Predica Verbum: Jurnal Teologi dan Misi
Vol. 2, No. 2 (2022): 133-150
© The Author(s) 2022
https://ejournal. sttii-yogyakarta. ac. id/index. php/predicaverbum/index
ISSN: 2798-1444 (online), 2798-1495 (print)
Published by: Sekolah Tinggi Teologi Injili Indonesia (STTII) Yogyakarta
Received: 2 November 2022, Accepted: 27 December 2022, Publish: 31 December 2022
Penerapan Syarat-Syarat Bagi Gembala Jemaat Berdasarkan
Kitab 1 Timotius 3:1-7
Yoel Benyamin
Sekolah Tinggi Teologi Ekklesia Pontianak
Email: yoelstii@gmail.com
Abstact
The requirements as a church pastor in the book of 1 Timothy 3:1-7 are very relevant to
the life of the church today in determining the pastor of the church. This application by the local
church is very useful in finding a qualified church pastor according to Bible values. This article
appears based on text research conducted with the method of grammatical study which finally
found biblical truth about the requirements for church pastors. This grammatical study uses
library research methods that rely on scientific references, credible books and online articles. The
author finds that the values that Paul conveyed to Timothy can be a reference for appointing a
pastor in the local congregation. The implication obtained based on text research is that a church
pastor must comply with the conditions taught by the apostle Paul, physically and spiritually.
Keywords: Pastor, Congregation, Spiritual, Timothy.
Abstrak
Syarat-syarat sebagai pendeta jemaat dalam kitab 1Timotius 3:1-7 sangat relevan bagi
kehidupan gereja masa kini dalam penetapan pendeta jemaat. Penerapan tersebut oleh gereja
lokal sangat bermanfaat dalam menemukan seorang pendeta jemaat yang berkualitas sesuai nilainilai Alkitab. Artikel ini muncul berdasarkan penelitian teks yang dilakukan dengan metode studi
gramatikal yang akhirnya menemukan kebenaran biblikal tentang syarat bagi pendeta jemaat.
Studi gramatikal ini dengan metode penelitian pustaka yang mengandalkan referensi-referensi
ilmiah, buku maupun artikel online kredibel. Penulis menemukan bahwa nilai-nilai yang
disampaikan Paulus kepada Timotius dapat menjadi acuan untuk menetapkan seorang pendeta
dalam jemaat lokal. Implikasi yang didapat berdasarkan penelitian teks ialah seorang pendeta
jemaat harus sesuai dengan syarat-syarat yang diajarkan rasul Paulus, secara jasmani dan rohani.
Kata kunci: Pendeta, Jemaat, Rohani, Timotius.
133
Pendahuluan
Seringkali terdengar keluhan jemaat dari beberapa gereja mengenai kelakuan dan
kehidupan pendeta jemaat, baik yang positif maupun yang negative. Disadari atau tidak,
kehidupan pendeta jemaat menjadi sorotan umum maupun jemaat, mulai dari kehidupan
pribadi pendeta, keluarga, komitmen, konsistensi, keuangan, moralitas dan lain
sebagainya. Berkenaan dengan itu, dalam menetapkan seorang pendeta jemaat ada
banyak hal yang harus dipertimbangkan oleh gereja antara lain, pendidikan,
latarbelakang, kompetensi, motivasi, pengalaman, usia dan riwayat hidup. Gilbert Beers
mengatakan: “meskipun demikian, motif kita melayani Allah dan orang lain jangan
sekali-kali untuk memperoleh sesuatu dari pelayanan itu. Jika itu yang menjadi motif
kita, berarti kita tidak memberi dengan hati yang bersih, dan Tuhan tidak akan memberi
kita upah dengan berkat yang penuh.”1 Untuk hal ini kadang kala luput dari system
seleksi yang dilakukan gereja dalam menetapkan pendeta jemaat. Ada faktor lain yang
mempengaruhi pertimbangan gereja dalam memutuskan sesuatu kebijakan pengangkatan
pendeta jemaat. Factor gaya hidup hamba Tuhan juga perlu dicermati agar tidak menjadi
batu sandungan jemaat. Waharman menyelidiki teks dalam Timotius tersebut dengan
mengatakan: “Gaya hidup seorang pelayan Tuhan di dalam Gereja akan menjadi
kesaksian hidup untuk memperlihatkan kepada orang yang berada disekitar Gereja.”2
Tulisan ini melihat bahwa gaya hidup tersebut muncup karena beberapa syarat
kependetaan dalam jemaat belum terpenuhi. Oleh karena itu menekankan syarat-syarat
bagi seorang pendeta jemaat amatlah penting daripada menyoroti gaya hidup semata.
Penulis sepakat dengan Bernike Sihombing yang menekankan bahwa sangat
penting karakter seorang hamba Tuhan dalam melayani. “Seorang hamba Tuhan akan
menjadi batu sandungan seperti di dalam Gereja dan sekitarnya akibat kurangnya
memahami pentingnya karakteristik kepribadian kehidupan dan pelayanan seorang
hamba Tuhan.”3 Namun apa yang disampaikan Bernike tersebut hanyalah sebuah akibat
dari system penetapan hamba Tuhan yang kurang kredibel dan kompeten. Oleh sebab
itulah penting menetapkan syarat-syarat bagi seorang Pendeta jemaat agar tidak menjadi
batu sandungan, khususnya berdasarkan 1Timotius 3:1-7.
Ulasan terhadap kitab Timotius ini dibahas juga oleh Stefanus dan Jusuf dengan
mengatakan “Paulus langsung membicarakan nama baik yang seharusnya dimiliki oleh
penilik jemaat, supaya anggota jemaat jangan diumpat karena dia.”4 Tidak ada yang
diharapkan oleh banyak orang dalam jemaat atas Pendetanya selain bersih namanya di
dalam dan di luar jemaat. Sebab itu, apa yang dikatakan oleh Otniel adalah penting,
bahwa “kecakapan seorang penilik jemaat harus dapat terlihat melalui syarat yang
diajukan Paulus dalam bagian ini agar dapat menjadi perhatian bagi Timotius dalam
mengangkat seorang penilik jemaat,”5 dan juga hendaknya menjadi perhatian bagi
gereja-gereja dalam menetapkan jabatan Pendeta dalam jemaat.
1
V. Gilbert Beers, Pelayanan Dan Pertumbuhan Rohani (Malang: Gandum Mas, 2002), 961.
Waharman, “KARAKTERISTIK SEORANG PELAYAN TUHAN BERDASARKAN 1 TIMOTIUS
3:1-7,” Manna Raflesia 1, no. Oktober (2017): 1–7.
3
Bernike Sihombing, “Kepribadian Dan Kehidupan Hamba Tuhan Menurut 1 Timotius 3:1-13,” Kurios:
Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristenku 2, no. 1 (2014): 1–13.
4
Jusupf Leo Stefanus Dully; Pelleng, “KRITERIA PEMIMPIN ROHANI : BERDASARKAN 1
TIMOTIUS 3 : 1-13,” PENDAR CAHAYA: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran 2, no. 3 (2022): 1–13.
5
Otniel S. Laoly, “KUALIFIKASI GEMBALA SIDANG BERDASARKAN 1 TIMOTIUS 3:1-7
DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN JEMAAT,” PROVIDENSI: Jurnal Pendidikan dan
Teologi 4, no. 2 (2021): 1–7.
2
134
Kitab 1Timotius 3 umumnya menjadi pedoman rohani untuk mengangkat
seorang pendeta jemaat. Ada beberapa factor mengapa mengangkat seorang pendeta
jemaat harus dilakukan secara selektif. Pertama, karena pendeta jemaat adalah seorang
manejer yang “dituntut melaksanakan seluruh fungsi administratif.”6 Dia harus memiliki
kemampuan managerial atas pengelolaan gereja serta menata pekerja di bawahnya
dengan baik. Kedua, karena pendeta adalah seorang yang harus memberi teladan rohani
bagi jemaat. Sehingga dari seorang pendeta jemaat “dituntut syarat-syarat susila yang
lebih tinggi daripada anggota jemaat lain.”7 Ketiga, karena pendeta jemaat adalah tokoh
yang berpengaruh dalam masyarakat luas. Banyak pendeta jemaat yang diperhitungkan
oleh pejabat atau politisi dengan alasan pendeta jemaat adalah pemimpin atas suatu umat,
yang mana pendeta jemaat juga berperan aktif dalam membina manusia untuk hidup
dengan benar sesuai hukum di negeri ini. Dengan demikian seorang pendeta juga harus
terbuka dengan perkembangan kemasyarakatan di luar lingkungan gereja. Dia harus
melek sosial dan peka dengan kemajuan zaman dan iptek, sehingga kemampuan,
kapabilitas dan pengetahuan seorang pendeta jemaat sedapat mungkin melebihi dari
jemaat yang lainnya.
Penelitian ini dilakukan dengan semangat untuk menemukan ketentuan
Alkitabiah bagi seorang pendeta jemaat yang dapat diterapkan bagi semua denominasi
gereja. Setiap gereja memiliki tata aturan untuk menetapkan seorang gembala atau
pendeta jemaat, berdasarkan konsensus yang dimiliki oleh gereja tersebut. Segala
persyaratan menjadi pendeta jemaat diatur oleh denominasi masing-masing gereja dan
tidak ada aturan baku yang dapat diterapkan pada gereja lainnya.
Metode
Penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian kualitatif deskriptif yang dilakukan
dengan studi kepustakaan yang terkait dengan teks 1Timotius 3:1-7 yang
“mengumpulkan dari literatur-literatur yang ada kaitannya dengan topik penelitian.”8
Kemudian melakukan eksegesa dan studi gramatikal. Penelitian ini terfokus pada
bagaimana syarat-syarat bagi seorang pendeta jemaat yang patut dilantik dalam jabatan
rohani untuk tugas penggembalaan jemaat. Metode penelitian yang digunakan dalam
tulisan ini ialah penelitian deskriptif melalui kajian pustaka dan penyelidikan teks kitab
suci secara mendalam. Untuk eksegesis teks dalam surat 1Timotius 3:1-7, penulis
menggunakan metode biblikal-gramatikal yakni memahami teks sebagaimana yang
dimaksud oleh teks. Kemudian menggali makna kata berdasarkan rumus gramatikal
Bahasa Yunani sehingga diperoleh penafsiran biblika yang kemudian dirumuskan secara
konseptual. Beberapa narasi nasihat Paulus dirumuskan untuk menemukan syarat-syarat
yang memadai bagi penetapan seorang pendeta jemaat lokal untu menunjang pelayanan
Kristen masa kini.
Hasil Dan Pembahasan
Definisi Pendeta (Teori Kependetaan) / Pandangan Teolog
Secara teologis istilah Pendeta tidak ditemukan dalam Alkitab, sehingga para
Teolog sulit memaparkan definisi “Pendeta” secara tepat. Hal yang tepat untuk
menggambarkan istilah Pendeta jemaat dalam Alkitab adalah Penilik atau juga Gembala.
6
Edgar Walz, Bagaimana Mengelola Gereja Anda (BPK Gunung Mulia, 2006), 8.
M.Born-Storm, Apakah Penggembalaan Itu? (BPK Gunung Mulia, 2005), 35.
8
Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: Unpar Press, 2006).
7
135
Edgar Walz mengatakan istilah Pendeta dimaksud dapat disamakan dengan pengertian
sebagai Penilik jemaat, yang sangat gamblang dijabarkan oleh rasul Paulus dalam
1Timotius 3:1-7. “Pendeta yang terpanggil sebagai pelayan firman juga berperan sebagai
penilik di gereja tempat ia melayani.”9 Baik istilah Pendeta ataupun Penilik memiliki
tugas pokok dan fungsi yang sama dalam Tubuh Kristus karena keduanya “memberikan
tekanan pada tanggung jawab kepemimpinan dalam memelihara para pengikutNya bagi
pengembangan dan perkembangan gereja.”10 Sesungguhnya gembala jemaat secara
komprehensif wajib memberikan perhatian kepada jemaat-jemaat yang dilayani sehingga
padanya melekat suatu tanggung jawab atas jiwa-jiwa yang dipercayakan Tuhan. Dengan
demikian ada keterikatan antara Pendeta dan gereja atau jemaat yang dilayani sehingga
penetapan jabatannya harus melalui proses dari pemilihan sampai peneguhan oleh gereja
secara organisasi. Edy dan Daud mengatakan: “Rasul Paulus menasihatkan Timotius dan
jemaat agar tugas ini tidak diberikan kepada sembarang orang. Memang melayani Tuhan
adalah suatu panggilan terhormat dan juga indah (1 Tim. 3:1). Maka, harus ada syarat
atau kriteria yang khusus untuk orang yang dipilih ke dalam pelayanan ini.”11 Ini harus
dilakukan secara selektif dan hati-hati karena betapa mulianya jabatan tersebut di
hadapan manusia dan di hadapan Allah.
Paul Enns melihat bahwa istilah Pendeta, sekalipun tidak bersumber dari Alkitab,
dapat dilantik oleh Penilik atau Presbiter, “seorang penilik / bishop diwariskan otoritas
untuk menahbiskan pendeta atau imam.”12 Meskipun Enns mengatakan bahwa Pendeta
dilantik oleh Penilik namun selanjutnya pendeta atau imam ini bertanggung jawab dalam
pelayanan rohani umat, penggembalaan dan tugas lainnya. Sebagaimana umumnya tugas
seorang pendeta dalam jemaat juga dapat dilihat sebagai tugas penggembalaan atau
penilik maka pendeta jemaat harus memenuhi syarat yang ditetapkan gereja untuk dapat
mengawasi jemaat sedemikian rupa supaya tidak ada yang terhilang dari umat Allah
Menginginkan Pekerjaan yang Indah
Paulus menyadari sudah pasti banyak orang berpikir untung dan ruginya dalam
sebuah pekerjaan pelayanan gereja, sehingga pasti ada yang berpikir jika tidak
menguntungkan maka pekerjaan tersebut dianggap rendah dan cenderung tidak
diinginkan sebagai pilihan. Mengingini pekerjaan yang indah merupakan keinginan
semua orang. Otniel juga mengatakan: “dilihat dari sifatnya pekerjaan ini adalah sangat
berharga, maka layaklah syarat-syarat yang ada dalam ayatayat selanjutnya disampaikan
dengan tegas oleh Paulus.”13
Namun mengapa Paulus katakan pelayanan penggembalaan adalah pekerjaan
yang indah? Menzies mengatakan: “para pendeta itu harus memimpin seluruh Jemaat
dalam tugas menjangkau dunia.”14 Memenangkan jiwa-jiwa bagi Tuhan adalah
merupakan keinginan yang harus dimiliki seorang pendeta atau gembala jemaat. Dalam
kitab Bahasa Inggris New International Version, kata menginginkan itu ditulis desires15
9
Edgar Walz, Bagaimana Mengelola Gereja Anda, 7.
John Virgil, Kompleksitas Penggembalaan Gereja (Jakarta: Yayasan Kasih Imanuel, 2001), 89.
11
Eddy Banne and Daud Manno, “Menerapkan Makna Ibadah Menurut 1 Timotius Di Gereja Pantekosta
Di Indonesia Jemaat Hosana Keerom Barat,” EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani 4, no.
1 (2020): 57–70.
12
Paul Enns, The Moody Handbook of Theology (Malag: Gandum Mas, 2006), 444.
13
Laoly, “KUALIFIKASI GEMBALA SIDANG BERDASARKAN 1 TIMOTIUS 3:1-7 DALAM
MENINGKATKAN PERTUMBUHAN JEMAAT.”
14
William W Menzies, “Doktrin Alkitab” (Malang: Gandum Mas, 2001), 183.
15
Holy Bible, "1 Thimoty. (New York: Amercian Bible Society, 2015).
10
136
yang berarti “hasrat, nafsu, keinginan.”16 Rasul Paulus tidak pernah memandang
pekerjaan sebagai penilik atau pendeta jemaat adalah pekerjaan rendah, melainkan ia
memandang tinggi jabatan pendeta atau penilik jemaat, bahkan menyebut pendeta atau
penilik sebagai tiang penopang dan dasar kebenaran di dunia (1Tim.3:14). Sehingga
pengertian demikian dapat dijelaskan bahwa seorang yang akan menjadi pendeta atau
gembala jemaat haruslah memiliki tekat yang kuat dan menggebu-gebu.
Kata menginingkan dalam teks 1Timotius 3:1 yakni ἐπιθυμεῖ dalam Bahasa
Yunani berarti “strong impulse toward something desire”17 atau adanya dorongan yang
kuat untuk melakukan/bertindak. Dorongan kuat inilah yang penulis analisa sebagai
dorongan dari Allah atau panggilan suci dari Allah untuk sebuah pelayanan. Sehingga,
menginginkan pekerjaan yang indah dapat berarti seorang pendeta memiliki panggilan
suci dari Allah untuk melayani. Dalam buku Exegetical Dictionary of the New
Testament, kata ini memiliki arti sebagai “spirit, courage, sense, passion”18 (semangat,
keberanian, rasa, gairah). Persepsi yang normal dari pemikiran Kristen bahwa seorang
yang menginginkan jabatan pelayanan gerejawi harus memiliki antusias dan
kecintaannya terhadap pelayanan yang tampak dalam semangat tinggi dan gairah dalam
pelayanan.
Kata καλοῦ “(kalou)”19 dalam Bahasa Yunani berbentuk tunggal, yang berarti
Paulus menekankan hal yang indah dimaksud hanya satu / tunggal, tidak jamak. Dengan
demikian seorang pendeta jemaat seharusnya tidak memelihara banyak keinginankeinginan, apalagi keinginan yang bersifat duniawi, pemuasan hawa nafsu dan
kepentingan diri sendiri. Memperbanyak keinginan duniawi membuat seorang pendeta
jemaat tidak fokus memikirkan penggembalaan jemaat karena perkara-perkara duniawi
selalu membayangi kehidupannya, mulai dari keinginan pribadi, kebutuhan hidup,
kebutuhan keluarga, tuntutan gaya hidup, serta keinginan aktualisasi diri. Ketulusan hati
seorang Pendeta dalam pelayanan dilihat dari fokus yang dimiliki dalam dirinya terhadap
pekerjaan Tuhan.
Janganlah kekuatiran seorang pendeta jemaat membuat pekerjaannya terganggu
dan tidak tentu arah. Oleh sebab itu seorang pendeta harus “memiliki keyakinan akan
pekerjaan Allah menetapkan dirinya sendiri untuk menjadi gembala, seorang Pendeta
misalnya, ia menjadi Pendeta hanya karena pemilihan Allah.”20 Bukankah Yesus
mengajarkan sebagai hamba Tuhan tidak boleh kuatir tentang apapun juga (Mat. 6:33),
jadi biarlah Pendeta jemaat konsisten dalam mengurus jiwa manusia dengan penuh
kepedulian. Dalam hal inilah seorang Pendeta jemaat akan teruji motivasinya dalam
melayani Tuhan, apakah murni untuk pekerjaan Tuhan atau ada dorongan keinginan
duniawi. Sebagai pemimpin rohani atas jemaat Tuhan, motivasi ini dapat memajukan
maupun mencelakakan jemaat atau gereja Tuhan. David Hocking berkata: “Pemimpin
terbaik memiliki hati seorang hamba, dia tidak pilih kasih, tetapi belajar untuk menjadi
hamba untuk semua.”21 Dengan kata lain seorang pendeta jemaat tidak memiliki motivasi
16
John M. Echols; Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarata: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2003), 177.
17
“BibleWork 10,” n.d.
18
Horst Balz & Gerhard Schneider, ed., Exegetical Dictionary of The New Testament, vol. 2. (Grand
Rapids: William B.E Publishing Co, 1994), 27.
19
“BibleWork 10.”
20
E.P. Gintings, Penggembalaan Hal-Hal Yang Pastoral (Bandung: Jurnal Info Media, 2009), 63.
21
David Hocking, Rahasia Keberhasilan Seorang Pemimpin (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2003), 133.
137
lain dalam melayani selain dorongan kasih yang tulus akan Allah dan kasih kepada jiwajiwa yang dilayaninya.
Seorang pendeta jemaat tidak perlu memusingkan diri dengan banyak kemelut
dan persoalan duniawi. Aritonang mengatakan: “Tugas pendeta adalah memberitakan
firman dan melayankan sakramen, dan bersama dengan penatua mengawasi kehidupan
jemaat, dan kalau perlu menegur warga gereja yang menyimpang dari ajaran dan
peraturan gereja.”22 Untuk tugas mulia atau pekerjaan indah ini sudah pasti memerlukan
waktu dan perhatian Pendeta secara sepenuh hati. Membebaskan diri dari keinginan dan
motivasi akan keuntungan duniawi adalah keharusan yang tak dapat ditawar sebagai
syarat kependetaan.
Pendeta yang tidak Bercacat
Ketentuan yang wajib terjadi dalam pribadi seorang pendeta ialah tidak bercacat
dalam kehidupan kristennya. Semua jemaat pasti sepakat dan tidak menginginkan bahwa
pendeta mereka adalah seorang yang bercacat secara moral karena kehidupan yang
demikian kontras dari kebenaran firman Tuhan. 1Timotius 3:2 mengamanatkan seorang
hamba Tuhan harus tidak memiliki celah dari perilaku yang buruk. A Duane Litfin
mengatakan: “He must be blameless in his behavior”23 (Dia harus tidak bersalah dalam
kelakuannya). Artinya tidak ada catatan perbuatan yang dilihat orang yang bisa membuat
dia jatuh atau direndahkan atau dipermalukan orang lain. Sebab jika ada catatan tentang
perbuatan tidak baik pada seorang hamba Tuhan, maka dia dianggap tidak berlayak
dalam kedudukan penggembalaan umat.
Secara etimologi, kata ἀνεπίληπτον (1 Tim. 3:2 BYZ) dapat diartikan “moral
conduct blameless”24 (perilaku moral tanpa cela). Artinya ini menunjukan ciri kata sifat
bagi seorang hamba Tuhan harus bersih serta tidak ada celah dia untuk dipersalahkan
atau dipermasalahkan, dan sifat tidak bercacat ini dijabarkan dalam beberapa bentuk
perilaku yang sehat bagi hamba Tuhan pada kalimat selanjutnya dalam 1Timotius 3:2
ini. Alkitab Perjanjian Baru interlinier menerjemahkan kata ἀνεπίληπτον ini sebagai
“yang tidak perlu dicela.”25 Sehingga jelas sekali bahwa Pendeta harus benar benar bersih
dalam kehidupannya, jemaat akan menilai, masyarakat sekitar juga pasti memperhatikan.
Dapat Menahan Diri
Seorang Pendeta harus memiliki karakter yang baik dan menjalankan nilai-nilai
hidup yang rohani dan sehat. Tulus Tu’u mengatakan: “Perilaku mempengaruhi dan
membentuk karakter. Karakter mempengaruhi dan membentuk kehidupan, dan itulah
hidup seseorang. Dengan demikian, bagaimana hidup seseorang, ditentukan oleh
keyakinan awalnya, sebagai titik berangkatnya. Hal itu akan berpengaruh bagi karakter
hidupnya.”26 Karakter seorang Pendeta harus terbentuk sejak awal sebelum menduduki
jabatannya agar dapat menahan diri dari godaan iblis dan dunia.
22
Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Sekitar Gereja (Jakarata: BPK Gunung Mulia,
2008), 68.
23
A Duane Litfing, “1Timothy,” in The Bible Knowledge Commentary New Testament (Colorado: Dvid
C. Cook, 1984), 736.
24
“BibleWork 10.”
25
Hasan Sutanto, ed., Perjanjian Baru Interlinier, vol. 5 (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2019).
26
Tulus Tu’u, Pemimpin Kristiani Yang Berhasil (Bandung: Bina Media Informasi, 2010), 29.
138
Kata νηφάλιον dalam Bahasa Yunani memiliki arti “temperate in the use of
alcoholic beverages, sober, clearheaded, self-controlled”27 (mengendalikan diri dalam
minuman beralkohol, sadar, berpikiran jernih, mengendalikan diri). Kata νηφάλιον lebih
tepat diterjemahkan sebagai “waspada”28 yang menekankan dan mengingatkan seorang
hamba Tuhan agar selalu sadar dan waspada dalam tindak tanduk dan tutur katanya.
Dengan kata lain sebagai rohaniawan haruslah waspada akan pengaruh di luar dirinya
yang dapat menjerumuskan dia ke dalam persoalan moral dan tutur kata dari sikap yang
tidak dapat mengendalikan diri karena emosi yang tak terkendali.
Bukan Seorang Peminum / Pemabuk
Seorang pendeta jemaat tidak boleh terlihat dalam pengaruh alkohol karena
minuman keras atau psikotropika lainnya dan tidak boleh terikat pada alhkoholisme di
dalam maupun di luar gereja. Alkohol sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu dan
digunakan manusia dalam berbagai keperluan. Namun penggunaan secara berlebihan dan
tidak sesuai peruntukan menyebabkan banyak dampak yang tidak baik dalam hidup
manusia. Kenneth dan John Myers melakukan penelitian tentang gereja dan alkohol,
mengatakan: “kehadiran di gereja merupakan penanda bagi seperangkat perilaku,
harapan, dan sikap lingkungan keluarga yang mengurangi risiko penggunaan alkohol
berat.”29 Dengan kata lain penikmat alkohol enggan untuk ke gereja beribadah, mungkin
karena dirinya merasa berperilaku kurang “memenudi syarat” untuk ke gereja. Dapat
dibayangkan jika yang terikat dengan alkohol adalah seorang Pendeta jemaat, maka yang
terlintas dalam pikirannya ialah kesenangan dan hura-hura. Sikap demikian akan
berdampak pada pengabaian tugas tanggung jawabnya dalam pelayanan kepada gereja
dan jemaat Tuhan.
Bukan Hamba Uang
Sebagai Pendeta jemaat tentu berhak menerima tunjangan gereja untuk
memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan keluarganya. Namun tidak dipungkiri ada gereja
yang belum mampu memberi tunjangan yang cukup bagi Pendetanya, sehingga memberi
kebebasan bagi Pendeta untuk mencari penghasilan lain di luar gerejanya. Tidak salah
jika Seorang Pendeta jemaat mencari penghasilan di luar lingkungan gereja atau bekerja
untuk mencari penghasilan demi kebutuhan hidup bersama keluarganya, selagi pekerjaan
yang dilakukannya sesuai dengan firman Tuhan dan bukan pekerjaan tercela. Namun
perlu menjaga agar kegiatan mencari penghasilan tambahan berupa uang tidak mengikat
dia sehingga terjebak dalam kecintaan akan uang dengan begitu melekat dan
menghabiskan waktunya untuk itu.
Teks dalam 1Timotius 3:3 menyebutkan “bukan hamba uang”, ini menjelaskan
kepada apa atau siapa seorang hamba Tuhan menaklukan dirinya, apakah kepada uang
atau kepada Tuhan yang dilayani. Interlinier Perjanjian Baru menerjemahkan dengan
“yang tidak suka uang”30 berasal dari kata afilarguron. Jika diterjemahkan ‘yang tidak
suka uang’ maka seorang Pendeta jemaat hendaknya menghapus bayangan tentang
“BibleWork 10.”
Ibid.
29
M.S Kenneth S. Kendler, M.D. John Myers, “A Developmental Twin Study of Church Attendance and
Alcohol and Nicotine Consumption: A Model for Analyzing the Changing Impact of Genes and
Environment,”
accessed
September
5,
2021,
https://ajp.psychiatryonline.org/doi/full/10.1176/appi.ajp.2009.09020182.
30
Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinier, vol. 5, 156.
27
28
139
“uang” dalam pikirannya sehingga yang ada dalam pikirannya ialah pekerjaan Tuhan dan
pelayanan jemaat saja. Kecintaan akan uang menyebabkan seorang Pendeta Jemaat
terlibat dengan berbagai permasalahan, baik etika dan hukum. Memiliki suatu bisnis
dengan prospek menguntungkan boleh saja, namun untuk mencapai hal itu seorang
Pendeta jemaat jangan terlibat pelanggaran hukum atau suap yang memalukan. Menjadi
seorang Pendeta jemaat harus menjaga supaya ketamakan akan uang dan kekayaan tidak
menguasai dirinya. Kadangkala gereja jarang sekali berbicara tentang ketamakan dan
soal-soal sosial lingkungan, sehingga tampak suci di gereja saja tetapi kehidupan di luar
gereja bertentangan dengan kesuciannya, berlaku curang dan tidak adil. Semua ini terjadi
karena seorang Pendeta Jemaat terjebak pada kecintaan akan uang.
Getz mengatakan: “Seorang pemimpin Kristen yang matang tidak mencintai
uang. Kitab Suci tidak mengajarkan secara khusus bahwa uang itu jahat. Juga Kitab Suci
tidak mengajarkan bahwa memiliki banyak uang itu salah. Apa yang Kitab Suci ajarkan
adalah bahwa jika kita mencintai uang maka itu merupakan pelanggaran yang serius
terhadap kehendak Allah.”31 Dengan demikian seorang yang ingin menjadi Pendeta
Jemaat haruslah sadar bahwa mencitai uang adalah pelanggaran rohani dan dapat
dikatakan mengingkari komitmen pelayanannya. Dia harus menyadari bahwa kegemaran
akan uang harus ditinggalkan ketika menduduki jabatan Pendeta jemaat yang
memfokuskan dirinya dalam pelayanan.
Bukan Baru Bertobat
Ketentuan dalam penetapan seorang Pendeta jemaat adalah bukan seorang yang
baru bertobat, artinya dalam lingkungan gereja terlebih lingkungan pelayanan, dia
bukanlah orang baru melainkan sudah dikenal baik dalam lingkungan jemaat dan sudah
diketahui memiliki kerinduan untuk melayani. Tentu saja orang yang baru bertobat
belum terbukti dalam kesetiannya dalam pelayanan, dan masih harus banyak belajar
menempa diri dalam pelayanan. “Kesetiaan terbentuk melalui latihan dan kebiasaan.
Kalau sudah dilatih dan dibiasakan setia dan benar dalam hal-hal kecil, maka ia akan
biasa dan terlatih juga untuk setia dan benar dalam perkara yang besar.”32 Pendeta jemaat
harus membiasakan dan melatih diri dalam kesetiaan melayani oleh sebab itu dia
bukanlah seorang yang baru bertobat supaya tidak mudah goyah menghadapi tantangan
pelayanan, namun tetap setia. Kata dalam Bahasa Yunani untuk seorang petobat baru
adalah “νεόφυτον (neofuton) yang dalam Bahasa inggris disebut newly converted”33
(petobat baru). Maksud dari petobat baru ini adalah orang yang baru saja menerima
Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, belum ada pengalaman iman sebagai orang
Kristen. Jika demikian mudah sekali untuk terjerat dalam tipu daya iblis dan jatuh dalam
godaan duniawi, kesombongan dan keangkuhan.
Hendra G. Mulia dalam Jurnal Veritas mengatakan: “Dimensi pengalaman
religius perlu mendapatkan tempat dalam rencana pembinaan anggota gereja.”34 Artinya
jemaat yang baru percaya terlebih dahulu harus dibina dan dibimbing terus menerus
kepada pengalaman rohani untuk menjadi Kristen yang dewasa rohani, baru
diperbolehkan masuk dalam pembinaan pelayanan. Selanjutnya pun jika terlibat dalam
Gene Getz, “Menjadi Seorang Pemimpin Yang Dewasa Secara Rohani,” in Leaders On Leadership, ed.
George Barna (Malang: Gandum Mas, 2002), 124.
32
Tulus Tu’u, Pemimpin Kristiani Yang Berhasil, 36.
33
“BibleWork 10.”
34
Hendra G. Mulia, “Fromasi Spiritualitas Martin Luther Dan Pewujudannya Dalam Gereja-Gereja Injili
Di Indinesia,” Jurnal VERITAS 11, no. 2 (2010).
31
140
melayani harus ada pembekalan bertahap dan pemberian nama jabatan pelayanan hingga
pada waktunya dapat menjadi Pendeta jemaat. Tahapan pembekalan dalam pelayanan ini
berguna untuk mendidik kerendahan hati dan komitmen melayani, sehingga tidak
muncul kesombongan rohani apalagi jika dilantik sebagai Pendeta Jemaat. Budiman
mengatakan: “Sebaliknya orang Kristen baru, yang penuh semangat. Jangan dibiarkan
tanpa dimanfaatkan potensinya, karena dengan demikian imannya akan mundur (bdk
Mat.5:15). Ia dapat diaktifkan secara bertahap dalam bermacam-macam kegiatan gereja
sebagai latihan pelayanan kepada Tuhan.”35 Pada satu sisi gereja harus menjaga supaya
petobat baru tidak diberi beban pelayanan berlebihan dan di sisi lain gereja juga harus
melatih secara bertahap seorang anggota baru sesuai tahapan perkembangan imannya.
Seorang yang bukan petobat baru dapat dilihat melalui tanda-tanda berikut: (1).
Memiliki pemahaman dasar iman Kristen yang benar dan kuat, dapat menjadi pengajar
kebenaran firman. Memahami dasar iman Kristen mulai dari belajar tentang penyataan
Allah serta meninggalkan penyembahan yang sia-sia dan menempa diri dengan
pengetahuan yang benar tentang Kristus. Sproul berkata: “Semua manusia
memutarbalikkan dan menolak pengetahuan yang benar tentang Allah. Karena semua
manusia mengenal Allah tapi menolak pengetahuan tersebut maka manusia berdosa.”36
Kesadaran akan keberdosaan manusia menuntun pada pengenalan akan Allah yang
benar. Sebagaimana juga Paulus mengatakan “Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau
sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau
kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus” (2Tim.3:15). Berbeda halnya
dengan Simon (Kis.8:14-24), mantan penyihir, yang hendak membeli karunia Roh Kudus
dari rasul Petrus tanpa mengerti dasar kebenaran iman telebih dulu dan mendalami
kepecayaan dengan benar. (2). Mengalami pengalaman iman yang membuat rohaninya
terlatih. Penulis Ibrani mengatakan: “Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang
dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang
baik dari pada yang jahat” (Ibrani 5:14). Menjadi orang Kristen sejati tidak mudah dan
melewati banyak tantangan iman yang dilalui. Setiap tantangan pasti membawa
pembelajaran iman kehidupan Kristen yang mengubah setiap pribadi menjadi lebih kuat
dan setia dalam Tuhan. Pengalaman iman ini menuntun orang Kristen pada kedewasaan
rohani, tidak terikat usia seseorang. Derek dan Nancy berkata: “Dewasa berarti
bertumbuh cukup besar untuk melihat dengan obyektif situasi-situasi ini… orang dewasa
sanggup mengkritik secara obyektif, dan dikritik tanpa harus bermusuhan atau mendapat
goncangan emosional yang tidak perlu.”37 Saling memberi masukan di antara orang
Kristen dewasa adalah hal yang wajar, dan orang Kristen dewasa tidak mudah patah
semangat, tersinggung, atau merasa dikucilkan dengan masukan dan kritik dari sesama
jemaat lain. (3). Sudah teruji komitmen untuk melayani jemaat Tuhan dengan menjaga
kekudusan dan nama baik di dalam dan di luar gereja. Komitmen kekudusan dan nama
baik ini menjadi tuntutan umat terhadap Pendeta. Sproul mengatakan: “Pendeta harus
hidup berdasarkan pengharapan yang tinggi dari jemaat mereka dan kata-kata klise klasik
yang membentuk tingkah laku mereka. Godaan untuk menunjukkan kesalehan yang
palsu sangat besar.”38 Melihat tuntutan kekudusan seorang Pendeta, maka dia harus
benar-benar memiliki komitmen kuat dalam melayani Tuhan dengan kekudusan hidup.
35
R. Budiman, Surat-Surat Pastoral 1&2 Timotius Dan Titus (Jakarata: BPK Gunung Mulia, 2011), 28.
R.C. Sproul, Mengapa Percaya (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2003), 49.
37
Derek & Nancy Copley, Membangun Dengan Pisang (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2001),
28.
38
R.C. Sproul, Mengapa Percaya, 73-74.
36
141
Cakap Mengajar
Mengajar tidak saja dengan pola-pola yang monoton sebagai pengkhotbah, tetapi
dia sebaiknya memiliki ketrampilan lebih dalam berpidato, pandai menyampaikan orasi,
dapat memprediksi bagaimana khotbah yang relevan dan menarik. Selain itu kecakapan
seorang pengajar umat juga harus menguasai tekhnologi informasi dan komunikasi
terlebih masa sekarang ini adalah era digitalisasi. Khotbah yang ditampilkan dalam
bentuk visual dan audiovisual yang menarik perlu dilakukan supaya menarik antusiasme
jemaat dan pendengar dapat menangkap pesan dengan baik dari Pendeta. Ingatlah bahwa
tugas seorang Pendeta adalah mengkomunikasikan pesan firman Tuhan kepada jemaat,
jadi pesan firman Tuhan harus disampaikan dengan cara yang sesuai dan menarik juga.
Dalam pengertian Kristen, seorang Pendeta jemaat yang berkhotbah atau mengajar
jemaat disebut sebagai komunikator, artinya “melakukan segala usaha untuk menyatakan
Allah kepada orang berdosa yang terkungkung oleh situasi tertentu….Gereja lokal dapat
meningkatkan kualitas komunikatornya melalui latihan-latihan tentang tekhnik
komunikasi efektif.”39 Penguasaan komunikasi yang baik bertujuan untuk “membuat
pendengar mengerti suatu berita yang disampaikan oleh pembicara dan slanjutnya
mendorong si pendengar bertindak sesuai dengan keinginan pembicara.”40
Seorang Pendeta jemaat yang cakap mengajar atau menyampaikan firman Tuhan
di jemaat ialah seorang yang memiliki pendidikan yang cukup secara teologi dan
menguasai doktrin Kristen serta Alkitab. Maka kepentingan pendidikan teologi bagi
Pendeta jemaat adalah: “sebagai wadah untuk mempelajari variasi teologi agar gereja
memliki landasan yang kuat, karena tanpa teologi dan doktrin yang benar serta sesuai
dengan Alkitab, maka kegiatan tidak mempunyai arah.”41 Pendeta menjadi benteng
dalam menghadapi kemungkinan ajaran sesat yang menyimpang dan tidak sesuai Alkitab
sehingga dia perlu menguasai pendidikan teologi secara baik.
Secara gramatikal, seorang Pendeta jemaat yang cakap mengajar (διδακτικόν)
adalah seorang yang “skillful in teaching, able to teach”42 (terampil dalam mengajar,
mampu mengajar). Artinya seorang Pendeta harus memiliki kemampuan lebih dalam hal
mengajar jemaat, baik mengajarkan firman juga mengajar dengan melakukannya.
Lamberthus Kattu mengatakan: “Pendeta dalam mengajar harus memiliki dasar teologi
yang mantap dan berkualitas serta dedikasi yang tinggi dalam pelayanannya. Pendeta
harus mantap dalam imannya dan memiliki prestasi yang tinggi serta menjadi teladan
dalam iman dan perbuatan bagi jemaat atau orang yang dilayani yang mana mereka
menyatakan pimpinan Roh Kudus Ef 4:11-15.”43 Sehingga semua pengetahuan yang ia
miliki dipersembahkan kepada Tuhan, dan yang Nampak dalam pelayanan adalah kuasa
Allah yang luar biasa dan bukan kehebatan dan kemegahan pendeta itu sendiri sebab
Pendeta hanya alat Tuhan saja. Melalui pengajaran atau teologi Pendeta memimpin
jemaat untuk bertumbuh dalam iman, pengharapan dan kasih ( I Tes 5:8). Maka seorang
pendeta yang mengajar dan memimpin jemaat haruslah mengetahui kehendak Tuhan dan
mau melakukan perintah Tuhan dalam aplikasi kehidupan sehari-hari. Untuk mengajar
penting sekali bagi pendeta mempunyai pengetahuan teologi atau pengajaran Alkitab
yang berbobot, supaya pendeta dapat memberi penjelasan Firman Tuhan dengan benar.
39
John Virgil, Kompleksitas Penggembalaan Gereja, 123.
Y. Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Malang: Gandum Mas, 1993), 82.
41
John Virgil, Kompleksitas Penggembalaan Gereja, 125.
42
“BibleWork 10," διδακτικόν (1 Tim. 3:2 BGT)
43
Lamberthus Kattu, Managemen Gereja I (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1999).
40
142
Pendeta harus memahami bahwa gereja adalah lembaga pendidikan iman bagi
orang-orang Kristen untuk mengajarkan mereka tentang doktrin Alkitab dan organisasi
kekristenan. Karena pendidikan ini berdampak pada pertumbuhan gereja, Pendeta
sebagai pemimpin umat seyogyanya menjalankan pendidikan dan pengajaran dalam
lingkungan keumatan. Mengajarkan jemaat tentang kebenaran firman Tuhan adalah
tanggung jawab seorang Pendeta, oleh sebab itu dia harus dapat mengemban tugas
sebagai pengajar yang cakap.
Seorang Pendamai
Gereja hadir dalam dunia memliki tujuan agar damai terjadi di seluruh dunia, dan
tugas gereja untuk menyatakan damai dalam dunia. Untuk membawa damai ke seluruh
dunia, maka gereja “jangan mengasingkan diri dari dunia tetapi jangan pula terlalu
dipengaruhi oleh dunia sehingga wujudnya menjadi hilang.”44 Juga gereja menyadari
dirinya sebagai garam atas pembusukan dan terang atas kegelapan dunia yang berdosa.
Pendeta jemaat adalah seorang pendamai, bukan pendendam, yang berarti selalu
ingin mencari damai dalam konflik yang terjadi dalam jemaat. Juga ia bukan memihak
salah satu pihak yang sedang berkonflik dalam jemaat tetapi di menemukan jalan tengah
bagi jemaat dalam pertikaian. Sekalipun Tuhan Yesus telah mengajarkan tentang
berdamai dengan sesama, namun inilah tugas penting seorang Pendeta jemaat dalam
menjadi juru damai bagi pertikaian antara jemaat yang seringkali terjadi dan tidak bisa
dihindari. Pendeta harus belajar seni memimpin dalam konflik di antara jemaat tanpa
harus memusuhi salah satu dari mereka. Sebagaimana juga dikatakan oleh Borrong
“Pendeta juga melaksanakan kepemimpinan kepada umat, menolong warganya
menghadapi berbagai masalah bersama, mengarahkan mereka, dan menolong mereka
menentukan sikap dan mengambil keputusan.”45
Pemakaian Bahasa Yunani ἄμαχον diterjemahkan “tidak suka bertengkar”46
untuk menekankan bahwa bertengkar bukanlah kebiasaan seorang Pendeta jemaat,
apalagi sikap ini menyangkut keteladanan dalam gereja. Menyelesaikan konflik jemaat
secara adil bukan berarti memenangkan salah satu pihak saja, tetapi memberikan jalan
damai bagi semua pihak secara berimbang dan memberikan jalan win-win solution.
London JR mengatakan: “Di tengah-tengah konflik, setiap pendeta – pemimpin harus
pertama kali bertanya pada diri sendiri: apakah saya adil?”47 Pendeta, dalam pergumulan
bersama Tuhan, harus mengambil langkah yang tepat sehingga tidak ada yang merasa
diuntungkan di atas penderitaan orang lain. Setiap pengambilan keputusan juga
didasarkan atas kasih kepada sesama dan memperhatikan kepentingannya, sehingga yang
tercipta ialah damai bukan sebaliknya pertengkaran tiada henti. Keberhasilan seorang
Pendeta menghadirkan damai dalam lingkungan umat akan menjadi pujian dan teladan
semua orang.
44
E.P. Gintings & Saur Hasugian, Apakah Hukum Gereja (Bandung: Jurnal Info Media, 2009), 109.
Robert Borrong, “Signifikansi Kode Etik Pendeta,” Gema Teologi 39, no. 1 (2015): 24, http://journaltheo.ukdw.ac.id/index.php/gema/article/view/194.
46
Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinier, vol. 5, 1113 .
47
H.B. London JR, “Menjadi Pemimpin Yang Tegas Tetapi Lembut,” in Leaders On Leadership (Malang:
Gandum Mas, 2002), 136.
45
143
Berlaku Bijaksana
Menjadi bijaksana bagi seorang Pendeta jemaat bukan perkara mudah tetapi
memerlukan banyak pengalaman dalam perjalanan pelayanan. Seorang bijaksana dapat
menempatkan diri dalam persoalan sehingga mengeluarkan keputusan yang tepat.
Pendeta atau pemimpin jemaat yang bijaksana dapat menuntun semua orang, yang
berkonflik sekalipun, kepada tujuan bersama dalam gereja. Pendeta harus menjaga agar
jemaat tetap terikat dengan gerejanya. Jaharianson Saragih mengatakan “Pelayan selalu
dianggap panutan. Dalam keteladanan pendeta, jemaat memiliki tokoh untuk
mengidentifikasi diri dan akan memperkuat keterikatan warga jemaat pada
gerejanya.”48
Kata dalam Bahasa Yunani σώφρονα (1 Tim. 3:2 BGT) memiliki arti: “strictly
having a sound or healthy mind; as having ability to curb desires and impulses so as to
produce a measured and orderly life self-controlled, sensible”49 (benar-benar memiliki
pikiran yang sehat; memiliki kemampuan untuk mengekang keinginan dan dorongan hati
sehingga menghasilkan kehidupan terukur dan teratur yang terkendali; berakal). Seorang
pendeta yang memimpin bijaksana pastilah memiliki keadaan hidup yang sehat untuk
mengatur banyak orang kepada visi bersama. Budiman melihat kata bijaksana dalam
1Timotius 3 ayat 2 ini dengan mengatakan: “Bijaksana - sikap yang sesuai dengan akal
budi yang telah diperbarui Roh Kudus.”50 Dengan tuntunan Roh Kudus seorang Pendeta
jemaat dapat melakukan tugas dengan bijaksana. Elfri Darlin Sinaga menjelaskan tentang
kebijaksanaan seperti berikut: “Pendeta sebagai seorang gembala jemaat memiliki peran
penting untuk memelihara anggota jemaat, memberi makan, membimbing dan membela
mereka. Ia akan melengkapi dirinya dengan kebijaksanaan yang besar, dan akan
menyatakan pertimbangan yang lembut terhadap semua orang.”51
Bersikap Sopan
Salah satu syarat penting bagi seorang Pendeta jemaat ialah memiliki budaya
sikap sopan santun di dalam jemaat maupun di luar jemaat. Hal ini terkait erat dengan
kebiasaan seorang Pendeta dalam berpenampilan, bertutur kata, dan perilakunya yang
dilihat oleh jemaat dan masyarakat sekitar yang mana menjadi acuan teladan bagi banyak
orang. Keadaan ini menyangkut etika dalam penampilan juga dalam kedisiplinan yang
konsisten, tidak berubah-ubah dalam tutur kata, tetapi selalu mengatakan perkataan yang
membangun dan dapat diterima semua orang. Adab kesopanan seorang Pendeta
merupakan saluran kasih Allah bagi sesama orang percaya dan masyarakat. “Kasih Allah
bukan tanpa bentuk. Di dalamnya terdapat etiket. Kasih Allah tidak kasar. Ia
menyampaikan hal-hal yang tepat pada saat yang tepat dengan cara yang mengasihi.”52
Rasul Paulus sendiri mengatakan: “Kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam
hati kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang” (2 Kor. 3:2 ITB).
Artinya apa saja yang dilakukan oleh seorang Pendeta jemaat selalu dipantau oleh jemaat
Jaharianson Saragih, “PENDETA SEBAGAI HAMBA TUHAN ANATARA HARAPAN DAN
KENYATAAN” (n.d.), https://ejurnal.sttabdisabda.ac.id/index.php/JSPL/article/view/2/2.
49
“BibleWork 10, σώφρονα (1 Tim. 3:2 BGT)”
50
R. Budiman, Surat-Surat Pastoral 1&2 Timotius Dan Titus, 27.
51
Elfri Darlin Sinaga, “Pengaruh Peran Pendeta Jemaat Untuk Mempertumbuhkan Iman Warga Jemaat
Antar Denominasi Di Kota Pematangsiantar,” Jurnal Theologia Forum STFT Surya Nusantara VIII, no. 1
(2020): 1–12.
52
Hocking, Rahasia Keberhasilan Seorang Pemimpin, 287.
48
144
dan masyarakat umum. Jika perlakuan Pendeta menunjukkan kasih yang sopan santun
maka banyak orang diberkati.
Kata Bahasa Yunani κόσμιον (1 Tim. 3:2 BGT) yang diterjemahkan oleh
Lembaga Alkitab Indonesia sebagai ‘sopan’ memiliki arti “Orang yang disiplin,
terhormat, berpakaian yang bercirikan sopan santun.”53 Dengan kata lain sopan santun
ini juga berkaitan dengan budaya bertutur kata dan berbusana seorang Pendeta jemaat.
Berpakaian rapi dan bersih serta perawakan sehat sangat penting bagi seorang Pendeta
jemaat serta bertutur kata yang sopan sangat diharapkan, supaya seluruh kehidupannya
dapat menjadi berkat, dan orang melihat Tuhan dalam dirinya. Pendeta di dalamnya
selalu dituntut menampilkan jati diri yang sempurna tanpa cacat, baik dari sisi pribadi
maupun penampilan luarnya, berkenaan dengan cara dia berbicara, kesopanan, perhatian
dan lain-lain.
Seorang Peramah Bukan Pemarah
Pendeta jemaat diharapkan memiliki budaya penyabar, tidak mudah untuk marah,
sebab dia melakukan pelayanan kepada jemaat yang memiliki beragam karakter. Tulus
Tu’u menuliskan beberapa manfaat dari kesabaran: “Kalau pemimpin pelayan melatih
dan mengembangkan kesabaran, sungguh luar biasa pengaruh dan hasilnya bagi
kepemimpinannya. Ia akan penuh akal budi dan pengertian. Perbantahan dan kesalahan
besar dapat dihindari. Mampu bertahan dalam kesesakkan.”54 Seorang yang gampang
untuk marah akan menimbulkan perbantahan dan perselisihan dalam jemaat atau
masyarakat sekitar. “Sebagai seorang pemimpin yang harus mampu berkomunikasi
dengan orang lain, ia tidak boleh gampang marah.”55 Jika amarah dikedepankan maka
banyak hal-hal negatif yang akan menghampiri diri seseorang. Seorang Pendeta yang
peramah dapat dilihat dari cara berkomunikasi dan tata krama yang dia lakukan. Ini juga
akan terlihat dalam kasihnya kepada sesama dan kepada jemaat yang dia layani. Sikap
peramah ini tidak hanya dimiliki Pendeta, tetapi juga anggota keluarganya yang lain,
sebagai bagian dari dukungan atas pelayanan kependetaan yang diembannya.
Penyelidikan terhadap teks Bahasa Yunani πλήκτην (1 Tim. 3:3 BGT)
menunjukan arti “orang yang garang, pengganggu, orang yang suka betengkar.”56 Sudah
pasti bahwa seorang pemarah tidak dapat menahan diri dalam pertengkaran dengan
percakapan bernada tinggi, tidak bisa mengalah dan maunya menang sendiri. Seorang
Pendeta jemaat mungkin saja pernah bertengkar, namun seorang Pendeta bukan seorang
yang menyukai pertengkaran, artinya jangan sampai sedikit saja persoalan pertengkaran
menjadi-jadi tidak terkendali, disertai kemarahan luar biasa. Ini juga menjadi alasan
mengapa menetapkan jabatan seorang Pendeta harus diadakan penelusuran jejak
kepribadiaan dan dilakukan tes kejiwaan / psikotest. Karena mungkin saja seseorang
temperamental namun ketika dikukuhkan dalam jabatan Pendeta tidak diketahui, tetapi
dalam perjalanan pelayanannya ternyata menunjukkan permasalahan dimaksud.
Screening yang ketat sangat diperlukan mengingat pentingnya kepemimpinan
penggembalaan jemaat gereja.
Pendeta sebagai pemimpin jemaat menjadi wujud wajah gereja di hadapan
masyarakat, oleh sebab itu dia harus dapat menjalin hubungan yang ramah dengan semua
orang dalam jalinan persaudaraan yang baik. Virgil berkata: “Pemimpin penatalayanan
“BibleWork 10, όσμιον (1 Tim. 3:2 BGT)”
Tulus Tu’u, Pemimpin Kristiani Yang Berhasil, 33.
55
R. Budiman, Surat-Surat Pastoral 1&2 Timotius Dan Titus, 27.
56
“BibleWork 10, πλήκτην (1 Tim. 3:3 BGT)”
53
54
145
bagi pertumbuhan gereja harus berupaya membangun dan memlihara hubungan baik agar
terjadi pelayanan yang berkualitas di dalam jemaat.”57 Dengan demikian seorang Pendeta
jemaat harus membangun hubungan yang baik dalam pelayanan, salah satu hal
sederhananya ialah dengan keramahtamahannya.
Nama Baik di Luar Jemaat
Pendeta jemaat secara khusus harus menyadari panggilan ini dengan menjaga
nama baik dirinya sendiri dan nama baik gereja, sehingga kekristenan dirasakan benarbenar berdampak. Rubin Adi Abraham mengatakan: “Tuhan ingin agar kita menjadi
orang Kristen yang berdampak dan berpengaruh. Saya yakin kita mempunyai potensi
untuk mempengaruhi orang di sekitar kita, baik secara negatif maupun positif. Orang
yang mempengaruhi secara positif seringkali disebut motivator, tetapi orang yang
memengaruh secara negatif disebut provokator.”58 Jika Pendeta memiliki dampak baik
di lingkungan gereja dan masyarakat umum maka nama baiknya dikenal banyak orang,
dalam arti menjadi berkat bagi semua. Pendeta mempertauhkan nama baiknya dalam
pelayanan. Hal ini menurut Herlince Rumahorbo karena “Gembala memiliki pelayanan
dalam memberi makan, memelihara dan mendewasakan anggota kawanan dombanya,”59
jadi dampak dari seorang Pendeta harus terasa di luar jemaat terlebih kepada jemaat yang
digembalakannya.
Menurut John C. Maxwell yang dikutip oleh Kenneth O Gangel, model
keteladanan diuraikan seperti berkiut: “Saya sebagai Model (saya melakukan sesuatu).
Saya sebagai Mentor (Saya melakukan sesuatu dan anda memperhatikan saya). Saya
sebagai Monitor (saya melakukan sesuatu dan saya memperhatikan anda). Saya
mendorong (anda melakukan sesuatu). Kita melipatgandakan (anda melakukan sesuatu
dan melatih orang lain).”60 Seorang Pendeta yang menjadi teladan dia akan menjadi
contoh dalam berbuat sesuatu dan menunjukkan kepada orang lain bagaimana
melakukannya. Demikian pula dalam memelihara nama baik dia harus sangat
memperhatikan hal itu sehingga dipandang baik di lingkungannya.
Suka Memberi Tumpangan
Sebagai seorang Pendeta yang melayani jemaat dan masyarakat harus memiliki
kemurahan hati, yang ditunjukkan dalam kesediaan memberi tumpangan bagi yang
membutuhkan. Pada teks 1Timotius 3:2, Budiman menjelaskan tentang memberi
tumpangan berikut: “Ini merupakan kebajikan yang dijunjung tinggi dalam kehidupan
jemaat Kristen zaman itu. Ini dapat dimengerti, karena ia adalah bentuk yang nyata dari
kasih di tengah-tengah situasi masyarakat, yang belum mempunyai fasilitas-fasilitas
penginapan yang baik seperti pada zaman sekarang.”61 Pendeta jemaat harus memiliki
kerelaan hati memberi tumpangan, sebagai wujud kasih kepada sesama. Ketika jemaat
mengalami kesulitan tempat tinggal gereja, melalui kebijaksanaan Pendeta, dapat
memberi tempat tumpangan sementara, atau orang-orang Kristen dan hamba Tuhan dari
57
John Virgil, Kompleksitas Penggembalaan Gereja, 97.
Rubin Adi Abraham, Menjadi Berkat Berbuah Lebat (Yogyakarta: ANDI, 2015), 3.
59
Herlince Rumahorbo, “Keteladanan Yesus Sebagai Gembala Menjadi Dasar Pelayanan Hamba Tuhan
Masa Kini,” Phronesis: Jurnal Teologi dan Misi 3, no. 2 (2020): 135–154,
https://jurnal.sttsetia.ac.id/index.php/phr/article/view/68/63.
60
Kenneth O. Gangel, “Apa Yang Dilakukan Oleh Para Pemimpin,” in Leaders On Leadership, ed. George
Barna (Malang: Gandum Mas, 2002), 37.
61
R. Budiman, Surat-Surat Pastoral 1&2 Timotius Dan Titus, 27.
58
146
tempat jauh yang memerlukan tumpangan, bahkan misalnya masyarakat yang terkena
bencana alam gereja dan Pendeta bisa memberi tempat untuk penampungan sementara.
Dalam hal demikian ini kasih Allah dapat dilihat dan dirasakan oleh semua orang baik di
dalam dan di luar gereja. Dalam keadaan bencana covid-19 yang semakin meluas, Sekum
PGI, Jacky Manuputty pernah menghimbau agar gereja-gereja menyediakan tempatnya
untuk isolaso covid-19. Jacky mengatakan: "Gereja-gereja bisa menyiapkan gedunggedungnya yang saat ini kosong dan tidak dipakai untuk digunakan sebagai tempat isolasi
bagi mereka yang terpapar corona, bilamana hal itu layak dan dibutuhkan.”62 Sebagai
respon atas arahan PGI ini, dalam hal gereja memberikan tempat untuk isolasi covid-19,
gereja HKBP membuka tempat perawatan covid di lingkungan gedung gereja. Dalam
peresmian tempat, Pendeta Halomoan mengatakan: “Mari kita implementasikan
pelayanan dengan sepenuh hati, sehingga kita dapat menjadi garam pelayanan kesehatan
ditengah masyarakat mengikut Yesus sebagai garam dunia.”63 Gereja memberikan
tumpangan, bukan hanya untuk masyarakat gereja saja, tetapi juga bagi masyarakat
umum. Banyak langkah yang dapat dilakukan oleh Pendeta gereja dalam rangka memberi
tumpangan kepada orang yang memerlukan, seperti, membuka rumah singgah bagi tuna
wisma, membuka panti asuhan bagi anak yatim, membangun sekolah bagi yang tidak
mampu, mendirikan panti jompo, dan lain-lain. Kegiatan ini membuka peluang bagi
gereja agar menjadi tumpangan bagi orang lain.
Suami dari satu istri
Seorang pendeta jemaat haruslah seorang yang memiliki hanya satu pasangan
hidupnya, dalam pernikahan dia monogamy bukan poligami, dan mencintai istrinya
sebagai satu-satunya teman sekerja dalam Tuhan. Scott Thomas mengatakan: “A Pastor
must love his wife exclusively with his mind, will and emotions and not just her body”64
body” (seorang Pendeta harus mencintai istrinya secara ekslusif dengan pikiran kemauan
dan emosinya dan bukan hanya tubuhnya). Kemurnian pernikahan seorang Pendeta harus
terjaga dari penodaan dan ketidaksetiaan pernikahan. Kehidupan pernikahan Pendeta dan
pasangannya ekslusif hanya mereka berdua yang menikmatinya, keindahan, kemesraan,
seksualitas, dan pergumulan bersama dalam rasa saling memiliki. “Keintiman berasal
dari perasaan saling memiliki, tetapi harus diperkaya dengan hubungan seks yang terus
berjalan saling memuaskan, dan ditandai oleh kehangatan, dan perasaan keduanya
dicintai.”65 Menikmati hubungan yang indah hendaknya dialami seorang Pendeta supaya
tidak ada ketidakpuasan suami-istri dalam hubungan pernikahan.
Kepala Keluarga yang Baik
Sebelum dia mampu memimpin jemaat Allah maka dia harus terlebih dahulu
mampu memimpin anggota keluarga, baik anak-anaknya dan istrinya. Kepemimpinan
Dessy Purnamasari, Deti; Carina, “Pgi Minta Gedung Gereja Disiapkan Jadi Tempat Isolasi Pasien
Covid
19,”
Kompas.Com,
accessed
September
5,
2021,
https://nasional.kompas.com/read/2020/04/12/13314461/pgi-minta-gedung-gereja-disiapkan-jadi-tempatisolasi-pasien-covid-19.
63
Tobari, “Ephorus HKBP Resmikan Ruangan Isolasi Pasien COVID-19,” Https://Infopublik.Id, accessed
September 28, 2021, https://infopublik.id/kategori/nusantara/565356/ephorus-hkbp-resmikan-ruanganisolasi-pasien-covid-19.
64
Scott
Thomas,
“Seventeen
Characteristics
of
a
Qualified
Church
Planter,”
Https://Www.Churchplanting.Com,
https://www.churchplanting.com/seventeen-characteristics-of-aqualified-church-planter/#ixzz1W9Vay6yy.
65
Ed Wheat & Gaye Wheat, Intended for Pleasure (Jakarata: Binarupa Aksara, 1997), 151.
62
147
dalam rumah tangganya menjadi patokan untuk melihat apakah seorang Pendeta mampu
memimpin jemaat Tuhan atau gereja. Scott Thomas memberi gambaran bagi seorang
Pendeta sebagai pemimpin bagi keluarga juga pemimpin bagi jemaat. “Kawanan pertama
untuk seorang pendeta adalah keluarganya sendiri ia sebagai Pastor, Ayah. Kualifikasi
seorang Pendeta untuk gereja dimulai dari manajemen rumahnya saat dia memimpin
mereka dalam disiplin dan nasihat Tuhan.”66 Tepatlah apa yang diminta rasul Paulus
kepada Timotius bahwa seorang Pendeta harus bisa mengatur keluarganya dengan baik.
“Pemimpin yang tidak dapat memberikan pimpinan yang baik terhadap keluarganya
sendiri, juga tidak akan pernah memberikan pimpinan yang baik terhadap orang lain yang
berada di bawah tanggung jawab mereka.”67 Oleh sebab itu dalam penetapan Pendeta
jemaat harus diperhatikan bahwa seorang Pendeta dapat mengendalikan istrinya supaya
tidak merusak suasana pelayanan dalam jemaat.
Implikasi
Jika memperhatikan hasil penelitian mengenai penerapan syarat-syarat bagi
Gembala Jemaat dalam 1 Timotius 3:1-7, maka dapat ditemukan suatu implikasi terhadap
penerapan-penerapan dari syarat Gembala yang menekankan pada sifat-sifat bijak
(seperti: lemah lembut, sabar, murah hati, dll). Sekalipun, ditemukan suatu timbal-balik
dari penilaian seseorang terhadap gembala tersebut sebagai seorang yang patut diteladani
atau role model bagi jemaat ataupun pada masyarakat luas. Penerapan dari sifat-sifat
bijak, keteladanan dan kecakapan mengajar dari seorang gembala menjadi bagian penting
dari hasil interpretasi 1 Timotius 3:1-7.
Rekomendasi Penelitian Selanjutkan
Penelitian ini dapat ditinjaklanjuti pada topik “Hubungan Penerapan terhadap
syarat-syarat bagi Gembala Jemaat Berdasarkan Kitab 1 Timotius 3:1-7 dan Titus 1:516.” Begitupun, dapat dikembangkan secara tematik mengenai syarat-syarat Gembala
dalam surat-surat Paulus.
Kesimpulan
Seorang pendeta jemaat seharusnya tidak memelihara banyak keinginankeinginan, apalagi keinginan yang bersifat duniawi. Pendeta harus benar benar bersih
dalam kehidupannya, jemaat akan menilai, masyarakat sekitar juga pasti memperhatikan.
Rohaniawan haruslah waspada akan pengaruh di luar dirinya yang dapat menjerumuskan
dia ke dalam persoalan moral dan tutur kata dari sikap yang tidak dapat mengendalikan
diri karena emosi yang tak terkendali.
Menjadi seorang Pendeta jemaat harus menjaga supaya ketamakan akan uang dan
kekayaan tidak menguasai dirinya. Pendeta jemaat adalah seorang pendamai, bukan
pendendam, yang berarti selalu ingin mencari damai dalam konflik yang terjadi dalam
jemaat. Menyelesaikan konflik jemaat secara adil bukan berarti memenangkan salah satu
pihak saja, tetapi memberikan jalan damai bagi semua pihak secara berimbang. Keadaan
ini menyangkut etika dalam penampilan juga dalam kedisiplinan yang konsisten, tidak
berubah-ubah dalam tutur kata, tetapi selalu mengatakan perkataan yang membangun
dan dapat diterima semua orang.
66
67
Thomas, “Seventeen Characteristics of a Qualified Church Planter.”
Gene Getz, “Menjadi Seorang Pemimpin Yang Dewasa Secara Rohani," 99.
148
Pendeta jemaat diharapkan memiliki budaya penyabar, tidak mudah untuk marah,
sebab dia melakukan pelayanan kepada jemaat yang memiliki beragam karakter. Sebagai
seorang Pendeta yang melayani jemaat dan masyarakat harus memiliki kemurahan hati,
yang ditunjukkan dalam kesediaan memberi tumpangan bagi yang membutuhkan.
Sebelum dia mampu memimpin jemaat Allah maka dia harus terlebih dahulu mampu
memimpin anggota keluarga, baik anak-anaknya dan istrinya. Kepemimpinan dalam
rumah tangganya menjadi patokan untuk melihat apakah seorang Pendeta mampu
memimpin jemaat Tuhan atau gereja.
Rujukan
Abraham, Rubin Adi. Menjadi Berkat Berbuah Lebat. Yogyakarta: Yayasan ANDI,
2015.
Banne, Eddy, and Daud Manno. “Menerapkan Makna Ibadah Menurut 1 Timotius Di
Gereja Pantekosta Di Indonesia Jemaat Hosana Keerom Barat.” EPIGRAPHE:
Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani 4, no. 1 (2020): 57–70.
Borrong, Robert. “Signifikansi Kode Etik Pendeta.” Gema Teologi 39, no. 1 (2015): 24.
http://journal-theo.ukdw.ac.id/index.php/gema/article/view/194.
Derek & Nancy Copley. Membangun Dengan Pisang. Malang: Seminari Alkitab Asia
Tenggara, 2001.
E.P. Gintings & Saur Hasugian. Apakah Hukum Gereja. Bandung: Jurnal Info Media,
2009.
Ed Wheat & Gaye Wheat. Intended for Pleasure. Jakarata: Binarupa Aksara, 1997.
Edgar Walz. Bagaimana Mengelola Gereja Anda. BPK Gunung Mulia, 2006.
Enns, Paul. The Moody Handbook of Theology. Malag: Gandum Mas, 2006.
Gangel, Kenneth O. “Apa Yang Dilakukan Oleh Para Pemimpin.” In Leaders On
Leadership, edited by George Barna, 37. Malang: Gandum Mas, 2002.
Gene Getz. “Menjadi Seorang Pemimpin Yang Dewasa Secara Rohani.” In Leaders On
Leadership, edited by George Barna, 124. Malang: Gandum Mas, 2002.
V. Gilbert Beers. Pelayanan Dan Pertumbuhan Rohani. Malang: Gandum Mas, 2002.
Gintings, E.P. Penggembalaan Hal-Hal Yang Pastoral. Bandung: Jurnal Info Media,
2009.
Hasan Sutanto, ed. Perjanjian Baru Interlinier. Vol. 5. Jakarta: Lembaga Alkitab
Indonesia, 2019.
Hendra G. Mulia. “Fromasi Spiritualitas Martin Luther Dan Pewujudannya Dalam
Gereja-Gereja Injili Di Indinesia.” Jurnal VERITAS 11, no. 2 (2010).
Hocking, David. Rahasia Keberhasilan Seorang Pemimpin. Yogyakarta: Yayasan
ANDI, 2003.
Horst Balz & Gerhard Schneider, ed. Exegetical Dictionary of The New Testament.
Vol. 2. Grand Rapids: William B.E Publishing Co, 1994.
Jan S. Aritonang. Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Sekitar Gereja. Jakarata: BPK
Gunung Mulia, 2008.
John Virgil. Kompleksitas Penggembalaan Gereja. Jakarta: Yayasan Kasih Imanuel,
2001.
JR, H.B. London. “Menjadi Pemimpin Yang Tegas Tetapi Lembut.” In Leaders On
Leadership, 136. Malang: Gandum Mas, 2002.
Kenneth S. Kendler, M.D. John Myers, M.S. “A Developmental Twin Study of Church
Attendance and Alcohol and Nicotine Consumption: A Model for Analyzing the
Changing Impact of Genes and Environment.” Accessed September 5, 2021.
149
https://ajp.psychiatryonline.org/doi/full/10.1176/appi.ajp.2009.09020182.
Lamberthus Kattu. Managemen Gereja I. Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1999.
Laoly, Otniel S. “KUALIFIKASI GEMBALA SIDANG BERDASARKAN 1
TIMOTIUS 3:1-7 DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN
JEMAAT.” PROVIDENSI: Jurnal Pendidikan dan Teologi 4, no. 2 (2021): 1–7.
Litfing, A Duane. “1Timothy.” In The Bible Knowledge Commentary New Testament,
736. Colorado: Dvid C. Cook, 1984.
M.Born-Storm. Apakah Penggembalaan Itu? BPK Gunung Mulia, 2005.
Menzies, William W. “Doktrin Alkitab.” Malang: Gandum Mas, 2001.
Purnamasari, Deti; Carina, Dessy. “Pgi Minta Gedung Gereja Disiapkan Jadi Tempat
Isolasi Pasien Covid 19.” Kompas.Com. Accessed September 5, 2021.
https://nasional.kompas.com/read/2020/04/12/13314461/pgi-minta-gedunggereja-disiapkan-jadi-tempat-isolasi-pasien-covid-19.
R. Budiman. Surat-Surat Pastoral 1&2 Timotius Dan Titus. Jakarata: BPK Gunung
Mulia, 2011.
R.C. Sproul. Mengapa Percaya. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2003.
Rumahorbo, Herlince. “Keteladanan Yesus Sebagai Gembala Menjadi Dasar Pelayanan
Hamba Tuhan Masa Kini.” Phronesis: Jurnal Teologi dan Misi 3, no. 2 (2020):
135–154. https://jurnal.sttsetia.ac.id/index.php/phr/article/view/68/63.
Saragih, Jaharianson. “PENDETA SEBAGAI HAMBA TUHAN ANATARA
HARAPAN DAN KENYATAAN” (n.d.).
https://ejurnal.sttabdisabda.ac.id/index.php/JSPL/article/view/2/2.
Shadily, John M. Echols; Hassan. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarata: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2003.
Sihombing, Bernike. “Kepribadian Dan Kehidupan Hamba Tuhan Menurut 1 Timotius
3:1-13.” Kurios: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristenku 2, no. 1
(2014): 1–13.
Silalahi, Uber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Unpar Press, 2006.
Sinaga, Elfri Darlin. “Pengaruh Peran Pendeta Jemaat Untuk Mempertumbuhkan Iman
Warga Jemaat Antar Denominasi Di Kota Pematangsiantar.” Jurnal Theologia
Forum STFT Surya Nusantara VIII, no. 1 (2020): 1–12.
Stefanus Dully; Pelleng, Jusupf Leo. “KRITERIA PEMIMPIN ROHANI :
BERDASARKAN 1 TIMOTIUS 3 : 1-13.” PENDAR CAHAYA: Jurnal
Pendidikan dan Pembelajaran 2, no. 3 (2022): 1–13.
Thomas, Scott. “Seventeen Characteristics of a Qualified Church Planter.”
Https://Www.Churchplanting.Com. https://www.churchplanting.com/seventeencharacteristics-of-a-qualified-church-planter/#ixzz1W9Vay6yy.
Tobari. “Ephorus HKBP Resmikan Ruangan Isolasi Pasien COVID-19.”
Https://Infopublik.Id. Accessed September 28, 2021.
https://infopublik.id/kategori/nusantara/565356/ephorus-hkbp-resmikanruangan-isolasi-pasien-covid-19.
Tulus Tu’u. Pemimpin Kristiani Yang Berhasil. Bandung: Bina Media Informasi, 2010.
Waharman. “KARAKTERISTIK SEORANG PELAYAN TUHAN BERDASARKAN
1 TIMOTIUS 3:1-7.” Manna Raflesia 1, no. Oktober (2017): 1–7.
Y. Tomatala. Teologi Kontekstualisasi. Malang: Gandum Mas, 1993.
“BibleWork 10,” n.d.
Holy Bible. "1 Thimoty. New York: Amercian Bible Society, 2015.
150