Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
PSIKOLOGI KOMUNIKASI Teori-Teori Komunikasi Massa Erlinda Sukmasari Wasito I352160061 SEKOLAH PASCASARJANA KOMUNIKASI PENGEMBANGAN PERTANIAN PEDESAAN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016 PSIKOLOGI MEDIA Teori-teori Komunikasi Massa Makalah ini dibuat untuk lebih memahami teori-teori komunikasi massa yang disebutkan David Gilles dalam bukunya yang berjudul Media Psychology. Teori-teori ini berguna untuk mempelajari sekaligus memahami psikologi media dari sisi akademis. Isi makalah disarikan dari berbagai sumber yang akan dituliskan dalam tinjauan pustaka. Theodore Adorno dan Max Horkheimer – The Culture Industry: Enlightenment and Mass Deception Adorno dan Horkheimer menulis esai berjudul The Culture Industry: Enlightenment and Mass Deception yang dibangun dengan dua konsep utama untuk lingkungan sosial masyarakat modern di masa depan. Pertama, mengenai kesuksesan yang luar biasa dari kediktatoran yang tidak masuk akal seperti Nazi; kedua, proses dari vulgarisasi dari budaya yang mengalami di bawah efek dari tekanan komersial industri hiburan. Propaganda menurunkan derajat politik dengan menanamkan ide yang salah di pikiran orang, sementara komodifikasi dari seni dan budaya merampas manusia dari cara yang paling berharga untuk memberi hidup mereka arti dan mengejar kebahagiaan. Sistem komunikasi massa dianggap sebagai penyeragaman, pengasingan, penggeneralisasian, dan pembiasan ideologi. Dua konsep utama yang dimaksud Adorno dan Horkheimer adalah bagaimana Nazi dan komodifikasi seni budaya menciptakan keseragaman pola pikir di benak khalayak. Nazi dengan propaganda politiknya menciptakan pemikiran bahwa Jerman adalah bangsa yang paling agung dan harus memimpin dunia sehingga rakyatnya mati-matian berperang atas nama cinta tanah air. Pikiran diseragamkan, opini individu diasingkan, penyeragaman pola pikir membentuk generalisasi pandangan sehingga tidak ada sikap kritis apalagi kreativitas, dan ideologi menjadi bias—Nazi mendorong orang bukan sekedar membela Jerman sebagai tanah air tapi juga menjajah bangsa lain agar berada di bawah kaki Jerman. Komodifikasi seni dan budaya lebih mudah terlihat di masa kini ketika KPop merajalela tak hanya di Benua Asia tapi juga di benua-benua lain. Industri KPop telah membentuk persepsi baru mengenai Korea Selatan yaitu pemroduksi musik, drama televisi, dan film berkualitas sekaligus kekinian yang juga berhasil memadukan budaya modern dengan budaya lampau—dilihat dari setting film maupun dramanya yang sebagian menggambarkan jaman kerajaan. Konser musik K-Pop sering diadakan di Indonesia yang kesuksesannya jauh melampaui konser dalam negeri yang diisi musisi-musisi lokal maupun nasional. Konser-konser KPop tetap terjual habis tiketnya meski berita di media membahas peningkatkan harga kebutuhan pokok dan inflasi. Sebaliknya, musisi lokal kesulitan untuk tetap eksis dan menjual habis tiket konser di negerinya sendiri. Penyeragaman pun muncul sebagai dampak berkembang pesatnya industri hiburan Korea Selatan. Definisi cantik adalah kulit putih, rambut berwarna, baju-baju modis, dan riasan wajah tipis nan segar yang disebut tren “no make up” meski nyatanya ini adalah bentuk make up yang terlihat seperti tanpa make up. A. 2 Marshall McLuhan – Medium is The Message Menurut McLuhan, medium adalah pesan itu sendiri. Berdasarkan konsekuensi personal maupun sosial dari semua medium, maka medium adalah perpanjangan dari diri kita sendiri. Karakteristik dari seluruh media adalah, makna konten dari setiap medium adalah medium lainnya. Konten dari sebuah karya tulis adalah pidato, seperti halnya kata-kata yang ditulis dalam bentuk cetak. Melalui ilustrasi tersebut, McLuhan ingin menjelaskan bahwa sebuah konten merupakan gambaran dari mediumnya, konten yang berbeda menunjukkan konten yang berbeda. Ilustrasi lain yang diberikan oleh McLuhan adalah bohlam lampu. Bohlam lampu hanyalah alat. Tanpa cahaya lampu—perumpaan yang menggambarkan sebuah pesan—bohlam lampu itu bukanlah apa-apa. Ia hanya sebuah alat, bukan media. Ketika ada cahaya lampu, bohlam lampu itulah yang disebut media lampu karena cahayanya dapat dilihat. Televisi yang tidak menyala hanyalah sebuah benda mati, ketika televisi menyala dan dan tayangannya dinikmati, barulah kotak 14 inch yang dialiri listrik itu disebut televisi. Penegasan lain disebutkan McLuhan bahwa medium membentuk dan mengontrol skala dan wujud asosiasi dan aksi manusia. Ilustrasinya adalah ketika membahas medium berupa Twitter, maka orang dapat mengasosiasikannya sebagai: a) media sosial berlambang burung biru; dan (b) media sosial yang hanya dapat menuliskan pesan sebanyak 140 karakter. Orang dapat membayangkan bagaimana wujud dari Twitter yaitu berupa pesan atau disebut tweet yang memuat 140 karakter dan mudah tersebar luas karena fitur retweet-nya. Orang juga dapat membandingkan Twitter dengan media sosial lain seperti Facebook yang dapat memuat pesan lebih banyak, tidak hanya 140 karakter; atau dengan Instagram dengan jumlah caption yang meski tidak sepanjang Facebook tapi tentu jauh lebih banyak memuat karakter dibanding Twitter. Bila mengaitkannya dengan aksi manusia, dapat diilustrasikan bagaimana seseorang menyebarluaskan pesan dengan cara menulis tweet yang jumlah karakternya 140 karakter ataupun kurang. Jumlah tersebut tentu memengaruhi muatan pesan karena informasi yang diberikan harus singkat. B. Baudrillard – Lack of Will David Giles menyebutkan argumentasi Baudrillard dalam bukunya mengenai media yang mendepolitisasi (menghapuskan kegiatan politik) massa, menciptakan apa yang disebut sebagai lack of will atau kurangnya kemauan. Hal ini dikarenakan adanya kenyamanan komunikasi (ectasy of communication) akibat suplai informasi terus menerus sehingga massa tidak merasa harus mencari atau mengetahui sesuatu karena informasi itu terus tersedia. Seakan proses komunikasi digambarkan secara stagnan, secara linier. Komunikasi direpresentasikan melalui model SMCR yang tidak menggambarkan bagaimana massa bereaksi, mendekoding, atau memberi umpan balik terhadap pesan. Massa dianggap pasif dan hanya berperan dalam menerima informasi. C. D. Pendekatan Behavioris Tradisi penelitian efek media tidak dapat dipisahkan dengan pendekatan behavioris (tingkah laku). Tentu untuk mengukur atau mengetahui sejauh mana media memiliki efek pada khalayaknya dapat diketahui melalui tingkah laku yang dihasilkan setelah mendapat terpaan dari media tersebut. Tipe penelitian mengenai 3 efek dengan pendekatan behavioris merupakan bagian kecil dari tradisi penelitian efek selain tipe penelitian jangka pendek, jangka panjang, perubahan induksimedia, efek penguatan, efek pada kognisi, efek pada emosi, dan lain-lain. Menurut David Giles, menjadi lazimnya istilah penelitian efek media menutupi maksud sebenarnya dari penelitian itu yaitu penelitian behavioris. Selain itu, kebanyakan penelitian berfokus pada efek negatif media. Menurut Wimmer dan Dominick, salah satu penelitian efek yang paling banyak dilakukan adalah efek antisosial yaitu sebanyak 217 buah dari tahun 1959 hingga 1990. Salah satu bentuk penelitian dari tradisi efek adalah penelitian dose response (dosis-respon) menggunakan pendekatan behavioris yang dijelaskan oleh Giles mengenai hubungan dari jumlah (dosis) terpaan media (exposure) dengan efek yang dihasilkan (respon). Hipotesis penelitian ini adalah kaitan antara pemberian dosis terpaan media berupa video dengan konten seks dan kekerasan dengan respon berupa suasana hati yang negatif. Penelitian dose response ini berkaitan dengan teori selanjutnya yaitu imitation theory. Albert Bandura – Imitation Theory Teori imitasi tidak dapat dipisahkan dari teori pembelajaran sosial milik Albert Bandura. Ada dua poin yang dikemukakan Bandura yaitu: (a) terjadi proses mediasi antara stimuli dan respon; (b) tingkah laku dipelajari dari lingkungan melalui proses pembelajaran observasional. Pada pembelajaran observasional, anak-anak mengobservasi orang dewasa di sekitar mereka yang memiliki tingkah laku beragam. Anak-anak memberi perhatian pada beberapa orang dan melakukan encoding terhadap perilaku mereka. Pada waktu berikutnya, mereka mengimitasi (meniru) perilaku yang mereka amati. Ilustrasi paling terkenal dari teori dan ekspresimen Bandura ini adalah Bobo Doll Experiment. Penelitian dilakukan melibatkan 36 anak laki-laki dan 36 anak perempuan berusia tiga hingga enam tahun. Hasilnya, anak-anak yang melihat contoh perbuatan agresif menjadi lebih meniru perilaku agresif dibanding yang tidak melihat perilaku agresif. Selain itu, anak laki-laki juga lebih cenderung meniru perilaku agresif dibanding anak perempuan. Teori imitasi menunjukkan bahwa tingkah laku dapat ditiru dan tingkah laku berasal dari stimuli. Stimuli ini bila dalam penelitian mengenai media massa dapat dicontohkan dari terpaan media misalnya tayangan yang mempertontonkan adegan kekerasan bisa saja memengaruhi khalayaknya untuk meniru bertingkah laku kasar. E. Penelitian Efek – Black Box Salah satu bagian dari tradisi penelitian efek media massa adalah black box atau kotak hitam. Otak manusia diasosiasikan sebagai kotak hitam yang tak dapat ditembus dengan proses yang tidak diketahui di mana berlokasinya antara penerima pesan dengan keluaran (outcomes) tradisional dari pembelajaran, sikap, atau perilaku. Sebagai gantinya, yang terlihat adalah komponen proses sebagai baik keluaran yang penting dan prediktif dalam ketepatannya sendiri. Schramm sendiri berpendapat bahwa pemahaman terhadap proses komunikasi tidak lengkap tanpa memahami kotak hitam dari sistem central nervous—bagian dari otak yang berkaitan dengan syaraf. Kotak hitam dahulu berada di luar jangkauan teori komunikasi padahal kedudukannya menurut Schramm sangat penting dalam hal perosesan informasi. Kemajuan pertama yang diraih berkaitan dengan dibahasnya F. 4 kotak hitam sebagai bagian dari teori komunikasi dimulai ketika terjadi revolusi kognitif di bidang psikologi dan neurosains. Pada periode yang sama, metode sains dari pemeriksaan empiris telah dipertanyakan dalam hubungannya dengan validitas dan pengaplikasiannya pada tingkah laku manusia. George Gerbner – Cultivation Theory Teori kultivasi atau teori penanaman diperkenalkan oleh Gerbner dan merupakan bagian dari tradisi penelitian efek media. Gerbner memperkenalkan teori itu berdasarkan penelitiannya mengenai investigasi kekerasan di televisi drama berjaringan pada 1967-1968. Penelitian ini secara luas dipahami sejak awal dan kedua laporan menunjukkan fungsi peran dan simbol, seperti halnya banyaknya kekerasan pada drama televisi. Hal pertama yang ditemukan adalah televisi secara esensial berbeda dengan media lain dan bahwa penelitian mengenai televisi membutuhkan pendekatan baru. Pada tahapan kedua penelitian mengenai penelitiannya terhadap televisi ini, Gerbner mencari tahu apa yang diserap khalayak yang hidup dalam dunia televisi. Salah satunya alasan hal ini dilakukan untuk mengubah temuan mengenai bagaimana analisis sistem pesan terhadap dunia fantasi yang ada di televisi ke dalam pertanyaan mengenai realitas sosial. Artinya, dicari tahu apakah khalayak dalam penelitian ini dapat membedakan mana yang hanya berupa fantasi di televisi dengan realitas yang ia alami sehari-hari. Semua respon yang diberikan berkaitan dengan terpaan televisi, kebiasan mengakses media lainnya, dan karakter demografis. Gerbner lalu membandingkan antara khalayak heavy (yang menerima terpaan media berat) dan light (yang menerima terpaan media ringan) berdasarkan karakteristik jenis kelamin, usia, pendidikan, dan karakteristik lain. Batas dari khalayak heavy dengan light adalah pemberian “jawaban televisi”. Potter menyimpulkannya sebagai yang ia sebut proposisi utama yaitu penonton televisi yang mengatakan mereka terpapar televisi dalam jumlah banyak diprediksi lebih mungkin (dibandingkan dengan yang terpapar dalam jumlah lebih sedikit) memperlihatkan persepsi dan kepercayaan yang merefleksikan pesan dari dunia televisi. Artinya, para heavy viewer ini menjadikan televisi sebagai tolok ukur sekaligus acuan dalam berpikirnya sehingga opininya dipengaruhi atau malah sepenuhnya sejalan dengan televisi yang pesannya menerpanya terus menerus. G. Ball-Rokeach dan DeFleur – Dependency Theory Ball-Rokeach dan DeFleur mengusulkan teori depedensi pada 1976. Teori ini merupakan kombinasi dari beberapa perspektif seperti psikoanalitis dan teori sistem sosial, pendekatan sistematis dan kasual, dan elemen dasar dari teori uses and gratifications tapi tidak terlalu fokus pada efek. Teori depedensi media adalah satu dari teori pertama yang menyebutkan khalayak sebagai bagian aktif dari proses komunikasi. Teori dependensi dapat disebut sebagai perluasan dari teori uses and gratifications. Tingkatan ketergantungan berbanding lurus dengan: 1) Individual Media memiliki kemampuan untuk memuaskan kebutuhan khalayak. Individu akan jadi lebih bergantung pada media bila media itu dapat memenuhi kebutuhannya. Bila sebaliknya, ketergantungan pada media akan berkurang. H. 5 2) Social Stability Khalayak mempertimbangkan kembali kepercayaan mereka, praktik dan tingkah laku ketika kekuatan sosial berubah, konflik, kerusuhan, atau pemilu yang akan memaksa untuk mengevaluasi dan membuat keputusan baru. Dalam periode ini ketergantungan media naik secara drastis karena kebutuhan mendapatkan informasi, dukungan, dan saran. 3) Active Audience Dalam proses komunikasi ini, khalayak aktif memilih ketergantungan media berdasarkan kebutuhan individual dan faktor lain seperti kondisi ekonomi, sosial, dan budaya. Jika sumber alternatif telah memenuhi kebutuhan khalayak maka ketergantungan terhadap media akan menurun. Munculnya ketergantungan pun melalui proses yaitu: 1) Media menarik bagi khalayak karena menawarkan konten yang dapat memenuhi kebutuhan khalayak untuk pemahaman, hiburan, dan informasi 2) Ada perbedaan kekuatan dalam hubungan ketergantungan. Motivasi kognitif mendorong individu untuk mengelola level perhatian dan motivasi afeksi membantu individu menambah level kepuasan 3) Baik motivasi kognitif maupun afektif menguatkan khalayak untuk terlibat pada level yang lebih tinggi untuk dapat memproses informasi. Ilustrasi dari teori dependensi adalah berikut, ketika individu merasa bahwa ia membutuhkan informasi mengenai peristiwa demonstrasi pada 4 November lalu, salah satu sumber informasi yang menjadi rujukannya adalah media massa. Ketika menonton televisi, ia menjadi tertarik mengikuti berita itu karena melihat konten berita yang terasa sesuai dengan yang dibutuhkannya. Keingintahuannya mendorong individu memiliki motivasi kognitif yang membuat individiu menaruh perhatian besar selama menonton berita di televisi. Motivasi afeksi mendorong individu merasa puas bila semakin banyak informasi yang ia dapatkan dan informasi tersebut sama dengan yang ia cari. Gabungan dari motivasi kognitif dan afektif ini mendorong individu untuk memproses informasi tersebut di dalam kepalanya sehingga pencarian informasinya mengenai demonstrasi 4 November lalu tidak saja membuatnya mendapatkan informasi tapi memahami kejadian berdasarkan pemrosesan informasi yang dilakukannya. Palmgreen, Wenner, Rayburn – Expectancy Value Theory Dalam penelitian Uses and Gratifications, fokus utamanya adalah motif individu dalam menggunakan media. Penelitian Palmgreen tidak hanya meneliti motif invidu dalam menggunakan media tapi juga mempertanyakan apakah motifmotif itu telah terpenuhi oleh media. Kepuasa khalayak diukuran menggunakan media. Konsep mengukur kepuasan ini disebut Gratifications Sought dan Gratification Obtained. Kedua konsep baru ini memunculkan turunan dari teori Uses and Gratifications yaitu Expectancy Value Theory (nilai pengharapan). Gratification Sought (GS) adalah kepuasan yang dicari atau diinginkan individu ketika mengonsumsi suatu jenis media tertentu. Gratification Obtained (GO) sendiri adalah kepuasan nyata yang diperoleh seseorang setelah mengonsumsi suatu media tertentu. Ilustrasinya adalah, ketika seseorang merasa bosan dengan tugas kuliahnya maka ia berpikir untuk mencari hiburan. I. 6 Contoh dari hiburan ini adalah menonton film Doctor Strange yang baru rilis di bioskop. Seseorang itu yakin dengan menonotn Doctor Strange maka ia akan mendapatkan hiburan yang ia cari, inilah yang disebut GS. Ketika sudah menonton film tersebut dan merasa puas karena terhibur, inilah yang disebut GO. Kepercayaankepercayaan (beliefs) Pencarian kepuasan (GS) Kepuasan media Perolehan kepuasan yang diterima (GO) Evaluasievaluasi J. Ajzen dan Fishbein – Theory of Reasoned Action Sikap Norma Subyektif Niat Perilaku Keyakinan Kemampuan Salah satu penelitian mengenai psikologi sosial yang paling berpengaruh adalah teori reasoned action dan merupakan turunan dari theory of planned behavior (perilaku yang direncanakan). Teori reasoned action berfokus pada niat individu dalam berperilaku tertentu dan merupakan bagian dari teori dengan pendekatan uses and gratifications. Teori ini dibangun dengan cukup baik untuk memprediksi tingkat laku dalam berbagai konteks meski tidak luput dari berbagai kritik. Ajzen dan Fishbein bernita untuk mempertimbangkan keyakinan yang menonjol melalui “dalam rangka memprediksi sikap seseorang, tidak cukup untuk 7 mengetahui informasi yang telah ia berikan, yang agak perlu adalah menilai keyakinan yang sebetulnya ia pegang, seperti keyakinan yang menonjol”. Artinya yang menjadi pertimbangan untuk memprediksi sikap seseorang adalah mengetahui terlebih dahulu apa yang ia yakini, apa yang menjadi pertimbangan utamanya. Teori ini juga meletakkan sikap sebagai variabel kognitif, yaitu merupakan evaluasi berdasarkan kemungkinan yang diharapkan dari konsekuensi dan nilai-nilai. Peneliti lain justru percaya bahwa sikap merupakan bagian dari baik variabel kognitif maupun afektif. Ilustrasi dari teori resoned action menurut David Giles adalah ketika seseorang menonton televisi. Ditinjau dari variabel sikap, seseorang mempertimbangkan untuk menonton televisi karena ia membutuhkan hiburan misalnya karena lelah setelah menjalani ujian di kampus. Dari variabel norma subyektif, keyakinan itu muncul karena menurut orang-orang di sekitarnya, ada acara tekevisi yang menghibur sehingga ia ingin mencoba menonton acara tersebut. Dari variabel keyakinan kemampuan, ia tahu ia mampu menonton karena memiliki waktu luang dan ujian di kampus sudah selesai sehingga tidak ada yang membebani pikiran ketika bersantai. Ketiga variabel itu menimbulkan niatan untuk menonton televisi saat itu berdasarkan rekomendasi tayangan yang menarik menurut orang-orang di sekitarnya sekaligus kebutuhan dan kemampuannya dalam menonton. Niatan tersebut membuahkan perilaku yaitu ketikaia menyalakan televisi dan kemudian menonton tayangan. Stuart Hall – The Dominant Code, Negotiation Code, Oppositional Code Awalnya, komunikasi direpresentasikan melalui model SMCR. Komunikasi dianggap sebagai proses linear yang tidak dinamis. Karena itulah Stuart Hall terpikir pada model yang lebih dinamis dan berfokus pada televisi (komunikasi massa). Dari penelitiannya mengenai proses encoding-decoding yang melibatkan medium berupa televisi, Hall menyimpulkan tiga posisi atau strategi yang mana merupakan konstruksi wacara decoding televisi: 1) Dominant code Dominant code adalah ketika khalayak mengambil makna konotasi, misalnya dari sebuah siaran berita, dan mendekoding pesan dalam rangka mereferensikan kode. Ini adalah tipe ideal dari “komunikasi transparan yang sempurna” (perfectly transparent communication). Makna konotasi merupakan kebalikan dari makna denotasi. Ia tidak dimaknai secara harafiah. Contohnya, ketika dalam siaran berita si penyiar menyebutkan frasa “amukan si jago merah” dalam peristiwa kebakaran, tidak dimaknai sebagai jengger ayam jago berwarna merah atau ayam jago yang sedang mengamuk tapi diartikan sebagai nyala api dalam peristiwa kebakaran. 2) Negotiation code Dekoding dalam negotiation code merupakan campuran dari elemen adatif sekaligus oposisi (yang bertentangan). Dekoding yang dihasilkan menunjukkan hal yang kontradiktif. Contohnya, ketika menonton televisi, khalayak sebagai individu dapat memahami bahwa tingginya inflasi membuat perekonomian di tingkat nasional tidak stabil sehingga tidak memungkinkan bagi perusahaan untuk menggaji karyawannya K. 8 dengan tinggi tetapi secara personal ia menuntut pada perusahaan tempatnya bekerja untuk menaikkan gaji. 3) Oppositional code Mirip dengan negotation code, dalam proses dekodingnya khalayak justru menerjemahkan kode dengan jalan yang kontradiktif. Ketika seseorang menonton tayangan televisi mengenai tingginya angka inflasi sehingga tidak memungkinkan bagi perusahaan menaikkan gaji maupun bagi pemerintah untuk menaikkan upah minimum, ia justru mengartikannya sebagai pemerintah tidak berpihak kepada rakyat dan perusahaan hanya inging mengeruk keuntungan tanpa memikirkan karyawan. Tinjauan Pustaka Albert, D. Aschenbrenner, KM. Schmalhofer, F. [tahun tidak diketahui]. Cognitive Choice Process and Attitude-Behavior Relation. [diakses pada 2016 Nov 8]. [Tersedia pada http://epub.uniregensburg.de/14645/1/ubr06108_ocr.pdf] Giles, D. 2003. Media Psychology. USA: Lawrence Erlbaum Asociates. Geiger, S. Newhagen, J. 1993. Journal of Communication Volume 43 Issue 4: Revealing The Black Box Information Processing and Media Effects. [diakses pada 2016 No 7]. [Tersedia pada onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1460-2466.1993.tb01303.x/abstract]. Gerbner, G. Gross, L. 1976. Journal of Communication Volume 26 Issue 2: Living With Television The Violence Profile. [diakses pada 2016 Nov 7] [Tersedia pada psycnet.apa.org/index.cfm?fa=search.displayRecord&UID=1979-03132001]. Kriyantono, R. 2012. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Predana Media. Livingstone, S. 1996. On The Continuing Problems of Media Effect Research dalam buku Mass Media and Society, 2nd Edition. [diakses pada 2016 Nov 6]. [Tersedia pada eprints.lse.ac.uk/21503/1/On_the_continuing_problems_of_media_effects_r esearch(LSERO).pdf McLuhan, M. 1964. Chapter 1: The Medium is The Message dari buku Understanding Media: The Extension of Man. [diakses pada 2016 Nov 6]. [Tersedia pada web.mit.edu/allanmc/www/mcluhan.mediummessage.pdf Potter, WJ. 1994. Asociation for Education in Journalism and Mass Communications No. 147: Cultivation Theory and Research A Methodological Critique. [diakses pada 2016 Nov 7]. [Tersedia pada http://www.aejmc.org/home/wp-content/uploads/2012/09/W.-JamesPotter.Cultivation-Theory-and-Research.October-1994.pdf]. Trafimow, D. 2009. The Theory of Reasoned Action: A Case Study of Falsification in Psychology. [diakses pada 2016 Nov 8]. [Tersedia padahttps://www.researchgate.net/publication/247743775_The_Theory_of_ Reasoned_Action]. 9 Vaccari, C. [tahun tidak diketahui]. Redeeming Mass Communications: Brief History of Modern Media Criticism. [diakses pada 2016 Nov 06]. [Tersedia pada http://www.cristianvaccari.it/universita/papers/masscomm.pdf]. Wimmer, DR. Dominick, JR. 2009. Research in Media Effect dalam buku Mass Media Research: An Introduction, 9th Edition. [diakses pada 2016 No 6]. [Tersedia pada rogerwimmer.com]. http://communicationtheory.org/media-dependency-theory/ [diakses pada 2016 Nov 7]. http://people.ucalgary.ca/~rseiler/hall.htm [diakses pada 2016 Nov 8]. http://recapp.etr.org/recapp/index.cfm?fuseaction=pages.TheoriesDetail&PageID =517 [ diakses pada 2016 Nov 8]. http://www.simplypsychology.org/bandura.html [diakses pada 2016 Nov 6]. http://www.simplypsychology.org/bobo-doll.html [diakses pada 2016 Nov 6]. 10