Tatik Raisawati dkk.
Kajian Hama dan Penyakit 10 Aksesi ....
Jurnal Agroqua
Volume 20 No. 1 Tahun 2022
DOI: 10.32663/ja.v%vi%i.2507
KAJIAN HAMA DAN PENYAKIT 10 AKSESI TEMPUYUNG PADA
BUDIDAYA ORGANIK
(Study of Pests and Diseases 10 Accessions of Sowthistle in Organic Cultivation)
Tatik Raisawati1*, Maya Melati2, Sandra Arifin Aziz2, Mohamad Rafi3, Parwito1
1
Program Studi Agroteknologi, Universitas Ratu Samban, Bengkulu Utara.
Jl. Sudirman No.87, Gn. Alam, Arga Makmur, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu 38618,
Indonesia
2
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor. 16680, Indonesia
3
Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor, Bogor, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia
*Corresponding author: tetasugiarto2@gmail.com
ABSTRACT
Sowthistle (Sonchus arvensis L.) is known in Indonesia as traditional medicine. This study
was conducted to observe diseases that attack sowthistle in organic cultivation. Ten
accessions of sowthistle were collected from Dramaga, Cibadak, Cicurug, Lembang, Matesih,
Sekipan, Tawangmangu, Batu, Banjararum, and Sumbersekar, with altitudes between 1861280 m above sea level and rainfall of 988-2573 mm. The research was carried out in the
organic experimental field of Cikarawang, IPB, Bogor, with a geographical location of 6o30' 6o45' SL and 106o30'-106o45´ EL and an altitude of 190 m above sea level. The research
location is a lowland with 1618 mm of rainfall during the study. Pest identification was
carried out in the Plant Clinic laboratory of the Plant Protection Department of IPB. Disease
identification was carried out by taking symptomatic plants, then isolated and grown in PDA
media and then identified. The results showed that the disease that attacked the sowthistle in
this experiment was caused by the bacterium Pseudomonas sp and fungi Fusarium sp. The
disease attack rate ranges from 32 to 60%. Disease attacks were controlled by removing the
affected plants and then spraying with turmeric solution in a ratio of 1: 10. Pests that attacked
sowthistle were snails, grasshoppers, fruit borer caterpillars, and panicle-sucking insects.
Keywords: bacteria, fungi, identification, sowthistle
ABSTRAK
Tempuyung (Sonchus arvensis L.) dikenal penduduk di Indonesia sebagai obat tradisional.
Kajian ini dilakukan untuk mengamati penyakit yang menyerang tempuyung pada budidaya
secara organik. Sepuluh aksesi tempuyung dikoleksi dari Dramaga, Cibadak, Cicurug,
Lembang, Matesih, Sekipan, Tawangmangu, Batu, Banjararum dan Sumbersekar, dengan
ketingian tempat antara 186-1280 m dpl dan curah hujan 988-2573 mm. Penanaman
dilakukan di kebun percobaan organik Cikarawang, IPB, Bogor, dengan letak geografis 6o30'
- 6o45'LS dan 106o30'-106o45´BT dan ketinggian tempat 190 m dpl. Lokasi penelitian
merupakan dataran rendah dengan curah hujan selama penelitian 1618 mm. Identifikasi hama
dilakukan di laboratorium Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman IPB. Identifikasi
penyakit dilakukan dengan cara mengambil tanaman yang bergejala, kemudian di isolasi dan
ditumbuhkan dalam media PDA dan selanjutnya diidentifikasi. Hasil penelitian menunjukkan
penyakit yang menyerang tanaman tempuyung pada percobaan ini disebabkan oleh bakteri
Pseudomonas sp dan busuk batang dan akar yang disebabkan oleh cendawan Fusarium sp.
Tingkat serangan penyakit pada penanaman ini berkisar antara 32-60%. Serangan penyakit
1
Tatik Raisawati dkk.
Kajian Hama dan Penyakit 10 Aksesi ....
Jurnal Agroqua
Volume 20 No. 1 Tahun 2022
DOI: 10.32663/ja.v%vi%i.2507
dikendalikan dengan mencabut tanaman yang terserang kemudian melakukan penyemprotan
dengan menggunakan kunyit dengan perbandingan 1 : 10. Hama yang menyerang tanaman
tempuyung adalah bekicot, belalang, ulat penggerek buah dan serangga penghisap malai.
Kata kunci: bakteri, cendawan, identifikasi, tempuyung
PENDAHULUAN
Tempuyung (Sonchus arvensis L.)
dikenal penduduk di Indonesia sebagai obat
tradisional. Bagian tanaman tempuyung yang
sering
dimanfaatkan
dan
dipercaya
berkhasiat obat adalah daunnya. Tempuyung
berpotensi sebagai agen antiurolithiasis,
dapat melarutkan batu ginjal (Oktari et al.,
2014). Tempuyung memiliki kandungan
flavon, flavonol, dan kalkon sehingga
berpotensi sebagai anti kanker (Batubara
et al., 2011).
Tempuyung umumnya ditemukan
sebagai gulma, namun demikian beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa
tempuyung dapat ditanam dan berpotensi
untuk dikembangkan. Tempuyung yang
merupakan tanaman obat diutamakan
dibudidayakan secara organik. Budidaya
tempuyung menggunakan pupuk kandang
dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil
(Surat et al. 2008; Nurhayati et al. 2013;
Wardani dan Melati 2014).
Pertumbuhan suatu tanaman tidak
terlepas dari serangan hama dan penyakit.
Hama dan penyakit tanaman tempuyung
serta
usaha
pengendaliannya
jarang
dilaporkan. Hasan (2017) dan Ari (2017)
melaporkan bahwa penyakit
yang
menyerang
tanaman
tempuyung pada
budidaya organik adalah penyakit bercak
daun yang disebabkan oleh cendawan
Curvularia sp dengan gejala awal terjadi
pada daun pertama, kemudian berkembang
ke bagian daun atasnya, bintik-bintik kecil
menyatu seringkali mengalami nekrosis
sehingga daun menjadi kering dan mati.
Cara pengendalian dilakukan dengan cara
mencabut
tanaman yang menunjukkan
gejala serangan. Hama yang menyerang yaitu
gangsir (Brachytrypes portentosus) (tidak
dipublikasikan).
Hasan (2017) dan Ari (2017)
menggunakan satu aksesi yang didapatkan
dari lingkungan sekitar lokasi penelitian
(Bogor). Pada penelitian ini digunakan 10
aksesi tempuyung yang dikoleksi dari daerah
di tiga propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hama dan
penyakit pada 10 aksesi tempuyung yang
ditanam diluar lingkungan alaminya dengan
budidaya organik.
BAHAN DAN METODE
Bahan tanam adalah biji dari 10
aksesi tempuyung yang dikoleksi dari
Dramaga, Cibadak, Cicurug, Lembang (Jawa
Barat), Matesih, Sekipan, Tawangmangu
(Jawa
Tengah),
Batu,
Banjararum,
Sumbersekar (Jawa Timur). Kesepuluh
sumber aksesi mempunyai ketingian tempat
antara 186-1280 m dpl dan curah hujan 9882573 mm (Tabel 1). Penanaman dilakukan di
kebun percobaan organik Cikarawang, IPB,
Bogor dengan letak geografis 6o30' - 6o45'LS
dan106o30'-106o45´BT
dan
ketinggian
tempat 190 m dpl. Lokasi penelitian
merupakan dataran rendah (190 m dpl)
dengan curah hujan selama penelitian 1618
mm.
2
Tatik Raisawati dkk.
Kajian Hama dan Penyakit 10 Aksesi ....
Jurnal Agroqua
Volume 20 No. 1 Tahun 2022
DOI: 10.32663/ja.v%vi%i.2507
Tabel 1. Kondisi geografis asal aksesi
Asal aksesi
Provinsi
Cibadak
Dramaga
Matesih
Banjararum
Cicurug
Sumbersekar
Batu
Tawangmangu
Sekipan
Lembang
Jawa Barat
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Jawa Barat
Jawa Timur
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Barat
Ketinggian Curah hujan
(m)
(mm)
186
1724
257
1772
438
2573
488
1364
561
1433
636
988
914
988
1200
1847
1280
1847
1282
1311
Sumber : Raisawati et al., 2018
Identifikasi
penyakit
dilakukan
dengan cara mengambil tanaman yang sakit,
dipotong ± 2 cm, disterilkan dengan larutan
natrium hipoklorit 2% selama 5 menit dan
dibilas dengan aquades sebanyak 3 kali dan
dikeringkan dengan kertas tissue steril
Kemudian potongan tanaman tersebut
disusun dalam petridish yang berisi media
PDA (Potato Dextro Agar) dan diinkubasi ±
5 hari dalam ruang inkubasi selanjutnya
diidentifikasi (Zahara dan Harahap, 2007).
Rancangan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan
satu faktor perlakuan dan tiga ulangan.
Pengamatan dilakukan terhadap jumlah
tanaman yang terserang penyakit dan
identifikasi penyebab penyakit. Data
tanaman yang terserang diuji dengan uji
Anova pada taraf nyata 5%, jika berbeda
nyata dilanjutkan dengan uji Tukey.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data curah hujan terlihat sangat
tinggi pada saat penelitian dilakukan (bulan
Februari sampai bulan Mei). Demikian juga
dengan kelembaban udara nisbi. Suhu harian
yang didapat selama penelitian berlangsung
tidak menunjukkan perbedaan yang besar.
Intensitas cahaya terendah terjadi pada bulan
Februari yaitu 83434.9 lux.hari-1 (Tabel 2).
Dari kondisi iklim terlihat bahwa penelitian
dilaksanakan saat musim penghujan dan
berakhir pada awal musim kering (BMKG
Dramaga, 2017). Berdasarkan klasifikasi
Oldeman, bulan basah ditunjukkan dengan
curah hujan >200 mm per bulan dan bulan
kering ditunjukkan dengan curah hujan <100
mm per bulan (Bayong 2004).
Tingginya
curah
hujan
dan
kelembaban udara nisbi sangat berpengaruh
terhadap serangan penyakit pada tanaman
tempuyung. Hasil pengamatan terhadap
tanaman
yang
terserang
penyakit
menunjukkan adanya 2 gejala yang berbeda.
Gejala pertama adalah beberapa daun layu,
warna daun berubah menjadi kecoklatan
kemudian menghitam dan tumbuh hifa-hifa
selanjutnya menyebar pada seluruh daun dan
tanaman menjadi layu dan mati (Gambar 1ac).
3
Tatik Raisawati dkk.
Kajian Hama dan Penyakit 10 Aksesi ....
Jurnal Agroqua
Volume 20 No. 1 Tahun 2022
DOI: 10.32663/ja.v%vi%i.2507
Tabel 2. Kondisi iklim selama penelitian
Bulan
Februari
Maret
April
Mei
Curah hujan
Kelembaban
udara nisbi
Suhu harian
Intensitas
Cahaya
(mm)
609.8
450.0
558.2
131.8
(%)
89
86
85
82
(oC)
25.7
26.5
26.7
26.3
(lux.hari-1)
83 434.9
108 267.5
112 487.9
112 587.8
Sumber : Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor
Hasil
identifikasi
menunjukkan
bahwa penyakit yang menyerang 10 aksesi
tempuyung dengan gejala layu daun dan
busuk batang dan akar disebabkan oleh
cendawan Fusarium sp (Gambar 2a).
Tanaman yang diserang layu Fusarium sp.
keseluruhan daunnya menjadi layu, rebah
pada pangkal tangkai daun, pecahnya batang
(pseudostem) di bagian permukaan tanah,
kelayuan tanaman selanjutnya kematian
tanaman (Sutejo et al. 2008).
Gambar 1. Gejala serangan penyakit pada tanaman tempuyung yang disebabkan oleh
Fusarium sp (a, b, c) dan Pseudomonas sp (d, e, f).
Gambar 2. Hasil pengamatan mikroskopis penyebab penyakit yang menyerang tanaman
tempuyung, a) Fusarium sp dan b) Pseudomonas sp
4
Tatik Raisawati dkk.
Kajian Hama dan Penyakit 10 Aksesi ....
Jurnal Agroqua
Volume 20 No. 1 Tahun 2022
DOI: 10.32663/ja.v%vi%i.2507
Gejala yang lain adalah pinggir atau
ujung daun mengering, selanjutnya seluruh
daun dan batang menjadi kering (Gambar 1
d-f). Hasil identifikasi menunjukkan bahwa
penyakit yang menyerang 10 aksesi
tempuyung dengan gejala seperti ini
disebabkan oleh bakteri Pseudomonas sp
(Gambar 2b).
Penyebab penyakit pada 10 aksesi
tempuyung ini berbeda dengan yang
dilaporkan Hasan (2007) dan Ari (2007),
yang melaporkan penyakit pada tanaman
tempuyung adalah bercak daun yang
disebabkan oleh cendawan Curvularia sp.
Departemen
Kesehatan
(1989),
menyebutkan penyakit utama pada tanaman
tempuyung adalah jamur karat (Puccinia
Sonchus arvensis), serta busuk pangkal
batang dan pangkal akar. Serangan jamur
karat dapat menurunkan produksi daun
sebesar 30-80%.
Serangan penyakit pada penelitian ini
dikendalikan dengan melakukan sanitasi
dengan mencabut tanaman yang terserang
penyakit,
kemudian
melakukan
penyemprotan dengan pestisida nabati yaitu
menggunakan kunyit dengan perbandingan 1
: 10 (1 gram kunyit dilarutkan dalam 10 L
air), dua kali selama penelitian yaitu pada
umur 4 dan 6 MST (Gambar 3).
Gambar 3. Pengendalian penyakit menggunakan larutan kunyit pada umur 4 MST (a) dan 6
MST (b).
Tingkat serangan penyakit pada
penanaman ini berkisar antara 32-60%.
Aksesi yang mati kurang dari 50% adalah
aksesi Tawangmangu (32%), Banjararum
(39%) dan Lembang (48%) (Gambar 4a).
Rata-rata tanaman mati pada aksesi
Tawangmangu
53%
lebih
rendah
dibandingkan dengan aksesi Cicurug (p <
5%) (Gambar 4b).
Aksesi Tawangmangu menunjukkan
jumlah tanaman mati yang terendah diikuti
oleh aksesi Banjararum, hal ini diduga terkait
dengan kemampuan beradaptasi dan
ketahanan terhadap serangan penyakit dari
masing-masing
aksesi.
Aksesi
Tawangmangu berasal dari tanaman yang
dibudidayakan sehingga lebih mudah
beradaptasi saat dibudidayakan di luar
lingkungan tumbuhnya meskipun lingkungan
ex situ berbeda dengan lingkungan in
situnya. Lingkungan in situ aksesi
Tawangmangu merupakan daerah dataran
tinggi (1200 m dpl) sedangkan lingkungan ex
situ merupakan dataran rendah (190 m dpl).
Sementara aksesi Banjararum berasal dari
tanaman liar yang tumbuh di dataran
menengah (488 m dpl).
Organisme pengganggu tanaman
(hama) yang menyerang tanaman tempuyung
yang dibudidayakan secara organik mulai
5
Tatik Raisawati dkk.
Kajian Hama dan Penyakit 10 Aksesi ....
Jurnal Agroqua
Volume 20 No. 1 Tahun 2022
DOI: 10.32663/ja.v%vi%i.2507
begitu besar sehingga tidak mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman
tempuyung. Hama yang menyerang daun
tempuyung yaitu bekicot dan belalang pada
saat bibit baru pindah tanam (1-3 MST).
penanaman hingga panen adalah bekicot,
belalang, ulat
penggerek
buah
(Helicoverpa armigera) dan serangga
penghisap malai Nysius raphanus (Gambar
5). Tingkat serangan hama tidak
tidak
Aksesi
40
30
20
10
0
ab ab ab
ab
a ab ab
ab ab
b
Cibadak
Dramaga
Matesih
Banjararum
Cicurug
Sumbersekar
Batu
Tawangma…
Sekipan
Lembang
100
75
50
25
0
Rata-rata Tanaman mati
b)
Cibadak
Dramaga
Matesih
Banjararum
Cicurug
Sumbersekar
Batu
Tawangma…
Sekipan
Lembang
Jumlah Tanaman Mati
a)
Aksesi
Gambar 4. Jumlah tanaman mati (a) dan rata-rata tanaman mati (b) karena serangan penyakit
selama penelitian. Bar menunjukkan standar error, huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Tukey α = 5%,
Gambar 5. Hama yang menyerang tanaman tempuyung, a) ulat penggerek bunga dan buah
(Helicoverpa armigera), b) serangga penghisap malai (Nysius raphanus), c)
belalang
KESIMPULAN
Penyakit pada 10 aksesi tempuyung
dengan budidaya organik disebabkan oleh
candawan Fusarium sp dan bakteri
Pseudomonas sp dengan tingkat serangan
sebesar 32-60%. Hama yang menyerang
tanaman
tempuyung
adalah
bekicot,
belalang, ulat penggerek buah dan serangga
penghisap malai.
Aksesi Tawangmangu
menunjukkan lebih tahan terhadap serangan
penyakit dengan jumlah tanaman hidup
sebanyak 68% tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Ari, Ahmad Nur Hidayat Gena, Melati,
Maya Aziz, Sandra, (2017). Produksi
Senyawa
Flavonoid
Tanaman
6
Tatik Raisawati dkk.
Kajian Hama dan Penyakit 10 Aksesi ....
Jurnal Agroqua
Volume 20 No. 1 Tahun 2022
DOI: 10.32663/ja.v%vi%i.2507
Tempuyung (Sonchus arvensis L.)
Pada Interval Panen dan Perlakuan
Pupuk Yang Berbeda. Tesis. Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Batubara I., Darusman L.K. dan Paulina
A. (2011). High performance liquid
chromatography
profile
of
tempuyung (Sonchus arvensis L.)
extract and its toxicity to Artemia
salina.
Prosiding
Seminar
Internasional : Natural Product for
Cancer Chemoprevention. Fakultas
Farmasi Universitas Muhammadiyah
Purwokerto, Purwokerto, 5 Juli 2011.
Bayong T. (2004). Klimatologi. Bandung
(ID): Penerbit ITB
Departemen Kesehatan. (1989). Vademekum
Bahan Obat Alam. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Hasan F.
(2017).
Penentuan Fase
Pertumbuhan dan Waktu Panen
Untuk
Produksi
Flavonoid
Tempuyung (Sonchus arvensis L.).
Tesis. Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Nurhayati H, Darwati I, Rosita SMD. (2013).
Pengaruh pola tanam dan dosis pupuk
NPK terhadap pertumbuhan dan
produksi tanaman Sonchus arvensis
L. Bul. Littro, 24 (1), 8-13.
Oktari T., Fitmawati dan Sofiyanti N.
(2014). Identifikasi dan uji fitokimia
ekstrak
alami
tanaman
antiurolithiasis. JOM FMIPA 1:1-9.
Raisawati, T., Melati, M., Aziz S.A., Rafi,
M. (2018). Evaluasi karakter agrofisiologi dan analisis kekerabatan 10
aksesi tempuyung (Sonchus arvensis
L.) di lingkungan alami. J. Hort.
Indonesia. 9 (1), 63-72.
Surat W, Kruatrachue M, Pokethitiyook P,
Tanhan P, Samranwanich T. (2008).
Potential of Sonchus arvensis for the
phytoremediation
of
leadcontaminated soil. Int J of
Phytoremediation, 10 (4), 325-342.
Sutejo A,M, Priyatmojo A, Wibowo A.
(2008).
Identifikasi
morfologi
beberapa spesies jamur fusarium.
Jurnal
Perlindungan
Tanaman
Indonesia. 14(1), 7-13.
Wardani YE, Melati M. (2014). Produksi
simplisia dan kandungan bioaktif
daun tempuyung (Sonchus arvensis
L.) pada berbagai dosis pupuk
kandang kambing. J. Hort. Indonesia
5(3), 148-157.
Zahara H, Harahap LH. (2007). Identifikasi
jenis cendawan pada tanaman cabai
(Capsicum annum) pada topografi
yang berbeda. Temu Teknis Pejabat
Fungsional Non Peneliti. Bogor, 2122 Agustus 2007.
7