ketidaksetiaan pernikahan. Kehidupan pernikahan Pendeta dan pasangannya ekslusif hanya mereka berdua yang menikmatinya, keindahan, kemesraan, seksualitas, dan pergumulan bersama dalam rasa saling memiliki. “Keintiman berasal dari perasaan saling memiliki, tetapi harus diperkaya dengan hubungan seks yang terus berjalan saling memuaskan, dan ditandai oleh kehangatan, dan perasaan keduanya dicintai.”65 Menikmati hubungan yang indah hendaknya dialami seorang Pendeta supaya tidak ada ketidakpuasan suami-istri dalam hubungan pernikahan. Kepala Keluarga yang Baik Sebelum dia mampu memimpin jemaat Allah maka dia harus terlebih dahulu mampu memimpin anggota keluarga, baik anak-anaknya dan istrinya. Kepemimpinan Dessy Purnamasari, Deti; Carina, “Pgi Minta Gedung Gereja Disiapkan Jadi Tempat Isolasi Pasien Covid 19,” Kompas.Com, accessed September 5, 2021, https://nasional.kompas.com/read/2020/04/12/13314461/pgi-minta-gedung-gereja-disiapkan-jadi-tempatisolasi-pasien-covid-19. 63 Tobari, “Ephorus HKBP Resmikan Ruangan Isolasi Pasien COVID-19,” Https://Infopublik.Id, accessed September 28, 2021, https://infopublik.id/kategori/nusantara/565356/ephorus-hkbp-resmikan-ruanganisolasi-pasien-covid-19. 64 Scott Thomas, “Seventeen Characteristics of a Qualified Church Planter,” Https://Www.Churchplanting.Com, https://www.churchplanting.com/seventeen-characteristics-of-aqualified-church-planter/#ixzz1W9Vay6yy. 65 Ed Wheat & Gaye Wheat, Intended for Pleasure (Jakarata: Binarupa Aksara, 1997), 151. 62 147 dalam rumah tangganya menjadi patokan untuk melihat apakah seorang Pendeta mampu memimpin jemaat Tuhan atau gereja. Scott Thomas memberi gambaran bagi seorang Pendeta sebagai pemimpin bagi keluarga juga pemimpin bagi jemaat. “Kawanan pertama untuk seorang pendeta adalah keluarganya sendiri ia sebagai Pastor, Ayah. Kualifikasi seorang Pendeta untuk gereja dimulai dari manajemen rumahnya saat dia memimpin mereka dalam disiplin dan nasihat Tuhan.”66 Tepatlah apa yang diminta rasul Paulus kepada Timotius bahwa seorang Pendeta harus bisa mengatur keluarganya dengan baik. “Pemimpin yang tidak dapat memberikan pimpinan yang baik terhadap keluarganya sendiri, juga tidak akan pernah memberikan pimpinan yang baik terhadap orang lain yang berada di bawah tanggung jawab mereka.”67 Oleh sebab itu dalam penetapan Pendeta jemaat harus diperhatikan bahwa seorang Pendeta dapat mengendalikan istrinya supaya tidak merusak suasana pelayanan dalam jemaat. Implikasi Jika memperhatikan hasil penelitian mengenai penerapan syarat-syarat bagi Gembala Jemaat dalam 1 Timotius 3:1-7, maka dapat ditemukan suatu implikasi terhadap penerapan-penerapan dari syarat Gembala yang menekankan pada sifat-sifat bijak (seperti: lemah lembut, sabar, murah hati, dll). Sekalipun, ditemukan suatu timbal-balik dari penilaian seseorang terhadap gembala tersebut sebagai seorang yang patut diteladani atau role model bagi jemaat ataupun pada masyarakat luas. Penerapan dari sifat-sifat bijak, keteladanan dan kecakapan mengajar dari seorang gembala menjadi bagian penting dari hasil interpretasi 1 Timotius 3:1-7. Rekomendasi Penelitian Selanjutkan Penelitian ini dapat ditinjaklanjuti pada topik “Hubungan Penerapan terhadap syarat-syarat bagi Gembala Jemaat Berdasarkan Kitab 1 Timotius 3:1-7 dan Titus 1:516.” Begitupun, dapat dikembangkan secara tematik mengenai syarat-syarat Gembala dalam surat-surat Paulus. Kesimpulan Seorang pendeta jemaat seharusnya tidak memelihara banyak keinginankeinginan, apalagi keinginan yang bersifat duniawi. Pendeta harus benar benar bersih dalam kehidupannya, jemaat akan menilai, masyarakat sekitar juga pasti memperhatikan. Rohaniawan haruslah waspada akan pengaruh di luar dirinya yang dapat menjerumuskan dia ke dalam persoalan moral dan tutur kata dari sikap yang tidak dapat mengendalikan diri karena emosi yang tak terkendali. Menjadi seorang Pendeta jemaat harus menjaga supaya ketamakan akan uang dan kekayaan tidak menguasai dirinya. Pendeta jemaat adalah seorang pendamai, bukan pendendam, yang berarti selalu ingin mencari damai dalam konflik yang terjadi dalam jemaat. Menyelesaikan konflik jemaat secara adil bukan berarti memenangkan salah satu pihak saja, tetapi memberikan jalan damai bagi semua pihak secara berimbang. Keadaan ini menyangkut etika dalam penampilan juga dalam kedisiplinan yang konsisten, tidak berubah-ubah dalam tutur kata, tetapi selalu mengatakan perkataan yang membangun dan dapat diterima semua orang. 66 67 Thomas, “Seventeen Characteristics of a Qualified Church Planter.” Gene Getz, “Menjadi Seorang Pemimpin Yang Dewasa Secara Rohani," 99. 148 Pendeta jemaat diharapkan memiliki budaya penyabar, tidak mudah untuk marah, sebab dia melakukan pelayanan kepada jemaat yang memiliki beragam karakter. Sebagai seorang Pendeta yang melayani jemaat dan masyarakat harus memiliki kemurahan hati, yang ditunjukkan dalam kesediaan memberi tumpangan bagi yang membutuhkan. Sebelum dia mampu memimpin jemaat Allah maka dia harus terlebih dahulu mampu memimpin anggota keluarga, baik anak-anaknya dan istrinya. Kepemimpinan dalam rumah tangganya menjadi patokan untuk melihat apakah seorang Pendeta mampu memimpin jemaat Tuhan atau gereja. Rujukan Abraham, Rubin Adi. Menjadi Berkat Berbuah Lebat. Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2015. Banne, Eddy, and Daud Manno. “Menerapkan Makna Ibadah Menurut 1 Timotius Di Gereja Pantekosta Di Indonesia Jemaat Hosana Keerom Barat.” EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani 4, no. 1 (2020): 57–70. Borrong, Robert. “Signifikansi Kode Etik Pendeta.” Gema Teologi 39, no. 1 (2015): 24. http://journal-theo.ukdw.ac.id/index.php/gema/article/view/194. Derek & Nancy Copley. Membangun Dengan Pisang. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2001. E.P. Gintings & Saur Hasugian. Apakah Hukum Gereja. Bandung: Jurnal Info Media, 2009. Ed Wheat & Gaye Wheat. Intended for Pleasure. Jakarata: Binarupa Aksara, 1997. Edgar Walz. Bagaimana Mengelola Gereja Anda. BPK Gunung Mulia, 2006. Enns, Paul. The Moody Handbook of Theology. Malag: Gandum Mas, 2006. Gangel, Kenneth O. “Apa Yang Dilakukan Oleh Para Pemimpin.” In Leaders On Leadership, edited by George Barna, 37. Malang: Gandum Mas, 2002. Gene Getz. “Menjadi Seorang Pemimpin Yang Dewasa Secara Rohani.” In Leaders On Leadership, edited by George Barna, 124. Malang: Gandum Mas, 2002. V. Gilbert Beers. Pelayanan Dan Pertumbuhan Rohani. Malang: Gandum Mas, 2002. Gintings, E.P. Penggembalaan Hal-Hal Yang Pastoral. Bandung: Jurnal Info Media, 2009. Hasan Sutanto, ed. Perjanjian Baru Interlinier. Vol. 5. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2019. Hendra G. Mulia. “Fromasi Spiritualitas Martin Luther Dan Pewujudannya Dalam Gereja-Gereja Injili Di Indinesia.” Jurnal VERITAS 11, no. 2 (2010). Hocking, David. Rahasia Keberhasilan Seorang Pemimpin. Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2003. Horst Balz & Gerhard Schneider, ed. Exegetical Dictionary of The New Testament. Vol. 2. Grand Rapids: William B.E Publishing Co, 1994. Jan S. Aritonang. Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Sekitar Gereja. Jakarata: BPK Gunung Mulia, 2008. John Virgil. Kompleksitas Penggembalaan Gereja. Jakarta: Yayasan Kasih Imanuel, 2001. JR, H.B. London. “Menjadi Pemimpin Yang Tegas Tetapi Lembut.” In Leaders On Leadership, 136. Malang: Gandum Mas, 2002. Kenneth S. Kendler, M.D. John Myers, M.S. “A Developmental Twin Study of Church Attendance and Alcohol and Nicotine Consumption: A Model for Analyzing the Changing Impact of Genes and Environment.” Accessed September 5, 2021. 149 https://ajp.psychiatryonline.org/doi/full/10.1176/appi.ajp.2009.09020182. Lamberthus Kattu. Managemen Gereja I. Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1999. Laoly, Otniel S. “KUALIFIKASI GEMBALA SIDANG BERDASARKAN 1 TIMOTIUS 3:1-7 DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN JEMAAT.” PROVIDENSI: Jurnal Pendidikan dan Teologi 4, no. 2 (2021): 1–7. Litfing, A Duane. “1Timothy.” In The Bible Knowledge Commentary New Testament, 736. Colorado: Dvid C. Cook, 1984. M.Born-Storm. Apakah Penggembalaan Itu? BPK Gunung Mulia, 2005. Menzies, William W. “Doktrin Alkitab.” Malang: Gandum Mas, 2001. Purnamasari, Deti; Carina, Dessy. “Pgi Minta Gedung Gereja Disiapkan Jadi Tempat Isolasi Pasien Covid 19.” Kompas.Com. Accessed September 5, 2021. https://nasional.kompas.com/read/2020/04/12/13314461/pgi-minta-gedunggereja-disiapkan-jadi-tempat-isolasi-pasien-covid-19. R. Budiman. Surat-Surat Pastoral 1&2 Timotius Dan Titus. Jakarata: BPK Gunung Mulia, 2011. R.C. Sproul. Mengapa Percaya. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2003. Rumahorbo, Herlince. “Keteladanan Yesus Sebagai Gembala Menjadi Dasar Pelayanan Hamba Tuhan Masa Kini.” Phronesis: Jurnal Teologi dan Misi 3, no. 2 (2020): 135–154. https://jurnal.sttsetia.ac.id/index.php/phr/article/view/68/63. Saragih, Jaharianson. “PENDETA SEBAGAI HAMBA TUHAN ANATARA HARAPAN DAN KENYATAAN” (n.d.). https://ejurnal.sttabdisabda.ac.id/index.php/JSPL/article/view/2/2. Shadily, John M. Echols; Hassan. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarata: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003. Sihombing, Bernike. “Kepribadian Dan Kehidupan Hamba Tuhan Menurut 1 Timotius 3:1-13.” Kurios: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristenku 2, no. 1 (2014): 1–13. Silalahi, Uber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Unpar Press, 2006. Sinaga, Elfri Darlin. “Pengaruh Peran Pendeta Jemaat Untuk Mempertumbuhkan Iman Warga Jemaat Antar Denominasi Di Kota Pematangsiantar.” Jurnal Theologia Forum STFT Surya Nusantara VIII, no. 1 (2020): 1–12. Stefanus Dully; Pelleng, Jusupf Leo. “KRITERIA PEMIMPIN ROHANI : BERDASARKAN 1 TIMOTIUS 3 : 1-13.” PENDAR CAHAYA: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran 2, no. 3 (2022): 1–13. Thomas, Scott. “Seventeen Characteristics of a Qualified Church Planter.” Https://Www.Churchplanting.Com. https://www.churchplanting.com/seventeencharacteristics-of-a-qualified-church-planter/#ixzz1W9Vay6yy. Tobari. “Ephorus HKBP Resmikan Ruangan Isolasi Pasien COVID-19.” Https://Infopublik.Id. Accessed September 28, 2021. https://infopublik.id/kategori/nusantara/565356/ephorus-hkbp-resmikanruangan-isolasi-pasien-covid-19. Tulus Tu’u. Pemimpin Kristiani Yang Berhasil. Bandung: Bina Media Informasi, 2010. Waharman. “KARAKTERISTIK SEORANG PELAYAN TUHAN BERDASARKAN 1 TIMOTIUS 3:1-7.” Manna Raflesia 1, no. Oktober (2017): 1–7. Y. Tomatala. Teologi Kontekstualisasi. Malang: Gandum Mas, 1993. “BibleWork 10,” n.d. Holy Bible. "1 Thimoty. New York: Amercian Bible Society, 2015. 150