FENOMENA ‘COPY PASTE’
Refleksi Interpetatif atas Ekspektasi ‘Belajar’
Mahasiswa IAIN Pontianak
LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU
Peneliti:
Firdaus Achmad
NIP: 19670930 199303 1 007
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2015
2
ABSTRAK
Firdaus Achmad, (19670930 199303 1 007), 2015, Fenomena Copy Paste di Kalangan
Mahasiswa IAIN Pontianak: Interpretasi Terhadap Ekspektasi Belajar Mahasiswa.
Kesadaran akan pentingnya belajar sebagai jalan menata masa depan akan
terlahir di kalangan pelajar jika mereka memiliki pengharapan (ekspektasi) akan
masa depan yang baik. Ekspektasi dimaksud akan tumbuh dalam diri para
mahasiswa manakala mereka menyemayamkan interpretasi positif tentang makna
dan peran belajar. Adalah sebuah kepastian, bahwa sikap, tindakan, perkataan, dan
juga segala bentuk pengharapan, bermula dari pikiran.
Berdasarkan pra-survei yang peneliti lakukan, ekspektasi tentang belajar di
kalangan mahasiswa IAIN Pontianak masih belum berbentuk pada penyiapan
masa depan mereka. Hal ini diperkuat oleh realitas keseriusan mereka dalam
belajar yang masih cenderung lemah. Bahkan dalam belajar, sebagian besar dari
mahasiswa IAIN Pontianak peneliti indikasikan telah melakukan tindak
pelanggaran akademis dalam bentuk prilaku menjiplak atau saat sekarang biasa
dikenal dengan istilah “copy vaste”.
Fenomena copy-paste di kalangan mahasiswa merupakan sebuah tindakan
yang sudah tidak asing lagi. Kemudahan mengakses informasi di internet banyak
disalahgunakan sebagian oknum mahasiswa sebagai cara cepat untuk mengerjakan
tugas. Perilaku copy-paste juga telah menjadi fenomena realitistis di kalangan
mahasiswa IAIN Pontianak, dan fenomena ini lah yang menjadi daya tarik peneliti
untuk mengkajinya dalam bentuk analisis ilmiah.
Fokus penelitian ini adalah, ekspektasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak
di balik fenomena copy paste. Dari fokus penelitian ini penulis merumuskan tiga
pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Bagaimana pemaknaan mahasiswa IAIN Pontianak
tentang belajar? 2. Apa yang menjadi orientasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak?
3. Apa yang menjadi alasan mahasiswa IAIN Pontianak melakukan tindakan copy
paste dalam memenuhi kebutuhan belajar?
Setelah melakukan proses pembacaan, reduksi dan interpretasi kritis,
terhadap fakta dan data penelitian, dengan menggunakan metode fenomenologi,
secara umum penulis menyimpulkan, bahwa ekspektasi belajar mahasiswa IAIN
Pontianak masih absurd (kabur) karena didominasi oleh kesadaran mental rasional.
Secara khusus penulis menyimpulkan: 1. Belajar menurut mahasiswa adalah
aktivitas mempersiapkan masa depan. 2. Orientasi belajar mahasiswa masih
terkurung pada capaian nilai dan status kelulusan. 3. Alasan empiris mahasiswa
melakukan copy paste adalah karena mereka berpikir praktis-pragmatis untuk
kepentingan mendapatkan nilai bagus.
Rekomendasi yang penulis tawarkan dalam penelitian ini berbentuk
pemikiran interpretatif. Rekomendasi dimaksud lebih bertujuan untuk kepentingan
melakukan penataan dan perbaikan terhadap pengelolaan pembelajaran yang
dilakukan oleh dosen di setiap mata kuliah.
Kata Kunci: Fenomena copy paste, ekspektasi belajar
3
EPIGRAF
If a man neglects education,
he walks lame to the end of his life
(Plato)
Belated awareness beter than repeated mistakes
(firdaus achmad)
4
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………
HALAMAN PENGESAHAN .…………………………………………………....
EPIGRAF …………………………………………………………………………..
ABSTRAK …………………………………………………………………………..
KATA PENGANTAR …………………………………………………………….
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………
i
ii
iii
iv
vi
vii
BAB I
PENDAHULUAN ……………………………………………………
A. Latar Pemikiran ……………………………………….................
B. Tujuan Penelitian .……………………………………………..
C. Fokus Penelitian ………………………………………………....
D. Manfaat Penelitian …………………………………………........
E. Urgensitas Penelitian ...................................................................
F. Tinjauan Pustaka ...........................................................................
G. Kerangka Pemikiran .....................................................................
H. Sistematika Penulisan …………………………………………..
1
1
4
4
5
6
8
10
12
BAB II
EKSPEKTASI BELAJAR MAHASISWA DALAM
FENOMENA COPY PASTE …..................................................
A. Belajar sebagai Sebuah Kemestian Eksistensial .......................
B. Ekspektasi Belajar dalam Idealitas Pendidikan .......................
C. Copy Paste, antara Harapan dan Kenyataan Belajar ................
15
15
21
24
BAB III
METODOLOGI ………………………………………………………
A. Ruang Lingkup, Jenis dan Paradigma Penelitian ……………
B. Metode dan Pendekatan Penelitian .………………………......
C. Setting Penelitian ………………………………...........................
D. Prosedur dan Teknik Pengumpulan Data ……………………
E. Prosedur dan Teknik Analisis Data …………………………....
28
28
29
33
34
35
BAB IV
EKSPEKTASI BELAJAR MAHASISWA IAIN
PONTIANAK DI BALIK FENOMENA COPY PASTE .......
A. Realitas Pembelajaran di Lingkungan IAIN Pontianak ......….
B. Asumsi Pengantar ke dalam Proses Penelitian .........................
C. Makna Belajar bagi Mahasiswa di Lingkungan IAIN
Pontianak ………………………………........................................
D. Orientasi Belajar Mahasiswa IAIN Pontianak ………………...
E. Perilaku Copy Paste di Ligkungan Mahasiswa IAIN
Pontianak ………………................................................................
BAB V
PENUTUP …………………………………………………………….
A. Simpulan …………………………………………………………
B. Rekomendasi Interpretatif ……………………………………
41
41
44
48
52
54
60
60
64
5
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………...
LAMPIRAN ………………………………………………………………………..
65
69
6
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Pemikiran
“Education is self realization,” demikian Aristoteles (384-322 SM.), filsuf
Yunani penggagas aliran realisme, memahamkan keazalian makna pendidikan
sebagai bentuk aktivitas realisasi diri yang berkesadaran (Brumbaugh, 1963: 101).
Aktivitas ini merupakan visualisasi dari salah satu dimensi kedirian manusia
sebagai makhluk rasional yang bermula dari hasrat untuk menyibak tabir
kemisterian jagad raya. Proses perwujudan hasrat itu pada akhirnya mengkristal
dalam berbagai bentuk tatanan budaya. Salah satu dari sekian banyak tatanan
budaya dimaksud adalah pendidikan, yang sejak kelahirannya telah mewadahi
proses gerak kerja nalar.
Sebagai hasil dari proses kristalisasi peradaban berpikir, pendidikan
merupakan sarana, yang melalui seleksi ruang dan waktu, telah membuktikan
eksistensinya
mampu
menyelamatkan
manusia
dari
kebingungan
dan
ketidakmenentuan. Oleh karenanya, sangatlah wajar jika sejumlah harapan
ditumpukan pada pendidikan. Harapan paling mendasar yang diamanahkan
kepada pendidikan, adalah membantu manusia untuk bisa berpikir benar, karena
dari aktivitas berpikir ini lah bermula segala bentuk sikap, tuturan dan perilaku.
Pikiran yang benar dan baik akan melahirkan sikap, tuturan serta perilaku yang
benar dan baik pula. Sebaliknya, pikiran yang keliru dan buruk menjadi musabab
bagi terlahirnya sikap, tuturan serta perilaku yang keliru dan buruk.
Azalinya, pendidikan merupakan aktivitas manusia untuk kepentingan
manusia. Untuk itu, segala bentuk usaha dalam wilayah kependidikan semestinya
diarahkan dan ditujukan guna pemenuhan kepentingan manusia. Hal terpenting
yang harus dilakukan oleh pendidikan adalah membangun kesadaran, bahwa
manusia merupakan bagian dari kesemestaan jagad raya. Kesadaran ini
dibutuhkan untuk menata komunikasi harmonis antara manusia dengan alam.
7
Upaya untuk membangun kesadaran diri sebagai makhluk berkemampuan
(self conciousnes) serta kesadaran diri sebagai makhluk berkepentingan (self
awarenes) dapat dilakukan melalui proses pendidikan, baik formal maupun non
formal. Pendidikan formal berperan membekali manusia dengan sistemisasi teoritis
tentang segala bentuk pengetahuan yang berpotensi membangun kesadaran diri
sebagai makhluk berkemampuan (self conciousnes) (Achmad, 2014: 112). Sementara,
pendidikan non formal menjadi sarana bagi setiap manusia untuk mengalami
langsung berbagai potensi pengetahuan dalam tebaran realitas kehidupan.
Lembaga pendidikan ini berpotensi mengembangkan kesadaran diri manusia
sebagai makhluk berkepentingan (self awarenes). Kedua lembaga ini saling
bersinergis dalam pertautan edukasi ilmiah dan alamiah.
Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan formal tertinggi yang
tidak hanya sebatas memainkan peran membangkitkan kesadaran diri mahasiswa,
sebagai peserta didik, namun juga memadukanpadankan kedua bentuk kesadaran
diri dan kemudian mengedukasinya sebagai sebuah aplikasi potensi. Sejatinya,
perguruan tinggi menjadi arena pengembangan potensi keilmuan bagi insan
akademik, khususnya mahasiswa. Bekal ilmu pengetahuan yang mereka peroleh
selama mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran, dari tingkat dasar hingga
tingkat menengah, merupakan potensi yang semestinya dapat berkembang dan
meningkat saat berada dalam suasana akademis di perguruan tinggi, sesuai dengan
alur dan aturan akademika keilmuan.
Proses pembinaan dan peningkatan potensi keilmuan mahasiswa dapat
terlaksana dalam aktivitas pembelajaran di ruang kuliah dan aktivitas akademik di
luar ruang kuliah. Kedua ruang aktivitas ini meniscayakan adanya kesadaran pada
mahasiswa untuk menghadirkan dirinya sebagai pribadi yang siap berkembang
dan meningkat. Kesiapan dimaksud bermodalkan ilmu pengetahuan yang telah
mereka peroleh saat mengikuti pendidikan dasar dan menengah.
Asumsi, bahwa pendidikan merupakan sarana penjamin masa depan, telah
mendarah daging dalam anatomi kepercayaan masyarakat Indonesia. Bahkan
secara natural, asumsi tersebut terajut menjadi cara pandang masyarakat tentang
pendidikan. Cara pandang inilah yang kemudian memberikan energi berlebih
8
kepada pemerintah secara umum, dan kepada sekelompok orang yang mengelola
lembaga pendidikan secara khusus, untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana
bagi kepentingan aktivitas ekonomis atau juga politis.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai aktivitas yang berpotensi
menentukan masa depan, semestinya menjadi muatan dalam ruang kesadaran para
mahasiswa. Muatan kesadaran ini menjadi penting untuk memotivasi mereka
menggiatkan diri dalam menata masa depan dengan menseriuskan aktivitas
belajarnya.
Kesadaran akan pentingnya belajar sebagai jalan menata masa depan akan
terlahir di kalangan pelajar jika mereka memiliki pengharapan (ekspektasi) akan
masa depan yang baik. Ekspektasi dimaksud akan tumbuh dalam diri para
mahasiswa manakala mereka menyemayamkan interpretasi positif tentang makna
dan peran belajar. Adalah sebuah kepastian, bahwa sikap, tindakan, perkataan, dan
juga segala bentuk pengharapan, bermula dari pikiran.
Berdasarkan pra-survei yang peneliti lakukan, ekspektasi tentang belajar di
kalangan mahasiswa IAIN Pontianak masih belum berbentuk pada penyiapan
masa depan mereka. Hal ini diperkuat oleh realitas keseriusan mereka dalam
belajar yang masih cenderung lemah. Bahkan dalam belajar, sebagian besar dari
mahasiswa IAIN Pontianak peneliti indikasikan telah melakukan tindak
pelanggaran akademis dalam bentuk prilaku menjiplak atau saat sekarang biasa
dikenal dengan istilah “copy vaste”.
Fenomena copy-paste di kalangan mahasiswa merupakan sebuah tindakan
yang sudah tidak asing lagi. Perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat
menjadi pemicu utama terjadinya fenomena tersebut. Kemudahan mengakses
informasi di internet banyak disalahgunakan sebagian oknum mahasiswa sebagai
cara cepat untuk mengerjakan tugas. Perilaku copy-paste juga telah menjadi
fenomena realitistis di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak, dan fenomena ini lah
yang menjadi daya tarik peneliti untuk mengkajinya dalam bentuk analisis ilmiah.
Sebagai salah satu bentuk perilaku dalam belajar, fenomena copy-paste
peneliti jadikan sebagai pintu masuk untuk memahami dan memaknai ekspektasi
belajar mahasiswa di lingkungan IAIN Pontianak. Dengan demikian, arah
9
penelitian ini peneliti fokuskan pada ekspektasi belajar mahasiswa di kalangan
IAIN Pontianak melalui pemaknaan perilaku copy paste.
B. Tujuan Penelitian
Secara
umum,
penelitian
ini
bertujuan
untuk
membongkar
dan
mengungkapkan sebuah realitas kependidikan tentang budaya copy paste yang
dilakukan oleh mahasiswa IAIN Pontianak dalam melaksanakan aktivitas belajar,
khususnya di saat mengerjakan tugas-tugas perkuliahan. Selanjutnya, dari tujuan
umum ini peneliti menetapkan tujuan khusus penelitian sebagai berikut:
1. Mengungkapkan dan mendeskripsikan pemaknaan mahasiswa IAIN
Pontianak tentang belajar.
2. Mengungkapkan dan mendeskripsikan orientasi belajar mahasiswa IAIN
Pontianak.
3. Mengungkapkan dan mendeskripsikan argumen logis mahasiswa IAIN
Pontianak melakukan tindakan copy paste dalam memenuhi kebutuhan
belajar.
C. Fokus Penelitian
Berlatar pada asumsi rasional dan empiris dalam latar pemikiran di atas,
peneliti menetapkan, bahwa yang menjadi fokus penelitian adalah, Ekspektasi
‘Belajar’ Mahasiswa IAIN Pontianak di balik fenomena perilaku copy paste.
Selanjutnya, untuk mengkaji fokus penelitian ini, penulis merumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pemaknaan mahasiswa IAIN Pontianak tentang belajar?
2. Apa yang menjadi orientasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak?
3. Apa yang menjadi alasan mahasiswa IAIN Pontianak melakukan tindakan
copy paste dalam memenuhi kebutuhan belajar?
10
D. Manfaat Penelitian
Sebagai aktivitas keilmuan, penelitian ini berkemestian memberikan
manfaat bagi siapapun yang membaca hasilnya, baik secara teoretis maupun
praktis. Dengan kemanfaatan itu lah setiap hasil penelitian memiliki peluang untuk
berkembang menjadi bangunan konsep dan pada akhirnya berpotensi menjadi
teori baru.
Secara teoretis peneliti berharap, hasil penelitian ini memberikan inspirasi
penguat bagi hasrat kajian terkait pengembangan teori belajar. Lebih lanjut, sesuai
dengan tema penelitian, peneliti juga berharap hasil penelitian ini dapat melandasi
kehasratan bagi pengembangan proses pengelolaan pembelajaran berbasis critical
pedagogy di lingkungan IAIN Pontianak.
Sementara, secara praktis peneliti berharap, hasil penelitian ini bermanfaat
bagi:
1. Dosen: sebagai bahan pertimbangan dalam merancang dan mengelola
program
pelaksanaan
pembelajaran
yang
mampu
mengantisipasi
munculnya perilaku copy paste di kalangan mahasiswa. Antisipasi dimaksud
dapat dilakukan dengan cara meminimalisir sebab dari kebiasaan
mahasiswa melakukan tindak copy paste dalam memenuhi kebutuhan dan
kepentingan belajarnya.
2. Mahasiswa: menjadi bahan koreksi dan mungkin refleksi terhadap prilaku
menyimpang dari aturan akademik yang telah mereka lakukan. Hasil
penelitian ini juga peneliti harapkan mampu merubah pemaknaan dan
orientasi belajar mahasiswa sehingga mereka tidak terjebak dalam
kepentingan praktis-pragmatis yang justru menutup pintu kesempatan bagi
pengembangan potensi diri mereka sendiri.
3. Pengelola serta pejabat yang secara langsung bertanggung jawab terhadap
pengelolaan pendidikan: menjadi dasar pemikiran untuk merancang dan
menetapkan aturan akademik terkait tata penulisan karya ilmiah. Bahkan,
hasil penelitian ini dapat menjadi argumen logis untuk pengadaan program
scanning (pemeriksaan/peninjauan) karya tulis.
11
E.
Urgensitas Penelitian
Sebagai satu-satu nya perguruan tinggi Islam berstatus negeri, Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak memikul beban uswatun hasanah
(percontohan) dalam pengelolaan pembelajaran berbasis nilai-nilai islami. Untuk
itu, penguatan pondasi pembelajaran berbasis sekaligus berorientasi nilai-nilai
islami, menjadi sebuah kemestian yang tak dapat dihindari. Kemestian ini tidak
hanya bersebab penggunaan term “agama Islam” dalam deretan nama perguruan
tinggi, namun juga bersebab kesejatian sebuah perguruan tinggi yang dituntut
untuk memiliki kepastian pondasi nilai tertentu sesuai dengan eksistensinya.
Upaya penguatan pondasi kependidikan di lingkungan IAIN Pontianak
dapat dilakukan melalui proses learrning to know (belajar mengetahui), learning to do
(belajar berbuat), leraring to be (belajar menjadi), dan learning to live together (belajar
hidup bersama) nilai-nilai kebaikan yang berstandar kebenaran pada universalitas
core virtues (kebajikan inti) dari ajaran Islam serta bersinergis dengan normativitas
akademis. Keempat proses ini semestinya menjadi pilar bagi penataan program
kependidikan, khususnya dalam pengelolaan proses pembelajaran, karena di
dalamnya terkandung aktivitas ‘mengalami’ yang merupakan sarana paling tepat
untuk mewujudkan upaya penguatan pondasi kependidikan.
‘Kejujuran’ adalah satu dari sekian banyak nilai kebaikan yang terkandung
dalam bangunan universalitas core virtues (kebajikan inti) Islam. Nilai kejujuran
bersifat universal dan senyatanya bersinergis dengan normativitas akademik.
Dengan demikian, sangatlah layak nilai ini dijadikan sebagai pondasi sekaligus
orientasi capaian dari keseluruhan program pengelolaan kependidikan di IAIN
Pontianak.
Kelayakan nilai kejujuran dijadikan sebagai pondasi dimaksud, juga
diperkuat oleh potensi yang terkandung di dalamnya, dimana nilai ini mampu
menjadi saluran pengungkap tentang orientasi capaian dari berbagai pemaknaan
dan perilaku belajar, termasuk pemaknaan dan ekspektasi mahasiswa tentang
‘belajar’. Aplikasi penguatan nilai kejujuran sebagai pondasi kependidikan pada
pelaksanaan pembelajaran, hanya mungkin dilakukan melalui pemberian aktivitas
12
‘mengalami’, karena dalam aktivitas ini lah nilai kejujuran terkandung sebagai
sebuah kemestian dan berpotensi untuk dinternalisasikan serta dieksternalisasikan
oleh para dosen di lingkungan IAIN Pontianak.
Upaya penguatan pondasi kependidikan di lingkungan IAIN Pontianak
semestinya memperhatikan serta mempertimbangkan realitas pembelajaran.
Pemaknaan dan ekspektasi mahasiswa tentang belajar, merupakan salah satu fakta
penting yang harus dikaji dan dijadikan pertimbangan dalam merancang tatanan
program penguatan pondasi kependidikan. Hal ini disebabkan oleh kesejatian dari
pemaknaan dan ekspektasi mahasiswa tentang belajar sebagai aktivitas sekaligus
orientasi inti dalam keseluruhan pengelolaan kependidikan.
Penelitian yang penulis lakukan ini merupakan salah satu bentuk dukungan
terhadap upaya penguatan pondasi kependidikan di lingkungan IAIN Pontianak.
Dukungan dimaksud penulis wujudkan dengan memaparkan data-data faktual
mengenai pemaknaan dan ekspektasi mahasiswa tentang belajar yang terhampar
dalam realitas fenomena perilaku copy paste. Urgensitas penelitian menjadi terang
benderang ketika penelitian ini berupaya untuk mengungkap argumentasi objektif
dari para mahasiswa, sebagai sumber informasi utama, tentang berbagai
pertimbangan yang melatari tindakan mereka melakukan copy paste. Selanjutnya,
hasil penelitian ini berpotensi menjadi bahan evaluasi bagi pengelolaan
pembelajaran di lingkungan IAIN Pontianak.
Di sisi lain, sesuai dengan fokusnya, hasil penelitian ini menawarkan
pemikiran kritis tentang beberapa kesejatian yang dapat dijadikan pertimbangan
logis oleh para dosen dalam merancang dan mengelola proses pembelajaran di
lingkungan IAIN Pontianak. Tawaran pemikiran kritis penulis sajikan dalam
bentuk solusi guna mengatasi tindak perilaku copy paste yang sudah menjadi
realitas fenomenal di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak, sekaligus untuk
memperbaiki dan menata ulang pemaknaan dan ekspektasi mereka tentang belajar.
13
F.
Tinjauan Pustaka
Copy paste merupakan tindak pemalsuan karya tulis yang sudah menggejala
di kalangan pelajar dan mahasiswa. Tindakan ini sangat mungkin menjadi salah
satu akibat dari sebab kemajuan teknologi ilmu pengetahuan yang senantiasa
menawarkan kemudahan dan penyederhanaan proses aktivitas kehidupan.
Senyatanya, kedua bentuk tawaran tersebut yang sejatinya berorientasi positif,
telah disalahgunakan oleh para pelajar dan mahasiswa. Mereka tidak hanya
memanfaatkan kemajuan dan teknologi sebagai sarana pengayaan informasi dan
perluasan wawasan, namun juga untuk kepentingan memanipulasi tugas belajar
mereka. Manipulasi dimaksud mereka lakukan dengan cara menjiplak (copy paste)
tulisan atau artikel dalam website bertema sesuai dengan tugas yang harus mereka
kerjakan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 2004, tentang tindakan
plagiasi terhadap sumber-sumber kepustakaan, Ercegovac bersama Richardson
menyimpulkan, bahwa tindakan plagiasi senyatanya telah menjadi
perilaku
masyarakat modern, baik di wilayah pendidikan maupun di wilayah sosial
kemasyarakatan. Di wilayah pendidikan, plagiasi telah menjadi tindakan yang
biasa dilakukan oleh peserta didik, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Tindakan plagiasi mereka lakukan dengan cara menjiplak (copy paste) bahan atau
literatur yang mereka baca, sesuai dengan kebutuhan belajarnya.
Tindak plagiasi di kalangan pelajar, dari tingkat dasar hingga tingkat
menengah atas, terjadi karena pola pikir pragmatis masih mendominasi
pemaknaan mereka tentang belajar. Noorbella Kustiwi menemukan sekaligus
mengidentifikasi pola pikir pragmatis di kalangan pelajar tingkat menengah atas
dalam bentuk motivasi mereka melakukan tindak plagiasi, melalui penelitian yang
ia lakukan pada 2009 dengan judul: “Motivasi dan Perilaku Plagiat di Kalangan
Siswa SMA Cita Hati Surabaya.” Dengan menggunakan pendekatan kualitatif,
peneliti menemukan informasi dan merumuskan simpulan, bahwa para siswa
melakukan tindak plagiasi karena termotivasi oleh: hasrat untuk selalu merasa
unggul dalam persaingan belajar di kelas; tidak ingin mengalami kegagalan dalam
14
mencapai prestasi belajar atau mendapatkan nilai rendah, yang bisa berakibat
terpinggirkan dri pergaulan dengan teman-teman di sekolah; keinginan untuk
selalu dinilai mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru secara baik
dan sempurna.
Di kalangan mahasiswa, perilaku copy paste tidak hanya dilakukan terhadap
tulisan dalam literatur atau artikel dari website, namun juga terhadap tugas-tugas
kakak tingkat atau teman sekelasnya. Perilaku ini kian hari semakin menggejala
dan hampir mengkristal serta membaur dalam aktivitas belajar, sehingga sulit
dipastikan apakah perilaku copy paste merupakan salah satu bentuk tindakan
belajar. Namun, jika ditakar dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI
nomor 17 tahun 2010, tentang pencegahan dan penanggulangan plagiat di
perguruan tinggi, senyatanya perilaku copy paste tidak termasuk dalam kategori
tindakan belajar, bahkan dikategorikan sebagai tindak pelanggaran akademis dan
disetarakan dengan tindak kejahatan pencurian.
Sebagai sebuah tindak pelanggaran akademis, fenomena plagiat dapat
menjadi sarana dalam membaca realitas pengelolaan pembelajaran di perguruan
tinggi. Rina Hidayat dan kawan-kawan telah membuktikan hal tersebut melalui
penelitian yang mereka lakukan pada 2009, dengan judul: “Perilaku Plagiat
Mahasiswa (Studi Kasus Plagiasi Melalui Internet di Kalangan Mahasiswa Fisipol
UNIB).” Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif ini menghantarkan
peneliti pada simpulan, bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
mahasiswa terbiasa melakukan tindak plagiasi, yaitu: kurangnya ketersediaan
literatur yang dibutuhkan mahasiswa; ketidaktegasan aturan dan sanksi terhadap
pelaku tindak plagiasi; kurangnya kontrol dari para dosen yang memberikan tugas;
ketidaktelitian dosen dalam melakukan koreksian terhadap tugas mahasiswa;
keengganan dosen untuk mengoreksi tugas-tugas mahasiswa.
Walau merupakan sebuah tindak pelanggaran akademis, namun fenomena
perilaku copy paste dapat menjadi sarana untuk membaca, memahami serta
menafsir ekspektasi belajar yang berisikan pemaknaan dan orientasi belajar
mahasiswa. Oleh karenanya, perlu dilakukan kajian untuk menarik benang merah
dari tumpukan jerami kesemrawutan perilaku belajar di kalangan mahasiswa,
15
dengan menggali pemaknaan mereka tentang belajar sekaligus realitas yang
menjadi orientasi belajarnya.
G. Kerangka Pemikiran
Belajar merupakan aktivitas yang dilakukan manusia untuk mengalami dan
kemudian memiliki pengetahuan tentang sesuatu. Dari aktivitas belajar lah
pengetahuan terlahir dan berkembang. Sejatinya pengetahuan bermula dari proses
manusia mengalami sesuatu yang kemudian ia pelajari melalui aktivitas berpikir
kritisnya.
Dalam dunia pendidikan, kemestian belajar tidak hanya sekedar untuk
memenuhi kepentingan formalitas pendidikan, namun lebih sebagai sarana
merealisasikan dan mengaktualisasikan potensi kedirian. Proses aktualisasi diri
dalam pendidikan, yang berpotensi menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan,
tersedia dalam aktivitas observing, questioning, experimenting, associating, networking,
dan
to
creat.
Aktivitas
ini
merupakan
aplikasi
dari
kesejatian
proses
keberilmuannya manusia yang bergerak dalam stadia experiencing, knowing, trying,
associating, evaluating, dan to creat.
Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang semestinya dapat
dijadikan sarana aktualisasi diri bagi para mahasiswa. Suasana perkuliahan
memberikan peluang besar dan menyediakan ruang yang luas bagi gerak
mahasiswa untuk mengaktualisasikan naturalitas potensi kedirian mereka dalam
menjalani proses belajar mengamati persoalan (observing), merancang dan
menyusun pertanyaan terhadap sebuah persoalan (questioning), mencobakan
pemecahan atas persoalan yang telah diamati dan dipertanyakan (experimenting),
mengidentifikasi dan memetakan pemecahan masalah sesuai dengan persoalan
(associating), mengkomunikasikan dalam suasana dialog keilmuan (networking), dan
merancang bangun tawaran pemikiran baru tentang solusi pemecahan masalah
terhadap persoalan (to creat).
16
Sebagai peserta didik yang telah menjalani proses belajar selama duabelas
tahun, semestinya mahasiswa sudah memiliki self conciousness (kesadaran diri)
akan petingnya belajar sesuai dengan stadia pengembangan ilmu pegetahuan.
Stadia belajar yang juga diberlakukan di perguruan tinggi meniscayakan
mahasiswa berpeluang besar untuk mengaktualisasikan potensi kediriannya.
Aktualisasi diri menjadi sarana bagi mahasiswa dalam menjalani proses
memantaskan diri mereka sebagai masyarakat akademis yang pada akhirnya
berpeluang mensejatikan diri dalam lingkaran komunitas ilmuwan.
Dalam proses belajar atau perkuliahan, peluang aktualisasi diri bagi
mahasiswa berwujud aktivitas belajar di ruang kuliah dan pengerjaan tugas kuliah
yang diberikan dosen pengampu mata kuliah. Aktivitas di ruang kuliah
memberikan peluang pada mahasiswa untuk mengeksplorasi potensi mengamati
(observing) dan potensi mempertanyakan (questioning) materi yang diperikan oleh
dosen.
Sementara, tugas
kuliah
menjadi sarana bagi
mahasiswa
untuk
mengembangkan potensi mencoba (trying) kemampuan mereka menuangkan
pikiran dalam bentuk tulisan, potensi mengidentifikasi serta mengasosiasi
(associating) pemikiran yang hendak mereka tuliskan, khususnya identifikasi
terhadap
bahan-bahan
yang
digunakan,
potensi
menyajikan
atau
mengkomunikasikan (networking) hasil pemikiran dalam suasana diskusi, dan
potensi mencipta atau melahirkan (to creat) pemikiran baru berdasarkan hasil
pengamatan,
penanyaan,
pencobaan,
pengasosiasian,
dan
penyajian
atau
komunikasi.
Idealitas kebermaknaan eksistensi mahasiswa, sebagai manusia yang
berkesadaran akan pentingnya pendidikan adalah, menjadikan pengembangan dan
peningkatan kualitas diri serta perluasan wawasan keilmuan sebagai ekspektasi
(pengharapan) belajarnya. Ekspektasi ini hanya mungkin terwujud manakala
mahasiswa bersedia melebur dan mengikuti stadia belajar yang sejatinya
menyediakan ruang bagi mereka untuk mengaktualisasikan potensi kediriannya.
Pengabaian terhadap stadia belajar merupakan pemudaran makna belajar yang
berarti pula penjarakan proses belajar dengan ekspektasi belajar. Tindak
pengabaian, pemudaran dan penjarakan dimaksud dapat dipastikan mampu
17
memberangus eksistensi kedirian mahasiswa yang secara natural memiliki potensi
untuk berkembang melalui proses aktualisasi diri.
Dari dua kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi kedirian yang
tersedia dalam proses belajar, aktivitas belajar di ruang kuliah dan pengerjaan
tugas kuliah, kesempatan kedua lah yang paling berpotensi untuk diabaikan oleh
mahasiswa. Pengabaian ini bisa dilakukan oleh mahasiswa dalam bentuk tindak
plagiasi atau copy paste. Ketika tindak plagiasi atau copy paste dilakukan oleh
mahasiswa, senyatanya tindakan itu berpotensi mengaburkan makna dan
ekspektasi belajar yang berujung pada pengingkaran terhadap eksistensi kedirian
mahasiswa itu sendiri. Dengan kata lain, tindak plagiasi atau copy paste merupakan
salah satu bentuk tindak pengingkaran terhadap kebermaknaan eksistensi diri
mahasiswa yang semestinya memiliki self conciousness (kesadaran diri) tentang
belajar.
H. Sistematika Penulisan
Penelitian ini penulis paparkan dalam tebaran lima bab, dimana masingmasing bab berisikan kajian yang mengacu pada fokus penelitian. Keterpautan
antara bab yang satu dengan bab lainnya, secara sistemik dan sistematik, menjadi
gambaran dari kehasratan penulis dalam memotret dan mengungkap pemaknaan
dan ekspektasi mahasiswa IAIN Pontianak tentang belajar.
Bab I berisikan fenomena empiris – asumsi rasional yang melatari
pemikiran penulis dalam mengangkat tema penelitian. Latar pemikiran tersebut
kemudian menjadi dasar bagi penulis dalam merumuskan fokus penelitian. Objek
material penelitian, dalam rumusan fokus beserta pertanyaan penelitian, penulis
analisis dengan berpandukan pada bangunan teoretis dan hasil kajian pustaka
tentang belajar, sebagai paradigma atau objek formal. Kejelasan arah penelitian
penulis ungkapkan dalam rumusan tujuan, urgensitas dan manfaat penelitian yang
menjadi bagian akhir dari paparan Bab I.
18
Secara sistematis, Bab I yang merupakan bagian Pendahuluan dari
keseluruhan penelitian, berisikan: Latar Pemikiran; Tujuan Penelitian; Fokus dan
Pertanyaan Penelitian; Manfaat Penelitian; Urgensitas Penelitian; Tinjauan Pustaka;
Kerangka Pemikiran; dan Sistematika Penulisan. Keseluruhan isi dalam Bab I ini
menjadi acuan dan arah bagi penulis dalam melakukan proses kajian pada bab-bab
berikutnya.
Bab II berisikan teoritisasi idealitas makna belajar yang disertai dengan
paparan pemikiran tentang makna ekspektasi belajar dan juga fenomena copy paste
sebagai realitas perilaku belajar dalam dunia pendidikan. Paparan teoritis dalam
Bab II selanjutnya penulis jadikan sebagai objek formal atau paradigma penelitian
dalam mengkaji dan membahas fakta-fakta penelitian pada Bab IV, dengan
menggunakan pola dialogis interpretatif.
Bab III berisikan paparan tentang metodologi penelitian yang penulis
gunakan dalam merancang, membaca, menafsirkan serta merefleksikan realitas
empiris tentang pemaknaan dan ekspektasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak. Isi
paparan Bab III ini disesuaikan dengan kaidah atau ketentuan fenomenologi
Edmund Husserl yang penulis gunakan sebagai metode dan pendekatan dalam
menyibak ralitas pemaknaan dan ekspektasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak di
balik fenomena perilaku copy paste.
Bab IV berisikan paparan tentang hasil kajian reflektif penulis terhadap
realitas empiris yang termuat dalam Bab I dengan berdasar pada objek formal yang
termuat dalam Bab II. Hasil kajian reflektif tersebut penulis paparkan dalam tautan
dialog antara hasil kajian teoritis dengan hamparan informasi faktual yang penulis
peroleh dari hasil wawancara terhadap mahasiswa IAIN Pontianak.
Bab V merupakan bagian penutup yang berisikan simpulan dari kesemua
proses penelitian. Simpulan dimaksud sekaligus merupakan jawaban atas
pertanyaan penelitian yang telah penulis rumuskan dalam Bab I. Bab V penulis
akhiri dengan memberikan sumbang saran atau rekomendasi dalam bentuk refleksi
kritis dengan berdasar pada hasil kajian dari proses penelitian yang telah penulis
lakukan.
19
BAB II
EKSPEKTASI BELAJAR MAHASISWA
DALAM FENOMENA COPY PASTE
A. Belajar sebagai Sebuah Kemestian Eksistensial
“If a man neglects education, he walks lame to the end of his life,” demikian Plato
memahamkan betapa pentingnya pendidikan bagi manusia, sekaligus menjelaskan
bahwa proses pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat (Plato, 1993: 42).
Dikarenakan pendidikan merupakan proses seumur hidup, maka kemestian ruang
kehidupan manusia berisikan aktivitas belajar.
Belajar merupakan aktivitas kesadaran mental manusia dalam upaya
memahami dan memaknai eksistensi dirinya melalui proses pembacaan dan
pemaknaan berbagai hal yang berada di ruang kehidupannya. Secara sederhana,
kesadaran di sini termaknai sebagai kesiagaan manusia terhadap diri dan
lingkungannya (Ginsberg, 2005: 8). Sebagai bentuk kesadaran mental, kesejatian
aktivitas belajar pada diri manusia menjadi sulit untuk diamati secara langsung
dalam realitas kependidikan. Kesejatian tersebut hanya bisa terbaca melalui
fenomena perilaku belajar (Giroux, 1983: 18).
Terdapat dua aktivitas mental yang dapat menandai dan menjadi pembeda
dua bentuk proses belajar, yaitu: pertama, aktivitas menanda fakta-fakta serta
mengisolirnya ke dalam bentuk informasi pengetahuan (rote learning);
kedua,
aktivitas memaknai berbagai fakta pengetahuan melalui tindakan aplikatif,
sehingga rumusan informasi pengetahuan tidak hanya berbatas pada bangunan
teoretis namun termaknai dalam sikap dan tindakan aplikatif (meaningfull learning)
(Ausubel, 1968: 32).
Kesulitan untuk mengamati aktivitas belajar sebagai bentuk kesadaran
mental, menjadi daya tarik sendiri bagi para ilmuwan, pemikir dan pemerhati
kependidikan, untuk merumuskan makna pendidikan berdasar pada fenomena
perilaku
belajar.
Voke,
seorang
penulis
sekaligus
pemerhati
pendidikan
berkebangsaan Amerika, mendeskripsikan belajar sebagai bentuk usaha manusia
dalam memahami dan memaknai suatu objek atau suatu peristiwa (2007: 77). Di
20
bagian lain, Bruner, guru besar prinsip-prinsip pengajaran di sekolah hukum New
York, memaknai belajar sebagai sebuah perubahan tingkah laku pada diri setiap
individu setelah ia melakukan interaksi dengan individu lain dan juga dengan
lingkungan sekitarnya (2006: 25).
Pemaknaan serupa diperikan Cronbach yang memaknai belajar sebagai
sebuah aktivitas individu dalam proses interaksi dengan individu lain dan dengan
lingkungan sekitarnya. Interaksi yang melibatkan pengalaman empiris tersebut
membuahkan perubahan pola pikir dan pengetahuan (kognitif), sikap dan perilaku
(afektif), sertain keterampilan dividu. Aktivitas ini dapat terjadi secara otomatis
dengan adanya proses kematangan diri setiap individu, namun dapat pula terjadi
karena hasrat yang disengajakan serta direncanakan oleh individu itu sendiri
(Bloom, 1964: 45).
Sebagai lembaga yang menaungi program pendidikan dunia, UNESCO
(United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) memahamkan
makna belajar sebagai sebuah bentuk pengalaman yang berorientasi pada capaian
kognitif (memiliki pengetahuan), capaian afektif (perubahan sikap), dan psikomotorik
(memiliki keterampilan). Pemaknaan ini kemudian ditetapkan UNESCO sebagai
empat pilar pengalaman belajar dan dijadikan tolok ukur keberhasilan pendidikan.
Keempat pilar dimaksud adalah: Learning to know (belajar untuk mengetahui),
Learning to do (belajar untuk berbuat), Learning to be (belajar untuk menjadi diri
sendiri), dan Learning to live together (belajar untuk hidup bersama) (Sindhunata,
2001: 116).
Learning
to
know
(belajar
mengetahui),
merupakan
pilar
yang
menggambarkan peran pendidikan sebagai sarana bagi peserta didik dalam
mencari, menemukan dan memiliki pengetahuan sesuai kehasratan, kebutuhan
serta kegunaan bagi kehidupan mereka. Dalam penerapannya, pilar learning to
know tidak hanya memfasilitasi peserta didik untuk memiliki pengetahuan yang
bermakna, dalam arti bermanfaat, namun juga pengetahuan yang tidak bermakna
sekaligus tidak bermanfaat, agar mereka tidak terjebak pada pilihan tindakan yang
sia-sia dalam kehidupan.
21
Sebagai pilar pertama, learning to know juga menjelaskan orientasi
pendidikan yang tidak sekedar mementingkan hasil belajar, namun lebih pada
proses belajarnya. Untuk itu, tenaga pendidik, guru atau dosen, berkemestian
memainkan peran sebagai fasilitator yang siap sedia mendampingi peserta didik
menjalani proses belajar dalam ruang dialog keilmuan (Fakhrudin, 2010: 50).
Peserta didik tidak hanya berproses mengetahui tentang sesuatu, tetapi juga
memahami apa yang mereka ketahui dan bagaimana memaknainya sebagai sebuah
pengetahuan yang dimiliki. Hal ini nantinya akan melahirkan kesadaran dan
kemampuan tentang cara mengetahui bagaimana mengetahui (learning to learn)
(Nashori: 1994: 3).
Learning
to
do
(belajar
berbuat/berkarya),
menjadi
pilar
yang
menggambarkan kesejatian pendidikan sebagai lembaga budaya yang bertugas
membekali peserta didik dengan pengetahuan teoretis berikut kaifiyah aplikasi
praktisnya. Pilar ini sekaligus menjadi standar capaian ranah kognitif (pengetahuan)
dalam pelaksanaan proses pendidikan. Capaian dimaksud berwujud perubahan
penguasaan pengetahuan, dari pemikiran teoretis ke aplikasi praktis, perubahan
yang berujung pada terlahirnya kreatifitas baru sebagai wujud pengembangan
ilmu pengetahuan yang berguna, baik untuk diri si peserta didik maupun untuk
orang lain (Ma’arif, 2005: 12).
Pilar learning to do juga memberikan pemahaman tentang kemestian
lembaga-lembaga pendidikan, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi,
mewadahi
peserta
didiknya
untuk
berkesempatan
mengeksplorasi
dan
mengaktualisasikan potensi kedirian mereka. Kemestian ini berlandas pada
kesejatian, dimana self actualization (aktualisasi diri) merupakan kebutuhan puncak
dari lima kebutuhan dasar setiap manusia setelah: physiological (kebutuhan dasar),
safety (kebutuhan akan rasa aman), love or belonging (kebutuhan akan cinta dan
kasih sayang), esteem (kebutuhan akan perhatian) (Maslow, 1998: 65).
Sebagai kebutuhan puncak dari kebutuhan dasar manusia, self actualization
(aktualisasi diri) berbentuk: morality (keterarahan moral), creativity (berkreatifitas),
spontaneity (bersikap spontan), problem solving (memecahkan masalah), lack of
prejudice (mengurangi prasangka), acceptance of facts (menerima berbagai fakta)
22
(Maslow, 2006: 299). Kesemua bentuk kebutuhan dalam self actualization senyatanya
menggambarkan aktivitas learning to do (belajar melakukan).
Oleh karenanya, sebagai sarana belajar, lembaga pendidikan berkemestian
menyediakan ruang bagi peserta didik untuk mengaktualisasikan potensi
kediriannya. Penyediaan ruang aktualisasi diri ini sekaligus membuktikan bahwa
pendidikan merupakan sarana paling tepat dalam memenuhi kebutuhan puncak
manusia. Hal ini sejalan dengan apa yang dipahamkan oleh Aristoteles (384-322
SM.) melalui ungkapan pemikirannya: Education is self realization (Brumbaugh,
1963: 49).
Kemestian yang paling mendasar untuk dapat menjamin keberhailan proses
learning to do terbebani di pundak para tenaga pengajar dalam bentuk tuntutan
melakukan perubahan mindset (pola pikir) tentang makna dan orientasi ‘mengajar’.
Mindset lama yang memahamkan, bahwa: to teach is transfer of knowledge,
senyatanya hanya mampu menjamin ketercapaian proses learning to know, namun
belum sampai pada learning to do.
Ketercapaian proses learning to do hanya dimungkinkan manakala para
tenaga pengajar memahami, bahwa: to teach is not to transfer knowledge, but to create
possibilities for the production or construction of knowledge (Freire, 1998: 9). Mindset
(pola pikir) ini berorientasi pada upaya mengembalikan misi pendidikan sebagai
sarana memanusiakan manusia yang senantiasa bergerak ke arah aktualisasi diri
dengan menjadikan ketermilikan, penguasaan dan pengamalan ilmu pengetahuan
sebagai indikasi keberhasilan capaiannya. Pemahaman dan pemaknaan tentang
‘mengajar’, yang tidak hanya sekadar kegiatan transfer of knowledge, sekaligus
menjadi jaminan bagi keberhasilan target capaian pada proses learning to be.
Learning to be (belajar menjadi diri sendiri) merupakan pilar yang
mengisyaratkan kemestian bagi keberhasilan proses learning to know (belajar
mengetahui) dan learning to do (belajar berbuat/berkarya). Keberhasilan capaian
pada proses learning to know dan learning to do menjadi muatan nilai yang
memantaskan peserta didik memiliki kebermaknaan diri. Capaian keberhasilan
learning to be adalah sebuah kemestian dalam proses pendidikan, mengingat
realitas dinamisasi kehidupan yang senantiasa berubah dan berkembang.
23
Dalam kehidupan yang senantiasa berubah dan bergerak menuju ke arah
perkembangan, persaingan merupakan nilai keniscayaan yang tak mungkin
dihindari oleh siapapun yang berhasrat untuk bisa bertahan hidup. Oleh
karenanya, kualitas nilai-nilai kedirian menjadi syarat utama yang mesti dimiliki
oleh setiap individu guna menjawab berbagai tantangan dalam arena kompetisi
kehidupan.
Hasrat manusia untuk mengkualitaskan diri, dalam upaya menghadapi
kehidupan yang sarat dengan nilai-nilai kompetisi, hanya bisa dijawab oleh
pendidikan melalui program belajarnya. Sebagai pilar pendidikan, learning to be
mengandung penjelasan yang sangat mendasar tentang makna belajar. Pilar ini
tidak hanya menegaskan pentingnya belajar sebagai wujud kepentingan aktivitas
pendidikan, namun lebih pada orientasi dari peran belajar itu sendiri sebagai
bentuk penyiapan hidup. Cicero (106–43 SM), filsuf Romawi bermazhab Stoa,
memahamkan kesejatian dari orientasi belajar melalui pernyataan sederhananya:
“non scholae sed vitae discimus” (belajar bukan untuk sekolah tapi untuk hidup)
(Patterson, 1971: 22).
Kesuksesan dari capaian proses learning to be semetinya tergambar dalam
wujud kepribadian yang berkualitas, yakni sosok kepribadian yang mampu
bertarung di arena kompetisi kehidupan. Kemampuan dimaksud tidak hanya
sekadar memenangkan kompetisi, namun juga berwujud keterampilan dalam
melahirkan nilai-nilai kesejahteraan yang mampu mensejahterakan diri dan
sekaligus lingkungan di sekitarnya. Keberhasilan dalam bentuk seperti ini menjadi
prasyarat bagi terlaksananya pilar pendidikan yang keempat, yaitu learning to live
together (belajar hidup bersama).
Learning to live together, merupakan pilar keempat sekaligus menjadi
gambaran penutup tentang orientasi akhir dari sebuah proses belajar. Pengetahuan
yang telah termiliki melalui proses learning to know, keterampilan yang telah
terlatih dari proses learning to do, dan sikap yang telah terbentuk dalam proses
learning to be, menjadi bekal bagi peserta didik dalam menapaki tangga
keberhasilan menuju puncak kesejatian makna belajar.
24
Dengan bekal ilmu pengetahuan yang telah dimiliki, peserta didik
diharapkan mampu membaca, menganalisis dan memahami persoalan hidup guna
merancang bentuk penyikapan yang paling tepat. Berbekal keterampilan yang
telah terlatih, peserta didik berpotensi dalam menyelesaikan persoalan hidup yang
ia hadapi. Keterampilan juga menjadi bekal baginya untuk memantaskan diri
dalam menjawab tantangan kompetisi kehidupan. Sementara, sikap yang telah
terbentuk merupakan modal dasar bagi peserta didik untuk dapat hidup dalam
wilayah sosial, sebagai bagian yang ikut memainkan peran penggerak perubahan.
Learning to live together menjadi pilar yang menegaskan, bahwa proses
belajar tidak hanya sebatas pada kepentingan memiliki ilmu pengetahuan serta
mengaplikasikan pengetahuan itu dalam bentuk keterampilan dan sikap, namun
belajar lebih untuk kepentingan penyiapan diri peserta didik dalam menjalani
kehidupan bersama dengan masyarakat di wilayah sosialnya. Kepentingan ini
senyatanya menuntut mereka untuk bisa menjadikan ilmu pengetahuan sebagai
energi yang memadati ruang keterampilan dan sikapnya dalam membaca serta
memaknai proses kehidupan bersama dengan menggunakan kacamata toleransi
(Mead, 1959: 83).
Toleransi (Latin: tolerare: ‘bertahan’ atau ‘memikul’), merupakan nilai inti
yang mampu menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan sosial. Nilai ini lah
yang semestinya tereksplor dari penguasaan ilmu pengetahuan melalui proses
pembelajaran. Eksplorasi ilmu pengetahuan ke dalam bentuk eksternalisasi nilainilai toleransi, memampukan peserta didik untuk menerima sekaligus menghargai
berbagai bentuk perbedaan. Hal ini didasarkan pada kesejatian dari toleransi yang
terletak pada sikap memaknai keberagaman sebagai kualitas kehidupan (Hick,
1995: 23)
Upaya memahamkan dan memaknai toleransi merupakan muatan inti
dalam proses learning to live together. Proses pembelajaran berpilar learning to live
together memestikan para tenaga pendidik untuk dapat memerikan kepada peserta
didiknya bahwa ilmu pengetahuan terlahir dari rahim aktivitas manusia dalam
memenuhi hasrat hidup. Oleh karenanya, keberadaan ilmu pengetahuan
berkemestian memanusiakan manusia. Misi ini hanya bisa dijalankan oleh tenaga
25
pendidik yang menyadari perannya sebagai agen pemanusiaan ilmu pengetahuan:
“the teacher is to be a humanizer of knowledge” (Phenix, 1964: 315).
Pada bagian lain, learning to live together hanya akan berhasil manakala
tenaga pendidik bersedia memaknai eksistensi peserta didiknya bukan hanya
sebagai manusia yang berhasrat akan ilmu pengetahuan, namun juga sebagai
sumber inspirasi atau sumber pengetahuan dalam kesetaraan mitra belajar, karena
idealitas makna pendidikan adalah “mutual learning process.” Kesadaran seperti ini
hanya ada pada tenaga pendidik yang terlahir secara alami, dan sulit ada pada
tenaga pendidik yang keberadaannya dibentuk oleh sistem atau oleh hasrat
bekerja: “teacher are born, not made” (Morris, 1963: 3).
Proses saling belajar merupakan salah satu skenario yang bisa dipentaskan
oleh tenaga pendidik dalam pelaksanaan pembelajaran. Pementasan ini merupakan
aplikasi dari muatan yang terkandung dalam learning to live together, dimana sikap
dan prilaku saling mengakui, saling menghargai, saling memahami, dengan
berlandas pada ilmu pengetahuan dan keterampilan, menjadi adegan yang
dilakonkan oleh tenaga pendidik dan peserta didik. Miniatur pementasan ini lah
yang nantinya mereka lakonkan dalam pentas kehidupan sosial.
B. Ekspektasi Belajar dalam Idealitas Pendidikan
Secara
etimologis,
ekspektasi
(Ing.:
expectation)
berarti:
harapan,
pengharapan, atau sesuatu yang diharapan. ‘Sesuatu’ yang diharapkan itu dapat
berupa ‘orientasi’ atau ‘target’ dari apa yang dikerjakan. Sementara, secara
terminologis, ekpektasi mengandung makna: harapan atau pengharapan seseorang
yang menjadi target sebelum ia melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan. Makna
ini menggambarkan, bahwa ekspektasi merupakan aktivitas kesadaran mental
seseorang saat ia merencanakan suatu pekerjaan atau kegiatan. Sebagai aktivitas
kesadaran mental seseorang, ekpektasi bersifat individual dan berada dalam ruang
pertimbangan rasional.
Istilah lain yang bersumber dari akar kata yang sama dengan ‘ekspektasi’
adalah, ‘ekspektensi’ (expectency). Kedua istilah ini memiliki arti yang sama namun
26
orientasi penggunaan maknanya berbeda. Istilah ekspektasi digunakan untuk
menjelaskan tentang kehendak murni seseorang sebelum melakukan pekerjaan
atau kegiatan, tanpa adanya faktor eksternal yang mempengaruhi, kecuali hasrat
individualnya tanpa tingkatan target capaian. Sementara, penggunaan istilah
ekspektensi ditujukan untuk menggambarkan tentang apa yang dihasrati
seseorang setelah mempertimbangkan beberapa faktor ekternal. Pertimbangan
ekternal menjadi alasan bagi seseorang untuk menetapkan tingkatan target capaian
(Vroom, 1964: 45).
Sejatinya, ekpektasi merupakan motivasi utama yang paling kuat dalam
aktivitas belajar, karena selain menggambarkan target capaian, ekpektasi
juga
memberikan arah bagi capaian aktivitas belajar (Piaget, 2001: 22). Dalam
pelaksanaan proses belajar, ekpektasi sangat dibutuhkan untuk memberikan energi
bagi aktivitas belajar peserta didik. Aktivitas belajar yang dipadati dengan energi
harapan akan kesuksesan tertentu, menjamin tumbuh kembangnya semangat
belajar, dan hal ini memungkinkan bagi terciptanya suasana belajar yang
menyenangkan dan penuh makna (Phenix, 1964: 30).
Berdasar pada alur sejarah kelahiran ilmu pengetahuan yang bermula dari
hasrat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagai kesejatian makna
bertahan hidup, belajar menjadi kemestian aktivitas natural bagi manusia.
Senyatanya, aktivitas belajar telah memungkinkan manusia untuk bisa membaca,
memaknai dan memahami realitas semesta jagad raya yang masih terselimuti
misteri (Reesir, 1966: 23). Dari aktivitas belajar terhadap semesta jagad raya,
manusia berkemampuan memahami apa dan bagaimana semestinya ia bersikap,
dan di sini lah letak makna kemestian pendidikan bagi manusia: “education must
teach us to live close to nature” (Brumbaugh, 1963: 5).
Dasar, pertimbangan dan cara manusia bersikap terhadap semesta jagad
raya menjadi embrio kelahiran ilmu pengetahuan. Diawali dengan pengalaman
yang terbentuk dari hasil aktivitas manusia mengalami relasi dengan semesta jagad
raya. Pengalaman tersebut dibaca dan dimaknai manusia hingga melahirkan
common sense (pengalaman berdasar akal sehat). Selanjutnya, common sense dikaji
dan dipikirkan oleh manusia, melalui aktivitas belajar, dan menghasilkan
27
pengetahuan. Pengetahuan itu kemudian disistemisasikan dan dimetodiskan
dalam proses rasionalisasi objektif, sehingga jelas alur kerja ilmiahnya (Descartes,
1957: 21). Proses rasionalisasi dimaksud pada akhirnya berhasil membidani
kelahiran ilmu pengetahuan, sekaligus menggambarkan kesejatian manusia
sebagai homo rationale: “je pense donc je suis” / “cogito ergo sum” (aku berpikir maka
aku ada) (Descartes, 1941: 27)
Dari paparan tentang proses terlahir dan terbentuknya, jelaslah bahwa ilmu
pengetahuan bermula dari aktivitas manusia belajar mengalami, membaca,
memaknai, dan memahami segala bentuk fenomena yang muncul dari hasil
relasinya dengan semesta jagad raya (Barbu, 1971: 56). Realitas ini menjadi dasar
logis dari sebuah pemaknaan tentang kesejatian ilmu pengetahuan: “all knowledge is
recollection” (Brumbaugh, 1963: 5). Dengan kata lain, ilmu pengetahuan senyatanya
hanya merupakan hasil recollection (koleksi ulang) dari keseluruhan proses
pengalaman manusia.
Jika ilmu pengetahuan senyatanya terlahir dari rahim aktivitas belajar
manusia, dalam memaknai proses relasinya dengan semesta jagad raya, maka yang
menjadi kesejatian belajar adalah: “experience to know” dan “experience to get skills”.
Dengan demikian, belajar sebagai sebuah kesadaran mental, memestikan adanya
aktivitas ‘mengalami’ dalam pelaksanaannya, sehingga ketermilikan ilmu
pengetahuan pada diri para pebelajar tidak hanya sebatas teoretisasi pengetahuan
namun juga aplikasi dari pengetahuan itu sendiri. Pentingnya aktivitas
‘mengalami’ merupakan argumen logis dalam penataan ekspektasi belajar, karena
ia berkesesuaian dengan idealitas orientasi pendidikan yang menitikberatkan pada
‘proses’ dan bukan pada hasil: Education be viewed as process of living and not
preparation for future living (Dewey, 1933: 76). Selain itu, aktivitas ‘mengalami’
memungkinkan para pebelajar memiliki kesan tentang pengetahuan yang dimiliki,
dan kesan itu berpotensi mempengaruhi daya ingat mereka.
Memiliki pengetahuan dan keterampilan sebagai bekal untuk menjalani
tapakan kehidupan ke arah masa depan, merupakan salah satu gambaran idealitas
ekspektasi belajar. Idealitas ekspektasi hanya mungkin tercapai manakala
seseorang yang belajar bersedia menjalani proses “experience to know” dan
28
“experience to get skills”, karena dengan proses ini ia berkesempatan memiliki
keutuhan ilmu pengetahuan, yaitu kemenyatuan antara teori dan aplikasi.
Ketermilikan ilmu pengetahuan yang utuh berpotensi memantaskan seseorang
untuk meraih kesuksesan belajar dan sekaligus menjamin kebermaknaan hidupnya
(Boyd, 1983: 101)
Kebermaknaan hidup terlahir dari proses gerak potensialitas kedirian
manusia menuju aktualitas kehidupan dalam wujud aktivitas yang sarat dengan
nilai-nilai. Nilai-nilai dimaksud merupakan hasil dari rasionalisasi terhadap semua
realitas kehidupan. Persalinan nilai-nilai dalam proses aktualisasi potensi kedirian
manusia hanya mungkin terjadi melalui aktivitas belajar yang menghasilkan
tatanan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memadati kehidupan manusia
dengan nilai-nilai, seperti: keteraturan dan kebaikan yang kemudian menjadi dasar
sekaligus standar kebermaknaan hidup. Dari aktivitas hidup manusia melahirkan
ilmu pengetahuan, dan dari ilmu pengetahuan manusia memaknai kehidupan.
Hasrat untuk senantiasa menemukan dan menciptakan kemaknaan hidup,
merupakan naturalitas kecenderungan hidup manusia. Bahkan proses untuk
mewujudkan hasrat ini tidak pernah berhenti dan tidak pernah menemukan titik
selesai (Snijders, 2006: 4).
C. Copy Paste, antara Harapan dan Kenyataan Belajar
Kesejatian belajar adalah melakukan aktivitas ‘mengalami’ sesuatu hingga
termilikinya pengetahuan, kemudian berproses menjadi kemampuan bertindak,
keterampilan dalam bersikap dan berujung pada pembentukan kepribadian yang
siap untuk hidup bersama dalam masyarakat. Penafian terhadap kesejatian belajar
merupakan bentuk pengingkaran atas makna sekaligus pengaburan orientasi
belajar (Kneller, 1971: 6).
Salah satu bentuk pengingkaran makna dan pengaburan orientasi belajar
adalah tindak perilaku plagiasi atau biasa juga diistilahkan copy paste yang kian
hari semakin fenomenal di dunia pendidikan. Perilaku copy paste kini telah menjadi
bagian yang hampir tak dapat dipisahkan dan dibedakan dengan perilaku belajar,
29
karena perilaku ini menyatu dalam aktivitas ‘mengalami’ yang menjadi kesejatian
makna dan orientasi belajar.
Pemisahan dan pembedaan perilaku copy paste dengan aktivitas belajar
hanya dapat terdeteksi dengan cara mengidentifikasikan pemaknaan serta orientasi
belajar. Aktivitas belajar mengandung makna ‘mengalami’ sesuatu untuk memiliki
pengetahuan dengan implikasi pembentukan kepribadian yang berkemampuan
dan bersikap berdasar pada kesejatian pengetahuan (Habermas, 1974: 45).
Sementara, perilaku copy paste hanya terbatas pada aktivitas mengalami sesuatu
untuk kepentingan memudahkan proses kerja belajar. Jika orientasi dari aktivitas
belajar berjangka panjang, maka orientasi dari perilaku copy paste berjangka
pendek.
Copy paste merupakan istilah yang muncul di kalangan pelajar dan
mahasiswa, sebagai gambaran tentang tindakan menjiplak atau plagiasi yang
mereka lakukan terhadap karya tulisan orang lain (Utorodewo, 2007: 52). Istilah
plagiasi sendiri mengandung pengertian: to steal an pass of (the ideas or words of
another) as one’s own: use (a created production) without crediting the source, to commits
literary theft: present as new and original on idea or product derived from an existing
source (Ercegovac, 2004: 302). Sementara, di dalam Oxford English dictionary,
plagiasi diartikan sebagai: to take and use as one’s own the thoughts, writings, or
inventions of another. Tindak plagiasi juga bermakna: copy another person’s work, ideas,
words, etc and pretend that they are your own.
Di kalangan mahasiswa, tindak plagiasi dalam bentuk perilaku copy paste
sudah menjadi trend (kecendrungan) belajar. Perilaku ini berbaur dalam aktivitas
belajar saat menjalani proses perkuliahan, khususnya ketika mengerjakan tugastugas perkuliahan. Disadari atau tidak, senyatanya perilaku copy paste telah
mengabsurdkan (mengaburkan) orientasi sekaligus ekspektasi belajar mereka.
Secara umum, tindak plagiasi dalam bentuk perilaku copy paste dapat
dilatari oleh beberapa alasan, antara lain: kebiasaan malas, terjebak dalam suasana
stress, kebiasaan yang sudah dianggap bukan sebuah pelanggaran, dan keyakinan
bahwa apa yang dilakukan tidak akan diketahui. Suasana stress yang dialami
mahasiswa muncul sebagai akibat dari: adanya hasrat untuk memperoleh nilai
30
tinggi, kekhawatiran akan kegagalan yang berlebihan, munculnya anggapan
adanya ketidakadilan dosen dalam menilai tugas-tugas mahasiswa, kurangnya
waktu yang tersedia untuk menyelesaikan tugas kuliah, dan tidak adanya
ketegasan yang melarang tindak plagiasi (Hartanto, 2012: 43).
Rincian tentang perilaku yang terkategori sebagai tindak plagiasi,
dipaparkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (PERMENDIKNAS)
Nomor 17 Tahun 2010, BAB II, Pasal 2 ayat (1):
1.
2.
3.
4.
5.
Mengacu dan/atau mengutip istilah, kata-kata dan/atau kalimat, data
dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam
catatan kutipan dan/atau tanpa menyatakan sumber secara memadai;
Mengacu dan/atau mengutip secara acak istilah, kata-kata dan/atau
kalimat, data dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan
sumber dalam catatan kutipan dan/atau tanpa menyatakan sumber secara
memadai;
Menggunakan sumber gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa
menyatakan sumber secara memadai;
Merumuskan dengan kata-kata dan/atau kalimat sendiri dari sumber katakata dan/atau kalimat, gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa
menyatakan sumber secara memadai;
Menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan/atau telah
dipublikasikan oleh pihak lain sebagai karya ilmiahnya tanpa menyatakan
sumber secara memadai.
Sebagai tindak pengingkaran terhadap kesejatian makna dan orientasi
belajar, tindak plagiasi atau perilaku copy paste telah ditetapkan oleh negara sebagai
perbuatan melanggar hukum dan dikenai sanksi sesuai dengan tingkatan
pelanggaran. Ketentuan sanksi ini tertuang dalam PERMENDIKNAS Nomor 17
Tahun 2010, BAB VI, Pasal 12, ayat (1) sampai ayat (6). Khusus untuk pelanggaran
yang dilakukan oleh mahasiswa, dikenakan sanksi secara bertingkat sebagai
berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Teguran;
Peringatan tertulis;
Penundaan pemberian sebagian hak mahasiswa;
Pembatalan nilai satu atau beberapa mata kuliah yang diperoleh
mahasiswa;
Pemberhentian dengan hormat status sebagai mahasiswa;
Pemberhentian tidak dengan hormat dari status sebagai mahasiswa; atau
Pembatalan ijazah apabila mahasiswa telah lulus dari suatu program.
31
Penetapan sanksi terhadap tindak plagiasi atau perilaku copy paste
merupakan sebuah tindakan yang mesti dilakukan guna menyelamatkan dunia
pendidikan dari berbagai bentuk pengingkaran dan manipulasi kebenaran ilmu
pengetahuan. Selain itu, penetapan sanksi juga berfungi sebagai bentuk
pencegahan agar tindak plagiasi atau perilaku copy paste tidak dilakukan oleh
mahasiswa dengan tanpa beban moral dan etika akademik. Sejatinya, penetapan
dan pemberlakuan sanksi terhadap tindak plagiasi atau perilaku copy paste
merupakan salah satu upaya memagari kesucian makna dan orientasi belajar.
32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup, Jenis dan Paradigma Penelitian
Tema yang terumuskan pada judul penelitian, merupakan bagian dari
serpihan kajian filsafat. Gambaran tentang esensi (hakikat) makna dan ekspektasi
belajar di balik perilaku copy paste, yang terkandung dalam judul, senyatanya
berada di wilayah pemikiran filsafat pendidikan. Sementara, kebutuhan akan
seperangkat data informatif untuk kepentingan menganalisis fokus penelitian,
memastikan bahwa penelitian ini berjenis field research (penelitian lapangan),
karena data informatif dimaksud terhampar di ruang sosial dalam bentuk perilaku
copy paste yang mengandung kesadaran mental rasional berupa pemaknaan tentang
belajar, dan value (nilai) berupa ekspektasi (pengharapan) akan belajar.
Untuk kepentingan menjaga orientasi capaian dari proses kerja penelitian,
penulis melandasi penelitian ini dengan paradigma critical theory (teori kritis).
Paradigma adalah tatanan bangunan kepercayaan terhadap nilai-nilai tertentu
yang berisikan simpul ilmu pengetahuan dan kemudian menjadi sudut pandang
dalam membaca, memahami dan menafsirkan realitas (Kuhn, 1985: 103). Critical
theory merupakan salah satu dari empat paradigma penelitian: positivism,
postpositivism, critical theory, dan constructivism (Denzim, 1994: 109). Penggunaan
critical theory sebagai paradigma bagi penelitian ini penulis dasarkan pada
pertimbangan:
1.
Secara
ontologis,
critical
theory
memastikan
penulis
untuk
dapat
membongkar kesadaran empiris (phainen) dalam bentuk idealitas makna
belajar bagi mahasiswa di lingkungan IAIN Pontianak; dan argumentasi
logis-empiris yang melatari mereka melakukan copy paste.
2.
Secara
epistemologis,
paradigma
ini
memfasilitasi
penulis
dalam
mendialogkan berbagai gejala (phainomenon) berbentuk aktivitas belajar
dengan informasi empiris tentang makna ‘belajar’. Sebelumnya, pemaknaan
33
mahasiswa tentang ‘belajar’ penulis reduksi agar terpisah dan tidak terbaur
dengan teoretisasi makna ‘belajar’.
3.
Secara aksiologis, critical theory memantaskan penulis dalam mengungkap
kesadaran mental berwujud ekspektasi atau pengharapan mahasiswa dari
aktivitas belajar yang mereka jalani. Penulis juga terpantaskan untuk
menginterpretasikan dan mendeskripsikan konstruksi nilai-nilai yang
mengitari bangunan ekspektasi belajar mahasiswa.
B. Metode dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan aktivitas refleksi kritis yang berada dalam wilayah
keilmuan filsafat. Oleh karenanya, metode yang digunakan untuk melakukan
proses kerja penelitian mestilah metode yang akrab dan dapat mewadahi
kehasratan pemikiran filosofis penulis dalam mengkaji tema penelitian. Proses
kerja dalam penelitian berisikan aktivitas pembacaan, aktivitas pemaknaan, serta
aktivitas penafsiran, yang kesemuanya penulis arahkan untuk menyibak tabir
tentang makna dan ekspektasi belajar yang terselubung dalam fenomena perilaku
copy paste di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak. Untuk kepentingan aktivitas
kerja penelitian tersebut, penulis menggunakan metode Fenomenologi.
Fenomenologi merupakan metode dalam kajian filsafat yang digunakan
untuk
menyibak
makna
terdalam
di
balik
fenomena
atau
gejala-gejala
(phainomenon) yang menampakkan diri dalam kesadaran empiris (phainen) (Moran,
2000: 23). Awalnya, fenomenologi hanyalah sebuah metode berpikir dalam tradisi
filsafat. Namun bagi Edmund Husserl (1859–1938), fenomenologi tidak hanya
sebatas metode berpikir, tapi juga sebuah tatanan bangunan ilmu filsafat yang
secara ontologis mengkaji dan mendeskripsikan tentang kesadaran (science of
consciousness) (Pivéeviae, 1970: 21. Keyakinannya ini semakin ia perkuat dengan
mensistematiskan dan memetodiskan fenomenologi sebagai bangunan ilmu.
Usaha yang dilakukan oleh Husserl justru semakin memperkokoh posisi
fenomenologi sebagai metode keilmuan yang tidak hanya digunakan dalam
wilayah filsafat tapi juga dalam tradisi ilmu sosial lainnya. Bahkan dia sendiri
34
melengkapi fenomenologi sebagai sebuah inquiry method dengan membangun
landasan kerja, pendekatan, dan sekaligus pertimbangan metodisnya (Smith, 2007:
12). Sebagai inquiry method, Husserl lebih menekankan fenomenologi nya pada
upaya untuk memahami kesadaran subjektif dari subjek yang diteliti.
Walau sama-sama menyelidiki tentang kesadaran, namun alur kerja
fenomenologi Husserl berbeda dengan pendekatan dalam ilmu pengetahuan yang
menitikberatkan pada kesadaran pengamat dengan mempelajari cara kerja
kesadaran di dalam otak dan syaraf manusia (neuroscience). Jika neuroscience lebih
melihat aktivitas kesadaran sebagai fenomena biologis belaka, maka fenomenologi
memaknainya sesuai dengan apa yang dialami langsung oleh manusia sebagai
subjek yang diamati. Fenomenologi tidak berhenti pada deskripsi pengalaman
inderawi saja, karena pengalaman inderawi hanya menjadi pintu masuk ke ruang
conceptual meaning, yang bisa berwujud pikiran imajinatif, seperti: hasrat dan
harapan ideal, ketika seseorang berada dalam pengalaman dunia personalnya
(Husserl, 1960: 54). Cara dan alur kerja seperti ini lah yang kemudian semakin
mengukuhkan fenomenologi Husserl sebagai inquiry method dengan istilah
fenomenologi transendental (Smith, 2007: 37).
Tujuan utama dari fenomenologi transendental sebagai inquiry method
adalah, mengkaji dan menganalisis makna di balik aktivitas empiris dari objek
penelitian sesuai dengan apa yang ia alami secara objektif, subyektif dan juga
intersubyektif dalam dunia personalnya (Creswell, 2007: 24). Secara obyektif
dimaksudkan sebagai makna yang permanen berada dalam ruang dan waktu di
sekitar
kehidupan
objek
penelitian.
Secara
subyektif
maksudnya
adalah
pengalaman objek penelitian yang bersifat private (pribadi) sebagai manusia yang
menjalani kehidupan empiris. Secara intersubyektitas bermakna interpretasi subjek
lain yang ikut terlibat dalam aktivitas kehidupan sosial si objek penelitian (Smith,
2007: 60).
Deskripsi tentang cara dan alur kerja fenomenologi transendental di atas,
menjadi pertimbangan penulis memilih fenomenologi transendental sebagai
metode dalam penelitian ini. Pertimbangan lain yang mendasari penulis memilih
fenomenologi transendental adalah, adanya kesesuaian orientasi kerja metodis
35
dengan capaian penelitian yang penulis hasrati, yaitu untuk mengungkap makna
dan ekspektasi belajar di balik fenomena copy paste di lingkungan mahasiswa IAIN
Pontianak.
Dalam proses kerjanya, metode fenomenologi memiliki dua bentuk
pendekatan, yaitu: pendekatan interpretatif dan pendekatan deskriptif (Smith,
2009: 14). Secara metodis, kedua bentuk pendekatan ini merupakan bagian dari
pilahan besar aproach system (sistem pendekatan) penelitian, kualitatif yang terlahir
dari pemikiran rasionalisme, dan kuantitatif yang berlandas pada pemikiran
positivisme (Creswell, 1994: 4). Pendekatan interpretatif fenomenologis berada di
wilayah pilahan kualitatif, sementara deskriptif fenomenologis menjadi bagian dari
pilahan kuantitatif. Jika pendekatan deskriptif hanya sebatas pada pemaparan
kandungan makna di balik fenomena sesuai dengan realitas empiris, maka
pendekatan interpretatif menyertakan penafsiran peneliti terhadap pemaparan
makna di balik fenomena (Smith, 2009: 29).
Interpretatif merupakan pendekatan yang muncul sebagai imbas dari
metode hermeneutika. Dalam tradisi hermeneutika, interpretasi atau penafsiran
lebih dominan dilakukan terhadap realitas teks dengan kemestian reflektif. Ketika
proses berpikir ilmiah dihadapkan pada realitas non-teks yang hadir dalam wujud
fenomena, interpretasi tetap menjadi kemestian metodis dalam wilayah kerja
fenomenologi (Smith, 2009: 15).
Untuk kepentingan mempermudah proses kerja penelitian, penulis memilih
interpretatif
fenomenologis
sebagai
pendekatan
penelitian.
Penggunaan
pendekatan ini penulis dasari dengan pertimbangan, bahwa: Pertama, interpretatif
fenomenologis memberikan ruang keleluasaan bagi penulis dalam mengkonstruksi
realitas faktual subjek penelitian. Konstruksi dimaksud dibutuhkan untuk menjaga
orisinalitas makna yang ada di balik fenomena melalui proses kerja dalam tiga
tahapan ‘reduksi’. Pertimbangan ini sejalan dengan landasan ontologis dalam
pilahan wilayah pendekatan kualitatif, yang memahamkan bahwa seorang peneliti
kualitatif berkewenangan mengkonstruksi realitas yang ia amati dan alami secara
bersama dengan para partisipan atau subjek penelitian, sesuai dengan latar
kepahamannya dalam menafsir (Lincoln, 1985: 70). Pengamatan dan pengalaman
36
secara bersama merupakan fakta penelitian, dimana penulis sebagai peneliti dan
mahasiswa sebagai subjek penelitian berada dalam ruang aktivitas yang sama,
yaitu sama-sama mengamati pengalaman empiris berbentuk perilaku copy paste.
Kedua, pendekatan interpretatif fenomenologis memestikan penulis
menciptakan dialog antara realitas empiris yang berwujud fenomena copy paste
dengan realitas rasional berupa teoretisasi tentang makna dan ekspektasi belajar.
Kemestian dialogis bertujuan untuk melahirkan sistesis sebagai sebuah simpulan
penelitian. Hal ini sesuai dengan landasan epistemologis dalam pilahan wilayah
pendekatan kualitatif, bahwa peneliti berkemestian menegosiasikan temuan dari
hasil proses penelitian dengan berbagai interpretasi dan asumsi rasional. Bahkan,
peneliti berpotensi untuk melakukan rasionalisasi terhadap temuan faktual
(Lincoln, 1985: 75).
Ketiga,
interpretasi
fenomenologis
memantaskan
penulis
untuk
merekonstruksi asumsi-asumsi yang muncul bersamaan dengan terjaringnya
temuan-temuan faktual dalam proses penelitian. Rekonstruksi bertujuan untuk
merenda serpihan fakta empiris menjadi sebuah rajutan pengertian. Pertimbangan
ini bersinergis dengan landasan aksiologis dalam pilahan wilayah pendekatan
kualitatif yang mengharuskan terlahirnya nilai-nilai kebermanfaatan dari sebuah
proses kerja ilmiah melalui upaya membangun realitas pemaknaan baru dari hasil
penelitian (Denzim, 1994: 17). Nilai kebermanfaatan yang hendak penulis bidani
melalui proses penelitian ini adalah, sebuah pembelajaran tentang dekonstruksi
makna kedirian manusia, sebagai mahasiswa dengan perilaku copy paste, yang
berpotensi memberangus kemaknaan masa depannya.
C. Setting Penelitian
Penelitian ini berlatar pada hasrat penulis untuk menyelami dan
mengungkapkan makna dan ekspektasi belajar di balik perilaku copy paste
mahasiswa IAIN Pontianak. Untuk pemenuhan hasrat itu, penulis berusaha
menggali informasi dari mahasiswa, yang saat penelitian ini berlangsung,
merupakan mahasiswa aktif dalam mata kuliah filsafat ilmu, metodologi penelitian
37
di fakultas Syari’ah dan Ekononomi Islam, mata kuliah filsafat ilmu, filsafat
pendidikan Islam di fakultas Tarbiyah dan Ilmu Kependidikan serta program
pascasarjana IAIN Pontianak. proses perkuliahan yang penulis sampaikan. Proses
penggalian dan pengumpulan informasi penulis lakukan di kelas di saat
perkuliahan berlangsung.
Untuk memenuhi kepentingan penggalian dan pengumpulan informasi,
penulis menciptakan suasa perkuliahan, dimana mahasiswa sama sekali tidak
menyadari bahwa mereka penulis posisikan sebagai subjek penelitian. Penciptaan
suasana perkuliahan berorientasi penelitian penulis awali dengan merancang
materi perkuliahan yang berpotensi membangkitkan kesadaran mahasiswa akan
makna dan urgensitas ‘belajar’. Dalam perkuliahan filsafat ilmu, penulis sajikan
materi tentang “stadia dan proses keberilmuan manusia.” Sementara, dalam
perkuliahan filsafat pendidikan Islam penulis sampaikan materi tentang
“kesejatian belajar dalam pendidikan.”
Kedua materi tersebut penulis rancang dalam bentuk aktivitas diskusi
dengan
memberikan
kebebasan
pada
mahasiswa
untuk
menyampaikan
pendapatnya tanpa menggunakan aturan formalitas diskusi. Pembebasan ini
penulis tujukan untuk memancing pernyataan-pernyataan spontan dari mahasiswa
yang menggambarkan ungkapan jujur dari kesadaran mental mereka. Pancingan
dimaksud penulis hamparkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang
bermuara pada fokus penelitian, terkait kesejatian pemaknaan dan ekpektasi
mahasiswa tentang belajar. Ungkapan jujur dari kesadaran mental mahasiswa
penulis gali dengan melemparkan “fenomena copy paste” yang menjadi trendy
dalam dunia belajar mahasiswa.
D. Prosedur dan Teknik Pengumpulan Data
Untuk kepentingan proses penjaringan dan pengumpulan data, guna
menjawab pernyataan-pertanyaan dan mengkaji fokus penelitian ini, penulis
menggunakan teknik wawancara mendalam dengan alat pengumpul datanya
berupa pedoman wawancara yang dilengkapi dengan recorder (alat perekam) dan
38
fieldnote (catatan lapangan). Urutan pertanyaan dalam pedoman wawancara
penulis sampaikan dengan menggunakan teknik snowball question (pertanyaan
yang bergulir seperti bola salju).
Dalam proses penjaringan data, teknik wawancara tidak penulis terapkan
pada orang perorang, sebagaimana umumnya pelaksanaan field research (penelitian
lapangan), namun penulis terapkan pada kelompok belajar saat perkuliahan
berlangsung. Hal ini penulis lakukan dengan pertimbangan, bahwa perilaku copy
paste yang menjadi pintu masuk bagi penulis untuk mendalami dan mengungkap
makna dan ekspektasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak, merupakan fenomena
sosial dan sudah bukan lagi berada dalam wilayah private (pribadi).
Teknik wawancara terhadap orang perorang penulis terapkan pada
beberapa orang dosen yang mengakui menemukan bukti adanya perilaku copy
paste yang dilakukan oleh mahasiswa dalam mengerjakan tugas perkuliahannya.
Wawancara ini penulis lakukan di tahap awal proses penjaringan data penelitian
guna menggali informasi tentang kepastian adanya perilaku copy paste di kalangan
mahasiswa IAIN Pontianak.
Sebelumnya, penulis juga menggunakan teknik dokumentasi namun tidak
menggunakan daftar check list sebagai alatnya, karena penulis hanya membutuhkan
kepastian akan adanya perilaku copy paste dan tidak bertujuan untuk
mengklasifikasikan perilakunya. Teknik dokumentasi penulis terapkan dengan
membaca tugas-tugas mahasiswa yang terindikasi copy paste, baik untuk
pemenuhan tugas mata kuliah yang penulis ampu, maupun tugas mata kuliah
ampuhan dosen lainnya.
E. Prosedur dan Teknik Analisis Data
Untuk kepentingan analisis data dalam penelitian ini penulis lakukan
dengan menggunakan teknik ‘reduksi’ yang dipahamkan oleh Edmund Husserl
(1859–1938), penggagas metode fenomenologi transendental. Teknik reduksi
merupakan perwujudan dari hasrat Husserl dalam himbauannya: “zu den sachen
selbst” (kembali kepada realitas yang sesungguhnya atau kembali pada sumber).
39
Dengan reduksi ia berharap, sebuah kajian terfokus pada penyelidikan tentang
Labenswelt (realitas kehidupan) atau Erlebnisse (realitas batiniah subjektif), tanpa
harus terjebak pada teoretisasi konseptual (Smith, 2009: 32).
Penggunaan teknik reduksi dalam penelitian ini penulis sandarkan pada
pertimbangan akan terpenuhinya komponen konseptual yang menjadi perwujudan
dari nilai kesadaran penulis. Komponen dimaksud adalah:
1.
Intentionalitas
Intensionalitas, atau dapat juga dimaknai sebagai keberhasratan, adalah
orientasi pikiran terhadap realitas sesuatu, yang menurut Husserl, bisa saja
berwujud realitas nyata atau tidak nyata. Realitas yang tidak nyata dapat berwujud
konsep tentang tanggung jawab, konsep tentang kesabaran, dan konsep tentang hal
lain yang bersifat abstrak, seperti ekspektasi atau pengharapan. Intensionalitas
sangat erat kaitannya dengan kesadaran dalam pengalaman seseorang, dimana
pengalaman tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: kesenangan, minat,
penilaian awal, dan harapan terhadap realitas tertentu (Husserl, 1960: 52).
Dalam penelitian ini, kompenen intensionalitas atau keberhasratan
terpenuhi pada penulis sebagai peneliti dan mahasiswa sebagai subjek yang diteliti.
Pada penulis, komponen intensionalitas berwujud keinginan untuk mengungkap
makna dan ekspektasi belajar bagi mahasiswa IAIN Pontianak yang tersembunyi di
balik perilaku copy paste. Sementara, komponen instensionalitas pada mahasiswa
berwujud ekspektasi mereka dalam menjalani proses belajar di IAIN Pontianak.
Keinginan penulis serta ekspektasi mahasiswa, merupakan dua bentuk realitas
yang bersifat abstrak dan memenuhi komponen intensionalitas dalam metode
fenomenologi.
2.
Noema dan Noesis
Noema atau noesis merupakan dua nilai yang melekat pada intensionalitas
atau keberhasratan seseorang terhadap realitas tertentu. Kedua nilai ini mampu
memaparkan secara jernih maksud di balik keberhasratan seseorang dalam
memahami realitas tertentu. Noema menjelaskan tentang nilai objektif, dan noesis
40
menjelaskan nilai subjektif, dari setiap pengalaman individu. Noema mengarah
pada sesuatu sebagai objek yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan,
walaupun sesuatu yang dipikirkan itu masih berada di alam ide. Sementara noesis
tertuju pada intended act (tindakan itu sendiri): melihat, mendengar, merasakan,
memikirkan (Smith, 2009: 49).
Nilai noema pada penulis sebagai peneliti berwujud objek kajian penelitian,
yaitu ekspektasi mahasiswa dalam menjalani proses belajar, dan nilai noesis nya
tampak pada aktivitas penulis dalam melakukan kajian berbentuk penelitian.
Sementara, nilai noema pada mahasiswa sebagai subjek yang penulis teliti, adalah
ekspektasi belajar yang mereka usahakan untuk dapat terwujud melalui aktivitas
belajar, dan nilai noesis nya adalah aktivitas belajar itu sendiri, termasuk perilaku
copy paste yang mereka lakukan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan
belajarnya.
3.
Intuisi
Intuisi adalah salah satu bentuk kesadaran mental yang berpotensi menjadi
energi bagi seseorang dalam kreativitas mewujudkan kehasratannya terhadap
sesuatu. Bagi Husserl, intuisi merupakan jalan yang menghubungkan antara noema
(nilai objektivitas pengalaman individu) dengan noesis (nilai subjektivitas
pengalaman individu), sehingga seseorang berpotensi memeroleh pengetahuan
tentang realitas sesuatu (Husserl, 1960: 56). Pemahaman Husserl ini dipengaruhi
oleh rasionalitas Rene Descartes (1596–1650) tentang intuisi sebagai kesadaran
mental dalam membedakan sekaligus mengeluarkan ‘genuine‘ (yang murni) dan
yang diperhatikan dari ‘the light of reason alone‘ (hanya alasan semata) (Smith, 2007:
54). Intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan.
Komponen ini terpenuhi dalam proses analisis data penelitian, dimana
penulis sebagai peneliti dan mahasiswa sebagai subjek yang diteliti, sama-sama
memiliki intuisi walau dalam orientasi dan kapasitas berbeda. Intuisi pada penulis
terbangun dalam kehasratan mengungkap makna dan ekspektasi belajar di
kalangan mahsiswa IAIN Pontianak di balik realitas perilaku copy paste. Sementara,
41
intuisi pada mahasiswa terkandung dalam ekspektasi belajar yang mereka
ekspresikan melalui aktivitas belajar.
4.
Intersubjektivitas
Intersubjektif mengandung makna hubungan antara dua atau lebih orang.
Istilah ini hadir sebagai sebuah bentuk penjelasan tentang realitas ‘tindakan’ dalam
pemaknaan sosial. Tindakan merupakan perilaku yang membentuk makna
subjektif, namun tidak dalam makna privat atau individualistis. Istilah subjektif
dalam realitas tindakan lebih ditujukan untuk menjelaskan peran masing-masing
individu dalam ruang sosial. Oleh karenanya, makna subjektif dipertautkan
dengan istilah intersubjektif karena mengandung common and shared (nilai
‘kesamaan’ sekaligus ‘kebersamaan’) (Husserl, 2005: 25).
Komponen intersubjektif tampak dalam relasi antara penulis sebagai
peneliti dengan mahasiswa sebagai subjek yang diteliti. Konsepsi ‘tindakan’ dalam
relasi ini berbentuk aktivitas penelitian, dimana penulis melakukan tindakan
meneliti dan mahasiswa melakukan tindakan berupa memberikan informasi.
Intersubjektif juga tampak dalam aktivitas belajar mahasiswa, yakni antara
mahasiswa yang melakukan tindakan belajar dengan dosen yang melakukan
tindakan mengajar.
Penerapan teknik reduksi dalam metode fenomenologi dimulai dengan
melakukan epoche (penundaan) pemaknaan dan penafsiran terhadap segala
informasi, baik yang termiliki oleh penulis sebagai peneliti, sebelum penelitian
dilakukan, maupun dari mahasiswa sebagai subjek penelitian yang diteliti.
Penundaan ditujukan untuk menjaga orisinalitas makna dalam kandungan
informasi guna mencapai esensi (kesejatian) makna sesuai dengan tema penelitian,
yaitu ekspektasi belajar di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak.
Epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: ‘menunda keputusan’ atau
“mengosongkan diri dari keyakinan tertentu.” Epoche juga mengandung makna
bracketing (pemberian tanda kurung) terhadap setiap informasi yang diperoleh dari
subjek penelitian, sebelum memberikan tafsiran tentang fenomena yang tampak,
42
sehingga fenomena tersebut tampil sebagai sebuah kesadaran natural tanpa
dipengaruhi oleh teoretisasi pemikiran peneliti. Bagi Husserl, epoche dibutuhkan
untuk menjaga makna di balik fenomena, agar tidak terkontaminasi oleh referensi
ontologis atau eksistensial objek kesadaran si pengamat (Husserl, 1960: 35). Epoche
ini lah yang merupakan kesejatian dari sistem kerja ‘reduksi’ sebagai teknik analisis
data.
Aplikasi metodis dari apa yang diistilahkan Husserl dengan epoche, tampak
pada penerapan reduksi sebagai teknik analisis data. Sesuai kandungan makna dan
hasrat dalam epoche, proses kerja analisis data dengan menggunakan teknik reduksi
teraplikasikan dalam tiga tahapan, yaitu:
a.
Reduksi Fenomenologis
Pada tahap fenomenologis, peneliti berkeharusan melakukan bracketing
(memberi tanda kurung) atau menyaring semua informasi terkait pengalaman,
dalam bentuk kesadaran empiris, dari subjek penelitian. Hal ini ditujukan agar
peneliti berkeleluasaan dalam menggali kesejatian fakta dibalik fenomena dan
menelusuri pengalaman subjek penelitian sebagai bentuk kesadaran empiris.
Syarat utama yang harus dipenuhi oleh peneliti untuk dapat melakukan aktivitas
reduksi fenomenologis adalah, melepaskan segala bentuk referensi ontologis dan
argumentasi keilmuan ketika proses reduksi berlangsung (Husserl, 1960: 75).
Aplikasi reduksi fenomenologis dalam proses analisis data penelitian ini
adalah, penulis melakukan penyaringan terhadap data informatif tentang: makna
belajar, orientasi belajar, dan alasan yang melatari perilaku copy paste mahasiswa di
lingkungan IAIN Pontianak. Upaya ini bertujuan untuk memurnikan kesejatian
makna
ekspektasi
belajar
sebagai
wujud kesadaran
empiris
agar
tidak
terkontaminasi oleh teoretisasi tentang makna dan orientasi belajar serta
rasionalisasi perilaku copy paste.
b.
Reduksi Eiditis
Tahapan reduksi eiditis bertujuan untuk menemukan dan memperoleh
kesejatian atau hakikat di balik fenomena. Analisis data pada tahap reduksi eiditis
43
berisi aktivitas: pertama, menyisihkan segala bentuk ungkapan, pendapat serta
pemikiran substansial dan aksidental (yang tidak hakiki); Kedua, memisahkan
makna esensial (yang hakiki) tentang kesadaran mental empiris subjek penelitian
dari segala hal yang substansial dan aksidental. Dengan demikian, kesadaran
mental empiris tersebut akan mengungkapkan dirinya sendiri sebagai intuisi
tentang wesenserchuung (kesejatian makna) (Husserl, 1960: 80).
Dalam penelitian ini, reduksi eiditis penulis lakukan dengan menyisihkan
berbagai bentuk ungkapan, pendapat serta pemikiran, baik yang termiliki oleh
penulis sebagai peneliti maupun oleh mahasiswa sebagai subjek penelitian, tentang
makna dan orientasi belajar. Selanjutnya, ungkapan, pendapat dan pemikiran
tersebut penulis buang dengan harapan kesejatian makna belajar, berupa
ekspektasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak, hadir pada penulis dalam paparan
tentang argumentasi empiris di balik perilaku copy paste yang mereka lakukan
sebagai bentuk kesejatian dari kesadaran mental.
c.
Reduksi Transendental
Reduksi transendental merupakan tahap terakhir dalam proses analisis
data. Tahap ini berisikan aktivitas memilah kesejatian atau hakikat yang masih
empiris dengan kesejatian atau hakikat yang murni. Kesejatian yang empiris itu
kemudian disaring hingga tersisa kesadaran dalam aktivitas yang berwujud
erlabnisse (kesadaran murni). Erlabnisse (kesadaran murni) merupakan wilayah
kerja bagi peneliti dalam mengkonstruksi obyek penelitian sehingga terpisah dari
kesadaran empiris.
Pada fase transendental, subjek penelitian hadir dalam aktivitas mengalami
dirinya sendiri, sehingga kebenaran yang dicapai adalah keselarasan antara apa
yang dilihat, dipikirkan serta dialaminya sesuai dengan makna yang ia
konstruksikan dan sajikan sebagai tatanan substansial. Istilah transendental sendiri
mengandung penjelasan, bahwa dalam proses kerja reduksi, ego nya subjek
penelitian mampu menemukan kemaknaan akan dirinya melalui objek dalam
aktivitas empiris yang menjadikan dirinya ada (Husserl, 1960: 96).
44
Dalam proses penelitian, tujuan utama dari reduksi transendental adalah
untuk menemukan dan menghadirkan subyek secara murni. Untuk mendapatkan
kemurnian serta kejernihan data, peneliti dimungkinkan melakukan klarifikasi
terhadap data yang telah berhasil dihimpun dengan berbagai informasi dari
sumber lain di luar data terhimpun (triangulation atau investigator triangulation).
Aplikasi reduksi transendental dalam proses analisis data penelitian penulis
lakukan dengan memisahkan berbagai realitas dan aktivitas empiris penulis
sebagai peneliti dari kesadaran murni mahasiswa sebagai subjek penelitian yang
terungkap melalui pengakuan tentang realitas di balik perilaku copy paste. Realitas
dimaksud dengan sendirinya akan mengungkapkan kemaknaan sejati tentang
ekspektasi belajar mahasiswa di lingkungan IAIN Pontianak. Hal ini lah yang
dipahamkan oleh Husserl: “zu den sachen selbst” (kembali kepada realitas yang
sesungguhnya atau kembali pada sumber).
45
BAB IV
EKSPEKTASI BELAJAR MAHASISWA IAIN PONTIANAK
DI BALIK FENOMENA COPY PASTE
A. Realitas Pembelajaran di Lingkungan IAIN Pontianak
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak adalah satu-satu nya
perguruan tinggi negeri berbasis Islam yang ada di provinsi Kalimantan Barat.
Keberadaannya di tengah masyarakat seakan menjadi garda terdepan dalam
memainkan peran peningkatan kualitas ummat Islam di Kalimantan Barat. Sebagai
perguruan tinggi berbasis Islam, IAIN Pontianak memainkan dua peran penting,
yaitu: peran lembaga dakwah dan peran lembaga pendidikan.
Peran sebagai lembaga dakwah terbebani di pundak IAIN Pontianak yang
menggunakan lebel ‘Islam’ dalam deretan namanya, sehingga program apapun
yang dirancang dan dilaksanakan oleh pihak IAIN Pontianak harus mampu
mewujudkan core virtues (nilai inti) dari agama Islam. Sementara, peran lembaga
pendidikan, sebgai peran utama IAIN Pontianak, teraplikasi pada program
pendidikan yang dirancang dalam strata kependidikan, mulai dari S.1 hingga S.2.
Sejak berstatus menjadi institut pada 30 Juli 2013, yang ditetapkan melalui
Peraturan Presiden RI, Nomor: 53, Tahun 2013, IAIN Pontianak memiliki 3 fakultas
dengan 11 jurusan. Ketiga fakultas tersebut adalah:
1.
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK), dengan 4 jurusan, yaitu:
a. Pendidikan Agama Islam (PAI);
b. Pendidikan Bahasa Arab (PBA);
c. Pendidikan Guru Raudhatul Athfal (PGRA); dan,
d. Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI).
2.
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam (FSEI), dengan 4 jurusan, yaitu:
a. Mu’amalah;
b. Ekonomi Islam;
c. Perbankan Syari’ah; dan,
d. Ahwal Al-Syakhsiyyah.
46
3.
Fakulas Ushuluddin dan Dakwah, dengan 3 jurusan, yaitu:
a. Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI);
b. Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI);
c. Manajemen Dakwah; dan,
d. Ilmu al Quran dan Tafsir.
Wujud aplikasi peran sebagai lembaga pendidikan juga tampak dalam
penataan bidang ketenagaan yang terkait dengan kebutuhan peningkatan kualitas
layanan kependidikan, dimna IAIN Pontianak memberikan kesempatan kepada
seluruh dosennya untuk meningkatkan kualitas diri melalui jalur pelanjutan studi.
Kesempatan ini dipergunakan oleh beberapa dosen IAIN Pontianak dengan
melanjutkan studi ke jenjang strata tiga (S.3). Hingga penelitian ini penulis lakukan,
IAIN Pontianak telah memiliki tenaga dosen sebanyak 106 Orang, dengan
kualivikasi strata pendidikan sebagai berikut:
1.
Strata Tiga (S.3) sebanyak 27 orang.
2.
Strata Dua (S.2) sebanyak 79 orang.
Untuk menunjang proses pelaksanaan pendidikan, IAIN Pontianak juga
melakukan pembenahan, dalam arti memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana:
lokal kuliah beserta kelengkapan lainnya, seperti LCD projector; ruang laboratorium
untuk kepentingan pelaksanaan praktikum. Hingga penelitian ini penulis lakukan,
IAIN Pontianak telah memiliki 31 buah lokal yang hanya digunakan untuk
pelaksanaan perkuliahan. Dari 31 lokal kuliah tersebut, 21 lokal di antaranya
dilengkapi dengan prasarana yang sangat erat kaitan penggunaannya untuk
kepentingan pelaksanaan perkuliahan, yaitu LCD projector. Saat penelitian ini
penulis lakukan, terdapat 10 buah LCD projector yang sudah tidak layak pakai,
karena pancaran lumen nya tidak lagi normal.
IAIN Pontianak juga memiliki ruang laboratorium yang disediakan untuk
pelaksanaan kegiatan praktikum. FTIK memiliki 1 ruang laboratorium untuk
pelaksanaan kegiatan micro teaching. FSEI memiliki 2 ruang laboratorium, 1 ruang
laboratorium micro syari’ah, dan 1 ruang laboratorium peradilan semu. Sementara,
FUAD memiliki 3 ruang laboratorium: 1 ruang laboratorium konseling, 1 ruang
47
laboratorium komunikasi audio (radio) bernama radio PROKOM, 1 ruang
laboratorium komunikasi visual (televisi) bernama TV IAIN Pontianak, dan 1
ruang laboratorium fotografi.
Selain laboratorium yang melekat dan dikelola fakultas dan jurusan
tersebut, IAIN Pontianak juga memiliki ruang laboratorium yang dikelola langsung
oleh pihak IAIN Pontianak, yaitu laboratorium bahasa yang dikelola oleh unit Balai
Bahasa. Laboratorium Bahasa ini idealnya harus dapat dimanfaatkan secara
maksimal guna meningkatan kemampuan berbahasa bagi civitas akademika IAIN
Pontianak.
Upaya untuk meningkatkan kualitas akademik bagi para dosen juga
difasilitasi oleh pihak IAIN Pontianak dengan menyediakan kesempatan untuk
melakukan aktivitas penelitian, pengabdian masyarakat serta penulisan buku
literatur dan buku ajar. Kegiatan ini dikelola oleh Unit Pelaksana Tugas (UPT),
yaitu unit Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M).
Untuk kepentingan dan kelancaran proses pembelajaran serta aktivitas
penulisan, IAIN Pontianak juga memfasilitasi dosen dan mahasiswanya dengan
penyediaan jaringan internet. Fasilitas ini dapat digunakan oleh civitas akademika
selama 24 jam guna mengakses informasi terkini yang terkait dengan kepentingan
perkuliahan dan penulisan karya ilmiah. Dengan ketersediaan internet diharapkan
civitas akademika tidak terkendala dalam upayanya mencari rujukan literatur yang
mereka butuhkan.
Pada bagian lain, IAIN Pontianak juga memperhatikan profesionalitas
lulusan yang hendak dilahirkan. Untuk kepentingan ini, IAIN Pontianak
merancang kurikulum yang berisikan tebaran mata kuliah sesuai dengan
kebutuhan profesionalitas kejurusan masing-masing fakultas. Mata kuliah yang
ditawarkan di setiap jurusan tentunya sudah dipridiksi oleh pihak pengelola
kependidikan IAIN Pontianak, mampu membekali mahasiswa meraih nilai
keprofesionalitasannya.
Dari sekian banyak mata kuliah yang ditawarkan di IAIN Pontianak, mata
kuliah terdapat tiga mata kuliah yang dipercayakan kepada penulis untuk
mengampunya, yaitu: Filsafat Ilmu (2 SKS), Filsafat Pendidikan Islam (2 SKS), dan
48
Metodologi Penelitian (2 SKS). Ketiga mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang
wajib diprogramkan oleh mahasiswa IAIN Pontianak. Mata kuliah filsafat ilmu dan
metodologi penelitian wajib bagi mahasiswa di seluruh jurusan. Sementara, mata
kuliah filsafat pendidikan Islam hanya wajib bagi mahasiswa di lingkungan FTIK,
termasuk mahasiswa pascasarjana.
Ketiga mata kuliah tersebut dipercayakan pada penulis mengampunya di:
jurusan PAI, PBA, PGRA, dan pascasarjana untuk mata kuliah filsafat pendidikan
Islam; di jurusan ekonomi Islam, perbankan syari’ah, mu’amalah, ahwal alsyakhsiyyah, PBA, PGRA, BKI, KPI untuk mata kuliah filsafat ilmu; dan di jurusan
mu’amalah untuk mata kuliah metodologi penelitian. Dari ketiga mata kuliah ini
lah penulis masuk ke dalam alam fenomena copy paste guna menggali kesejatian
makna belajar bagi mahasiswa di lingkungan IAIN Pontianak.
B. Asumsi Pengantar ke Proses Penelitian
Untuk masuk ke dalam aktivitas penelitian melalui proses perkuliahan,
penulis merancang materi yang berpotensi memfasilitasi penulis untuk melakukan
wawancara
tanpa
disadari
oleh
mahasiswa
sebagai
subjek
penelitian.
Perancanngan materi dimaksud penulis tujukan untuk membuka kesadaran mental
mahasiswa agar mereka mau secara jujur dan terbuka berdialog dengan penulis
sebagai peneliti.
Rancangan materi yang penulis jadikan pintu masuk untuk melakukan
proses wawancara dalam pelaksanaan perkuliahan ketiga mata kuliah tersebut
adalah:
1.
Peran pengalaman dalam proses terbentuknya ilmu pengetahuan.
2.
Kesejatian belajar dalam proses pendidikan.
3.
Stadia berpikir ilmiah.
Rancangan materi “peran pengalaman dalam proses terbentuknya ilmu
pengetahuan,” berisikan penjelasan tentang eksistensi pengalaman sebagai muatan
utama dalam belajar. Paparan materi ini penulis awali dengan menjelaskan, bahwa
pengalaman manusia terlahir dari hasil proses interaksi masing-masing individu
49
dengan segala bentuk realitas di luar dirinya. Pengalaman tersebut senantiasa
berulang sejalan dengan berulangnya proses interaksi. Berulangnya pengalaman
itu lah yang merangsang kesejatian manusia sebagai homo rationale (makhluk
berpikir) untuk berpikir secara intensif. Hasil berpikir intensif terhadap
pengalaman kemudian melahirkan common sense (pengetahuan sederhana).
Kesejatian berpikir manusia terus terangsang untuk kemudian memikirkan
secara intensif keberadaan common sense, hingga terbentuknya pengetahuan.
Pengetahuan itu kemudian disistemisasikan dan dimetodiskan oleh daya kerja
pikir manusia yang berakhir pada terlahirnya ilmu pengetahuan. Oleh karenanya,
secara sederhana ilmu pengetahuan biasa dimaknai sebagai pengetahuan yang
disistemisasikan dan dimetodiskan.
Aktivitas ini dalam proses gerak perubahan serta pelahirannya – dari
pengalaman, common sense, pengetahuan, dan terakhir ilmu pengetahuan – adalah
‘belajar’. Artinya, ‘belajar’ merupakan kesejatian manusia yang senantiasa bergerak
dalam proses pemenuhan kebutuhan hidupnya. Berhenti belajar berarti berhenti
berproses dalam kehidupan. Berhenti berproses sama saja artinya dengan
mengingkari kesejatian hidup, dan tentunya hal ini berkonsekwensi pada
penyamaan eksistensi kederajatan manusia dengan hewan dan tetumbuhan, yang
dalam kehidupan hanya bersifat statis dan memainkan peran mengisi ruang dan
waktu.
Dari penjelasan materi tersebut, penulis kemudian mengajukan pertanyaan
yang berpotensi menggiring ke arah proses wawancara, sesuai dengan rancangan
pertanyaan penelitian. Pertanyaan dimaksud adalah: “Aktivitas apakah yang
membedakan antara kita sebagai manusia dengan hewan dan tetumbuhan?”
Senyatanya, pertanyaan ini berusaha membangkitkan kesadaran mahasiswa
tentang peran belajar sebagai kesejatian aktivitas hidup manusia. Kesadaran
dimaksud penulis butuhkan untuk menggali ungkapan murni dari mahasiswa,
terkait makna belajar bagi mereka.
Berikutnya, rancangan materi “kesejatian belajar dalam proses pendidikan,”
penulis jadikan sebagai sarana untuk mengkonstruksi kesadaran mental
mahasiswa tentang kemestian belajar. Kesejatian belajar penulis paparkan dalam
50
ruang kajian tentang pendidikan. Penulis menggunakan pemikiran Aristoteles
(384-322 SM.), education is self realization, untuk memahamkan akan pentingnya
pendidikan bagi pengembangan potensi kedirian manusia.
Untuk dapat menjalani proses realisasi diri, manusia berkemestian
mengenal
dirinya
sebagai
makhluk
dimensional
yang
memiliki
potensi
berkembang. Pengenalan akan diri menjadi sangat penting karena ia merupakan
pintu masuk utama dalam bangunan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, diri
adalah awal dari segalanya, diri lah yang berinteraksi, diri lah yang mengalami dan
diri lah yang senantiasa berpikir.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memfasilitasi peserta
didiknya untuk dapat mengembangkan potensi diri melalui proses belajar
mengenal diri. Sementara, proses belajar berisikan aktivitas mengalami segala hal,
yang diawali dengan mengalami kesejatian diri sebagai homo rationale (makhluk
berpikir) makhluk yang senantiasa berpikir. Melalui proses mengalami kesejatian
diri ini lah manusia berkesempatan untuk mengembangkan potensi yang secara
natural mereka miliki.
Paparan materi tersebut, penulis jadikan pintu masuk memulai proses
wawancara dengan mahasiswa di kelas. Penulis mengajukan pertanyaan:
“Harapan apa yang layak dimiliki oleh setiap orang yang belajar?” Pertanyaan ini
berisikan motivasi untuk menyadarkan mahasiswa tentang manfaat belajar bagi
mereka dalam menjalani proses kehidupan. Bentuk kesadaran dimaksud penulis
butuhkan untuk menggali ungkapan murni dari mahasiswa, terkait orientasi
belajar mereka.
Rancangan materi “stadia berpikir ilmiah,” penulis perikan dalam
perkuliahan sebagai sarana untuk memancing kesadaran mental berbentuk
kejujuran dalam memaparkan perilaku copy paste, baik cara, bentuk, dan yang
terpenting, alasan mereka melakukannya. Informasi ini penulis butuhkan untuk
mengkonstruksikan keterkaitan antara perilaku copy paste di kalangan mahasiswa
IAIN Pontianak dengan pemaknaan mereka tentang belajar. Selanjutnya, hasil
konstruksi tersebut penulis jadikan bahan dan dasar dalam menginterpretasikan
kesejatian ekspektasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak.
51
Paparan materi “stadia berpikir ilmiah” penulis sajikan dengan menjelaskan
terlebih dahulu kesejatian manusia sebagai homo rationale (makhluk rasional).
Berikutnya, penulis menjelaskan tentang peran berpikir sebagai aktivitas yang
mengukuhkan eksistensi (keberadaan) manusia, sebagaimana pernyataan René
Descartes: “je pense donc je suis” atau “cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada)
(Descartes, 1941: 47).
Untuk membangun pemahaman tentang makna dan peran berpikir, penulis
mensistemisasikan penjelasan dengan menggunakan stadia aktivitas kognitif.
Stadia dimaksud adalah: experiencing – knowing – trying – associating – evaluating.
Aktivitas kognitif ini bersifat natural dan pasti dialami oleh setiap individu yang
menjalani aktivitas berpikir. Dari aktivitas kognitif ini lah proses dan alur kerja
berpikir ilmiah disistemisasikan oleh penyusun kebijakan pendidikan menjadi
aktivitas belajar berbasis scientific (keilmuan/ilmiah) yang berisikan tindakan:
observing – questioning – experimenting – associating – networking – to creat.
Obrserving merupakan tindakan mengidentifikasi objek yang ingin
diketahui melalui aktivitas: menyimak – membaca – melihat – mendengar, dengan
atau tanpa menggunakan alat tertentu. Sejatinya, tindakan observing mampu
merangsang hasrat keingintahuan yang berwujud questioning. Stadia quetioning
adalah tindakan bertanya tentang segala hal untuk mendapatkan informasi guna
menyusun tatanan pemahaman tentang objek yang diamati, atau untuk klarifikasi
informasi. Di dalamnya terkandung aktivitas menyusun pertanyaan, baik lisan
maupun tulisan.
Jawaban yang diperoleh dari hasil melakukan tindakan questioning menjadi
dasar untuk melangkah ke stadia selanjutnya, yaitu experimenting. Stadia
experimenting terwujud dalam tindakan melakukan percobaan tentang objek
tertentu. Tindakan experimenting berisikan aktivitas: mengeksplorasi, mencoba, dan
mendemonstrasikan. Kelanjutan dari tindakan experimenting adalah associating,
yaitu: mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik dari hasil observing dan
experimenting. Olahan informasi tersebut kemudian dianalisis dan dikumpulkan
dalam bentuk kategori infromasi guna disinergiskan dengan fenomena/informasi
yang terkait agar ditemukan suatu pola tertentu sebagai sebuah simpulan.
52
Simpulan dari stadia associating selanjutnya dikomunikasikan dalam stadia
networking, yaitu: tindakan menyampaikan hasil pengamatan berbentuk paparan
simpulan analisis baik secara lisan, tulisan maupun media lainnya. Dari stadia
networking ini lah kemudian aktivitas belajar berbasis scientific (keilmuan/ilmiah)
memungkinkan manusia yang belajar berpotensi menciptakan hal baru.
Setelah materi tentang “stadia berpikir ilmiah” penulis paparkan dalam
ruang perkuliahan, penulis kemudian mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa:
“dari keenam stadia belajar, sebagai aktivitas berpikir ilmiah tersebut, bagian atau
tahapan apakah yang biasa kita abaikan?” Pertanyaan ini penulis tujukan untuk
membangkitkan kesadaran mahasiswa, dalam wujud kejujuran mengakui tindakan
copy paste yang telah mereka lakukan, berikut bentuk dan argumen empiris yang
melatarinya.
C. Makna Belajar bagi Mahasiswa di Lingkungan IAIN Pontianak
Untuk mengetahui sekaligus mengukur tingkat dan bentuk pemahaman
seseorang, dapat dilihat dari pemaknaan mereka dalam bentuk penjelasan tentang
suatu tema atau pengertian sesuatu. Hal ini merupakan idealitas dari sebuah
bangunan pemikiran, bahwa setiap perkataan, prilaku dan termasuk kebijakan,
sejatinya bermula dari pikiran, karena segala bentuk ekspresi dalam kehidupan
manusia bersumber dari apa yang mereka pikirkan (Achmad, 2013: 68). Demikian
pula hal nya dengan berbagai aktivitas belajar mahasiswa, idealnya bersumber dari
pemahaman dan pemaknaan mereka tentang belajar.
Banyak hal yang dapat memengaruhi seseorang dalam mengungkapkan
pemaknaannya tentang sesuatu. Demikian pula pemaknaan mahasiswa tentang
belajar, yang besar kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti:
1.
Pengetahuan yang mereka peroleh dari hasil membaca, mendengar
penjelasan teoretis dari guru atau dosen;
2.
Gambaran tentang hidup masa depan;
3.
Pergaulan di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah atau kampus, dan
lingkungan masyarakat;
53
Ketiga kemungkinan tersebut berpotensi memengaruhi jawaban mahasiswa
IAIN Pontianak jika mereka ditanya tentang makna belajar. Dari tiga kemungkinan
di atas akan muncul tiga bentuk kemungkinan jawaban, yaitu:
1.
Menurut teori atau pendapat, belajar adalah ....
2.
Belajar adalah untuk ....
3.
Belajar itu adalah ....
Kemungkinan
jawaban
pertama
menggambarkan
adanya
pengaruh
pengetahuan teoretis. Kemungkinan jawaban kedua dipengaruhi oleh abstraksi
harapan masa depan. Sementara kemungkinan ketiga dipengaruhi oleh asumsiasum pengalaman praktis dalam aktivitas pergaulan keseharian. Ketiga bentuk
jawaban ini penulis asumsikan sebagai jawaban-jawaban yang akan muncul ketika
proses wawancara terhadap mahasiswa penulis lakukan.
Untuk kepentingan mengungkap pemaknaan belajar bagi mahasiswa,
penulis mengajukan pertanyaan awal: “Aktivitas apakah yang membedakan antara
kita sebagai manusia dengan hewan dan tetumbuhan?” (Ww.: 03–04–05–06–07–
16/08/2015). Pertanyaan ini mengundang kehadiran jawaban yang seragam.
Keseluruhan mahasiswa di 15 kelas yang penulis ajar menyatakan, bahwa aktivitas
yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain adalah ‘berpikir’.
Jawaban mahasiswa tersebut kemudian penulis tindaklanjuti dengan
mengajukan pertanyaan: “mengapa manusia berpikir?” (Ww.: 03–04–05–06–07–
16/08/2015). Pertanyaan ini mendapatkan jawaban beragam dari mahasiswa.
Jawaban-jawaban yang disampaikan mahasiswa adalah:
1.
Karena manusia memiliki akal.
2.
Karena manusia makhluk rasional.
3.
Karena manusia ingin tahu.
4.
Karena manusia harus memenuhi kebutuhan hidupnya, dan untuk itu
manusia harus berpikir bagaimana caranya.
Dari keempat jenis jawaban yang disampaikan oleh mahasiswa tersebut,
hanya jawaban nomor 4 yang menurut penulis lebih dominan muncul dari
kesadaran mental empiris daripada kesadaran mental teoretis rasional. Oleh itu,
jawaban nomor 4 lah yang penulis jadikan sebagai dasar untuk mengajukan
54
pertanyaan berikutnya. Pertanyaan dimaksud adalah: “berpikir yang bagaimana
yang semestinya dilakukan oleh manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya?” (Ww.: 03–04–05–06–07–16/08/2015).
Pertanyaan tersebut mendapat jawaban yang beragam dari keseluruhan
mahasiswa yang penulis jadikan sebagai subjek penelitian. Menurut mahasiswa,
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berpikir:
1.
Sesuai dengan apa yang dibutuhkan.
2.
Tentang hal-hal yang nyata saja.
3.
Kreatif.
4.
Teratur.
5.
Memulai dari dirinya.
Kelima jawaban tersebut lebih menggambarkan dominasi kesadaran mental
empiris daripada kesadaran mental rasional. Dari kelima jawaban itu penulis
kemudian merumuskan pertanyaan lanjutan: “proses apakah yang semestinya
dilakukan untuk bisa berpikir tentang apa yang dapat memenuhi kebutuhan
hidup, secara teratur dan kreatif?” (Ww.: 03–04–05–06–07–16/08/2015). Pertanyaan
ini melahirkan jawaban yang seragam. Mahasiswa di 15 kelas perkuliahan
memberikan jawaban, bahwa yang semestinya dilakukan oleh manusia adalah
‘belajar’.
Berdasarkan jawaban tersebut, selanjutnya penulis mengajukan pertanyaan
yang menuntut pernyataan kesadaran mental empiris mahasiswa, yaitu:
“berdasarkan pengalamaan hidup anda, apa yang anda pahami tentang belajar?”
(Ww.: 03–04–05–06–07–16/08/2015). Pertanyaan ini memunculkan jawaban yang
sangat beragam dari mahasiswa yang berada di 15 kelas perkuliahan. Menurut
mahasiswa, belajar adalah:
1.
Proses mendewasakan diri melalui pendidikan formal.
2.
Upaya untuk mengerti dan mendalami ilmu pengetahuan tertentu.
3.
Proses untuk memiliki ilmu pengetahuan.
4.
Proses berpikir tentang kehidupan.
5.
Proses menemukan jati diri.
6.
Proses mempersiapkan masa depan dengan menguasai ilmu pengetahuan.
55
7.
Berusaha untuk terampil dalam mempersiapkan kehidupan masa depan.
8.
Usaha untuk menjadi pintar.
9.
Upaya untuk mampu menghadapi tantangan hidup.
10. Proses berpikir kreatif.
Dari kesemua jawaban yang telah disampaikan oleh mahasiswa, penulis
menangkap gambaran tentang adanya kesadaran mental empiris dan juga
kesadaran mental rasional. Kesadaran mental empiris tampak pada jawaban nomor
3, 4, 5, dan 8. Sementara, jawaban nomor 1, 2, 6, 7, 9, dan 10 cenderung
menggambarkan ungkapan kesadaran mental rasional. Perbedaan kedua bentuk
kesadaran tersebut terlihat dari kata-kata atau istilah yang digunakan. Kata-kata
atau istilah yang menggambarkan kesadaran mental empiris lebih berbentuk
celetukan tanpa melalui proses berpikir serius dan teratur. Sementara, kata-kata
atau istilah dari kesadaran mental rasional lebih menggambarkan hasil berpikir
serius dan teratur, seperti untaian kalimat dalam literatur.
Memperhatikan jawaban mahasiswa tersebut di atas, penulis menarik
simpulan sementara, bahwa makna belajar bagi mahasiswa di lingkungan IAIN
Pontianak masih dipengaruhi oleh teoretisasi rasional, sehingga kesadaran mental
rasional mereka cenderung lebih dominan dalam menjalani proses belajarnya.
Dengan demikian, sebagian dari mahasiswa IAIN Pontianak masih belum memiliki
kesadaran mental empiris dalam belajar.
D. Orientasi Belajar Mahasiswa IAIN Pontianak
Dalam melaksanakan suatu kegiatan, setiap orang pasti dipengaruhi oleh
faktor-faktor tertentu, semisal orentasi atau tujuan yang hendak ia capai. Demikian
pula dengan mahasiswa di lingkungan IAIN Pontianak yang melakukan aktivitas
belajar
saat
menjalani
proses
perkuliahan.
Kemungkinan
terbesar
yang
mempengaruhi aktivitas belajar mereka adalah, orientasi dan tujuan mereka
belajar.
Orientasi dan tujuan belajar merupakan gambaran tentang ekspektasi
seseorang dalam melaksanakan serta menjalani sebuah proses tertentu. Oleh
56
karenanya, untuk mengetahui ekpektasi belajar mahasiswa di lingkungan IAIN
Pontianak, penulis merancang beberapa pertanyaan. Pada tahap awal, penulis
mengajukan pertanyaan: “mengapa dan untuk apa anda kuliah, padahal bisa saja
anda mencari kerja atau melakukan aktivitas lain yang tidak menyibukkan anda
dengan kegiatan perkuliahan, seperti belajar di kelas dan mengerjakan tugas?”
(Ww.: 06–07–08–09–10–11/09/2015).
Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh mahasiswa dengan jawaban yang
beragam. Menurut penuturannya, orientasi dan tujuan mereka kuliah adalah:
1.
Untuk mendalami ilmu yang bersumber dari ajaran Islam.
2.
Menjalani perintah agama, karena belajar diwajibkan dalam al-Quran.
3.
Ingin menjadi sarjana muslim yang profesional.
4.
Agar mudah mencari pekerjaan:
a. Menjadi guru (mahasiswa FTIK)
b. Meningkatkan
profesionalitas
diri
dalam
menjalankan
tugas
kependidikan (mahasiswa pascasarjana)
c. Menjadi wirausahawan/menjadi pegawai bank/menjadi pegawai
kementerian agama/menjadi hakim (mahasiswa FSEI)
d. Menjadi konselor/menjadi wartawan/menjadi jurnalis (mahasiswa
FUAD).
5.
Agar bermanfaat bagi masyarakat.
6.
Menjadi sarjana agar bisa menjadi kebanggaan orang tua.
7.
Memenuhi keinginan orang tua.
Ketujuh jenis jawaban tersebut dapat penulis petakan menjadi dua
kelompok, sesuai dengan jenis kesadaran yang melatarinya. Jawaban nomor 1, 2, 3,
dan 5 menggambarkan ungkapan kesadaran mental empiris tentang ekspektasi
belajar mahasiswa di kalangan IAIN Pontianak. Jawaban-jawaban tersebut
terungkap sebagai gambaran dari apa yang dialami mahasiswa dalam menjalani
proses belajar sebagai bagian aktivitas kehidupannya. Keempat jawaban itu tampak
terbebas dari teoretisasi dan rasionalisasi pengalaman, dan sangat mungkin
dipengaruhi oleh atmosfir pengalaman hidupnya.
57
Selanjutnya, jawaban 4, 6, dan 7, senyatanya menggambarkan ungkapan
kesadaran mental rasional, ditandai dengan penggunaan istilah yang sangat akrab
dengan rasionalitas teoretis. Jawaban yang terungkap dari ruang kesadaran mental
rasional tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh asupan pemikiran yang
diperoleh mahasiswa dalam pelaksanaan proses perkuliahan.
Dari
keseluruhan
jawaban
mahasiswa
tersebut,
penulis
kemudian
mengajukan pertanyaan yang dapat mengungkapkan keseriusan tujuan dan
orientasi belajar mereka. Pertanyaan dimaksud adalah: “apa yang anda lakukan
untuk mewujudkan tujuan dan orientasi kuliah atau belajar anda?” (Ww.: 06–07–
08–09–10–11/09/2015). Pertanyaan ini mendapatkan jawaban-jawaban sebagai
berikut:
1.
Belajar dengan sungguh-sungguh.
2.
Memperbaiki diri.
3.
Menguasai ilmu yang dipelajari.
4.
Membuat skala prioritas.
Kebenaran dari keempat jenis jawaban itu hanya dapat tergambar dalam
ungkapan jawaban mahasiswa terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang perilaku
copy paste. Namun keempat jawaban di atas, walau menggambarkan ungkapan
kesadaran mental rasional, tetap saja bermuatan ekspektasi mahasiswa terhadap
aktivitas mereka dalam menjalani proses belajar. Ungkapan ini sejatinya
menggambarkan apa dan bagaimana mereka memahami dan memaknai belajar
sebagai sebuah kemestian status mahasiswa yang mereka sandang.
E. Perilaku Copy Paste di Ligkungan Mahasiswa IAIN Pontianak
Sebagaimana penulis paparkan pada bagian sebelumnya, bahwa untuk
memaknai benar dan tidaknya jawaban yang disampaikan mahasiswa tentang
usaha mereka dalam mewujudkan tujuan dan orientasi belajarnya, dapat dideteksi
dari paparan jawaban mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan penulis tentang
perilaku copy paste. Pertanyaan tentang perilaku copy paste merupakan pintu
58
masuk bagi penulis untuk mengungkap dan mengetahui makna dan ekspektasi
belajar mahasiswa IAIN Pontianak.
Untuk mengungkap pemaknaan, bentuk dan sebab yang melatari perilaku
copy paste mahasiswa di lingkungan IAIN Pontianak, penulis mengajukan
pertanyaan awal sebagai berikut: “menurut anda, copy paste itu apa?” (Ww.: 01–02–
04–05–06–07/10/2015). Pertanyaan ini mendapatkan jawaban beragam dari
mahasiswa sesuai dengan pemahaman dan pengetahuan mereka. Jawaban-jawaban
tersebut adalah:
1.
Copy paste itu menjiplak karya orang lain.
2.
Copy paste adalah mengopi tulisan orang lain yang ada di internet.
3.
Copy paste adalah mengedit tulisan yang diambil dari internet.
4.
Copy paste adalah menyalin tulisan orang lain, baik dari buku maupun dari
internet.
Keempat jawaban di atas jelas memiliki kesenadaan pengertian dan
pemahaman tentang copy paste. Dari jawaban mahasiswa ini kemudian penulis
mengajukan pertanyaan berikutnya, yaitu: “selama melakukan aktivitas belajar
dalam proses perkuliahan, apakah anda pernah melakukan tindakan copy paste?”
(Ww.: 01–02–04–05–06–07/10/2015). Pertanyaan ini dijawab secara serempak dan
cepat tanpa menunggu proses berpikir rumit, dengan jawaban sama oleh
mahasiswa di 15 kelas yang penulis wawancarai, yaitu: ‘pernah’. Jawaban spontan
dari mahasiswa senyatanya menggambarkan sebuah ungkapan kesadaran mental
empiris sekaligus merupakan bentuk kesadaran murni.
Memperhatikan gaya mahasiswa mengungkapkan jawabannya yang
spontan dan santai, seakan tak ada beban moral mereka melakukan tindakan copy
paste, penulis menangkap adanya fakta bahwa tindakan copy paste yang mereka
lakukan tidak hanya sesekali namun sering. Untuk memastikan fakta tersebut,
penulis kemudian mengajukan pertanyaan: “jika kita menggunakan rentang
persentase 10% hingga 100%, berapa persen kah kita sudah melakukan copy paste?”
(Ww.: 01–02–04–05–06–07/10/2015).
Pertanyaan tersebut penulis ajukan bukan hanya untuk memastikan fakta
sebelumnya, namun juga untuk membuktikan benar atau tidaknya jawaban
59
mahasiswa terkait usaha mereka dalam mewujudkan orientasi atau tujuan
belajarnya. Penggunaan kata ‘kita’ dalam rangkaian kalimat pertanyaan, penulis
tujukan agar mahasiswa tidak merasa diinterogasi, sehingga suasana wawancara
bisa berlanjut tanpa adanya perasaan tertekan bagi mahasiswa sebagai subjek
penelitian.
Dari pertanyaan tersebut, sebuah fakta kependidikan yang cukup
mengejutkan, penulis peroleh melalui ungkapan jawaban mahasiswa. Walau
jawaban yang diungkapkan beragam, namun perbedaannya sangatlah tipis.
Melalui ungkapan jawabannya para mahasiswa mengakui bahwa: Selama kuliah,
kami sudah melakukan copy paste sebanyak:
1.
99% (PAI–III – A/D/F, PGRA – I/III, MUA–III).
2.
85% (EI–I – A/B/C/D/E, MUA–I, PBA–III).
3.
75% (Pascasarjana–I – reguler/non reguler).
Menilik pengakuan mahasiswa tersebut, penulis terpancing untuk menggali
informasi, apakah mereka mengetahui status moral dari perilaku copy paste.
Keingintahuan ini penulis wujudkan dengan mengajukan pertanyaan: “menurut
anda, apakah perilaku copy paste yang anda lakukan itu dapat dibenarkan, baik
menurut moral akademis maupun moral empiris?” (Ww.: 01–02–04–05–06–
07/10/2015). Ketika pertanyaan ini penulis ajukan, tampak sebagian besar
mahasiswa menunjukkan ekspresi penyesalan di wajahnya. Dugaan penulis,
ekspresi itu muncul karena mereka sudah terlanjur mengakui dengan jujur tentang
perilaku copy paste yang mereka lakukan.
Menariknya, keterkejutan mahasiswa saat mendengarkan pertanyaan
penulis tersebut tidak membuat mereka mengabaikan pertanyaan, karena tak lama
berselang, secara serempak mereka memberikan jawaban: “salah pak.” Secara
sederhana, kata ‘salah’ yang digunakan mahasiswa dalam jawabannya, penulis
maknai sebagai ungkapan kesadaran bahwa, perilaku copy paste yang telah mereka
lakukan senyatanya merupakan tindak pelanggaran terhadap moral akademis dan
moral empiris.
Ungkapan kesadaran mahasiswa tersebut menjadi dasar keingintahuan
penulis untuk menelisik alasan yang melatari mereka melakukan copy paste.
60
Keingintahuan tersebut penulis ungkapkan dalam pertanyaan: “jika anda tahu
bahwa perilaku copy paste melanggar aturan akademis dan aturan moral, mengapa
anda lakukan?” (Ww.: 01–02–04–05–06–07/10/2015). Pertanyaan ini dijawab oleh
mahasiswa dengan jawaban yang beragam. Mereka mengakui bahwa, perilaku copy
paste terpaksa mereka lakukan karena:
1.
Dosen terlalu banyak memberikan tugas.
2.
Waktu batas akhir untuk mengumpulkan tugas terlalu cepat.
3.
Materi tugas yang diberikan dosen tidak jelas.
4.
Pengalaman, tugas yang dikumpulkan tidak dikoreksi dosen.
5.
Tidak menemukan literatur untuk mengerjakan tugas.
6.
Ada dosen yang menyarankan ngedit tulisan dari internet.
Dari keenam jawaban mahasiswa tersebut, penulis sempat terkejut dengan
jawaban mahasiswa yang tertera pada nomor 6. Ungkapan mahasiswa itu
senyatanya merupakan fakta tentang pengabaian terhadap nilai-nilai keilmuan
yang dilakukan oleh dosen. Sehingga, penulis berkesimpulan sementara, adalah
wajar jika copy paste telah menjadi perilaku belajar di kalangan mahasiswa IAIN
Pontianak, karena dosen yang semestinya mencegah dan melarang justru
menganjurkan, bahkan mengajarkan mahasiswanya melakukan copy paste. Namun,
karena realitas terakhir ini tidak termasuk dalam wilayah kajian penelitian, maka
peneliti mengabaikannya agar tidak mengganggu fokus kajian.
Selanjutnya, berdasarkan jawaban-jawaban mahasiswa yang berisikan
pengakuan bahwa mereka sudah terbiasa melalukan copy paste, penulis kemudian
mengajukan pertanyaa yang terkait dengan kepentingan dari copy paste itu sendiri.
Pertanyaan dimaksud adalah: “untuk kepentingan apa saja anda melakukan tindak
copy paste? (Ww.: 01–02–04–05–06–07/10/2015). Tanggapan yang disampaikan
mahasiswa sebagai jawaban atas pertanyaan ini adalah:
1.
Hanya untuk tugas kuliah.
2.
Untuk tugas kuliah dan ujian yang dikerjakan di rumah (pen.: take home
test).
61
Sebagai kelanjutan dari jawaban mahasiswa tersebut, penulis kemudian
mengajukan pertanyaan: “bagaimanakah bentuk perilaku copy paste yang selama
ini telah anda lakukan?” (Ww.: 01–02–04–05–06–07/10/2015). Pertanyaan ini
penulis ajukan untuk mengetahui bentuk-bentuk perilaku copy paste yang telah
dilakukan oleh mahasiswa. Secara beragam mahasiswa memberikan jawaban
sebagai berikut:
1.
Menyalin (download) keseluruhan tulisan tertentu yang ada di internet
sesuai dengan tema yang diberikan dosen sebagai tugas.
2.
Menyalin (download) keseluruhan tulisan tertentu yang ada di internet
sesuai dengan tema yang diberikan dosen sebagai tugas, kemudian
mengedit (mengganti) bentuk huruf (font) nya.
3.
Menyalin (download) keseluruhan tulisan tertentu yang ada di internet
sesuai dengan tema yang diberikan dosen sebagai tugas, kemudian
mengeditnya dengan menggunakan bahasa sendiri.
4.
Menyalin (download) beberapa tulisan yang ada di internet sesuai dengan
tema yang diberikan dosen sebagai tugas, kemudian menggabungkannya
menjadi satu bentuk makalah.
5.
Menyalin (download) beberapa tulisan yang ada di internet sesuai dengan
tema yang diberikan dosen sebagai tugas, kemudian menggabungkan dan
mengeditnya menjadi satu bentuk makalah.
6.
Menulis (mengetik) ulang bagian-bagian dari beberapa literatur yang
dibutuhkan sesuai dengan tema tugas dari dosen dan menggabungkannya
menjadi satu bentuk makalah.
7.
Menyalin (copy) dan mencetak ulang tugas yang sudah dikerjakan oleh
teman sekelas atau lain kelas dengan tema dan judul yang sama.
8.
Minta tolong dibuatkan kakak tingkat atau teman sekelas.
Tindakan yang dilakukan oleh mahasiswa seperti terungkap pada jawaban
nomor 1 sampai 7 merupakan perilaku copy paste karena mereka tidak
menyebutkan atau mencantumkan sumber rujukannya. Menurut pengakuan
mereka, ketujuh bentuk copy paste tersebut selalu mereka lakukan dalam memenuhi
tugas di setiap mata kuliah. Sementara, bentuk perilaku copy paste pada nomor 8,
62
hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan alasan sakit atau pulang
kampung.
Setelah memperoleh informasi yang berisikan pengakuan mahasiswa terkait
perilaku copy paste yang telah mereka lakukan, penulis kemudian mencoba
menggali kesejatian latar penyebab mereka melakukan copy paste. Untuk itu penulis
mengajukan pertanyaan: “sekiranya kita jujur dengan diri sendiri, alasan apakah
yang paling utama kita melakukan copy paste? (Ww.: 01–02–04–05–06–07/10/2015).
Pertanyaan ini dijawab secara santai oleh mahasiswa dengan ungkapannya: “malas
mikir pak.”
Jawaban ringan dari mahasiswa tersebut sepintas hanya menggambarkan
keengganan mereka menjawab, namun kaliamat serta cara yang mereka gunakan
dalam menjawab justru merupakan kesadaran mental empiris tentang kesejatian
latar dari perilaku copy paste. Realitas faktual ini berpotensi juga untuk menjelaskan
tentang kesejatian makna serta orientasi belajar mereka. Untuk memperkuat
interpretasi dimaksud, penulis kemudian mengajukan pertanyaan: “jika anda jujur
dengan diri anda sendiri, apa sebenarnya harapan anda dari belajar dengan
melakukan copy paste pada setiap mata kuliah?” (Ww.: 01–02–04–05–06–
07/10/2015).
Tujuan penulis mengajukan pertanyaan itu adalah, untuk menggali
kesejatian ekspektasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak. Keseluruhan mahasiswa
yang menjadi subjek penelitian memberikan jawaban senada dalam dua bentuk
pernyataan, yaitu:
1.
Lulus semua mata kuliah.
2.
Mendapat nilai bagus.
Kedua bentuk ungkapan mahasiswa tersebut senyatanya berasal dari
kesadaran mental empiris tentang kesejatian ekspektasi belajar mereka selama
mengikuti proses perkuliahan. Aktivitas belajar yang mereka lakukan berpotensi
tidak memberikan pengalaman apapun kecuali perolehan nilai dan status
kelulusan. Orientasi belajar yang hanya terfokus pada perolehan nilai dan status
kelulusan senyatanya mewajarkan perilaku copy paste di kalangan mahasiswa IAIN
Pontianak.
63
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Proses akhir dari aktivitas penelitian: pengumpulan, pembacaan, reduksi,
dan interpretasi kritis terhadap berbagai informasi tentang ekspektasi belajar di
balik fenomena perilaku copy paste di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak, adalah
perumusan simpulan interpretatif. Perumusan simpulan mengacu pada rumusan
fokus penelitian dan merupakan jawaban atas rumusan pertanyaan penelitian.
Secara umum penulis dapat menyimpulkan, bahwa mahasiswa IAIN
Pontianak tidak memiliki ekspektasi (pengharapan) belajar yang sejalan dengan
idealitas pengembangan keilmuan berupa pengembangan dan aktualisasi potensi
diri. Mereka terjebak pada orientasi belajar absurditas praktis serta pragmatis yaitu
kepentingan nilai dan status kelulusan. Belajar yang sejatinya merupakan sarana
untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan diri, terberangus oleh hasrathasrat sesaat. Pemberangusan idealitas belajar bermula dari pemaknaan yang
bersifat tendensius.
Orientasi belajar yang hanya terfokus pada perolehan nilai dan status
kelulusan berpotensi menjadi pembenar bagi segala bentuk tindakan yang bertolak
belakang dengan aturan akademis serta aturan moral. Salah satu tindakan
dimaksud adalah perilaku copy paste yang dilakukan oleh mahasiswa di lingkungan
IAIN Pontianak. Tanpa disadari, perilaku copy paste hanya bersifat sementara
dalam menyelamatkan mereka dari pemenuhan kewajiban tugas kuliah, namun
justru mengancam kebermaknaan masa depan mereka dalam waktu lama.
Kebermaknaan masa depan berwujud penguasaan ilmu pengetahuan dan
ketermilikan keterampilan, hanya mungkin diraih melalui proses belajar dalam
bentuk aktivitas mengalami langsung. Sementara, perilaku copy paste justru
menafikan aktivitas tersebut dari ruang kesadaran mental belajar.
64
1. Pemaknaan mahasiswa IAIN Pontianak tentang belajar
Berdasarkan informasi yang telah penulis kumpulkan dan analisis, penulis
menyimpulkan bahwa pemaknaan belajar bagi mahasiswa di lingkungan IAIN
Pontianak masih dipengaruhi oleh teoretisasi rasional. Ungkapan-ungkapan yang
digunakan mahasiswa dalam memaknai belajar merupakan gambaran kesadaran
mental rasional. Ungkapan tersebut mereka tuangkan dalam kalimat:
a.
Belajar adalah proses mendewasakan diri melalui pendidikan formal.
b.
Belajar adalah upaya untuk mengerti dan mendalami ilmu pengetahuan
tertentu.
c.
Belajar adalah proses mempersiapkan masa depan dengan menguasai ilmu
pengetahuan.
d.
Belajar berarti berusaha untuk terampil dalam mempersiapkan kehidupan
masa depan.
e.
Belajar adalah upaya untuk mampu menghadapi tantangan hidup.
f.
Belajar adalah proses berpikir kreatif.
Sementara
ungkapan
kesadaran
mental
empiris
mahasiswa
disampaikannya dalam rumusan kalimat sebagai berikut:
a.
Belajar merupakan proses untuk memiliki ilmu pengetahuan.
b.
Belajar merupakan proses berpikir tentang kehidupan.
c.
Belajar merupakan proses menemukan jati diri.
d.
Belajar merupakan usaha untuk menjadi pintar.
Dominasi teoretisasi rasional dalam ungkapan jawaban mahasiswa yang
terlahir dari kesadaran rasionalnya merupakan gambaran bahwa, mahasiswa IAIN
Pontianak belum memiliki kesadaran mental empiris tentang belajar. Belum
termilikinya kesadaran ini menjadi sebab awal dari absurditas (kekaburan) orientasi
sekaligus ekspektasi belajar mereka. Dengan demikian, aktivitas belajar yang
dilakukan oleh mahasiswa dalam proses perkuliahan cenderung merupakan
aktivitas hampa, tanpa kesejatian makna. Ketakbermaknaan belajar berpengaruh
pada perilaku belajar yang ditampakkan oleh mahasiswa.
65
2.
Orientasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak
Berdasarkan hasil analisis terhadap data informatif melalui jawaban-
jawaban yang disampaikan oleh mahasiswa sebagai subjek penelitian, penulis
menyimpulkan bahwa, orientasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak bersifat praktis
dan pragmatis. Praktis dalam arti sederhana dan cenderung tidak mengandung
makna yang berkesesuaian dengan kesejatian belajar. Sementara, pragmatis
bermakna lebih mementingkan aspek kemanfaatan di saat aktivitas belajar dijalani,
tanpa mempertimbangkan berbagai kemungkinan dalam proses pencapaiannya.
Praktis dan pragmatisnya sifat orientasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak
tergambar dari jawaban yang mereka sampaikan, yaitu:
a.
Belajar untuk mendalami ilmu yang bersumber dari ajaran Islam.
b.
Belajar demi menjalani perintah agama, karena belajar diwajibkan dalam alQuran.
c.
Belajar karena ingin menjadi sarjana muslim yang profesional.
d.
Belajar, agar mudah mencari pekerjaan
e.
Belajar, agar bermanfaat bagi masyarakat.
f.
Belajar untuk menjadi sarjana agar bisa menjadi kebanggaan orang tua.
g.
Belajar demi memenuhi keinginan orang tua.
Jawaban nomor 1, 2, 3, dan 5 menggambarkan ungkapan kesadaran mental
empiris tentang ekspektasi belajar mahasiswa di kalangan IAIN Pontianak.
Jawaban-jawaban tersebut terungkap sebagai gambaran dari apa yang dialami
mahasiswa dalam menjalani proses belajar sebagai bagian aktivitas kehidupannya.
Keempat jawaban itu tampak terbebas dari teoretisasi dan rasionalisasi
pengalaman, dan sangat mungkin dipengaruhi oleh atmosfir pengalaman
hidupnya.
Selanjutnya, jawaban 4, 6, dan 7, senyatanya menggambarkan ungkapan
kesadaran mental rasional, ditandai dengan penggunaan istilah yang sangat akrab
dengan rasionalitas teoretis. Jawaban yang terungkap dari ruang kesadaran mental
rasional tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh asupan pemikiran yang
diperoleh mahasiswa dalam pelaksanaan proses perkuliahan.
66
3.
Alasan mahasiswa IAIN Pontianak melakukan tindakan copy paste dalam
memenuhi kebutuhan belajar
Berdasarkan
analisis
terhadap
jawaban
yang
berisikan
pengakuan
mahasiswa, penulis menyimpulkan bahwa, perilaku copy paste sudah menjadi
perilaku belajar di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak. Mahasiswa mengetahui
dan memahami bahwa perilaku copy paste senyatanya melanggar aturan akademis
dan aturan moral, namun hal itu tidak menghalangi mereka untuk tetap
melakukannya.
Keberanian mahasiswa melakukan tindak copy paste dilatari beberapa alasan
yang melatari, yaitu:
a.
Karena dosen terlalu banyak memberikan tugas.
b.
Karena waktu batas akhir untuk mengumpulkan tugas terlalu cepat.
c.
Karena materi tugas yang diberikan dosen tidak jelas.
d.
Karena pengalaman, tugas yang dikumpulkan tidak dikoreksi dosen.
e.
Karena tidak menemukan literatur untuk mengerjakan tugas.
f.
Karena ada dosen yang menyarankan ngedit tulisan dari internet.
Alasan paling kuat bagi mahasiswa melakukan tindak copy paste adalah
karena pengalaman yang mereka alami, dimana tugas yang mereka kumpulkan
tidak dikoreksi oleh dosennya. Bahkan, mereka merasa mendapatkan energi,
karena ada dosen yang menyarankan mereka melakukan editan terhadap tulisan
dari internet untuk kepentingan pemenuhan tugas kuliah. Saran ini senyatanya
tidak membantu membangun kesadaran belajar mahasiswa, namun justru
mengaburkannya.
Pengalaman tugas yang tidak pernah dikoreksi dan adanya dosen yang
justru memberikan saran untuk melakukan copy paste, telah menjadi penguat dan
pembenar bagi tindak perilaku copy paste di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak.
Keberadaan
dua
alasan
itu
berpotensi
meredupkan
–
kalaupun
belum
memadamkan, kebermaknaan belajar sekaligus mengaburkan arah orientasi dan
ekspektasi belajar di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak. Dengan demikian,
67
hampir dapat dipastikan, selama kedua sebab tersebut tidak dihilangkan, aktivitas
belajar mahasiswa hanya merupakan bentuk formalisasi akademis.
B. Rekomendasi Interpretatif
Untuk dapat memperbaiki dan mengembalikan kemaknaan belajar yang
berpengaruh pada kejelasan orientasi dan ekspektasi belajar mahasiswa, perlu
dilakukan upaya tata ulang proses pembelajaran di lingkungan IAIN Pontianak.
Upaya ini harus dimulai dengan menata dan memperbaiki pola pikir mahasiswa
tentang belajar. Hasrat tersebut dapat difasilitasi dalam kegiatan awal di saat
mahasiswa mengikuti program pengenalan kampus. Dalam kegiatan itu
mahasiswa
semestinya
dibekali
materi-materi
yang
senyata
berpotensi
menanamkan dan membangun kesadaran rasional dan empiris guna memperbaiki
mindset (cara pandang) mereka tentang belajar di perguruan tinggi.
Penataan dan perbaikan pola pikir juga semestinya dilakukan dalam
pengelolaan pembelajaran, dimana setiap dosen berkeharusan merancang proses
perkuliahan yang berpotensi memahamkan mahasiswa akan kesejatian makna
belajar. Pada setiap memulai perkuliahan, para dosen sebaiknya tidak lagi
mengiming-imingi mahasiswa dengan standar kelulusan dan capaian nilai, karena
kedua hal ini merupakan embrio bagi kelahiran perilaku copy paste. ‘Lulus’ dan
‘nilai’ adalah dua istilah yang senyatanya telah menggoda mahasiswa untuk
melakukan perilaku copy paste. Kedua istilah ini pula yang telah mengaburkan dan
mengerangkeng kemaknaan orientasi belajar mahasiswa.
Untuk dapat mengembalikan kesejatian pemaknaan dan ekspektasi belajar
mahasiswa, terlebih dahulu dosen berkeharusan menata ulang mindset (cara
pandang) nya tentang pendidikan. Hal ini dibutuhkan untuk membangun
kesadaran para dosen bahwa, kehadiran mahasiswa bukan hanya sebagai objek
ajar namun juga mitra belajar. Education is mutual learning process, dapat menjadi
mindset baru bagi para dosen, semoga!
68
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, F. (2014), Pendidikan Berkesadaran Eksistensial, Pemikiran Alternatif
Pendidikan Karakter, Pontianak: IAIN Press.
Adian, D. G. (2006), Percik Pemikiran Kontemporer, Sebuah Pengantar Komprehensif,
Bandung: Jalasutra.
Ausubel, D. P. (1968), Educational Psychology, A Cognitive View. New York: Holt,
Rinehart and Winston.
Barbu, Z. (1971), Society, Culture and Personality, an Introduction To Sosial Science,
Oxford: Basil Blackwell.
Bloom, B.S (1964), Stability and Change in Human Characteristics, New York: Wiley.
Brumbaugh, R.S., Nathaniel, M.L. (1963), Philosophers on Education : Six Essays on
The Foundations of Western Thought, Boston: Houghton Mifflin Company.
Bruner, J.S. (2006), In Search of Pedagogy, Volume I, The Selected Works of Jerome S.
Bruner, New York: Routledge.
Boyd, E.M, Fales A.W., Reflective Learning: Key to Learning from Experience, Journal
of Humanistic Psychology, Vol. 23, Np. 2, Spring 1983: 99 – 117.
Collin, F. (1997), Social Reality, London: Routledge.
Creswell, J.W. (1994), Research Design: Qualitative & Quantitative Approach, New
Delhi: Sage Publications.
------------------------, Vicki L., Plano. C. (2007), Designing and Conducting Mixed
Methods Research, New Delhi: Sage Publications.
Denzim, N.K., Lincoln, Yv.S. (Editor) (1994), Handbook of Qualitative Research, New
Delhi: Sage Publications.
Descartes, R. (1941), Meditation II, Descartes’ Meditations and Selections from the
Principles of Philosophy, Translated by John Veitch, La Salle: Open Court.
------------------------ (1957), A Discourse on Method, Translated by John Veitch,
London: J.M. Dent & Sons Ltd.
Dewey, J. (1933), How We Think: A Restatement of the Relation of Reflective Thinking to
the Education Process, Boston: D.C. Health.
69
Ercegovac, Z., Richardson, J.V Jr. (2004), Academic Dishonesty, Plagiarism Included in
The Digital Age: Literature Review, Colledge and Research Libraries.
Fakhrudin (2010), Menjadi Guru Faforit, Yogyakarta: Diva Press.
Freire, P. (1971), Pedagogy of the Oppressed, New York: Seabury.
------------------------, (1998), Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy and Civic Courage,
Lanham MD: Rowman and Littlefield Publishers Inc.
Ginsberg, L. (2005), Lecture Notes: Neorology, London: Blackwell Publishing.Ltd.
Giroux, H. (1983), Theory and Resistance in Education: Toward a Pedagogy for the
Opposition, South Hadley: Bergin & Garvey.
Greeley, A.M. (1977), The Mary Myth, New York: Seabury Press.
Habermas, J. (1971), Knowledge and Human Interests, Boston: Beacon Press.
------------------------, (1974), Theory and Practice, London: Heinemann.
Hartono, D. (2012), Menyontek: Mengungkap Akar Masalah dan Solusinya, Jakarta:
Indeks.
Husserl, E. (1960), Cartesian Meditation, tranlated by Dorion Cairns, The Hague:
Martinus Nijhoff Publishers.
------------------------, (2005), Phantasy, Image Consciousness, and Memory, Translated by
John B. Brough, Netherlands: Springer.
Hick, J. (1995), A Christian Theology Of Religions: The Rainbow Of Faiths, USA: SCM
Press.
Kneller, G.F. (1971), Introduction to The Philosophy of Education, Second Edition,
Toronto: John Wiley & Sons, Inc.
Kuhn, Th. (1985), The Structure of Scientific Revolutions, Beverly Hills, CA: Sage.
Lincoln. Yv. S., Guba, E.G. (1985), Naturalistic Inquiri. Washington: Sage
Publications, Inc.
Ma’arif, S. (2005), Pendidikan Pluralisme di Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka.
Maslow, A. (1998), Toward a Psychology of Being, 3rd, New York: D. Van Nostrad.
70
Maslow, A. (2006), On Dominace, Self Esteen and Self Actualization, Ann Kaplan:
Maurice Basset
McMillan, J.H., Sally Sc. (2010), Research in Education, Evidence – Based Inquiry,
Sevent Edition, New Jersey: Pearson Education, Inc.
Mead, G.H. (1959), Mind Self and Society from The Standpoint of Social Behaviorist,
Chicago: University of Chicago Press.
Moran, D. (2000), Introduction to Phenomenology, London: Routledge.
Morris, V.C., etc. (1963), Becoming an Educator, an Introduction by Specialists to the
Study and Practice of Education, Boston: Houghton Mifflin Company.
Nashori, F. (1994), Membangun Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta: SIPRESS.
Phenix, Ph. (1964), Realm of Meaning, a Philosophy of the Curriculum for General
Education, London: McGraw-Hill Book Company.
Piaget, J. (1930), The Child’s Conception of Physical Causality, London: Kegan-Paul.
-------------------------, (2001). Studies in Reflecting Abstraction. Hove, UK: Psychology
Press
Palto (1993), The Symposium and the Phaedrus: Plato's Erotic Dialogues, Transleted by
R. E. Allen, New Haven: Yale University Press.
Pivéeviae, E. (1970), Husserl and Phenomenology, London: Hustchinson University
Library
Reesir, O.L. (1966), Cosmic Humanism, USA: Schenkman Publishing Co.
Ryle, G. (1949), The Concept Of Mind, London: Hutchinson.
Sindhunata (2001), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Demokartisasi, Otonomi,
Civil Society, Jakarta: Gramedia.
Smith, D.W. (2007), Husserl, London: Routledge.
Smith, J.A., Flowers, P., Larkin, M. (2009), Interpretative Phenomenological Analysis:
Theory, Method and Research, Washington: Sage.
Snijders, A. (2006), Manusia dan Kebenaran, Yogyakarta: Kanisius.
Suparlan S. (2007), Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
71
Tafsir, A. (2009), Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Utorodewo (2007), Bahasa Indonesia, Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah, Jakarta:
Lembaga Penerbit FEUI.
Voke, H. (2007), Pedagogy of the Oppressed, Civic Engagement and Education,
Washington DC: Georgetown University.
Vroom, V.H. (1964), Work and Motivation, Leadership and Decision Making and The
New Leadership, New York: John Wiley.