Ilmu Sosial Profetik: Pribumisasi atau Universalisasi?1
Amin Mudzakkir2
Pendahuluan
Di Indonesia, perdebatan tentang ilmu sosial profetik (ISP) mengacu terutama pada
pemikiran Kuntowijoyo. Sejarawan UGM ini telah menyebut istilah itu dalam buku
klasiknya, Paradigma Islam (1991), lalu belakangan dikembangkan dalam sebuah
“nonbuku comat-comot”, Islam sebagai Ilmu (2006). Dalam karya ini, Kuntowijoyo
menerangkan lebih panjang lebar apa yang dimaksudkannya sebagai ISP. Mengaku
mendapatkan inspirasi dari Muhammad Iqbal dan Roger Geraudy, Kuntowijoyo
berpandangan bahwa tujuan dari ISP adalah humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Penggunaan istilah transendensi mengesankan seolah-olah ISP adalah antitesis dari
ilmu sosial Barat yang sekularistik. Namun apakah benar demikian?
Beberapa tahun setelah terbutnya Islam sebagai Ilmu, Heddy Shri AhimsaPutra (2011) menulis sebuah makalah panjang untuk menanggapi ISP Kuntowijoyo.
Setelah menguraikan poin-poin pokoknya, Ahimsa-Putra menyuguhkan dua
keterbatasan gagasan ISP Kuntowijoyo: (1) paradigma yang kurang jelas; dan (2)
fokus pada transformasi sosial yang mengabaikan transformasi individual. Bertolak
dari dua keterbatasan itu Ahimsa-Putra lalu menawarkan sembilan (9) poin (asumsi
dasar, nilai-nilai, masalah yang diteliti, model, konsep-konsep, metode penelitian,
metode analisis, hasil analisis/teori, dan representasi/etnografi) yang inheren dalam
pengertiannya mengenai paradigma (yang lahir dari sekaligus kritik terhadap
pengertian paradigma Thomas Kuhn) agar ditambahkan dalam perdebatan mengenai
ISP. Dengan penambahan itu, Ahimsa-Putra berharap “paradigma profetik” menjadi
“mungkin” dan “perlu”.
Tulisan singkat ini tidak bermaksud mengkritisi teks pemikiran ISP baik yang
ditulis oleh Kuntowijoyo maupun tanggapannya yang disusun oleh Heddy Shri
Ahimsa-Putra secara langsung. Tulisan ini justru ingin menegaskan pernyataan
Kuntowijoyo bahwa ISP bukan “Islamisasi pengetahuan”, melainkan “pengilmuan
Islam”. Oleh karena itu, tulisan ini mempertanyakan pandangan yang menilai bahwa
ISP merupakan bentuk “pribumisasi ilmu sosial” (misalnya, Nasiwan & Grendi
Hendrastomo, 2011). Sebaliknya, ISP justru ditawarkan sebagai usaha universalisasi
Islam dalam kerangka ilmu sosial yang telah berkembang sebelumnya dalam tradisi
kelimuan Barat. Dengan kata lain, alih-alih antipati terhadap paradigma-paradigma
dalam tradisi keilmuan Barat, Kuntowijoyo justru ingin menyejajarkan Islam dan
Barat. Mencermati klaim-klaimnya, terlihat sekali Kuntowijoyo adalah seorang
universalis yang dalam tradisi keilmuan Barat berdiri di atas pundak besar
positivisme. Dia ingin mereorientasi positivisme ke arah yang sesuai dengan
keyakinan religiusnya sebagai seorang Muslim. Namun apakah ijtihadnya berhasil?
Pribumisasi yang Saling Terhubung
Perdebatan mengenai pribumisasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia bukan sesuatu yang
khas. Alih-alih sekadar respons para intelektual di negara-negara poskolonial terhadap
dominasi ilmu-ilmu sosial yang Barat-sentris, perdebatan tersebut merupakan bagian
dari perkembangan diskursus mengenai kebudayaan secara umum. Bahkan, bisa
Disampaikan pada seminar “Paradigma Profetik: Jalan Baru Ilmu Sosial Indonesia” di FIS UNY, 7
September 2016.
2
Peneliti P2SDR-LIPI, Jakarta dan mahasiswa program doktor di STF Driyarkara, Jakarta. Email:
amin.mudzakkir@gmail.com
1
1
dikatakan, ia merupakan amplifikasi dari diskursus mengenai kebudayaan di kalangan
para teoretisi sosial Barat sendiri.
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, perkembangan ilmu-ilmu sosial sangat
dipengaruhi oleh dominasi paradigma positivisme. Hal ini mungkin sangat terasa
dalam sosiologi, ilmu politik, dan, cukup pasti, ekonomi. Paradigma yang berpusat
pada saintifikasi gejala sosial itu memang relevan dengan kepentingan politik
ekonomi negara kesejahteraan liberal pada masa itu. Pendekatan-pendekatan ilmiah
yang mengacu pada paradigma itu menjadi “normal science”. Mereka menjadi tulang
punggung proyek modernisasi dan sekularisasi yang ketika itu masih dianggap
merupakan satu kesatuan yang seiring sejalan. Berpusat di Amerika Serikat,
keyakinan ilmiah seperti ini kemudian diekspor ke negara-negara lain, khususnya ke
negara-negara berkembang.
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dibedakan antara “positivisme” dan
“positivisme logis”. Dalam ilmu-ilmu sosial, positivisme lebih mengacu pada
pandangan fungsionalisme-struktural yang mendominasi perkembangan ilmu-ilmu
sosial di Amerika Serikat Pasca-Perang Dunia II, sedangkan positivisme logis adalah
sebutan untuk gagasan Lingkaran Wina di Eropa pada awal abad ke-20 yang menolak
kecenderungan “historisisme” dalam ilmu-ilmu dan filsafat yang mengemuka dalam
pemikiran sebagian intelektual, khususnya Jerman, pada masa itu. Para pemikir
seperti Karl Popper menuduh historisisme adalah landasan filosofis bagi praktik
politik totaliter. Ketika melintasi Atlantik dari Eropa ke Amerika Serikat, positivisme
logis berubah menjadi positivisme. Agenda politik anti-totalitarian bergeser menjadi
agenda politik pro-kemapanan. Tampaknya pengertian positivisme yang sering
digunakan di Indonesia mengacu pada positivisme yang telah di-Amerika-kan ini.
Dalam ilmu-ilmu sosial yang positivistik, kebudayaan dipahami sebagai
bagian dari fungsi sosial yang saling terhubung satu dengan yang lainnya (Smith,
2008). Artinya, sebagai contoh, kebudayaan di sebuah masyarakat A pada dasarnya
mempunyai struktur yang sama dengan kebudayaan di masyarakat B. Demikian
seterusnya. Dengan demikian, secara ontologis, kebudayaan selalu bersifat
“universal”, meski bentuknya bisa berlainan. Namun pada saat yang sama
kebudayaan bukan sesuatu yang otonom. Dalam bahasa Marxist, ia hanya
superstruktur yang digerakkan oleh struktur material. Ia bisa berubah mengikuti
struktur yang mewadahinya. Tidak heran, misalnya, pemerintah nasional di berbagai
negara pada masa itu aktif mengkampanyekan agar masyarakat meninggalkan cara
hidup tradisional yang dinilai bertentangan dengan visi kemoderenan.
Akan tetapi, pada tahun 1960-an, muncul kritik serius terhadap perkembangan
ilmu-ilmu sosial yang positivistik itu. Di Amerika Serikat, di antara eksponen terkuat
kritik tersebut adalah para aktivis Kiri Baru yang dipengaruhi oleh gagasan para
pemikir teori kritis Mazhab Frankfurt. Dilatabelakangi oleh kekecewaan terhadap
kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang dominatif-imprealistik terhadap negaranegara berkembang, mereka melihat adanya masalah epistemologis yang serius di
baliknya. Relasi antara pengetahuan dan kekuasaan yang jarang, atau bahkan tidak
pernah, dipertanyakan dalam paradigma positivisme dibuka untuk dijadikan bahan
perdebatan. Namun pengaruh Marxisme dalam gerakan Kiri Baru ini sangat kuat,
sehingga pokok perdebatannya terjadi lebih pada tataran etika politik, yaitu kritik
terhadap kapitalisme. Bagaimanapun, dengan klaim-klaim universalnya, Marxisme
tetap bagian dari proyek besar positivisme.
Memasuki dekade 1970-an, paradigma positivisme mendapatkan serangan
dari poststrukturalisme dan posmodernisme yang lahir di lingkungan intelektual
Perancis. Para pemikir seperti Jean-Francois Lyotard, Michel Foucault, dan Jacques
2
Derrida mempertanyakan klaim-klaim universal ilmu-ilmu yang berakar pada cara
pandang Pencerahan. Lebih dari itu, mereka bahkan menolak semua narasi besar
dalam seluruh bangunan filsafat Barat. Dalam rumusan Lyotard (1984), filsafat Barat
setelah poststrukturalisme dan postmodernisme tidak lagi mengenal “manusia”, tidak
lagi mengenal “sejarah”, dan tidak lagi mengenal “metafisika”. Yang tersisa adalah
narasi-narasi kecil yang otonom satu dengan yang lainnya dengan subjek yang
terpencar (decentering the subject).
Ketika diekspor dari kancah filsafat kontinental di Eropa ke filsafat AngloSaxon di Amerika Serikat, poststrukturalisme dan postmodernisme memicu
perdebatan “liberalisme” vs. “komunitarianisme”. Perdebatan ini penting dilihat
sebagai momen “cultural turn” dalam teori-teori sosial di lingkungan akademia
Amerika Serikat yang berpengaruh luas terhadap komunitas-komunitas epistemik di
tempat lainnya (Bonnell & Hunt, 1999). Sejak itu kebudayaan sebagai sebuah entitas
“partikular” yang otonom diberi tempat yang sangat kuat dalam perumusan kebijakan
publik. Dari sini “multikulturalisme” lahir sebagai pandangan normatif mengenai
komunitas-komunitas kultural tertentu, khususnya terkait dengan eksistensi kelompok
minoritas, dalam kebijakan migrasi dan integrasi (Parekh, 2000).
Sementara itu, di kalangan intelektual berlatar belakang negara-negara
poskolonial, kritik poststrukturalis dan posmodernis terhadap filsafat Barat
melahirkan serangan balik terhadap apa yang mereka sebut “orientalisme”. Di antara
yang paling terkenal adalah Edward Said (1977). Dia memperlihatkan bahwa teksteks mengenai “Timur” dalam karya-karya kanonik Eropa pada dasarnya merupakan
pengejawantahan dari superioritas “Barat”. Barat adalah subjek, sementara Timur
adalah objek. Relasi yang hierarkis ini dilembagakan dalam bentuk negara kolonial
yang warisannya masih eksis hingga sekarang. Dalam perkembangannya, para
kritikus memperlihatkan keterbatasan pemikiran Said yang cenderung memahami
Timur sebagai pihak yang tunduk sama sekali (Halliday, 1993). Seolah-olah relasi
yang hierarkis tersebut sedemikian tetap, seakan-akan tidak ada proses resistensi dan
negosiasi di antara para pihak yang terlibat di dalamnya. Di tangan intelektual berlatar
belakang India, kritik terhadap orientalisme ini diolah sedemikian sehingga
menghasilkan diskursus “poskolonialisme” yang sangat kaya (Boehmer dan Chauduri,
2011).
Di sebagian intelektual Muslim, “cultural turn” mendorong para pemikir
seperti Naguib Al-Attas dan Ismail Al-Faruqi mendeklarasikan proyek “Islamisasi
ilmu pengetahuan” (Alatas, 2010). Keduanya menilai bahawa pada satu sisi ilmu
pengetahuan Barat sedang berada dalam krisis tetapi pada sisi yang lain umat Islam
pun berada dalam kejumudan berpikir yang akut. Berangkat dari pembahasan di ranah
filsafat sains, mereka ingin mengatasi dua tantangan itu sekaligus dengan
mengintegrasikan berbagai kerangka metodologis yang tersedia dalama tradisi
keilmuan Barat tetapi kemudian diisi dengan visi etika Islam. Proyek pernah ini
dilembagakan di Malaysia. Namun dalam perkembangannya proyek ini
dipertanyakan. Seyyed Nasr (1991) melihat bahwa proyek ini lebih merupakan
ekspresi
politik
(identitas)
daripada
pengembangan
akademis
yang
berkesinambungan.
Proyek “pribumisasi” yang muncul dalam perdebatan ilmu-ilmu sosial di
Indonesia lahir dari semangat “cultural turn” ini. Para eksponennya menganggap
bahwa ilmu-ilmu sosial yang berasal dari Barat tidak bebas nilai. Oleh karena itu,
ketika dibawa ke Indonesia, ilmu-ilmu itu dicurigai justru bertentangan dengan nilainilai yang berlaku di sini. Bagi para eksponen pribumisasi ilmu-ilmu sosial, Barat dan
Indonesia dilihat sebagai dua entitas yang tidak selalu cocok, tetapi lebih sering
3
berseberangan. Lebih dari itu, mereka cukup yakin terdapat suatu jenis ilmu sosial
yang khas Indonesia, yang lahir dari pemikiran orang Indonesia sendiri.
Akan tetapi, proyek yang juga merupakan bagian dari agenda “dekolonisasi”
ilmu-ilmu sosial itu tentu saja menyimpan masalah. Sebagian pihak menilai proyek
tersebut sangat etnosentris. Dalam praktiknya, yang terjadi hanyalah pembalikan
peran. Subjek yang dulu disebut sebagai pembangkang, sekarang diberi nama
pahlawan. Demikian sebaliknya. Hal seperti ini bisa dilihat dalam perdebatan
historiografi Indonesia (Purwanto, 2007). Pada fase awal, usaha tersebut memang
berguna dalam mengisi substansi “pembentukan karakter bangsa”. Namun ketika
diturunkan ke tataran akademis, cukup kentara proyek tersebut penuh dengan asumsiasumsi nasionalistik, bahkan cenderung rasis, yang tidak menunjang kegiatan
keilmuan itu sendiri.
Batas-Batas Universalisasi
Dalam perumusan ISP, Kuntowijoyo adalah seorang eklektik. Dia mencomoti
berbagai pemikiran dari beragam aliran yang tidak jarang sesungguhnya
berseberangan. Dia mengambil sejumlah gagasan liberal ketika memformulasikan
“humanisasi”, memulung secuil Marxisme ketika mendeklarasikan “liberasi”, dan
kembali kepada Islam ketika mengkampanyekan “transendensi”. Ketiganya—
humanisasi, liberasi, dan transendensi—adalah tujuan ISP. Namun Kuntowijoyo buruburu menjelaskan apa yang ditawarkannya bukan “Islamisasi pengetahuan”,
melainkan “pengilmuan Islam”. Sayangnya, alasannya menurut saya kurang
meyakinkan. Dia hanya mengatakan “sakit hati” dengan kesan yang ditimbulkan
proyek Islamisasi pengetahuan itu yang seolah-olah menurunkan derajatnya dari
gerakan intelektual menjadi gerakan bisnis.
Dalam pandangan saya, Kuntowijoyo adalah seorang modernis tulen yang
mau menyelamatkan universalisme sains dari krisis. Dia meminjam semangat
dekonstruksi dari postmodernisme untuk melawan hegemoni ilmu-ilmu sosial Barat
yang positivistik, tetapi tidak berujung pada nihilisme. Dia masih percaya pada
“metafisika kehadiran” dalam bentuk humanisasi, liberasi, dan transendensi. Seperti
dinyatakannya sendiri (Kuntowijoyo, 2006: 94), sambil meminjam kategorisasi
Michael Root, ISP yang dikembangkannya adalah sejenis ilmu sosial “perfeksionis”
yang berpihak, yang bersifat komunitarian, sebagai kontras dari ilmu sosial liberal
yang selalu mendaku netral. Apa yang dilakukan oleh Kuntowijoyo, tak pelak lagi,
adalah adaptasi dari ragam pemikir komunitarian, seperti Charles Taylor, Michael
Walzer, Michael Sandel, dan Alasdair McIntyre. Para pemikir ini tidak pernah
menolak modernitas, tetapi mau menempatkan modernitas dalam konteks kebudayaan
tertentu. Modernitas selau bersifat melekat. Dalam konteks ISP, Kuntowijoyo mau
melekatkan ilmu-ilmu sosial dengan Islam.
Akan tetapi, masalah terbesar komunitarianisme adalah kecenderungannya
yang esensialistik (Benhabib, 2002). Seperti romantisme Herderian pada abad ke-19,
ia terobsesi untuk mengaitkan kebudayaan dengan bahasa tertentu. Akibatnya,
pemahaman mengenai kebudayaan tertentu dianggap menjadi hanya milik mereka
yang hidup dalam bahasa kebudayaan itu. Bias seperti ini sulit ditutupi dalam ISP.
Meski Kuntowijoyo berkali-kali meyakinkan kita bahwa ISP harus melewati saringan
“objektifikasi” agar diterima bahkan oleh orang non-Islam, sulit menutupi kesan
bahwa audiens ISP adalah umat Islam Indonesia. Kalaupun dicoba untuk dilebarkan,
kelompok yang tercakup hanyalah orang beriman. Lagi pula, kalau memang
audiensnya adalah umat Islam Indonesia, Islam yang mana yang dimaksud?
4
Agenda Selanjutnya
Lalu apa yang bisa dikontribusikan oleh ISP terhadap masalah ilmu-ilmu sosial di
Indonesia? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita merefleksikan ulang
apa masalah ilmu-ilmu sosial di Indonesia? Sejumlah literatur telah membahas
pertanyaan ini dan memang tidak pernah ada jawaban tunggal (misal, Dhakidae,
2003; Dhakidae dan Hadiz, 2005). Para pengamat memberikan jawaban sesuai
dengan kepakaran dan minatnya masing-masing. Namun dari sejumlah jawaban
tersebut saya menemukan satu benang merah: hampir seluruh pertanyaan dan jawaban
mengenai masalah ilmu-ilmu sosial di Indonesia ditempatkan dalam kerangka negarabangsa dengan batas-batas teritorial yang spesifik dan terbatas. Karya-karya ilmu
sosial di Indonesia dan refleksi terhadapnya selalu mengambil objek orang Indonesia
di Indonesia. Namun hal serupa bisa kita temukan juga dalam karya-karya
“Indonesianis” asing. Jarang sekali ilmuwan sosial Indonesia mempelajari masyarakat
Indonesia dalam konteks perbandingan dengan masyarakat lain, apalagi mengkaji
masyarakat di luar Indonesia secara khusus. Jika pun terdapat inisiatif pemerintah
untuk merintis studi-studi masyarakat di luar Indonesia, hal itu dibebani terus
menerus oleh pertanyaan klise mengenai apa relevansinya bagi Indonesia. Di tempat
lain saya menyebut gejala ini sebagai domestikasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia
(Mudzakkir, 2015).
Dengan kata lain, para praktisi ilmu-ilmu sosial di Indonesia dan para
sejawatnya di luar negeri mengisolasi “Indonesia” dari perkembangan kontemporer
yang dicirikan oleh kehadiran globalisasi. Sekarang interkoneksi lokal dan global
berjalan sedemikian cepat dengan cakupan yang hampir tidak terbayangkan
sebelumnya. Terima kasih kepada internet yang memungkinkan ini terjadi. Namun
apa implikasinya terhadap “the state of the art” ilmu-ilmu sosial di Indonesia belum
dianggap menjadi pertanyan yang mendesak. Kita masih nyaman dengan “metodologi
nasionalis” yang mengungkung pertanyaan-pertanyaan riset dalam kerangka imajinasi
“Westphalian” yang sempit (Ulrich Beck, 2003). Akibatnya, sebagai contoh, kita
tidak mempunyai kajian yang memadai mengenai para pekerja migran Indonesia dan
“diaspora Indonesia” secara umum.
Implikasi dari globalisasi adalah menguatnya dua kecenderungan yang saling
bertolak belakang: individualisme vs. kolektivisme. Individualisme mengemuka
dalam agenda gerakan hak asasi manusia, sedangkan kolektivisme mewujud dalam
tuntutan gerakan politik identitas. Kedua normativitas yang saling bersaing ini belum
mempunyai tempat dalam perdebatan ilmu-ilmu sosial di Indonesia—dan di negaranegara Asia lainnya (Bdk. Chua Beng Hwat, 2004). Kritik Ahimsa-Putra terhadap
Kuntowijoyo yang mengabaikan transformasi individual dalam pembahasan ISP-nya
menarik karena persis menyuarakan dilema ini. Akan tetapi, masalahnya memang
bukan memilih yang satu lalu membuang yang lainnya, tetapi mengakui adanya
tegangan di antara kedua tarikan normatif ini.
Penutup
Sekali lagi tulisan singkat ini hanya mau menunjukkan secara sederhana bahwa ISP
yang disusun oleh Kuntowijoyo bukan pribumisasi ilmu-ilmu sosial, melainkan
universalisasi Islam dalam kerangka ilmu-ilmu sosial yang telah eksis dalam tradisi
Barat. Akan tetapi, baik pribumisasi maupun universalisasi mempunyai masalahnya
sendiri. Keduanya lebih tepat diposisikan secara simultan daripada oposisional. Hal
ini mungkin akan memampukan ISP ketika menghadapi tantangan ilmu-ilmu sosial di
Indonesia. Sebagai agenda normatif, saya mengusulkan agar para praktisi ilmu-ilmu
sosial di Indonesia menempatkan dirinya dalam interkonektivitas lokal dan global
5
yang semakin meningkat. Dalam kondisi mutakhir ini, pertanyaan-pertanyaan tentang
subjek—individu dan kolektif—mengemuka. Para praktisi ilmu-ilmu sosial diminta
secara sungguh untuk menanggapi tegangan itu.
Referensi
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2011. “Paradigma Profetik: Mungkinkah?Perlukah?”.
Makalah “Sarasehan Profetik 2011”, Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta,
10 Februari 2011.
Alatas, Syed Farid. 2010. Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan
terhadap Eurosentrisme. Bandung: Mizan.
Beck, Ulrich. 2003. “Toward a New Critical Theory with a Cosmopolitan Intent”,
Constellations, Vol. 10, No. 4.
Benhabib, Seyla. 2002. The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global
Era. Princeton/Oxford: Priceton University Press.
Boehmer, Elleke dan Rosinka Chauduri. 2011. The Indian Postcolonial: A Critical
Reader. Oxon/Nw York: Routledge.
Bonnell, Victoria E. dan Lynn Hunt, “Introduction” dalam Bonnell, Victoria E. dan
Lynn Hunt (eds.). 1999. Beyond the Cultural Turn. California: University of
California Press.
Dhakidae, Daniel. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru.
Jakarta: Gramdia.
------------ dan Vedi R. Hadiz (ed.). 2005. Social Science and Power in Indonesia.
Jakarta/Singapore: Equinox dan ISEAS.
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lyotard, Jean-Francois. 1984. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge.
Manchester: Manchester University Press.
Mudzakkir, Amin. 2015. “Di Bekas Negeri Penjajah: Refleksi atas Kajian Sosial
tentang Orang Indonesia di Belanda Kontemporer” dalam Widjajanti Mulyono
Santoso (ed.). Ilmu Sosial di Indonesia: Perkembangan dan Tantangan. Jakarta:
YOI.
Nasr, Seyyed Vali Reza. 1991. “Islanization of Knowledge: A Critical Overview”,
Islamic Studies, Vol. 30, No. 3.
Nasiwan dan Grendi Hendrastomo. 2012. “Dari Diskursus Alternatif Menuju
Indegeneousasi Ilmu Sosial Indonesia: Teritisasi „Prophetic Political
Education‟”, Socia, Vol. 11, No 2, September.
Said, Edward. 1977. Orientalism. London: Penguin
Smith, Philip. 2008. Cultural Theory: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishing.
Halliday, Fred. 1993. “‟Orientalism‟ and Its Critics”, British Journal of Middle
Eastern Studies, Vol. 20, No. 2.
Huat, Chua Beng (ed.). 2004. Communitarian Politics in Asia. London/New York:
Routledge.
Parekh, Bhikhu. 2000. Rethinking Multiculturalism. Harvard University Press.
Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta:
Ombak.
6
7