BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Apabila dilihat dari segi etimologi, wasiat mempunyai beberapa arti yaitu menjadikan, menaruh kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Secara umum, kata wasiat disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 9 (sembilan) kali, dalam bentuk kata kerja disebut sebanyak 14 kali, dalam bentuk kata benda jadian sebanyak 2 kali. Hal yang berhubungan dengan wasiat ini seluruhnya disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 25 kali.
Secara terminologi, para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang disandarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru. Pengertian ini adalah sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Hanafi yang mengemukakan bahwa wasiat itu adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik berupa kebendaan maupun manfaat secara sukarela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadinya kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut. Para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Maliki, Syafi’I dan Hambali memberi definisi wasiat lebih rinci lagi, mereka mengatakan bahwa wasiat itu adalah suatu transaksi yang mengharuskan orang yang menerima wasiat berhak memiliki sepertiga harta peninggalan orang yang menyatakan wasiat setelah ia meninggal dunia. Pengertian ini adalah berbeda dengan pengertian hibah. Hibah berlaku sejak orang memberi hibah kepada orang yang menerima hibah dilaksanakan, dan orang yang menerima hibah itu telah menerima hibah secara baik tanpa menunggu orang yang memberi hibah itu meninggal dunia terlebih dahulu. Sedangkan wasiat belum berlaku kalau orang yang menyatakan wasiat itu belum meninggal dunia. Dengan kata lain, wasiat itu adalah pemberian yang ditangguhkan.
Dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (Pasal 171 huruf f). Ketentuan tentang wasiat ini terdapat dalam Pasal 194 sampai dengan Pasal 209 yang mengatur secara keseluruhan prosedur tentang wasiat.
Rumusan Masalah
Siapa saja pihak yang boleh menerima wasiat?
Siap saja pihak yang tiak boleh menerima wasiat
Bagaimanakan pandangan dalam KHI?
Tujuan
Mengetahui siapa saja yang boleh menrima wasiat
Mengetahui siapa saja yang tidak boleh menerima wasiat
Mengetahui pandang KHI dalam hal tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
Pihak Yang Boleh Menerima Wasiat
Pada dasarnya, ulama fiqh menetapkan syarat bahwa wasiat ditujukan untuk kepentingan umum, seperti lembaga-lembaga keagamaan dan kemasyaratan atau untuk pribadi tertentu. Dalam kaitan ini, para ulama fiqh menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh lembaga atau pribadi penerima wasiat tersebut adalah
Benar-benar ada
Identitasnya jelas/diketahui.
Dalam hal ini, keberadaan penerima wasiat harus jelas, maksudnya penerima wasiat harus sudah ada atau masih hidup secara nyata atau diperkirakan sudah/masih hidup ketika wasiat diikrarkan. Termasuk dalam konteks ini adalah badan hukum, apabila berada dalam posisi sebagai penerima wasiat. Dengan demikian, wasiat kepada orang yang tidak ada, maka hukumnya tidak sah karena wasiat wasiat merupakan aqad kepemilikan. Oleh karena itu, penerima wasiat harus jelas keberadaannya dan jelas pula identitasnya.
Berkenaan dengan hal ini, para ulama sepakat membolehkan wasiat kepada bayi yang masih berada dalam kandungan. Namun, masing-masingnya menetapkan kriteria tersendiri yang harus dipenuhi, sehingga wasiat tersebut dianggap sah. Menurut ulama dari kalangan Hanafiyah, usia bayi dalam kandungan tersebut minimal 6 bulan ketika wasiat tersebut diikrarkan. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa usia minimal 6 bulan tersebut dihitung dari waktu meninggalnya pemberi wasiat.
Wahbah al Zuhailiy, al Fiqh al Islamiy wa Adillatuh, Damaskus : Dar al Fikr, 2002, Juz 10, h. 7464
Sedangkan ulama dari kalangan Malikiyah hanya menekankan penerima wasiat harus sudah ada ketika wasiat dikrarkan atau keberadaannya masih ditunggu, seperti bayi dalam kandungan. Dalam hal ini, terlihat ulama Malikiyah tidak memberikan batasan tertentu, tetapi hanya menyebutkan bahwa kondisi bayi tersebut jelas akan ada/lahir.
Ibid. hlm. 7463
Orang/lembaga yang cakap menerima hak/milik
Senada dengan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh الموصي(orang yang berwasiat) yaitu harus cakap dalam bertindak hukum, maka demikian juga dengan syarat الموصى له (penerima wasiat). Hal ini dapat dipahami, karena keberadaan wasiat bagi الموصى له sangat terkait dengan kemampuan men-tasarruf-kan harta yangtelah diwasiatkan.
Kafir Dzimmy
Para fuqoha kaum muslimin dari kalangan Hanafiah dan Hanabilah serta kebanyakan Syafi'iyah telah sepakat tentang sahnya wasiat dari seorang muslim kepada kafir dzimmy atau dari kafir dzimmy kepada seorang muslim dengan syarat wasiat syar'iyyah. Mereka berhujjah dengan firman Allah:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. (Al-Mumtahanah: 08)
Karena kekufuran tidak menghapuskan hak memiliki sebagaimana boleh pula seorang kafir berjual beli dan hibah, demikian pula wasiatnya.
Sebagian ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa hanya sah kepada sorang dzimmy bila ditentukan orangnya seperti kalau dia mengatakan: "Saya berwasiat untuk si Fulan." Tapi kalau dia mengatakan: "Saya berwasiat untuk Yahudi atau Nashara", maka tidaklah sah karena dia telah menjadikan kekafiran sebagai pembawa wasiat.
Adapun Malikiyah maka mereka menyetujui orang-orang yang menyatakan sahnya wasiat seorang dzimmy kepada orang muslim. Adapun wasiat seorang muslim kepada seorang dzimmy maka Ibnul Qosim dan Asyhab berpendapat boleh apabila dalam rangka silaturahim karena termasuk kerabat kalau bukan maka hukumnya makruh karena tidak akan berwasiat kepada orang kafir dengan membiarkan orang muslim kecuali seorang muslim yang sakit imannya.
Kementrian Wakaf dan urusan Agama Kuwait. Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah. Cetakan Kedua, 1983.hlm 312
Pihak Yang Tidak Boleh Menerima Wasiat
Orang- orang yang tidak boleh menerima wasiat antara lain:
Ahli waris pemberi wasiat
Dalam pelaksanaan wasiat, fuqaha juga memberikan syarat bahwa orang yang menerima wasiat bukanlah salah seorang yang berhak mendapatkan warisan dari orang yang berwasiat, kecuali apabila ahli waris lainnya membolehkan. Hal ini didasarkan pada hadits dari Abu Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda :
عن ابي امامة الباهلى رضى الله عنه قال : سَمِعْتُ رَسُوْل الله صلى الله عليه وسلم يقول : إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (رواه احمد والاربعة الا النسائ وحسنه احمد والترمذي وقواه ابن خزيمة وابن الجارود ورواه الدارقطني من حديث ابن عباس وزاد في اخره الا ان يشاء الورثة واسناده حسن
“Dari Umamah Al Bahili r.a. beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya Allah SWT memberikan hak kepada orang yang mempunyai hak, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris. diriwayatkan oleh Ahmad dan al arba’ah selain an nasa’iy (jadi hanya abu daud, at tirmidzi dan ibnu majah)dan dinilai hasan oleh ahmad dan at tirmidzi, penilaian ini diperkuat oleh ibnu khuzaimah, dan ibnu jarud.juga diriwayatkan oleh ad daruquthni dari ibnu abbas r.a. dan beliau menambahkan pada akhir matannya kalimat: kecuali para ahli waris menghendakinya(menyetujuinya). Dan sanadnya bagus.”
Aḥmad ibn ʻAlī Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī. Bulughul Maram Min Adilatil Ahkam. Surabaya: Darul Ilmi, tt. Hlm. 199
Menurut para ahli fiqh, larangan berwasiat kepada ahli waris yang telah ditentukan bagian kewarisannya ditujukan agar tidak ada kesan bahwa wasiat menunjukkan perbedaan kasih sayang antara sesama ahli waris yang dapat menimbulkan perselisihan keluarga.
Fuqaha’ syiah ja’fariyah menyatakan bahwa wasiat kepada ahli waris yang menerima warisan adalah boleh, kendatipun ahli waris lainnya tidak menyetujuinya. Dasarnya petunjuk umum (dalalah al-‘am) Qs. Al- baqarah: 180.
Pendapat yang membolehkan wasiat kepada ahli waris dengan syarat apabila ahli waris lain menyetujui adalah madzhab syafi’iyah, hanafiyah dan malikiyah. Dasarnya:
ورواه الدارقطني من حديث ا بن عـبا س رضي الله عنهما, وزاد في اخره "ا لآ ان يشا ء الورثة" واسناده حسن
“Daruquthni meriwayatkan dari hadist Ibnu Abbas R.A dengan tambahan di akhir hadist “kecuali Ahli Waris menyetujui” dan sanadnya hasan”
Ibid. Hlm. 199
Penerima Wasiat bukan Kafir Harbi
Syarat di atas merupakan pendapat ulama dari kalangan Malikiyah, sedangkan ulama Hanafiyah menambahkan bahwa penerima wasiat bukanlah kafir harbi yang berada di Dar al Harbi. Menurut ulama Syafi`iyah, penerima wasiat tidak mewasiatkan untuk berdamai dengan ahl al harbiy.
Wahbah Al Zuahailiy Op Cit. hlm 7462
Orang yang membunuh pewasiat
Berkenaan dengan hal ini, ulama dari kalangan Mazhab Hanafi mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pembunuhan dalam pengertian ini adalah pembunuhan secara langsung, baik secara sengaja ataupun tidak. Namun, apabila pembunuhan tersebut terjadi tidak secara langsung, maka hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan wasiat. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi :
"Siapa saja yang ingin segera mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia dihukum dengan tidak akan mendapatkan barang tersebut."
Orang yang fasik
Wasiat tidak ditujukan untuk sesuatu yang merugikan umat Islam atau untuk maksiat seperti berwasiat kepada orang fasik untuk menyebarluaskan kefasikannya atau berwasiat untuk mendirikan tempat yang digunakan untuk melakukan maksiat. Wasiat seperti ini menurut ulama Hanafiyah dianggap batal.
Ibid. hlm 7479
Hukum yang Bisa Diambil
Sesungguhnya Rasulullah saw, setelah melarang wasiat kepada ahli waris, maka beliau batasi larangannya itu dengan sanadnya”kecuali dikehendaki oleh semua ahli warisnya”, mereka selisih pendapat pula jika orang yang sedang sakit menetapkan sesuatu dari hartanya untuk ahli waris(diluar bagiannya sendiri)itu diperbolehkan oleh Al Auza’i dan sekelompok ulama’ secara muthlak, kata Ahmad tidak boleh penetapan orang sakit bagi ahli waris secara muthlak, alasannya karena sesungguhnya setelah larangan wasiat kepada ahli waris itu tidak dijamin Rasulullah saw, sedang kelompok pertama beralasan bahwa tuduhan jelek terhadap orang yang hampir mati itu jauh dari kebenaran, lagi pula berlakunya hukum itu berdasarkan dhohirnya maka tidak boleh ditiggalkan ikrarnya.
Menurut As-Shan’ani, pendapat yang paling baik adalah pendapat yang diriwayatkan oleh sebagian ulama’ Malikiyyah, pendapat itu dipilih oleh Arrauyani dari ulama’ Syafiiyyah, perkaranya terkait dengan adanya tuduhan atau tidak, kalau tidak ada tuduhan maka boleh dan sebaliknnya, hal itu dapat diketahui dari beberapa kaitan situasi dan kondisi dan juga selainnya.
Pihak yang Tidak Boleh Menerima Wasiat dalam KHI
Terlepas dari perbedaan pendapat diatas, para ulama Indonesia telah merumuskan hal tersebut yang tertuang dalam KHI pasal 195 ayat 3, “Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.” Sedangkan pihak-pihak lain yang tidak boleh menerima wasiat, diatur dalam KHI pasal 207, 208, dan 209 berikut,
Pasal 207, “Wasiat tidak dibolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasanya.” Pasal 208, “Wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut.” Pasal 209, (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam pelaksanaan wasiat, fuqaha juga memberikan syarat bahwa orang yang menerima wasiat bukanlah salah seorang yang berhak mendapatkan warisan dari orang yang berwasiat, kecuali apabila ahli waris lainnya membolehkan.
Pihak yang tidak boleh menerima wasiat antara lain
Ahli Waris
Kafir Harbi
Orang yang membunuh pewasiat
Orang yang fasik
Menurut As-Shan’ani, pendapat yang paling baik adalah pendapat yang diriwayatkan oleh sebagian ulama’ Malikiyyah, pendapat itu dipilih oleh Arrauyani dari ulama’ Syafiiyyah, perkaranya terkait dengan adanya tuduhan atau tidak, kalau tidak ada tuduhan maka boleh dan sebaliknnya, hal itu dapat diketahui dari beberapa kaitan situasi dan kondisi dan juga selainnya.
Para ulama Indonesia telah merumuskan hal tersebut yang tertuang dalam KHI pasal 195 ayat 3, “Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. ”Sedangkan pihak-pihak lain yang tidak boleh menerima wasiat, diatur dalam KHI pasal 207, 208,dan 209
DAFTAR PUSTAKA
Wahbah al Zuhailiy, al Fiqh al Islamiy wa Adillatuh, Damaskus : Dar al Fikr, 2002
Kementrian Wakaf dan urusan Agama Kuwait. Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah.
Cetakan Kedua, 1983.
Aḥmad ibn ʻAlī Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī. Bulughul Maram Min Adilatil Ahkam. Surabaya:
Darul Ilmi, tt.
Kompilasi Hukum Islam
9