Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
SD INKLUSI, “SOLUSI TERCAPAINYA WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN” Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi Dosen pengampu : Drs, Wahyudi, M.Pd M. Chamdani, M.Pd Disusun oleh : Nama : Nely Rosyalina Agustin NIM : K7115114 No. Urut : 06 PROGRAM S-1 PGSD KAMPUS VI KEBUMEN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2017 SD Inklusi, “Solusi Tercapainya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun” Nely Rosyalina Agustin Universitas Sebelas Maret Surakarta nelyrosyalina@gmail.com Abstrak Program wajib belajar ditujukan kepada seluruh warga negara Indonesia. Namun pada kenyataannya anak berkebuthan khusus (ABK) masih sulit untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan inklusif adalah angin segar untuk pendidikan di Indonesia. Pendidikan inklusif adalah layanan pendidikan yang menerima anak berkebutuhan khusus dan anak reguler untuk belajar bersama-sama agar anak berkebutuhan khusus dapat bersosialisasi dengan teman sebayanya secara normal. Kehadiran pendidikan inklusif memiliki sasaran yang tepat. Sekolah Dasar Inklusi menjadi solusi bagi seluruh anak berkebutuhan khusus yang berada di desa dan memiliki tingkat ekonomi yang rendah. SD Negeri 1 Pecarikan adalah salah satu sekolah yang menyelenggarakan Pendidikan Inklusi. Pendidikan inkusi seharusnya memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya. Namun hal itu akan sulit terwujud jika tidak ada tenaga pendidik khusus yang dapat menangani anak berkebutuhan khusus. Selain itu, sekolah seharusnya memberikan layanan khusus untuk anak berkebutuhan khusus agar anak lebih dapat berkembang. Kata kunci : wajib belajar, pendidikan inklusi, anak berkebutuhan khusus (ABK Pendahuluan Wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun merupakan program pemerintah untuk menjawab kebutuhan dan tantangan zaman. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 tentang wajib belajar menjelaskan bahwa wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Program ini tentu tidak hanya ditujukan kepada warga negara Indonesia yang dikatakan normal. Namun juga kepada warga negara Indonesia yang merupakan penyandang disabilitas. Penyandang diabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik. Selama ini, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia disediakan melalui tiga macam lembaga pendidikan yaitu, Sekolah Luar Biasa (SLB)/Sekolah Khusus, Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Sekolah Umum. Namun, pada umumnya lokasi SLB maupun SDLB berada di ibu kota kabupaten/kota, sehingga anak berkebutuhan khusus (ABK) yang pada umumnya tersebar di daerah kecamatan/desa maupun di daerah terpencil dan atau terisolasi tidak terlayani pendidikannya. Beberapa anak berkebutuhan khusus berasal dari keluarga berekonomi rendah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah menyelenggarakan pendidikan inklusi. Pendidikan inklusif adalah layanan pendidikan yang menerima anak berkebutuhan khusus dan anak reguler untuk belajar bersama-sama agar anak berkebutuhan khusus dapat bersosialisasi dengan teman sebayanya secara normal. SD Inklusi terdapat di daerah desa sehingga anak berkebutuhan khusus dapat tetap mengenyam pendidikan. Namun apakah sistem pendidikan inklusi ini telah berjalan dengan baik? Apakah anak berkebutuhan khusus dapat memperoleh layanan pendidikan yang memuaskan? Dan benarkah pendidikan inklusi dapat memberikan andil dalam mewujudkan tercapainya wajib belajar pendidikan dasar bagi seluruh warga negara Indonesia? Pembahasan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tantang Penyandang Disabilitas pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tantang Penyandang Disabilitas pasal 1 ayat 2 menjelaskan bahwa kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala hal penyelenggaraan negara dan masyarakat. Penyandang disabilitas harus diberikan akses khusus sehingga dengan keterbatasannya, mereka tetap dapat mengembangkan potensinya seperti layaknya manusia normal. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tantang Penyandang Disabilitas pasal 10 menyebutkan hak pendidikan untuk penyandang disabilitas meliputi hak: Mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus; Mempunyai kesamaan kesempatan untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan; Mempunyai kesamaan kesempatan sebagai penyelenggara pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan;dan Mendapatkan Akomodasi yang layak sebagai peserta didik. Beberapa prinsip dasar dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus pada umumnya perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Prinsip dasar tersebut menurut Musjafak Assjari (dalam Choiri dan Yusuf: 2009) adalah sebagai berikut: Keseluruhan anak (all the clidren) Layanan pendidikan pada anak berkebutuhan khusus harus didasarkan pada pemberian kesempatan bagi seluruh anak berkebutuhan khusus dari berbagai derajat, ragam, dan bentuk kecatatan yang ada. Dengan layanan pendidikan diharapkan anak dapat mengembangan potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin, sehingga ia dapat mencapai hidup bahagia sesuai dengan kecatatannya. Konsekuensi dari ini, guru seyogyanya bersifat kreatif. Guru dituntut untuk mencari berbagai pendekatan pembelajaran yang cocok bagi anak. Pendekatan tersebut disesuaikan dengan keunikan dan karakteritik dari masing-masing kecatatan. Kenyataan (reality) Pengungkapan tentang kemampuan fisik dan psikologis pada masing-masing anak berkebutuhan khusus mutlak dilakukan. Hal ini penting, mengingat melalui tahapan tersebut pelaksanaan pendidikan maupun pelaksanaan rehabilitasi dapat memberikan layanan yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing anak berkebutuhan khusus. Dasar pendidikan yang menempatkan pada kemampuan masing-masing anak tunadaksa inilah yang dimaknai sebagai dasar yang berlandaskan pada kenyataan (reality). Program yang dinamis (dynamic program) Pendidikan pada dasarnya bersifat dinamis. Pendidikan dikatakan dinamisn karena yang menjadi subjek pendidikan adalah manusia yang sedang tumbuh dan berkembang, yang di dalamnya terdapat proses yang bergradasi, berkesinambungan untuk mencapai sasaran pendidikan. Dinamika dalam proses pendidikan terjadi karena subjek didiknya selalu berkembang, sehingga penyesuaian layanan harus memperhatikan akan perkembangan yang terjadi pada perkembangan yang terjadi peda subjek didik. Kesempatan yang sama (aquality of opportunity) Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus diberikan kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensinya tanpa memprioritaskan jenis-jenis kecatatan yang dialaminya. Titik perhatian pengembangan yang utama pada anak berkebutuhan khusus adalah optimalisasi potensi yang dimiliki masing-masing anak melalui jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Hal-hal yang bersifat teknis berkaitan dengan sarana dan prasarana sekolah disesuaikan dengan kenyataan yang ada. Kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan menuntut penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus untuk menyediakan dan mengusahakan sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak dan variasi kacatatannya. Kerjasama (cooperative) Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus tidak akan berhasil mengembangkan potensi mereka mana kala tidak melibatkan pihak-pihak yang terkait. Orang tua anak berkebutuhan khusus perlu dilibatkan dalam merancang dan menyelenggarakan program pendidikan. Selain orang tua, pihak lain yang terkait adalah dokter, psikologi, psikiater, pekerja sosial, ahli terapi okupasi, dan ahli fisioterapi, konselor, dan tokoh masyarakat utamanya mempunyai perhatian dalam dunia pendidikan anak. Pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK) sejak berdirinya hingga sekarang telah mengalami perjalanan yang panjang, baik yang terjadi di Indonesia maupun di negara-negara lain di dunia. Pendidikan anak berkebutuhan khusus secara umum dapat dilaksanakan di sekolah khusus, maupun di sekolah umum/reguler. Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (‘normal’) dalam pendidikan. Selama ini, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia disediakan melalui tiga macam lembaga pendidikan yaitu, Sekolah Luar Biasa (SLB)/Sekolah Khusus, Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Sekolah Umum. Namun, pada umumnya lokasi SLB maupun SDLB berada di ibu kota kabupaten/desa, sehingga anak berkebutuhan khusus (ABK) yang pada umumnya tersebar di daerah kecamatan/desa maupun di daerah terpencil dan atau terisolasi tidak terlayani pendidikannya. Disamping itu juga ditemukan bahwa sebagian besar orang tua ABK secara ekonomi termasuk kategori lemah, sehingga mereka terpaksa tidak menyekolahkan anaknya. Jika hal ini tidak segera diatasi, maka dikhawatirkan program wajib belajar pendidikan dasar sulit untuk diwujudkan. Maka dari itu pendidikan inklusi adalah solusi bagi permasalahan tersebut. Penyelenggaraan program pendidikan inklusif meupakan implementasi dari amanat UU No. 20 Tahun 2003 khususnya sebagaimana tercantum dalam pasal 5, pasal 15 dan penjelasannya yang menegaskan bahwa pendidikan khusus dapat diselenggarakan secara inklusif dan/atau berupa satuan pendidikan khusus. Lebih lanjut permendiknas tentang pendidikan inklusif pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa tujuan penyelenggaraan secara inklusif adalah “Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepeda semua peserta didik dari berbagai kondisi dan latar belakang untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya”; dan ayat (2) “Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik”. Menurut Stainback dan Stainback (dalam Choiri dan Yusuf: 2009) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa. Lebih dari itu sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi. Staub dan Peck (dalam Choiri dan Yusuf: 2009) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Sapon-Sevin (dalam Choiri dan Yusuf: 2009) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sebagai layanan pendidikan yang mensyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama teman seusianya. Jadi pendidikan inklusif adalah layanan pendidikan yang menerima anak berkebutuhan khusus dan anak reguler untuk belajar bersama-sama agar anak berkebutuhan khusus dapat bersosialisasi dengan teman sebayanya secara normal. Pendidikan inklusif juga berfungsi menjamin semua peserta didik mendapat kesempatan dan akses yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan di berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan, serta menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, dan ramah bagi semua peserta didik sehingga dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi/inklusi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Dengan demikian, melalui sistem integrasi anak berkebutuhan khusus bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap. Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagian, atau keterpaduan dalam rangka sosialisasi. Tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah: Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya. Membantu mempercepat program penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang bermutu. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keberagaman, tidak doskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran. Untuk mengoptimalkan layanan pendidikan pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, dalam pengelolaannya memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Sekolah menerapkan system manajemen berbasis sekolah (MBS). Sekolah menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keaneka-ragaman dan menghargai perbedaan. Sekolah menyiapkan sistem pengelolaan kelas yang mampu mengakomodasi hiterogenitas kebutuhan khusus peserta didik. Guru memiliki kompetensi pembelajaran bagi semua peserta didik serta kompetensi pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Guru berkemampuan dalam mengoptimalkan peran orang tua, tenaga profesional, organisasi profesi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan komite sekolah dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran di sekolah. Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10 % dari jumlah siswa keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya ada satu jenis kelainan. Hal ini untuk menjaga agar beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melayani berbagai macam kelainan. Untuk membantu kesuliatan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultann bagi guru kelas, kepala sekolah, atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu, GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas khusus. Menyelenggarakan sekolah Inklusi adalah suatu program yang sangat tepat untuk tercapainya proram wajib belajar pendidikan dasar. Anak-anak berkebutuhan khusus yang berada di desa dan dalam keadaan ekonomi yang minim tetap dapat mengenyam pendidikan dasar melalui Sekolah Dasar Inklusi. SD Negeri 1 Pecarikan adalah salah satu SD yang mendapat mandat dari pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan Inklusi. Melalui SK Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen tahun 2010 , SD Negeri 1 Pecarikan menjadi salah satu dari 4 SD yang ditunjuk menjadi sekolah penyelenggara pendidikan inklusi. SD yang beralamat di Jl. Pituruh km 1,5, Desa Pecarikan, Kecamatan Prembun, Kabupaten Kebumen ini memiliki siswa yang berkebutuhan khusus yang kebanyakan berasal dari wilayah sekitarnya. Kebanyakan anak tersebut berasal dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi dan latar belakang pendidikan yang rendah. Sampai saat ini terdapat sebanyak 9 siswa inklusi yang belajar di SD Negeri 1 Pecarikan. Di kelas 1 terdapat 2 siswa, kelas 2 terdapat 1 siswa, kelas 3 terdapat 2 siswa, kelas 4 terdapat 1 siswa, kelas 5 terdapat 2 siswa dan di kelas 6 terdapat 1 siswa. Menurut Bapak Nanang, selaku salah satu guru di SD Negeri 1 Pecarikan, seharusnya satu kelas hanya terdapat 1 siswa inklusi di dalamnya. Hal ini agar guru kelas lebih memperhatikan siswa tersebut dan juga karena tidak ada guru pendamping khusus siswa inklusi. Namun saat ini satu kelas dapat memiliki lebih dari 1 siswa inklusi yang berbeda ketunaannya. Akhirnya siswa-siswi inklusi kurang mendapat perhatian dari guru. Siswa inklusi hanya sebatas dapat bersosialiasi dan berkomunikasi saja. Sekolah belum dapat memberikan pelayanan khusus. Tidak adanya bantuan khusus dari segi pendanaan dan Sumber Daya Manusia menjadi salah satu penyebab kurang maksimalnya penyelenggaraan pendidikan inklusi. Guru yang pada dasarnya tidak memiliki skill khusus untuk mengajar siswa Inklusi berusaha semampunya memberikan bimbingan kepada siswa inklusi. Siswa inklusi dan siswa reguler bersosialisasi dengan baik di SD Negeri 1 Pecarikan. Tidak sekalipun mereka membeda-bedakan antar siswa. Keberadaan siswa inklusi sudah diterima oleh siswa reguler. Mereka terbiasa bermain bersama. Bahkan siswa reguler terlihat menjaga dan memotivasi siswa inklusi. Pemandangan yang sangat indah yang tidak terlihat di Sekolah Luar Biasa. Anak Berkebutuhan Khusus harus mendapat pendidikan yang seperti manusia lainnya. Siswa ABK yang berada desa dapat bersekolah di SD Inklusi. SD inklusi mempunyai peranan besar untuk mensukseskan program wajib belajar pendidikan dasar. Maka keberadaaanya sudah seharusnya mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak. Orang tua mempunyai peranan penting dalam mmendidik anak. Seperti yang dijelaskan Dewi Pandji (2013), fungsi orang tua dalam mendidik anak dengan kebutuhan khusus tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi karakteristik keluarga. Seperti apa bola interaksi antar anggota keluarga tersebut, bagaimana budaya dan nilai-nilai yang dianut dan mewarnai keseharian keluarga, bagaimana latar pendidikan dan perekonomian yang melandasi keluarga, seperti apa fungsi masing-masing anggota keluarga terhadap satu sama lain atau terhadap lingkungan di luar. Selain keluarga, sekolah juga berperan besar dalam mengembangkan bakat anak. Sekolah inklusi sudah seharusnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah, masyarakat dan pihak lainnya agar dapat memberikan layanan pendidikan yang layak sesuai kebutuhannya untuk anak berkebutuhan khusus dan agar dapat mengembangkan potensi anak berkebutuhan khusus. Kesimpulan Setiap anak berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan inklusif adalah layanan pendidikan yang menerima anak berkebutuhan khusus dan anak reguler untuk belajar bersama-sama agar anak berkebutuhan khusus dapat bersosialisasi dengan teman sebayanya secara normal. Sekolah inklusi adalah solusi untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus secara lebih menyeluruh. Sekolah inklusi belum dapat memberikan pendidikan yang layak sesuai kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Daftar Pustaka Choiri, A S dan Yusuf, M. 2009. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Secara Inklusif. Surakarta: Inti Media Surakarta Pandji, Dewi. 2013. Sudahkah kita ramah anak special needs?. Jakarta: Gramedia