Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya orangtua menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara sempurna. Mereka menginginkan anak yang dilahirkan itu kelak menjadi orang yang sehat, kuat, berakhlak, cerdas, pandai, dan beriman. Dalam taraf yang sederhana, orangtua tidak ingin anaknya lemah, sakit-sakitan, bodoh, dan nakal. Pada tingkat yang paling sederhana, orangtua tidak menghendaki anaknya nakal. Untuk mencapai tujuan itu, orangtualah yang menjadi pendidik pertama dan utama. Kaidah ini ditetapkan secara kodrati; artinya, orangtua tidak dapat berbuat lain, mereka harus menempati posisi itu dalam keadaan bagaimanapun juga. Karena mereka ditakdirkan menjadi orangtua anak yang dilahirkannya. Oleh karena itu, mau tidak mau mereka harus penanggung jawab pertama dan utama. Maka yang paling bertanggung jawab atas pendidikn anak disini adalah ayah dan ibu termasuk dalam membina akhlak anak. Peran tanggung jawab orangtua sangat dibutuhkan dalam membentuk kepribadian yang baik dan berakhlak mulia, orangtua adalah tolak ukur dalam proses mendidik, yang ikut berperan dalam usaha peningkatankan akhlak mulia. Prilaku orangtua mempunyai pengaruh yang besar sekali pada akhlak anak-anaknya. Karena orangtua menjadi contoh teladan bagi anak, sebab itu orangtua haruslah berpegang teguh dengan ajaran agama, serta mampu mencontohkan akhlak mulia, berbudi luhur, dan penyayang kepada anak-anaknya. Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1983), cet 11, h. 15 Peran Tanggung jawab orangtua sebagai pendidik. Mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar, memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, dan membiasakan. Orangtua juga bertugas : (1) wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak dengan berbagai cara seperti memperhatikan perubahan yang terjadi pada anak. (2) berusaha menolong anak mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar tidak berkembang. (3) mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan anak berjalan dengan baik. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persefektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001) cet 4, h. 79 Ironisnya, pada saat sekarang ini sering kita lihat banyak orangtua kurang memperdulikan pendidikan akhlak lebih mendahulukan pada aspek kognitif untuk pembekalan pengetahuan anak. Orangtua lebih banyak mengajarkan pengetahuan dan mengesampingkan pendidikan yang mendorong tertanamnya nilai-nilai untuk membentuk akhlak anak. Padahal sebenarnya tugas orangtua bukan hanya sebatas itu, akan tetapi ia juga harus dapat memperbaiki pendidikan akhlak yang telah didapat anak, baik dalam keluarga maupun masyarakat sekitarnya, sekaligus mengadakan pendidikan ulang terhadap apa yang telah diterima anak dimasa sebelumnya. Tugas tersebut merupakan kewajiban utama orangtua, karena ajaran agama Islam membimbing manusia agar memperbaiki akhlak diri pribadi dan masyarakatnya. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, saya tertarik untuk mengkaji masalah akhlak tersebut di dalam karya tulis yang judul : “ ETOS KERJA ISLAMI ORANGTUA DALAM MEMBINA KELUARGA ISLAMI ”. Sehingga melalui artikel ini diharapkan dapat diketahui, etos kerja orangtua dalam membina ahklak anak sudah maksimal dilakukan atau masih diperlukan lagi perbaikan dan pembenahan. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah bagaimana pola etos kerja Islami orangtua membina keluarga Islami Tujuan Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bentuk etos kerja Islami orangtua membina keluarga Islami BAB II PEMBAHASAN Etos Kerja Islami Pengertian Etos Kerja Islami Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata Etos ini, dikenal pula kata etika, etiket yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), cet 1, h. 15 Etos bukan sekedar bergerak atau bekerja, melainkan kepribadian yang bermuatan moral dan menjadikan landasan moralnya tersebut sebagai cara dirinya mengisi dan menggapai makna hidup yang di ridhai-Nya, menggapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat, sehingga etos kerja berkaitan dan bersenyawa dengan semangat, kejujuran dan kepiawaian dalam bidangnya (profesional). Ibid, h. 24 Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa etos kerja Islami ialah karakter atau kebiasaan manusia dalam bekerja yang bersumber pada keyakinan/aqidah Islam dan didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah Karakteristik Etos Kerja Islami Ciri-ciri etos kerja Islami sebagai berikut : (a) Kerja merupakan penjabaran aqidah kerja berlandaskan nilai beribadah hanya kepada Allah SWT juga menjadi pembeda etos kerja Islami dari etos kerja lainnya, Ibid,, h. 110 (b) Kerja dilandasi ilmu, Ibid, h. 113 (c) Kerja dilandasi keimanan, Ibid, h. 112 (d) Kerja dengan meneladani sifat-sifat Ilahi serta mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya. Ibid, h. 121 Pendapat lain menyebutkan ciri etos kerja dalam pandangan Islam, antara lain sebagai berikut: Didin hafidhuddin dan Hendri tanjung, “Manajemen Syariah Dalam Praktik”, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 40-41 (a) Al-Salah atau baik dan manfaat, (b) Al-Itqan atau kemantapan dan perfectness, (c) Al-Ihsan atau melakukan yang terbaik dan lebih baik lagi, kualitas ihsan mempunyai dua makna dan dua pesan: 1) Melakukan yang terbaik dari yang dapat dilakukan. 2) Mempunyai makna lebih baik dari prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya, (d) Al-Mujahadah atau kerja keras dan optimal, (e) Tanafus dan ta’awun atau berkompetisi dan tolong menolong, f) Mencermati nilai waktu, merupakan deposito paling berharga yang dianugerahkan Allah SWT secara gratis dan merata kepada setiap orang. Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi: ) الإنشرح : 7) Artinya : “Maka, apabila engkau telah selesai dari suatu pekerjaan, maka kerjakanlah urusan yang lain dengan sungguh-sungguh.” (QS. Al-Insyirah : 7) (g) Memiliki moralitas yang bersih (ikhlas), (h) Memiliki kujujuran, (i) Memiliki komitmen (aqidah, aqad, itiqad), (j) Istiqomah (kuat pendirian), (k) Memiliki kedisiplinan, sikap berdisiplin (Latin: disciple, discipulus, mengikuti dengan taat), (v) Memiliki insting bertanding, sebagaimana firman-Nya: .... .... ( البقرة : 148) Artinya: “Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.”. (QS. Al-Baqarah : 148) (w) Tangguh dan pantang menyerah, (x) produktivitas, (y) Memperkaya jaringan silaturahmi, Memiliki semangat perubahan, sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi: ... ( الرعد : 11) Artinya: “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubah keadaan diri mereka sendiri…” (QS. Ar-Ra’du : 11) Faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja Islami Etos kerja dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya yaitu: (a) Agama, (b) Budaya, (c) Sosial politik, (d) Kondisi lingkungan/geografis, (e) Struktur ekonomi, (f) Motivasi intrinsik individu,. Faktor Pendorong Etos Kerja Islami Yang mendorong etos kerja antara lain : (a) Sistem keimanan dan ajaran dalam agama islam, (b) Kesadaran tentang tugas manusia adalah sebagai khalifah, (c) Ajaran ihsan dan pengarahan agar orang Islam bersikap mandiri dalam bekerja, (d) Keharusan saling mengingatkan antara manusia. Faktor Penghambat Etos Kerja Islami Yang menghambat etos kerja Islami antara lain: Annidjatuz Zahra, Skripsi: Pengaruh Etos Kerja Islami Terhadap Kinerja Karyawan di CV. Sidiq Manajemen, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015, h. 23-25 (a) Takhayul, (b) Tak akan lari gunung dikejar (pelan-pelan asal dilakukan), (c) Gampangan, (d) Pasrah Konotasi sabar, (e) Makan tidak makan yang penting kebersamaan, (f) Salah persepsi. Keluarga Islam Pengertian Keluarga Keluarga adalah batu bata pertama bagi pembinaan setiap masyarakat. Muhammad Jalaluddin Ali Mahfuzh, Psikologi Anak dan Remaja Muslim, terj. Abdul Rosyad Shid-diq, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001), Cet. I, h. 91-92 Ia adalah langkah pertama untuk membina seseorang. Karena itulah manhaj pendidikan akhlak dalam Islam harus dimulai sejak dini. Kajian-kajian psikologi dan pendidikan sepakat akan pentingnya rumah tangga dan keluarga bagi pembentukan pribadi dan perilaku seseorang dalam kehidupan. Berangkat dari sinilah, pentingnya semangat keagamaan yang seharusnya bias mewarnai sebuah keluarga. Semangat keagamaan itu tergambar pada kebaikan kedua orang tua dan orang-orang yang dewasa dalam sebuah keluarga dimana mereka mau melakukan kewajiban-keajiban agama, menjauhi hal-hal yang munkar, menghindari dosa, konsisten pada sopan santun dan keutamaan, memberikan ketenangan,membiasakan mereka belajar, mengajarkan kepada mereka prinsip-prinsip agama yang sesuai dengan perkembangan mereka dan menanamkan benih-benih keimanan dan taqwa dalam jiwa mereka. Keluarga merupakan kesatuan terkecil masyarakat yang anggota anggotanya terikat secara batiniah dan hukum karena pertalian darah atau pertalian perkawinan. Mohammad Daud Ali, Lembaga Lembaga Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 59 Islam, bentuk keluarga tidak sama dengan pengertian di barat, yakni cakupannya lebih luas dari sekedar suami, istri dan anak anak, melainkan meliputi dari suami, istri, anak anak, beserta kedua orang tua suami isteri. Budaya di Indonesia, yang dinamakan keluarga adalah keseluruhan yang masih memiliki hubungan darah. Bisa terdiri dari paman, bibi, keponakan, cucu, anak angkat, dan lain-lain. Robert R bell mengemukakan jenis hubungan kekeluargaan : Pertama, keluarga dekat, yakni keluarga yang terdiri dari individu individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi, dan atau perkawinan. Kedua, keluarga jauh, terdiri atas individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi perkawinan, tetapi ikatan keluarganya lemah dari kerabat dekat dan kadang kadang tidak menyadari. Ketiga, orang yang dianggap keluarga, yakni dianggap keluarga karang ada hubungan yang khusus, misalnya hubungan antara teman karib. To. Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), hal. 91 Dari keluarga inilah segala sesuatu tentang pendidikan bermula. Apabila salah dalam pendidikan awalnya, maka peluang akan terjadinya berbagai penyimpangan pada anak akan semakin tinggi. Oleh kerena itu, pada dasarnya Islam menjadikan tarbiyah sebagai atensi yang dominan dalam kehidupan. Al-Maududi ulama asal Pakistan, mengartikan kata tarbiyah sebagai mendidik dan memberikan perhatian. Setidaknya ada empat unsur penting dalam pendidikan. Pertama, menjaga dan memelihara fitrah obyek didik. Kedua, mengembangkan bakat dan potensi obyek sesuai dengan kekhasannya masing-masing. Ketiga, mengarahkan potensi dan bakat tersebut agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Keempat, seluruh proses tersebut dilakukan secara bertahap. Keempat unsur tersebut menunjukkan pentingnya peran pendidikan dalam keluarga. Karena keluarga akan membentuk karakter kepribadian anggotanya dan mewarnai masyarakatnya. Singkatnya keluarga merupakan laboratorium peradaban. Mahmud Muhammad Al-Jauhari, Membangun Keluarga Qur’ani Panduan untuk Wanita Muslimah, Terj. Kamran As’ad Irsyady, dari judul asli Al-Akhwat Al-Muslimat wa Bina’ al-Usrah Al-Qur’aniyyah, (Jakarta: Amzah, 2005), Cet. 1, h. 3 Bagi muslimah, yang secara umum penanggung jawab utama dalam kehidupan keluarga, harus menyiapkan keseriusan dan program pengembangan dakwah keluarga. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang anggota keluarga. Dalam paradigma berkeluarga seorang muslim, berkeluarga bukan hanya sekedar membentuk keluarga saja, namun motivasi berkeluarga haruslah dilandasi dengan motivasi untuk beribadah kepada Allah, menjaga kesucian diri, dan merealisasikan amal bahwa berkeluarga adalah bagian dari sebuah gerakan menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi. Hal ini menjadikan pusat perhatian dalam berkeluarga adalah meningkatkan kualitas ruhiyah, fikriyah, nafsiyah (emosi kejiwaan), jasadiyah, dan sosialisasi setiap anggota keluarganya. Membangun keluarga sakinah mawadah wa rahmah (samara) adalah sasaran yang ingin dicapai seorang muslim dalam membentuk keluarga. Dari keluarga yang samara itulah akan lahir pribadi Islami yang siap melanjutkan perjuangan Islam. Dalam keluarga, setiap anggota keluarga memiliki peran masing-masing. Perlu adanya pembagian tugas yang jelas antara suami dan istri dalam mengelola rumah tangga. Rasulullah SAW bersabda : عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: كًلُّكُمْ رَاعٍ وَكَلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالإِمَامُ رَاعٍ  وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى أَهْلِهِ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَ مَسْؤُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِى مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَقَالَ حَسِبْتُ أَنْ قَالَ : وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى مَالِ اَبِيْهِ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَ كًلُّكُمْ رَاعٍ وَكَلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخارى ومسلم والترمذى) Artinya : Dari Abdullah bin Umar ra. ia berkata : Saya mendengar Rasulullah saw. Bersabda : Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas anggota keluarganya. Dan seorang perempuan adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya, dan ia bertanggung jawab atas semua anggota keluarganya. Seorang pembantu adalah pemimpin bagi harta majikannya, dan ia bertanggung jawab atas keselamatan dan keutuhan hartanya. Abdullah berkata : Aku mengira Rasulullah mengatakan pula bahwa seseorang adalah pemimpin bagi harta ayahnya dan bertanggung jawab atas keselamatan dan keutuhan hartanya itu. Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas segala yang dipimpinnya. (HR. Bukhari Muslim dan Tirmidzi). Muhammad Bin ‘Ali Asy-Syafi’i, Hasyiyah Abi Jamroh, Haromain: 2005, h. 69 Dalam hadits tersebut telah jelas pembagian peran seorang suami adalah sebagai pemimpin atas seluruh anggota di rumahnya sedangkan seorang istri adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anaknya. Peran Ayah Yang pertama kali dilihat seorang bayi di dunia adalah rumahnya dan karib-karibnya. Terlukis jelas di benaknya, refleksi pertama dari kehidupan yang dilihat adalah bagaimana keadaan orang tua dan cara mereka mencari nafkah. Imam Al-Ghazali mengatakan, “Anak merupakan amanat Allah bagi kedua orang tuanya. Hatinya suci laksana mutiara yang indah dan bagus. Jika ia dibiasakan serta diajari kebaikan, ia pun akan tumbuh dan berkembang menjadi orang baik dan akan bahagia di dunia dan akhirat”. Irwan Prayitno, 24 Jam Bersama Anak, (Bekasi: Pustaka Tarbiyatuna, 2002), h. 32 Karena itu, memberikan pelajaran agama sejak dini merupakan kewajiban orang tua kepada anaknya dan merupakan hak untuk anak atas orang tuanya, maka jika orang tuanya tidak menjalankan kewajiban ini berarti menyia-nyiakan hak anak. Rasulullah SAW bersabda : عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ (رواه البخارى و مسلم) Artinya : Dari Abu Khurairah r.a bersabda Rasulullah SAW setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, orang tualah yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi. (H.R Bukhori dan Muslim). Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Barri (penjelasan kitab shahih Al-Bukhari). Terj. Amiruddin, Jilid XXIII, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 568 Dalam sebuah keluarga, ayah memiliki peran yang penting yaitu sebagai seorang pemimpin atas seluruh anggota keluarga. Ali Qaimi, Peranan Ibu dalam Mendidik Anak, Terj. MJ. Bafaqih, dari judul asli Kudakon e-Syahid, (Jakarta: Cahaya, 2005), cet 2, h. 38 Seorang ayah harus bertanggung jawab atas tarbiyah istri, anak-anak, juga seluruh anggota dalam rumah tangga. Selain tugas seorang ayah untuk mencari nafkah yang halal, ia juga harus menjadi teladan yang baik bagi keluarga. Seorang ayah ibarat sopir dalam keluarga, juga sebagai pengambil keputusan dalam keluarga. Dalam mendidik anak seorang ayah bersama ibu harus mampu menjadi teladan bagi anak-anaknya. Mengingat bahwa perilaku orang tua akan ditiru yang kemudian akan dijadikan panduan dalam perilaku anak, maka ayah dan ibu harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Seperti firman Allah yang berbunyi : ( الفرقان : 74) Artinya : Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqaan : 74) Peran Ibu Seorang ibu memiliki peran yang besar dalam membesarkan dan mendidik anak. Ibid, h. 146 Ibu adalah asisten ayah dalam rumah tangga. Ia adalah madrasah, sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya. Mengenai pendidikan anak, maka yang paling besar pengaruhnya adalah ibu. Di tangan ibulah keberhasilan pendidikan anak-anaknya walaupun tentunya keikut-sertaan bapak tidak dapat diabaikan begitu saja. Ibu memainkan peran yang penting di dalam mendidik anak-anaknya. Peranan ibu di dalam mendidik anaknya dibedakan menjadi tiga tugas penting, yaitu ibu sebagai orang yang memenuhi kebutuhan anak; ibu sebagai teladan atau “model” peniruan anak dan ibu sebagai pemberi stimulasi bagi perkembangan anak. Sebagai seorang ibu, tentu perlu menyediakan waktu bukan saja untuk selalu bersama tetapi untuk selalu berinteraksi maupun berkomunikasi secara terbuka dengan anaknya. Pada dasarnya kebutuhan seseorang meliputi kebutuhan fisik, psikis, sosial dan spiritual. Kebutuhan fisik merupakan kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Kebutuhan psikis meliputi kebutuhan akan kasih sayang, rasa aman, diterima dan dihargai. Sedang kebutuhan sosial akan diperoleh anak dari kelompok di luar lingkungan keluarganya. Dalam pemenuhan kebutuhan ini, ibu hendaknya memberi kesempatan bagi anak untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya. Kebutuhan spiritual, adalah pendidikan yang menjadikan anak mengerti kewajiban kepada Allah, kepada Rasul-Nya, orang tuanya dan sesama saudaranya. Dalam pendidikan spiritual, juga mencakup mendidik anak berakhlak mulia, mengerti agama, bergaul dengan teman-temannya dan menyayangi sesama saudaranya, menjadi tanggung jawab ayah dan ibu. Dalam memenuhi kebutuhan psikis anak, seorang ibu harus mampu menciptakan situasi yang aman bagi putra-putrinya. Ibu diharapkan dapat membantu anak apabila mereka menemui kesulitan-kesulitan. Perasaan aman anak yang diperoleh dari rumah akan dibawa keluar rumah, artinya anak akan tidak mudah cemas dalam menghadapi masalah-masalah yang timbul. Seorang ibu harus mampu menciptakan hubungan atau ikatan emosional dengan anaknya. Kasih sayang yang diberikan ibu terhadap anaknya akan menimbulkan berbagai perasaan yang dapat menunjang kehidupannya dengan orang lain. Cinta kasih yang diberikan ibu pada anak akan mendasari bagaimana sikap anak terhadap orang lain. Seorang ibu yang mau mendengarkan apa yang dikemukakan anaknya, menerima pendapatnya dan mampu menciptakan komunikasi secara terbuka dengan anak, dapat mengembangkan perasaan dihargai, diterima dan diakui keberadaannya. Untuk selanjutnya anak akan mengenal apa arti hubungan di antara mereka dan akan mewarnai hubungan anak dengan lingkungannya. Anak akan mengerti bagaimana cara menghargai orang lain, tenggang rasa dan komunikasi, sehingga dalam kehidupan dewasanya dia tidak akan mengalami kesulitan dalam bergaul dengan orang lain. Sejak anak lahir dari rahim seorang ibu, maka ibulah yang banyak mewarnai dan mempengaruhi perkembangan pribadi, perilaku dan akhlaq anak. Untuk membentuk perilaku anak yang baik tidak hanya melalui bil lisan tetapi juga dengan bil hal yaitu mendidik anak lewat tingkah laku. Sejak anak lahir ia akan selalu melihat dan mengamati gerak gerik atau tingkah laku ibunya. Dari tingkah laku ibunya itulah anak akan senantiasa melihat dan meniru yang kemudian diambil, dimiliki dan diterapkan dalam kehidupannya. Dari sini jelas bahwa perkembangan kepribadian anak bermula dari keluarga, dengan cara anak mengambil nilai-nilai yang ditanamkan orang tua baik secara sadar maupun tidak sadar. Peran Anak Anak adalah karunia Allah kepada manusia. Dalam sebuah keluarga, seorang anak memiliki kewajiban untuk berbakti kepada orang tua. Berbakti kepada kedua orang tua memiliki dampak yang besar dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu Rasulullah SAW menunjukkan perilaku dan sikap apa yang disebut berbakti serta pengaruhnya dalam kehiduapn seorang Muslim; yang apabila dilakukan dengan baik, maka dapat menyebabkan masyarakat menjadi baik. Berbakti kepada orang tua adalah kewajiban setiap Muslim yang diwajibkan oleh Allah SWT atas setiap hamba-Nya. Dalam keluarga, seorang anak juga memiliki peran untuk melakukan tarbiyah dzatiyah, membina diri untuk menjadi anak yang shaleh sehingga dapat menjadi investasi bagi kedua orang tuanya kelak di akhirat. Abdullah Nasih Ulwan dalam bukunya Tarbiyatul Awlad Fil Islam, ada 7 macam pendidikan integratif, yang harus terintegrasikan secara sistemik dalam keluarga untuk mentarbiyah anggota keluarga untuk menjadi hamba Allah yang taat, yang mampu mengemban amanah dakwah ini. Ketujuh pendidikan tersebut adalah: Pendidikan iman, pendidikan moral, pendidikan psikis, pendidikan fisik, pendidikan intelektual, dan pendidikan seksual. Kehidupan yang paling sederhana adalah kehidupan keluarga. Sudah barang tentu di dalam keluarga, kita harus bisa menjaga membina keluarga Islami. Banyak sekali anjuran dari Alquran maupun dari hadis Rasul saw tentang keutamaan dan perintah untuk menjaga membinan keluarga Islami. Seperti Allah SWT berfirman yang berbunyi : ) التحريم : 6 ) Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At Tahrim : 6) H. Oemar Bakry, Tafsir Rahmat, ( Jakarta : PT Mutiara, 1982), h. 1141 Selain Alquran ada juga hadis Rasulullah SAW yang menjelaskan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya berikut ini : عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: كًلُّكُمْ رَاعٍ وَكَلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ..... (رواه البخارى ومسلم والترمذى) Artinya : Dari Abdullah bin Umar ra. ia berkata : Saya mendengar Rasulullah saw. Bersabda : Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. (HR. Bukhari Muslim dan Tirmidzi). Muhammad Bin ‘Ali Asy-Syafi’i, Hasyiyah Abi Jamroh, Haromain: 2005, h. 69 Membina akhlak dalam keluarga dimaksudkan untuk menjadikan sebuah tatanan rumah tangga yang terdiri dari beberapa tujuan. Yakni pertama, mendirikan syariat Allah dalam segala permasalahan rumah tangga. Artinya mendirikan sebuah rumah tangga yang mendasarkan kehidupannya sebagai bentuk penghambaan kepada Allah. Kedua, mewujudkan ketentraman dan ketenangan psikologi. Ketiga, mewujudkan sunah Rasullullah SWA dengan melahirkan anak-anak yang shaleh sehingga umat manusia merasa bangga dengan kehadirannya. Keempat, memenuhi kebutuhan cinta kasih anak-anak dengan menyayanginya. Dan terakhir menjaga fitrah anak agar anak tidak melalukan penyimpangan-penyimpangan. Abdurrahman an Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah Dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1995), h.144 Dalam bagian kelima ini, menjaga anak dalam fitrah adalah hal yang paling mutlak dilaksanakan. Karena sesuai yang dikatakan Rasul dalam hadis bahwa setiap anak yang dilahirkan adalah fitrah dan tergantung orang tuanya akan menjadikannya majusi, nasrani atau yang lainnya. Hal yang paling harus dilakukan adalah membiasakan anak untuk mengingat kebesaran Allah dan nikmat yang diberikannya. Hal ini dapat mengokohkan fitrah anak agar tetap berada dalam kesucian dan kesiapan untuk mengagungkan Allah. Kemudian, membiasakan anak-anak untuk mewaspadai penyimpangan-penyimpangan yang kerap berdampak negatif terhadap diri anak, misalnya dalam tayangan film, pergaulan bebas dan hal-hal yang dapat merusak moralnya. Dalam sebuah forum, dijelaskan ada beberapa kriteria mendasar yang harus dimiliki dan dirasakan dalam sebuah keluarga Islami. Pertama, keluarga harus menjadi tempat kembali utama dalam kehidupan individunya. Kedua, keluarga menjadi madrasah dimana dalam setiap aktivitas kekeluargaan dijadikan sebagai aktivitas pembinaan, dan proses transfer of value. Ketiga, keluarga menjadi markas perjuangan Islam. Hal ini sangat penting mengingat menikah bukan hanya sekedar mencari pendamping hidup namun lebih untuk melanjutkan perjuangan Islam bersama dengan pasangannya. Untuk mencapai ketiga kriteria di atas maka dibutuhkan beberapa nilai yang harus dimiliki dalam sebuah keluarga: keimanan, cinta, tarbiyah, dan komunikasi. Dan inilah nilai-nilai minimal yang harus dimiliki oleh sebuah keluarga Islami, keluarga dakwah. BAB III PENUTUP Kesimpulan Keluarga adalah unit komunitas terkecil dalam kehidupan sosial masyarakat, Bentuk etos kerja Islami orangtua membina keluarga Islami adalah pekerjaan yang tidak mudah. Dalam konteks Islam, keluarga digambarkan dalam tiga kata kunci: sakinah, mawaddah, warahmah jika seluruh anggota keluarga bersinergi, bahu membahu saling mengingatkan dan nasehat-menasehati dalam kesabaran maka keluarga Islami di dalamnya nilai-nilai Islami kental diaplikasikan yang seyogyanya akan mudah diwujudkan. yang. Dan keluarga ideal seperti inilah yang menjadi cita-cita kita bersama, yakni menjadikan keluarga kita menjadi keluarga yang taat kepada Allah SWT. Mulailah dari keluarga, dari sekarang. Saran-Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis memberikan saran kepada orangtua, dalam membina keluarga Islami di mulai dari diri sendiri, keluarga dan lingkungan. Baik dan buruknya, maju atau mundurnya satu daerah sangat ditentukan masyarakatnya, masyarakat ditentukan dari keluarga di rumah, dan sedangkan keluarga tolak ukurnya ada pada orangtua. 17