Alih Kode dan Campur Kode
Jatut Yoga Prameswari
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Indraprasta PGRI
Abstrak
Kurangnya penguasaan bahasa kedua oleh penutur atau bahkan karena kebiasaan. Percampuran unsur bahasa ini disebut alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing). Semakin berbaurnya budaya di era glogalisasi ini, alih kode dan campur kode sering terjadi baik dalam percakapan sehari-hari maupun dalam sebuah wacana tulis (Cerpen, artikel, dll). Alih kode (code switching) penggunaan varasi bahasa lain dalam suatu peristiwa bahasa sebagai strategi untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipan lain. Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya.
Kata kunci: Alih Kode dan Campur Kode
BAB I PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak penduduk dan tersebar luas di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tentu memiliki ragam bahasa yang tidak sedikit. Keragaman bahasa di Indonesia sangat variatif kareana kini Indonesia memiliki 33 provinsi yang berbeda-beda pula ragam bahasanya. Selain itu, Indonesia merupakan negara yang mengikuti terus perkembangan globalisasi, di mana Indonesia terbuka untuk siapa saja dengan latar belakang negara yang berbeda.
Keragaman bahasa di Indonesia semakin variatif dengan adanya pengaruh bahasa asing yang dibawa oleh kaum turis di Indonesia. Keragaman ini menjadikan warna bagi perkembangan bahasa di Indonesia. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya. Sebagai alat komunikasi dan interaksi, bahasa dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Secara internal, pengkajian tersebut dilakukan terhadap unsur intern bahasa saja seperti, struktur fonologis, morfologis, dan sintaksisnya. Sedangkan kajian secara eksternal, kajian tersebut dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor di luar bahasa, tetapi berkaitan dengan pemakai bahasa itu sendiri, masyarakat tutur ataupun lingkungannya. Dalam pengkajian bahasa secara eksternal, juga mengkaji bagaimana pembauran berbagai bahasa dalam suatu wilayah dan penguasaan bahasa kedua, ketiga bahkan selanjutnya oleh penutur atau pengguna bahasa.
Seseorang yang menguasai dua bahasa biasa disebut bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan) sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawanan) Chaer (1995:112). Sebagai seorang pengguna bahasa dengan kemajemukan bahasa dan budaya yang ada di sekitar lingkungannya sudah tentu memberi pengaruh terhadap caranya berbahasa. Pengaruh ini lah yang nantinya akan menimbulkan kekacauan dalam berbahasa. Salah satu akibatnya adalah tumpang tindih antara dua sistem bahasa yang digunakan dari unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Hal ini terjadi karena kurangnya penguasaan bahasa kedua oleh penutur atau bahkan karena kebiasaan. Percampuran unsur bahasa ini disebut alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing). Semakin berbaurnya budaya di era glogalisasi ini, alih kode dan campur kode sering terjadi baik dalam percakapan sehari-hari maupun dalam sebuah wacana tulis (Cerpen, artikel, dll).
BAB II PEMBAHASAN
ALIH KODE
Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli, yaitu Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2004:107) mendefinisikan alih kode itu sebagai, “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Selanjutnya Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004:107) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Selain dua pendapat di atas, dalam kamus linguistik Kridalaksana (2008:9) menyatakan bahwa alih kode (code switching) penggunaan varasi bahasa lain dalam suatu peristiwa bahasa sebagai strategi untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipan lain
Berdasarkan pendapat di atas, alih kode merupakan peralihan kode/bahasa yang terjadi dalam suatu peristiwa karena adanya penutur bahasa lain sebagai cara untuk menyesuaikan situasi berbahasa dalam berkomunikasi.
FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA ALIH KODE
Alih kode adalah peristiwa peralihan bahasa yang disebabkan oleh faktor-faktor luar bahasa, terutama faktor-faktor yang sifatnya sosiosituasional. Beberapa faktor yang biasanya menjadi penyebab terjadinya alih kode antara lain ialah:
1) Pembicara/Penutur (01),
2) Pendengar/lawan tutur (02),
3) Hadirnya penutur ketiga (03),
4) Pokok pembicaraan (topik),
5) Untuk membangkitkan rasa humor;
6) Untuk sekedar bergengsi.
CONTOH ALIH KODE
Percakapan antara ibu rumah tangga
Latar : Perumahan
Para pembicara : Ibu-ibu rumah tangga (2 orang berasal dari Jawa Barat
orang Sunda, Ibu Imas dan Ibu Nani, serta seorang lagi dari Jawa Timur yang tidak bisa berbahasa Sunda, Ibu Juminten).
Topik pembicaraan : Listrik mati
Sebab alih kode : kehadiran Ibu Juminten dalam peristiwa tutur.
Peristiwa tutur
Ibu Imas : Ibu Nani, Tadi wengi lampu listrik ngawitan caang deui tabuh
sabaraha? Abdi tos mondok ti tabuh dalapan ‘bada Isya’ (“Ibu Imas, tadi malam lampu listrik mulai nyala lagi jam berapa? Saya sudah tidur sejak pukul 8 setelah solat Isya).
Ibu Nani : Sami, abdi oge tos mondok langkung ti payun, malihan ti tabuh
7margi rada teu raraos awak! (Sama, saya juga sudah tidur lebih dulu, malahan dari pukul 7 saya sudah tidur karena kurang enak badan).
Bagaimana Ibu Juminten tahu pukul berapa lampu listrik menyala lagi tadi malam? (pertanyaan diajukan kepada Ibu Juminten)
Ibu Juminten: Saya tahu Bu, lampu menyala kira-kira pukul 9 lebih.
Percakapan antara siswa SMP
Latar : Ruang Kelas
Para pembicara : Mia dan Puput, berasal dari Inggris dan Reza dari Indonesia
Topik pembicaraan : Tempat wisata TMII
Sebab alih kode : kehadiran Reza dalam peristiwa tutur.
Peristiwa tutur
Mia : How are you Puput?
Puput : Fine, and You? Yesterday I went to TMII
Mia : Fine too. O…yeah? Where is the TMII?
Puput : TMII in East Jakarta. It’s really fun. Hai…Reza baru sampai di s
sekolah?
(terjadi perubahan kode bahasa saat Reza datang, yaitu percakapan oleh Mia dan Puput dalam bahasa Inggris saat Reza datang mereka langsung menggunakan bahasa Indonesia).
Reza : Iya, saya baru saja tiba di sekolah. Apa yang sedang kalian
bicarakan?
Mia : Kami sedang membicarakan tempat wisata TMII.
Reza : Oh… saya tahu tempat itu. Di sana sangat menyenangkan.
CAMPUR KODE
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya
2. Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari
bahasa asing.
Berikut beberapa pendapat dari para ahli mengenai campur kode,
Hill dan Hill (dalam Chaer dan Agustina, 2004:114) dalam penelitian mereka mengenai masyarakat bilingual bahasa Spanyol dan Nahuali di kelompok Indian Meksiko, mengatakan bahwa tidak ada harapan untuk dapat membedakan antara alih kode dan campur kode.
Thelander (dalam Chaer dan Agustina, 2004:115) mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Katanya, bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode.
Fasold (dalam Chaer dan Agustina, 2004:114) mengatakan bahwa kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Kridalaksana dalam kamus linguistik (2008:40) campur kode (code-mixing) 1. Interferensi; 2. Penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakain kata, klausa idiom, sapaan, dsb.
Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
1. sikap (attitudinal type) latar belakang sikap penutur
2. kebahasaan(linguistik type) latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga
ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Beberapa wujud campur kode,
penyisipan kata,
menyisipkan frasa,
penyisipan klausa,
penyisipan ungkapan atau idiom, dan
penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).
Latar belakang terjadinya campur kode menurut Suwito (1985:77) dikategorikan menjadi dua tipe, yaitu
Tipe yang berlatar belakang pada sikap penutur (attitudinal type). Tipe yang berlatar belakang pada sikap meliputi (1) untuk memperhalus ungkapan; (2) untuk menunjukkan kemampuannya; (3) perkembangan dan perkenalan dengan budaya baru.
Tipe yang berlatar belakang pada kebahasaan (linguistic type). Tipe yang berlatar belakang pada kebahasaan meliputi (1) lebih mudah diingat; (2) tidak menimbulkan kehomoniman; (3) keterbatasan kata; (4) akibat atau hasil yang dikehendaki.
Sedangkan menurut Nababan (1984:32) campur kode terjadi karena (1) pembica ingin memamerkan keterpelajarannya, (2) kesantaian, (3) tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa asing.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa adalah faktor-faktor yang diungkapkan Dell Hymes (melalui Nababan, 1993:7) dengan akronimSPEAKING yang bila dijabarkan berarti :
Setting dan Scene, dalam bagian ini unsur-unsur yang dimaksud yaitu keadaan, suasana, serta situasi penggunaan bahasa tersebut pada waktu dilakukan, hal ini akan mempengaruhi tuturan seseorang dalam suatu komunikasi.
Participant, yaitu siapa-siapa yang terlibat dalam peristiwa berbahasa, hal ini berkaitan antara penutur dan lawan tutur. Keputusan tindak bahasa penutur pada bagian ini dipengaruhi olek kedudukan dan permasalahan yang melatari suatu komunikasi.
End (purpose and goal ), dalam unsur ini yang dibicarakan adalah akibat atau hasil dan tujuan apa yang dikehendaki oleh pembicara, hal ini akan berpengaruh pada bentuk bahasa serta tuturan pembicara.
Act Sequence,dalam unsur ini yang dibicarakan adalah bentuk, isi pesan dan topik yang akan dibicarakan dalam komunikasi. Hal ini juga berpengaruh pada bentuk bahasa serta tuturan pembicara.
Key / tone of spirit of art, unsur nada suara yang bagaimana serta ragam bahasa yang digunakan dalam komunikasi akan berpengaruh pada bentuk tuturan.
Instrumentalis, yaitu tuturan akan dipakai dalam komunikasi . Jalur ini bisa berupa tuturan melalui media cetak, media dengar, dan sebagainya.
Norm of intersection and interpretation, unsur norma atau tuturan yang harus dimengerti dan ditaati dalam suatu komunikasi. Norma yang dimaksud dapat berupa norma bahasa yang mengatur bagaimana agar bahasa tersebut mudahdipahami.
Genres, yaitu unsur berupa jenis penyampaian pesan. Jenis penyampaian pesan ini berwujud puisi, dialog, cerita dan lain-lain. Hal ini juga dipengaruhi oleh bentuk bahasa yang digunakan.
Menurut Weinreich (1963) menjelaskan mengapa seseorang harus meminjam kata-kata dari bahasa lain. Hal ini pada dasarnya memiliki dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor Internal
Faktor ini menunjukan bahwa sesorang meminjam kata dari bahasa lain karena dorongan yang ada dalam dirinya. Adapun faktor tersebut meliputi tiga macam yaitu:
Low frequency of word
Seseorang melakukan campur kode karena kata-kata yang sering digunakan biasanya mudah diingat dan lebih stabil maknanya. Hal ini dapat dianalogikan ketika ketika seorang Customer Service terlibat pembicaraan dengan calon pelanggan tentang permasalahan dan keistimewaan handphone yang banyak mengandung istilah dari bahasa Inggris. Dengan demikian peminjaman kata dari bahasa lain bertujuan untuk menghindari pemakaian kata yang jarang didengar orang. Atau dengan kata lain menggunakan kata yang biasanya dipakai sehingga lawan tutur mudah memahami makna yang ingin disampikan penutur.
Pernicious Homonymy
Kata-kata yang dipinjam dari bahasa lain juga digunakan untuk memecahkan masalah homonim yang ada dalam bahasa penutur. Maksudnya adakalanya jika penutur menggunakan kata daam bahasanya sendiri, maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonim yaitu makna ambigu. Sehingga untuk menghindari keambiguan makna penutur menggunakan kata dari bahasa lain.
Need for Synonim
Penutur sengaja menggunkan kata dari bahasa lain yang bersinonim dengan bahasa penutur dengan tujuan untuk menyelamatkan muka lawan tutur.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah suatu dorongan yang berasal dari luar penutur, yang menyebabkan penutur meminjam kata dari bahasa lain. Terdapat empat faktor eksternal yaitu:
Perkembangan atau perkenalan dengan budaya baru.
Faktor ini terjadi karena adanya perkembangan budaya baru misalnya perkembangan teknologi di Indonesia, mau tidak mau orang Indonesia banyak menggunakan bahasa Inggris karena banyak sekali alat-alat teknologi yang berasal dari negara asing. Atau pemakaian bahasa Jawa oleh para mahasiswa yang notabene tidak berasal dari Jawa.
Social Value
Penutur mengambil kata dari bahasa lain dengan mempertimbangkan faktor sosial, sehingga diharapkan dengan penggunaan kata-kata tersebut dapat menunjukan status sosial dari penutur.
Oversight
Maksudnya ada keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasa penutur dalam kaitannya dengan topik yang disampaikan sehingga penutur harus mengambil kata dari bahasa lain. Contohnya terbatasnya kata dalam bidang kedokteran dalam bahasa Indonesia maka banyak istilah kedokteran yang diambil dari bahasa latin yang mempunyai istilah yang tepat dalam bidang kedokteran.
Beberapa wujud campur kode,
penyisipan kata,
Contoh :
(1) Kalau perlu, bikin list kelebihan dan kekurangannya
(2) Jadi si dia pasti bisa kita andalkan untuk bantuin ngerjain paper Sejarah atau IPS yang „njelimet‟ banget.
(3) Saatnya jadi auntie teladan yang asyik menjaga keponakannya dengan penuh rasa sayang.
(4) Tukang speak, murah banget ngejual kata-kata pujian ke cewek dan bikin cewek tersebut melayang tinggi.
(5) Jangan flirting, CCP-an (curi-curi pandang), atau ber-TTM ria (teman tapi mesra) dengan orang lain!
6) Jadi, sobat kita tetap bisa survive dari depresi.
penyisipan frasa
Contoh :
(1) Lagi asyik-asyiknya beresin barang di lemari, tanpa sengaja kita nemuin benda-benda penuh memori akan someone spesial di masa lalu.
(2) Tapi gimana jadinya kalau bad mood-nya ternyata nggak hilang-hilang dan sobat kita malah jadi makin stres dan ‘so lame’?
(3) Ini jelek. Itu nggak keren. Berabe nih kalau punya ortu fashion police!
(4) Jangan langsung negative thinking.
(5) Say thanks setiap kali dia memuji kita.
(6) Capek, deh! Soalnya, nggak cuma bersikap over-exaggerating, kadang drama king juga suka berpikir negatif.
(7) Pergi bareng keluarga memang suka bingung nyamain keinginan, ada yang mau shopping, sight-seeing bahkan leyeh-leyeh di kolam renang hotel.
(8) Seringkali kita juga suka berantem over small thingssama dia.
(9) Biasanya para senior ngegencet adik kelas for some reasons. \
penyisipan / berunsur klausa
Klausa adalah “Satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk berdiri sendiri” (Kridalaksana, 1984 : 100).
Contoh :
Jadi mendingan lupain aja! They don’t worth it.
Pada contoh di atas terlihat adanya campur kode bahasa Inggris berupa klausa yaitu they don’t worth it yang berarti „mereka tidak menghargainya‟. Klausa ini terdiri atas S(ubjek) yaitu they, P(redikat) yaitu don’t worth dan O(bjek) yaitu it. Ramlan mengatakan bahwa “Unsur inti klausa adalah S dan P. Namun demikian, S sering dihilangkan, misalnya dalam kalimat luas sebagai akibat penggabungan klausa dan dalam kalimat jawaban” (1987 : 89).
Contoh :
Think like a man, act like a lady. Imbangi posisi kita dengan punya pola pikir ala cowok.
Satuan kebahasaan think like a man, act like a lady pada kalimat (2), merupakan campur kode berupa klausa yang berarti „berpikir seperti laki-laki, bertindak seperti “perempuan‟. Satuan bahasa di atas terdiri atas dua klausa yaitu think like a man dan act like a lady. Klausa pertama terdiri atas P(redikat) yaitu think „berpikir‟ dan O(bjek) yaitu like a man „seperti laki-laki‟. Sedangkan klausa kedua terdiri atas P(redikat) act „bertindak‟ danO(bjek) like a lady „ seperti perempuan‟. Subjek dalam kalimat tersebut dihilangkan karena merupakan jawaban dari pertanyaan bagaimana menghadapi buaya darat? Jawaban lengkap klausa tersebut seharusnya berbunyi kita harus berpikir seperti laki-laki dan bertindak seperti perempuan. Kalimat ini sebenarnya benar, tetapi karena terlalu panjang maka menjadi tidak efektif. Untuk itu digunakan pelesapan subjek agar kalimat menjadi efektif.
penyisipan ungkapan atau idiom
Idiom adalah “Pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang umum, sedangkan artinya tidak dapat diterangkan secara logis atau secara gramatikal, dengan bertumpu pada makna kata yang membentuknya” (Keraf, 1996 : 109).
Contoh :
Kita dan sahabat kita punya waktu-waktu tertentu untuk melakukan kegiatan-kegiatan “cewek” (seperti window-shopping atau luluran bareng).
Satuan lingual window-shopping pada kalimat (1), merupakan ungkapan idiomatik karena ungkapan itu tidak dapat diartikan berdasarkan unsur pembentuknya, yaitu window„jendela‟ dan shopping “belanja”. Ungkapan tersebut mempunyai makna “melihat-lihat pajangan di etalase toko”. Kegiatan ini biasa dilakukan oleh para wanita di kota besar.
Nah, kalau cowok atau gebetan kita punya semua gejala di atas, itu tandanya ia termasuk orang yang berani speak out, punya rasa ingin tahu tinggi, kritis dan selalu ingin bikin perubahan.
Speak out pada contoh (2) jika diartikan kata demi kata berarti berbicara keluar. Namun, speak out disini merupakan satuan lingual yang diartikan secara keseluruhan. Ungkapan yang berasal dari bahasa Inggris ini berarti bicara bebas. Biasanya ungkapan ini digunakan untuk menyebut seseorang yang berjiwa kritis dan berani.
Selalu menawarkan bantuan dan stand by buat kita kapan pun kita butuhkan.
Stand by dalam kalimat (3) merupakan ungkapan karena tidak dapat diartikan berdasarkan unsur pembentuknya yaitu stand “berdiri” dan by ‟dengan”Stand by merupakan ungkapan dari bahasa Inggris yang berarti “siap”. Dalam bahasa Indonesia ungkapan ini berpadanan kata dengan cadang siaga.
Tutup kuping, bersikap cuek atau berikan dia tangan kita sambil bilang Talk To The Hand, sampai akhirnya dia bisa menyadari permasalahan sebenarnya.
Talk To The Hand merupakan ungkapan dari bahasa Inggris yang berarti „bicaralah dengan tanganku‟. Kalimat di atas bukan berarti bahwa kita menyuruh orang untuk berbicara dengan tangan kita, melainkan ungkapan bahwa kita tidak mau diganggu. Ungkapan ini sering digunakan oleh para artis muda ketika sedang diserbu wartawan.
Penyisipan bentuk baster
Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda, membentuk satu makna (Suwito, 1985:76). Baster adalah bentuk yang tidak asli, artinya bentuk ini terjadi karena perpaduan antara afiksasi bahasa Indonesia dengan unsur-unsur bahasa dari bahasa lain, atau sebaliknya afiksasi dari bahasa lain yang dipadukan dengan unsur-unsur bahasa dari bahasa Indonesia.
Unsur Baster Berwujud Prefiks
Prefiks adalah imbuhan yang diletakkan di bagian muka kata dasar (Alwi dkk,2003:31).
Contoh :
Sobat dekat yang sudah kita kenal sejak baru masuk sekolah, yang selalu kompak diajak seru bareng, yang sama-sama nge-fans sama Mike Shinoda, dan paling nyambung diajak ngegosip, sekarang menghilang.
Contoh (1) di atas terdapat unsur baster yaitu nge-fans yang berarti “menggemari‟. Bentuk nge-fans terdiri atas dua unsur bahasa yaitu imbuhan nge- yang berasal dari bahasa Indonesia dan kata fans yang berasal dari bahasa Inggris. Nge-fans berasal dari bentuk dasar fans yang merupakan kata benda lalu bergabung dengan awalan nge- menjadi kata kerja nge-fans. Imbuhan nge- sering digunakan dalam bahasa Indonesia ragam non formal, seperti ngelap, nge-gank, ngecat, ngebom, dan sebagainya.
Rasa sayang yang sudah mulai menipis dan sekarat, bisa di-re-charge atau diisi ulang lewat break.
Bentuk baster yang ditemukan pada data (15) yaitu di-re-charge berarti„diisi ulang‟. Bentuk di-re-charge merupakan penggabungan dua unsur dari dua bahasa. Unsur yang pertama adalah awalan di- yang berasal dari bahasa Indonesia dan unsur yang kedua adalah kata re-charge yang berasal dari bahasa Inggris. Afiks di- hanya memiliki satu fungsi, yaitu membentuk kata kerja pasif, sedangkan maknanya ialah menyatakan suatu perbuatan yang pasif (Ramlan, 1987 : 116-117). Artinya bahwa pelaku hanya dikenai perbuatan sehingga kadang tidak disebutkan dalam konstruksi kalimat. Recharge yang berarti isi ulang berkategori kata benda dan setelah mendapat imbuhan di- berubah menjadi kata kerja bentuk pasif.
Begitu waktunya tiba, kita nggak sendirian datang tapi ramai-ramai bareng sobat se- gank.
Unsur bahasa Inggris yang terjadi dalam data (30) merupakan bentuk baster, sebab bentuk dasarnya adalah dari bahasa Inggris gank yang berarti kelompok, sedang awalannya dari bahasa Indonesia se- yang berarti satu. Afiks se- yang melekat pada nomina gank membentuk kata bendase-gank yang berarti satu kelompok.
Unsur Baster Berwujud Sufiks
Sufiks adalah imbuhan yang diletakkan di bagian belakang kata dasar
(Alwi, dkk., 2003:31).
Contoh :
Bukan bermaksud ber-KKN ria… tapi nggak ada salahnya kita pergunakan kakak kelas tersebut sebagaibacking-an buat ngebela kita!
Contoh (1) terlihat adanya bentuk baster yaitu backing-an. Bentuk backing-an terdiri atas dua unsur bahasa, yaitu kata dasar backing yang berasal dari bahasa Inggris berarti „membantu‟ dan akhiran –an yang berasal dari bahasa Indonesia. Afiks –an hanya mempunyai satu fungsi, yaitu sebagai pembentuk kata benda (Ramlan, 1987:154). Kata backing-an terdiri atas kata kerja backing dan setelah mendapat akhiran –an menjadi kata benda yang berarti “orang yang membantu di belakang kita”.
Good news-nya depresi bisa disembuhkan kok.
Pada kalimat di atas ditemukan unsur baster yaitu good news-nya. Bentuk good news-nya terdiri atas frasa good news berarti „berita baik‟ dan akhiran dari bahasa Indonesia –nya Frasa good news merupakan frasa nominal dan dapat disisipi kata yang, sedangkan akhiran –nya merupakan partikel penegas.
CONTOH CAMPUR KODE
Latar Belakang : Terminal Panorama
Para pembicara : Pak Ander dan Pak Dito
Topik : Harga BBM naik
Peristiwa tutur :
Pak Ander : Kalau seandainya harga BBM terus naik, bisa rugi kita pak. Wong ate die galak mikir nasib kite.
Pak Dito : Amen pisak, nangku piti di jalan. Cam pemulung tu. Pemerintah sulit diandalkan.
Latar Belakang : Puskesmas
Para pembicara : dokter dan pasien
Topik : penyakit
Peristiwa tutur :
Dokter : Sakit apa bu leha?
Pasien : panas dingin bu dokter. palak ambo ko rasonyo pening nian.
Dokter : tula kalu sering bepane.
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ALIH KODE DAN CAMPUR KODE
Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.
Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.
BAB III PENUTUP
Alih kode dan campur kode merupakan peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat multilingual yang menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu, sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Jawa sebagai unsur bawahan dari unsur pokok bahasa Indonesia.
Thelander membedakan alih kode dan campur kode yakni, apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik.
Edisi Revisi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Edisi
Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Internet:
http://agsjatmiko.blogspot.com/2011/12/penggunaan-alih-kode-dan-campur-kode.html
http://sastrapuisi.wordpress.com/2011/12/11/kode-alih-kode-dan-campur-kode-disusun-untuk-disajikan-dalam-diskusi-mata-kuliah-sosiolinguistik-dosen-pengampu-prof-fathurahman-dan-dr-ida-zulaida/
http://zilent4.blogspot.com/2010/07/contoh-contoh-kasus-campur-kode.html
http://saefulmaruf.blogspot.com/2010/01/analisis-alih-kode-dan-campur-kode.html.
20