Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
MAKALAH Konsep Penyusutan dan Amortasi dalam Akuntansi Pajak Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Pajak DOSEN PENGAMPU: Dr. Wirmie Eka Putra, S.E., M.Si., CIQnR.,CSRS DISUSUN OLEH: Febby Prayugi (C0D022033) Kelas F (D3) Perpajakan PROGRAM STUDI PERPAJAKAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS JAMBI 2024 KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya. Sehingga saya dapat menyelesaikan materi Akuntansi Perpajakan yang membahas tentang “konsep penyusutan dan amortasi dalam akuntansi pajak”. Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis khususnya. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan ucapan terimah kasih. Jambi, 22 April 2024 Penulis BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyusutan, amortisasi, penarikan harta maupun penilaian kembali harta merupakan masalah yang sangat penting terutama bagi dunia usaha. Masalah penyusutan/amortisasi menyangkut alokasi sumber dana yang relative besar. Dalam hal penyusutan, prinsip yang dianut Undang-undang Pajak Penghasilan adalah accelarated depreciation. Ketentuan ini telah diakomodir dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2008. Masalah penyusutan menjadi penting karena secara langsung menyangkut bidang investasi maupun sector industry manufacturing yang sangat berpengaruh dalam penentuan laba perusahaan. 1.2 1.3 RUMUSAN MASALAH 1.2.1 Apa yang dimaksud dengan penyusutan dan amortisasi? 1.2.2 Bagaimana cara pengaplikasiannya dalam perusahaan? TUJUAN Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Perpajakan dan ingin mengetahui lebih dalam tentang Penyusutan dan Amortisasi Fiskal. BAB II PEMBAHASAN 2.1 PENGERTIAN PENYUSUTAN Penyusutan menggambarkan proses pengalokasian harga perolehan aktiva/harta tetap berwujud pada periode-periode yang menikmati manfaat atas penggunaan harta tersebut. Menurut PSAK No.16, penyusutan adalah alokasi jumlah suatu aktiva yang dapat disusutkan sepanjang masa manfaat yang diestimasi. Ketentuan tentang penyusutan menurut undang-undang pajak tercantum pada Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Pasal ini menyatakan bahwa penyusutan harus dilakukan atas pengeluaran untuk membeli, mendirikan, menambah, memperbaiki atau mengubah harta berwujud kecuali tanah, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat selama lebih dari 1 (satu) tahun. Undang-undang juga menyebutkan bahwa alokasi harga perolehan secara sistematis dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) penyusutan dengan jumlah yang sama besarnya selama masa manfaat dan (2) penyusutan dilakukan dengan jumlah yang menurun selama masa manfaat. 2.2 HARTA YANG DAPAT DISUSUTKAN Tidak semua harta dapat disusutkan. Berdasarkan ketentuan Standar Akuntansi keuangan, untuk dapat disusutkan harta tersebut harus memenuhi kriteria tertentu. Kriteria tersebut antara lain: • Diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode akuntasi; • Memiliki suatu masa manfaat yang terbatas; • Ditahan oleh perusahaan untuk digunakan dalam produksi atau memasok barang dan jasa, untuk disewakan, atau untuk tujuan administrasi. Sedangkan menurut Pasal 11 UU No.36 Tahun 2008, harta yang dapat disusutkan adalah semua harta yang berwujud yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan, mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, kecuali tanah. Dengan demikian menurut pajak harta yang dapat disusutkan harus memenuhi kriteria sebagai berikut: • Harta berwujud yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan untuk memperoleh penghasilan; • Mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Dalam penjelasan UU juga dinyatakan bahwa harta berwujud berupa tanah tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah yang digunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan berkurang nilanya karena penggunaan, misalnya tanah digunakan untuk membuat genteng, keramik atau batu bata. 2.3 DASAR PENYUSUTAN Dasar penyusutan antara akuntansi komersial dan akuntansi pajak adalah sama. Dasar penyusutan antara SAK adalah harga perolehan aktiva tetap, ditambah dengan beban yang dapat dikapitalisasi pada perolehan tersebut. Menurut Pasal 10 dan 11 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, dasar penyusutan adalah harga perolehan yakni pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan atau perubahan harta berwujud kecuali tanah, yang dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Sedangkan yang termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut seperti: bea masuk, biaya pengangkutan, dan biaya pemasangan. 2.4 CARA PEROLEHAN DAN PENENTU HARGA PEROLEHAN Pada dasarnya yang menjadi dasar penentuan besarnya harga perolehan adalah jumlah sesungguhnya yang dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terjadi hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima. Dengan demikian besarnya harga perolehan aktiva tetap dipengaruhi oleh cara perolehannya. Berikut ini penjelasan singkat beberapa cara perolehan harta berwujud dan penentuan besarnya harga perolehannya: 2.4.1 HARTA TETAP YANG BERASAL DARI PEMBELIAN Harga perolehan menurut pasal 10 Undang-undang Nomor 17/2000 dibedakan menjadi: • Jika harta berasal dari transaksi jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat 4 UU No. 36 Tahun 2008, harga perolehan adalah harga yang sesungguhnya dikeluarkan sampai dengan harta berwujud tersebut siap digunakan. • Jika terdapat hubungan istimewa antara pembeli dengan penjual, maka harga perolehan adalah jumlah yang seharusnya dibayar/dikeluarkan. Dengan demikaian dapat dikatakan bahwa harga perolehan dipengaruhi oleh ada tidaknya hubungan istimewa antara pihak yang memberikan dan pihak yang menerima. 2.4.2 HARTA TETAP YANG DIPEROLEH MELALUI PERTUKARAN Harta tetap juga dapat diperoleh melalui pertukaran dengan harta sejenis lainnya. Seperti dinyatakan pada Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008, jika harta diperoleh melalui pertukaran maka harga perolehan yang harus diakui adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar. Pada dasarnya, harta yang dikeluarkan kepada pihak lain dinilai berdasarkan harga perolehan. 2.4.3 HARTA TETAP YANG DIPEROLEH KARENAA HIBAH, BANTUAN, SUMBANGAN YANG MEMENUHI SYARAT, WARISAN DAN BANTUAN Menurut Standar Akuntansi Keuangan, aktiva tetap yang diperoleh dari sumbangan/hibah, harus dinilai berdasarkan harga taksiran atau harga pasar yang layak dari aktiva tersebut dengan memperhitungkan masa manfaat yang tersisa. Dengan demikian aktiva tetap yang diterima akan dicatat sebesar nilai tersebut dengan mendebit rekening Aktiva Tetap, dan sebagai konsekuensi pencatatan double entry accounting, maka sejumlah angka yang sama harus dikredit sebagai Modal Donasi (Modal Sumbangan). Menurut Undang-undang pajak, dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan yang memenuhi syarat dalam Pasal 4 ayat 93) huruf a atau warisan, maka harga perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah nilai sisa buku harta dari pihak yang melakukan penyerahan. Namun jika Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak diketahui, maka nilai perolehan atas harta ditetapkan oleh Direktur jenderal Pajak. Jika tidak memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b, maka harga perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah harga pasar. Besarnya harga perolehan dalam ini, selain dipengaruhi oleh memenuhi atau tidaknya persyaratan Pasal 4 ayat (3) huruf a, juga dipengaruhi oleh adanya hubungan istimewa antara yang menyerahkan dan pihak yang menerima. Menurut ketentuan Pasal 10 UU Nomor 36 Tahun 2008, besarnya harga perolehan mengikuti ketentuan sebagai berikut: • Ada hubungan istimewa Harga perolehan antara harga hibah bagi penerima harta hibah adalah sebesar harga pasar. • Tidak ada hubungan istimewa Harga perolehan harta hibah bagi penerima adalah nilai buku harta dari pihak yang mengalihkan. Jika pihak yang menyerahkan tidak menyelenggarakan pembukuan, maka nilai perolehan ditetapkan dengan Peraturan Dirjen Pajak. 2.4.4 HARTA TETAP BERASAL DARI PENGALIHAN DALAM RANGKA LIKUIDASI, PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PEMEKARAN, PEMECAHAN, PENGAMBILALIHAN USAHA Dalam hal harta tetap diperoleh dari pengalihan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, nilai perolehan yang harus diakui dipengaruhi adanya hubungan istimewa atau tidak. Jika tidak ada hubungan istimewa maka besarnya harga perolehan yang harus diakui adalah sebesar jumlah yang seharusnya dikeluarkan berdasarkan harga pasar atau nilai lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk mendapatkan harta. Sedangkan jika ada hubungan istimewa, maka besarnya harga perolehan yang harus diakui adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan berdasarkan harga pasar. Menyimpang dari ketentuan tersebut diatas, Wajib Pajak penerima harta dapat mengakui sebesar Nilai Buku harta tetap (Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha). 2.4.5 HARTA TETAP BERWUJUD YANG DIBANGUN SENDIRI Jika hata berwujud dibangun sendiri oleh Wajib Pajak bersangkutan maka besarnya harga perolehan yang harus diakui adalah jumlah pengeluaran yang berhubungan langsung dengan pembangunan gedung tersebut sampai selesai atau siap dipakai. 2.5 PENGGOLONGAN HARTA TETAP YANG DAPAT DISUSUTKAN Harta tetap berwujud yang dapat disusutkan digolongkan menjadi dua golongan, yaitu (1) golongan harta bukan bangunan dan (2) harta golongan bangunan. Golongan harta berwujud bukan bangunan terdiri dari empat kelompok, yaitu; Kelompok 1: Kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 4 tahun; Kelompok 2: Kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 8 tahun; Kelompok 3: Kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 16 tahun; Kelompok 4: Kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 20 tahun. Sedangkan golongan harta berwujud berupa bangunan terdiri dari 2 (dua) kelompok, yaitu (1) Kelompok bangunan permanen yang mempunyai masa manfaat 20 (dua puluh) tahun, dan (2) Kelompok bangunan tidak permanen yang mempunyai masa manfaat 10 (sepuluh) tahun. 2.6 METODE DAN TARIF PENYUSUTAN Ada beberapa perbedaan metode penyusutan menurut Standar Keuangan dan menurut Undang-undang pajak. Menurut SAK metode penyusutan yang diperbolehkan pada dasarnya dibagi kedalam 3 kelompok, yaitu (1) berdasarkan waktu, (2) berdasarkan penggunan, dan (3) berdasarkan kriteria lainnya. Pemilihan metode yang digunakan untuk menyusutkan harta harus dilakukan secara konsisten. Gambar dibawah ini adalah sebagai metode penyusutan aktiva tetap kecuali tanah seperti yang dinyatakan dalam Persyaratan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 17: 1. Berdasarkan waktu: • Metode garis lurus (straight-line) • Metode saldo menurun/saldo menurun ganda (declining/double declining balance) 2. Berdasarkan penggunaan: • Metode jam-jasa (service-hours) • Metode jumlah unit produksi (productive-output) 3. Berdasarkan kriteria lain: • Metode jenis-kelompok (group and composite) • Metode anuitas (annuity) • Sistem persedian (inventory systems) Sedangkan metode penyusutan yang boleh digunakan menurut Undang-undang pajak adalah metode garis lurus dan metode saldo menurun. Berikut penjelasan kedua metode yang boleh digunakan dan tarif penyusutan yang ditetapkan. 2.6.1 METODE GARIS LURUS Penyusutan dengan metode ini dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tetap yang bersangkutan. Sebagaimana, bahwa harta tetap berwujud menurut pajak digolongkan menjadi dua, yaitu (1) harta golongan bukan bangunan, dan (2) harta golongan bangunan. Masing-masing golongan masih dibagi menjadi bebarapa kelompok, setiap kelompok mempunyai manfaat yang berbeda-beda. Setiap kelompok ditetapkan tarif pajaknya sesuai dengan manfaat ekonomis harta yang bersangkutan. Untuk harta golongan bukan bangunan, tarif penyusutannya adalah 25% untuk kelompok 1 (satu), 12,5% harta kelompok 2 (dua), 6,25% harta kelompok 3 (tiga), dan 5% untuk harta kelompok 4 (empat). Sedanngkan tarif untuk harta golongan bangunan permanen 5% dan bangunan tidak permanen tarifnya 10% dari harga perolehan. 2.6.2 METODE SALDO MENURUN Penyusutan harta tetap berwujud dengan metode saldo menurun dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas dasar nilai buku harta. Metode penyusutan ini hanya boleh diterapkan untuk harta berwujud golongan bukan bangunan. Tarif penyusutan harta tetap juga didasarkan pada masa manfaat harta yang bersangkutan. Untuk harta bukan bangunan kelompok 1 (satu) tarif penyusutannya adalah 50%, kelompok 2 (dua) 25%, kelompok 3 (tiga) 12,5% dan kelompok 4 (empat) 10%. Nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harta tetap berwujud harus disusutkan sekaligus. Gambar dibawah adalah metode penyusutan dan tarif penyusutan harta tetap berwujud, secara ringkas. KELOMPOK HARTA BERWUJUD I. BUKAN BANGUNAN * KELOMPOK 1 * KELOMPOK 2 * KELOMPOK 3 * KELOMPOK 4 II. BANGUNAN * PERMANEN *TIDAK PERMANEN 2.7 MASA MANFAAT TARIF PENYUSUTAN SALDO GARIS LURUS MENURUN 4 TAHUN 8 TAHUN 16 TAHUN 20 TAHUN 25% 12,5% 6,25% 5% 20 TAHUN 5% 10 TAHUN 10% 50% 25% 12,5% 10% SAAT DIMULAINYA PENYUSUTAN Menurut akuntani sebagaimana disebutkan pada PSAK No. 17, penyusutan dimulai pada bulan takwin dimana aktiva tetap yang bersangkutan mulai digunakan. Pembebanan akuntansi berdasarkan bulan penuh. Jika dalam bulan bersangkutan jumlah hari kurang dari 15 hari dibulatkan ke bawah (diabaikan) dan jika lebih dari 15 hari dibulatkan menjadi satu bulan penuh. Sedangkan menurut peraturan perpajakan, pada dasarnya penyusutan dimulai pada bulan dilakukan pengeluaran, kecuali harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutan dimulai pada tahun selesainya pengerjaan harta tersebut (Pasal 11 ayat (3) UU No.36/2008). Namun berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal pajak, saat mulai penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta tersebut mulai menghasilkan (Pasal 11 ayat (4) UU No.36/2008). Sesuai dengan Undang-undang, saat mulai menghasilkan dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan. Misalnya, PT X membangun sebuah gedung pada pertengahan tahun 2008 dan selesai pada tanggal 1 Agustus 2009, makan penyusutan dilakukan mulai bulan Agustus 2009. 2.8 MENGHITUNG PENYUSUTAN Dalam menghitung penyusutan, rumus umum yang digunakan adalah: Tarif Penyusutan x Harga Perolehan atau Nilai Sisa Buku Beberapa hal yang menentukan besarnya tarif penyusutan adalah sebagai berikut: • Jenis harta • Kelompok harta • Masa manfaat • Metode penyusutan Perhitungan penyusutan dengan metode saldo menurun pada saat pertama kali disusutkan, dasar pengenaan tarif penyusutan adalah dari Harga Perolehan, sedangkan dasar untuk tahuntahun berikutnya adalah dari Nilai Sisa Buku. 2.9 PENARIKAN HARTA TETAP BERWUJUD DARI PEMAKAIAN Harta tetap yang digunakan dalam kegiatan operasi perusahaan ada kalanya dihentikan walaupun masa manfaat harta yang bersangkutan belum habis. Penghentian harta tetap dapat disebabkan karena masa manfaatnya sudah habis, karena rusak, ataupun alasan lain, misalnya perusahaan ingin mengganti harta yang lebih modern, atau perusahaan mengalihkan hartanya kepada pihak lain. Berikut ini ketentuan-ketentuan penting dalam hal ada penghentian harta tetap dari pemakaian, maupun pengalihan harta tetap kepada pihak lain. Penarikan atau pengalihan harta tetap berwujud dari pemakaian diakibatkan oleh beberapa hal sebagai berikut: • Harta tetap dialihkan kepada pihak lain sebagai pengganti penyertaan modal, misalnya perseroan, persekutuan, dan badan lainnya. • Harta tetap dialihkan kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota oleh sebuah perusahaan perseroan, persekutuan dan badan lainnya. • Harta tetap dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha. • Harta tetap dialihkan karena hibah, bantuan atau sumbangan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa (karena keturunan) atau dialihkan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk koperasi sepanjang tidak mempunyai hubungan dengan usaha, pekerjaaan, kepemilikan atau penguasaan anatar pihak-pihak yang bersangkutan. • Harta tetap dialihkan karena sebab-sebab lain, misalnya harta dijual atau terbakar. Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta. Apabila harta dijual atau terbakar, maka penerimaan neto dari penjualan, yaitu selisih antara harga penjualan dengan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau penggantian asuransinya dilakukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan. Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi. Secara ringkas perlakukan pajak karena pengalihan harta adalah sebagai berikut: • Nilai buku harta yang ditarik dari pemakaian diperlukan sebagai kerugian pada saat penarikan. • Jumlah penerimaan bersih dari hasil penjualan harta tetap atau ganti rugi yang diterima dari perusahaan asuransi diakui sebagai penghasilan tahun terjadinya atau tahun diterimanya penggantian asuransi. Dikecualikan dari ketentuan diatas, jika harta dialihkan berupa bantuan, hibah atau sumbangan kepada pihak lian yang mempunyai hubungan istimewa karena keturunan (keluarga sedarah semenda dalam garus keturunan lurus satu sederajat), dan badan keagamaan, atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi sepenjang tidak mempunyai hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan, maka sejumlah nilai buku harta yang dihibahkan tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagian pihak yang mengalihkan. 2.10 KETENTUAN LAIN BERKAITAN DENGAN PENYUSUTAN AKTIVA TETAP Beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan penyusutan menurut fiskal berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor:KEP-220/PJ./2002 yang mulai berlaku 18 April adalah: 1. Telepon Seluler (Hand Phone) yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatannya atau pekerjaan. a. Harga perolehan, termasuk kelompok I dapat dibebankan sebesar 50%-nya melalui penyusutan. b. 50% dari jumlah biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan dalam tahun yang bersangkutan dapat dikurangkan. 2. Kendaraan bus, mini bus, atau yang sejenisnya yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput pegawai. a. Harga perolehan atau biaya perbaikan besar, dapat dibebankan seluruhnya melalui penyusutan fiskal kelompok II. b. Biaya pemeliharaan, perbaikan rutin, bahan bakar dan sebagainya dapat dibebankan seluruhnya. 3. Kendaraan sedan dan sejenisnya yang dimiliki dan dipergunakan oleh perusahaaan untuk pegawai tertentu karena jabatannya atau pekerjaannya. a. Harga perolehan/pembelian atau perbaikan besar, dapat dibebankan sebesar 50% melalui penyusutan kelompok II. b. 50% jumlah biaya pemeliharaan, perbaikan rutin, bahan bakar dapat dibebankan. 2.11 PENGERTIAN AMORTISASI Penyusutan dan amortisasi tidak berbeda. Kedua istilah yang menggambarkan pembebanan biaya karena penurunan kegunaan/manfaat secara berkala dari suatu harta tetap. Untuk harta tetap berwujud (tangible assets) dilakukan penyusutan dan untuk harta tak berwujud (intangible assets) dilakukan amortisasi. Amorisasi dalam Undang-undang Pajak diatur dalam Pasal 11A Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, yang menyebutkan bahwa amortisasi dilakukakn terhadap pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. 2.12 HARTA TAK BERWUJUD YANG DAPAT DIAMORTISASI Harta yang dapat disusutkan adalah harta tak berwujud (intangible assets). Yang dimaksud harta tak berwujud adalah harta tidak lancar yang tidak terwujud dan nilainya tergantung pada hakhak yang dinikmati pemiliknya. Ciri khas harta tak berwujud yang paling utama adalah tingkat ketidakpastian mengenai nilai dan manfaatnya di kemudian hari. Menurut Pasal 11A Undangundang Nomor 36 Tahun 2008, harta tak berwujud mempunyai cirri-ciri sebagai berikut: • Harta tak berwujud yang dimiliki dan dipergunakan dalam peusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan; • Mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Sedangkan perlakuan pencatatan terhadap harta tak berwujud sama dengan perlakuan akuntansi terhadap harta berwujud: • Harta tak berwujud dicatat sebesar harga perolehan pada tanggal diperoleh; • Harga peroleh harta tak berwujud sama dengan jumlah yang dibayarkan atau nilai wajar dari harta yang diperoleh; • Metode amortisasi adalah garis lurus kecuali kalau ada yang lebih sesuai. 2.13 METODE AMORTISASI Undang-undang pajak menyatakan bahwa amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat azas. 2.14 PENGELOMPOKAN HARTA TAK BERWUJUD DAN TARIF AMORTISASI Pengelompokan dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud ini dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi. Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan berdasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Undang-undang. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 tahun atau 8 tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan masa manfaat 4 tahun. Gambar dibawah ini menunjukan kelompok, masa manfaat dan tarif amortisasi harta tak berwujud. I. KELOMPOK HARTA BERWUJUD * KELOMPOK 1 * KELOMPOK 2 * KELOMPOK 3 * KELOMPOK 4 MASA MANFAAT 4 TAHUN 8 TAHUN 16 TAHUN 20 TAHUN TARIF PENYUSUTAN SALDO GARIS LURUS MENURUN 25% 50% 12,5% 25% 6,25% 12,5% 5% 10% II. 1. PENDIRIAN 2. BIAYA PERLUASAN MODAL SAMA DENGAN DIATAS III. 1. HAK PENAMBANGAN 2. HAK PENGUSAHAAN METODE SATUAN PRODUKSI SETINGGI TINGGINYA 20% SETAHUN HUTAN 3. HAK PENGUSAHAAN SUMBER DAN HASIL ALAM LAINYA IV. HAK PENGELUARAN DI BIDANG MINYAK BUMI DAN GAS ALAM METODE SATUAN PRODUKSI V. PENGELUARAN SEBELUM OPERASI YAG MEMPUNYAI MASA MANFAAT LEBIH DARI SATU TAHUN SAMA DENGAN ANGKA I Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa harga tetap tak berwujud dapat diamortisasi dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun ganda, dan beberapa jenis harta tak berwujud diamortisasi dengan metode satuan produksi. Metode satuan hasil produksi dilakukan dengan menerapkan presntase amortisasi yang besarnya tiap tahun sama dengan presentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut dapat diproduksi. Jika jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan. 2.15 PENARIKAN HARTA TIDAK BERWUJUD DARI PEMAKAIAN Jika harta tetap tidak berwujud dialihkan kepada pihak lain, maka: • Nilai buku harta yang ditarik dari pemakaian diperlakukan sebagai kerugian pada saat penarikan; • Jumlah penerimaan bersih dari hasil penjualan harta tetap atau ganti rugi yang diterima dari perusahaan asuransi diakui sebagai penghasilan tahun terjadinya atau tahun diterimanya penggantian asuransi. Dikecualikan dari ketentuan diatas, jika harta tak berwujud dialihkan berupa bantuan, hibah atau sumbangan kepada pihak lain yang mempunyai hubungan istimewa karena keturunan (keluarga sedarah semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat), dan badan keagamaan, atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk kopersi sepanjang tidak mempunyai hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan, maka sejumlah nilai buku harta yang dihibahkan tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. DAFTAR PUSTAKA Tjahjono, A., & Husein, M. F. (2009). Perpajakan. Jakarta: UPP-STIM YKPN. Waluyo, & Ilyas, W. B. (2000). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.