Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
MEDIA, IDEOLOGI DAN POLITIK REPRESENTASI BATIK SEBAGAI BUDAYA POPULER Budaya Populer Menurut MacDonald (1957) sebagaimana yang dikutip Strinati (2009) budaya massa berasal dari atas. Budaya rakyat merupakan pranata rakyat senidiri yang mempunyai nilai keagungan, sementara itu budaya massa menghancurkan dinding (keagungan) tersebut dengan mengintegrasikan massa ke dalam suatu bentuk budaya tinggi yang menurunkan nilai dan kemudian menjadi salah satu instrumen dominasi politik (Strinati, 2009: 35). Dalam hal ini saya mempunyai pemahaman bahwa budaya massa merupakan bagian dari sebuah kebudayaan yang bersifat ‘sakral’ atau budaya yang dianggap tinggi (hanya dikonsumsi oleh masyarakat elit) namun kemudian karena kebudayaan tersebut disebarkan secara massal maka nilai-nilai ‘kesakralannya’ menjadi hilang dengan tujuan memperoleh keuntungan. Strinati (2009) mengungkapkan bahwa budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan melalui teknik-teknik indutrial dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan, sehingga dengan kata lain menjelaskan bahwa jika sebuah budaya tidak memberikan keuntungan, maka budaya tersebut tidak akan diproduksi (Strinati, 2009: 37). Pernyataan tersebut seolah memberikan anggapan bahwa budaya yang tidak dapat ‘dikomersialkan’ atau memberikan keuntungan pada akhirnya akan terkikis oleh kebudayaan massa. Saya berpendapat bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya benar, karena sebagian budaya atas yang kemudian menjadi budaya massa justru mendapatkan tempat juga ‘penghargaan’ tersendiri dalam masyarakat. Seperti halnya batik, yang pada mulanya hanya dipakai oleh lingkungan kerajaan dan bukan menjadi konsumsi khalayak setelah diproduksi secara massal batik kini diakui oleh dunia sebagai hasil kebudayaan Indonesia. Menurut saya disahkannya batik sebagai kebudayaan milik Indonsia tidak akan terlepas dari peran serta budaya massa yang telah membantu memassalkan batik hingga kemudian dikenal bukan hanya di Indonesia, namun juga di berbagai negara belahan dunia. Barker (2011) Budaya populer dianggap tidak outentik, manipulatif karena tujuan utamanya hanya untuk dijual dan tidak memperkaya konsumen (Barker, 2011: 59). Sementara itu Fiske sebagamana yang dikutip Budiman (2002) menepis pengertian tersebut dengan menyatakan bahwa dalam masyarakat kapitalisme tidak pernah ada budaya rakyat yang autentik maupun budaya massa yang autentik (Budiman, 2002: 136). Menurut pandangan saya, Fiske mencoba menerangkan bahwa budaya populer yang berkembang juga merupakan kebudayaan yang diakui di masyarakat dan masyarakat juga yang kemudian mengkonsumsi dan memilikinya, karena proses pembuatannyapun tidak lepas dari peran serta masyarakat. Budaya populer dengan berbagai perdebatan di dalamnya mendapatkan perhatian dari beragam kalangan, terlebih munculnya budaya populer yang pada umumnya bukan hanya membawa nilai-nilai budaya itu sendiri namun juga mengandung beberapa kepentingan lain seperti kekuasaan, ekonomi, juga ideologi yang kemudian berkaitan dengan hegemoni. Hal tersebut yang kemudian seolah mengarahkan keingintahuan saya terhadap budaya populer yang begitu marak tersebar dalam masyarakat. Dalam paper ini, saya akan mencoba memaparkan salah satu bentuk budaya populer di masyarakat yaitu batik berawal dari sejarahnya hingga perkembangan batik menjadi salah satu budaya populer yang amat digemari masyarakat dari segala kalangan. Tersebarnya sebuah budaya yang kemudian menjadi budaya populer tidak akan terlepas dari industri budaya. Sedyawati (2014) Industri budaya diartikan sebagai produksi benda-benda yang berisi pesan budaya (Sedyawati, 2014: 300). Dalam perkembangannya Industri Budaya kemudian dikenal juga dengan sebutan Industri Kreatif. Sedyawati (2014) Industri Budaya menekankan bahwa suatu produk merupakan komponen dari kebudayaan, sementara itu industri kreatif menekankan pada kreativitas dari sebuah produk yang kemudian juga berkaitan dengan pencipta produk dan hak cipta (Sedyawati, 2014:297). Industri Budaya terkait dengan bagaimana berbagai benda atau karya yang menyimpan nilai-nilai kebudayaan kemudian dibuat secara besar-besaran dan dipasarkan pada masyarakat. Namun, dalam hal ini, pemasaran berbagai benda yang mengandung unsur kebudayaan umumnya bukan hanya berisikan mengenai nilai-nilai budaya saja, tetapi juga bekaitan dengan kekuasaan dan hegemoni dari sebuah kebudayaan. Dalam hal ini saya menangkap sebuah pemikiran bahwa tanpa industri budaya, maka tidak sulit untuk sebuah budaya berkembang secara massal, dan akan sulit juga bagi sebuah budaya untuk dikenal masyarakat luas, sehingga industri budaya memang mendapatakan posisi yang amat penting dalam menghadirkan budaya populer di masyarakat. Selain itu, dalam pemaknaan budaya populer yang teresebar di masyarakat banyak yang kemudian melakukan kesalahan pemaknaan sehingga mengakibatkan ketidaksadaran dalam diri masyarakat terhadap berbagai bentuk prkatik yang kekuasaan politik yang dilakukan melalui budaya populer. Fiske (2005) Budaya populer yang disiarkan dalam berita televisi, akan sangat bermanfaat jika masyarakat yang menonton tayangan tersebut mampu memaknai dan mengerti maksud dari tayangan tersebut, karena berita yang dominan hanya akan menjadi hegemoni budaya saja (Fiske, 2005:3). Karena sebuah tayangan televisi dapat menjadi percontohan dalam kehidupan sehari- hari masyarakat, sehingga tidak sedikit aktivitas masyarakat yang dipengaruhi oleh tayangan-tayangan di televisi. Ketika saya pulang ke rumah di kampung, saya mendapati keponakan saya yang baru berusia 3 tahun mampu menghafal sebuah lagu dangdut yang disiarkan di televisi, kemudian dengan senangnya dia menari menirukan gaya penyanyi dangdut di televisi tersebut. Kemudian realita lain ketika saya mendapati nenek saya membeli sebuah baju yang menyerupai seorang Da’iah perempuan yang biasa ditonton beliau setiap pagi di televisi, dan saat saya bertanya kenapa membeli baju tersebt, nenek saya dengan bangga menyatakan bahwa memang sedang musimnya baju muslim seperti itu. Saya menyimpulkan dari kedua pengalaman saya tersebut bahwa betapa televisi memberikan pengaruh yang amat dahsyat dalam kehidupan masyarakat baik itu positif maupun negatif, karena mengingat keponakan saya yang berusia 3 tahun lebih menghafal lagu dangdut dibandingkan huruf-huruf atau angka-angka, saya rasa itu sebagian dari dampak negatif dari penayangan televisi yang kadang tidak memperhitungkan sasaran usia dalam penayangan, atau mungkin bisa saja jadi orang tua yang lalai dalam memperhatikan buah hatinya. Menurut Finkelstein (2007) menyatakan bahwa produk hollywood kemudian menciptakan zeitgeist dan memposisikan diri sebagai sumber wawasan masyarakat modern dan psikologi manusia (Finkelstein, 2007: 22). Hegemoni budaya yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sering kali tak mendapatkan perhatian yang besar, karena memang hegemoni sendiri berjalan tanpa disadari. Dampak hegemoni akan terlihat ketika realita masyarakat yang mengatakan lebih bangga menggunakan produk luar dari pada produk dalam negeri. Seperti halnya masyarakat Indonesia yang lebih bangga makan KFC dibandingkan makanan khas Sunda maupun Jawa. Hal ini yang kemudian amat berbahaya terhadap kelangsungan budaya lokal yang terdapat dalam masyarakat. Kemudian yang perlu diperhatikan juga ialah pengaruh komoditas industri budaya yang besar terhadap pembentukan karakter bangsa. Karena seperti yang kita ketahui bersama, bahwa budaya bukan hanya sebagai kebiasaan yang diturunkan secara turun-temurun namun juga berperan sebagai pembentuk identitas bangsa. Sedyawati (2014) menyatakan bahwa munculnya industri budaya dengan komoditas besar yang berlangsung di masyarakat, karena jenis-jenis isi kemasan tertentu akan mampu mendidik kekuatan karakter, dan sebaliknya jenis-jenis isi kemasan juga mampu membuat bangsa menjadi sangat lemah, dan hanya menyukai hal-hal yang berbau hiburan yang ‘murahan’ (Sedyawati, 2014:305). Selai itu, Strinati (2009) mengungkapkan bahwa menurut mazhab Frankfurt, industri budaya membentuk selera kecenderungan massa sehingga mencetak kesadaran mereka dengan cara menanamkan keinginan mereka atas kebutuhan-kebutuhan palsu, industri budaya amat efektif dalam menjalnkan praktik tersebut sehingga banyak orang yang tidak menyadari apa yang sedang terjadi (Strinati, 2009: 107). Jika saya kaitkan hal ini juga dapat berhubungan dengan dampak yang dihasilkan sebuah tayangan televisi, orang tidak akan banyak menyadari bahwa berbagai tayangan di televisi itu akan mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari, terlebih berbagai representasi politik kekuasaan yang terdapt di dalamnya. Fiske (2005) menyatakan Industri budaya memprovokasi berbagai kesenangan kepada konsumen dan merasa telah berhasil ketika budaya tersebut masuk dan menjadi bagian kehidupan sehari-hari konsumen (Fiske, 2005:6). Menurut pemahaman saya hal ini menandakan bahwa industri budaya mampu memberikan keuntungan bagi sebuah kebudayaan dan kerugian yang besar bagi kebudayaan yang lain. Sehingga kita harus mulai memperhatikan bagaimana sebuah kebudayaan khususnya kebudayaan lokal di masyarakat dapat tetap bertahan dalam berbagai tekanan globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan yang mampu menjadi tonggak berkembangnya sebuah kebudayaan dan sebaliknya juga bisa saja menjadi sarana yang mampu menghilangkan sebuah kebudayaan. Menurut Ardono (1991) seperti yang dikutip Strinati (2009) menjelaskan bahwa kekuatan industri budaya mengamankan dominasi dan kesinambungan kapitalisme yang mempunyai kemampuan untuk membentuk pola pikir masyarakat yang bergantung, pasif, dan rendah diri (Strinati, 2009: 111). Hal tersebut menjelaskan betapa industri budaya mampu begitu besar memepengaruhi kehidupan manusia bahkan mampu ‘mengontrol’ ideologi yang tumbuh dalam pemikiran setiap individu dalam masyarakat. Dengan mudahnya industri budaya menjadi peluang yang sangat menguntungkan dalam bidang ekonomi sekaligus menjadi ajang promosi sebuah budaya, meskipun sebagian nilai-nilai kebudayaannya dapat berubah atau bahkan hilang kemudian dari diri masyarakat. Batik Sebagai Budaya Populer Menurut Balai Besar Penelitian Industri Kerajinan dan Batik (1987) seperti yang dikutip Hermawati (2014) Batik merupakan salah satu produk budaya Indonesia yang kini telah mendapatkan pengakuan dari berbagai negara di belahan dunia. Tanggal 02 Oktober ditetapkan sebagai hari batik Nasional, setelah disahkannya batik sebagai warisan budaya Indonesia pada tanggal 02 Oktober 2009 oleh UNESCO. Batik dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk dari kebudayaan tradisional hasil turun temurun nenek moyang yang kini telah banyak mengalami kemajuan dan perkembangan. Batik merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Indonesia. Sementara ini di dalam bahasa Jawa kata batik sendiri berasal dari kata “tik” yang mempunyai arti kecil, seperti halnya kata “klitik” dalam bahasa Jawa yang berarti warung kecil, dan kata “kitik” yang berarti kutu kecil. Selain di daerah Jawa, dalam suku Dayak yang terdapat di Kalimantan dikenal istilah “pabatik” yang berarti membuat tulisan pada tubuh orang dengan kata “bintik” yang juga mempunyai arti menulis atau menggabar. Di daerah Minahasa dan Sulawesi dikenal kata “mahapatik” yang berarti menulis (Hermawati, 2014: 20). Wulndari (2011) menjelaskan bahwa Batik Indonesia diperkirakan muncul pada zaman yang sama dengan munculnya gamelan, wayang, syair, kerajinan logam, pelayaran, ilmu falah, dan pertanian yang mulai berkembang pada abad ke-8, dan berkembang pesat pada abad ke-11 hingga abad ke-14. Batik dalam beberapa litelatur sering dikaitkan dengan zaman Kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Pulau Jawa. Hal tersebut didukung dengan adanya penemuan arca dalam Candi Ngrimbi yang terdapat di dekat Jombang dan menggambarkan Raden Wijaya yang merupakan raja pertama Majapahit (1294-1309) memakai kain batik yang bermotif kawung. Oleh karena itu, kegiatan pembuatan batik diyakini telah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit yang dilestarikan secara turun-temurun (Wulandari, 2011: 12). Pada mulanya, Wijayanti (2013) teknik batik berkembang di lingkungan dalam Keraton Jawa. Kain batik hanya dibuat di lingkunagan Keraton dan hanya boleh dikenakan para raja, keluarga raja, kerabat dan para pejabat Istana. Namun, beberapa kerabat raja dan pejabat istana yang tinggal di luar lingkungan istana membawa dan mengajarkan batik di wilayah tempat tinggalnya. Seiring berjalannya waktu teknik membatikpun ditiru masyarakat sekitar Keraton(Wijayanti Rahayu, 2013: 10). Pada akhirnya batik bukan hanya dikenal di lingkungan Keraton namun berkembang luas pada masyarakat. Hal tersebut merupakan faktor utama yang kemudian menjadikan batik dapat berkembang dalam masyarakat. Pada abad ke-17, menurut Real (1924) kegiatan membuat batik mulai diketahui oleh Belanda, dimana setelah itu batik mulai banyak diproduksi. Namun kemudian batik-batik lain mulai dibuat, tetapi yang dimaksud dalam hal ini bukanlah batik yang dibuat dengan tangan melainkan pembuatan batik dengan cara lain. Seperti pembuatan batik yang dilakukan di Swiss motif batik yang dibuat merupakan motif Jawa, namun pembuatannya adalah dengan dicetak pada bahan katun. Batik dengan cara pembuatan seperti itu kemudian dikenal dengan sebutan batik Cap (Real, 1924: 11). Saya sering mendengar cerita yang kemudian saya saksikan sendiri ketika saya melakukan penelitian untuk tugas akhir saya memperole gelar sarjana bahwa membuat batik itu adalah dengan menggunakan canting. Saya menyaksikan pengrajin batik masih mempertahankan itu hingga kini, membuatn batik dengan menggunakan canting. Namun, hadirnya batik cap yang menawarkan lebih banyak kemudahan dan fungsi praktis, perlahan industri batik juga untuk memenuhi pesanan kemudian lebih banyak memproduksi batik cap dibanding batik tulis yang pengerjaannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Saya memandang bahwa era modernisme pada akhirnya membuat banyak perubahan dalam bidang industri. Hal tersebut juga mempengaruhi perkembangan industri dalam pembuatan batik. Berkembangnya teknologi dalam pembuatan batik mengakibatkan batik saat ini sangat mudah di dapat, selain itu batik cap berdampak pada turunnya harga batik. Di sisi lain hal tersebut mengancam putusnya regenerasi dalam pembuatan batik diakibatkan menurunnya permintaan batik tulis dan bertambahnya permintaan batik cap maupun printing. Namun di sisi lain, dengan menyebarnya batik di seluruh kalangan masyarakat membuat batik itu sediri disadari keberadaannya oleh masyarakat sehingga kemudian tumbuh rasa kepemilikan terhadap kebudayaan sebagai warisan leluhur yang harus di jaga dan dilestarkan. Berkembangnya batik sebagai budaya populer akan membawa kita pada realita maupun dampak positif dan negatif dari batik sebagai budaya populer itu sendiri. Dari pemaparan dan beberapa pernyataan yang dituliskan termasuk oleh Real saya mempunyai pemikiran bahwa munculnya batik sebagai budaya populer menurut pemahaman saya tidak terlepas dari tiga faktor yaitu industri budaya, konsumen, dan berkembangnya teknologi pembuatan batik, maupun fungsi praktis batik. Industri budaya seperti yang dijelaskan sebelumnya merupakan produksi terhadap benda-benda yang bermuatan budaya. Batik sebagai salah satu bentuk dari seni grafis tentunya dapat dipindahtangankan, berbeda dengan seni tari maupun seni musik yang hanya dapat dinikmati melalui panca indra saja. Batik dengan berbagai fungsi praktis yang berkembang melalui industri kreatif akan lebih mampu memuaskan kebutuhan pasar dalam masyarakat. Karena sekarang ini kita dengan mudah menemukan berbagai variasi dari fungsi praktis batik seperti tas batik, sandal atau sepatu batik, bahkan perkembangan teknologi memungkinkan motif batik hadir dalam benda-benda keseharian seperti buku, gelas, dan sebagainya. Dengan demikian batik sangat mudah dikenal dan dinikmati masyarakat karena perkembangan fungsi praktis batik yang tidak lagi hanya sebagai pakaian atau selendang. Faktor yang turut mendorong batik menjadi budaya populer adalah banyaknya konsumen yang tentu menjadi faktor sentral dalam penjualan hasil dari industri budaya batik. Dampak positif dari batik yang berkembang menjadi budaya populer dalam masyarakat menurut analisis saya ialah munculnya rasa memiliki terhadap kebudayaan dalam masyarakat. Sehingga hal tersebut yang kemudian juga mendorong diperkenalkannya batik ke dunia internasional dan pada akhirnya seperti yang telah disebutkan dalam uraian awal di atas batik berhasil dipatenkan sebagai hasil kebudayaan Indonesia yang di akui di seluruh dunia melalui putusan UNESCO pada tanggal 02 Oktober 2009. Hingga kini, tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Hal tersebut merupakan gambaran yang menunjukan betapa budaya populer mampu memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan kebudayaan, andaikan batik tetap hanya dipergunakan di lingkungan kerajaan dan tidak meluas di masyarakat, terdapat kemungkinan batik tidak akan mendapatkan hak cipta sebagai warisan budaya asli Indonesia dan masyarakat Indonesia juga tidak akan begitu mengenal juga mencintai batik sebagai miliknya sendiri. Dampak negatif dari berkembangnya batik sebagai budaya populer menurut analisis salah satunya ialah menurunnya ekslusifitas batik sebagai hasil budaya tinggi. Jika sebelumnya batik dikenal dengan benda yang amat sakral sehingga tidak semua orang dapat menggunakannya bahkan terdapat beberapa motif batik yang diberlalukan dengan larangan penggunaan seperti motif lereng, maka kini semua orang berhak memakai baju batik sesuai kebutuhan. Hal ini tentunya menunjukan sedikit banyak penurunan dalam nilai-nilai kebudayaan. Selain itu, berkembangnya teknologi dan cepatnya proses pembuatan menggunakan cap maupun printing membuat menurunnya permintaan batik tulis, karena masyarakat lebih memilih batik cap atau printing yang proses pembuatannya tidak membutuhkan waktu yang lama serta pertimbagan harga yang jauh lebih murah dibanding batik tulis. Hal tersebut bukan hanya menurunkan pendapatan para pengrajin batik namun juga menimbulkan masalah regenerasi dalam kelangsungan pembuatan batik secara tradisional. Hal ini juga kemudian memperlihatkan gambaran kepada kita dimana pengusaha batik pada akhirnya berperan sebagai penguasa atau pemegang kuasa, dan pengrajin batik sebagai buruh yang mendapatkan imbas dari perkembangan batik. Karena secara kasarnya, tanpa pengrajin batikpun pengusaha batik dapat memperoleh keuntungan melalui pembuatan batik cap dan printing, sementara di sisi lain pengrajin batik penghasilannya hanya tergantung kepada pembuatan batik tulis yang tentunya akan menjadi pihak yang dirugikan jika konsumen batik berpaling semua dari batik tulis ke batik cap. Sehingga kemudian batik benar-benar menjadi produk budaya yang dalam pembuatannya terdapat praktik ideologi kapitalis juga hegemoni budaya. Hegemoni budaya dalam hal ini saya jelaskan sebagai dampak dari kecintaan masyarakat terhadap batik yang memiliki nilai budaya tinggi namun tanpa sadar dan tanpa mereka pahami batik yang kini mereka konsumsi bukan lagi batik yang dihasilkan melalui tangan manusia dengan berbagai unsur kebudayaan di dalamnya, namun melalui mesin ataupun alat-alat produk kapital yang lebih praktis dan terkesan hanya menguntungkan pengusaha batik. Menurut pandangan saya, jika perkembangan teknologi tidak diseimbangkan dengan pelestarian budaya lokal yang ada, tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat nanti batik tetap ada namun kehilangan nilai-nilai nya sebagai hasil dari sebuah kebudayaan masyarakat karena pembuatannya sudah menggunakan mesin dan regenerasi pengrajin batik habis. Sementara itu budaya lokal merupakan bagian pembentuk identitas dari sebuah bangsa. Bagaimana nasib bangsa ini jika pada akhirnya tiba suatu masa di mana segala pekerjaan manusia yang terangkum dalam kebudayaan keseluruhannya telah digantikan oleh mesin-mesin canggih hasil perkembangan teknologi dan kemunduran kesadaran lokal. Simpulan Budaya populer oleh sebagian orang dianggap sebagai bentuk imitasi dari budaya tinggi yang dengan melalui penyebarannya budaya tinggi tersebut kemudian berubah menjadi budaya kelas bawah. Sementara itu sebagiannya mengartikan bahwa budaya populer itu ada sebagai ancaman yang akan mengakibatkan budaya outentik yang berada di masyarakat hilang. Hal tersebut berkaitan dengan hegemoni yang secara tidak langsung menjadi bagian budaya populer, sehingga pada prkatiknya budaya populer hanya dimaksudkan untuk keuntungan ekonomi dan penguasa saja tanpa adanya timbal balik yang diberikan bagi konsumen dari budaya populer itu sendiri. Batik merupakan produk kebudayaan Indonesia yang pada mulanya dapat dikatakan sebagai hasil kebudayaan tingkat tinggi karena hanya dipergunakan di lingkungan kerajaan atau keraton, kini berkembang luas dimasyarakat dan menjadi salah satu reprsentasi dari budaya pupoler. Berkembangnya batik sebagai budaya populer memberikan berbagai dampak baik itu yang bersifat positif maupun yang dianggap negatif. Melalui budaya populer batik dapat dikenal masyarakat luas hingga masyarakat dunia sehingga batik kemudian di sahkan menjadi salah satu ikon budaya milik Indonesia melalui UNESCO pada tanggal 02 Oktober 2009. Namun melalui budaya populer juga kini berkembang batik dengan berbagai jenis dan hasil benda benda praktis selain pakaian di masyarakat di satu sisi, dan di sisi lain mengalami krisis regenerasi karena menurunnya pemesanan batik yang dibuat secara tradisional atau batik tulis. Dengan demikian saya menyimpulkan bahwa budaya populer dengan berbagai macam representasi yang diperlihatkannya memiliki berbagai potensi yang mampu untuk membangun budaya lokal menjadi budaya yang dicintai setiap elemen masyarakatnya dan di sisi lain mampu menjadi ancaman tersendiri bagi kebudayaan dengan tingkat komoditas yang lebih rendah dari produksi budaya popular itu sendiri. Oleh karena itu, kita harus pandai memaknai berbagai bentuk maupun tayangan yang berisi produk-produk budaya populer yang tesebar di masyarakat dan harus mampu membaca adanya kepentingan kepentingan lain di balik penyebaran budaya populer seperti kepentingan politik yang mengakibatkan diskriminasi, kepentingan kekuasaan serta hegemoni. Daftar Sumber Balai Besar Penelitian Industri Kerajinan dan Batik. 1986. Sejarah Indusrti Batik Indonesi. Jakarta: Departemen Perindustrian Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Barker, C. (2011). Cultural Studies: Theory and Practice: SAGE Publications. Budiman, H. (2002). Lubang hitam kebudayaan: Penerbit Kanisius. Fiske, John. 2005. “Understanding Popular Culture” dalam John Fiske, Reading the Popular, London & New York: Unwin Hyman Finkelstein, Joanne. 2007. The Art of Self Invention Image and Identity in Popular Visual Culture: Introduction, London & New York: I.B. Hermawati, D. (2014). Batik Paoman: Studi Tentang Industri batik (1980-2003). Skripsi. Universitas Padjadjaran Real, D. (1924). The Batiks Of Java. London: Ernest Benn Limited. Sedyawati, E. (2014). Kebudayaan di Nusantara: Dari Keris, Tor-tor, sampai Industri Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu. Strinati, D. (2009). Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (A. Muchid, Trans.). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Wijayanti Rahayu, L., Pratiwi (2013). Menjadi Perancang dan Pengrajin Batik. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Wulandari, A. (2011). Batik Nusantara: Makna Filosofis, Cara Pembuatan dan Industri Batik. Yogyakarta: C.V. Andi Offset.