MUSLIM KAMBOJA DI BAWAH REZIM KOMUNIS KHMER
MERAH 1975-1979
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Disusun oleh :
Dirga Fawakih (1111022000028)
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/ 1436 H
LEMBAR PENYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 06 Juli 2015
Dirga Fawakih
i
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi
berjudul
MUSLIM
KAMBOJA
DI
BAWAH
REZIM
KOMUNIS KHMER MERAH 1975-1979 telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada
6 Juli 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Humaniora (S.Hum) pada program studi Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Jakarta, 06 Juli 2015
Panitia Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Nurhasan, MA
NIP: 196907241997031001
Sholikatus Sa’dyah, M.Pd
NIP: 197504172005012007
Anggota,
Penguji I
Penguji II
Dr. Sudarnoto Abd. Hakim, MA
NIP: 195902031989031003
Dra. Hj. Tati Hartimah, MA
NIP: 1955073119890322001
Pembimbing
Nurhasan, MA
NIP: 196907241997031001
iii
ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan menganalisa mengenai apa motif diskriminasi dan
bagaimana kebijakan rezim Khmer Merah terhadap etnis dan agama minoritas di
Kamboja, di mana etnis Cham-Melayu yang notabennya beragama Islam
termasuk di dalamnya. Selain itu skripsi ini juga ingin melanjutkan tulisan P.B
Lafont yang dalam artikelnya belum menjawab mengenai apa motif diskriminasi
yang dilakukan Khmer Merah terhadap umat Islam di Kamboja. Penelitian ini
bersifat analytical history, maka dari itu penulis menggunakan metode penelitian
yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya, yakni, heuristik,
verifikasi, interpretasi,dan historiografi. Dalam penelitian ini penulis mendapatkan
temuan-temuan baru terkait motif yang melatarbelakangi diskriminasi Khmer
Merah terhadap umat Islam di Kamboja. Selain itu penulis juga menemukan
fakta-fakta terkait kebijakan rezim Khmer Merah terhadap etnis dan agama
minoritas di Kamboja. Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat
melengkapi penelitian-penelitian terdahulu yang belum sempat menjawab
permasalahan yang menjadi fokus kajian skripsi ini.
Skripsi ini juga ingin menguji teori gerakan sosial Rafael Raga Maran,
yang mengatakan bahwa, “masalah sosial dan masalah ekonomi adalah yang
menyebabkan munculnya gerakan sosial menentang pemerintahan”. Berangkat
dari kerangka teori tersebut, penulis berusaha merumuskan permasalahan skripsi
ini dengan menggunakan pendekatan politik dan sosial. Dari hasil analisa
menggunakan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah
Khmer Merah terhadap umat Islam Kamboja yang cenderung menyudutkan
berimplikasi pada pemberontakan-pemberontakan umat Islam di beberapa wilayah
yang menjadi konsentrasi umat Islam. Namun pemberontakan tersebut akhirnya
dapat dipadamkan, dan rentetan kisah pilu umat Islam berupa penindasan,
pembantaian, dan pembakaran rumah ibadah terus berlangsung di bawah rezim
Khmer Merah.
Kata Kunci: Kebijakan, Khmer Merah, Muslim Kamboja
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat
dan hidayahNya bagi para hambaNya yang selalu memuja. Shalawat serta salam
semoga selalu terlimpah kepada junjungan nabi Muhammad saw beserta keluarga,
sahabat, dan para pengikunya. Rasa syukur disertai dengan usaha yang sungguhsungguh serta tekad yang kuat akhirnya penulis berhasil menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Muslim Kamboja di Bawah Rezim Komunis Khmer Merah 19751979”. Meskipun penulis sadar betul akan banyaknya kekurangan dalam karya
ini. Penulis berkeyakinan karya ini dapat bersumbangsih bagi siapa saja yang
ingin bergelut pada dunia penelitian, khususnya bagi mereka yang memfokuskan
kajian pada Islam di Kamboja.
Layaknya peristiwa sejarah yang penyebabnya tidak tunggal, begitupun
halnya dengan perjuangan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak bisa
dinafikan bahwa penulis bukan satu-satunya aktor sentral, namun di balik usaha
dan kerja keras penulis terdapat orang-orang yang rela meluangkan waktu untuk
membantu. Maka dengan niatan suci yang terpatri kuat dalam sanubari, penulis
sampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A. selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora.
3. Nurhasan, MA. selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam serta
dosen pembimbing yang dengan sangat teliti dan sabar memberikan arahan
dan masukan positif bagi penulis.
ii
4. Solikhatus Sa’diyah, M.Pd. selaku sekretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan
Islam yang telah dengan sabar mengurusi semua administrasi yang penulis
butuhkan.
5. Dr. Saidun Derani, M.A. selaku dosen penasihat akademik yang terus
memberikan arahan, masukan, dan meyakinkan penulis dalam menggeluti
pengkajian Islam di Kamboja.
6. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, M.A. selaku dosen penasihat akademik. Terima
kasih atas pengorbanan tanpa pamrih dan nilai kejujuran yang telah
ditanamkan.
7. H. Budi Santoso dan Rumiyati selaku orang tua penulis. Terima kasih atas
motivasi, cinta, dan pengorbanan tanpa pamrih yang telah diberikan.
8. Kakak dan adik-adiku tercinta, Prawira Yudha Santoso, Ditto Santoso,
Pringga Tritanoko, Ukhtia Khuluqi Adzima, dan Siti Rohadatul Aisy. Terima
kasih telah menjadikan rumah sebagai tempat berdiskusi dan mengadu hati.
9. Kawan-kawan Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam angkatan 2011. Terima
kasih atas diskusi-diskusi yang menarik dan mencerdaskan selama
perkuliahan. Semoga kelak kita dipertemukan dalam keadaan sukses.
10. Yanti Susilawati, Siti Rahmawati, dan Amanah penulis hanturkan terima kasih
yang mendalam telah menjadi teman berjuang dalam perburuan sumber.
11. Ikatan Remaja Lingkungan RW 05 (IKRA 05) penulis hanturkan terima kasih
atas waktu dan keluangan yang diberikan kepada penulis untuk memfokuskan
diri dalam menyusun skripsi.
12. Dita Aulia Afifah, sahabat yang tidak henti memberikan motivasi demi
tercapainya cita-cita nan hakiki.
iii
13. Dan yang tersepesial untuk almarhum Abdul Ajid bin Manat, sahabat sejati
yang selalu menginspirasi. Terima kasih atas optimisme yang engkau patrikan
dalam hati. Cita dan harapanmu akan selalu hidup dalam sanubari. Semoga
engkau ditempatkan di sisi sang Ilahi. Untukmulah skripsi ini aku
persembahkan.
Jakarta, 06 Juli 2015
Dirga Fawakih
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK.................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................ v
DAFTAR ISTILAH.................................................................................... vii
DAFTAR SINGKATAN............................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah......................................................................... 11
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................................. 11
D. Tujuan Penelitian............................................................................. 12
E. Manfaat Penelitian........................................................................... 12
F. Tinjauan Pustaka............................................................................. 13
G. Kerangka Teori................................................................................ 17
H. Metode Penelitian............................................................................ 20
I. Sistematika Penulisan...................................................................... 23
BAB II MUSLIM KAMBOJA SEBELUM REZIM KHMER MERAH
BERKUASA
A. Geografi dan Struktur Masyarakat Kamboja.................................... 25
B. Mengenal Muslim Kamboja............................................................. 27
C. Kondisi Muslim Kamboja Tahun 1953-1970.................................. 36
v
BAB III MUSLIM KAMBOJA DI BAWAH REZIM KHMER MERAH
1975-1979
A. Sejarah dan Kiprah Khmer Merah dalam Kancah Perpolitikan
Kamboja........................................................................................... 46
B. Kebijakan Politik Rezim Khmer Merah terhadap Agama dan
Etnis Minoritas................................................................................. 56
C. Motif Penindasan Khmer Merah terhadap Umat Islam Kamboja ... 63
D. Respons Muslim Kamboja terhadap Kebijakan Politik Khmer
Merah.............................................................................................. 73
BAB IV MUSLIM KAMBOJA PASCA KEJATUHAN REZIM KHMER
MERAH
A. Faktor Kejatuhan Rezim Khmer Merah.........................................
79
B. Muslim Kamboja di Bawah Rezim People Republic of
Kampuchea....................................................................................
85
C. Kebangkitan Islam di Kamboja.....................................................
90
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................
97
B. Saran..............................................................................................
100
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 102
LAMPIRAN.............................................................................................
vi
107
DAFTAR ISTILAH
Angkar
Pasukan revolusioner Khmer Merah
Bilal
Pengumandang Adzan
Cham
Etnis
yang
berasal
dari
pesisir
Vietnam
Cham-Chvea
Asimilasi etnis Cham dan Melayu
Cham Jahed/ Cham Bani
Cham Muslim berfaham Animisme
Indocina
Wilayah yang meliputi Kamboja,
Laos, Vietnam
Imom
Imam/ pengurus masjid
Jva Iyava
Orang Melayu dari Jawa
Jva Krapi
Orang Melayu dari Sumatera
Jva Melayu
Orang
Melayu
dari
Malaysia,
Singapura, dan Thailand Selatan
Katan
Khitan, Sunat
Keitap
Kitab pelajaran agama Islam (Fiqih)
Khatib
Pembaca doa di masjid
Khmer Islam
Sebutan orang Muslim Kamboja
Khmer Issarak
Organisasi
komunis
pertama
di
Kamboja
Khmer Merah
Organisasi komunis radikal
Mophati
Mufti, pemimpin tertinggi umat Islam
Kamboja.
Rumah Tuon
Institusi pendidikan Islam tradisional
vii
Ramvon
Bulan Ramadhan, bulan puasa
Sihanoukisme
Paham
sosialisme
Budha
yang
digaungkan oleh Norodom Sihanouk
Tuh Khalik
Wakil mufti
viii
DAFTAR SINGKATAN
AKIY
Association of Khmer Islamic Youth
ASEAN
Association of Southeast Asian Nations
CIS
Central Islamic Association
CPF
Communist Party of France
CPK
Communist Party of Kampuchea
CMDF
Cambodian Muslim Development
Foundation
DK
Demokratic Kampuchea
FULRO
Front Univie de Lutte des Race Oprimess
FUNK
Front Uni National du Kampuchea
GRUNK
Gouvernment of National Union of
Kampuchea
ICP
Indocina Communist Party
KNUFNS
Kampuchean National United Front for
National Salvation
KPRP
Khmer People Revolutioner Party
NGO
Non Goverment Organization
NLAF
National Liberation Armed Forces
PRK
People
i
Republic
of
Kampuchehea
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setelah Kamboja merdeka dari protektorat Prancis pada tahun 19531 umat
Islam Kamboja yang didominasi oleh etnis Cham dan Melayu telah menjadi
bagian dari warganegara Kamboja. Meski mereka sadar bahwa identitas agama
dan etnis mereka berbeda dengan etnis yang mendominasi Kamboja yakni etnis
Khmer yang notabenenya beragama Budha. Namun status mereka tetap
disamakan dengan masyarakat pribumi Kamboja.2 Perlahan mereka dapat berbaur
dengan masyarakat Khmer yang dominan, meskipun identitas agama dan budaya
mereka tetap dipertahankan dengan baik. Sejauh ini hubungan antara agama Islam
dan Budha digambarkan dalam kondisi yang harmonis. Sejauh penulis membaca
berbagai literatur terkait Islam di Kamboja, belum pernah disinggung mengenai
masalah konflik yang terjadi, baik horizontal maupun vertikal.
Pada masa awal kemerdekaan, ketika kancah perpolitikan Kamboja
dipimpin oleh raja Norodom Sihanouk (1953-1970), hubungan umat Islam dengan
pemerintah berjalan dengan baik. Bahkan tak jarang raja Norodom Sihanouk
menggelar dialog dengan orang-orang Islam di kerajaan.3 Pada masa Sihanouk
diterapkan politik asimilasi dan diperkenalkan
1
istilah Khmer untuk etnis
Kamboja telah menjadi protektorat Prancis sejak tahun 1864. Semenjak kehadiran
Prancis sebenarnya suasana politik Kamboja lebih stabil dibanding masa sebelumnya. Tahun 1941
Prancis mengangkat pangeran Norodom Sihanouk menjadi raja Kamboja. Sihanouk inilah yang
kelak membawa Kamboja ke pintu kemerdekaan pada tahun 1953. Lihat: Ensiklopedi Nasonal
Indonesia Jilid 8, (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), hlm. 94.
2
P. B Lafont, Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cham dari Abad XVI s.d Abad XX,
dalam Kerajaan Champa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 75.
3
Anthony Cabaton, Orang Cam Islam di Indo-China Prancis, dalam Kerajaan Champa,
Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 242-243.
1
2
minoritas. Menurut Yekti Maunati, tujuannya adalah untuk mewujudkan konsep
nasionalisme dan komposisi ideal bangsa Kamboja.4
Walaupun pada masa
kemudian julukan ini dipertanyakan oleh beberapa ahli karena tujuan dari politik
asimilasi
tersebut
yang dianggap sebagai
langkah
mengeliminasi
atau
menyembunyikan etnis minoritas. Jadi dalam penyebutan etnis minoritas di
Kamboja terdapat tiga pembagian sebutan, yakni Khmer Loeu untuk menyebutkan
orang Kamboja yang tinggal di dataran tinggi timur laut, Khmer Krom untuk
orang yang tinggal di delta Mekong, dan Khmer Islam untuk orang Cham dan
Melayu. Maka dari itu hingga kini Muslim Kamboja yang notabenenya berasal
dari etnis Cham dan Melayu lebih dikenal dengan sebutan Khmer Islam atau
Khmer Muslim. Namun sangat disayangkan, keberadaan Muslim Melayu jarang
disebut dalam berbagai literatur. Keberadaan mereka nampaknya disamakan
dengan etnis Cham yang memang jumlahnya lebih mendominasi.
Sejak masa kemerdekaan kondisi politik Kamboja memang selalu
mengalami guncangan. Kancah politik Kamboja selalu diwarnai dengan perebutan
pengaruh kaum komunis dan kaum liberalis yang dipelopori oleh Lon Nol.
Sihanouk belakangan memiliki kecenderungan dengan kaum komunis. Ia
memberikan izin pendirian basis militer Partai Komunis Indocina (Indocina
Communist Party – ICP) di Kamboja. Hal ini sontak menimbulkan silang
pendapat di kalangan elit pemerintahan. Lon Nol yang kala itu menjabat sebagai
perdana menteri tidak menyetujui hal tersebut, karena sangat beresiko bagi
keselamatan masyarakat sipil. Mengingat Amerika Serikat sedang gencar
membombardir semua wilayah yang menjadi basis kaum komunis di Indocina
4
Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social
Integration and Transnational the Case of Cambodia, (Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 164.
3
(Kamboja, Laos, dan Vietnam). Ditambah lagi dengan sikap para militer ICP yang
di dalamnya juga terdapat kader Khmer Merah berlaku semena-mena di dalam
wilayah Kamboja yang juga menuai perotes dari kalangan masyarakat sipil. Selain
itu penolakan Lon Nol juga bermotifkan penyelamatan Kamboja dari pengaruh
komunis yang dipelopori oleh ICP dan Khmer Merah, melihat ICP yang kala itu
sedang gencar menyebarluaskan pengaruhnya di Indocina. Lon Nol tidak
menginginkan bila ICP menanamkan pengaruhnya di Kamboja. Maka dari itu Lon
Nol berusaha menolak kebijakan Sihanouk yang memberikan izin mendirikan
basis militer ICP di Kamboja. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa usahanya
juga mendapatkan dorongan dari Amerika Serikat.
Berbagai permasalahan yang terjadi di dalam pemerintahan membuat
Sihanouk dan Lon Nol terpecah. Akhirnya pada tahun 1970 ketika sedang pergi
ke Prancis untuk berobat, dengan leluasa akhirnya militer yang diplopori oleh Lon
Nol mengambil alih kepemimpinan Kamboja dengan mengkudeta raja Sihanouk
melalui sidang Dewan Perhimpunan.5
Pada masa Lon-Nol sistem kenegaraan yang tadinya menganut sistem
monarki, akhirnya digantikan dengan sistem republik.6 Hubungan antara umat
Islam dengan pemerintah terjalin dengan baik pada masa ini. Memang sebenarnya
sejak masa Sihanouk umat Islam tidak pernah mengalami konflik dengan
pemerintah. Lon Nol memberikan kebebasan bagi orang-orang Islam untuk
berpartisipasi di kancah perpolitikan. Di bawah Les Kosem, salah seorang jendral
Muslim, dua organisasi Islam berhasil didirikan, yakni, The Central Islamic
5
M.C Ricklef, Sejarah Asia Tenggara dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2013), hlm. 584.
6
Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia, hlm.
165.
4
Association of The Khmer Republic - CIS, dan The Association of Khmer Islamic
Youth - AKIY.7 Pada masa Lon Nol umat Islam sangat dekat dengan pemerintah,
sehingga banyak orang Islam yang diberikan posisi penting dalam pemerintahan.
Namun tak lama memerintah, Lon-Nol dianggap korup oleh berbagai
kalangan, sehingga memunculkan citra negatif di kalangan masyarakat Kamboja.
Di samping itu Lon Nol juga sangat ketergantungan terhadap Amerika Serikat
baik dalam masalah politik maupun ekonomi, sehingga Lon Nol dituding telah
gagal
membawa
Kamboja
menjadi
negara
yang
mandiri
karena
ketergantungannya tersebut. Sementara itu Sihanouk dengan didukung oleh
pemerintahan komunis Beijing menjalin kerjasama dengan Communist Party of
Kampuchea (CPK) yang dipimpin oleh Saloth Sar atau Pol-Pot untuk mengkudeta
rezim Lon-Nol. Meskipun menurut dunia Internasional CPK di bawah Pol Pot
dianggap sebagai pemberontak, namun mereka mendapat dukungan yang cukup
banyak dari masyarakat Kamboja. Ditambah lagi hampir 60 persen wilayah
Kamboja pada tahun 1975 telah dikuasai oleh CPK. Hal ini membuat
pemerintahan Lon Nol semakin terdesak dan mulai merumuskan penyerahan
tanpa syarat.
Akhirnya pada 17 April 1975, Phnom Penh, ibukota Kamboja berhasil
dikuasai oleh pasukan revolusioner.8 Sejak saat itulah Kamboja dikuasai oleh
rezim yang menyebut dirinya Khmer Merah atau Khmer Rouge. Julukan Khmer
7
Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin
Printing Press, 1974), hlm. 49-51.
8
Mengenai naiknya rezim Komunis Khmer Merah pada tampuk kekuasaan Kamboja
lihat:“Phnom Penh Fallas Into Khmer Rouge Hands.” Warta Berita Antara, 17 April 1975.
Istilah Revolusioner merujuk pada Communist Party of Kampuchea. Hal ini dikarenakan
tujuannya yang ingin melakukan perubahan secara fundamental terhadap Kamboja dalam segala
aspek. Secara definisi gerakan revolusioner merupakan gerakan yang bermaksud mengubah
masyarakat dengan menentang nilai-nilai yang fundamental. Lihat: Rafael Raga Maran, Pengantar
Sosiologi Poitik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm. 71.
5
Merah diberikan oleh Sihanouk ketika orang-orang komunis memberontak pada
tahun 1960. Khmer Merah merupakan kelompok ideologi komunis garis keras.
Kelompok ini diisi oleh penganut paham komunis yang pernah menuntut ilmu di
Prancis dan pernah tergabung dalam Partai Komunis Prancis (Communist Party of
France – CPF) di Prancis. Pol-Pot dijuluki sebagai Brother One atau kakak
pertama dalam organisasi ini. Selanjutnya diikuti oleh rekan-rekannya seperti
Ieng Sary, Hou Youn, Khieu Samphan, dan Noun Chea. Mereka adalah
mahasiswa Kamboja yang pernah menuntut ilmu di Prancis dan membentuk
organisasi yang mencetuskan ide-ide komunis radikal. Mereka pulalah yang
menjadi pelopor kudeta terhadap pemerintah Lon-Nol pada tahun 1975.
Keberadaan para penganut ideologi komunis sebenarnya telah ada sejak
masa protektorat Prancis. Namun pergerakan mereka baru sebatas penyebaran
pamflet dan perekrutan anggota dalam tingkat distrik. Keberadaan mereka
berkembang seiring tumbuhnya rasa nasionalisme masyarakat Kamboja. Gerakan
perlawanan para penganut ideologi komunis dikokohkan dengan didirikannya
Barisan Pembebasan Khmer (Nekhum Isarak Khmer) pada April tahun 1950 di
provinsi Kompot.9 Organisasi ini diketuai oleh Song Ngoch Minh, salah seorang
pendeta Budha yang keluar dari wiharanya. Sebenarnya didirikannya Barisan
Pembebasan Khmer merupakan inspirasi dari Partai Komunis Indocina (Indocina
Communist Party – ICP) di bawah Vietnam. Tujuan didirikannya
Nekhum
Issarak Khmer sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ICP, mereka sama-sama
9
Ibid., hlm. 5.
6
berkeinginan menentang hegemoni kolonial Prancis di Indocina (Kamboja, Laos,
dan Vietnam).10
Pada tahun 1951 Nekhum Issarak Khmer mempelopori berdirinya sebuah
partai komunis pertama di Kamboja yakni, Partai Revolusioner Rakyat Khmer
(Khmer People’s Revolutionary Party – KPRP). Song Ngoch Minh masih
memainkan peran yang sangat sentral dalam organisasi ini.11 Pada tahun 19511959 banyak kader KPRP yang mati terbunuh oleh rezim Sihanouk. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya kekosongan di beberapa cabang KPRP. Saat itulah Pol
Pot bersama kawan-kawannya, Khieu Samphan, Hou Youn, Hun Nim, dan Ieng
Sary mengisi kekosongan tersebut dan memainkan peran sentral di dalam tubuh
KPRP.
Pada kongres tertutup tahun 1960 di Phnom Penh, KPRP berganti nama
menjadi Partai Pekerja Kamboja (Worker Party of Kampuchea – WPK). Tou
Samout menjadi Sekretaris Jenderal Komite Pusat, Noun Chea menjabat sebagai
Wakil Sekretaris, dan Pol Pot menjadi Wakil Sekretaris Dua. Tak lama berselang
dari kongres tersebut, Tao Samouth tewas terbunuh oleh polisi Sihanouk. Kala itu
Sihanouk memang sedang gencar melakukan perburuan pada kader komunis yang
memberontak. Selepas kematian Tou Samouth, kemudian posisinya digantikan
oleh Pol Pot yang ditetapkan melalui kongres partai yang dilaksanakan pada 21
Februari 1963 di Pnom Penh. Kemudian pada tahun 1966 WPK berganti nama
menjadi Partai Komunis Kamboja (Communist Party of Kampuchea – CPK).12
10
Michael Vickery, Cambodia 1975-1982, (Boston MA: South End Press, 1984), hlm.
11
Ibid.,
Ibid., hlm. 9.
197.
12
7
CPK didirikan dengan dasar ideologi Communist-Leninis.13
CPK ini yang
kemudian lebih dikenal dengan Khmer Merah atau rezim Demokratic
Kampuchea.
Tahun naiknya Khmer Merah disebut sebagai tahun nol atau zero year.
Dikatakan sebagai
zero
year
karena Pol-Pot
ingin
menjadikan
masa
pemerintahannya sebagai titik awal perubahan. Sehingga segala sesuatunya
dianggap bermulai dari nol. Di bawah kepemimpinan Saloth Sar atau yang lebih
dikenal dengan Pol-Pot, Khmer Merah berusaha menjadikan Kamboja sebagai
negara berfaham komunis yang fokus pada modernisasi bidang pertanian.14
Seluruh warga dikonsentrasikan di pedesaan untuk bekerja di sawah, ladang, dan
peternakan. Seluruh warga dihimbau untuk menggunakan pakaian hitam sebagai
simbol kesetaraan sosial.
Awalnya rezim ini disambut baik oleh masyarakat, karena programprogramnya yang dianggap pro rakyat. Namun sambutan baik itu dengan cepat
berubah menjadi petaka dan sejarah kelam bagi masyarakat Kamboja terutama
kaum minoritas di dalamnya. Harapan indah masyarakat Kamboja kini berubah
menjadi neraka Kamboja. Pemerintah Khmer Merah menerapkan kebijakan
menaikkan target penghasilan pertanian 3 ton beras dalam 1 hektar yang dirasa
sangat memberatkan.15 Hal tersebut sulit terealisasikan mengingat alat pertanian
yang digunakan masih sangat sederhana. Dalam hal ini rakyat menjadi pihak yang
sangat menderita, karena pemerintah Khmer Merah lebih mengutamakan ekspor
dan memasok kebutuhan militer. Sedangkan rakyat harus rela kelaparan karena
13
Ibid., hlm. 199.
Ibid., hlm. 66.
15
David P. Chandler dkk., Pol Pot Plans The Future: Confidental Leadership Document
from Demokratic Kampuchea 1976-1977, (New Haven: Yale University of Southeast Asian
Studies, 1988), hlm 37.
14
8
kebutuhan pangannya tidak terpenuhi. Akhirnya banyak rakyat Kamboja yang
harus mati karena kelaparan dan menderita penyakit.
Di samping itu, untuk memuluskan cita-citanya pemerintah Khmer Merah
kerap kali menggunakan kekerasan dan paksaan. Hanya terdapat dua pilihan pada
masa Pol Pot, yakni mengikuti Pol-Pot atau menjadi musuh Pol Pot.16 Berbagai
kekejaman dan diskriminasi tak jarang dialamatkan kepada kaum minoritas
termasuk umat Islam di dalamnya.
Dapat dikatakan bahwa masa Khmer Merah berkuasa di Kamboja pada
tahun 1975-1979 merupakan sejarah kelam bagi umat Islam di Kamboja. Pada
masa pemerintah Khmer Merah umat Islam mengalami intimidasi, pembantaian,
dan diskriminasi. Para tokoh agama Islam banyak yang menjadi target
pembunuhan dan
pembantaian, di antaranya adalah para pemimpin tertinggi
Muslim Kamboja seperti, Mufti Hadji Abdullah bin Idres (Res Las), Hadji
Suleimane Sukri, dan Hadji Sulaimane Fekri.17
Masjid-masjid dan lembaga pendidikan Islam dihancurkan dan dibakar.
Pada tahun 1976 tak kurang dari 20-30 orang dibantai di kamp konsentrasi.18
Umat Islam dipaksa untuk meninggalkan agamanya, dan meninggalkan teradisi
keislamannya. Bahkan tak sampai di situ, umat Islam Kamboja juga dipaksa untuk
memakan daging babi dan meminum arak, serta menikah dengan berlainan
agama. Banyak dari umat Islam yang disiksa di kamp-kamp konsentrasi di Tuol
16
Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hlm. 227.
17
Seddik Taouti, Forgotten Muslim Kampuchea and Vietnam, dalam Ahmad Ibrahim
dkk, Readings on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1985),
hlm. 194.
18
Ysa Osman, OUKOUBAH Justice for The Cham Muslims Under the Democratic
Kampuchea Regime, (Phnom Penh:Documentation Center of Cambodia, 2002), hlm. 96-106.
9
Sleng (Penjara S21).19 Sebelum Khmer Merah berkuasa diperkirakan jumlah
Muslim di Kamboja mencapai 700.000 jiwa. 20 Namun pada masa Pol-pot sekitar
70 persen dari total penduduk Muslim Kamboja mati terbunuh, dalam kamp
konsentrasi maupun saat bekerja.21 Seluruh Masjid yang kurang lebih berjumlah
113 di hancurkan dan dialihfungsikan.22
Berdasarkan fakta yang didapat, analisa penulis terkait motif diskriminasi
yang dilakukan pemerintah Khmer Merah terhadap Muslim Kamboja disebabkan
karena tiga hal. Pertama, Khmer Merah melakukan perburuan terhadap elit
Muslim dikarenakan kedekatan mereka dengan rezim Lon Nol. Khmer Merah
khawatir apabila dibiarkan mereka akan menjadi oposisi yang mengancam
pemerintahan Khmer Merah. Kedua, kebijakan dalam Five Point Plans 1975 yang
menyudutkan dan mengebiri umat Islam untuk melakukan praktik keagamaannya.
Kebijakan tersebut di antaranya, pelarangan penggunaan hijab, perintah untuk
memusnahkan al-Qur’an, paksaan memakan daging babi, larangan shalat,
penutupan masjid, dan pemaksaan untuk menikah dengan berlainan agama.23
19
Ibid., hlm. 108.
International Center for Ethnic Study, Minorities in Cambodia, (United Kingdom:
Manchester Free Press, 1995), hlm. 10.
Seddik Taouti berbeda pendapat, ia mengatakan bahwa jumlah umat Islam sebelum
tahun 1975 berkisar 800.000 orang, lihat: Seddik Taouti, Forgotten Muslim Kampuchea and
Vietnam, dalam Ahmad Ibrahim, Readings on Islam ini Southeast Asia, (Singapore: Institute of
Southeast Asia Studies, 1985), hlm.194.
Michael Vieckery mengemukakan pendapat lain, ia menyatakan bahwa jumlah umat
Islam sebelum tahun 1975 diperkirakan hanya berkisar 185.000 jiwa saja yang semuanya tersebar
di seluruh distrik. Michael Vickery, Kampuchea Politic Economics and Society, (London: Frances
Pinter Publisher, 1986), hlm.1.
21
Seddik Taouti, Forgotten Muslim Kampuchea and Vietnam, dalam Ahmad Ibrahim
dkk, Readings on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1985),
hlm.194.
22
Ibid.,
23
Ysa Osman, The Cham Rebellion Survivors Stories From The Village, (Phnom Penh:
Document Center of Cambodia, 2006), hlm. 55.
20
10
Hal ini berbuah respons berupa pemberontakan di beberapa distrik di
Kampong Cham. Berawal dari bentrok antara Khmer Merah dan umat Islam
tersebut membuat umat Islam masuk ke dalam daftar musuh dalam negeri
(internal enemy) Khmer Merah. Hal tersebut berlanjut sampai ditetapkannya
Demokratic Kampuchea Constitution pada tahun 1976 yang melarang keberadaan
agama reaksioner. Agama reaksioner dalam hal ini adalah agama-agama yang
memiliki kecenderungan untuk memberontak, termasuk umat Islam di dalamnya.
Karena pada masa sebelumnya umat Islam sempat melakukan pemberontakanpemberontakan terhadap rezim Khmer Merah. Maka dari itu agama Islam
dimasukkan ke dalam agama reaksioner. Faktor yang ketiga adalah karena
perbedaan etnis. Dalam hal kebudayaan, Khmer Merah ingin melakukan
Khmerisasi dengan mencoba mengeliminasi etnis minor seperti etnis Cham dan
Melayu yang notebenenya beragama Islam.
Maka dari itu perlu kiranya ditelisik lebih dalam mengenai apa motif yang
melatarbelakangi penindasan rezim Khmer Merah terhadap umat Islam, dan
bagaimana kebijakan Khmer Merah terhadap Muslim Kamboja. Penelitian ini
juga sekaligus ingin melanjutkan tulisan P.B Lafont dalam buku Kerajaan
Champa yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dalam artikelnya yang berjudul
Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cham dari Abad XVI s.d Abad XX,24 P.B
Lafont menjelaskan perjalanan sejarah etnis Cham dari abad XVI sampai abad XX
dengan menjadikan Vietnam dan Kamboja sebagai fokus kajiannya. Lafont sedikit
menyinggung mengenai kekerasan, penindasan, dan intimidasi yang dilakukan
oleh rezim Khmer Merah terhadap Cham Muslim di Kamboja. Namun ia belum
24
P. B Lafont, Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cham dari Abad XVI s.d Abad XX,
dalam Kerajaan Champa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 71-80.
11
menjawab pertanyaan yang dia ajukannya sendiri. Maka dari itu bersamaan
dengan pertanyaan yang belum dijawab oleh Lafont tersebut, dalam skripsi ini
penulis ingin menjawab pertanyaan yang diajukan Lafont dalam artikelnya.
B. Identifikasi Masalah
Sejak masa awal kedatangannya sampai dengan berkuasanya rezim LonNol (1970-1975), Muslim Kamboja memiliki rekam jejak hubungan yang baik
dengan pemerintah maupun etnis Khmer yang menjadi pribumi Kamboja. Namun
pada 1975-1979 ketika Khmer Merah salah satu partai politik berideologi
komunis radikal di bawah Pol Pot menguasai kancah perpolitikan Kamboja, umat
Islam Kamboja memasuki era kegelapan. Terdapat beberapa permasalahan yang
penulis berhasil identifikasi dan berpotensi untuk dijadikan kajian terkait kondisi
Muslim Kamboja di bawah rezim Khmer Merah, di antaranya:
1. Etnis dan agama minoritas menjadi sasaran diskriminasi dari kebijakan rezim
Khmer Merah, di mana umat Islam termasuk di dalamnya
2. Negara-negara Islam baik di Timur Tengah maupun Asia Tenggara tidak
menunjukkan simpatinya ketika umat Islam Kamboja mengalami diskriminasi
oleh rezim Khmer Merah
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari dua permasalahan yang berhasil penulis identifikasi, akhirnya penulis
membatasi permasalahan dalam skripsi ini pada permasalahan seputar kebijakan
Khmer Merah terhadap etnis dan agama minoritas di Kamboja, di mana umat
Islam termasuk di dalamnya. Penulis juga akan menelusuri lebih jauh mengenai
dampak dari kebijakan yang diterapkan oleh rezim Khmer Merah terhadap etnis
12
dan agama minoritas di Kamboja. Batas tahun yang digunakan ialah tahun 19751979 ketika rezim komunis Khmer Merah berkuasa penuh atas Kamboja. Ruang
lingkup yang penulis gunakan ialah negara Kamboja secara keseluruhan, terutama
wilayah yang terdapat komunitas Muslim di dalamnya. Berdasarkan pemaparan
permasalahan tersebut, maka rumusan pertanyaan dalam penelitian ini di
antaranya:
1. Apa motif yang melatarbelakangi penindasan dan diskriminasi yang dilakukan
rezim Khmer Merah terhadap umat Islam Kamboja?
2. Bagaimana kebijakan politik rezim Khmer Merah dan dampaknya terhadap
etnis dan agama minoritas di Kamboja?
3. Bagaimana respons umat Islam terhadap kebijakan rezim Khmer Merah?
4. Bagaimana kondisi Muslim Kamboja pasca jatuhnya rezim Khmer Merah
pada tahun 1979?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menjelaskan motif penindasan dan dikriminasi yang dilakukan rezim Khmer
Merah terhadap umat Islam Kamboja.
2. Menjelaskan kebijakan politik rezim Khmer Merah dan dampaknya terhadap
Muslim Kamboja.
3. Menjelaskan bagaimana respons umat Islam terhadap kebijakan rezim Khmer
Merah.
4. Menjelaskan kondisi Muslim Kamboja pasca rezim Khmer Merah jatuh pada
tahun 1979.
13
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan gambaran mengenai kondisi Muslim Kamboja sebelum, saat, dan
setelah rezim Khmer Merah berkuasa di Kamboja tahun 1975-1979.
2. Menambah khazanah penelitian dan pengkajian Islam di Kamboja setelah
sebelumnya pembahasan ini tidak banyak atau bahkan belum sama sekali
menjadi sorotan, terutama oleh mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan
Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Padahal estimasi jumlah penduduk Muslim Kamboja tidak dapat dikatakan
kecil dan peranannya cukup signifikan dalam berbagai aspek di Kamboja.
Maka dari itu perlu kiranya membangkitkan gairah pengkajian Islam di
Kamboja lebih jauh, khususnya untuk mahasiswa Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam konsentrasi Asia Tenggara.
3. Menjawab permasalahan sejarah yang belum terungkap secara mendetail
dengan menggunakan metode sejarah yang ilmiah. Untuk itu keberlangsungan
penelitian ini juga bermaksud untuk melengkapi beberapa karya pengkajian
Islam di Kamboja. Seperti dalam tulisan P. B. Lafont dan Yekti Maunati yang
belum menjawab lebih mendetail mengenai kebijakan Khmer Merah dan
dampaknya terhadap Muslim Kamboja. Agar kelak penelitian ini dapat
memberikan sumbangan yang berarti terhadap pengkajian Islam di Asia
Tenggara. Khususnya bagi mereka yang menaruh perhatian terhadap
perkembangan Islam di Kamboja.
14
F. Tinjauan Pustaka
Penulis mencari beberapa literatur terkait kondisi Muslim Kamboja
khususnya saat kancah perpolitikan Kamboja dikuasai oleh Khmer Merah, namun
tidak banyak sumber terutama yang berbahasa Indonesia yang menggambarkan
hal terkait. Walaupun memang ada, literatur tersebut tidak banyak memberikan
informasi mengenai kondisi Muslim Kamboja saat Kamboja dikuasai oleh rezim
Khmer Merah (1975-1979). Sedangkan dalam skripsi-skripsi yang telah ada baik
di Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora maupun Perpustakaan Utama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta belum ditemukan satupun judul yang membahas
mengenai kondisi Muslim di Kamboja, baik pada masa Khmer Merah (19751979)
maupun sebelum dan sesudahnya. Maka dari itu penelitian ini ingin
menyajikan hasil penelitian yang original yang sebelumnya tidak pernah menjadi
pembahasan pokok dalam berbagai literatur
maupun skripsi yang telah ada.
Terutama di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Berikut beberapa literatur yang dijadikan tinjauan pustaka:
1. Pemerintahan Khmer Merah di Kamboja dan Kejatuhannya 1975-197925,
karya Diana Yulianti dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Skripsi
ini membahas mengenai perjalanan politik Khmer Merah yang meliputi
sejarah berdirinya, kiprahnya dalam perpolitikan Kamboja, dan jatuhnya rezim
Khmer Merah. Skripsi ini lebih memfokuskan permasalahan pada narasi
perjalanan politik Khmer Merah saja. Terutama hubungan internasional
dengan beberapa negara lain. Diana memaparkan lebih banyak mengenai
program-program agraria Khmer Merah dan konflik yang terjadi antara
25
Diana Yulianti, Pemerintahan Khmer Merah di Kamboja dan Kejatuhannya 19751979, (Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2009).
15
Kamboja dengan Vietnam. Namun permasalahan mengenai kebijakan agama
dan etnis, serta kondisi mereka luput dari kajian Diana.
Perbedaan dengan skripsi penulis adalah, dalam skripsi ini penulis menjadikan
Muslim Kamboja sebagai obyek kajian utama. Penulis mengangkat tema
kondisi Muslim Kamboja pada saat Khmer Merah berkuasa. Terutama
mengenai motif pendiskriminasian Khmer Merah terhadap umat Islam. Dalam
hal ini juga penulis lebih memaksimalkan sumber-sumber yang ditulis oleh
kalangan Muslim. Sehingga penulis menarik kesimpulan, meski berjibaku
pada pembatasan tahun dan pendekatan yang sama, namun obyek kajiannya
sangat berbeda dan permasalahannya berbeda.
2. The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational
Networks the Case of Cambodia.26 Editor Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari.
Buku ini mengkaji lebih jauh mengenai bagaimana proses terintegrasinya
Muslim Cham dengan masyarakat pribumi Kamboja. Pembahasannya diawali
dengan proses diasporanya etnis Cham di Kamboja. Setelah itu dalam buku ini
Yekti sedikit memaparkan kondisi umum Muslim Kamboja di beberapa rezim
yang berkuasa. Hemat penulis buku ini lebih mengedepankan mengenai polapola kehidupan masyarakat Cham pada masa kekinian. Baik meliputi
keagamaan, sosial-kemasyarakatan, maupun perekonomian. Hal ini sangat
berbeda jauh dengan kajian dalam skripsi ini, baik dalam hal waktu maupun
pendekatan.
Dalam
buku
ini
Yekti
menggunakan
pendekatan
multidimensional, dengan mengkaji berbagai aspek. Berbeda dengan skripsi
ini, dalam skripsi ini penulis hanya memfokuskan kajian pada permasalahan
26
Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari, The Cham Diaspora in Southeast Asia Social
Integration and Transnational Networks the Case of Cambodia, (Jakarta: LIPI Press, 2013).
16
perpolitikan dan sosial saja, yang meliputi kebijakan-kebijakan politik Khmer
Merah terhadap etnis minoritas di mana etnis Cham dan Melayu yang
beragama Islam termasuk di dalamnya. Selain itu batas waktu yang digunakan
dalam buku ini juga tidak dijelaskan secara spesifik. Berbeda dengan skripsi
penulis yang menekankan pada model diakronis27 yang menggunakan batas
waktu dan lebih menekankan pada proses.
3. The Forgoten Muslim of Kampuchea and Vietnam,28 karya Seddik Taouti,
dalam Reading on Islam in Southeast Asia. Buku ini merupakan hasil
pengalaman perjalanan Seddik Taouti di Kamboja pasca Kamboja dikuasai
oleh rezim Khmer Merah. Buku ini cukup membantu memberikan gambarangambaran mengenai kondisi umat Islam Kamboja pasca Khmer Merah
berkuasa.
Buku
ini
lebih
menekankan
pada
kondisi
Muslim
dan
pembangunan-pembangunan umat Islam di berbagai sektor pasca rezim
Khmer Merah berkuasa. Buku ini banyak memperoleh data melalui
wawancara dengan tokoh Muslim Kamboja seperti Mohammad Aly, Dr.
Abdoul Koyoum, dan Mr. Attman Ibrahim. Namun seperti pada beberapa
literatur lainnya, buku ini lebih menekankan pada gambaran mengenai
keadaan umat Islam pasca Khmer Merah. Namun buku ini mengabaikan
mengenai kebijakan rezim Khmer Merah serta implikasinya. Mengenai
respons masyarakat Muslim yang menjadi obyek penindasan juga luput dari
pemaparan buku ini. Beberapa kekosongan dalam buku inilah yang akan
27
Model diakronis merupakan ciri yang membedakan antara kajian sejarah dengan ilmuilmu sosial seperti sosiologi, ekonomi, antropologi, dan sebagainya. Unsur diakronis lebih
menekankan pada proses atau memanjang dalam waktu. Sedangkan Singkronis yang menjadi
model pengkajian ilmu sosial lebih menekankan pada struktur atau meluas dalam ruang. Lihat:
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Jogjakarta: Tiara Wacana, 2013), hlm. 44-45.
28
Seddik Taouti, The Forgotten Muslim in Kampuchea and Viet, dalam Ahmad Ibrahim
dkk., Reading on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985).
17
penulis lengkapi dalam kajian skripsi ini, baik meliputi kebijakan yang
ditujukan kepada etnis minoritas, maupun respons dari kebijakan yang
diterapkan oleh pemerintah Khmer Merah. Perbedaan yang mencolok dari
buku-buku di atas dengan kajian skripsi penulis adalah, bahwa dalam skripsi
ini (meskipun penulis juga menyertakan kondisi Muslim Kamboja sebelum
Khmer Merah berkuasa) lebih berfokus pada penjelasan mengenai kondisi
Muslim Kamboja saat Khmer Merah berkuasa. Penulis lebih jauh akan
menelisik mengenai kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Khmer merah
terutama kebijakan politik yang berkaitan dengan etnis minoritas dan agama.
G. Kerangka Teori
Menurut Miriam Budiardjo, untuk mencapai komunisme, kekerasan
dipandang sebagai alat sah yang harus dipakai.29 Kekerasan ini dipakai untuk
menghancurkan lawan politik dan bagi mereka yang menentang atau dianggap
sebagai musuh. Begitupun dengan rezim komunis Khmer Merah yang cenderung
memaksakan gagasan revolusionernya dengan melakukan perubahan secara
fundamental. Kerap kali kekerasan digunakan sebagai alat penindasan dan
kebijakan dijadikan alat diskriminasi. Tak jarang umat Islam yang merupakan
agama minoritas menjadi sasaran.
Maka dari itu berdasarkan uraian fakta di atas, studi ini ingin menguji teori
gerakan sosial dengan pendekatan konflik yang dikemukakan oleh Rafael Raga
Maran. Rafael mengatakan bahwa masalah sosial dan masalah ekonomi adalah
29
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 88.
18
yang menyebabkan munculnya gerakan sosial menentang pemerintah. 30 Masalah
sosial yang terjadi adalah penindasan, pendiskriminasian, dan pembantaian massal
yang dilakukan rezim Khmer Merah melalui kebijakannya. Sedangkan masalah
ekonomi yang terjadi dalam konteks kajian penulis adalah, kegagalan rezim
Khmer Merah dalam memodernisasi bidang pertanian. Produksi beras yang
ditargetkan sebanyak 3 ton per hektar gagal diwujudkan. Hal ini berimbas pada
kurangnya pasokan beras untuk rakyat yang menyebabkan banyak rakyat yang
mati kelaparan.
Kebijakan Khmer Merah yang tertuang dalam Five Point Plans 1975 dan
Konstitusi Khmer Merah sangat menyudutkan umat Islam Kamboja. Hal ini
menyebabkan munculnya berbagai permasalahan sosial yang terjadi pada umat
Islam, di antaranya, umat Islam mengalami pendiskriminasian etnis, penindasan,
bahkan sampai dengan pembunuhan massal. Bila mengacu kepada teori gerakan
sosial dengan pendekatan konflik yang dikemukakan Rafael, umat Islam yang
mengalami permasalahan sosial tersebut akan bergerak menentang pemerintah.
Selain itu umat Islam dan seluruh masyarakat Kamboja juga mengalami
permasalahan ekonomi berupa kekurangan pangan. Permasalahan ekonomi
tersebut juga dimungkinkan dapat menjadi pemicu munculnya gerakan sosial.
Namun untuk mendukung atau menolak teori tersebut penulis akan melakukan
analisa lebih mendalam dengan menggunakan pendekatan politik dan sosial.
Konsep31 Muslim Kamboja yang dimaksud dalam skripsi ini merujuk pada
etnis Cham dan Melayu yang beragama Islam. Sebagian besar dari mereka
30
Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm.
78.
31
Konsep dalam ilmu sejarah diartikan sebagai suatu abstraksi mengenai gejala dan
realitas. Realitas yang ditunjukan oleh konsep dapat berupa penyebutan orang-orang seperti
19
terkonsentrasi di beberapa wilayah seperti, di Kampong Cham, Kampong
Chnnang, Battambang, Phnom Penh, dan beberapa tempat lainnya. Sebutan
Muslim Kamboja penulis khususkan kepada etnis Cham dan Melayu dikarenakan
sejauh ini penulis belum menemukan data mengenai etnis lain terutama etnis
Khmer yang merupakan pribumi yang memeluk agama Islam. Konsep Muslim
Kamboja yang penulis gunakan juga selaras dengan julukan Khmer Islam atau
Khmer Muslim yang diberikan Sihanouk untuk mengganti identitas etnis Cham
dan Melayu yang beragama Islam.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat analitical history,32 sehingga metode yang
digunakan dalam penelitian ini ialah metode yang biasa digunakan dalam
penelitian sejarah pada umumnya, yakni, heuristik atau pengumpulan data, kritik
sumber baik intern maupun ekstern, interpretasi atau penafsiran, dan yang terakhir
adalah tahap historiografi atau penulisan sejarah.33
Dalam proses heuristik penulis menggunakan metode kepustakaan atau
library research. Penulis menghimpun sumber-sumber tertulis baik yang bersifat
primer maupun sekunder. Untuk sumber primer, penulis menggunakan dokumen
berupa undang-undang Khmer Merah atau Demokratic Kampuchea Constitution
1976. Selain itu penulis juga memanfaatkan sumber primer berupa bulletin yang
dikeluarkan oleh rezim Khmer Merah yang berjudul Demokratic Kampuchea a
muslimin, muslimat, kristiani, reformis dan sebagainya. Selengkapnya lihat: Dudung
Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 35-37.
32
Analitical History merupakan jenis penelitian sejarah yang memanfaatkan teori dan
metodologi. Lihat: M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar,
(Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 218.
33
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995),
hlm. 89.
20
Workers’ Peasants’ State in South-East Asia.34 Selain sumber primer berupa
dokumen, penulis juga memanfaatkan sumber primer berupa foto-foto. Sumbersumber tersebut, baik sumber primer berupa dokumen, bulletin, maupun foto,
kesemuanya penulis dapatkan dari situs resmi Document Center of Cambodia.35
Untuk sumber sekunder penulis menggunakan surat kabar terbitan tahun
1975-1979 yang penulis dapatkan di Perpustakaan Nasional. Surat kabar yang
penulis himpun di antaranya, surat kabar Warta Berita Antara, Kompas, dan
Merdeka. Di antara surat kabar tersebut penulis lebih banyak menggunakan Warta
Berita Antara. Dikarenakan Warta Berita Antara memiliki bagian khusus kilas
internasional yang selalu menginformasikan berita-berita internasional secara
aktual. Selain itu, hal tersebut lebih memudahkan penulis dalam proses pencarian.
Selain itu, penulis juga menggunakan sumber sekunder berupa jurnal
bulanan Asian Survey yang terbit pada tahun 1979 yang penulis temukan di
Perpustakaan Universitas Indonesia. Selebihnya data-data sekunder yang penulis
gunakan berupa buku, artikel, majalah, dan tesis yang penulis temukan di
Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional,
dan situs internet.
Demokratic Kampuchea a Workers’ Peasants’ State in South-East Asia, (Berlin:
Embassy
of
Demokratic
Kampuchea,
1977).
Tersedia
di:
http://www.d.dcCham.org/Archives/Documents/pdf/Bulletin_of_the_Embassy_of_Democratic_Ka
mpuchea_in_Berlin_GDR_March_1977.pdf (akses: 24/04/2015)
35
Documen Center of Cambodia merupakan institusi resmi yang dibentuk oleh
pemerintah Kamboja untuk mengurusi bidang kearsipan (serupa ANRI di Indonesia). Dalam situs
ini dimuat secara digital arsip terkait sejarah Kamboja, terutama arsip-arsip pada masa Khmer
Merah. Selain arsip, situs ini juga memuat berbagai foto-foto, majalah, buku-buku, dan beberapa
konten lain yang dapat diunduh secara gratis. Lebih lanjut mengenai Document Center of
Cambodia lihat: http://www.d.dcCham.org/Archives/Documents/Documents.htm
34
21
Tahap berikutnya ialah kritik sumber atau verifikasi. Dalam proses ini,
penulis melakukan uji keaslian sumber atau otentifikasi melalui kritik ekstern.
Selain itu penulis juga melakukan uji kelayakan sumber atau kredibilitas, yang
penulis telusuri melalui kritik intern. Dalam kritik ekstern penulis mengkritisi
secara fisik mengenai sumber-sumber primer yang penulis dapatkan melalu situs
resmi Document Center of Cambodia. Dokumen-dokumen yang penulis temukan
dalam situs Document Center of Cambodia beberapa sudah ada yang dicetak
ulang dalam bahasa Khmer dan Inggris. Sehingga secara fisik dokumen tersebut
tidak dapat dikatakan otentik karena sudah tidak dalam bentuk aslinya, namun
hemat penulis sumber tersebut tetap memuat unsur-unsur primer.36 Sumber primer
berupa buletin dan foto yang penulis temukan masih dalam bentuk asli yang
dipublikasikan dalam bentuk mikrofilm. Sehingga secara ekstern bulletin dan foto
tersebut dapat dikatakan otentik dan memuat unsur-unsur primer.
Setelah itu penulis juga menguji kredibilitas sumber dengan menggunakan
kritik intern. Dalam kritik inten penulis membandingkan sumber-sumber yang
penulis dapatkan. Penulis membandingkan Konstitusi Khmer Merah yang
diterbitkan oleh Document Center of Cambodia dengan yang diterbitkan oleh
pihak lain. Hal ini dilakukan mengingat dokumen tersebut telah dicetak ulang,
sehingga perlu rasanya penulis menaruh kecurigaan terhadap kredibilitas sumber
tersebut. Penulis menghimpun beberapa Konstitusi Khmer Merah dalam beberapa
versi, di antaranya versi Document Center of Cambodia, versi Franҫois Ponchaud,
dalam bukunya Cambodia Year Zero37, dan versi yang dipublikasikan oleh
36
Lebih jauh mengenai unsur-unsur primer lihat: Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah.
(Jakarta: UI Press, 2008), hlm. 45.
37
Francois Ponchaud, Cambodia Year Zero, (Terj.) (New Zeland: Pinguin Books, 1978).
22
Kedutaan Besar Khmer Merah di Berlin tahun 1977.38 Dari ketiga versi tersebut
penulis tidak menemukan perbedaan berarti kecuali dalam segi fisik dan tata
bahasa saja, sehingga penulis menyimpulkan bahwa sumber tersebut kredibel
dalam menyajikan unsur-unsur primer.
Sedangkan kritik internal yang penulis lakukan pada sumber skunder
hanya ditemukan perbedaan-perbedaan mengenai waktu sebuah peristiwa terjadi,
seperti perbedaan mengenai tahun kedatangan umat Islam. Selain itu juga terdapat
perbedaan mengenai estimasi jumlah umat Islam Kamboja sebelum rezim Khmer
Merah berkuasa. Seperti Ysa Osman mengatakan bahwa jumlahnya 700.000 jiwa,
sedangkan Seddik Taouti mengatakan 800.000 jiwa. Sedangkan Ramlan Surbakti
dan Michael Vickery mengatakan jumlahnya tidak lebih dari 200.000 jiwa.
Tahap selanjutnya yakni penulis melakukan interpretasi atau penafsiran
terhadap sumber-sumber yang telah penulis himpun untuk memperoleh faktafakta terkait permasalahan yang menjadi fokus kajian penulis. Dalam tahap ini
penulis menggunakan metode analisis dan sintesis. Dalam proses analisis atau
penguraian, penulis memperoleh beberapa fakta dari sumber-sumber yang telah
penulis baca baik sumber primer maupun sekunder, seperti pada masa rezim
Khmer Merah banyak masjid yang diberangus dan dialihfungsikan, banyak
perburuan dan pembunuhan para ulama dan intelektual Muslim, selain itu telah
terjadi penurunan jumlah populasi Muslim Kamboja secara drastis, yang
disebabkan karena genosida atau pembunuhan massal, dan yang terakhir terdapat
pemberontakan-pemberontakan oleh umat Islam terhadap rezim Khmer Merah.
Kesemua fakta tersebut merupakan buah dari kebijakan rezim Khmer Merah yang
Demokratic Kampuchea a Workers’ Peasants’ State in South-East Asia, (Berlin:
Embassy of Demokratic Kampuchea, 1977).
38
23
menyudutkan keberadaan umat Islam Kamboja. Dari beberapa fakta hasil analisis
tersebut maka sintesisnya adalah, bahwa telah terjadi pendiskriminasian terhadap
etnis dan agama minoritas oleh rezim Khmer Merah, di mana umat Islam
termasuk di dalamnya.
Tahap terakhir yakni historiografi, dalam tahap ini penulis menguraikan
fakta-fakta yang sudah didapat ke dalam penulisan sejarah, dan kemudian menarik
kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan pokok yang menjadi
kajian utama dalam penelitian ini.
I. Sistematika Penulisan
Secara Keseluruhan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, adapun susunan
skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab I
Berisikan Pendahuluan yang terdiri atas penjabaran singkat
permasalahan yang menjadi fokus kajian, identifikasi masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, serta
sistematika penulisan.
Bab II
Membahas mengenai kondisi Muslim Kamboja sebelum rezim
Khmer Merah berkuasa pada tahun 1975-1979. Yang meliputi
gambaran geografi serta struktur masyarakat Kamboja, mengenal
Muslim Kamboja, dan kondisi Muslim di bawah dua rezim yang
berdaulat sebelum Khmer Merah, yakni rezim Norodom Sihanouk,
dan Lon-Nol.
Bab III
Membahas mengenai kondisi Muslim Kamboja saat Khmer Merah
24
berkuasa pada tahun 1975-1979, motif yang melatarbelakangi
penindasan umat Islam, kebijakan-kebijakan rezim Khmer Merah
terhadap Muslim Kamboja serta respons Muslim Kamboja
terhadap kebijakan yang diterapkan oleh rezim Khmer Merah.
Bab IV
Membahas mengenai kondisi Muslim Kamboja ketika rezim
Khmer Merah jatuh dalam kancah perpolitikan Kamboja tahun
1979. Yang meliputi faktor intern dan ekstern penyebab kejatuhan
rezim Khmer Merah dari kancah kekuasaan di Kamboja, kondisi
Muslim Kamboja di bawah rezim Hun Sen dari People Republic of
Kampuchea,
dan
kebangkitan
Islam
di
Kamboja
yang
menyinggung beberapa aspek seperti perekonomian, sosial
keagamaan, dan hubungan dengan negara-negara Muslim lain di
Asia Tenggara dan Timur Tengah.
Bab V
Berisi penutup yang terdiri atas kesimpulan yang merupakan
jawaban dari permasalahan yang menjadi motif awal pengkajian
penelitian ini, dan saran-saran yang menjadi masukan-masukan
untuk perbaikan penelitian berikutnya.
25
BAB II
MUSLIM KAMBOJA SEBELUM REZIM KHMER MERAH BERKUASA
A. Geografi dan Struktur Masyarakat Kamboja
Kamboja atau Kampuchea merupakan wilayah yang terletak di
Semenanjung barat daya Indocina.1 Negara yang beribukota Phnom Penh ini
sempat masuk ke dalam negara yang diproteksi oleh Prancis bersama Laos dan
Vietnam. Kamboja berbatasan langsung dengan Laos di sebelah utara, Vietnam di
timur dan selatan, serta Thailand di barat dan utara. Luas negara ini sekitar
181.035 km persegi.2 Jumlah penduduk Kamboja berkisar 7 juta jiwa pada survei
sebelum tahun 1975.3
Kamboja merupakan wilayah yang terdiri atas sebagian besar daratan.
Garis pantainya hanya berkisar 560 km. Dilengkapi dengan keberadaan sungai
Mekong yang membentang sepanjang 540 km di dalam negara ini, menjadikan
wilayah Kamboja sebagai wilayah pertanian yang subur. Ditambah lagi dengan
jumlah anak sungai yang sangat melimpah dan danau Tonle Sap yang
membentang luas, membuat wilayah Kamboja seakan tidak pernah defisit air.
Kamboja memiliki iklim Muson tropis dengan suhu antara 21-35 derajat celcius.
Curah hujan yang mencapai 5000 milimeter pertahun membuat empat perlima
wilayah Kamboja terdiri atas hutan tropis.
1
Indocina merupakan wilayah yang pernah masuk kedalam protektorat Prancis yang
meliputi Kamboja, Vietnam, dan Laos. Istilah Indocina diambil karena adanya perpaduan
pengaruh kebudayaan India dan China di wilayah tersebut. Lihat: Ensiklopedia Nasional
Indonesia Jilid 7, (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1989). hlm. 71.
2
Lebih lanjut mengenai data geografis dan demografi Kamboja lihat : Rahmat
Bratamidjaja dkk. Ensiklopedia Indonesia Seri Geografi, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve,1990), hlm. 125-130
3
Michael Vickery, Kampuchea Politic, Economics, and Society, (London: Frances Pinter
Publisher, 1986), hlm. 3.
25
26
Perekonomian Kamboja bergantung pada sektor pertanian. Sektor
pertanian menyerap sekitar tiga perempat dari tenaga kerja Kamboja. 4 Beras
masih menjadi komoditas utama pertanian negeri ini. Selain beras, karet
menempati posisi kedua sebagai fokus utama bidang perkebunan. Wilayah
Kamboja yang terdapat banyak anak sungai menjadikan sebagian penduduknya
juga berkecimpung pada sektor perikanan.
Kamboja sebenarnya merupakan salah satu negara yang terbilang
homogen. Karena sekitar 90 persen penduduknya etnis Khmer.5 Etnis Khmer
tercatat telah mendatangi Kamboja sejak abad ke-2 Masehi. Selain Khmer
terdapat pula beberapa etnis minoritas seperti Cham-Melayu, Vietnam, Lao, Thai,
dan China. Etnis Cham-Melayu menduduki peringkat pertama minoritas
terbanyak di Kamboja dengan populasi sekitar 700.000 jiwa pada survei sebelum
tahun 1975.6 Kemudian sisanya adalah etnis lain seperti Vietnam, Lao, Thai, dan
China.
Agama Budha menjadi agama yang dipeluk mayoritas penduduk
Kamboja. Jumlah pemeluknya sekitar 96 persen dari total keseluruhan masyarakat
Kamboja. Setelah itu disusul dengan pemeluk agama Islam yang berjumlah
sekitar 2,1 persen. Sisanya adalah pemeluk agama Kristen dan animisme. Hal
yang cukup menarik dari keberadaan agama-agama minoritas ini adalah, harmoni
yang tercipta antar pemeluk agama di Kamboja. Meski agama Budha menjadi
agama mayoritas namun jarang sekali ditemukan sikap superioritas dalam bentuk
diskriminasi terhadap agama minoritas. Berbeda dengan kasus di beberapa negara
4
Ibid., hlm. 97.
The People of Cambodia, (Cambodia Research Network, 2007), hlm. 30.
6
International Center for Ethnic Study, Minorities in Cambodia, (United Kingdom:
Manchester Free Press, 1995), hlm. 10.
5
27
lain di wilayah Asia Tenggara, seperti Thailand, Filipina, dan Myanmar yang
sangat sensitif dengan isu konflik baik yang berlatar belakang agama maupun ras.
Di Kamboja toleransi umat beragama sangat dijunjung tinggi. Hal tersebut terjadi
disetiap rezim, baik pada masa kerajaan maupun pasca kemerdekaan Kamboja.
Pada masa rezim Khmer Merahpun sebenarnya tidak terjadi konflik horizontal,
yang terjadi adalah konflik vertikal antara umat Islam dan pemerintah Khmer
Merah. Harmoni yang tercipta sangat dimungkinkan terjadi karena mulai
terintegrasikan dengan baik antara umat Islam dengan masyarakat pribumi
Kamboja. Terutama pasca penerapan nasionalisasi Khmer yang dilakukan
Sihanouk.
B. Mengenal Muslim Kamboja
Nampaknya Islamisasi di Kamboja berjalan mandek sampai pada masa
Sihanouk berkuasa (1953), dikarenakan jarang sekali ditemukan pribumi Kamboja
dalam hal ini etnis Khmer yang memeluk Islam. Kebanyakan dari masyarakat
pribumi tetap bertahan pada ajaran agama Budha. Pendapat penulis dikuatkan
dengan beberapa literatur yang telah penulis temukan. Kebanyakan literatur
tersebut kerap kali mengaitkan Islam di Kamboja dengan etnis Cham dan Melayu.
Sehingga penulis berkesimpulan bahwa Islam eksklusif dipeluk oleh etnis Cham
dan Melayu. Berbicara Islam di Kamboja berarti berbicara mengenai etnis Cham
dan Melayu, begitupun sebaliknya. Hal ini berlaku sebelum Khmer Merah
berkuasa. Namun tidak berlaku pada masa kekinian, melihat Islam pada akhir
abad ke-20 juga dipeluk oleh etnis-etnis lain di Kamboja walaupun jumlahnya
memang tidak signifikan.
28
Antara Muslim Cham dan Melayu sebenarnya terdapat perbedaan dalam
proses kedatangannya, baik dalam waktu maupun motif. Muslim Cham yang
datang ke Kamboja merupakan Muslim Cham yang berasal dari Kerajaan Champa
yang berada di pesisir Vietnam Selatan.7 Beberapa literatur sepakat bahwa
kehadiran mereka bermula pada tahun 1471 M ketika ibukota mereka di Vijaya
jatuh akibat serangan dari Kerajaan Viet Utara.8 Kejatuhan ibukota mereka
memaksa orang-orang Cham melarikan diri ke berbagai wilayah di Asia
Tenggara, seperti Malaysia, Sumatera, Borneo, Thailand Selatan, dan Kamboja,
bahkan ke Jawa. Etnis Cham sendiri pernah memiliki hubungan baik dengan
Kerajaan Majapahit di Jawa.9 Biasanya wilayah yang menjadi target pelariannya
adalah wilayah yang pernah menjalin hubungan dengan Kerajaan Champa
sebelum keruntuhannya.
Etnis Cham memang terkenal dengan tipikal yang kosmopolit. Ditambah
dengan sistem pelayaran yang cukup maju pada masanya, sangat memungkinkan
bagi mereka untuk melakukan kontak dengan wilayah-wilayah lain terutama
dengan wilayah yang menjadi basis etnis Melayu.10 Kebanyakan mereka yang
mengalami penindasan oleh orang-orang Viet adalah Cham Muslim. Hal ini
dimaksudkan karena Islam dianggap sebagai agama yang dapat menggangu
7
Kerajaan Champa merupakan kerajaan bercorak Hindu yang terletak di pesisir Vietnam
Selatan. Kemunculan kerajaan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-2 dikenal dengan nama
Lin Yi. Lebih lengkap mengenai Kerajaan Champa sejak awal berdirinya sampai dengan
kejatuhannya lihat, George Coedes, Sejarah Champa dari Awal Sampai Tahun 1471, dalam
Kerajaan Champa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 31-70. Lihat pula: George Coedes, Sejarah
Asia Tenggara Masa Hindu Budha, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010).
8
Saifullah, Sejarah Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
2010), hlm. 223.
9
Dikabarkan bahwa raja Brawijaya pernah memperistri seorang putri dari Kerajaan
Champa yang telah memeluk Islam. Lebih lanjut mengenai hubungan Champa dan Jawa lihat: Po
Dharma, Kepulauan Indonesia dan Champa. Dalam Panggung Sejarah, Henry Chambert-Loir
dan Hasan Mua’rif Ambary (ed). (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), hlm. 163-169.
10
Lebih lanjut mengenai sepak terjang kerajaan Champa dalam bidang maritim lihat:
Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 2004), hlm. 53-74.
29
keberlangsungan kekuasaan orang-orang Viet di Champa. Mengingat orang-orang
Cham Muslim masih tinggal di beberapa tempat eksklusif terutama di wilayah
Tanjung Varella yang memungkinkan mereka untuk melakukan pemberontakan.
Meskipun hemat penulis hal tersebut sangat sulit dilakukan mengingat sudah
melemahnya etnis Cham akibat aneksasi pasukan Viet dan banyak dari mereka
yang sudah meninggalkan Vietnam sejak Vijaya direbut oleh Viet.
Sebenarnya literatur yang menegaskan mengenai Islamnya orang Champa
masih sangat sedikit. Bahkan George Coedes dengan maha karyanya yang
berjudul Asia Tenggara masa Hindu Budha, tidak menjelaskan mengenai
Islamnya orang-orang Champa.11 Begitupun dalam artikel yang ia tulis dalam
Buku yang berjudul Kerajaan Champa yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Dalam artikelnya yang berjudul Sejarah Champa dari awal Sampai Tahun 1471
ia tidak menyinggung mengenai Islamnya masyarakat kerajaan Champa.12 Namun
Ahmad Dahlan dalam karyanya yang berjudul Sejarah Melayu, mengatakan
bahwa Champa telah Islam sejak abad ke-10 Masehi. Menurut Dahlan, para
pedagang Arablah yang memiliki andil dalam Islamnya masyarakat Champa.13
Namun sayangnya pendapat Dahlan ini tidak disertakan dengan bukti yang cukup
kuat. Berbeda dengan Anthony Cabaton yang mengatakan bahwa Islam telah
dikenal penduduk Champa sejak abad ke-11 Masehi dibawa oleh orang-orang
Arab dan Persia, kemudian dikembangkan oleh orang-orang Melayu pada abad
11
Lebih lanjut lihat: George Coedes, Asia Tenggara Masa Hindu Budha, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 264-265.
12
George Coedes, Sejarah Champa dari Awal Sampai Tahun 1471, dalam Kerajaan
Champa, Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 31-70.
13
Ahmad Dahlan, Sejarah Melayu, (Jakarta: Keputakaan Populer Gramedia, 2014), hlm.
41.
30
ke-14.14 Permasalahan ini nampaknya butuh dikaji lebih jauh dalam pembahasan
lain.
Kita tinggalkan mengenai Islamnya orang-orang Champa di Vietnam yang
pada kemudian hari menjadi agen pembawa agama Islam di Kamboja. Sejak
kejatuhannya pada tahun 1471 M secara bertahap sampai dengan tahun 1832
masyarakat Cham mulai meninggalkan tanah air mereka.15 Terdapat pula sebagian
kecil Muslim Cham yang tetap bertahan di sana yang pada kemudian hari dikenal
dengan Cham Bani. Namun sebagian besar terdiasporakan ke berbagai wilayah,
salah satunya adalah Kamboja. Menurut P.B. Lafont hampir seluruhnya etnis
Cham yang terdiasporakan ke Kamboja beragama Islam.16
Sebenarnya telah lama Kerajaan Champa kuno dengan Kerajaan Angkor
menjalin hubungan, baik dalam hal perekonomian maupun politik. Maka dari itu
ketika kejatuhan ibukota Champa di Vijaya, orang-orang Cham memilih Kamboja
sebagai destinasi pelarian mereka. Keberadaan sungai Mekong dan anak
sungainya yang membentang dari perbatasan Kamboja dan Vietnam juga menjadi
akses yang mudah bagi pelarian orang-orang Cham Muslim menuju Kamboja. Hal
ini dibuktikan dengan banyak ditemukannya orang-orang Muslim yang bertempat
tinggal di sepanjang sungai Mekong pada masa sekarang.
Kedatangan orang-orang Cham ke Kamboja disambut baik oleh raja
Jayajettha III (1677-1705) yang menjadi raja yang berdaulat di Kamboja kala
14
Anthony Cabaton, Orang Cam Islam di Indocina Prancis, dalam Kerajaan Champa,
Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 223.
15
Po Dharma, Kepulauan Indonesia dan Champa, dalam Panggung Sejarah, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 164.
16
Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cham dari Abad XVI Sampai Dengan Abad XX,
dalam Kerajaan Champa, Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 74.
31
itu.17 Orang-orang Cham yang datang kala itu ditempatkan di beberapa tempat
seperti di Kampong Chnang, Kampong Cham, Battambang, Kompot, dan
beberapa wilayah lainnya.18 Dalam perjalanannya orang-orang Cham dapat hidup
berbaur dengan orang Khmer yang menjadi pribumi Kamboja. Orang-orang Cham
juga mengabdi dengan baik dengan raja Khmer kala itu. Bahkan beberapa dari
mereka diangkat menjadi pegawai kerajaan.19 Pada Abad ke-17 sebenarnya
terdapat raja Khmer yang telah memeluk Islam, yakni raja Ramadhipati (16421658) yang kelak berganti nama menjadi Ibrahim.20 Namun keislaman raja ini
tidak seraya diikuti oleh rakyatnya. Selepas raja tersebut mangkat, agama Budha
tetap mendominasi di Kamboja. Gagalnya Islamisasi pada tingkat elite, menurut
penulis yang menjadi salah satu faktor mandeknya Islamisasi di Kamboja.
Selain etnis Cham yang berjasa dalam membawa Islam ke Kamboja, etnis
Melayu juga memiliki peran yang cukup signifikan. Namun perannya sedikit
sekali disinggung dalam beberapa literatur yang penulis temukan. Atau bahkan
keberadaan mereka disamakan dengan Muslim Cham. Jika motif kedatangan
Muslim Cham ke Kamboja adalah sebagai pelarian dari kejaran orang-orang Viet,
berbeda dengan kedatangan orang Melayu yang memiliki motif perdagangan.
Diperkirakan orang-orang Melayu telah menjalin hubungan dagang
dengan masyarakat Khmer sejak abad ke-7. Namun, menurut penulis orang-orang
Melayu yang datang ke Kamboja pada abad ke-7 belum memeluk agama Islam.
Karena proses Islamisasi di tanah Melayu saja baru santer setelah abad ke 7. Para
Muhammad Zain Musa, “Perpindahan dan Hubungan Semasa Orang Cham”, dalam
Jurnal Sari, vol 26, 2008, hlm. 260.
18
Ibid.,
19
Ibid.,
20
Reiko Okawa. “Hidden Islamic Literature in a Cambodia: The Cham in the Khmer
Rouge Period”. International & Regional Studies No. 45. Meiji Gakuin University, 2014. hlm. 5.
17
32
pedagang Melayu yang datang ke Kamboja adalah keturunan mubaligh Islam
yang memiliki misi berdagang dan berdakwah.
Orang Melayu di Kamboja juga dibagi menjadi beberapa golongan.
Namun pembagian golongan ini tidak menjadi perbedaan bagi mereka. Karena
perbedaan golongan tersebut hanya sebatas identitas dari mana mereka datang.
Sedikitnya terdapat tiga golongan Muslim Melayu yang berada di Kamboja, di
antaranya, Jva Krapi, Jva Iyava, dan Jva Melayu.21 Jva Krapi merupakan orangorang Melayu yang datang dari wilayah Sumatera terutama wilayah Minangkabau
dan Aceh. Jva Iyava merupakan orang Melayu yang datang dari wilayah pulau
Jawa. Sedangkan Jva Melayu merupakan orang-orang Melayu yang datang dari
wilayah Semenanjung Melayu, seperti Thailand Selatan, Singapura, dan Malaysia.
Jumlah Muslim Melayu yang datang di Kamboja memang tidak
sesignifikan Muslim Cham. Antara etnis Cham dan Melayu keduanya memiliki
ikatan yang cukup baik. Sejatinya memang sejak abad ke-15 antara kerajaan
Champa dan orang-orang Muslim Melayu telah memiliki hubungan yang baik,
terutama dalam hal perdagangan.22 Sehingga tidak aneh jika hal ini berimplikasi
pada hubungan kedua etnis tersebut ketika bertemu di Kamboja.
Di Kamboja, Cham dan Melayu membentuk semacam asimilasi etnis yang
bernama Cham-Chvea atau Cham-Jva.23 Asimilasi etnis Cham dan Melayu
dilakukan melalui jalur perkawinan. Muslim Melayu sangat berjasa dalam
membentuk identitas Muslim Cham dengan memperkenalkan mazhab Syafi’i.
21
Omar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at the Margins: The Muslim of
Indocina, (Kyoto University: Center of Integrated Area Studies, 2008), hlm. 72.
22
Anthony Reid., Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 2004), hlm.
63.
23
Terkadang disebut Cham-Jva atau Cham Syariat. Lebih lanjut lihat: Omar Farouk dan
Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at the Margins: The Muslim of Indocina, ( Kyoto University:
Center of Integrated Area Studies, 2008), hlm. 72.
33
Maka dari itu proses interaksi etnis Cham dan Melayu membuat etnis Cham lebih
taat dalam menjalankan syari’at Islam dibanding masa-masa sebelumnya. Yang
perlu digarisbawahi terkait masuknya Muslim Cham di Kamboja adalah, orangorang Cham yang membawa agama Islam di Kamboja merupakan orang Cham
Muslim yang praktik keagamaannya masih bercampur dengan tradisi Hindu
Champa.
Selain Cham-Chvea sebenarnya terdapat satu Muslim Cham lain yakni
Cham Jahed atau Cham Bani. Jika Cham-Chvea adalah penganut mazhab Syafi’i
dengan identifikasi bahwa mereka melaksanakan shalat lima waktu dan beberapa
praktik keagamaan khas mazhab Syafi’i. Berbeda dengan Cham Jahed, meskipun
mereka sama-sama beragama Islam, namun praktik keagamaan mereka masih
bercampur dengan tradisi Hindu Champa yang pula dipraktikan oleh Muslim
Cham di Vietnam. Bila etnis Cham-Chvea melaksanakan shalat lima waktu dalam
sehari, berbeda dengan Cham Jahed yang hanya melaksanakan shalat satu kali
dalam seminggu yakni pada hari Jum’at saja.24 Maka dari itu Muslim Cham ini
kerap kali disebut Cham Tujuh. Kebanyakan Cham Jahed bertempat tinggal di
Battambang, Pursat, Oudong, dan Kampong Chnnang.
Akan tetapi perbedaan-perbedaan ini tidak lantas membuat mereka
berselisih faham. Meskipun secara prinsip keagamaan antara orang Cham yang
berasimilasi dengan orang Melayu dan Cham Jahed berbeda, namun Islam tetap
menjadi identitas utama dan simbol pemersatu mereka. Merekalah yang penulis
maksudkan dengan Muslim Kamboja yang lebih dikenal dengan Khmer Islam
atau Khmer Muslim.
24
Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social
Integration and Transnational the Case of Cambodia, Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 114-122.
34
Kebanyakan orang Muslim Kamboja bermukim di pedesaan atau daerah
pinggiran. Sedikit sekali mereka yang memilih tinggal di kota-kota besar. Tidak
diketahui secara pasti apa penyebabnya. Mereka tinggal hampir di 150 desa yang
tersebar di beberapa kota.25 Hal ini membuat mereka banyak yang menekuni
pekerjaan kasar. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai penebang kayu,
petani karet, petani padi, pedagang, dan nelayan.26 Namun terdapat pula sebagian
dari mereka yang berkiprah dalam dunia kemiliteran dan politik.
Struktur masyarakat Muslim Kamboja menunjukkan stratifikasi dalam
bidang keagamaan yang cukup teratur. Masyarakat Muslim Kamboja diketuai
oleh seorang mufti atau mophati. Beberapa mufti terkenal yang pernah menjabat
ialah mufti Hadji Abdullah bin Idres.27 Di bawah seorang mophati terdapat
seorang tuh khalik atau raja khalik dan tuan pake. Mereka bertugas sebagai
asisten atau pembantu seorang mophati. Setelah itu ada pula imom atau hakim
yang memiliki tugas mengelola masjid. Biasanya seorang imom dipilih oleh raja.28
Di bawah imom terdapat seorang khatib yang memiliki tugas membacakan doa
dan memimpin shalat berjamaah. Dalam struktur paling bawah adalah bilal yang
bertugas mengumandangkan adzan dan mengatur ketertiban shalat.
Seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya bahwa hampir seluruh
Muslim Kamboja menganut mazhab Syafi’i, kecuali Cham Jahed atau Cham Bani.
Hal ini memengaruhi kepada tradisi keagamaan yang berkembang di Kamboja.
Muslim Kamboja layaknya Muslim di negara-negara lain mereka juga
25
Michael Vickery, Kampuchea Politic, Economics, and Society, (London: Frances
Pinter Publisher, 1986), hlm. 164.
26
Anthony Cabaton, Orang Cam Islam di Indo-China Prancis, dalam Kerajaan Champa,
Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 241.
27
Michael Vickery, Kampuchea Politic, Economics, and Society, hlm. 194.
28
Ibid., hlm. 242-245.
35
menjalankan puasa Ramadhan atau yang mereka sebut Ramvon atau Bulan Ok.
Mereka juga berpuasa menjelang perayaan hari raya Idul Adha yang mereka sebut
dengan Bulan Ok Hadji atau bulan Ovlwah. Mereka juga melaksanakan khitan
atau dalam bahasa mereka katat atau katan dan beberapa tradisi lainnya yang khas
dengan Muslim Asia Tenggara lainnya. Selain itu mereka menghindari untuk
memakan babi dan meminum minuman keras. Mereka menjalankan perintah
agama dengan penuh ketaatan.
Sebelum kenaikan rezim Khmer Merah pada tahun 1975 diperkirakan
jumlah Muslim Kamboja mencapai 700.000 jiwa.29 Mereka tersebar di 150 desa
di wilayah Kampong Cham, Battambang, Kompot, Karatie, Kampong Chnnang,
Oudong, dan Phnom Penh. Diperkirakan telah terdapat sekitar 113 masjid pada
masa sebelum kenaikan rezim Khmer Merah.30
Namun yang disayangkan sebelum tahun 1975 memang umat Islam
Kamboja terkesan terpencilkan dan jauh dari hingar bingar dunia Islam di belahan
dunia lain. Meskipun memang beberapa dari mereka telah pula melaksanakan
ibadah haji, namun hal itu tidak pula membuka mata dunia Islam untuk
memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan Islam di Kamboja.
Malaysia khususnya wilayah Klantan, menjadi wilayah yang cukup akrab dengan
Muslim Kamboja. Baik sebagai tempat menuntut ilmu maupun berniaga. Baru
29
International Center for Ethnic Study, Minorities in Cambodia, (United Kingdom:
Manchester Free Press, 1995), hlm. 10.
Seddik Taouti berbeda pendapat, ia mengatakan bahwa jumlah umat Islam sebelum
tahun 1975 berkisar 800.000 orang, lihat: Seddik Taouti, Forgotten Muslim Kampuchea and
Vietnam, dalam Ahmad Ibrahim, Readings on Islam ini Southeast Asia, (Singapore: Institute of
Southeast Asia Studies, 1985), hlm.194.
Michael Vieckery mengemukakan pendapat lain, ia menyatakan bahwa jumlah umat
Islam sebelum tahun 1975 diperkirakan hanya berkisar 185.000 jiwa saja yang semuanya tersebar
di seluruh distrik. Michael Vickery, Kampuchea Politic Economics and Society, (London: Frances
Pinter Publisher, 1986), hlm.1.
30
International Center for Ethnic Study, Minorities in Cambodia, (United Kingdom:
Manchester Free Press, 1995), hlm. 11.
36
pasca kejatuhan rezim Khmer Merah berbondong-bondong beberapa negara
Muslim menyodorkan bantuan untuk membangkitkan Muslim Kamboja yang
terpuruk.
C. Kondisi Muslim Kamboja Tahun 1953-1975
Tahun 1953 sampai dengan tahun 1975 merupakan batas waktu yang
penulis gunakan untuk membingkai periodesasi politik Kamboja sebelum
kenaikan rezim Khmer Merah.
Tahun 1953 merupakan berdirinya Kamboja
sebagai sebuah negara bangsa dengan berhasil melepaskan diri dari cengkraman
protektorat Prancis. Terdapat dua rezim yang berkuasa dalam kurun waktu 19531975. Yakni masa raja Norodom Sihanouk 1953-1970, dan dilanjutkan dengan
rezim Lon Nol yang memerintah pada tahun 1970-1975.
1. Masa Norodom Sihanouk
Lepas merdeka dari protektorat Prancis, Kamboja memasuki era baru
sejarahnya. Berdirinya Kamboja menjadi sebuah negara bangsa tak membuat
negeri ini kokoh dengan semangat nasionalnya. Bahkan pasca kemerdekaan
Kamboja kerap kali dilanda dengan perang saudara. Negara ini menjadi medan
tempur antar penganut ideologi komunis yang memiliki kecenderungan dengan
China dan ideologi liberalis dengan Amerika Serikat sebagai pelopornya.
Raja Sihanouk merupakan salah satu tokoh yang berjasa mengantarkan
Kamboja ke pintu gerbang kemerdekaan. Sihanouk merupakan salah satu putra
mahkota dari Raja Kamboja yang sangat kharismatik. Ia juga merupakan tokoh
yang bersahabat dengan protektorat Prancis. Naik tahtanya Norodom Sihanouk
pun tak lepas dari bantuan Prancis. Sihanouk sangat berjasa dalam membangun
37
identitas bangsa Kamboja pada masa awal kemerdekaannya. Ia memperkenalkan
ideologi nasional yang disebut sosialisme Budha atau belakangan disebut
Sihanoukisme.
Sihanouk terkenal sebagai pemimpin yang netral dengan tidak memihak
kepada golongan komunis dan liberalis pada masa awal kepemimpinannya. Hal
ini terbukti dengan langkahnya yang menerima bantuan dari Prancis, China,
Amerika Serikat, dan Uni Soviet dalam membangun negaranya pada masa awal
kemerdekaan.31 Ia tidak menutup diri bagi siapa saja yang ingin bersumbangsih
dalam pembangunan Kamboja.
Anthony Cabaton menjelaskan bahwa hubungan agama minoritas dengan
rezim Sihanouk berjalan dengan harmoni. Harmoni yang dimaksud adalah tidak
adanya konflik baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Lebih lanjut dalam
artikelnya, Anthony Cabaton menggambarkan bahwa pada masa Sihanouk umat
Islam kerap kali melakukan diskusi-diskusi di kerajaan guna membicarakan
permasalahan yang dihadapi umat Islam.32 Namun Cabaton tidak memaparkan
dengan jelas apa kiranya permasalahan yang kerap kali didiskusikan. Meski
minim fakta, namun hal tersebut dapat menjadi segelintir bukti kecil gambaran
mengenai hubungan baik antara Sihanouk dengan umat Islam.
Sihanouk
menjadi
orang
yang memelopori
dan
berjuang demi
kemerdekaan Kamboja. Sehingga ia memiliki tanggung jawab terhadap
pembentukan identitas masyarakat Kamboja. Wilayah Kamboja sebelum
kemerdekaan merupakan wilayah yang didominasi oleh etnis Khmer yang
31
M.C Ricklef, Sejarah Asia Tenggara dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2013), hlm. 583.
32
Anthony Cabaton, Orang Cam Islam di Indo-China Prancis, dalam Kerajaan Champa,
Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 242-243.
38
beragama Budha. Hanya terdapat sebagian kecil etnis Cham-Melayu dan beberapa
etnis lainnya yang mendiami wilayah tersebut. Dominasi etnis Khmer membuat
Sihanouk menjadikan Khmer sebagai sebuah identitas negara yang baru
dipimpinnya ini. Segala aspek mulai dari bahasa sampai identitas ras semua diberi
nama Khmer. Umat Islam yang notabenenya etnis Cham-Melayu pun ikut
terkhmerkan meskipun hanya sampai tingkat identitas saja.
Oleh Sihanouk etnis Cham dan Melayu diberi julukan Khmer Islam atau
Khmer Muslim. Identitas tersebut merujuk pada agama yang dipeluk oleh etnis
Cham-Chvea atau Cham-Melayu yang beragama Islam. Dari segi bahasa, etnis
Cham-Melayu masih menggunakan bahasa asli mereka. Sedangkan dari identitas
fisik pun tidak dapat dibohongi bahwa mereka berbeda dengan etnis Khmer.
Julukan Khmer Islam yang diberikan kepada etnis Cham dan Melayu hingga kini
masih disandang oleh mereka.
Kebijakan
Sihanouk
tersebut
merupakan
salah
satu
kebijakan
kontroversial terhadap etnis dan penganut agama di Kamboja. Menurut Yekti
Maunati kebijakan tersebut dimaksudkan untuk membuat komposisi masyarakat
Kamboja yang ideal.33 Namun di sisi lain kebijakan ini terkesan ingin
mengeliminasi identitas etnis tertentu, meskipun dilakukan secara halus. Namun
kebijakan ini nampaknya tidak membuat umat Islam Kamboja gusar, karena hal
tersebut hanya sebatas identitas saja. Umat Islam Kamboja tetap diberikan
kebebasan untuk menjalankan keyakinan mereka. Meskipun kebijakan tersebut
dianggap kontroversial, namun tidak menyudutkan umat Islam, sehingga tidak
memunculkan riak-riak perlawanan terhadap rezim Sihanouk.
33
Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social
Integration and Transnational the Case of Cambodia, (Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 164.
39
Menjelang akhir kekuasannya Sihanouk memiliki kedekatan dengan Partai
Komunis Indocina (Indocina Communist Party – ICP) yang di dalamnya terdapat
juga gerilyawan Khmer Merah. Ia memberikan izin bagi ICP untuk mendirikan
basis militer di Kamboja. Hal ini sontak menimbulkan pertentangan di kalangan
elit pemerintahan, terutama dengan Marsekal Lon Nol yang kala itu menjabat
sebagai perdana menteri. Berawal dari permasalahan tersebutlah kemudian
pemerintahan Kamboja terpecah, yang kemudian menyebabkan Sihanouk
digulingkan oleh Lon Nol.
2. Masa Lon Nol
Perebutan pengaruh antara kaum komunis dan liberalis terus berlangsung
sampai masa akhir kepemimpinan Sihanouk. Sihanouk yang memiliki kedekatan
terhadap pemerintah komunis Beijing harus terus bergulat dengan para penganut
ideologi liberalis yang kebayakan berasal dari petinggi militer. Pada tahun 1970
ketika sedang pergi ke Prancis untuk berobat, dengan leluasa akhirnya militer
yang dipelopori oleh Marsekal Lon-Nol mengambil alih kepemimpinan Kamboja
dengan mengkudeta raja Sihanouk.34 Sejak jatuhnya rezim Sihanouk, era baru
kepemimpinan Lon-Nol dikenal dengan
rezim Republik Khmer (Khmer
Republic) dimulai. Sebenarnya kudeta ini bermotifkan pengaruh ideologi. Para
petinggi militer dengan pihak Amerika Serikat mulai merasa cemas dengan
kedekatan Sihanouk dengan orang-orang komunis. Mereka menganggap ini
sebagai sebuah ancaman. Maka dari itu kudeta terhadap Sihanouk merupakan
langkah menyelamatkan Kamboja dari pengaruh ideologi Komunis.
34
M.C Ricklef, Sejarah Asia Tenggara dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, hlm. 584
40
Marsekal Lon Nol merupakan salah satu petinggi militer yang memiliki
kedekatan dengan Amerika Serikat, sehingga dengan naiknya Lon Nol perlahan ia
mulai mengikis keberadaan ideologi komunis dan menggantikannya dengan
ideologi liberalis. Lon Nol mengganti sistem kenegaraan yang sebelumnya
menganut sistem monarki kontitusional menjadi sistem republik.
Tidak ubahnya dengan rezim Sihanouk, pada masa Lon Nol, Kamboja
masih belum bisa terlepas dari kemelut perang saudara. Perpolitikan Kamboja
terus terguncang dan makin memanas. Pemerintah lagi-lagi disibukkan dengan
urusan dalam negeri dengan munculnya pemberontakan-pemberontakan yang
dilakukan oleh Sihanouk dan pihak Khmer Merah yang merasa memiliki hak atas
Kamboja.
Pada masa Lon Nol peran umat Islam mulai terlihat. Terutama ketika Les
Kosem salah satu petinggi militer beragama Islam berasal dari etnis ChamMelayu memainkan peran yang cukup signifikan dalam angkatan perang maupun
perpolitikan Kamboja. Kiprahnya dalam militer dan perpolitikan Kamboja
berawal dari bergabungnya ia bersama FULRO (Front Univie de Lutte des Race
Oprimess) atau barisan pembebas ras-ras tertindas. Les Kosem menjadi salah satu
tokoh yang dipercaya oleh Lon Nol untuk menyelesaikan berbagai permasalahan
konflik yang terjadi di dalam internal umat Islam maupun masalah-masalah
lainnya, baik di dalam maupun di luar negeri. Les Kosem menjadi salah satu fakta
mulai diikutsertakannya masyarakat Islam Kamboja dalam dunia perpolitikan dan
kemiliteran Kamboja.
Hubungan umat Islam pada masa Lon Nol dapat dikatakan sangat baik
jika dibanding dengan masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan mereka laksana
41
simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Pada masa Lon Nol para
tentara Muslim yang dikomandani oleh Les Kosem banyak membantu Lon Nol
dalam misi penentangan agresi Indocina Communist Party yang dipelopori oleh
Vietnam di Kamboja. Kala itu desa-desa Muslim menjadi target penyerangan oleh
ICP. Sebanyak 24 masjid yang tersebar di lima provinsi diluluhlantakkan dan
sebanyak 26 hakim di empat provinsi dibunuh oleh ICP.35 Hal tersebut dilakukan
untuk mewujudkan masyarakat komunis di Indocina di bawah hegemoni Vietnam.
Namun Lon Nol beserta pasukan Muslim segera dapat menghentikan agresi ICP
dan memberikan perlindungan bagi rakyatnya.
Pada masa Khmer Repubik, umat Islam Kamboja diketuai oleh seorang
pemimpin agama yang bernama Okhna Hadji Abdoullah Bin Idres atau yang
akrab disapa Res Las. Didampingi oleh dua asistennya yaitu Hadji Sulaiman
Shukri, dan Hadji Mat Sales Sulaiman. Dan Les Kosem menjabat sebagai
penasihat.36
Rezim Republik Khmer banyak memberikan pelayanan dan kemudahan
bagi umat Islam. Di antaranya dengan dibentuknya direktorat urusan agama Islam
yang menangani permasalahan-permasalahan seputar agama Islam yang dibawahi
oleh negara. Pada masa Lon Nol juga dibangun sekitar 113 masjid yang tersebar
di seluruh desa Muslim. Selain itu Lon Nol juga mensahkan penggunaan bahasa
Arab dalam pengajaran agama Islam. Sebanyak sebelas Koranic School 37 juga
35
Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin
Printing Press, 1974), hlm. 11.
36
Ibid., hlm. 36-37.
37
Koranic School merupakan lembaga pendidikan Islam Kamboja seperti madrasah.
42
didirikan. Namun jumlahnya masih sangat sedikit, dikarenakan keterbatasan
tenaga pengajar.38
Pada masa Lon Nol tepatnya tahun 1970 disahkan
berdirinya dua
organisasi Muslim pertama di Kamboja, yakni, The Central Islamic Association of
The Khmer Republic - CIS, dan The Association of Khmer Islamic Youth AKIY. CIS
diketuai oleh Mr Hadji Muhammad Aly Haroun. Organisasi ini
bergerak dalam bidang keagamaan, sosial, dan pendidikan. Di antaranya
memperkuat persaudaraan di kalangan umat Islam Kamboja, menyebarluaskan
doktrin Islam, penyelengaraan koranic school, pembangunan masjid, dan
penyelengaraan haji.39 AKIY juga memiliki program yang tidak jauh berbeda
dengan CIS. Hanya saja AKIY merupakan organisasi yang anggotanya terbatas
pada kalangan pemuda Muslim. Program AKIY di antaranya, menghimpun semua
pemuda dari seluruh lapisan masyarakat, memberikan pendalaman pendidikan
Islam untuk pemuda, dan menjalin kerjasama dengan organisasi lokal maupun
internasional.40 AKIY diketuai oleh seorang pemuda Muslim bernama Abdul
Rached bin Idres dit Man Seth.
Selain itu orang-orang Islam juga diberikan kesempatan untuk menduduki
beberapa posisi jabatan penting. Seperti ditempatkannya lima orang Muslim
dalam jabatan di kementrian urusan asing, di antaranya, M. Pean Abdul Gaffar
yang ditempatkan di Kedutaan Besar Republic Khmer di Washington D C, Prof.
Som Samout dit Abdullah sebagai delegasi Republik Khmer di Jenewa, dan tiga
orang Muslim yang ditempatkan di kementrian urusan asing, yakni, Prof. Math
38
Ibid., hlm. 43.
Lebih lanjut mengenai program CIS lihat: Ibid., hlm. 49.
40
Lebih lanjut mengenai program AKIY lihat: Ibid., hlm. 51.
39
43
Peas dit Abbas, Prof. Tol Lah dit Abdullah, dan Prof. Sop Mat Tin did
Moheidine.41
Selain itu, orang-orang Islam juga sudah mulai mewarnai badan legislatif
Republik Khmer. Beberapa orang Islam diberikan kesempatan untuk duduk di
bangku dewan. Mereka di antaranya adalah H. Sales Yahya, Os Salaimanna, Ysya
Ashary, Abdulhamid Jakariya, dan Uch Sos.42 Terdapat satu orang Muslim yang
juga dipercaya menjabat sebagai Sekretaris Menteri Kelautan dan Perikanan,
yaitu, Kolonel Hadji Ell Prahim.
Pergulatan perang saudara antara Sihanouk yang bekerjasama dengan
pihak Khmer Merah dengan rezim pemerintah terus berlanjut. Sihanouk masih
sangat berambisi untuk kembali menjadi orang nomor satu di Kamboja.
Ambisinya diperkuat setelah ia mendapat dukungan penuh dari China dengan
syarat ia harus menggulingkan rezim Lon Nol.43 Sihanouk juga menjalin
kerjasama dengan pihak Khmer Merah untuk menggulingkan rezim Lon Nol.
Berbagai pemberontakan dilancarkan untuk melemahkan pemerintahannya.
Seakan sudah tidak dapat menahan terjangan ombak yang kian membesar,
perlahan baris pertahanan pemerintah mulai tumbang dihantam para pemberontak
Khmer Merah yang menuntut agar Lon Nol segera menyerahkan tampuk
kekuasaan kepada Mereka.
Akhirnya pada tanggal 5 April 1975 pasukan pemberotak Khmer Merah
berhasil menguasai beberapa wilayah di sekitar Phnom Penh.44 Sementara itu Lon
41
Ibid., 54.
Ibid., 62.
43
“Kembalinya Pengeran Sihanouk Akan Rupakan Kemenangan PM Chou.” Warta
Berita Antara, 4 April 1975.
44
“Pasukan Pemberontak Terobos Garis Pertahanan Beberapa Ratus Meter.” Warta
Berita Antara, 5 April 1975.
42
44
Nol tetap berusaha mengupayakan cara-cara diplomasi untuk memadamkan
perseteruan tersebut. Ia meminta kepada perhimpunan negara-negara Asia
Tenggara (Association of South East Asian Nations – ASEAN) untuk membantu
penyelesaian peseteruan yang terjadi di negaranya. Oleh ASEAN difasilitasi
pertemuan kedua pihak yang terlibat perseteruan ini di Bangkok. Namun
Sihanouk dan pihak Khmer Merah tidak menghadiri pertemuan tersebut. Sihanouk
dan Khmer Merah beralasan karena enggan berdiplomasi dengan pengkhianat
yang masih dibayangi pengaruh Amerika Serikat.45 Sihanouk menginginkan agar
rezim pemerintah segera keluar dari Phnom Penh dan menyerahkan pemerintahan
kepada pihaknya.
Penolakan Khmer Merah untuk berunding tersebut membuat pemerintah
semakin frustasi. Pemberontakan yang dilakukan oleh Khmer Merah semakin
gencar dilakukan di ibukota Phnom Penh. Ditambah lagi mereka juga
mendapatkan dukungan rakyat Kamboja yang cukup banyak. Akhirnya
pemerintah Kamboja mulai merumuskan kemungkinan penyerahan tanpa syarat
kepada pihak Khmer Merah. Menurut Lon Nol kalau memang turunnya ia dari
tampuk kekuasaan Kamboja dapat membuat Kamboja mengakhir perang saudara,
itu akan ia lakukan.46
Serangan Khmer Merah terus dilancarkan kepada tentara pemerintah.
Terutama di wilayah ibukota yang memang telah menjadi incaran lama pasukan
Khmer Merah. Sebenarnya memang Khmer Merah telah menguasai hampir 60
persen wilayah Kamboja, terutama wilayah pinggiran. Sisanya sekitar 40 persen
“Sihanouk Tetap Tidak Mau Berunding Dengan Pemerintah Phnom Penh. “ Warta
Berita Antara, 5 April 1975.
46
“Presiden Lon Nol di Bali Merasa Seperti di Tanah Sendiri.” Warta Berita Antara, 5
April 1975.
45
45
masih berada dalam kendali pemerintah. Serangan yang bertubi-tubi akhirnya
dapat melumpuhkan baris pertahanan di selatan ibukota yang membuat pasukan
Khmer Merah akhirnya berhasil menerobos masuk Phnom Penh pada tanggal 17
April 1979.47
Masuknya tentara Khmer Merah disambut baik oleh masyarakat Kamboja.
Khmer Merah seakan menjadi pembebas dari ketertindasan mereka selama rezim
Lon Nol. Sejak itulah akhirnya Kamboja dikuasai oleh rezim komunis Khmer
Merah yang pada selanjutnya mengubah nama Kamboja menjadi Demokratic
Kampuchea. Sihanouk dengan dukungan Khmer Merah akhirnya kembali
menduduki tampuk kekuasaan tertinggi Kamboja dan Saloth Sar atau yang lebih
dikenal dengan Pol Pot menjabat sebagai perdana menteri.
47
“Phnom Penh Falls Into Khmer Rouge Hands.” Warta Berita Atara, 17 April 1975.
46
BAB III
MUSLIM KAMBOJA DI BAWAH REZIM KOMUNIS KHMER MERAH1
A. Sejarah dan Kiprah Khmer Merah dalam Kancah Perpolitikan Kamboja
Jika kita menyempatkan membuka kembali lembaran usang surat kabar
tahun 1975-an, headline beberapa surat kabar baik terbitan lokal maupun
internasional hampir semua surat kabar memuat narasi pergulatan politik
Kamboja dengan Khmer Merah sebagai sorotan utama. Khmer Merah sebagai
sebuah organisasi politik yang dalam pandangan pemerintah maupun mata
internasional disebut sebagai pihak pemberontak, pada 17 April 1975 berhasil
menapakkan kakinya pada tampuk kekuasaan tertinggi di Kamboja.
Meskipun dituding sebagai pemberontak, namun mereka berhasil
memperoleh dukungan sebagian besar masyarakat Kamboja yang sudah tidak
percaya lagi dengan pemerintahan Lon Nol kala itu. Maka dari itu, dengan cepat
mereka dapat mengambilalih ibukota Phnom Penh dan mendeklarasikan diri
sebagai rezim yang berdaulat penuh atas bumi Kamboja.
Nama Khmer Merah sebenarnya merupakan julukan yang diberikan oleh
raja Sihanouk kepada para penganut ideologi komunis yang memberontak pada
tahun 1960.2 Kata Khmer sendiri mengacu kepada etnis yang mendominasi
Kamboja. Sedangkan kata Merah (red atau rouge) mengacu kepada simbol
revolusioner yang mereka gaungkan.3 Sebenarnya orang-orang Khmer Merah
1
Istilah Khmer Merah merupakan istilah yang digunakan dalam bahasa Indonesia.
Sedangkan dalam bahasa Inggris akrab disapa Red Khmer atau Khmer Rouge. Kebanyakan
literatur menyebutnya Khmer Rouge.
2
Khamboly Dy, A History of Demokratic Kampuchea 1975-1979, (Phom Penh:
Deocument Center of Kampuchea, 2007), hlm. 1.
3
Lihat filosofi simbol dan bendera Demokratic Kampuchea dalam: Ibid., hlm. 21.
46
47
lebih senang menyebut diri mereka Angkar. Partai yang yang menjadi tunggangan
politik mereka bernama Partai Komunis Kamboja (Communist Party of
Kampuchea – CPK).
Para penganut ideologi komunis di Kamboja telah menunjukkan
keberadaanya sejak masa protektorat Prancis ketika di bawah kuasa raja
Monivong tahun 1940. Sebagian besar mereka berbasis di pedesaan dan banyak
mengakomodir para buruh, tani, dan pekerja kasar. Sejak masa raja Monivong,
mereka juga kerap kali melakukan provokasi-provokasi melalui pamflet dan surat
kabar. Penganut ideologi komunis di Kamboja semakin bertambah seiring dengan
tumbuhnya rasa nasionalisme rakyat Kamboja, dan gencarnya slogan anti kolonial
Prancis.
Gerakan perlawanan para penganut ideologi komunis dikokohkan dengan
didirikannya Barisan Pembebasan Khmer atau dalam bahasa Kamboja Nekhum
Issarak Khmer pada April tahun 1950 di Provinsi Kompot.4 Pertemuan ini dihadiri
oleh sekitar 200 delegasi dari berbagai daerah. Nekhum Issarak Khmer
sebenarnya merupakan kepanjangan tangan dari Partai Komunis Indocina
(Indocina Communist Party – ICP) karena banyak dari kader-kadernya yang juga
alumni dari ICP. Tujuan didirikannya Nekhum Issarak Khmer sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan ICP, mereka sama-sama berkeinginan menentang hegemoni
kolonial Prancis di Indocina.5
Pada kongres pertama didirikannya Nekhum Khmer Issarak ditetapkan
Song Ngoch Minh sebagai ketua Khmer Issarak. Song Ngoch Minh merupakan
seorang bikhsu yang keluar dari wiharanya untuk bergabung bersama para
4
5
197.
Ibid., hlm. 5.
Michael Vickery, Cambodia 1975-1982, (Boston MA: South End Press, 1984), hlm.
48
penganut ideologi komunis. Song Ngoch Minh menjadi aktor sentral yang sangat
berpengaruh dalam keberlangsungan organisasi ini. Untuk menjalankan roda
organisasinya, Song Ngoch Minh didampingi oleh dua sahabatnya, yakni Chan
Samay dan Sieu Heng.
Pada tahun 1951 baru pertama kalinya secara resmi partai komunis
didirikan. Partai tersebut dinamakan Partai Revolusioner Rakyat Khmer (Khmer
People’s Revolutionary Party – KPRP). Song Ngoch Minh masih memainkan
peran yang sangat sentral dalam organisasi ini.6 Ia menjabat sebagai ketua,
ditemani oleh Sieu Heng yang menjabat sebagai bagian kemiliteran, Tou Samouth
menjabat sebagai bagian kepelatihan ideologi, dan Chan Samay menjabat sebagai
divisi perekonomian. Sejak berdirinya, KPRP lebih cenderung melakukan
gerakan-gerakan bawah tanah ketimbang melakukan gerakan secara terangterangan. Dengan gencar KPRP terus melancarkan perlawanan secara grilya
kepada kolonial Prancis. KPRP berhasil merekrut anggota mulai dari tingkat desa
sampai pada tingkat nasional.
Pada masa Sihanouk, tepatnya tahun 1955-1959 banyak dari kader
komunis yang menjadi sasaran pembunuhan, terutama para petingginya, seperti
Tao Samouth, Sieu Heng, dan Chan Samay. Sekitar 90 persen dari keseluruhan
kadernya tewas terbunuh.7 Dan hanya tersisa 800 kader aktif yang tersebar di dua
zona besar, yakni zona timur yang berpusat di Kampong Cham di bawah So Phim
dan zona tenggara yang berpusat di Provinsi Takeo di bawah kepemimpinan Chhit
Choeun dan Ta Mok.
6
Ibid.,
Khmboly Dy, A History of Demokratic Kampuchea 1975-1979, (Phom Penh:
Deocument Center of Kampuchea, 2007), hlm. 8.
7
49
Sihanouk melakukan perburuan kepada para penganut ideologi komunis
karena mereka kerap kali merencanakan pemberontakan kepada pemerintahannya.
Perburuan tersebut menyebabkan banyak kader KPRP yang tewas terbunuh dan
melarikan diri keluar Kamboja, sehingga menyebabkan terjadinya kekosongan
ketua komite KPRP di beberapa wilayah, termasuk di Phnom Penh. Kala itu
jabatan ketua komite di Phnom Penh dipegang oleh Keo Mas. Namun ia
melarikan diri ke Hanoi untuk meminta perlindungan. Untuk mengisi kekosongan
tersebut, Pol Pot bersama kawan-kawannya, Khieu Samphan, Hou Youn, Hun
Nim, dan Ieng Sary mengisi kekosongan tersebut. Sejak itulah Pol Pot bersama
kawan-kawannya mulai mendominasi KPRP dan memainkan peran penting dalam
tubuh KPRP.
Pada kongres tertutup tahun 1960 di Phnom Penh, KPRP berganti nama
menjadi Partai Pekerja Kamboja (Worker Party of Kampuchea – WPK). Tou
Samout menjadi Sekretaris Jenderal Komite Pusat, Noun Chea menjabat sebagai
Wakil Sekretaris, dan Pol Pot menjadi Wakil Sekretaris Dua. Namun baru dua
tahun berjalan, partai ini harus kehilangan pemimpinnya, karena Tou Samouth
tewas terbunuh oleh polisi Sihanouk. Hal ini mendesak Pol Pot dan kawan-kawan
untuk segera melakukan kongres. Tewasnya Tou Samouth juga membuat Pol Pot
dan kawan-kawannya yang sebagian besar merupakan sarjana lulusan Prancis
memainkan peranan yang sentral dalam tubuh partai.
Pada
tahun
1963
WPK
bergegas
melaksanakan
kongres
guna
menggantikan Tou Samouth yang tewas terbunuh pada tahun 1962. Akhirnya
pada 21 Februari 1963 dilakukan kongres tertutup di Phom Penh yang
50
menetapkan Pol Pot sebagai Sekretaris Jendaral WPK.8 Kemudian pada tahun
1966 WPK berganti nama menjadi Partai Komunis Kamboja (Communist Party of
Kampuchea – CPK).9
CPK didirikan dengan dasar ideologi Communist-
Leninis.10
CPK di bawah Pol Pot sangat menentang berdirinya federasi negara
Indocina yang dipelopori oleh Vietnam. Menurutnya, hal itu dinilai sebagai
hegemoni Vietnam atas negara-negara Indocina (Kamboja, Laos, Vietnam). Selain
itu pihak Khmer Merah juga merasa dikhianati oleh komunis Vietnam dalam
perjanjian Jenewa. Komunis Vietnam dan Sihanouk menyetujui pembubaran
Khmer
Merah
karena
mereka
dianggap
pemberontak
dan
menggangu
keberlangsungan pemerintahan Sihanouk. Sihanouk dan komunis Vietnam
bekerjasama menekan pergerakan Khmer Merah yang semakin mengancam
pemerintahan Sihanouk. Sihanouk menggunakan komunis Vietnam atau ICP
untuk
meredam
pemberontakan-pemberontakan Khmer Merah. Sihanouk
beranggapan bahwa ICP dapat meredam pemberontakan Khmer Merah karena
Khmer Merah merupakan embrio dari ICP dan merupakan kawan lama. Namun di
luar dugaan, Khmer Merah enggan mengikuti nasihat-nasihat kawan-kawan
mereka di ICP, dan terus melancarkan pemberontakan. Khmer Merah tetap
bersikukuh dengan revolusi Kamboja. Alasan tersebutlah yang membuat Pol Pot
selaku pemimpin CPK menaruh dendam kepada Vietnam dan menggaungkan
slogan anti Vietnam kepada kader-kader Khmer Merah. Meskipun tidak semua
kadernya mengikuti slogan Pol Pot. Terdapat kader-kader Khmer Merah yang
8
Ibid., hlm. 8.
Ibid., hlm. 9.
10
Michael Vickery, Cambodia 1975-1982, (Boston MA: South End Press, 1984), hlm.
9
199.
51
tetap pro terhadap Vietnam, di antaranya kader Khmer Merah yang berada di
Zona Timur seperti Heng Samrin, Hun Sen, dan Math Ly.
Sementara itu dalam pemerintahan mulai terjadi perpecahan. Perdana
Menteri Lon Nol bersama Sirik Matak yang merupakan golongan anti komunis
tidak menyetujui kebijakan Sihanouk yang mengizinkan ICP mendirikan basis
militernya di wilayah Kamboja. Selain itu Lon Nol bersama militer dan
pemerintahan juga menentang kebijakan Sihanouk mengenai nasionalisasi bank.
Sihanouk ingin menerapkan kebijakan nasionalisasi bank yang membuat pihak
swasta merugi. Perselisihan dalam badan pemerintahan tersebut semakin
meruncing. Lon Nol berusaha mencari dukungan Amerika Serikat untuk
menghadapi Sihanouk dan ICP.
Pada Januari 1970, Norodom Sihanouk pergi ke Prancis untuk berobat, hal
tersebut membuat Lon Nol dan kawan-kawannya bebas bertindak. Pada 18 Maret
1970 diadakan sidang nasional oleh Dewan Perhimpunan. Dalam sidang tersebut
Sihanouk dipecat sebagai kepala negara, dan digantikan oleh Marsekal Lon Nol.
Lon Nol menjabat sebagai presiden dan Sirik Matak sebagai wakil presiden. Pada
masa Lon Nol sistem pemerintahan yang tadinya menganut sistem monarki
kontitusional, akhirnya digantikan dengan sistem republik.11 Kejatuhan Sihanouk
juga sekaligus sebagai misi penyelamatan Kamboja dari tangan komunis. Karena
melihat Sihanouk yang semakin dekat dengan kelompok komunis.
Pergantian rezim dari Sihanouk ke Lon Nol tidak lantas menyelesaikan
permasalahan politik di Kamboja, hal tersebut malah semakin membuat suhu
politik Kamboja semakin memanas. Sihanouk yang masih merasa dendam dengan
11
John Tully, A Short History of Cambodia: From Empire to Survival, (Australia: Allen
& Unwin, 2005), hlm. 186.
52
kudetanya, membuat koalisi dengan Khmer Merah untuk menjatuhkan presiden
Lon Nol. Khmer Merah juga merasa tertekan pada masa Lon Nol, karena gerak
mereka semakin dibatasi dan perlahan mulai disingkirkan. Hal tersebut semakin
menguatkan ambisi Khmer Merah untuk ikut menggulingkan pemerintahan Lon
Nol. Khmer Merah menganggap rezim Lon Nol merupakan rezim yang korup dan
sangat bergantung pada Amerika Serikat. Sihanouk dan Khmer Merah
membentuk Barisan Nasional Kamboja (Front Uni National du Kampuchea –
FUNK) atau dalam bahasa Kamboja Renasa Ruab Ruam Chiet Kampuchea.
FUNK dibentuk untuk mengakomodir para simpatisan Sihanouk dan Khmer
Merah. Tidak tanggung-tanggung, dukungan yang diberikan rakyat Kamboja
kepada Sihanouk dan Khmer Merah terdapat hampir di seluruh provinsi.
Sihanouk yang kala itu berada di Beijing juga mengumumkan
terbentuknya GRUNK (Gouvernment of National Union of Kampuchea) dan
Pasukan Pembebasan Nasional (National Liberation Armed Forces – NLAF).
GRUNK merupakan pemerintahan pengasingan yang berada di Beijing, di mana
Sihanouk menjabat sebagai pemimpinnya. Organisasi ini dibentuk sebagai
langkah mempersiapkan apabila nanti Kamboja jatuh kembali ke tangan
Sihanouk.
Sejak naiknya Lon Nol sebagai presiden, Khmer Merah gencar melakukan
serangan-serangan terhadap militer pemerintah. Sebenarnya memang rezim Lon
Nol yang terlebih dahulu memulai melakukan serangan terhadap kader Khmer
Merah. Karena Lon Nol dan Amerika Serikat bermaksud untuk menghapuskan
faham dan para kader komunis di Kamboja. Namun langkah tersebut tidak
menyurutkan niat para grilyawan Khmer Merah, mereka terus bergerak secara
53
gerilya di hutan-hutan dan pedesaan. 12 Mereka mencari massa yang merupakan
para buruh tani, dan buruh pabrik. Khmer Merah dan Sihanouk mendapat
dukungan penuh dari China dengan syarat Sihanouk dan Khmer Merah harus
menjatuhkan rezim Lon Nol.13 Khmer Merah terus gencar melakukan
penyerangan terhadap tempat-tempat penting, dan pada tanggal 5 Maret 1975
mereka berhasil menguasai daerah di sekitar ibukota dan bandar udara
Ponchentong. Serangan Khmer Merah yang membabi buta membuat militer
pemerintah semakin kuwalahan.
Menghadapi berbagai pemberontakan yang dilakukan Khmer Merah, Lon
Nol mencoba menggunakan langkah persuasif untuk menghadapi hal tersebut.
Karena menggunakan militer dinilai tidak lagi efektif, mengingat semakin
banyaknya korban sipil yang berjatuhan. Namun Sihanouk dan pihak Khmer
Merah selalu menolak, yang mereka inginkan hanyalah turunnya Lon Nol. Selain
itu Sihanouk dan Khmer Merah juga ingin menghilangkan pengaruh Amerika
Serikat di Kamboja yang banyak memengaruhi rezim Lon Nol. Berbagai langkah
persuasif sudah tidak memungkinkan, sementara Kamboja terus dilanda
kehancuran. Akhirnya Lon Nol meminta bantuan kepada perhimpunan negaranegara di Asia Tenggara (Associatioan of Southeast Asian Nations - ASEAN).14
Melalui ASEAN difasilitasilah pertemuan di Bangkok antara pihak pemerintah
dan Khmer Merah.15 Namun Sihanouk bersama pihak Khmer Merah menolak
12
Ramlan Surbakti dkk, Kampuchea Tahun 1975-1985. (Universitas Airlangga: Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1990). hlm. 38.
13
“Kembalinya Pengeran Sihanouk Akan Rupakan Kemenangan PM Chou,” Warta
Berita Antara, 4 April 1975.
14
“Lon Nol Harapkan Indonesia Usahakan Selenggarakan Perdamaian Khmer,” Warta
Berita Antara, 6 April 1975
15
“Perundingan Damai Khmer di Bangkok,” Warta Berita Antara, 8 April 1975.
54
untuk menghadiri pertemuan tersebut. Hal itu membuat perdamaian antara pihak
pemerintah dan Khmer Merah semakin sulit dicapai.
Perundingan tersebut tak kunjung menemui titik terang, sementara
pemberontak Khmer Merah semakin gencar melakukan serangan. Akhirnya
pemerintah mulai merumuskan penyerahan tanpa syarat Kamboja kepada
pemberontak Khmer Merah. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir kehancuran
dan banyaknya korban yang berjatuhan. Menurut Sukhom Khoy salah seorang
pegawai kepresidenan, tidak ada yang bisa menghalangi penyerahan tanpa syarat
kepada Khmer Merah.16 Hal tersebut dikarenakan melemahnya militer pemerintah
menahan gempuran serangan Khmer Merah dan mulai banyaknya rakyat yang
bersimpati kepada Sihanouk dan Khmer Merah. Selain itu sekitar 60 persen
wilayah Kamboja juga sudah dikuasai oleh Khmer Merah, pemerintah hanya
menguasai sisanya saja. Hal ini membuat pemerintah semakin terdesak. Akhirnya
pada 17 April 1975 pasukan revolusioner Khmer Merah berhasil memasuki
ibukota Phnom Penh.
17
Sejak itulah Kamboja jatuh ke tangan rezim komunis
Khmer Merah.
Masuknya pasukan revolusionr Kamboja ke Phnom Penh disambut suka
cita oleh rakyat Phnom Penh, tidak ada perlawanan dari rakyat maupun militer.
Mereka memasuki kota dengan damai. Hal ini terjadi karena rakyat Kamboja
menganggap Khmer Merah sebagai pembebas dari rezim Lon Nol. Tahun
kenaikan Khmer Merah sebagai penguasa di Kamboja dikenal sebagai tahun nol
“Sukham Khoy: Tidak Ada Yang Bisa Menghalangi Penyerahan Tanpa Syarat Kepada
Khmer Merah,” Warta Berita Antara, 8 April 1975.
17
“Phnom Penh Falls Into Khmer Rouge Hands,” Warta Berita Antara, 17 April 1975.
16
55
atau zero year.18 Setelah berhasil memasuki Phnom Penh, Khmer Merah segera
mengambil alih tempat-tempat penting, terutama stasiun radio Phnom Penh.
Stasiun radio dipilih karena merupakan tempat yang digunakan untuk
mensosialisasikan segala program Khmer Merah.
Pada masa rezim Khmer Merah, Sihanouk kembali naik tahta sebagai
kepala negara. Sedangkan Khieu Samphan menjabat sebagai perdana menteri.
Meskipun Sihanouk masih mendapat simpati yang besar dari masyarakat
Kamboja, namun naiknya Sihanouk sebagai presiden sebenarnya hanya
merupakan
boneka
Khmer
Merah.
Karena
sesungguhnya
pemerintahan
dikendalikan oleh Pol Pot dan kawan-kawan.19 Pada 11 Maret 1976, CPK yang
diketuai oleh Pol Pot menggelar sidang pemberhentian Sihanouk sebagai kepala
negara karena alasan kesehatan.20 Akhirnya terpilihlah Khieu Samphan sebagai
kepala negara, dan Pol Pot sebagai perdana menteri. Bersamaan dengan itu
Kamboja berganti nama menjadi Demokratic Kampuchea.
Kebanyakan kader CPK yang menjabat dalam rezim Demokratic
Kampuchea adalah kawan-kawan Pol Pot yang merupakan mahasiswa lulusan
Prancis. Di antaranya Khieu Samphan, Ieng Sary, Son Sen, dan Noun Chea.21 Pol
Pot dikenal sebagai Brother Number One atau kakak pertama. Pol Pot lah yang
pada masa kemudian memainkan peranan yang cukup besar di dalam
pemerintahan Khmer Merah. Pol Pot pernah kuliah di Prancis mengambil jurusan
18
Zero year merupakan istilah yag digunakan Pol Pot dan kawan-kawan untuk menandai
naiknya Khmer Merah pada tampuk kekuasaan. Dinamakan zero year atau tahun nol karena Pol
Pot ingin melakukan perubahan secara fundamental seakan-akan semuanya berawal dari nol.
Lihat: Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social
Integration and Transnational the Case of Cambodia, Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 25.
19
“Salah Siapa Kamboja Komunis?,” Kompas, 18 April 1975.
20
Khmboly Dy, A History of Demokratic Kampuchea 1975-1979, (Phnom Penh:
Deocument Center of Kampuchea, 2007), hlm. 21.
21
Lebih lanjut mengenai struktur organisasi Demokratic Kampuchea lihat: Ibid. hlm. 22.
56
teknik radio. Di Prancis Pol Pot gencar mengkampanyekan pemikirannya yang
anti kolonial. Di Paris ia juga sempat bergabung dengan Partai Komunis Prancis
(Communist Party of France – CPF) yang kala itu menjadi partai komunis yang
cukup berkembang di Eropa.22 Merekalah yang pada kemudian hari memainkan
peran sangat signifikan pada rezim Demokratic Kampuchea atau Khmer Merah.
B. Kebijakan Politik Pemerintah Khmer Merah Terhadap Etnis dan Agama
Setelah naiknya Khmer Merah pada tampuk kekuasaan tertinggi di
Kamboja, seketika itulah mereka menguasai berbagai tempat penting di ibukota.
Langkah pertama yang diambil oleh Khmer Merah, adalah memutus semua
komuniskasi Kamboja dengan dunia luar.23 Hal tersebut membuat berbagai
informasi terkait kondisi Kamboja tidak diketahui secara pasti. Kamboja sangat
tertutup dari dunia luar semenjak kejatuhannya ke tangan komunis. Setelah itu
pemerintah Khmer Merah bergegas menerapkan kebijakan yang tertuang dalam
Eight Points Plans. Di antaranya:
“Evacuating people from all town.
Abolishing all market.
Withdrawing all Lon Nol Currency and witholding the Revolutionary
currency which had been printed.
Defrocking all Buddhist monk and putting down to work growing rice.
Executing all leaders of the Lon Nol regime, beginning with the top leaders.
Estabilishing high level cooperatives throughout the country with communal
eating.
Expelling the entrie Vietnamse minority population”.24
Terjemahan:
Evakuasi semua warga dari perkotaan.
22
John Tully, A Short History of Cambodia: From Empire to Survival, (Australia: Allen
& Unwin, 2005), hlm. 186.
23
“Komuniskasi Phnom Penh di Putus,” Kompas, 19 April 1979.
24
Farina So, The Hijab of Cambodia Memories of Cham Muslim Women After the
Khmer Rouge, (Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2011), hlm. 36.
57
Tutup semua pasar (segala kegiatan jual beli).
Menarik semua mata uang masa Lon Nol, dan mengganti dengan mata uang
revolusioner yang akan dicetak.
Memecat semua pendeta Budha, dan memerintahkan mereka untuk bekerja
menanam padi.
Eksekusi mati semua pemimpin rezim Lon Nol, dimulai dari pimpinan
tertinggi.
Meningkatkan kerjasama dengan semua wilayah dan menjadikannya milik
bersama.
Mengusir semua minoritas etnis Vietnam
Dari delapan poin tersebut yang cukup menjadi sorotan luas adalah
kebijakan memindahkan semua orang ke pedesaan, dan membunuh mati semua
rezim Lon Nol. Kebijakan rezim Khmer Merah memburu dan mengeksekusi mati
para pemimpin dan loyalis rezim Lon Nol merupakan janji Khieu Samphan selaku
pemimpin Khmer Merah sebelum Khmer Merah menduduki ibukota Phnom
Penh.25 Lon Nol dan semua staf rezimnya menjadi sasaran pembunuhan Khmer
Merah karena menurut Khmer Merah mereka dianggap sebagai kaum
pengeksploitasi. Ancaman tersebut juga dilayangkan kepada mantan perdana
menteri Lon Nol, Long Boret. Namun mengenai pembunuhan Lon Nol dan Long
Boret tidak diketahui pasti apakah mereka jadi dieksekusi mati atau tidak.26
Selanjutnya kebijakan pemerintah Khmer Merah mengungsikan semua
penduduk kota ke pedesaan, karena alasan untuk mengantisipasi gempuran
Amerika Serikat. Namun sesungguhnya, diungsikannya mereka ke pedesaan
adalah untuk bekerja sebagai buruh tani. Mereka yang diungsikan tidak kembali
ke rumah sampai berakhirnya kekuasaan Khmer Merah. Dievakuasikannya
mereka, membuat mereka harus meninggalkan rumah dan harta benda. Mereka
yang dievakuasi ditempatkan di beberapa wilayah pedesaan yang berbeda. Bahkan
“Salah Siapa Kamboja Komunis?,” Kompas, 18 April 1975.
Ada pula yang mengatakan bahwa Lon Nol dan Long Boret berhasil melarikan diri ke
perbatasan Thailand. Lihat: “Red Khmer Execute Long Boret and Lon Nol.”, Warta Berita Antara,
20 April 1975.
25
26
58
dalam satu keluarga biasanya mereka dipisahkan ke penjuru wilayah yang berbeda
antar satu sama lain.
Khmer Merah kemudian membagi wilayah Kamboja menjadi tujuh
wilayah administrasi (zona), yakni zona barat laut, utara, timur laut, tengah timur,
barat daya, dan barat.27 Di antara ketujuh zona tersebut terdapat tiga zona yang
paling menonjol, yakni zona timur yang berisikan kader Khmer Merah pro
Vietnam di bawah pimpinan So Phim. Kemudian zona barat daya dan zona barat
laut yang langsung di bawah kendali Pol Pot. Di antara zona-zona tersebut, zona
timurlah yang tidak terkena kebijakan pengevakuasian warga, penghapusan mata
uang, dan kewajiban bertani bagi rakyatnya. Hal ini dikarenakan memang sejak
awal kader-kader zona timur seperti So Phim, Pen Sovan, Heng Samrin, dan Hun
Sen tidak sependapat dengan konsep ultra komunis yang digaungkan oleh Pol Pot.
Mereka lebih menginginkan revolusi yang damai tanpa adanya pemaksaan dan
penindasan.28 Masa selanjutnya zona ini menjadi zona yang eksklusif dan paling
damai. Zona ini juga memiliki kecenderungan dengan komunis Vietnam.
Selanjutnya rezim Khmer Merah membagi masyarakat Kamboja menjadi
dua golongan, yakni Orang Lama, dan Orang Baru. Orang lama merupakan orang
yang telah terlebih dahulu bergabung dengan Khmer Merah sebelum mereka
berhasil berkuasa di Kamboja pada 17 April 1975. Mereka inilah yang kemudian
dijadikan sebagai kader-kader pemimpin oleh Khmer Merah. Sedangkan Orang
Baru adalah mereka yang mengikuti Khmer Merah setelah kemenangannya pada
tahun 1975. Orang Baru mendapatkan pengawasan yang lebih ketat, mereka
27
Ramlan Surbakti dkk, Kampuchea Tahun 1975-1979, (UNAIR: Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, 1990), hlm. 68.
28
Ibid., hlm. 69
59
dianggap sebagai parasit yang suatu saat bisa saja menjadi ancaman bagi
pemerintahan Khmer Merah.29
Selain itu rezim Khmer Merah juga menerapkan kebijakan penggunaan
baju hitam bagi seluruh rakyat Kamboja sebagai simbol kesetaraan. Rezim Khmer
Merah menerapkan kebijakan pemisahan hidup bersama dalam satu keluarga.
Seorang anak tidak diperkenankan tinggal dengan orang tuanya, mereka diberikan
tempat tersendiri di bawah pengawasan ketat pemerintah Khmer Merah.30 Tak
tanggung-tanggung, bahkan pemerintah Khmer Merah mendidik dan melatih
semua anak-anak untuk memegang senjata. Mereka diberikan kepercayaan penuh
oleh pemerintah Khmer Merah, karena mereka menganggap anak-anak masih
bersih dari pengaruh doktrin, sehingga memudahkan bagi pemerintah Khmer
Merah untuk memengaruhi mereka.
Ketika berhasil memasuki desa-desa Muslim, Khmer Merah menerapkan
kebijakan khusus bagi umat Islam. Kebijakan tersebut tertuang dalam Five Point
Plans, yakni lima peraturan yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam, di
antaranya:
“All women cut their hair short and would be forbidden to cover their heads
All copies of the Qur’an would be burned
Pigs would be raised by Cham Muslim and they would required to eat pork
There would be no more canonical prayer (salat) and all place of communal
worship would be closed
In the future Cham Muslim villagers (men and women) would have to wed
spouse who were non-Muslim when they got married.”31
Terjemahan:
29
Farina So, The Hijab of Cambodia Memories of Cham Muslim Women After the
Khmer Rouge, (Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2011), hlm. 80.
30
Ibid., hlm. 85.
31
Ysa Osman, The Cham Rebellion Survivors Stories From The Village, (Phnom Penh:
Document Center of Cambodia, 2006), hlm. 55.
60
Semua wanita harus memotong pendek rambutnya dan dilarang
menggunakan hijab.
Bakar semua salinan al-Qur’an
Babi harus dijadikan peliharaan oleh Cham Muslim dan mereka disuruh
untuk memakannya.
Dilarang melaksanakan shalat dan semua tempat ibadah umat Islam akan
ditutup.
Penduduk Cham Muslim baik laki-laki maupun perempuan diharuskan
menikah dengan pasangan yang non-Muslim.
Kebijakan tersebut diterapkan oleh pemerintah Khmer Merah pada tahun 1975
ketika belum disahkannya Konstitusi Khmer Merah.32 Kebijakan tersebut
dirasakan berat bagi umat Islam Kamboja. Karena sangat bertentangan dengan
norma-norma yang berlaku dalam agama Islam. Namun demikian umat Islam
tetap dipaksakan untuk melaksanakan perintah tersebut.
Pada tanggal 5 Januari 1976 pemerintah Khmer Merah mempublikasikan
Konstitusi Demokratic Kampuchea (Demokratic Kampuchea Constitution).33
Yang bersisi 15 Bab dan 21 Pasal. Konstitusi ini mengatur mulai dari dasar negara
Kamboja, perekonomian, budaya, kebijakan asing sampai dengan pasal yang
membahas mengenai ibadah dan keagamaan.34 Penulis akan mencoba mengulas
dua bab yang berkaitan dengan hak dan kewajiban warganegara dan bab yang
membahas mengenai peribadatan dan keagamaan.
32
Konstitusi Khmer Merah atau Demokratic Kampuchea Constitution adalah perundangundangan yang menjadi dasar negara Kamboja di bawah pemerintah Khmer Merah. Konstitusi ini
dibuat dalam pertemuan kader Khmer Merah yang dilangsungkan di Phnom Penh pada tanggal 15
sampai dengan 19 Desember 1975. Namun baru diumumkan pada 5 Januari 1976. Lihat:
Demokratic Kampuchea Constitution 1976 E3/259, (Phom Penh: Document Center of Cambodia).
Tersedia di: http://www.eccc.gov.kh/sites/default/files/documents/courtdoc/E3_259_EN.PDF
(akses: 14 Mei 2014)
33
Ibid.,
34
Terkait konstitusi Demokratic Kampuchea penulis menemukan tiga versi konstitusi
yang diterbitkan oleh pihak yang berbeda. Pertama oleh Document Center of Cambodia- DCCAM, dan yang kedua termuat dalam buku Franҫois Ponchaud, Cambodia Year Zero, yang terbit
pada tahun 1978. Dan yang penulis temukan dalam bulletin Khmer Merah yang berjudul
Demokratic Kampuchea a Workers and Peasants State in South-East Asia tahun 1977. Setelah
penulis bandingkan ketiganya ternyata tidak terdapat perbedaan dalam kontennya.
61
Dalam Bab 9 Demokratic Kampuchea Constitution mengulas mengenai
hak dan kewajiban individu masyarakat Kamboja (The Right and Duties of the
Individual).Bab ini terdiri atas 3 Pasal, di antaranya:
Pasal 1:
“Every citizen of Cambodia is fully entitled to a constantly improving
material, spiritual, and cultural life.
Every citizen of Cambodia is guaranteed a living.
All workers are the master of their factories.
All peasnts are the master of the rices paddies and fields.
All other working people have the right to work.
There Absolutely no anemployment in Demokratic Kampuchea.”
Terjemahan:
Setiap warga negara Kamboja memiliki hak penuh untuk senantiasa
meningkatkan kehidupan materi, rohani, dan kebudayaannya.
Setiap warga negara Kamboja dijamin kehidupannya.
Semua pekerja adalah pemilik dari pabrik mereka.
Semua petani adalah pemilik dari beras dan sawah mereka.
Semua pekerja berhak mendapatkan pekerjaan.
Tidak ada pengangguran di Demokratic Kampuchea
Pasal 2:
“The must be complete equality among all Cambodian peoples in an equal,
Just, demokratic, harmonious, and happy society within the great national
union for defending and building the country.
Man and women are equal in every respect.
Polygamy and polyandry are prohibited”
Terjemahan:
Kesetaraan menjadi hal yang wajib bagi masyarakat Kamboja, sebagai
perwujudan, masyarakat yang demokratis, harmonis, dan bahagia guna
menciptakan persatuan nasional untuk mempertahankan dan membangun
negara.
Pria dan wanita adalah setara dalam segala hal.
Poligami dan poliandri dilarang.
Pasal 3:
62
“It is the duty of all defend and build the country together in accordance with
individual ability and potential.”35
Terjemahan:
Kewajiban bagi semua masyarakat adalah mempertahankan dan membangun
negeri bersama-sama sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan setiap
individu.
Selanjutnya dalam bab 15 Khmer Merah mengulas bab mengenai peribadatan dan
keagamaan (Worship and Religion) yang terdiri atas satu pasal, di antaranya:
“Every citizen of Cambodia has the right to worship according to any
religion and right not to worship according to any religion.
All ractionary religions which are detrimental to Demokratic Kampuchea
and the Cambodia people are stricly forbidden.”36
Terjemahan:
Setiap masyarakat Kamboja diperbolehkan untuk beribadah menurut agama
apa saja dan tidak diperbolehkan beribadah menurut agama lain.
Semua agama reaksioner yang mengancam Demokratic Kampuchea dan
masyarakat Kamboja dilarang keras.
Mengenai kebijakan terkait etnis minoritas tidak diatur dalam konstitusi.
Tidak diketahui secara pasti mengapa demikian. Hanya dalam Eight Point Plans
pemerintah Khmer Merah menyebutkan secara jelas kebijakan pengusiran etnis
Vietnam. Hal tersebut merupakan buntut dari perselisihan antara pemerintah
Khmer Merah dan Vietnam. Secara teori nampaknya rezim Khmer Merah tidak
memandang perbedaan etnis di Kamboja sebagai permasalahan yang berarti
sehingga harus diatur sedemikian rupa dalam konstitusi. Pemerintah Khmer
Merah menganggap semua masyarakat Kamboja setara tanpa perbedaan etnis dan
status. Selama mereka masih mentaati dasar negara dan kewajiban individu.
Demokratic Kampuchea Constitution Bab 9, dalam Franҫois Ponchaud, Cambodia
Year Zero, (Terj.), (New Zeland: Pinguin Books, 1978), hlm. 223-224.
36
Ibid., hlm. 225.
35
63
Meskipun dalam praktiknya rezim Khmer Merah kerap kali mengedepankan
kepentingan etnis Khmer sebagai langkah untuk melakukan asimilasi etnis
minoritas ke dalam etnis Khmer atau Khmerisasi.
.
C. Motif Penindasan dan Diskriminasi Khmer Merah terhadap Muslim
Kamboja
Sejauh ini berbagai literatur belum mendalami permasalahan mengenai
motif yang melatarbelakangi pemerintah Khmer Merah melakukan penindasan
terhadap Muslim Kamboja. Kebanyakan kajian hanya memfokuskan pada bentukbentuk penindasan yang dilakukan pemerintah Khmer Merah, tanpa mengkritisi
apa kiranya hal yang melatarbelakangi peristiwa tersebut. Sebuah peristiwa terjadi
pasti memiliki kausalitas atau sebab akibat. Maka dari itu perlu kiranya
menelusuri lebih jauh mengenai permasalahan tersebut guna mengungkap
permasalahan yang belum terjawab.
Tiga tahun setelah pemerintah Khmer Merah berkuasa di Kamboja dan
setelah disahkannya Demokratic Kampuchea Constittion pada 1976, diberitakan
bahwa sekitar 2,5 juta dari 7 juta rakyat Kamboja mati.37 Matinya rakyat Kamboja
disebabkan karena kelaparan, penyakit, dan pembantaian yang dilakukan tentara
pemerintah Khmer Merah.38 Dapat dikatakan bahwa genosida atau pembunuhan
masal ini merupakan genosida terbesar pasca Perang Dunia Kedua. Menurut Ysa
Osman, sekitar 500.000 dari 700.000 Muslim Kamboja juga mati karena hal yang
sama.39 Sebanyak 113 masjid dihancurkan dan dialihfungsikan.40 Para hakem dan
Mc Govern, “2,5 Juta Rakyat Kamboja Mati Kelaparan,” Merdeka, 24 Agustus 1978.
Ibid.,
39
Ysa Osman, OUKOUBAH Justice For the Cham Muslim Under the Demokratic
Kampuchea, (Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2002), hlm. 2.
37
38
64
tuon juga menjadi sasaran pembantaian.41 Para tokoh besar agama Islam banyak
yang menjadi target pembunuhan dan pembantaian, di antaranya, grand mufti
Hadji Abdullah bin Idres (Res Las), wakil mufti satu Hadji Sulaiman Shukry,
wakil mufti dua Hadji Math Saleh Slaiman, Hadji Math Liharoun ketua CIS, dan
Man Set ketua AKIY.42 Selain itu terdapat pula beberapa petinggi Muslim yang
duduk di beberapa posisi penting dalam pemerintahan yang juga dieksekusi, di
antaranya, kolonel polisi militer pada masa Lon Nol El Brahim, anggota senat
pada masa Lon Nol Haji Saleh Yahya, pemimpin FULRO Ibaham En Noul, dan
ketua dari gerakan Muslim Cham Soh Man.43 Menganai kondisi Les Kosem pada
masa pemerintah Khmer Merah tidak diketahui secara pasti, namun kabar yang
beredar ia melarikan diri ke Thailand Selatan.
Selain pembantaian beberapa petinggi Muslim, umat Islam dilarang untuk
menggunakan atribut keislaman seperti hijab, peci, sarung dan sebagainya. alQur’an dan keitap44 yang menjadi pedoman umat Islam juga menjadi sasaran
pemusnahan. Pemerintah Khmer Merah juga melarang semua praktik keagamaan
umat Islam seperti sembahyang, puasa, dan sebagainya.
Berbagai rentetan kisah pilu tersebut merupakan fakta yang terjadi pada
masa pemerintah Khmer Merah. Namun sampai sekarang tidak diketahui secara
40
Seddik Taouti, Forgotten Muslim Kampuchea and Vietnam, dalam Ahmad Ibrahim
dkk, Readings on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1985),
hlm. 194.
41
Khmboly Dy, A History of Demokratic Kampuchea 1975-1979, (Phom Penh:
Deocument Center of Kampuchea, 2007), hlm. 43.
42
Ibid., hlm.122-123. Lebih jelas mengenai para petinggi Muslim yang di eksekusi pada
masa Khmer Merah lihat lampiran.
43
Ysa Osman, OUKOUBAH Justice For the Cham Muslim Under the Demokratic
Kampuchea, hlm. 125. Lebih jelas lihat lampiran.
44
Keitap merupakan buku yang mengajarkan keislaman dan al-Qur’an. Lebih lanjut lihat:
Ysa Osman, OUKOUBAH Justice fot the Cham Muslim under the Demokratic Kampuchea,
(Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2002), hlm. 3.
65
pasti apa yang melatarbelakangi tindakan Khmer Merah tersebut. Mengingat
sebuah peristiwa tidak tunggal penyebabnya. Maka dari itu, dalam tulisan ini
penulis berusaha menganalisa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Penulis
akan menguraikan sedikitnya tiga faktor yang berhasil penulis amati sejauh
membaca berbagai literatur mengenai Muslim Kamboja, di antaranya:
1. Loyalis Rezim Lon Nol
Sebelum naiknya Khmer Merah pada tampuk kekuasaan tertinggi di
Kamboja, Khieu Samphan salah seorang petinggi CPK mengatakan bahwa, jika
suatu saat CPK berhasil berkuasa, maka ia akan menghabisi semua pejabat
pemerintah rezim Lon Nol jika tidak bergegas meninggalkan Kamboja. Selaras
dengan keinginan Sihanouk yang juga sangat berambisi untuk membunuh semua
aparatur rezim Lon Nol.45 Hal tersebut didasari dendam kudeta pemerintahan Lon
Nol terhadapnya. Bahkan tak tangung-tanggung pemerintah Khmer Merah
menetapkan loyalis rezim Lon Nol sebagai golongan yang menduduki posisi
pertama dalam daftar musuh internal Khmer Merah (internal enemies).46 Tujuan
CPK adalah ingin melakukan perubahan secara fundamental. Sehingga segala
sesuatu yang berbau Lon Nol harus dihabiskan. Khmer Merah juga ingin
menghapuskan pengaruh Amerika Serikat yang terus membayangi Kamboja pada
masa rezim Lon Nol. Untuk menciptakan komposisi masyarakat komunis yang
ideal, harus menghapus generasi yang sudah terkontaminasi dengan rezim
sebelumnya, bahkan dengan kekerasan sekalipun.
“Phnom Penh Menyerah,” Kompas, 18 April 1975.
Khmer Merah membagi musuh mereka menjadi dua golongan, yakni musuh internal
dan musuh eksternal. Musuh internal yang ditetapkan Khmer Merah diantaranya, loyalis rezim
Lon Nol, etnis minortas, dan Cham Muslim. Sedangkan musuh eksternal ialah Amerika Serikat
dan sekutunya, Thailand, dan beberapa negara Sosialis seperti Vietnam dan Uni Soviet. Lebih
lanjut lihat: Ysa Osman, OUKOUBAH Justice fot the Cham Muslim, hlm. 42.
45
46
66
Pada masa Lon Nol baru pertama kalinya umat Islam mendapat jabatan
penting dalam pemerintahan. Seperti yang pernah penulis singgung pada bagian
sebelumnya. Les Kosem menjadi Muslim Cham cukup menjadi sorotan, karena
sebagai salah seorang Muslim ia berhasil menduduki jabatan yang cukup
berpengaruh dalam kemiliteran Kamboja. Setelah jatuhnya Kamboja ke tangan
pemerintah Khmer Merah, Les Kosem pun harus melarikan diri ke Thailand.
Sangat dimungkinkan larinya Les Kosem dilakukan untuk menghindari incaran
Khmer Merah. Selain Les Kosem juga banyak terdapat tokoh Muslim Kamboja
yang menduduki posisi penting pada masa Lon Nol. Hal tersebut cukup
menggambarkan kedekatan Lon Nol dengan umat Islam Kamboja.
Pemerintah Khmer Merah menganggap umat Islam yang memiliki
kedekatan dengan Lon Nol sebagai loyalis rezimnya, sehingga dijadikan sebagai
target pembunuhan. Terutama para elit Muslim yang menduduki jabatan penting
tersebut. Jika mengacu kepada gagasan monoisme komunis, penganut ideologi
komunis dalam hal ini Khmer Merah, tidak menghendaki keberadaan oposisi dan
perbedaan-perbedaan yang menimbulkan perpecahan, sehingga persatuan
dipaksakan dan oposisi menjadi target penindasan.47 Singkatnya kedekatan umat
Islam dengan rezim Lon Nol dianggap sebagai oposisi yang nantinya akan
menjadi ancaman bagi pemerintah Khmer Merah. Sehingga cukup beralasan bagi
Khmer Merah menjadikan umat Islam sebagai target penindasan dan
pembunuhan. Namun kesimpulan penulis pada hal ini berlaku hanya pada elit
Muslim yang memiiki kedekatan dengan rezim Lon Nol.
47
Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 88.
67
2. Kebijakan Diskriminatif
Perlu kiranya menganalisa lebih dalam mengenai kebijakan yang
diterapkan oleh pemerintah Khmer Merah terhadap penganut agama di Kamboja
khususnya umat Islam. Mengingat kebijakan ini digadang-gadang sebagai pangkal
dari rentetan penindasan pemerintah Khmer Merah terhadap umat Islam. Penulis
akan menguraikan dua kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Khmer Merah,
yakni kebijakan sebelum tahun 1976 atau Five Point Plans dan kebijakan yang
tertuang dalam Demokratic Kampuchea Constitution.
Khmer Merah melakukan gerilya untuk menjatuhkan rezim Lon Nol
dengan menguasai wilayah-wilayah di pedesaan. Mereka mencoba mencari
simpati dari masyarakat pedesaan yang terdiri atas sebagian besar petani dan
nelayan. Bahkan berusaha berusaha merekrut mereka untuk masuk ke dalam
Khmer Merah. Beberapa desa Muslim di Kampong Cham juga tak terlewatkan
dari jamahan tentara Khmer Merah. Terutama di tiga desa besar yang menjadi
basis terbesar umat Islam, yakni Kroch Chhmar, Koh Pah, dan Svay Khleang.
Sejak tahun 1973 Khmer Merah telah berhasil menjalin komunikasi
dengan ketiga desa Muslim tersebut.48 Khmer Merah mencoba merekrut mereka
untuk masuk sebagai anggota Khmer Merah dan meminta agar para buruh tani
tersebut mengubah cara bertani mereka sesuai dengan konsep Khmer Merah.
Setelah itu pada tahun 1975 diterapkanlah Five Point Plans yang diperuntukkan
khusus bagi umat Islam. Yang isinya sebagai berikut :
“All women cut their hair short and would be forbidden to cover their heads
All copies of the Qur’an would be burned
Pigs would be raised by Cham Muslim and they would required to eat pork
48
Ysa Osman, The Cham Rebellion Survivors Stories From The Village, (Phnom Penh:
Document Center of Cambodia, 2006), hlm. 55.
68
There Would be no more canonical prayer (salat) and all place of communal
worship would be closed
In the future Cham Muslim villagers (men and women) would have to wed
spouse who were non-Muslim when they got married.”49
Terjemahan:
Semua wanita harus memotong pendek rambutnya dan dilarang
menggunakan hijab.
Bakar semua salinan al-Qur’an.
Babi harus dijadikan peliharaan oleh Cham Muslim dan mereka akan diminta
untuk memakan dagingnya.
Dilarang melaksanakan shalat dan semua tempat ibadah umat Islam akan
ditutup.
Pada masa selanjutnya Cham Muslim baik laki-laki maupun perempuan
diharuskan menikah dengan pasangan yang non-Muslim.
Umat Islam di tiga desa di wilayah Kampong Cham menolak untuk
melaksanakan kebijakan tersebut. Mulai dari masuk ke dalam Khmer Merah,
merevolusi bidang pertanian mereka, sampai pelaksanaan Five Point Plans. Umat
Islam menganggap kebijakan tersebut memberatkanya karena bertentangan
dengan norma-norma agama Islam.50 Menurut beberapa saksi hidup Muslim
Kamboja pada masa pemerintah Khmer Merah, para tentara Khmer Merah kerap
kali memperlakukan mereka dengan cara yang keji dan tidak berperikemanusiaan.
Mereka menghina Islam sebagai polusi dan agama rendahan. Selain itu rezim
Khmer Merah juga melakukan penghinaan terhadap kitab suci agama Islam
dengan menjadikannya lembaran-lembaran
kitab suci tersebut sebagai tisu
toilet.51 Berbagai tindakan rezim Khmer Merah ini menuai protes dan penolakan.
49
Ibid.,
Ibid.,
51
Peristiwa tersebut merupakan kesaksian salah seorang Muslim bernama Halimah yang
hidup pada masa Khmer Merah. Farina So menceritakan lebih lanjut mengenai kesaksian para
Muslimah yang hidup pada masa Khmer Merah dalam, Farina So, The Hijab of Cambodia,
Memories of Cham Muslim Women After the Khmer Rouge, (Phnom Penh: Document Center of
Cambodia, 2011).
50
69
Namun mereka merespons kejam perotes dan penolakan tersebut dengan
memborbardir ketiga desa tersebut menggunakan bom dan senjata.52
Setelah itu pemerintah Khmer Merah memencarkan seluruh penduduk
desa tersebut sehingga mereka tidak lagi hidup secara eksklusif. Beberapa dari
mereka akhirnya dipenjarakan. Tercatat ratusan umat Islam mati dalam insiden
terebut.53 Setelah peristiwa pembangkangan tersebut, akhirnya umat Islam
dimasukkan ke dalam daftar musuh internal (internal enemies)54 Khmer Merah
karena rentan akan sifat mereka yang reaksioner.
Pada tahun 1976 ditetapkanlah Demokratic Kampuchea Constitution.
Dalam pembahasan ini penulis akan mencoba menguraikan isi dari Demokratic
Kampuchea Constitution bab sembilan dan lima belas yakni bab yang terkait
dengan hak dan kewajiban serta keagamaan. Dalam bab sembilan jelas dikatakan
bahwa setiap warganegara Kamboja diberikan hak kebebasan untuk meningkatkan
kehidupan materi, rohani, dan berbudaya.55 Hemat penulis kebijakan ini jelas
memberikan gambaran bahwa Konstitusi Khmer Merah menghendaki kebebasan
individu, terutama dalam tiga aspek yang disinggung dalam bab sembilan
tersebut. Meskipun lebih lanjut tidak terdapat penafsiran mengenai bab ini, namun
jika dilihat secara literal selama kewajiban tersebut diaplikasikan tidak terjadi
permasalahan bagi pemerintah Khmer Merah.
Namun dalam praktiknya, masyarakat Kamboja tidak diberikan kebebasan
untuk menjalankan tiga hal tersebut. Dalam hal materi mereka sangat dibatasi.
52
Ysa Osman, The Cham Rebellion Survivors, hlm. 55.
Ibid., hlm. 56
54
Khmboly Dy, A History of Demokratic Kampuchea 1975-1979, (Phom Penh:
Deocument Center of Kampuchea, 2007), hlm. 43.
55
Demokratic Kampuchea Constitutions Bab 9 pasal 1, dalam Francois Ponchaud,
Cambodia Year Zero(Terj.), (New Zeland: Pinguin Books, 1978), hlm. 223-224.
53
70
Mereka dilarang menggunakan uang, dilarang hidup dalam satu keluarga, dan
sebagainya. Hal ini berlaku bagi seluruh rakyat Kamboja. Begitupun dengan
kehidupan rohani, umat Islam tidak diberikan kebebasan untuk menjalankan
praktik keagamaannya seperti shalat dan puasa. Menurut Ysa Osman, dalam
praktiknya pemerintah Khmer Merah malah dengan tegas ingin menghapuskan
semua agama yang ada di Kamboja.56
Jika mengacu
pada
Bab limabelas
Constitution of Demokratic
Kampuchea, memang tidak terdapat kebijakan yang terkesan menyudutkan
penganut agama. Bahkan pemerintah Khmer Merah memberikan kebebasan bagi
pemeluk agama untuk melaksanakan ibadah dan menjaga keyakinanya.57 Bagian
tersebut hanya memberikan peringatan pelarangan bagi agama yang bersifat
reaksioner. Menurut Ysa Osman kebijakan ini berlaku bagi semua agama yang
bersifat reaksioner.58 Umat Islam dianggap sebagai agama yang membangkang
dan
mengancam
keberlangsungan
pemerintahan
Khmer
Merah.
Sangat
dimungkinkan penerapan kebijakan ini ditujukan kepada umat Islam. Dikarenakan
berdasarkan pengalaman Khmer Merah, umat Islam di beberapa desa mencoba
memberontak melawan kebijakan rezim Khmer Merah. Maka dari itu pemerintah
Khmer Merah menggolongkan Islam ke dalam agama yang reaksioner. Sehingga
pada masa selanjutnya pemerintah Khmer Merah menaruh perhatian besar
terhadap gerak-gerik umat Islam, dan kerapkali melakukan tindakan yang
diskriminatif terhadap mereka.
56
Ysa Osman, OUKOUBAH Justice For the Cham Muslim Under the Demokratic
Kampuchea, (Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2002), hlm.6.
57
Demokratic Kampuchea Constitutions, Bab 15 pasal 1, dalam Franҫois Ponchaud,
Cambodia Year Zero. (Terj.), (New Zeland: Pinguin Books, 1978), hlm. 225-226.
58
Ysa Osman, OUKOUBAH Justice fot the Cham Muslim, hlm. 6.
71
3. Latar Belakang Etnis
Pebedaan etnis juga menjadi alasan penindasan yang dilakukan pemerintah
Khmer Merah terhadap umat Islam. Hampir seluruh penganut agama Islam di
Kamboja adalah etnis Cham dan Melayu yang mana mereka berasimilasi menjadi
Cham-Chvea atau Khmer Islam. Merujuk pada hasil wawancara Ysa Osman
terhadap korban pemerintah Khmer Merah yang mengatakan bahwa, ketika
mereka ditempatkan di Tuol Sleng atau penjara S-2159 sebelum mereka menerima
hukuman, terlebih dahulu mereka ditanya apakah mereka etnis Khmer atau
Cham.60 Ketika diketahui mereka etnis Cham, maka mereka dipisahkan dengan
etnis Khmer dan diberikan perlakuan yang berbeda. Menurut Farina So dalam
wawancaranya dengan salah seorang korban pemerintah Khmer Merah,
pemerintah Khmer Merah selalu mengungkit-ungkit etnis Cham sebagai imigran
ilegal pelarian dari Kerajaan Champa dalam setiap interogasinya.61
Tujuan utama dari rezim Khmer Merah dalam masalah kebudayaan adalah
ingin melakukan Khmerisasi. Sebagai contoh, etnis Cham dilarang untuk
menggunakan bahasa Cham, dan mereka dipaksa untuk menanggalkan semua
kebudayaan Muslim Cham, dan menggantikannya dengan budaya Khmer. Hal ini
59
Tuol Sleng atau Penjara S21 adalah lokasi penahanan, introgasi dan ekseskusi tahanan
oleh Khmer Merah. Tempat ini akrab disapa ladang pembantaian (Killing Fields). Tuol Sleng
berlokasi di Svay Prey, selatan Phnom Penh. Dahulunya tempat ini merupakan sekolah menengah
atas bernama Tuol Svay Prey High School, namun setelah kejatuhan Kamboja ke tangan Khmer
Merah, tempat ini diubah menjadi penjara. Tercatat sejak tahun 1976 sekitar 20-30 orang
dieksekusi mati di tempat ini setiap harinya. Jumlah tersebut meningkat pada tahun 1978, sekitar
100-250 orang diseksekusi mati. Setelah kejatuhan Khmer Merah, Tuol Sleng dijadikan Museum
untuk mengenang tragedi Khmer Merah. Lebih lanjut mengenai penjara S21 lihat: Khmboly Dy, A
History of Demokratic Kampuchea 1975-1979, (Phom Penh: Document Center of Cambodia,
2007), hlm. 48-55.
60
Ysa Osman, OUKOUBAH Justice fot the Cham Muslim, hlm. 6.
61
Farina So, The Hijab of Cambodia, Memories of Cham Muslim Women After the
Khmer Rouge, (Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2011), hlm. 55.
72
dikuatkan dengan deklarasi Khmerisasi yang dilakukan oleh Khmer Merah, yang
berbunyi:
“There in Kampuchea Revolution. In Kampuchea there is one nation and one
language, the Khmer language. From now and the various nationalities
(listed according to province) do not exist any longer in Kampuchea.
Therefore (Cham) individuals any change their names by taking news similiar
to Khmer Names. The Cham Mentality (Cham national, language, costume,
habits, and religion) are abolished. Those who do not abide by this order will
reap all consecuences.”62
Terjemahan:
Ini adalah revolusi Kamboja. Di Kamboja hanya ada satu negara dan satu
bahasa, yaitu bahasa Khmer. Mulai sekarang semua jenis kebangsaan tidak
diperkenankan berada di Kamboja. Oleh karena itu setiap orang (Cham) harus
mengganti nama mereka dengan nama baru serupa dengan nama Khmer.
Identitas etnis Cham (kewarganegaraan Cham, bahasa, pakaian, kebiasaan,
dan agama) dihapuskan. Bagi siapa saja yang tidak mematuhi peraturan akan
menerima konsekuensianya.
Berdasarkan fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa latar belakang etnis
juga menjadi salah satu faktor penindasan yang dilakukan Khmer Merah terhadap
umat Islam Kamboja demi tercapainya program Khmerisasi yang dilakukan oleh
pemerintah Khmer Merah.
Dalam hal ini terdapat kesenjangan antara teori dan fakta. Secara teori
Khmer Merah memberikan kebebasan bagi rakyatnya untuk mendapatkan haknya
dalam menjalankan kehidupannya. Khmer Merah juga tidak memandang rakyat
Kamboja sebagai sebuah kelas yang berbeda, baik dalam sudut pandang ekonomi
maupun etnis dan agama. Namun dalam praktiknya, Khmer Merah kerap kali
bersikap diskriminatif terhadap etnis selain Khmer, terutama dengan etnis Cham.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ricklef, bahwa Khmer Merah menspesifikan
62
Ibid., hlm. 56.
73
diskriminasinya pada etnis minoritas seperti Cham dan Vietnam.63 Namun
menurut Ramlan Surbakti salah tim peneliti dari Universitas Airlangga memang
terdapat kesenjangan antara apa yang tertuang dalam konstitusi dan praktik di
lapangan.64 Menurut mereka, elite dan Konstitusi Khmer Merah
tidak
menghendaki terjadinya hal tersebut. Namun kerap kali instruksi dilakukan
berbeda dan jauh dari apa yang telah menjadi aturan. Mereka para ketua distrik65
yang berkontak langsung dengan pekerja maupun dengan tahanan bertindak
semena-mena di luar apa yang telah digariskan.
Namun hal tersebut tidak berlaku bagi perburuan para loyalis rezim Lon
Nol. Karena Khieu Samphan dan Sihanouk menegaskan akan mengejar dan
mengeksekusi mati para petinggi dan loyalis rezim Lon Nol jika CPK berhasil
merebut tampuk kekuasaan dari tangan Lon Nol. Begitupun dengan kebijakan
Five Point Plans yang diterapkan pemerintah Khmer Merah pada umat Islam.
Kebijakan tersebut memang dirancang untuk mengeliminasi umat Islam Kamboja,
karena mereka dianggap sebagai ancaman. Melihat kebanyakan umat Islam
Kamboja hidup secara eksklusif, membuat mereka dapat dengan mudah
melakukan pemberontakan.
63
M.C Ricklef, Sejarah Asia Tenggara dari Masa Klasik Hingga Masa Kontemporer.
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), hlm. 649.
64
Ramlan Surbakti dkk, Kampuchea Tahun 1975-1985. (Universitas Airlangga: Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1990).
65
Ketua distrik merupakan kader-kader Khmer Merah yang biasanya diberikan
wewenang untuk mengawasi para pekerja, tanai, dan tahanan. Biasanya mereka berasal dari orangorang lama.
74
D. Respons Muslim Kamboja terhadap Kebijakan Politik Khmer Merah
Setiap kebijakan pastinya menuai respons baik itu positif maupun negatif.
Langkah pemerintah Khmer Merah yang ingin melakukan perubahan secara
fundametal memang didukung oleh beberapa negara berhaluan komunis lain,
terutama China. Sejak naiknya Khmer Merah ke tampuk pemerintahan pada April
1975,
masyarakat Kamboja sangat menaruh harapan besar terhadap Khmer
Merah yang dinilai pro terhadap rakyat, terutama kaum tani dan buruh. Maka dari
itu dengan cepat Khmer Merah mendapatkan simpati dari sebagian besar rakyat
Kamboja.
Namun harapan besar tersebut nampaknya harus digantung oleh sebagian
besar masayarakat Kamboja. Harapan besar mereka terhadap pemerintah Khmer
Merah berubah menjadi petaka dan neraka bagi Kamboja. Ada masalah dengan
konsep revolusioner Khmer Merah. Sehingga yang timbul adalah kesengsaraan,
bukanlah kesejahteraan, terlepas dari segala niat baik yang dicita-citakan Khmer
Merah, yakni Kamboja tanpa kelas sosial dan modern dalam sektor pertanian.66
Sekitar 2,5 juta orang harus meregang nyawa secara sia-sia pada masa rezim
Khmer Merah.67
Kebijakan-kebijakan
pemerintah
Khmer
Merah
yang
terkesan
memberatkan dan menyudutkan para penganut agama dan etnis minoritas,
akhirnya membuat timbulnya respons berupa pembangkangan-pembangkangan
atau gerakan sosial. Meskipun pembangkangan ini tidak selalu respons dari
kebijakan melainkan terdapat beberapa faktor lain, yakni rasa jera masyarakat
Kamboja yang hidup di bawah tekanan, kelaparan, dan penyebaran wabah
66
67
“Rebutan Pulau Karena Minyak,” Kompas, 16 Juni 1975.
Mc Govern, “2,5 Juta Rakyat Kamboja Mati Kelaparan,” Merdeka, 24 Agustus 1978.
75
penyakit. Berangkat dari berbagai permasalahan yang timbul itulah respons
negatif bermunculan di seluruh elemen masayarakat Kamboja, tidak terkecuali
dengan umat Islam.
Sebenarnya umat Islam Kamboja telah terlebih dahulu merespons
kebijakan-kebijakan pemerintah Khmer Merah. Respons tersebut berupa
pemberontakan pada tahun 1975. Pemberontakan yang terjadi pada tahun 1975
merupakan bentuk dari reaksi umat Islam yang menolak untuk merealisasikan
kebijakan pemerintah Khmer Merah yang tertuang dalam Five Point Plans yang
seakan memaksa umat Islam untuk menanggalkan agamanya. Selain itu umat
Islam juga menolak untuk masuk ke dalam organisasai Khmer Merah dan
menolak untuk mereformasi sektor pertanian sesuai dengan konsep Khmer Merah.
Umat Islam menolak masuk Khmer Merah karena ideologinya bertentangan
dengan nilai-nilai keislaman yang mereka anut. Penolakan tersebutlah yang
kemudian berbuah pemberontakan umat Islam di Kampong Cham. Namun
pemberontakan tersebut dengan cepat dipadamkan, karena tidak mendapat simpati
dari masyarakat lainnya. Di samping itu, Khmer Merah kala itu masih menjadi
organisasi yang kuat dan mendapat dukungan yang besar dari masayarakat
Kamboja. Khmer Merah kemudian menghancurkan desa-desa Muslim tersebut
dan memencarkan umat Islam ke berbagai penjuru wilayah Kamboja. Muslim
Kamboja juga ditetapkan sebagai musuh internal oleh Khmer Merah, sehingga
selama mereka berkuasa gerak-gerik mereka dipantau. Hal ini membuat umat
Islam Kamboja semakin tertekan, namun tidak berdaya untuk melakukan
tindakan.
76
Buntut dari respons kebijakan dan tragedi kemanusiaan yang terjadi pada
masa ini adalah, pada pertengahan Juli 1978 terjadi pemberontakan besar-besaran
menentang pemerintahan Khmer Merah.68 Pemberontakan ini dipelopori oleh
sebagian besar rakyat dan tentara Kamboja. Pemberontakan terjadi hampir di
seluruh wilayah, terutama wilayah Svay Rieng, Prey Veng, Kampong Cham, dan
beberapa tempat lain.69 Pemberontakan ini memang tidak diumumkan langsung
oleh pemerintah Khmer Merah, melainkan melalui radio Hanoi. Karena
pemerintah Khmer Merah lebih cenderung tertutup jika terdapat informasi negatif
terkait negaranya. Menurut para pengungsi korban Khmer Merah, pemberontakan
ini memang telah dinanti-nantikan rakyat sejak lama.70 Sebelumnya rakyat
Kamboja masih memendam hasrat untuk memberontak, karena mereka tidak
memiliki kekuatan militer. Namun pasca invansi Vietnam hasrat memberontak
mereka kian membesar.
Pemberontakan ini merupakan reaksi dari ketertindasan rakyat Kamboja
selama kepemimpinan Khmer Merah. Kali ini Muslim Kamboja tidak sendiri
menentang Khmer Merah, melainkan bersama seluruh masyarakat Kamboja dan
tentara Vietnam, yang merupakan musuh utama Khmer Merah. Akhirnya pada 9
Januari 1979 Khmer Merah harus merelakan tampuk kekuasannya direbut oleh
Front Pembebasan Nasional Kamboja (Kampuchean National United Front for
National Salvation - KNUFNS) di bawah pimpinan Heng Samrin dan Hun Sen.
Seperti yang penulis singgung sebelumnya, bahwa lebih dari 2,5 juta
rakyat Kamboja mati karena kelaparan, penyakit, dan eksekusi mati, di mana
500.000 di antaranya adalah umat Islam. Pemerintah Khmer Merah memaksa
“Situasi Kamboja Gawat Lagi,” Merdeka, 13 Juli 1978.
“Situasi Kamboja Gawat Lagi,” Merdeka, 13 Juli 1978.
70
“Pemberontakan di Kamboja ?”, Kompas, 13 Juli 1978.
68
69
77
rakyat Kamboja untuk bekerja keras di ladang dengan peralatan yang sangat
sederhana. Namun ketersediaan makanan yang tidak mencukupi akhirnya
membuat banyak rakyat Kamboja yang mati kelaparan. Selain itu penindasan
yang dilakukan juga menjadi cikal bakal bergeraknya masyarakat Kamboja
menentang pemerintahan Khmer Merah. Khmer Merah berubah dari pembebas
menjadi penindas dikarenakan keinginan mereka yang ingin melakukan
perubahan secara fundamental dan cepat, sehingga kekerasan dipandang sebagai
cara yang paling tepat.
Hal ini selaras dengan teori gerakan sosial dengan pendekatan konflik
yang dikemukakan Rafael Raga Maran. Umat Islam dan masyarakat Kamboja
yang mengalami kesulitan ekonomi sehingga banyak dari mereka yang mati
kelaparan. Pemerintah tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan masyarakatnya.
Karena rencana kedaulatan pangan yang direncanakan pemerintah Khmer Merah
tidak mencapai target. Sehingga rakyat menjadi korban. Selain itu berbagai
penyakit mulai menjangkiti masyarakat Kamboja. Hal ini dikarenakan lingkungan
yang kotor, di mana mayat-mayat banyak berserakan di jalan, pinggiran sungai,
danau, dan lubang-lubang pembantaian. Sehingga memicu timbulnya penyakit
yang menyerang warga. Selain itu kurangnya fasilitas kesehatan juga menjadi
faktor rendahnya tingkat kesehatan masayarakat Kamboja pada masa rezim
Khmer Merah. Di tambah lagi dengan ketertindasan rakyat akibat prilaku dan
kebijakan Khmer Merah terutama yang ditujukan kepada umat Islam. Beberapa
fakta tersebut yang kemudian menjadi faktor bergeraknya masyarakat Kamboja
menentang pemerintahan Khmer Merah. Hal ini memang tidak hanya dilakukan
78
oleh umat Islam melainkan bersama masyarakat Khmer, termasuk dengan tentara
Vietnam yang menjadi musuh utama pemerintah Khmer Merah.71
71
Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social
Integration and Transnational the Case of Cambodia, (Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 41.
79
BAB IV
MUSLIM KAMBOJA PASCA KEJATUHAN REZIM KHMER MERAH
A. Faktor Kejatuhan Rezim Khmer Merah
Pada 7 Januari 1979 pemerintah Khmer Merah harus merelakan tampuk
kekuasaannya diambil alih oleh Front Pembebasan Nasional Kamboja
(Kampuchean National United Front for National Salvation -
KNUFNS).1
KNUFNS merupakan front persatuan yang didirikan oleh kader-kader Khmer
Merah pro Vietnam yang memberontak. Organisasi politik ini didirikan pada
tanggal 3 Desember 1978 dengan bantuan Vietnam, yang diumumkan melalui
radio Hanoi.2 Setidaknya terdapat beberapa faktor yang berhasil penulis rangkum
terkait faktor kejatuhan pemerintah Khmer Merah. Penulis membaginya menjadi
dua faktor yakni:
1. Faktor Internal
Faktor internal yang menyebabkan pemerintah Khmer Merah jatuh adalah
kegagalannya dalam merevolusi bidang pertanian. Dalam
Rencana Empat
Tahunan (The Party’s Four Year to Build Socialism in All Fields) pemerintah
Khmer Merah mentargetkan 3 ton beras dalam 1 hektar.3 Hal ini ditingkatkan dari
masa sebelumnya. Namun target tersebut sulit dicapai karena beberapa faktor, di
antaranya, tidak menunjangnnya peralatan pertanian. Para petani di masa
pemerintahan Khmer Merah masih menggunakan sistem dan peralatan yang
1
Lebih jauh mengenai KNUFNS lihat: Pentti Hollappa, Kampuchea in The Seventies,
(Finlandia: Kampuchea Inquiry Commision, 1982), hlm. 24-28
2
Justus van der Kroef, Cambodia: From “Demokratic Kampuchea” To “People’s
Republic dalam, Asian Survei vol. XIX, No. 8, (University of California Press, 1979), hlm 731.
3
David P. Chandler dkk, Pol Pot Plans The Future: Confidental Leadership Document
From Demokratic Kampuchea 1976-1977, (New Haven: Yale University of Southeast Asian
Studies, 1988), hlm. 37.
79
80
sederhana dalam mengelola lahan pertanian. Meskipun telah mendapatkan
bantuan alat-alat pertanian dari China, namun jumlahnya memang tidak memadai.
Ditambah dengan cuaca yang tidak mendukung, yang kerap kali menimbulkan
banjir dan kemarau berkepanjangan. Beras sebagai komoditas utama Kamboja
terus mengalami penurunan sejak tahun 1976. Akibatnya banyak rakyat Kamboja
yang mati kelaparan karena produksi beras dalam negeri tidak dapat mencukupi
kebutuhan rakyat. Sedangkan pemerintah Khmer Merah lebih memprioritaskan
pasokan beras untuk ekspor dan kebutuhan tentara Khmer Merah yang berada di
Phnom Penh.4
Dalam hal ini nampaknya pemerintah Khmer Merah terlalu memaksakan
dan hanya ingin menampakkan bahwa mereka sudah berhasil melakukan
swasembada beras. Padahal pada kenyataannya mereka jauh dari kata berhasil.
Memang semenjak kejatuhan Kamboja ke tangan rezim Khmer Merah, Kamboja
menjadi negara yang tertutup (Mistery State). Sehingga tidak diketahui secara
pasti kondisi negara tersebut. Pemerintah Khmer Merah lebih cenderung
menampilkan sisi baik dari pemerintahannya. Namun di balik itu semua tersimpan
banyak kebobrokan. Hal ini terungkap pasca kejatuhan pemerintah Khmer Merah.
Kegagalan pemerintah Khmer Merah dalam merevolusi bidang pertanian
berbuntut pada banyaknya rakyat yang mati dan tumbuhnya gerakan-gerakan
pemberontakan di berbagai daerah. Selain itu kekacauan perekonomian Kamboja
dikarenakan pemerintah Khmer Merah tidak mengeskploitasi sumber daya alam
lain seperti pertambangan, perdagangan, perikanan, dan beberapa sektor lainnya.
Khmer Merah hanya berfokus pada bidang pertanian dan industri. Sehingga ketika
4
Khamboly Dy, A History of Demokratic Kampuchea, hlm. 58
81
bidang yang menjadi tumpuan tidak memenuhi ekspektasi, akibatanya fatal bagi
perekonomian Kamboja.
Faktor interal yang kedua adalah, timbulnya perpecahan dalam kubu
Khmer Merah. Sejak berdirinya Khmer Merah memang para kadernya telah
berselisih faham, sejak awal memang para kader Khmer Merah telah berbeda
prinsip mengenai kata revolusi.5 Sebagian kader Khmer Merah yang di bawah Pol
Pot menggaungkan slogan anti Vietnam. Sedangkan sebagian lainnya bersikap pro
terhadap Vietnam. Hal inilah yang pada masa selanjutnya menjadi cikal bakal
keretakan Khmer Merah. Karena perbedaan prinsip tersebut akhirnya kader-kader
Khmer Merah zona timur yang pro Vietnam seperti Pen Sovan, So Phim, Heng
Samrin dan Hun Sen akhirnya dianggap sebagai musuh oleh kubu Pol Pot dan
kawan-kawannya.
Sejak tahun 1976 Pol Pot berusaha melakukan pengawasan para kader
Khmer Merah zona timur yang disangka pro Vietnam dan memiliki
kecenderungan untuk memberontak.6 Puncak dari keretakan yang telah lama
terjadi adalah, pada bulan April-Mei 1978 pemerintah Khmer Merah di bawah Pol
Pot melakukan penculikan dan pembunuhan secara tiba-tiba kepada pemimpin
dan kader Khmer Merah di zona timur.7 Kader Khmer Merah zona timur
menganggap ini sebagai sebuah pengkhianatan. Dalam peristiwa tersebut So Phim
5
Menurut So Phim salah seorang pemimpin Khmer Merah zona timur, tujuan revolusi
adalah mengangkat standar hidup masyarakat, bukan mengurangi orang kaya dan menjadikannya
miskin atau memaksa rakyat dalam keadaan miskin seperti yang dilakukan Pol Pot. Ramlan
Subakti dkk, Kampuchea Tahun 1975-1979, (UNAIR: Fakultas Ilmu Soslal dan Ilmu Politik,
1990), hlm. 39.
6
Michael Vickery, Cambodia 1975-1982, (Boston MA: South End Press, 1984), hlm.
192.
7
Ramlan Subakti dkk, Kampuchea Tahun 1975-1979, (UNAIR: Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, 1990), hlm. 39.
82
pemimpin Khmer Merah zona timur terbunuh, pemimpin lainnya seperti Pen
Sovan, Heng Samrin, dan Hun Sen berhasil melarikan diri ke perbatasan Vietnam.
Banyak kader Khmer Merah yang pro Vietnam akhirnya melarikan diri ke
dalam hutan dan bergabung dengan Vietnam. Kebanyakan dari kader Khmer
Merah yang memberontak adalah wilayah bagian timur (east zone),8 yaitu wilayah
yang berbatasan langsung dengan Vietnam dan memiliki jaringan yang kuat
dengan Vietnam. Mereka yang melarikan diri ke Vietnam inilah yang kemudian
menyusun strategi untuk menggulingkan pemerintahan Khmer Merah di bawah
Pol Pot. Para kader yang berada di Vietnam itulah yang kemudian membentuk
Front Penyelamatan Kamboja (KNUFNS) yang pada akhirnya dapat mengambil
alih pemerintahan Kamboja dari tangan Khmer Merah.
Faktor Internal yang terakhir adalah hilangnya dukungan rakyat terhadap
pemerintah Khmer Merah. Simpati rakyat Kamboja yang ditujukan pada masa
awal kepemimpinan Khmer Merah telah pupus. Cita-cita rakyat Kamboja hidup
dalam kesejahteraan tinggal angan belaka. Khmer Merah menganggap bahwa
rakyat masih berpihak pada mereka. Khmer Merah tak menyadari bahwa segala
kebijakan dan tindakan Khmer Merah telah membuat rakyat menderita. Maka
dari itu rakyat Kamboja seakan telah frustrasi hidup dalam bayang kesengsaraan.
Analisa penulis terhadap hilangnya dukungan rakyat terhadap pemerintah Khmer
Merah adalah, pada saat Vietnam melakukan invansi ke wilayah Kamboja pada
tahun 1978, rakyat Kamboja tidak membantu tentara Khmer Merah dalam
menghadang invansi Vietnam. Padahal Sihanouk dan Khieu Samphan telah
memprovokasi rakyat agar bersama menentang agresi Vietnam. Namun yang
8
Khamboly Dy, A History of Demokratic Kampuchea, (Phnom Penh: Document Center
of Cambodia, 2007), hlm.58.
83
terjadi sebaliknya rakyat menjadikan moment ini sebagai waktu yang tepat untuk
memberontak kepada rezim Khmer Merah. Hal ini menyebabkan jatuhnya
Kamboja di tangan militer Vietnam dengan mudah karena rakyat Kamboja tidak
mendukung lagi pemerintahan Khmer Merah.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang menyebabkan kejatuhan Khmer Merah adalah
perseteruan panjang antara Kamboja dan Vietnam. Khmer Merah memang pada
awalnya merupakan kepanjangan organisasi dari ICP dengan Vietnam sebagai
aktor sentralnya. Indocina Communist Partylah yang banyak memberikan
inspirasi bagi berdirinya Khmer Merah. ICP juga berjasa memberikan pelatihan
militer bagi kader-kader Khmer Merah. Namun dalam perjalanannya terjadi
selisih faham antara komunis Kamboja di bawah Pol Pot dan komunis Vietnam di
bawah Ho Chi Minh. Khmer Merah juga merasa dikhianati oleh komunis Vietnam
dalam perjanjian Jenewa. Karena Ho Chi Minh menyetujui pembubaran Khmer
Merah dalam konferensi tersebut. Selain itu Khmer Merah di bawah Pol Pot
sangat menentang hegemoni Vietnam atas negara-negara Indocina.9 Berawal dari
beberapa permasalahan tersebutlah hubungan kedua negara penganut ideologi
serupa ini mulai pecah. Ditambah lagi slogan anti Vietnam yang terus digaungkan
oleh Pol Pot membuat perselisihan di antara keduanya semakin memanas.
Puncaknya ialah pada tahun 1977 ketika Khmer Merah melakukan
serangan membabi buta ke Vietnam. Peristiwa ini menyebabkan ribuan rakyat
Vietnam meregang nyawa.10 Selain itu Pol Pot juga melakukan pengusiran 50.000
9
John Tully, A History of Cambodia From Empire to Survival, (Australia: Allen &
Unwin, 2005), hlm. 191.
10
Ibid.,
84
etnis Vietnam ke luar Kamboja.11 Menanggapi tindakan pemerintah Khmer Merah
tersebut, pemerintah Vietnam pada tanggal 15 Desember 1978 melakukan invansi
ke basis utama Khmer Merah dengan mengirimkan pasukan mereka ke perbatasan
dan mulai menyerang tempat-tempat yang menjadi pusat kekuasaan Khmer
Merah.12 Selain dendam masa lalu, perang ini merupakan dampak dari
persengketaan wilayah antara kedua negara tersebut. Kamboja dan Vietnam
mempersengketakan pulau Phu Qoich yang diduga di sana terdapat sumber
minyak bumi.13 Hubungan keduanya semakin memburuk ketika Kamboja
memutuskan hubungan diplomatik dengan Vietnam.14
Peseteruan
berkepanjangan
inilah
yang
kemudian
menumbuhkan
keinginan Vietnam untuk menggulingkan rezim Khmer Merah di bawah Pol Pot.
Dengan serangan Vietnam yang membabi buta tersebut, diharapkan Kamboja
mulai melemah dan menyetujui batas wilayah dengan Vietnam. Namun
sebenarnya Vietnam memiliki niat yang lebih dari sekedar melemahkan Kamboja
dan mendapatkan pulau Phu Qoich, Vietnam ingin menjatuhkan rezim Pol Pot
melalui kader-kader Khmer Merah yang pro Vietnam.
Heng Samrin merupakan salah satu dari sekian banyak kader Khmer
Merah pro Vietnam yang melarikan diri ke Vietnam karena kejaran Pol Pot. Di
Vietnam Heng Samrin bersama kader komunis Vietnam kemudian mendirikan
KNUFNS pada tanggal 3 Desember 1978. Ia sekaligus ditunjuk sebagai ketuanya
didampingi oleh Hun Sen dan beberapa sahabatnya. KNUFNS di bawah Heng
11
Ramlan Subakti dkk, Kampuchea Tahun 1975-1979, (UNAIR: Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, 1985), hlm. 70-71.
12
Pentti Hollappa, Kampuchea in The Seventies, (Finlandia: Kampuchea Inquiry
Commision, 1982), hlm. 24.
13
cari
14
John Tully, A History of Cambodia From Empire to Survival, (Australia: Allen &
Unwin, 2005), hlm. 191.
85
Samrin bersama tentara Vietnam akhirnya berhasil menguasai ibukota Phnom
Penh dan mengambil alih Kamboja dari tangan Khmer Merah pada 7 Januari
1979. Sementara itu para pemimpin Khmer Merah seperti Pol Pot, Kheu
Samphan, Noun Chea, dan beberapa pemimpin lainnya melarikan diri ke
Battambang menggunakan helikopter. Setelah itu mereka melarikan diri ke
perbatasan Thailand, dan di sana mereka meminta agar diizinkan untuk masuk ke
wilayah Thailand untuk melanjutkan pelariannya ke Peking.15 Dengan ini
berakhirlah karier Pol Pot dan kawan-kawan dalam panggung kekuasaan
Kamboja. Khmer Merah telah memberikan luka yang medalam bagi umat Islam di
Kamboja khususnya dan umumnya bagi seluruh rakyat Kamboja.
Tiga hari setelah KNUFNS berhasil mengambil alih pemerintahan dari
tangan
Khmer
Merah,
Heng
Samrin
sebagai
pemimpin
KNUFNS
mendeklarasikan diri sebagai presiden. Heng Samrin memulai babak baru
perjalanan politik Kamboja dengan mengubah kembali Kamboja menjadi negara
yang menganut sistem Republik (People Republic of Kampucha – PRK).16 Heng
Samrin dan Hun Sen sebenarnya merupakan kader Khmer Merah pada masa Pol
Pot, namun mereka lebih memiliki kecenderungan terhadap Vietnam. Mereka
inilah kader Khmer Merah yang menjadi target pembunuhan oleh Pol Pot karena
dianggap sebagai pengkhianat.
B. Muslim Kamboja di Bawah Rezim People Republic of Kampuchea
1. Kebijakan Politik PRK terhadap Penganut Agama di Kamboja
“Ieng Sary and Khieu Samphan Try to Escape to Peking,” Warta Berita Antara, 11
Januari 1979.
16
Pentti Hollappa, Kampuchea in The Seventies, (Finlandia: Kampuchea Inquiry
Commision, 1982), hlm. 24.
15
86
PRK di bawah Heng Samrin dan Hun Sen memulai babak baru bagi
perjalanan politik Kamboja. Mereka memiliki tugas yang sangat berat, karena
harus mengembalikan mental masyarakat Kamboja setelah terpuruk selama
kepemimpinan Khmer Merah. Tidak hanya mental, perbaikan dalam aspek sosial,
ekonomi, dan hubungan internasional juga menjadi pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan oleh Heng Samrin. Belum lagi ancaman mantan petinggi Khmer
Merah yang terus membayangi.
Kepada rakyat Kamboja Heng Samrin berjanji akan mulai memperbaiki
dan menstabilkan semua permasalahan yang timbul, baik menyangkut
perekonomian, sosial, maupun hubungan internasional. Heng Samrin bersikeras
untuk membangun kembali Kamboja menjadi wilayah yang damai, independen,
dan netral.17 Dalam pembangunan perekonomian, rezim PRK tetap memfokuskan
pada bidang pertanian. Karena pertanian menjadi salah satu potensi utama yang
harus dimaksimalkan. Para petani mulai diperhatikan kesejahteraannya, dan mulai
diatur waktu kerjanya, yakni 8 jam dalam sehari.18
Rezim PRK tetap masih mempertahankan ide-ide sosialis Khmer Merah.
Hal ini jelas tertuang dalam Konstitusi PRK yang menyebutkan bahwa dasar
ideologi negara Kamboja di bawah PRK adalah ideologi Marxisme-Leninisme.19
Tidak heran, karena kebanyakan kader kader PRK merupakan alumni dari Khmer
Merah, ide-ide komunis masih kuat tertancap dalam jiwa mereka. Namun ide-ide
revolusioner mulai ditanggalkan. Perubahan dilakukan dengan cara perlahan
17
John Tully, A History of Cambodia From Empire to Survival, (Australia: Allen &
Unwin, 2005), hlm. 198.
18
Ibid., hlm. 198
19
Hal ini tertuang dalam konstitusi PRK 1978 Bab 1 pasal 14. Lebih lanjut lihat: Michael
Vickery, Kampuchea Politic, Economics, and Society, (London: Frances Pinter Publisher, 1986),
hlm. 100.
87
namun pasti. Selain memperbaiki sektor pertanian, rezim PRK juga kembali
menstabilkan sektor keuangan, setelah sebelumnya penggunaan uang dilarang
pada masa Khmer Merah. Selanjutnya rezim PRK juga memperbaiki sistem
perdagangan yang sebelumnya tidak berkembang pada masa Khmer Merah.
Fasilitas kesehatan dan pendidikan juga menjadi sektor yang tak luput dari
pembangunan.
Rezim PRK memberikan kebebasan hidup bagi setiap keluarga. Dan yang
menjadi kabar gembira bagi seluruh penganut agama di Kamboja adalah,
dibolehkannya mereka untuk menganut dan menjaga kepercayaan mereka.20 PRK
dalam konstitusinya jelas memberikan kebebasan bagi warga negara Kamboja
untuk berpendapat, berkumpul, dan menjaga keyakinan.21 Hal ini berdampak pada
kehidupan umat beragama di Kamboja. Tidak hanya agama besar seperti agama
Budha yang merasakan dampak dari kebaikan ini. Umat Islam yang menjadi
mayoritas kedua di Kamboja juga merasakan dampak positIf dari kebijakan ini.
Umat Islam di bawah rezim PRK tidak lagi menyandang status sebagai musuh
internal, melainkan sebagai warga negara biasa yang statusnya disamakan.
Keberadaanya tidak lagi terdisikriminasi karena satu dan lain hal, mereka mulai
terintergrasi dengan baik dengan masyarakat Khmer dalam berbagai sektor. Jika
sebelum dan pada masa Khmer Merah umat Islam seakan menjadi masyarakat
kelas dua, maka pada masa rezim PRK mereka bebas berbaur di setiap sektor.
20
Michael Vickery, Kampuchea Politic, Economics, and Society, hlm. 161
Kebijakan ini tertuang dalam poin ke empat dari 11 poin program yang dicanangkan
PRK ketika hendak mengambil alih Kamboja dari tangan Khmer Merah. Michael Vickery,
Kampuchea Politic, Economics, and Society, hlm. 161.
21
88
2. Partisipasi Politik Umat Islam Kamboja
Umat Islam Kamboja bersama Khmer dan tentara Vietnam telah bersama
menggulingkan rezim Khmer Merah yang dianggap tirani. Math Ly menjadi salah
satu tokoh Muslim yang cukup menjadi sorotan. Ia menjadi salah satu pemimpin
Muslim yang juga terlibat langsung dalam proses penggulingan rezim Khmer
Merah bersama rakyat Kamboja dan tentara Vietnam.22 Sebelumnya ia memang
seorang kader Khmer Merah yang Pro Vietnam. Setelah kejatuhan rezim Khmer
Merah umat Islam tidak lagi dipandang sebelah mata. Kehadiran mereka cukup
memberikan warna bagi kancah perpolitikan Kamboja.
Jika pada masa pemerintahan Khmer Merah umat Islam masuk ke dalam
daftar musuh internal yang menjadi target pembunuhan, maka pada masa PRK
umat Islam diberikan keluangan untuk berpartisipasi secara langsung dalam
pemerintahan Kamboja. Meskipun keberadaan mereka tetap minoritas, namun
suara mereka tetap terakomodir. Terbukti setelah kejatuhan pemerintah Khmer
Merah, Math Ly dipercaya untuk menjabat sebagai salah satu menteri dalam
rezim PRK. Ia menjabat sebagai Presiden Federasi Persatuan Perdagangan
(President Federation of Trade Union). Selain itu seorang Muslim Cham lain,
yakni Van Math juga terlibat dalam organisasi KNUFNS. Beberapa orang Muslim
lain juga menjabat di berbagai institusi kenegaraan yang berbeda.
Melihat berbagai fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa rezim PRK
sangat memberikan ruang kebebasan bagi setiap lapisan masyarakat Kamboja
untuk berpartisipasi dalam kancah perolitikan. Selain itu PRK juga mengakomodir
suara umat Islam dengan menyertakan beberapa perwakilan umat Islam pada
22
Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social
Integration and Transnational the Case of Cambodia, (Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 41.
89
beberapa posisi penting dalam institusi kenegaraan. Hal ini menunjukkan bahwa
hubungan baik telah terjalin kembali antara Muslim Kamboja dengan pemerintah.
Meskipun minoritas dalam etnis dan agama, namun suara-suara umat Islam
terakomodir dengan baik. Hal ini terjadi karena umat Islam Kamboja telah
menunjukkan pengabdiannya pada tanah air mereka yakni Kamboja, terutama
dalam perjuangan menjatuhkan pemerintahan tirani Khmer Merah.
Setelah berakhirnya rezim PRK pada tahun 1989, umat Islam Kamboja
kembali menemukan asa untuk terus bangkit dan maju. Sejak masa PRK memang
umat Islam Kamboja tengah disibukkan dengan perbaikan-perbaikan di berbagi
aspek, terutama fasilitas ibadah dan pendidikan Islam. Mengingat pada masa
pemerintahan
Khmer
Merah
kedua
institusi
tersebut
banyak
yang
diluluhlantakkan. Pasca berakhirnya rezim PRK kehidupan Muslim Kamboja
semakin membaik, terutama setelah ditetapkannya Konstitusi Kingdom of
Kampuchea pada tahun 1999, umat Islam makin diberikan keleluasaan untuk
menduduki berbagai posisi penting dalam pemerintahan, meskipun jumlahnya
tidak mayoritas. Menurut Mr Zakariyya Adam seorang sekretaris menteri
kebudayaan dan agama, pada masa ini jumlah umat Islam diperkirakan berjumlah
650.000 jiwa.23 Beberapa orang Islam ada yang menjabat di beberapa
kementerian. Seperti Kementerian Agama, Pemuda, dan Olahraga. Di antara
mereka juga ada yang masuk di parlemen. Bahkan beberapa distrik di Kampong
Cham juga dipimpin oleh orang Islam.24 Sejak tahun 1989 kondisi umat Islam
kian membaik. Terutama setelah menjalin komunikasi dengan berbagai Non
23
Omar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at the Margins: The Muslim of
Indocina, (Kyoto University: Center of Integrated Area Studies, 2008), hlm. 72.
24
Lebih lanjut mengenai jabatan-jabatan yang dipegang oleh Muslim Kamboja lihat:
Omar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at the Margins: The Muslim of Indocina,
(Kyoto University: Center of Integrated Area Studies, 2008), hlm.76.
90
Gouvernment Orgaization – NGO. Muslim Kamboja sangat membutuhkan
bantuan-bantuan tersebut guna mengangkat kesejahteraan mereka. Karena untuk
bangkit Muslim Kamboja tidak hanya biasa mamanfaatkan bantuan pemerintah.
Sejak tahun 1993 tercatat mulai gencarnya para NGO masuk Kamboja
untuk memberikan berbagai bantuan. Langkah ini diawali dengan kedatangan
organisasi perdamaian bentukan PBB, UNTAC (United Nation Transition
Authority in Cambodia). Organisasi perdamaian ini memang bermaksud
membantu menciptakan kesetabilan politik di Kamboja setelah beberapa kali
Kamboja mengalamai kegagalan dalam menciptakan pemilu yang damai,
demokratis, dan terbuka.25 Organisasi bentukan PBB ini diisi oleh tentara
gabungan yang berasal dari Mesir, Malaysia, dan Indonesia.26 Sejak itulah
jaringan internasional Muslim Kamboja mulai terhubung dengan beberapa negara
dan NGO Islam dunia.
C. Kebangkitan Islam di Kamboja
Dalam bagian ini penulis meminjam istilah Azyumardi Azra yakni
kebangkitan atau renaissance untuk menggambarkan kondisi Muslim Kamboja
pasca kejatuhan rezim Pol Pot. Namun kebangkitan yang penulis maksud berbeda
dengan apa yang ditulis oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Renaisans Islam di
Asia Tenggara. Kebangkitan Islam di Kamboja adalah istilah yang penulis
gunakan untuk menggambarkan perbaikan dan perkembangan kehidupan umat
Islam Kamboja dalam berbagai aspek pasca jatuhnya rezim Pol Pot. Perbaikan
25
Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social
Integration and Transnational the Case of Cambodia, (Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm.180-181
26
Ibid., 181.
91
dan perkembangan tersebut meliputi beberapa aspek, di antaranya, jaringan
internasional, sosial-keagamaan, dan pendidikan.
1. Jaringan Internasional
Setelah empat tahun hidup terpuruk dalam bayang-bayang rezim Pol Pot,
umat Islam harus bangkit untuk menentukan arah nasib mereka. Mereka harus
tetap hidup dan bangkit di bawah naungan Kamboja sebagai nation-state mereka.
Mereka harus bergegas melakukan perbaikan-perbaikan dalam berbagai aspek,
tidak terkecuali jaringan internasional dengan negara-negara lain, terutama
negara-negara Islam. Penulis meletakkan jaringan internasional sebagai aspek
yang bangkit paling pertama karena melalui jaringan internasional inilah
kemudian Muslim Kamboja dapat memulai perbaikan-perbaikan dalam aspek
lainnya. Karena mustahil bagi mereka untuk melakukan perbaikan dengan
kekuatan sendiri. Apalagi dengan mengandalkan pemerintah yang tengah
disibukkan dalam program menstabilkan negara.
Sebelum rezim Pol Pot memerintah, sebenarnya umat Islam Kamboja
sudah memiliki relasi dengan beberapa negara Muslim di Timur Tengah, seperti
Saudi Arabia, Kuwait, Dubai, dan Mesir. Beberapa juga ada yang memiliki relasi
dengan negara-negara di Asia Tenggara seperti dengan Thailand Selatan, dan
Malaysia.27 Tak jarang pelajar-pelajar Muslim menjadikan negara-negara tersebut
sebagai destinasi pendidikan mereka. Namun pada masa pemerintahan Khmer
Merah, hubungan internasional ini mulai terputus, dikarenakan rezim Khmer
Merah melarangnya. Rezim Khmer Merah kala itu memanggil para pelajar yang
menuntut ilmu di luar negeri untuk kembali ke Kamboja. Namun sekembalinya
27
Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hlm. 228-229.
92
mereka banyak yang dibunuh. Karena para intelektual kala itu dianggap telah
terkontaminasi pikirannya. Dan dikhawatirkan akan menjadi ganjalan bagi rezim
Khmer Merah.
Namun selepas kejatuhan rezim Khmer Merah, hubungan internasional
tersebut terjalin kembali. Mata dunia internasional terutama negara-negara
Muslim mulai terbuka karena prihatin dengan keadaan Muslim Kamboja. Tanpa
bantuan dari negara-negara Muslim lain, nampaknya berbagai perbaikanperbaikan akan berjalan lamban, ditambah dengan mental mereka yang masih
terguncang. Maka dari itu, solidaritas yang timbul di kalangan negara-negara
Islam terhadap Muslim Kamboja, menjadi hal yang sangat penting bagi
kebangkitan Islam di Kamboja.
Seperti yang penulis sebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa pada tahun
1993 berbagai organisasi baik pemerintah maupun non pemerintah mulai
berdatangan ke Kamboja. Hal ini diawali dengan kedatangan organisasi
perdamaian bentukan PBB, UNTAC yang di dalamnya diisi tentara Mesir,
Malaysia, dan Indonesia. Melalui merekalah jaringan internasional Muslim
Kembali terjalin, baik dengan negara Muslim Timur Tengah maupun Asia
Tenggara.
Tercatat
beberapa
organisasi
non
pemerintah
(Non
Goverment
Organization – NGO) dari berbagai belahan dunia telah menjalin hubungan
dengan Muslim Kamboja. Di antaranya, Rabithah Alam Islami di Mekkah,
Organisasi Konferensi Islam, Darul Arqom di Malaysia, dan Jamaah Tabligh.28
Selain itu juga terdapat NGO yang berasal dari Kuwait, yakni Revival of Islamic
28
Ibid., hlm. 229
93
Heritage Soriety – RIHS. Pemerintah Malaysia, Brunei, dan Thailand Selatan juga
ikut berlomba menunjukkan aksi solidaritasnya. Bahkan Muslim Amerika Serikat
juga mulai menjalin hubungan dengan Muslim Kamboja. Jaringan internasional
yang terjalin tersebut yang pada akhirnya menjadi pangkal kebangkitan Muslim
Kamboja dalam aspek-aspek lain seperti sosial-keagamaan dan pendidikan.
2. Sosial-Keagamaan
Jaringan internasional yang terjalin membuat perbaikan dalam aspek sosial
keagamaan berjalan dengan cepat. Beberapa organisasi memberikan bantuan
untuk pembangunan masjid. Kerajaan Saudi Arabia memberikan bantuan sebesar
US$ 350.000 ,- untuk pembangunan masjid di Phnom Penh pada tahun 1994.
Selain itu Saudi Arabia juga memberikan bantuan sebesar US$ 100.000,- setiap
bulannya. Bantuan tersebut digunakan untuk aktivitas di sekolah Al-Qur’an, dan
organisasi Islam di Kamboja seperti, Cambodia Muslim Development Foundation
– CMDF dan Cambodia Islamic Youth Association - CIA.29 Selain Saudi Arabia,
Muslim Amerika Serikat juga memberikan bantuan sebesar US$ 500.000,- untuk
mendirikan masjid baru di wilayah Phum Trea di Kampong Cham. 30 Orang Arab
Dubai juga tidak ketinggalan ikut bersumbangsih dalam pembangunan Kamboja.
Dubai memberikan bantuan dengan mendirikan 20 masjid dan beberapa sekolah
Islam di Kamboja.31
29
Osborn Milton, The Khmer Islam Community in Cambodia And its Foreign Patrons,
(Sydney: Lowy Isntitute for International Policy, 2004), hlm. 6.
30
Ibid.,
31
Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social
Integration and Transnational the Case of Cambodia, (Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 184.
94
Pada tahun 1990-an saja sudah terdapat sekitar empat ratus masjid yang
tersebar di seluruh Kamboja.32 Bahkan jumlah tersebut belum termasuk dengan
jumlah surau dan musholla yang belum terdapat estimasi pasti mengenai
jumlahnya. Kebanyakan masjid terkonsentrasi di Kampong Cham, terdapat sekitar
148 masjid yang tersebar di wilayah ini. Hal ini tidak mengherankan mengingat
Kampong Cham merupakan basis Muslim terbesar di Kamboja. Selain itu di
Kampong Chnnang terdapat sekitar 42 masjid. Dan di ibukota Phnom Penh
sendiri terdapat sekitar 12 masjid agung.33
Pertumbuhan masjid yang signifikan ini mengindikasikan bahwa tingkat
keberagamaan Muslim Kamboja semakin membaik pasca jatuhnya pemerintah
Khmer Merah. Selain itu hal ini juga mengindikasikan bahwa hubungan
pemerintah dan masyarakat Khmer yang mayoritas Budha dengan umat Islam
berjalan dengan baik. Mengingat bukan perkara mudah bagi minoritas untuk
menunjukkan eksistensinya di tengah kaum mayoritas, apalagi mendirikan rumah
ibadah. Maka dari itu, perkembangan tempat ibadah umat Islam menunjukkan
bahwa perlahan namun pasti umat Islam Kamboja menunjukkan kebangkitannya,
terutama dalam aspek keberagamaan dan sosial.
Selain tempat ibadah, umat Islam juga mengalami perkembangan dalam
sisi organisasi Muslim. Cambodian Muslim Development Foundation – CMDF
menjadi salah satu organisasi filantropi yang cukup berkembang di Kamboja.
Organisasi ini dipimpin oleh Osman Hasan, sekretaris ketenagakerjaan dan elite
Cham yang memiliki kedekatan dengan grand mufti, Komarudin Yosuf.
Organisasi ini bergerak dalam segala bidang, baik menyangkut keagamaan, sosial,
32
Omar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at the Margins: The Muslim of
Indocina, (Kyoto University: Center of Integrated Area Studies, 2008), hlm. 72.
33
Ibid.,
95
dan ekonomi. Sebagai contoh, CMDF mendirikan masjid, sekolah, memberikan
bantuan modal, mendirikan fasilitas kesehatan, menerjemahkan al-Qur’an ke
dalam bahasa Khmer dan Jawi, dan beberapa kegiatan lainnya.34
3. Pendidikan
Pendidikan memainkan peran sentral dalam setiap pembangunan
peradaban, begitupun dengan kebangkitan Islam di Kamboja. Pendidikan menjadi
aspek yang tak ketinggalan. Sebelumnya memang Muslim Kamboja sempat
menjalin kerjasama dalam hal pendidikan dengan beberapa negara Timur Tengah
seperti Mesir, Arab Saudi, dan Kuwait. Begitupun dengan beberapa negara
tetangganya seperti Thailand dan Malaysia. Namun hubungan tersebut terputus
ketika Khmer Merah berkuasa.
Sebelum tahun 1975 penyelenggaraan pendidikan Islam dilakukan di
madrasah (Koranic school), masjid, surau, ataupun rumah tuon. Sebelum rezim
Khmer Merah berkuasa jumlah instansi pendidikan Islam berupa madrasah atau
Koranic School memang sangat terbatas, hanya terdapat sebelas sekolah al-Qur’an
yang tersebar di lima provinsi,35 Hal ini disebabkan karena jumlah tenaga
pengajar yang masih sangat terbatas. Sedangkan untuk institusi pendidikan yang
diselenggarakan di masjid, surau, dan rumah tuon, belum terdapat data yang jelas
mengenai estimasi jumlahnya sebelum tahun 1975. Namun jika melihat
pertumbuhan masjid sebelum tahun 1975 jumlahnya berkisar 113 buah masjid
yang tersebar di beberapa distrik. Besar kemungkinan masjid-masjid tersebut juga
digunakan sebagai basis pendidikan umat Islam.
34
Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social
Integration and Transnational the Case of Cambodia, (Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 184-185.
35
Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin
Printing Press, 1974), hlm. 43.
96
Pada saat Khmer Merah berkuasa seluruh masjid dan instansi pendidikan
ditutup. Seluruh masyarakat Kamboja dilarang untuk sekolah. Hal ini
menyebabkan banyak masyarakat Kamboja yang akhirnya mengalami buta huruf.
Buku-buku pelajaran mengenai agama Islam dan al-Qur’an juga dilarang beredar.
Hal ini yang akhirnya membuat pendidikan umat Islam mengalami keterpurukan.
Pasca Khmer Merah berkuasa, umat Islam mulai bangkit dan kembali
menyelenggarakan pendidikan Islam. Jasa dari negara-negara Muslim lain
menjadi hal yag tidak dapat dikesampingkan peranannya dalam pembangunan
pendidikan Islam di Kamboja. Terdapat sekitar 300 madrasah atau koranic school
di Kamboja. Masing-masing tersebar di 315 desa berbeda telah didirikan.36
Sistem pendidikan Islam di Kamboja juga masih menganut sistem
pendidikan Islam tradisional yang mereka adopsi dari Malaysia.37 Dalam hal
pendidikan Muslim Kamboja memiliki hubungan baik dengan instansi pendidikan
Islam di wilayah Kelantan dan Thailand Selatan. Maka dari itu, banyak pelajar
Muslim Kamboja yang melanjutkan studinya di Kelantan dan Pattani.38 Selain itu
Turki juga memainkan peranan penting dalam modernisasi pendidikan Islam di
Kamboja. Pada tahun 1997 didirikan Zaman International School di Phnom Penh.
Sekolah ini didirikan oleh Atilla Yusuf Guleker, salah seorang aktivis Gullen.39
36
Omar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at the Margins: The Muslim of
Indocina, hlm. 72
37
Ibid., 73
38
Ibid.,
Phillip Bruckmayr, Phnom Penh’s Fethullah Gȕlen School as an Alternative to
Prevalent Forms of Education For Cambodias Muslim Minority, Tersedia di:
http://gulenconference.org.uk/userfiles/file/Proceedings/Prcd%20%20Bruckmayr,%20P.pdf (akses: 08 Juli 2015)
39
97
Sekolah ini memang tidak hanya mengakomodir orang-orang Islam saja, namun
masyarakat Kamboja secara umum.
98
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai pemaparan hasil penelitian penulis, akhirnya terjawab
pertanyaan besar terkait rumusan masalah yang menjadi fokus kajian penulis.
Berdasarkan fakta-fakta yang telah penulis himpun dan olah, akhirnya dapat
disimpulkan bahwa sedikitnya terdapat tiga motif yang melatarbelakangi
penindasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh pemerintah Khmer Merah
terhadap Muslim Kamboja, diantaranya:
1. Motif pertama yang melatarbelakangi penindasan pemerintah Khmer Merah
terhadap Muslim Kamboja adalah keterlibatan elite Muslim Kamboja dalam
rezim Lon Nol. Muslim Kamboja memiliki kedekatan yang intens dengan
rezim Lon Nol, bahkan mereka menduduki beberapa jabatan penting dalam
pemerintahan
Lon
Nol.
Keterlibatan
umat
Islam
Kamboja
dalam
pemerintahan Lon Nol membuat Khmer Merah menjadikan elite Muslim
Kamboja sebagai musuh internal.
2. Motif kedua yang menjadi pangkal penyebab umat Islam Kamboja
terdiskriminasikan dan menjadi target pembunuhan adalah penolakan umat
Islam terhadap kebijakan Five Point Plans yang diterapkan Khmer Merah dan
kebijakan Demokratic Kampuchea Constitution yang terkesan menyudutkan.
3. Motif ketiga adalah program Khmerisasi yang diterapkan oleh pemerintah
Khmer Merah. Khmer Merah ingin melakukan asimilasi dengan menjadikan
Khmer sebagai identitas nasional. Sehingga etnis minoritas seperti Cham dan
98
99
Melayu dihapuskan, dan diasimilasikan dengan etnis Khmer. Dan yang sangat
disayangkan kebijakan ini dilakukan dengan paksaan bahkan tak jarang
kekerasan menjadi senjata yang dikerahkan.
Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Khmer Merah yang yang tertuang
dalam Five Point Plans dan Demokratic Constitution 1976 terkesan menyudutkan
keberadaan umat Islam. Umat Islam yang merasa tersudutkan dengan kebijakan
pemerintah Khmer Merah akhirnya merespon kebijakan tersebut dengan
pemberontakan yang terjadi diberbagai daerah pada pertengahan Juli 1978.
Pasca kejatuhan Rezim Khmer Merah kehidupan umat Islam terus
mangalami perbaikan. Baik dalam jaringan internasional, sosial-keagamaan,
maupun pendidikan. Selain itu umat Islam juga menduduki beberapa posisi
penting dalam pemerintahan. Baik dalam kementerian, maupun dalam parlemen.
Masjid, institusi pendidikan Islam, dan organisasi Islam tumbuh bagaikan
cendawan di Musim hujan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kini Muslim
Kamboja berada dalam fase kebangkitan atau renaissance. Pengalaman mereka
pada masa Khmer Merah memang cukup menjadi kenangan kelam yang
menggoreskan luka di setiap benak saksi sejarahnya. Namun sebagaimana kata
pepatah, orang bijak adalah orang yang mau belajar dari sejarahnya. Nampaknya
kini sejarah Muslim Kamboja di bawah rezim Khmer Merah cukup dikenang dan
diambil hikmahnya. Belajar dari pengalaman sejarah tersebut, semoga di
kemudian hari peristiwa Muslim Kamboja di bawah rezim Khmer Merah tidak
terulang kembali. Kini Muslim Kamboja kembali bangkit dan mulai
menyongsong harapan mereka. Jumlah mereka terus bertambah meskipun mereka
tetap
minoritas,
namun
keminoritasan
96
mereka
bukan
menjadi
alasan
100
ketertinggalan dan perpecahan. Keharmonisan hidup mereka dengan etnis dan
agama lain dalam naungan
Kamboja sebagai nation-state, menjadi indikasi
bahwa kebangkitan Islam di Kamboja semakin nyata adanya.
B. Penutup dan Saran
Melalui skripsi ini penulis berusaha untuk menjadi penggiat pengkajian
Islam di wilayah Indocina, khususnya Kamboja. Sebelumnya wilayah ini sepi
pengkaji, kebanyakan kajian sejarah Islam di Asia Tenggara mahasiswa Jurusan
Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora masih berfokus pada
negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia. Jumlah Muslim di Kamboja
memang terbilang minoritas, namun perlu diingat bahwa mereka mempunyai
sejarah panjang yang menarik untuk dikaji lebih mendalam untuk kelak dijadikan
pelajaran. Di Kamboja kini umat Islam berjumlah sekitar 650.000 jiwa atau
sekitar 6 persen dari total penduduk Kamboja. Jumlah demikian membuat
keberadaan mereka perlu diperhatikan dan mobilisasinya perlu diamati. Maka dari
itu, penulis memberikan beberapa saran bagi peneliti, penggiat, dan pengamat
Islam di Asia Tenggara, di antaranya:
1. Menjadikan negara-negara minoritas Muslim di wilayah Asia Tenggara
khususnya Indocina (Kamboja, Vietnam, dan Laos) untuk mulai dilakukan
pengkajian lebih komprehensif. Hal ini tidak hanya bermanfaat bagi dunia
penelitian saja, namun cukup untuk membuka mata dunia Islam untuk
menunjukkan bahwa keberadaan mereka penting untuk diperhatikan. Prospek
kebangkitan Islam Asia Tenggara setidaknya jangan hanya dilihat melalui
negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei
Darussalam. Namun dilihat dalam paradigma yang lebih luas, yakni Asia
101
Tenggara dalam satu kesatuan wilayah. Sehingga jika benar apa yang
diramalkan oleh John L. Esposito dan Fazlurrahman mengenai kebangkitan
Islam di Asia Tenggara tidak hanya sebatas negara-negara mayoritas Muslim
yang berperan dalam kebangitan tersebut, namun umat Islam yang berada di
luar ketiga negara tersebut memiliki andil dalam mencapai renaissance
tersebut.
2. Penulis sadar betul akan kekurangan kajian ini. Penulis belum berhasil
menghimpun sumber-sumber primer secara maksimal. Hal ini dikarenakan
keterbatasan biaya dan waktu penelitian. Selain itu sumber pada masa
pemerintah Khmer Merah sulit untuk diungkap lebih jauh. Dikarenakan
pemerintah Khmer Merah memusnahkan dokumen-dokumen penting pada
masanya. Sementara itu sumber-sumber yang dipublikasikan oleh Document
Center of Cambodia sangat terbatas. Namun penulis berusaha semaksimal
mungkin
untuk
menghadirkan
penelitian
yang
setidaknya
mampu
menggerakkan langkah kaki para peneliti sejarah Islam di Asia Tenggara
untuk melirik negara-negara Indocina sebagai wilayah kajian. Maka dari itu,
penulis menyarankan agar para pengkaji-pengkaji selanjutnya dapat lebih
memaksimalkan sumber-sumber primer. Baik berupa wawancara, observasi,
maupun menghimpun dokumen otentik.
Wallau’alam Bishawwab.
Daftar Pustaka
Dokumen
Demokratic Kampuchea Constitution 1976 E3/259. (Phnom Penh: Document
Center
of
Cambodia).
Tersedia
di:
http://www.d.dccam.org/Archives/Documents/DK_Policy/DK_Policy_D
K_Constitution.htm (akses: 14 Mei 2014).
Demokratic Kampuchea a Workers and Peasants State in South-East Asia.
Embassy of Demokratic Kampuchea in Berlin, 1977. Phnom Penh:
Document Center of Cambodia (DC-Cam) Original (GB) File Number: D
55874.
Tersedia
di
http://www.d.dccam.org/Archives/Documents/pdf/Bulletin_of_the_Emba
ssy_of_Democratic_Kampuchea_in_Berlin_GDR_March_1977.pdf
(Akses 25 April 2015).
Khmer Republic. The Martyrdrom of Khmer Muslims. (Phnom Penh: Decho
Damdin
Press,
1974).
Tersedia
di:
https://archive.org/stream/TheMartyrdomOfKhmersMuslims/MKM#page
/n1/mode/2up (Akses: 25 April 2015)
Surat Kabar
“Kembalinya Pengeran Sihanouk Akan Rupakan Kemenangan PM Chou,” Warta
Berita Antara, 4 April 1975.
“Sihanouk Tetap Tidak Mau Berunding Dengan Pemerintah Phnom Penh,“ Warta
Berita Antara, 5 April 1975.
“Pasukan Pemberontak Terobos Garis Pertahanan Beberapa Ratus Meter,” Warta
Berita Antara, 5 April 1975.
“Presiden Lon Nol di Bali Merasa Seperti di Tanah Sendiri,” Warta Berita
Antara, 5 April 1975.
“Lon Nol Harapkan Indonesia Usahakan Selenggarakan Perdamaian Khmer,”
Warta Berita Antara, 6 April 1975.
“Perundingan Damai Khmer di Bangkok,” Warta Berita Antara, 8 April 1975.
“Sukham Khoy: Tidak Ada Yang Bisa Menghalangi Penyerahan Tanpa Syarat
Kepada Khmer Merah,” Warta Berita Antara. 8 April 1975.
“Phnom Penh Falls Into Khmer Rouge Hands,” Warta Berita Antara, 17 April
1975.
“Salah Siapa Kamboja Komunis?,” Kompas, 18 April 1975.
“Phnom Penh Menyerah,” Kompas, 18 April 1975.
“Komuniskasi Phnom Penh Diputus,” Kompas, 19 April 1975.
“Red Khmer Execute Long Boret and Lon Nol,” Warta Berita Antara, 20 April
1975.
“Rebutan Pulau Karena Minyak,” Kompas, 16 Juni 1975.
“Cambodia Remains Mystery State,” Warta Berita Antara, 18 Agustus 1975.
“Bloodbath in Cambodia,” Warta Berita Antara, 25 Agustus 1975.
“Situasi Kamboja Gawat Lagi,” Merdeka, 13 Juli 1978.
“Pemberontakan di Kamboja?”, Kompas, 13 Juli 1978.
Mc Govern, “2,5 Juta Rakyat Kamboja Mati Kelaparan,” Merdeka, 24 Agustus
1978.
“Kamboja Bagaimana Sesungguhnya Keadaannya Sekarang,” Merdeka, 21
Agustus 1978.
“Ieng Sary and Khieu Samphan Try to Escape to Peking,” Warta Berita Antara,
11 Januari 1979.
Jurnal dan Artikel
Bruckmayr, Philipp Phnom Penh’s Fethullah Gȕlen School as an Alternative to
Prevalent Forms of Education For Cambodias Muslim Minority, Tersedia
di:
http://gulenconference.org.uk/userfiles/file/Proceedings/Prcd%20%20Bruckmayr,%20P.pdf (akses: 08 Juli 2015)
Farouk, Omar dan Hiroyuki Yamamoto. Islam at The Margins : The Muslim of
Indo China, Japan: Kyoto University, Center for Integrate Studies (CIAS),
2008.
Tersedia
di:
http://www.cias.kyotou.ac.jp/publish/files/2010/11/ciasdp03.pdf (akese: 8 Mei 2014).
Jackson, D. Karl. “Cambodia 1978: War, Pillage, and Purge in Demokratic
Kampuchea”. Dalam Asian Survey Vol. XIX, No. 1. University of
California Press, 1979.
Kroef, Justus M. Van der. “Cambodia: From “Demokratic Kampuchea” to
“Peoples Republic”. Dalam Asian Survey Vol. XIX, No. 1. University of
California Press, 1979.
Kiernan, Ben. “The Demography of Genocide in Southeast Asia, The Death Tolls
in Cambodia, 1975-1979 and East Timor, 1975-80”. Critical Asian
Studies, Routledge Taylor & Francis Group, 2003. Tersedia di :
http://www.yale.edu/gsp/publications/KiernanRevised1.pdf (akese: 8 Mei
2014).
Minorities in Cambodia. Minority Right Group International. (United Kingdom:
Manchester
Press,
1995).
Tersedia
di:
http://www.minorityrights.org/download.php@id=418
(akses:
16
November 2014).
Musa, Muhammad Zain. “Champa: Runtuhnya Sebuah Kerajaan Melayu”. Jebat.
Vol 20, 1992.
_______________ “Perpindahan dan Hubungan Semasa Cham”. Jurnal Sari vol
26. Universitas Kebangsaan Malaysia, 2008.
_______________, “History of Education Among the Cambodian Muslim”.
Malaysia Journal History, Politic & Strategic Studies, vol 38. 2011.
Tersedia
di:
http://www.ukm.my/jebat/images/upload/Mohd.%20Zain%20Musa%2038
%20(1)%20(July%202011).pdf (akses: 8 Mei 2014).
_______________, “Perkembangan Islam di Asia Tenggara: Kajian Kamboja”.
Salam (Jurnal Studi Masyarakat Islam), Volume 15 Nomor 2 (Desember
2012).
Tersedia
di:
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/viewFile/1631/1768_um
m_scientific_journal.pdf (akses: 8 Mei 2014).
Osborn, Milton. The’Khmer Islam’ Community in Cambodia, ist Foreign Patrons.
Lowy Institute for International Policy, 2004. Tersedia di:
http://www.lowyinstitute.org/files/pubfiles/Osborne%2C_The_Khmer_Isla
m_community_v4.pdf (akses: 8 Mei 2014).
Okawa, Reiko. “Hidden Islamic Literature in a Cambodia: The Cham in the
Khmer Rouge Period”. International & Regional Studies No. 45. Meiji
Gakuin
University,
2014.
Tersedia
di:
http://repository.meijigakuin.ac.jp/dspace/bitstream/10723/1919/1/kokusai
_45_1-20.pdf (akses: 22 Desember 2014).
Trankell, Ing-Brrit dan Jan Ovesan. “Muslim Minority in Cambodia. Dalam
Nordic Institute of Asia Studies No 4, (Desember 2004). Theme: Southeast
Asian Islam: Plurality, Tolerance, and Change. Jorgen Delman (ed).
Denmark: Nordic Institute of Asia Studies, 2004. Tersedia di:
http://nias.ku.dk/sites/default/files/files/C93DEd01.pdf (akses: 27 Mei
2014).
Buku
Abudrahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Jogjakarta: Ar. Ruzz
Media, 2007.
Cabaton, Anthony. “Orang Cham Islam di Indo-China Prancis”. Dalam Kerajaan
Champa. Echole D’Extreme-Orient, Jakarta: Balai Pustaka, 1981.
Chandel, David P. A History of Cambodia. United States of America: Westview
Press, 1983.
______________ dkk(ed). Pol-Pot Plans the Future Confidential Leadership
Document of Demokratic Kampuchea 1976-1977. Yale University
:Southeast Asian Studies, 1988.
Coedes, G. Sejarah Champa dari Awal Sampai 1471. dalam Kerajaan Champa.
Echole D’Extreme-Orient. Jakarta: Balai Pustaka, 1981.
______________. Asia Tenggara Masa Hindu Budha. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2010.
Dacil, Q Keo dan Nean Yin. Fact Sheet Pol-Pot and His Prisoners at Secret
Prison S-21. Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2011. Tersedia
di
:
http://www.d.dccam.org/Archives/Documents/Confessions/pdf/FACT_SH
EET--Pol_Pot_and_His_Prisoners_at_Secret_Prison_S-21.pdf (akses: 8
Mei 2014).
Dahlan, Ahmad. Sejarah Melayu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014.
Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 7, (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1989).
Esposito, John L, dkk. Asia Islam in 21st Century. New York: Oxford University
Press, 2008.
______________, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan,
2001.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press, 2008.
Groslier, Bernard Philippe, Indocina Persilangan Kebudayaan, Jakarta :
Kepustakaan Populer Gramedia, 2007.
Holappa, Pentti. Kampuchea in the Seventies. Finland: Kampuchean Inquiry
Commission, 1982.
Kettani, M. Ali. Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Press,
2005.
Khamboly, Dy, dkk. A History of Demokratic Kampuchea. Phnom Penh:
Document Center of Cambodia, 2007.
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
Loir, Hendri Chambert dan Hasan Muarif Hambary (ed). Panggung Sejarah.
Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
Lafont, P.B. “Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cham dari Abad XVI s.d Abad
XX”. Dalam Kerajaan Champa. Jakarta: Balai Pustaka, 1981.
Maunati, Yekti dan Betti Rosita Sari (ed). The Cham Diaspora in Southeast Asia
Social Integration and Transnational The Case of Cambodia. Jakarta :
LIPI Press, 2013.
Muthalib, Husiin. Islam in Southeast Asia. Singapore : Institute of Southeast Asia
Studies, 2008.
Ponchaud, Franҫois. Cambodia Year Zero. Canada: Pinguin Books, 1978.
Saifullah. Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
So. Farina. The Hijab of Cambodia. Phnom Penh: Document Center of Cambodia,
2011.
Tersedia
di:
https://drive.google.com/file/d/0Bx9f8pHAAJGkNzAyYUtHRWF4bEpjak
NUT1FHRHhTV3dqOEpR/edit (akses: 17 Maret 2015).
Taouti, Seddik. “Forgotten Muslim in Kampuchea and Vietnam”. Dalam Ahmad
Ibrahim dkk, Readings on Islam ini Southeast Asia. Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies, 1985.
The Peoples of Cambodia. Cambodia: Cambodia Research Network-CRN, 2007.
Maran, Rafael Raga. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta, 2014.
Reid, Anthony. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta : LP3ES, 2004.
Ricklef, M.C. Sejarah Asia Tenggara Dari Masa Prasejarah Sampai
Kontemporer. Jakarta: Komunitas Bambu, 2013.
Surbakti, Ramlan dkk. Kampuchea Tahun 1975-1985 (mikro film). (Universitas
Airlangga: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1990).
Thohir, Ajid. Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etno Linguistik dan GeoPolitik. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Thully, John. A Short History of Cambodia From Empire to Survival. Australia:
Allen & Unwin, 2005.
Osman, Ysa. OUKOUBAH Justice fot The Cham Muslims Under theDemocratic
Kampuchea Regime. Phnom Penh: Documentation Center of Cambodia,
2002.
Tersedia
di:
http://www.islamicpopulation.com/pdf/genocide%20against%20cham%20
muslim.pdf (akses: 8 Mei 2014).
_______________. The Cham Rebellion Survivors Stories from the Village.
Document Series No. 9. Phnom Penh: Document Center of Cambodia,
2006.
Tersedia
di:
http://www.muslimpopulation.com/pdf/Chamrebillion%20until%201979.p
df (akses: 8 Mei 2014).
Palmeri, Sonia. The Hidden Minorities : Representing Etnic Minorities and
Indigenous Peoples in Cambodia. Mexico: Inter Parliamentary Union,
2010.
Vickery, Michael. Cambodia 1970-1982. Boston MA: South end Press, 1999.
Vidjia, Phun dan Jennifer Hollighan, The Kingdom of Cambodia, Rule of Law for
Human Rights in the ASEAN Region: A Base-line Study. Tersedia di:
http://www.kas.de/wf/doc/kas_7179-1442-2-30.pdf?120718133414 (akses:
14 Mei 2014).
Yakob, Abdul Ghani. “Minority Islam di Indo-China”. dalam Minoriti Muslim
Cabaran dan Harapan Menjelang Abad 21. Bangi: Universitas
Kebangsaan Malaysia, 2002.
LAMPIRAN
Lampiran 1.1 - Peta Kamboja Tahun 1976
Dipublikasikan oleh Ministry of Education of Democratic Kampuchea, 1976
Sumber: http://www.d.dccam.org/Projects/Maps/Mapping1976.htm (akses: 25 April 2015)
Lampiran 1.2 – Kampong Cham, merupakan salah satu wilayah yang menjadi basis
terbesar umat Islam Kamboja
Sumber: Document Center of Cambodia, tersedia di:
http://www.d.dccam.org/Projects/Maps/Outreach%20Maps/03%20Kampong%20Cham.JPG
( akses: 25 April 2015)
Lampiran 2.1 - Pangeran Norodom Sihanouk. Memerintah sejak tahun 1953 sampai 1970.
Sumber: http://i.telegraph.co.uk/multimedia/archive/02368/Cambodia_2368769b.jpg (akses: 01 Juni 2015)
Lampiran 2.2 - Marsekal Lon Nol. Presiden Khmer Republic 1970-1975
Sumber: http://www.crosswordese.com/Images/nol.jpg (akses: 01 Juni 2015)
Lampiran 3.1 - Hadji Les Kosem (kanan) sedang berjabat tangan dengan presiden Lon Nol (kiri)
dalam peresmian Khmer Islamic Community – CIS tahun 1974.
Sumber: Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho
Damdin Printing Press, 1974). Tersedia di:
https://archive.org/stream/TheMartyrdomOfKhmersMuslims/MKM#page/n1/mode/2up
(akeses: 25 April 2015)
Lampiran 4.1 - Salah satu masjid yang berada di Kampong Loeo, Kandal.
Lampiran 4.2 - Masjid Ek Raingsei yang berada di Kampong Luong, Kandal.
Dua dari sekitar 25 masjid yang menjadi target penghancuran ICP pada tahun 1970.
Sumber: Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin Printing Press, 1974).
Tersedia di: https://archive.org/stream/TheMartyrdomOfKhmersMuslims/MKM#page/n1/mode/2up
(akeses: 25 April 2015)
Lampiran 4.3 - Demonstrasi Muslim Kamboja di Phnom Penh dalam menolak agresi ICP di wilayah mereka tahun
1970-1975.
Sumber: Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin Printing Press, 1974).
hlm. 25. Tersedia di: https://archive.org/stream/TheMartyrdomOfKhmersMuslims/MKM#page/n1/mode/2up
(akeses: 25 April 2015)
Lampiran 4.4 - Okhna Hadji Abdullah bin Idres atau Res Las
Salah satu pemimpin tertinggi umat Islam Kamboja (Grand Mufti) pada masa Lon Nol (1970-1975).
Haji Sulaiman Shukry
Wakil Mufti 1
Hadji Math Saleh Sulaiman
Wakil Mufti 2
Sumber: Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho
Damdin Printing Press, 1974). Tersedia di:
https://archive.org/stream/TheMartyrdomOfKhmersMuslims/MKM#page/n1/mode/2up
(akeses: 25 April 2015)
\
Lampiran 4.5 - Presiden Lon Nol sedang menerima kedatangan Hadji Res Las (Grand Mufti)
Sumber: Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin
Printing Press, 1974). hlm. 25.
Lampiran 4.6 - Presiden Lon Nol sedang menerima kedatangan delegasi Muslim Kamboja
yang dipimpin oleh Les Kosem
Sumber: Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho
Damdin Printing Press, 1974).
Komunitas Muslim pada masa rezim Lon Nol di Masjid Sharief, Provinsi Kandal.
Lampiran 4.7 - Komunitas Musim di Masjid Azhar, Provinsi Kandal
Sumber: Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho
Damdin Printing Press, 1974). Tersedia di:
https://archive.org/stream/TheMartyrdomOfKhmersMuslims/MKM#page/n1/mode/2up
(akeses: 25 April 2015)
Madrasah (Koranic School ) Chi Cangwar Knong, Phnom Penh
Lampiran 4.8 - Madrasah (Koranic School) Prek Pra, Provinsi Kandal.
Sumber: Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho
Damdin Printing Press, 1974). Tersedia di:
https://archive.org/stream/TheMartyrdomOfKhmersMuslims/MKM#page/n1/mode/2up
(akeses: 25 April 2015)
Lampiran 5.1 - Bendera Nasional Khmer Merah (Demokratic Kampuchea)
Merah sebagai lambang revolusioner, dan kuning sebagai lambang tradisi masyarakat Kamboja.
Sumber: Document Center of Cambodia (Dc-Cam)- Original (GB) File Number D55874.
Lampiran 5.2 - Lambang Negara Kamboja pada masa Khmer Merah (Demokratic Kampuchea)
Sumber: Document Center of Cambodia (Dc-Cam)- Original (GB) File Number D5587
Lampiran 5.3 - Khieu Samphan, Presiden Rezim Khmer Merah (Demokratic Kampuchea) 1976-1979
Sumber: Document Center of Cambodia (Dc-Cam)- Original (GB) File Number D55874.
Lampiran 5.4 - Pol Pot/ Saloth Sar, Perdana Menteri Rezim Khmer Merah
(Demokratic Kampuchea) 1975-1979
Sumber: Document Center of Cambodia (Dc-Cam) .
http://www.d.dccam.org/Archives/Protographs/DK_Leaders.htm (akses 01 Juni 2015)
Lampiran 5.5 - Tentara Khmer Merah memasuki ibukota Phnom Penh pada 17 April 1975
Sumber: Document Center of Cambodia. Tersedia di
http://www.d.dccam.org/Archives/Protographs/Toul%20Sleng%20Photos/slides/Dsc_001.html
(akses: 25 April 2015)
Lampiran 5.6 - Proses dievakuasikannya warga Phnom Penh ke pedesaan tahun 1975
Sumber: file:///E:/Cambodia%2017%20APRIL%201975/8_files/april17.html
(akses: 25 April 2015)
Lampiran 5.7 - Aktivitas pertanian pada masa Khmer Merah
Sumber: Document Center of Cambodia (Dc-Cam)- Original (GB) File Number D55874.
Lampiran 5.8 - Aktivitas perburuhan pada masa rezim Khmer Merah
Sumber: Documen Center of Cambodia (Dc-Cam)- Original (GB) File Number D55874. Tersedia di:
http://www.d.dccam.org/Archives/Documents/pdf/Bullestin_of_the_Embassy_of_Democratic_Kampuchea_in_Berl
in_GDR_March_1977.pdf (akses: 25 April 2015)
Lampiran 5.9 - Ladang pembantaian di wilayah Svay Rieng
Sumber: Document Center of Cambodia. Tersedia di:
http://www.d.dccam.org/Archives/Protographs/Provincial_Photo-Archive/Svay%20Rieng/index.html
Lampiran 5.10 - Ladang Pembantaian di provinsi Kandal
Sumber: Document Center of Cambodia. Tersedia di:
http://www.d.dccam.org/Archives/Protographs/Provincial_Photo-Archive/Kandal/index.html
(akses: 25 April 2015)
Lampiran 5.11 - Tuol Sleng atau Penjara S21 (Tampak Luar)
Sumber: Document Center of Cambodia. Tersedia di
http://www.d.dccam.org/Archives/Protographs/Toul%20Sleng%20Photos/slides/C26.8.5.html
(akses: 25 April 2015)
Lampiran 5.12 - Ilustrasi penyiksaan di penjara Tuol Sleng atau S21 koleksi Museum Tuol Sleng
Tersedia di: http://daviddareparker.photoshelter.com/image/I0000rM39vrLLtU4
(akses: 19 Juni 2015)
Lampiran 6.1 - Daftar tahanan Muslim Kamboja di Penjara Tuol Sleng/S21 tahun 1975-1979
Sumber: Osman, Ysa. OUKOUBAH Justice fot The Cham Muslims Under theDemocratic Kampuchea Regime.
Phnom Penh: Documentation Center of Cambodia, 2002.
Lampiran 6.2 - Daftar tokoh Muslim yang mati terbunuh pada masa pemerintahan
Khmer Merah 1975-1979
Sumber: Osman, Ysa. OUKOUBAH Justice fot The Cham Muslims Under theDemocratic Kampuchea Regime.
Phnom Penh: Documentation Center of Cambodia, 2002. hlm. 122-124.
Lampiran 6.3 - Pejabat Muslim yang mati terbunuh pada masa pemerintahan Khmer Merah 1975-1979
Sumber: Osman, Ysa. OUKOUBAH Justice fot The Cham Muslims Under theDemocratic Kampuchea Regime.
Phnom Penh: Documentation Center of Cambodia, 2002. hlm.125.
Lampiran
Lampiran 7.1 – Konstitusi Khmer Merah
1976 7.1
DK Constitution
The Cambodian Constitutions (1953-1993)
Collected and Introduced by Raoul M. Jennar
Democratic Kampuchea (1975-1979)
After the vote on 18 March 1970 dismissing him as Head of State,
Prince NorodomSihanouk sent out an appeal from Peking for an armed uprising against
the regime, which had taken power in Phnom Penh. The Communist movement which
had been fighting the regime since 1968 rallied to the Prince, who created the Front
National Uni du Kampuchea (FUNK) and a related Gouvernement Royal d'Union
Nationale du Kampuchea (GRUNK).
The North Vietnamese Army and the Vietcong brought decisive support to the
embryonic FUNK forces. Little by little, the most radical elements of Cambodian
communism—dubbed Khmer Rouge as early as 1970 by Prince Sihanouk—began to
increase their influence within FUNK, of which they took control from 1973 on. The
Vietnamese forces, which had signed the Paris Agreements at the beginning of the year,
retreated to the frontier zones. While "frontism" remained the political practice in the
combat zones, the first purges and massacres commenced in the so-called "liberated
zones". Sihanouk supporters, moderate communists (or those suspected of sympathy for
Hanoi) and reticent people, were the principal victims.
On 17 April 1975 the Khmer Rouge forces entered Phnom Penh and set up the regime
named Democratic Kampuchea.
During a command group meeting in the Cambodian capital from 15 to 19 December
1975, the text of a Constitution was adopted, the principles of which had been decided at
the end of April. It was promulgated on 5 January 1976.
To establish this unofficial translation in English, we have relied on the translation
published by David Chandler, "The Constitution of Democratic Kampuchea: The
Semantics of Revolutionary Change", Pacific Affairs, Fall 1976; and Craig Etcheson, The
Rise and Demise of Democratic Kampuchea, Colorado, Westview, 1984.
Preamble
On the basis of the sacred and fundamental desires of the people, workers, peasants, and
other labourers as well as those of the fighters and cadres of the Kampuchean
Revolutionary Army; and
Whereas a significant role has been played by the people, especially the workers, poor
peasants, the lower middle peasantry, and other strata of labourers in the countryside
and cities, who account for more than ninety-five percent of the entire Kampuchean
nation, who assumed the heaviest responsibility in waging the war for the liberation of
the nation and the people, made the greatest sacrifices in terms of life, property, and
commitment, served the front line relentlessly, and unhesitatingly sacrificed their
children and husbands by the thousands for the fight on the battlefield;
Whereas great sacrifices have been borne by the three categories of the Kampuchean
Revolutionary Army who fought valiantly, day and night, in the dry and rainy season,
underwent all sorts of hardship and misery, shortages of food, medicine, clothing,
ammunition, and other commodities in the great war for the liberation of the nation and
the people;
Whereas the entire Kampuchean people and the entire Kampuchean Revolutionary
Army desire an independent, unified, peaceful, neutral, non-aligned, sovereign
Kampuchea enjoying territorial integrity, a national society informed by genuine
happiness, equality, justice, and democracy without rich or poor and without exploiters
or exploited, a society in which all live harmoniously in great national solidarity and join
forces to do manual labour together and increase production for the construction and
defence of the country;
And whereas the resolution of the Special National Congress held on 25, 26 and 27 April
1975 solemnly proclaimed recognition and respect for the above desires of the entire
people and the entire Kampuchean Revolutionary Army;
The Constitution of Kampuchea states:
Chapter One
The State
Article 1 The State of Kampuchea is an independent, unified, peaceful, neutral, nonaligned, sovereign, and democratic State enjoying territorial integrity.
The State of Kampuchea is a State of the people, workers, peasants, and all other
Kampuchean labourers.
The official name of the State of Kampuchea is "Democratic Kampuchea".
Chapter Two
The Economy
Article 2 All important general means of production are the collective property of the
people's State and the common property of the people's collectives.
Property for everyday use remains in private hands.
Chapter Three
Culture
Article 3 The culture of Democratic Kampuchea has a national, popular, forwardlooking, and healthful character such as will serve the tasks of defending and building
Kampuchea into an ever more prosperous country.
This new culture is absolutely opposed to the corrupt, reactionary culture of the various
oppressive classes and that of colonialism and imperialism in Kampuchea.
Chapter Four
The Principle of Leadership and Work
Article 4 Democratic Kampuchea applies the collective principle in leadership and work.
Chapter Five
Legislative Power
Article 5 Legislative power is invested in the representative assembly of the people,
workers, peasants, and all other Kampuchean labourers.
This Assembly shall be officially known as the "Kampuchean People's Representative
Assembly".
The Kampuchean People's Representative Assembly shall be made up of 250 members,
representing the people, the workers, peasants, and all other Kampuchean labourers and
the Kampuchean Revolutionary Army. Of these 250, there shall be:
Representing the peasants 150
Representing the labourers and other working people 50
Representing the revolutionary army 50
Article 6 The members of the Kampuchean People's Representative Assembly are to be
elected by the people through direct and prompt general elections by secret ballot to be
held throughout the country every five years.
Article 7 The People's Representative Assembly is responsible for legislation and for
defining the various domestic and foreign policies of Democratic Kampuchea.
Chapter Six
The Executive Body
Article 8 The administration is a body responsible for executing the laws and political
lines of the Kampuchean People's Representative Assembly.
The administration is elected by the Kampuchean People's Representative Assembly and
must be fully responsible to the Kampuchean People's Representative Assembly for all
its activities inside and outside the country.
Chapter Seven
Justice
Article 9 Justice is administered by people's courts, representing and defending the
people's justice, defending the democratic rights and liberties of the people, and
condemning any activities directed against the people's State or violating the laws of the
people's State.
The judges at all levels will be chosen and appointed by the People's Representative
Assembly.
Article 10 Actions violating the laws of the people's State are as follows:
Dangerous activities in opposition to the people's State must be condemned to the
highest degree.
Other cases are subject to constructive re-education in the framework of the State's or
people's organisations.
Chapter Eight
The State Presidium
Article 11 Democratic Kampuchea has a State Presidium chosen and appointed by the
Kampuchean People's Representative Assembly once every five years.
The State Presidium is responsible for representing the State of Democratic Kampuchea
inside and outside the country in keeping with the Constitution of Democratic
Kampuchea and with the laws and political lines of the Kampuchean People's
Representative Assembly.
The State Presidium is composed as follows: a president, a first vice-president, and a
second vice-president.
Chapter Nine
The Rights and Duties of the Individual
Article 12 Every citizen of Kampuchea enjoys full rights to a constantly improving
material, spiritual, and cultural life.
Every citizen of Democratic Kampuchea is guaranteed a living.
All workers are the masters of their factories.
All peasants are the masters of the rice paddies and fields.
All other labourers have the right to work.
There is absolutely no unemployment in Democratic Kampuchea.
Article 13 There must be complete equality among all Kampuchean people in an equal,
just, democratic, harmonious, and happy society within the great national solidarity for
defending and building the country together.
Men and women are fully equal in every respect.
Polygamy is prohibited.
Article 14 It is the duty of all to defend and build the country together in accordance
with individual ability and potential.
Chapter Ten
The Capital
Article 15 The capital city of Democratic Kampuchea is Phnom Penh.
Chapter Eleven
The National Flag
Article 16 The design and significance of the Kampuchean national flag are as follows:
The background is red, with a yellow three-towered temple in the middle.
The red background symbolises the revolutionary movement, the resolute and valiant
struggle of the Kampuchean people for the liberation, defence, and construction of their
country.
The yellow temple symbolises the national traditions of the Kampuchean people, who
are defending and building the country to make it ever more prosperous.
Chapter Twelve
The National Emblem
Article 17 The national emblem consists of a network of dikes and canals, which
symbolise modern agriculture, and factories, which symbolise industry. These are
framed by an oval garland of rice ears, with the inscription "Democratic Kampuchea" at
the bottom.
Chapter Thirteen
The National Anthem
Article 18 The national anthem of Democratic Kampuchea is the "Dap Prampi Mesa
Chokchey" ["Glorious Seventeenth of April"].
Chapter Fourteen
The Kampuchean Revolutionary Army
Article 19 The three categories of the Kampuchean Revolutionary Army—regular,
regional, and guerrilla—form an army of the people made up of men and women
fighters and cadres who are the children of the labourers, peasants, and other
Kampuchean working people. They defend the State power of the Kampuchean people
and of independent, unified, peaceful, neutral, non-aligned, sovereign, and democratic
Kampuchea, which enjoys territorial integrity, and at the same time they help to build a
country growing more prosperous every day to improve and develop the people's
standard of living.
Chapter Fifteen
Worship and Religion
Article 20 Every citizen of Kampuchea has the right to worship according to any religion
and the right not to worship according to any religion.
Reactionary religions which are detrimental to Democratic Kampuchea and
Kampuchean people are absolutely forbidden.
Chapter Sixteen
Foreign Policy
Article 21 Democratic Kampuchea fervently and earnestly desires to maintain close and
friendly relations with all countries sharing a common border and with all those near
and distant throughout the world in conformity with the principles of mutual and
absolute respect for sovereignty and territorial integrity.
Democratic Kampuchea adheres to a policy of independence, peace, neutrality and nonalignment. It will permit absolutely no foreign country to maintain military bases on its
territory and is resolutely opposed to all forms of outside interference in its internal
affairs, and to all forms of subversion and aggression against Democratic Kampuchea
from outside, whether military, political, cultural, social, diplomatic, or humanitarian.
Democratic Kampuchea refuses all intervention in the domestic affairs of other
countries, and scrupulously respects the principle that every country is sovereign and
entitled to manage and decide its own affairs without outside interference.
Democratic Kampuchea remains absolutely within the great family of non-aligned
nations.
Democratic Kampuchea strives to promote solidarity with the peoples of the Third
World in Asia, Africa, and Latin America, and with peace- and justice-loving people the
world over, and to contribute most actively to mutual aid and support in the struggle
against imperialism, colonialism, neo-colonialism, and in favour of independence, peace,
friendship, democracy, justice, and progress in the world.
Sumber:
http://www.d.dccam.org/Archives/Documents/DK_Policy/DK_Policy_DK_Constitution.ht
m (Akses: 24/04/2015)