Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Ilmu Sosial Profetik: Pribumisasi atau Universalisasi?

Tulisan singkat ini tidak bermaksud mengkritisi teks pemikiran ISP baik yang ditulis oleh Kuntowijoyo maupun tanggapannya yang disusun oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra secara langsung. Tulisan ini justru ingin menegaskan pernyataan Kuntowijoyo bahwa ISP bukan “Islamisasi pengetahuan”, melainkan “pengilmuan Islam”. Oleh karena itu, tulisan ini mempertanyakan pandangan yang menilai bahwa ISP merupakan bentuk “pribumisasi ilmu sosial” (misalnya, Nasiwan & Grendi Hendrastomo, 2011). Sebaliknya, ISP justru ditawarkan sebagai usaha universalisasi Islam dalam kerangka ilmu sosial yang telah berkembang sebelumnya dalam tradisi kelimuan Barat. Dengan kata lain, alih-alih antipati terhadap paradigma-paradigma dalam tradisi keilmuan Barat, Kuntowijoyo justru ingin menyejajarkan Islam dan Barat. Mencermati klaim-klaimnya, terlihat sekali Kuntowijoyo adalah seorang universalis yang dalam tradisi keilmuan Barat berdiri di atas pundak besar positivisme. Dia ingin mereorientasi positivisme ke arah yang sesuai dengan keyakinan religiusnya sebagai seorang Muslim. Namun apakah ijtihadnya berhasil?

Ilmu Sosial Profetik: Pribumisasi atau Universalisasi?1 Amin Mudzakkir2 Pendahuluan Di Indonesia, perdebatan tentang ilmu sosial profetik (ISP) mengacu terutama pada pemikiran Kuntowijoyo. Sejarawan UGM ini telah menyebut istilah itu dalam buku klasiknya, Paradigma Islam (1991), lalu belakangan dikembangkan dalam sebuah “nonbuku comat-comot”, Islam sebagai Ilmu (2006). Dalam karya ini, Kuntowijoyo menerangkan lebih panjang lebar apa yang dimaksudkannya sebagai ISP. Mengaku mendapatkan inspirasi dari Muhammad Iqbal dan Roger Geraudy, Kuntowijoyo berpandangan bahwa tujuan dari ISP adalah humanisasi, liberasi, dan transendensi. Penggunaan istilah transendensi mengesankan seolah-olah ISP adalah antitesis dari ilmu sosial Barat yang sekularistik. Namun apakah benar demikian? Beberapa tahun setelah terbutnya Islam sebagai Ilmu, Heddy Shri AhimsaPutra (2011) menulis sebuah makalah panjang untuk menanggapi ISP Kuntowijoyo. Setelah menguraikan poin-poin pokoknya, Ahimsa-Putra menyuguhkan dua keterbatasan gagasan ISP Kuntowijoyo: (1) paradigma yang kurang jelas; dan (2) fokus pada transformasi sosial yang mengabaikan transformasi individual. Bertolak dari dua keterbatasan itu Ahimsa-Putra lalu menawarkan sembilan (9) poin (asumsi dasar, nilai-nilai, masalah yang diteliti, model, konsep-konsep, metode penelitian, metode analisis, hasil analisis/teori, dan representasi/etnografi) yang inheren dalam pengertiannya mengenai paradigma (yang lahir dari sekaligus kritik terhadap pengertian paradigma Thomas Kuhn) agar ditambahkan dalam perdebatan mengenai ISP. Dengan penambahan itu, Ahimsa-Putra berharap “paradigma profetik” menjadi “mungkin” dan “perlu”. Tulisan singkat ini tidak bermaksud mengkritisi teks pemikiran ISP baik yang ditulis oleh Kuntowijoyo maupun tanggapannya yang disusun oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra secara langsung. Tulisan ini justru ingin menegaskan pernyataan Kuntowijoyo bahwa ISP bukan “Islamisasi pengetahuan”, melainkan “pengilmuan Islam”. Oleh karena itu, tulisan ini mempertanyakan pandangan yang menilai bahwa ISP merupakan bentuk “pribumisasi ilmu sosial” (misalnya, Nasiwan & Grendi Hendrastomo, 2011). Sebaliknya, ISP justru ditawarkan sebagai usaha universalisasi Islam dalam kerangka ilmu sosial yang telah berkembang sebelumnya dalam tradisi kelimuan Barat. Dengan kata lain, alih-alih antipati terhadap paradigma-paradigma dalam tradisi keilmuan Barat, Kuntowijoyo justru ingin menyejajarkan Islam dan Barat. Mencermati klaim-klaimnya, terlihat sekali Kuntowijoyo adalah seorang universalis yang dalam tradisi keilmuan Barat berdiri di atas pundak besar positivisme. Dia ingin mereorientasi positivisme ke arah yang sesuai dengan keyakinan religiusnya sebagai seorang Muslim. Namun apakah ijtihadnya berhasil? Pribumisasi yang Saling Terhubung Perdebatan mengenai pribumisasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia bukan sesuatu yang khas. Alih-alih sekadar respons para intelektual di negara-negara poskolonial terhadap dominasi ilmu-ilmu sosial yang Barat-sentris, perdebatan tersebut merupakan bagian dari perkembangan diskursus mengenai kebudayaan secara umum. Bahkan, bisa Disampaikan pada seminar “Paradigma Profetik: Jalan Baru Ilmu Sosial Indonesia” di FIS UNY, 7 September 2016. 2 Peneliti P2SDR-LIPI, Jakarta dan mahasiswa program doktor di STF Driyarkara, Jakarta. Email: amin.mudzakkir@gmail.com 1 1 dikatakan, ia merupakan amplifikasi dari diskursus mengenai kebudayaan di kalangan para teoretisi sosial Barat sendiri. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, perkembangan ilmu-ilmu sosial sangat dipengaruhi oleh dominasi paradigma positivisme. Hal ini mungkin sangat terasa dalam sosiologi, ilmu politik, dan, cukup pasti, ekonomi. Paradigma yang berpusat pada saintifikasi gejala sosial itu memang relevan dengan kepentingan politik ekonomi negara kesejahteraan liberal pada masa itu. Pendekatan-pendekatan ilmiah yang mengacu pada paradigma itu menjadi “normal science”. Mereka menjadi tulang punggung proyek modernisasi dan sekularisasi yang ketika itu masih dianggap merupakan satu kesatuan yang seiring sejalan. Berpusat di Amerika Serikat, keyakinan ilmiah seperti ini kemudian diekspor ke negara-negara lain, khususnya ke negara-negara berkembang. Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dibedakan antara “positivisme” dan “positivisme logis”. Dalam ilmu-ilmu sosial, positivisme lebih mengacu pada pandangan fungsionalisme-struktural yang mendominasi perkembangan ilmu-ilmu sosial di Amerika Serikat Pasca-Perang Dunia II, sedangkan positivisme logis adalah sebutan untuk gagasan Lingkaran Wina di Eropa pada awal abad ke-20 yang menolak kecenderungan “historisisme” dalam ilmu-ilmu dan filsafat yang mengemuka dalam pemikiran sebagian intelektual, khususnya Jerman, pada masa itu. Para pemikir seperti Karl Popper menuduh historisisme adalah landasan filosofis bagi praktik politik totaliter. Ketika melintasi Atlantik dari Eropa ke Amerika Serikat, positivisme logis berubah menjadi positivisme. Agenda politik anti-totalitarian bergeser menjadi agenda politik pro-kemapanan. Tampaknya pengertian positivisme yang sering digunakan di Indonesia mengacu pada positivisme yang telah di-Amerika-kan ini. Dalam ilmu-ilmu sosial yang positivistik, kebudayaan dipahami sebagai bagian dari fungsi sosial yang saling terhubung satu dengan yang lainnya (Smith, 2008). Artinya, sebagai contoh, kebudayaan di sebuah masyarakat A pada dasarnya mempunyai struktur yang sama dengan kebudayaan di masyarakat B. Demikian seterusnya. Dengan demikian, secara ontologis, kebudayaan selalu bersifat “universal”, meski bentuknya bisa berlainan. Namun pada saat yang sama kebudayaan bukan sesuatu yang otonom. Dalam bahasa Marxist, ia hanya superstruktur yang digerakkan oleh struktur material. Ia bisa berubah mengikuti struktur yang mewadahinya. Tidak heran, misalnya, pemerintah nasional di berbagai negara pada masa itu aktif mengkampanyekan agar masyarakat meninggalkan cara hidup tradisional yang dinilai bertentangan dengan visi kemoderenan. Akan tetapi, pada tahun 1960-an, muncul kritik serius terhadap perkembangan ilmu-ilmu sosial yang positivistik itu. Di Amerika Serikat, di antara eksponen terkuat kritik tersebut adalah para aktivis Kiri Baru yang dipengaruhi oleh gagasan para pemikir teori kritis Mazhab Frankfurt. Dilatabelakangi oleh kekecewaan terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang dominatif-imprealistik terhadap negaranegara berkembang, mereka melihat adanya masalah epistemologis yang serius di baliknya. Relasi antara pengetahuan dan kekuasaan yang jarang, atau bahkan tidak pernah, dipertanyakan dalam paradigma positivisme dibuka untuk dijadikan bahan perdebatan. Namun pengaruh Marxisme dalam gerakan Kiri Baru ini sangat kuat, sehingga pokok perdebatannya terjadi lebih pada tataran etika politik, yaitu kritik terhadap kapitalisme. Bagaimanapun, dengan klaim-klaim universalnya, Marxisme tetap bagian dari proyek besar positivisme. Memasuki dekade 1970-an, paradigma positivisme mendapatkan serangan dari poststrukturalisme dan posmodernisme yang lahir di lingkungan intelektual Perancis. Para pemikir seperti Jean-Francois Lyotard, Michel Foucault, dan Jacques 2 Derrida mempertanyakan klaim-klaim universal ilmu-ilmu yang berakar pada cara pandang Pencerahan. Lebih dari itu, mereka bahkan menolak semua narasi besar dalam seluruh bangunan filsafat Barat. Dalam rumusan Lyotard (1984), filsafat Barat setelah poststrukturalisme dan postmodernisme tidak lagi mengenal “manusia”, tidak lagi mengenal “sejarah”, dan tidak lagi mengenal “metafisika”. Yang tersisa adalah narasi-narasi kecil yang otonom satu dengan yang lainnya dengan subjek yang terpencar (decentering the subject). Ketika diekspor dari kancah filsafat kontinental di Eropa ke filsafat AngloSaxon di Amerika Serikat, poststrukturalisme dan postmodernisme memicu perdebatan “liberalisme” vs. “komunitarianisme”. Perdebatan ini penting dilihat sebagai momen “cultural turn” dalam teori-teori sosial di lingkungan akademia Amerika Serikat yang berpengaruh luas terhadap komunitas-komunitas epistemik di tempat lainnya (Bonnell & Hunt, 1999). Sejak itu kebudayaan sebagai sebuah entitas “partikular” yang otonom diberi tempat yang sangat kuat dalam perumusan kebijakan publik. Dari sini “multikulturalisme” lahir sebagai pandangan normatif mengenai komunitas-komunitas kultural tertentu, khususnya terkait dengan eksistensi kelompok minoritas, dalam kebijakan migrasi dan integrasi (Parekh, 2000). Sementara itu, di kalangan intelektual berlatar belakang negara-negara poskolonial, kritik poststrukturalis dan posmodernis terhadap filsafat Barat melahirkan serangan balik terhadap apa yang mereka sebut “orientalisme”. Di antara yang paling terkenal adalah Edward Said (1977). Dia memperlihatkan bahwa teksteks mengenai “Timur” dalam karya-karya kanonik Eropa pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari superioritas “Barat”. Barat adalah subjek, sementara Timur adalah objek. Relasi yang hierarkis ini dilembagakan dalam bentuk negara kolonial yang warisannya masih eksis hingga sekarang. Dalam perkembangannya, para kritikus memperlihatkan keterbatasan pemikiran Said yang cenderung memahami Timur sebagai pihak yang tunduk sama sekali (Halliday, 1993). Seolah-olah relasi yang hierarkis tersebut sedemikian tetap, seakan-akan tidak ada proses resistensi dan negosiasi di antara para pihak yang terlibat di dalamnya. Di tangan intelektual berlatar belakang India, kritik terhadap orientalisme ini diolah sedemikian sehingga menghasilkan diskursus “poskolonialisme” yang sangat kaya (Boehmer dan Chauduri, 2011). Di sebagian intelektual Muslim, “cultural turn” mendorong para pemikir seperti Naguib Al-Attas dan Ismail Al-Faruqi mendeklarasikan proyek “Islamisasi ilmu pengetahuan” (Alatas, 2010). Keduanya menilai bahawa pada satu sisi ilmu pengetahuan Barat sedang berada dalam krisis tetapi pada sisi yang lain umat Islam pun berada dalam kejumudan berpikir yang akut. Berangkat dari pembahasan di ranah filsafat sains, mereka ingin mengatasi dua tantangan itu sekaligus dengan mengintegrasikan berbagai kerangka metodologis yang tersedia dalama tradisi keilmuan Barat tetapi kemudian diisi dengan visi etika Islam. Proyek pernah ini dilembagakan di Malaysia. Namun dalam perkembangannya proyek ini dipertanyakan. Seyyed Nasr (1991) melihat bahwa proyek ini lebih merupakan ekspresi politik (identitas) daripada pengembangan akademis yang berkesinambungan. Proyek “pribumisasi” yang muncul dalam perdebatan ilmu-ilmu sosial di Indonesia lahir dari semangat “cultural turn” ini. Para eksponennya menganggap bahwa ilmu-ilmu sosial yang berasal dari Barat tidak bebas nilai. Oleh karena itu, ketika dibawa ke Indonesia, ilmu-ilmu itu dicurigai justru bertentangan dengan nilainilai yang berlaku di sini. Bagi para eksponen pribumisasi ilmu-ilmu sosial, Barat dan Indonesia dilihat sebagai dua entitas yang tidak selalu cocok, tetapi lebih sering 3 berseberangan. Lebih dari itu, mereka cukup yakin terdapat suatu jenis ilmu sosial yang khas Indonesia, yang lahir dari pemikiran orang Indonesia sendiri. Akan tetapi, proyek yang juga merupakan bagian dari agenda “dekolonisasi” ilmu-ilmu sosial itu tentu saja menyimpan masalah. Sebagian pihak menilai proyek tersebut sangat etnosentris. Dalam praktiknya, yang terjadi hanyalah pembalikan peran. Subjek yang dulu disebut sebagai pembangkang, sekarang diberi nama pahlawan. Demikian sebaliknya. Hal seperti ini bisa dilihat dalam perdebatan historiografi Indonesia (Purwanto, 2007). Pada fase awal, usaha tersebut memang berguna dalam mengisi substansi “pembentukan karakter bangsa”. Namun ketika diturunkan ke tataran akademis, cukup kentara proyek tersebut penuh dengan asumsiasumsi nasionalistik, bahkan cenderung rasis, yang tidak menunjang kegiatan keilmuan itu sendiri. Batas-Batas Universalisasi Dalam perumusan ISP, Kuntowijoyo adalah seorang eklektik. Dia mencomoti berbagai pemikiran dari beragam aliran yang tidak jarang sesungguhnya berseberangan. Dia mengambil sejumlah gagasan liberal ketika memformulasikan “humanisasi”, memulung secuil Marxisme ketika mendeklarasikan “liberasi”, dan kembali kepada Islam ketika mengkampanyekan “transendensi”. Ketiganya— humanisasi, liberasi, dan transendensi—adalah tujuan ISP. Namun Kuntowijoyo buruburu menjelaskan apa yang ditawarkannya bukan “Islamisasi pengetahuan”, melainkan “pengilmuan Islam”. Sayangnya, alasannya menurut saya kurang meyakinkan. Dia hanya mengatakan “sakit hati” dengan kesan yang ditimbulkan proyek Islamisasi pengetahuan itu yang seolah-olah menurunkan derajatnya dari gerakan intelektual menjadi gerakan bisnis. Dalam pandangan saya, Kuntowijoyo adalah seorang modernis tulen yang mau menyelamatkan universalisme sains dari krisis. Dia meminjam semangat dekonstruksi dari postmodernisme untuk melawan hegemoni ilmu-ilmu sosial Barat yang positivistik, tetapi tidak berujung pada nihilisme. Dia masih percaya pada “metafisika kehadiran” dalam bentuk humanisasi, liberasi, dan transendensi. Seperti dinyatakannya sendiri (Kuntowijoyo, 2006: 94), sambil meminjam kategorisasi Michael Root, ISP yang dikembangkannya adalah sejenis ilmu sosial “perfeksionis” yang berpihak, yang bersifat komunitarian, sebagai kontras dari ilmu sosial liberal yang selalu mendaku netral. Apa yang dilakukan oleh Kuntowijoyo, tak pelak lagi, adalah adaptasi dari ragam pemikir komunitarian, seperti Charles Taylor, Michael Walzer, Michael Sandel, dan Alasdair McIntyre. Para pemikir ini tidak pernah menolak modernitas, tetapi mau menempatkan modernitas dalam konteks kebudayaan tertentu. Modernitas selau bersifat melekat. Dalam konteks ISP, Kuntowijoyo mau melekatkan ilmu-ilmu sosial dengan Islam. Akan tetapi, masalah terbesar komunitarianisme adalah kecenderungannya yang esensialistik (Benhabib, 2002). Seperti romantisme Herderian pada abad ke-19, ia terobsesi untuk mengaitkan kebudayaan dengan bahasa tertentu. Akibatnya, pemahaman mengenai kebudayaan tertentu dianggap menjadi hanya milik mereka yang hidup dalam bahasa kebudayaan itu. Bias seperti ini sulit ditutupi dalam ISP. Meski Kuntowijoyo berkali-kali meyakinkan kita bahwa ISP harus melewati saringan “objektifikasi” agar diterima bahkan oleh orang non-Islam, sulit menutupi kesan bahwa audiens ISP adalah umat Islam Indonesia. Kalaupun dicoba untuk dilebarkan, kelompok yang tercakup hanyalah orang beriman. Lagi pula, kalau memang audiensnya adalah umat Islam Indonesia, Islam yang mana yang dimaksud? 4 Agenda Selanjutnya Lalu apa yang bisa dikontribusikan oleh ISP terhadap masalah ilmu-ilmu sosial di Indonesia? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita merefleksikan ulang apa masalah ilmu-ilmu sosial di Indonesia? Sejumlah literatur telah membahas pertanyaan ini dan memang tidak pernah ada jawaban tunggal (misal, Dhakidae, 2003; Dhakidae dan Hadiz, 2005). Para pengamat memberikan jawaban sesuai dengan kepakaran dan minatnya masing-masing. Namun dari sejumlah jawaban tersebut saya menemukan satu benang merah: hampir seluruh pertanyaan dan jawaban mengenai masalah ilmu-ilmu sosial di Indonesia ditempatkan dalam kerangka negarabangsa dengan batas-batas teritorial yang spesifik dan terbatas. Karya-karya ilmu sosial di Indonesia dan refleksi terhadapnya selalu mengambil objek orang Indonesia di Indonesia. Namun hal serupa bisa kita temukan juga dalam karya-karya “Indonesianis” asing. Jarang sekali ilmuwan sosial Indonesia mempelajari masyarakat Indonesia dalam konteks perbandingan dengan masyarakat lain, apalagi mengkaji masyarakat di luar Indonesia secara khusus. Jika pun terdapat inisiatif pemerintah untuk merintis studi-studi masyarakat di luar Indonesia, hal itu dibebani terus menerus oleh pertanyaan klise mengenai apa relevansinya bagi Indonesia. Di tempat lain saya menyebut gejala ini sebagai domestikasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia (Mudzakkir, 2015). Dengan kata lain, para praktisi ilmu-ilmu sosial di Indonesia dan para sejawatnya di luar negeri mengisolasi “Indonesia” dari perkembangan kontemporer yang dicirikan oleh kehadiran globalisasi. Sekarang interkoneksi lokal dan global berjalan sedemikian cepat dengan cakupan yang hampir tidak terbayangkan sebelumnya. Terima kasih kepada internet yang memungkinkan ini terjadi. Namun apa implikasinya terhadap “the state of the art” ilmu-ilmu sosial di Indonesia belum dianggap menjadi pertanyan yang mendesak. Kita masih nyaman dengan “metodologi nasionalis” yang mengungkung pertanyaan-pertanyaan riset dalam kerangka imajinasi “Westphalian” yang sempit (Ulrich Beck, 2003). Akibatnya, sebagai contoh, kita tidak mempunyai kajian yang memadai mengenai para pekerja migran Indonesia dan “diaspora Indonesia” secara umum. Implikasi dari globalisasi adalah menguatnya dua kecenderungan yang saling bertolak belakang: individualisme vs. kolektivisme. Individualisme mengemuka dalam agenda gerakan hak asasi manusia, sedangkan kolektivisme mewujud dalam tuntutan gerakan politik identitas. Kedua normativitas yang saling bersaing ini belum mempunyai tempat dalam perdebatan ilmu-ilmu sosial di Indonesia—dan di negaranegara Asia lainnya (Bdk. Chua Beng Hwat, 2004). Kritik Ahimsa-Putra terhadap Kuntowijoyo yang mengabaikan transformasi individual dalam pembahasan ISP-nya menarik karena persis menyuarakan dilema ini. Akan tetapi, masalahnya memang bukan memilih yang satu lalu membuang yang lainnya, tetapi mengakui adanya tegangan di antara kedua tarikan normatif ini. Penutup Sekali lagi tulisan singkat ini hanya mau menunjukkan secara sederhana bahwa ISP yang disusun oleh Kuntowijoyo bukan pribumisasi ilmu-ilmu sosial, melainkan universalisasi Islam dalam kerangka ilmu-ilmu sosial yang telah eksis dalam tradisi Barat. Akan tetapi, baik pribumisasi maupun universalisasi mempunyai masalahnya sendiri. Keduanya lebih tepat diposisikan secara simultan daripada oposisional. Hal ini mungkin akan memampukan ISP ketika menghadapi tantangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Sebagai agenda normatif, saya mengusulkan agar para praktisi ilmu-ilmu sosial di Indonesia menempatkan dirinya dalam interkonektivitas lokal dan global 5 yang semakin meningkat. Dalam kondisi mutakhir ini, pertanyaan-pertanyaan tentang subjek—individu dan kolektif—mengemuka. Para praktisi ilmu-ilmu sosial diminta secara sungguh untuk menanggapi tegangan itu. Referensi Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2011. “Paradigma Profetik: Mungkinkah?Perlukah?”. Makalah “Sarasehan Profetik 2011”, Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 10 Februari 2011. Alatas, Syed Farid. 2010. Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap Eurosentrisme. Bandung: Mizan. Beck, Ulrich. 2003. “Toward a New Critical Theory with a Cosmopolitan Intent”, Constellations, Vol. 10, No. 4. Benhabib, Seyla. 2002. The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era. Princeton/Oxford: Priceton University Press. Boehmer, Elleke dan Rosinka Chauduri. 2011. The Indian Postcolonial: A Critical Reader. Oxon/Nw York: Routledge. Bonnell, Victoria E. dan Lynn Hunt, “Introduction” dalam Bonnell, Victoria E. dan Lynn Hunt (eds.). 1999. Beyond the Cultural Turn. California: University of California Press. Dhakidae, Daniel. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramdia. ------------ dan Vedi R. Hadiz (ed.). 2005. Social Science and Power in Indonesia. Jakarta/Singapore: Equinox dan ISEAS. Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana. Lyotard, Jean-Francois. 1984. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Manchester: Manchester University Press. Mudzakkir, Amin. 2015. “Di Bekas Negeri Penjajah: Refleksi atas Kajian Sosial tentang Orang Indonesia di Belanda Kontemporer” dalam Widjajanti Mulyono Santoso (ed.). Ilmu Sosial di Indonesia: Perkembangan dan Tantangan. Jakarta: YOI. Nasr, Seyyed Vali Reza. 1991. “Islanization of Knowledge: A Critical Overview”, Islamic Studies, Vol. 30, No. 3. Nasiwan dan Grendi Hendrastomo. 2012. “Dari Diskursus Alternatif Menuju Indegeneousasi Ilmu Sosial Indonesia: Teritisasi „Prophetic Political Education‟”, Socia, Vol. 11, No 2, September. Said, Edward. 1977. Orientalism. London: Penguin Smith, Philip. 2008. Cultural Theory: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishing. Halliday, Fred. 1993. “‟Orientalism‟ and Its Critics”, British Journal of Middle Eastern Studies, Vol. 20, No. 2. Huat, Chua Beng (ed.). 2004. Communitarian Politics in Asia. London/New York: Routledge. Parekh, Bhikhu. 2000. Rethinking Multiculturalism. Harvard University Press. Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta: Ombak. 6 7