Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN REMAJA

BAB II PENDAHULUAN Pengertian Perkembangan Remaja Menurut Papalia & Olds (2001) bahwa masa remaja merupakan masa antara kanak-kanak dan dewasa. Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputii perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan. Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001). Yang dimaksud dengan perkembangan adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan (Papalia & Olds, 2001). Perubahan itu dapat terjadi secara kuantitatif, misalnya pertambahan tinggi atau berat tubuh; dan kualitatif, misalnya perubahan cara berpikir secara konkret menjadi abstrak (Papalia dan Olds, 2001). Jadi, perkembangan remaja adalah perkembangan atau perubahan proses pertumbuhan biologis dan psikis yang terjadi pada masa antara kanak-kanak dan dewasa. Periode remaja awal (early adolescence), yaitu berkisar antara umur 11-13 dan14- 15 tahun; dan periode remaja akhir, yaitu 14-16 dan 18-20 tahun (Makmun, 2003) (atau umur dewasa menurut hukum yang berlaku di suatu negara). Remaja menurut WHO adalah suatu masa pertumbuhan dan perkembangan dimana : Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. Terjadi peralihan dari kertengantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relative lebih mandiri. Aspek-aspek Perkembangan Remaja Perkembangan dalam kehidupan manusia terjadi pada aspek-aspek yang berbeda. Ada tiga aspek perkembangan pada masa remaja yang dikemukakan Papalia dan Olds (2001), yaitu: Perkembangan Fisik Perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2001). Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah kematangan. Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif. (Piaget dalam Papalia dan Olds, 2001 ) Perkembangan Kognitif Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, di mana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide tersebut. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru. Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam Papalia & Olds, 2001). Tahap formal operations adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu hal. Berbeda dengan seorang anak yang baru mencapai tahap operasi konkret yang hanya mampu memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2001). Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya. Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat darii kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis. Remaja sudah mulaii mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001). Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds, 2001). Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah “ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain” (Papalia dan Olds, 2001). Elkind (dalam Beyth-Marom et al., 1993; dalam Papalia & Olds, 2001) mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal dengan istilah personal fabel. Personal fabel adalah "suatu cerita yang kita katakan pada diri kita sendirii mengenai diri kita sendiri, tetapi [cerita] itu tidaklah benar" . Kata fabel berarti cerita rekaan yang tidak berdasarkan fakta, biasanya dengan tokoh-tokoh hewan. Personal fabel biasanya berisi keyakinan bahwa diri seseorang adalah unik dan memiliki karakteristik khusus yang hebat, yang diyakini benar adanya tanpa menyadari sudut pandang orang lain dan fakta sebenarnya. Papalia dan Olds (2001) dengan mengutip Elkind menjelaskan “personal fable” sebagai berikut : “Personal fable adalah keyakinan remaja bahwa diri mereka unik dan tidak terpengaruh oleh hukum alam. Belief egosentrik ini mendorong perilaku merusak diri [self-destructive] oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara magis terlindung dari bahaya. Misalnya seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya tidak mungkin hamil [karena perilaku seksual yang dilakukannya], atau seorang remaja pria berpikir bahwa ia tidak akan sampai meninggal dunia di jalan raya [saat mengendarai mobil], atau remaja yang mencoba-coba obat terlarang [drugs] berpikir bahwa ia tidak akan mengalami kecanduan. Remaja biasanya menganggap bahwa hal-hal itu hanya terjadi pada orang lain, bukan pada dirinya”. Pendapat Elkind bahwa remaja memiliki semacam perasaan invulnerability yaitu keyakinan bahwa diri mereka tidak mungkin mengalami kejadian yang membahayakan diri, merupakan kutipan yang populer dalam penjelasan berkaitan perilaku berisiko yang dilakukan remaja (Beyth-Marom, dkk., 1993). Umumnya dikemukakan bahwa remaja biasanya dipandang memiliki keyakinan yang tidak realistis yaitu bahwa mereka dapat melakukan perilaku yang dipandang berbahaya tanpa kemungkinan mengalami bahaya itu. Beyth-Marom, dkk (1993) kemudian membuktikan bahwa ternyata baik remaja maupun orang dewasa memiliki kemungkinan yang sama untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang berisiko merusak diri (self-destructive). Mereka juga mengemukakan adanya derajat yang sama antara remaja dan orang dewasa dalam mempersepsi self-invulnerability. Dengan demikian, kecenderungan melakukan perilaku berisiko dan kecenderungan mempersepsi diri invulnerable menurut Beyth-Marom, dkk., pada remaja dan orang dewasa adalah sama. Perkembangan kepribadian dan sosial. Perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik; sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001), atau yang biasa kita sebut pencarian jati diri. Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya adalah besar. Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991). Kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya (Beyth-Marom, et al., 1993; Conger, 1991; Deaux, et al, 1993; Papalia & Olds, 2001). Conger (1991) dan Papalia & Olds (2001) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan sebagainya (Conger, 1991). Karakteristik Perkembangan Remaja Beberapa karakteristik secara umum dari anak usia remaja adalah: Masa remaja merupakan periode penting artinya segala sesuatu yang terjadi baik jangka pendek maupun panjang berakibat langsung terhadap sikap dan perilaku mereka. Masa remaja merupakan periode peralihan artinya anak beralih menjadi dewasa dan meniggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanakan dan mempelajari prilaku baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan. Masa remaja merupakan periode perubahan yang mencakup perubahan emosi, perubahan proporsi tubuh, minat, perilaku dan nilai yang dianut. Masa remaja merupakan masa mencari identitas. Usia remaja merupakan usia yang menimbulkan ketakutan karena menimbulkan beberapa pertentangan dengan orangtua. Masa remaja merupakan masa tidak realistik. Hal ini disebabkan sudut pandang mereka terhadap sesuatu dan menjadikannya cermin. Semakin tidak realistic cita-citanya maka anak akan semakin menjadi marah dan akan sakit hati apabila semua harapan tidak berhasil dicapainya. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa artinya mereka akan merubah stereotif baru menjadi remaja dewasa dengan melakukan peran baru menjadi sosok orang dewasa dalam hal perilaku dan sikap serta tindakan mereka sehingga memberikan citra yang mereka inginkan. Adapun karakteristik secara umum pda perkembangan remaja awal : Terjadinya ketidakseimbangan proporsi tinggi dan berat badan. Mulai timbulnya ciri-ciri seks sekunder. Kecenderungan ambivalensi, antara keinginan menyendiri dengan keinginan bergaul, serta keinginan untuk bebas dari dominasi dengan kebutuhan bimbingan dan bantuan dari orangtua. Senang membandingkan kaedah-kaedah, nilai-nilai etika atau norma dengan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan orang dewasa. Mulai mempertanyakan secara skeptic mengenai eksistensi dan sifat kemurahan dan keadilan Tuhan. Reaksi dan ekspresi emosi masih labil. Mulai mengembangkan standar dan harapan terhadap perilaku diri sendiri yang sesuai dengan dunia sosial. Kecenderungan minat dan pilihan karier relative sudah lebih jelas. Berikut pula karakteristik secara umum pada perkembangan remaja akhir : Mencapai hubungan yang matang dengan teman sebaya. Dapat menerima dan belajar peran sosial sebagai pria atau wanita dewasa yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Menerima keadaan fisik dan mampu menggunakannya secara efektif. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya. Memilih dan mempersiapkan karier di masa depan sesuai dengan minat dan kemampuannya. Mengembangkan sikap positif terhadap pernikahan, hidup berkeluarga dan memiliki anak. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan sebagai warga negara. Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial. Memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Mengembangkan wawasan keagamaan dan meningkatkan religiusitas. Selanjutnya, ini adalah karakteristik secara spesifik pada perkembangan remaja yang di antaranya adalah sebagai berikut: Perkembangan Fisik Periode remaja awal (early childhood)          Masa remaja merupakan salah satu diantara dua masa rentangan kehidupan individu, dimana terjadi pertumbuhan yang sangat pesat. Kondisi ini memungkinkan setiap remaja mempunyai bentuk dan fungsi tubuh sesuai dengan jenis kelaminnya. Perubahan fungsi fisiologik lebih berhubungan dengan kematangan seks primer. Hal ini dikatakan seks primer, karena berhubungan langsung dengan alat reproduksi. Seks primer ditandai dengan adanya pubertas pertama pada remaja. Pubertas sendiri berasal dari bahasa latin, yaitu puberatum yang mempunyai arti usia kematangan atau kedewasaan. Masa pubertas dalam kehidupan kita biasanya dimulai saat berumur delapan hingga sepuluh tahun dan berakhir lebih kurang di usia 15 hingga 16 tahun. Pada masa ini memang pertumbuhan dan perkembangan berlangsung dengan cepat.Pada wanita pubertas ditandai dengan menstruasi pertama (menarche), menstruasi adalah peristiwa keluarnya cairan darah dari alat kelamin perempuan berupa luruhnya lapisan dinding dalam rahim yang banyak mengandung darah. Sedangkan pada laki-laki ditandai dengan mimpi basah (nocturnal emission), mimpi basah biasanya terjadi pada remaja laki-laki usia antara 10-15 tahun. Dan Pada anak laki-laki, sinyal pertama pubertas adalah pertumbuhan testis dan skrotum. Perubahan dalam bentuk fisik biasanya meliputi proporsi muka dan badan serta menampilkan sesuai dengan jenis kelaminnya atau perubahan seks sekunder. Adapun ciri-ciri perubahan sekunder: Wanita Pria 1.  Pertumbuhan tulang-tulang 2.  Bertambah besarnya payudara dan pinggul 3.  Tumbuh bulu yang halus dan lurus berwarna gelap dikemaluan 4.  Mencapai pertumbuhan ketinggian badan yag maksimal setiap tahunnya 5. Menstruasi 6.  Tumbuh bulu-bulu ketiak 7. Perubahan pada bentuk tangan dan kaki (lebih nampak pada penimbuhan lemak) 8. Suara terdengar lebih lembut 1.  Pertumbuhan tulang-tulang 2.  Testis membesar 3.  Awal perubahan suara 4.  Ejakulasi 5.  Pertumbuhan tinggi badan 6.  Tumbuh jenggot, dan kumis 7.  Tumbuh bulu di ketiak, dada, kaki dan kemaluan 8.  Pembesaran Suara 9. Tumbuhnya gondok laki (jakum) Serta berikut ciri-ciri seks sekunder menurut Sarwono (2003),adalah sebagai berikut : Remaja laki-laki Bahu melebar, pinggul menyempit Petumbuhan rambut disekitar alat kelamin, ketiak, dada, tangan, dan kaki Kulit menjadi lebih kasar dan tebal Produksi keringat menjadi lebih banyak Remaja perempuan Pinggul lebar, bulat, dan membesar, puting susu membesar dan menonjol, serta berkembangnya kelenjar susu, payudara menjadi lebih besar dan lebih bulat. Kulit menjadi lebih kasar, lebih tebal, agak pucat, lubang poripori bertambah besar, kelenjar lemak dan kelenjar keringat menjadi lebih aktif. Otot semakin besar dan semakin kuat, terutama pada pertengahan dan menjelang akhir masa puber, sehingga memberikan bentuk pada bahu, lengan, dan tungkai. Suara menjadi lebih penuh dan semakin merdu. Bila menstruasi  pertama dan nocturnal emession terjadi. Organ seks primer dan seks sekunder mulai matang, tetapi belum mencapai kematangan penuh. Menstruasi pertama ini biasanya dialami anak-anak perempuan sekitar usia 12 tahun sampai 16 tahun. Walaupun para ahli perkembangan menentukan patokan usia, namun tidak menutupi kemungkinan perbedaan individual. Proses kematangan tubuh yang menyangkut perkembangan ukuran tubuh maupun kematangan seksual dikendalikan oleh kelenjar pituitary, yaitu sebuah kelenjar endokrin yang terletak di dasar otak. Kelenjar pituitary menghasilkan dua hormon, yaitu : Hormon Pertumbuhan Hormon ini adalah hormon yang mempengaruhi ukuran tubuh individu. Hormon Gonadotropik (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) Hormon yang merangsang kelenjar gonad (kelenjar seks) menjadi lebih aktif. Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone. Aktifitas gonad ini menyebabkan oragan organ seks yang menyangkut karakteristik primer, yaitu pada wanita ovarium dan pada pria testis, berkembang dalam ukuran dan mulai berfungsi atau mencapai kematangan. Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seorang anak. Di samping itu juga menyebabkan karakteristik seks sekunder mulai berkembang. Periode remaja akhir (late adolescent) Pada periode ini tidak tampak tidak lagi ada perubahan bentuk tubuh yang sangat meningkat pesat. Pertumbuhan fisik remaja akhir lebih dilihat dari proporsi atau keseimbangan antara anggota tubuh yang satu dengan lainnya. Bentuk tubuh yang proporsional merupakan dambaan bagi remaja yang berada pada periode ini. Sebab pada periode sebelumnya yaitu remaja awal, proporsi bentuk tubuh masih belum seimbang. Laju perkembangan secara umum kembali menurun, sangat lambat. Proporsi ukuran tinggi dan berat badan lebih seimbang mendekati kekuatan orang dewasa. Siap berfungsinya organ-organ reproduktif seperti pada orang dewasa. Baik organ seks pria maupun wanita mencapai ukuran yang matang pada akhir masa remaja akhir, tetapi fungsinya belum matang sampai beberapa tahun kemudian. Pada organ dalam pun terjadi perkembangan di antaranya: Sistem Pencernaan Perut menjadi lebih panjang dan tidak lagi berbentuk pipa, usus bertambah panjang dan bertambah besar, otot-otot di perut dan dinding usus menjadi lebih tebal dan lebih kuat, hati bertambah berat dan kerongkongan bertambah panjang. Sistem Peredaran Darah Jantung tumbuh pesat selama masa remaja, pada usia 17 atau 18, beratnya 12 kali lipat berat waktu lahir, panjang dan tebal dinding pembuluh darah meningkat dan mencapai tingkat kematangan bilamana jantung sudah matang. Sistem Pernapasan Kapasitas paru-paru anak permpuan hampir matang pada usia 17 thun; Sistem Endrokin Kegiatan gonad yang meningkat pada masa puber menyebabkan ketidak seimbangan sementara dari seluruh sistem endokrin pada masa awal masa puber. Kelenjar-kelenjar seks berkembang pesat dan berfungsi, meskipun belum mencapai ukuran matang sampai akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Jaringan Tubuh Perkembangan kerangka berhenti rata-rata pada usia 18. Jaringan selain tulang terus berkembang sampai tulang mencapai ukuran matang, khususnya bagi perkembangan jaringan otot. Perkembangan Kognitif Perkembangan kognitif adalah perkembangan kemampuan individu untuk memanipulasi dan mengingat informasi. Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka. Walaupun mungkin cara berpikir belum matang, banyak yang mampu untuk berpikir secara abstrak dan memiliki penilaian moral yang canggih serta dapat merencanakan masa depan dengan lebih realistis. Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations).   Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode belajar-mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak. Penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka  lulus sekolah menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik. Ciri-ciri perkembangan Kognitif pada remaja awal, di antaranya: Proses berfikir sudah mampu mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (asosiasi, diferensiasi, komparasi, kausalitas) yang bersifat abstrak, meskipun relatif terbatas. Kecakapan dasar intelektual menjalani laju perkembangan yang terpesat. Kecakapan dasar khusus (bakat) mulai menujukkan kecenderungan-kecenderungan yang lebih jelas. Tahapan berpikir formal menurut Broughton adalah : Early formal operational thought,  kemampuan remaja untuk berpikir dengan cara hipotetik yang menghasilkan pikiran bebas tentang berbagai kemungkinan yang tidak terbatas. Remaja telah dapat mengintegrasikan apa yang dipelajari dengan tantangan di masa yang akan datang dan membuat rencana di masa mendatang. Late operational thought, remaja mulai menguji pikirannya yang berlawanan dengan pengalamannya dan mengembalikan keseimbangan intelektualnya. Menurut Piaget (dalam Santrock, 2002: 15) pemikiran operasional formal berlangsung antara usia 11 sampai 15 tahun. Pemikiran operasional formal lebih abstrak, idealis, dan logis daripada pemikiran operasional konkret. Piaget menekankan bahwa bahwa remaja terdorong untuk memahami dunianya karena tindakan yang dilakukannya penyesuaian diri biologis. Secara lebih lebih nyata mereka mengaitkan suatu gagasan dengan gagasan lain. Mereka bukan hanya mengorganisasikan pengamatan dan pengalaman akan tetapi juga menyesuaikan cara berfikir mereka untuk menyertakan gagasan baru karena informasi tambahan membuat pemahaman lebih mendalam. Selain itu, cara berfikir operasional formal mereka juga dapat mengalahkan realitas, dan terlalu banyak terjadi asimilasi sehingga dunia dipersepsi secara subjektif dan idealistis. Tahap operasional formal ini terdiri dari empat aspek utama dari pemikiran manusia itu sendiri, yaitu pemikiran abstrak, logika, metakognisi, dan penalaran hipotesis. Tahap awal Operasional Formal : Pemikiran Abstrak Pemikiran yang memungkinkan suatu realitas untuk diwakili oleh symbol-simbol yang dapat dimanipulasi secara mental. Demokrasi merupakan salah satu bentuk dari tindakan yang abstrak. Pemikiran abstrak ini dapat juga dilakukan pada proses pembelajaran, yakni dengan memungkinkan realitas tersebut diwakilkan oleh suatu symbol-simbol. Logika Berfikir berdasarkan logika dapat membuat remaja hidup lebih secara teratur dan sistematis. Metakognisi   Metakognisi ini memiliki konsep “berfikir tentang pemikiran”, yakni konsep untuk mampu menganalisis pemikiran dan hal yang mereka lakukan sendiri untuk dapat menumbuhkan rasa percaya diri serta dapat menjadi motivasi bagi diri mereka sendiri. Penalaran hipotesis Kemampuan untuk menarik kesimpulan sendiri terhadap suatu kejadian yang terjadi berdasarkan hipotesis yang pernah dibuatnya. Dengan penalaran hipotesis ini juga dapat memungkinkan remaja berfikir lebih focus terhadap masalah yang dialaminya bahkan dengan kenyataan yang sekedarnya. Hypothetical-deductive reasoning membuat remaja dapat mengembangkan hipotesis dan mendesain eksperimen untuk membuktikannya, serta memberikan perangkat untuk memecahkan masalah. Tahap akhir Operasional Formal, Tahap ini dimulai dari usia 15 sampai 19 tahun yang merupakan pase kedua operasional formal, dan merupakan pengembangan dari logika proporsional, pola pemikiranindividu, dan kemampuan untuk memahami sistem simbol sehingga dapat menyeimbangkan initelektualnya. Pemikiran Abstrak Pada tahapan ini, remaja semakin memungkinkan untuk  menangani masalah system symbol terhadap realitas kehidupan, bahkan mereka juga mampu untuk menemukan masalah yang ada. Banyak pemuda sekarang, menjadi mampu memahami kartun politik dan simbolisme agama. Logika Remaja jauh lebih mengetahui tujuan dari disiplin dan mampu menguasai kondisi disiplin tersebut, sehingga tahap ini disebut juga sebagai logika proporsional. Metakognisi Pada tahap ini mereka menjadi lebih baik untuk menganalisis proses berpikir mereka saat bekerja melalui masalah. Remaja mulai melihat tren atau pola dalam pemikiran merekadan belajar untuk melakukan kompensasi bagi dirinya. Penalaran Hipotesis Pada tahap ini, banyak remaja mampu berpikir seperti seorang ilmuwan. Mereka mampu membuat rencana untuk memecahkan masalah, cenderung untuk menyelidiki lebih dari satu sumber data, dan dapat memikirkan beberapa kemungkinan penyebab. Mereka juga mampu melakukan studi dengan sedikit atau tanpa prasangka terhadap hasilnya dan mampu menerapkan aturan logika, sehingga lebih baik dalam mencari solusi pada masalah mereka. Terdapat dua kategori perubahan pada kognisi remaja, yaitu: Perubahan struktural Perubahaan struktural pada remaja meliputi (1) perubahan kapasitas pemrosesan informasi dan (2) peningkatan jumlah pengetahuan yang disimpan di long term memori. Informasi yang disimpan di long term memori terdiri dari: deklarative, procedural, atau conceptual. Pengetahuan deklarative berisi tentang semua pengetahuan faktual yang diperoleh seseorang, misalnya mengetahui bahwa Jakarta adalah ibukota Indonesia. Pengetahuan procedural berisi semua skill atau keahlian yang diperoleh seseorang, misalnya pengetahuan tentang bagaimana cara mengendarai sepeda motor. Pengetahuan conceptual berisi tentang pemahaman mengapa suatu kejadian terjadi, misalanya mengapa persamaan aljabar tetap benar jika jumlah yang sama yang ditambahkan atau disubtitusikan dari kedua belah pihak. Perubahan fungsional Proses memperoleh, menangani dan menyimpan informasi merupakan aspek fungsional dari kognisi. Diantaranya termasuk belajar, mengingat, menalar dan pembuatan keputusan. Penalaran matematika, spasial, dan sains merupakan beberapa proses fungsional yang cenderung berubah saat remaja. Remaja secara bertahap menjadi lebih mahir dalam mengambil keputusan, menjelaskan alasannya, dan menguji hipotesis, terutama jika hal tersebut dikenal dan benar. Perubahan pengamatan dalam situasi laboratorium tidak selalu membawa kekehidupan nyata, di mana perilaku sebagian tergantung pada motivasi dan regulasi emosi. Banyak remaja yang lebih tua membuat keputusan yang miris mengenai dunia nyata dibandingkan dengan remaja yang lebih muda. Pada periode remaja akhir operasi mental tidak lagi di batasi oleh objek konkret, tetapi dapat diterapkan pada pernyataan verbal atau logical sehingga pemikiran menjadi logis, abstrak dan hipotetikal. Pada periode ini, kemampuan-kemampuan yang baru muncul, yaitu: Mampu memformulasi hipotesa tentang gejala Menguji hipotesanya dengan realita Mampu membayangkan semua kemungkinan hasil atau beragam kombinasi. Yang membuat perubahan dari tahap operasional konkret jadi operasi formal adalah adanya kombinasi kematangan otak dan perluasan peluang lingkungan. Walaupun perkembangan neurologis remaja telah cukup untuk melakukan penalaran formal, mereka hanya dapat mencapainya dengan stimulus yang tepat. Salah satu contohnya adalah melalui usaha kooperatif. Dalam perkembangan kognitif, remaja tidak terlepas dari lingkungan sosial. Hal ini menekankan pentingnya interaksi sosial dan budaya dalam perkembangan kognitif remaja. Menurut psikolog David Elkind (1984, 1998), ketidakmatangan pemikiran remaja berasal dari kurangnya pengalaman remaja dalam usaha untuk berpikir formal. Ketidakmatangan berpikir ini dapat dilihat dari enam karakteristik, yaitu: Idealisme dan mudah mengkritik. Saat remaja memimpikan dunia yang ideal,mereka menyadari seberapa berbedanya dunia nyata dengan yang mereka mimpikan di mana mereka menganggap orang dewasa yang bertanggung jawab atas keberadaannya, tidak sesuai dengan yang mereka pikirkan. Pada masa ini mereka sering mencari-cari kesalahan orang tua mereka. Sifat argumentative. Remaja terus-menerus mencari peluang untuk mencoba dan menunjukkan kemampuan penalaran mereka. Mereka sering menjadi argumentative karena mereka menyusun fakta dan logika untuk membangun kasus. Sulit untuk memutuskan sesuatu. Remaja dapat memikirkan banyak alternatif di pikirannya dalam waktu yang sama, tetapi kurang memiliki strategi yang efektif untuk memilih. Mereka mungkin bermasalah untuk mengambil keputusan, bahkan tentang hal-hal yang sederhana. Kemunafikan yang tampak nyata. Remaja muda sering tidak mengenali perbedaan antara mengekspresikan ideal, seperti konservasi energi, dan membuat pengorbanan yang diperlukan untuk hidup sampai itu, seperti mengurangi mengendarai mobil.     Kesadaran diri. Remaja yang berada pada tahap operasional formal dapat berpikir tentang berpikir-baik mengenai mereka sendiri maupun orang lain. Elkind menyebut kesadaran diri ini sebagai imaginery audience, konseptualisasi "pengamat" yang peduli dengan pikiran dan perilaku remaja tersebut seperti dirinya sendiri. Fantasi imajiney audience sangat kuat pada remaja awal tetapi berlanjut ke tingkat yang lebih rendah ke dalam kehidupan dewasa. Keistimewaan dan kekuatan. Elkind menggunakan istilah dari personal fable untuk menunjukkan kepercayaan oleh remaja bahwa mereka istimewa, pengalaman mereka adalah unik, dan bahwa mereka tidak tunduk pada aturan-aturan yang mengatur seluruh. Menurut Elkind, bentuk khusus egosentrisme mendasari banyak perilaku berisiko yang merusak diri. Seperti imaginary audience, personal fable berlanjut sampai dewasa. Perkembangan Perilaku Sosial (Psikososial) Individu dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku. Oleh karena itu setiap individu dituntut untuk menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Keterampilan-keterampilan tersebut biasanya disebut sebagai aspek psikososial. Dengan mengembangkan keterampilan tersebut sejak dini maka akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat. Pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. Kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan-keterampilan sosial akan menyebabkan dia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang normatif (misalnya asosial ataupun anti sosial), dan bahkan dalam perkembangan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dsb. Berdasarkan kondisi tersebut diatas maka amatlah penting bagi remaja untuk dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan sosial dan kemampuan untuk menyesuaikan diri. Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja yang berada dalam fase perkembangan masa remaja madya dan remaja akhir adalah memiliki ketrampilan sosial (sosial skill) untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Keterampilan-keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri & orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dsb. Apabila keterampilan sosial dapat dikuasai oleh remaja pada fase tersebut maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Hal ini berarti pula bahwa sang remaja tersebut mampu mengembangkan aspek psikososial dengan maksimal. Jadi tidak mengherankan jika pada masa ini remaja mulai mencari perhatian dari ingkungannya dan berusaha mendapatkan status atau peranan. Sebaliknya jika remaja tidak diberi peranan, dia akan melakukan perbuatan untuk menarik perhatian lingkungan sekitar dan biasanya cenderung ke arah perilaku negatif. Pada periode ini tahap perkembangan psikososial remaja berada pada tahap pencaharian identitas dan lawannya adalah kebingungan identitas. Remaja dalam kehidupan sosial sangat tertarik pada kelompok sebayanya sehingga tidak jarang orang tua dinomor duakan, sedangkan kelompoknya dinomor satukan. Pola hubungan sosial remaja lain adalah dimulainya rasa tertarik pada lawan jenisnya dan mulai mengenal istilah pacaran. Jika dalam hal ini orang tua kurang mengerti dan melarangnya maka akan menimbulkan masalah sehingga remaja cenderung akan bersikap tertutup pada orang tua mereka. Anak perempuan secara biologis dan karakter lebih cepat matang daripada anak laki-laki. Adapun Kelly dan Hansen (1987) menguraikan beberapa fungsi positif dari teman sebaya, dintaranya: Mengontrol rangsangan-rangsangan agresif. Dengan adanya interaksi antara remaja dengan teman sebayanya, mereka belajar bagaimana menyelesaikan pertentangan-pertentangan dengan cara yang lain selain dengan tindakan agresif langsung. Mendapatlkan dorongan emosional dan sosial serta menjadi lebih mandiri. Meningkatkan keterampilan-keterampilan sosial, mengembangkan kemampuan menalar, dan belajar untuk mengekspresikan  perasaan-perasaan dengan cara yang lebih mateng. Mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran jenis kelamin. Memperkokoh penyesuaian moral dan nilai-nilai. Meningkatkan harga diri (self esteem). Menjadi orang yang disenangi oleh teman-teman sebayanya, membuat remaja merasa senang terhadap dirinya dan merasa dihargai. Pada remaja awal adanya ciri-ciri perilaku sosial, di antaranya: Diawali dengan kecenderungan ambivalensi keinginan menyendiri dan keinginan bergaul dengan banyak teman tetapi bersifat temporer. Adanya kebergantungan yang kuat kepada kelompok sebaya disertai semangat konformitas yang tinggi. Keinginan mencari jati diri. Keinginan untuk diakui dan dihargai Keinginan untuk bebas tanpa dikekang Mencari figur idola Cenderung menentang Pada remaja akhir ada pula ciri-ciri perilaku sosialnya, di antaranya: Bergaul dengan jumlah teman yang lebih terbatas dan selektif dan lebih lama (teman dekat) Adanya kebergantungan yang kuat kepada kelompok sebaya disertai semangat konformitas yang tinggi Kebergantungan kepada kelompok sebaya berangsur fleksibel, kecuali dengan teman dekat pilihannya yang banyak memiliki kesamaan minat. Periode remaja akhir pada dasarnya menurut Erikson berada pada tahapan identity vs identity confusion (kebingungan identitas). Tidak berbeda jauh dengan remaja awal. Hanya yang membedakannya adalah pada periode ini diharapkan sudah sampai pada pencapain identitas tertentu. Mereka diharapkan tidak kebingungan lagi untuk mencapai suatu bentuk identitas diri yang mereka miliki. Dalam hal ini identitas dapat di bagi menjadi beberapa jenis, diantaranya adalah identitas seks, peran, pendidikan, vocational, agama dan suku budaya. Pencapain identitas berarti seorang remaja telah mampu mengidentifikasi diri ke dalam beberapa jenis di atas tersebut, sehingga meraka mengetahui siapa diri mereka , bagaimana memperlakukan diri, apa yang mereka inginkan dan butuhkan serta kapan mereka dapat bertindak. Perilaku sosial (Psikososial) pada remaja amat dipengaruhi oleh teman sepermainannya. Dibawah ini merupakan kelompok-kelompok sosial pada remaja: Kelompok Chums Yaitu sekelompok individu dengan ikatan persahabatan yang kuat. Jumlah anggota biasanya terdiri atas 2-3 orang dengan jenis kelamin sama, mempunyai minat, kemampuan serta kemauan-kemauan yang hampir  sama. Karena beberapa hal yang mirip  itu mereka sangat akrab meskipun dapat terjadi perselisihan, namun secara mudah dapat dilupakan dan akrab lagi. Kelompok Cliques Yaitu sekelompok remaja yang biasanya terdiri atas 4-5 orang yang mempunyai minat, kemampuan, dan kemauan yang relatif sama. Baik kelompok Chums maupun kelompok Cliques ini pada mulanya terdiri atas anak-anak remaja awal. Namun pada kelompok Cliques mulai beralih terdiri atas campuran dan makin kuat bagi remaja akhir. Aktivitas mereka berupa: rekreasi bersama, pesta, nonton film, nonton pameran, saling menelpon dan jenisnya yang menyita waktu dan kadang-kadang merupakan penyebab terjadinya pertentangan dengan orang tua atau orang lain disekitarnya. Kelompok Crowds Terdiri atas banyak anggota, berarti terdiri atas sekelompok remaja yang lebih besar dari kelompok Cliques. Terdiri atas jenis kelamin campuran baik laki-laki maupun perempuan. Demikian pula kemampuan, minat, dan kemauannya berbeda. Para anggotanya sangat ingin diterima dan mendapat pengakuan Crowds itu. Kelompok yang diorganisir Umumnya yang mengorganisir kelompok ini adalah orang dewasa. Misalnya organisasi sekolah, yayasan agama dan sebagainya. Orang dewasa membentuk organisasi kelompok remaja ini biasanya dengan kesadaran bahwa remaja membutuhkan penyesuaian pribadi dan sosial dalam satu wadah. Keanggotaanya bebas maksudnya mungkin sudah menjadi kelompok persahabatan yang tak terorganisir. Kelompok Gangs Keanggotan Gangs biasanya berasal  dari kelompok-kelompok yang menolaknya. Berarti mereka gagal ke dalam kelompok karena ditolak, tak puas atau tak dapat menyesuaikan diri. Sesuai dengan keinginan dan kadang-kadang mengganggu atau balas dendam kepada kelompok lain atau terdahulu. Meskipun demikian gangs itu mempunyai corak yang cenderung kalem dan agresif. Pada usia remaja ini anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri sendiri (egosentris) kepada sikap yang kooperatif (bekerja sama) atau sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan orang lain). Berkat perkembangan sosial anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman sebayanya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal ini dilakukan agar remaja mempunyai sikap dan kebiasaan dalam bekerja sama, saling menghormati dan betanggung jawab. Pada masa remaja berkembang ”social cognition”, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Ramaja memahami orang lain sebagi individu yang unik, baik menyangkut sifat pribadi, minat,nilai-nilai, maupun perasaannya. Pada masa ini juga berkembang sikap ”conformity”, yaitu kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran atau keinginan orang lain (teman sebaya). Perasaan bersahabat merupakan ciri khas dan sifat interaksi remaja dan kelompoknya. Apabila kelompok teman sebaya yang diikuti menampilkan sikap dan perilaku yang secara moral dan agama dapat dipertanggung jawabkan maka kemungkinan besar remaja tersebut akan menampilkan pribadinya yang baik. Sebaliknya, apabila kelompoknya itu menampilkan sikap dan perilaku yang melecehkan nilai-nilai moral maka sangat dimungkinkan remaja akan melakukan perilaku seperti kelompoknya tersebut. Perkembangan Psikomotor Perkembangan psikomotorik merupakan perkembangan terkait dengan perilaku motorik (koordinasi fungsional neuromuscular system) dan fungsi psikis (kognitif, afektif dan konatif). Ranah psikomotor adalah berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya. Sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan berperilaku). Dua prinsip perkembangan utama yang tampak dalam semua bentuk perilaku psikomotorik ialah bahwa perkembangan itu berlangsung dari yang sederhana kepada yang kompleks, dan dari yang kasar dan global (grass bodily movements) kepada yang harus dan spesifik tetapi terkoordinasikan (finely coordinated movements). Faktor yang memengaruhi perkembangan psikomotorik peserta didik dibedakan menjadi dua, yakni faktor internal (keturunan/gen dari orang tua, gangguan emosional, perkembangan sistem syaraf, pertumbuhan otot, perkembangan kelenjar endokrin dan perubahan struktur tubuh) dan faktor eksternal (pola asuh orang tua dan lingkungan). Perkembangan psikomotorik pada masa remaja ditandai dengan keterampilan psikomotorik berkembang sejalan dengan pertumbuhan ukuran tubuh, kemampuan fisik, dan perubahan fisiologi. Kemampuan psikomotorik terus meningkat dalam hal kekuatan, kelincahan, dan daya tahan. Secara umum, perkembangan psikomotorik pada laki-laki lebih tinggi dari perempuan karena perkembangan psikomotorik pada perempuan akan terhenti setelah mengalami menstruasi. Kemampuan psikomotorik laki laki cenderung terus meningkat dalam hal kekuatan, kelincahan, dan daya tahan. Oleh karna itu, kemampuan psikomotorik laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Perkembangan Psikomotorik pada remaja laki-laki, di antaranya: Cara berjalan lebih kaku, kemampuan berlari lebih baik, kemampuan menulis, menggunting dan menyusun sesuatu kurang rapi, serta lebih suka dengan kegiatan fisik yang menantang (olahraga berat, climbing, dll). Perkembangan Psikomotorik pada remaja perempuan, di antaranya: Cara berjalan lemah gemulai, kemampuan berlari rendah, kemampuan menulis, menggunting dan menyusun sesuatu lebih rapi, serta lebih suka dengan kegiatan fisik yang sederhana (olahraga ringan, menari, dll). Berikut perkembangan psikomotorik menurut periode remaja awal : Gerak – gerik tampak canggung dan kurang terkoordinasikan. Aktif dalam berbagai jenis cabang permainan. Perkembangan psikomotorik menurut periode remaja akhir : Gerak gerik mulai mantap. Jenis dan jumlah cabang permainan lebih selektif dan terbatas pada keterampilan yang menunjang kepada persiapan kerja. Melalui latihan yang teratur dan terprogram, keterampilan yang maksimal akan dapat ditingkatkan dan dipertahankan. Karakteristik perkembagan psikomotorik ditandai dengan peningkatan keterampilan dalam bidang tertentu. Semua sistem gerak dan koordinasi dapat berjalan dengan baik. Perkembangan Bahasa Pada usia 16-18 tahun, orang-orang pada umumnya menguasai sekitar 80,000 kata (Owens, 1996). Dengan munculnya pemikiran formal, remaja dapat mendefinisikan beberapa kata abstrak seperti cinta, keadilan, dan kebijaksanaan. Mereka lebih sering menggunakan kata-kata seperti “bagaimanapun, oleh karena itu, sebaiknya dan kemungkinan” untuk menyatakan relasi logis antara dua kalimat. Mereka menjadi lebih peka terhadap kata sebagai simbol yang bisa memiliki makna yang lebih dari satu. Mereka juga menggunakan ironi,permainan kata, metafora (Owens, 1996). Remaja juga menjadi lebih ahli dalam pengambilan perspektif social, yaitu kemampuan untuk memahami sudut pandang dan level pengetahuan orang lain serta berbicara dengan sesuai. Kemampuan ini adalah esensial untuk ikut serta dalam suatu percakapan. Sadar akan audience mereka, remaja berbicara dalam bahasa ynag berbeda antara teman sebaya dan yang lebih tua (Owens, 1996). Bahasa pergaulan remaja merupakan bagian dari proses perkembangan identitas pribadi yang terpisah dari orang tua dan dunia orang dewasa. Di bawah ini adalah beberapa karakteristik perkembangan remaja awal dalam bahasa: Berkembangnya penggunaan bahasa sandi dan mulai tertarik mempelajari bahasa asing. Menggemari literatur yang bernafaskan dan mengandung segi erotik, fantastik dan estetik. Beberapa karakteristik perkembangan remaja akhir dalam bahasa: Lebih memantapkan diri pada bahasa asing tertentu yang dipilihnya. Menggemari literatur yang bernafaskan dan mengandung nilai-nilai filosofis, ethis, religious. Perkembangan Moralitas Istilah moral berasal dari kata latin “mos” (moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tatacara kehidupan. Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi dan moral merupakan kaidah norma dan pranta yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik buruk yang ditentukan bagi individu olen nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial. Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja ini adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional format. Salah satu pandangan yang cukup propokatif mengenai perkembangan moral dikemukakan oleh Lawrence Kholberg. Kohlberg melihat remaja sebagai suatu masa yang sangat penting dalam perkembangan penalaran moral dikarenakan perubahan kognisi seperti yang dikemukakan oleh Piaget. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb.  Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan.  Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya.  Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya.  Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain.  Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak. Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru.   Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap “pemberontakan” remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya.  Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak  akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut. Selain itu, Mitchell telah meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja yaitu: Pandangan moral individu semakin lama semakin abstrak dan kurang konkret. Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. Penilaian moral menjadi semakin kognitif dan berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya. Penilaian moral menjadi kurang egosentris. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal Dampak dari perkembangan moral yang dialami oleh remaja sebagai berikut : Mempunyai standar moral yang diakui dan diyakini dirinya dan kelompoknya. Merasa bersalah bila menyadari perilakunya tidak sesuai dengan standar moral yang diyakininya. Merasa malu bila sadar terhadap penilaian buruk kelompoknya. Perkembangan Perilaku Keagamaan Agama dalam arti luas termasuk etika dan moral yang diajarkan keluarga yang  merupakan satu-satunya sarana untuk menanggulangi kenakalan remaja sejak dini. Perkembangan rasa keagamaan pada remaja sejalan dengan perkembangan jasmani, intelektual, dan ruhaninya. Menurut W. Starbuck, sebagaimana dikutip Dr.Jalaluddin, perkembangan itu antara lain: Pertumbuhan Pikiran Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama, mereka pun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial. Ekonomi dan norma-norma kehidupan lainnya. Hasil penelitian Allport, Gillesphy dan Young menunjukkan: 85% remaja Katolik Romawi tetap taat menganut ajaran agamanya; 40% remaja protestan tetap taat terhadap ajaran agamanya. Dari hasil ini dinyatakan selanjutnya bahwa agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif, lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya. Sebaliknya, agama yang ajarannya tidak konservatif –dogmatis dan agak liberal akan mudah merangsang pengembangan pikiran dan mental para remaja sehingga mereka banyak meninggalkan ajaran agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan pikiran dan mental remaja mempengaruhi sikap mereka. Emosional Intelegence Menurut Dr. Jalaluddin, berbagai perasaan telah berkembang. Perasaan sosial, etika, seni, telah mendorong remaja untuk menghayati kehidupannya. Kehidupan yang religius dalam lingkungan keluarganya akan mendorong ia ke arah yang religius pula. Begitu pula bagi remaja yang kurang mendapatkan siraman agama, maka akan lebih didominasi ke dorongan berbuat di luar etika dan aturan. Perkembangan Sosial Masih menurut Dr. Jalaluddin, corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Hasil penelitian terhadap 1.789 remaja Amerika oleh Ernest Harms: Usia 18-19 tahun menunjukkan bahwa 70% pemikiran remaja ditujukan bagi kepentingan keuangan, kesejahteraan, kebahagiaan, kehormatan diri dan masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan masalah akhirat dan keagamaan hanya sekitar 3,6% dan masalah sosial 5,8%. Perkembangan Moral Ada beberapa kecenderungan moral yang terlihat pada usia remaja: a)      Self-directive, taat beragama berdasarkan pertimbangan pribadi b)      Adaptive, mengikuti lingkungan sosial tanpa kritik c)      Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama d)     Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral. e)      Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat. Kecenderungan-kecenderungan ini sangat dominan disebabkan oleh pengaruh pendidikan di dalam keluarga dan lingkungannya. Sikap dan Minat Keagamaan Howard Bell dan Ross berdasarkan penelitiannya terhadap 13.000 remaja di Maryland mengungkapkan sebagai berikut: a)     Remaja yang taat beribadah secara teratur 45% b)     Remaja yang sesekali pergi dan tidak sama sekali 35% c)      Minat terhadap ekonomi, keuangan, material dan sukses pribadi 73% d)      Minat terhadap masalah ideal, keagamaan, dan sosial 21%. Perkembangan di dalam pribadi remaja tidak dapat menerima segala sesuatu yang berada di luar pikiranya. Ia selalu meminta bukti konkret untuk mendapatkan kebenaran. Dan kebenaran harus dapat dilihatnya dengan alat indera, dengan mata, telinga, peraba. Setahap demi setahap keadaan atau sikap semacam itu berkembang pula mengikuti perkembangan jiwanya. Sehingga perlu adanya pendekatan terhadap Agama dan kepercayaan masing-masing setiap individu. Karakteristik perkembangan perilaku keagamaan pada remaja awal, di antaranya: Mengenai eksistensi dan sifat kemurahan dan keadilan Tuhan mulai dipertanyakan secara kritis dan skeptic. Penghayatan kehidupan keagamaan sehari-hari dilakukan atas pertimbangan adanya semacam tuntutan yang memaksa dari luar dirinya. Masih mencari dan mencoba menemukan pegangan hidup. Adapun karakteristik perkembangan perilaku keagamaan pada remaja akhir, di antaranya: Eksistensi dan sifat kemurahan dan keadilan Tuhan mulai dipahamkan dan dihayati menurut sistem kepercayaan atau agama yang dianutnya. Penghayatan kehidupan keagamaan sehari-hari mulai dilakukan atas dasar kesadaran dan pertimbangan hati nuraninya sendiri secara tulus ikhlas. Mulai menemukan pegangan hidup Perkembangan Konatif, Emosi, Afektif, dan Kepribadian Pada remaja awal terjadi perkembangan konatif, emosi, afektif, dan kepribadian. Di antaranya: Lima kebutuhan dasar (fisiologis, rasa aman, kasih sayang, harga diri dan aktualisasi diri) mulai menunjukkan arah kecenderungannya. Reaksi-reaksi dan ekspresi emosionalnya masih labil dan belum terkendali seperti pernya-taan marah, gembira atau kesedihannya masih dapat berubah-ubah dan silih berganti dalam yang cepat. Kecenderungan-kecenderungan arah sikap nilai mulai tampak (teoritis, ekonomis, estetis, sosial, politis, dan religius), meski masih dalam taraf eksplorasi dan mencoba-coba. Merupakan masa kritis dalam rangka meng-hadapi krisis identitasnya yang sangat dipengaruhi oleh kondisi psiko-sosialnya, yang akan membentuk kepribadiannnya. Sedangkan pada masa remaja akhir di antaranya: Sudah menunjukkan arah kecenderungan tertentu yang akan mewarnai pola dasar kepribadiannya. Reaksi-reaksi dan ekspresi  emosinalnya tampak mulai terkendali dan dapat menguasai dirinya. Kecenderungan titik berat ke arah sikap nilai tertentu sudah mulai jelas seperti yang akan ditunjukkan oleh kecenderungan minat dan pilihan karier atau pendidikan lanjutannya; yang juga akan memberi warna kepada tipe kepribadiannya. Kalau kondisi psikososialnya menunjang secara positif maka mulai tampak dan ditemukan identitas kepriba-diannya yang relatif definitif yang akan mewarnai hidupnya sampai masa dewasa. Remaja adalah masa transisi dari periode anak-anak ke dewasa, dimana secara psikologis kedewasaan tentunya bukan hanya tercapainya usia tertentu seperti misalnya dalam ilmu hukum, secara psikologis kedewasaan ialah keadaan dimana sudah ada ciri-ciri psikologis tertentu pada seseorang. Ciri-ciri psikologis itu menurut G.W Alport adalah: 1.      Pemakaran diri sendiri (extension of the self), yang ditandai dengan kemampuan seseorang untuk menganggap orang atau hal lain sebagai bagian dari dirinya sendiri juga. Perasaan egoisme (mementingkan diri sendiri) berkurang, sebaliknya tumbuh perasaan ikut memiliki. Salah satu tanda yang khas adalah tumbuhnya kemampuan untuk mencintai orang lain dan alam sekitarnya. 2.      Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif (self objectivication) yang ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri (self insinght) dan kemampuan untuk mengkap humor (sense of humor) termasuk menjadikan dirinya sendiri sebagai sarana. 3.      Memiliki falsafah hidup tertentu (unifying fhilosophy of life), tanpa perlu merumuskannya dan mengucapkannya dalam kata-kata. Remaja memiliki energy yang besar, emosi berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri belum sempurna. Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman, tidak tenang, dan khawatir kesepian. Masa remaja merupakan puncak emosionalitas perkembangan emosi yang tinggi akibat perubhan fisik dan kelenjar di masa puber. Sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan emosi sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilku dan harapan social yang baru terhadap diriny. Meskipun emosi remaja serinkali sangat kuat, tidak terkendali dan tampaknya irasional, tetapi pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi perbaikan perilaku emosional (Hurlock, 1980, h.213). Masa remaja dikenal dengan masa strom and stress, yaitu terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari berbagai macam pengaruh, seperti lingkungan, tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebayanya, serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Diantara faktor terpenting yang menyebabkan ketegangan remaja adalah masalah penyesuaian diri dengan situasi dirinya yang baru, karena setiap perubahan membutuhkan penyesuaian diri. Biasanya penyesuaian diri itu didahului oleh kegoncangan emosi, karena setiap percobaan mungkin gagal atau sukses. Ketakutan atau gagal menyebabkan jiwanya goncang. Semakin banyak situasi dan suasana baru akan bertambah pula usaha untuk penyesuaian selanjutnya akan meningkat pula kecemasan. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri mereka daripada pikiran yang realistis. Saat melakukan sesuatu mereka hanya menuruti ego dalam diri tanpa memikirkan resiko yang akan terjadi. Emosi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : Pematangan Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang belum kita mengerti, memperhatikan suatu rangsangan, yang lebih lama, memutuskan ketegangan emosi pada suatu objek. Dengan demikian kita menjadi lebih reaktif terhadap rangsanganyang tadinya tidak mempengaruhi kita pada usia yang lebih muda. Belajar Pengalaman belajar menentukan reaksi potensial mana yang akan digunakan untuk menyatakan kemarahan. Belajar merupakan faktor yang lebih dapat dikendalikan. Kematangan emosi pada remaja dapat dilihat dari : Tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain, tetapi menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengngkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih diterima. Remaja mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional. Memberikan emosi yang stabil, tidak berubah dari satu emosi/suasana hati ke suasana hati yang lain. Remaja akhir sudah mulai dapat memahami, mengarahkan, mengembangkan, dan memelihara identitas diri. Tindakan antisipasi remaja akhir adalah: Berusaha bersikap hati-hati dalam berperilaku dan menyikapi kelebihan dirinya. Mengkaji tujuan dan keputusan untuk menjadi model manusia yang diidamkan. Memperhatikan etika masyarakat, kehendak orang tua, dan sikap teman-temannya. Mengembangkan sikap-sikap pribadinya. Santrok berpendapat bahwa Identitas diri merupakan potret diri yg meliputi: Career identity, pekerjaan yg diinginkan Political identity, sikap politik remaja Religious identity, keyakinan spiritual remaja Relationship identity, terkait status seseorang Intellectual identity, motivasi pencapaian prestasi Sexual identity, menyangkur oritentasi seksual seseorang, homo, hiper, dll. Cultural identitiy, budaya kehidupan seseorang Interest identity, sesuatu yg disenangi (hobi) Personality identity, karakteristik individu Physical identity, citra individu thd tubuhnya Identitas diri individu berkembang pada usia remaja.Oleh karena itu, tugas remaja adalah memecahkan krisis identitas untuk dapat menjadi orang dewasa yang memahami dirinya secara utuh dan memahami perannya di masyarakat. Remaja dikatakan telah menemukan identitasnya apabila memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menyesuaikan diri thd diri sendiri, perannya di masyarakat, pekerjaan, dan nilai agama. Remaja yg gagal menemukan identitasnya cenderung tampil yg aneh, misal cara berpakaian, berkata kasar, suka miras/narkoba, gaya rambut yg aneh, dan tindak kriminal. Memfasilitasi perkembangan identitas diri remaja Adanya teladan tentang sikap jujur & bertanggung jawab. Menciptakan iklim kondusif/harmonis Memberikan kesempatan kepada remaja untuk berpendapat Memfasilitasi remaja untuk mewujudkan kreativitasnya Memberikan informasi tentang pencapaian kesuksesan Menampilkan perilaku yang sesuai dengan karakter mulia Memberi contoh sikap & perilaku yang terkait dengan nilai budaya.