Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
MUSLIM KAMBOJA DI BAWAH REZIM KOMUNIS KHMER MERAH 1975-1979 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.) Disusun oleh : Dirga Fawakih (1111022000028) JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/ 1436 H LEMBAR PENYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 06 Juli 2015 Dirga Fawakih i ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul MUSLIM KAMBOJA DI BAWAH REZIM KOMUNIS KHMER MERAH 1975-1979 telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 6 Juli 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada program studi Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta, 06 Juli 2015 Panitia Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota, Nurhasan, MA NIP: 196907241997031001 Sholikatus Sa’dyah, M.Pd NIP: 197504172005012007 Anggota, Penguji I Penguji II Dr. Sudarnoto Abd. Hakim, MA NIP: 195902031989031003 Dra. Hj. Tati Hartimah, MA NIP: 1955073119890322001 Pembimbing Nurhasan, MA NIP: 196907241997031001 iii ABSTRAK Skripsi ini bertujuan menganalisa mengenai apa motif diskriminasi dan bagaimana kebijakan rezim Khmer Merah terhadap etnis dan agama minoritas di Kamboja, di mana etnis Cham-Melayu yang notabennya beragama Islam termasuk di dalamnya. Selain itu skripsi ini juga ingin melanjutkan tulisan P.B Lafont yang dalam artikelnya belum menjawab mengenai apa motif diskriminasi yang dilakukan Khmer Merah terhadap umat Islam di Kamboja. Penelitian ini bersifat analytical history, maka dari itu penulis menggunakan metode penelitian yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya, yakni, heuristik, verifikasi, interpretasi,dan historiografi. Dalam penelitian ini penulis mendapatkan temuan-temuan baru terkait motif yang melatarbelakangi diskriminasi Khmer Merah terhadap umat Islam di Kamboja. Selain itu penulis juga menemukan fakta-fakta terkait kebijakan rezim Khmer Merah terhadap etnis dan agama minoritas di Kamboja. Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian terdahulu yang belum sempat menjawab permasalahan yang menjadi fokus kajian skripsi ini. Skripsi ini juga ingin menguji teori gerakan sosial Rafael Raga Maran, yang mengatakan bahwa, “masalah sosial dan masalah ekonomi adalah yang menyebabkan munculnya gerakan sosial menentang pemerintahan”. Berangkat dari kerangka teori tersebut, penulis berusaha merumuskan permasalahan skripsi ini dengan menggunakan pendekatan politik dan sosial. Dari hasil analisa menggunakan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah Khmer Merah terhadap umat Islam Kamboja yang cenderung menyudutkan berimplikasi pada pemberontakan-pemberontakan umat Islam di beberapa wilayah yang menjadi konsentrasi umat Islam. Namun pemberontakan tersebut akhirnya dapat dipadamkan, dan rentetan kisah pilu umat Islam berupa penindasan, pembantaian, dan pembakaran rumah ibadah terus berlangsung di bawah rezim Khmer Merah. Kata Kunci: Kebijakan, Khmer Merah, Muslim Kamboja i KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya bagi para hambaNya yang selalu memuja. Shalawat serta salam semoga selalu terlimpah kepada junjungan nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabat, dan para pengikunya. Rasa syukur disertai dengan usaha yang sungguhsungguh serta tekad yang kuat akhirnya penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul “Muslim Kamboja di Bawah Rezim Komunis Khmer Merah 19751979”. Meskipun penulis sadar betul akan banyaknya kekurangan dalam karya ini. Penulis berkeyakinan karya ini dapat bersumbangsih bagi siapa saja yang ingin bergelut pada dunia penelitian, khususnya bagi mereka yang memfokuskan kajian pada Islam di Kamboja. Layaknya peristiwa sejarah yang penyebabnya tidak tunggal, begitupun halnya dengan perjuangan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak bisa dinafikan bahwa penulis bukan satu-satunya aktor sentral, namun di balik usaha dan kerja keras penulis terdapat orang-orang yang rela meluangkan waktu untuk membantu. Maka dengan niatan suci yang terpatri kuat dalam sanubari, penulis sampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A. selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora. 3. Nurhasan, MA. selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam serta dosen pembimbing yang dengan sangat teliti dan sabar memberikan arahan dan masukan positif bagi penulis. ii 4. Solikhatus Sa’diyah, M.Pd. selaku sekretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam yang telah dengan sabar mengurusi semua administrasi yang penulis butuhkan. 5. Dr. Saidun Derani, M.A. selaku dosen penasihat akademik yang terus memberikan arahan, masukan, dan meyakinkan penulis dalam menggeluti pengkajian Islam di Kamboja. 6. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, M.A. selaku dosen penasihat akademik. Terima kasih atas pengorbanan tanpa pamrih dan nilai kejujuran yang telah ditanamkan. 7. H. Budi Santoso dan Rumiyati selaku orang tua penulis. Terima kasih atas motivasi, cinta, dan pengorbanan tanpa pamrih yang telah diberikan. 8. Kakak dan adik-adiku tercinta, Prawira Yudha Santoso, Ditto Santoso, Pringga Tritanoko, Ukhtia Khuluqi Adzima, dan Siti Rohadatul Aisy. Terima kasih telah menjadikan rumah sebagai tempat berdiskusi dan mengadu hati. 9. Kawan-kawan Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam angkatan 2011. Terima kasih atas diskusi-diskusi yang menarik dan mencerdaskan selama perkuliahan. Semoga kelak kita dipertemukan dalam keadaan sukses. 10. Yanti Susilawati, Siti Rahmawati, dan Amanah penulis hanturkan terima kasih yang mendalam telah menjadi teman berjuang dalam perburuan sumber. 11. Ikatan Remaja Lingkungan RW 05 (IKRA 05) penulis hanturkan terima kasih atas waktu dan keluangan yang diberikan kepada penulis untuk memfokuskan diri dalam menyusun skripsi. 12. Dita Aulia Afifah, sahabat yang tidak henti memberikan motivasi demi tercapainya cita-cita nan hakiki. iii 13. Dan yang tersepesial untuk almarhum Abdul Ajid bin Manat, sahabat sejati yang selalu menginspirasi. Terima kasih atas optimisme yang engkau patrikan dalam hati. Cita dan harapanmu akan selalu hidup dalam sanubari. Semoga engkau ditempatkan di sisi sang Ilahi. Untukmulah skripsi ini aku persembahkan. Jakarta, 06 Juli 2015 Dirga Fawakih iv DAFTAR ISI ABSTRAK.................................................................................................... i KATA PENGANTAR................................................................................. ii DAFTAR ISI................................................................................................ v DAFTAR ISTILAH.................................................................................... vii DAFTAR SINGKATAN............................................................................ ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah......................................................................... 11 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................................. 11 D. Tujuan Penelitian............................................................................. 12 E. Manfaat Penelitian........................................................................... 12 F. Tinjauan Pustaka............................................................................. 13 G. Kerangka Teori................................................................................ 17 H. Metode Penelitian............................................................................ 20 I. Sistematika Penulisan...................................................................... 23 BAB II MUSLIM KAMBOJA SEBELUM REZIM KHMER MERAH BERKUASA A. Geografi dan Struktur Masyarakat Kamboja.................................... 25 B. Mengenal Muslim Kamboja............................................................. 27 C. Kondisi Muslim Kamboja Tahun 1953-1970.................................. 36 v BAB III MUSLIM KAMBOJA DI BAWAH REZIM KHMER MERAH 1975-1979 A. Sejarah dan Kiprah Khmer Merah dalam Kancah Perpolitikan Kamboja........................................................................................... 46 B. Kebijakan Politik Rezim Khmer Merah terhadap Agama dan Etnis Minoritas................................................................................. 56 C. Motif Penindasan Khmer Merah terhadap Umat Islam Kamboja ... 63 D. Respons Muslim Kamboja terhadap Kebijakan Politik Khmer Merah.............................................................................................. 73 BAB IV MUSLIM KAMBOJA PASCA KEJATUHAN REZIM KHMER MERAH A. Faktor Kejatuhan Rezim Khmer Merah......................................... 79 B. Muslim Kamboja di Bawah Rezim People Republic of Kampuchea.................................................................................... 85 C. Kebangkitan Islam di Kamboja..................................................... 90 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.................................................................................... 97 B. Saran.............................................................................................. 100 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 102 LAMPIRAN............................................................................................. vi 107 DAFTAR ISTILAH Angkar Pasukan revolusioner Khmer Merah Bilal Pengumandang Adzan Cham Etnis yang berasal dari pesisir Vietnam Cham-Chvea Asimilasi etnis Cham dan Melayu Cham Jahed/ Cham Bani Cham Muslim berfaham Animisme Indocina Wilayah yang meliputi Kamboja, Laos, Vietnam Imom Imam/ pengurus masjid Jva Iyava Orang Melayu dari Jawa Jva Krapi Orang Melayu dari Sumatera Jva Melayu Orang Melayu dari Malaysia, Singapura, dan Thailand Selatan Katan Khitan, Sunat Keitap Kitab pelajaran agama Islam (Fiqih) Khatib Pembaca doa di masjid Khmer Islam Sebutan orang Muslim Kamboja Khmer Issarak Organisasi komunis pertama di Kamboja Khmer Merah Organisasi komunis radikal Mophati Mufti, pemimpin tertinggi umat Islam Kamboja. Rumah Tuon Institusi pendidikan Islam tradisional vii Ramvon Bulan Ramadhan, bulan puasa Sihanoukisme Paham sosialisme Budha yang digaungkan oleh Norodom Sihanouk Tuh Khalik Wakil mufti viii DAFTAR SINGKATAN AKIY Association of Khmer Islamic Youth ASEAN Association of Southeast Asian Nations CIS Central Islamic Association CPF Communist Party of France CPK Communist Party of Kampuchea CMDF Cambodian Muslim Development Foundation DK Demokratic Kampuchea FULRO Front Univie de Lutte des Race Oprimess FUNK Front Uni National du Kampuchea GRUNK Gouvernment of National Union of Kampuchea ICP Indocina Communist Party KNUFNS Kampuchean National United Front for National Salvation KPRP Khmer People Revolutioner Party NGO Non Goverment Organization NLAF National Liberation Armed Forces PRK People i Republic of Kampuchehea 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setelah Kamboja merdeka dari protektorat Prancis pada tahun 19531 umat Islam Kamboja yang didominasi oleh etnis Cham dan Melayu telah menjadi bagian dari warganegara Kamboja. Meski mereka sadar bahwa identitas agama dan etnis mereka berbeda dengan etnis yang mendominasi Kamboja yakni etnis Khmer yang notabenenya beragama Budha. Namun status mereka tetap disamakan dengan masyarakat pribumi Kamboja.2 Perlahan mereka dapat berbaur dengan masyarakat Khmer yang dominan, meskipun identitas agama dan budaya mereka tetap dipertahankan dengan baik. Sejauh ini hubungan antara agama Islam dan Budha digambarkan dalam kondisi yang harmonis. Sejauh penulis membaca berbagai literatur terkait Islam di Kamboja, belum pernah disinggung mengenai masalah konflik yang terjadi, baik horizontal maupun vertikal. Pada masa awal kemerdekaan, ketika kancah perpolitikan Kamboja dipimpin oleh raja Norodom Sihanouk (1953-1970), hubungan umat Islam dengan pemerintah berjalan dengan baik. Bahkan tak jarang raja Norodom Sihanouk menggelar dialog dengan orang-orang Islam di kerajaan.3 Pada masa Sihanouk diterapkan politik asimilasi dan diperkenalkan 1 istilah Khmer untuk etnis Kamboja telah menjadi protektorat Prancis sejak tahun 1864. Semenjak kehadiran Prancis sebenarnya suasana politik Kamboja lebih stabil dibanding masa sebelumnya. Tahun 1941 Prancis mengangkat pangeran Norodom Sihanouk menjadi raja Kamboja. Sihanouk inilah yang kelak membawa Kamboja ke pintu kemerdekaan pada tahun 1953. Lihat: Ensiklopedi Nasonal Indonesia Jilid 8, (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), hlm. 94. 2 P. B Lafont, Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cham dari Abad XVI s.d Abad XX, dalam Kerajaan Champa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 75. 3 Anthony Cabaton, Orang Cam Islam di Indo-China Prancis, dalam Kerajaan Champa, Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 242-243. 1 2 minoritas. Menurut Yekti Maunati, tujuannya adalah untuk mewujudkan konsep nasionalisme dan komposisi ideal bangsa Kamboja.4 Walaupun pada masa kemudian julukan ini dipertanyakan oleh beberapa ahli karena tujuan dari politik asimilasi tersebut yang dianggap sebagai langkah mengeliminasi atau menyembunyikan etnis minoritas. Jadi dalam penyebutan etnis minoritas di Kamboja terdapat tiga pembagian sebutan, yakni Khmer Loeu untuk menyebutkan orang Kamboja yang tinggal di dataran tinggi timur laut, Khmer Krom untuk orang yang tinggal di delta Mekong, dan Khmer Islam untuk orang Cham dan Melayu. Maka dari itu hingga kini Muslim Kamboja yang notabenenya berasal dari etnis Cham dan Melayu lebih dikenal dengan sebutan Khmer Islam atau Khmer Muslim. Namun sangat disayangkan, keberadaan Muslim Melayu jarang disebut dalam berbagai literatur. Keberadaan mereka nampaknya disamakan dengan etnis Cham yang memang jumlahnya lebih mendominasi. Sejak masa kemerdekaan kondisi politik Kamboja memang selalu mengalami guncangan. Kancah politik Kamboja selalu diwarnai dengan perebutan pengaruh kaum komunis dan kaum liberalis yang dipelopori oleh Lon Nol. Sihanouk belakangan memiliki kecenderungan dengan kaum komunis. Ia memberikan izin pendirian basis militer Partai Komunis Indocina (Indocina Communist Party – ICP) di Kamboja. Hal ini sontak menimbulkan silang pendapat di kalangan elit pemerintahan. Lon Nol yang kala itu menjabat sebagai perdana menteri tidak menyetujui hal tersebut, karena sangat beresiko bagi keselamatan masyarakat sipil. Mengingat Amerika Serikat sedang gencar membombardir semua wilayah yang menjadi basis kaum komunis di Indocina 4 Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational the Case of Cambodia, (Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 164. 3 (Kamboja, Laos, dan Vietnam). Ditambah lagi dengan sikap para militer ICP yang di dalamnya juga terdapat kader Khmer Merah berlaku semena-mena di dalam wilayah Kamboja yang juga menuai perotes dari kalangan masyarakat sipil. Selain itu penolakan Lon Nol juga bermotifkan penyelamatan Kamboja dari pengaruh komunis yang dipelopori oleh ICP dan Khmer Merah, melihat ICP yang kala itu sedang gencar menyebarluaskan pengaruhnya di Indocina. Lon Nol tidak menginginkan bila ICP menanamkan pengaruhnya di Kamboja. Maka dari itu Lon Nol berusaha menolak kebijakan Sihanouk yang memberikan izin mendirikan basis militer ICP di Kamboja. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa usahanya juga mendapatkan dorongan dari Amerika Serikat. Berbagai permasalahan yang terjadi di dalam pemerintahan membuat Sihanouk dan Lon Nol terpecah. Akhirnya pada tahun 1970 ketika sedang pergi ke Prancis untuk berobat, dengan leluasa akhirnya militer yang diplopori oleh Lon Nol mengambil alih kepemimpinan Kamboja dengan mengkudeta raja Sihanouk melalui sidang Dewan Perhimpunan.5 Pada masa Lon-Nol sistem kenegaraan yang tadinya menganut sistem monarki, akhirnya digantikan dengan sistem republik.6 Hubungan antara umat Islam dengan pemerintah terjalin dengan baik pada masa ini. Memang sebenarnya sejak masa Sihanouk umat Islam tidak pernah mengalami konflik dengan pemerintah. Lon Nol memberikan kebebasan bagi orang-orang Islam untuk berpartisipasi di kancah perpolitikan. Di bawah Les Kosem, salah seorang jendral Muslim, dua organisasi Islam berhasil didirikan, yakni, The Central Islamic 5 M.C Ricklef, Sejarah Asia Tenggara dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), hlm. 584. 6 Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia, hlm. 165. 4 Association of The Khmer Republic - CIS, dan The Association of Khmer Islamic Youth - AKIY.7 Pada masa Lon Nol umat Islam sangat dekat dengan pemerintah, sehingga banyak orang Islam yang diberikan posisi penting dalam pemerintahan. Namun tak lama memerintah, Lon-Nol dianggap korup oleh berbagai kalangan, sehingga memunculkan citra negatif di kalangan masyarakat Kamboja. Di samping itu Lon Nol juga sangat ketergantungan terhadap Amerika Serikat baik dalam masalah politik maupun ekonomi, sehingga Lon Nol dituding telah gagal membawa Kamboja menjadi negara yang mandiri karena ketergantungannya tersebut. Sementara itu Sihanouk dengan didukung oleh pemerintahan komunis Beijing menjalin kerjasama dengan Communist Party of Kampuchea (CPK) yang dipimpin oleh Saloth Sar atau Pol-Pot untuk mengkudeta rezim Lon-Nol. Meskipun menurut dunia Internasional CPK di bawah Pol Pot dianggap sebagai pemberontak, namun mereka mendapat dukungan yang cukup banyak dari masyarakat Kamboja. Ditambah lagi hampir 60 persen wilayah Kamboja pada tahun 1975 telah dikuasai oleh CPK. Hal ini membuat pemerintahan Lon Nol semakin terdesak dan mulai merumuskan penyerahan tanpa syarat. Akhirnya pada 17 April 1975, Phnom Penh, ibukota Kamboja berhasil dikuasai oleh pasukan revolusioner.8 Sejak saat itulah Kamboja dikuasai oleh rezim yang menyebut dirinya Khmer Merah atau Khmer Rouge. Julukan Khmer 7 Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin Printing Press, 1974), hlm. 49-51. 8 Mengenai naiknya rezim Komunis Khmer Merah pada tampuk kekuasaan Kamboja lihat:“Phnom Penh Fallas Into Khmer Rouge Hands.” Warta Berita Antara, 17 April 1975. Istilah Revolusioner merujuk pada Communist Party of Kampuchea. Hal ini dikarenakan tujuannya yang ingin melakukan perubahan secara fundamental terhadap Kamboja dalam segala aspek. Secara definisi gerakan revolusioner merupakan gerakan yang bermaksud mengubah masyarakat dengan menentang nilai-nilai yang fundamental. Lihat: Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Poitik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm. 71. 5 Merah diberikan oleh Sihanouk ketika orang-orang komunis memberontak pada tahun 1960. Khmer Merah merupakan kelompok ideologi komunis garis keras. Kelompok ini diisi oleh penganut paham komunis yang pernah menuntut ilmu di Prancis dan pernah tergabung dalam Partai Komunis Prancis (Communist Party of France – CPF) di Prancis. Pol-Pot dijuluki sebagai Brother One atau kakak pertama dalam organisasi ini. Selanjutnya diikuti oleh rekan-rekannya seperti Ieng Sary, Hou Youn, Khieu Samphan, dan Noun Chea. Mereka adalah mahasiswa Kamboja yang pernah menuntut ilmu di Prancis dan membentuk organisasi yang mencetuskan ide-ide komunis radikal. Mereka pulalah yang menjadi pelopor kudeta terhadap pemerintah Lon-Nol pada tahun 1975. Keberadaan para penganut ideologi komunis sebenarnya telah ada sejak masa protektorat Prancis. Namun pergerakan mereka baru sebatas penyebaran pamflet dan perekrutan anggota dalam tingkat distrik. Keberadaan mereka berkembang seiring tumbuhnya rasa nasionalisme masyarakat Kamboja. Gerakan perlawanan para penganut ideologi komunis dikokohkan dengan didirikannya Barisan Pembebasan Khmer (Nekhum Isarak Khmer) pada April tahun 1950 di provinsi Kompot.9 Organisasi ini diketuai oleh Song Ngoch Minh, salah seorang pendeta Budha yang keluar dari wiharanya. Sebenarnya didirikannya Barisan Pembebasan Khmer merupakan inspirasi dari Partai Komunis Indocina (Indocina Communist Party – ICP) di bawah Vietnam. Tujuan didirikannya Nekhum Issarak Khmer sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ICP, mereka sama-sama 9 Ibid., hlm. 5. 6 berkeinginan menentang hegemoni kolonial Prancis di Indocina (Kamboja, Laos, dan Vietnam).10 Pada tahun 1951 Nekhum Issarak Khmer mempelopori berdirinya sebuah partai komunis pertama di Kamboja yakni, Partai Revolusioner Rakyat Khmer (Khmer People’s Revolutionary Party – KPRP). Song Ngoch Minh masih memainkan peran yang sangat sentral dalam organisasi ini.11 Pada tahun 19511959 banyak kader KPRP yang mati terbunuh oleh rezim Sihanouk. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kekosongan di beberapa cabang KPRP. Saat itulah Pol Pot bersama kawan-kawannya, Khieu Samphan, Hou Youn, Hun Nim, dan Ieng Sary mengisi kekosongan tersebut dan memainkan peran sentral di dalam tubuh KPRP. Pada kongres tertutup tahun 1960 di Phnom Penh, KPRP berganti nama menjadi Partai Pekerja Kamboja (Worker Party of Kampuchea – WPK). Tou Samout menjadi Sekretaris Jenderal Komite Pusat, Noun Chea menjabat sebagai Wakil Sekretaris, dan Pol Pot menjadi Wakil Sekretaris Dua. Tak lama berselang dari kongres tersebut, Tao Samouth tewas terbunuh oleh polisi Sihanouk. Kala itu Sihanouk memang sedang gencar melakukan perburuan pada kader komunis yang memberontak. Selepas kematian Tou Samouth, kemudian posisinya digantikan oleh Pol Pot yang ditetapkan melalui kongres partai yang dilaksanakan pada 21 Februari 1963 di Pnom Penh. Kemudian pada tahun 1966 WPK berganti nama menjadi Partai Komunis Kamboja (Communist Party of Kampuchea – CPK).12 10 Michael Vickery, Cambodia 1975-1982, (Boston MA: South End Press, 1984), hlm. 11 Ibid., Ibid., hlm. 9. 197. 12 7 CPK didirikan dengan dasar ideologi Communist-Leninis.13 CPK ini yang kemudian lebih dikenal dengan Khmer Merah atau rezim Demokratic Kampuchea. Tahun naiknya Khmer Merah disebut sebagai tahun nol atau zero year. Dikatakan sebagai zero year karena Pol-Pot ingin menjadikan masa pemerintahannya sebagai titik awal perubahan. Sehingga segala sesuatunya dianggap bermulai dari nol. Di bawah kepemimpinan Saloth Sar atau yang lebih dikenal dengan Pol-Pot, Khmer Merah berusaha menjadikan Kamboja sebagai negara berfaham komunis yang fokus pada modernisasi bidang pertanian.14 Seluruh warga dikonsentrasikan di pedesaan untuk bekerja di sawah, ladang, dan peternakan. Seluruh warga dihimbau untuk menggunakan pakaian hitam sebagai simbol kesetaraan sosial. Awalnya rezim ini disambut baik oleh masyarakat, karena programprogramnya yang dianggap pro rakyat. Namun sambutan baik itu dengan cepat berubah menjadi petaka dan sejarah kelam bagi masyarakat Kamboja terutama kaum minoritas di dalamnya. Harapan indah masyarakat Kamboja kini berubah menjadi neraka Kamboja. Pemerintah Khmer Merah menerapkan kebijakan menaikkan target penghasilan pertanian 3 ton beras dalam 1 hektar yang dirasa sangat memberatkan.15 Hal tersebut sulit terealisasikan mengingat alat pertanian yang digunakan masih sangat sederhana. Dalam hal ini rakyat menjadi pihak yang sangat menderita, karena pemerintah Khmer Merah lebih mengutamakan ekspor dan memasok kebutuhan militer. Sedangkan rakyat harus rela kelaparan karena 13 Ibid., hlm. 199. Ibid., hlm. 66. 15 David P. Chandler dkk., Pol Pot Plans The Future: Confidental Leadership Document from Demokratic Kampuchea 1976-1977, (New Haven: Yale University of Southeast Asian Studies, 1988), hlm 37. 14 8 kebutuhan pangannya tidak terpenuhi. Akhirnya banyak rakyat Kamboja yang harus mati karena kelaparan dan menderita penyakit. Di samping itu, untuk memuluskan cita-citanya pemerintah Khmer Merah kerap kali menggunakan kekerasan dan paksaan. Hanya terdapat dua pilihan pada masa Pol Pot, yakni mengikuti Pol-Pot atau menjadi musuh Pol Pot.16 Berbagai kekejaman dan diskriminasi tak jarang dialamatkan kepada kaum minoritas termasuk umat Islam di dalamnya. Dapat dikatakan bahwa masa Khmer Merah berkuasa di Kamboja pada tahun 1975-1979 merupakan sejarah kelam bagi umat Islam di Kamboja. Pada masa pemerintah Khmer Merah umat Islam mengalami intimidasi, pembantaian, dan diskriminasi. Para tokoh agama Islam banyak yang menjadi target pembunuhan dan pembantaian, di antaranya adalah para pemimpin tertinggi Muslim Kamboja seperti, Mufti Hadji Abdullah bin Idres (Res Las), Hadji Suleimane Sukri, dan Hadji Sulaimane Fekri.17 Masjid-masjid dan lembaga pendidikan Islam dihancurkan dan dibakar. Pada tahun 1976 tak kurang dari 20-30 orang dibantai di kamp konsentrasi.18 Umat Islam dipaksa untuk meninggalkan agamanya, dan meninggalkan teradisi keislamannya. Bahkan tak sampai di situ, umat Islam Kamboja juga dipaksa untuk memakan daging babi dan meminum arak, serta menikah dengan berlainan agama. Banyak dari umat Islam yang disiksa di kamp-kamp konsentrasi di Tuol 16 Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 227. 17 Seddik Taouti, Forgotten Muslim Kampuchea and Vietnam, dalam Ahmad Ibrahim dkk, Readings on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1985), hlm. 194. 18 Ysa Osman, OUKOUBAH Justice for The Cham Muslims Under the Democratic Kampuchea Regime, (Phnom Penh:Documentation Center of Cambodia, 2002), hlm. 96-106. 9 Sleng (Penjara S21).19 Sebelum Khmer Merah berkuasa diperkirakan jumlah Muslim di Kamboja mencapai 700.000 jiwa. 20 Namun pada masa Pol-pot sekitar 70 persen dari total penduduk Muslim Kamboja mati terbunuh, dalam kamp konsentrasi maupun saat bekerja.21 Seluruh Masjid yang kurang lebih berjumlah 113 di hancurkan dan dialihfungsikan.22 Berdasarkan fakta yang didapat, analisa penulis terkait motif diskriminasi yang dilakukan pemerintah Khmer Merah terhadap Muslim Kamboja disebabkan karena tiga hal. Pertama, Khmer Merah melakukan perburuan terhadap elit Muslim dikarenakan kedekatan mereka dengan rezim Lon Nol. Khmer Merah khawatir apabila dibiarkan mereka akan menjadi oposisi yang mengancam pemerintahan Khmer Merah. Kedua, kebijakan dalam Five Point Plans 1975 yang menyudutkan dan mengebiri umat Islam untuk melakukan praktik keagamaannya. Kebijakan tersebut di antaranya, pelarangan penggunaan hijab, perintah untuk memusnahkan al-Qur’an, paksaan memakan daging babi, larangan shalat, penutupan masjid, dan pemaksaan untuk menikah dengan berlainan agama.23 19 Ibid., hlm. 108. International Center for Ethnic Study, Minorities in Cambodia, (United Kingdom: Manchester Free Press, 1995), hlm. 10. Seddik Taouti berbeda pendapat, ia mengatakan bahwa jumlah umat Islam sebelum tahun 1975 berkisar 800.000 orang, lihat: Seddik Taouti, Forgotten Muslim Kampuchea and Vietnam, dalam Ahmad Ibrahim, Readings on Islam ini Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1985), hlm.194. Michael Vieckery mengemukakan pendapat lain, ia menyatakan bahwa jumlah umat Islam sebelum tahun 1975 diperkirakan hanya berkisar 185.000 jiwa saja yang semuanya tersebar di seluruh distrik. Michael Vickery, Kampuchea Politic Economics and Society, (London: Frances Pinter Publisher, 1986), hlm.1. 21 Seddik Taouti, Forgotten Muslim Kampuchea and Vietnam, dalam Ahmad Ibrahim dkk, Readings on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1985), hlm.194. 22 Ibid., 23 Ysa Osman, The Cham Rebellion Survivors Stories From The Village, (Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2006), hlm. 55. 20 10 Hal ini berbuah respons berupa pemberontakan di beberapa distrik di Kampong Cham. Berawal dari bentrok antara Khmer Merah dan umat Islam tersebut membuat umat Islam masuk ke dalam daftar musuh dalam negeri (internal enemy) Khmer Merah. Hal tersebut berlanjut sampai ditetapkannya Demokratic Kampuchea Constitution pada tahun 1976 yang melarang keberadaan agama reaksioner. Agama reaksioner dalam hal ini adalah agama-agama yang memiliki kecenderungan untuk memberontak, termasuk umat Islam di dalamnya. Karena pada masa sebelumnya umat Islam sempat melakukan pemberontakanpemberontakan terhadap rezim Khmer Merah. Maka dari itu agama Islam dimasukkan ke dalam agama reaksioner. Faktor yang ketiga adalah karena perbedaan etnis. Dalam hal kebudayaan, Khmer Merah ingin melakukan Khmerisasi dengan mencoba mengeliminasi etnis minor seperti etnis Cham dan Melayu yang notebenenya beragama Islam. Maka dari itu perlu kiranya ditelisik lebih dalam mengenai apa motif yang melatarbelakangi penindasan rezim Khmer Merah terhadap umat Islam, dan bagaimana kebijakan Khmer Merah terhadap Muslim Kamboja. Penelitian ini juga sekaligus ingin melanjutkan tulisan P.B Lafont dalam buku Kerajaan Champa yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dalam artikelnya yang berjudul Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cham dari Abad XVI s.d Abad XX,24 P.B Lafont menjelaskan perjalanan sejarah etnis Cham dari abad XVI sampai abad XX dengan menjadikan Vietnam dan Kamboja sebagai fokus kajiannya. Lafont sedikit menyinggung mengenai kekerasan, penindasan, dan intimidasi yang dilakukan oleh rezim Khmer Merah terhadap Cham Muslim di Kamboja. Namun ia belum 24 P. B Lafont, Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cham dari Abad XVI s.d Abad XX, dalam Kerajaan Champa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 71-80. 11 menjawab pertanyaan yang dia ajukannya sendiri. Maka dari itu bersamaan dengan pertanyaan yang belum dijawab oleh Lafont tersebut, dalam skripsi ini penulis ingin menjawab pertanyaan yang diajukan Lafont dalam artikelnya. B. Identifikasi Masalah Sejak masa awal kedatangannya sampai dengan berkuasanya rezim LonNol (1970-1975), Muslim Kamboja memiliki rekam jejak hubungan yang baik dengan pemerintah maupun etnis Khmer yang menjadi pribumi Kamboja. Namun pada 1975-1979 ketika Khmer Merah salah satu partai politik berideologi komunis radikal di bawah Pol Pot menguasai kancah perpolitikan Kamboja, umat Islam Kamboja memasuki era kegelapan. Terdapat beberapa permasalahan yang penulis berhasil identifikasi dan berpotensi untuk dijadikan kajian terkait kondisi Muslim Kamboja di bawah rezim Khmer Merah, di antaranya: 1. Etnis dan agama minoritas menjadi sasaran diskriminasi dari kebijakan rezim Khmer Merah, di mana umat Islam termasuk di dalamnya 2. Negara-negara Islam baik di Timur Tengah maupun Asia Tenggara tidak menunjukkan simpatinya ketika umat Islam Kamboja mengalami diskriminasi oleh rezim Khmer Merah C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari dua permasalahan yang berhasil penulis identifikasi, akhirnya penulis membatasi permasalahan dalam skripsi ini pada permasalahan seputar kebijakan Khmer Merah terhadap etnis dan agama minoritas di Kamboja, di mana umat Islam termasuk di dalamnya. Penulis juga akan menelusuri lebih jauh mengenai dampak dari kebijakan yang diterapkan oleh rezim Khmer Merah terhadap etnis 12 dan agama minoritas di Kamboja. Batas tahun yang digunakan ialah tahun 19751979 ketika rezim komunis Khmer Merah berkuasa penuh atas Kamboja. Ruang lingkup yang penulis gunakan ialah negara Kamboja secara keseluruhan, terutama wilayah yang terdapat komunitas Muslim di dalamnya. Berdasarkan pemaparan permasalahan tersebut, maka rumusan pertanyaan dalam penelitian ini di antaranya: 1. Apa motif yang melatarbelakangi penindasan dan diskriminasi yang dilakukan rezim Khmer Merah terhadap umat Islam Kamboja? 2. Bagaimana kebijakan politik rezim Khmer Merah dan dampaknya terhadap etnis dan agama minoritas di Kamboja? 3. Bagaimana respons umat Islam terhadap kebijakan rezim Khmer Merah? 4. Bagaimana kondisi Muslim Kamboja pasca jatuhnya rezim Khmer Merah pada tahun 1979? D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menjelaskan motif penindasan dan dikriminasi yang dilakukan rezim Khmer Merah terhadap umat Islam Kamboja. 2. Menjelaskan kebijakan politik rezim Khmer Merah dan dampaknya terhadap Muslim Kamboja. 3. Menjelaskan bagaimana respons umat Islam terhadap kebijakan rezim Khmer Merah. 4. Menjelaskan kondisi Muslim Kamboja pasca rezim Khmer Merah jatuh pada tahun 1979. 13 E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan gambaran mengenai kondisi Muslim Kamboja sebelum, saat, dan setelah rezim Khmer Merah berkuasa di Kamboja tahun 1975-1979. 2. Menambah khazanah penelitian dan pengkajian Islam di Kamboja setelah sebelumnya pembahasan ini tidak banyak atau bahkan belum sama sekali menjadi sorotan, terutama oleh mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Padahal estimasi jumlah penduduk Muslim Kamboja tidak dapat dikatakan kecil dan peranannya cukup signifikan dalam berbagai aspek di Kamboja. Maka dari itu perlu kiranya membangkitkan gairah pengkajian Islam di Kamboja lebih jauh, khususnya untuk mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam konsentrasi Asia Tenggara. 3. Menjawab permasalahan sejarah yang belum terungkap secara mendetail dengan menggunakan metode sejarah yang ilmiah. Untuk itu keberlangsungan penelitian ini juga bermaksud untuk melengkapi beberapa karya pengkajian Islam di Kamboja. Seperti dalam tulisan P. B. Lafont dan Yekti Maunati yang belum menjawab lebih mendetail mengenai kebijakan Khmer Merah dan dampaknya terhadap Muslim Kamboja. Agar kelak penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang berarti terhadap pengkajian Islam di Asia Tenggara. Khususnya bagi mereka yang menaruh perhatian terhadap perkembangan Islam di Kamboja. 14 F. Tinjauan Pustaka Penulis mencari beberapa literatur terkait kondisi Muslim Kamboja khususnya saat kancah perpolitikan Kamboja dikuasai oleh Khmer Merah, namun tidak banyak sumber terutama yang berbahasa Indonesia yang menggambarkan hal terkait. Walaupun memang ada, literatur tersebut tidak banyak memberikan informasi mengenai kondisi Muslim Kamboja saat Kamboja dikuasai oleh rezim Khmer Merah (1975-1979). Sedangkan dalam skripsi-skripsi yang telah ada baik di Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta belum ditemukan satupun judul yang membahas mengenai kondisi Muslim di Kamboja, baik pada masa Khmer Merah (19751979) maupun sebelum dan sesudahnya. Maka dari itu penelitian ini ingin menyajikan hasil penelitian yang original yang sebelumnya tidak pernah menjadi pembahasan pokok dalam berbagai literatur maupun skripsi yang telah ada. Terutama di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berikut beberapa literatur yang dijadikan tinjauan pustaka: 1. Pemerintahan Khmer Merah di Kamboja dan Kejatuhannya 1975-197925, karya Diana Yulianti dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Skripsi ini membahas mengenai perjalanan politik Khmer Merah yang meliputi sejarah berdirinya, kiprahnya dalam perpolitikan Kamboja, dan jatuhnya rezim Khmer Merah. Skripsi ini lebih memfokuskan permasalahan pada narasi perjalanan politik Khmer Merah saja. Terutama hubungan internasional dengan beberapa negara lain. Diana memaparkan lebih banyak mengenai program-program agraria Khmer Merah dan konflik yang terjadi antara 25 Diana Yulianti, Pemerintahan Khmer Merah di Kamboja dan Kejatuhannya 19751979, (Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2009). 15 Kamboja dengan Vietnam. Namun permasalahan mengenai kebijakan agama dan etnis, serta kondisi mereka luput dari kajian Diana. Perbedaan dengan skripsi penulis adalah, dalam skripsi ini penulis menjadikan Muslim Kamboja sebagai obyek kajian utama. Penulis mengangkat tema kondisi Muslim Kamboja pada saat Khmer Merah berkuasa. Terutama mengenai motif pendiskriminasian Khmer Merah terhadap umat Islam. Dalam hal ini juga penulis lebih memaksimalkan sumber-sumber yang ditulis oleh kalangan Muslim. Sehingga penulis menarik kesimpulan, meski berjibaku pada pembatasan tahun dan pendekatan yang sama, namun obyek kajiannya sangat berbeda dan permasalahannya berbeda. 2. The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational Networks the Case of Cambodia.26 Editor Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari. Buku ini mengkaji lebih jauh mengenai bagaimana proses terintegrasinya Muslim Cham dengan masyarakat pribumi Kamboja. Pembahasannya diawali dengan proses diasporanya etnis Cham di Kamboja. Setelah itu dalam buku ini Yekti sedikit memaparkan kondisi umum Muslim Kamboja di beberapa rezim yang berkuasa. Hemat penulis buku ini lebih mengedepankan mengenai polapola kehidupan masyarakat Cham pada masa kekinian. Baik meliputi keagamaan, sosial-kemasyarakatan, maupun perekonomian. Hal ini sangat berbeda jauh dengan kajian dalam skripsi ini, baik dalam hal waktu maupun pendekatan. Dalam buku ini Yekti menggunakan pendekatan multidimensional, dengan mengkaji berbagai aspek. Berbeda dengan skripsi ini, dalam skripsi ini penulis hanya memfokuskan kajian pada permasalahan 26 Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari, The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational Networks the Case of Cambodia, (Jakarta: LIPI Press, 2013). 16 perpolitikan dan sosial saja, yang meliputi kebijakan-kebijakan politik Khmer Merah terhadap etnis minoritas di mana etnis Cham dan Melayu yang beragama Islam termasuk di dalamnya. Selain itu batas waktu yang digunakan dalam buku ini juga tidak dijelaskan secara spesifik. Berbeda dengan skripsi penulis yang menekankan pada model diakronis27 yang menggunakan batas waktu dan lebih menekankan pada proses. 3. The Forgoten Muslim of Kampuchea and Vietnam,28 karya Seddik Taouti, dalam Reading on Islam in Southeast Asia. Buku ini merupakan hasil pengalaman perjalanan Seddik Taouti di Kamboja pasca Kamboja dikuasai oleh rezim Khmer Merah. Buku ini cukup membantu memberikan gambarangambaran mengenai kondisi umat Islam Kamboja pasca Khmer Merah berkuasa. Buku ini lebih menekankan pada kondisi Muslim dan pembangunan-pembangunan umat Islam di berbagai sektor pasca rezim Khmer Merah berkuasa. Buku ini banyak memperoleh data melalui wawancara dengan tokoh Muslim Kamboja seperti Mohammad Aly, Dr. Abdoul Koyoum, dan Mr. Attman Ibrahim. Namun seperti pada beberapa literatur lainnya, buku ini lebih menekankan pada gambaran mengenai keadaan umat Islam pasca Khmer Merah. Namun buku ini mengabaikan mengenai kebijakan rezim Khmer Merah serta implikasinya. Mengenai respons masyarakat Muslim yang menjadi obyek penindasan juga luput dari pemaparan buku ini. Beberapa kekosongan dalam buku inilah yang akan 27 Model diakronis merupakan ciri yang membedakan antara kajian sejarah dengan ilmuilmu sosial seperti sosiologi, ekonomi, antropologi, dan sebagainya. Unsur diakronis lebih menekankan pada proses atau memanjang dalam waktu. Sedangkan Singkronis yang menjadi model pengkajian ilmu sosial lebih menekankan pada struktur atau meluas dalam ruang. Lihat: Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Jogjakarta: Tiara Wacana, 2013), hlm. 44-45. 28 Seddik Taouti, The Forgotten Muslim in Kampuchea and Viet, dalam Ahmad Ibrahim dkk., Reading on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985). 17 penulis lengkapi dalam kajian skripsi ini, baik meliputi kebijakan yang ditujukan kepada etnis minoritas, maupun respons dari kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Khmer Merah. Perbedaan yang mencolok dari buku-buku di atas dengan kajian skripsi penulis adalah, bahwa dalam skripsi ini (meskipun penulis juga menyertakan kondisi Muslim Kamboja sebelum Khmer Merah berkuasa) lebih berfokus pada penjelasan mengenai kondisi Muslim Kamboja saat Khmer Merah berkuasa. Penulis lebih jauh akan menelisik mengenai kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Khmer merah terutama kebijakan politik yang berkaitan dengan etnis minoritas dan agama. G. Kerangka Teori Menurut Miriam Budiardjo, untuk mencapai komunisme, kekerasan dipandang sebagai alat sah yang harus dipakai.29 Kekerasan ini dipakai untuk menghancurkan lawan politik dan bagi mereka yang menentang atau dianggap sebagai musuh. Begitupun dengan rezim komunis Khmer Merah yang cenderung memaksakan gagasan revolusionernya dengan melakukan perubahan secara fundamental. Kerap kali kekerasan digunakan sebagai alat penindasan dan kebijakan dijadikan alat diskriminasi. Tak jarang umat Islam yang merupakan agama minoritas menjadi sasaran. Maka dari itu berdasarkan uraian fakta di atas, studi ini ingin menguji teori gerakan sosial dengan pendekatan konflik yang dikemukakan oleh Rafael Raga Maran. Rafael mengatakan bahwa masalah sosial dan masalah ekonomi adalah 29 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 88. 18 yang menyebabkan munculnya gerakan sosial menentang pemerintah. 30 Masalah sosial yang terjadi adalah penindasan, pendiskriminasian, dan pembantaian massal yang dilakukan rezim Khmer Merah melalui kebijakannya. Sedangkan masalah ekonomi yang terjadi dalam konteks kajian penulis adalah, kegagalan rezim Khmer Merah dalam memodernisasi bidang pertanian. Produksi beras yang ditargetkan sebanyak 3 ton per hektar gagal diwujudkan. Hal ini berimbas pada kurangnya pasokan beras untuk rakyat yang menyebabkan banyak rakyat yang mati kelaparan. Kebijakan Khmer Merah yang tertuang dalam Five Point Plans 1975 dan Konstitusi Khmer Merah sangat menyudutkan umat Islam Kamboja. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai permasalahan sosial yang terjadi pada umat Islam, di antaranya, umat Islam mengalami pendiskriminasian etnis, penindasan, bahkan sampai dengan pembunuhan massal. Bila mengacu kepada teori gerakan sosial dengan pendekatan konflik yang dikemukakan Rafael, umat Islam yang mengalami permasalahan sosial tersebut akan bergerak menentang pemerintah. Selain itu umat Islam dan seluruh masyarakat Kamboja juga mengalami permasalahan ekonomi berupa kekurangan pangan. Permasalahan ekonomi tersebut juga dimungkinkan dapat menjadi pemicu munculnya gerakan sosial. Namun untuk mendukung atau menolak teori tersebut penulis akan melakukan analisa lebih mendalam dengan menggunakan pendekatan politik dan sosial. Konsep31 Muslim Kamboja yang dimaksud dalam skripsi ini merujuk pada etnis Cham dan Melayu yang beragama Islam. Sebagian besar dari mereka 30 Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm. 78. 31 Konsep dalam ilmu sejarah diartikan sebagai suatu abstraksi mengenai gejala dan realitas. Realitas yang ditunjukan oleh konsep dapat berupa penyebutan orang-orang seperti 19 terkonsentrasi di beberapa wilayah seperti, di Kampong Cham, Kampong Chnnang, Battambang, Phnom Penh, dan beberapa tempat lainnya. Sebutan Muslim Kamboja penulis khususkan kepada etnis Cham dan Melayu dikarenakan sejauh ini penulis belum menemukan data mengenai etnis lain terutama etnis Khmer yang merupakan pribumi yang memeluk agama Islam. Konsep Muslim Kamboja yang penulis gunakan juga selaras dengan julukan Khmer Islam atau Khmer Muslim yang diberikan Sihanouk untuk mengganti identitas etnis Cham dan Melayu yang beragama Islam. H. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat analitical history,32 sehingga metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya, yakni, heuristik atau pengumpulan data, kritik sumber baik intern maupun ekstern, interpretasi atau penafsiran, dan yang terakhir adalah tahap historiografi atau penulisan sejarah.33 Dalam proses heuristik penulis menggunakan metode kepustakaan atau library research. Penulis menghimpun sumber-sumber tertulis baik yang bersifat primer maupun sekunder. Untuk sumber primer, penulis menggunakan dokumen berupa undang-undang Khmer Merah atau Demokratic Kampuchea Constitution 1976. Selain itu penulis juga memanfaatkan sumber primer berupa bulletin yang dikeluarkan oleh rezim Khmer Merah yang berjudul Demokratic Kampuchea a muslimin, muslimat, kristiani, reformis dan sebagainya. Selengkapnya lihat: Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 35-37. 32 Analitical History merupakan jenis penelitian sejarah yang memanfaatkan teori dan metodologi. Lihat: M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 218. 33 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), hlm. 89. 20 Workers’ Peasants’ State in South-East Asia.34 Selain sumber primer berupa dokumen, penulis juga memanfaatkan sumber primer berupa foto-foto. Sumbersumber tersebut, baik sumber primer berupa dokumen, bulletin, maupun foto, kesemuanya penulis dapatkan dari situs resmi Document Center of Cambodia.35 Untuk sumber sekunder penulis menggunakan surat kabar terbitan tahun 1975-1979 yang penulis dapatkan di Perpustakaan Nasional. Surat kabar yang penulis himpun di antaranya, surat kabar Warta Berita Antara, Kompas, dan Merdeka. Di antara surat kabar tersebut penulis lebih banyak menggunakan Warta Berita Antara. Dikarenakan Warta Berita Antara memiliki bagian khusus kilas internasional yang selalu menginformasikan berita-berita internasional secara aktual. Selain itu, hal tersebut lebih memudahkan penulis dalam proses pencarian. Selain itu, penulis juga menggunakan sumber sekunder berupa jurnal bulanan Asian Survey yang terbit pada tahun 1979 yang penulis temukan di Perpustakaan Universitas Indonesia. Selebihnya data-data sekunder yang penulis gunakan berupa buku, artikel, majalah, dan tesis yang penulis temukan di Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional, dan situs internet. Demokratic Kampuchea a Workers’ Peasants’ State in South-East Asia, (Berlin: Embassy of Demokratic Kampuchea, 1977). Tersedia di: http://www.d.dcCham.org/Archives/Documents/pdf/Bulletin_of_the_Embassy_of_Democratic_Ka mpuchea_in_Berlin_GDR_March_1977.pdf (akses: 24/04/2015) 35 Documen Center of Cambodia merupakan institusi resmi yang dibentuk oleh pemerintah Kamboja untuk mengurusi bidang kearsipan (serupa ANRI di Indonesia). Dalam situs ini dimuat secara digital arsip terkait sejarah Kamboja, terutama arsip-arsip pada masa Khmer Merah. Selain arsip, situs ini juga memuat berbagai foto-foto, majalah, buku-buku, dan beberapa konten lain yang dapat diunduh secara gratis. Lebih lanjut mengenai Document Center of Cambodia lihat: http://www.d.dcCham.org/Archives/Documents/Documents.htm 34 21 Tahap berikutnya ialah kritik sumber atau verifikasi. Dalam proses ini, penulis melakukan uji keaslian sumber atau otentifikasi melalui kritik ekstern. Selain itu penulis juga melakukan uji kelayakan sumber atau kredibilitas, yang penulis telusuri melalui kritik intern. Dalam kritik ekstern penulis mengkritisi secara fisik mengenai sumber-sumber primer yang penulis dapatkan melalu situs resmi Document Center of Cambodia. Dokumen-dokumen yang penulis temukan dalam situs Document Center of Cambodia beberapa sudah ada yang dicetak ulang dalam bahasa Khmer dan Inggris. Sehingga secara fisik dokumen tersebut tidak dapat dikatakan otentik karena sudah tidak dalam bentuk aslinya, namun hemat penulis sumber tersebut tetap memuat unsur-unsur primer.36 Sumber primer berupa buletin dan foto yang penulis temukan masih dalam bentuk asli yang dipublikasikan dalam bentuk mikrofilm. Sehingga secara ekstern bulletin dan foto tersebut dapat dikatakan otentik dan memuat unsur-unsur primer. Setelah itu penulis juga menguji kredibilitas sumber dengan menggunakan kritik intern. Dalam kritik inten penulis membandingkan sumber-sumber yang penulis dapatkan. Penulis membandingkan Konstitusi Khmer Merah yang diterbitkan oleh Document Center of Cambodia dengan yang diterbitkan oleh pihak lain. Hal ini dilakukan mengingat dokumen tersebut telah dicetak ulang, sehingga perlu rasanya penulis menaruh kecurigaan terhadap kredibilitas sumber tersebut. Penulis menghimpun beberapa Konstitusi Khmer Merah dalam beberapa versi, di antaranya versi Document Center of Cambodia, versi Franҫois Ponchaud, dalam bukunya Cambodia Year Zero37, dan versi yang dipublikasikan oleh 36 Lebih jauh mengenai unsur-unsur primer lihat: Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah. (Jakarta: UI Press, 2008), hlm. 45. 37 Francois Ponchaud, Cambodia Year Zero, (Terj.) (New Zeland: Pinguin Books, 1978). 22 Kedutaan Besar Khmer Merah di Berlin tahun 1977.38 Dari ketiga versi tersebut penulis tidak menemukan perbedaan berarti kecuali dalam segi fisik dan tata bahasa saja, sehingga penulis menyimpulkan bahwa sumber tersebut kredibel dalam menyajikan unsur-unsur primer. Sedangkan kritik internal yang penulis lakukan pada sumber skunder hanya ditemukan perbedaan-perbedaan mengenai waktu sebuah peristiwa terjadi, seperti perbedaan mengenai tahun kedatangan umat Islam. Selain itu juga terdapat perbedaan mengenai estimasi jumlah umat Islam Kamboja sebelum rezim Khmer Merah berkuasa. Seperti Ysa Osman mengatakan bahwa jumlahnya 700.000 jiwa, sedangkan Seddik Taouti mengatakan 800.000 jiwa. Sedangkan Ramlan Surbakti dan Michael Vickery mengatakan jumlahnya tidak lebih dari 200.000 jiwa. Tahap selanjutnya yakni penulis melakukan interpretasi atau penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah penulis himpun untuk memperoleh faktafakta terkait permasalahan yang menjadi fokus kajian penulis. Dalam tahap ini penulis menggunakan metode analisis dan sintesis. Dalam proses analisis atau penguraian, penulis memperoleh beberapa fakta dari sumber-sumber yang telah penulis baca baik sumber primer maupun sekunder, seperti pada masa rezim Khmer Merah banyak masjid yang diberangus dan dialihfungsikan, banyak perburuan dan pembunuhan para ulama dan intelektual Muslim, selain itu telah terjadi penurunan jumlah populasi Muslim Kamboja secara drastis, yang disebabkan karena genosida atau pembunuhan massal, dan yang terakhir terdapat pemberontakan-pemberontakan oleh umat Islam terhadap rezim Khmer Merah. Kesemua fakta tersebut merupakan buah dari kebijakan rezim Khmer Merah yang Demokratic Kampuchea a Workers’ Peasants’ State in South-East Asia, (Berlin: Embassy of Demokratic Kampuchea, 1977). 38 23 menyudutkan keberadaan umat Islam Kamboja. Dari beberapa fakta hasil analisis tersebut maka sintesisnya adalah, bahwa telah terjadi pendiskriminasian terhadap etnis dan agama minoritas oleh rezim Khmer Merah, di mana umat Islam termasuk di dalamnya. Tahap terakhir yakni historiografi, dalam tahap ini penulis menguraikan fakta-fakta yang sudah didapat ke dalam penulisan sejarah, dan kemudian menarik kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan pokok yang menjadi kajian utama dalam penelitian ini. I. Sistematika Penulisan Secara Keseluruhan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, adapun susunan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab I Berisikan Pendahuluan yang terdiri atas penjabaran singkat permasalahan yang menjadi fokus kajian, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, serta sistematika penulisan. Bab II Membahas mengenai kondisi Muslim Kamboja sebelum rezim Khmer Merah berkuasa pada tahun 1975-1979. Yang meliputi gambaran geografi serta struktur masyarakat Kamboja, mengenal Muslim Kamboja, dan kondisi Muslim di bawah dua rezim yang berdaulat sebelum Khmer Merah, yakni rezim Norodom Sihanouk, dan Lon-Nol. Bab III Membahas mengenai kondisi Muslim Kamboja saat Khmer Merah 24 berkuasa pada tahun 1975-1979, motif yang melatarbelakangi penindasan umat Islam, kebijakan-kebijakan rezim Khmer Merah terhadap Muslim Kamboja serta respons Muslim Kamboja terhadap kebijakan yang diterapkan oleh rezim Khmer Merah. Bab IV Membahas mengenai kondisi Muslim Kamboja ketika rezim Khmer Merah jatuh dalam kancah perpolitikan Kamboja tahun 1979. Yang meliputi faktor intern dan ekstern penyebab kejatuhan rezim Khmer Merah dari kancah kekuasaan di Kamboja, kondisi Muslim Kamboja di bawah rezim Hun Sen dari People Republic of Kampuchea, dan kebangkitan Islam di Kamboja yang menyinggung beberapa aspek seperti perekonomian, sosial keagamaan, dan hubungan dengan negara-negara Muslim lain di Asia Tenggara dan Timur Tengah. Bab V Berisi penutup yang terdiri atas kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang menjadi motif awal pengkajian penelitian ini, dan saran-saran yang menjadi masukan-masukan untuk perbaikan penelitian berikutnya. 25 BAB II MUSLIM KAMBOJA SEBELUM REZIM KHMER MERAH BERKUASA A. Geografi dan Struktur Masyarakat Kamboja Kamboja atau Kampuchea merupakan wilayah yang terletak di Semenanjung barat daya Indocina.1 Negara yang beribukota Phnom Penh ini sempat masuk ke dalam negara yang diproteksi oleh Prancis bersama Laos dan Vietnam. Kamboja berbatasan langsung dengan Laos di sebelah utara, Vietnam di timur dan selatan, serta Thailand di barat dan utara. Luas negara ini sekitar 181.035 km persegi.2 Jumlah penduduk Kamboja berkisar 7 juta jiwa pada survei sebelum tahun 1975.3 Kamboja merupakan wilayah yang terdiri atas sebagian besar daratan. Garis pantainya hanya berkisar 560 km. Dilengkapi dengan keberadaan sungai Mekong yang membentang sepanjang 540 km di dalam negara ini, menjadikan wilayah Kamboja sebagai wilayah pertanian yang subur. Ditambah lagi dengan jumlah anak sungai yang sangat melimpah dan danau Tonle Sap yang membentang luas, membuat wilayah Kamboja seakan tidak pernah defisit air. Kamboja memiliki iklim Muson tropis dengan suhu antara 21-35 derajat celcius. Curah hujan yang mencapai 5000 milimeter pertahun membuat empat perlima wilayah Kamboja terdiri atas hutan tropis. 1 Indocina merupakan wilayah yang pernah masuk kedalam protektorat Prancis yang meliputi Kamboja, Vietnam, dan Laos. Istilah Indocina diambil karena adanya perpaduan pengaruh kebudayaan India dan China di wilayah tersebut. Lihat: Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 7, (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1989). hlm. 71. 2 Lebih lanjut mengenai data geografis dan demografi Kamboja lihat : Rahmat Bratamidjaja dkk. Ensiklopedia Indonesia Seri Geografi, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve,1990), hlm. 125-130 3 Michael Vickery, Kampuchea Politic, Economics, and Society, (London: Frances Pinter Publisher, 1986), hlm. 3. 25 26 Perekonomian Kamboja bergantung pada sektor pertanian. Sektor pertanian menyerap sekitar tiga perempat dari tenaga kerja Kamboja. 4 Beras masih menjadi komoditas utama pertanian negeri ini. Selain beras, karet menempati posisi kedua sebagai fokus utama bidang perkebunan. Wilayah Kamboja yang terdapat banyak anak sungai menjadikan sebagian penduduknya juga berkecimpung pada sektor perikanan. Kamboja sebenarnya merupakan salah satu negara yang terbilang homogen. Karena sekitar 90 persen penduduknya etnis Khmer.5 Etnis Khmer tercatat telah mendatangi Kamboja sejak abad ke-2 Masehi. Selain Khmer terdapat pula beberapa etnis minoritas seperti Cham-Melayu, Vietnam, Lao, Thai, dan China. Etnis Cham-Melayu menduduki peringkat pertama minoritas terbanyak di Kamboja dengan populasi sekitar 700.000 jiwa pada survei sebelum tahun 1975.6 Kemudian sisanya adalah etnis lain seperti Vietnam, Lao, Thai, dan China. Agama Budha menjadi agama yang dipeluk mayoritas penduduk Kamboja. Jumlah pemeluknya sekitar 96 persen dari total keseluruhan masyarakat Kamboja. Setelah itu disusul dengan pemeluk agama Islam yang berjumlah sekitar 2,1 persen. Sisanya adalah pemeluk agama Kristen dan animisme. Hal yang cukup menarik dari keberadaan agama-agama minoritas ini adalah, harmoni yang tercipta antar pemeluk agama di Kamboja. Meski agama Budha menjadi agama mayoritas namun jarang sekali ditemukan sikap superioritas dalam bentuk diskriminasi terhadap agama minoritas. Berbeda dengan kasus di beberapa negara 4 Ibid., hlm. 97. The People of Cambodia, (Cambodia Research Network, 2007), hlm. 30. 6 International Center for Ethnic Study, Minorities in Cambodia, (United Kingdom: Manchester Free Press, 1995), hlm. 10. 5 27 lain di wilayah Asia Tenggara, seperti Thailand, Filipina, dan Myanmar yang sangat sensitif dengan isu konflik baik yang berlatar belakang agama maupun ras. Di Kamboja toleransi umat beragama sangat dijunjung tinggi. Hal tersebut terjadi disetiap rezim, baik pada masa kerajaan maupun pasca kemerdekaan Kamboja. Pada masa rezim Khmer Merahpun sebenarnya tidak terjadi konflik horizontal, yang terjadi adalah konflik vertikal antara umat Islam dan pemerintah Khmer Merah. Harmoni yang tercipta sangat dimungkinkan terjadi karena mulai terintegrasikan dengan baik antara umat Islam dengan masyarakat pribumi Kamboja. Terutama pasca penerapan nasionalisasi Khmer yang dilakukan Sihanouk. B. Mengenal Muslim Kamboja Nampaknya Islamisasi di Kamboja berjalan mandek sampai pada masa Sihanouk berkuasa (1953), dikarenakan jarang sekali ditemukan pribumi Kamboja dalam hal ini etnis Khmer yang memeluk Islam. Kebanyakan dari masyarakat pribumi tetap bertahan pada ajaran agama Budha. Pendapat penulis dikuatkan dengan beberapa literatur yang telah penulis temukan. Kebanyakan literatur tersebut kerap kali mengaitkan Islam di Kamboja dengan etnis Cham dan Melayu. Sehingga penulis berkesimpulan bahwa Islam eksklusif dipeluk oleh etnis Cham dan Melayu. Berbicara Islam di Kamboja berarti berbicara mengenai etnis Cham dan Melayu, begitupun sebaliknya. Hal ini berlaku sebelum Khmer Merah berkuasa. Namun tidak berlaku pada masa kekinian, melihat Islam pada akhir abad ke-20 juga dipeluk oleh etnis-etnis lain di Kamboja walaupun jumlahnya memang tidak signifikan. 28 Antara Muslim Cham dan Melayu sebenarnya terdapat perbedaan dalam proses kedatangannya, baik dalam waktu maupun motif. Muslim Cham yang datang ke Kamboja merupakan Muslim Cham yang berasal dari Kerajaan Champa yang berada di pesisir Vietnam Selatan.7 Beberapa literatur sepakat bahwa kehadiran mereka bermula pada tahun 1471 M ketika ibukota mereka di Vijaya jatuh akibat serangan dari Kerajaan Viet Utara.8 Kejatuhan ibukota mereka memaksa orang-orang Cham melarikan diri ke berbagai wilayah di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Sumatera, Borneo, Thailand Selatan, dan Kamboja, bahkan ke Jawa. Etnis Cham sendiri pernah memiliki hubungan baik dengan Kerajaan Majapahit di Jawa.9 Biasanya wilayah yang menjadi target pelariannya adalah wilayah yang pernah menjalin hubungan dengan Kerajaan Champa sebelum keruntuhannya. Etnis Cham memang terkenal dengan tipikal yang kosmopolit. Ditambah dengan sistem pelayaran yang cukup maju pada masanya, sangat memungkinkan bagi mereka untuk melakukan kontak dengan wilayah-wilayah lain terutama dengan wilayah yang menjadi basis etnis Melayu.10 Kebanyakan mereka yang mengalami penindasan oleh orang-orang Viet adalah Cham Muslim. Hal ini dimaksudkan karena Islam dianggap sebagai agama yang dapat menggangu 7 Kerajaan Champa merupakan kerajaan bercorak Hindu yang terletak di pesisir Vietnam Selatan. Kemunculan kerajaan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-2 dikenal dengan nama Lin Yi. Lebih lengkap mengenai Kerajaan Champa sejak awal berdirinya sampai dengan kejatuhannya lihat, George Coedes, Sejarah Champa dari Awal Sampai Tahun 1471, dalam Kerajaan Champa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 31-70. Lihat pula: George Coedes, Sejarah Asia Tenggara Masa Hindu Budha, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010). 8 Saifullah, Sejarah Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 223. 9 Dikabarkan bahwa raja Brawijaya pernah memperistri seorang putri dari Kerajaan Champa yang telah memeluk Islam. Lebih lanjut mengenai hubungan Champa dan Jawa lihat: Po Dharma, Kepulauan Indonesia dan Champa. Dalam Panggung Sejarah, Henry Chambert-Loir dan Hasan Mua’rif Ambary (ed). (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), hlm. 163-169. 10 Lebih lanjut mengenai sepak terjang kerajaan Champa dalam bidang maritim lihat: Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 2004), hlm. 53-74. 29 keberlangsungan kekuasaan orang-orang Viet di Champa. Mengingat orang-orang Cham Muslim masih tinggal di beberapa tempat eksklusif terutama di wilayah Tanjung Varella yang memungkinkan mereka untuk melakukan pemberontakan. Meskipun hemat penulis hal tersebut sangat sulit dilakukan mengingat sudah melemahnya etnis Cham akibat aneksasi pasukan Viet dan banyak dari mereka yang sudah meninggalkan Vietnam sejak Vijaya direbut oleh Viet. Sebenarnya literatur yang menegaskan mengenai Islamnya orang Champa masih sangat sedikit. Bahkan George Coedes dengan maha karyanya yang berjudul Asia Tenggara masa Hindu Budha, tidak menjelaskan mengenai Islamnya orang-orang Champa.11 Begitupun dalam artikel yang ia tulis dalam Buku yang berjudul Kerajaan Champa yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dalam artikelnya yang berjudul Sejarah Champa dari awal Sampai Tahun 1471 ia tidak menyinggung mengenai Islamnya masyarakat kerajaan Champa.12 Namun Ahmad Dahlan dalam karyanya yang berjudul Sejarah Melayu, mengatakan bahwa Champa telah Islam sejak abad ke-10 Masehi. Menurut Dahlan, para pedagang Arablah yang memiliki andil dalam Islamnya masyarakat Champa.13 Namun sayangnya pendapat Dahlan ini tidak disertakan dengan bukti yang cukup kuat. Berbeda dengan Anthony Cabaton yang mengatakan bahwa Islam telah dikenal penduduk Champa sejak abad ke-11 Masehi dibawa oleh orang-orang Arab dan Persia, kemudian dikembangkan oleh orang-orang Melayu pada abad 11 Lebih lanjut lihat: George Coedes, Asia Tenggara Masa Hindu Budha, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 264-265. 12 George Coedes, Sejarah Champa dari Awal Sampai Tahun 1471, dalam Kerajaan Champa, Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 31-70. 13 Ahmad Dahlan, Sejarah Melayu, (Jakarta: Keputakaan Populer Gramedia, 2014), hlm. 41. 30 ke-14.14 Permasalahan ini nampaknya butuh dikaji lebih jauh dalam pembahasan lain. Kita tinggalkan mengenai Islamnya orang-orang Champa di Vietnam yang pada kemudian hari menjadi agen pembawa agama Islam di Kamboja. Sejak kejatuhannya pada tahun 1471 M secara bertahap sampai dengan tahun 1832 masyarakat Cham mulai meninggalkan tanah air mereka.15 Terdapat pula sebagian kecil Muslim Cham yang tetap bertahan di sana yang pada kemudian hari dikenal dengan Cham Bani. Namun sebagian besar terdiasporakan ke berbagai wilayah, salah satunya adalah Kamboja. Menurut P.B. Lafont hampir seluruhnya etnis Cham yang terdiasporakan ke Kamboja beragama Islam.16 Sebenarnya telah lama Kerajaan Champa kuno dengan Kerajaan Angkor menjalin hubungan, baik dalam hal perekonomian maupun politik. Maka dari itu ketika kejatuhan ibukota Champa di Vijaya, orang-orang Cham memilih Kamboja sebagai destinasi pelarian mereka. Keberadaan sungai Mekong dan anak sungainya yang membentang dari perbatasan Kamboja dan Vietnam juga menjadi akses yang mudah bagi pelarian orang-orang Cham Muslim menuju Kamboja. Hal ini dibuktikan dengan banyak ditemukannya orang-orang Muslim yang bertempat tinggal di sepanjang sungai Mekong pada masa sekarang. Kedatangan orang-orang Cham ke Kamboja disambut baik oleh raja Jayajettha III (1677-1705) yang menjadi raja yang berdaulat di Kamboja kala 14 Anthony Cabaton, Orang Cam Islam di Indocina Prancis, dalam Kerajaan Champa, Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 223. 15 Po Dharma, Kepulauan Indonesia dan Champa, dalam Panggung Sejarah, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 164. 16 Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cham dari Abad XVI Sampai Dengan Abad XX, dalam Kerajaan Champa, Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 74. 31 itu.17 Orang-orang Cham yang datang kala itu ditempatkan di beberapa tempat seperti di Kampong Chnang, Kampong Cham, Battambang, Kompot, dan beberapa wilayah lainnya.18 Dalam perjalanannya orang-orang Cham dapat hidup berbaur dengan orang Khmer yang menjadi pribumi Kamboja. Orang-orang Cham juga mengabdi dengan baik dengan raja Khmer kala itu. Bahkan beberapa dari mereka diangkat menjadi pegawai kerajaan.19 Pada Abad ke-17 sebenarnya terdapat raja Khmer yang telah memeluk Islam, yakni raja Ramadhipati (16421658) yang kelak berganti nama menjadi Ibrahim.20 Namun keislaman raja ini tidak seraya diikuti oleh rakyatnya. Selepas raja tersebut mangkat, agama Budha tetap mendominasi di Kamboja. Gagalnya Islamisasi pada tingkat elite, menurut penulis yang menjadi salah satu faktor mandeknya Islamisasi di Kamboja. Selain etnis Cham yang berjasa dalam membawa Islam ke Kamboja, etnis Melayu juga memiliki peran yang cukup signifikan. Namun perannya sedikit sekali disinggung dalam beberapa literatur yang penulis temukan. Atau bahkan keberadaan mereka disamakan dengan Muslim Cham. Jika motif kedatangan Muslim Cham ke Kamboja adalah sebagai pelarian dari kejaran orang-orang Viet, berbeda dengan kedatangan orang Melayu yang memiliki motif perdagangan. Diperkirakan orang-orang Melayu telah menjalin hubungan dagang dengan masyarakat Khmer sejak abad ke-7. Namun, menurut penulis orang-orang Melayu yang datang ke Kamboja pada abad ke-7 belum memeluk agama Islam. Karena proses Islamisasi di tanah Melayu saja baru santer setelah abad ke 7. Para Muhammad Zain Musa, “Perpindahan dan Hubungan Semasa Orang Cham”, dalam Jurnal Sari, vol 26, 2008, hlm. 260. 18 Ibid., 19 Ibid., 20 Reiko Okawa. “Hidden Islamic Literature in a Cambodia: The Cham in the Khmer Rouge Period”. International & Regional Studies No. 45. Meiji Gakuin University, 2014. hlm. 5. 17 32 pedagang Melayu yang datang ke Kamboja adalah keturunan mubaligh Islam yang memiliki misi berdagang dan berdakwah. Orang Melayu di Kamboja juga dibagi menjadi beberapa golongan. Namun pembagian golongan ini tidak menjadi perbedaan bagi mereka. Karena perbedaan golongan tersebut hanya sebatas identitas dari mana mereka datang. Sedikitnya terdapat tiga golongan Muslim Melayu yang berada di Kamboja, di antaranya, Jva Krapi, Jva Iyava, dan Jva Melayu.21 Jva Krapi merupakan orangorang Melayu yang datang dari wilayah Sumatera terutama wilayah Minangkabau dan Aceh. Jva Iyava merupakan orang Melayu yang datang dari wilayah pulau Jawa. Sedangkan Jva Melayu merupakan orang-orang Melayu yang datang dari wilayah Semenanjung Melayu, seperti Thailand Selatan, Singapura, dan Malaysia. Jumlah Muslim Melayu yang datang di Kamboja memang tidak sesignifikan Muslim Cham. Antara etnis Cham dan Melayu keduanya memiliki ikatan yang cukup baik. Sejatinya memang sejak abad ke-15 antara kerajaan Champa dan orang-orang Muslim Melayu telah memiliki hubungan yang baik, terutama dalam hal perdagangan.22 Sehingga tidak aneh jika hal ini berimplikasi pada hubungan kedua etnis tersebut ketika bertemu di Kamboja. Di Kamboja, Cham dan Melayu membentuk semacam asimilasi etnis yang bernama Cham-Chvea atau Cham-Jva.23 Asimilasi etnis Cham dan Melayu dilakukan melalui jalur perkawinan. Muslim Melayu sangat berjasa dalam membentuk identitas Muslim Cham dengan memperkenalkan mazhab Syafi’i. 21 Omar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at the Margins: The Muslim of Indocina, (Kyoto University: Center of Integrated Area Studies, 2008), hlm. 72. 22 Anthony Reid., Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 2004), hlm. 63. 23 Terkadang disebut Cham-Jva atau Cham Syariat. Lebih lanjut lihat: Omar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at the Margins: The Muslim of Indocina, ( Kyoto University: Center of Integrated Area Studies, 2008), hlm. 72. 33 Maka dari itu proses interaksi etnis Cham dan Melayu membuat etnis Cham lebih taat dalam menjalankan syari’at Islam dibanding masa-masa sebelumnya. Yang perlu digarisbawahi terkait masuknya Muslim Cham di Kamboja adalah, orangorang Cham yang membawa agama Islam di Kamboja merupakan orang Cham Muslim yang praktik keagamaannya masih bercampur dengan tradisi Hindu Champa. Selain Cham-Chvea sebenarnya terdapat satu Muslim Cham lain yakni Cham Jahed atau Cham Bani. Jika Cham-Chvea adalah penganut mazhab Syafi’i dengan identifikasi bahwa mereka melaksanakan shalat lima waktu dan beberapa praktik keagamaan khas mazhab Syafi’i. Berbeda dengan Cham Jahed, meskipun mereka sama-sama beragama Islam, namun praktik keagamaan mereka masih bercampur dengan tradisi Hindu Champa yang pula dipraktikan oleh Muslim Cham di Vietnam. Bila etnis Cham-Chvea melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari, berbeda dengan Cham Jahed yang hanya melaksanakan shalat satu kali dalam seminggu yakni pada hari Jum’at saja.24 Maka dari itu Muslim Cham ini kerap kali disebut Cham Tujuh. Kebanyakan Cham Jahed bertempat tinggal di Battambang, Pursat, Oudong, dan Kampong Chnnang. Akan tetapi perbedaan-perbedaan ini tidak lantas membuat mereka berselisih faham. Meskipun secara prinsip keagamaan antara orang Cham yang berasimilasi dengan orang Melayu dan Cham Jahed berbeda, namun Islam tetap menjadi identitas utama dan simbol pemersatu mereka. Merekalah yang penulis maksudkan dengan Muslim Kamboja yang lebih dikenal dengan Khmer Islam atau Khmer Muslim. 24 Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational the Case of Cambodia, Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 114-122. 34 Kebanyakan orang Muslim Kamboja bermukim di pedesaan atau daerah pinggiran. Sedikit sekali mereka yang memilih tinggal di kota-kota besar. Tidak diketahui secara pasti apa penyebabnya. Mereka tinggal hampir di 150 desa yang tersebar di beberapa kota.25 Hal ini membuat mereka banyak yang menekuni pekerjaan kasar. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai penebang kayu, petani karet, petani padi, pedagang, dan nelayan.26 Namun terdapat pula sebagian dari mereka yang berkiprah dalam dunia kemiliteran dan politik. Struktur masyarakat Muslim Kamboja menunjukkan stratifikasi dalam bidang keagamaan yang cukup teratur. Masyarakat Muslim Kamboja diketuai oleh seorang mufti atau mophati. Beberapa mufti terkenal yang pernah menjabat ialah mufti Hadji Abdullah bin Idres.27 Di bawah seorang mophati terdapat seorang tuh khalik atau raja khalik dan tuan pake. Mereka bertugas sebagai asisten atau pembantu seorang mophati. Setelah itu ada pula imom atau hakim yang memiliki tugas mengelola masjid. Biasanya seorang imom dipilih oleh raja.28 Di bawah imom terdapat seorang khatib yang memiliki tugas membacakan doa dan memimpin shalat berjamaah. Dalam struktur paling bawah adalah bilal yang bertugas mengumandangkan adzan dan mengatur ketertiban shalat. Seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya bahwa hampir seluruh Muslim Kamboja menganut mazhab Syafi’i, kecuali Cham Jahed atau Cham Bani. Hal ini memengaruhi kepada tradisi keagamaan yang berkembang di Kamboja. Muslim Kamboja layaknya Muslim di negara-negara lain mereka juga 25 Michael Vickery, Kampuchea Politic, Economics, and Society, (London: Frances Pinter Publisher, 1986), hlm. 164. 26 Anthony Cabaton, Orang Cam Islam di Indo-China Prancis, dalam Kerajaan Champa, Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 241. 27 Michael Vickery, Kampuchea Politic, Economics, and Society, hlm. 194. 28 Ibid., hlm. 242-245. 35 menjalankan puasa Ramadhan atau yang mereka sebut Ramvon atau Bulan Ok. Mereka juga berpuasa menjelang perayaan hari raya Idul Adha yang mereka sebut dengan Bulan Ok Hadji atau bulan Ovlwah. Mereka juga melaksanakan khitan atau dalam bahasa mereka katat atau katan dan beberapa tradisi lainnya yang khas dengan Muslim Asia Tenggara lainnya. Selain itu mereka menghindari untuk memakan babi dan meminum minuman keras. Mereka menjalankan perintah agama dengan penuh ketaatan. Sebelum kenaikan rezim Khmer Merah pada tahun 1975 diperkirakan jumlah Muslim Kamboja mencapai 700.000 jiwa.29 Mereka tersebar di 150 desa di wilayah Kampong Cham, Battambang, Kompot, Karatie, Kampong Chnnang, Oudong, dan Phnom Penh. Diperkirakan telah terdapat sekitar 113 masjid pada masa sebelum kenaikan rezim Khmer Merah.30 Namun yang disayangkan sebelum tahun 1975 memang umat Islam Kamboja terkesan terpencilkan dan jauh dari hingar bingar dunia Islam di belahan dunia lain. Meskipun memang beberapa dari mereka telah pula melaksanakan ibadah haji, namun hal itu tidak pula membuka mata dunia Islam untuk memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan Islam di Kamboja. Malaysia khususnya wilayah Klantan, menjadi wilayah yang cukup akrab dengan Muslim Kamboja. Baik sebagai tempat menuntut ilmu maupun berniaga. Baru 29 International Center for Ethnic Study, Minorities in Cambodia, (United Kingdom: Manchester Free Press, 1995), hlm. 10. Seddik Taouti berbeda pendapat, ia mengatakan bahwa jumlah umat Islam sebelum tahun 1975 berkisar 800.000 orang, lihat: Seddik Taouti, Forgotten Muslim Kampuchea and Vietnam, dalam Ahmad Ibrahim, Readings on Islam ini Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1985), hlm.194. Michael Vieckery mengemukakan pendapat lain, ia menyatakan bahwa jumlah umat Islam sebelum tahun 1975 diperkirakan hanya berkisar 185.000 jiwa saja yang semuanya tersebar di seluruh distrik. Michael Vickery, Kampuchea Politic Economics and Society, (London: Frances Pinter Publisher, 1986), hlm.1. 30 International Center for Ethnic Study, Minorities in Cambodia, (United Kingdom: Manchester Free Press, 1995), hlm. 11. 36 pasca kejatuhan rezim Khmer Merah berbondong-bondong beberapa negara Muslim menyodorkan bantuan untuk membangkitkan Muslim Kamboja yang terpuruk. C. Kondisi Muslim Kamboja Tahun 1953-1975 Tahun 1953 sampai dengan tahun 1975 merupakan batas waktu yang penulis gunakan untuk membingkai periodesasi politik Kamboja sebelum kenaikan rezim Khmer Merah. Tahun 1953 merupakan berdirinya Kamboja sebagai sebuah negara bangsa dengan berhasil melepaskan diri dari cengkraman protektorat Prancis. Terdapat dua rezim yang berkuasa dalam kurun waktu 19531975. Yakni masa raja Norodom Sihanouk 1953-1970, dan dilanjutkan dengan rezim Lon Nol yang memerintah pada tahun 1970-1975. 1. Masa Norodom Sihanouk Lepas merdeka dari protektorat Prancis, Kamboja memasuki era baru sejarahnya. Berdirinya Kamboja menjadi sebuah negara bangsa tak membuat negeri ini kokoh dengan semangat nasionalnya. Bahkan pasca kemerdekaan Kamboja kerap kali dilanda dengan perang saudara. Negara ini menjadi medan tempur antar penganut ideologi komunis yang memiliki kecenderungan dengan China dan ideologi liberalis dengan Amerika Serikat sebagai pelopornya. Raja Sihanouk merupakan salah satu tokoh yang berjasa mengantarkan Kamboja ke pintu gerbang kemerdekaan. Sihanouk merupakan salah satu putra mahkota dari Raja Kamboja yang sangat kharismatik. Ia juga merupakan tokoh yang bersahabat dengan protektorat Prancis. Naik tahtanya Norodom Sihanouk pun tak lepas dari bantuan Prancis. Sihanouk sangat berjasa dalam membangun 37 identitas bangsa Kamboja pada masa awal kemerdekaannya. Ia memperkenalkan ideologi nasional yang disebut sosialisme Budha atau belakangan disebut Sihanoukisme. Sihanouk terkenal sebagai pemimpin yang netral dengan tidak memihak kepada golongan komunis dan liberalis pada masa awal kepemimpinannya. Hal ini terbukti dengan langkahnya yang menerima bantuan dari Prancis, China, Amerika Serikat, dan Uni Soviet dalam membangun negaranya pada masa awal kemerdekaan.31 Ia tidak menutup diri bagi siapa saja yang ingin bersumbangsih dalam pembangunan Kamboja. Anthony Cabaton menjelaskan bahwa hubungan agama minoritas dengan rezim Sihanouk berjalan dengan harmoni. Harmoni yang dimaksud adalah tidak adanya konflik baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Lebih lanjut dalam artikelnya, Anthony Cabaton menggambarkan bahwa pada masa Sihanouk umat Islam kerap kali melakukan diskusi-diskusi di kerajaan guna membicarakan permasalahan yang dihadapi umat Islam.32 Namun Cabaton tidak memaparkan dengan jelas apa kiranya permasalahan yang kerap kali didiskusikan. Meski minim fakta, namun hal tersebut dapat menjadi segelintir bukti kecil gambaran mengenai hubungan baik antara Sihanouk dengan umat Islam. Sihanouk menjadi orang yang memelopori dan berjuang demi kemerdekaan Kamboja. Sehingga ia memiliki tanggung jawab terhadap pembentukan identitas masyarakat Kamboja. Wilayah Kamboja sebelum kemerdekaan merupakan wilayah yang didominasi oleh etnis Khmer yang 31 M.C Ricklef, Sejarah Asia Tenggara dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), hlm. 583. 32 Anthony Cabaton, Orang Cam Islam di Indo-China Prancis, dalam Kerajaan Champa, Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 242-243. 38 beragama Budha. Hanya terdapat sebagian kecil etnis Cham-Melayu dan beberapa etnis lainnya yang mendiami wilayah tersebut. Dominasi etnis Khmer membuat Sihanouk menjadikan Khmer sebagai sebuah identitas negara yang baru dipimpinnya ini. Segala aspek mulai dari bahasa sampai identitas ras semua diberi nama Khmer. Umat Islam yang notabenenya etnis Cham-Melayu pun ikut terkhmerkan meskipun hanya sampai tingkat identitas saja. Oleh Sihanouk etnis Cham dan Melayu diberi julukan Khmer Islam atau Khmer Muslim. Identitas tersebut merujuk pada agama yang dipeluk oleh etnis Cham-Chvea atau Cham-Melayu yang beragama Islam. Dari segi bahasa, etnis Cham-Melayu masih menggunakan bahasa asli mereka. Sedangkan dari identitas fisik pun tidak dapat dibohongi bahwa mereka berbeda dengan etnis Khmer. Julukan Khmer Islam yang diberikan kepada etnis Cham dan Melayu hingga kini masih disandang oleh mereka. Kebijakan Sihanouk tersebut merupakan salah satu kebijakan kontroversial terhadap etnis dan penganut agama di Kamboja. Menurut Yekti Maunati kebijakan tersebut dimaksudkan untuk membuat komposisi masyarakat Kamboja yang ideal.33 Namun di sisi lain kebijakan ini terkesan ingin mengeliminasi identitas etnis tertentu, meskipun dilakukan secara halus. Namun kebijakan ini nampaknya tidak membuat umat Islam Kamboja gusar, karena hal tersebut hanya sebatas identitas saja. Umat Islam Kamboja tetap diberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan mereka. Meskipun kebijakan tersebut dianggap kontroversial, namun tidak menyudutkan umat Islam, sehingga tidak memunculkan riak-riak perlawanan terhadap rezim Sihanouk. 33 Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational the Case of Cambodia, (Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 164. 39 Menjelang akhir kekuasannya Sihanouk memiliki kedekatan dengan Partai Komunis Indocina (Indocina Communist Party – ICP) yang di dalamnya terdapat juga gerilyawan Khmer Merah. Ia memberikan izin bagi ICP untuk mendirikan basis militer di Kamboja. Hal ini sontak menimbulkan pertentangan di kalangan elit pemerintahan, terutama dengan Marsekal Lon Nol yang kala itu menjabat sebagai perdana menteri. Berawal dari permasalahan tersebutlah kemudian pemerintahan Kamboja terpecah, yang kemudian menyebabkan Sihanouk digulingkan oleh Lon Nol. 2. Masa Lon Nol Perebutan pengaruh antara kaum komunis dan liberalis terus berlangsung sampai masa akhir kepemimpinan Sihanouk. Sihanouk yang memiliki kedekatan terhadap pemerintah komunis Beijing harus terus bergulat dengan para penganut ideologi liberalis yang kebayakan berasal dari petinggi militer. Pada tahun 1970 ketika sedang pergi ke Prancis untuk berobat, dengan leluasa akhirnya militer yang dipelopori oleh Marsekal Lon-Nol mengambil alih kepemimpinan Kamboja dengan mengkudeta raja Sihanouk.34 Sejak jatuhnya rezim Sihanouk, era baru kepemimpinan Lon-Nol dikenal dengan rezim Republik Khmer (Khmer Republic) dimulai. Sebenarnya kudeta ini bermotifkan pengaruh ideologi. Para petinggi militer dengan pihak Amerika Serikat mulai merasa cemas dengan kedekatan Sihanouk dengan orang-orang komunis. Mereka menganggap ini sebagai sebuah ancaman. Maka dari itu kudeta terhadap Sihanouk merupakan langkah menyelamatkan Kamboja dari pengaruh ideologi Komunis. 34 M.C Ricklef, Sejarah Asia Tenggara dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, hlm. 584 40 Marsekal Lon Nol merupakan salah satu petinggi militer yang memiliki kedekatan dengan Amerika Serikat, sehingga dengan naiknya Lon Nol perlahan ia mulai mengikis keberadaan ideologi komunis dan menggantikannya dengan ideologi liberalis. Lon Nol mengganti sistem kenegaraan yang sebelumnya menganut sistem monarki kontitusional menjadi sistem republik. Tidak ubahnya dengan rezim Sihanouk, pada masa Lon Nol, Kamboja masih belum bisa terlepas dari kemelut perang saudara. Perpolitikan Kamboja terus terguncang dan makin memanas. Pemerintah lagi-lagi disibukkan dengan urusan dalam negeri dengan munculnya pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh Sihanouk dan pihak Khmer Merah yang merasa memiliki hak atas Kamboja. Pada masa Lon Nol peran umat Islam mulai terlihat. Terutama ketika Les Kosem salah satu petinggi militer beragama Islam berasal dari etnis ChamMelayu memainkan peran yang cukup signifikan dalam angkatan perang maupun perpolitikan Kamboja. Kiprahnya dalam militer dan perpolitikan Kamboja berawal dari bergabungnya ia bersama FULRO (Front Univie de Lutte des Race Oprimess) atau barisan pembebas ras-ras tertindas. Les Kosem menjadi salah satu tokoh yang dipercaya oleh Lon Nol untuk menyelesaikan berbagai permasalahan konflik yang terjadi di dalam internal umat Islam maupun masalah-masalah lainnya, baik di dalam maupun di luar negeri. Les Kosem menjadi salah satu fakta mulai diikutsertakannya masyarakat Islam Kamboja dalam dunia perpolitikan dan kemiliteran Kamboja. Hubungan umat Islam pada masa Lon Nol dapat dikatakan sangat baik jika dibanding dengan masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan mereka laksana 41 simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Pada masa Lon Nol para tentara Muslim yang dikomandani oleh Les Kosem banyak membantu Lon Nol dalam misi penentangan agresi Indocina Communist Party yang dipelopori oleh Vietnam di Kamboja. Kala itu desa-desa Muslim menjadi target penyerangan oleh ICP. Sebanyak 24 masjid yang tersebar di lima provinsi diluluhlantakkan dan sebanyak 26 hakim di empat provinsi dibunuh oleh ICP.35 Hal tersebut dilakukan untuk mewujudkan masyarakat komunis di Indocina di bawah hegemoni Vietnam. Namun Lon Nol beserta pasukan Muslim segera dapat menghentikan agresi ICP dan memberikan perlindungan bagi rakyatnya. Pada masa Khmer Repubik, umat Islam Kamboja diketuai oleh seorang pemimpin agama yang bernama Okhna Hadji Abdoullah Bin Idres atau yang akrab disapa Res Las. Didampingi oleh dua asistennya yaitu Hadji Sulaiman Shukri, dan Hadji Mat Sales Sulaiman. Dan Les Kosem menjabat sebagai penasihat.36 Rezim Republik Khmer banyak memberikan pelayanan dan kemudahan bagi umat Islam. Di antaranya dengan dibentuknya direktorat urusan agama Islam yang menangani permasalahan-permasalahan seputar agama Islam yang dibawahi oleh negara. Pada masa Lon Nol juga dibangun sekitar 113 masjid yang tersebar di seluruh desa Muslim. Selain itu Lon Nol juga mensahkan penggunaan bahasa Arab dalam pengajaran agama Islam. Sebanyak sebelas Koranic School 37 juga 35 Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin Printing Press, 1974), hlm. 11. 36 Ibid., hlm. 36-37. 37 Koranic School merupakan lembaga pendidikan Islam Kamboja seperti madrasah. 42 didirikan. Namun jumlahnya masih sangat sedikit, dikarenakan keterbatasan tenaga pengajar.38 Pada masa Lon Nol tepatnya tahun 1970 disahkan berdirinya dua organisasi Muslim pertama di Kamboja, yakni, The Central Islamic Association of The Khmer Republic - CIS, dan The Association of Khmer Islamic Youth AKIY. CIS diketuai oleh Mr Hadji Muhammad Aly Haroun. Organisasi ini bergerak dalam bidang keagamaan, sosial, dan pendidikan. Di antaranya memperkuat persaudaraan di kalangan umat Islam Kamboja, menyebarluaskan doktrin Islam, penyelengaraan koranic school, pembangunan masjid, dan penyelengaraan haji.39 AKIY juga memiliki program yang tidak jauh berbeda dengan CIS. Hanya saja AKIY merupakan organisasi yang anggotanya terbatas pada kalangan pemuda Muslim. Program AKIY di antaranya, menghimpun semua pemuda dari seluruh lapisan masyarakat, memberikan pendalaman pendidikan Islam untuk pemuda, dan menjalin kerjasama dengan organisasi lokal maupun internasional.40 AKIY diketuai oleh seorang pemuda Muslim bernama Abdul Rached bin Idres dit Man Seth. Selain itu orang-orang Islam juga diberikan kesempatan untuk menduduki beberapa posisi jabatan penting. Seperti ditempatkannya lima orang Muslim dalam jabatan di kementrian urusan asing, di antaranya, M. Pean Abdul Gaffar yang ditempatkan di Kedutaan Besar Republic Khmer di Washington D C, Prof. Som Samout dit Abdullah sebagai delegasi Republik Khmer di Jenewa, dan tiga orang Muslim yang ditempatkan di kementrian urusan asing, yakni, Prof. Math 38 Ibid., hlm. 43. Lebih lanjut mengenai program CIS lihat: Ibid., hlm. 49. 40 Lebih lanjut mengenai program AKIY lihat: Ibid., hlm. 51. 39 43 Peas dit Abbas, Prof. Tol Lah dit Abdullah, dan Prof. Sop Mat Tin did Moheidine.41 Selain itu, orang-orang Islam juga sudah mulai mewarnai badan legislatif Republik Khmer. Beberapa orang Islam diberikan kesempatan untuk duduk di bangku dewan. Mereka di antaranya adalah H. Sales Yahya, Os Salaimanna, Ysya Ashary, Abdulhamid Jakariya, dan Uch Sos.42 Terdapat satu orang Muslim yang juga dipercaya menjabat sebagai Sekretaris Menteri Kelautan dan Perikanan, yaitu, Kolonel Hadji Ell Prahim. Pergulatan perang saudara antara Sihanouk yang bekerjasama dengan pihak Khmer Merah dengan rezim pemerintah terus berlanjut. Sihanouk masih sangat berambisi untuk kembali menjadi orang nomor satu di Kamboja. Ambisinya diperkuat setelah ia mendapat dukungan penuh dari China dengan syarat ia harus menggulingkan rezim Lon Nol.43 Sihanouk juga menjalin kerjasama dengan pihak Khmer Merah untuk menggulingkan rezim Lon Nol. Berbagai pemberontakan dilancarkan untuk melemahkan pemerintahannya. Seakan sudah tidak dapat menahan terjangan ombak yang kian membesar, perlahan baris pertahanan pemerintah mulai tumbang dihantam para pemberontak Khmer Merah yang menuntut agar Lon Nol segera menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Mereka. Akhirnya pada tanggal 5 April 1975 pasukan pemberotak Khmer Merah berhasil menguasai beberapa wilayah di sekitar Phnom Penh.44 Sementara itu Lon 41 Ibid., 54. Ibid., 62. 43 “Kembalinya Pengeran Sihanouk Akan Rupakan Kemenangan PM Chou.” Warta Berita Antara, 4 April 1975. 44 “Pasukan Pemberontak Terobos Garis Pertahanan Beberapa Ratus Meter.” Warta Berita Antara, 5 April 1975. 42 44 Nol tetap berusaha mengupayakan cara-cara diplomasi untuk memadamkan perseteruan tersebut. Ia meminta kepada perhimpunan negara-negara Asia Tenggara (Association of South East Asian Nations – ASEAN) untuk membantu penyelesaian peseteruan yang terjadi di negaranya. Oleh ASEAN difasilitasi pertemuan kedua pihak yang terlibat perseteruan ini di Bangkok. Namun Sihanouk dan pihak Khmer Merah tidak menghadiri pertemuan tersebut. Sihanouk dan Khmer Merah beralasan karena enggan berdiplomasi dengan pengkhianat yang masih dibayangi pengaruh Amerika Serikat.45 Sihanouk menginginkan agar rezim pemerintah segera keluar dari Phnom Penh dan menyerahkan pemerintahan kepada pihaknya. Penolakan Khmer Merah untuk berunding tersebut membuat pemerintah semakin frustasi. Pemberontakan yang dilakukan oleh Khmer Merah semakin gencar dilakukan di ibukota Phnom Penh. Ditambah lagi mereka juga mendapatkan dukungan rakyat Kamboja yang cukup banyak. Akhirnya pemerintah Kamboja mulai merumuskan kemungkinan penyerahan tanpa syarat kepada pihak Khmer Merah. Menurut Lon Nol kalau memang turunnya ia dari tampuk kekuasaan Kamboja dapat membuat Kamboja mengakhir perang saudara, itu akan ia lakukan.46 Serangan Khmer Merah terus dilancarkan kepada tentara pemerintah. Terutama di wilayah ibukota yang memang telah menjadi incaran lama pasukan Khmer Merah. Sebenarnya memang Khmer Merah telah menguasai hampir 60 persen wilayah Kamboja, terutama wilayah pinggiran. Sisanya sekitar 40 persen “Sihanouk Tetap Tidak Mau Berunding Dengan Pemerintah Phnom Penh. “ Warta Berita Antara, 5 April 1975. 46 “Presiden Lon Nol di Bali Merasa Seperti di Tanah Sendiri.” Warta Berita Antara, 5 April 1975. 45 45 masih berada dalam kendali pemerintah. Serangan yang bertubi-tubi akhirnya dapat melumpuhkan baris pertahanan di selatan ibukota yang membuat pasukan Khmer Merah akhirnya berhasil menerobos masuk Phnom Penh pada tanggal 17 April 1979.47 Masuknya tentara Khmer Merah disambut baik oleh masyarakat Kamboja. Khmer Merah seakan menjadi pembebas dari ketertindasan mereka selama rezim Lon Nol. Sejak itulah akhirnya Kamboja dikuasai oleh rezim komunis Khmer Merah yang pada selanjutnya mengubah nama Kamboja menjadi Demokratic Kampuchea. Sihanouk dengan dukungan Khmer Merah akhirnya kembali menduduki tampuk kekuasaan tertinggi Kamboja dan Saloth Sar atau yang lebih dikenal dengan Pol Pot menjabat sebagai perdana menteri. 47 “Phnom Penh Falls Into Khmer Rouge Hands.” Warta Berita Atara, 17 April 1975. 46 BAB III MUSLIM KAMBOJA DI BAWAH REZIM KOMUNIS KHMER MERAH1 A. Sejarah dan Kiprah Khmer Merah dalam Kancah Perpolitikan Kamboja Jika kita menyempatkan membuka kembali lembaran usang surat kabar tahun 1975-an, headline beberapa surat kabar baik terbitan lokal maupun internasional hampir semua surat kabar memuat narasi pergulatan politik Kamboja dengan Khmer Merah sebagai sorotan utama. Khmer Merah sebagai sebuah organisasi politik yang dalam pandangan pemerintah maupun mata internasional disebut sebagai pihak pemberontak, pada 17 April 1975 berhasil menapakkan kakinya pada tampuk kekuasaan tertinggi di Kamboja. Meskipun dituding sebagai pemberontak, namun mereka berhasil memperoleh dukungan sebagian besar masyarakat Kamboja yang sudah tidak percaya lagi dengan pemerintahan Lon Nol kala itu. Maka dari itu, dengan cepat mereka dapat mengambilalih ibukota Phnom Penh dan mendeklarasikan diri sebagai rezim yang berdaulat penuh atas bumi Kamboja. Nama Khmer Merah sebenarnya merupakan julukan yang diberikan oleh raja Sihanouk kepada para penganut ideologi komunis yang memberontak pada tahun 1960.2 Kata Khmer sendiri mengacu kepada etnis yang mendominasi Kamboja. Sedangkan kata Merah (red atau rouge) mengacu kepada simbol revolusioner yang mereka gaungkan.3 Sebenarnya orang-orang Khmer Merah 1 Istilah Khmer Merah merupakan istilah yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Sedangkan dalam bahasa Inggris akrab disapa Red Khmer atau Khmer Rouge. Kebanyakan literatur menyebutnya Khmer Rouge. 2 Khamboly Dy, A History of Demokratic Kampuchea 1975-1979, (Phom Penh: Deocument Center of Kampuchea, 2007), hlm. 1. 3 Lihat filosofi simbol dan bendera Demokratic Kampuchea dalam: Ibid., hlm. 21. 46 47 lebih senang menyebut diri mereka Angkar. Partai yang yang menjadi tunggangan politik mereka bernama Partai Komunis Kamboja (Communist Party of Kampuchea – CPK). Para penganut ideologi komunis di Kamboja telah menunjukkan keberadaanya sejak masa protektorat Prancis ketika di bawah kuasa raja Monivong tahun 1940. Sebagian besar mereka berbasis di pedesaan dan banyak mengakomodir para buruh, tani, dan pekerja kasar. Sejak masa raja Monivong, mereka juga kerap kali melakukan provokasi-provokasi melalui pamflet dan surat kabar. Penganut ideologi komunis di Kamboja semakin bertambah seiring dengan tumbuhnya rasa nasionalisme rakyat Kamboja, dan gencarnya slogan anti kolonial Prancis. Gerakan perlawanan para penganut ideologi komunis dikokohkan dengan didirikannya Barisan Pembebasan Khmer atau dalam bahasa Kamboja Nekhum Issarak Khmer pada April tahun 1950 di Provinsi Kompot.4 Pertemuan ini dihadiri oleh sekitar 200 delegasi dari berbagai daerah. Nekhum Issarak Khmer sebenarnya merupakan kepanjangan tangan dari Partai Komunis Indocina (Indocina Communist Party – ICP) karena banyak dari kader-kadernya yang juga alumni dari ICP. Tujuan didirikannya Nekhum Issarak Khmer sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ICP, mereka sama-sama berkeinginan menentang hegemoni kolonial Prancis di Indocina.5 Pada kongres pertama didirikannya Nekhum Khmer Issarak ditetapkan Song Ngoch Minh sebagai ketua Khmer Issarak. Song Ngoch Minh merupakan seorang bikhsu yang keluar dari wiharanya untuk bergabung bersama para 4 5 197. Ibid., hlm. 5. Michael Vickery, Cambodia 1975-1982, (Boston MA: South End Press, 1984), hlm. 48 penganut ideologi komunis. Song Ngoch Minh menjadi aktor sentral yang sangat berpengaruh dalam keberlangsungan organisasi ini. Untuk menjalankan roda organisasinya, Song Ngoch Minh didampingi oleh dua sahabatnya, yakni Chan Samay dan Sieu Heng. Pada tahun 1951 baru pertama kalinya secara resmi partai komunis didirikan. Partai tersebut dinamakan Partai Revolusioner Rakyat Khmer (Khmer People’s Revolutionary Party – KPRP). Song Ngoch Minh masih memainkan peran yang sangat sentral dalam organisasi ini.6 Ia menjabat sebagai ketua, ditemani oleh Sieu Heng yang menjabat sebagai bagian kemiliteran, Tou Samouth menjabat sebagai bagian kepelatihan ideologi, dan Chan Samay menjabat sebagai divisi perekonomian. Sejak berdirinya, KPRP lebih cenderung melakukan gerakan-gerakan bawah tanah ketimbang melakukan gerakan secara terangterangan. Dengan gencar KPRP terus melancarkan perlawanan secara grilya kepada kolonial Prancis. KPRP berhasil merekrut anggota mulai dari tingkat desa sampai pada tingkat nasional. Pada masa Sihanouk, tepatnya tahun 1955-1959 banyak dari kader komunis yang menjadi sasaran pembunuhan, terutama para petingginya, seperti Tao Samouth, Sieu Heng, dan Chan Samay. Sekitar 90 persen dari keseluruhan kadernya tewas terbunuh.7 Dan hanya tersisa 800 kader aktif yang tersebar di dua zona besar, yakni zona timur yang berpusat di Kampong Cham di bawah So Phim dan zona tenggara yang berpusat di Provinsi Takeo di bawah kepemimpinan Chhit Choeun dan Ta Mok. 6 Ibid., Khmboly Dy, A History of Demokratic Kampuchea 1975-1979, (Phom Penh: Deocument Center of Kampuchea, 2007), hlm. 8. 7 49 Sihanouk melakukan perburuan kepada para penganut ideologi komunis karena mereka kerap kali merencanakan pemberontakan kepada pemerintahannya. Perburuan tersebut menyebabkan banyak kader KPRP yang tewas terbunuh dan melarikan diri keluar Kamboja, sehingga menyebabkan terjadinya kekosongan ketua komite KPRP di beberapa wilayah, termasuk di Phnom Penh. Kala itu jabatan ketua komite di Phnom Penh dipegang oleh Keo Mas. Namun ia melarikan diri ke Hanoi untuk meminta perlindungan. Untuk mengisi kekosongan tersebut, Pol Pot bersama kawan-kawannya, Khieu Samphan, Hou Youn, Hun Nim, dan Ieng Sary mengisi kekosongan tersebut. Sejak itulah Pol Pot bersama kawan-kawannya mulai mendominasi KPRP dan memainkan peran penting dalam tubuh KPRP. Pada kongres tertutup tahun 1960 di Phnom Penh, KPRP berganti nama menjadi Partai Pekerja Kamboja (Worker Party of Kampuchea – WPK). Tou Samout menjadi Sekretaris Jenderal Komite Pusat, Noun Chea menjabat sebagai Wakil Sekretaris, dan Pol Pot menjadi Wakil Sekretaris Dua. Namun baru dua tahun berjalan, partai ini harus kehilangan pemimpinnya, karena Tou Samouth tewas terbunuh oleh polisi Sihanouk. Hal ini mendesak Pol Pot dan kawan-kawan untuk segera melakukan kongres. Tewasnya Tou Samouth juga membuat Pol Pot dan kawan-kawannya yang sebagian besar merupakan sarjana lulusan Prancis memainkan peranan yang sentral dalam tubuh partai. Pada tahun 1963 WPK bergegas melaksanakan kongres guna menggantikan Tou Samouth yang tewas terbunuh pada tahun 1962. Akhirnya pada 21 Februari 1963 dilakukan kongres tertutup di Phom Penh yang 50 menetapkan Pol Pot sebagai Sekretaris Jendaral WPK.8 Kemudian pada tahun 1966 WPK berganti nama menjadi Partai Komunis Kamboja (Communist Party of Kampuchea – CPK).9 CPK didirikan dengan dasar ideologi Communist- Leninis.10 CPK di bawah Pol Pot sangat menentang berdirinya federasi negara Indocina yang dipelopori oleh Vietnam. Menurutnya, hal itu dinilai sebagai hegemoni Vietnam atas negara-negara Indocina (Kamboja, Laos, Vietnam). Selain itu pihak Khmer Merah juga merasa dikhianati oleh komunis Vietnam dalam perjanjian Jenewa. Komunis Vietnam dan Sihanouk menyetujui pembubaran Khmer Merah karena mereka dianggap pemberontak dan menggangu keberlangsungan pemerintahan Sihanouk. Sihanouk dan komunis Vietnam bekerjasama menekan pergerakan Khmer Merah yang semakin mengancam pemerintahan Sihanouk. Sihanouk menggunakan komunis Vietnam atau ICP untuk meredam pemberontakan-pemberontakan Khmer Merah. Sihanouk beranggapan bahwa ICP dapat meredam pemberontakan Khmer Merah karena Khmer Merah merupakan embrio dari ICP dan merupakan kawan lama. Namun di luar dugaan, Khmer Merah enggan mengikuti nasihat-nasihat kawan-kawan mereka di ICP, dan terus melancarkan pemberontakan. Khmer Merah tetap bersikukuh dengan revolusi Kamboja. Alasan tersebutlah yang membuat Pol Pot selaku pemimpin CPK menaruh dendam kepada Vietnam dan menggaungkan slogan anti Vietnam kepada kader-kader Khmer Merah. Meskipun tidak semua kadernya mengikuti slogan Pol Pot. Terdapat kader-kader Khmer Merah yang 8 Ibid., hlm. 8. Ibid., hlm. 9. 10 Michael Vickery, Cambodia 1975-1982, (Boston MA: South End Press, 1984), hlm. 9 199. 51 tetap pro terhadap Vietnam, di antaranya kader Khmer Merah yang berada di Zona Timur seperti Heng Samrin, Hun Sen, dan Math Ly. Sementara itu dalam pemerintahan mulai terjadi perpecahan. Perdana Menteri Lon Nol bersama Sirik Matak yang merupakan golongan anti komunis tidak menyetujui kebijakan Sihanouk yang mengizinkan ICP mendirikan basis militernya di wilayah Kamboja. Selain itu Lon Nol bersama militer dan pemerintahan juga menentang kebijakan Sihanouk mengenai nasionalisasi bank. Sihanouk ingin menerapkan kebijakan nasionalisasi bank yang membuat pihak swasta merugi. Perselisihan dalam badan pemerintahan tersebut semakin meruncing. Lon Nol berusaha mencari dukungan Amerika Serikat untuk menghadapi Sihanouk dan ICP. Pada Januari 1970, Norodom Sihanouk pergi ke Prancis untuk berobat, hal tersebut membuat Lon Nol dan kawan-kawannya bebas bertindak. Pada 18 Maret 1970 diadakan sidang nasional oleh Dewan Perhimpunan. Dalam sidang tersebut Sihanouk dipecat sebagai kepala negara, dan digantikan oleh Marsekal Lon Nol. Lon Nol menjabat sebagai presiden dan Sirik Matak sebagai wakil presiden. Pada masa Lon Nol sistem pemerintahan yang tadinya menganut sistem monarki kontitusional, akhirnya digantikan dengan sistem republik.11 Kejatuhan Sihanouk juga sekaligus sebagai misi penyelamatan Kamboja dari tangan komunis. Karena melihat Sihanouk yang semakin dekat dengan kelompok komunis. Pergantian rezim dari Sihanouk ke Lon Nol tidak lantas menyelesaikan permasalahan politik di Kamboja, hal tersebut malah semakin membuat suhu politik Kamboja semakin memanas. Sihanouk yang masih merasa dendam dengan 11 John Tully, A Short History of Cambodia: From Empire to Survival, (Australia: Allen & Unwin, 2005), hlm. 186. 52 kudetanya, membuat koalisi dengan Khmer Merah untuk menjatuhkan presiden Lon Nol. Khmer Merah juga merasa tertekan pada masa Lon Nol, karena gerak mereka semakin dibatasi dan perlahan mulai disingkirkan. Hal tersebut semakin menguatkan ambisi Khmer Merah untuk ikut menggulingkan pemerintahan Lon Nol. Khmer Merah menganggap rezim Lon Nol merupakan rezim yang korup dan sangat bergantung pada Amerika Serikat. Sihanouk dan Khmer Merah membentuk Barisan Nasional Kamboja (Front Uni National du Kampuchea – FUNK) atau dalam bahasa Kamboja Renasa Ruab Ruam Chiet Kampuchea. FUNK dibentuk untuk mengakomodir para simpatisan Sihanouk dan Khmer Merah. Tidak tanggung-tanggung, dukungan yang diberikan rakyat Kamboja kepada Sihanouk dan Khmer Merah terdapat hampir di seluruh provinsi. Sihanouk yang kala itu berada di Beijing juga mengumumkan terbentuknya GRUNK (Gouvernment of National Union of Kampuchea) dan Pasukan Pembebasan Nasional (National Liberation Armed Forces – NLAF). GRUNK merupakan pemerintahan pengasingan yang berada di Beijing, di mana Sihanouk menjabat sebagai pemimpinnya. Organisasi ini dibentuk sebagai langkah mempersiapkan apabila nanti Kamboja jatuh kembali ke tangan Sihanouk. Sejak naiknya Lon Nol sebagai presiden, Khmer Merah gencar melakukan serangan-serangan terhadap militer pemerintah. Sebenarnya memang rezim Lon Nol yang terlebih dahulu memulai melakukan serangan terhadap kader Khmer Merah. Karena Lon Nol dan Amerika Serikat bermaksud untuk menghapuskan faham dan para kader komunis di Kamboja. Namun langkah tersebut tidak menyurutkan niat para grilyawan Khmer Merah, mereka terus bergerak secara 53 gerilya di hutan-hutan dan pedesaan. 12 Mereka mencari massa yang merupakan para buruh tani, dan buruh pabrik. Khmer Merah dan Sihanouk mendapat dukungan penuh dari China dengan syarat Sihanouk dan Khmer Merah harus menjatuhkan rezim Lon Nol.13 Khmer Merah terus gencar melakukan penyerangan terhadap tempat-tempat penting, dan pada tanggal 5 Maret 1975 mereka berhasil menguasai daerah di sekitar ibukota dan bandar udara Ponchentong. Serangan Khmer Merah yang membabi buta membuat militer pemerintah semakin kuwalahan. Menghadapi berbagai pemberontakan yang dilakukan Khmer Merah, Lon Nol mencoba menggunakan langkah persuasif untuk menghadapi hal tersebut. Karena menggunakan militer dinilai tidak lagi efektif, mengingat semakin banyaknya korban sipil yang berjatuhan. Namun Sihanouk dan pihak Khmer Merah selalu menolak, yang mereka inginkan hanyalah turunnya Lon Nol. Selain itu Sihanouk dan Khmer Merah juga ingin menghilangkan pengaruh Amerika Serikat di Kamboja yang banyak memengaruhi rezim Lon Nol. Berbagai langkah persuasif sudah tidak memungkinkan, sementara Kamboja terus dilanda kehancuran. Akhirnya Lon Nol meminta bantuan kepada perhimpunan negaranegara di Asia Tenggara (Associatioan of Southeast Asian Nations - ASEAN).14 Melalui ASEAN difasilitasilah pertemuan di Bangkok antara pihak pemerintah dan Khmer Merah.15 Namun Sihanouk bersama pihak Khmer Merah menolak 12 Ramlan Surbakti dkk, Kampuchea Tahun 1975-1985. (Universitas Airlangga: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1990). hlm. 38. 13 “Kembalinya Pengeran Sihanouk Akan Rupakan Kemenangan PM Chou,” Warta Berita Antara, 4 April 1975. 14 “Lon Nol Harapkan Indonesia Usahakan Selenggarakan Perdamaian Khmer,” Warta Berita Antara, 6 April 1975 15 “Perundingan Damai Khmer di Bangkok,” Warta Berita Antara, 8 April 1975. 54 untuk menghadiri pertemuan tersebut. Hal itu membuat perdamaian antara pihak pemerintah dan Khmer Merah semakin sulit dicapai. Perundingan tersebut tak kunjung menemui titik terang, sementara pemberontak Khmer Merah semakin gencar melakukan serangan. Akhirnya pemerintah mulai merumuskan penyerahan tanpa syarat Kamboja kepada pemberontak Khmer Merah. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir kehancuran dan banyaknya korban yang berjatuhan. Menurut Sukhom Khoy salah seorang pegawai kepresidenan, tidak ada yang bisa menghalangi penyerahan tanpa syarat kepada Khmer Merah.16 Hal tersebut dikarenakan melemahnya militer pemerintah menahan gempuran serangan Khmer Merah dan mulai banyaknya rakyat yang bersimpati kepada Sihanouk dan Khmer Merah. Selain itu sekitar 60 persen wilayah Kamboja juga sudah dikuasai oleh Khmer Merah, pemerintah hanya menguasai sisanya saja. Hal ini membuat pemerintah semakin terdesak. Akhirnya pada 17 April 1975 pasukan revolusioner Khmer Merah berhasil memasuki ibukota Phnom Penh. 17 Sejak itulah Kamboja jatuh ke tangan rezim komunis Khmer Merah. Masuknya pasukan revolusionr Kamboja ke Phnom Penh disambut suka cita oleh rakyat Phnom Penh, tidak ada perlawanan dari rakyat maupun militer. Mereka memasuki kota dengan damai. Hal ini terjadi karena rakyat Kamboja menganggap Khmer Merah sebagai pembebas dari rezim Lon Nol. Tahun kenaikan Khmer Merah sebagai penguasa di Kamboja dikenal sebagai tahun nol “Sukham Khoy: Tidak Ada Yang Bisa Menghalangi Penyerahan Tanpa Syarat Kepada Khmer Merah,” Warta Berita Antara, 8 April 1975. 17 “Phnom Penh Falls Into Khmer Rouge Hands,” Warta Berita Antara, 17 April 1975. 16 55 atau zero year.18 Setelah berhasil memasuki Phnom Penh, Khmer Merah segera mengambil alih tempat-tempat penting, terutama stasiun radio Phnom Penh. Stasiun radio dipilih karena merupakan tempat yang digunakan untuk mensosialisasikan segala program Khmer Merah. Pada masa rezim Khmer Merah, Sihanouk kembali naik tahta sebagai kepala negara. Sedangkan Khieu Samphan menjabat sebagai perdana menteri. Meskipun Sihanouk masih mendapat simpati yang besar dari masyarakat Kamboja, namun naiknya Sihanouk sebagai presiden sebenarnya hanya merupakan boneka Khmer Merah. Karena sesungguhnya pemerintahan dikendalikan oleh Pol Pot dan kawan-kawan.19 Pada 11 Maret 1976, CPK yang diketuai oleh Pol Pot menggelar sidang pemberhentian Sihanouk sebagai kepala negara karena alasan kesehatan.20 Akhirnya terpilihlah Khieu Samphan sebagai kepala negara, dan Pol Pot sebagai perdana menteri. Bersamaan dengan itu Kamboja berganti nama menjadi Demokratic Kampuchea. Kebanyakan kader CPK yang menjabat dalam rezim Demokratic Kampuchea adalah kawan-kawan Pol Pot yang merupakan mahasiswa lulusan Prancis. Di antaranya Khieu Samphan, Ieng Sary, Son Sen, dan Noun Chea.21 Pol Pot dikenal sebagai Brother Number One atau kakak pertama. Pol Pot lah yang pada masa kemudian memainkan peranan yang cukup besar di dalam pemerintahan Khmer Merah. Pol Pot pernah kuliah di Prancis mengambil jurusan 18 Zero year merupakan istilah yag digunakan Pol Pot dan kawan-kawan untuk menandai naiknya Khmer Merah pada tampuk kekuasaan. Dinamakan zero year atau tahun nol karena Pol Pot ingin melakukan perubahan secara fundamental seakan-akan semuanya berawal dari nol. Lihat: Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational the Case of Cambodia, Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 25. 19 “Salah Siapa Kamboja Komunis?,” Kompas, 18 April 1975. 20 Khmboly Dy, A History of Demokratic Kampuchea 1975-1979, (Phnom Penh: Deocument Center of Kampuchea, 2007), hlm. 21. 21 Lebih lanjut mengenai struktur organisasi Demokratic Kampuchea lihat: Ibid. hlm. 22. 56 teknik radio. Di Prancis Pol Pot gencar mengkampanyekan pemikirannya yang anti kolonial. Di Paris ia juga sempat bergabung dengan Partai Komunis Prancis (Communist Party of France – CPF) yang kala itu menjadi partai komunis yang cukup berkembang di Eropa.22 Merekalah yang pada kemudian hari memainkan peran sangat signifikan pada rezim Demokratic Kampuchea atau Khmer Merah. B. Kebijakan Politik Pemerintah Khmer Merah Terhadap Etnis dan Agama Setelah naiknya Khmer Merah pada tampuk kekuasaan tertinggi di Kamboja, seketika itulah mereka menguasai berbagai tempat penting di ibukota. Langkah pertama yang diambil oleh Khmer Merah, adalah memutus semua komuniskasi Kamboja dengan dunia luar.23 Hal tersebut membuat berbagai informasi terkait kondisi Kamboja tidak diketahui secara pasti. Kamboja sangat tertutup dari dunia luar semenjak kejatuhannya ke tangan komunis. Setelah itu pemerintah Khmer Merah bergegas menerapkan kebijakan yang tertuang dalam Eight Points Plans. Di antaranya: “Evacuating people from all town. Abolishing all market. Withdrawing all Lon Nol Currency and witholding the Revolutionary currency which had been printed. Defrocking all Buddhist monk and putting down to work growing rice. Executing all leaders of the Lon Nol regime, beginning with the top leaders. Estabilishing high level cooperatives throughout the country with communal eating. Expelling the entrie Vietnamse minority population”.24 Terjemahan: Evakuasi semua warga dari perkotaan. 22 John Tully, A Short History of Cambodia: From Empire to Survival, (Australia: Allen & Unwin, 2005), hlm. 186. 23 “Komuniskasi Phnom Penh di Putus,” Kompas, 19 April 1979. 24 Farina So, The Hijab of Cambodia Memories of Cham Muslim Women After the Khmer Rouge, (Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2011), hlm. 36. 57 Tutup semua pasar (segala kegiatan jual beli). Menarik semua mata uang masa Lon Nol, dan mengganti dengan mata uang revolusioner yang akan dicetak. Memecat semua pendeta Budha, dan memerintahkan mereka untuk bekerja menanam padi. Eksekusi mati semua pemimpin rezim Lon Nol, dimulai dari pimpinan tertinggi. Meningkatkan kerjasama dengan semua wilayah dan menjadikannya milik bersama. Mengusir semua minoritas etnis Vietnam Dari delapan poin tersebut yang cukup menjadi sorotan luas adalah kebijakan memindahkan semua orang ke pedesaan, dan membunuh mati semua rezim Lon Nol. Kebijakan rezim Khmer Merah memburu dan mengeksekusi mati para pemimpin dan loyalis rezim Lon Nol merupakan janji Khieu Samphan selaku pemimpin Khmer Merah sebelum Khmer Merah menduduki ibukota Phnom Penh.25 Lon Nol dan semua staf rezimnya menjadi sasaran pembunuhan Khmer Merah karena menurut Khmer Merah mereka dianggap sebagai kaum pengeksploitasi. Ancaman tersebut juga dilayangkan kepada mantan perdana menteri Lon Nol, Long Boret. Namun mengenai pembunuhan Lon Nol dan Long Boret tidak diketahui pasti apakah mereka jadi dieksekusi mati atau tidak.26 Selanjutnya kebijakan pemerintah Khmer Merah mengungsikan semua penduduk kota ke pedesaan, karena alasan untuk mengantisipasi gempuran Amerika Serikat. Namun sesungguhnya, diungsikannya mereka ke pedesaan adalah untuk bekerja sebagai buruh tani. Mereka yang diungsikan tidak kembali ke rumah sampai berakhirnya kekuasaan Khmer Merah. Dievakuasikannya mereka, membuat mereka harus meninggalkan rumah dan harta benda. Mereka yang dievakuasi ditempatkan di beberapa wilayah pedesaan yang berbeda. Bahkan “Salah Siapa Kamboja Komunis?,” Kompas, 18 April 1975. Ada pula yang mengatakan bahwa Lon Nol dan Long Boret berhasil melarikan diri ke perbatasan Thailand. Lihat: “Red Khmer Execute Long Boret and Lon Nol.”, Warta Berita Antara, 20 April 1975. 25 26 58 dalam satu keluarga biasanya mereka dipisahkan ke penjuru wilayah yang berbeda antar satu sama lain. Khmer Merah kemudian membagi wilayah Kamboja menjadi tujuh wilayah administrasi (zona), yakni zona barat laut, utara, timur laut, tengah timur, barat daya, dan barat.27 Di antara ketujuh zona tersebut terdapat tiga zona yang paling menonjol, yakni zona timur yang berisikan kader Khmer Merah pro Vietnam di bawah pimpinan So Phim. Kemudian zona barat daya dan zona barat laut yang langsung di bawah kendali Pol Pot. Di antara zona-zona tersebut, zona timurlah yang tidak terkena kebijakan pengevakuasian warga, penghapusan mata uang, dan kewajiban bertani bagi rakyatnya. Hal ini dikarenakan memang sejak awal kader-kader zona timur seperti So Phim, Pen Sovan, Heng Samrin, dan Hun Sen tidak sependapat dengan konsep ultra komunis yang digaungkan oleh Pol Pot. Mereka lebih menginginkan revolusi yang damai tanpa adanya pemaksaan dan penindasan.28 Masa selanjutnya zona ini menjadi zona yang eksklusif dan paling damai. Zona ini juga memiliki kecenderungan dengan komunis Vietnam. Selanjutnya rezim Khmer Merah membagi masyarakat Kamboja menjadi dua golongan, yakni Orang Lama, dan Orang Baru. Orang lama merupakan orang yang telah terlebih dahulu bergabung dengan Khmer Merah sebelum mereka berhasil berkuasa di Kamboja pada 17 April 1975. Mereka inilah yang kemudian dijadikan sebagai kader-kader pemimpin oleh Khmer Merah. Sedangkan Orang Baru adalah mereka yang mengikuti Khmer Merah setelah kemenangannya pada tahun 1975. Orang Baru mendapatkan pengawasan yang lebih ketat, mereka 27 Ramlan Surbakti dkk, Kampuchea Tahun 1975-1979, (UNAIR: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1990), hlm. 68. 28 Ibid., hlm. 69 59 dianggap sebagai parasit yang suatu saat bisa saja menjadi ancaman bagi pemerintahan Khmer Merah.29 Selain itu rezim Khmer Merah juga menerapkan kebijakan penggunaan baju hitam bagi seluruh rakyat Kamboja sebagai simbol kesetaraan. Rezim Khmer Merah menerapkan kebijakan pemisahan hidup bersama dalam satu keluarga. Seorang anak tidak diperkenankan tinggal dengan orang tuanya, mereka diberikan tempat tersendiri di bawah pengawasan ketat pemerintah Khmer Merah.30 Tak tanggung-tanggung, bahkan pemerintah Khmer Merah mendidik dan melatih semua anak-anak untuk memegang senjata. Mereka diberikan kepercayaan penuh oleh pemerintah Khmer Merah, karena mereka menganggap anak-anak masih bersih dari pengaruh doktrin, sehingga memudahkan bagi pemerintah Khmer Merah untuk memengaruhi mereka. Ketika berhasil memasuki desa-desa Muslim, Khmer Merah menerapkan kebijakan khusus bagi umat Islam. Kebijakan tersebut tertuang dalam Five Point Plans, yakni lima peraturan yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam, di antaranya: “All women cut their hair short and would be forbidden to cover their heads All copies of the Qur’an would be burned Pigs would be raised by Cham Muslim and they would required to eat pork There would be no more canonical prayer (salat) and all place of communal worship would be closed In the future Cham Muslim villagers (men and women) would have to wed spouse who were non-Muslim when they got married.”31 Terjemahan: 29 Farina So, The Hijab of Cambodia Memories of Cham Muslim Women After the Khmer Rouge, (Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2011), hlm. 80. 30 Ibid., hlm. 85. 31 Ysa Osman, The Cham Rebellion Survivors Stories From The Village, (Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2006), hlm. 55. 60 Semua wanita harus memotong pendek rambutnya dan dilarang menggunakan hijab. Bakar semua salinan al-Qur’an Babi harus dijadikan peliharaan oleh Cham Muslim dan mereka disuruh untuk memakannya. Dilarang melaksanakan shalat dan semua tempat ibadah umat Islam akan ditutup. Penduduk Cham Muslim baik laki-laki maupun perempuan diharuskan menikah dengan pasangan yang non-Muslim. Kebijakan tersebut diterapkan oleh pemerintah Khmer Merah pada tahun 1975 ketika belum disahkannya Konstitusi Khmer Merah.32 Kebijakan tersebut dirasakan berat bagi umat Islam Kamboja. Karena sangat bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam agama Islam. Namun demikian umat Islam tetap dipaksakan untuk melaksanakan perintah tersebut. Pada tanggal 5 Januari 1976 pemerintah Khmer Merah mempublikasikan Konstitusi Demokratic Kampuchea (Demokratic Kampuchea Constitution).33 Yang bersisi 15 Bab dan 21 Pasal. Konstitusi ini mengatur mulai dari dasar negara Kamboja, perekonomian, budaya, kebijakan asing sampai dengan pasal yang membahas mengenai ibadah dan keagamaan.34 Penulis akan mencoba mengulas dua bab yang berkaitan dengan hak dan kewajiban warganegara dan bab yang membahas mengenai peribadatan dan keagamaan. 32 Konstitusi Khmer Merah atau Demokratic Kampuchea Constitution adalah perundangundangan yang menjadi dasar negara Kamboja di bawah pemerintah Khmer Merah. Konstitusi ini dibuat dalam pertemuan kader Khmer Merah yang dilangsungkan di Phnom Penh pada tanggal 15 sampai dengan 19 Desember 1975. Namun baru diumumkan pada 5 Januari 1976. Lihat: Demokratic Kampuchea Constitution 1976 E3/259, (Phom Penh: Document Center of Cambodia). Tersedia di: http://www.eccc.gov.kh/sites/default/files/documents/courtdoc/E3_259_EN.PDF (akses: 14 Mei 2014) 33 Ibid., 34 Terkait konstitusi Demokratic Kampuchea penulis menemukan tiga versi konstitusi yang diterbitkan oleh pihak yang berbeda. Pertama oleh Document Center of Cambodia- DCCAM, dan yang kedua termuat dalam buku Franҫois Ponchaud, Cambodia Year Zero, yang terbit pada tahun 1978. Dan yang penulis temukan dalam bulletin Khmer Merah yang berjudul Demokratic Kampuchea a Workers and Peasants State in South-East Asia tahun 1977. Setelah penulis bandingkan ketiganya ternyata tidak terdapat perbedaan dalam kontennya. 61 Dalam Bab 9 Demokratic Kampuchea Constitution mengulas mengenai hak dan kewajiban individu masyarakat Kamboja (The Right and Duties of the Individual).Bab ini terdiri atas 3 Pasal, di antaranya: Pasal 1: “Every citizen of Cambodia is fully entitled to a constantly improving material, spiritual, and cultural life. Every citizen of Cambodia is guaranteed a living. All workers are the master of their factories. All peasnts are the master of the rices paddies and fields. All other working people have the right to work. There Absolutely no anemployment in Demokratic Kampuchea.” Terjemahan: Setiap warga negara Kamboja memiliki hak penuh untuk senantiasa meningkatkan kehidupan materi, rohani, dan kebudayaannya. Setiap warga negara Kamboja dijamin kehidupannya. Semua pekerja adalah pemilik dari pabrik mereka. Semua petani adalah pemilik dari beras dan sawah mereka. Semua pekerja berhak mendapatkan pekerjaan. Tidak ada pengangguran di Demokratic Kampuchea Pasal 2: “The must be complete equality among all Cambodian peoples in an equal, Just, demokratic, harmonious, and happy society within the great national union for defending and building the country. Man and women are equal in every respect. Polygamy and polyandry are prohibited” Terjemahan: Kesetaraan menjadi hal yang wajib bagi masyarakat Kamboja, sebagai perwujudan, masyarakat yang demokratis, harmonis, dan bahagia guna menciptakan persatuan nasional untuk mempertahankan dan membangun negara. Pria dan wanita adalah setara dalam segala hal. Poligami dan poliandri dilarang. Pasal 3: 62 “It is the duty of all defend and build the country together in accordance with individual ability and potential.”35 Terjemahan: Kewajiban bagi semua masyarakat adalah mempertahankan dan membangun negeri bersama-sama sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan setiap individu. Selanjutnya dalam bab 15 Khmer Merah mengulas bab mengenai peribadatan dan keagamaan (Worship and Religion) yang terdiri atas satu pasal, di antaranya: “Every citizen of Cambodia has the right to worship according to any religion and right not to worship according to any religion. All ractionary religions which are detrimental to Demokratic Kampuchea and the Cambodia people are stricly forbidden.”36 Terjemahan: Setiap masyarakat Kamboja diperbolehkan untuk beribadah menurut agama apa saja dan tidak diperbolehkan beribadah menurut agama lain. Semua agama reaksioner yang mengancam Demokratic Kampuchea dan masyarakat Kamboja dilarang keras. Mengenai kebijakan terkait etnis minoritas tidak diatur dalam konstitusi. Tidak diketahui secara pasti mengapa demikian. Hanya dalam Eight Point Plans pemerintah Khmer Merah menyebutkan secara jelas kebijakan pengusiran etnis Vietnam. Hal tersebut merupakan buntut dari perselisihan antara pemerintah Khmer Merah dan Vietnam. Secara teori nampaknya rezim Khmer Merah tidak memandang perbedaan etnis di Kamboja sebagai permasalahan yang berarti sehingga harus diatur sedemikian rupa dalam konstitusi. Pemerintah Khmer Merah menganggap semua masyarakat Kamboja setara tanpa perbedaan etnis dan status. Selama mereka masih mentaati dasar negara dan kewajiban individu. Demokratic Kampuchea Constitution Bab 9, dalam Franҫois Ponchaud, Cambodia Year Zero, (Terj.), (New Zeland: Pinguin Books, 1978), hlm. 223-224. 36 Ibid., hlm. 225. 35 63 Meskipun dalam praktiknya rezim Khmer Merah kerap kali mengedepankan kepentingan etnis Khmer sebagai langkah untuk melakukan asimilasi etnis minoritas ke dalam etnis Khmer atau Khmerisasi. . C. Motif Penindasan dan Diskriminasi Khmer Merah terhadap Muslim Kamboja Sejauh ini berbagai literatur belum mendalami permasalahan mengenai motif yang melatarbelakangi pemerintah Khmer Merah melakukan penindasan terhadap Muslim Kamboja. Kebanyakan kajian hanya memfokuskan pada bentukbentuk penindasan yang dilakukan pemerintah Khmer Merah, tanpa mengkritisi apa kiranya hal yang melatarbelakangi peristiwa tersebut. Sebuah peristiwa terjadi pasti memiliki kausalitas atau sebab akibat. Maka dari itu perlu kiranya menelusuri lebih jauh mengenai permasalahan tersebut guna mengungkap permasalahan yang belum terjawab. Tiga tahun setelah pemerintah Khmer Merah berkuasa di Kamboja dan setelah disahkannya Demokratic Kampuchea Constittion pada 1976, diberitakan bahwa sekitar 2,5 juta dari 7 juta rakyat Kamboja mati.37 Matinya rakyat Kamboja disebabkan karena kelaparan, penyakit, dan pembantaian yang dilakukan tentara pemerintah Khmer Merah.38 Dapat dikatakan bahwa genosida atau pembunuhan masal ini merupakan genosida terbesar pasca Perang Dunia Kedua. Menurut Ysa Osman, sekitar 500.000 dari 700.000 Muslim Kamboja juga mati karena hal yang sama.39 Sebanyak 113 masjid dihancurkan dan dialihfungsikan.40 Para hakem dan Mc Govern, “2,5 Juta Rakyat Kamboja Mati Kelaparan,” Merdeka, 24 Agustus 1978. Ibid., 39 Ysa Osman, OUKOUBAH Justice For the Cham Muslim Under the Demokratic Kampuchea, (Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2002), hlm. 2. 37 38 64 tuon juga menjadi sasaran pembantaian.41 Para tokoh besar agama Islam banyak yang menjadi target pembunuhan dan pembantaian, di antaranya, grand mufti Hadji Abdullah bin Idres (Res Las), wakil mufti satu Hadji Sulaiman Shukry, wakil mufti dua Hadji Math Saleh Slaiman, Hadji Math Liharoun ketua CIS, dan Man Set ketua AKIY.42 Selain itu terdapat pula beberapa petinggi Muslim yang duduk di beberapa posisi penting dalam pemerintahan yang juga dieksekusi, di antaranya, kolonel polisi militer pada masa Lon Nol El Brahim, anggota senat pada masa Lon Nol Haji Saleh Yahya, pemimpin FULRO Ibaham En Noul, dan ketua dari gerakan Muslim Cham Soh Man.43 Menganai kondisi Les Kosem pada masa pemerintah Khmer Merah tidak diketahui secara pasti, namun kabar yang beredar ia melarikan diri ke Thailand Selatan. Selain pembantaian beberapa petinggi Muslim, umat Islam dilarang untuk menggunakan atribut keislaman seperti hijab, peci, sarung dan sebagainya. alQur’an dan keitap44 yang menjadi pedoman umat Islam juga menjadi sasaran pemusnahan. Pemerintah Khmer Merah juga melarang semua praktik keagamaan umat Islam seperti sembahyang, puasa, dan sebagainya. Berbagai rentetan kisah pilu tersebut merupakan fakta yang terjadi pada masa pemerintah Khmer Merah. Namun sampai sekarang tidak diketahui secara 40 Seddik Taouti, Forgotten Muslim Kampuchea and Vietnam, dalam Ahmad Ibrahim dkk, Readings on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1985), hlm. 194. 41 Khmboly Dy, A History of Demokratic Kampuchea 1975-1979, (Phom Penh: Deocument Center of Kampuchea, 2007), hlm. 43. 42 Ibid., hlm.122-123. Lebih jelas mengenai para petinggi Muslim yang di eksekusi pada masa Khmer Merah lihat lampiran. 43 Ysa Osman, OUKOUBAH Justice For the Cham Muslim Under the Demokratic Kampuchea, hlm. 125. Lebih jelas lihat lampiran. 44 Keitap merupakan buku yang mengajarkan keislaman dan al-Qur’an. Lebih lanjut lihat: Ysa Osman, OUKOUBAH Justice fot the Cham Muslim under the Demokratic Kampuchea, (Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2002), hlm. 3. 65 pasti apa yang melatarbelakangi tindakan Khmer Merah tersebut. Mengingat sebuah peristiwa tidak tunggal penyebabnya. Maka dari itu, dalam tulisan ini penulis berusaha menganalisa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Penulis akan menguraikan sedikitnya tiga faktor yang berhasil penulis amati sejauh membaca berbagai literatur mengenai Muslim Kamboja, di antaranya: 1. Loyalis Rezim Lon Nol Sebelum naiknya Khmer Merah pada tampuk kekuasaan tertinggi di Kamboja, Khieu Samphan salah seorang petinggi CPK mengatakan bahwa, jika suatu saat CPK berhasil berkuasa, maka ia akan menghabisi semua pejabat pemerintah rezim Lon Nol jika tidak bergegas meninggalkan Kamboja. Selaras dengan keinginan Sihanouk yang juga sangat berambisi untuk membunuh semua aparatur rezim Lon Nol.45 Hal tersebut didasari dendam kudeta pemerintahan Lon Nol terhadapnya. Bahkan tak tangung-tanggung pemerintah Khmer Merah menetapkan loyalis rezim Lon Nol sebagai golongan yang menduduki posisi pertama dalam daftar musuh internal Khmer Merah (internal enemies).46 Tujuan CPK adalah ingin melakukan perubahan secara fundamental. Sehingga segala sesuatu yang berbau Lon Nol harus dihabiskan. Khmer Merah juga ingin menghapuskan pengaruh Amerika Serikat yang terus membayangi Kamboja pada masa rezim Lon Nol. Untuk menciptakan komposisi masyarakat komunis yang ideal, harus menghapus generasi yang sudah terkontaminasi dengan rezim sebelumnya, bahkan dengan kekerasan sekalipun. “Phnom Penh Menyerah,” Kompas, 18 April 1975. Khmer Merah membagi musuh mereka menjadi dua golongan, yakni musuh internal dan musuh eksternal. Musuh internal yang ditetapkan Khmer Merah diantaranya, loyalis rezim Lon Nol, etnis minortas, dan Cham Muslim. Sedangkan musuh eksternal ialah Amerika Serikat dan sekutunya, Thailand, dan beberapa negara Sosialis seperti Vietnam dan Uni Soviet. Lebih lanjut lihat: Ysa Osman, OUKOUBAH Justice fot the Cham Muslim, hlm. 42. 45 46 66 Pada masa Lon Nol baru pertama kalinya umat Islam mendapat jabatan penting dalam pemerintahan. Seperti yang pernah penulis singgung pada bagian sebelumnya. Les Kosem menjadi Muslim Cham cukup menjadi sorotan, karena sebagai salah seorang Muslim ia berhasil menduduki jabatan yang cukup berpengaruh dalam kemiliteran Kamboja. Setelah jatuhnya Kamboja ke tangan pemerintah Khmer Merah, Les Kosem pun harus melarikan diri ke Thailand. Sangat dimungkinkan larinya Les Kosem dilakukan untuk menghindari incaran Khmer Merah. Selain Les Kosem juga banyak terdapat tokoh Muslim Kamboja yang menduduki posisi penting pada masa Lon Nol. Hal tersebut cukup menggambarkan kedekatan Lon Nol dengan umat Islam Kamboja. Pemerintah Khmer Merah menganggap umat Islam yang memiliki kedekatan dengan Lon Nol sebagai loyalis rezimnya, sehingga dijadikan sebagai target pembunuhan. Terutama para elit Muslim yang menduduki jabatan penting tersebut. Jika mengacu kepada gagasan monoisme komunis, penganut ideologi komunis dalam hal ini Khmer Merah, tidak menghendaki keberadaan oposisi dan perbedaan-perbedaan yang menimbulkan perpecahan, sehingga persatuan dipaksakan dan oposisi menjadi target penindasan.47 Singkatnya kedekatan umat Islam dengan rezim Lon Nol dianggap sebagai oposisi yang nantinya akan menjadi ancaman bagi pemerintah Khmer Merah. Sehingga cukup beralasan bagi Khmer Merah menjadikan umat Islam sebagai target penindasan dan pembunuhan. Namun kesimpulan penulis pada hal ini berlaku hanya pada elit Muslim yang memiiki kedekatan dengan rezim Lon Nol. 47 Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 88. 67 2. Kebijakan Diskriminatif Perlu kiranya menganalisa lebih dalam mengenai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Khmer Merah terhadap penganut agama di Kamboja khususnya umat Islam. Mengingat kebijakan ini digadang-gadang sebagai pangkal dari rentetan penindasan pemerintah Khmer Merah terhadap umat Islam. Penulis akan menguraikan dua kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Khmer Merah, yakni kebijakan sebelum tahun 1976 atau Five Point Plans dan kebijakan yang tertuang dalam Demokratic Kampuchea Constitution. Khmer Merah melakukan gerilya untuk menjatuhkan rezim Lon Nol dengan menguasai wilayah-wilayah di pedesaan. Mereka mencoba mencari simpati dari masyarakat pedesaan yang terdiri atas sebagian besar petani dan nelayan. Bahkan berusaha berusaha merekrut mereka untuk masuk ke dalam Khmer Merah. Beberapa desa Muslim di Kampong Cham juga tak terlewatkan dari jamahan tentara Khmer Merah. Terutama di tiga desa besar yang menjadi basis terbesar umat Islam, yakni Kroch Chhmar, Koh Pah, dan Svay Khleang. Sejak tahun 1973 Khmer Merah telah berhasil menjalin komunikasi dengan ketiga desa Muslim tersebut.48 Khmer Merah mencoba merekrut mereka untuk masuk sebagai anggota Khmer Merah dan meminta agar para buruh tani tersebut mengubah cara bertani mereka sesuai dengan konsep Khmer Merah. Setelah itu pada tahun 1975 diterapkanlah Five Point Plans yang diperuntukkan khusus bagi umat Islam. Yang isinya sebagai berikut : “All women cut their hair short and would be forbidden to cover their heads All copies of the Qur’an would be burned Pigs would be raised by Cham Muslim and they would required to eat pork 48 Ysa Osman, The Cham Rebellion Survivors Stories From The Village, (Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2006), hlm. 55. 68 There Would be no more canonical prayer (salat) and all place of communal worship would be closed In the future Cham Muslim villagers (men and women) would have to wed spouse who were non-Muslim when they got married.”49 Terjemahan: Semua wanita harus memotong pendek rambutnya dan dilarang menggunakan hijab. Bakar semua salinan al-Qur’an. Babi harus dijadikan peliharaan oleh Cham Muslim dan mereka akan diminta untuk memakan dagingnya. Dilarang melaksanakan shalat dan semua tempat ibadah umat Islam akan ditutup. Pada masa selanjutnya Cham Muslim baik laki-laki maupun perempuan diharuskan menikah dengan pasangan yang non-Muslim. Umat Islam di tiga desa di wilayah Kampong Cham menolak untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Mulai dari masuk ke dalam Khmer Merah, merevolusi bidang pertanian mereka, sampai pelaksanaan Five Point Plans. Umat Islam menganggap kebijakan tersebut memberatkanya karena bertentangan dengan norma-norma agama Islam.50 Menurut beberapa saksi hidup Muslim Kamboja pada masa pemerintah Khmer Merah, para tentara Khmer Merah kerap kali memperlakukan mereka dengan cara yang keji dan tidak berperikemanusiaan. Mereka menghina Islam sebagai polusi dan agama rendahan. Selain itu rezim Khmer Merah juga melakukan penghinaan terhadap kitab suci agama Islam dengan menjadikannya lembaran-lembaran kitab suci tersebut sebagai tisu toilet.51 Berbagai tindakan rezim Khmer Merah ini menuai protes dan penolakan. 49 Ibid., Ibid., 51 Peristiwa tersebut merupakan kesaksian salah seorang Muslim bernama Halimah yang hidup pada masa Khmer Merah. Farina So menceritakan lebih lanjut mengenai kesaksian para Muslimah yang hidup pada masa Khmer Merah dalam, Farina So, The Hijab of Cambodia, Memories of Cham Muslim Women After the Khmer Rouge, (Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2011). 50 69 Namun mereka merespons kejam perotes dan penolakan tersebut dengan memborbardir ketiga desa tersebut menggunakan bom dan senjata.52 Setelah itu pemerintah Khmer Merah memencarkan seluruh penduduk desa tersebut sehingga mereka tidak lagi hidup secara eksklusif. Beberapa dari mereka akhirnya dipenjarakan. Tercatat ratusan umat Islam mati dalam insiden terebut.53 Setelah peristiwa pembangkangan tersebut, akhirnya umat Islam dimasukkan ke dalam daftar musuh internal (internal enemies)54 Khmer Merah karena rentan akan sifat mereka yang reaksioner. Pada tahun 1976 ditetapkanlah Demokratic Kampuchea Constitution. Dalam pembahasan ini penulis akan mencoba menguraikan isi dari Demokratic Kampuchea Constitution bab sembilan dan lima belas yakni bab yang terkait dengan hak dan kewajiban serta keagamaan. Dalam bab sembilan jelas dikatakan bahwa setiap warganegara Kamboja diberikan hak kebebasan untuk meningkatkan kehidupan materi, rohani, dan berbudaya.55 Hemat penulis kebijakan ini jelas memberikan gambaran bahwa Konstitusi Khmer Merah menghendaki kebebasan individu, terutama dalam tiga aspek yang disinggung dalam bab sembilan tersebut. Meskipun lebih lanjut tidak terdapat penafsiran mengenai bab ini, namun jika dilihat secara literal selama kewajiban tersebut diaplikasikan tidak terjadi permasalahan bagi pemerintah Khmer Merah. Namun dalam praktiknya, masyarakat Kamboja tidak diberikan kebebasan untuk menjalankan tiga hal tersebut. Dalam hal materi mereka sangat dibatasi. 52 Ysa Osman, The Cham Rebellion Survivors, hlm. 55. Ibid., hlm. 56 54 Khmboly Dy, A History of Demokratic Kampuchea 1975-1979, (Phom Penh: Deocument Center of Kampuchea, 2007), hlm. 43. 55 Demokratic Kampuchea Constitutions Bab 9 pasal 1, dalam Francois Ponchaud, Cambodia Year Zero(Terj.), (New Zeland: Pinguin Books, 1978), hlm. 223-224. 53 70 Mereka dilarang menggunakan uang, dilarang hidup dalam satu keluarga, dan sebagainya. Hal ini berlaku bagi seluruh rakyat Kamboja. Begitupun dengan kehidupan rohani, umat Islam tidak diberikan kebebasan untuk menjalankan praktik keagamaannya seperti shalat dan puasa. Menurut Ysa Osman, dalam praktiknya pemerintah Khmer Merah malah dengan tegas ingin menghapuskan semua agama yang ada di Kamboja.56 Jika mengacu pada Bab limabelas Constitution of Demokratic Kampuchea, memang tidak terdapat kebijakan yang terkesan menyudutkan penganut agama. Bahkan pemerintah Khmer Merah memberikan kebebasan bagi pemeluk agama untuk melaksanakan ibadah dan menjaga keyakinanya.57 Bagian tersebut hanya memberikan peringatan pelarangan bagi agama yang bersifat reaksioner. Menurut Ysa Osman kebijakan ini berlaku bagi semua agama yang bersifat reaksioner.58 Umat Islam dianggap sebagai agama yang membangkang dan mengancam keberlangsungan pemerintahan Khmer Merah. Sangat dimungkinkan penerapan kebijakan ini ditujukan kepada umat Islam. Dikarenakan berdasarkan pengalaman Khmer Merah, umat Islam di beberapa desa mencoba memberontak melawan kebijakan rezim Khmer Merah. Maka dari itu pemerintah Khmer Merah menggolongkan Islam ke dalam agama yang reaksioner. Sehingga pada masa selanjutnya pemerintah Khmer Merah menaruh perhatian besar terhadap gerak-gerik umat Islam, dan kerapkali melakukan tindakan yang diskriminatif terhadap mereka. 56 Ysa Osman, OUKOUBAH Justice For the Cham Muslim Under the Demokratic Kampuchea, (Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2002), hlm.6. 57 Demokratic Kampuchea Constitutions, Bab 15 pasal 1, dalam Franҫois Ponchaud, Cambodia Year Zero. (Terj.), (New Zeland: Pinguin Books, 1978), hlm. 225-226. 58 Ysa Osman, OUKOUBAH Justice fot the Cham Muslim, hlm. 6. 71 3. Latar Belakang Etnis Pebedaan etnis juga menjadi alasan penindasan yang dilakukan pemerintah Khmer Merah terhadap umat Islam. Hampir seluruh penganut agama Islam di Kamboja adalah etnis Cham dan Melayu yang mana mereka berasimilasi menjadi Cham-Chvea atau Khmer Islam. Merujuk pada hasil wawancara Ysa Osman terhadap korban pemerintah Khmer Merah yang mengatakan bahwa, ketika mereka ditempatkan di Tuol Sleng atau penjara S-2159 sebelum mereka menerima hukuman, terlebih dahulu mereka ditanya apakah mereka etnis Khmer atau Cham.60 Ketika diketahui mereka etnis Cham, maka mereka dipisahkan dengan etnis Khmer dan diberikan perlakuan yang berbeda. Menurut Farina So dalam wawancaranya dengan salah seorang korban pemerintah Khmer Merah, pemerintah Khmer Merah selalu mengungkit-ungkit etnis Cham sebagai imigran ilegal pelarian dari Kerajaan Champa dalam setiap interogasinya.61 Tujuan utama dari rezim Khmer Merah dalam masalah kebudayaan adalah ingin melakukan Khmerisasi. Sebagai contoh, etnis Cham dilarang untuk menggunakan bahasa Cham, dan mereka dipaksa untuk menanggalkan semua kebudayaan Muslim Cham, dan menggantikannya dengan budaya Khmer. Hal ini 59 Tuol Sleng atau Penjara S21 adalah lokasi penahanan, introgasi dan ekseskusi tahanan oleh Khmer Merah. Tempat ini akrab disapa ladang pembantaian (Killing Fields). Tuol Sleng berlokasi di Svay Prey, selatan Phnom Penh. Dahulunya tempat ini merupakan sekolah menengah atas bernama Tuol Svay Prey High School, namun setelah kejatuhan Kamboja ke tangan Khmer Merah, tempat ini diubah menjadi penjara. Tercatat sejak tahun 1976 sekitar 20-30 orang dieksekusi mati di tempat ini setiap harinya. Jumlah tersebut meningkat pada tahun 1978, sekitar 100-250 orang diseksekusi mati. Setelah kejatuhan Khmer Merah, Tuol Sleng dijadikan Museum untuk mengenang tragedi Khmer Merah. Lebih lanjut mengenai penjara S21 lihat: Khmboly Dy, A History of Demokratic Kampuchea 1975-1979, (Phom Penh: Document Center of Cambodia, 2007), hlm. 48-55. 60 Ysa Osman, OUKOUBAH Justice fot the Cham Muslim, hlm. 6. 61 Farina So, The Hijab of Cambodia, Memories of Cham Muslim Women After the Khmer Rouge, (Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2011), hlm. 55. 72 dikuatkan dengan deklarasi Khmerisasi yang dilakukan oleh Khmer Merah, yang berbunyi: “There in Kampuchea Revolution. In Kampuchea there is one nation and one language, the Khmer language. From now and the various nationalities (listed according to province) do not exist any longer in Kampuchea. Therefore (Cham) individuals any change their names by taking news similiar to Khmer Names. The Cham Mentality (Cham national, language, costume, habits, and religion) are abolished. Those who do not abide by this order will reap all consecuences.”62 Terjemahan: Ini adalah revolusi Kamboja. Di Kamboja hanya ada satu negara dan satu bahasa, yaitu bahasa Khmer. Mulai sekarang semua jenis kebangsaan tidak diperkenankan berada di Kamboja. Oleh karena itu setiap orang (Cham) harus mengganti nama mereka dengan nama baru serupa dengan nama Khmer. Identitas etnis Cham (kewarganegaraan Cham, bahasa, pakaian, kebiasaan, dan agama) dihapuskan. Bagi siapa saja yang tidak mematuhi peraturan akan menerima konsekuensianya. Berdasarkan fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa latar belakang etnis juga menjadi salah satu faktor penindasan yang dilakukan Khmer Merah terhadap umat Islam Kamboja demi tercapainya program Khmerisasi yang dilakukan oleh pemerintah Khmer Merah. Dalam hal ini terdapat kesenjangan antara teori dan fakta. Secara teori Khmer Merah memberikan kebebasan bagi rakyatnya untuk mendapatkan haknya dalam menjalankan kehidupannya. Khmer Merah juga tidak memandang rakyat Kamboja sebagai sebuah kelas yang berbeda, baik dalam sudut pandang ekonomi maupun etnis dan agama. Namun dalam praktiknya, Khmer Merah kerap kali bersikap diskriminatif terhadap etnis selain Khmer, terutama dengan etnis Cham. Hal senada juga diungkapkan oleh Ricklef, bahwa Khmer Merah menspesifikan 62 Ibid., hlm. 56. 73 diskriminasinya pada etnis minoritas seperti Cham dan Vietnam.63 Namun menurut Ramlan Surbakti salah tim peneliti dari Universitas Airlangga memang terdapat kesenjangan antara apa yang tertuang dalam konstitusi dan praktik di lapangan.64 Menurut mereka, elite dan Konstitusi Khmer Merah tidak menghendaki terjadinya hal tersebut. Namun kerap kali instruksi dilakukan berbeda dan jauh dari apa yang telah menjadi aturan. Mereka para ketua distrik65 yang berkontak langsung dengan pekerja maupun dengan tahanan bertindak semena-mena di luar apa yang telah digariskan. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi perburuan para loyalis rezim Lon Nol. Karena Khieu Samphan dan Sihanouk menegaskan akan mengejar dan mengeksekusi mati para petinggi dan loyalis rezim Lon Nol jika CPK berhasil merebut tampuk kekuasaan dari tangan Lon Nol. Begitupun dengan kebijakan Five Point Plans yang diterapkan pemerintah Khmer Merah pada umat Islam. Kebijakan tersebut memang dirancang untuk mengeliminasi umat Islam Kamboja, karena mereka dianggap sebagai ancaman. Melihat kebanyakan umat Islam Kamboja hidup secara eksklusif, membuat mereka dapat dengan mudah melakukan pemberontakan. 63 M.C Ricklef, Sejarah Asia Tenggara dari Masa Klasik Hingga Masa Kontemporer. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), hlm. 649. 64 Ramlan Surbakti dkk, Kampuchea Tahun 1975-1985. (Universitas Airlangga: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1990). 65 Ketua distrik merupakan kader-kader Khmer Merah yang biasanya diberikan wewenang untuk mengawasi para pekerja, tanai, dan tahanan. Biasanya mereka berasal dari orangorang lama. 74 D. Respons Muslim Kamboja terhadap Kebijakan Politik Khmer Merah Setiap kebijakan pastinya menuai respons baik itu positif maupun negatif. Langkah pemerintah Khmer Merah yang ingin melakukan perubahan secara fundametal memang didukung oleh beberapa negara berhaluan komunis lain, terutama China. Sejak naiknya Khmer Merah ke tampuk pemerintahan pada April 1975, masyarakat Kamboja sangat menaruh harapan besar terhadap Khmer Merah yang dinilai pro terhadap rakyat, terutama kaum tani dan buruh. Maka dari itu dengan cepat Khmer Merah mendapatkan simpati dari sebagian besar rakyat Kamboja. Namun harapan besar tersebut nampaknya harus digantung oleh sebagian besar masayarakat Kamboja. Harapan besar mereka terhadap pemerintah Khmer Merah berubah menjadi petaka dan neraka bagi Kamboja. Ada masalah dengan konsep revolusioner Khmer Merah. Sehingga yang timbul adalah kesengsaraan, bukanlah kesejahteraan, terlepas dari segala niat baik yang dicita-citakan Khmer Merah, yakni Kamboja tanpa kelas sosial dan modern dalam sektor pertanian.66 Sekitar 2,5 juta orang harus meregang nyawa secara sia-sia pada masa rezim Khmer Merah.67 Kebijakan-kebijakan pemerintah Khmer Merah yang terkesan memberatkan dan menyudutkan para penganut agama dan etnis minoritas, akhirnya membuat timbulnya respons berupa pembangkangan-pembangkangan atau gerakan sosial. Meskipun pembangkangan ini tidak selalu respons dari kebijakan melainkan terdapat beberapa faktor lain, yakni rasa jera masyarakat Kamboja yang hidup di bawah tekanan, kelaparan, dan penyebaran wabah 66 67 “Rebutan Pulau Karena Minyak,” Kompas, 16 Juni 1975. Mc Govern, “2,5 Juta Rakyat Kamboja Mati Kelaparan,” Merdeka, 24 Agustus 1978. 75 penyakit. Berangkat dari berbagai permasalahan yang timbul itulah respons negatif bermunculan di seluruh elemen masayarakat Kamboja, tidak terkecuali dengan umat Islam. Sebenarnya umat Islam Kamboja telah terlebih dahulu merespons kebijakan-kebijakan pemerintah Khmer Merah. Respons tersebut berupa pemberontakan pada tahun 1975. Pemberontakan yang terjadi pada tahun 1975 merupakan bentuk dari reaksi umat Islam yang menolak untuk merealisasikan kebijakan pemerintah Khmer Merah yang tertuang dalam Five Point Plans yang seakan memaksa umat Islam untuk menanggalkan agamanya. Selain itu umat Islam juga menolak untuk masuk ke dalam organisasai Khmer Merah dan menolak untuk mereformasi sektor pertanian sesuai dengan konsep Khmer Merah. Umat Islam menolak masuk Khmer Merah karena ideologinya bertentangan dengan nilai-nilai keislaman yang mereka anut. Penolakan tersebutlah yang kemudian berbuah pemberontakan umat Islam di Kampong Cham. Namun pemberontakan tersebut dengan cepat dipadamkan, karena tidak mendapat simpati dari masyarakat lainnya. Di samping itu, Khmer Merah kala itu masih menjadi organisasi yang kuat dan mendapat dukungan yang besar dari masayarakat Kamboja. Khmer Merah kemudian menghancurkan desa-desa Muslim tersebut dan memencarkan umat Islam ke berbagai penjuru wilayah Kamboja. Muslim Kamboja juga ditetapkan sebagai musuh internal oleh Khmer Merah, sehingga selama mereka berkuasa gerak-gerik mereka dipantau. Hal ini membuat umat Islam Kamboja semakin tertekan, namun tidak berdaya untuk melakukan tindakan. 76 Buntut dari respons kebijakan dan tragedi kemanusiaan yang terjadi pada masa ini adalah, pada pertengahan Juli 1978 terjadi pemberontakan besar-besaran menentang pemerintahan Khmer Merah.68 Pemberontakan ini dipelopori oleh sebagian besar rakyat dan tentara Kamboja. Pemberontakan terjadi hampir di seluruh wilayah, terutama wilayah Svay Rieng, Prey Veng, Kampong Cham, dan beberapa tempat lain.69 Pemberontakan ini memang tidak diumumkan langsung oleh pemerintah Khmer Merah, melainkan melalui radio Hanoi. Karena pemerintah Khmer Merah lebih cenderung tertutup jika terdapat informasi negatif terkait negaranya. Menurut para pengungsi korban Khmer Merah, pemberontakan ini memang telah dinanti-nantikan rakyat sejak lama.70 Sebelumnya rakyat Kamboja masih memendam hasrat untuk memberontak, karena mereka tidak memiliki kekuatan militer. Namun pasca invansi Vietnam hasrat memberontak mereka kian membesar. Pemberontakan ini merupakan reaksi dari ketertindasan rakyat Kamboja selama kepemimpinan Khmer Merah. Kali ini Muslim Kamboja tidak sendiri menentang Khmer Merah, melainkan bersama seluruh masyarakat Kamboja dan tentara Vietnam, yang merupakan musuh utama Khmer Merah. Akhirnya pada 9 Januari 1979 Khmer Merah harus merelakan tampuk kekuasannya direbut oleh Front Pembebasan Nasional Kamboja (Kampuchean National United Front for National Salvation - KNUFNS) di bawah pimpinan Heng Samrin dan Hun Sen. Seperti yang penulis singgung sebelumnya, bahwa lebih dari 2,5 juta rakyat Kamboja mati karena kelaparan, penyakit, dan eksekusi mati, di mana 500.000 di antaranya adalah umat Islam. Pemerintah Khmer Merah memaksa “Situasi Kamboja Gawat Lagi,” Merdeka, 13 Juli 1978. “Situasi Kamboja Gawat Lagi,” Merdeka, 13 Juli 1978. 70 “Pemberontakan di Kamboja ?”, Kompas, 13 Juli 1978. 68 69 77 rakyat Kamboja untuk bekerja keras di ladang dengan peralatan yang sangat sederhana. Namun ketersediaan makanan yang tidak mencukupi akhirnya membuat banyak rakyat Kamboja yang mati kelaparan. Selain itu penindasan yang dilakukan juga menjadi cikal bakal bergeraknya masyarakat Kamboja menentang pemerintahan Khmer Merah. Khmer Merah berubah dari pembebas menjadi penindas dikarenakan keinginan mereka yang ingin melakukan perubahan secara fundamental dan cepat, sehingga kekerasan dipandang sebagai cara yang paling tepat. Hal ini selaras dengan teori gerakan sosial dengan pendekatan konflik yang dikemukakan Rafael Raga Maran. Umat Islam dan masyarakat Kamboja yang mengalami kesulitan ekonomi sehingga banyak dari mereka yang mati kelaparan. Pemerintah tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan masyarakatnya. Karena rencana kedaulatan pangan yang direncanakan pemerintah Khmer Merah tidak mencapai target. Sehingga rakyat menjadi korban. Selain itu berbagai penyakit mulai menjangkiti masyarakat Kamboja. Hal ini dikarenakan lingkungan yang kotor, di mana mayat-mayat banyak berserakan di jalan, pinggiran sungai, danau, dan lubang-lubang pembantaian. Sehingga memicu timbulnya penyakit yang menyerang warga. Selain itu kurangnya fasilitas kesehatan juga menjadi faktor rendahnya tingkat kesehatan masayarakat Kamboja pada masa rezim Khmer Merah. Di tambah lagi dengan ketertindasan rakyat akibat prilaku dan kebijakan Khmer Merah terutama yang ditujukan kepada umat Islam. Beberapa fakta tersebut yang kemudian menjadi faktor bergeraknya masyarakat Kamboja menentang pemerintahan Khmer Merah. Hal ini memang tidak hanya dilakukan 78 oleh umat Islam melainkan bersama masyarakat Khmer, termasuk dengan tentara Vietnam yang menjadi musuh utama pemerintah Khmer Merah.71 71 Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational the Case of Cambodia, (Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 41. 79 BAB IV MUSLIM KAMBOJA PASCA KEJATUHAN REZIM KHMER MERAH A. Faktor Kejatuhan Rezim Khmer Merah Pada 7 Januari 1979 pemerintah Khmer Merah harus merelakan tampuk kekuasaannya diambil alih oleh Front Pembebasan Nasional Kamboja (Kampuchean National United Front for National Salvation - KNUFNS).1 KNUFNS merupakan front persatuan yang didirikan oleh kader-kader Khmer Merah pro Vietnam yang memberontak. Organisasi politik ini didirikan pada tanggal 3 Desember 1978 dengan bantuan Vietnam, yang diumumkan melalui radio Hanoi.2 Setidaknya terdapat beberapa faktor yang berhasil penulis rangkum terkait faktor kejatuhan pemerintah Khmer Merah. Penulis membaginya menjadi dua faktor yakni: 1. Faktor Internal Faktor internal yang menyebabkan pemerintah Khmer Merah jatuh adalah kegagalannya dalam merevolusi bidang pertanian. Dalam Rencana Empat Tahunan (The Party’s Four Year to Build Socialism in All Fields) pemerintah Khmer Merah mentargetkan 3 ton beras dalam 1 hektar.3 Hal ini ditingkatkan dari masa sebelumnya. Namun target tersebut sulit dicapai karena beberapa faktor, di antaranya, tidak menunjangnnya peralatan pertanian. Para petani di masa pemerintahan Khmer Merah masih menggunakan sistem dan peralatan yang 1 Lebih jauh mengenai KNUFNS lihat: Pentti Hollappa, Kampuchea in The Seventies, (Finlandia: Kampuchea Inquiry Commision, 1982), hlm. 24-28 2 Justus van der Kroef, Cambodia: From “Demokratic Kampuchea” To “People’s Republic dalam, Asian Survei vol. XIX, No. 8, (University of California Press, 1979), hlm 731. 3 David P. Chandler dkk, Pol Pot Plans The Future: Confidental Leadership Document From Demokratic Kampuchea 1976-1977, (New Haven: Yale University of Southeast Asian Studies, 1988), hlm. 37. 79 80 sederhana dalam mengelola lahan pertanian. Meskipun telah mendapatkan bantuan alat-alat pertanian dari China, namun jumlahnya memang tidak memadai. Ditambah dengan cuaca yang tidak mendukung, yang kerap kali menimbulkan banjir dan kemarau berkepanjangan. Beras sebagai komoditas utama Kamboja terus mengalami penurunan sejak tahun 1976. Akibatnya banyak rakyat Kamboja yang mati kelaparan karena produksi beras dalam negeri tidak dapat mencukupi kebutuhan rakyat. Sedangkan pemerintah Khmer Merah lebih memprioritaskan pasokan beras untuk ekspor dan kebutuhan tentara Khmer Merah yang berada di Phnom Penh.4 Dalam hal ini nampaknya pemerintah Khmer Merah terlalu memaksakan dan hanya ingin menampakkan bahwa mereka sudah berhasil melakukan swasembada beras. Padahal pada kenyataannya mereka jauh dari kata berhasil. Memang semenjak kejatuhan Kamboja ke tangan rezim Khmer Merah, Kamboja menjadi negara yang tertutup (Mistery State). Sehingga tidak diketahui secara pasti kondisi negara tersebut. Pemerintah Khmer Merah lebih cenderung menampilkan sisi baik dari pemerintahannya. Namun di balik itu semua tersimpan banyak kebobrokan. Hal ini terungkap pasca kejatuhan pemerintah Khmer Merah. Kegagalan pemerintah Khmer Merah dalam merevolusi bidang pertanian berbuntut pada banyaknya rakyat yang mati dan tumbuhnya gerakan-gerakan pemberontakan di berbagai daerah. Selain itu kekacauan perekonomian Kamboja dikarenakan pemerintah Khmer Merah tidak mengeskploitasi sumber daya alam lain seperti pertambangan, perdagangan, perikanan, dan beberapa sektor lainnya. Khmer Merah hanya berfokus pada bidang pertanian dan industri. Sehingga ketika 4 Khamboly Dy, A History of Demokratic Kampuchea, hlm. 58 81 bidang yang menjadi tumpuan tidak memenuhi ekspektasi, akibatanya fatal bagi perekonomian Kamboja. Faktor interal yang kedua adalah, timbulnya perpecahan dalam kubu Khmer Merah. Sejak berdirinya Khmer Merah memang para kadernya telah berselisih faham, sejak awal memang para kader Khmer Merah telah berbeda prinsip mengenai kata revolusi.5 Sebagian kader Khmer Merah yang di bawah Pol Pot menggaungkan slogan anti Vietnam. Sedangkan sebagian lainnya bersikap pro terhadap Vietnam. Hal inilah yang pada masa selanjutnya menjadi cikal bakal keretakan Khmer Merah. Karena perbedaan prinsip tersebut akhirnya kader-kader Khmer Merah zona timur yang pro Vietnam seperti Pen Sovan, So Phim, Heng Samrin dan Hun Sen akhirnya dianggap sebagai musuh oleh kubu Pol Pot dan kawan-kawannya. Sejak tahun 1976 Pol Pot berusaha melakukan pengawasan para kader Khmer Merah zona timur yang disangka pro Vietnam dan memiliki kecenderungan untuk memberontak.6 Puncak dari keretakan yang telah lama terjadi adalah, pada bulan April-Mei 1978 pemerintah Khmer Merah di bawah Pol Pot melakukan penculikan dan pembunuhan secara tiba-tiba kepada pemimpin dan kader Khmer Merah di zona timur.7 Kader Khmer Merah zona timur menganggap ini sebagai sebuah pengkhianatan. Dalam peristiwa tersebut So Phim 5 Menurut So Phim salah seorang pemimpin Khmer Merah zona timur, tujuan revolusi adalah mengangkat standar hidup masyarakat, bukan mengurangi orang kaya dan menjadikannya miskin atau memaksa rakyat dalam keadaan miskin seperti yang dilakukan Pol Pot. Ramlan Subakti dkk, Kampuchea Tahun 1975-1979, (UNAIR: Fakultas Ilmu Soslal dan Ilmu Politik, 1990), hlm. 39. 6 Michael Vickery, Cambodia 1975-1982, (Boston MA: South End Press, 1984), hlm. 192. 7 Ramlan Subakti dkk, Kampuchea Tahun 1975-1979, (UNAIR: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1990), hlm. 39. 82 pemimpin Khmer Merah zona timur terbunuh, pemimpin lainnya seperti Pen Sovan, Heng Samrin, dan Hun Sen berhasil melarikan diri ke perbatasan Vietnam. Banyak kader Khmer Merah yang pro Vietnam akhirnya melarikan diri ke dalam hutan dan bergabung dengan Vietnam. Kebanyakan dari kader Khmer Merah yang memberontak adalah wilayah bagian timur (east zone),8 yaitu wilayah yang berbatasan langsung dengan Vietnam dan memiliki jaringan yang kuat dengan Vietnam. Mereka yang melarikan diri ke Vietnam inilah yang kemudian menyusun strategi untuk menggulingkan pemerintahan Khmer Merah di bawah Pol Pot. Para kader yang berada di Vietnam itulah yang kemudian membentuk Front Penyelamatan Kamboja (KNUFNS) yang pada akhirnya dapat mengambil alih pemerintahan Kamboja dari tangan Khmer Merah. Faktor Internal yang terakhir adalah hilangnya dukungan rakyat terhadap pemerintah Khmer Merah. Simpati rakyat Kamboja yang ditujukan pada masa awal kepemimpinan Khmer Merah telah pupus. Cita-cita rakyat Kamboja hidup dalam kesejahteraan tinggal angan belaka. Khmer Merah menganggap bahwa rakyat masih berpihak pada mereka. Khmer Merah tak menyadari bahwa segala kebijakan dan tindakan Khmer Merah telah membuat rakyat menderita. Maka dari itu rakyat Kamboja seakan telah frustrasi hidup dalam bayang kesengsaraan. Analisa penulis terhadap hilangnya dukungan rakyat terhadap pemerintah Khmer Merah adalah, pada saat Vietnam melakukan invansi ke wilayah Kamboja pada tahun 1978, rakyat Kamboja tidak membantu tentara Khmer Merah dalam menghadang invansi Vietnam. Padahal Sihanouk dan Khieu Samphan telah memprovokasi rakyat agar bersama menentang agresi Vietnam. Namun yang 8 Khamboly Dy, A History of Demokratic Kampuchea, (Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2007), hlm.58. 83 terjadi sebaliknya rakyat menjadikan moment ini sebagai waktu yang tepat untuk memberontak kepada rezim Khmer Merah. Hal ini menyebabkan jatuhnya Kamboja di tangan militer Vietnam dengan mudah karena rakyat Kamboja tidak mendukung lagi pemerintahan Khmer Merah. b. Faktor Eksternal Faktor eksternal yang menyebabkan kejatuhan Khmer Merah adalah perseteruan panjang antara Kamboja dan Vietnam. Khmer Merah memang pada awalnya merupakan kepanjangan organisasi dari ICP dengan Vietnam sebagai aktor sentralnya. Indocina Communist Partylah yang banyak memberikan inspirasi bagi berdirinya Khmer Merah. ICP juga berjasa memberikan pelatihan militer bagi kader-kader Khmer Merah. Namun dalam perjalanannya terjadi selisih faham antara komunis Kamboja di bawah Pol Pot dan komunis Vietnam di bawah Ho Chi Minh. Khmer Merah juga merasa dikhianati oleh komunis Vietnam dalam perjanjian Jenewa. Karena Ho Chi Minh menyetujui pembubaran Khmer Merah dalam konferensi tersebut. Selain itu Khmer Merah di bawah Pol Pot sangat menentang hegemoni Vietnam atas negara-negara Indocina.9 Berawal dari beberapa permasalahan tersebutlah hubungan kedua negara penganut ideologi serupa ini mulai pecah. Ditambah lagi slogan anti Vietnam yang terus digaungkan oleh Pol Pot membuat perselisihan di antara keduanya semakin memanas. Puncaknya ialah pada tahun 1977 ketika Khmer Merah melakukan serangan membabi buta ke Vietnam. Peristiwa ini menyebabkan ribuan rakyat Vietnam meregang nyawa.10 Selain itu Pol Pot juga melakukan pengusiran 50.000 9 John Tully, A History of Cambodia From Empire to Survival, (Australia: Allen & Unwin, 2005), hlm. 191. 10 Ibid., 84 etnis Vietnam ke luar Kamboja.11 Menanggapi tindakan pemerintah Khmer Merah tersebut, pemerintah Vietnam pada tanggal 15 Desember 1978 melakukan invansi ke basis utama Khmer Merah dengan mengirimkan pasukan mereka ke perbatasan dan mulai menyerang tempat-tempat yang menjadi pusat kekuasaan Khmer Merah.12 Selain dendam masa lalu, perang ini merupakan dampak dari persengketaan wilayah antara kedua negara tersebut. Kamboja dan Vietnam mempersengketakan pulau Phu Qoich yang diduga di sana terdapat sumber minyak bumi.13 Hubungan keduanya semakin memburuk ketika Kamboja memutuskan hubungan diplomatik dengan Vietnam.14 Peseteruan berkepanjangan inilah yang kemudian menumbuhkan keinginan Vietnam untuk menggulingkan rezim Khmer Merah di bawah Pol Pot. Dengan serangan Vietnam yang membabi buta tersebut, diharapkan Kamboja mulai melemah dan menyetujui batas wilayah dengan Vietnam. Namun sebenarnya Vietnam memiliki niat yang lebih dari sekedar melemahkan Kamboja dan mendapatkan pulau Phu Qoich, Vietnam ingin menjatuhkan rezim Pol Pot melalui kader-kader Khmer Merah yang pro Vietnam. Heng Samrin merupakan salah satu dari sekian banyak kader Khmer Merah pro Vietnam yang melarikan diri ke Vietnam karena kejaran Pol Pot. Di Vietnam Heng Samrin bersama kader komunis Vietnam kemudian mendirikan KNUFNS pada tanggal 3 Desember 1978. Ia sekaligus ditunjuk sebagai ketuanya didampingi oleh Hun Sen dan beberapa sahabatnya. KNUFNS di bawah Heng 11 Ramlan Subakti dkk, Kampuchea Tahun 1975-1979, (UNAIR: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1985), hlm. 70-71. 12 Pentti Hollappa, Kampuchea in The Seventies, (Finlandia: Kampuchea Inquiry Commision, 1982), hlm. 24. 13 cari 14 John Tully, A History of Cambodia From Empire to Survival, (Australia: Allen & Unwin, 2005), hlm. 191. 85 Samrin bersama tentara Vietnam akhirnya berhasil menguasai ibukota Phnom Penh dan mengambil alih Kamboja dari tangan Khmer Merah pada 7 Januari 1979. Sementara itu para pemimpin Khmer Merah seperti Pol Pot, Kheu Samphan, Noun Chea, dan beberapa pemimpin lainnya melarikan diri ke Battambang menggunakan helikopter. Setelah itu mereka melarikan diri ke perbatasan Thailand, dan di sana mereka meminta agar diizinkan untuk masuk ke wilayah Thailand untuk melanjutkan pelariannya ke Peking.15 Dengan ini berakhirlah karier Pol Pot dan kawan-kawan dalam panggung kekuasaan Kamboja. Khmer Merah telah memberikan luka yang medalam bagi umat Islam di Kamboja khususnya dan umumnya bagi seluruh rakyat Kamboja. Tiga hari setelah KNUFNS berhasil mengambil alih pemerintahan dari tangan Khmer Merah, Heng Samrin sebagai pemimpin KNUFNS mendeklarasikan diri sebagai presiden. Heng Samrin memulai babak baru perjalanan politik Kamboja dengan mengubah kembali Kamboja menjadi negara yang menganut sistem Republik (People Republic of Kampucha – PRK).16 Heng Samrin dan Hun Sen sebenarnya merupakan kader Khmer Merah pada masa Pol Pot, namun mereka lebih memiliki kecenderungan terhadap Vietnam. Mereka inilah kader Khmer Merah yang menjadi target pembunuhan oleh Pol Pot karena dianggap sebagai pengkhianat. B. Muslim Kamboja di Bawah Rezim People Republic of Kampuchea 1. Kebijakan Politik PRK terhadap Penganut Agama di Kamboja “Ieng Sary and Khieu Samphan Try to Escape to Peking,” Warta Berita Antara, 11 Januari 1979. 16 Pentti Hollappa, Kampuchea in The Seventies, (Finlandia: Kampuchea Inquiry Commision, 1982), hlm. 24. 15 86 PRK di bawah Heng Samrin dan Hun Sen memulai babak baru bagi perjalanan politik Kamboja. Mereka memiliki tugas yang sangat berat, karena harus mengembalikan mental masyarakat Kamboja setelah terpuruk selama kepemimpinan Khmer Merah. Tidak hanya mental, perbaikan dalam aspek sosial, ekonomi, dan hubungan internasional juga menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Heng Samrin. Belum lagi ancaman mantan petinggi Khmer Merah yang terus membayangi. Kepada rakyat Kamboja Heng Samrin berjanji akan mulai memperbaiki dan menstabilkan semua permasalahan yang timbul, baik menyangkut perekonomian, sosial, maupun hubungan internasional. Heng Samrin bersikeras untuk membangun kembali Kamboja menjadi wilayah yang damai, independen, dan netral.17 Dalam pembangunan perekonomian, rezim PRK tetap memfokuskan pada bidang pertanian. Karena pertanian menjadi salah satu potensi utama yang harus dimaksimalkan. Para petani mulai diperhatikan kesejahteraannya, dan mulai diatur waktu kerjanya, yakni 8 jam dalam sehari.18 Rezim PRK tetap masih mempertahankan ide-ide sosialis Khmer Merah. Hal ini jelas tertuang dalam Konstitusi PRK yang menyebutkan bahwa dasar ideologi negara Kamboja di bawah PRK adalah ideologi Marxisme-Leninisme.19 Tidak heran, karena kebanyakan kader kader PRK merupakan alumni dari Khmer Merah, ide-ide komunis masih kuat tertancap dalam jiwa mereka. Namun ide-ide revolusioner mulai ditanggalkan. Perubahan dilakukan dengan cara perlahan 17 John Tully, A History of Cambodia From Empire to Survival, (Australia: Allen & Unwin, 2005), hlm. 198. 18 Ibid., hlm. 198 19 Hal ini tertuang dalam konstitusi PRK 1978 Bab 1 pasal 14. Lebih lanjut lihat: Michael Vickery, Kampuchea Politic, Economics, and Society, (London: Frances Pinter Publisher, 1986), hlm. 100. 87 namun pasti. Selain memperbaiki sektor pertanian, rezim PRK juga kembali menstabilkan sektor keuangan, setelah sebelumnya penggunaan uang dilarang pada masa Khmer Merah. Selanjutnya rezim PRK juga memperbaiki sistem perdagangan yang sebelumnya tidak berkembang pada masa Khmer Merah. Fasilitas kesehatan dan pendidikan juga menjadi sektor yang tak luput dari pembangunan. Rezim PRK memberikan kebebasan hidup bagi setiap keluarga. Dan yang menjadi kabar gembira bagi seluruh penganut agama di Kamboja adalah, dibolehkannya mereka untuk menganut dan menjaga kepercayaan mereka.20 PRK dalam konstitusinya jelas memberikan kebebasan bagi warga negara Kamboja untuk berpendapat, berkumpul, dan menjaga keyakinan.21 Hal ini berdampak pada kehidupan umat beragama di Kamboja. Tidak hanya agama besar seperti agama Budha yang merasakan dampak dari kebaikan ini. Umat Islam yang menjadi mayoritas kedua di Kamboja juga merasakan dampak positIf dari kebijakan ini. Umat Islam di bawah rezim PRK tidak lagi menyandang status sebagai musuh internal, melainkan sebagai warga negara biasa yang statusnya disamakan. Keberadaanya tidak lagi terdisikriminasi karena satu dan lain hal, mereka mulai terintergrasi dengan baik dengan masyarakat Khmer dalam berbagai sektor. Jika sebelum dan pada masa Khmer Merah umat Islam seakan menjadi masyarakat kelas dua, maka pada masa rezim PRK mereka bebas berbaur di setiap sektor. 20 Michael Vickery, Kampuchea Politic, Economics, and Society, hlm. 161 Kebijakan ini tertuang dalam poin ke empat dari 11 poin program yang dicanangkan PRK ketika hendak mengambil alih Kamboja dari tangan Khmer Merah. Michael Vickery, Kampuchea Politic, Economics, and Society, hlm. 161. 21 88 2. Partisipasi Politik Umat Islam Kamboja Umat Islam Kamboja bersama Khmer dan tentara Vietnam telah bersama menggulingkan rezim Khmer Merah yang dianggap tirani. Math Ly menjadi salah satu tokoh Muslim yang cukup menjadi sorotan. Ia menjadi salah satu pemimpin Muslim yang juga terlibat langsung dalam proses penggulingan rezim Khmer Merah bersama rakyat Kamboja dan tentara Vietnam.22 Sebelumnya ia memang seorang kader Khmer Merah yang Pro Vietnam. Setelah kejatuhan rezim Khmer Merah umat Islam tidak lagi dipandang sebelah mata. Kehadiran mereka cukup memberikan warna bagi kancah perpolitikan Kamboja. Jika pada masa pemerintahan Khmer Merah umat Islam masuk ke dalam daftar musuh internal yang menjadi target pembunuhan, maka pada masa PRK umat Islam diberikan keluangan untuk berpartisipasi secara langsung dalam pemerintahan Kamboja. Meskipun keberadaan mereka tetap minoritas, namun suara mereka tetap terakomodir. Terbukti setelah kejatuhan pemerintah Khmer Merah, Math Ly dipercaya untuk menjabat sebagai salah satu menteri dalam rezim PRK. Ia menjabat sebagai Presiden Federasi Persatuan Perdagangan (President Federation of Trade Union). Selain itu seorang Muslim Cham lain, yakni Van Math juga terlibat dalam organisasi KNUFNS. Beberapa orang Muslim lain juga menjabat di berbagai institusi kenegaraan yang berbeda. Melihat berbagai fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa rezim PRK sangat memberikan ruang kebebasan bagi setiap lapisan masyarakat Kamboja untuk berpartisipasi dalam kancah perolitikan. Selain itu PRK juga mengakomodir suara umat Islam dengan menyertakan beberapa perwakilan umat Islam pada 22 Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational the Case of Cambodia, (Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 41. 89 beberapa posisi penting dalam institusi kenegaraan. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan baik telah terjalin kembali antara Muslim Kamboja dengan pemerintah. Meskipun minoritas dalam etnis dan agama, namun suara-suara umat Islam terakomodir dengan baik. Hal ini terjadi karena umat Islam Kamboja telah menunjukkan pengabdiannya pada tanah air mereka yakni Kamboja, terutama dalam perjuangan menjatuhkan pemerintahan tirani Khmer Merah. Setelah berakhirnya rezim PRK pada tahun 1989, umat Islam Kamboja kembali menemukan asa untuk terus bangkit dan maju. Sejak masa PRK memang umat Islam Kamboja tengah disibukkan dengan perbaikan-perbaikan di berbagi aspek, terutama fasilitas ibadah dan pendidikan Islam. Mengingat pada masa pemerintahan Khmer Merah kedua institusi tersebut banyak yang diluluhlantakkan. Pasca berakhirnya rezim PRK kehidupan Muslim Kamboja semakin membaik, terutama setelah ditetapkannya Konstitusi Kingdom of Kampuchea pada tahun 1999, umat Islam makin diberikan keleluasaan untuk menduduki berbagai posisi penting dalam pemerintahan, meskipun jumlahnya tidak mayoritas. Menurut Mr Zakariyya Adam seorang sekretaris menteri kebudayaan dan agama, pada masa ini jumlah umat Islam diperkirakan berjumlah 650.000 jiwa.23 Beberapa orang Islam ada yang menjabat di beberapa kementerian. Seperti Kementerian Agama, Pemuda, dan Olahraga. Di antara mereka juga ada yang masuk di parlemen. Bahkan beberapa distrik di Kampong Cham juga dipimpin oleh orang Islam.24 Sejak tahun 1989 kondisi umat Islam kian membaik. Terutama setelah menjalin komunikasi dengan berbagai Non 23 Omar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at the Margins: The Muslim of Indocina, (Kyoto University: Center of Integrated Area Studies, 2008), hlm. 72. 24 Lebih lanjut mengenai jabatan-jabatan yang dipegang oleh Muslim Kamboja lihat: Omar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at the Margins: The Muslim of Indocina, (Kyoto University: Center of Integrated Area Studies, 2008), hlm.76. 90 Gouvernment Orgaization – NGO. Muslim Kamboja sangat membutuhkan bantuan-bantuan tersebut guna mengangkat kesejahteraan mereka. Karena untuk bangkit Muslim Kamboja tidak hanya biasa mamanfaatkan bantuan pemerintah. Sejak tahun 1993 tercatat mulai gencarnya para NGO masuk Kamboja untuk memberikan berbagai bantuan. Langkah ini diawali dengan kedatangan organisasi perdamaian bentukan PBB, UNTAC (United Nation Transition Authority in Cambodia). Organisasi perdamaian ini memang bermaksud membantu menciptakan kesetabilan politik di Kamboja setelah beberapa kali Kamboja mengalamai kegagalan dalam menciptakan pemilu yang damai, demokratis, dan terbuka.25 Organisasi bentukan PBB ini diisi oleh tentara gabungan yang berasal dari Mesir, Malaysia, dan Indonesia.26 Sejak itulah jaringan internasional Muslim Kamboja mulai terhubung dengan beberapa negara dan NGO Islam dunia. C. Kebangkitan Islam di Kamboja Dalam bagian ini penulis meminjam istilah Azyumardi Azra yakni kebangkitan atau renaissance untuk menggambarkan kondisi Muslim Kamboja pasca kejatuhan rezim Pol Pot. Namun kebangkitan yang penulis maksud berbeda dengan apa yang ditulis oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Renaisans Islam di Asia Tenggara. Kebangkitan Islam di Kamboja adalah istilah yang penulis gunakan untuk menggambarkan perbaikan dan perkembangan kehidupan umat Islam Kamboja dalam berbagai aspek pasca jatuhnya rezim Pol Pot. Perbaikan 25 Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational the Case of Cambodia, (Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm.180-181 26 Ibid., 181. 91 dan perkembangan tersebut meliputi beberapa aspek, di antaranya, jaringan internasional, sosial-keagamaan, dan pendidikan. 1. Jaringan Internasional Setelah empat tahun hidup terpuruk dalam bayang-bayang rezim Pol Pot, umat Islam harus bangkit untuk menentukan arah nasib mereka. Mereka harus tetap hidup dan bangkit di bawah naungan Kamboja sebagai nation-state mereka. Mereka harus bergegas melakukan perbaikan-perbaikan dalam berbagai aspek, tidak terkecuali jaringan internasional dengan negara-negara lain, terutama negara-negara Islam. Penulis meletakkan jaringan internasional sebagai aspek yang bangkit paling pertama karena melalui jaringan internasional inilah kemudian Muslim Kamboja dapat memulai perbaikan-perbaikan dalam aspek lainnya. Karena mustahil bagi mereka untuk melakukan perbaikan dengan kekuatan sendiri. Apalagi dengan mengandalkan pemerintah yang tengah disibukkan dalam program menstabilkan negara. Sebelum rezim Pol Pot memerintah, sebenarnya umat Islam Kamboja sudah memiliki relasi dengan beberapa negara Muslim di Timur Tengah, seperti Saudi Arabia, Kuwait, Dubai, dan Mesir. Beberapa juga ada yang memiliki relasi dengan negara-negara di Asia Tenggara seperti dengan Thailand Selatan, dan Malaysia.27 Tak jarang pelajar-pelajar Muslim menjadikan negara-negara tersebut sebagai destinasi pendidikan mereka. Namun pada masa pemerintahan Khmer Merah, hubungan internasional ini mulai terputus, dikarenakan rezim Khmer Merah melarangnya. Rezim Khmer Merah kala itu memanggil para pelajar yang menuntut ilmu di luar negeri untuk kembali ke Kamboja. Namun sekembalinya 27 Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 228-229. 92 mereka banyak yang dibunuh. Karena para intelektual kala itu dianggap telah terkontaminasi pikirannya. Dan dikhawatirkan akan menjadi ganjalan bagi rezim Khmer Merah. Namun selepas kejatuhan rezim Khmer Merah, hubungan internasional tersebut terjalin kembali. Mata dunia internasional terutama negara-negara Muslim mulai terbuka karena prihatin dengan keadaan Muslim Kamboja. Tanpa bantuan dari negara-negara Muslim lain, nampaknya berbagai perbaikanperbaikan akan berjalan lamban, ditambah dengan mental mereka yang masih terguncang. Maka dari itu, solidaritas yang timbul di kalangan negara-negara Islam terhadap Muslim Kamboja, menjadi hal yang sangat penting bagi kebangkitan Islam di Kamboja. Seperti yang penulis sebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa pada tahun 1993 berbagai organisasi baik pemerintah maupun non pemerintah mulai berdatangan ke Kamboja. Hal ini diawali dengan kedatangan organisasi perdamaian bentukan PBB, UNTAC yang di dalamnya diisi tentara Mesir, Malaysia, dan Indonesia. Melalui merekalah jaringan internasional Muslim Kembali terjalin, baik dengan negara Muslim Timur Tengah maupun Asia Tenggara. Tercatat beberapa organisasi non pemerintah (Non Goverment Organization – NGO) dari berbagai belahan dunia telah menjalin hubungan dengan Muslim Kamboja. Di antaranya, Rabithah Alam Islami di Mekkah, Organisasi Konferensi Islam, Darul Arqom di Malaysia, dan Jamaah Tabligh.28 Selain itu juga terdapat NGO yang berasal dari Kuwait, yakni Revival of Islamic 28 Ibid., hlm. 229 93 Heritage Soriety – RIHS. Pemerintah Malaysia, Brunei, dan Thailand Selatan juga ikut berlomba menunjukkan aksi solidaritasnya. Bahkan Muslim Amerika Serikat juga mulai menjalin hubungan dengan Muslim Kamboja. Jaringan internasional yang terjalin tersebut yang pada akhirnya menjadi pangkal kebangkitan Muslim Kamboja dalam aspek-aspek lain seperti sosial-keagamaan dan pendidikan. 2. Sosial-Keagamaan Jaringan internasional yang terjalin membuat perbaikan dalam aspek sosial keagamaan berjalan dengan cepat. Beberapa organisasi memberikan bantuan untuk pembangunan masjid. Kerajaan Saudi Arabia memberikan bantuan sebesar US$ 350.000 ,- untuk pembangunan masjid di Phnom Penh pada tahun 1994. Selain itu Saudi Arabia juga memberikan bantuan sebesar US$ 100.000,- setiap bulannya. Bantuan tersebut digunakan untuk aktivitas di sekolah Al-Qur’an, dan organisasi Islam di Kamboja seperti, Cambodia Muslim Development Foundation – CMDF dan Cambodia Islamic Youth Association - CIA.29 Selain Saudi Arabia, Muslim Amerika Serikat juga memberikan bantuan sebesar US$ 500.000,- untuk mendirikan masjid baru di wilayah Phum Trea di Kampong Cham. 30 Orang Arab Dubai juga tidak ketinggalan ikut bersumbangsih dalam pembangunan Kamboja. Dubai memberikan bantuan dengan mendirikan 20 masjid dan beberapa sekolah Islam di Kamboja.31 29 Osborn Milton, The Khmer Islam Community in Cambodia And its Foreign Patrons, (Sydney: Lowy Isntitute for International Policy, 2004), hlm. 6. 30 Ibid., 31 Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational the Case of Cambodia, (Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 184. 94 Pada tahun 1990-an saja sudah terdapat sekitar empat ratus masjid yang tersebar di seluruh Kamboja.32 Bahkan jumlah tersebut belum termasuk dengan jumlah surau dan musholla yang belum terdapat estimasi pasti mengenai jumlahnya. Kebanyakan masjid terkonsentrasi di Kampong Cham, terdapat sekitar 148 masjid yang tersebar di wilayah ini. Hal ini tidak mengherankan mengingat Kampong Cham merupakan basis Muslim terbesar di Kamboja. Selain itu di Kampong Chnnang terdapat sekitar 42 masjid. Dan di ibukota Phnom Penh sendiri terdapat sekitar 12 masjid agung.33 Pertumbuhan masjid yang signifikan ini mengindikasikan bahwa tingkat keberagamaan Muslim Kamboja semakin membaik pasca jatuhnya pemerintah Khmer Merah. Selain itu hal ini juga mengindikasikan bahwa hubungan pemerintah dan masyarakat Khmer yang mayoritas Budha dengan umat Islam berjalan dengan baik. Mengingat bukan perkara mudah bagi minoritas untuk menunjukkan eksistensinya di tengah kaum mayoritas, apalagi mendirikan rumah ibadah. Maka dari itu, perkembangan tempat ibadah umat Islam menunjukkan bahwa perlahan namun pasti umat Islam Kamboja menunjukkan kebangkitannya, terutama dalam aspek keberagamaan dan sosial. Selain tempat ibadah, umat Islam juga mengalami perkembangan dalam sisi organisasi Muslim. Cambodian Muslim Development Foundation – CMDF menjadi salah satu organisasi filantropi yang cukup berkembang di Kamboja. Organisasi ini dipimpin oleh Osman Hasan, sekretaris ketenagakerjaan dan elite Cham yang memiliki kedekatan dengan grand mufti, Komarudin Yosuf. Organisasi ini bergerak dalam segala bidang, baik menyangkut keagamaan, sosial, 32 Omar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at the Margins: The Muslim of Indocina, (Kyoto University: Center of Integrated Area Studies, 2008), hlm. 72. 33 Ibid., 95 dan ekonomi. Sebagai contoh, CMDF mendirikan masjid, sekolah, memberikan bantuan modal, mendirikan fasilitas kesehatan, menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Khmer dan Jawi, dan beberapa kegiatan lainnya.34 3. Pendidikan Pendidikan memainkan peran sentral dalam setiap pembangunan peradaban, begitupun dengan kebangkitan Islam di Kamboja. Pendidikan menjadi aspek yang tak ketinggalan. Sebelumnya memang Muslim Kamboja sempat menjalin kerjasama dalam hal pendidikan dengan beberapa negara Timur Tengah seperti Mesir, Arab Saudi, dan Kuwait. Begitupun dengan beberapa negara tetangganya seperti Thailand dan Malaysia. Namun hubungan tersebut terputus ketika Khmer Merah berkuasa. Sebelum tahun 1975 penyelenggaraan pendidikan Islam dilakukan di madrasah (Koranic school), masjid, surau, ataupun rumah tuon. Sebelum rezim Khmer Merah berkuasa jumlah instansi pendidikan Islam berupa madrasah atau Koranic School memang sangat terbatas, hanya terdapat sebelas sekolah al-Qur’an yang tersebar di lima provinsi,35 Hal ini disebabkan karena jumlah tenaga pengajar yang masih sangat terbatas. Sedangkan untuk institusi pendidikan yang diselenggarakan di masjid, surau, dan rumah tuon, belum terdapat data yang jelas mengenai estimasi jumlahnya sebelum tahun 1975. Namun jika melihat pertumbuhan masjid sebelum tahun 1975 jumlahnya berkisar 113 buah masjid yang tersebar di beberapa distrik. Besar kemungkinan masjid-masjid tersebut juga digunakan sebagai basis pendidikan umat Islam. 34 Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational the Case of Cambodia, (Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 184-185. 35 Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin Printing Press, 1974), hlm. 43. 96 Pada saat Khmer Merah berkuasa seluruh masjid dan instansi pendidikan ditutup. Seluruh masyarakat Kamboja dilarang untuk sekolah. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat Kamboja yang akhirnya mengalami buta huruf. Buku-buku pelajaran mengenai agama Islam dan al-Qur’an juga dilarang beredar. Hal ini yang akhirnya membuat pendidikan umat Islam mengalami keterpurukan. Pasca Khmer Merah berkuasa, umat Islam mulai bangkit dan kembali menyelenggarakan pendidikan Islam. Jasa dari negara-negara Muslim lain menjadi hal yag tidak dapat dikesampingkan peranannya dalam pembangunan pendidikan Islam di Kamboja. Terdapat sekitar 300 madrasah atau koranic school di Kamboja. Masing-masing tersebar di 315 desa berbeda telah didirikan.36 Sistem pendidikan Islam di Kamboja juga masih menganut sistem pendidikan Islam tradisional yang mereka adopsi dari Malaysia.37 Dalam hal pendidikan Muslim Kamboja memiliki hubungan baik dengan instansi pendidikan Islam di wilayah Kelantan dan Thailand Selatan. Maka dari itu, banyak pelajar Muslim Kamboja yang melanjutkan studinya di Kelantan dan Pattani.38 Selain itu Turki juga memainkan peranan penting dalam modernisasi pendidikan Islam di Kamboja. Pada tahun 1997 didirikan Zaman International School di Phnom Penh. Sekolah ini didirikan oleh Atilla Yusuf Guleker, salah seorang aktivis Gullen.39 36 Omar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at the Margins: The Muslim of Indocina, hlm. 72 37 Ibid., 73 38 Ibid., Phillip Bruckmayr, Phnom Penh’s Fethullah Gȕlen School as an Alternative to Prevalent Forms of Education For Cambodias Muslim Minority, Tersedia di: http://gulenconference.org.uk/userfiles/file/Proceedings/Prcd%20%20Bruckmayr,%20P.pdf (akses: 08 Juli 2015) 39 97 Sekolah ini memang tidak hanya mengakomodir orang-orang Islam saja, namun masyarakat Kamboja secara umum. 98 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari berbagai pemaparan hasil penelitian penulis, akhirnya terjawab pertanyaan besar terkait rumusan masalah yang menjadi fokus kajian penulis. Berdasarkan fakta-fakta yang telah penulis himpun dan olah, akhirnya dapat disimpulkan bahwa sedikitnya terdapat tiga motif yang melatarbelakangi penindasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh pemerintah Khmer Merah terhadap Muslim Kamboja, diantaranya: 1. Motif pertama yang melatarbelakangi penindasan pemerintah Khmer Merah terhadap Muslim Kamboja adalah keterlibatan elite Muslim Kamboja dalam rezim Lon Nol. Muslim Kamboja memiliki kedekatan yang intens dengan rezim Lon Nol, bahkan mereka menduduki beberapa jabatan penting dalam pemerintahan Lon Nol. Keterlibatan umat Islam Kamboja dalam pemerintahan Lon Nol membuat Khmer Merah menjadikan elite Muslim Kamboja sebagai musuh internal. 2. Motif kedua yang menjadi pangkal penyebab umat Islam Kamboja terdiskriminasikan dan menjadi target pembunuhan adalah penolakan umat Islam terhadap kebijakan Five Point Plans yang diterapkan Khmer Merah dan kebijakan Demokratic Kampuchea Constitution yang terkesan menyudutkan. 3. Motif ketiga adalah program Khmerisasi yang diterapkan oleh pemerintah Khmer Merah. Khmer Merah ingin melakukan asimilasi dengan menjadikan Khmer sebagai identitas nasional. Sehingga etnis minoritas seperti Cham dan 98 99 Melayu dihapuskan, dan diasimilasikan dengan etnis Khmer. Dan yang sangat disayangkan kebijakan ini dilakukan dengan paksaan bahkan tak jarang kekerasan menjadi senjata yang dikerahkan. Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Khmer Merah yang yang tertuang dalam Five Point Plans dan Demokratic Constitution 1976 terkesan menyudutkan keberadaan umat Islam. Umat Islam yang merasa tersudutkan dengan kebijakan pemerintah Khmer Merah akhirnya merespon kebijakan tersebut dengan pemberontakan yang terjadi diberbagai daerah pada pertengahan Juli 1978. Pasca kejatuhan Rezim Khmer Merah kehidupan umat Islam terus mangalami perbaikan. Baik dalam jaringan internasional, sosial-keagamaan, maupun pendidikan. Selain itu umat Islam juga menduduki beberapa posisi penting dalam pemerintahan. Baik dalam kementerian, maupun dalam parlemen. Masjid, institusi pendidikan Islam, dan organisasi Islam tumbuh bagaikan cendawan di Musim hujan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kini Muslim Kamboja berada dalam fase kebangkitan atau renaissance. Pengalaman mereka pada masa Khmer Merah memang cukup menjadi kenangan kelam yang menggoreskan luka di setiap benak saksi sejarahnya. Namun sebagaimana kata pepatah, orang bijak adalah orang yang mau belajar dari sejarahnya. Nampaknya kini sejarah Muslim Kamboja di bawah rezim Khmer Merah cukup dikenang dan diambil hikmahnya. Belajar dari pengalaman sejarah tersebut, semoga di kemudian hari peristiwa Muslim Kamboja di bawah rezim Khmer Merah tidak terulang kembali. Kini Muslim Kamboja kembali bangkit dan mulai menyongsong harapan mereka. Jumlah mereka terus bertambah meskipun mereka tetap minoritas, namun keminoritasan 96 mereka bukan menjadi alasan 100 ketertinggalan dan perpecahan. Keharmonisan hidup mereka dengan etnis dan agama lain dalam naungan Kamboja sebagai nation-state, menjadi indikasi bahwa kebangkitan Islam di Kamboja semakin nyata adanya. B. Penutup dan Saran Melalui skripsi ini penulis berusaha untuk menjadi penggiat pengkajian Islam di wilayah Indocina, khususnya Kamboja. Sebelumnya wilayah ini sepi pengkaji, kebanyakan kajian sejarah Islam di Asia Tenggara mahasiswa Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora masih berfokus pada negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia. Jumlah Muslim di Kamboja memang terbilang minoritas, namun perlu diingat bahwa mereka mempunyai sejarah panjang yang menarik untuk dikaji lebih mendalam untuk kelak dijadikan pelajaran. Di Kamboja kini umat Islam berjumlah sekitar 650.000 jiwa atau sekitar 6 persen dari total penduduk Kamboja. Jumlah demikian membuat keberadaan mereka perlu diperhatikan dan mobilisasinya perlu diamati. Maka dari itu, penulis memberikan beberapa saran bagi peneliti, penggiat, dan pengamat Islam di Asia Tenggara, di antaranya: 1. Menjadikan negara-negara minoritas Muslim di wilayah Asia Tenggara khususnya Indocina (Kamboja, Vietnam, dan Laos) untuk mulai dilakukan pengkajian lebih komprehensif. Hal ini tidak hanya bermanfaat bagi dunia penelitian saja, namun cukup untuk membuka mata dunia Islam untuk menunjukkan bahwa keberadaan mereka penting untuk diperhatikan. Prospek kebangkitan Islam Asia Tenggara setidaknya jangan hanya dilihat melalui negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Namun dilihat dalam paradigma yang lebih luas, yakni Asia 101 Tenggara dalam satu kesatuan wilayah. Sehingga jika benar apa yang diramalkan oleh John L. Esposito dan Fazlurrahman mengenai kebangkitan Islam di Asia Tenggara tidak hanya sebatas negara-negara mayoritas Muslim yang berperan dalam kebangitan tersebut, namun umat Islam yang berada di luar ketiga negara tersebut memiliki andil dalam mencapai renaissance tersebut. 2. Penulis sadar betul akan kekurangan kajian ini. Penulis belum berhasil menghimpun sumber-sumber primer secara maksimal. Hal ini dikarenakan keterbatasan biaya dan waktu penelitian. Selain itu sumber pada masa pemerintah Khmer Merah sulit untuk diungkap lebih jauh. Dikarenakan pemerintah Khmer Merah memusnahkan dokumen-dokumen penting pada masanya. Sementara itu sumber-sumber yang dipublikasikan oleh Document Center of Cambodia sangat terbatas. Namun penulis berusaha semaksimal mungkin untuk menghadirkan penelitian yang setidaknya mampu menggerakkan langkah kaki para peneliti sejarah Islam di Asia Tenggara untuk melirik negara-negara Indocina sebagai wilayah kajian. Maka dari itu, penulis menyarankan agar para pengkaji-pengkaji selanjutnya dapat lebih memaksimalkan sumber-sumber primer. Baik berupa wawancara, observasi, maupun menghimpun dokumen otentik. Wallau’alam Bishawwab. Daftar Pustaka Dokumen Demokratic Kampuchea Constitution 1976 E3/259. (Phnom Penh: Document Center of Cambodia). Tersedia di: http://www.d.dccam.org/Archives/Documents/DK_Policy/DK_Policy_D K_Constitution.htm (akses: 14 Mei 2014). Demokratic Kampuchea a Workers and Peasants State in South-East Asia. Embassy of Demokratic Kampuchea in Berlin, 1977. Phnom Penh: Document Center of Cambodia (DC-Cam) Original (GB) File Number: D 55874. Tersedia di http://www.d.dccam.org/Archives/Documents/pdf/Bulletin_of_the_Emba ssy_of_Democratic_Kampuchea_in_Berlin_GDR_March_1977.pdf (Akses 25 April 2015). Khmer Republic. The Martyrdrom of Khmer Muslims. (Phnom Penh: Decho Damdin Press, 1974). Tersedia di: https://archive.org/stream/TheMartyrdomOfKhmersMuslims/MKM#page /n1/mode/2up (Akses: 25 April 2015) Surat Kabar “Kembalinya Pengeran Sihanouk Akan Rupakan Kemenangan PM Chou,” Warta Berita Antara, 4 April 1975. “Sihanouk Tetap Tidak Mau Berunding Dengan Pemerintah Phnom Penh,“ Warta Berita Antara, 5 April 1975. “Pasukan Pemberontak Terobos Garis Pertahanan Beberapa Ratus Meter,” Warta Berita Antara, 5 April 1975. “Presiden Lon Nol di Bali Merasa Seperti di Tanah Sendiri,” Warta Berita Antara, 5 April 1975. “Lon Nol Harapkan Indonesia Usahakan Selenggarakan Perdamaian Khmer,” Warta Berita Antara, 6 April 1975. “Perundingan Damai Khmer di Bangkok,” Warta Berita Antara, 8 April 1975. “Sukham Khoy: Tidak Ada Yang Bisa Menghalangi Penyerahan Tanpa Syarat Kepada Khmer Merah,” Warta Berita Antara. 8 April 1975. “Phnom Penh Falls Into Khmer Rouge Hands,” Warta Berita Antara, 17 April 1975. “Salah Siapa Kamboja Komunis?,” Kompas, 18 April 1975. “Phnom Penh Menyerah,” Kompas, 18 April 1975. “Komuniskasi Phnom Penh Diputus,” Kompas, 19 April 1975. “Red Khmer Execute Long Boret and Lon Nol,” Warta Berita Antara, 20 April 1975. “Rebutan Pulau Karena Minyak,” Kompas, 16 Juni 1975. “Cambodia Remains Mystery State,” Warta Berita Antara, 18 Agustus 1975. “Bloodbath in Cambodia,” Warta Berita Antara, 25 Agustus 1975. “Situasi Kamboja Gawat Lagi,” Merdeka, 13 Juli 1978. “Pemberontakan di Kamboja?”, Kompas, 13 Juli 1978. Mc Govern, “2,5 Juta Rakyat Kamboja Mati Kelaparan,” Merdeka, 24 Agustus 1978. “Kamboja Bagaimana Sesungguhnya Keadaannya Sekarang,” Merdeka, 21 Agustus 1978. “Ieng Sary and Khieu Samphan Try to Escape to Peking,” Warta Berita Antara, 11 Januari 1979. Jurnal dan Artikel Bruckmayr, Philipp Phnom Penh’s Fethullah Gȕlen School as an Alternative to Prevalent Forms of Education For Cambodias Muslim Minority, Tersedia di: http://gulenconference.org.uk/userfiles/file/Proceedings/Prcd%20%20Bruckmayr,%20P.pdf (akses: 08 Juli 2015) Farouk, Omar dan Hiroyuki Yamamoto. Islam at The Margins : The Muslim of Indo China, Japan: Kyoto University, Center for Integrate Studies (CIAS), 2008. Tersedia di: http://www.cias.kyotou.ac.jp/publish/files/2010/11/ciasdp03.pdf (akese: 8 Mei 2014). Jackson, D. Karl. “Cambodia 1978: War, Pillage, and Purge in Demokratic Kampuchea”. Dalam Asian Survey Vol. XIX, No. 1. University of California Press, 1979. Kroef, Justus M. Van der. “Cambodia: From “Demokratic Kampuchea” to “Peoples Republic”. Dalam Asian Survey Vol. XIX, No. 1. University of California Press, 1979. Kiernan, Ben. “The Demography of Genocide in Southeast Asia, The Death Tolls in Cambodia, 1975-1979 and East Timor, 1975-80”. Critical Asian Studies, Routledge Taylor & Francis Group, 2003. Tersedia di : http://www.yale.edu/gsp/publications/KiernanRevised1.pdf (akese: 8 Mei 2014). Minorities in Cambodia. Minority Right Group International. (United Kingdom: Manchester Press, 1995). Tersedia di: http://www.minorityrights.org/download.php@id=418 (akses: 16 November 2014). Musa, Muhammad Zain. “Champa: Runtuhnya Sebuah Kerajaan Melayu”. Jebat. Vol 20, 1992. _______________ “Perpindahan dan Hubungan Semasa Cham”. Jurnal Sari vol 26. Universitas Kebangsaan Malaysia, 2008. _______________, “History of Education Among the Cambodian Muslim”. Malaysia Journal History, Politic & Strategic Studies, vol 38. 2011. Tersedia di: http://www.ukm.my/jebat/images/upload/Mohd.%20Zain%20Musa%2038 %20(1)%20(July%202011).pdf (akses: 8 Mei 2014). _______________, “Perkembangan Islam di Asia Tenggara: Kajian Kamboja”. Salam (Jurnal Studi Masyarakat Islam), Volume 15 Nomor 2 (Desember 2012). Tersedia di: http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/viewFile/1631/1768_um m_scientific_journal.pdf (akses: 8 Mei 2014). Osborn, Milton. The’Khmer Islam’ Community in Cambodia, ist Foreign Patrons. Lowy Institute for International Policy, 2004. Tersedia di: http://www.lowyinstitute.org/files/pubfiles/Osborne%2C_The_Khmer_Isla m_community_v4.pdf (akses: 8 Mei 2014). Okawa, Reiko. “Hidden Islamic Literature in a Cambodia: The Cham in the Khmer Rouge Period”. International & Regional Studies No. 45. Meiji Gakuin University, 2014. Tersedia di: http://repository.meijigakuin.ac.jp/dspace/bitstream/10723/1919/1/kokusai _45_1-20.pdf (akses: 22 Desember 2014). Trankell, Ing-Brrit dan Jan Ovesan. “Muslim Minority in Cambodia. Dalam Nordic Institute of Asia Studies No 4, (Desember 2004). Theme: Southeast Asian Islam: Plurality, Tolerance, and Change. Jorgen Delman (ed). Denmark: Nordic Institute of Asia Studies, 2004. Tersedia di: http://nias.ku.dk/sites/default/files/files/C93DEd01.pdf (akses: 27 Mei 2014). Buku Abudrahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Jogjakarta: Ar. Ruzz Media, 2007. Cabaton, Anthony. “Orang Cham Islam di Indo-China Prancis”. Dalam Kerajaan Champa. Echole D’Extreme-Orient, Jakarta: Balai Pustaka, 1981. Chandel, David P. A History of Cambodia. United States of America: Westview Press, 1983. ______________ dkk(ed). Pol-Pot Plans the Future Confidential Leadership Document of Demokratic Kampuchea 1976-1977. Yale University :Southeast Asian Studies, 1988. Coedes, G. Sejarah Champa dari Awal Sampai 1471. dalam Kerajaan Champa. Echole D’Extreme-Orient. Jakarta: Balai Pustaka, 1981. ______________. Asia Tenggara Masa Hindu Budha. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010. Dacil, Q Keo dan Nean Yin. Fact Sheet Pol-Pot and His Prisoners at Secret Prison S-21. Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2011. Tersedia di : http://www.d.dccam.org/Archives/Documents/Confessions/pdf/FACT_SH EET--Pol_Pot_and_His_Prisoners_at_Secret_Prison_S-21.pdf (akses: 8 Mei 2014). Dahlan, Ahmad. Sejarah Melayu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014. Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 7, (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1989). Esposito, John L, dkk. Asia Islam in 21st Century. New York: Oxford University Press, 2008. ______________, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan, 2001. Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press, 2008. Groslier, Bernard Philippe, Indocina Persilangan Kebudayaan, Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2007. Holappa, Pentti. Kampuchea in the Seventies. Finland: Kampuchean Inquiry Commission, 1982. Kettani, M. Ali. Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Press, 2005. Khamboly, Dy, dkk. A History of Demokratic Kampuchea. Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2007. Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003. Loir, Hendri Chambert dan Hasan Muarif Hambary (ed). Panggung Sejarah. Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011. Lafont, P.B. “Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cham dari Abad XVI s.d Abad XX”. Dalam Kerajaan Champa. Jakarta: Balai Pustaka, 1981. Maunati, Yekti dan Betti Rosita Sari (ed). The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational The Case of Cambodia. Jakarta : LIPI Press, 2013. Muthalib, Husiin. Islam in Southeast Asia. Singapore : Institute of Southeast Asia Studies, 2008. Ponchaud, Franҫois. Cambodia Year Zero. Canada: Pinguin Books, 1978. Saifullah. Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. So. Farina. The Hijab of Cambodia. Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2011. Tersedia di: https://drive.google.com/file/d/0Bx9f8pHAAJGkNzAyYUtHRWF4bEpjak NUT1FHRHhTV3dqOEpR/edit (akses: 17 Maret 2015). Taouti, Seddik. “Forgotten Muslim in Kampuchea and Vietnam”. Dalam Ahmad Ibrahim dkk, Readings on Islam ini Southeast Asia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985. The Peoples of Cambodia. Cambodia: Cambodia Research Network-CRN, 2007. Maran, Rafael Raga. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta, 2014. Reid, Anthony. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta : LP3ES, 2004. Ricklef, M.C. Sejarah Asia Tenggara Dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer. Jakarta: Komunitas Bambu, 2013. Surbakti, Ramlan dkk. Kampuchea Tahun 1975-1985 (mikro film). (Universitas Airlangga: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1990). Thohir, Ajid. Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etno Linguistik dan GeoPolitik. Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Thully, John. A Short History of Cambodia From Empire to Survival. Australia: Allen & Unwin, 2005. Osman, Ysa. OUKOUBAH Justice fot The Cham Muslims Under theDemocratic Kampuchea Regime. Phnom Penh: Documentation Center of Cambodia, 2002. Tersedia di: http://www.islamicpopulation.com/pdf/genocide%20against%20cham%20 muslim.pdf (akses: 8 Mei 2014). _______________. The Cham Rebellion Survivors Stories from the Village. Document Series No. 9. Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2006. Tersedia di: http://www.muslimpopulation.com/pdf/Chamrebillion%20until%201979.p df (akses: 8 Mei 2014). Palmeri, Sonia. The Hidden Minorities : Representing Etnic Minorities and Indigenous Peoples in Cambodia. Mexico: Inter Parliamentary Union, 2010. Vickery, Michael. Cambodia 1970-1982. Boston MA: South end Press, 1999. Vidjia, Phun dan Jennifer Hollighan, The Kingdom of Cambodia, Rule of Law for Human Rights in the ASEAN Region: A Base-line Study. Tersedia di: http://www.kas.de/wf/doc/kas_7179-1442-2-30.pdf?120718133414 (akses: 14 Mei 2014). Yakob, Abdul Ghani. “Minority Islam di Indo-China”. dalam Minoriti Muslim Cabaran dan Harapan Menjelang Abad 21. Bangi: Universitas Kebangsaan Malaysia, 2002. LAMPIRAN Lampiran 1.1 - Peta Kamboja Tahun 1976 Dipublikasikan oleh Ministry of Education of Democratic Kampuchea, 1976 Sumber: http://www.d.dccam.org/Projects/Maps/Mapping1976.htm (akses: 25 April 2015) Lampiran 1.2 – Kampong Cham, merupakan salah satu wilayah yang menjadi basis terbesar umat Islam Kamboja Sumber: Document Center of Cambodia, tersedia di: http://www.d.dccam.org/Projects/Maps/Outreach%20Maps/03%20Kampong%20Cham.JPG ( akses: 25 April 2015) Lampiran 2.1 - Pangeran Norodom Sihanouk. Memerintah sejak tahun 1953 sampai 1970. Sumber: http://i.telegraph.co.uk/multimedia/archive/02368/Cambodia_2368769b.jpg (akses: 01 Juni 2015) Lampiran 2.2 - Marsekal Lon Nol. Presiden Khmer Republic 1970-1975 Sumber: http://www.crosswordese.com/Images/nol.jpg (akses: 01 Juni 2015) Lampiran 3.1 - Hadji Les Kosem (kanan) sedang berjabat tangan dengan presiden Lon Nol (kiri) dalam peresmian Khmer Islamic Community – CIS tahun 1974. Sumber: Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin Printing Press, 1974). Tersedia di: https://archive.org/stream/TheMartyrdomOfKhmersMuslims/MKM#page/n1/mode/2up (akeses: 25 April 2015) Lampiran 4.1 - Salah satu masjid yang berada di Kampong Loeo, Kandal. Lampiran 4.2 - Masjid Ek Raingsei yang berada di Kampong Luong, Kandal. Dua dari sekitar 25 masjid yang menjadi target penghancuran ICP pada tahun 1970. Sumber: Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin Printing Press, 1974). Tersedia di: https://archive.org/stream/TheMartyrdomOfKhmersMuslims/MKM#page/n1/mode/2up (akeses: 25 April 2015) Lampiran 4.3 - Demonstrasi Muslim Kamboja di Phnom Penh dalam menolak agresi ICP di wilayah mereka tahun 1970-1975. Sumber: Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin Printing Press, 1974). hlm. 25. Tersedia di: https://archive.org/stream/TheMartyrdomOfKhmersMuslims/MKM#page/n1/mode/2up (akeses: 25 April 2015) Lampiran 4.4 - Okhna Hadji Abdullah bin Idres atau Res Las Salah satu pemimpin tertinggi umat Islam Kamboja (Grand Mufti) pada masa Lon Nol (1970-1975). Haji Sulaiman Shukry Wakil Mufti 1 Hadji Math Saleh Sulaiman Wakil Mufti 2 Sumber: Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin Printing Press, 1974). Tersedia di: https://archive.org/stream/TheMartyrdomOfKhmersMuslims/MKM#page/n1/mode/2up (akeses: 25 April 2015) \ Lampiran 4.5 - Presiden Lon Nol sedang menerima kedatangan Hadji Res Las (Grand Mufti) Sumber: Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin Printing Press, 1974). hlm. 25. Lampiran 4.6 - Presiden Lon Nol sedang menerima kedatangan delegasi Muslim Kamboja yang dipimpin oleh Les Kosem Sumber: Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin Printing Press, 1974). Komunitas Muslim pada masa rezim Lon Nol di Masjid Sharief, Provinsi Kandal. Lampiran 4.7 - Komunitas Musim di Masjid Azhar, Provinsi Kandal Sumber: Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin Printing Press, 1974). Tersedia di: https://archive.org/stream/TheMartyrdomOfKhmersMuslims/MKM#page/n1/mode/2up (akeses: 25 April 2015) Madrasah (Koranic School ) Chi Cangwar Knong, Phnom Penh Lampiran 4.8 - Madrasah (Koranic School) Prek Pra, Provinsi Kandal. Sumber: Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin Printing Press, 1974). Tersedia di: https://archive.org/stream/TheMartyrdomOfKhmersMuslims/MKM#page/n1/mode/2up (akeses: 25 April 2015) Lampiran 5.1 - Bendera Nasional Khmer Merah (Demokratic Kampuchea) Merah sebagai lambang revolusioner, dan kuning sebagai lambang tradisi masyarakat Kamboja. Sumber: Document Center of Cambodia (Dc-Cam)- Original (GB) File Number D55874. Lampiran 5.2 - Lambang Negara Kamboja pada masa Khmer Merah (Demokratic Kampuchea) Sumber: Document Center of Cambodia (Dc-Cam)- Original (GB) File Number D5587 Lampiran 5.3 - Khieu Samphan, Presiden Rezim Khmer Merah (Demokratic Kampuchea) 1976-1979 Sumber: Document Center of Cambodia (Dc-Cam)- Original (GB) File Number D55874. Lampiran 5.4 - Pol Pot/ Saloth Sar, Perdana Menteri Rezim Khmer Merah (Demokratic Kampuchea) 1975-1979 Sumber: Document Center of Cambodia (Dc-Cam) . http://www.d.dccam.org/Archives/Protographs/DK_Leaders.htm (akses 01 Juni 2015) Lampiran 5.5 - Tentara Khmer Merah memasuki ibukota Phnom Penh pada 17 April 1975 Sumber: Document Center of Cambodia. Tersedia di http://www.d.dccam.org/Archives/Protographs/Toul%20Sleng%20Photos/slides/Dsc_001.html (akses: 25 April 2015) Lampiran 5.6 - Proses dievakuasikannya warga Phnom Penh ke pedesaan tahun 1975 Sumber: file:///E:/Cambodia%2017%20APRIL%201975/8_files/april17.html (akses: 25 April 2015) Lampiran 5.7 - Aktivitas pertanian pada masa Khmer Merah Sumber: Document Center of Cambodia (Dc-Cam)- Original (GB) File Number D55874. Lampiran 5.8 - Aktivitas perburuhan pada masa rezim Khmer Merah Sumber: Documen Center of Cambodia (Dc-Cam)- Original (GB) File Number D55874. Tersedia di: http://www.d.dccam.org/Archives/Documents/pdf/Bullestin_of_the_Embassy_of_Democratic_Kampuchea_in_Berl in_GDR_March_1977.pdf (akses: 25 April 2015) Lampiran 5.9 - Ladang pembantaian di wilayah Svay Rieng Sumber: Document Center of Cambodia. Tersedia di: http://www.d.dccam.org/Archives/Protographs/Provincial_Photo-Archive/Svay%20Rieng/index.html Lampiran 5.10 - Ladang Pembantaian di provinsi Kandal Sumber: Document Center of Cambodia. Tersedia di: http://www.d.dccam.org/Archives/Protographs/Provincial_Photo-Archive/Kandal/index.html (akses: 25 April 2015) Lampiran 5.11 - Tuol Sleng atau Penjara S21 (Tampak Luar) Sumber: Document Center of Cambodia. Tersedia di http://www.d.dccam.org/Archives/Protographs/Toul%20Sleng%20Photos/slides/C26.8.5.html (akses: 25 April 2015) Lampiran 5.12 - Ilustrasi penyiksaan di penjara Tuol Sleng atau S21 koleksi Museum Tuol Sleng Tersedia di: http://daviddareparker.photoshelter.com/image/I0000rM39vrLLtU4 (akses: 19 Juni 2015) Lampiran 6.1 - Daftar tahanan Muslim Kamboja di Penjara Tuol Sleng/S21 tahun 1975-1979 Sumber: Osman, Ysa. OUKOUBAH Justice fot The Cham Muslims Under theDemocratic Kampuchea Regime. Phnom Penh: Documentation Center of Cambodia, 2002. Lampiran 6.2 - Daftar tokoh Muslim yang mati terbunuh pada masa pemerintahan Khmer Merah 1975-1979 Sumber: Osman, Ysa. OUKOUBAH Justice fot The Cham Muslims Under theDemocratic Kampuchea Regime. Phnom Penh: Documentation Center of Cambodia, 2002. hlm. 122-124. Lampiran 6.3 - Pejabat Muslim yang mati terbunuh pada masa pemerintahan Khmer Merah 1975-1979 Sumber: Osman, Ysa. OUKOUBAH Justice fot The Cham Muslims Under theDemocratic Kampuchea Regime. Phnom Penh: Documentation Center of Cambodia, 2002. hlm.125. Lampiran Lampiran 7.1 – Konstitusi Khmer Merah 1976 7.1 DK Constitution The Cambodian Constitutions (1953-1993) Collected and Introduced by Raoul M. Jennar Democratic Kampuchea (1975-1979) After the vote on 18 March 1970 dismissing him as Head of State, Prince NorodomSihanouk sent out an appeal from Peking for an armed uprising against the regime, which had taken power in Phnom Penh. The Communist movement which had been fighting the regime since 1968 rallied to the Prince, who created the Front National Uni du Kampuchea (FUNK) and a related Gouvernement Royal d'Union Nationale du Kampuchea (GRUNK). The North Vietnamese Army and the Vietcong brought decisive support to the embryonic FUNK forces. Little by little, the most radical elements of Cambodian communism—dubbed Khmer Rouge as early as 1970 by Prince Sihanouk—began to increase their influence within FUNK, of which they took control from 1973 on. The Vietnamese forces, which had signed the Paris Agreements at the beginning of the year, retreated to the frontier zones. While "frontism" remained the political practice in the combat zones, the first purges and massacres commenced in the so-called "liberated zones". Sihanouk supporters, moderate communists (or those suspected of sympathy for Hanoi) and reticent people, were the principal victims. On 17 April 1975 the Khmer Rouge forces entered Phnom Penh and set up the regime named Democratic Kampuchea. During a command group meeting in the Cambodian capital from 15 to 19 December 1975, the text of a Constitution was adopted, the principles of which had been decided at the end of April. It was promulgated on 5 January 1976. To establish this unofficial translation in English, we have relied on the translation published by David Chandler, "The Constitution of Democratic Kampuchea: The Semantics of Revolutionary Change", Pacific Affairs, Fall 1976; and Craig Etcheson, The Rise and Demise of Democratic Kampuchea, Colorado, Westview, 1984. Preamble On the basis of the sacred and fundamental desires of the people, workers, peasants, and other labourers as well as those of the fighters and cadres of the Kampuchean Revolutionary Army; and Whereas a significant role has been played by the people, especially the workers, poor peasants, the lower middle peasantry, and other strata of labourers in the countryside and cities, who account for more than ninety-five percent of the entire Kampuchean nation, who assumed the heaviest responsibility in waging the war for the liberation of the nation and the people, made the greatest sacrifices in terms of life, property, and commitment, served the front line relentlessly, and unhesitatingly sacrificed their children and husbands by the thousands for the fight on the battlefield; Whereas great sacrifices have been borne by the three categories of the Kampuchean Revolutionary Army who fought valiantly, day and night, in the dry and rainy season, underwent all sorts of hardship and misery, shortages of food, medicine, clothing, ammunition, and other commodities in the great war for the liberation of the nation and the people; Whereas the entire Kampuchean people and the entire Kampuchean Revolutionary Army desire an independent, unified, peaceful, neutral, non-aligned, sovereign Kampuchea enjoying territorial integrity, a national society informed by genuine happiness, equality, justice, and democracy without rich or poor and without exploiters or exploited, a society in which all live harmoniously in great national solidarity and join forces to do manual labour together and increase production for the construction and defence of the country; And whereas the resolution of the Special National Congress held on 25, 26 and 27 April 1975 solemnly proclaimed recognition and respect for the above desires of the entire people and the entire Kampuchean Revolutionary Army; The Constitution of Kampuchea states: Chapter One The State Article 1 The State of Kampuchea is an independent, unified, peaceful, neutral, nonaligned, sovereign, and democratic State enjoying territorial integrity. The State of Kampuchea is a State of the people, workers, peasants, and all other Kampuchean labourers. The official name of the State of Kampuchea is "Democratic Kampuchea". Chapter Two The Economy Article 2 All important general means of production are the collective property of the people's State and the common property of the people's collectives. Property for everyday use remains in private hands. Chapter Three Culture Article 3 The culture of Democratic Kampuchea has a national, popular, forwardlooking, and healthful character such as will serve the tasks of defending and building Kampuchea into an ever more prosperous country. This new culture is absolutely opposed to the corrupt, reactionary culture of the various oppressive classes and that of colonialism and imperialism in Kampuchea. Chapter Four The Principle of Leadership and Work Article 4 Democratic Kampuchea applies the collective principle in leadership and work. Chapter Five Legislative Power Article 5 Legislative power is invested in the representative assembly of the people, workers, peasants, and all other Kampuchean labourers. This Assembly shall be officially known as the "Kampuchean People's Representative Assembly". The Kampuchean People's Representative Assembly shall be made up of 250 members, representing the people, the workers, peasants, and all other Kampuchean labourers and the Kampuchean Revolutionary Army. Of these 250, there shall be: Representing the peasants 150 Representing the labourers and other working people 50 Representing the revolutionary army 50 Article 6 The members of the Kampuchean People's Representative Assembly are to be elected by the people through direct and prompt general elections by secret ballot to be held throughout the country every five years. Article 7 The People's Representative Assembly is responsible for legislation and for defining the various domestic and foreign policies of Democratic Kampuchea. Chapter Six The Executive Body Article 8 The administration is a body responsible for executing the laws and political lines of the Kampuchean People's Representative Assembly. The administration is elected by the Kampuchean People's Representative Assembly and must be fully responsible to the Kampuchean People's Representative Assembly for all its activities inside and outside the country. Chapter Seven Justice Article 9 Justice is administered by people's courts, representing and defending the people's justice, defending the democratic rights and liberties of the people, and condemning any activities directed against the people's State or violating the laws of the people's State. The judges at all levels will be chosen and appointed by the People's Representative Assembly. Article 10 Actions violating the laws of the people's State are as follows: Dangerous activities in opposition to the people's State must be condemned to the highest degree. Other cases are subject to constructive re-education in the framework of the State's or people's organisations. Chapter Eight The State Presidium Article 11 Democratic Kampuchea has a State Presidium chosen and appointed by the Kampuchean People's Representative Assembly once every five years. The State Presidium is responsible for representing the State of Democratic Kampuchea inside and outside the country in keeping with the Constitution of Democratic Kampuchea and with the laws and political lines of the Kampuchean People's Representative Assembly. The State Presidium is composed as follows: a president, a first vice-president, and a second vice-president. Chapter Nine The Rights and Duties of the Individual Article 12 Every citizen of Kampuchea enjoys full rights to a constantly improving material, spiritual, and cultural life. Every citizen of Democratic Kampuchea is guaranteed a living. All workers are the masters of their factories. All peasants are the masters of the rice paddies and fields. All other labourers have the right to work. There is absolutely no unemployment in Democratic Kampuchea. Article 13 There must be complete equality among all Kampuchean people in an equal, just, democratic, harmonious, and happy society within the great national solidarity for defending and building the country together. Men and women are fully equal in every respect. Polygamy is prohibited. Article 14 It is the duty of all to defend and build the country together in accordance with individual ability and potential. Chapter Ten The Capital Article 15 The capital city of Democratic Kampuchea is Phnom Penh. Chapter Eleven The National Flag Article 16 The design and significance of the Kampuchean national flag are as follows: The background is red, with a yellow three-towered temple in the middle. The red background symbolises the revolutionary movement, the resolute and valiant struggle of the Kampuchean people for the liberation, defence, and construction of their country. The yellow temple symbolises the national traditions of the Kampuchean people, who are defending and building the country to make it ever more prosperous. Chapter Twelve The National Emblem Article 17 The national emblem consists of a network of dikes and canals, which symbolise modern agriculture, and factories, which symbolise industry. These are framed by an oval garland of rice ears, with the inscription "Democratic Kampuchea" at the bottom. Chapter Thirteen The National Anthem Article 18 The national anthem of Democratic Kampuchea is the "Dap Prampi Mesa Chokchey" ["Glorious Seventeenth of April"]. Chapter Fourteen The Kampuchean Revolutionary Army Article 19 The three categories of the Kampuchean Revolutionary Army—regular, regional, and guerrilla—form an army of the people made up of men and women fighters and cadres who are the children of the labourers, peasants, and other Kampuchean working people. They defend the State power of the Kampuchean people and of independent, unified, peaceful, neutral, non-aligned, sovereign, and democratic Kampuchea, which enjoys territorial integrity, and at the same time they help to build a country growing more prosperous every day to improve and develop the people's standard of living. Chapter Fifteen Worship and Religion Article 20 Every citizen of Kampuchea has the right to worship according to any religion and the right not to worship according to any religion. Reactionary religions which are detrimental to Democratic Kampuchea and Kampuchean people are absolutely forbidden. Chapter Sixteen Foreign Policy Article 21 Democratic Kampuchea fervently and earnestly desires to maintain close and friendly relations with all countries sharing a common border and with all those near and distant throughout the world in conformity with the principles of mutual and absolute respect for sovereignty and territorial integrity. Democratic Kampuchea adheres to a policy of independence, peace, neutrality and nonalignment. It will permit absolutely no foreign country to maintain military bases on its territory and is resolutely opposed to all forms of outside interference in its internal affairs, and to all forms of subversion and aggression against Democratic Kampuchea from outside, whether military, political, cultural, social, diplomatic, or humanitarian. Democratic Kampuchea refuses all intervention in the domestic affairs of other countries, and scrupulously respects the principle that every country is sovereign and entitled to manage and decide its own affairs without outside interference. Democratic Kampuchea remains absolutely within the great family of non-aligned nations. Democratic Kampuchea strives to promote solidarity with the peoples of the Third World in Asia, Africa, and Latin America, and with peace- and justice-loving people the world over, and to contribute most actively to mutual aid and support in the struggle against imperialism, colonialism, neo-colonialism, and in favour of independence, peace, friendship, democracy, justice, and progress in the world. Sumber: http://www.d.dccam.org/Archives/Documents/DK_Policy/DK_Policy_DK_Constitution.ht m (Akses: 24/04/2015)