Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

FENOMENOLOGI

UJIAN AKHIR SEMESTER “ METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF” RANGKUMAN “FENOMENOLOGI” DI SUSUN OLEH : 1. Endah Azharini : Sya. 155013 2. Nency : Sya. 155025 SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN) SORONG TAHUN 2019 RANGKUMAN “FENOMENOLOGI” Definisi Fenomenologi Fenomenologi merupakan sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Fenomenologi juga merupakan salah satu jenis metode penelitian kualitatif, dimana metode ini untuk mengungkap esensi makna sekumpulan individu. Fenomenologi menjadi metode penelitian yang dekat dengan filsafat dan psikologi. Fenomenologi berasal dari kata Yunani “phenomenon” yang berarti menunjukkan diri (to show itself) (Conny, 2010). Fenomenologi berarti pengetahuan, dalam artian apa yang persepsikan oleh seseorang, apa yang dirasa dan diketahui melalui kesadaran atau pengalamannya. Rene Descartes mengatakan bahwa seseorang mengetahui sesuatu karena mereka berfikir tentang hal tersebut. Pendekatan fenomenologi merupakan penelitian yang berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi pada manusia dalam situasi tertentu. Penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologi bermula dari “diam” (Subadi, 2009). Keadaan “diam” merupakan upaya untuk menangkap apa yang dipelajari dengan menekankan pada aspek-aspek subyektif dari perilaku manusia. Fenomenologi berusaha untuk bisa masuk ke dalam dunia konseptual subyek penyelidikannya agar dapat memahami bagaimana ada apa makna yang disusun subyek tersebut di sekitar kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam hal ini peneliti berusaha memahami subyek dari sudut pandang subyek itu sendiri, tetapi tidak mengabaikan realitas yang ada pada manusia. Para peneliti kualitatif menekankan pemikiran subyektik, karena menurut pandangannya dunia itu dikuasai oleh angan-angan yang bersifat simbolis daripada konkret (Subadi, 2009). Jika peneliti menggunakan prespektif fenomenologi dengan paradigma definisi sosial biasanya penelitian ini bergerak pada kajian mikro. Fenomenologi merupakan upaya untuk pemberangkatan dari metode ilmiah yang berasumsi bahwa eksistensi suatu realitas tidak orang ketahui dalam pengalaman yang dihayati secara aktual sebagai data dasar suatu realitas. Fenomenologi juga mempelajari dan melukiskan ciri-ciri insrinstik dari gejala sebagaimana gejala itu menyikapkan dirinya pada kesadaran. Fenomenologi menjelaskan struktur kesadaran dalam pengalaman manusia, pendekatan fenomenologi berupaya membiarkan realitas mengungkapkan dirinya sendiri secara alami melalui pertanyaan pancingan, subjek penelitian dibiarkan menceritakan segala macam dimensi pengalamannya berkaitan dengan sebuah fenomena / peristiwa (Hasbiansyah, 2009). Fenomenologi termasuk pada pendekatan subjektif atau interpretif, istilah fenomenalogi dapat digunakan sebagai istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menempatkan kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Menurut Watt dan Berg, fenomena tidak tertarik manggkaji aspek-aspek kualitas dalam suatu peristiwa, tetapi berupaya memahami tentang bagaimana orang melakukan sesuatu pengalaman beserta makna pengalaman itu bagi dirinya. Fenomenologi berupaya menngungkapkan dan memahami realitas penelitian berdasarkan perspektif subjek penelitian. Perkembangan Fenomenologi (Hegel, Husserl, Sheller, Shcutz, dan Berger) Dalam perkembangannya persepktif ini dikenal sebagai kefilsafatan yang digulirkan oleh Hegel, Husserl, Sheller, Shuctz, dan Berger. Namun dengan pemikiran-pemikiran Weber dalam pengembangan sosial, akhirnya pendekatan ini banyak diguanakan sebagai alat analisis terhadap fenomena sosial. Pendekatan fenomenologi mengakui adanya kebenaran “empirik etik” yang memerlukan akalbudi untuk melacak dan menjelaskan serta berargumentasi. Nilai moral yang digunakan pendekatan ini tidak terbatas pada nilai moral tunggal yaitu truth or false. Tetapi, nilai moral yang digunakan pada pendekatan ini mengacu pada nilai moral ganda yang herarkik yang berarti ada kebermaknaan tindakan. Pada masa Hegel telah dikedepankan konsep tese dan antitese yang dapat menghasilkan sintese. Konsep ini merupakan gerakan dari yang tidak ada menuju ada (Subadi, 2009). Hegel adalah tokoh yang dimulai merumuskan pengertian fenomenologi dengan lebih jelas, akan tetapi hal ini rupanya tidak sangat berpengaruh terhadap Edmund Husserl, yang merupakan pelopor aliran fenomenologi. Hursserl pada dasarnya berupaya menemukan dasar bagi sebuah filsafat yang membahas, menelaah, kenyataan. Dasar dari filsafat adalah kenyataan itu sendiri, kenyataan sebagaimana dia menampilkan dirinya, sebagaimana dia menghadirkan dirinya. Husserl melanjutkan bahwa yang dimaksudnya dengan sesuatu itu sendiri tidak lain adalah “kesadaran”. Oleh karena itu, fenomenologi yang dibangun oleh Husserl dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesadaran (Putra, 2016). Dengan menyelami jalan pemikiran Husserl tersebut, akan merasakan daya tarik dan sekaligus pengaruh dari pemikirannya. Untuk dapat memberikan penghargaan karena jasa-jasanya sebagai filsuf perlu ditempatkan pada proporsi yang semestinya. Dalam perkembangan fenomenologi sebagai suatu pendekatan filsafat, Husserl menempatkan metode pendekatan fenomenologi sebagai suatu pengkajian untuk mengenali, menjelaskan, dan menafsirkan pengalaman indrawi dan makna untuk mengenali apa yang dialami. Dalam hal ini Husserl menganjurkan peneliti untuk melakukan observasi partisipan agar dapat mengetahui secara pasti apa yang dialami orang lain. Menurut Husserl, bahwa suatu fenomena yang tampak sebenarnya merupakan refleksi yang tidak berdiri sendiri, karena yang tampak adalah sebagai objek penuh dengan makna yang transendental. Oleh karena itu penggunaan fenomenologi menurut Husserl adalah harus kembali kepada “data” dan tidak kepada “pemikiran”. Sejatinya hasil pengetahuan didapat bukan dari rekayasa pemikiran untuk membentuk teori, melainkan kehadiran data dalam kesadaran. Berbeda dengan Sheller yang memberikan penekanan pada hakikat. Sheller menganjurkan agar peneliti melakukan “penilikan hakikat” dengan menggunakan pengertian nilai dan pribadi. Pendekatan fenomenologi Sheller terletak pada perhatiannya kepada manusia, sehingga menjadikan “kasih” sebaga dasar ajarannya. Kasih dalam artian ini bukan kasih terhadap perasaan, melainkan “pribadi”. Dengan demikian, penelitian yang diarahkan pada manusia harus mampu melihat apa yang ada di balik nilai yang ada tersebut sebagai gambaran pribadi. Perkembangan fenomenologi yang dikembangkan oleh Schutz yang tertarik pada pemikiran Weber tentang tindakan sosialnya, yang memadukan antara fenomenologi transendental milik Husserl dengan Verstehen tindakan sosial milik Weber. Pendekatan fenomenologi yang dikedepankan oleh Schutz mengajarkan bahwa setiap individu hadir dalam arus kesadaran yang diperoleh dari proses refleksi atas pengalaman sehari-hari. Dalam hal ini Schutz berusahan memasuki konsep penelitian sampai memahami apa dan bagaimana pengertian mereka di sekitar peristiwa kehidupan sehari-harinya. Konsep fenomenologi Schutz bertolak pada makna tindakan. Dalam artian makna tindakan identik dengan motif yang mendasari tindakan tersebut yang dikenal dengan istilah “in order in motif” (motif supaya). Konsep ini mengajarkan bahwa untuk bisa memahami makna tindakan seseorang, peneliti harus melihat motif apa yang mendasari tindakan tersebut. Dengan demikian makna tindakan subjektif dapat dikai dari motif pelakunya sendiri dengan melalui ungkapan subjeknya sendiri. Kemudian Schutz mengembangkannya dengan motif “because mottive” (motif karena) yang mana motif ini mengkaji makna subjektif dengan hubngan sebab akibat sehingga benar-benar memenuhi motif asli yang mendasari tindakan individu. Pemikiran Schutz dalam mengembangkan sebuah model tindakan manusia dalam postulasi sebagai berikut : 1. Konsistensi logis, digunakan sebagai jalan untuk pembuatan validitas objektif dari konstruk yang dibuat oleh peneliti. Validitas ini perlu untuk keabsahan data, dan pemisah konstruk penelitian dari konstruk sehari-hari. 2. Interpretasi subjektif, digunakan peneliti untuk merujuk semua bentuk tindakan manusia, dan makna dari tindakan tersebut. 3. Kecukupan, maksudnya konstruk yang telah dibuat oleh peneliti sebaiknya dapat dimengerti oleh orang lain. Pemenuhan postulat ini menjamin konstruk ilmiah yang telah dibuat konsisten dengan konstruk yang telah diterima, atau yang telah ada sebelumnya. Berbeda juga dengan Subadi (2004) dalam disertasinya yang mencoba mengembangkan fenomenologi dengan terlebih dahulu mengkritisi konsep fenomenologi terdahulu (penduhulunya). Subadi lebih cenderung menggunakan fenomenologi Berger. Yang mana Berger mengembangkan fenomenologi sebagai metode penelitian dengan menggunakan sintesa dari berbagai konsep tentang manusia dan lingkungan sosial. Beger menilai karya pendahulu bersifat konduktif menuju pada ilmu empiris yang belum mampu mendekati permasalahan dengan karakter apa adanya. Subadi juga menyoroti fenomenologi konsep Husserl mengenai “fenomena murni” sebaga akar dari idealisme intelektual belaka yangpada dasarnya telah menghindari adanya realitas secara empiris yang dilakukan secara bersama. Dalam hal ini Subadi sependapat dengan fenomenologi Berger dan menawarkan pendekatan fenomenologi dengan teknik pengumpulan data first order understanding (meminta peneliti untuk menanyakan kepada pihak yang diteliti guna mendapatkan penjelasan yang benar), dan kemudian dilanjutkan dengan teknik analisis data second order understanding (dalam hal ini peneliti memberikan penjelasan dan interpretasi terhadap interpretasi itu sampai memperoleh suatu makna yang baru dan benar). Definisi fenomenologi juga diutarakan oleh beberapa pakar dan peneliti dalam studinya. Fenomenologi adalah sebuah metodologi kualitatif yang mengizinkan peneliti menerapkan dan mengaplikasikan kemampuan subjektivitas dan interpersonalnya dalam proses penelitian eksploratori (Alase, 2017). Kedua, definisi yang dikemukakan oleh Creswell dikutip Eddles-Hirsch (2015) yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah sebuah penelitian yang tertarik untuk menganalisis dan mendeskripsikan pengalaman sebuah fenomena individu dalam dunia sehari-hari. Sebagai contoh, studi fenomenologi tentang anorexia bagi beberapa orang yang terjadi dewasa ini. Anorexia merupakan gangguan makan yang dialami seseorang karena takut terhadap kenaikan berat badan yang disebabkan gaya hidup dan tuntutan budaya populer. Studi ini dapat ditekankan pada kondisi mengapa seseorang ingin seperti ini dan menginterpretasikan hidup mereka berdasarkan sudut pandang yang mereka pahami. Studi ini bertujuan untuk memahami dan menggambarkan sebuah fenomena spesifik yang mendalam dan diperolehnya esensi dari pengalaman hidup partisipan pada suatu fenomena (Yuksel, & Yidirim, 2015). Penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi juga memiliki karakteristik yang melekat di dalamnya. Menurut Mujib (2015) ada dua karakteristik dalam pendekatan fenomenologi dalam bidang agama. Pertama, pendekatan ini merupakan metode dalam memahami agama orang lain dalam perspektif netralitas. Dalam situasi ini, peneliti menggunakan preferensi orang bersangkutan untuk merekonstruksi dalam dan berdasarkan pengalaman orang tersebut. Artinya, dalam kondisi ini peneliti menanggalkan dirinya sendiri (epoche) dan berupaya membangun dari pengalaman orang lain. Kedua, dalam menggali data pada pendekatan ini dibantu denga disiplin ilmu yang lain, seperti sejarah, arkeologi, filologi, psikologi, sosiologi, studi sastra, bahasa, dan lain-lain. Di samping beberapa poin pemaparan di atas, fenomenologi sebagai metode penelitian juga memiliki beberapa keuntungan atau kelebihan. Pertama, sebagai metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan dan menggambarkan suatu fenomena secara apa adanya tanpa memanipulasi data di dalamnya. Dalam kondisi ini, kita sebagai peneliti harus mengesampingkan terlebih dahulu pemahaman kita tentang agama, adat, dan ilmu pengetahuan agar pengetahuan dan kebenaran yang ditemukan benar-benar objektif. Kedua, metode ini memandang objek kajiannya sebagai sesuatu yang utuh dan tidak terpisah dengan objek lain. Artinya, pendekatan ini menekankan pada pendekatan yang holistik dan tidak parsial sehingga diperoleh pemahaman yang utuh tentang suatu objek. Dari beberapa kelebihan tersebut, studi fenomenologi juga memiliki masalah. Masalah teserbut diungkapkan oleh Shon dkk (2017) yang menyatakan bahwa banyak peneliti kontemporer yang mengklaim menggunakan pendekatan fenomenologi tetapi pada kenyataannya mereka yang menghubungkan metode tersebut dengan prinsip dari filosofi fenomenologi. Hal itulah yang seharusnya diperbaiki oleh para peneliti fenomenologi dewasa ini. Perkembangan Argumen Fenomenologi Argumen fenomenologi menyatakan bahwa manusia dan fakta (kenyataan) sosial terbentuk ketika perilaku manusia disatukan dengan makna (meaning). Yang mana makna tersebut akan menciptakan tindakan dan berperan sebagai suatu komponen atau aspek. Sehingga suatu aspek tindakan “inner” (batin) yang bersatu dengan aspek “eksternal” untuk membentuk suatu kesatuan tindakan. Makna ini hasil dari suatu fakta tentang perilaku manusia yang murni. Dengan cara ini, formula konstruktivis terpenuhi. Formula tersebut yang akan menentukan konstruktivisme sebagai posisi bawah pikiran, keyakinan, manusia dalam menciptakan fakta sosial. Terkait dengan argumen fenomenologi yang direkonstruksi. Collin mengemukakan bahwa psikologisme yang menyatakan bahwa argumen fenomenologi diwarisi oleh Weber dan Schutz, memuat dua ketakutan atau keraguan, yaitu : keraguan yang berkaitan dengan teori eksplamattion yang didukung oleh Weber dan Schutz yang menegaskan bahwa ekplansi dicapai oleh identifikasi atau ketepatan ulang yang bersifat subjektif. Keraguan lain yang berkaitan dengan implikasi ontologi argumen fenomenologi seperti yang dinyatakan oleh Schutz. Argumen ini dipandan akan menyebabkan ilmuwan untuk memahami dualisme, karena argumen ini menggambarkan mental sebagai bidang yang terpisah. Inspirasi pemikiran Max Weber bagi fenomenologi Schutz Semenjak nuasa realitas sosial berada pada tingakt interaksi individual maka semua analisa sosial yag valid harus menunjuk pada perilaku individual. Perilaku individual ini terbentuk oleh arti subyektif yang instensif dari individu perilaku individual terbentuk berdasarkan pada tindakan. Tindakan dapat didefinisikan dengan mengartikan makna subjektif yang tergantung didalamnya melalui pengamatan terhadap tindakan individu dan semua tindakan yang berkaitan di dalamnya. Kelengkapan mendasar dari tindakan sosial adalah makna secara subyektif berkaitan dengan tindakan dari individu yang lain. Implikasi dari konsep pemikiran yang dilontarkan oleh Weber adalah sebuah tujuan untuk mengungkapkan akibat psikologis dari perilaku. Sehubungan dengan itu, maka sifat dari pendekatan ini adalah subyektif dan tidak berhubungan dengan fakta empiris. Sudut pandang ini biasa digunakan oleh pengguna metode yang memiliki orientasi psikologis yang menggunakan wacana seperti tinggal kembali dan empati. Selain menggunakan wacana yang telah disebutkan diatas maka wacana lain yang tidak kala populer nya dalam menggunakan pendekatan ferstehen adalah tingkat (tahapan) psikologi didalam. Teori yang dkemukakan oleh Weber ini hanya merupakn modifikasi dari ide-ide yang pernah dilontarkan oleh Dilthey dan digerakan oleh roh kaum neo-men-kantian yang terobsesi untuk membawa ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial kedalam satu atap aau “to bring along natural science and social science under one roof. Implikasi fenomenologi schutz pada metode penelitian sosial Pemikiran schutz yang menekankan pembedaan yang dilakukan pada penelitin sosial dan penelitian dan pengetahuan fisika. Pembedaan ini justru dilakukan dengan langkah menyetaraan taraf berpikir dalam melakukan interpretasi pada dunia “kita” sepakati secara umum. Langkah ini tentu saja sangat berbeda dengan penelitian gejala yang terjadi di alam meskipun menekankan diri pada penyelidikan gejala yang terjadi di alam namun justru menggunakan model alat penelitian yang dibangun dari sudut pandang peneliti ilmu pengetahuan alam tersebut. Namun dalam mencoba memahami perilaku, tindakan maupun pemikiran manusia tentu saja seorang peneliti dituntut secara fleksibel mampu menyesuaikan taraf pemikiran ilmiahnya dengan individu yang lain secara simultan menjadi obyek dan subyek penelitian sebagai pihak yang sekaligus melakukan pemaknaan terhadap tidakannya sendiri. Selanjutnya dalam proses pemaknaan tersebut terjadi suatu kesepakatan yang intinya tidak mau terjebak hanya pada pemikiran ilmiah sosial tetapi lebih pada interpretasi terhadap kehidupan keseharian berdasarkan kesepakatan kita sebagai peneliti dengan “obyek” penelitian yang sekaligus sebagai subyek yang menginterpretasikan dunia sosial dalam kerangka besar proses pencarian dalam proses pemahaman terhadap konstruksi makna dari seuatu proses yang bernama intersubyektivitas. Proses pemaknaan diatas ini membentuk sistem relevansi yang menjalankan proses intraksi dengan lingkuangan. Dengan kata lain, pembentukan sistem relevansi dalam proses interaksi sosial ini dapat dijadiakan elemen pembentuk tujuan dalam setiap tindakan sosial yang dilakukan oleh individu (Nidito, 2013). Paradigma Fenomenologi Sejarah awal mula munculnya filsafat fenomenologi berkembang pada abad ke-15 dan ke-16. Pada masa itu, terjadi perubahan besar dalam diri manusia tentang perspektif dirinya di dunia ini. Pada abad sebelumnya, manusia selalu memandang segala hal dari sudut pandang Ketuhanan. Selanjutnya, terjadilah gelombang besar modernitas pada kala itu yang mengubah sudut pandang pemikiran tersebut. Para filsuf banyak yang menolak doktrin-doktrin Gereja dan melakukan gerakan reformasi yang disebut sebagai masa pencerahan. Paradigma ini muncul karena timbulnya pemikiran manusia terhadap subjektivitas. Yang dimaksud dengan subjektivitas di sini bukanlah antonim dari kata objektivitas. Subjek yang dimaksud merupakan makna “aku” yang ada dalam diri manusia yang menghendaki, bertindak, dan mengerti. Menurut Suseno manusia hadir ke dunia sebagai subjek yang memiliki kesadaran diri, tak hanya hadir sebagai benda di dunia ini, melainkan sebagai subjek yang berpikir, berefleksi, dan bertindak secara kritis dan bebas (Mujib, 2015). Pendekatan ini lebih menekankan rasionalisme dan realitas budaya yang ada. Hal ini sejalan dengan penelitian etnografi yang menitikberatkan pada pandangan warga setempat. Realitas dipandang lebih penting dan dominan dibanding teori melulu. Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Fenomenologi, ilmu bukan values free, bebas nilai dari apapun, melainkm values bound, memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma dasar fenomenologi adalah: 1. Kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai individu maupun kelompok selalu bersifat majemuk atau tersusun secara kompleks, dengan demikian hanya bisa diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas 2. Hubungan antara peneliti dan subyek inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan 3. Lebih ke arah pada kasus-kasus, bukan untuk menggeneralisasi hasil penelitian 4. Sulit membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan 5. Inkuiri terikat nilai, bukam values free Metode kualitatif Fenomenologi berlandaskan pada empat kebenaran, yaitu kebenaran empirik sesuai, kebeneran empirik trasenden. Atas dasar cara mencapai kebenaran ini fenomenologi menghendaki kesatuan antara subyek peneliti dengan pendukung obyek penelitian. Keterlibatan subyek peneliti di lapangan dan pengghayatan fenomena yang dialami menjadi salah atu ciri utama. Seperti dikatakan Moleong (1988:78) bahwa pendekatan fenomenologi berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Peneliti fenemenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti (Suwardi, 2009). Ruang Lingkup Argumen Fenomenologi Para pakar mendukung versi argumen fenomenologi yang sudah direkonstruksi dan menyimpulkan bahwa, “fakta-fakta sosial tertentu dimunculkan oleh makna-makna agen. Faktanya bahwa konsep sosial mengandung arti eksistensi objektif dari suatu hal, dan kondisi-kondisi subjektif sebuah agen, berarti konsep-konsep tersebut mempunyai implikasi-implikasi eksternal. Fakta sosial yang dijelaskan oleh makna itu sendiri menimbulkan keterbatasan, kebanyakan fenomena sosial terdiri dari berbagai sifat-sifat eksternal dan objektif. Makna mencakup pengakuan bahwa seseorang memiliki status khusus, dan hasil kajian menjelaskan bahwa kecenderungan diantara ilmuwan sosial mengabaikan implikasi eksternal itu. Sifat – Sifat Yang Relevan dengan Fenomenologi Adapun sifat-sifat dasar penelitian kualitatif yang relevan dengan metode fenomenologi yaitu sebagai berikut : 1. Menggali nilai-nilai dalam pengalaman dan kehidupan manusia. 2. Fokus penelitian adalah pada keseluruhan, bukan pada per bagian yang membentuk keseluruhan itu. 3. Tujuan penelitian adalah menemukan makna dan hakikat dari pengalaman, bukan sekedar mencari penjelasan dan mencari ukuran-ukuran dari realitas. 4. Memperoleh gambaran kehidupan dari sudut pandang orang pertama melalui wawancara mendalam, baik formal maupun informal. 5. Data yang diperoleh adalah dasar bagi pengetahuan ilmiah untuk memahami perilaku manusia. 6. Pertanyaan yang dibuat merefleksikan kepentingan, keterlibatan, dan komitmen pribadi dari penliti. 7. Melihat pengalaman dan perilaku sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik itu kesatuan antara subjek dan objek, maupun antara bagian dan keseluruhannya (Koeswara, 2009). Ciri – Ciri Penelitian Fenomenologi Sifat-sifat penelitian kualitatif tersebut akan sejalan dengan ciri-ciri penelitian fenomenologi, yaitu sebagai berikut : 1. Fokus pada sesuatu yangnampak, kembali kepada yang sebenarnya (esensi), keluar dari rutinitas, dan keluar dari apa yang diyakini sebagai kebenaran dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. 2. Fenomenologi tertarik dengan keseluruhan, dengan mengamati esentitas dari berbagai perspektif sampai didapat pandangan yang esensi dari pengalaman atau fenomena yang diamati. 3. Fenomenologi mencari makna dan hakikat dari apa yang terlihat, dengan intuisi dan refleksi dalam tindakan sadar melalui pengalaman. Makna ini yang pada akhirnya membawa kepada ide, konsep, penilaian, dan pemahaman yang hakiki. 4. Fenomenologi mendeskripsikan pengalaman, bukan menjelaskan atau menganalisisnya. Sebuah deskripsi fenomenologi akan sangat dekat dengan kealamiahan (tekstur, kualitas, dan sifat-sifat penunjang) dari sesuatu. Sehingga deskripsikan akan mempertahankan fenomena itu apa adanya, dan menonjolkan sifat alamiah dan makna di baliknya. Selain itu, deskripsi juga akan membuat fenomena hidup dalam terma yang akurat dan lengkap. Dengan kata lain, sama hidupnya antara yang tampak dalam kesadaran dengan yang tampak oleh pancaindra. 5. Fenomenologi berakar pada pertanyaan-pertanyaan yang langsung berhubungan dengan makna dari fenomena yang diamati. Dengan demikian, peneliti fenomenologi akan sangat dekat dengan fenomena yang diamati. 6. Integrasi dari sebuah subjek dan objek. Presepsi penelitian akan sama dengan apa yang dilihat dan didengarnya. Dimana pengalaman tentang suatu tindakan akan membuat objek menjadi subjek, dan subjek menjadi objek. 7. Investigasi yang dilakukan dalam kerangka intersubjektif, realitas adalah suatu bagian dari proses secara keseluruhan. 8. Data yang diperoleh (melalui berfikir, intuisi, refleksi, dan penilaian) menjadi bukti-bukti utama dalam penilitian ilmiah. 9. Pertanyaan-pertanyaan penelitian harus dirumuskan dengan sangat hati-hati. Setiap kata harus dipilih, dimana kata yang terpilih adalah kata yang paling utama, sehingga dapat menunjukkan makna yang utama pula (Farid, Adib 2018). Karakteristik Fenomenologi Fenomenologi merupakan suatau metode penelitian yang mempunyai beberapa karakteristik, yaitu sebagai berikut : 1. Deskripsi. Tujuan fenomenologi adalah deskripsi fenomena, dan bukan menjelaskan fenomena. Dalam hal ini peneliti menyelediki/ mempelajari suatu makna bagi manusia, bukan hanya berasumsi (Yusuf, 2014). 2. Reduksi. Reduksi adalah sebagai suatu proses dimana asumsi dan prasangka tentang fenomena ditunda, agar meminimalisir prasangka-prasangka tersebut tidak mencemari deskripsi/ hasil pengamatan. 3. Esensi. Esensi adalah makna inti dari pengalaman individu dalam fenomena tertentu sebagaimana adanya. Pencarian esensi, tema esensial atau hubungan-hubungan esensial dalam fenomena apa adanya akan melibatkan eksplorasi fenomena dengan menggunakan proses imaginasi secara bebas guna untuk menangkap makna yang sesungguhnya dari apa yang diteliti. 4. Intensionalitas. Fenomenologi menggunakan dua konsep neosis dan noema untuk mengungkapkan intensionalitas. Intensionalitas mengacu sebagai korelasi antara noema dan neosis yang mengarahkan interpretasi terhadap pengalaman. Neoma adalah pernyataan obyektif dari perilaku atau pengalama sebagai realitas, sedangkan neosis adalah refleksi subyektif (kesadaran) dari pernyataan yang obyektif tersebut. Dalam pandangan ini bahwa realitas itu apa adanya, tidak ada ide apapun mengenai realitas. Interrelasi antara kesadaran dengan realitas itulah yang dissebut intensionalitas (Sudarsyah, 2013). 5. Keterarahan Keterarahan maksudnya bahwa apa yang kita teliti haruslah yang kita kenal melalui kesadaran kita. kalau objek penelitian kita terkait dengan pengalaman orang lain, maka partisipan dalam penelitian harus memiliki pengalaman tersebut dan juga bersedia untuk membagikan pengalaman itu. Peneliti tidak akan mendapatkan informasi yang akurat dari partisipasi yang tidak memiliki pengalaman tentang objek yang hendak diteliti. Karena itu, terkait dengan pemilihan partisipasi mereka harus memiliki pengalaman dan informasi yang kaya tentang objek penelitian yang hendak diteliti. 6. Keunikan Manusia Metode fenomenologi memusatkaan perhatiannya pengalaman partisipasipan, setiap manusia memiliki pengalaman yang unik dan berbeda-beda. Manusia memberi arti pada dunianya atas caranya sendiri, memahami manusia berarti mengerti pengalamannya secara langsung. Metode fenomenologi berusaha untuk memahami seperti apa pengalaman yang dihidupi, bukan sekedar reaksi orang atas pengalaman tersebut.Metode fenomologi didasarkan juga pada suatu keyakinan bahwa setiap manusia adalah penentuan diri, masin gmasing orang menafsirkan dunianya atas cara yang khusus (Raco, 2012). Peneliti fenomenologi melakukan: 1) Reduksi fenomenologi, dimana peneliti melakukan pengamatan faktual yang sesungguhnya. 2) Reduksi eidetis, dalam hal ini peneliti melakukan penghayatan ideal, dan 3) Reduksi transendental, untuk mendapatkan subjek yang murni. Semua itu dimaksudkan agar penelit yang menggunakan strategi fenomenologi harus membebaskan diri dari : 1) Unsur-unsur subjektivitas peneliti; 2) Keterikatan teori, proposisi, dan hipotesis; 3) Bebas dari doktrin tradisional, sehingga peneliti berupaya membebaskan diri dari prasangka, dimana peneliti berupaya memurnikan fenomena sehinnga terjauh dari kesalahan dalam mendeskripsikan fenomena. Dengan menggunakan fenomenologi peneliti ingin meniliti apa yang tampak (Yusuf, 2014). Langkah-langkah Penelitian Fenomenologi Desain penelitian fenomenologi, sama seperti halnya penelitian kualitatif yang lain, yang mana tidak sekaku peniliaian kuantitatif. Dalam artian penelitian fenomenologi lebih fleksibel dan mungkin juga dapat berubah pada waktu dilapangan, apabila ditemukan hal-hal baru dan prinsipiel. Adapun langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam penelitian fenomonologi, yaitu sebagai berikut : 1. Intuiting. Peneliti secara total memahami fenomena yang diteliti. Peneliti menggali fenomena yang ingin diketahui dari informan menganai pengalamannya bekerja. Dalam hal ini peneliti menghindari kritik, evaluasi atau opini tentang hal-hal yang disampaikan oleh partisipan dan menekankan pada fenomena yang diteliti, sehingga mendapatkan gambaran yang sebenarnya. Pada langkah intuiting ini peneliti sebagai instrument dalam proses wawancara. 2. Analyzing. Pada tahap ini peneliti mengidentifikasi arti dari fenomena yang telah digali dan mengekplorasi hubungan serta keterkaitan antara data dengan fenomena yang ada, data yang penting dianalisis secara seksama. Dengan demikian peneliti mendapatkan data yang diperlukan untuk memastikan suatu kemurnian dan gambaran yang kuat. 3. Phenomenological Describing. Peneliti mengkomunikasikan dan memberikan gambaran tertulis dari elemen kritikal yang didasarkan pada pengklasifikasian dan pengelompokan fenomena. Tujuan tahap ini adalah mengkomunikasikan arti dan makna pengalaman (Subadi, 2009). Langkah-Langkah Penelitian Dengan Menggunakan Fenomenologi Husserl Gambaran secara mendetail tentang elemen-elemen fenomenologi, gambaran tersebut belum merupakan langkah-langkah terstuktur yang mudah diikuti oleh seperti pemula. Langkah-langkah tersebut meliputi : 1. Menentukan fenomena yang diingin diteliti dan peran peneliti dalam penelitian tersebut. Menentukan fenomena yang menjadi fokus penelitian memerlukan beberapa pertimbangan, antara lain keefektifan fenomenologi Husserl untuk menghasilkan pemahaman yang lebih baik tentang fenomena. 2. Pengumpulan data adalah proses pengumpulan data meliputi proses pemilihan partisipasi atau sampel dan metode pengumpulan data. Pada umumnya, fenomenologi menggunakan teknik purposeful sampling. Dimana setiap orang yang mempunyai pengalaman tentang fenomena yang sedang diteliti berhak untuk menjadi partisipasipan. 3. Perlakuan dan analisis data merupakan analisis data didahului dengan proses transkiripsi hasil wawancara secara verbatim atau apa adanya. Setia transkip diberi identitas, diperiksa keakuratnya, dan dianalisis. Terdapat bermacam-macam prosedur analisi yang dianggap cocok dan sesuai seperti metode yang meliputi membaca traskip berulang-ulang untuk dapat menyatu dengan data, mengekstrak pertanyaan-pertanyaan spesifik, memformulasi makna dari pernyataan spesifik, dan memvalidasi deskripsi lengkap dengan cara memberikan deskripsi kepada partisipan. 4. Studi literatur adalah proses analisis data selesai maka peneliti melakukan studi literatur secara mendalam untuk mengetahui hubungan dan posisi hasil penelitian terhadap hasil-hasil penelitian yang telah ada 5. Mempertahankan kebenaran hasil penelitian seperti halnya penelitian kuantitatif, penelitian ini juga menurut adanya validitas dan reliabilitas. Dalam penelitian kualitatif pada umumnya validatas dan rehalibitas dikenal sebagai credibility, auditability, and fittingness. 6. Pertimbangan etik yang harus diperhatikan meliputi pemberian informsi tentang sifat penelitian, keikutsertaan yang bersifat sukarela, ijin untuk merekam interview, kearahasiaan identitas partisiapasipan baik pada rekaman, transkip, maupun pada deskripsi lengkap (Asih 2009). Analisis Data dalam Penelitian Fenomenologi Data dari fenomena sosial yang diteliti dapat dikumpulkan dengan berbagai cara, diantaranya observasi dan interview, baik interview mendalam (in-depth interview). In depth dalam penelitian fenomenologi bermakna mencari sesuatu yang mendalam untuk mendapatkan suatu pemahaman yang mendetail tentang fenomena sosial dan pendidikan yang diteliti. In-depth juga bermakna menuju pada sesuatu yang mendalam guna mendapatkan sense dari yang nampaknya straight-forward secara aktual secara potensial lebih lengkap. Pada sisi lain juga peniliti harus memformulasikan kebenaran peristiwa/ kejadian dengan pewawancaraan mendalam ataupun interview. Data yang diperoleh dengan in-depth interview dapat dianalisis proses analisis data dengan Interpretative Phenomenological Analysis (Smith 2009). Tahapan yang dilakukan, yaitu sebagai berikut : 1. Reading and re-reading Dalam tahap ini peneliti memfokuskan diri dalam membaca dan membaca hasil penelitian (data) yang original. Bentuk kegiatan dalam tahap ini yaitu adalah menuliskan transkip interview dan rekaman audio kedalam transkip bentuk tulisan. Dalam tahap ini imaginasi kata-kata dari partisipan ketika dibaca dan dibaca kembali oleh peneliti dari transkip akan membantu analisi yang lebih komplit. Tahap ini dilaksanakan untuk memberikan keyakinan bahwa partisipan penelitian benar-benar menjadi fokus analisis. Peneliti dalam tahap ini memulai proses ini dengan anggapan bahwa setiap kata-kata partisipan sangat penting untuk masuk kedalam fase analisis dan kata-kata itu diperlakukan secara aktif. Membaca kembali data dengan model keseluruhan struktur interview untuk selanjutnya dikembangkan, dan juga memberikan kesempatan pada peneliti untuk memperoleh pemahaman mengenai bagaimana narasi-narasi partisipan secara bersama-sama dapat terbagi dalam beberapa bagian. Dengan membaca dan membaca kembali juga memudahkan penilaian mengenai bagaimana hubungan dan kepercayaan yang dibangun antar interview dan kemudian memunculkan letak-letak dari bagian-bagian yang kaya dan lebih detail atau sebenarnya kontradiksi dan paradox. 2. Intial Noting Analisis tahap awal ini sangat mendetail dan mungkin menghabiskan waktu. Tahap ini menguji isi/konten dari kata, kalimat dan bahasa yang digunakan partisipan dalam level eksploratori. Analisis ini menjaga kelangsungan pemikiran yang terbuka (open mind) dan mencatat segala sesuatu yang menarik dalam transkip. Proses ini menumbuhkan dan membuat sikap yang lebih familier terhadap transkip data. Selain itu tahap ini juga memulai mengidentifikasi secara spesifik cara-cara partisipan mengatakan tentang sesuatu, memahami dan memikirkan mengenai isu-isu (Smith, 2009). Tahap 1 dan 2 ini melebur, dalam artian praktiknya dimulai dengan membuat catatan pada transkip. Peneliti memulai aktifitas dengan membaca, kemudian membuat catatan eksploratori atau catatan umum yang dapat ditambahkan dengan membaca berikutnya. Analisis ini hampir sama dengan analisis tekstual bebas. Disini tidak ada aturan apakah dikomentari atau tanpa persyaratan seperti membagi teks kedalam unit-unit makna dan memberikan komentar-komentar pada masing-masing unit. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan seperangkat catatan dan komentar yang komperhensif dan mendetail mengenai data. Beberapa bagian dari interview mengandung data penelitian lebih banyak dari pada yang lain dan akan lebih banyak makna dan komentar yang diberikan. Jadi pada tahap ini peneliti mulai memberikan komentar dengan menduga pada apa yang ada dalam teks. Aktifitas ini menggambarkan difusi kebijakan gender pada pola-polanya seperti hubungan, proses, tempat, peristiwa, nilai dan prinsip-prinsip dan makna dari difusi kebijakan gender bagi partisipan. Dari tahap ini kemudian dikembangkan dan disampingkan itu peneliti akan membantu untuk memahami bagaimana dan mengapa partisipan tertarik dengan kebijakan gender mainstreaming. Deskripsi yang peneliti kembangkan melalui initial notes ini menjadi deskripsi inti dari komentar-komentar yang jelas merupakan fokus dari fenomenologi dan sangat dekat dengan makna eksplisit partisipan. Data yang asli dari transkip diberikan komentar-komentar dengan menggunakan ilustrasi komentar eksploratory. Komentar eksploratori dilaksanakan untuk memperoleh intisari. Komentar eksploratori meliputi komentar deksriptif, komentar bahasa, komentar konseptual yang dilakukan secara simultan. Komentar deskriptif difokuskan pada penggambaran isi/content dari apa yang dikatakan oleh partisipan dan subjek dari perkataan dalam transkip. Komentar bahasa difokuskan pada catatan eksploratori yang memperhatikan pada penggunaan bahasa yang disampaikan. Komentar konseptual ini lebih interpretative difokuskan pada level yang konseptual. 3. Developing Emergent Themes (Mengembangkan kemunculan tema-tema) Walaupun transkip interview merupakan tempat pusat data, akan tetapi data itu akan menjadi lebih jelas dengan diberikannya komentar eksploratori tersebut, maka pada seperangkat data muncul atau tumbuh secara substansial (Smith, 2009). Untuk memunculkan tema-tema, peneliti mengatur perubahan data dengan menganalisis secara simultan, serta berusaha untuk mengurangi volume yang detail dari data yang berupa transkip dan catatan awal yang masih ruwet untuk di mapping kesalinghubungannya, hubungan dan pola-pola antar catatan eksploratori. Pada tahap ini analisis terutama pada catatan awal lebih yang dari sekedar transkip. Komentar eksploratori yang dilakukan secara komperhensif sangat mendekatkan pada kesimpulan dari tanskip yang asli. Proses mengidentifikasi munculnya tema-tema kemungkinan tujuan peneliti untuk membedah kembali alur narasi interview, jika peneliti pada narasi awal tidak merasa comfortable. Untuk itu peneliti perlu melakukan reorganisasi data pengalaman partisipan. Dimana proses ini mempresentasikan lingkaran hermeneutik. Keaslian interview secara keseluruhan menjad seperangkat dari bagian yang dianalisis, tetapi secara bersama-sama menjadi keseluruhan yang baru yang merupakan akhir dari analisis dalam melukiskan suatu peristiwa dengan terperinci. 4. Searching for Connection a Cross Emergent Themes Partisipasi penelitian memegang peran penting semenjak mengumpulkan data dan membuat komentar eksploratori. Atau dengan kata lain pengumpulan data dan pembuatan komentar eksploratori dilakukan dengan berorientasi pada partisipan. Mencari hubungan antar tematema yang muncul dilakukan setelah peneliti menetapkan seperangkat tema-tema dalam transkip dan tema-tema yang diurutkan secara kronologis. Level analisis ini tidak ada ketentuan resmi yang berlaku. Peneliti didorong untuk mngeksplore dan mengenalkan sesuatu yang baru dari hasil penelitiannya dalam term pengorganisasian analisis. Tidak semua tema yang muncul harus digabungkan dalam tahap analisis ini, beberapa tema mungkin akan dibuang. Analisis ini tergantung pada keseluruhan dari pertanyaan penelitian dan ruang lingkup penelitian. 5. Moving the Next Cases Tahap analisis 1-4 dilakukan setiap satu kasus/ partisipan. Jika satu kasus selesai dan dituliskan hasil analisisnya, maka tahap selanjutnya berpindah pada kasus atau partisipan berikutnya hingga selesai sema kasus. Langkah ini dilakukan pada semua transkip partisipan, dengan cara mengulang proses yang sama. 6. Looking for Patterns Across Cases Tahap akhir ini merupakan tahap keenam dalam analisis ini adalah mencari pola-pola yang muncul antar kasus/partisipan. Apakah hubungan yang terjadi antar kasus, dan bagamaina tema-tema yang ditemukan dalam kasus-kasus yang lain memandu peneliti melakukan penggambaran dan pelabelan kembali pada tema-tema. Pada tahap ini dibuat master table dan tema-tema untuk satu kasus atau kelompok kasus dalam sebuah institusi/ organisasi. Kelebihan dan Kelemahan Fenomenologi Kelebihan Fenemonologi Adapun kelebihan fenemenologi dalam melakukan penelitian, yaitu sebagai berikut : 1. Fenomenologi akan mampu menjelaskan sesuatu dari realitas subyektif 2. Sebagai metode penelitian sosial yang pada awalnya telah didasari teori kefilsafatan yang dikembangkan oleh Hegel, Husserl, Scheller, Schutz, dan Berger. 3. Fenomenologi digunakan sebagai alat analisis terhadap fenomena sosial. 4. Fenomenologi dan realisme metaphisik mengakui adanya kebenaran empirik etik yang memerlukan akal budi untuk melacak dan menjelaskan serta berargumentasi. Akal budi disini mengandung makna bahwa kita perlu menggunakan kriteria lebih tinggi lagi dari sekedar truth or false. 5. Fenomenologi pada aplikasinya bahwa peneliti dalam berilmu pengetahuan tidak dapat lepas dari pandangan moralnya, baik taraf mengamati, menghimpun data, menganlisis data, ataupun dalam membuat kesimpulan. 6. Fenomenologi bukan hanya menampilkan teori dan konseptualisasi yang sekedar berisi anjuran atau imperatif, melainkan mengangkat “makna etika” dalam berteori dan berkonsep. 7. Fenomenologi mampu mengkaji makna dan proses pada setiap fenomena sebagai realitas subjektif. 8. Fenomenologi menghendaki adanya sejumlah interpretasi dari individu sebagai subjek penelitian, dan selanjutnya menghendaki interpretasi terhadap interpretasi-interpretasi itu oleh peneliti sampai bisa masuk ke dalam dunia makna dan dunia konseptual subjek penelitian. Kelemahan Fenemonologi Adapun kelemahan-kelamahan teori fenomenologi, yaitu sebagai berikut : 1. Husserl mengatakan bahwa fenomenologi menjauhkan diri dari perhatian pada struktur bahasa yang akrab didalam filsafat analisis Anglo-Saxon. 2. Didalam fenomenologi, realitas hanya berupa penampilan dan pengalaman hanya dapat memahami realitas melalui indra-indra. 3. Masih ada beberapa aspek problematik tentang aksi yang dianggap sebagai perilaku bermakna subjektif ayng perlu penyempurnaan 4. Metodologis Scheler “pembelaan ketidk-berpihakan” dianggap tidak jelas dalam penelitian fenomenologi. 5. Pengetahuannya untuk mengkaji dunia makna dirancang sebagai suatu instrumen elit penguasa yang bersifat manipulasi, padahal dunia makna tidak bisa dimanipulasi (Subadi, 2009). DAFTAR PUSTAKA Ahimsa-Putra, H. S. (2016). Fenomenologi agama: pendekatan fenomenologi untuk memahami agama. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 20(2), 271-304. Asih, I. D. (2009). Fenomenologi Husserl: Sebuah cara “kembali ke fenomena”. Jurnal Keperawatan Indonesia, 9(2). Auliyah, R. (2014). Studi Fenomenologi Peranan Manajemen Masjid At-Taqwa dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Bangkalan. Kompetensi (Competence: Journal of Management Studies), 8(1). Endraswara, S,. (2009). Metodologi Penelitian Foklor. Deepublish Fandi, M. A,. (2011). Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual : Sebuah Studi Fenomenologi. Jurnal Psikologi Islam. Fandy, M,. (2011). Teori-Teori Dalam Sosiologi Hukum. Deepublish Farid, M, &, Adib, M,. (2018). Fenomenologi: Dalam Penelitian Ilmu Sosial. Deepublish Haleluddin. (2018). Mengenal Lebih Dekat Dengan Pendekatan Fenomenologi : Sebuah Penelitian Kualitatif. Hamid, F., & Si, M. (2009). Pendekatan Fenomenologi. Deepublish Hasbiansyah, O. (2009). Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi. MediaTor (Jurnal Komunikasi), hlm.170 Hijaroh, M,. (2009). Paradigma, Pendekatan, dan Metode, Penelitian Fenomenologi. Jurnal Penelitian Kualitatif. Mamulati, I., Triyuwono, I., & Mulawarman, A. D. (2016). Fenomenologi Sumber Daya Manusia Sebagai Aset Intelektual Dalam Amal Usaha Muhammadiyah. Jurnal Akuntansi dan Investasi, 17(1), 93-103. Nindito, S. (2013). Fenomenologi Alfred Schutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas dalam Ilmu Sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi, 2(1). Raco, J, R,. (2012). Metode Fenomenologi Aplikasi Pada Entrepreneuship. Deepublish Santana, S,. (2009). Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kuantitatif. Deepublish Semiawan, C, R,. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Deepublish Simatupang, F. F., & Salam, N. E. (2014). Fenomena selfie (self portrait) di instagram (Studi fenomenologi pada remaja di Kelurahan Simpang Baru Pekanbaru). Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2(1), Subadi, T,. (2009). Metode Penelitian Kualitatif. Deepublish Sudarsyah, A. (2016). Kerangka Analisis Data Fenomenologi (contoh analisis teks sebuah catatan harian). Jurnal Penelitian Pendidikan, 13(1) Sugiarto, S,. (2017). Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif : Skripsi dan Tesis : Suaka Media. Deepublish Umanailo, M, C, B,. (2013). Teknik Praktis Riset Fenomenologi. Deepublish Wirawan, I, B,. (2012). Teori-Teori Sosial Dalam Paradigma Faktor Sosial Definisi Sosial & Perilaku Sosial. Deepbulish Yusuf, M. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, & Penelitian Gabungan. Deepublish