Jurnal Planoearth
PWK FT UMMat | e-ISSN 2615-4226
Vol. 3 No. 2 Agustus 2018, hal. 44-48
Kajian Perubahan Fisik Spasial Kawasan Urban Fringe di
Kecamatan Ampenan Kota Mataram
Ima Rahmawati Sushanti, Nahrul Hayat Imansyah*,
Febrita Susanti, Yusril Ihza Mahendra, dan Rasyid Ridha
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Muhammadiyah Mataram, Kota Mataram
*aroel.iman@gmail.com
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Riwayat Artikel:
Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengetahui sejauh mana perubahan fisik yang terjadi akibat
adanya perkembangan Kota Mataram dari tahun 2010 sampai tahun 2017 dan mengevaluasi
implementasi RTRW Kota Mataram terhadap perubahan fisik spasial Kawasan Urban Fringe
Kota Mataram khususnya di Kecamatan Ampenan. Metode penelitian menggunakan
pendekatan deskriptif kualitatif- kuantitatif dengan menggunakan analisis matriks konsistensi
dan dikombinasikan dengan analisis spasial untuk membantu dalam analisa pemetaan. Hasil
dari kajian luasan perubahan fisik spasial Kecamatan Ampenan dari tahun 2010 sampai tahun
2017 adalah +80,49 Ha atau 8,59% dari total luas wilayahnya, dimana konversi lahan yang
dominan terjadi yaitu berupa lahan pertanian (sawah) berubah fungsi menjadi lahan
terbangun perkotaan (permukiman dan terbangun non permukiman). Sedangkan hasil
evaluasi konflik ruang antara RTRW dengan Penggunaan Lahan pada tahun 2010 dan 2017,
diperloleh bahwa pada tahun 2010 terdapat 47.61 Ha (5.04 %) yang bersifat
bertentangan/inkonsisten, 123.38 Ha (13.06 %) yang bersifat nertal, dan 773.93 Ha (81.90 %)
yang bersifat sesuai/konsisten. Sedangkan pada tahun 2017 terdapat 75.41 Ha (7.98 %) yang
bersifat bertentangan/inkonsisten, 75.70 Ha (8.01 %) yang bersifat netral dan 793.81 Ha
(19.88 %) yang bersifat sesuai/konsisten. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, secara umum
implementasi kegiatan pemanfaatan serta pengendalian ruang di Kecamatan Ampenan masih
dikategorikan dalam kondisi aman dan berjalan dengan cukup baik.
Diterima: 12-07-2018
Disetujui: 28-07-2018
Kata Kunci:
Spasial
Landuses
Konsistensi
Evaluasi
Konversi
Abstract: This study aims to determine the extent to which physical changes that have
occurred due to the development of Mataram City from 2010 to 2017 and evaluate the
implementation of the Mataram City Spatial Plan on the spatial changes in Mataram Urban
Fringe Areas, especially in Ampenan District. The research method used a qualitativequantitative descriptive approach using consistency matrix analysis and combined with spatial
analysis to assist in mapping analysis. The results of the study of the extent of the spatial
physical change of Ampenan Subdistrict from 2010 to 2017 are +80.49 Ha or 8.59% of the
total area, where the dominant land conversion occurs namely in the form of agricultural land
(function) to become urban built land (settlements and non-residential buildings). While the
results of the evaluation of space conflicts between the RTRW with Land Use in 2010 and 2017,
it was obtained that in 2010 there were 47.61 Ha (5.04%) which were contradictory /
inconsistent, 123.38 Ha (13.06%) which was non-existent, and 773.93 Ha (81.90% ) which is
consistent / consistent. Whereas in 2017 there were 75.41 Ha (7.98%) which were contradictory
/ inconsistent, 75.70 Ha (8.01%) which were neutral and 793.81 Ha (19.88%) which were
consistent / consistent. So it can be concluded that, in general, the implementation of space
utilization and control activities in Ampenan Subdistrict is still categorized as safe and running
fairly well.
—————————— ——————————
berakibat pada perubahan fisikal misal perubahan tata
guna lahan, demografi, keseimbangan ekologis serta
kondisi sosial ekonomi [1].
Salah satu isu yang perlu mendapat perhatian adalah
menyangkut fenomena daerah pinggiran kota dan proses
perubahan spasial dan sosial ekonomi di daerah ini.
Daerah pinggiran kota (Urban Fringe) didefinisikan
sebagai daerah pinggiran kota yang berada dalam proses
transisi dari daerah perdesaan menjadi perkotaan.
Sebagai daerah transisi, daerah ini berada dalam tekanan
A. LATAR BELAKANG
Daerah pinggiran kota (Urban Fringe) sebagai suatu
wilayah peluberan kegiatan perkembangan kota telah
menjadi perhatian banyak ahli di berbagai bidang ilmu
seperti geografi, sosial, dan perkotaan sejak tahun 1930an saat pertama kali istilah Urban Fringe dikemukakan
dalam literatur. Besarnya perhatian tersebut terutama
tertuju pada berbagai permasalahan yang diakibatkan
oleh proses ekspansi kota ke wilayah pinggiran yang
44
Nahrul Hayat Imansyah, Kajian Perubahan Fisik...
kegiatan-kegiatan perkotaan yang meningkat yang
berdampak pada perubahan fisikal termasuk konversi
lahan pertanian dan non pertanian dengan berbagai
dampaknya.
Menurut Howard pada akhir abad ke 19, diantara
daerah perkotaan, daerah perdesaan, dan daerah
pinggiran kota, ternyata daerah pinggiran kota
memberikan peluang paling besar untuk usaha-usaha
produktif maupun peluang paling menyenangkan untuk
bertempat tinggal. Manusia sebagai penghuni daerah
pinggiran kota selalu mengadakan adaptasi terhadap
lingkungannya. Adaptasi dan aktivitas ini mencerminkan
dan juga mengakibatkan adanya perubahan sosial,
ekonomi, kultural, dan lain-lain [2].
Beberapa kecamatan yang masuk dalam administrasi
Kota Mataram masih menampakan ciri kawasan Urban
Fringe. Salah satunya yaitu di Kecamatan Ampenan.
Dimana kawasan ini umumnya memiliki ciri-ciri
perbandingan landuse lebih dari 60% berupa urban
landuse dan kurang dari 40% rural landuse [3]. Hal
tersebut merupakan suatu proses perembetan fisik
kekotaan ke arah luar dari ciri zona rural menjadi zona
urban yang merupakan suatu keniscayaan yang akan
terjadi di daerah pinggiran kota. Kegiatan konversi lahan
pertanian pun akan terus bertambah sebagai akibat
semakin berkurangnya lahan di kawasan inti kota.
Pola fisik (ruang) kota tentunya tidak boleh sertamerta dibiarkan berkembang dengan sendirinya. Hal ini
akan sangat berdampak tidak teraturnya manajemen
ruang kota. Tanpa adanya penataan ruang yang tepat,
akan sangat berdampak pada menurunnya kualitas hidup
baik manusia maupun lingkungan tempat hidupnya. Oleh
karena itu, perkembangan pola fisik kota harus di tata
dan diatur agar terwujud keharmonisan, keterpaduan
serta dapat menjadi pelindung fungsi ruang dan
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat
pemanfaatan ruang. Sehingga, dari kecenderungan pola
penggunaan lahan yang terjadi, dapat diamati
kesesuaiannya dan kesenjangannya dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah yang berlaku.
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas
maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
perubahan fisik spasial kawasan Urban Fringe sekaligus
mengevaluasi hasil implementasi RTRW kota mataram
terhadap perubahan fisik spasial kawasan Urban Fringe
di kecamatan ampenan Kota Mataram.
45
1. Analisa perubahan fungsi lahan
Perubahan fungsi lahan dapat dilakukan dengan
cara membandingkan penggunaan lahan tahun 2010
dengan penggunaan lahan eksisting yaitu dengan
melakukan interpretasi Peta Citra tahun 2010 dan
Peta Citra tahun 2017 dengan disertai observasi
dilapangan (survei primer). Sehingga dari hasil
analisis ini dapat diketahui pola dan jenis perubahan
(konversi) lahan. Analisis ini menggunakan alat bantu
ARCGIS 10.3.
2. Analisa besaran perubahan fungsi lahan
Setelah diketauhi pola perubahan penggunaan
lahan berdasarkan hasil analisis sebelumnya,
selanjutkan akan dihitung besar perubahan
penggunaan lahan tahun 2010, akan dibandingkan
dengan kondisi eksisting (tahun 2017). Analisis ini
menggunakan alat bantu berupa ARCGIS 10.3 dengan
perintah “Calculator Geometri” dan analisis statistik
dengan bantun Microsoft Excel 2013.
3. Analisa Konflik Ruang (konsistensi/
inkonsistensi).
Konflik ruang dapat diidentifikasi dengan
menggunakan matrik konsistensi Antara RTRW
dengan landuse. RTRW dinilai konsistensi jika
terdapat kesesuaian diantara keduanya, dan
inkonsistensi jika pemanfaatan ruang tidak sesuai
dengan RTRW. Penilaian atau matriks konsistensi
dapat dilihat pada Tabel 1 dan dibantu dengan analisis
spasial berupa overlay antara peta/data Rencana Pola
Ruang/RTRW Kota Mataram dengan landuse.
Tabel 1
Matriks Konsistensi dan Konflik Ruang
B. METODE PENELITIAN
Metode analisis data dengan analisis spasial dan
deskriptif
kualitatif-kuantitatif
yaitu
untuk
mengidentifikasi perubahan fisik spasial serta
mengevaluasi (konsistensi/inkonsistensi) pemanfatan
ruang dengan arahan RTRW Kota Mataram.
Sumber: Muta’ali (2013) [4]
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Perubahan Penggunaan Lahan
Secara umum penggunaan lahan Kecamatan
Ampenan dimanfaatkan untuk badan air, hutan,
pekarangan, permukiman, sawah dan terbangun non
46 | Jurnal Planoearth | Vol. 3, No. 2, Bulan Tahun, hal 44-48
permukiman yang terdiri dari
fasilitas umum,
industri / pergudangan, jasa komersial, perkantoran,
perkuburan,
perdagangan.
Berdasarkan
peta
pemanfaatan ruang tahun 2010, secara umum masih
didominasi oleh Permukiman yaitu 447.20 Ha atau
47.33 %, dan sawah seluas 284.53 Ha atau 30.11%.
Sedangkan untuk penggunaan lahan pada tahun 2017,
Permukiman masih mendominasi, bahkan semakin
meningkat menjadi 500,70 Ha atau 52,99 %,
sedangkan untuk penggunaan lahan berupa sawah
justru menurun menjadi 152,11 Ha atau 16,10 %.
Untuk lebih jelasnya perubahan penggunaan lahan di
Kecamatan Ampenan dari tahun 2010 sampai dengan
tahun 2017 dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 1
dan Gambar 2.
Tabel 2
Perubahan Penggunaan Lahan di Kecamatan Ampenan
Tahun 2010 - 2017
Gambar 1. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Ampenan
Tahun 2010
(Sumber: Hasil Analisis)
Sumber: Hasil Analisis, 2017
Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa
penggunaan lahan yang mengalami perubahan
(konversi) yang cukup tinggi yaitu berupa sawah
dimana sekitar 132.41 Ha atau 14,01% berubah fungsi
menjadi
permukiman
dan
terbangun
non
permukiman. Selain itu, badan air dan hutan (bakau)
pun mengalami perurabahan fungsi dimana dengan
besaran perubahan rata-rata < 1 %. Hal ini
menunjukan bahwa semakin lama intensitas lahan
terbangun di daerah perkotaan semakin meningkat.
Peningkatan intensitas lahan terbangun tentunya
akan memiliki dampak terutama dampak terhadap
lingkungan. Menurut Rosul, proses penambahan
intensitas lahan terbangun akan mengakibatkan
semakin berkurangnya lahan
subur produktif
pertanian sehingga mengancam swasembada pangan
karena terjadi perubahan peruntukan lahan pertanian
menjadi lahan terbangun, berkurangnya daerah
seharusnya menjadi daerah tangkapan hujan
(recharge area) sebagai akibat terbatasnya lahan di
pusat kota. Sehingga mengakibatkan dampak turunan
seperti air larian permukaan (surface run off) semakin
tinggi dan menurunnya resapan (infiltrasi), semakin
banyak vegetasi yang hilang sehingga udara semakin
panas, dan sumur menjadi kering pada musim
kemarau karena menurunnya cadangan air di
groundwater [5].
Gambar 2. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Ampenan
Tahun 2017
(Sumber: Hasil Analisis)
2. Analisa RTRW Kota Mataram
Berdasarkan hasil potong (clip) Peta Pola Ruang
Kota Mataram dengan menggunakan batas
Kecamatan Ampenan, maka diperoleh pembagian
Zona pola ruang beserta luasnya yang dapat dilihat
pada Tabel 3 dan Gambar 3.
Tabel 3
Rencana Pola Ruang Kota Mataram di Kecamatan
Ampenan
Sumber: RTRW, 2014
Berdasarkan Tabel 3, pembagian Zona dalam
Rencana Pola Ruang di Kacamatan Ampenan
didominasi oleh Kawasan Permukiman yaitu sekitar
507,74 Ha atau 53,73 %, sedangkan zona yang paling
kecil yaitu berupa Industri yaitu sekitar 3,66 Ha atau
0,39 % dari total luas wilayah Kecamatan Ampenan.
Nahrul Hayat Imansyah, Kajian Perubahan Fisik...
47
Ha atau 2,10 % dari total luas wilayahnya. Sedangkan
ruang yang bersifat netral justru terjadi penurunan
luasan sebesar 47,64 Ha atau 5,05 % dari total luas
wilayahnya. Hal ini menunjukan bahwa baik ruang
yang bersifat inkonsisten dan konsisten, melakukan
ekspansi terhadap ruang yang bersifat netral.
Berdasarkan Permen ATR No.6 Tahun 2017,
kegiatan Revisi RTRW akan dilakukan jika muatan
rencana berubah kurang dari atau mendekati 20% [6].
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, secara umum
implementasi
kegiatan
pemanfaatan
serta
pengendalian ruang di Kecamatan Ampenan masih
dikategorikan dalam kondisi aman.
Gambar 3. Peta Rencana Pola Ruang Kecamatan Ampenan
Kota Mataram
(Sumber: RTRW, 2014)
3. Evaluasi Konflik Ruang
Proses penilaian konflik ruang menggunakan
analisis kualitatif, yaitu menilai kesesuaian antara
RTRW dangan implementasi pemanfaatan ruang yang
teridentifikasi pada data penggunaan lahan. RTRW
dinilai “Konsisten” jika terdapat kesesuaian diantara
keduanya, “Inkosisten” jika pemanfaatan ruang tidak
sesuai dengan RTRW dan diduga akan memberi
dampak kerusakan lingkungan yang besar, sedangkan
“Netral” jika pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan
RTRW, akan tetapi tidak memberikan dampak negatif
pada kegiatan utama serta lingkungannya [4].
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan
Matriks Konsistensi, maka diketahui bahwa pada
tahun 2010, terdapat ruang/lahan yang dinilai bersifat
Inkonsistensi yaitu seluas 47,61 Ha atau 5,04 %,
bersifat konsistensi seluas 773,93 Ha atau 81,90 %,
serta yang bersifat Netral seluas 123,38 ha atau
13,06 %. Sedangkan pada tahun 2017, ruang/lahan
yang bersifat inkonsistensi semakin bertambah
menjadi 75,41 Ha atau 7,98 %, ruang/lahan yang
bersifat konsistensi juga bertambah menjadi 793,81
Ha atau 84,01%, sedangkan yang bersifat netral justru
berkurang menjadi 75,70 Ha atau 47,68 %. Untuk
lebih jelasnya, dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar
4 dan Gambar 5.
Tabel 4
Hasil Evaluasi Konflik Ruang Kecamatan Ampenan
Gambar 4. Evaluasi Konsistensi/Inkonsistensi dan Konlik
Ruang Kecamatan Ampenan tahun 2010
(Sumber: Hasil Analisis)
Gambar 5 Peta evaluasi Konsistensi/Inkonsistensi dan
Konflik Ruang Kecamatan Ampenan tahun 2017
(Sumber: Hasil Analisis)
D. SIMPULAN DAN SARAN
Sumber: Hasil Analisis, 2017
Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa ruang
yang bersifat inkonsistensi meningkat sekitar 27,80
Ha atau 2,94% dari total luas wilayahnya, serta ruang
yang bersifat konsistensi juga meningkat sekitar 19,88
Berdasarkan hasil analisis di atas maka kesimpulan
dari Penelitian Kajian Perubahan Fisik Spasial Kawasan
Urban Fringe Kota Mataram, studi kasus Kecamatan
Ampenan, antara lain:
1. Luasan perubahan fisik spasial Kecamatan Ampenan
dari tahun 2010 sampai tahun 2017 adalah + 80,49
Ha atau 8,59 % dari total luas wilayahnya, dimana
konversi lahan yang dominan terjadi yaitu berupa
48 | Jurnal Planoearth | Vol. 3, No. 2, Bulan Tahun, hal 44-48
lahan pertanian (sawah) berubah fungsi menjadi
lahan terbangun perkotaan (permukiman dan
terbangun non permukiman).
2. Hasil evaluasi konflik ruang dengan menggunakan
matrik konsistensi, diperoleh bahwa pada tahun 2010
dan 2017, diperloleh tahun 2010 terdapat 47.61 Ha
(5.04 %) yang bersifat bertentangan/inkonsisten,
123.38 Ha (13.06 %) yang bersifat nertal, dan 773.93
Ha (81.90 %) yang bersifat sesuai/konsisten.
Sedangkan pada tahun 2017 terdapat 75.41
Ha(7.98 %) yang bersifat bertentangan/inkonsisten,
75.70 Ha (8.01 %) yang bersifat netral dan 793.81 Ha
(19.88 %) yang bersifat sesuai/konsisten. Sehingga
dapat
disimpulkan
bahwa,
secara
umum
implementasi
kegiatan
pemanfaatan
serta
pengendalian ruang di Kecamatan Ampenan masih
dikategorikan dalam kondisi aman.
DAFTAR RUJUKAN
[1] d. Subroto, “Proses Transformasi Spasial dan Sosio
Kultural Desa-Desa di Pinggiran Kota (Urban Fringe) di
Indonesia (Studi Kasus Yogyakarta),” Laporan Penelitian
pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan Dasar
TahunAnggaran 1996/1997. PPLH UGM, 1997.
[2] Daldjoeni, Geografi Kota dan Desa, Bandung: Alumni,
1987.
[3] H. S. Yunus, Struktur Tara Ruang Kota, Yogjakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar, 2000.
[4] M. Lutfi, Penataan Ruang Wilayah dan Kota (Tinjauan
Normatif-Teknis), Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas
Geografi UGM, 2013.
[5] Rosul.M, “Urban Sprawl (Pemerkaran Kota),” 2008.
[Online]. Available: http://mrosul.edublogs.org.
[6] M. A. d. T. R. N. 6/2017, “Tata Cara Peninjauan Kembali
Rencana Tata Ruang Wilayah,” Jakarta, 2007.
[7] d. Koesparmadi, Periurban Sebagai Perhatian Kualitas
Hidup, Tanggerang Serpong: Redaksi Jurnal Dinamika
Periurban-Jurusan Perencanaan Wilayah Kota Institut
Teknologi Indonesia, 2005.
[8] H. S. Yunus, Dinamika Wilayah Peri-Urban, Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar, 2008.