Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

MAKALAH UUK

BAB I PENDAHULUAN Penyalahgunaan narkotika telah lama menjadi masalah yang serius di berbagai negara, baik negara-negara yang sudah maju maupun di negara-negara yang sedang berkembang tidak terkecuali di Indonesia. Kita ketahui bahwa masalah narkotika dewasa ini merupakan masalah yang sangat menarik perhatian dari banyak kalangan baik kalangan masyarakat maupun pemerintah. Hal ini disebabkan karena narkotika merupakan benda yang dapat merusak bagi para pemakai bila digunakan tidak dengan ketentuan-ketentuan medis. Narkotika juga memberikan keuntungan yang sangat besar bagi pengedarnya sehingga kejahatan ini lebih sering dilakukan. Tindak kejahatan narkoba saat ini tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi sudah terang-terangan yang dilakukan oleh para pemakai dan pengedar dalam menjalankan operasi barang berbahaya itu. Dari fakta yang dapat disaksikan hampir setiap hari baik melalui media cetak maupun elektronik, ternyata barang haram tersebut telah merebak kemana-mana tanpa pandang bulu, terutama diantara generasi remaja yang sangat diharapkan menjadi generasi penerus bangsa dalam membangun negara di masa mendatang. Masyarakat kini sudah sangat resah terutama keluarga para korban, mereka kini sudah ada yang bersedia menceritakan keadaan anggota keluarganya dari penderitaan dalam kecanduan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya itu. Kejahatan narkotika, khususnya di Indonesia sudah semakin mengerikan dan dahsyat. Meskipun ada peraturan yang sudah mengatur tentang kejahatan tersebut yang menghukum dengan hukuman mati, tetapi kejahatan tersebut tetap juga dilakukan dan berlangsung secara terus menerus. Jika hal tindak pidana tersebut telah terjadi, maka hal tersebut harus ditindak lanjuti karena telah melanggar hukum ataupun norma. Adapun yang menindak lanjuti tindak pidana tersebut adalah aparat penegak hukum yakni Polisi, Jaksa, Hakim dan petugas Lembaga Permasyarakatan. Tugas polisi dalam bidang peradilan adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan. Untuk mencapai kerja yang positif baik Jaksa, Hakim maupun Polisi perlu lebih dahulu memiliki kesadaran dan mental tangguh yang tidak akan tergoyahkan oleh pengaruh yang dapat merusak kejujurannya dalam menegakkan keadilan. Kepolisian sebagai aparat penyidik dalam melakukan penyelidikan perlu bekerja keras mengumpulkan bukti-bukti yang cukup yang akan disempurnakan oleh Jaksa Penuntut Umum pada saat perkara diperiksa di Pengadilan. Tetapi hal tersebut hanyalah merupakan langkah teoritis, dalam kenyataannya maksud tersebut tidak tercapai. Hal tersebut disebabkan pada kerapuhan mental yang dihinggapi oleh aparat penegak hukum yang bersangkutan. Bukan rahasia lagi, aparat penegak hukum dalam hal ini polisi dalam melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus kejahatan penyalahgunaan obat-obatan terlarang sering bertindak diluar prosedur hukum yang berlaku dan bersikap tidak adil, artinya dalam penegakan tersebut sering terjadi penyimpangan-penyimpangan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku dan jabatannya sebagai penegak hukum. Hal tersebut bukan hanya rapuhnya mental dari para penegak hukum yang harus kita perhatikan tetapi juga rendahnya profesionalisme aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Polisi sebagai pelaksana dan penegak hukum mempunyai tugas memelihara keamanan dalam negara Republik Indonesia serta diberikan kewenangan untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana. Keberadaan polisi sebagai ujung tombak dalam posisi awal pelaksanaa sistem peradilan wajib melakukan tugas dan wewenang sebagai penegak hukum. Namun ada beberapa oknum polisi yang bahkan menyalahgunakan wewenangnya dengan ikut menggunakan dan mengedarkan obat-obatan terlarang atau narkoba. Hal tersebut tentu saja dapat menyebabkan hilangnya rasa percaya masyarakat kepada polisi untuk memberikan jaminan kepastian hukum atau memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat. Dalam hal ini polisi telah melakukan penyalahgunaan jabatan, tugas serta wewenangnya. Seharusnya mereka bertugas untuk memberikan panutan kepada masyarakat, memberikan contoh yang baik bahkan ikut serta dalam proses pemberantasan kejahatan narkotika. Namun sebaliknya jika mereka ikut serta dalam tindakan menyalahgunakan narkotika, tentu saja dapat memberikan kesan atau pandangan negatif terhadap citra polisi itu sendiri. Dapat kita lihat dari sebuah kasus yang terjadi akhir-akhir, bahwa masih saja terdapat kasus oknum Polri yang menggunakan bahkan ikut serta dalam mengedarkan narkoba seperti kasus yang terjadi pada bulan Juni 2016 ini, yakni kasus penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh Aiptu AM. Lemahnya pengawasan oleh institusi penegak hukum menjadi salah satu penyebab adanya oknum polisi yang menyalahgunakan narkotika. Sehingga timbul sikap pesimistis terhadap keberhasilan pihak kepolisian untuk memberantas peredaran dan penyalahgunaan barang haram tersebut. Dengan demikian memunculkan pendapat di kalangan anggota masyarakat yang tidak sedikit yang menghendaki agar anggota polisi yang terlibat atas pelanggaran yang dikakukan dapat dihukum berat, bukan hanya diberikan sanksi melanggar disiplin atau sekedar peringatan saja. Dengan demikian, akan terwujud tujuan dari pemberian sanksi pidana yaitu memberikan efek jera kepada siapa saja yang telah melanggar peraturan dengan tidak memandang jabatan orang yang melakukan tindak pidana tersebut sehingga keadilan dapat ditegakkan dan terwujud pula pertanggungjawaban pidana oleh oknum polisi tersebut. Apalagi yang melakukan tindak pidana adalah salah satu dari aparat penegak hukum. Tentu saja yang diinginkan adalah pemberian sanksi dan pertanggungjawaban baik pidana maupun pemberian sanksi dari instansi yang bersangkutan yang diberikan seberat-beratnya sehingga hal ini dapat memberikan peringatan kepada aparat penegak hukum yang lain untuk tidak melakukan hal yang sama. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Narkotika dan Penyalahgunaan Narkotika 1. Istilah narkotika Istilah narkotika yang dikenal di Indonesia berasal dari bahasa Inggris “Narcotics” yang berarti obat bius, yang sama artinya dengan kata “Narcosis” dalam bahasa yunani yang berarti menindurkan atau membiuskan. Namun pada dasarnya narkotika itu sendiri adalah senjenis tumbuhan yang mempunyai bunga yang dapat membius orang menjadi tidak sadar dalam arti terbius dan tidak merasakan apa-apa. Pengertian narkotika itu sendiri sebenarnya menyangkut : opium, morphine, heroin, codein, dan jenis-jenis lainnya seperti barbiturates. Benzedrine dan soduium amytal yang tidak kurang pula daya addiction-nya. Narkotika atau zat yang menyebabkan ketidaksadaran atau pembiusan, karena zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral atau saraf pusat dengan cara menghisap atau menyuntikan zat tersebut secara terus menerus ke dalam badan. Pada mulanya zat Narkotika ditemukan orang yang penggunaannya ditujukan untuk kepentingan umat manusia, khususnya di bidang pengobatan. Dengan berkembangan pesat industri obat-obatan dewasa ini, maka kategori jenis zat-zat Narkotika semakin meluas pula seperti halnya yang tertera dalam lampiran Undang-Undang Narkotika No. 35 Tahun 2009. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, maka obat-obat semacam narkotika berkembang pula cara pengolahannya. Namun belakangan diketahui pula zat-zat narkotka tersebut memiliki daya kecanduan yang bisa menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya terus-menerus pada obat-obat narkotika itu. Dengan demikian, maka untuk jangka waktu yang mungkin agak panjang si pemakai memerlukan pengobatan, pengawasan, dan pengendalian guna bisa disembuhkan. Pengertian Narkotika secara umum adalah suatu zat yang dapat menimbulkan perubahan perasaan, suasana pengamatan/penglihatan karena zat tersebut mempengaruhi susunan syaraf pusat Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, pengertian Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. 2. Penyalahgunaan narkotika Pengertian penyalahgunaan adalah menggunakan kekuasaan dan sebagainya tidak sebagaimana mestinya. Dengan menyalahgunakan sesuatu baik itu kekuasaan, benda dan lain sebagainya, seseorang ingin mendapatkan sesuatu yang menurut mereka dapat menguntungkan mereka. Penyalahgunaan narkotika yang dilakukan seseorang dapat diartikan menggunakan narkotika tidak sebagaimana mestinya, dalam hal ini tentunya di luar pengawasan seorang dokter. Terjadinya penyalahgunaan di dalam masyarakat tentunya sangat mempengaruhi masyarakat itu sendiri. Pengaruh itu bisa berupa pengaruh terhadap ketenangan dalam masyarakat, pengaruh terhadap timbulnya kejahatan dalam masyarakat dan sebagainya. Demikian juga dengan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja, dapat mempengaruhi keadaan dan lingkungan disekitarnya, baik itu lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan dan masyarakat di tempat tinggal mereka. Dalam lingkungan keluarga dapat membuat orang tua mereka cemas serta terjadi perselisihan. Dalam lingkungan pergaulan seorang pencandu narkotika dapat mempengaruhi teman-teman bergaul mereka untuk mencoba merasakan yang namanya narkotika, sedangkan di dalam masyarakat terjadinya penyalahgunaan narkotika dapat menimbulkan kecemasan dan rasa takut bagi masyarakat karena adanya penyalahgunaan narkotika dapat menimbulkan kejahatan. Kejahatan tersebut dapat berupa pencurian, perampokan, pemerasan dan bahkan pembunuhan. Bagi mereka yang menyalahgunakan narkotika termasuk orang yang mampu, mungkin tidak akan terlalu menimbulkan pengaruh terhadap masyarakat disekitarnya, tapi bagi mereka yang tidak mampu dapat menimbulkan kejahatan karena harga narkotika tergolong mahal sehingga mereka akan berusaha untuk memenuhi ketergantungan mereka dengan cara apapun. Yaitu dengan melukai diri, menjual barang milik sendiri untuk mendapatkan narkotika, atau bahkan menjual barang milik orang lain. Dalam dunia medis narkotika sangat diperlukan untuk pembiusan dalam menjalankan operasi pembedahan, karena salah satu kegunaan dari narkotika adalah menghilangkan rasa sakit, sehingga dengan memberikan narkotika pada pasien maka di dalam menjalankan operasi pembedahan si pasien tidak akan merasakan sakit. Adanya narkotika itu sendiri tidak dilarang karena sangat diperlukan untuk kepentingan pengobatan. Hal ini dapat dilihat dengan digunakannya dan dibutuhkannya candu sebagai obat mulai puluhan tahun yang lalu, bahkan kebutuhan tersebut menunjukkan grafik meningkat. Meningkatnya candu ini bukan saja digunakan sebagai obat tetapi juga disalahgunakan untuk mendapatkan efek atau pengaruh dari pemakaian narkotika tersebut. B. Jenis-Jenis Narkotika Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam: a. Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Contoh: ganja atau mariyuana, opium, amfetamin. b. Narkotika Golongan II. Contoh: alfasetilmetadol, alfameprodina, alfametadol. c. Narkotika Golongan III. Contoh: asetildihidrokodeina, dihidrokodeina, kodeina. BAB III PEMBAHASAN Berdasarkan kasus yang beredar di masyarakat mengenai keterlibatan anggota Polri Aiptu AM dalam penyalahgunaan narkoba, serta kasus-kasus lain terkait keterlibatan anggota Polri dalam penyalahgunaan narkoba, dapat dikaji lebih lanjut mengenai alasan awal para anggota polri dalam melakukan penyalahgunaan narkotika hingga sanksi-sanksi yang dapat diterima oleh anggota Polri atas masalah tersebut. A. Faktor-faktor yang menjadi penyebab oknum Polri menyalahgunakan narkotika Masalah penyalahgunaan tindak pidana narkotika, terutama yang dilakukan oleh anggota kepolisian bukan semata-mata Polisi sebagai penegak hukum, dia tetap melanggar hukum karena masalah narkotika bisa menjerat ke siapapun. Sebab narkoba tidak melihat jabatan baik Polisi, anggota DPR, Pegawai Negeri Sipil dan lain-lain. Siapapun bisa terlibat narkoba, namun keprihatinan besar selalu saja muncul setiap kali terungkap ada kasus narkoba yang menjerat aparat penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa ataupun Hakim karena mereka merupakan gerbang terdepan dalam sistem hukum untuk memerangi narkoba. Tidak adanya suatu pendirian yang tetap dalam suatu kepribadian akan menyebabkan seseorang mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif khususnya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Sebab pada pribadi yang semacam ini, biasanya tidak dapat membedakan hal-hal yang positif dan negatif. Krisis kejiwaan juga memegang peranan yang penting, hal ini biasanya terjadi pada orang-orang yang kurang kreatif, pemalas, senang ikut-ikutan, senang iseng. Keadaan seperti ini akan menimbulkan perbuatan yang negatif, sebab orang-orang semacam ini tidak dapat memanfaatkan waktu yang terluang dengan kegiatan positif. Penyalahgunaan narkotika oleh polisi menghadirkan suatu dimensi yang benar-benar berbeda. Contohnya, petugas mungkin melakukan kejahatan melalui kepemilikan narkotika. Belum lagi potensi bahaya bagi keselamatan penduduk jika seorang petugas berada dibawah pengaruh obat terlarang ketika melakukan tugas. Penggunaan narkoba bagi orang awam atau orang yang kurang mengerti, tentu saja dapat dipahami. Tetapi bagi seseorang yang mengkonsumsi narkoba, yang sebelumnya sudah mengetahui akibat-akibatnya adalah di luar nalar kita. Menurut GRAHAM BLAINE seorang psikiater, sebab-sebab penyalahgunaan narkotika adalah : Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya, dan mempunyai resiko, misalnya ngebut, berkelahi atau bergaul dengan wanita; Untuk menantang suatu otoritas terhadap orang tua, guru, hukum atau instansi yang berwenang; Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual. Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman-pengalaman emosional; Untuk berusaha agar dapat menemukan arti hidup; Untuk mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, karena kurang kesibukan; Untuk menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan yang disebabkan oleh problema yang tidak bisa diatasi dan jalan pikiran yang buntu, terutama bagi mereka yang mempunyai kepribadian yang tidak harmonis; Untuk mengikuti kemauan kawan dan untuk memupuk solidaritas dengan kawan-kawan; Karena didorong rasa ingin tahu (curiosity) dank arena iseng (just for kicks). Faktor keluarga Faktor eknomi Faktor mental dari polisi itu sendiri Lemahnya pengawasan dari atasan. B. Upaya penanggulangan dan hal-hal yang menjadi kendala dalam penanggulagan penyalahgunaan narkotika oleh Oknum Polri Penyuluhan di setiap polres-polres agar mereka mengerti akibat dari penyalahgunaan narkotika, seperti di LSM. Melakukan pengawasan yang ketat terhadap setiap anggota kepolisian. Melakukan tes urine pada anggota kepolisian untuk meminimalisir terjadinya penyalahgunaan narkotika. Setiap malam minggu dilakukan razia. Penanggulangan penyalahgunaan narkotika saat ini belum dapat dikatakan optimal dan belum mencapai hasil yang diharapkan. Masalah penanggulangan penyalahgunaan narkotika tidak tertangani sehingga kasus terhadap penyalahgunaan tersebut semakin meningkat khususnya bagi anggota kepolisian. Untuk dapat melaksanakan upaya tersebut dengan baik, polisi tidak dapat bekerja sendiri. Polisi juga perlu untuk melakukan kerja sama baik dengan pemerintah maupun masyarakat. Masyarakat juga berperan aktif untuk dapat melakukan upaya tersebut. Agar tindakan kepolisian menjadi efektif sampai di luar satuan, bukan hanya struktur dan praktek kepolisian yang perlu dimodifikasi, tetapi juga sifat kerjasama dengan masyarakat maupun dengan instansi lain. Walaupun penanggulangan kejahatan merupakan tanggungjawab formal dan yurisdiksi kepolisian, upaya pencegahan utama harus diserahkan kepada penguasa setempat yang kerjasama dengan polisi, instansi lain dan masyarakat dalam rangka mencari dukungan yang diperlakukan untuk menjamin efektivitas. Menjadi polisi memang tidak gampang. Tetapi jika seseorang telah menjadi polisi maka jangan setengah-setengah. Baik dalam tanggungjawab maupun menjalankan wewenangnya sebagai polisi. Jangan sampai ada polisi yang tak mengerti tugas, tanggungjawab dan wewenangnya apalagi sampai menyimpang dari aturan yang berlaku. Usaha membersihkan polisi dari narkotika ini perlu menjadi prioritas. Sebab, polisi yang terlibat kejahatan narkotika ini sudah merata disemua level, dari pangkat terendah hingga perwira. Telah banyak polisi menjadi pemakai, pengedar bahkan pelindung jaringan narkoba. Nilai materi yang menggiurkan kelihatannya menjadi daya tarik sampai polisi mau mengorbankan karier dan kehormatan. Maka pembersihan bisa dimulai dengan mengharuskan kepala kepolisian disetiap daerah menyerahkan data anak buahnya yang terlibat narkotika. Itu bukan pekerjaan mudah mengingat kepala polisi daerah pasti mempertimbangkan konduite dan karir, tapi kapolri perlu mengeluarkan instruksi tegas. C. Kendala dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika Pada umumnya yang menjadi kendala dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika adalah sebagai berikut : Kurangnya kerja sama antara aparat dengan masyarakat dalam mengungkap sindikat Narkotika. Modus yang dijalankan pengedar Narkotika makin bervariasi dan terorganisir sehingga aparat mengalami hambatan dalam pengungkapannya. Ketidaktegasan sanksi yang diberikan pemerintah kepada pelaku penyalahgunaan Narkotika. Ketidaktahuan masyarakat tentang bahaya mengkonsumsi Narkotika jika mereka sudah mengerti tentang bahaya mengkonsumsinya mengapa mereka masih juga memakainya. Banyak berdiri tempat-tempat hiburan malam ilegal yang diduga menjadi peredaran gelap Narkotika. Peredaran narkoba masih sulit diberantas karena produk hukum yang ada kurang bisa menjerat bandar-bandar narkoba. Kampanye untuk menunjukkan bahaya penggunaan narkoba masih kurang bisa menggapai ke seluruh pelosok nusantara karena kurangnya dana. Kurangnya peran masyarakat dan pemerintah juga menjadi salah satu kendala dalam penganggulangan penyalahgunaan narkotika. Apabila masyarakat dan pemerintah termasuk pemerintah daerah berperan aktif, maka akan dapat mempermudah para aparat penegak hukum untuk memberantas tindak pidana narkotika. Untuk itu, sangat diharapkan kepada seluruh masyarakat dan pemerintah untuk ikut serta dalam upaya untuk memberantas kejahatan narkotika. Tidak hanya peran masyarakat yang menjadi kendala, kurangnya anggota kepolisian dan anggaran atau dana juga menjadi salah satu faktor yang menjadi kendala dalam menanggulangi pemberantasan tindak pidana narkotika. Alat yang masih manual dan belum canggih juga menjadi hambatan dalam penanggulangan tersebut. Polisi kita bukan saja minim dalam jumlah tetapi juga minim dalam sarana peralatannya. D. Pertanggungjawaban pidana penyalahgunaan narkotika oleh oknum Polri Sanksi pidana terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika lebih berat dari Undang-Undang sebelumnya yaitu UU Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Perubahan tersebut terlihat pada pengaturan tanaman yaitu 1kg/5 batang dan bukan tanaman dengan berat melebihi 5 gram dan juga pengaturan pidana mati terhadap yang memproduksi, mengekspor, mengimpor, mengedarkan dan menggunakan narkotika pada orang lain. Pidana mati selain diterapkan pada Narkotika Golongan I juga diterapkan pada Narkotika Golongan II. Ketentuan tersebut diharapkan dapat membuat efek yang sangat jera bagi para pelaku tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika. Undang-Undang ini telah mempunyai daya laku dan daya mengikat dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan Narkotika. Dalam penanganan pemberian sanksi pidana terhadap oknum Polri yang menyalahgunakan narkotika diberlakukan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Didalam ketentuan tersebut tidak hanya berlaku bagi anggota kepolisan saja tetapi bagi masyarakat lain juga yang terbukti telah menyalahgunakan narkotika. Ketentuan pidana Narkotika (bentuk tindak pidana yang dilakukan serta ancaman sanksi pidana bagi pelakunya) yang diatur dalam UU No. 35 tahun 2009 tercantum dalam beberapa pasal. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 111 – Pasal 127, Pasal 129 dan Pasal 137. Selain sanksi pidana yang tercantum pada Undang-Undang No.35 Tahun 2009, kepada oknum Polri yang menyalahgunakan Narkotika juga diberikan sanksi administratif yakni sanksi yang diberikan oleh instansi yang bersangkutan. Sesuai dengan tugas pokok kepolisian Negara Republik Indonesia yang tercantum pada Pasal 13 huruf b yakni menegakkan hukum, maka setiap anggota Polri dituntut untuk mampu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap setiap bentuk tindak pidana. Hal itu akan sangat bertolak belakang jika anggota Polri sendiri yang melakukan tindak pidana, sebab seharusnya dia menjadi panutan masyarakat dalam melaksanakan hukum dan peraturan yang berlaku. Hukum berlaku bagi siapa saja yang melanggar tidak terkecuali bagi anggota kepolisian sehingga selain dikenakan sanksi yang tercantum dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 juga diberikan sanksi administratif bagi aparat tersebut dari instansi yang bersangkutan. Jika oknum polisi terbukti melakukan tindak pidana narkotika, oknum tersebut harus tetap dihukum. Penerapan hukum selain Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, tata cara mengadili mengacu pada KUHAP dapat dilihat pada ketentuan dalam Undang-Undang No. 02 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara. Ada beberapa tindakan yang akan dikenakan pada oknum polisi tersebut yaitu : dijerat dengan Peraturan Kepolisian dibawa ke sidang profesi atau sidang disiplin dimana dalam hal ini ancaman hukuman dijatuhkan sesuai dengan hasil keputusan sidang pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Jika oknum tersebut dijatuhkan hukuman oleh Hakim dengan hukuman 5 (tahun) penjara atau lebih maka oknum tersebut dapat dipecat dari instansi tetapi jika hukuman yang dijatuhkan kurang dari 5 (lima) tahun maka oknum tersebut dapat dipertimbangkan lagi oleh instansi. penurunan pangkat jika terbukti menggunakan narkoba maka oknum polisi tersebut dimutasi ke tempat yang jauh dari narkoba atau tidak ada narkobanya. Potensi keterlibatan oknum polisi dalam menyalahgunakan narkotika sangatlah besar, sebab oknum polisi yang juga manusia terlebih polisi yang memiliki tugas sehari-harinya terlibat dalam pemberantasan peredaran narkotika. Selain sebagai pengguna, ada juga kasus dimana oknum polisi sendiri yang menjadi pengedar narkotika. Sanksi ataupun hukuman yang dijatuhkan kepada anggota kepolisian yang terbukti menggunakan maupun mengedarkan narkotika haruslah tegas dari instansi yang bersangkutan. Dengan sanksi yang cukup berat akan menimbulkan rasa takut bagi mereka untuk melakukan kejahatan narkotika. Harus ada kebijakan khusus dalam menangani hal ini, tidak hanya sanksi berupa pemecatan tetapi juga dikenakan dengan sanksi pidana sesuai dengan peraturan yang berlaku. Terhadap pelaku kejahatan narkotika terdapat alasan-alasan tertentu untuk memberatkan hukumannya, karena perbuatan yang dilakukan tergolong sangat membahayakan kepentingan masyarakat. Tujuan dari pemberatan tersebut bukan dipandang sebagai pembalasan terhadap pelakunya, akan tetapi dimaksudkan untuk mendidik pelakunya supaya menjadi insyaf dan jera sehingga tidak lagi mengurangi perbuatannya. Kepolisian Republik Negara Indonesia belakangan ini sering diuji citranya akibat diterpa berbagai kasus-kasus seperti penyalahgunaan narkotika dan tindak pidana lainnya. Pertanggungjawaban bagi oknum polisi yang telah menyalahgunakan narkotikaba ataupun melakukan tindak pidana lain tidak dilihat dari sadar atau tidaknya oknum tersebut dalam melakukan tindak pidana tersebut, namun dilihat dari perbuatannya karena sudah melanggar hukum yang berlaku serta merusak pandangan masyarakat terhadap citra anggota kepolisian sehingga oknum-oknum tersebut tidak perlu dipertahankan lagi dari jabatannya. Menurut Pasal 29 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk kepada Kekuasaan Peradilan Umum. Hal ini menunjukkan bahwa anggota Polri merupakan warga sipil dan bukan termasuk subjek hukum militer. Walaupun anggota kepolisian termasuk warga sipil, namun terhadap mereka juga berlaku ketentuan Peraturan Disiplin dan Kode Etik Profesi. Peraturan Disiplin Polri diatur dalam Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sedangkan Kode Etik Profesi Kepolisian diatur dalam Perkapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Terhadap anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana, seperti penyalahgunaan Narkotika terdapat sanksi yang dijatuhkan baik sanksi pidana maupun sanksi dari instansi yang bersangkutan. Terbukti bersalah atau tidak, oknum tersebut tetap menjalani sidang kode etik yang diatur dalam Undang-Undang No 14 Tahun 2011. Oknum Polri yang menggunakan narkotika berarti telah melanggar aturan disiplin dan kode etik karena setiap anggota Polri wajib menjaga tegaknya hukum serta menjaga kehormatan, reputasi dan martabat Kepolisian Negara Republik Indonesia seperti yang tercantum pada Pasal 5 huruf a Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 jo Pasal 6 dan Pasal 7 Perkapolri No. 14 Tahun 2011. Etika Profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota kepolisian meliputi etika pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, selanjutnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia. Pencurahan perhatian yang sangat serius dilakukan dalam menyusun Etika Kepolisian adalah saat pencarian identitas polisi sebagai landasan etika Kepolisian. Sebelum dinyatakan sebagai Kode Etik, Tribrata memberikan identitas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam rangka penyusunan undang-undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Etika Profesi Kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, selanjutnya disusun kedalam bentuk Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Etika Profesi Kepolisian terdiri dari : Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia kepada institusinya yang menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi ikatan lahir batin dari semua insan bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya. Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelanggaran terhadap aturan disiplin dan kode etik akan diperiksa dan bila terbukti akan dijatuhi sanksi. Penjatuhan disiplin serta sanksi atas pelanggaran Kode Etik tidak menghapus tuntutan pidana terhadap anggota polisi yang bersangkutan seperti yang tercantum pada Pasal 12 ayat (1) PP No. 2 Tahun 2003 jo Pasal 28 ayat (2) Perkapolri No. 14 Tahun 2011. Oleh karena itu, oknum polisi yang menggunakan narkotika tetapi akan diproses hukum acara pidana walaupun telah menjalani sanksi disiplin dan sanksi pelanggaran kode etik. Oknum polisi disangkakan menggunakan narkotika dan diproses penyidikan tetap harus dipandang tidak bersalah sampai terbukti melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (asas praduga tidak bersalah) sebagaimana diatur pada Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Apabila putusan pidana terhadap oknum polisi telah berkekuatan hukum tetap, ia terancam diberhentikan tidak dengan hormat berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, walaupun si oknum polisi sudah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, oknum polisi tersebut baru dapat diberhentikan dengan tidak hormat apabila menurut pertimbangan pejabat yang berwenang dia tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas kepolisian. Pemberhentian tersebut dilakukan setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003). Jadi walaupun anggota kepolisian merupakan warga sipil, tetapi terdapat perbedaan proses penyidikan perkaranya dengan warga negara lain karena selain tunduk pada peraturan perundang-undangan, anggota polri juga terikat pada aturan disiplin dan kode etik yang juga harus dipatuhi. BAB IV PENUTUP A. SIMPULAN Terlibatnya oknum Polri dalam kasus penyalahgunaan narkotika bukanlah menjadi hal yang baru diketahui. Banyaknya kasus yang melibatkan oknum Polri sebagai tersangka penyalahgunaan Narkotika tentu menimbulkan pencitraan yang buruk di mata masyarakat terhadap kinerja Polri sebagai penegak hukum. Timbulnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap oknum tersebut tentu menjadi hal yang miris untuk dirasakan dimana selama ini masyarakat sangat berharap penuh terhadap Polri untuk dapat melaoksanakan tugasnya sebaik mungkin dalam menciptakan suatu negara yang aman dan sejahtera. Penyalahgunaan Narkotika yang dilakukan oleh oknum Polri disebabkan beberapa faktor seperti faktor keluarga, faktor ekonomi dimana faktor ini menjadi salah satu faktor dominan yang selalu menjadi alasan oknum Polri menyalahgunakan Narkotika. Kurangnya gaji menjadi penyebab mereka gelap mata untuk terlibat dalam jual-beli narkotika. Faktor lemahnya pengawasan dari atasan juga sangat memperngaruhi oknum Polri menyalahgunaakan Narkotika serta faktor lemahnya mental polisi itu sendiri. Pertanggungjawaban pidana bagi anggota kepolisian yang terlibat dalam penyalahgunaan narkotika tidak dilihat dari sadar atau tidak sadarnya mereka ketika melakukan tindak pidana tetapi dilihat dari perbuatan yang mereka lakukan. Oknum polisi yang terbukti ataupun tidak terbukti bersalah, tetap harus melaksanakan sidang kode etik kepolisian. Jika terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman lebih dari 5 (lima) tahun oleh Hakim, maka oknum polisi tersebut dapat langsung diberhentikan dengan tidak hormat dari instansinya atau dicopot jabatannya dan jika hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim kurang dari 5 (lima) tahun maka oknum tersebut masih bisa dipertimbangkan. apakah hanya diberikan sanksi disiplin atau dimutilasi ke suatu tempat yang jauh dari narkoba. B. SARAN Seharusnya sebagai anggota kepolisian hendaklah tetap menegakkan hukum dengan sebaik-baiknya. Jangan memiliki mental yang rendah sehingga mudah terpengaruh untuk terlibat dalam penyalahgunaan Narkotika. Pengawasan terhadap anggota kepolisian harus benar-benar dilakukan dengan baik sehingga tidak ada anggota kepolisian yang lepas dari pengawasan untuk melakukan tindak pidana. Tidak hanya pengawasan dari atasan, pengawasan serta partisipasi dari masyarakat juga sangat berperan penting dalam menanggulangi kejahatan Narkotika oleh oknum polri karena banyak modus yang dilakukan oleh oknum tersebut sehingga tidak setiap waktu dan tempat diawasi oleh anggota kepolisian yang tidak melakukan kejahatan. Sanksi yang dijatuhkan kepada oknum polisi yang terbukti melakukan tindak pidana baik sanksi yang tercantum dalam Undang-Undang maupun sanksi administratif dari instansi yang bersangkutan haruslah tegas dan benar-benar ditegakkan sehingga tidak ada lagi oknum-oknum yang lain yang berani untuk melakukan kejahatan Narkotika ataupun mengulangi perbuatannya.