Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Isi Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang diwahyukan oleh Allah kepada Rasul-Nya yaitu Nabi Muhammad saw sebagai petunjuk sekaligus penyelamat umat manusia. Oleh karena itu al-Qur’an senantiasa kaya akan makna. Sehingga dalam memahami al-Qur’an juga diperlukan ilmu-ilmu perantara, seperti yang dibahas dalam “Ulumu al-Qur’an.” Sehingga dalam menafsirkan Al-Qur‟an, kita harus dapat mengetahui kaedah-kaedahnya. Apalagi untuk menetapkan suatu hukum. Dalam ilmu ushul fiqh, pemaknaan lafal Al-Qur’an yang digunakan untuk menentukan suatu hukum ada empat, yaitu mutlaq, muqayyad, mantuq, dan mafhum. Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas tentang “Muthlaq dan Muqayyad.” Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka penulis merumuskan masalah-masalah yang akan di bahas diantaranya: Bagaimanakah Pengertian Tentang Muthlaq dan Muqayyad beserta Macamnya itu ? Bagaimanakah Pengaruh Muthlaq dan Muqayyad Dalam Pengambiln Hukum itu ? Tujuan Masalah Untuk mengetahui Pengertian Tentang Muthlaq dan Muqayyad beserta Macamnya Untuk mengetahui Pengaruh Muthlaq dan Muqayyad Dalam Pengambiln Hukum BAB II PEMBAHASAN Pengertian Tentang Muthlaq dan Muqayyad Dan Macamnya Muthlaq Muthlaq secara bahasa, berarti tidak terkait dengan ikatan atau syarat tertentu. Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia.(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 862. Secara istilah, lafal mutlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafal yang memberi petunjuk terhadap maudhu’-nya (sasaran penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya. Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan lafal mutlak sebagai lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya. Senada dengan pendapat tersebut, al-Khudhori Biek mengatakan, bahwa muthlaq adalah: Muhammad Al-Khudhori Biek, Ushul Fiqih, (Pekalongan: Raja Murah,1982), 239.  اَلْمُطْلَقُ‎‮ ‬مَا‮ ‬دَلَّ‮ ‬عَلىَ‮ ‬فَرْدٍ‮ ‬اَوْأَفْرَادٍشَائِــــعَـةٍ‮ ‬بِدُوْنِ‮ ‬قَـيْــــدٍ‮ ‬مُسْتَقِــلٍّ‮ ‬لَفْــــــظاً  Artinya: “Mutlaq adalah perkataan yang menunjukkan satu atau beberapa objek yang tersebar tanpa ikatan bebas menurut lafal.” Dengan kata lain, lafal mutlak adalah lafal yang menunjukkan untuk suatu satuan tanpa dijelaskan secara tertentu. Sedangkan contoh lafal muthlaq dalam al-Qur’an dapat dilihat dari lafal raqabah yang terdapat dalam firman Allah surat al-Mujadilah ayat 3 sebagai berikut: ‏‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ Artinya: orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Mujadilah: 3) Ayat ini menjelaskan tentang kafarat zihar bagi suami yang menyerupakan isterinya dengan ibunya dengan memerdekannya budak. Ini dipahami dari ungkapan ayat “maka merdekakanlah seorang budak” Mengingat lafal raqabah (budak) merupakan lafal mutlaq, maka perintah untuk membebaskan budak sebagai kaffarat zihar tersebut meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin atau yang kafir. Pemahaman ini didukung pula dengan pemakaian kata raqabah pada ayat di atas sebagai bentuk nakirah dalam konteks positif. Sedangkan contoh ayat yang menunjukkan lafal muthlaq adalah surat al-Baqarah ayat 234 sebagai berikut: ‏‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka Maksudnya berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan. menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah:234) Lafal azwajan (isteri-isteri) dalam ayat di atas merupakan lafal mutlaq. Oleh sebab itu, tidak dibedakan apakah wanita itu digauli atau belum digauli oleh suaminya. Maka apabila suaminya meninggal iddah wanita tersebut adalah sama yaitu empat bulan sepuluh hari. Jika dilihat secara sepintas lafal mutlaq mirip dengan lafal ‘aam, tetapi sebenarnya antara keduanya berbeda. Pada lafal ‘amm keumumannya bersifat syumuliy (melingkupi), sementara keumuman lafal mutlaq bersifat badali (mengingatkan). Umum yang syumuliy ialah kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas satuannya, sementara keumuman yang badaliy adalah kulliy dari sisi tidak terhalang menggambarkan untuk setiap satuannya, hanya menggambarkan satuan yang syumuliy. Untuk melihat perbedaan antara kedua lafal ini dapat diamati dari firman Allah pada ayat berikut ini. Firman Allah dalam surat Hud ayat 11 ‏‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ Artinya: Dan tidak ada suatu binatang melata Yang dimaksud binatang melata di sini ialah segenap makhluk Allah yang bernyawa.pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya Menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud dengan tempat berdiam di sini ialah dunia dan tempat penyimpanan ialah akhirat. dan menurut sebagian ahli tafsir yang lain maksud tempat berdiam ialah tulang sulbi dan tempat penyimpanan ialah rahim. , semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Huud:6) Surat al-Baqarah ayat 67 ‏‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ Artinya: Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?" Hikmah Allah menyuruh menyembelih sapi ialah supaya hilang rasa penghormatan mereka terhadap sapi yang pernah mereka sembah. Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".(QS.al-Baqarah: 67) Dalam ayat tersebut dapat diketahui bahwa kata baqarah pada ayat di atas merupakan lafal mutlaq yang bersifat umum sekaligus bersifat badaliy. Keumuman lafal mutlaq ini meliputi bermacam-macam afrad. Apabila lafal mutlaq telah ditaqyid, maka afrad-afrad lainnya sebagai cakupan dari lafal mutlaq tersebut, tidak berkaku lagi. Muqayyad Secara sederhana, muqoyyad berarti terikat, Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2008), 206. atau yang mengikat, yang membatasi. Secara etimologi, muqoyyad adalah suatu lafal yang menunjukkan suatu hal, barang atau orang yang tidak tertentu (syai’ah) tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan. Definisi ini sejalan dengan uraian yang dikemukakan oleh Imam al-Syafi’i seperti dikutip oleh Muhlish Usman, Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, 57. muqoyyad adalah lafal yang menunjukkan satuan-satuan tertentu yang dibatasi oleh batasan yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Pembatasan tersebut dapat berupa sifat, syarat, dan ghayah. Sapiuddin Shidiq, Ushul Fiqh ,(Jakarta: Kencana, 2011), 187 Sedangkan pengggunaan sifat sebagai pembatasan dapat diamati dari firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 92 berikut ini. ‏‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ Artinya: Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman... (QS. An-Nisa’ :92) Kata raqabah dalam ayat tersebut memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu, mu’minah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekan hamba yang tidak beriman. Sedangkan contoh qayyid dalam bentuk syarat dapat diamati dalam kasus kaffarat sumpah, seperti pada firman Allah surat al-Maidah ayat 89 berikut ini. ‏‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. Al-Maidah : 89) Ayat tersebut menjadi landasan tentang bolehnya puasa tiga hari untuk membayar kaffarat sumpah dengan ada qayyid daam bentuk syarat. Sebab, hal ini baru dilakukan ketika tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Adapun contoh muqayyad dalam bentuk ghayyah dapat diamati pada firman Allah surat al-Baqarah ayat 187 berikut ini. ‏‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ Artinya : ... Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS. al-Baqarah:187) Dalam ayat tersebut terdapat perintah menyempurnakan puasa yang dihubungkan dengan batas waktu (ghayah), yaitu di al-lail (malam). Atas dasar ini, terlarang melakukan puasa washal (puasa sepanjang hari). Dengan demikian, berdasarkan dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa perbedaan antara muthlaq dengan muqayyad, adalah bahwa mutlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Misalnya, lafal raqabah yang terdepat dalam surat al-Mujadilah ayat 3 di atas adalah bentuk mutlaq karena tidak diikuti sifat apapun. Jadi, ayat ini memerintahkan memerdekakan budak dalam bentuk apapun, baik mukmin atau bukan mukmin. Sementara muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan kepada hakikat sesuatu, tetapi dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu jumlah (kuantitas), sifat atau keadaan, ghayah, syarat, atau dengan bentuk pembatasan yang lainnya. Pengaruh Muthlaq dan Muqayyad Dalam Pengambilan Hukum Menurut Imam al-Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Sapiudin Shidiq, Sapiuddin Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2011), 186-192 menjelaskan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan muthlaq dan Muqoyyad sebagaimana berikut: Hukum mutlaq. Lafal mutlaq dapat digunakan sesuai dengan kemutlakannya. Kaidahnya adalah sebagai berikut:   اَلْمُـطْلَقُ‎‮ ‬يَبْقَى‮ ‬عَلَى‮ ‬إِطْلَاقِهِ‮ ‬مَالـَـمْ‮ ‬يَقُمْ‮ ‬دَلِــْيلٌ‮ ‬عَلَى‮ ‬تَقْـِـييْدِهِ.  Artinya: “Mutlaq itu ditetapkan berdasarkan kemutlakannya selama belum ada dalil yang membatasinya.” Contonya adalah surat an-Nisa’ ayat 23 berikut ini: ...وَأُمَّهَاتُ‎‮ ‬نِسَائِكُمْ‮…  artinya:“…dan ibu-ibu dari istri-istrimu…”   Ayat ini mengandung arti mutlaq karena tidak ada kata yang mengikat atau membatasi kata ibu mertua. Oleh karena itu, ibu mertua tidak boleh dinikahi, baik istrinya (anak dari ibu mertuanya) itu sudah dicampurinya atau belum. Hukum muqoyyad. Lafal muqoyyad tetap dinyatakan muqoyyad selama belum ada bukti yang me-mutlaq-kan. Kaidahnya:  اَلْمُـقَــَّيدُ‎‮ ‬باَقِىٌ‮ ‬عَلَى‮ ‬تَقْيِــيْدِهِ‮ ‬مَالـَـمْ‮ ‬يَقُمْ‮ ‬دَلِــْيلٌ‮ ‬عَلَى‮ ‬إِطْــــلَاقِهِ.  Artinya: “Muqoyyad itu ditetapkan berdasarkan batasannya selama belum ada dalil yang menyatakan kemutlakannya.” Hukum mut}laq yang sudah dibatasi. Lafal mutlaq jika telah ditentukan batasannya, maka ia menjadi muqoyyad. Kaidahnya adalah:  اَلْمُـطْلَقُ‎‮ ‬لاَ‮ ‬يَبْقَى‮ ‬عَلَى‮ ‬إِطْلَاقِهِ‮ ‬إِذَا‮ ‬يَقُوْمُ‮ ‬دَلِــْيلٌ‮ ‬عَلَى‮ ‬تَقْـِـييْدِهِ.  Artinya: Lafal mutlaq tidak boleh dinyatakan mut}laq karena telah ada batasan yang membatasinya.”  Contoh: (QS. Al-Nisa’ ayat 11:   ‎‮…‬مِنْ‮ ‬بَعْدِ‮ ‬وَصِيَّةٍ‮ ‬يُوصِي... Artinya: “…sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya…” Hukum muqoyyad yang dihapuskan batasannya. Lafal muqoyyad jika dihadapkan pada dalil lain yang menghapus ke-muqoyyadan-nya, maka ia menjadi mutlaq. Kaidahnya adalah:  اَلْمُـقَــَّيدُ‎‮ ‬لاَ‮ ‬يَبْقَى‮ ‬عَلَى‮ ‬تَقْيِــيْدِهِ‮ ‬إِذَا‮ ‬يَقُوْمُ‮ ‬دَلِــْيلٌ‮ ‬عَلَى‮ ‬إِطْــــلَاقِهِ. Artinya: “Muqoyyad tidak akan tetap dikatakan muqoyyad jika ada dalil lain yang menunjukkan kemutlaqannya.  Contoh: QS. Al-Nisa’ : 23 ‏...‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬.......... Artinya: “…dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya…” Ayat tersebut menjelaskan tentang keharaman menikahi anak tiri. Hal ini disebabkan karena anak tiri itu “dalam pemeliharaan” dan ibunya “sudah dicampuri”. Keharaman ini telah dibatasi oleh dua hal tersebut, namun batasan yang kedua tetap dipandang sebagai batasan yang muqoyyad sedang batasan pertama hanya sekedar pengikut saja, karena lazimnya anak tiri itu mengikuti ibu atau ayah tirinya. Bilamana ayah tiri belum mencampuri ibunya dan telah diceraikan, maka anak tiri tersebut menjadi halal untuk dinikahi, karena batasan muqoyyadnya telah dihapus sehingga menjadi mutlaq kembali. Shidiq, Ushul Fiqh..., 189. Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamlkan kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku pada kemuqayyadannya. Sehingga yang menjadi persoalan di sini adalah mutlaq dan muqayyad yang terbentuk pada lima jenis, yaitu ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Sedangkan yang disepakati oleh para Ulama ialah: Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajibnya membaawa lafazh mutlaq kepada muqayyad. Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing-masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya. Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, sehingga masing-masing tetap berlaku pada kemuthlakannya dan kemuqayyadannya. BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Muthlaq secara bahasa, berarti tidak terkait dengan ikatan atau syarat tertentu. Secara istilah, lafal mutlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafal yang memberi petunjuk terhadap maudhu’-nya (sasaran penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya. Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan lafal mutlak sebagai lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya. Senada dengan pendapat tersebut, al-Khudhori Biek mengatakan, bahwa muthlaq adalah:  اَلْمُطْلَقُ‎‮ ‬مَا‮ ‬دَلَّ‮ ‬عَلىَ‮ ‬فَرْدٍ‮ ‬اَوْأَفْرَادٍشَائِــــعَـةٍ‮ ‬بِدُوْنِ‮ ‬قَـيْــــدٍ‮ ‬مُسْتَقِــلٍّ‮ ‬لَفْــــــظاً Artinya: “Mutlaq adalah perkataan yang menunjukkan satu atau beberapa objek yang tersebar tanpa ikatan bebas menurut lafal.” Sedangkan secara sederhana, muqoyyad berarti terikat, atau yang mengikat, yang membatasi. Secara etimologi, muqoyyad adalah suatu lafal yang menunjukkan suatu hal, barang atau orang yang tidak tertentu (syai’ah) tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan. Definisi ini sejalan dengan uraian yang dikemukakan oleh Imam al-Syafi’i seperti dikutip oleh Muhlish Usman, muqoyyad adalah lafal yang menunjukkan satuan-satuan tertentu yang dibatasi oleh batasan yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Pembatasan tersebut dapat berupa sifat, syarat, dan ghayah. Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamlkan kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku pada kemuqayyadannya. Sehingga yang menjadi persoalan di sini adalah mutlaq dan muqayyad yang terbentuk pada lima jenis, yaitu ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Sedangkan yang disepakati oleh para Ulama ialah: Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajibnya membaawa lafazh mutlaq kepada muqayyad. Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing-masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya. Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, sehingga masing-masing tetap berlaku pada kemuthlakannya dan kemuqayyadannya. B. Kritik dan Saran Pembahasan tentang Muthlaq dan Muqayyad dalam makalah ini masih terlalu singkat, karena sebenarnya masih banyak pendapat maupun penjelasan dari para Ulama yang belum terangkat pada pembahasan topik ini. Oleh karena itu bagi para pembaca yang ingin mengkaji terkait dengan topik Ulumul Qur’an, yaitu Muthlaq dan Muqayyad dipersilahkan untuk mengkaji pada refrensi yang lebih komprehensif. DAFTAR PUSTAKA Manna’ Khalil al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir, Pustaka Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia.Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 Muhammad Al-Khudhori Biek, Ushul Fiqih, Pekalongan: Raja Murah,1982 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008 Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, Sapiuddin Shidiq, Ushul Fiqh ,Jakarta: Kencana, 2011 PAGE \* MERGEFORMAT 14