UJIAN AKHIR SEMESTER “ METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF”
RANGKUMAN “FENOMENOLOGI”
DI SUSUN OLEH :
1. Endah Azharini : Sya. 155013
2. Nency
: Sya. 155025
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN) SORONG
TAHUN 2019
RANGKUMAN “FENOMENOLOGI”
Definisi Fenomenologi
Fenomenologi merupakan sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia
sebagai sebuah fenomena.
Fenomenologi juga merupakan salah satu jenis metode penelitian
kualitatif, dimana metode ini untuk mengungkap esensi makna sekumpulan individu. Fenomenologi
menjadi metode penelitian yang dekat dengan filsafat dan psikologi.
Fenomenologi berasal dari kata Yunani “phenomenon” yang berarti menunjukkan diri (to
show itself) (Conny, 2010). Fenomenologi berarti pengetahuan, dalam artian apa yang persepsikan
oleh seseorang, apa yang dirasa dan diketahui melalui kesadaran atau pengalamannya. Rene
Descartes mengatakan bahwa seseorang mengetahui sesuatu karena mereka berfikir tentang hal
tersebut.
Pendekatan fenomenologi merupakan penelitian yang berusaha untuk memahami makna
peristiwa serta interaksi pada manusia dalam situasi tertentu. Penelitian yang menggunakan
pendekatan fenomenologi bermula dari “diam” (Subadi, 2009). Keadaan “diam” merupakan upaya
untuk menangkap apa yang dipelajari dengan menekankan pada aspek-aspek subyektif dari perilaku
manusia. Fenomenologi berusaha untuk bisa masuk ke dalam dunia konseptual subyek
penyelidikannya agar dapat memahami bagaimana ada apa makna yang disusun subyek tersebut di
sekitar kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam hal ini peneliti berusaha
memahami subyek dari sudut pandang subyek itu sendiri, tetapi tidak mengabaikan realitas yang ada
pada manusia.
Para peneliti kualitatif menekankan pemikiran subyektik, karena menurut pandangannya
dunia itu dikuasai oleh angan-angan yang bersifat simbolis daripada konkret (Subadi, 2009). Jika
peneliti menggunakan prespektif fenomenologi dengan paradigma definisi sosial biasanya penelitian
ini bergerak pada kajian mikro.
Fenomenologi merupakan upaya untuk pemberangkatan dari metode ilmiah yang berasumsi
bahwa eksistensi suatu realitas tidak orang ketahui dalam pengalaman yang dihayati secara aktual
sebagai data dasar suatu realitas. Fenomenologi juga mempelajari dan melukiskan ciri-ciri insrinstik
dari gejala sebagaimana gejala itu menyikapkan dirinya pada kesadaran. Fenomenologi menjelaskan
struktur kesadaran dalam pengalaman manusia, pendekatan fenomenologi berupaya membiarkan
realitas mengungkapkan dirinya sendiri secara alami melalui pertanyaan pancingan, subjek
penelitian dibiarkan menceritakan segala macam dimensi pengalamannya berkaitan dengan sebuah
fenomena / peristiwa (Hasbiansyah, 2009).
Fenomenologi termasuk pada pendekatan subjektif atau interpretif, istilah fenomenalogi
dapat digunakan sebagai istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang
menempatkan kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan
sosial. Menurut Watt dan Berg, fenomena tidak tertarik manggkaji aspek-aspek kualitas dalam suatu
peristiwa, tetapi berupaya memahami tentang bagaimana orang melakukan sesuatu pengalaman
beserta makna pengalaman itu bagi dirinya.
Fenomenologi berupaya menngungkapkan dan
memahami realitas penelitian berdasarkan perspektif subjek penelitian.
Perkembangan Fenomenologi (Hegel, Husserl, Sheller, Shcutz, dan Berger)
Dalam perkembangannya persepktif ini dikenal sebagai kefilsafatan yang digulirkan oleh
Hegel, Husserl, Sheller, Shuctz, dan Berger. Namun dengan pemikiran-pemikiran Weber dalam
pengembangan sosial, akhirnya pendekatan ini banyak diguanakan sebagai alat analisis terhadap
fenomena sosial. Pendekatan fenomenologi mengakui adanya kebenaran “empirik etik” yang
memerlukan akalbudi untuk melacak dan menjelaskan serta berargumentasi. Nilai moral yang
digunakan pendekatan ini tidak terbatas pada nilai moral tunggal yaitu truth or false. Tetapi, nilai
moral yang digunakan pada pendekatan ini mengacu pada nilai moral ganda yang herarkik yang
berarti ada kebermaknaan tindakan.
Pada masa Hegel telah dikedepankan konsep tese dan antitese yang dapat menghasilkan
sintese. Konsep ini merupakan gerakan dari yang tidak ada menuju ada (Subadi, 2009). Hegel
adalah tokoh yang dimulai merumuskan pengertian fenomenologi dengan lebih jelas, akan tetapi hal
ini rupanya tidak sangat berpengaruh terhadap Edmund Husserl, yang merupakan pelopor aliran
fenomenologi. Hursserl
pada dasarnya berupaya menemukan dasar bagi sebuah filsafat yang
membahas, menelaah, kenyataan.
Dasar dari filsafat adalah kenyataan itu sendiri, kenyataan
sebagaimana dia menampilkan dirinya, sebagaimana dia menghadirkan dirinya. Husserl
melanjutkan bahwa yang dimaksudnya dengan sesuatu itu sendiri tidak lain adalah “kesadaran”.
Oleh karena itu, fenomenologi yang dibangun oleh Husserl dapat dikatakan sebagai ilmu
pengetahuan tentang kesadaran (Putra, 2016). Dengan menyelami jalan pemikiran Husserl tersebut,
akan merasakan daya tarik dan sekaligus pengaruh dari pemikirannya. Untuk dapat memberikan
penghargaan karena jasa-jasanya sebagai filsuf perlu ditempatkan pada proporsi yang semestinya.
Dalam
perkembangan
fenomenologi
sebagai
suatu
pendekatan
filsafat,
Husserl
menempatkan metode pendekatan fenomenologi sebagai suatu pengkajian untuk mengenali,
menjelaskan, dan menafsirkan pengalaman indrawi dan makna untuk mengenali apa yang dialami.
Dalam hal ini Husserl menganjurkan peneliti untuk melakukan observasi partisipan agar dapat
mengetahui secara pasti apa yang dialami orang lain.
Menurut Husserl, bahwa suatu fenomena yang tampak sebenarnya merupakan refleksi yang
tidak berdiri sendiri, karena yang tampak adalah sebagai objek penuh dengan makna yang
transendental. Oleh karena itu penggunaan fenomenologi menurut Husserl adalah harus kembali
kepada “data” dan tidak kepada “pemikiran”. Sejatinya hasil pengetahuan didapat bukan dari
rekayasa pemikiran untuk membentuk teori, melainkan kehadiran data dalam kesadaran.
Berbeda dengan Sheller yang memberikan penekanan pada hakikat. Sheller menganjurkan
agar peneliti melakukan “penilikan hakikat” dengan menggunakan pengertian nilai dan pribadi.
Pendekatan fenomenologi Sheller terletak pada perhatiannya kepada manusia, sehingga menjadikan
“kasih” sebaga dasar ajarannya. Kasih dalam artian ini bukan kasih terhadap perasaan, melainkan
“pribadi”. Dengan demikian, penelitian yang diarahkan pada manusia harus mampu melihat apa
yang ada di balik nilai yang ada tersebut sebagai gambaran pribadi.
Perkembangan fenomenologi yang dikembangkan oleh Schutz yang tertarik pada pemikiran
Weber tentang tindakan sosialnya, yang memadukan antara fenomenologi transendental milik
Husserl dengan Verstehen tindakan sosial milik Weber. Pendekatan fenomenologi yang
dikedepankan oleh Schutz mengajarkan bahwa setiap individu hadir dalam arus kesadaran yang
diperoleh dari proses refleksi atas pengalaman sehari-hari. Dalam hal ini Schutz berusahan
memasuki konsep penelitian sampai memahami apa dan bagaimana pengertian mereka di sekitar
peristiwa kehidupan sehari-harinya. Konsep fenomenologi Schutz bertolak pada makna tindakan.
Dalam artian makna tindakan identik dengan motif yang mendasari tindakan tersebut yang dikenal
dengan istilah “in order in motif” (motif supaya). Konsep ini mengajarkan bahwa untuk bisa
memahami makna tindakan seseorang, peneliti harus melihat motif apa yang mendasari tindakan
tersebut. Dengan demikian makna tindakan subjektif dapat dikai dari motif pelakunya sendiri
dengan melalui ungkapan subjeknya sendiri. Kemudian Schutz mengembangkannya dengan motif
“because mottive” (motif karena) yang mana motif ini mengkaji makna subjektif dengan hubngan
sebab akibat sehingga benar-benar memenuhi motif asli yang mendasari tindakan individu.
Pemikiran Schutz dalam mengembangkan sebuah model tindakan manusia dalam postulasi sebagai
berikut :
1. Konsistensi logis, digunakan sebagai jalan untuk pembuatan validitas objektif dari konstruk
yang dibuat oleh peneliti. Validitas ini perlu untuk keabsahan data, dan pemisah konstruk
penelitian dari konstruk sehari-hari.
2. Interpretasi subjektif, digunakan peneliti untuk merujuk semua bentuk tindakan manusia,
dan makna dari tindakan tersebut.
3. Kecukupan, maksudnya konstruk yang telah dibuat oleh peneliti sebaiknya dapat dimengerti
oleh orang lain. Pemenuhan postulat ini menjamin konstruk ilmiah yang telah dibuat
konsisten dengan konstruk yang telah diterima, atau yang telah ada sebelumnya.
Berbeda juga dengan Subadi (2004) dalam disertasinya yang mencoba mengembangkan
fenomenologi dengan terlebih dahulu mengkritisi konsep fenomenologi terdahulu (penduhulunya).
Subadi lebih cenderung menggunakan fenomenologi Berger. Yang mana Berger mengembangkan
fenomenologi sebagai metode penelitian dengan menggunakan sintesa dari berbagai konsep tentang
manusia dan lingkungan sosial. Beger menilai karya pendahulu bersifat konduktif menuju pada ilmu
empiris yang belum mampu mendekati permasalahan dengan karakter apa adanya. Subadi juga
menyoroti fenomenologi konsep Husserl mengenai “fenomena murni” sebaga akar dari idealisme
intelektual belaka yangpada dasarnya telah menghindari adanya realitas secara empiris yang
dilakukan secara bersama. Dalam hal ini Subadi sependapat dengan fenomenologi Berger dan
menawarkan pendekatan fenomenologi dengan teknik pengumpulan data first order understanding
(meminta peneliti untuk menanyakan kepada pihak yang diteliti guna mendapatkan penjelasan yang
benar), dan kemudian dilanjutkan dengan teknik analisis data second order understanding (dalam
hal ini peneliti memberikan penjelasan dan interpretasi terhadap interpretasi itu sampai memperoleh
suatu makna yang baru dan benar).
Definisi fenomenologi juga diutarakan oleh beberapa pakar dan peneliti dalam studinya.
Fenomenologi adalah sebuah metodologi kualitatif yang mengizinkan peneliti menerapkan dan
mengaplikasikan kemampuan subjektivitas dan interpersonalnya dalam proses penelitian
eksploratori (Alase, 2017). Kedua, definisi yang dikemukakan oleh Creswell dikutip Eddles-Hirsch
(2015) yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah sebuah penelitian yang tertarik untuk
menganalisis dan mendeskripsikan pengalaman sebuah fenomena individu dalam dunia sehari-hari.
Sebagai contoh, studi fenomenologi tentang anorexia bagi beberapa orang yang terjadi dewasa ini.
Anorexia merupakan gangguan makan yang dialami seseorang karena takut terhadap kenaikan berat
badan yang disebabkan gaya hidup dan tuntutan budaya populer. Studi ini dapat ditekankan pada
kondisi mengapa seseorang ingin seperti ini dan menginterpretasikan hidup mereka berdasarkan
sudut pandang yang mereka pahami. Studi ini bertujuan untuk memahami dan menggambarkan
sebuah fenomena spesifik yang mendalam dan diperolehnya esensi dari pengalaman hidup
partisipan pada suatu fenomena (Yuksel, & Yidirim, 2015).
Penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi juga memiliki karakteristik yang
melekat di dalamnya. Menurut Mujib (2015) ada dua karakteristik dalam pendekatan fenomenologi
dalam bidang agama. Pertama, pendekatan ini merupakan metode dalam memahami agama orang
lain dalam perspektif netralitas. Dalam situasi ini, peneliti menggunakan preferensi orang
bersangkutan untuk merekonstruksi dalam dan berdasarkan pengalaman orang tersebut. Artinya,
dalam kondisi ini peneliti menanggalkan dirinya sendiri (epoche) dan berupaya membangun dari
pengalaman orang lain. Kedua, dalam menggali data pada pendekatan ini dibantu denga disiplin
ilmu yang lain, seperti sejarah, arkeologi, filologi, psikologi, sosiologi, studi sastra, bahasa, dan
lain-lain.
Di samping beberapa poin pemaparan di atas, fenomenologi sebagai metode penelitian juga
memiliki beberapa keuntungan atau kelebihan. Pertama, sebagai metode keilmuan, fenomenologi
dapat mendeskripsikan dan menggambarkan suatu fenomena secara apa adanya tanpa memanipulasi
data di dalamnya. Dalam kondisi ini, kita sebagai peneliti harus mengesampingkan terlebih dahulu
pemahaman kita tentang agama, adat, dan ilmu pengetahuan agar pengetahuan dan kebenaran yang
ditemukan benar-benar objektif. Kedua, metode ini memandang objek kajiannya sebagai sesuatu
yang utuh dan tidak terpisah dengan objek lain. Artinya, pendekatan ini menekankan pada
pendekatan yang holistik dan tidak parsial sehingga diperoleh pemahaman yang utuh tentang suatu
objek. Dari beberapa kelebihan tersebut, studi fenomenologi juga memiliki masalah. Masalah
teserbut diungkapkan oleh Shon dkk (2017) yang menyatakan bahwa banyak peneliti kontemporer
yang mengklaim menggunakan pendekatan fenomenologi tetapi pada kenyataannya mereka yang
menghubungkan metode tersebut dengan prinsip dari filosofi fenomenologi. Hal itulah yang
seharusnya diperbaiki oleh para peneliti fenomenologi dewasa ini.
Perkembangan Argumen Fenomenologi
Argumen fenomenologi menyatakan bahwa manusia dan fakta (kenyataan) sosial terbentuk
ketika perilaku manusia disatukan dengan makna (meaning). Yang mana makna tersebut akan
menciptakan tindakan dan berperan sebagai suatu komponen atau aspek. Sehingga suatu aspek
tindakan “inner” (batin) yang bersatu dengan aspek “eksternal” untuk membentuk suatu kesatuan
tindakan. Makna ini hasil dari suatu fakta tentang perilaku manusia yang murni. Dengan cara ini,
formula konstruktivis terpenuhi. Formula tersebut yang akan menentukan konstruktivisme sebagai
posisi bawah pikiran, keyakinan, manusia dalam menciptakan fakta sosial.
Terkait dengan argumen fenomenologi yang direkonstruksi. Collin mengemukakan bahwa
psikologisme yang menyatakan bahwa argumen fenomenologi diwarisi oleh Weber dan Schutz,
memuat dua ketakutan atau keraguan, yaitu : keraguan yang berkaitan dengan teori eksplamattion
yang didukung oleh Weber dan Schutz yang menegaskan bahwa ekplansi dicapai oleh identifikasi
atau ketepatan ulang yang bersifat subjektif. Keraguan lain yang berkaitan dengan implikasi
ontologi argumen fenomenologi seperti yang dinyatakan oleh Schutz. Argumen ini dipandan akan
menyebabkan ilmuwan untuk memahami dualisme, karena argumen ini menggambarkan mental
sebagai bidang yang terpisah.
Inspirasi pemikiran Max Weber bagi fenomenologi Schutz
Semenjak nuasa realitas sosial berada pada tingakt interaksi individual maka semua analisa
sosial yag valid harus menunjuk pada perilaku individual. Perilaku individual ini terbentuk oleh arti
subyektif yang instensif dari individu perilaku individual terbentuk berdasarkan pada tindakan.
Tindakan dapat didefinisikan dengan mengartikan makna subjektif yang tergantung didalamnya
melalui pengamatan terhadap tindakan individu dan semua tindakan yang berkaitan di dalamnya.
Kelengkapan
mendasar dari tindakan sosial adalah makna secara subyektif berkaitan dengan
tindakan dari individu yang lain.
Implikasi dari konsep pemikiran yang dilontarkan oleh Weber adalah sebuah tujuan untuk
mengungkapkan akibat psikologis dari perilaku. Sehubungan dengan itu, maka sifat dari pendekatan
ini adalah subyektif dan tidak berhubungan dengan fakta empiris. Sudut pandang ini biasa
digunakan oleh pengguna metode yang memiliki orientasi psikologis yang menggunakan wacana
seperti tinggal kembali dan empati. Selain menggunakan wacana yang telah disebutkan diatas maka
wacana lain yang tidak kala populer nya dalam menggunakan pendekatan ferstehen adalah tingkat
(tahapan) psikologi didalam. Teori yang dkemukakan oleh Weber ini hanya merupakn modifikasi
dari ide-ide yang pernah dilontarkan oleh Dilthey dan digerakan oleh roh kaum neo-men-kantian
yang terobsesi untuk membawa ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial kedalam satu
atap aau “to bring along natural science and social science under one roof.
Implikasi fenomenologi schutz pada metode penelitian sosial
Pemikiran schutz yang menekankan pembedaan yang dilakukan pada penelitin sosial dan
penelitian dan pengetahuan fisika. Pembedaan ini justru dilakukan dengan langkah menyetaraan
taraf berpikir dalam melakukan interpretasi pada dunia “kita” sepakati secara umum. Langkah ini
tentu saja sangat berbeda dengan penelitian gejala yang terjadi di alam meskipun menekankan diri
pada penyelidikan gejala yang terjadi di alam namun justru menggunakan model alat penelitian
yang dibangun dari sudut pandang peneliti ilmu pengetahuan alam tersebut.
Namun dalam mencoba memahami perilaku, tindakan maupun pemikiran manusia tentu saja
seorang peneliti dituntut secara fleksibel mampu menyesuaikan taraf pemikiran ilmiahnya dengan
individu yang lain secara simultan menjadi obyek dan subyek penelitian sebagai pihak yang
sekaligus melakukan pemaknaan terhadap tidakannya sendiri. Selanjutnya dalam proses pemaknaan
tersebut terjadi suatu kesepakatan yang intinya tidak mau terjebak hanya pada pemikiran ilmiah
sosial tetapi lebih pada interpretasi terhadap kehidupan keseharian berdasarkan kesepakatan kita
sebagai peneliti dengan “obyek” penelitian yang sekaligus sebagai subyek yang menginterpretasikan
dunia sosial dalam kerangka besar proses pencarian dalam proses pemahaman terhadap konstruksi
makna dari seuatu proses yang bernama intersubyektivitas.
Proses pemaknaan diatas ini membentuk sistem relevansi yang menjalankan proses intraksi
dengan lingkuangan. Dengan kata lain, pembentukan sistem relevansi dalam proses interaksi sosial
ini dapat dijadiakan elemen pembentuk tujuan dalam setiap tindakan sosial yang dilakukan oleh
individu (Nidito, 2013).
Paradigma Fenomenologi
Sejarah awal mula munculnya filsafat fenomenologi berkembang pada abad ke-15 dan ke-16.
Pada masa itu, terjadi perubahan besar dalam diri manusia tentang perspektif dirinya di dunia ini.
Pada abad sebelumnya, manusia selalu memandang segala hal dari sudut pandang Ketuhanan.
Selanjutnya, terjadilah gelombang besar modernitas pada kala itu yang mengubah sudut pandang
pemikiran tersebut. Para filsuf banyak yang menolak doktrin-doktrin Gereja dan melakukan gerakan
reformasi yang disebut sebagai masa pencerahan.
Paradigma ini muncul karena timbulnya pemikiran manusia terhadap subjektivitas. Yang
dimaksud dengan subjektivitas di sini bukanlah antonim dari kata objektivitas. Subjek yang
dimaksud merupakan makna “aku” yang ada dalam diri manusia yang menghendaki, bertindak, dan
mengerti. Menurut Suseno manusia hadir ke dunia sebagai subjek yang memiliki kesadaran diri, tak
hanya hadir sebagai benda di dunia ini, melainkan sebagai subjek yang berpikir, berefleksi, dan
bertindak secara kritis dan bebas (Mujib, 2015).
Pendekatan ini lebih menekankan rasionalisme dan realitas budaya yang ada. Hal ini sejalan
dengan penelitian etnografi yang menitikberatkan pada pandangan warga setempat. Realitas
dipandang lebih penting dan dominan dibanding teori melulu. Fenomenologi berusaha memahami
budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Fenomenologi, ilmu bukan values free,
bebas nilai dari apapun, melainkm values bound, memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma dasar
fenomenologi adalah:
1.
Kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai individu maupun kelompok selalu
bersifat majemuk atau tersusun secara kompleks, dengan demikian hanya bisa diteliti
secara holistik dan tidak terlepas-lepas
2.
Hubungan antara peneliti dan subyek inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit
dipisahkan
3.
Lebih ke arah pada kasus-kasus, bukan untuk menggeneralisasi hasil penelitian
4.
Sulit membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan
5.
Inkuiri terikat nilai, bukam values free
Metode kualitatif Fenomenologi berlandaskan pada empat kebenaran, yaitu kebenaran
empirik sesuai, kebeneran empirik trasenden. Atas dasar cara mencapai kebenaran ini fenomenologi
menghendaki kesatuan antara subyek peneliti dengan pendukung obyek penelitian. Keterlibatan
subyek peneliti di lapangan dan pengghayatan fenomena yang dialami menjadi salah atu ciri utama.
Seperti dikatakan Moleong (1988:78) bahwa pendekatan fenomenologi berusaha memahami arti
peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Peneliti
fenemenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi
orang-orang yang
sedang diteliti (Suwardi, 2009).
Ruang Lingkup Argumen Fenomenologi
Para pakar mendukung versi argumen fenomenologi yang sudah direkonstruksi dan
menyimpulkan bahwa, “fakta-fakta sosial tertentu dimunculkan oleh makna-makna agen. Faktanya
bahwa konsep sosial mengandung arti eksistensi objektif dari suatu hal, dan kondisi-kondisi
subjektif sebuah agen, berarti konsep-konsep tersebut mempunyai implikasi-implikasi eksternal.
Fakta sosial yang dijelaskan oleh makna itu sendiri menimbulkan keterbatasan, kebanyakan
fenomena sosial terdiri dari berbagai sifat-sifat eksternal dan objektif. Makna mencakup pengakuan
bahwa seseorang memiliki status khusus, dan hasil kajian menjelaskan bahwa kecenderungan
diantara ilmuwan sosial mengabaikan implikasi eksternal itu.
Sifat – Sifat Yang Relevan dengan Fenomenologi
Adapun sifat-sifat dasar penelitian kualitatif yang relevan dengan metode fenomenologi
yaitu sebagai berikut :
1. Menggali nilai-nilai dalam pengalaman dan kehidupan manusia.
2. Fokus penelitian adalah pada keseluruhan, bukan pada per bagian yang membentuk
keseluruhan itu.
3. Tujuan penelitian adalah menemukan makna dan hakikat dari pengalaman, bukan sekedar
mencari penjelasan dan mencari ukuran-ukuran dari realitas.
4. Memperoleh gambaran kehidupan dari sudut pandang orang pertama melalui wawancara
mendalam, baik formal maupun informal.
5. Data yang diperoleh adalah dasar bagi pengetahuan ilmiah untuk memahami perilaku
manusia.
6. Pertanyaan yang dibuat merefleksikan kepentingan, keterlibatan, dan komitmen pribadi dari
penliti.
7. Melihat pengalaman dan perilaku sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik itu
kesatuan antara subjek dan objek, maupun antara bagian dan keseluruhannya (Koeswara,
2009).
Ciri – Ciri Penelitian Fenomenologi
Sifat-sifat penelitian kualitatif tersebut akan sejalan dengan ciri-ciri penelitian fenomenologi,
yaitu sebagai berikut :
1. Fokus pada sesuatu yangnampak, kembali kepada yang sebenarnya (esensi), keluar dari
rutinitas, dan keluar dari apa yang diyakini sebagai kebenaran dan kebiasaan dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Fenomenologi tertarik dengan keseluruhan, dengan mengamati esentitas dari berbagai
perspektif sampai didapat pandangan yang esensi dari pengalaman atau fenomena yang
diamati.
3. Fenomenologi mencari makna dan hakikat dari apa yang terlihat, dengan intuisi dan refleksi
dalam tindakan sadar melalui pengalaman. Makna ini yang pada akhirnya membawa kepada
ide, konsep, penilaian, dan pemahaman yang hakiki.
4. Fenomenologi mendeskripsikan pengalaman, bukan menjelaskan atau menganalisisnya.
Sebuah deskripsi fenomenologi akan sangat dekat dengan kealamiahan (tekstur, kualitas, dan
sifat-sifat penunjang) dari sesuatu. Sehingga deskripsikan akan mempertahankan fenomena
itu apa adanya, dan menonjolkan sifat alamiah dan makna di baliknya. Selain itu, deskripsi
juga akan membuat fenomena hidup dalam terma yang akurat dan lengkap. Dengan kata
lain, sama hidupnya antara yang tampak dalam kesadaran dengan yang tampak oleh
pancaindra.
5. Fenomenologi berakar pada pertanyaan-pertanyaan yang langsung berhubungan dengan
makna dari fenomena yang diamati. Dengan demikian, peneliti fenomenologi akan sangat
dekat dengan fenomena yang diamati.
6. Integrasi dari sebuah subjek dan objek. Presepsi penelitian akan sama dengan apa yang
dilihat dan didengarnya. Dimana pengalaman tentang suatu tindakan akan membuat objek
menjadi subjek, dan subjek menjadi objek.
7. Investigasi yang dilakukan dalam kerangka intersubjektif, realitas adalah suatu bagian dari
proses secara keseluruhan.
8. Data yang diperoleh (melalui berfikir, intuisi, refleksi, dan penilaian) menjadi bukti-bukti
utama dalam penilitian ilmiah.
9. Pertanyaan-pertanyaan penelitian harus dirumuskan dengan sangat hati-hati. Setiap kata
harus dipilih, dimana kata yang terpilih adalah kata yang paling utama, sehingga dapat
menunjukkan makna yang utama pula (Farid, Adib 2018).
Karakteristik Fenomenologi
Fenomenologi merupakan suatau metode penelitian yang mempunyai beberapa karakteristik,
yaitu sebagai berikut :
1. Deskripsi. Tujuan fenomenologi adalah deskripsi fenomena, dan bukan menjelaskan
fenomena. Dalam hal ini peneliti menyelediki/ mempelajari suatu makna bagi manusia,
bukan hanya berasumsi (Yusuf, 2014).
2. Reduksi. Reduksi adalah sebagai suatu proses dimana asumsi dan prasangka tentang
fenomena ditunda, agar meminimalisir prasangka-prasangka tersebut tidak mencemari
deskripsi/ hasil pengamatan.
3. Esensi. Esensi adalah makna inti dari pengalaman individu dalam fenomena tertentu
sebagaimana adanya. Pencarian esensi, tema esensial atau hubungan-hubungan esensial
dalam fenomena apa adanya akan melibatkan eksplorasi fenomena dengan menggunakan
proses imaginasi secara bebas guna untuk menangkap makna yang sesungguhnya dari apa
yang diteliti.
4. Intensionalitas. Fenomenologi menggunakan dua konsep neosis dan noema untuk
mengungkapkan intensionalitas. Intensionalitas mengacu sebagai korelasi antara noema dan
neosis yang mengarahkan interpretasi terhadap pengalaman. Neoma adalah pernyataan
obyektif dari perilaku atau pengalama sebagai realitas, sedangkan neosis adalah refleksi
subyektif (kesadaran) dari pernyataan yang obyektif tersebut. Dalam pandangan ini bahwa
realitas itu apa adanya, tidak ada ide apapun mengenai realitas. Interrelasi antara kesadaran
dengan realitas itulah yang dissebut intensionalitas (Sudarsyah, 2013).
5. Keterarahan
Keterarahan maksudnya bahwa apa yang kita teliti haruslah yang kita kenal melalui
kesadaran kita. kalau objek penelitian kita terkait dengan pengalaman orang lain, maka
partisipan dalam penelitian harus memiliki pengalaman tersebut dan juga bersedia untuk
membagikan pengalaman itu. Peneliti tidak akan mendapatkan informasi yang akurat dari
partisipasi yang tidak memiliki pengalaman tentang objek yang hendak diteliti. Karena itu,
terkait dengan pemilihan partisipasi mereka harus memiliki pengalaman dan informasi yang
kaya tentang objek penelitian yang hendak diteliti.
6. Keunikan Manusia
Metode fenomenologi memusatkaan perhatiannya pengalaman partisipasipan, setiap
manusia memiliki pengalaman yang unik dan berbeda-beda. Manusia memberi arti pada
dunianya atas caranya sendiri, memahami manusia berarti mengerti pengalamannya secara
langsung. Metode fenomenologi berusaha untuk memahami seperti apa pengalaman yang
dihidupi, bukan sekedar
reaksi orang atas pengalaman tersebut.Metode fenomologi
didasarkan juga pada suatu keyakinan bahwa setiap manusia adalah penentuan diri, masin gmasing orang menafsirkan dunianya atas cara yang khusus (Raco, 2012).
Peneliti fenomenologi melakukan: 1) Reduksi fenomenologi, dimana peneliti melakukan
pengamatan faktual yang sesungguhnya. 2) Reduksi eidetis, dalam hal ini peneliti melakukan
penghayatan ideal, dan 3) Reduksi transendental, untuk mendapatkan subjek yang murni. Semua itu
dimaksudkan agar penelit yang menggunakan strategi fenomenologi harus membebaskan diri dari :
1) Unsur-unsur subjektivitas peneliti; 2) Keterikatan teori, proposisi, dan hipotesis; 3) Bebas dari
doktrin tradisional, sehingga peneliti berupaya membebaskan diri dari prasangka, dimana peneliti
berupaya memurnikan fenomena sehinnga terjauh dari kesalahan dalam mendeskripsikan fenomena.
Dengan menggunakan fenomenologi peneliti ingin meniliti apa yang tampak (Yusuf, 2014).
Langkah-langkah Penelitian Fenomenologi
Desain penelitian fenomenologi, sama seperti halnya penelitian kualitatif yang lain, yang
mana tidak sekaku peniliaian kuantitatif. Dalam artian penelitian fenomenologi lebih fleksibel dan
mungkin juga dapat berubah pada waktu dilapangan, apabila ditemukan hal-hal baru dan prinsipiel.
Adapun langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam penelitian fenomonologi, yaitu
sebagai berikut :
1. Intuiting. Peneliti secara total memahami fenomena yang diteliti. Peneliti menggali
fenomena yang ingin diketahui dari informan menganai pengalamannya bekerja. Dalam hal
ini peneliti menghindari kritik, evaluasi atau opini tentang hal-hal yang disampaikan oleh
partisipan dan menekankan pada fenomena yang diteliti, sehingga mendapatkan gambaran
yang sebenarnya. Pada langkah intuiting ini peneliti sebagai instrument dalam proses
wawancara.
2. Analyzing. Pada tahap ini peneliti mengidentifikasi arti dari fenomena yang telah digali dan
mengekplorasi hubungan serta keterkaitan antara data dengan fenomena yang ada, data yang
penting dianalisis secara seksama. Dengan demikian peneliti mendapatkan data yang
diperlukan untuk memastikan suatu kemurnian dan gambaran yang kuat.
3. Phenomenological Describing. Peneliti mengkomunikasikan dan memberikan gambaran
tertulis dari elemen kritikal yang didasarkan pada pengklasifikasian dan pengelompokan
fenomena. Tujuan tahap ini adalah mengkomunikasikan arti dan makna pengalaman
(Subadi, 2009).
Langkah-Langkah Penelitian Dengan Menggunakan Fenomenologi Husserl
Gambaran secara mendetail tentang elemen-elemen fenomenologi, gambaran tersebut belum
merupakan langkah-langkah terstuktur yang mudah diikuti oleh seperti pemula. Langkah-langkah
tersebut meliputi :
1. Menentukan fenomena yang diingin diteliti dan peran peneliti dalam penelitian tersebut.
Menentukan fenomena yang menjadi fokus penelitian memerlukan beberapa pertimbangan,
antara lain keefektifan fenomenologi Husserl untuk menghasilkan pemahaman yang lebih
baik tentang fenomena.
2. Pengumpulan data adalah proses pengumpulan data meliputi proses pemilihan partisipasi
atau sampel dan metode pengumpulan data. Pada umumnya, fenomenologi menggunakan
teknik purposeful sampling. Dimana setiap orang yang mempunyai pengalaman tentang
fenomena yang sedang diteliti berhak untuk menjadi partisipasipan.
3. Perlakuan dan analisis data merupakan analisis data didahului dengan proses transkiripsi
hasil wawancara secara verbatim atau apa adanya. Setia transkip diberi identitas, diperiksa
keakuratnya, dan dianalisis. Terdapat bermacam-macam prosedur analisi yang dianggap
cocok dan sesuai seperti metode yang meliputi membaca traskip berulang-ulang untuk dapat
menyatu dengan data, mengekstrak pertanyaan-pertanyaan spesifik, memformulasi makna
dari pernyataan spesifik, dan memvalidasi deskripsi lengkap dengan cara memberikan
deskripsi kepada partisipan.
4. Studi literatur adalah proses analisis data selesai maka peneliti melakukan studi literatur
secara mendalam untuk mengetahui hubungan dan posisi hasil penelitian terhadap hasil-hasil
penelitian yang telah ada
5. Mempertahankan kebenaran hasil penelitian seperti halnya penelitian kuantitatif, penelitian
ini juga menurut adanya validitas dan reliabilitas. Dalam penelitian kualitatif pada umumnya
validatas dan rehalibitas dikenal sebagai credibility, auditability, and fittingness.
6. Pertimbangan etik yang harus diperhatikan meliputi pemberian informsi tentang sifat
penelitian, keikutsertaan yang bersifat sukarela, ijin untuk merekam interview, kearahasiaan
identitas partisiapasipan baik pada rekaman, transkip, maupun pada deskripsi lengkap (Asih
2009).
Analisis Data dalam Penelitian Fenomenologi
Data dari fenomena sosial yang diteliti dapat dikumpulkan dengan berbagai cara,
diantaranya observasi dan interview, baik interview mendalam (in-depth interview). In depth dalam
penelitian fenomenologi bermakna mencari sesuatu yang mendalam untuk mendapatkan suatu
pemahaman yang mendetail tentang fenomena sosial dan pendidikan yang diteliti. In-depth juga
bermakna menuju pada sesuatu yang mendalam guna mendapatkan sense dari yang nampaknya
straight-forward secara aktual secara potensial lebih lengkap. Pada sisi lain juga peniliti harus
memformulasikan kebenaran peristiwa/ kejadian dengan pewawancaraan mendalam ataupun
interview. Data yang diperoleh dengan in-depth interview dapat dianalisis proses analisis data
dengan Interpretative Phenomenological Analysis (Smith 2009). Tahapan yang dilakukan, yaitu
sebagai berikut :
1. Reading and re-reading
Dalam tahap ini peneliti memfokuskan diri dalam membaca dan membaca hasil penelitian
(data) yang original. Bentuk kegiatan dalam tahap ini yaitu adalah menuliskan transkip
interview dan rekaman audio kedalam transkip bentuk tulisan. Dalam tahap ini imaginasi
kata-kata dari partisipan ketika dibaca dan dibaca kembali oleh peneliti dari transkip akan
membantu analisi yang lebih komplit. Tahap ini dilaksanakan untuk memberikan keyakinan
bahwa partisipan penelitian benar-benar menjadi fokus analisis.
Peneliti dalam tahap ini memulai proses ini dengan anggapan bahwa setiap kata-kata
partisipan sangat penting untuk masuk kedalam fase analisis dan kata-kata itu diperlakukan
secara aktif. Membaca kembali data dengan model keseluruhan struktur interview untuk
selanjutnya dikembangkan, dan juga memberikan kesempatan pada peneliti untuk
memperoleh pemahaman mengenai bagaimana narasi-narasi partisipan secara bersama-sama
dapat terbagi dalam beberapa bagian. Dengan membaca dan membaca kembali juga
memudahkan penilaian mengenai bagaimana hubungan dan kepercayaan yang dibangun
antar interview dan kemudian memunculkan letak-letak dari bagian-bagian yang kaya dan
lebih detail atau sebenarnya kontradiksi dan paradox.
2. Intial Noting
Analisis tahap awal ini sangat mendetail dan mungkin menghabiskan waktu. Tahap ini
menguji isi/konten dari kata, kalimat dan bahasa yang digunakan partisipan dalam level
eksploratori. Analisis ini menjaga kelangsungan pemikiran yang terbuka (open mind) dan
mencatat segala sesuatu yang menarik dalam transkip. Proses ini menumbuhkan dan
membuat sikap yang lebih familier terhadap transkip data. Selain itu tahap ini juga memulai
mengidentifikasi secara spesifik cara-cara partisipan mengatakan tentang sesuatu,
memahami dan memikirkan mengenai isu-isu (Smith, 2009). Tahap 1 dan 2 ini melebur,
dalam artian praktiknya dimulai dengan membuat catatan pada transkip. Peneliti memulai
aktifitas dengan membaca, kemudian membuat catatan eksploratori atau catatan umum yang
dapat ditambahkan dengan membaca berikutnya.
Analisis ini hampir sama dengan analisis tekstual bebas. Disini tidak ada aturan apakah
dikomentari atau tanpa persyaratan seperti membagi teks kedalam unit-unit makna dan
memberikan komentar-komentar pada masing-masing unit. Analisis ini dilakukan dengan
tujuan untuk menghasilkan seperangkat catatan dan komentar yang komperhensif dan
mendetail mengenai data. Beberapa bagian dari interview mengandung data penelitian lebih
banyak dari pada yang lain dan akan lebih banyak makna dan komentar yang diberikan. Jadi
pada tahap ini peneliti mulai memberikan komentar dengan menduga pada apa yang ada
dalam teks.
Aktifitas ini menggambarkan difusi kebijakan gender pada pola-polanya seperti hubungan,
proses, tempat, peristiwa, nilai dan prinsip-prinsip dan makna dari difusi kebijakan gender
bagi partisipan. Dari tahap ini kemudian dikembangkan dan disampingkan itu peneliti akan
membantu untuk memahami bagaimana dan mengapa partisipan tertarik dengan kebijakan
gender mainstreaming. Deskripsi yang peneliti kembangkan melalui initial notes ini menjadi
deskripsi inti dari komentar-komentar yang jelas merupakan fokus dari fenomenologi dan
sangat dekat dengan makna eksplisit partisipan. Data yang asli dari transkip diberikan
komentar-komentar dengan menggunakan ilustrasi komentar eksploratory. Komentar
eksploratori dilaksanakan untuk memperoleh intisari. Komentar eksploratori meliputi
komentar deksriptif, komentar bahasa, komentar konseptual yang dilakukan secara simultan.
Komentar deskriptif difokuskan pada penggambaran isi/content dari apa yang dikatakan oleh
partisipan dan subjek dari perkataan dalam transkip. Komentar bahasa difokuskan pada
catatan eksploratori yang memperhatikan pada penggunaan bahasa yang disampaikan.
Komentar konseptual ini lebih interpretative difokuskan pada level yang konseptual.
3. Developing Emergent Themes (Mengembangkan kemunculan tema-tema)
Walaupun transkip interview merupakan tempat pusat data, akan tetapi data itu akan menjadi
lebih jelas dengan diberikannya komentar eksploratori tersebut, maka pada seperangkat data
muncul atau tumbuh secara substansial (Smith, 2009). Untuk memunculkan tema-tema,
peneliti mengatur perubahan data dengan menganalisis secara simultan, serta berusaha untuk
mengurangi volume yang detail dari data yang berupa transkip dan catatan awal yang masih
ruwet untuk di mapping kesalinghubungannya, hubungan dan pola-pola antar catatan
eksploratori. Pada tahap ini analisis terutama pada catatan awal lebih yang dari sekedar
transkip. Komentar eksploratori yang dilakukan secara komperhensif sangat mendekatkan
pada kesimpulan dari tanskip yang asli. Proses mengidentifikasi munculnya tema-tema
kemungkinan tujuan peneliti untuk membedah kembali alur narasi interview, jika peneliti
pada narasi awal tidak merasa comfortable. Untuk itu peneliti perlu melakukan reorganisasi
data pengalaman partisipan. Dimana proses ini mempresentasikan lingkaran hermeneutik.
Keaslian interview secara keseluruhan menjad seperangkat dari bagian yang dianalisis, tetapi
secara bersama-sama menjadi keseluruhan yang baru yang merupakan akhir dari analisis
dalam melukiskan suatu peristiwa dengan terperinci.
4. Searching for Connection a Cross Emergent Themes
Partisipasi penelitian memegang peran penting semenjak mengumpulkan data dan membuat
komentar eksploratori. Atau dengan kata lain pengumpulan data dan pembuatan komentar
eksploratori dilakukan dengan berorientasi pada partisipan. Mencari hubungan antar tematema yang muncul dilakukan setelah peneliti menetapkan seperangkat tema-tema dalam
transkip dan tema-tema yang diurutkan secara kronologis. Level analisis ini tidak ada
ketentuan resmi yang berlaku. Peneliti didorong untuk mngeksplore dan mengenalkan
sesuatu yang baru dari hasil penelitiannya dalam term pengorganisasian analisis. Tidak
semua tema yang muncul harus digabungkan dalam tahap analisis ini, beberapa tema
mungkin akan dibuang. Analisis ini tergantung pada keseluruhan dari pertanyaan penelitian
dan ruang lingkup penelitian.
5. Moving the Next Cases
Tahap analisis 1-4 dilakukan setiap satu kasus/ partisipan. Jika satu kasus selesai dan
dituliskan hasil analisisnya, maka tahap selanjutnya berpindah pada kasus atau partisipan
berikutnya hingga selesai sema kasus. Langkah ini dilakukan pada semua transkip
partisipan, dengan cara mengulang proses yang sama.
6. Looking for Patterns Across Cases
Tahap akhir ini merupakan tahap keenam dalam analisis ini adalah mencari pola-pola yang
muncul antar kasus/partisipan. Apakah hubungan yang terjadi antar kasus, dan bagamaina
tema-tema yang ditemukan dalam kasus-kasus yang lain memandu peneliti melakukan
penggambaran dan pelabelan kembali pada tema-tema. Pada tahap ini dibuat master table
dan tema-tema untuk satu kasus atau kelompok kasus dalam sebuah institusi/ organisasi.
Kelebihan dan Kelemahan Fenomenologi
Kelebihan Fenemonologi
Adapun kelebihan fenemenologi dalam melakukan penelitian, yaitu sebagai berikut :
1. Fenomenologi akan mampu menjelaskan sesuatu dari realitas subyektif
2. Sebagai metode penelitian sosial yang pada awalnya telah didasari teori kefilsafatan yang
dikembangkan oleh Hegel, Husserl, Scheller, Schutz, dan Berger.
3. Fenomenologi digunakan sebagai alat analisis terhadap fenomena sosial.
4. Fenomenologi dan realisme metaphisik mengakui adanya kebenaran empirik etik yang
memerlukan akal budi untuk melacak dan menjelaskan serta berargumentasi. Akal budi
disini mengandung makna bahwa kita perlu menggunakan kriteria lebih tinggi lagi dari
sekedar truth or false.
5. Fenomenologi pada aplikasinya bahwa peneliti dalam berilmu pengetahuan tidak dapat lepas
dari pandangan moralnya, baik taraf mengamati, menghimpun data, menganlisis data,
ataupun dalam membuat kesimpulan.
6. Fenomenologi bukan hanya menampilkan teori dan konseptualisasi yang sekedar berisi
anjuran atau imperatif, melainkan mengangkat “makna etika” dalam berteori dan berkonsep.
7. Fenomenologi mampu mengkaji makna dan proses pada setiap fenomena sebagai realitas
subjektif.
8. Fenomenologi menghendaki adanya sejumlah interpretasi dari individu sebagai subjek
penelitian, dan selanjutnya menghendaki interpretasi terhadap interpretasi-interpretasi itu
oleh peneliti sampai bisa masuk ke dalam dunia makna dan dunia konseptual subjek
penelitian.
Kelemahan Fenemonologi
Adapun kelemahan-kelamahan teori fenomenologi, yaitu sebagai berikut :
1. Husserl mengatakan bahwa fenomenologi menjauhkan diri dari perhatian pada struktur
bahasa yang akrab didalam filsafat analisis Anglo-Saxon.
2. Didalam fenomenologi, realitas hanya berupa penampilan dan pengalaman hanya dapat
memahami realitas melalui indra-indra.
3. Masih ada beberapa aspek problematik tentang aksi yang dianggap sebagai perilaku
bermakna subjektif ayng perlu penyempurnaan
4. Metodologis Scheler “pembelaan ketidk-berpihakan” dianggap tidak jelas dalam penelitian
fenomenologi.
5. Pengetahuannya untuk mengkaji dunia makna dirancang sebagai suatu instrumen elit
penguasa yang bersifat manipulasi, padahal dunia makna tidak bisa dimanipulasi (Subadi,
2009).
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, H. S. (2016). Fenomenologi agama: pendekatan fenomenologi untuk memahami
agama. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 20(2), 271-304.
Asih, I. D. (2009). Fenomenologi Husserl: Sebuah cara “kembali ke fenomena”. Jurnal Keperawatan
Indonesia, 9(2).
Auliyah, R. (2014). Studi Fenomenologi Peranan Manajemen Masjid At-Taqwa dalam Pemberdayaan
Ekonomi
Masyarakat
Bangkalan. Kompetensi
(Competence:
Journal
of
Management
Studies), 8(1).
Endraswara, S,. (2009). Metodologi Penelitian Foklor. Deepublish
Fandi, M. A,. (2011). Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual : Sebuah Studi Fenomenologi. Jurnal
Psikologi Islam.
Fandy, M,. (2011). Teori-Teori Dalam Sosiologi Hukum. Deepublish
Farid, M, &, Adib, M,. (2018). Fenomenologi: Dalam Penelitian Ilmu Sosial. Deepublish
Haleluddin. (2018). Mengenal Lebih Dekat Dengan Pendekatan Fenomenologi : Sebuah Penelitian
Kualitatif.
Hamid, F., & Si, M. (2009). Pendekatan Fenomenologi. Deepublish
Hasbiansyah, O. (2009). Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial
dan Komunikasi. MediaTor (Jurnal Komunikasi), hlm.170
Hijaroh, M,. (2009). Paradigma, Pendekatan, dan Metode, Penelitian Fenomenologi. Jurnal Penelitian
Kualitatif.
Mamulati, I., Triyuwono, I., & Mulawarman, A. D. (2016). Fenomenologi Sumber Daya Manusia
Sebagai Aset Intelektual Dalam Amal Usaha Muhammadiyah. Jurnal Akuntansi dan
Investasi, 17(1), 93-103.
Nindito, S. (2013). Fenomenologi Alfred Schutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas dalam
Ilmu Sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi, 2(1).
Raco, J, R,. (2012). Metode Fenomenologi Aplikasi Pada Entrepreneuship. Deepublish
Santana, S,. (2009). Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kuantitatif. Deepublish
Semiawan, C, R,. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Deepublish
Simatupang, F. F., & Salam, N. E. (2014). Fenomena selfie (self portrait) di instagram (Studi
fenomenologi pada remaja di Kelurahan Simpang Baru Pekanbaru). Jurnal Online Mahasiswa
(JOM) Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2(1),
Subadi, T,. (2009). Metode Penelitian Kualitatif. Deepublish
Sudarsyah, A. (2016). Kerangka Analisis Data Fenomenologi (contoh analisis teks sebuah catatan
harian). Jurnal Penelitian Pendidikan, 13(1)
Sugiarto, S,. (2017). Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif : Skripsi dan Tesis : Suaka Media.
Deepublish
Umanailo, M, C, B,. (2013). Teknik Praktis Riset Fenomenologi. Deepublish
Wirawan, I, B,. (2012). Teori-Teori Sosial Dalam Paradigma Faktor Sosial Definisi Sosial & Perilaku
Sosial. Deepbulish
Yusuf, M. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, & Penelitian Gabungan. Deepublish