Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
AUTISME Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus Semester Gasal Jurusan Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya DISUSUN OLEH : NURUL ISTIKHOMAH 1511505338 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA OKTOBER 2017 AUTISME I. BATASAN/PENGERTIAN Autis berasal dari kata autos yang artinya segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Dalam Kamus Lengkap Psikologi, autisme didefinisikan sebagai: (1) cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh diri sendiri, (2) menanggapi dunia berdasarkan penglihatan, harapan sendiri, dan menolak realitas (3) keasyikan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri (Chaplin, 2005). Autistic disorder adalah adanya gangguan atau abnormalitas perkembangan pada interaksi sosial dan komunikasi serta ditandai dengan terbatasnya aktifitas dan ketertarikan. Munculnya gangguan ini sangat tergantung pada tahap perkembangan dan usia kronologis individu. Autistic disorder dianggap sebagai early infantile autism, childhood autism, atau Kanner’s autism (American Psychiatric Association,2000). Perilaku autistik digolongkan dalam dua jenis, yaitu perilaku yang eksesif (berlebihan) dan perilaku yang defisit (berkekurangan). Yang termasuk perilaku eksesif adalah hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa menjerit, menggigit, mencakar, memukul, mendorong. Di sini juga sering terjadi anak menyakiti dirinya sendiri (self-abused). Perilaku defisit ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit sensori sehingga dikira tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat, misalnya tertawa-tawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun. World Health Organization's International Classification of Diseases (WHO ICD-10) mendefinisikan autisme (dalam hal ini khusus childhood autism) sebagai adanya keabnormalan dan atau gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia tiga tahun dengan tipe karakteristik tidak normalnya tiga bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang diulang-ulang (World Health Organization, 1992). WHO juga mengklasifikasikan autisme sebagai gangguan perkembangan sebagai hasil dari gangguan pada sistem syaraf pusat manusia. Di bawah ini adalah lima kelainan yang termasuk ASD (Autistic Spectrum Disorder) : a) Autisme; yaitu penarikan diri yang ekstrem dari lingkungan sosialnya, gangguan dalam berkomunikasi, serta tingkah laku yang terbatas dan berulang (stereotipik) yang muncul sebelum usia 3 tahun (Hllahan & Kauffman, 2006; Widyawati, 2002). b) Asperger Syndrome (AS); abnormalitas yang secara kualitatif sama seperti autisme. Dapat disebut sebagai mild autism, tanpa gangguan yang signifikan dalam kognisi dan bahasa c) Rett Syndrome; sindrom ini umumnya dialami oleh anak perempuan, muncul pada usia 7-24 bulan, dimana sebelumnya terlihat perkembangan yang normal, kemudian diikuti dengan kemunduran berupa hilangnya kemampan gerakan tangan yang bertujuan serta keterampilan motorik yang telah terlatih. d) Childhood Disintegrative Disorder; perkembangan yang normal hingga usia 2 sampai 10 tahun, kemudian diikuti dengan kehilangan kemampuan yang telah dicapai sebelumnya. e) Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD-NOS); berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger, atau Rett Syndrome). II. KARAKTERISTIK Terdapat tiga gejala utama individu dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD), diantaranya sebagai berikut : a) Gangguan Interaksi Sosial • Bayi atau balita autis tidak berespon normal ketika diangkat atau dipeluk • Tidak menunjukkan perbedaan respon saat berhadapan dengan orang tua, saudara kandung, guru, orang asing. • Enggan berinteraksi secara aktif terhadap orang lain. • Tidak tersenyum pada situasi sosial, tapi tersenyum pada sesuatu yang tidak lucu. • Tatapan mata berbeda, cenderung menghindari kontak mata. • Tidak bermain seperti layaknya anak normal b) Gangguan Komunikasi • Tidak memiliki perhatian untuk berkomunikasi atau tidak ingin berkomunikasi untuk tujuan sosial. • Gumaman yang biasanya muncul sebelum anak dapat berate-kata mungkin tidak nampak pada anak autis. • Mereka yang berbicara mengalami abnormalitas dalam intonasi, volume, dan isi bahasa. • Sering tidak memahami ucapan yang ditujukan kepada mereka • Sulit memahami bahwa satu kata mungkin memiliki banyak arti • Menggunakan kata-katayang aneh atau kiasan • Terus mengulangi pertanyaan walaupun sudah mengetahui jawabannya • Sering mengulangi kata-kata yang baru saja atau pernah mereka dengar. c) Gangguan Perilaku • Repetitif (pengulangan), misalnya: tingkah laku motorik ritual berputarputar dengan cepat (twirling). • Asyik sendiri • Sering memaksa orang tua untuk mengulang suatu kata atau potongan kata. • Sulit dipisahkan dari benda yang tidak sewajarnya • Tidak suka dengan perubahan yang ada di lingkungan atau perubahan pada rutinitas. III. PENYEBAB a) Dasar Neurologikal ASD • Pada saat lahir, otak mereka berukuran rata-rata atau mungkin lebih kecil dari rata-rata. • Otak mereka tumbuh secara tiba-tiba dan cepat pada dua tahun pertama kehidupan. • Setelah usia dua tahun, otak mereka lambat bertumbuhnya dan mencapai ukuran maksimum pada usia empat sampai lima tahun. • Setelah usia lima tahun, ukuran otak mereka mengecil dan menjadi berukuran sama dengan mereka yang mengalami kelainan pada usia remaja tau dewasa. b) Dasar Herediter ASD • Peluang anggota keluarga anak autis utk ikut menderita autis 50 – 200 kali lebih tinggi daripada populasi secara keseluruhan. • Kembar monozigotik lebih besar berpeluang menderita autis ketika pasangannya autis, daripada kembar dizigotik. • Anggota keluaga autis  seseorang dapat menampilkan karakteristik autis meski tidak terdiagnosa autis. IV. IDENTIFIKASI/ASESMEN Tes diagnosa autism yang biasanya digunakan secara universal adalah criteria dai APA (American Psychiatric Association) tahun 2000 yang berfokus pada kemampuan komunikasi interaksi sosial, serta pola-pola tingkah laku repetitif dan stereotip. Perilaku muncul sebelum usia tiga tahun. Ciri khas dalam mempersepsi dunia Siegel (1996) mengatakan bahwa beberapa individu ASD memiliki ciri khas dalam mempersepsi dunia, yaitu : • Visual Thinking Individu ASD lebih memahami hal-hal konkret daripada abstrak. Biasanya, ingatan mereka akan berbagai konsep tersimpan dalam bentuk file ‘video’ atau gambar. • Processing Problems Sebagian anak ASD mengalami kesulitan dalam memroses data. Mereka terbatas dalam memahami ‘common sense’ atau berpikir menggunakan nalar. Mereka sulit merangkai informasi verbal yang panjang. • Sensory Sensitivities Ada tiga jenis sensitivitas individu ASD, meliputi : sound sensitivity dimana terjadi ketakutan berlebihan pada suara keras atau bising sehingga membuat cemas, bingung, dan terganggu, dan berperilaku buruk; touch sensitivity, yaitu kepekaan terhadap sentuhan ringan maupun dalam dan terwujud dalam bentuk masalah perilaku seperti masalah makan dan berpakaian; rhytm difficulties dimana individu sulit mempersepsi irama yang tertampil dalam bentuk lagu, bicara, jeda, dan waktunya masuk ke dalam percakapan, sehingga banyak anak ASD yang terus menerus berbicara. • Communication Frustration Gangguan perkembangan berbicara dan bahasa membuat individu ASD sering frustrasi. Mereka mungkin dapat mengerti orang lain apabila orang lain berbicara langsung kepada mereka. Mereka sulit memahami tuntutan lingkungan yang meminta mereka menjawab meski tidak ditanya secara langsung karena mereka tidak merasa pembicaraan tersebut melibatkan dirinya. • Social and Emotional Issues Individu ASD mengalami fiksasi atau keterpakuan pada sesuatu yang membuat mereka cenderung berpikir kaku. Umumnya mereka tidak bias membayangkan bahwa orang lain bias mempersepsi sesuatu dari sudut pandang berbeda. • Problems of Contro Mereka kesulitan untuk mengontrol diri sendiri sehinga muncullah masalah perilaku seperti perilaku ritual dengan pola tertentu, keterpakuan buat objek tertentu dan ketakutan. • Problems of Tolerance Individu ASD memiliki kepekaan yang berlebihan sehingga mereka menarik diri dari lingkungannya. Mereka menjadi bingung dan cemas bila tidak dapat memahami pesan-pesan emosi. • Problems of Connection Individu ASD memiliki masalah pemusatan perhatian sehingga terus menerus terdistraksi; masalah proses persepsi sehingga menghindari orang lain. V. INTERVENSI Orang tua yang anaknya baru diidentifikasi autisme atau ASD (autisme spectrum disorder) akan banyak menerima saran atau pendapat soal perawatanya. Mulai dari bertanya kepada teman, tetangga, dokter ahli, bahkan dari buku maupun internet. Beberapa filosofi intervensi berkembang dengan memberi perhatian kuat pada lingkungan anak untuk memaksimalkan perkembangannya. Beberapa punya pendukung sangat kuat dan beberapa sangat tidak menyetujuinya. Tujuan utama dalam penanggulangan autisme adalah untuk mengurangi gejala-gejala yang berkaitan dengan autisme dan mengurangi tekanan yang terjadi dalam keluarga. Selanjutnya, upaya terapi juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup anak autistik agar dapat berfunggsi di dalam kehidupan sehari-hari secara mandiri. Salah satu masalah yang timbul dalam melakukan intervensi autisme adalah laporan neuropsikologi sulit dimengerti oleh pendidik sehingga sulit untuk diterjemahkan ke dalam tindakan edukatif yang sesuai bagi anak autistik. Intervensi pendidikan dalam banyak hal secara efektif memberikan manfaat bagi perkembangan anak autistik. Salah satu metoda intervensi dini yang banyak diterapkan di Indonesia adalah modifikasi perilaku atau lebih dikenal sebagai metoda Applied Behavioral Analysis (ABA) Kelebihan metode ini dibanding metode lain adalah sifatnya yang sangat terstruktur, kurikulumnya jelas, dan keberhasilannya bisa dinilai secara objektif. Pelaksanaannya dilakukan empat sampai delapan jam sehari. Anak dilatih melakukan berbagai macam keterampilan, misalnya berkomunikasi, berinteraksi, berbicara, berbahasa, dan sebagainya. Namun yang pertama-tama perlu diterapkan adalah latihan kepatuhan. Hal ini sangat penting agar mereka dapat mengubah perilaku seenaknya sendiri menjadi perilaku yang lazim dan diterima masyarakat. Biasanya setelah satu sampai dua tahun menjalani intervensi dini dengan baik, si anak siap untuk masuk ke kelompok kecil. Bahkan ada yang siap masuk kelompok bermain. Mereka yang belum siap masuk ke kelompok bermain, bisa diikutsertakan ke kelompok khusus. Di kelompok ini mereka mendapat kurikulum yang khusus dirancang secara individual. Di sini anak akan mendapatkan penanganan terpadu, yang melibatkan pelbagai tenaga ahli, seperti psikiater, psikolog, terapis wicara, terapis okupasi, dan ortopedagogik. Berbagai penelitian yang berkaitan dengan intervensi mengalami berbagai masalah metodologi yang bersumber pada masalah efektifitas dan efisiensi dalam penerapannya ( Ospina, Krebs, Clark, et al, dalam Jamaris 2009). Walaupun demikian, sebagian besar ahli intervensi psikososial menemukan bukti-bukti positif yang menyarankan bahwa beberapa upaya terapi cocok untuk diterapkan pada anak autistik. Berikut ini merupakan jenis terapi yang dapat dilakukan dalam menangani anak autisme: a. Terapi perilaku Terapi Perilaku terdiri dari terapi wicara (sampai kepada komunikasi Pragmatis atau bahasa gaul), terapi okupasi, akademik, Bantu diri dan menghilangkan perilaku asosial. b. Terapi okupasi, Terapi ini untuk menguatkan, memperbaiki koordinasi dan keterampilan ototnya. c. Terapi Wicara, Bagi penyandang autisme oleh karena semua penyandang autisme mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa, speech therapy adalah juga suatu keharusan, tetapi pelaksanaannya harus dengan metode ABA. d. Sosialisasi dengan menghilangkan perilaku yang tidak wajar, hal ini perlu dimulai dari kepatuhan dan kontak mata, kemudian diajarkan konsep menirukan, lalu diberikan pengenalan konsep dan kognisi melalui bahasa reseptif/kognitif dan bahasa ekspresif disertai dengan tata krama dan sebagainya. e. Terapi biomedik, sebagian besar terapi biomedik terhadap ASD diintegrasikan dengan kegiatan anak di rumah dan di sekolah. Hal ini dilakukan karena terapi yang dilakukan secara terpisah kurang berhasil. f. Pengobatan (pemberian obat, vitamin, mineral, food supplements), tidak diketahui adanya pengobatan menyeluruh terhadap autisme, menggunakan pengobatan tradisional, obat-obatan herbal atau homeopati. Obat-obatan bukanlah perawatan utama dalam autisme. Pemberian obat-obatan untuk penyandang autisme sifatnya sangat individual dan perlu berhati-hati. Dosis dan jenisnya sebaiknya diserahkan kepada Dokter Spesialis yang memahami dan mempelajari autisme (biasanya Dokter Spesialis Jiwa Anak). Program Intervensi lainnya a. Program Adaptasi Hanen: yaitu suatu program pelatihan di bidang bahasa dan bicara. Dalam berkomunikasi dengan anak autisme haruslah menggunakan bahasa yang sederhana, saling bertatapan muka dengan anak, dan mendengarkan mereka dengan baik. b. Auditor Integration Training (pelatihan integrasi auditori): yaitu suatu program pelatihan dengan menggunakan suara sebagai cara mengekspos anak pada serangkaian pengalaman pendengaran. Alat dengan headphone digunakan untuk memainkan musik yang dapat diubah dan dikontrol. c. Diet: beberapa diet telah disarankan untuk mengurangi beberapa gejala autisme. Hingga kini belum ada riset yang mengkomfirmasi keefektifannya. Diet bebas gluten dan kasein adalah yang sangat umum ditemui. Namun tak ada bukti yang menunjukkan bahwa dengan mengeluarkan gluten dan kasein dari diet anak mengarah pada perubahan dalam perkembangan anak. d. Lumba-lumba: merupakan suatu program treatment, yaitu berenang dengan ikan lumba-lumba sebagai kegiatan terapi. e. EarlyBird: yaitu suatu program pelatihan bagi para orang tua anak autis. Tujuan dari pelatihan ini yaitu, 1) untuk mendukung orang tua dalam periode diantara identifikasi dan penempatan sekolah, khususnya dalam memahami autisme. 2) untuk mendorong orang tua dan membantu memfasilitasi komunikasi sosial anak dan tingkah laku sesuai dalam lingkungan alami anak. 3) untuk membantu orang tua mempraktekkan pengasuhan anak di usia awal dengan sebagai pengendali perkembangan tingkah laku yang tak sesuai. f. Higashi: terapi daily life dikembangkan di jepang oleh Dr. Kiyo Kitahara dan lainnya. Terapi ini memusatkan filosofi mereka pada budaya Jepang atas penampilan dan milik kelompok. Ini merupakan kurikulum 24 jam yang berfokus pada keterampilan hidup sehari-hari, pendidikan fisik, musik, dan prakarya. g. Lovaas: pelatihan ini menggunakan pendekatan berdasarkan terapi tingkah laku, serta menggunakan penguatan positif untuk mendorong pembelajaran. Karena program ini sangat terstruktur dan membutuhkan kerjasama yang tinggi dari anak dengan tingkat perulangan yang tinggi. h. Mifne: pelatihan ini merupakan program intervensi awal untuk keluarga dengan anak autis di bawah umur lima tahun. Program ini menggunakan pendekatan melalui permainan resiprokal (saling respon) dengan anak. Program ini juga menggunakan tim, bekerja secara intens dengan anak dan keluarga untuk menghasilkan lebih banyak peluang berkomunikasi. Ini bertujuan untuk memperbaiki kontak mata, ekspresi afeksi, dan kepedulian sosial. i. PECS: The Picture Exchange Communication System, program ini mengajarkan anak menukar gambar dengan benda yang diinginkannya, program ini dimulai dengan satu gambar tunggal, bergerak pada pilihan dan kemudian membentuk kalimat yang lebih kompleks. j. Program Son-Rise, program ini merupakan perawatan dengan pendekatan pendidikan yang dirancang untuk membantu anak autis, keluarga dan pengasuh mereka. Pendekatan ini juga mengeksploitasi ketertarikan anak dan interaksi orang dewasa dengan apa yang dilakukan anak, dan pendekatan ini juga menyarankan interaksi sosial dan belajar sebagai pemfasilitas terbaik melalui ketertarikan spesifik anak. Adapun prinsip kunci dalam program ini yaitu: 1) secara aktif bergabung dengan tingkah laku berulang atau tak biasa anak dalam usaha memfasilitasi lebih banyak interaksi sosial. 2) fokus pada motivasi anak dan ketertarikannya untuk memfasilitasi pembelajaran dan keterampilan. 3) mendorong permainan interaktif dan menggunakan ini untuk belajar. 4) mempertahankan sikap mengasuh, tanpa menghakimi, dan positif dalam interaksi dan harapan. 5) menyampaikan bahwa orang tua dan pengasuh adalah sumber paling penting dan tanpa akhir bagi anak. 6) menciptakan area bekerja dan bermain yang aman, tanpa gangguan. k. TEACCH, program ini bertujuan untuk membantu anak ASD hidup mandiri sesuai dengan potensi terbaik mereka. Program ini juga menyarankan pengajaran berstruktur, tetapi tidak mendikte dimana orang dengan autisme seharusnya dididik. Program ini juga menyediakan layanan seperti identifikasi, pengembangan kurikulum, setiap individu, pelatihan keterampilan sosial, pelatihan dan konseling orang tua. Sebagai tambahan program ini juga menyediakan layanan konsultasi keberbagai kelompok profesinal. Orang tua dan guru dapat dilatih dengan pendekatan TECCCH. DAFTAR PUSTAKA Desiningrum, D. Ratrie. 2016. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Psikosain. Mangunsong, F. 2009. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid I. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Kampus Baru UI, Depok. Sutjihati, S. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama Wardani, I.G.A.K. 2007. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka.