BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sistem Transportasi
Sistem transportasi dapat diartikan sebagai bentuk keterkaitan dan
keterikatan yang integral antara berbagai variabel dalam suatu kegiatan
pemindahan penumpang dan barang dari satu tempat ke tempat lain (Munawar,
A., 2005:1). Maksud adanya sistem transportasi adalah untuk mengatur dan
mengkoordinasikan pergerakan penumpang dan barang yang bertujuan untuk
memberikan optimalisasi proses pergerakan tersebut.
Sistem transportasi secara menyeluruh (makro) dapat dipecahkan menjadi
beberapa sistem yang yang lebih kecil (mikro) yang masing-masing saling terkait
dan mempengaruhi.
Sistem
Kegiatan
Sistem
Jaringan
Sistem
Pergerakan
Sistem Kelembagaan
Sumber : Mujihartono, E.,dkk, 2002
Gambar 2.1 Sistem Transportasi Makro
2.2
Sistem Tranportasi - Tata Guna Lahan (Sistem Kegiatan)
Yang dimaksud tata guna tanah (land use) adalah pengaturan penggunaan
tanah. Dapat dikatakan, bahwa lahan berarti tanah yang sudah ada peruntukannya
II-1
dan umumnya ada pemiliknya baik perorangan atau lembaga (Jayadinata,
J.T.,1999 :10)
Dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia akan terpaksa
melakukan pergerakan (mobilisasi) dari tata guna lahan yang satu ke tata guna
lahan lainnya, seperti dari pemukiman (perumahan) ke pasar (pertokoan). Agar
mobilisasi manusia antar tata guna lahan ini terjamin kelancarannya,
dikembangkanlah sistem transportasi yang sesuai dengan jarak, kondisi geografis,
dan wilayah termaksud (Miro, 2005:15).
Kita menyadari, bahwa perencanaan transportasi untuk masa yang akan
datang selalu dimulai dari perubahan dan perkembangan tata guna lahan. Oleh
sebab itu, adalah penting mengetahui perencanaan tata guna lahan dalam
merencanakan sistem angkutan.
Kondisi demikian itu semakin menguatkan asumsi dasar perencanaan
transportasi, yaitu bahwa kebutuhan akan transportasi berhubungan langsung
dengan penyebaran dan intensitas petak (tata) guna lahan yang berlainan di dalam
sebuah kota.
Kecenderungan pola penyebaran tata guna lahan ini berindikasi pada pola
aktivitas masyarakat dan menimbulkan jarak fisik antara suatu lokasi aktivitas
dengan lokasi aktivitas lainnya. Dua elemen ini, pola penyebaran lokasi aktivitas
masyarakat dan jarak fisik lokasi-lokasi tersebut, sangat potensial memberikan
dorongan (stimulasi) timbulnya pergerakan (lalu lintas). Volume (kuantitas) arus
pergerakan atau lalu lintas ini dihitung sebagai jumlah kebutuhan akan jasa
transportasi. Inti daripada perencanaan transportasi sebenarnya adalah menghitung
dan meramalkan jumlah lalu lintas (jumlah akan kebutuhan transportasi). Jadi,
hasil (produk) perencanaan transportasi sebenarnya adalah prediksi besaran
jumlah lalu lintas orang, barang, atau kendaraan yang bergerak/berjalan pada
masa yang akan datang/tahun rencana (Miro, F., 2005: 41-42).
Dalam rangka memenuhi kebutuhannya, manusia melakukan perjalanan
antar tata guna lahan tersebut dengan menggunakan sistem jaringan transportasi
(misalnya berjalan kaki atau naik bus). Hal ini menimbulkan pergerakan arus
manusia, kendaraan dan barang (Tamin, O.Z., 1997:50).
II-2
Blunden, W.R. (1971) mengatakan bahwa perangkutan dan tata guna
lahan dalam kota seperti layaknya “ayam” dan “telur”, tidak dapat dikatakan siapa
yang ada lebih dulu. Penentuan guna lahan melahirkan perangkutan, tetapi
sebaliknya, pembangunan jalur angkutan (apalagi jalur jalan darat) dengan mudah
dapat mengubah tata guna lahan yang ada (Warpani, S., 1990 :56).
Perangkutan dan guna lahan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahpisahkan. Dalam hal ini ada hubungan timbal balik antara tata guna tanah dan
pelayanan
atau
persediaan
perangkutan
(prasarana
dan
sarana),
yang
perwujudannya adalah pada kegiatan lalu lintas (Warpani, S., 1990:67). Ketiga
komponen ini membentuk satu sistem.
Tata Guna
Tanah
Pelayanan / penyediaan
perangkutan
Lalu lintas
Sumber : Warpani, 1990
Keterangan :
Hubungan pangaruh
Umpan balik
Gambar 2.2 Sistem Perangkutan
2.2.1
Intensitas Guna Lahan
Makin tinggi tingkat aktivitas suatu tata guna lahan, makin tinggi pula
tingkat kemampuannya dalam menarik lalu lintas (Tamin, O.Z.,1997: 63). Ukuran
intensitas guna lahan ditunjukkan oleh kepadatan bangunan dan dinyatakan
dengan luas lantai per unit luas tanah. Untuk mencerminkan intensitas kegiatan
pada lahan yang bersangkutan, diperlukan ukuran lain, misalnya jenis kegiatan
(Warpani, S.,1990: 75).
II-3
Intensitas guna lahan dalam tiap zona diukur dengan menggunakan dua
macam angka banding, yaitu :
1. Angka Banding Dasar Bangunan
ABDB =
ldb
lpl
dimana ldb = luas dasar bangunan
lpl = luas petak lahan
2. Angka Banding Lantai Bangunan
ABLB =
llb
lpl
dimana llb = luas lantai bangunan
lpl = luas petak lahan
Dasar bangunan adalah lantai terbawah atau pondasi bangunan, sedangkan
lantai bangunan adalah setiap tingkat pada bangunan itu, yang digunakan sebagai
tempat bergiat. Petak lahan adalah persil (petak tanah) tempat bangunan itu
dibangun.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan guna lahan adalah
topografi, jumlah penduduk, biaya bangunan, dan derajat pelayanan jaringan
perangkutan (Martin B, dkk dalam Warpani, S., 1990:103).
2.3
Aksesibilitas
Aksesibilitas dapat diartikan dalam beberapa pengertian (Black, 1981
dalam Miro, F.2005:18), yaitu :
•
Merupakan suatu konsep yang menggabungkan (mengkombinasikan)
sistem tata guna lahan secara geografis dengan sistem jaringan
transportasi yang menghubungkannya, dimana perubahan tata guna lahan,
yang menimbulkan zona-zona dan jarak geografis di suatu wilayah atau
kota, akan mudah dihubungkan oleh penyediaan prasarana atau sarana
angkutan.
•
Mudahnya suatu lokasi dihubungkan dengan lokasi lainnya lewat
jaringan transportasi yang ada, berupa prasarana jalan atau alat angkut
II-4
yang bergerak di atasnya. Dengan perkataan lain : suatu ukuran
kemudahan dan kenyamanan mengenai cara lokasi petak (berhubungan)
satu sama lain. Mudah atau sulitnya lokasi-lokasi tersebut dicapai melalui
sistem jaringan transportasinya, merupakan hal yang sangat subjektif,
kualitatif, dan relatif sifatnya (Tamin, O.Z., 1997). Artinya, yang mudah
bagi seseorang belum tentu mudah bagi orang lain.
Daya hubung (akses) adalah ukuran yang menunjukkan kemampuan suatu
tempat untuk melakukan hubungan dengan tempat lain dalam tata ruang kegiatan.
Blunden (1971) menganologikan daya hubung suatu guna lahan sebagai
kemampuan perangkutan, yang dapat ditunjukkan dengan jarak geografi, waktu
tempuh, atau biaya antara tempat asal dan tujuan. Pengetahuan tentang daya
hubung ini ini akan menjadi dasar penilaian atas guna lahan.
Aksesibilitas adalah alat untuk mengukur potensial dalam melakukan
perjalanan selain untuk menghitung jumlah perjalanan itu sendiri. Ukuran ini
menggabungkan sebaran geografis tata guna lahan dengan kualitas sistem jaringan
transportasi yang menghubungkannya. Konsep aksesibilitas ini dapat juga
digunakan untuk mendefinisikan suatu daerah di dalam suatu wilayah perkotaan
atau suatu kelompok manusia yang mempunyai masalah aksesibilitas atau
mobilitas terhadap aktivitas tertentu. Dalam hal ini, analisis aksesibilitas dapat
digunakan untuk mengidentifikasi masalah yang perlu dipecahkan dan
mengevaluasi rencana dan kebijakan pemecahan masalah selanjutnya (Tamin,
O.Z., 1997: 59).
Aksesibilitas zona i
i
Tergantung pada intensitas tata guna lahan i
j
Sumber : Tamin, 1997
Gambar 2.3 Konsep Aksesibilitas
Daya hubung atau akses adalah tingkat kemudahan berhubungan dari satu
tempat ke tempat lain. Apabila dari suatu tempat A orang dapat dengan mudah
berhubungan dan mendatangi tempat B atau sebaliknya, apalagi bila hubungan
dapat dilakukan dengan berbagai cara atau alat penghubung, maka dikatakan
II-5
akses A-B adalah tinggi (Warpani, S.,1990 :62). Daya hubung sangat menentukan
tinggi rendahnya harga lahan. Bidang lahan dengan akses tinggi, harganya pun
tinggi. Lahan yang semula harganya rendah, setelah ada pembangunan jalur jalan
yang melewatinya, harganya akan meningkat dengan sendirinya sebagai akibat
meningkatnya nilai lahan yang bersangkutan. Dalam hal ini hukum permintaan
dan penawaran sangat berperan.
Dengan pengetahuan bahwa faktor jarak bukanlah satu-satunya faktor
yang menentukan tinggi rendahnya akses, maka faktor-faktor lain di luar jarak,
perlu dipertimbangkan dalam menentukan tinggi rendahnya akses (Miro, F.,
2005:20).
Faktor-faktor lain tersebut adalah sebagai berikut :
1. Faktor waktu tempuh
Faktor ini sangat ditentukan oleh ketersediaan prasarana transportasi
dan sarana transportasi yang dapat diandalkan (reliable transportation
system), contohnya adalah dukungan jaringan jalan yang berkualitas
yang menghubungkan asal dan tujuan, diikuti dengan terjaminnya
armada angkutan yang siap melayani kapan saja.
2. Faktor biaya perjalanan
Biaya perjalanan ikut berperan dalam menentukan mudah tidaknya
tempat tujuan dicapai, karena biaya perjalanan yang tidak terjangkau
mengakibatkan
orang
enggan
bahkan
tidak
mau
melakukan
perjalanan.
3. Faktor intensitas (kepadatan) guna lahan
Padatnya kegiatan pada suatu petak lahan yang telah diisi berbagai
macam kegiatan, akan berpengaruh pada dekatnya jarak tempuh
berbagai kegiatan tersebut, dan secara tidak langsung, hal tersebut
mempertinggi tingkat kemudahan pencapaian tujuan.
4. Faktor pendapatan orang yang melakukan perjalanan
Pada umumnya orang mudah melakukan perjalanan kalau ia didukung
oleh kondisi ekonomi yang mapan, walaupun jarak perjalanan secara
fisik jauh.
II-6
2.3.1
Pengukuran Aksesibilitas
Aksesibilitas dihitung berdasarkan jumlah waktu dan jarak yang
dibutuhkan oleh seseorang dalam menempuh perjalanan antara tempat-tempat
dimana dia bertempat tinggal dan dimana fungsi-fungsi fasilitas berada
(Rondinelli, 1985 dalam Koestoer, R.H., 1997 :69).
Dengan dua kelompok faktor, yakni faktor jarak di satu pihak dan
kelompok empat faktor yaitu waktu tempuh, biaya perjalanan, intensitas guna
lahan, faktor pendapatan orang yang melakukan perjalanan, maka tingkat
aksesibilitas dapat ditampilkan secara kualitatif (secara mutu) dan secara
kuantitatif (secara terukur).
Untuk melihat tingkat aksesibilitas secara kualitatif, faktor jarak secara
bersama-sama mempengaruhi akses dengan kelompok faktor 1 s.d. 4, yang kita
kelompokkan berupa faktor kondisi transportasi. Adapun faktor jarak ditimbulkan
oleh pengaturan tata guna lahan (Miro, F.,2005: 21).
Tabel 2.1
Klasifikasi Berbagai Tingkat Aksesbilitas Secara Kualitatif
JARAK
KONDISI
DEKAT
JAUH
Aksesibilitas Tinggi
Aksesibilitas Sedang
(High Accessibility)
(Medium Accessibility)
Aksesibilitas Sedang
Aksesibilitas Rendah
(Medium Accessibility)
(Low Accessibility)
TRANSPORTASI
Sangat Baik
Sangat Jelek
Sumber : Miro, 2005
Daya hubung suatu tempat merupakan hal yang patut mendapat perhatian
dalam hubungan antar zona. Daya hubung (akses) adalah ukuran yang
menunjukkan kemampuan suatu tempat untuk melakukan hubungan dengan
tempat lain dalam tata ruang kegiatan. Blunden (1971) menganalogikan daya
hubung suatu guna lahan sebagai kemampuan perangkutan, yang dapat
ditunjukkan dengan jarak geografi, waktu tempuh, atau biaya antara tempat asal
II-7
dan tujuan. Pengertian tentang daya hubung ini akan menjadi dasar penilaian atas
guna lahan (Martin, B. dalam Warpani, S., 1990: 104-105).
Secara terukur (kuantitatif), tingkat aksesibilitas (kemudahan pencapaian)
lokasi tujuan, dapat ditentukan dengan rumus pada persamaan (Miro, F.,
2005:21):
Hi = ∑ ( Ldj / t ij )
n
dj =1
dimana
Hi
= Aksesbilitas dari zona asal i ke berbagai zona tujuan j.
Ldj
= Ukuran aktivitas (kegiatan) di setiap zona tujuan j, seperti : persediaan
lapangan kerja, luas lantai tempat
kegiatan, tempat parkir, jumlah
perdagangan, dan lain sebagainya, yang semuanya dapat diukur.
tij
= Faktor kendala seperti ukuran waktu, biaya, jarak fisik dari zona asal i ke
berbagai zona tujuan j.
n
= banyaknya zona tujuan j sesuai dengan kegiatan orang dalam wilayah
kota.
Mobilitas
Mobilitas dapat diartikan sebagai tingkat kelancaran perjalanan, dan dapat
diukur melalui banyaknya perjalanan (pergerakan) dari suatu lokasi ke lokasi lain
sebagai akibat tingginya tingkat akses antar lokasi-lokasi tersebut. Ini berarti
antara aksesibilitas dan mobilitas terdapat hubungan searah, yaitu semakin tinggi
akses, akan semakin tinggi pula tingkat mobilitas orang, kendaraan ataupun
barang yang bergerak dari suatu lokasi ke lokasi lain (Miro,F., 2005:22).
Konsep dan Ruang Lingkup Perencanaan Transportasi
Terdapat
beberapa
konsep
perencanaan
transportasi
yang
telah
berkembang sampai dengan saat ini, yang paling popular adalah “Model
Perencanaan Transportasi Empat Tahap”. Model perencanaan ini merupakan
gabungan dari beberapa seri sub model yang masing-masing harus dilakukan
secara terpisah dan berurutan (Tamin, O.Z., 1997:59)
II-8
Adapun bagan alir Perencanaan Transportasi Empat Tahap tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut :
PERENCANAAN TRANSPORTASI 4 TAHAP
Aksesibilitas
(Accessibility)
Bangkitan Perjalanan
(Trip Generation)
Sebaran Perjalanan
(Trip Distribution)
Pemilihan Moda Angkutan
(Mode Choice or Mode Split)
Pemilihan Rute/Pembebanan
Jaringan Lalu Lintas
(Route Choice and Assignment)
Arus pada Jaringan
Transportasi
(Flow at Transportation
Network)
Gambar 2.4 Bagan Alir Model/Konsep Perencanaan Transportasi 4 Tahap
2.5.1
Bangkitan dan Tarikan Pergerakan
Bangkitan lalu lintas adalah banyaknya lalu lintas yang ditimbulkan oleh
suatu zona atau daerah per satuan waktu. Jumlah lalu lintas bergantung pada
kegiatan kota, karena penyebab lalu lintas ialah adanya kebutuhan manusia untuk
melakukan kegiatan berhubungan dan mengangkut barang kebutuhannya
(Warpani, S.,1990:107).
II-9
Penelaahan bangkitan lalu lintas ini adalah bagian yang amat penting
dalam proses perencanaan perangkutan. Dengan mengetahui bangkitan lalu lintas,
maka jumlah perjalanan tiap zona pada masa yang datang dapat diperkirakan.
Bangkitan perjalanan dapat diartikan sebagai banyaknya jumlah
perjalanan / pergerakan / lalu lintas yang dibangkitkan oleh suatu zona (kawasan)
per satuan waktu (per detik, menit, jam, hari, minggu, dan seterusnya). Dari
pengertian tersebut, maka bangkitan perjalanan merupakan tahap pemodelan
transportasi yang bertugas untuk memperkirakan dan meramalkan jumlah
(banyaknya) perjalanan yang berasal (meninggalkan) dari suatu zona / kawasan /
petak lahan dan jumlah (banyaknya) perjalanan yang datang / tertarik (menuju) ke
suatu zona / kawasan / petak lahan pada masa yang akan datang (tahun rencana)
per satuan waktu (Miro,F., 2005:65).
Dalam prosesnya, bangkitan perjalanan ini dianalisis secara terpisah
menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Produksi Perjalanan / Perjalanan yang dihasilkan (Trip Production)
Merupakan banyaknya perjalanan yang dihasilkan zona asal, dengan
lain pengertian merupakan perjalanan / pergerakan / arus lalu lintas
yang meninggalkan suatu lokasi tata guna lahan / zona / kawasan.
2. Penarik Perjalanan / Perjalanan yang tertarik (Trip Attraction)
Merupakan banyaknya perjalanan yang tertarik ke zona tujuan
(perjalanan yang menuju), dengan lain pengertian merupakan
perjalanan / pergerakan / lalu lintas yang menuju atau datang ke suatu
lokasi tata guna lahan / zona / kawasan.
i
Pergerakan berasal dari
zona i
j
Pergerakan menuju ke
zona j
Sumber : Tamin, 1997
Gambar 2.5 Bangkitan dan Tarikan Pergerakan
II-10
Bangkitan pergerakan adalah tahapan pemodelan yang memperkirakan
jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan jumlah
pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona. Pergerakan lalu lintas
merupakan fungsi tata guna lahan yang menghasilkan pergerakan lalu lintas
(Tamin,O.Z., 1997:60). Bangkitan lalu lintas ini mencakup :
•
•
Lalu lintas yang meninggalkan suatu lokasi
Lalu lintas yang menuju atau tiba ke suatu lokasi
Bangkitan dan tarikan lalu lintas tersebut tergantung pada dua aspek tata
guna lahan:
•
•
2.5.2
Jenis tata guna lahan
Jumlah aktivitas (dan intensitas) pada tata guna lahan tersebut.
Sebaran Pergerakan
Sebaran perjalanan (trip distribution) adalah bagian dari proses
perencanaan 4 tahap, yakni kelanjutan (pengembangan) dari tahap bangkitan
perjalanan (trip generation). Sebaran perjalanan merupakan jumlah (banyaknya)
perjalanan / yang bermula dari suatu zona asal yang menyebar ke banyak zona
tujuan atau sebaliknya jumlah (banyaknya) perjalanan yang datang mengumpul ke
suatu zona tujuan yang tadinya berasal dari sejumlah zona asal (Miro, F.,
2005:89).
Sebaran pergerakan merupakan salah satu tahap yang menghubungkan
interaksi antara tata guna lahan, jaringan transportasi, dan arus lalu lintas. Pola
spasial arus lalu lintas adalah fungsi dari tata guna lahan dan sistem jaringan
transportasi.
Pola sebaran arus lalu lintas antara zona asal ke zona tujuan adalah hasil
dari dua hal yang terjadi secara bersamaan, yaitu lokasi dan intensitas tata guna
lahan yang akan menghasilkan arus lalu lintas, dan pemisahan ruang, interaksi
antara dua buah tata guna lahan yang akan menghasilkan pergerakan manusia dan
/ barang. Contohnya : pergerakan dari rumah (permukiman) ke tempat bekerja
(kantor, industri) yang terjadi setiap hari (Tamin,O.Z., 1997:62-63).
II-11
2.5.3
Pilihan Moda Transportasi
Tahap ini berfungsi untuk menghitung dan memperkirakan jumlah arus
orang dan barang yang menggunakan alat angkut (kendaraan) tertentu dari zona
asal ke zona tujuan. Di sini, arus kendaraan (alat angkut) tidak ikut dihitung
karena objek yang diperkirakan adalah para pemakai kendaraan yaitu orang dan
barang. Dalam analisis pilihan moda ini, alat angkut (kendaraan) akan kita
istilahkan dengan moda transportasi.
Munculnya tahap analisis pilihan moda ini disebabkan oleh tersedianya
berbagai wujud alat angkutan (moda) yang akan digunakan, yang jumlahnya
bukan hanya satu alternatif di tiap-tiap pasang zona asal dan zona tujuan (Miro,
F., 2005:29).
Orang yang hanya mempunyai satu pilihan moda saja disebut captive
terhadap moda tersebut. Jika terdapat lebih dari satu moda, moda yang dipilih
biasanya yang mempunyai rute terpendek, tercepat, atau termurah, atau kombinasi
dari ketiganya. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kenyamanan dan
keselamatan. Hal seperti ini harus dipertimbangkan dalam pemilihan moda
(Tamin, O.Z., 1997:65).
2.5.4
Pilihan Rute
Seperti pemilihan moda, pemilihan rute tergantung pada alternatif
terpendek, tercepat, dan termurah, dan juga diasumsikan bahwa pemakai jalan
mempunyai informasi yang cukup (misalnya tentang kemacetan jalan) sehingga
mereka dapat menentukan rute yang terbaik(Tamin, O.Z., 1997:65).
2.6
Peubah Penentu Bangkitan Lalu Lintas
Ada 10 faktor yang menjadi peubah penentu bangkitan lalu lintas (Martin,
B., dalam Warpani, S., 1990: 111-113) dan semuanya sangat mempengaruhi
volume lalu lintas serta penggunaan sarana perangkutan yang tersedia. Kesepuluh
faktor tersebut adalah sebagai berikut :
II-12
2.6.1
Maksud Perjalanan
Maksud perjalanan merupakan cirri khas sosial suatu perjalanan.
Sekelompok orang yang melakukan perjalanan bersama-sama (misalnya dalam
satu angkutan umum) bisa jadi mempunyai satu tujuan yang sama, tetapi maksud
mereka mungkin saja berbeda-beda, misalnya ada yang hendak bekerja, belanja,
atau berwisata. Jadi maksud perjalanan merupakan peubah yang tidak sama rata
dalam satu kelompok perjalanan.
2.6.2
Penghasilan Keluarga
Penghasilan merupakan ciri khas lain yang bersangkut paut dengan
perjalanan seseorang. Peubah ini kontinu walaupun terdapat beberapa golongan
penghasilan. Penghasilan keluarga berkaitan erat sekali dengan pemilikan
kendaraan
Pemilikan Kendaraan
Ciri khas sosial ketiga ini pun merupakan peubah kontinu. Pemilikan
kendaraan umumnya erat sekali berkaitan dengan perjalanan perorangan (per unit
rumah), dan juga dengan kerapatan penduduk, penghasilan keluarga, dan jarak
dari pusat kegiatan kota.
Guna Lahan di Tempat Asal
Faktor ini merupakan cirri khas pertama dari serangkaian cirri khas fisik.
Karena guna lahan di tempat asal tidak sama, maka peubah ini tidak kontinu,
walaupun kerapatan penggunaan lahan bersifat kontinu. Mempelajari tata guna
lahan adalah cara yang baik untuk mempelajari lalu lintas sebagai akibat adanya
kegiatan, selama hal tersebut terukur, konstan, dan dapat diramalkan.
Jarak dari Pusat Kegiatan Kota
Faktor jarak ini merupakan peubah kontinu yang berlaku bagi lalu lintas
orang maupun kendaraan. Faktor ini juga berkaitan erat dengan kerapatan
penduduk dan pemilikan kendaraan.
II-13
Jauh Perjalanan
Jauh perjalanan merupakan ciri khas alami yang lain. Peubah ini pun
kontinu dan bergantung pada macam sarana (moda) perjalanan. Faktor ini sangat
perlu diperhatikan dalam mengatur peruntukan lahan dan cenderung meminimkan
jarak serta menekan biaya bagi lalu lintas orang maupun kendaraan.
Moda Perjalanan
Moda perjalanan dapat dikatakan sisi lain dari maksud perjalanan yang
sering pula untuk mengelompokkan macam perjalanan. Peubah ini tergolong ciri
khas fisik, tidak kontinu, dan merupakan fungsi dari peubah lain. Setiap moda
mempunyai tempat khusus pula dalam perangkutan kota serta mempunyai
beberapa keuntungan disamping sejumlah kekurangan.
Penggunaan Perjalanan
Peubah ini merupakan fungsi tujuan perjalanan, penghasilan, pemilikan
kendaraan dan jarak dari pusat kegiatan kota. Penggunaan kendaraan dinyatakan
dengan jumlah (banyaknya) orang per kendaraan.
Guna Lahan di Tempat Tujuan
Faktor ini adalah ciri khas fisik yang terakhir yang pada hakikatnya sama
saja dengan guna lahan di tempat asal.
Saat
Ciri khas terakhir adalah saat yang merupakan peubah kontinu. Pengaruh
saat kurang diperhatikan dalam studi perangkutan di masa lalu, tetapi sekarang
memegang peranan penting. Prosedur umum adalah menentukan volume lalu
lintas dalam waktu 24 jam selama hari kerja, dan menentukan presentasi volume
lalu lintas tertentu pada jam padat, ketimbang menelaahciri khas perjalanan pada
jam tertentu.
II-14
2.7
Jaringan Transportasi
Jaringan transportasi secara teknis terdiri atas (Munawar, A., 2005:15-16):
1.
Simpul (node), yang dapat berupa terminal, stasiun kereta api,
bandara, pelabuhan.
2.
Ruas (link), yang berupa jalan raya, jalan rel, rute angkutan udara,
alur kepulauan Indonesia (ALKI).
Jaringan transportasi yang dominan berupa jaringan transportasi jalan.
Dalam menata jaringan jalan perlu dikembangkan sistem hirarki jalan yang jelas
dan didukung oleh penataan ruang dan penggunaan lahan. Sistem jaringan jalan
berdasarkan peranan dapat dibagi atas :
a.
Jalan arteri, yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara efisien.
•
Jalan Arteri Primer
Jalan arteri primer menghubungkan kota jenjang kesatu yang terletak
berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota
jenjang kedua. Persyaratan jalan arteri primer adalah :
-
Kecepatan rencana minimal 60 km/jam.
-
Lebar jalan minimal 8 meter.
-
Kapasitas lebih besar daripada volume lalulintas rata-rata.
-
Lalulintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalulintas ulang
alik, lalulintas lokal dan kegiatan lokal.
-
Jalan masuk dibatasi secara efisien.
-
Jalan persimpangan dengan pengaturan tertentu tidak mengurangi
kecepatan rencana dan kapasitas jalan.
•
-
Tidak terputus walaupun memasuki kota.
-
Persyaratan teknis jalan masuk ditetapkan oleh mentri.
Jalan Arteri Sekunder
Jalan arteri sekunder menghubungkan kawasan primer dengan
kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu
dengan kawasan sekunder kesatu atau kawasan sekunder kesatu dengan
kawasan sekunder kedua. Berikut persyaratan jalan arteri sekunder :
II-15
-
Kecepatan rencana minimal 30 km/jam.
-
Lebar badan jalan minimal 8 meter.
-
Kapasitas sama atau lebih besar dari volume lalulintas rata-rata.
-
Lalulintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalulintas lambat.
-
Persimpangan dengan pengaturan tertentu, tidak mengurangi
kecepatan dan kapasitas jalan.
b.
Jalan kolektor, yang melayani angkutan penumpang / pembagian
dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang dan jumlah jalan masuk
dibatasi.
•
Jalan Kolektor Primer
Jalan kolektor primer menghubungkan kota jenjang kedua dengan
kota jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota
jenjang ketiga. Persyaratan jalan kolektor primer adalah :
-
Kecepatan rencana minimal 40 km/jam.
-
Lebar jalan minimal 7 meter.
-
Kapasitas sama dengan atau lebih besar daripada volume lalulintas
rata-rata.
-
Jalan masuk dibatasi, direncanakan sehingga tidak mengurangi
kecepatan rencana dan kapasitas jalan.
•
-
Tidak terputus walaupun memasuki kota.
Jalan Kolektor Sekunder
Jalan kolektor sekunder menghubungkan kawasan sekunder kedua
dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan
kawasan sekunder ketiga. Berikut persyaratan jalan kolektor sekunder :
-
Kecepatan rencana minimal 20 km/jam.
-
Lebar badan jalan minimal 7 meter.
c.
Jalan lokal, yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
•
masuk tidak dibatasi.
Jalan Lokal Primer
Jalan lokal primer menghubungkan kota jenjang kesatu dengan persil
atau
menghubungkan
kota
jenjang
kedua
dengan
persil
atau
II-16
menghubungkan kota jenjang ketiga dengan di bawahnya, kota jenjang
ketiga dengan persil atau di bawah kota jenjang ketiga sampai persil.
Persyaratan jalan lokal primer adalah :
•
-
Kecepatan rencana minimal 20 km/jam.
-
Lebar jalan minimal 6 meter.
-
Tidak terputus walaupun melewati desa.
Jalan Lokal Sekunder
Jalan lokal sekunder menghubungkan kawasan sekunder kesatu
dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan,
menghubungkan kawasan sekunder ketiga dengan kawasan perumahan
dan seterusnya. Berikut persyaratan jalan lokal sekunder :
-
Kecepatan rencana minimal 10 km/jam.
-
Lebar badan jalan minimal 5 meter.
-
Persyaratan teknik diperuntukkian bagi kendaraan beroda tiga atau
lebih.
-
Lebar badan jalan tidak diperuntukan bagi kendaraan beroda tiga
atau lebih, minimal 3,5 meter.
2.8
Nilai Lahan
Nilai lahan atau land value adalah suatu penilaian atas lahan didasarkan
pada
kemampuan
lahan
secara
ekonomis
dalam hubungannya
dengan
produktivitas dan strategi ekonominya. Harga lahan adalah penilaian atas lahan
yang diukur berdasarkan harga nominal dalam satuan uang untuk satuan luas pada
pasaran lahan (Darin-Drabkin, 1977 dalam Yunus, H.S., 2005:89).
Wajarlah kiranya bahwa perbaikan pelayanan transportasi di suatu daerah
akan mengakibatkan naiknya nilai lahan di daerah itu, apabila kondisi lainnya
tidak berubah. Biasanya orang-orang dan pedagang menganggap bahwa
kemudahan transportasi ke tempat lain atau disebut aksesibilitas dari sebidang
lahan akan bertambah dengan meningkatnya pelayanan sistem transportasi, dan
karena itu harga lahan tadi meningkat pula (Morlock,1991: 611).
Menurut Steigenga, dalam penggunaan tanah, Firey menunjukkan
pengaruh budaya yang besar dalam adaptasi ruang, dan ia berkesimpulan bahwa :
II-17
ruang dapat merupakan lambang bagi nilai-nilai sosial. Berhubung dengan
pendapat Firey itu, Chapin menggolongkan tanah dalam 3 kelompok, yaitu yang
mempunyai :
1.
Nilai keuntungan, yamg dihubungkan denga tujuan ekonomi, dan
yang dapat dicapai dengan jual beli tanah di pasaran bebas.
2.
Nilai kepentingan umum, yang berhubungan dengan pengaturan
untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat.
3.
Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan, dan
dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan
dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya.
GRAFIK NILAI LAHAN TERHADAP
PUSAT KOTA
7000
Nilai Lahan
6000
retailing
5000
4000
industrial
3000
2000
residential
1000
0
1
2
3
4
5
Jarak terhadap CBD
6
Sumber : Yunus, 2005
Gambar 2.6 Hubungan antara “Land Value”
dengan Jarak ke Pusat Kota
Secara keseluruhan akan tercipta bentuk kurvilinear tentang “land values”
(nilai-nilai lahan) yang pada jarak relatif dekat dengan pusat kota menurun dengan
tajam dan semakin menjauh dari pusat kota akan semakin landai. Menurut
William Alonso (1971) ada 5 hal penting mengetahui kaitan antara “bid rent
curve” (penawaran kurva sewa), “land use” (tata guna lahan), dan “land value”
(nilai lahan), (Yunus, H.S., 2005:77), yaitu :
1. “Bid rent curve” dapat dibuat untuk semua jenis penggunaan lahan.
2. Keseimbangan sewa untuk setiap lokasi ditentukan oleh penawar
tertinggi.
II-18
3. Karena pengguna lahan ditentukan oleh penawar tertinggi maka
“steeper bid rent curves” akan menguasai lokasi-lokasi sentral.
4. Melalui persaingan yang ketat dalam penawaran terhadap lokasi oleh
pengguna-pengguna lahan maka penggunaan lahan akan menentukan
nilai lahan.
5. Namun demikian “nilai lahan” juga menentukan penggunaan lahan,
karena penggunaan lahan sendiri ditentukan oleh kemampuannya
untuk membayar lahan yang bersangkutan.
Apabila kota yang bersangkutan mempunyai jaringan transportasi yang
baik dengan beberapa “radial roads” dan “ring roads” maka akan tercipta
beberapa puncak nilai lahan pada daerah yang beraksesbilitas tinggi. Dalam hal
ini tempat-tempat yang merupakan perpotongan antara “radial and ring road”
mencerminkan daerah seperti ini menjadikannya menjadi pusat “minor peaks”
mengenai nilai lahannya. “Grand peak” tetap berada di pusat kota utama.
Terdapat 3 elemen utama yang bersangkut paut dengan pola nilai lahan
(Berry dalam Yunus, 2005:80), yaitu :
1. Nilai lahan umumnya menurun semakin menjauhi pusat kota.
2. Karena terdapat ”radial roads” dan “ring roads” maka di dalam kota
sendiri terdapat jalur yang mempunyai nilai lahan tinggi (sepanjang
“radial roads” dan “ring road”).
3. Pada persimpangan jalan antara “radial roads” dan “ring roads” akan
membentuk puncak-puncak nilai lahan setempat (local peaks of land
value).
2.9
Perkembangan Kota
Perkembangan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang pesat
menyebabkan kota-kota mengalami perkembangan ke luar. Ada 3 bentuk
perkembangan kota (Bintarto, 1984:48-50), yaitu :
1. Daya tarik dari luar kota, terutama daerah dengan kegiatan ekonomi
yang menonjol seperti di sekitar pelabuhan ekspor-impor dan di sekitar hinterland
yang subur. Harga tanah di sekitar jalur ini akan lebih tinggi daripada harga tanah
di sekitar pegunungan.
II-19
2. Kota yang mempunyai pusat-pusat industri dan perdagangan,
mempunyai daya tarik di sektor-sektor tersebut. Selain itu, daerah-daerah di
sekitar pusat rekreasi tidak kalah menarik. Daerah sekitar pegunungan dan laut
merupakan daerah yang lemah. Namun tidak berarti daerah ini tidak mampu
menarik penduduk untuk bermukim. Murahnya harga tanah mampu menarik
penduduk untuk bermukim.
3. Perkembangan kota ke segala arah akan semakin mempercepat
perkembangan kota, dengan didukung oleh potensi masing-masing wilayah. Hal
ini yang menjadikannya sebagai kota besar ataupun kota metropolitan.
Selanjutnya, kecenderungan yang ada akan semakin berkembangnya kota-kota
satelit yang akan mendukung kota besar.
2.10
Metode Analisis
Dalam penelitian ini, dilakukan berbagai analisa guna mendapatkan
beberapa hasil / nilai yang dibutuhkan, diantaranya :
2.10.1 Metode Analisis Statistik Deskriptif
Bagian statistik ini akan dipergunakan, apabila substansi dan penelitian
transportasi hanya menerangkan atau menguraikan suatu keadaan atau masalah.
Informasi-informasi yang diperoleh dapat dianalisis melalui perhitunganperhitungan berikut :
•
•
•
•
•
Sebaran frekuensi (Frequency Distribution).
Pengklasifikasian data.
Penggambaran grafik.
Rata-rata, nilai tengah, atau modus (mean, median, mode).
Tren, angka, indeks, kwartil, dan persentil.
2.10.2 Metode Analisa Statistik Inferensi
Analisa statistik ini disebut juga dengan statistik induktif, dan
dipergunakan apabila lingkup penelitian bertujuan untuk :
•
•
Memperkirakan (prediksi atau estimasi).
Meramalkan (forecast).
II-20
•
•
Menguji suatu asumsi atau hipotesis.
Analisis faktor penentu.
Objek-objek yang diteliti di sini lebih bersifat nyata dan alami serta
mengandung elemen yang tidak bisa ditentukan atau dikendalikan dan relative
sifatnya, serta banyak mengarah pada ketidakpastian (random variable). Keadaan
cepat berubah sesuai dengan waktu dan ruang.
Penelitian yang menggunakan analisis statistik inferensi ini juga meneliti
dan mengkaji perilaku sosial (social behavior) dan bagaimana memodelkannya ke
dalam bentuk-bentuk elemen yang dapat diukur. Ada 4 pendekatan yang
dilakukan dalam statistik inferensi ini dalam penelitian transportasi terutama
memprediksi kebutuhan perjalanan, yaitu :
1. Disagregat dan Deterministik
2. Disagregat dan Stokastik
3. Agregat dan Deterministik
4. Agragat dan Stokastik
Pendekatan yang paling sesuai dengan penelitian tentang perilaku adalah
Disagregat dan Stokastik.
Sesuai dengan pendekatan yang kita pilih, maka seluruh data yang
diperlukan dalam kajian, dapat dianalisis dan dikumpulkan serta diuji melalui
proses kalibrasi, baik tahap pengumpulan atau tahap validasi (pengujian) dengan
cara-cara :
•
•
•
•
2.11
Sampling, kalau diinginkan objek yang diamati adalah sampel.
Estimasi parameter melalui nilai-nilai parameter atau koefisiennya.
Uji hipotesis
Serta memodelkan hal-hal yang kualitatif ke dalam bentuk terukur.
Metode Sampel
Metode ini mengumpulkan data dan informasi dengan mencatat sebagian
kecil objek pengamatan yang merupakan bagian dari populasi secara keseluruhan.
Kalau cara populasi disebut dengan sensus, maka cara sampel ini disebut dengan
sampling.
II-21
Nilai yang kita peroleh dari pengumpulan data dengan cara sampling ini
adalah nilai perkiraan (estimasi) yang sudah barang tentu banyak memuat
kesalahan (error), tetapi masih dalam batas-batas yang diterima secara statistik
dan logika. Kelebihan metode ini adalah murahnya biaya riset, hematnya tenaga,
dan aktualnya data (up to date).
Jumlah sampel dapat ditentukan dari suatu populasi dengan rimus sebagai
berikut:
⎛ σ .z ⎞
n≥ ⎜
⎟
⎝ b ⎠
2
Keterangan :
n = Jumlah sampel (untuk jumlah populasi yang tidak terbatas)
σ = Standart deviasi (tingkat keseragaman dari parameter yang diukur)
z = Nilainya tergantungpada taraf kepercayaan yang telah ditetapkan
(digunakan taraf kepercayaan 95 %, z = 1,96)
b = Perbedaan antara yang ditaksir dengan tolak ukur penafsiran
Data dari sampel tersebut baru dapat digunakan untuk menghitung n
setelah melalui beberapa langkah pengolahan, yaitu :
∑ f ( x)
n
•
Mean =
•
Standart deviasi =
∑ f ( x) = ∑ f ( x
∑ f ( x 2 ) − (mean) 2
n
dimana
2
) : jumlah dari hasil perkalian frekuensi dengan data
dari masing-masing variabel
2.12
Metode Survei
Metode survei yang digunakan adalah metode survei wawancara rumah
tangga yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya, dan dilakukan metode
survei asal-tujuan untuk menetapkan titik-titik penelitian.
II-22
2.12.1 Metode Survei Wawancara Rumah Tangga (Home Interview / HI)
Survei ini dilakukan pada kawasan-kawasan pemukiman yang sangat
potensial menimbulkan perjalanan. Oleh karena itu, data yang diperoleh dari
survei ini berguna sebagai input data untuk tahap bangkitan perjalanan, karena
zona pemukimanlah yang memproduksi perjalanan.
Objek survei ini adalah personil yang mendiami rumah-rumah di kawasan
perumahan. Selanjutnya dianalisis karakteristik objek yang akan dijadikan
variabel / faktor penyebab terproduksinya perjalanan dari dari zona pemukiman
menuju ke tempat-tempat kerja. Variabel tersebut seperti jumlah pendapatan,
jumlah kendaraan, banyaknya anggota keluarga, banyaknya jumlah pekerja, dan
karakteristik lain yang berhubungan.
Adapun alat kelengkapan survei ini salah satunya adalah daftar pertanyaan
yang formatnya telah ditentukan sebelumnya dan variabel yang disesuaikan
kebutuhan.
2.12.2 Metode Survei Asal - Tujuan (Origin-Destinition Survey) / SAT (O-D
Survey)
Survei Asal-Tujuan atau Origin-Destinition Survey, merupakan salah satu
bagian kegiatan dalam penelitian (studi) transportasi yang dilakukan untuk
mendapatkan data-data arus atau besarnya perjalanan/pergerakandari lokasi asal
ke lokasi tujuan dalam lingkup wilayah studi.
Arus atau besarnya perjalanan itu sendiri adalah besarnya kebutuhan
(demand) akan transportasi. Lingkup wilayah, tempat dimana si peneliti
melakukan survei, tergantung pada lingkup wilayah studi, mulai dari survei
lingkup lokal sampai tingkat nasional yang disebut dengan SNAT (Survei
Nasional Asal-Tujuan).
Survei ini dilakukan dengan menetukan zona-zona asal dan tujuan. Dari
zona-zona ini dihubungkan berdasarkan jaringan jalan yang sudah ada, untuk
mengetahui hubungan atau keterkaitan antara aksesibilitas, nilai lahan, dan tata
guna lahan (sistem kegiatan).
Adapun yang menjadi objek survei adalah jarak fisik jalan, nilai lahan
pada titik-titik yang telah ditetapkan, dan tata guna lahan yang ada.
II-23
II-24