Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
ANTARA MANUSIA DAN MEDIA SOSIAL: MANA YANG ALAT, MANA YANG TUAN? (KAJIAN DOKUMENTER–DRAMA NETFLIX THE SOCIAL DILEMMA) • Pendahuluan & Ringkasan Cerita Film bertajuk The Social Dilemma merupakan sebuah dokumenter-drama yang dirilis di platform Netflix pada 09 September 2020. Film tersebut mengisahkan realitas yang terjadi di masyarakat mengenai relasi antara manusia dengan media sosial. Realitas yang menunjukkan bahwa betapa dahsyatnya “sihir” dari media sosial dalam memanipulasi kehidupan manusia. The Social Dilemma diproduseri oleh Larissa Rhodes, disutradarai oleh Jeff Orlowski-Yang, dan dibintangi oleh beberapa pakar di berbagai bidang. Pakar tersebut berperan menjadi narasumber ahli di dalam film untuk membedah secara detail perkembangan dan mekanisme media sosial di dalam kehidupan manusia. Terdapat banyak pakar di dalam film ini, beberapa di antaranya, yaitu Tristan Harris, Jeff Seibert, Bailey Richardson, Joe Toscano, dan Sandy Parakilas. Adapun aktor yang memerankan tokoh di dalam film tersebut, yaitu Skyler Gisondo (pemeran karakter Ben) menjadi tokoh utama di dalam penceritaan The Social Dilemma. • Deskripsi Salah satu topik yang menarik untuk dibahas dari film tersebut ialah mengenai topik “antara manusia dan media sosial: mana yang alat, mana yang tuan?”. Teknologi adalah beragam jenis alat yang digunakan untuk membantu kehidupan manusia. Teknologi memudahkan manusia untuk mencapai suatu tujuan. Katakanlah teknologi berupa tombak untuk berburu di zaman batu ataupun teknologi mesin uap untuk kegiatan produksi di zaman industri pertama, semua adalah teknologi. Dalam situasi dan kondisi tersebut, kedudukan antara manusia dan teknologi terlihat sangat jelas. Manusia adalah tuan, sementara teknologi (tombak di zaman batu dan mesin uap di zaman industri) adalah alat. Mengapa demikian? Sebab tombak dan mesin uap tidak mampu berpikir sendiri dan hanya berdiam diri saja menunggu manusia untuk menggunakannya demi mencapai suatu tujuan. Itu adalah realitas peradaban manusia yang hidup berdampingan dengan teknologi berbasis alat. “Jika sesuatu adalah alat, ia hanya duduk diam di sana, menunggu dengan sabar.” (Larissa & Jeff, 2020). Bagaimana dengan peradaban manusia saat ini? Peradaban dimana “media sosial” adalah candu bagi manusia, kita tidak dapat hidup tanpa media sosial, dan kini beragam permasalahan yang dialami dunia tidak terlepas dari campur tangan media sosial. Lantas, apakah kita harus menganggap media sosial sebagai sebuah “kesalahan”? Pantaskah kita semua menyalahkan media sosial dan meminta pertanggung jawaban kepada media sosial atas “kekacauan” yang terjadi saat ini? Rasanya, terlalu naif apabila kita seratus persen menyalahkan media sosial atas beragam masalah yang terjadi saat ini. Sejatinya, media sosial sengaja diciptakan sebagai solusi agar manusia tetap saling terhubung satu sama lain, sekalipun berada di belahan bumi yang berbeda. Interaksi sosial merupakan salah satu bentuk kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi oleh manusia. Media sosial adalah teknologi yang berusaha untuk memuaskan kebutuhan manusia tersebut. Beragam fitur yang ada di media sosial pada awalnya diciptakan dengan niat yang baik. Misalnya, fitur “like” yang diciptakan untuk menebarkan sebuah kebaikan dan kegembiraan pada orang yang banyak. Namun, sebab satu dan lain hal, rasanya fitur “like” berperan dalam menciptakan standar hidup yang semu bagi manusia. Hidup kita ditentukan oleh fitur “like” di media sosial. Beragam fitur lainnya, seperti notifikasi, mention, tag, hashtag, komentar, share, save, story, camera filters, dan sebagainya, kini menjadi perangkap bagi manusia untuk tetap bertahan memainkan media sosial hingga berlarut-larut. Siapa yang tahan apabila teman kita menandai foto kita? Siapa yang tahan apabila pacar kita menyukai foto kita? Siapa yang tahan apabila sedang tren filter kamera terbaru? Rasanya, tak ada yang bisa. Kita semua pasti tak tahan melihatnya dan langsung membuka media sosial. Apakah dengan ini kita dapat menyimpulkan bahwa media sosial adalah alat? Sepertinya, tidak. Media sosial terlihat seperti tuan, dan manusia adalah alatnya. “Jika sesuatu bukan alat, ia menuntut sesuatu darimu, merayu, memanipulasi, dan menginginkan sesuatu darimu. Kita beralih dari memiliki lingkungan teknologi berbasis alat ke lingkungan teknologi berbasis kecanduan dan manipulasi. Itu yang berubah. Media sosial bukan alat yang menunggu untuk digunakan. Ia punya tujuan dan cara sendiri untuk memperolehnya menggunakan psikologimu melawan dirimu.” (Larissa & Jeff, 2020). • Analisis The Social Dilemma dapat diklasifikasikan ke dalam dokumenter dengan drama sebagai genrenya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bill Nichols (2017) bahwa terdapat tiga asumsi guna memahami dokumenter, yaitu realitas yang nyata, orang yang nyata, dan mengisahkan kejadian di dunia. Dari tiga asumsi tersebut film The Social Dilemma sudah memenuhi semuanya. Film tersebut menceritakan realitas yang sebenarnya mengenai relasi antara kehidupan manusia dengan mekanisme media sosial. Film tersebut menceritakan orang yang sebenarnya mengenai beberapa pakar yang diwawancarai secara langsung untuk dimintai tanggapan terhadap isu yang diangkat. Film tersebut mengisahkan kejadian di dunia yang sebenarnya bahwa media sosial sudah “meracuni” pemikiran manusia dan manusia tidak dapat hidup tanpa media sosial. Film The Social Dilemma juga dapat dikaji dari aspek mise-en-scene. Berdasarkan pandangan dari David Bordwell & Kristin Thompson (2008) yang dimaksud dengan mise-en-scene adalah suatu proses menempatkan sesuatu ke dalam sebuah adegan, seperti aspek perilaku karakter, kostum, pencahayaan, dan latar. Pengaturan latar di dalam film tersebut disesuaikan sedemikian rupa untuk menampilkan ruang masa lalu (berupa cuplikan dokumentasi masa lampau), masa kini (berupa wawancara bersama pakar), dan masa depan (berupa adegan drama). Pengaturan kostum di dalam film terbagi menjadi dua bagian, kostum pakar (sebagai narasumber) yang tidak terikat dengan film dan kostum aktor (sebagai pemeran) yang terikat dengan film. Tak ada perbedaan kostum yang signifikan antara keduanya, sama-sama merepresentasikan kehidupan normal pada umumnya. Pengaturan perilaku karakter terbagi menjadi dua bagian, yaitu untuk menampilkan realitas (karakter dari pakar) dan menampilkan representasi (karakter dari aktor), sebab karakter dari pakar tidak sepenuhnya terikat dengan film, sementara karakter dari aktor terikat sepenuhnya dengan film. Pengaturan pencahayaan didominasi oleh key light, fill light, dan backlight pada bagian wawancara, sementara didominasi oleh motivated lighting dan practical lighting pada bagian drama. Pencahayaan bagian wawancara tampak natural, sementara pencahayaan bagian drama tampak hangat. • Kesimpulan/Evaluasi & Rating Tibalah pada sebuah titik kesimpulan bahwa film The Social Dilemma merupakan rekomendasi tayangan edukasi mengenai realitas yang sebenarnya mengenai sistem media sosial dalam mengatur kehidupan manusia. Penyajian isu, plot, dan mise-en-scene yang solid meningkatkan rasa nyaman ketika menyaksikannya. Namun, membutuhkan konsentrasi yang kuat sebab rasanya film ini berjalan secara perlahan. Penulis memberikan rating 8,5/10 untuk film The Social Dilemma. Referensi Film Orlowski-Yang, J.. (2020). The Social Dilemma. Buku Bordwell, D., & Thompson, K. (2008). Film Art an Introduction Eight Edition. New York: McGraw-Hill. Nichols, B. (2017). Introduction to Documentary Third Edition . Bloomington: Indiana University Press.