Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Alih Kode dan Campur Kode Jatut Yoga Prameswari Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Indraprasta PGRI Abstrak Kurangnya penguasaan bahasa kedua oleh penutur atau bahkan karena kebiasaan. Percampuran unsur bahasa ini disebut alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing). Semakin berbaurnya budaya di era glogalisasi ini, alih kode dan campur kode sering terjadi baik dalam percakapan sehari-hari maupun dalam sebuah wacana tulis (Cerpen, artikel, dll). Alih kode (code switching) penggunaan varasi bahasa lain dalam suatu peristiwa bahasa sebagai strategi untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipan lain. Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Kata kunci: Alih Kode dan Campur Kode BAB I PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak penduduk dan tersebar luas di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tentu memiliki ragam bahasa yang tidak sedikit. Keragaman bahasa di Indonesia sangat variatif kareana kini Indonesia memiliki 33 provinsi yang berbeda-beda pula ragam bahasanya. Selain itu, Indonesia merupakan negara yang mengikuti terus perkembangan globalisasi, di mana Indonesia terbuka untuk siapa saja dengan latar belakang negara yang berbeda. Keragaman bahasa di Indonesia semakin variatif dengan adanya pengaruh bahasa asing yang dibawa oleh kaum turis di Indonesia. Keragaman ini menjadikan warna bagi perkembangan bahasa di Indonesia. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya. Sebagai alat komunikasi dan interaksi, bahasa dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Secara internal, pengkajian tersebut dilakukan terhadap unsur intern bahasa saja seperti, struktur fonologis, morfologis, dan sintaksisnya. Sedangkan kajian secara eksternal, kajian tersebut dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor di luar bahasa, tetapi berkaitan dengan pemakai bahasa itu sendiri, masyarakat tutur ataupun lingkungannya. Dalam pengkajian bahasa secara eksternal, juga mengkaji bagaimana pembauran berbagai bahasa dalam suatu wilayah dan penguasaan bahasa kedua, ketiga bahkan selanjutnya oleh penutur atau pengguna bahasa. Seseorang yang menguasai dua bahasa biasa disebut bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan) sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawanan) Chaer (1995:112). Sebagai seorang pengguna bahasa dengan kemajemukan bahasa dan budaya yang ada di sekitar lingkungannya sudah tentu memberi pengaruh terhadap caranya berbahasa. Pengaruh ini lah yang nantinya akan menimbulkan kekacauan dalam berbahasa. Salah satu akibatnya adalah tumpang tindih antara dua sistem bahasa yang digunakan dari unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Hal ini terjadi karena kurangnya penguasaan bahasa kedua oleh penutur atau bahkan karena kebiasaan. Percampuran unsur bahasa ini disebut alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing). Semakin berbaurnya budaya di era glogalisasi ini, alih kode dan campur kode sering terjadi baik dalam percakapan sehari-hari maupun dalam sebuah wacana tulis (Cerpen, artikel, dll). BAB II PEMBAHASAN ALIH KODE Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli, yaitu Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2004:107) mendefinisikan alih kode itu sebagai, “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Selanjutnya Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004:107) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Selain dua pendapat di atas, dalam kamus linguistik Kridalaksana (2008:9) menyatakan bahwa alih kode (code switching) penggunaan varasi bahasa lain dalam suatu peristiwa bahasa sebagai strategi untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipan lain Berdasarkan pendapat di atas, alih kode merupakan peralihan kode/bahasa yang terjadi dalam suatu peristiwa karena adanya penutur bahasa lain sebagai cara untuk menyesuaikan situasi berbahasa dalam berkomunikasi. FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA ALIH KODE Alih kode adalah peristiwa peralihan bahasa yang disebabkan oleh faktor-faktor luar bahasa, terutama faktor-faktor yang sifatnya sosiosituasional. Beberapa faktor yang biasanya menjadi penyebab terjadinya alih kode antara lain ialah: 1) Pembicara/Penutur (01), 2) Pendengar/lawan tutur (02), 3) Hadirnya penutur ketiga (03), 4) Pokok pembicaraan (topik), 5) Untuk membangkitkan rasa humor; 6) Untuk sekedar bergengsi. CONTOH ALIH KODE Percakapan antara ibu rumah tangga Latar : Perumahan Para pembicara : Ibu-ibu rumah tangga (2 orang berasal dari Jawa Barat orang Sunda, Ibu Imas dan Ibu Nani, serta seorang lagi dari Jawa Timur yang tidak bisa berbahasa Sunda, Ibu Juminten). Topik pembicaraan : Listrik mati Sebab alih kode : kehadiran Ibu Juminten dalam peristiwa tutur. Peristiwa tutur Ibu Imas : Ibu Nani, Tadi wengi lampu listrik ngawitan caang deui tabuh sabaraha? Abdi tos mondok ti tabuh dalapan ‘bada Isya’ (“Ibu Imas, tadi malam lampu listrik mulai nyala lagi jam berapa? Saya sudah tidur sejak pukul 8 setelah solat Isya). Ibu Nani : Sami, abdi oge tos mondok langkung ti payun, malihan ti tabuh 7margi rada teu raraos awak! (Sama, saya juga sudah tidur lebih dulu, malahan dari pukul 7 saya sudah tidur karena kurang enak badan). Bagaimana Ibu Juminten tahu pukul berapa lampu listrik menyala lagi tadi malam? (pertanyaan diajukan kepada Ibu Juminten) Ibu Juminten: Saya tahu Bu, lampu menyala kira-kira pukul 9 lebih. Percakapan antara siswa SMP Latar : Ruang Kelas Para pembicara : Mia dan Puput, berasal dari Inggris dan Reza dari Indonesia Topik pembicaraan : Tempat wisata TMII Sebab alih kode : kehadiran Reza dalam peristiwa tutur. Peristiwa tutur Mia : How are you Puput? Puput : Fine, and You? Yesterday I went to TMII Mia : Fine too. O…yeah? Where is the TMII? Puput : TMII in East Jakarta. It’s really fun. Hai…Reza baru sampai di s sekolah? (terjadi perubahan kode bahasa saat Reza datang, yaitu percakapan oleh Mia dan Puput dalam bahasa Inggris saat Reza datang mereka langsung menggunakan bahasa Indonesia). Reza : Iya, saya baru saja tiba di sekolah. Apa yang sedang kalian bicarakan? Mia : Kami sedang membicarakan tempat wisata TMII. Reza : Oh… saya tahu tempat itu. Di sana sangat menyenangkan. CAMPUR KODE Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence). Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Campur kode ke dalam (innercode-mixing): Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya 2. Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing. Berikut beberapa pendapat dari para ahli mengenai campur kode, Hill dan Hill (dalam Chaer dan Agustina, 2004:114) dalam penelitian mereka mengenai masyarakat bilingual bahasa Spanyol dan Nahuali di kelompok Indian Meksiko, mengatakan bahwa tidak ada harapan untuk dapat membedakan antara alih kode dan campur kode. Thelander (dalam Chaer dan Agustina, 2004:115) mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Katanya, bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode. Fasold (dalam Chaer dan Agustina, 2004:114) mengatakan bahwa kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Kridalaksana dalam kamus linguistik (2008:40) campur kode (code-mixing) 1. Interferensi; 2. Penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakain kata, klausa idiom, sapaan, dsb. Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu 1. sikap (attitudinal type) latar belakang sikap penutur 2. kebahasaan(linguistik type) latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Beberapa wujud campur kode, penyisipan kata, menyisipkan frasa, penyisipan klausa, penyisipan ungkapan atau idiom, dan penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing). Latar  belakang  terjadinya  campur  kode  menurut  Suwito  (1985:77) dikategorikan menjadi dua  tipe, yaitu Tipe yang berlatar belakang pada sikap penutur  (attitudinal type). Tipe  yang  berlatar  belakang  pada sikap  meliputi  (1)  untuk  memperhalus ungkapan;  (2)  untuk  menunjukkan kemampuannya;  (3)  perkembangan  dan  perkenalan  dengan  budaya  baru.  Tipe  yang  berlatar  belakang  pada  kebahasaan (linguistic type). Tipe yang  berlatar  belakang  pada  kebahasaan  meliputi  (1)  lebih  mudah  diingat;  (2) tidak  menimbulkan  kehomoniman;  (3)  keterbatasan  kata;  (4)  akibat  atau  hasil yang  dikehendaki. Sedangkan menurut Nababan  (1984:32)  campur  kode  terjadi  karena  (1)  pembica      ingin memamerkan  keterpelajarannya,  (2)  kesantaian,  (3) tidak  ada  ungkapan  yang   tepat  dalam  bahasa  yang  sedang  dipakai  itu,  sehingga  perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa asing. Faktor-faktor   yang mempengaruhi  penggunaan  bahasa  adalah  faktor-faktor   yang diungkapkan Dell Hymes (melalui Nababan, 1993:7) dengan akronimSPEAKING yang bila dijabarkan berarti : Setting  dan  Scene,  dalam  bagian  ini  unsur-unsur  yang  dimaksud  yaitu keadaan,   suasana,  serta  situasi  penggunaan  bahasa  tersebut  pada  waktu dilakukan,  hal  ini  akan  mempengaruhi  tuturan  seseorang  dalam  suatu komunikasi. Participant, yaitu siapa-siapa yang  terlibat dalam peristiwa berbahasa, hal  ini berkaitan  antara  penutur  dan  lawan  tutur.  Keputusan  tindak  bahasa  penutur pada bagian  ini dipengaruhi olek kedudukan dan permasalahan yang melatari suatu komunikasi.  End (purpose and goal ), dalam unsur ini yang dibicarakan adalah akibat atau hasil  dan  tujuan  apa  yang  dikehendaki  oleh  pembicara,  hal  ini  akan berpengaruh pada bentuk bahasa serta tuturan pembicara.  Act Sequence,dalam unsur  ini yang dibicarakan adalah bentuk,  isi pesan dan topik yang akan dibicarakan dalam komunikasi. Hal ini juga berpengaruh pada bentuk bahasa serta tuturan pembicara. Key  /  tone  of  spirit  of  art,  unsur  nada  suara  yang  bagaimana  serta  ragam bahasa  yang  digunakan  dalam  komunikasi  akan  berpengaruh  pada  bentuk tuturan. Instrumentalis,  yaitu  tuturan  akan  dipakai  dalam  komunikasi  .  Jalur  ini  bisa berupa tuturan melalui media cetak, media dengar, dan sebagainya. Norm of intersection and interpretation, unsur norma atau tuturan yang harus dimengerti dan ditaati dalam suatu komunikasi. Norma yang dimaksud dapat berupa norma bahasa yang mengatur bagaimana agar bahasa  tersebut mudahdipahami. Genres,  yaitu  unsur  berupa  jenis  penyampaian  pesan.  Jenis  penyampaian pesan ini berwujud puisi, dialog, cerita dan lain-lain. Hal ini juga dipengaruhi oleh bentuk bahasa yang digunakan.   Menurut  Weinreich  (1963)  menjelaskan  mengapa  seseorang  harus  meminjam kata-kata  dari  bahasa  lain.  Hal  ini  pada  dasarnya  memiliki  dua  faktor  yaitu faktor internal dan faktor eksternal.  Faktor Internal Faktor  ini menunjukan  bahwa  sesorang meminjam  kata  dari  bahasa  lain karena  dorongan yang ada dalam dirinya. Adapun faktor tersebut meliputi tiga macam yaitu: Low frequency of word Seseorang    melakukan  campur  kode  karena  kata-kata  yang  sering digunakan  biasanya  mudah  diingat  dan  lebih  stabil  maknanya.  Hal  ini dapat  dianalogikan  ketika  ketika  seorang  Customer  Service  terlibat pembicaraan  dengan  calon  pelanggan  tentang  permasalahan  dan keistimewaan  handphone  yang  banyak  mengandung  istilah  dari  bahasa Inggris.  Dengan  demikian  peminjaman  kata  dari  bahasa  lain  bertujuan untuk  menghindari  pemakaian  kata  yang  jarang  didengar  orang.  Atau dengan kata lain menggunakan kata yang biasanya dipakai sehingga lawan tutur mudah memahami makna yang ingin disampikan penutur. Pernicious Homonymy Kata-kata  yang  dipinjam  dari  bahasa  lain  juga  digunakan  untuk memecahkan  masalah  homonim  yang  ada  dalam  bahasa  penutur. Maksudnya  adakalanya  jika  penutur menggunakan kata  daam  bahasanya sendiri, maka  kata  tersebut  dapat menimbulkan masalah  homonim  yaitu makna ambigu. Sehingga untuk menghindari keambiguan makna penutur menggunakan kata dari bahasa lain. Need for Synonim Penutur  sengaja  menggunkan  kata  dari  bahasa  lain  yang  bersinonim dengan bahasa penutur dengan  tujuan untuk menyelamatkan muka  lawan tutur. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah suatu dorongan yang berasal dari luar penutur, yang menyebabkan  penutur  meminjam  kata  dari  bahasa  lain.  Terdapat    empat faktor eksternal yaitu: Perkembangan atau perkenalan dengan budaya baru. Faktor  ini  terjadi  karena  adanya  perkembangan  budaya  baru  misalnya perkembangan  teknologi  di  Indonesia,  mau  tidak  mau  orang  Indonesia banyak  menggunakan  bahasa  Inggris  karena  banyak  sekali  alat-alat teknologi  yang  berasal  dari  negara  asing. Atau  pemakaian  bahasa  Jawa oleh para mahasiswa yang notabene tidak berasal dari Jawa. Social Value Penutur  mengambil  kata  dari  bahasa  lain  dengan  mempertimbangkan faktor  sosial,  sehingga diharapkan dengan penggunaan kata-kata  tersebut dapat menunjukan status sosial dari penutur.  Oversight Maksudnya ada keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasa penutur dalam kaitannya dengan  topik yang disampaikan  sehingga penutur harus mengambil  kata  dari  bahasa  lain.  Contohnya  terbatasnya  kata  dalam bidang  kedokteran  dalam  bahasa  Indonesia  maka  banyak  istilah kedokteran  yang  diambil  dari bahasa  latin  yang mempunyai  istilah  yang tepat dalam bidang kedokteran. Beberapa wujud campur kode, penyisipan kata, Contoh  : (1)  Kalau perlu, bikin list kelebihan dan kekurangannya  (2)  Jadi  si  dia  pasti  bisa  kita  andalkan  untuk  bantuin  ngerjain  paper Sejarah atau IPS yang „njelimet‟ banget.   (3)  Saatnya  jadi  auntie  teladan  yang  asyik  menjaga  keponakannya dengan penuh rasa     sayang. (4)  Tukang  speak,  murah  banget  ngejual  kata-kata  pujian  ke  cewek dan bikin cewek tersebut melayang tinggi. (5)    Jangan  flirting,  CCP-an  (curi-curi  pandang),  atau  ber-TTM  ria (teman tapi mesra) dengan orang lain! 6)     Jadi, sobat kita tetap bisa survive dari depresi. penyisipan frasa Contoh : (1)    Lagi  asyik-asyiknya  beresin  barang  di  lemari,  tanpa  sengaja  kita nemuin benda-benda penuh memori akan someone spesial di masa lalu. (2)   Tapi  gimana  jadinya  kalau  bad mood-nya  ternyata  nggak  hilang-hilang dan sobat kita malah jadi makin stres dan ‘so lame’?  (3)   Ini  jelek.  Itu  nggak  keren. Berabe  nih  kalau  punya  ortu  fashion police!      (4)   Jangan langsung negative thinking. (5)   Say thanks setiap kali dia memuji kita.        (6)   Capek,  deh!  Soalnya,  nggak  cuma  bersikap  over-exaggerating, kadang drama king juga suka berpikir negatif. (7)   Pergi bareng keluarga memang  suka bingung nyamain keinginan, ada  yang  mau shopping,  sight-seeing  bahkan leyeh-leyeh di kolam renang hotel.   (8)  Seringkali kita juga suka berantem over small thingssama dia. (9)  Biasanya para senior ngegencet adik kelas for some reasons.  \ penyisipan / berunsur klausa Klausa  adalah  “Satuan  gramatikal  berupa  kelompok  kata  yang  sekurang-kurangnya  terdiri atas subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk berdiri sendiri” (Kridalaksana, 1984 : 100).  Contoh : Jadi mendingan lupain aja! They don’t worth it. Pada  contoh  di  atas  terlihat  adanya  campur  kode  bahasa  Inggris  berupa klausa  yaitu  they  don’t  worth  it  yang  berarti  „mereka  tidak  menghargainya‟. Klausa  ini  terdiri  atas  S(ubjek)  yaitu  they,  P(redikat)  yaitu  don’t  worth  dan O(bjek) yaitu  it. Ramlan mengatakan  bahwa  “Unsur  inti  klausa  adalah  S  dan  P.  Namun demikian,  S  sering  dihilangkan,  misalnya  dalam  kalimat  luas  sebagai  akibat penggabungan klausa dan dalam kalimat jawaban” (1987 : 89). Contoh : Think  like  a  man,  act  like  a  lady.  Imbangi  posisi  kita  dengan punya pola pikir ala cowok.         Satuan  kebahasaan  think  like  a man,  act  like  a  lady  pada  kalimat  (2),   merupakan  campur  kode  berupa  klausa  yang  berarti  „berpikir  seperti  laki-laki,  bertindak  seperti “perempuan‟. Satuan bahasa di atas  terdiri atas dua klausa yaitu think  like a man dan act  like a  lady. Klausa pertama  terdiri atas P(redikat) yaitu think „berpikir‟ dan O(bjek) yaitu like a man „seperti laki-laki‟. Sedangkan klausa kedua  terdiri  atas  P(redikat)  act  „bertindak‟  danO(bjek)  like  a  lady  „  seperti perempuan‟.  Subjek  dalam  kalimat  tersebut  dihilangkan  karena  merupakan jawaban dari pertanyaan bagaimana menghadapi buaya darat? Jawaban  lengkap klausa  tersebut  seharusnya  berbunyi  kita  harus  berpikir  seperti  laki-laki  dan bertindak seperti perempuan. Kalimat  ini sebenarnya benar,  tetapi karena  terlalu panjang maka menjadi  tidak  efektif. Untuk  itu digunakan pelesapan  subjek  agar kalimat menjadi efektif. penyisipan ungkapan atau  idiom Idiom adalah “Pola-pola  struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang  umum,  sedangkan  artinya  tidak  dapat  diterangkan  secara  logis  atau  secara gramatikal,  dengan  bertumpu  pada  makna  kata  yang  membentuknya”  (Keraf, 1996 : 109).  Contoh : Kita dan sahabat kita punya waktu-waktu tertentu untuk melakukan kegiatan-kegiatan “cewek” (seperti  window-shopping  atau  luluran bareng). Satuan lingual window-shopping pada kalimat (1), merupakan ungkapan idiomatik  karena  ungkapan  itu  tidak  dapat  diartikan  berdasarkan  unsur pembentuknya, yaitu window„jendela‟ dan shopping “belanja”. Ungkapan tersebut mempunyai  makna  “melihat-lihat  pajangan  di  etalase  toko”.  Kegiatan  ini  biasa dilakukan oleh para wanita di kota besar. Nah, kalau cowok atau gebetan kita punya semua gejala di atas, itu tandanya  ia  termasuk  orang  yang  berani  speak  out,  punya  rasa ingin tahu tinggi, kritis dan selalu ingin bikin perubahan.    Speak out pada contoh (2) jika diartikan kata demi kata berarti berbicara keluar. Namun, speak  out  disini merupakan  satuan  lingual  yang  diartikan  secara keseluruhan.  Ungkapan yang berasal dari bahasa Inggris ini berarti bicara bebas. Biasanya ungkapan  ini digunakan untuk menyebut  seseorang yang berjiwa kritis dan berani.  Selalu menawarkan bantuan dan stand by buat kita kapan pun kita butuhkan. Stand  by  dalam  kalimat  (3)  merupakan  ungkapan  karena  tidak  dapat diartikan berdasarkan unsur pembentuknya yaitu stand “berdiri” dan by ‟dengan”Stand  by  merupakan  ungkapan  dari  bahasa  Inggris  yang  berarti  “siap”.  Dalam bahasa Indonesia ungkapan ini berpadanan kata dengan cadang siaga.  Tutup  kuping,  bersikap  cuek  atau  berikan  dia  tangan  kita  sambil bilang  Talk  To  The  Hand,  sampai  akhirnya  dia  bisa  menyadari permasalahan sebenarnya. Talk  To  The  Hand  merupakan  ungkapan  dari  bahasa Inggris  yang  berarti  „bicaralah  dengan  tanganku‟. Kalimat  di  atas  bukan  berarti bahwa  kita  menyuruh  orang  untuk  berbicara  dengan  tangan  kita,  melainkan ungkapan  bahwa  kita  tidak mau  diganggu. Ungkapan  ini  sering  digunakan  oleh para artis muda ketika sedang diserbu wartawan.  Penyisipan bentuk baster Baster merupakan  hasil  perpaduan  dua  unsur  bahasa  yang  berbeda, membentuk satu  makna    (Suwito,  1985:76).  Baster  adalah  bentuk  yang  tidak  asli,  artinya bentuk  ini  terjadi  karena  perpaduan  antara  afiksasi  bahasa  Indonesia  dengan unsur-unsur bahasa dari bahasa lain, atau sebaliknya afiksasi dari bahasa lain yang dipadukan dengan unsur-unsur bahasa dari bahasa Indonesia. Unsur Baster Berwujud Prefiks Prefiks  adalah  imbuhan  yang  diletakkan  di  bagian muka  kata  dasar  (Alwi  dkk,2003:31). Contoh :  Sobat dekat yang sudah kita kenal sejak baru masuk sekolah, yang selalu kompak diajak seru bareng, yang sama-sama nge-fans sama Mike  Shinoda,  dan  paling  nyambung  diajak  ngegosip,  sekarang menghilang. Contoh  (1)  di  atas  terdapat  unsur  baster  yaitu  nge-fans  yang  berarti “menggemari‟. Bentuk nge-fans  terdiri atas dua unsur bahasa yaitu  imbuhan nge- yang berasal dari bahasa Indonesia dan kata fans yang berasal dari bahasa Inggris. Nge-fans  berasal  dari  bentuk  dasar  fans  yang  merupakan  kata  benda  lalu bergabung dengan awalan nge- menjadi kata kerja nge-fans. Imbuhan nge- sering digunakan  dalam  bahasa  Indonesia  ragam  non  formal,  seperti  ngelap,  nge-gank, ngecat, ngebom, dan sebagainya. Rasa  sayang  yang  sudah  mulai  menipis  dan  sekarat,  bisa  di-re-charge atau diisi ulang lewat break. Bentuk  baster  yang  ditemukan  pada  data  (15)  yaitu  di-re-charge  berarti„diisi ulang‟. Bentuk di-re-charge merupakan penggabungan dua unsur dari dua bahasa. Unsur yang pertama adalah awalan di- yang berasal dari bahasa Indonesia dan  unsur  yang  kedua  adalah  kata  re-charge  yang  berasal  dari  bahasa  Inggris. Afiks  di-  hanya  memiliki  satu  fungsi,  yaitu  membentuk  kata  kerja  pasif, sedangkan maknanya ialah menyatakan suatu perbuatan yang pasif (Ramlan, 1987 : 116-117). Artinya bahwa pelaku hanya dikenai perbuatan sehingga kadang tidak disebutkan dalam konstruksi kalimat. Recharge yang berarti isi ulang berkategori  kata benda dan setelah mendapat  imbuhan di- berubah menjadi kata kerja bentuk pasif. Begitu waktunya tiba, kita nggak sendirian datang tapi ramai-ramai bareng sobat se-  gank. Unsur  bahasa  Inggris  yang  terjadi  dalam  data  (30)  merupakan  bentuk baster,  sebab  bentuk  dasarnya  adalah  dari  bahasa  Inggris  gank  yang  berarti kelompok, sedang awalannya dari bahasa Indonesia se- yang berarti satu. Afiks se- yang melekat pada nomina gank membentuk kata bendase-gank yang berarti satu kelompok.  Unsur Baster Berwujud Sufiks Sufiks adalah imbuhan yang diletakkan di bagian belakang kata dasar (Alwi, dkk., 2003:31). Contoh : Bukan  bermaksud  ber-KKN  ria…  tapi  nggak  ada  salahnya  kita pergunakan kakak kelas  tersebut  sebagaibacking-an buat ngebela kita! Contoh  (1)  terlihat  adanya  bentuk  baster  yaitu  backing-an.  Bentuk backing-an  terdiri  atas  dua  unsur  bahasa,  yaitu  kata  dasar  backing  yang  berasal dari bahasa Inggris berarti „membantu‟ dan akhiran –an yang berasal dari bahasa Indonesia. Afiks –an hanya mempunyai satu fungsi, yaitu sebagai pembentuk kata benda  (Ramlan, 1987:154). Kata backing-an  terdiri atas kata kerja backing dan  setelah  mendapat  akhiran  –an  menjadi  kata  benda  yang  berarti  “orang  yang membantu di belakang kita”. Good news-nya depresi bisa disembuhkan kok. Pada  kalimat di atas ditemukan unsur baster yaitu good news-nya. Bentuk good news-nya terdiri atas frasa good news berarti „berita baik‟ dan akhiran dari bahasa Indonesia –nya Frasa good news merupakan frasa nominal dan dapat disisipi kata yang, sedangkan akhiran –nya merupakan partikel penegas.    CONTOH CAMPUR KODE Latar Belakang : Terminal Panorama Para pembicara : Pak Ander dan Pak Dito Topik : Harga BBM naik Peristiwa tutur : Pak Ander : Kalau seandainya harga BBM terus naik, bisa rugi kita pak. Wong ate die galak mikir nasib kite. Pak Dito : Amen pisak, nangku piti di jalan. Cam pemulung tu. Pemerintah sulit diandalkan. Latar Belakang : Puskesmas Para pembicara : dokter dan pasien Topik : penyakit Peristiwa tutur : Dokter : Sakit apa bu leha? Pasien : panas dingin bu dokter. palak ambo ko rasonyo pening nian. Dokter : tula kalu sering bepane. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ALIH KODE DAN CAMPUR KODE Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan. Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode. BAB III PENUTUP Alih kode dan campur kode merupakan peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat multilingual yang  menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu, sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Jawa sebagai unsur bawahan dari unsur pokok bahasa Indonesia. Thelander membedakan alih kode dan campur kode yakni,  apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu  bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode. DAFTAR PUSTAKA Buku: Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Edisi Revisi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Internet: http://agsjatmiko.blogspot.com/2011/12/penggunaan-alih-kode-dan-campur-kode.html http://sastrapuisi.wordpress.com/2011/12/11/kode-alih-kode-dan-campur-kode-disusun-untuk-disajikan-dalam-diskusi-mata-kuliah-sosiolinguistik-dosen-pengampu-prof-fathurahman-dan-dr-ida-zulaida/ http://zilent4.blogspot.com/2010/07/contoh-contoh-kasus-campur-kode.html http://saefulmaruf.blogspot.com/2010/01/analisis-alih-kode-dan-campur-kode.html. 20