Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
FENOMENA ‘COPY PASTE’ Refleksi Interpetatif atas Ekspektasi ‘Belajar’ Mahasiswa IAIN Pontianak LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU Peneliti: Firdaus Achmad NIP: 19670930 199303 1 007 INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONTIANAK 2015 2 ABSTRAK Firdaus Achmad, (19670930 199303 1 007), 2015, Fenomena Copy Paste di Kalangan Mahasiswa IAIN Pontianak: Interpretasi Terhadap Ekspektasi Belajar Mahasiswa. Kesadaran akan pentingnya belajar sebagai jalan menata masa depan akan terlahir di kalangan pelajar jika mereka memiliki pengharapan (ekspektasi) akan masa depan yang baik. Ekspektasi dimaksud akan tumbuh dalam diri para mahasiswa manakala mereka menyemayamkan interpretasi positif tentang makna dan peran belajar. Adalah sebuah kepastian, bahwa sikap, tindakan, perkataan, dan juga segala bentuk pengharapan, bermula dari pikiran. Berdasarkan pra-survei yang peneliti lakukan, ekspektasi tentang belajar di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak masih belum berbentuk pada penyiapan masa depan mereka. Hal ini diperkuat oleh realitas keseriusan mereka dalam belajar yang masih cenderung lemah. Bahkan dalam belajar, sebagian besar dari mahasiswa IAIN Pontianak peneliti indikasikan telah melakukan tindak pelanggaran akademis dalam bentuk prilaku menjiplak atau saat sekarang biasa dikenal dengan istilah “copy vaste”. Fenomena copy-paste di kalangan mahasiswa merupakan sebuah tindakan yang sudah tidak asing lagi. Kemudahan mengakses informasi di internet banyak disalahgunakan sebagian oknum mahasiswa sebagai cara cepat untuk mengerjakan tugas. Perilaku copy-paste juga telah menjadi fenomena realitistis di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak, dan fenomena ini lah yang menjadi daya tarik peneliti untuk mengkajinya dalam bentuk analisis ilmiah. Fokus penelitian ini adalah, ekspektasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak di balik fenomena copy paste. Dari fokus penelitian ini penulis merumuskan tiga pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Bagaimana pemaknaan mahasiswa IAIN Pontianak tentang belajar? 2. Apa yang menjadi orientasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak? 3. Apa yang menjadi alasan mahasiswa IAIN Pontianak melakukan tindakan copy paste dalam memenuhi kebutuhan belajar? Setelah melakukan proses pembacaan, reduksi dan interpretasi kritis, terhadap fakta dan data penelitian, dengan menggunakan metode fenomenologi, secara umum penulis menyimpulkan, bahwa ekspektasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak masih absurd (kabur) karena didominasi oleh kesadaran mental rasional. Secara khusus penulis menyimpulkan: 1. Belajar menurut mahasiswa adalah aktivitas mempersiapkan masa depan. 2. Orientasi belajar mahasiswa masih terkurung pada capaian nilai dan status kelulusan. 3. Alasan empiris mahasiswa melakukan copy paste adalah karena mereka berpikir praktis-pragmatis untuk kepentingan mendapatkan nilai bagus. Rekomendasi yang penulis tawarkan dalam penelitian ini berbentuk pemikiran interpretatif. Rekomendasi dimaksud lebih bertujuan untuk kepentingan melakukan penataan dan perbaikan terhadap pengelolaan pembelajaran yang dilakukan oleh dosen di setiap mata kuliah. Kata Kunci: Fenomena copy paste, ekspektasi belajar 3 EPIGRAF If a man neglects education, he walks lame to the end of his life (Plato) Belated awareness beter than repeated mistakes (firdaus achmad) 4 DAFTAR ISI halaman HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………… HALAMAN PENGESAHAN .………………………………………………….... EPIGRAF ………………………………………………………………………….. ABSTRAK ………………………………………………………………………….. KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… i ii iii iv vi vii BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………… A. Latar Pemikiran ………………………………………................. B. Tujuan Penelitian .…………………………………………….. C. Fokus Penelitian ……………………………………………….... D. Manfaat Penelitian …………………………………………........ E. Urgensitas Penelitian ................................................................... F. Tinjauan Pustaka ........................................................................... G. Kerangka Pemikiran ..................................................................... H. Sistematika Penulisan ………………………………………….. 1 1 4 4 5 6 8 10 12 BAB II EKSPEKTASI BELAJAR MAHASISWA DALAM FENOMENA COPY PASTE ….................................................. A. Belajar sebagai Sebuah Kemestian Eksistensial ....................... B. Ekspektasi Belajar dalam Idealitas Pendidikan ....................... C. Copy Paste, antara Harapan dan Kenyataan Belajar ................ 15 15 21 24 BAB III METODOLOGI ……………………………………………………… A. Ruang Lingkup, Jenis dan Paradigma Penelitian …………… B. Metode dan Pendekatan Penelitian .………………………...... C. Setting Penelitian ………………………………........................... D. Prosedur dan Teknik Pengumpulan Data …………………… E. Prosedur dan Teknik Analisis Data ………………………….... 28 28 29 33 34 35 BAB IV EKSPEKTASI BELAJAR MAHASISWA IAIN PONTIANAK DI BALIK FENOMENA COPY PASTE ....... A. Realitas Pembelajaran di Lingkungan IAIN Pontianak ......…. B. Asumsi Pengantar ke dalam Proses Penelitian ......................... C. Makna Belajar bagi Mahasiswa di Lingkungan IAIN Pontianak ………………………………........................................ D. Orientasi Belajar Mahasiswa IAIN Pontianak ………………... E. Perilaku Copy Paste di Ligkungan Mahasiswa IAIN Pontianak ………………................................................................ BAB V PENUTUP ……………………………………………………………. A. Simpulan ………………………………………………………… B. Rekomendasi Interpretatif …………………………………… 41 41 44 48 52 54 60 60 64 5 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………... LAMPIRAN ……………………………………………………………………….. 65 69 6 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Pemikiran “Education is self realization,” demikian Aristoteles (384-322 SM.), filsuf Yunani penggagas aliran realisme, memahamkan keazalian makna pendidikan sebagai bentuk aktivitas realisasi diri yang berkesadaran (Brumbaugh, 1963: 101). Aktivitas ini merupakan visualisasi dari salah satu dimensi kedirian manusia sebagai makhluk rasional yang bermula dari hasrat untuk menyibak tabir kemisterian jagad raya. Proses perwujudan hasrat itu pada akhirnya mengkristal dalam berbagai bentuk tatanan budaya. Salah satu dari sekian banyak tatanan budaya dimaksud adalah pendidikan, yang sejak kelahirannya telah mewadahi proses gerak kerja nalar. Sebagai hasil dari proses kristalisasi peradaban berpikir, pendidikan merupakan sarana, yang melalui seleksi ruang dan waktu, telah membuktikan eksistensinya mampu menyelamatkan manusia dari kebingungan dan ketidakmenentuan. Oleh karenanya, sangatlah wajar jika sejumlah harapan ditumpukan pada pendidikan. Harapan paling mendasar yang diamanahkan kepada pendidikan, adalah membantu manusia untuk bisa berpikir benar, karena dari aktivitas berpikir ini lah bermula segala bentuk sikap, tuturan dan perilaku. Pikiran yang benar dan baik akan melahirkan sikap, tuturan serta perilaku yang benar dan baik pula. Sebaliknya, pikiran yang keliru dan buruk menjadi musabab bagi terlahirnya sikap, tuturan serta perilaku yang keliru dan buruk. Azalinya, pendidikan merupakan aktivitas manusia untuk kepentingan manusia. Untuk itu, segala bentuk usaha dalam wilayah kependidikan semestinya diarahkan dan ditujukan guna pemenuhan kepentingan manusia. Hal terpenting yang harus dilakukan oleh pendidikan adalah membangun kesadaran, bahwa manusia merupakan bagian dari kesemestaan jagad raya. Kesadaran ini dibutuhkan untuk menata komunikasi harmonis antara manusia dengan alam. 7 Upaya untuk membangun kesadaran diri sebagai makhluk berkemampuan (self conciousnes) serta kesadaran diri sebagai makhluk berkepentingan (self awarenes) dapat dilakukan melalui proses pendidikan, baik formal maupun non formal. Pendidikan formal berperan membekali manusia dengan sistemisasi teoritis tentang segala bentuk pengetahuan yang berpotensi membangun kesadaran diri sebagai makhluk berkemampuan (self conciousnes) (Achmad, 2014: 112). Sementara, pendidikan non formal menjadi sarana bagi setiap manusia untuk mengalami langsung berbagai potensi pengetahuan dalam tebaran realitas kehidupan. Lembaga pendidikan ini berpotensi mengembangkan kesadaran diri manusia sebagai makhluk berkepentingan (self awarenes). Kedua lembaga ini saling bersinergis dalam pertautan edukasi ilmiah dan alamiah. Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan formal tertinggi yang tidak hanya sebatas memainkan peran membangkitkan kesadaran diri mahasiswa, sebagai peserta didik, namun juga memadukanpadankan kedua bentuk kesadaran diri dan kemudian mengedukasinya sebagai sebuah aplikasi potensi. Sejatinya, perguruan tinggi menjadi arena pengembangan potensi keilmuan bagi insan akademik, khususnya mahasiswa. Bekal ilmu pengetahuan yang mereka peroleh selama mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran, dari tingkat dasar hingga tingkat menengah, merupakan potensi yang semestinya dapat berkembang dan meningkat saat berada dalam suasana akademis di perguruan tinggi, sesuai dengan alur dan aturan akademika keilmuan. Proses pembinaan dan peningkatan potensi keilmuan mahasiswa dapat terlaksana dalam aktivitas pembelajaran di ruang kuliah dan aktivitas akademik di luar ruang kuliah. Kedua ruang aktivitas ini meniscayakan adanya kesadaran pada mahasiswa untuk menghadirkan dirinya sebagai pribadi yang siap berkembang dan meningkat. Kesiapan dimaksud bermodalkan ilmu pengetahuan yang telah mereka peroleh saat mengikuti pendidikan dasar dan menengah. Asumsi, bahwa pendidikan merupakan sarana penjamin masa depan, telah mendarah daging dalam anatomi kepercayaan masyarakat Indonesia. Bahkan secara natural, asumsi tersebut terajut menjadi cara pandang masyarakat tentang pendidikan. Cara pandang inilah yang kemudian memberikan energi berlebih 8 kepada pemerintah secara umum, dan kepada sekelompok orang yang mengelola lembaga pendidikan secara khusus, untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana bagi kepentingan aktivitas ekonomis atau juga politis. Kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai aktivitas yang berpotensi menentukan masa depan, semestinya menjadi muatan dalam ruang kesadaran para mahasiswa. Muatan kesadaran ini menjadi penting untuk memotivasi mereka menggiatkan diri dalam menata masa depan dengan menseriuskan aktivitas belajarnya. Kesadaran akan pentingnya belajar sebagai jalan menata masa depan akan terlahir di kalangan pelajar jika mereka memiliki pengharapan (ekspektasi) akan masa depan yang baik. Ekspektasi dimaksud akan tumbuh dalam diri para mahasiswa manakala mereka menyemayamkan interpretasi positif tentang makna dan peran belajar. Adalah sebuah kepastian, bahwa sikap, tindakan, perkataan, dan juga segala bentuk pengharapan, bermula dari pikiran. Berdasarkan pra-survei yang peneliti lakukan, ekspektasi tentang belajar di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak masih belum berbentuk pada penyiapan masa depan mereka. Hal ini diperkuat oleh realitas keseriusan mereka dalam belajar yang masih cenderung lemah. Bahkan dalam belajar, sebagian besar dari mahasiswa IAIN Pontianak peneliti indikasikan telah melakukan tindak pelanggaran akademis dalam bentuk prilaku menjiplak atau saat sekarang biasa dikenal dengan istilah “copy vaste”. Fenomena copy-paste di kalangan mahasiswa merupakan sebuah tindakan yang sudah tidak asing lagi. Perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat menjadi pemicu utama terjadinya fenomena tersebut. Kemudahan mengakses informasi di internet banyak disalahgunakan sebagian oknum mahasiswa sebagai cara cepat untuk mengerjakan tugas. Perilaku copy-paste juga telah menjadi fenomena realitistis di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak, dan fenomena ini lah yang menjadi daya tarik peneliti untuk mengkajinya dalam bentuk analisis ilmiah. Sebagai salah satu bentuk perilaku dalam belajar, fenomena copy-paste peneliti jadikan sebagai pintu masuk untuk memahami dan memaknai ekspektasi belajar mahasiswa di lingkungan IAIN Pontianak. Dengan demikian, arah 9 penelitian ini peneliti fokuskan pada ekspektasi belajar mahasiswa di kalangan IAIN Pontianak melalui pemaknaan perilaku copy paste. B. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk membongkar dan mengungkapkan sebuah realitas kependidikan tentang budaya copy paste yang dilakukan oleh mahasiswa IAIN Pontianak dalam melaksanakan aktivitas belajar, khususnya di saat mengerjakan tugas-tugas perkuliahan. Selanjutnya, dari tujuan umum ini peneliti menetapkan tujuan khusus penelitian sebagai berikut: 1. Mengungkapkan dan mendeskripsikan pemaknaan mahasiswa IAIN Pontianak tentang belajar. 2. Mengungkapkan dan mendeskripsikan orientasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak. 3. Mengungkapkan dan mendeskripsikan argumen logis mahasiswa IAIN Pontianak melakukan tindakan copy paste dalam memenuhi kebutuhan belajar. C. Fokus Penelitian Berlatar pada asumsi rasional dan empiris dalam latar pemikiran di atas, peneliti menetapkan, bahwa yang menjadi fokus penelitian adalah, Ekspektasi ‘Belajar’ Mahasiswa IAIN Pontianak di balik fenomena perilaku copy paste. Selanjutnya, untuk mengkaji fokus penelitian ini, penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pemaknaan mahasiswa IAIN Pontianak tentang belajar? 2. Apa yang menjadi orientasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak? 3. Apa yang menjadi alasan mahasiswa IAIN Pontianak melakukan tindakan copy paste dalam memenuhi kebutuhan belajar? 10 D. Manfaat Penelitian Sebagai aktivitas keilmuan, penelitian ini berkemestian memberikan manfaat bagi siapapun yang membaca hasilnya, baik secara teoretis maupun praktis. Dengan kemanfaatan itu lah setiap hasil penelitian memiliki peluang untuk berkembang menjadi bangunan konsep dan pada akhirnya berpotensi menjadi teori baru. Secara teoretis peneliti berharap, hasil penelitian ini memberikan inspirasi penguat bagi hasrat kajian terkait pengembangan teori belajar. Lebih lanjut, sesuai dengan tema penelitian, peneliti juga berharap hasil penelitian ini dapat melandasi kehasratan bagi pengembangan proses pengelolaan pembelajaran berbasis critical pedagogy di lingkungan IAIN Pontianak. Sementara, secara praktis peneliti berharap, hasil penelitian ini bermanfaat bagi: 1. Dosen: sebagai bahan pertimbangan dalam merancang dan mengelola program pelaksanaan pembelajaran yang mampu mengantisipasi munculnya perilaku copy paste di kalangan mahasiswa. Antisipasi dimaksud dapat dilakukan dengan cara meminimalisir sebab dari kebiasaan mahasiswa melakukan tindak copy paste dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan belajarnya. 2. Mahasiswa: menjadi bahan koreksi dan mungkin refleksi terhadap prilaku menyimpang dari aturan akademik yang telah mereka lakukan. Hasil penelitian ini juga peneliti harapkan mampu merubah pemaknaan dan orientasi belajar mahasiswa sehingga mereka tidak terjebak dalam kepentingan praktis-pragmatis yang justru menutup pintu kesempatan bagi pengembangan potensi diri mereka sendiri. 3. Pengelola serta pejabat yang secara langsung bertanggung jawab terhadap pengelolaan pendidikan: menjadi dasar pemikiran untuk merancang dan menetapkan aturan akademik terkait tata penulisan karya ilmiah. Bahkan, hasil penelitian ini dapat menjadi argumen logis untuk pengadaan program scanning (pemeriksaan/peninjauan) karya tulis. 11 E. Urgensitas Penelitian Sebagai satu-satu nya perguruan tinggi Islam berstatus negeri, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak memikul beban uswatun hasanah (percontohan) dalam pengelolaan pembelajaran berbasis nilai-nilai islami. Untuk itu, penguatan pondasi pembelajaran berbasis sekaligus berorientasi nilai-nilai islami, menjadi sebuah kemestian yang tak dapat dihindari. Kemestian ini tidak hanya bersebab penggunaan term “agama Islam” dalam deretan nama perguruan tinggi, namun juga bersebab kesejatian sebuah perguruan tinggi yang dituntut untuk memiliki kepastian pondasi nilai tertentu sesuai dengan eksistensinya. Upaya penguatan pondasi kependidikan di lingkungan IAIN Pontianak dapat dilakukan melalui proses learrning to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar berbuat), leraring to be (belajar menjadi), dan learning to live together (belajar hidup bersama) nilai-nilai kebaikan yang berstandar kebenaran pada universalitas core virtues (kebajikan inti) dari ajaran Islam serta bersinergis dengan normativitas akademis. Keempat proses ini semestinya menjadi pilar bagi penataan program kependidikan, khususnya dalam pengelolaan proses pembelajaran, karena di dalamnya terkandung aktivitas ‘mengalami’ yang merupakan sarana paling tepat untuk mewujudkan upaya penguatan pondasi kependidikan. ‘Kejujuran’ adalah satu dari sekian banyak nilai kebaikan yang terkandung dalam bangunan universalitas core virtues (kebajikan inti) Islam. Nilai kejujuran bersifat universal dan senyatanya bersinergis dengan normativitas akademik. Dengan demikian, sangatlah layak nilai ini dijadikan sebagai pondasi sekaligus orientasi capaian dari keseluruhan program pengelolaan kependidikan di IAIN Pontianak. Kelayakan nilai kejujuran dijadikan sebagai pondasi dimaksud, juga diperkuat oleh potensi yang terkandung di dalamnya, dimana nilai ini mampu menjadi saluran pengungkap tentang orientasi capaian dari berbagai pemaknaan dan perilaku belajar, termasuk pemaknaan dan ekspektasi mahasiswa tentang ‘belajar’. Aplikasi penguatan nilai kejujuran sebagai pondasi kependidikan pada pelaksanaan pembelajaran, hanya mungkin dilakukan melalui pemberian aktivitas 12 ‘mengalami’, karena dalam aktivitas ini lah nilai kejujuran terkandung sebagai sebuah kemestian dan berpotensi untuk dinternalisasikan serta dieksternalisasikan oleh para dosen di lingkungan IAIN Pontianak. Upaya penguatan pondasi kependidikan di lingkungan IAIN Pontianak semestinya memperhatikan serta mempertimbangkan realitas pembelajaran. Pemaknaan dan ekspektasi mahasiswa tentang belajar, merupakan salah satu fakta penting yang harus dikaji dan dijadikan pertimbangan dalam merancang tatanan program penguatan pondasi kependidikan. Hal ini disebabkan oleh kesejatian dari pemaknaan dan ekspektasi mahasiswa tentang belajar sebagai aktivitas sekaligus orientasi inti dalam keseluruhan pengelolaan kependidikan. Penelitian yang penulis lakukan ini merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap upaya penguatan pondasi kependidikan di lingkungan IAIN Pontianak. Dukungan dimaksud penulis wujudkan dengan memaparkan data-data faktual mengenai pemaknaan dan ekspektasi mahasiswa tentang belajar yang terhampar dalam realitas fenomena perilaku copy paste. Urgensitas penelitian menjadi terang benderang ketika penelitian ini berupaya untuk mengungkap argumentasi objektif dari para mahasiswa, sebagai sumber informasi utama, tentang berbagai pertimbangan yang melatari tindakan mereka melakukan copy paste. Selanjutnya, hasil penelitian ini berpotensi menjadi bahan evaluasi bagi pengelolaan pembelajaran di lingkungan IAIN Pontianak. Di sisi lain, sesuai dengan fokusnya, hasil penelitian ini menawarkan pemikiran kritis tentang beberapa kesejatian yang dapat dijadikan pertimbangan logis oleh para dosen dalam merancang dan mengelola proses pembelajaran di lingkungan IAIN Pontianak. Tawaran pemikiran kritis penulis sajikan dalam bentuk solusi guna mengatasi tindak perilaku copy paste yang sudah menjadi realitas fenomenal di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak, sekaligus untuk memperbaiki dan menata ulang pemaknaan dan ekspektasi mereka tentang belajar. 13 F. Tinjauan Pustaka Copy paste merupakan tindak pemalsuan karya tulis yang sudah menggejala di kalangan pelajar dan mahasiswa. Tindakan ini sangat mungkin menjadi salah satu akibat dari sebab kemajuan teknologi ilmu pengetahuan yang senantiasa menawarkan kemudahan dan penyederhanaan proses aktivitas kehidupan. Senyatanya, kedua bentuk tawaran tersebut yang sejatinya berorientasi positif, telah disalahgunakan oleh para pelajar dan mahasiswa. Mereka tidak hanya memanfaatkan kemajuan dan teknologi sebagai sarana pengayaan informasi dan perluasan wawasan, namun juga untuk kepentingan memanipulasi tugas belajar mereka. Manipulasi dimaksud mereka lakukan dengan cara menjiplak (copy paste) tulisan atau artikel dalam website bertema sesuai dengan tugas yang harus mereka kerjakan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 2004, tentang tindakan plagiasi terhadap sumber-sumber kepustakaan, Ercegovac bersama Richardson menyimpulkan, bahwa tindakan plagiasi senyatanya telah menjadi perilaku masyarakat modern, baik di wilayah pendidikan maupun di wilayah sosial kemasyarakatan. Di wilayah pendidikan, plagiasi telah menjadi tindakan yang biasa dilakukan oleh peserta didik, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Tindakan plagiasi mereka lakukan dengan cara menjiplak (copy paste) bahan atau literatur yang mereka baca, sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Tindak plagiasi di kalangan pelajar, dari tingkat dasar hingga tingkat menengah atas, terjadi karena pola pikir pragmatis masih mendominasi pemaknaan mereka tentang belajar. Noorbella Kustiwi menemukan sekaligus mengidentifikasi pola pikir pragmatis di kalangan pelajar tingkat menengah atas dalam bentuk motivasi mereka melakukan tindak plagiasi, melalui penelitian yang ia lakukan pada 2009 dengan judul: “Motivasi dan Perilaku Plagiat di Kalangan Siswa SMA Cita Hati Surabaya.” Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti menemukan informasi dan merumuskan simpulan, bahwa para siswa melakukan tindak plagiasi karena termotivasi oleh: hasrat untuk selalu merasa unggul dalam persaingan belajar di kelas; tidak ingin mengalami kegagalan dalam 14 mencapai prestasi belajar atau mendapatkan nilai rendah, yang bisa berakibat terpinggirkan dri pergaulan dengan teman-teman di sekolah; keinginan untuk selalu dinilai mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru secara baik dan sempurna. Di kalangan mahasiswa, perilaku copy paste tidak hanya dilakukan terhadap tulisan dalam literatur atau artikel dari website, namun juga terhadap tugas-tugas kakak tingkat atau teman sekelasnya. Perilaku ini kian hari semakin menggejala dan hampir mengkristal serta membaur dalam aktivitas belajar, sehingga sulit dipastikan apakah perilaku copy paste merupakan salah satu bentuk tindakan belajar. Namun, jika ditakar dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI nomor 17 tahun 2010, tentang pencegahan dan penanggulangan plagiat di perguruan tinggi, senyatanya perilaku copy paste tidak termasuk dalam kategori tindakan belajar, bahkan dikategorikan sebagai tindak pelanggaran akademis dan disetarakan dengan tindak kejahatan pencurian. Sebagai sebuah tindak pelanggaran akademis, fenomena plagiat dapat menjadi sarana dalam membaca realitas pengelolaan pembelajaran di perguruan tinggi. Rina Hidayat dan kawan-kawan telah membuktikan hal tersebut melalui penelitian yang mereka lakukan pada 2009, dengan judul: “Perilaku Plagiat Mahasiswa (Studi Kasus Plagiasi Melalui Internet di Kalangan Mahasiswa Fisipol UNIB).” Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif ini menghantarkan peneliti pada simpulan, bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mahasiswa terbiasa melakukan tindak plagiasi, yaitu: kurangnya ketersediaan literatur yang dibutuhkan mahasiswa; ketidaktegasan aturan dan sanksi terhadap pelaku tindak plagiasi; kurangnya kontrol dari para dosen yang memberikan tugas; ketidaktelitian dosen dalam melakukan koreksian terhadap tugas mahasiswa; keengganan dosen untuk mengoreksi tugas-tugas mahasiswa. Walau merupakan sebuah tindak pelanggaran akademis, namun fenomena perilaku copy paste dapat menjadi sarana untuk membaca, memahami serta menafsir ekspektasi belajar yang berisikan pemaknaan dan orientasi belajar mahasiswa. Oleh karenanya, perlu dilakukan kajian untuk menarik benang merah dari tumpukan jerami kesemrawutan perilaku belajar di kalangan mahasiswa, 15 dengan menggali pemaknaan mereka tentang belajar sekaligus realitas yang menjadi orientasi belajarnya. G. Kerangka Pemikiran Belajar merupakan aktivitas yang dilakukan manusia untuk mengalami dan kemudian memiliki pengetahuan tentang sesuatu. Dari aktivitas belajar lah pengetahuan terlahir dan berkembang. Sejatinya pengetahuan bermula dari proses manusia mengalami sesuatu yang kemudian ia pelajari melalui aktivitas berpikir kritisnya. Dalam dunia pendidikan, kemestian belajar tidak hanya sekedar untuk memenuhi kepentingan formalitas pendidikan, namun lebih sebagai sarana merealisasikan dan mengaktualisasikan potensi kedirian. Proses aktualisasi diri dalam pendidikan, yang berpotensi menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan, tersedia dalam aktivitas observing, questioning, experimenting, associating, networking, dan to creat. Aktivitas ini merupakan aplikasi dari kesejatian proses keberilmuannya manusia yang bergerak dalam stadia experiencing, knowing, trying, associating, evaluating, dan to creat. Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang semestinya dapat dijadikan sarana aktualisasi diri bagi para mahasiswa. Suasana perkuliahan memberikan peluang besar dan menyediakan ruang yang luas bagi gerak mahasiswa untuk mengaktualisasikan naturalitas potensi kedirian mereka dalam menjalani proses belajar mengamati persoalan (observing), merancang dan menyusun pertanyaan terhadap sebuah persoalan (questioning), mencobakan pemecahan atas persoalan yang telah diamati dan dipertanyakan (experimenting), mengidentifikasi dan memetakan pemecahan masalah sesuai dengan persoalan (associating), mengkomunikasikan dalam suasana dialog keilmuan (networking), dan merancang bangun tawaran pemikiran baru tentang solusi pemecahan masalah terhadap persoalan (to creat). 16 Sebagai peserta didik yang telah menjalani proses belajar selama duabelas tahun, semestinya mahasiswa sudah memiliki self conciousness (kesadaran diri) akan petingnya belajar sesuai dengan stadia pengembangan ilmu pegetahuan. Stadia belajar yang juga diberlakukan di perguruan tinggi meniscayakan mahasiswa berpeluang besar untuk mengaktualisasikan potensi kediriannya. Aktualisasi diri menjadi sarana bagi mahasiswa dalam menjalani proses memantaskan diri mereka sebagai masyarakat akademis yang pada akhirnya berpeluang mensejatikan diri dalam lingkaran komunitas ilmuwan. Dalam proses belajar atau perkuliahan, peluang aktualisasi diri bagi mahasiswa berwujud aktivitas belajar di ruang kuliah dan pengerjaan tugas kuliah yang diberikan dosen pengampu mata kuliah. Aktivitas di ruang kuliah memberikan peluang pada mahasiswa untuk mengeksplorasi potensi mengamati (observing) dan potensi mempertanyakan (questioning) materi yang diperikan oleh dosen. Sementara, tugas kuliah menjadi sarana bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensi mencoba (trying) kemampuan mereka menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan, potensi mengidentifikasi serta mengasosiasi (associating) pemikiran yang hendak mereka tuliskan, khususnya identifikasi terhadap bahan-bahan yang digunakan, potensi menyajikan atau mengkomunikasikan (networking) hasil pemikiran dalam suasana diskusi, dan potensi mencipta atau melahirkan (to creat) pemikiran baru berdasarkan hasil pengamatan, penanyaan, pencobaan, pengasosiasian, dan penyajian atau komunikasi. Idealitas kebermaknaan eksistensi mahasiswa, sebagai manusia yang berkesadaran akan pentingnya pendidikan adalah, menjadikan pengembangan dan peningkatan kualitas diri serta perluasan wawasan keilmuan sebagai ekspektasi (pengharapan) belajarnya. Ekspektasi ini hanya mungkin terwujud manakala mahasiswa bersedia melebur dan mengikuti stadia belajar yang sejatinya menyediakan ruang bagi mereka untuk mengaktualisasikan potensi kediriannya. Pengabaian terhadap stadia belajar merupakan pemudaran makna belajar yang berarti pula penjarakan proses belajar dengan ekspektasi belajar. Tindak pengabaian, pemudaran dan penjarakan dimaksud dapat dipastikan mampu 17 memberangus eksistensi kedirian mahasiswa yang secara natural memiliki potensi untuk berkembang melalui proses aktualisasi diri. Dari dua kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi kedirian yang tersedia dalam proses belajar, aktivitas belajar di ruang kuliah dan pengerjaan tugas kuliah, kesempatan kedua lah yang paling berpotensi untuk diabaikan oleh mahasiswa. Pengabaian ini bisa dilakukan oleh mahasiswa dalam bentuk tindak plagiasi atau copy paste. Ketika tindak plagiasi atau copy paste dilakukan oleh mahasiswa, senyatanya tindakan itu berpotensi mengaburkan makna dan ekspektasi belajar yang berujung pada pengingkaran terhadap eksistensi kedirian mahasiswa itu sendiri. Dengan kata lain, tindak plagiasi atau copy paste merupakan salah satu bentuk tindak pengingkaran terhadap kebermaknaan eksistensi diri mahasiswa yang semestinya memiliki self conciousness (kesadaran diri) tentang belajar. H. Sistematika Penulisan Penelitian ini penulis paparkan dalam tebaran lima bab, dimana masingmasing bab berisikan kajian yang mengacu pada fokus penelitian. Keterpautan antara bab yang satu dengan bab lainnya, secara sistemik dan sistematik, menjadi gambaran dari kehasratan penulis dalam memotret dan mengungkap pemaknaan dan ekspektasi mahasiswa IAIN Pontianak tentang belajar. Bab I berisikan fenomena empiris – asumsi rasional yang melatari pemikiran penulis dalam mengangkat tema penelitian. Latar pemikiran tersebut kemudian menjadi dasar bagi penulis dalam merumuskan fokus penelitian. Objek material penelitian, dalam rumusan fokus beserta pertanyaan penelitian, penulis analisis dengan berpandukan pada bangunan teoretis dan hasil kajian pustaka tentang belajar, sebagai paradigma atau objek formal. Kejelasan arah penelitian penulis ungkapkan dalam rumusan tujuan, urgensitas dan manfaat penelitian yang menjadi bagian akhir dari paparan Bab I. 18 Secara sistematis, Bab I yang merupakan bagian Pendahuluan dari keseluruhan penelitian, berisikan: Latar Pemikiran; Tujuan Penelitian; Fokus dan Pertanyaan Penelitian; Manfaat Penelitian; Urgensitas Penelitian; Tinjauan Pustaka; Kerangka Pemikiran; dan Sistematika Penulisan. Keseluruhan isi dalam Bab I ini menjadi acuan dan arah bagi penulis dalam melakukan proses kajian pada bab-bab berikutnya. Bab II berisikan teoritisasi idealitas makna belajar yang disertai dengan paparan pemikiran tentang makna ekspektasi belajar dan juga fenomena copy paste sebagai realitas perilaku belajar dalam dunia pendidikan. Paparan teoritis dalam Bab II selanjutnya penulis jadikan sebagai objek formal atau paradigma penelitian dalam mengkaji dan membahas fakta-fakta penelitian pada Bab IV, dengan menggunakan pola dialogis interpretatif. Bab III berisikan paparan tentang metodologi penelitian yang penulis gunakan dalam merancang, membaca, menafsirkan serta merefleksikan realitas empiris tentang pemaknaan dan ekspektasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak. Isi paparan Bab III ini disesuaikan dengan kaidah atau ketentuan fenomenologi Edmund Husserl yang penulis gunakan sebagai metode dan pendekatan dalam menyibak ralitas pemaknaan dan ekspektasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak di balik fenomena perilaku copy paste. Bab IV berisikan paparan tentang hasil kajian reflektif penulis terhadap realitas empiris yang termuat dalam Bab I dengan berdasar pada objek formal yang termuat dalam Bab II. Hasil kajian reflektif tersebut penulis paparkan dalam tautan dialog antara hasil kajian teoritis dengan hamparan informasi faktual yang penulis peroleh dari hasil wawancara terhadap mahasiswa IAIN Pontianak. Bab V merupakan bagian penutup yang berisikan simpulan dari kesemua proses penelitian. Simpulan dimaksud sekaligus merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian yang telah penulis rumuskan dalam Bab I. Bab V penulis akhiri dengan memberikan sumbang saran atau rekomendasi dalam bentuk refleksi kritis dengan berdasar pada hasil kajian dari proses penelitian yang telah penulis lakukan. 19 BAB II EKSPEKTASI BELAJAR MAHASISWA DALAM FENOMENA COPY PASTE A. Belajar sebagai Sebuah Kemestian Eksistensial “If a man neglects education, he walks lame to the end of his life,” demikian Plato memahamkan betapa pentingnya pendidikan bagi manusia, sekaligus menjelaskan bahwa proses pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat (Plato, 1993: 42). Dikarenakan pendidikan merupakan proses seumur hidup, maka kemestian ruang kehidupan manusia berisikan aktivitas belajar. Belajar merupakan aktivitas kesadaran mental manusia dalam upaya memahami dan memaknai eksistensi dirinya melalui proses pembacaan dan pemaknaan berbagai hal yang berada di ruang kehidupannya. Secara sederhana, kesadaran di sini termaknai sebagai kesiagaan manusia terhadap diri dan lingkungannya (Ginsberg, 2005: 8). Sebagai bentuk kesadaran mental, kesejatian aktivitas belajar pada diri manusia menjadi sulit untuk diamati secara langsung dalam realitas kependidikan. Kesejatian tersebut hanya bisa terbaca melalui fenomena perilaku belajar (Giroux, 1983: 18). Terdapat dua aktivitas mental yang dapat menandai dan menjadi pembeda dua bentuk proses belajar, yaitu: pertama, aktivitas menanda fakta-fakta serta mengisolirnya ke dalam bentuk informasi pengetahuan (rote learning); kedua, aktivitas memaknai berbagai fakta pengetahuan melalui tindakan aplikatif, sehingga rumusan informasi pengetahuan tidak hanya berbatas pada bangunan teoretis namun termaknai dalam sikap dan tindakan aplikatif (meaningfull learning) (Ausubel, 1968: 32). Kesulitan untuk mengamati aktivitas belajar sebagai bentuk kesadaran mental, menjadi daya tarik sendiri bagi para ilmuwan, pemikir dan pemerhati kependidikan, untuk merumuskan makna pendidikan berdasar pada fenomena perilaku belajar. Voke, seorang penulis sekaligus pemerhati pendidikan berkebangsaan Amerika, mendeskripsikan belajar sebagai bentuk usaha manusia dalam memahami dan memaknai suatu objek atau suatu peristiwa (2007: 77). Di 20 bagian lain, Bruner, guru besar prinsip-prinsip pengajaran di sekolah hukum New York, memaknai belajar sebagai sebuah perubahan tingkah laku pada diri setiap individu setelah ia melakukan interaksi dengan individu lain dan juga dengan lingkungan sekitarnya (2006: 25). Pemaknaan serupa diperikan Cronbach yang memaknai belajar sebagai sebuah aktivitas individu dalam proses interaksi dengan individu lain dan dengan lingkungan sekitarnya. Interaksi yang melibatkan pengalaman empiris tersebut membuahkan perubahan pola pikir dan pengetahuan (kognitif), sikap dan perilaku (afektif), sertain keterampilan dividu. Aktivitas ini dapat terjadi secara otomatis dengan adanya proses kematangan diri setiap individu, namun dapat pula terjadi karena hasrat yang disengajakan serta direncanakan oleh individu itu sendiri (Bloom, 1964: 45). Sebagai lembaga yang menaungi program pendidikan dunia, UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) memahamkan makna belajar sebagai sebuah bentuk pengalaman yang berorientasi pada capaian kognitif (memiliki pengetahuan), capaian afektif (perubahan sikap), dan psikomotorik (memiliki keterampilan). Pemaknaan ini kemudian ditetapkan UNESCO sebagai empat pilar pengalaman belajar dan dijadikan tolok ukur keberhasilan pendidikan. Keempat pilar dimaksud adalah: Learning to know (belajar untuk mengetahui), Learning to do (belajar untuk berbuat), Learning to be (belajar untuk menjadi diri sendiri), dan Learning to live together (belajar untuk hidup bersama) (Sindhunata, 2001: 116). Learning to know (belajar mengetahui), merupakan pilar yang menggambarkan peran pendidikan sebagai sarana bagi peserta didik dalam mencari, menemukan dan memiliki pengetahuan sesuai kehasratan, kebutuhan serta kegunaan bagi kehidupan mereka. Dalam penerapannya, pilar learning to know tidak hanya memfasilitasi peserta didik untuk memiliki pengetahuan yang bermakna, dalam arti bermanfaat, namun juga pengetahuan yang tidak bermakna sekaligus tidak bermanfaat, agar mereka tidak terjebak pada pilihan tindakan yang sia-sia dalam kehidupan. 21 Sebagai pilar pertama, learning to know juga menjelaskan orientasi pendidikan yang tidak sekedar mementingkan hasil belajar, namun lebih pada proses belajarnya. Untuk itu, tenaga pendidik, guru atau dosen, berkemestian memainkan peran sebagai fasilitator yang siap sedia mendampingi peserta didik menjalani proses belajar dalam ruang dialog keilmuan (Fakhrudin, 2010: 50). Peserta didik tidak hanya berproses mengetahui tentang sesuatu, tetapi juga memahami apa yang mereka ketahui dan bagaimana memaknainya sebagai sebuah pengetahuan yang dimiliki. Hal ini nantinya akan melahirkan kesadaran dan kemampuan tentang cara mengetahui bagaimana mengetahui (learning to learn) (Nashori: 1994: 3). Learning to do (belajar berbuat/berkarya), menjadi pilar yang menggambarkan kesejatian pendidikan sebagai lembaga budaya yang bertugas membekali peserta didik dengan pengetahuan teoretis berikut kaifiyah aplikasi praktisnya. Pilar ini sekaligus menjadi standar capaian ranah kognitif (pengetahuan) dalam pelaksanaan proses pendidikan. Capaian dimaksud berwujud perubahan penguasaan pengetahuan, dari pemikiran teoretis ke aplikasi praktis, perubahan yang berujung pada terlahirnya kreatifitas baru sebagai wujud pengembangan ilmu pengetahuan yang berguna, baik untuk diri si peserta didik maupun untuk orang lain (Ma’arif, 2005: 12). Pilar learning to do juga memberikan pemahaman tentang kemestian lembaga-lembaga pendidikan, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, mewadahi peserta didiknya untuk berkesempatan mengeksplorasi dan mengaktualisasikan potensi kedirian mereka. Kemestian ini berlandas pada kesejatian, dimana self actualization (aktualisasi diri) merupakan kebutuhan puncak dari lima kebutuhan dasar setiap manusia setelah: physiological (kebutuhan dasar), safety (kebutuhan akan rasa aman), love or belonging (kebutuhan akan cinta dan kasih sayang), esteem (kebutuhan akan perhatian) (Maslow, 1998: 65). Sebagai kebutuhan puncak dari kebutuhan dasar manusia, self actualization (aktualisasi diri) berbentuk: morality (keterarahan moral), creativity (berkreatifitas), spontaneity (bersikap spontan), problem solving (memecahkan masalah), lack of prejudice (mengurangi prasangka), acceptance of facts (menerima berbagai fakta) 22 (Maslow, 2006: 299). Kesemua bentuk kebutuhan dalam self actualization senyatanya menggambarkan aktivitas learning to do (belajar melakukan). Oleh karenanya, sebagai sarana belajar, lembaga pendidikan berkemestian menyediakan ruang bagi peserta didik untuk mengaktualisasikan potensi kediriannya. Penyediaan ruang aktualisasi diri ini sekaligus membuktikan bahwa pendidikan merupakan sarana paling tepat dalam memenuhi kebutuhan puncak manusia. Hal ini sejalan dengan apa yang dipahamkan oleh Aristoteles (384-322 SM.) melalui ungkapan pemikirannya: Education is self realization (Brumbaugh, 1963: 49). Kemestian yang paling mendasar untuk dapat menjamin keberhailan proses learning to do terbebani di pundak para tenaga pengajar dalam bentuk tuntutan melakukan perubahan mindset (pola pikir) tentang makna dan orientasi ‘mengajar’. Mindset lama yang memahamkan, bahwa: to teach is transfer of knowledge, senyatanya hanya mampu menjamin ketercapaian proses learning to know, namun belum sampai pada learning to do. Ketercapaian proses learning to do hanya dimungkinkan manakala para tenaga pengajar memahami, bahwa: to teach is not to transfer knowledge, but to create possibilities for the production or construction of knowledge (Freire, 1998: 9). Mindset (pola pikir) ini berorientasi pada upaya mengembalikan misi pendidikan sebagai sarana memanusiakan manusia yang senantiasa bergerak ke arah aktualisasi diri dengan menjadikan ketermilikan, penguasaan dan pengamalan ilmu pengetahuan sebagai indikasi keberhasilan capaiannya. Pemahaman dan pemaknaan tentang ‘mengajar’, yang tidak hanya sekadar kegiatan transfer of knowledge, sekaligus menjadi jaminan bagi keberhasilan target capaian pada proses learning to be. Learning to be (belajar menjadi diri sendiri) merupakan pilar yang mengisyaratkan kemestian bagi keberhasilan proses learning to know (belajar mengetahui) dan learning to do (belajar berbuat/berkarya). Keberhasilan capaian pada proses learning to know dan learning to do menjadi muatan nilai yang memantaskan peserta didik memiliki kebermaknaan diri. Capaian keberhasilan learning to be adalah sebuah kemestian dalam proses pendidikan, mengingat realitas dinamisasi kehidupan yang senantiasa berubah dan berkembang. 23 Dalam kehidupan yang senantiasa berubah dan bergerak menuju ke arah perkembangan, persaingan merupakan nilai keniscayaan yang tak mungkin dihindari oleh siapapun yang berhasrat untuk bisa bertahan hidup. Oleh karenanya, kualitas nilai-nilai kedirian menjadi syarat utama yang mesti dimiliki oleh setiap individu guna menjawab berbagai tantangan dalam arena kompetisi kehidupan. Hasrat manusia untuk mengkualitaskan diri, dalam upaya menghadapi kehidupan yang sarat dengan nilai-nilai kompetisi, hanya bisa dijawab oleh pendidikan melalui program belajarnya. Sebagai pilar pendidikan, learning to be mengandung penjelasan yang sangat mendasar tentang makna belajar. Pilar ini tidak hanya menegaskan pentingnya belajar sebagai wujud kepentingan aktivitas pendidikan, namun lebih pada orientasi dari peran belajar itu sendiri sebagai bentuk penyiapan hidup. Cicero (106–43 SM), filsuf Romawi bermazhab Stoa, memahamkan kesejatian dari orientasi belajar melalui pernyataan sederhananya: “non scholae sed vitae discimus” (belajar bukan untuk sekolah tapi untuk hidup) (Patterson, 1971: 22). Kesuksesan dari capaian proses learning to be semetinya tergambar dalam wujud kepribadian yang berkualitas, yakni sosok kepribadian yang mampu bertarung di arena kompetisi kehidupan. Kemampuan dimaksud tidak hanya sekadar memenangkan kompetisi, namun juga berwujud keterampilan dalam melahirkan nilai-nilai kesejahteraan yang mampu mensejahterakan diri dan sekaligus lingkungan di sekitarnya. Keberhasilan dalam bentuk seperti ini menjadi prasyarat bagi terlaksananya pilar pendidikan yang keempat, yaitu learning to live together (belajar hidup bersama). Learning to live together, merupakan pilar keempat sekaligus menjadi gambaran penutup tentang orientasi akhir dari sebuah proses belajar. Pengetahuan yang telah termiliki melalui proses learning to know, keterampilan yang telah terlatih dari proses learning to do, dan sikap yang telah terbentuk dalam proses learning to be, menjadi bekal bagi peserta didik dalam menapaki tangga keberhasilan menuju puncak kesejatian makna belajar. 24 Dengan bekal ilmu pengetahuan yang telah dimiliki, peserta didik diharapkan mampu membaca, menganalisis dan memahami persoalan hidup guna merancang bentuk penyikapan yang paling tepat. Berbekal keterampilan yang telah terlatih, peserta didik berpotensi dalam menyelesaikan persoalan hidup yang ia hadapi. Keterampilan juga menjadi bekal baginya untuk memantaskan diri dalam menjawab tantangan kompetisi kehidupan. Sementara, sikap yang telah terbentuk merupakan modal dasar bagi peserta didik untuk dapat hidup dalam wilayah sosial, sebagai bagian yang ikut memainkan peran penggerak perubahan. Learning to live together menjadi pilar yang menegaskan, bahwa proses belajar tidak hanya sebatas pada kepentingan memiliki ilmu pengetahuan serta mengaplikasikan pengetahuan itu dalam bentuk keterampilan dan sikap, namun belajar lebih untuk kepentingan penyiapan diri peserta didik dalam menjalani kehidupan bersama dengan masyarakat di wilayah sosialnya. Kepentingan ini senyatanya menuntut mereka untuk bisa menjadikan ilmu pengetahuan sebagai energi yang memadati ruang keterampilan dan sikapnya dalam membaca serta memaknai proses kehidupan bersama dengan menggunakan kacamata toleransi (Mead, 1959: 83). Toleransi (Latin: tolerare: ‘bertahan’ atau ‘memikul’), merupakan nilai inti yang mampu menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan sosial. Nilai ini lah yang semestinya tereksplor dari penguasaan ilmu pengetahuan melalui proses pembelajaran. Eksplorasi ilmu pengetahuan ke dalam bentuk eksternalisasi nilainilai toleransi, memampukan peserta didik untuk menerima sekaligus menghargai berbagai bentuk perbedaan. Hal ini didasarkan pada kesejatian dari toleransi yang terletak pada sikap memaknai keberagaman sebagai kualitas kehidupan (Hick, 1995: 23) Upaya memahamkan dan memaknai toleransi merupakan muatan inti dalam proses learning to live together. Proses pembelajaran berpilar learning to live together memestikan para tenaga pendidik untuk dapat memerikan kepada peserta didiknya bahwa ilmu pengetahuan terlahir dari rahim aktivitas manusia dalam memenuhi hasrat hidup. Oleh karenanya, keberadaan ilmu pengetahuan berkemestian memanusiakan manusia. Misi ini hanya bisa dijalankan oleh tenaga 25 pendidik yang menyadari perannya sebagai agen pemanusiaan ilmu pengetahuan: “the teacher is to be a humanizer of knowledge” (Phenix, 1964: 315). Pada bagian lain, learning to live together hanya akan berhasil manakala tenaga pendidik bersedia memaknai eksistensi peserta didiknya bukan hanya sebagai manusia yang berhasrat akan ilmu pengetahuan, namun juga sebagai sumber inspirasi atau sumber pengetahuan dalam kesetaraan mitra belajar, karena idealitas makna pendidikan adalah “mutual learning process.” Kesadaran seperti ini hanya ada pada tenaga pendidik yang terlahir secara alami, dan sulit ada pada tenaga pendidik yang keberadaannya dibentuk oleh sistem atau oleh hasrat bekerja: “teacher are born, not made” (Morris, 1963: 3). Proses saling belajar merupakan salah satu skenario yang bisa dipentaskan oleh tenaga pendidik dalam pelaksanaan pembelajaran. Pementasan ini merupakan aplikasi dari muatan yang terkandung dalam learning to live together, dimana sikap dan prilaku saling mengakui, saling menghargai, saling memahami, dengan berlandas pada ilmu pengetahuan dan keterampilan, menjadi adegan yang dilakonkan oleh tenaga pendidik dan peserta didik. Miniatur pementasan ini lah yang nantinya mereka lakonkan dalam pentas kehidupan sosial. B. Ekspektasi Belajar dalam Idealitas Pendidikan Secara etimologis, ekspektasi (Ing.: expectation) berarti: harapan, pengharapan, atau sesuatu yang diharapan. ‘Sesuatu’ yang diharapkan itu dapat berupa ‘orientasi’ atau ‘target’ dari apa yang dikerjakan. Sementara, secara terminologis, ekpektasi mengandung makna: harapan atau pengharapan seseorang yang menjadi target sebelum ia melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan. Makna ini menggambarkan, bahwa ekspektasi merupakan aktivitas kesadaran mental seseorang saat ia merencanakan suatu pekerjaan atau kegiatan. Sebagai aktivitas kesadaran mental seseorang, ekpektasi bersifat individual dan berada dalam ruang pertimbangan rasional. Istilah lain yang bersumber dari akar kata yang sama dengan ‘ekspektasi’ adalah, ‘ekspektensi’ (expectency). Kedua istilah ini memiliki arti yang sama namun 26 orientasi penggunaan maknanya berbeda. Istilah ekspektasi digunakan untuk menjelaskan tentang kehendak murni seseorang sebelum melakukan pekerjaan atau kegiatan, tanpa adanya faktor eksternal yang mempengaruhi, kecuali hasrat individualnya tanpa tingkatan target capaian. Sementara, penggunaan istilah ekspektensi ditujukan untuk menggambarkan tentang apa yang dihasrati seseorang setelah mempertimbangkan beberapa faktor ekternal. Pertimbangan ekternal menjadi alasan bagi seseorang untuk menetapkan tingkatan target capaian (Vroom, 1964: 45). Sejatinya, ekpektasi merupakan motivasi utama yang paling kuat dalam aktivitas belajar, karena selain menggambarkan target capaian, ekpektasi juga memberikan arah bagi capaian aktivitas belajar (Piaget, 2001: 22). Dalam pelaksanaan proses belajar, ekpektasi sangat dibutuhkan untuk memberikan energi bagi aktivitas belajar peserta didik. Aktivitas belajar yang dipadati dengan energi harapan akan kesuksesan tertentu, menjamin tumbuh kembangnya semangat belajar, dan hal ini memungkinkan bagi terciptanya suasana belajar yang menyenangkan dan penuh makna (Phenix, 1964: 30). Berdasar pada alur sejarah kelahiran ilmu pengetahuan yang bermula dari hasrat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagai kesejatian makna bertahan hidup, belajar menjadi kemestian aktivitas natural bagi manusia. Senyatanya, aktivitas belajar telah memungkinkan manusia untuk bisa membaca, memaknai dan memahami realitas semesta jagad raya yang masih terselimuti misteri (Reesir, 1966: 23). Dari aktivitas belajar terhadap semesta jagad raya, manusia berkemampuan memahami apa dan bagaimana semestinya ia bersikap, dan di sini lah letak makna kemestian pendidikan bagi manusia: “education must teach us to live close to nature” (Brumbaugh, 1963: 5). Dasar, pertimbangan dan cara manusia bersikap terhadap semesta jagad raya menjadi embrio kelahiran ilmu pengetahuan. Diawali dengan pengalaman yang terbentuk dari hasil aktivitas manusia mengalami relasi dengan semesta jagad raya. Pengalaman tersebut dibaca dan dimaknai manusia hingga melahirkan common sense (pengalaman berdasar akal sehat). Selanjutnya, common sense dikaji dan dipikirkan oleh manusia, melalui aktivitas belajar, dan menghasilkan 27 pengetahuan. Pengetahuan itu kemudian disistemisasikan dan dimetodiskan dalam proses rasionalisasi objektif, sehingga jelas alur kerja ilmiahnya (Descartes, 1957: 21). Proses rasionalisasi dimaksud pada akhirnya berhasil membidani kelahiran ilmu pengetahuan, sekaligus menggambarkan kesejatian manusia sebagai homo rationale: “je pense donc je suis” / “cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada) (Descartes, 1941: 27) Dari paparan tentang proses terlahir dan terbentuknya, jelaslah bahwa ilmu pengetahuan bermula dari aktivitas manusia belajar mengalami, membaca, memaknai, dan memahami segala bentuk fenomena yang muncul dari hasil relasinya dengan semesta jagad raya (Barbu, 1971: 56). Realitas ini menjadi dasar logis dari sebuah pemaknaan tentang kesejatian ilmu pengetahuan: “all knowledge is recollection” (Brumbaugh, 1963: 5). Dengan kata lain, ilmu pengetahuan senyatanya hanya merupakan hasil recollection (koleksi ulang) dari keseluruhan proses pengalaman manusia. Jika ilmu pengetahuan senyatanya terlahir dari rahim aktivitas belajar manusia, dalam memaknai proses relasinya dengan semesta jagad raya, maka yang menjadi kesejatian belajar adalah: “experience to know” dan “experience to get skills”. Dengan demikian, belajar sebagai sebuah kesadaran mental, memestikan adanya aktivitas ‘mengalami’ dalam pelaksanaannya, sehingga ketermilikan ilmu pengetahuan pada diri para pebelajar tidak hanya sebatas teoretisasi pengetahuan namun juga aplikasi dari pengetahuan itu sendiri. Pentingnya aktivitas ‘mengalami’ merupakan argumen logis dalam penataan ekspektasi belajar, karena ia berkesesuaian dengan idealitas orientasi pendidikan yang menitikberatkan pada ‘proses’ dan bukan pada hasil: Education be viewed as process of living and not preparation for future living (Dewey, 1933: 76). Selain itu, aktivitas ‘mengalami’ memungkinkan para pebelajar memiliki kesan tentang pengetahuan yang dimiliki, dan kesan itu berpotensi mempengaruhi daya ingat mereka. Memiliki pengetahuan dan keterampilan sebagai bekal untuk menjalani tapakan kehidupan ke arah masa depan, merupakan salah satu gambaran idealitas ekspektasi belajar. Idealitas ekspektasi hanya mungkin tercapai manakala seseorang yang belajar bersedia menjalani proses “experience to know” dan 28 “experience to get skills”, karena dengan proses ini ia berkesempatan memiliki keutuhan ilmu pengetahuan, yaitu kemenyatuan antara teori dan aplikasi. Ketermilikan ilmu pengetahuan yang utuh berpotensi memantaskan seseorang untuk meraih kesuksesan belajar dan sekaligus menjamin kebermaknaan hidupnya (Boyd, 1983: 101) Kebermaknaan hidup terlahir dari proses gerak potensialitas kedirian manusia menuju aktualitas kehidupan dalam wujud aktivitas yang sarat dengan nilai-nilai. Nilai-nilai dimaksud merupakan hasil dari rasionalisasi terhadap semua realitas kehidupan. Persalinan nilai-nilai dalam proses aktualisasi potensi kedirian manusia hanya mungkin terjadi melalui aktivitas belajar yang menghasilkan tatanan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memadati kehidupan manusia dengan nilai-nilai, seperti: keteraturan dan kebaikan yang kemudian menjadi dasar sekaligus standar kebermaknaan hidup. Dari aktivitas hidup manusia melahirkan ilmu pengetahuan, dan dari ilmu pengetahuan manusia memaknai kehidupan. Hasrat untuk senantiasa menemukan dan menciptakan kemaknaan hidup, merupakan naturalitas kecenderungan hidup manusia. Bahkan proses untuk mewujudkan hasrat ini tidak pernah berhenti dan tidak pernah menemukan titik selesai (Snijders, 2006: 4). C. Copy Paste, antara Harapan dan Kenyataan Belajar Kesejatian belajar adalah melakukan aktivitas ‘mengalami’ sesuatu hingga termilikinya pengetahuan, kemudian berproses menjadi kemampuan bertindak, keterampilan dalam bersikap dan berujung pada pembentukan kepribadian yang siap untuk hidup bersama dalam masyarakat. Penafian terhadap kesejatian belajar merupakan bentuk pengingkaran atas makna sekaligus pengaburan orientasi belajar (Kneller, 1971: 6). Salah satu bentuk pengingkaran makna dan pengaburan orientasi belajar adalah tindak perilaku plagiasi atau biasa juga diistilahkan copy paste yang kian hari semakin fenomenal di dunia pendidikan. Perilaku copy paste kini telah menjadi bagian yang hampir tak dapat dipisahkan dan dibedakan dengan perilaku belajar, 29 karena perilaku ini menyatu dalam aktivitas ‘mengalami’ yang menjadi kesejatian makna dan orientasi belajar. Pemisahan dan pembedaan perilaku copy paste dengan aktivitas belajar hanya dapat terdeteksi dengan cara mengidentifikasikan pemaknaan serta orientasi belajar. Aktivitas belajar mengandung makna ‘mengalami’ sesuatu untuk memiliki pengetahuan dengan implikasi pembentukan kepribadian yang berkemampuan dan bersikap berdasar pada kesejatian pengetahuan (Habermas, 1974: 45). Sementara, perilaku copy paste hanya terbatas pada aktivitas mengalami sesuatu untuk kepentingan memudahkan proses kerja belajar. Jika orientasi dari aktivitas belajar berjangka panjang, maka orientasi dari perilaku copy paste berjangka pendek. Copy paste merupakan istilah yang muncul di kalangan pelajar dan mahasiswa, sebagai gambaran tentang tindakan menjiplak atau plagiasi yang mereka lakukan terhadap karya tulisan orang lain (Utorodewo, 2007: 52). Istilah plagiasi sendiri mengandung pengertian: to steal an pass of (the ideas or words of another) as one’s own: use (a created production) without crediting the source, to commits literary theft: present as new and original on idea or product derived from an existing source (Ercegovac, 2004: 302). Sementara, di dalam Oxford English dictionary, plagiasi diartikan sebagai: to take and use as one’s own the thoughts, writings, or inventions of another. Tindak plagiasi juga bermakna: copy another person’s work, ideas, words, etc and pretend that they are your own. Di kalangan mahasiswa, tindak plagiasi dalam bentuk perilaku copy paste sudah menjadi trend (kecendrungan) belajar. Perilaku ini berbaur dalam aktivitas belajar saat menjalani proses perkuliahan, khususnya ketika mengerjakan tugastugas perkuliahan. Disadari atau tidak, senyatanya perilaku copy paste telah mengabsurdkan (mengaburkan) orientasi sekaligus ekspektasi belajar mereka. Secara umum, tindak plagiasi dalam bentuk perilaku copy paste dapat dilatari oleh beberapa alasan, antara lain: kebiasaan malas, terjebak dalam suasana stress, kebiasaan yang sudah dianggap bukan sebuah pelanggaran, dan keyakinan bahwa apa yang dilakukan tidak akan diketahui. Suasana stress yang dialami mahasiswa muncul sebagai akibat dari: adanya hasrat untuk memperoleh nilai 30 tinggi, kekhawatiran akan kegagalan yang berlebihan, munculnya anggapan adanya ketidakadilan dosen dalam menilai tugas-tugas mahasiswa, kurangnya waktu yang tersedia untuk menyelesaikan tugas kuliah, dan tidak adanya ketegasan yang melarang tindak plagiasi (Hartanto, 2012: 43). Rincian tentang perilaku yang terkategori sebagai tindak plagiasi, dipaparkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (PERMENDIKNAS) Nomor 17 Tahun 2010, BAB II, Pasal 2 ayat (1): 1. 2. 3. 4. 5. Mengacu dan/atau mengutip istilah, kata-kata dan/atau kalimat, data dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam catatan kutipan dan/atau tanpa menyatakan sumber secara memadai; Mengacu dan/atau mengutip secara acak istilah, kata-kata dan/atau kalimat, data dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam catatan kutipan dan/atau tanpa menyatakan sumber secara memadai; Menggunakan sumber gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa menyatakan sumber secara memadai; Merumuskan dengan kata-kata dan/atau kalimat sendiri dari sumber katakata dan/atau kalimat, gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa menyatakan sumber secara memadai; Menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan/atau telah dipublikasikan oleh pihak lain sebagai karya ilmiahnya tanpa menyatakan sumber secara memadai. Sebagai tindak pengingkaran terhadap kesejatian makna dan orientasi belajar, tindak plagiasi atau perilaku copy paste telah ditetapkan oleh negara sebagai perbuatan melanggar hukum dan dikenai sanksi sesuai dengan tingkatan pelanggaran. Ketentuan sanksi ini tertuang dalam PERMENDIKNAS Nomor 17 Tahun 2010, BAB VI, Pasal 12, ayat (1) sampai ayat (6). Khusus untuk pelanggaran yang dilakukan oleh mahasiswa, dikenakan sanksi secara bertingkat sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Teguran; Peringatan tertulis; Penundaan pemberian sebagian hak mahasiswa; Pembatalan nilai satu atau beberapa mata kuliah yang diperoleh mahasiswa; Pemberhentian dengan hormat status sebagai mahasiswa; Pemberhentian tidak dengan hormat dari status sebagai mahasiswa; atau Pembatalan ijazah apabila mahasiswa telah lulus dari suatu program. 31 Penetapan sanksi terhadap tindak plagiasi atau perilaku copy paste merupakan sebuah tindakan yang mesti dilakukan guna menyelamatkan dunia pendidikan dari berbagai bentuk pengingkaran dan manipulasi kebenaran ilmu pengetahuan. Selain itu, penetapan sanksi juga berfungi sebagai bentuk pencegahan agar tindak plagiasi atau perilaku copy paste tidak dilakukan oleh mahasiswa dengan tanpa beban moral dan etika akademik. Sejatinya, penetapan dan pemberlakuan sanksi terhadap tindak plagiasi atau perilaku copy paste merupakan salah satu upaya memagari kesucian makna dan orientasi belajar. 32 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup, Jenis dan Paradigma Penelitian Tema yang terumuskan pada judul penelitian, merupakan bagian dari serpihan kajian filsafat. Gambaran tentang esensi (hakikat) makna dan ekspektasi belajar di balik perilaku copy paste, yang terkandung dalam judul, senyatanya berada di wilayah pemikiran filsafat pendidikan. Sementara, kebutuhan akan seperangkat data informatif untuk kepentingan menganalisis fokus penelitian, memastikan bahwa penelitian ini berjenis field research (penelitian lapangan), karena data informatif dimaksud terhampar di ruang sosial dalam bentuk perilaku copy paste yang mengandung kesadaran mental rasional berupa pemaknaan tentang belajar, dan value (nilai) berupa ekspektasi (pengharapan) akan belajar. Untuk kepentingan menjaga orientasi capaian dari proses kerja penelitian, penulis melandasi penelitian ini dengan paradigma critical theory (teori kritis). Paradigma adalah tatanan bangunan kepercayaan terhadap nilai-nilai tertentu yang berisikan simpul ilmu pengetahuan dan kemudian menjadi sudut pandang dalam membaca, memahami dan menafsirkan realitas (Kuhn, 1985: 103). Critical theory merupakan salah satu dari empat paradigma penelitian: positivism, postpositivism, critical theory, dan constructivism (Denzim, 1994: 109). Penggunaan critical theory sebagai paradigma bagi penelitian ini penulis dasarkan pada pertimbangan: 1. Secara ontologis, critical theory memastikan penulis untuk dapat membongkar kesadaran empiris (phainen) dalam bentuk idealitas makna belajar bagi mahasiswa di lingkungan IAIN Pontianak; dan argumentasi logis-empiris yang melatari mereka melakukan copy paste. 2. Secara epistemologis, paradigma ini memfasilitasi penulis dalam mendialogkan berbagai gejala (phainomenon) berbentuk aktivitas belajar dengan informasi empiris tentang makna ‘belajar’. Sebelumnya, pemaknaan 33 mahasiswa tentang ‘belajar’ penulis reduksi agar terpisah dan tidak terbaur dengan teoretisasi makna ‘belajar’. 3. Secara aksiologis, critical theory memantaskan penulis dalam mengungkap kesadaran mental berwujud ekspektasi atau pengharapan mahasiswa dari aktivitas belajar yang mereka jalani. Penulis juga terpantaskan untuk menginterpretasikan dan mendeskripsikan konstruksi nilai-nilai yang mengitari bangunan ekspektasi belajar mahasiswa. B. Metode dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan aktivitas refleksi kritis yang berada dalam wilayah keilmuan filsafat. Oleh karenanya, metode yang digunakan untuk melakukan proses kerja penelitian mestilah metode yang akrab dan dapat mewadahi kehasratan pemikiran filosofis penulis dalam mengkaji tema penelitian. Proses kerja dalam penelitian berisikan aktivitas pembacaan, aktivitas pemaknaan, serta aktivitas penafsiran, yang kesemuanya penulis arahkan untuk menyibak tabir tentang makna dan ekspektasi belajar yang terselubung dalam fenomena perilaku copy paste di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak. Untuk kepentingan aktivitas kerja penelitian tersebut, penulis menggunakan metode Fenomenologi. Fenomenologi merupakan metode dalam kajian filsafat yang digunakan untuk menyibak makna terdalam di balik fenomena atau gejala-gejala (phainomenon) yang menampakkan diri dalam kesadaran empiris (phainen) (Moran, 2000: 23). Awalnya, fenomenologi hanyalah sebuah metode berpikir dalam tradisi filsafat. Namun bagi Edmund Husserl (1859–1938), fenomenologi tidak hanya sebatas metode berpikir, tapi juga sebuah tatanan bangunan ilmu filsafat yang secara ontologis mengkaji dan mendeskripsikan tentang kesadaran (science of consciousness) (Pivéeviae, 1970: 21. Keyakinannya ini semakin ia perkuat dengan mensistematiskan dan memetodiskan fenomenologi sebagai bangunan ilmu. Usaha yang dilakukan oleh Husserl justru semakin memperkokoh posisi fenomenologi sebagai metode keilmuan yang tidak hanya digunakan dalam wilayah filsafat tapi juga dalam tradisi ilmu sosial lainnya. Bahkan dia sendiri 34 melengkapi fenomenologi sebagai sebuah inquiry method dengan membangun landasan kerja, pendekatan, dan sekaligus pertimbangan metodisnya (Smith, 2007: 12). Sebagai inquiry method, Husserl lebih menekankan fenomenologi nya pada upaya untuk memahami kesadaran subjektif dari subjek yang diteliti. Walau sama-sama menyelidiki tentang kesadaran, namun alur kerja fenomenologi Husserl berbeda dengan pendekatan dalam ilmu pengetahuan yang menitikberatkan pada kesadaran pengamat dengan mempelajari cara kerja kesadaran di dalam otak dan syaraf manusia (neuroscience). Jika neuroscience lebih melihat aktivitas kesadaran sebagai fenomena biologis belaka, maka fenomenologi memaknainya sesuai dengan apa yang dialami langsung oleh manusia sebagai subjek yang diamati. Fenomenologi tidak berhenti pada deskripsi pengalaman inderawi saja, karena pengalaman inderawi hanya menjadi pintu masuk ke ruang conceptual meaning, yang bisa berwujud pikiran imajinatif, seperti: hasrat dan harapan ideal, ketika seseorang berada dalam pengalaman dunia personalnya (Husserl, 1960: 54). Cara dan alur kerja seperti ini lah yang kemudian semakin mengukuhkan fenomenologi Husserl sebagai inquiry method dengan istilah fenomenologi transendental (Smith, 2007: 37). Tujuan utama dari fenomenologi transendental sebagai inquiry method adalah, mengkaji dan menganalisis makna di balik aktivitas empiris dari objek penelitian sesuai dengan apa yang ia alami secara objektif, subyektif dan juga intersubyektif dalam dunia personalnya (Creswell, 2007: 24). Secara obyektif dimaksudkan sebagai makna yang permanen berada dalam ruang dan waktu di sekitar kehidupan objek penelitian. Secara subyektif maksudnya adalah pengalaman objek penelitian yang bersifat private (pribadi) sebagai manusia yang menjalani kehidupan empiris. Secara intersubyektitas bermakna interpretasi subjek lain yang ikut terlibat dalam aktivitas kehidupan sosial si objek penelitian (Smith, 2007: 60). Deskripsi tentang cara dan alur kerja fenomenologi transendental di atas, menjadi pertimbangan penulis memilih fenomenologi transendental sebagai metode dalam penelitian ini. Pertimbangan lain yang mendasari penulis memilih fenomenologi transendental adalah, adanya kesesuaian orientasi kerja metodis 35 dengan capaian penelitian yang penulis hasrati, yaitu untuk mengungkap makna dan ekspektasi belajar di balik fenomena copy paste di lingkungan mahasiswa IAIN Pontianak. Dalam proses kerjanya, metode fenomenologi memiliki dua bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan interpretatif dan pendekatan deskriptif (Smith, 2009: 14). Secara metodis, kedua bentuk pendekatan ini merupakan bagian dari pilahan besar aproach system (sistem pendekatan) penelitian, kualitatif yang terlahir dari pemikiran rasionalisme, dan kuantitatif yang berlandas pada pemikiran positivisme (Creswell, 1994: 4). Pendekatan interpretatif fenomenologis berada di wilayah pilahan kualitatif, sementara deskriptif fenomenologis menjadi bagian dari pilahan kuantitatif. Jika pendekatan deskriptif hanya sebatas pada pemaparan kandungan makna di balik fenomena sesuai dengan realitas empiris, maka pendekatan interpretatif menyertakan penafsiran peneliti terhadap pemaparan makna di balik fenomena (Smith, 2009: 29). Interpretatif merupakan pendekatan yang muncul sebagai imbas dari metode hermeneutika. Dalam tradisi hermeneutika, interpretasi atau penafsiran lebih dominan dilakukan terhadap realitas teks dengan kemestian reflektif. Ketika proses berpikir ilmiah dihadapkan pada realitas non-teks yang hadir dalam wujud fenomena, interpretasi tetap menjadi kemestian metodis dalam wilayah kerja fenomenologi (Smith, 2009: 15). Untuk kepentingan mempermudah proses kerja penelitian, penulis memilih interpretatif fenomenologis sebagai pendekatan penelitian. Penggunaan pendekatan ini penulis dasari dengan pertimbangan, bahwa: Pertama, interpretatif fenomenologis memberikan ruang keleluasaan bagi penulis dalam mengkonstruksi realitas faktual subjek penelitian. Konstruksi dimaksud dibutuhkan untuk menjaga orisinalitas makna yang ada di balik fenomena melalui proses kerja dalam tiga tahapan ‘reduksi’. Pertimbangan ini sejalan dengan landasan ontologis dalam pilahan wilayah pendekatan kualitatif, yang memahamkan bahwa seorang peneliti kualitatif berkewenangan mengkonstruksi realitas yang ia amati dan alami secara bersama dengan para partisipan atau subjek penelitian, sesuai dengan latar kepahamannya dalam menafsir (Lincoln, 1985: 70). Pengamatan dan pengalaman 36 secara bersama merupakan fakta penelitian, dimana penulis sebagai peneliti dan mahasiswa sebagai subjek penelitian berada dalam ruang aktivitas yang sama, yaitu sama-sama mengamati pengalaman empiris berbentuk perilaku copy paste. Kedua, pendekatan interpretatif fenomenologis memestikan penulis menciptakan dialog antara realitas empiris yang berwujud fenomena copy paste dengan realitas rasional berupa teoretisasi tentang makna dan ekspektasi belajar. Kemestian dialogis bertujuan untuk melahirkan sistesis sebagai sebuah simpulan penelitian. Hal ini sesuai dengan landasan epistemologis dalam pilahan wilayah pendekatan kualitatif, bahwa peneliti berkemestian menegosiasikan temuan dari hasil proses penelitian dengan berbagai interpretasi dan asumsi rasional. Bahkan, peneliti berpotensi untuk melakukan rasionalisasi terhadap temuan faktual (Lincoln, 1985: 75). Ketiga, interpretasi fenomenologis memantaskan penulis untuk merekonstruksi asumsi-asumsi yang muncul bersamaan dengan terjaringnya temuan-temuan faktual dalam proses penelitian. Rekonstruksi bertujuan untuk merenda serpihan fakta empiris menjadi sebuah rajutan pengertian. Pertimbangan ini bersinergis dengan landasan aksiologis dalam pilahan wilayah pendekatan kualitatif yang mengharuskan terlahirnya nilai-nilai kebermanfaatan dari sebuah proses kerja ilmiah melalui upaya membangun realitas pemaknaan baru dari hasil penelitian (Denzim, 1994: 17). Nilai kebermanfaatan yang hendak penulis bidani melalui proses penelitian ini adalah, sebuah pembelajaran tentang dekonstruksi makna kedirian manusia, sebagai mahasiswa dengan perilaku copy paste, yang berpotensi memberangus kemaknaan masa depannya. C. Setting Penelitian Penelitian ini berlatar pada hasrat penulis untuk menyelami dan mengungkapkan makna dan ekspektasi belajar di balik perilaku copy paste mahasiswa IAIN Pontianak. Untuk pemenuhan hasrat itu, penulis berusaha menggali informasi dari mahasiswa, yang saat penelitian ini berlangsung, merupakan mahasiswa aktif dalam mata kuliah filsafat ilmu, metodologi penelitian 37 di fakultas Syari’ah dan Ekononomi Islam, mata kuliah filsafat ilmu, filsafat pendidikan Islam di fakultas Tarbiyah dan Ilmu Kependidikan serta program pascasarjana IAIN Pontianak. proses perkuliahan yang penulis sampaikan. Proses penggalian dan pengumpulan informasi penulis lakukan di kelas di saat perkuliahan berlangsung. Untuk memenuhi kepentingan penggalian dan pengumpulan informasi, penulis menciptakan suasa perkuliahan, dimana mahasiswa sama sekali tidak menyadari bahwa mereka penulis posisikan sebagai subjek penelitian. Penciptaan suasana perkuliahan berorientasi penelitian penulis awali dengan merancang materi perkuliahan yang berpotensi membangkitkan kesadaran mahasiswa akan makna dan urgensitas ‘belajar’. Dalam perkuliahan filsafat ilmu, penulis sajikan materi tentang “stadia dan proses keberilmuan manusia.” Sementara, dalam perkuliahan filsafat pendidikan Islam penulis sampaikan materi tentang “kesejatian belajar dalam pendidikan.” Kedua materi tersebut penulis rancang dalam bentuk aktivitas diskusi dengan memberikan kebebasan pada mahasiswa untuk menyampaikan pendapatnya tanpa menggunakan aturan formalitas diskusi. Pembebasan ini penulis tujukan untuk memancing pernyataan-pernyataan spontan dari mahasiswa yang menggambarkan ungkapan jujur dari kesadaran mental mereka. Pancingan dimaksud penulis hamparkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang bermuara pada fokus penelitian, terkait kesejatian pemaknaan dan ekpektasi mahasiswa tentang belajar. Ungkapan jujur dari kesadaran mental mahasiswa penulis gali dengan melemparkan “fenomena copy paste” yang menjadi trendy dalam dunia belajar mahasiswa. D. Prosedur dan Teknik Pengumpulan Data Untuk kepentingan proses penjaringan dan pengumpulan data, guna menjawab pernyataan-pertanyaan dan mengkaji fokus penelitian ini, penulis menggunakan teknik wawancara mendalam dengan alat pengumpul datanya berupa pedoman wawancara yang dilengkapi dengan recorder (alat perekam) dan 38 fieldnote (catatan lapangan). Urutan pertanyaan dalam pedoman wawancara penulis sampaikan dengan menggunakan teknik snowball question (pertanyaan yang bergulir seperti bola salju). Dalam proses penjaringan data, teknik wawancara tidak penulis terapkan pada orang perorang, sebagaimana umumnya pelaksanaan field research (penelitian lapangan), namun penulis terapkan pada kelompok belajar saat perkuliahan berlangsung. Hal ini penulis lakukan dengan pertimbangan, bahwa perilaku copy paste yang menjadi pintu masuk bagi penulis untuk mendalami dan mengungkap makna dan ekspektasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak, merupakan fenomena sosial dan sudah bukan lagi berada dalam wilayah private (pribadi). Teknik wawancara terhadap orang perorang penulis terapkan pada beberapa orang dosen yang mengakui menemukan bukti adanya perilaku copy paste yang dilakukan oleh mahasiswa dalam mengerjakan tugas perkuliahannya. Wawancara ini penulis lakukan di tahap awal proses penjaringan data penelitian guna menggali informasi tentang kepastian adanya perilaku copy paste di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak. Sebelumnya, penulis juga menggunakan teknik dokumentasi namun tidak menggunakan daftar check list sebagai alatnya, karena penulis hanya membutuhkan kepastian akan adanya perilaku copy paste dan tidak bertujuan untuk mengklasifikasikan perilakunya. Teknik dokumentasi penulis terapkan dengan membaca tugas-tugas mahasiswa yang terindikasi copy paste, baik untuk pemenuhan tugas mata kuliah yang penulis ampu, maupun tugas mata kuliah ampuhan dosen lainnya. E. Prosedur dan Teknik Analisis Data Untuk kepentingan analisis data dalam penelitian ini penulis lakukan dengan menggunakan teknik ‘reduksi’ yang dipahamkan oleh Edmund Husserl (1859–1938), penggagas metode fenomenologi transendental. Teknik reduksi merupakan perwujudan dari hasrat Husserl dalam himbauannya: “zu den sachen selbst” (kembali kepada realitas yang sesungguhnya atau kembali pada sumber). 39 Dengan reduksi ia berharap, sebuah kajian terfokus pada penyelidikan tentang Labenswelt (realitas kehidupan) atau Erlebnisse (realitas batiniah subjektif), tanpa harus terjebak pada teoretisasi konseptual (Smith, 2009: 32). Penggunaan teknik reduksi dalam penelitian ini penulis sandarkan pada pertimbangan akan terpenuhinya komponen konseptual yang menjadi perwujudan dari nilai kesadaran penulis. Komponen dimaksud adalah: 1. Intentionalitas Intensionalitas, atau dapat juga dimaknai sebagai keberhasratan, adalah orientasi pikiran terhadap realitas sesuatu, yang menurut Husserl, bisa saja berwujud realitas nyata atau tidak nyata. Realitas yang tidak nyata dapat berwujud konsep tentang tanggung jawab, konsep tentang kesabaran, dan konsep tentang hal lain yang bersifat abstrak, seperti ekspektasi atau pengharapan. Intensionalitas sangat erat kaitannya dengan kesadaran dalam pengalaman seseorang, dimana pengalaman tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: kesenangan, minat, penilaian awal, dan harapan terhadap realitas tertentu (Husserl, 1960: 52). Dalam penelitian ini, kompenen intensionalitas atau keberhasratan terpenuhi pada penulis sebagai peneliti dan mahasiswa sebagai subjek yang diteliti. Pada penulis, komponen intensionalitas berwujud keinginan untuk mengungkap makna dan ekspektasi belajar bagi mahasiswa IAIN Pontianak yang tersembunyi di balik perilaku copy paste. Sementara, komponen instensionalitas pada mahasiswa berwujud ekspektasi mereka dalam menjalani proses belajar di IAIN Pontianak. Keinginan penulis serta ekspektasi mahasiswa, merupakan dua bentuk realitas yang bersifat abstrak dan memenuhi komponen intensionalitas dalam metode fenomenologi. 2. Noema dan Noesis Noema atau noesis merupakan dua nilai yang melekat pada intensionalitas atau keberhasratan seseorang terhadap realitas tertentu. Kedua nilai ini mampu memaparkan secara jernih maksud di balik keberhasratan seseorang dalam memahami realitas tertentu. Noema menjelaskan tentang nilai objektif, dan noesis 40 menjelaskan nilai subjektif, dari setiap pengalaman individu. Noema mengarah pada sesuatu sebagai objek yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, walaupun sesuatu yang dipikirkan itu masih berada di alam ide. Sementara noesis tertuju pada intended act (tindakan itu sendiri): melihat, mendengar, merasakan, memikirkan (Smith, 2009: 49). Nilai noema pada penulis sebagai peneliti berwujud objek kajian penelitian, yaitu ekspektasi mahasiswa dalam menjalani proses belajar, dan nilai noesis nya tampak pada aktivitas penulis dalam melakukan kajian berbentuk penelitian. Sementara, nilai noema pada mahasiswa sebagai subjek yang penulis teliti, adalah ekspektasi belajar yang mereka usahakan untuk dapat terwujud melalui aktivitas belajar, dan nilai noesis nya adalah aktivitas belajar itu sendiri, termasuk perilaku copy paste yang mereka lakukan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan belajarnya. 3. Intuisi Intuisi adalah salah satu bentuk kesadaran mental yang berpotensi menjadi energi bagi seseorang dalam kreativitas mewujudkan kehasratannya terhadap sesuatu. Bagi Husserl, intuisi merupakan jalan yang menghubungkan antara noema (nilai objektivitas pengalaman individu) dengan noesis (nilai subjektivitas pengalaman individu), sehingga seseorang berpotensi memeroleh pengetahuan tentang realitas sesuatu (Husserl, 1960: 56). Pemahaman Husserl ini dipengaruhi oleh rasionalitas Rene Descartes (1596–1650) tentang intuisi sebagai kesadaran mental dalam membedakan sekaligus mengeluarkan ‘genuine‘ (yang murni) dan yang diperhatikan dari ‘the light of reason alone‘ (hanya alasan semata) (Smith, 2007: 54). Intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan. Komponen ini terpenuhi dalam proses analisis data penelitian, dimana penulis sebagai peneliti dan mahasiswa sebagai subjek yang diteliti, sama-sama memiliki intuisi walau dalam orientasi dan kapasitas berbeda. Intuisi pada penulis terbangun dalam kehasratan mengungkap makna dan ekspektasi belajar di kalangan mahsiswa IAIN Pontianak di balik realitas perilaku copy paste. Sementara, 41 intuisi pada mahasiswa terkandung dalam ekspektasi belajar yang mereka ekspresikan melalui aktivitas belajar. 4. Intersubjektivitas Intersubjektif mengandung makna hubungan antara dua atau lebih orang. Istilah ini hadir sebagai sebuah bentuk penjelasan tentang realitas ‘tindakan’ dalam pemaknaan sosial. Tindakan merupakan perilaku yang membentuk makna subjektif, namun tidak dalam makna privat atau individualistis. Istilah subjektif dalam realitas tindakan lebih ditujukan untuk menjelaskan peran masing-masing individu dalam ruang sosial. Oleh karenanya, makna subjektif dipertautkan dengan istilah intersubjektif karena mengandung common and shared (nilai ‘kesamaan’ sekaligus ‘kebersamaan’) (Husserl, 2005: 25). Komponen intersubjektif tampak dalam relasi antara penulis sebagai peneliti dengan mahasiswa sebagai subjek yang diteliti. Konsepsi ‘tindakan’ dalam relasi ini berbentuk aktivitas penelitian, dimana penulis melakukan tindakan meneliti dan mahasiswa melakukan tindakan berupa memberikan informasi. Intersubjektif juga tampak dalam aktivitas belajar mahasiswa, yakni antara mahasiswa yang melakukan tindakan belajar dengan dosen yang melakukan tindakan mengajar. Penerapan teknik reduksi dalam metode fenomenologi dimulai dengan melakukan epoche (penundaan) pemaknaan dan penafsiran terhadap segala informasi, baik yang termiliki oleh penulis sebagai peneliti, sebelum penelitian dilakukan, maupun dari mahasiswa sebagai subjek penelitian yang diteliti. Penundaan ditujukan untuk menjaga orisinalitas makna dalam kandungan informasi guna mencapai esensi (kesejatian) makna sesuai dengan tema penelitian, yaitu ekspektasi belajar di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak. Epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: ‘menunda keputusan’ atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu.” Epoche juga mengandung makna bracketing (pemberian tanda kurung) terhadap setiap informasi yang diperoleh dari subjek penelitian, sebelum memberikan tafsiran tentang fenomena yang tampak, 42 sehingga fenomena tersebut tampil sebagai sebuah kesadaran natural tanpa dipengaruhi oleh teoretisasi pemikiran peneliti. Bagi Husserl, epoche dibutuhkan untuk menjaga makna di balik fenomena, agar tidak terkontaminasi oleh referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran si pengamat (Husserl, 1960: 35). Epoche ini lah yang merupakan kesejatian dari sistem kerja ‘reduksi’ sebagai teknik analisis data. Aplikasi metodis dari apa yang diistilahkan Husserl dengan epoche, tampak pada penerapan reduksi sebagai teknik analisis data. Sesuai kandungan makna dan hasrat dalam epoche, proses kerja analisis data dengan menggunakan teknik reduksi teraplikasikan dalam tiga tahapan, yaitu: a. Reduksi Fenomenologis Pada tahap fenomenologis, peneliti berkeharusan melakukan bracketing (memberi tanda kurung) atau menyaring semua informasi terkait pengalaman, dalam bentuk kesadaran empiris, dari subjek penelitian. Hal ini ditujukan agar peneliti berkeleluasaan dalam menggali kesejatian fakta dibalik fenomena dan menelusuri pengalaman subjek penelitian sebagai bentuk kesadaran empiris. Syarat utama yang harus dipenuhi oleh peneliti untuk dapat melakukan aktivitas reduksi fenomenologis adalah, melepaskan segala bentuk referensi ontologis dan argumentasi keilmuan ketika proses reduksi berlangsung (Husserl, 1960: 75). Aplikasi reduksi fenomenologis dalam proses analisis data penelitian ini adalah, penulis melakukan penyaringan terhadap data informatif tentang: makna belajar, orientasi belajar, dan alasan yang melatari perilaku copy paste mahasiswa di lingkungan IAIN Pontianak. Upaya ini bertujuan untuk memurnikan kesejatian makna ekspektasi belajar sebagai wujud kesadaran empiris agar tidak terkontaminasi oleh teoretisasi tentang makna dan orientasi belajar serta rasionalisasi perilaku copy paste. b. Reduksi Eiditis Tahapan reduksi eiditis bertujuan untuk menemukan dan memperoleh kesejatian atau hakikat di balik fenomena. Analisis data pada tahap reduksi eiditis 43 berisi aktivitas: pertama, menyisihkan segala bentuk ungkapan, pendapat serta pemikiran substansial dan aksidental (yang tidak hakiki); Kedua, memisahkan makna esensial (yang hakiki) tentang kesadaran mental empiris subjek penelitian dari segala hal yang substansial dan aksidental. Dengan demikian, kesadaran mental empiris tersebut akan mengungkapkan dirinya sendiri sebagai intuisi tentang wesenserchuung (kesejatian makna) (Husserl, 1960: 80). Dalam penelitian ini, reduksi eiditis penulis lakukan dengan menyisihkan berbagai bentuk ungkapan, pendapat serta pemikiran, baik yang termiliki oleh penulis sebagai peneliti maupun oleh mahasiswa sebagai subjek penelitian, tentang makna dan orientasi belajar. Selanjutnya, ungkapan, pendapat dan pemikiran tersebut penulis buang dengan harapan kesejatian makna belajar, berupa ekspektasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak, hadir pada penulis dalam paparan tentang argumentasi empiris di balik perilaku copy paste yang mereka lakukan sebagai bentuk kesejatian dari kesadaran mental. c. Reduksi Transendental Reduksi transendental merupakan tahap terakhir dalam proses analisis data. Tahap ini berisikan aktivitas memilah kesejatian atau hakikat yang masih empiris dengan kesejatian atau hakikat yang murni. Kesejatian yang empiris itu kemudian disaring hingga tersisa kesadaran dalam aktivitas yang berwujud erlabnisse (kesadaran murni). Erlabnisse (kesadaran murni) merupakan wilayah kerja bagi peneliti dalam mengkonstruksi obyek penelitian sehingga terpisah dari kesadaran empiris. Pada fase transendental, subjek penelitian hadir dalam aktivitas mengalami dirinya sendiri, sehingga kebenaran yang dicapai adalah keselarasan antara apa yang dilihat, dipikirkan serta dialaminya sesuai dengan makna yang ia konstruksikan dan sajikan sebagai tatanan substansial. Istilah transendental sendiri mengandung penjelasan, bahwa dalam proses kerja reduksi, ego nya subjek penelitian mampu menemukan kemaknaan akan dirinya melalui objek dalam aktivitas empiris yang menjadikan dirinya ada (Husserl, 1960: 96). 44 Dalam proses penelitian, tujuan utama dari reduksi transendental adalah untuk menemukan dan menghadirkan subyek secara murni. Untuk mendapatkan kemurnian serta kejernihan data, peneliti dimungkinkan melakukan klarifikasi terhadap data yang telah berhasil dihimpun dengan berbagai informasi dari sumber lain di luar data terhimpun (triangulation atau investigator triangulation). Aplikasi reduksi transendental dalam proses analisis data penelitian penulis lakukan dengan memisahkan berbagai realitas dan aktivitas empiris penulis sebagai peneliti dari kesadaran murni mahasiswa sebagai subjek penelitian yang terungkap melalui pengakuan tentang realitas di balik perilaku copy paste. Realitas dimaksud dengan sendirinya akan mengungkapkan kemaknaan sejati tentang ekspektasi belajar mahasiswa di lingkungan IAIN Pontianak. Hal ini lah yang dipahamkan oleh Husserl: “zu den sachen selbst” (kembali kepada realitas yang sesungguhnya atau kembali pada sumber). 45 BAB IV EKSPEKTASI BELAJAR MAHASISWA IAIN PONTIANAK DI BALIK FENOMENA COPY PASTE A. Realitas Pembelajaran di Lingkungan IAIN Pontianak Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak adalah satu-satu nya perguruan tinggi negeri berbasis Islam yang ada di provinsi Kalimantan Barat. Keberadaannya di tengah masyarakat seakan menjadi garda terdepan dalam memainkan peran peningkatan kualitas ummat Islam di Kalimantan Barat. Sebagai perguruan tinggi berbasis Islam, IAIN Pontianak memainkan dua peran penting, yaitu: peran lembaga dakwah dan peran lembaga pendidikan. Peran sebagai lembaga dakwah terbebani di pundak IAIN Pontianak yang menggunakan lebel ‘Islam’ dalam deretan namanya, sehingga program apapun yang dirancang dan dilaksanakan oleh pihak IAIN Pontianak harus mampu mewujudkan core virtues (nilai inti) dari agama Islam. Sementara, peran lembaga pendidikan, sebgai peran utama IAIN Pontianak, teraplikasi pada program pendidikan yang dirancang dalam strata kependidikan, mulai dari S.1 hingga S.2. Sejak berstatus menjadi institut pada 30 Juli 2013, yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden RI, Nomor: 53, Tahun 2013, IAIN Pontianak memiliki 3 fakultas dengan 11 jurusan. Ketiga fakultas tersebut adalah: 1. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK), dengan 4 jurusan, yaitu: a. Pendidikan Agama Islam (PAI); b. Pendidikan Bahasa Arab (PBA); c. Pendidikan Guru Raudhatul Athfal (PGRA); dan, d. Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI). 2. Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam (FSEI), dengan 4 jurusan, yaitu: a. Mu’amalah; b. Ekonomi Islam; c. Perbankan Syari’ah; dan, d. Ahwal Al-Syakhsiyyah. 46 3. Fakulas Ushuluddin dan Dakwah, dengan 3 jurusan, yaitu: a. Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI); b. Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI); c. Manajemen Dakwah; dan, d. Ilmu al Quran dan Tafsir. Wujud aplikasi peran sebagai lembaga pendidikan juga tampak dalam penataan bidang ketenagaan yang terkait dengan kebutuhan peningkatan kualitas layanan kependidikan, dimna IAIN Pontianak memberikan kesempatan kepada seluruh dosennya untuk meningkatkan kualitas diri melalui jalur pelanjutan studi. Kesempatan ini dipergunakan oleh beberapa dosen IAIN Pontianak dengan melanjutkan studi ke jenjang strata tiga (S.3). Hingga penelitian ini penulis lakukan, IAIN Pontianak telah memiliki tenaga dosen sebanyak 106 Orang, dengan kualivikasi strata pendidikan sebagai berikut: 1. Strata Tiga (S.3) sebanyak 27 orang. 2. Strata Dua (S.2) sebanyak 79 orang. Untuk menunjang proses pelaksanaan pendidikan, IAIN Pontianak juga melakukan pembenahan, dalam arti memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana: lokal kuliah beserta kelengkapan lainnya, seperti LCD projector; ruang laboratorium untuk kepentingan pelaksanaan praktikum. Hingga penelitian ini penulis lakukan, IAIN Pontianak telah memiliki 31 buah lokal yang hanya digunakan untuk pelaksanaan perkuliahan. Dari 31 lokal kuliah tersebut, 21 lokal di antaranya dilengkapi dengan prasarana yang sangat erat kaitan penggunaannya untuk kepentingan pelaksanaan perkuliahan, yaitu LCD projector. Saat penelitian ini penulis lakukan, terdapat 10 buah LCD projector yang sudah tidak layak pakai, karena pancaran lumen nya tidak lagi normal. IAIN Pontianak juga memiliki ruang laboratorium yang disediakan untuk pelaksanaan kegiatan praktikum. FTIK memiliki 1 ruang laboratorium untuk pelaksanaan kegiatan micro teaching. FSEI memiliki 2 ruang laboratorium, 1 ruang laboratorium micro syari’ah, dan 1 ruang laboratorium peradilan semu. Sementara, FUAD memiliki 3 ruang laboratorium: 1 ruang laboratorium konseling, 1 ruang 47 laboratorium komunikasi audio (radio) bernama radio PROKOM, 1 ruang laboratorium komunikasi visual (televisi) bernama TV IAIN Pontianak, dan 1 ruang laboratorium fotografi. Selain laboratorium yang melekat dan dikelola fakultas dan jurusan tersebut, IAIN Pontianak juga memiliki ruang laboratorium yang dikelola langsung oleh pihak IAIN Pontianak, yaitu laboratorium bahasa yang dikelola oleh unit Balai Bahasa. Laboratorium Bahasa ini idealnya harus dapat dimanfaatkan secara maksimal guna meningkatan kemampuan berbahasa bagi civitas akademika IAIN Pontianak. Upaya untuk meningkatkan kualitas akademik bagi para dosen juga difasilitasi oleh pihak IAIN Pontianak dengan menyediakan kesempatan untuk melakukan aktivitas penelitian, pengabdian masyarakat serta penulisan buku literatur dan buku ajar. Kegiatan ini dikelola oleh Unit Pelaksana Tugas (UPT), yaitu unit Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M). Untuk kepentingan dan kelancaran proses pembelajaran serta aktivitas penulisan, IAIN Pontianak juga memfasilitasi dosen dan mahasiswanya dengan penyediaan jaringan internet. Fasilitas ini dapat digunakan oleh civitas akademika selama 24 jam guna mengakses informasi terkini yang terkait dengan kepentingan perkuliahan dan penulisan karya ilmiah. Dengan ketersediaan internet diharapkan civitas akademika tidak terkendala dalam upayanya mencari rujukan literatur yang mereka butuhkan. Pada bagian lain, IAIN Pontianak juga memperhatikan profesionalitas lulusan yang hendak dilahirkan. Untuk kepentingan ini, IAIN Pontianak merancang kurikulum yang berisikan tebaran mata kuliah sesuai dengan kebutuhan profesionalitas kejurusan masing-masing fakultas. Mata kuliah yang ditawarkan di setiap jurusan tentunya sudah dipridiksi oleh pihak pengelola kependidikan IAIN Pontianak, mampu membekali mahasiswa meraih nilai keprofesionalitasannya. Dari sekian banyak mata kuliah yang ditawarkan di IAIN Pontianak, mata kuliah terdapat tiga mata kuliah yang dipercayakan kepada penulis untuk mengampunya, yaitu: Filsafat Ilmu (2 SKS), Filsafat Pendidikan Islam (2 SKS), dan 48 Metodologi Penelitian (2 SKS). Ketiga mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang wajib diprogramkan oleh mahasiswa IAIN Pontianak. Mata kuliah filsafat ilmu dan metodologi penelitian wajib bagi mahasiswa di seluruh jurusan. Sementara, mata kuliah filsafat pendidikan Islam hanya wajib bagi mahasiswa di lingkungan FTIK, termasuk mahasiswa pascasarjana. Ketiga mata kuliah tersebut dipercayakan pada penulis mengampunya di: jurusan PAI, PBA, PGRA, dan pascasarjana untuk mata kuliah filsafat pendidikan Islam; di jurusan ekonomi Islam, perbankan syari’ah, mu’amalah, ahwal alsyakhsiyyah, PBA, PGRA, BKI, KPI untuk mata kuliah filsafat ilmu; dan di jurusan mu’amalah untuk mata kuliah metodologi penelitian. Dari ketiga mata kuliah ini lah penulis masuk ke dalam alam fenomena copy paste guna menggali kesejatian makna belajar bagi mahasiswa di lingkungan IAIN Pontianak. B. Asumsi Pengantar ke Proses Penelitian Untuk masuk ke dalam aktivitas penelitian melalui proses perkuliahan, penulis merancang materi yang berpotensi memfasilitasi penulis untuk melakukan wawancara tanpa disadari oleh mahasiswa sebagai subjek penelitian. Perancanngan materi dimaksud penulis tujukan untuk membuka kesadaran mental mahasiswa agar mereka mau secara jujur dan terbuka berdialog dengan penulis sebagai peneliti. Rancangan materi yang penulis jadikan pintu masuk untuk melakukan proses wawancara dalam pelaksanaan perkuliahan ketiga mata kuliah tersebut adalah: 1. Peran pengalaman dalam proses terbentuknya ilmu pengetahuan. 2. Kesejatian belajar dalam proses pendidikan. 3. Stadia berpikir ilmiah. Rancangan materi “peran pengalaman dalam proses terbentuknya ilmu pengetahuan,” berisikan penjelasan tentang eksistensi pengalaman sebagai muatan utama dalam belajar. Paparan materi ini penulis awali dengan menjelaskan, bahwa pengalaman manusia terlahir dari hasil proses interaksi masing-masing individu 49 dengan segala bentuk realitas di luar dirinya. Pengalaman tersebut senantiasa berulang sejalan dengan berulangnya proses interaksi. Berulangnya pengalaman itu lah yang merangsang kesejatian manusia sebagai homo rationale (makhluk berpikir) untuk berpikir secara intensif. Hasil berpikir intensif terhadap pengalaman kemudian melahirkan common sense (pengetahuan sederhana). Kesejatian berpikir manusia terus terangsang untuk kemudian memikirkan secara intensif keberadaan common sense, hingga terbentuknya pengetahuan. Pengetahuan itu kemudian disistemisasikan dan dimetodiskan oleh daya kerja pikir manusia yang berakhir pada terlahirnya ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, secara sederhana ilmu pengetahuan biasa dimaknai sebagai pengetahuan yang disistemisasikan dan dimetodiskan. Aktivitas ini dalam proses gerak perubahan serta pelahirannya – dari pengalaman, common sense, pengetahuan, dan terakhir ilmu pengetahuan – adalah ‘belajar’. Artinya, ‘belajar’ merupakan kesejatian manusia yang senantiasa bergerak dalam proses pemenuhan kebutuhan hidupnya. Berhenti belajar berarti berhenti berproses dalam kehidupan. Berhenti berproses sama saja artinya dengan mengingkari kesejatian hidup, dan tentunya hal ini berkonsekwensi pada penyamaan eksistensi kederajatan manusia dengan hewan dan tetumbuhan, yang dalam kehidupan hanya bersifat statis dan memainkan peran mengisi ruang dan waktu. Dari penjelasan materi tersebut, penulis kemudian mengajukan pertanyaan yang berpotensi menggiring ke arah proses wawancara, sesuai dengan rancangan pertanyaan penelitian. Pertanyaan dimaksud adalah: “Aktivitas apakah yang membedakan antara kita sebagai manusia dengan hewan dan tetumbuhan?” Senyatanya, pertanyaan ini berusaha membangkitkan kesadaran mahasiswa tentang peran belajar sebagai kesejatian aktivitas hidup manusia. Kesadaran dimaksud penulis butuhkan untuk menggali ungkapan murni dari mahasiswa, terkait makna belajar bagi mereka. Berikutnya, rancangan materi “kesejatian belajar dalam proses pendidikan,” penulis jadikan sebagai sarana untuk mengkonstruksi kesadaran mental mahasiswa tentang kemestian belajar. Kesejatian belajar penulis paparkan dalam 50 ruang kajian tentang pendidikan. Penulis menggunakan pemikiran Aristoteles (384-322 SM.), education is self realization, untuk memahamkan akan pentingnya pendidikan bagi pengembangan potensi kedirian manusia. Untuk dapat menjalani proses realisasi diri, manusia berkemestian mengenal dirinya sebagai makhluk dimensional yang memiliki potensi berkembang. Pengenalan akan diri menjadi sangat penting karena ia merupakan pintu masuk utama dalam bangunan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, diri adalah awal dari segalanya, diri lah yang berinteraksi, diri lah yang mengalami dan diri lah yang senantiasa berpikir. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memfasilitasi peserta didiknya untuk dapat mengembangkan potensi diri melalui proses belajar mengenal diri. Sementara, proses belajar berisikan aktivitas mengalami segala hal, yang diawali dengan mengalami kesejatian diri sebagai homo rationale (makhluk berpikir) makhluk yang senantiasa berpikir. Melalui proses mengalami kesejatian diri ini lah manusia berkesempatan untuk mengembangkan potensi yang secara natural mereka miliki. Paparan materi tersebut, penulis jadikan pintu masuk memulai proses wawancara dengan mahasiswa di kelas. Penulis mengajukan pertanyaan: “Harapan apa yang layak dimiliki oleh setiap orang yang belajar?” Pertanyaan ini berisikan motivasi untuk menyadarkan mahasiswa tentang manfaat belajar bagi mereka dalam menjalani proses kehidupan. Bentuk kesadaran dimaksud penulis butuhkan untuk menggali ungkapan murni dari mahasiswa, terkait orientasi belajar mereka. Rancangan materi “stadia berpikir ilmiah,” penulis perikan dalam perkuliahan sebagai sarana untuk memancing kesadaran mental berbentuk kejujuran dalam memaparkan perilaku copy paste, baik cara, bentuk, dan yang terpenting, alasan mereka melakukannya. Informasi ini penulis butuhkan untuk mengkonstruksikan keterkaitan antara perilaku copy paste di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak dengan pemaknaan mereka tentang belajar. Selanjutnya, hasil konstruksi tersebut penulis jadikan bahan dan dasar dalam menginterpretasikan kesejatian ekspektasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak. 51 Paparan materi “stadia berpikir ilmiah” penulis sajikan dengan menjelaskan terlebih dahulu kesejatian manusia sebagai homo rationale (makhluk rasional). Berikutnya, penulis menjelaskan tentang peran berpikir sebagai aktivitas yang mengukuhkan eksistensi (keberadaan) manusia, sebagaimana pernyataan René Descartes: “je pense donc je suis” atau “cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada) (Descartes, 1941: 47). Untuk membangun pemahaman tentang makna dan peran berpikir, penulis mensistemisasikan penjelasan dengan menggunakan stadia aktivitas kognitif. Stadia dimaksud adalah: experiencing – knowing – trying – associating – evaluating. Aktivitas kognitif ini bersifat natural dan pasti dialami oleh setiap individu yang menjalani aktivitas berpikir. Dari aktivitas kognitif ini lah proses dan alur kerja berpikir ilmiah disistemisasikan oleh penyusun kebijakan pendidikan menjadi aktivitas belajar berbasis scientific (keilmuan/ilmiah) yang berisikan tindakan: observing – questioning – experimenting – associating – networking – to creat. Obrserving merupakan tindakan mengidentifikasi objek yang ingin diketahui melalui aktivitas: menyimak – membaca – melihat – mendengar, dengan atau tanpa menggunakan alat tertentu. Sejatinya, tindakan observing mampu merangsang hasrat keingintahuan yang berwujud questioning. Stadia quetioning adalah tindakan bertanya tentang segala hal untuk mendapatkan informasi guna menyusun tatanan pemahaman tentang objek yang diamati, atau untuk klarifikasi informasi. Di dalamnya terkandung aktivitas menyusun pertanyaan, baik lisan maupun tulisan. Jawaban yang diperoleh dari hasil melakukan tindakan questioning menjadi dasar untuk melangkah ke stadia selanjutnya, yaitu experimenting. Stadia experimenting terwujud dalam tindakan melakukan percobaan tentang objek tertentu. Tindakan experimenting berisikan aktivitas: mengeksplorasi, mencoba, dan mendemonstrasikan. Kelanjutan dari tindakan experimenting adalah associating, yaitu: mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik dari hasil observing dan experimenting. Olahan informasi tersebut kemudian dianalisis dan dikumpulkan dalam bentuk kategori infromasi guna disinergiskan dengan fenomena/informasi yang terkait agar ditemukan suatu pola tertentu sebagai sebuah simpulan. 52 Simpulan dari stadia associating selanjutnya dikomunikasikan dalam stadia networking, yaitu: tindakan menyampaikan hasil pengamatan berbentuk paparan simpulan analisis baik secara lisan, tulisan maupun media lainnya. Dari stadia networking ini lah kemudian aktivitas belajar berbasis scientific (keilmuan/ilmiah) memungkinkan manusia yang belajar berpotensi menciptakan hal baru. Setelah materi tentang “stadia berpikir ilmiah” penulis paparkan dalam ruang perkuliahan, penulis kemudian mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa: “dari keenam stadia belajar, sebagai aktivitas berpikir ilmiah tersebut, bagian atau tahapan apakah yang biasa kita abaikan?” Pertanyaan ini penulis tujukan untuk membangkitkan kesadaran mahasiswa, dalam wujud kejujuran mengakui tindakan copy paste yang telah mereka lakukan, berikut bentuk dan argumen empiris yang melatarinya. C. Makna Belajar bagi Mahasiswa di Lingkungan IAIN Pontianak Untuk mengetahui sekaligus mengukur tingkat dan bentuk pemahaman seseorang, dapat dilihat dari pemaknaan mereka dalam bentuk penjelasan tentang suatu tema atau pengertian sesuatu. Hal ini merupakan idealitas dari sebuah bangunan pemikiran, bahwa setiap perkataan, prilaku dan termasuk kebijakan, sejatinya bermula dari pikiran, karena segala bentuk ekspresi dalam kehidupan manusia bersumber dari apa yang mereka pikirkan (Achmad, 2013: 68). Demikian pula hal nya dengan berbagai aktivitas belajar mahasiswa, idealnya bersumber dari pemahaman dan pemaknaan mereka tentang belajar. Banyak hal yang dapat memengaruhi seseorang dalam mengungkapkan pemaknaannya tentang sesuatu. Demikian pula pemaknaan mahasiswa tentang belajar, yang besar kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti: 1. Pengetahuan yang mereka peroleh dari hasil membaca, mendengar penjelasan teoretis dari guru atau dosen; 2. Gambaran tentang hidup masa depan; 3. Pergaulan di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah atau kampus, dan lingkungan masyarakat; 53 Ketiga kemungkinan tersebut berpotensi memengaruhi jawaban mahasiswa IAIN Pontianak jika mereka ditanya tentang makna belajar. Dari tiga kemungkinan di atas akan muncul tiga bentuk kemungkinan jawaban, yaitu: 1. Menurut teori atau pendapat, belajar adalah .... 2. Belajar adalah untuk .... 3. Belajar itu adalah .... Kemungkinan jawaban pertama menggambarkan adanya pengaruh pengetahuan teoretis. Kemungkinan jawaban kedua dipengaruhi oleh abstraksi harapan masa depan. Sementara kemungkinan ketiga dipengaruhi oleh asumsiasum pengalaman praktis dalam aktivitas pergaulan keseharian. Ketiga bentuk jawaban ini penulis asumsikan sebagai jawaban-jawaban yang akan muncul ketika proses wawancara terhadap mahasiswa penulis lakukan. Untuk kepentingan mengungkap pemaknaan belajar bagi mahasiswa, penulis mengajukan pertanyaan awal: “Aktivitas apakah yang membedakan antara kita sebagai manusia dengan hewan dan tetumbuhan?” (Ww.: 03–04–05–06–07– 16/08/2015). Pertanyaan ini mengundang kehadiran jawaban yang seragam. Keseluruhan mahasiswa di 15 kelas yang penulis ajar menyatakan, bahwa aktivitas yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain adalah ‘berpikir’. Jawaban mahasiswa tersebut kemudian penulis tindaklanjuti dengan mengajukan pertanyaan: “mengapa manusia berpikir?” (Ww.: 03–04–05–06–07– 16/08/2015). Pertanyaan ini mendapatkan jawaban beragam dari mahasiswa. Jawaban-jawaban yang disampaikan mahasiswa adalah: 1. Karena manusia memiliki akal. 2. Karena manusia makhluk rasional. 3. Karena manusia ingin tahu. 4. Karena manusia harus memenuhi kebutuhan hidupnya, dan untuk itu manusia harus berpikir bagaimana caranya. Dari keempat jenis jawaban yang disampaikan oleh mahasiswa tersebut, hanya jawaban nomor 4 yang menurut penulis lebih dominan muncul dari kesadaran mental empiris daripada kesadaran mental teoretis rasional. Oleh itu, jawaban nomor 4 lah yang penulis jadikan sebagai dasar untuk mengajukan 54 pertanyaan berikutnya. Pertanyaan dimaksud adalah: “berpikir yang bagaimana yang semestinya dilakukan oleh manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya?” (Ww.: 03–04–05–06–07–16/08/2015). Pertanyaan tersebut mendapat jawaban yang beragam dari keseluruhan mahasiswa yang penulis jadikan sebagai subjek penelitian. Menurut mahasiswa, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berpikir: 1. Sesuai dengan apa yang dibutuhkan. 2. Tentang hal-hal yang nyata saja. 3. Kreatif. 4. Teratur. 5. Memulai dari dirinya. Kelima jawaban tersebut lebih menggambarkan dominasi kesadaran mental empiris daripada kesadaran mental rasional. Dari kelima jawaban itu penulis kemudian merumuskan pertanyaan lanjutan: “proses apakah yang semestinya dilakukan untuk bisa berpikir tentang apa yang dapat memenuhi kebutuhan hidup, secara teratur dan kreatif?” (Ww.: 03–04–05–06–07–16/08/2015). Pertanyaan ini melahirkan jawaban yang seragam. Mahasiswa di 15 kelas perkuliahan memberikan jawaban, bahwa yang semestinya dilakukan oleh manusia adalah ‘belajar’. Berdasarkan jawaban tersebut, selanjutnya penulis mengajukan pertanyaan yang menuntut pernyataan kesadaran mental empiris mahasiswa, yaitu: “berdasarkan pengalamaan hidup anda, apa yang anda pahami tentang belajar?” (Ww.: 03–04–05–06–07–16/08/2015). Pertanyaan ini memunculkan jawaban yang sangat beragam dari mahasiswa yang berada di 15 kelas perkuliahan. Menurut mahasiswa, belajar adalah: 1. Proses mendewasakan diri melalui pendidikan formal. 2. Upaya untuk mengerti dan mendalami ilmu pengetahuan tertentu. 3. Proses untuk memiliki ilmu pengetahuan. 4. Proses berpikir tentang kehidupan. 5. Proses menemukan jati diri. 6. Proses mempersiapkan masa depan dengan menguasai ilmu pengetahuan. 55 7. Berusaha untuk terampil dalam mempersiapkan kehidupan masa depan. 8. Usaha untuk menjadi pintar. 9. Upaya untuk mampu menghadapi tantangan hidup. 10. Proses berpikir kreatif. Dari kesemua jawaban yang telah disampaikan oleh mahasiswa, penulis menangkap gambaran tentang adanya kesadaran mental empiris dan juga kesadaran mental rasional. Kesadaran mental empiris tampak pada jawaban nomor 3, 4, 5, dan 8. Sementara, jawaban nomor 1, 2, 6, 7, 9, dan 10 cenderung menggambarkan ungkapan kesadaran mental rasional. Perbedaan kedua bentuk kesadaran tersebut terlihat dari kata-kata atau istilah yang digunakan. Kata-kata atau istilah yang menggambarkan kesadaran mental empiris lebih berbentuk celetukan tanpa melalui proses berpikir serius dan teratur. Sementara, kata-kata atau istilah dari kesadaran mental rasional lebih menggambarkan hasil berpikir serius dan teratur, seperti untaian kalimat dalam literatur. Memperhatikan jawaban mahasiswa tersebut di atas, penulis menarik simpulan sementara, bahwa makna belajar bagi mahasiswa di lingkungan IAIN Pontianak masih dipengaruhi oleh teoretisasi rasional, sehingga kesadaran mental rasional mereka cenderung lebih dominan dalam menjalani proses belajarnya. Dengan demikian, sebagian dari mahasiswa IAIN Pontianak masih belum memiliki kesadaran mental empiris dalam belajar. D. Orientasi Belajar Mahasiswa IAIN Pontianak Dalam melaksanakan suatu kegiatan, setiap orang pasti dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, semisal orentasi atau tujuan yang hendak ia capai. Demikian pula dengan mahasiswa di lingkungan IAIN Pontianak yang melakukan aktivitas belajar saat menjalani proses perkuliahan. Kemungkinan terbesar yang mempengaruhi aktivitas belajar mereka adalah, orientasi dan tujuan mereka belajar. Orientasi dan tujuan belajar merupakan gambaran tentang ekspektasi seseorang dalam melaksanakan serta menjalani sebuah proses tertentu. Oleh 56 karenanya, untuk mengetahui ekpektasi belajar mahasiswa di lingkungan IAIN Pontianak, penulis merancang beberapa pertanyaan. Pada tahap awal, penulis mengajukan pertanyaan: “mengapa dan untuk apa anda kuliah, padahal bisa saja anda mencari kerja atau melakukan aktivitas lain yang tidak menyibukkan anda dengan kegiatan perkuliahan, seperti belajar di kelas dan mengerjakan tugas?” (Ww.: 06–07–08–09–10–11/09/2015). Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh mahasiswa dengan jawaban yang beragam. Menurut penuturannya, orientasi dan tujuan mereka kuliah adalah: 1. Untuk mendalami ilmu yang bersumber dari ajaran Islam. 2. Menjalani perintah agama, karena belajar diwajibkan dalam al-Quran. 3. Ingin menjadi sarjana muslim yang profesional. 4. Agar mudah mencari pekerjaan: a. Menjadi guru (mahasiswa FTIK) b. Meningkatkan profesionalitas diri dalam menjalankan tugas kependidikan (mahasiswa pascasarjana) c. Menjadi wirausahawan/menjadi pegawai bank/menjadi pegawai kementerian agama/menjadi hakim (mahasiswa FSEI) d. Menjadi konselor/menjadi wartawan/menjadi jurnalis (mahasiswa FUAD). 5. Agar bermanfaat bagi masyarakat. 6. Menjadi sarjana agar bisa menjadi kebanggaan orang tua. 7. Memenuhi keinginan orang tua. Ketujuh jenis jawaban tersebut dapat penulis petakan menjadi dua kelompok, sesuai dengan jenis kesadaran yang melatarinya. Jawaban nomor 1, 2, 3, dan 5 menggambarkan ungkapan kesadaran mental empiris tentang ekspektasi belajar mahasiswa di kalangan IAIN Pontianak. Jawaban-jawaban tersebut terungkap sebagai gambaran dari apa yang dialami mahasiswa dalam menjalani proses belajar sebagai bagian aktivitas kehidupannya. Keempat jawaban itu tampak terbebas dari teoretisasi dan rasionalisasi pengalaman, dan sangat mungkin dipengaruhi oleh atmosfir pengalaman hidupnya. 57 Selanjutnya, jawaban 4, 6, dan 7, senyatanya menggambarkan ungkapan kesadaran mental rasional, ditandai dengan penggunaan istilah yang sangat akrab dengan rasionalitas teoretis. Jawaban yang terungkap dari ruang kesadaran mental rasional tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh asupan pemikiran yang diperoleh mahasiswa dalam pelaksanaan proses perkuliahan. Dari keseluruhan jawaban mahasiswa tersebut, penulis kemudian mengajukan pertanyaan yang dapat mengungkapkan keseriusan tujuan dan orientasi belajar mereka. Pertanyaan dimaksud adalah: “apa yang anda lakukan untuk mewujudkan tujuan dan orientasi kuliah atau belajar anda?” (Ww.: 06–07– 08–09–10–11/09/2015). Pertanyaan ini mendapatkan jawaban-jawaban sebagai berikut: 1. Belajar dengan sungguh-sungguh. 2. Memperbaiki diri. 3. Menguasai ilmu yang dipelajari. 4. Membuat skala prioritas. Kebenaran dari keempat jenis jawaban itu hanya dapat tergambar dalam ungkapan jawaban mahasiswa terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang perilaku copy paste. Namun keempat jawaban di atas, walau menggambarkan ungkapan kesadaran mental rasional, tetap saja bermuatan ekspektasi mahasiswa terhadap aktivitas mereka dalam menjalani proses belajar. Ungkapan ini sejatinya menggambarkan apa dan bagaimana mereka memahami dan memaknai belajar sebagai sebuah kemestian status mahasiswa yang mereka sandang. E. Perilaku Copy Paste di Ligkungan Mahasiswa IAIN Pontianak Sebagaimana penulis paparkan pada bagian sebelumnya, bahwa untuk memaknai benar dan tidaknya jawaban yang disampaikan mahasiswa tentang usaha mereka dalam mewujudkan tujuan dan orientasi belajarnya, dapat dideteksi dari paparan jawaban mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan penulis tentang perilaku copy paste. Pertanyaan tentang perilaku copy paste merupakan pintu 58 masuk bagi penulis untuk mengungkap dan mengetahui makna dan ekspektasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak. Untuk mengungkap pemaknaan, bentuk dan sebab yang melatari perilaku copy paste mahasiswa di lingkungan IAIN Pontianak, penulis mengajukan pertanyaan awal sebagai berikut: “menurut anda, copy paste itu apa?” (Ww.: 01–02– 04–05–06–07/10/2015). Pertanyaan ini mendapatkan jawaban beragam dari mahasiswa sesuai dengan pemahaman dan pengetahuan mereka. Jawaban-jawaban tersebut adalah: 1. Copy paste itu menjiplak karya orang lain. 2. Copy paste adalah mengopi tulisan orang lain yang ada di internet. 3. Copy paste adalah mengedit tulisan yang diambil dari internet. 4. Copy paste adalah menyalin tulisan orang lain, baik dari buku maupun dari internet. Keempat jawaban di atas jelas memiliki kesenadaan pengertian dan pemahaman tentang copy paste. Dari jawaban mahasiswa ini kemudian penulis mengajukan pertanyaan berikutnya, yaitu: “selama melakukan aktivitas belajar dalam proses perkuliahan, apakah anda pernah melakukan tindakan copy paste?” (Ww.: 01–02–04–05–06–07/10/2015). Pertanyaan ini dijawab secara serempak dan cepat tanpa menunggu proses berpikir rumit, dengan jawaban sama oleh mahasiswa di 15 kelas yang penulis wawancarai, yaitu: ‘pernah’. Jawaban spontan dari mahasiswa senyatanya menggambarkan sebuah ungkapan kesadaran mental empiris sekaligus merupakan bentuk kesadaran murni. Memperhatikan gaya mahasiswa mengungkapkan jawabannya yang spontan dan santai, seakan tak ada beban moral mereka melakukan tindakan copy paste, penulis menangkap adanya fakta bahwa tindakan copy paste yang mereka lakukan tidak hanya sesekali namun sering. Untuk memastikan fakta tersebut, penulis kemudian mengajukan pertanyaan: “jika kita menggunakan rentang persentase 10% hingga 100%, berapa persen kah kita sudah melakukan copy paste?” (Ww.: 01–02–04–05–06–07/10/2015). Pertanyaan tersebut penulis ajukan bukan hanya untuk memastikan fakta sebelumnya, namun juga untuk membuktikan benar atau tidaknya jawaban 59 mahasiswa terkait usaha mereka dalam mewujudkan orientasi atau tujuan belajarnya. Penggunaan kata ‘kita’ dalam rangkaian kalimat pertanyaan, penulis tujukan agar mahasiswa tidak merasa diinterogasi, sehingga suasana wawancara bisa berlanjut tanpa adanya perasaan tertekan bagi mahasiswa sebagai subjek penelitian. Dari pertanyaan tersebut, sebuah fakta kependidikan yang cukup mengejutkan, penulis peroleh melalui ungkapan jawaban mahasiswa. Walau jawaban yang diungkapkan beragam, namun perbedaannya sangatlah tipis. Melalui ungkapan jawabannya para mahasiswa mengakui bahwa: Selama kuliah, kami sudah melakukan copy paste sebanyak: 1. 99% (PAI–III – A/D/F, PGRA – I/III, MUA–III). 2. 85% (EI–I – A/B/C/D/E, MUA–I, PBA–III). 3. 75% (Pascasarjana–I – reguler/non reguler). Menilik pengakuan mahasiswa tersebut, penulis terpancing untuk menggali informasi, apakah mereka mengetahui status moral dari perilaku copy paste. Keingintahuan ini penulis wujudkan dengan mengajukan pertanyaan: “menurut anda, apakah perilaku copy paste yang anda lakukan itu dapat dibenarkan, baik menurut moral akademis maupun moral empiris?” (Ww.: 01–02–04–05–06– 07/10/2015). Ketika pertanyaan ini penulis ajukan, tampak sebagian besar mahasiswa menunjukkan ekspresi penyesalan di wajahnya. Dugaan penulis, ekspresi itu muncul karena mereka sudah terlanjur mengakui dengan jujur tentang perilaku copy paste yang mereka lakukan. Menariknya, keterkejutan mahasiswa saat mendengarkan pertanyaan penulis tersebut tidak membuat mereka mengabaikan pertanyaan, karena tak lama berselang, secara serempak mereka memberikan jawaban: “salah pak.” Secara sederhana, kata ‘salah’ yang digunakan mahasiswa dalam jawabannya, penulis maknai sebagai ungkapan kesadaran bahwa, perilaku copy paste yang telah mereka lakukan senyatanya merupakan tindak pelanggaran terhadap moral akademis dan moral empiris. Ungkapan kesadaran mahasiswa tersebut menjadi dasar keingintahuan penulis untuk menelisik alasan yang melatari mereka melakukan copy paste. 60 Keingintahuan tersebut penulis ungkapkan dalam pertanyaan: “jika anda tahu bahwa perilaku copy paste melanggar aturan akademis dan aturan moral, mengapa anda lakukan?” (Ww.: 01–02–04–05–06–07/10/2015). Pertanyaan ini dijawab oleh mahasiswa dengan jawaban yang beragam. Mereka mengakui bahwa, perilaku copy paste terpaksa mereka lakukan karena: 1. Dosen terlalu banyak memberikan tugas. 2. Waktu batas akhir untuk mengumpulkan tugas terlalu cepat. 3. Materi tugas yang diberikan dosen tidak jelas. 4. Pengalaman, tugas yang dikumpulkan tidak dikoreksi dosen. 5. Tidak menemukan literatur untuk mengerjakan tugas. 6. Ada dosen yang menyarankan ngedit tulisan dari internet. Dari keenam jawaban mahasiswa tersebut, penulis sempat terkejut dengan jawaban mahasiswa yang tertera pada nomor 6. Ungkapan mahasiswa itu senyatanya merupakan fakta tentang pengabaian terhadap nilai-nilai keilmuan yang dilakukan oleh dosen. Sehingga, penulis berkesimpulan sementara, adalah wajar jika copy paste telah menjadi perilaku belajar di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak, karena dosen yang semestinya mencegah dan melarang justru menganjurkan, bahkan mengajarkan mahasiswanya melakukan copy paste. Namun, karena realitas terakhir ini tidak termasuk dalam wilayah kajian penelitian, maka peneliti mengabaikannya agar tidak mengganggu fokus kajian. Selanjutnya, berdasarkan jawaban-jawaban mahasiswa yang berisikan pengakuan bahwa mereka sudah terbiasa melalukan copy paste, penulis kemudian mengajukan pertanyaa yang terkait dengan kepentingan dari copy paste itu sendiri. Pertanyaan dimaksud adalah: “untuk kepentingan apa saja anda melakukan tindak copy paste? (Ww.: 01–02–04–05–06–07/10/2015). Tanggapan yang disampaikan mahasiswa sebagai jawaban atas pertanyaan ini adalah: 1. Hanya untuk tugas kuliah. 2. Untuk tugas kuliah dan ujian yang dikerjakan di rumah (pen.: take home test). 61 Sebagai kelanjutan dari jawaban mahasiswa tersebut, penulis kemudian mengajukan pertanyaan: “bagaimanakah bentuk perilaku copy paste yang selama ini telah anda lakukan?” (Ww.: 01–02–04–05–06–07/10/2015). Pertanyaan ini penulis ajukan untuk mengetahui bentuk-bentuk perilaku copy paste yang telah dilakukan oleh mahasiswa. Secara beragam mahasiswa memberikan jawaban sebagai berikut: 1. Menyalin (download) keseluruhan tulisan tertentu yang ada di internet sesuai dengan tema yang diberikan dosen sebagai tugas. 2. Menyalin (download) keseluruhan tulisan tertentu yang ada di internet sesuai dengan tema yang diberikan dosen sebagai tugas, kemudian mengedit (mengganti) bentuk huruf (font) nya. 3. Menyalin (download) keseluruhan tulisan tertentu yang ada di internet sesuai dengan tema yang diberikan dosen sebagai tugas, kemudian mengeditnya dengan menggunakan bahasa sendiri. 4. Menyalin (download) beberapa tulisan yang ada di internet sesuai dengan tema yang diberikan dosen sebagai tugas, kemudian menggabungkannya menjadi satu bentuk makalah. 5. Menyalin (download) beberapa tulisan yang ada di internet sesuai dengan tema yang diberikan dosen sebagai tugas, kemudian menggabungkan dan mengeditnya menjadi satu bentuk makalah. 6. Menulis (mengetik) ulang bagian-bagian dari beberapa literatur yang dibutuhkan sesuai dengan tema tugas dari dosen dan menggabungkannya menjadi satu bentuk makalah. 7. Menyalin (copy) dan mencetak ulang tugas yang sudah dikerjakan oleh teman sekelas atau lain kelas dengan tema dan judul yang sama. 8. Minta tolong dibuatkan kakak tingkat atau teman sekelas. Tindakan yang dilakukan oleh mahasiswa seperti terungkap pada jawaban nomor 1 sampai 7 merupakan perilaku copy paste karena mereka tidak menyebutkan atau mencantumkan sumber rujukannya. Menurut pengakuan mereka, ketujuh bentuk copy paste tersebut selalu mereka lakukan dalam memenuhi tugas di setiap mata kuliah. Sementara, bentuk perilaku copy paste pada nomor 8, 62 hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan alasan sakit atau pulang kampung. Setelah memperoleh informasi yang berisikan pengakuan mahasiswa terkait perilaku copy paste yang telah mereka lakukan, penulis kemudian mencoba menggali kesejatian latar penyebab mereka melakukan copy paste. Untuk itu penulis mengajukan pertanyaan: “sekiranya kita jujur dengan diri sendiri, alasan apakah yang paling utama kita melakukan copy paste? (Ww.: 01–02–04–05–06–07/10/2015). Pertanyaan ini dijawab secara santai oleh mahasiswa dengan ungkapannya: “malas mikir pak.” Jawaban ringan dari mahasiswa tersebut sepintas hanya menggambarkan keengganan mereka menjawab, namun kaliamat serta cara yang mereka gunakan dalam menjawab justru merupakan kesadaran mental empiris tentang kesejatian latar dari perilaku copy paste. Realitas faktual ini berpotensi juga untuk menjelaskan tentang kesejatian makna serta orientasi belajar mereka. Untuk memperkuat interpretasi dimaksud, penulis kemudian mengajukan pertanyaan: “jika anda jujur dengan diri anda sendiri, apa sebenarnya harapan anda dari belajar dengan melakukan copy paste pada setiap mata kuliah?” (Ww.: 01–02–04–05–06– 07/10/2015). Tujuan penulis mengajukan pertanyaan itu adalah, untuk menggali kesejatian ekspektasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak. Keseluruhan mahasiswa yang menjadi subjek penelitian memberikan jawaban senada dalam dua bentuk pernyataan, yaitu: 1. Lulus semua mata kuliah. 2. Mendapat nilai bagus. Kedua bentuk ungkapan mahasiswa tersebut senyatanya berasal dari kesadaran mental empiris tentang kesejatian ekspektasi belajar mereka selama mengikuti proses perkuliahan. Aktivitas belajar yang mereka lakukan berpotensi tidak memberikan pengalaman apapun kecuali perolehan nilai dan status kelulusan. Orientasi belajar yang hanya terfokus pada perolehan nilai dan status kelulusan senyatanya mewajarkan perilaku copy paste di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak. 63 BAB V PENUTUP A. Simpulan Proses akhir dari aktivitas penelitian: pengumpulan, pembacaan, reduksi, dan interpretasi kritis terhadap berbagai informasi tentang ekspektasi belajar di balik fenomena perilaku copy paste di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak, adalah perumusan simpulan interpretatif. Perumusan simpulan mengacu pada rumusan fokus penelitian dan merupakan jawaban atas rumusan pertanyaan penelitian. Secara umum penulis dapat menyimpulkan, bahwa mahasiswa IAIN Pontianak tidak memiliki ekspektasi (pengharapan) belajar yang sejalan dengan idealitas pengembangan keilmuan berupa pengembangan dan aktualisasi potensi diri. Mereka terjebak pada orientasi belajar absurditas praktis serta pragmatis yaitu kepentingan nilai dan status kelulusan. Belajar yang sejatinya merupakan sarana untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan diri, terberangus oleh hasrathasrat sesaat. Pemberangusan idealitas belajar bermula dari pemaknaan yang bersifat tendensius. Orientasi belajar yang hanya terfokus pada perolehan nilai dan status kelulusan berpotensi menjadi pembenar bagi segala bentuk tindakan yang bertolak belakang dengan aturan akademis serta aturan moral. Salah satu tindakan dimaksud adalah perilaku copy paste yang dilakukan oleh mahasiswa di lingkungan IAIN Pontianak. Tanpa disadari, perilaku copy paste hanya bersifat sementara dalam menyelamatkan mereka dari pemenuhan kewajiban tugas kuliah, namun justru mengancam kebermaknaan masa depan mereka dalam waktu lama. Kebermaknaan masa depan berwujud penguasaan ilmu pengetahuan dan ketermilikan keterampilan, hanya mungkin diraih melalui proses belajar dalam bentuk aktivitas mengalami langsung. Sementara, perilaku copy paste justru menafikan aktivitas tersebut dari ruang kesadaran mental belajar. 64 1. Pemaknaan mahasiswa IAIN Pontianak tentang belajar Berdasarkan informasi yang telah penulis kumpulkan dan analisis, penulis menyimpulkan bahwa pemaknaan belajar bagi mahasiswa di lingkungan IAIN Pontianak masih dipengaruhi oleh teoretisasi rasional. Ungkapan-ungkapan yang digunakan mahasiswa dalam memaknai belajar merupakan gambaran kesadaran mental rasional. Ungkapan tersebut mereka tuangkan dalam kalimat: a. Belajar adalah proses mendewasakan diri melalui pendidikan formal. b. Belajar adalah upaya untuk mengerti dan mendalami ilmu pengetahuan tertentu. c. Belajar adalah proses mempersiapkan masa depan dengan menguasai ilmu pengetahuan. d. Belajar berarti berusaha untuk terampil dalam mempersiapkan kehidupan masa depan. e. Belajar adalah upaya untuk mampu menghadapi tantangan hidup. f. Belajar adalah proses berpikir kreatif. Sementara ungkapan kesadaran mental empiris mahasiswa disampaikannya dalam rumusan kalimat sebagai berikut: a. Belajar merupakan proses untuk memiliki ilmu pengetahuan. b. Belajar merupakan proses berpikir tentang kehidupan. c. Belajar merupakan proses menemukan jati diri. d. Belajar merupakan usaha untuk menjadi pintar. Dominasi teoretisasi rasional dalam ungkapan jawaban mahasiswa yang terlahir dari kesadaran rasionalnya merupakan gambaran bahwa, mahasiswa IAIN Pontianak belum memiliki kesadaran mental empiris tentang belajar. Belum termilikinya kesadaran ini menjadi sebab awal dari absurditas (kekaburan) orientasi sekaligus ekspektasi belajar mereka. Dengan demikian, aktivitas belajar yang dilakukan oleh mahasiswa dalam proses perkuliahan cenderung merupakan aktivitas hampa, tanpa kesejatian makna. Ketakbermaknaan belajar berpengaruh pada perilaku belajar yang ditampakkan oleh mahasiswa. 65 2. Orientasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak Berdasarkan hasil analisis terhadap data informatif melalui jawaban- jawaban yang disampaikan oleh mahasiswa sebagai subjek penelitian, penulis menyimpulkan bahwa, orientasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak bersifat praktis dan pragmatis. Praktis dalam arti sederhana dan cenderung tidak mengandung makna yang berkesesuaian dengan kesejatian belajar. Sementara, pragmatis bermakna lebih mementingkan aspek kemanfaatan di saat aktivitas belajar dijalani, tanpa mempertimbangkan berbagai kemungkinan dalam proses pencapaiannya. Praktis dan pragmatisnya sifat orientasi belajar mahasiswa IAIN Pontianak tergambar dari jawaban yang mereka sampaikan, yaitu: a. Belajar untuk mendalami ilmu yang bersumber dari ajaran Islam. b. Belajar demi menjalani perintah agama, karena belajar diwajibkan dalam alQuran. c. Belajar karena ingin menjadi sarjana muslim yang profesional. d. Belajar, agar mudah mencari pekerjaan e. Belajar, agar bermanfaat bagi masyarakat. f. Belajar untuk menjadi sarjana agar bisa menjadi kebanggaan orang tua. g. Belajar demi memenuhi keinginan orang tua. Jawaban nomor 1, 2, 3, dan 5 menggambarkan ungkapan kesadaran mental empiris tentang ekspektasi belajar mahasiswa di kalangan IAIN Pontianak. Jawaban-jawaban tersebut terungkap sebagai gambaran dari apa yang dialami mahasiswa dalam menjalani proses belajar sebagai bagian aktivitas kehidupannya. Keempat jawaban itu tampak terbebas dari teoretisasi dan rasionalisasi pengalaman, dan sangat mungkin dipengaruhi oleh atmosfir pengalaman hidupnya. Selanjutnya, jawaban 4, 6, dan 7, senyatanya menggambarkan ungkapan kesadaran mental rasional, ditandai dengan penggunaan istilah yang sangat akrab dengan rasionalitas teoretis. Jawaban yang terungkap dari ruang kesadaran mental rasional tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh asupan pemikiran yang diperoleh mahasiswa dalam pelaksanaan proses perkuliahan. 66 3. Alasan mahasiswa IAIN Pontianak melakukan tindakan copy paste dalam memenuhi kebutuhan belajar Berdasarkan analisis terhadap jawaban yang berisikan pengakuan mahasiswa, penulis menyimpulkan bahwa, perilaku copy paste sudah menjadi perilaku belajar di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak. Mahasiswa mengetahui dan memahami bahwa perilaku copy paste senyatanya melanggar aturan akademis dan aturan moral, namun hal itu tidak menghalangi mereka untuk tetap melakukannya. Keberanian mahasiswa melakukan tindak copy paste dilatari beberapa alasan yang melatari, yaitu: a. Karena dosen terlalu banyak memberikan tugas. b. Karena waktu batas akhir untuk mengumpulkan tugas terlalu cepat. c. Karena materi tugas yang diberikan dosen tidak jelas. d. Karena pengalaman, tugas yang dikumpulkan tidak dikoreksi dosen. e. Karena tidak menemukan literatur untuk mengerjakan tugas. f. Karena ada dosen yang menyarankan ngedit tulisan dari internet. Alasan paling kuat bagi mahasiswa melakukan tindak copy paste adalah karena pengalaman yang mereka alami, dimana tugas yang mereka kumpulkan tidak dikoreksi oleh dosennya. Bahkan, mereka merasa mendapatkan energi, karena ada dosen yang menyarankan mereka melakukan editan terhadap tulisan dari internet untuk kepentingan pemenuhan tugas kuliah. Saran ini senyatanya tidak membantu membangun kesadaran belajar mahasiswa, namun justru mengaburkannya. Pengalaman tugas yang tidak pernah dikoreksi dan adanya dosen yang justru memberikan saran untuk melakukan copy paste, telah menjadi penguat dan pembenar bagi tindak perilaku copy paste di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak. Keberadaan dua alasan itu berpotensi meredupkan – kalaupun belum memadamkan, kebermaknaan belajar sekaligus mengaburkan arah orientasi dan ekspektasi belajar di kalangan mahasiswa IAIN Pontianak. Dengan demikian, 67 hampir dapat dipastikan, selama kedua sebab tersebut tidak dihilangkan, aktivitas belajar mahasiswa hanya merupakan bentuk formalisasi akademis. B. Rekomendasi Interpretatif Untuk dapat memperbaiki dan mengembalikan kemaknaan belajar yang berpengaruh pada kejelasan orientasi dan ekspektasi belajar mahasiswa, perlu dilakukan upaya tata ulang proses pembelajaran di lingkungan IAIN Pontianak. Upaya ini harus dimulai dengan menata dan memperbaiki pola pikir mahasiswa tentang belajar. Hasrat tersebut dapat difasilitasi dalam kegiatan awal di saat mahasiswa mengikuti program pengenalan kampus. Dalam kegiatan itu mahasiswa semestinya dibekali materi-materi yang senyata berpotensi menanamkan dan membangun kesadaran rasional dan empiris guna memperbaiki mindset (cara pandang) mereka tentang belajar di perguruan tinggi. Penataan dan perbaikan pola pikir juga semestinya dilakukan dalam pengelolaan pembelajaran, dimana setiap dosen berkeharusan merancang proses perkuliahan yang berpotensi memahamkan mahasiswa akan kesejatian makna belajar. Pada setiap memulai perkuliahan, para dosen sebaiknya tidak lagi mengiming-imingi mahasiswa dengan standar kelulusan dan capaian nilai, karena kedua hal ini merupakan embrio bagi kelahiran perilaku copy paste. ‘Lulus’ dan ‘nilai’ adalah dua istilah yang senyatanya telah menggoda mahasiswa untuk melakukan perilaku copy paste. Kedua istilah ini pula yang telah mengaburkan dan mengerangkeng kemaknaan orientasi belajar mahasiswa. Untuk dapat mengembalikan kesejatian pemaknaan dan ekspektasi belajar mahasiswa, terlebih dahulu dosen berkeharusan menata ulang mindset (cara pandang) nya tentang pendidikan. Hal ini dibutuhkan untuk membangun kesadaran para dosen bahwa, kehadiran mahasiswa bukan hanya sebagai objek ajar namun juga mitra belajar. Education is mutual learning process, dapat menjadi mindset baru bagi para dosen, semoga! 68 DAFTAR PUSTAKA Achmad, F. (2014), Pendidikan Berkesadaran Eksistensial, Pemikiran Alternatif Pendidikan Karakter, Pontianak: IAIN Press. Adian, D. G. (2006), Percik Pemikiran Kontemporer, Sebuah Pengantar Komprehensif, Bandung: Jalasutra. Ausubel, D. P. (1968), Educational Psychology, A Cognitive View. New York: Holt, Rinehart and Winston. Barbu, Z. (1971), Society, Culture and Personality, an Introduction To Sosial Science, Oxford: Basil Blackwell. Bloom, B.S (1964), Stability and Change in Human Characteristics, New York: Wiley. Brumbaugh, R.S., Nathaniel, M.L. (1963), Philosophers on Education : Six Essays on The Foundations of Western Thought, Boston: Houghton Mifflin Company. Bruner, J.S. (2006), In Search of Pedagogy, Volume I, The Selected Works of Jerome S. Bruner, New York: Routledge. Boyd, E.M, Fales A.W., Reflective Learning: Key to Learning from Experience, Journal of Humanistic Psychology, Vol. 23, Np. 2, Spring 1983: 99 – 117. Collin, F. (1997), Social Reality, London: Routledge. Creswell, J.W. (1994), Research Design: Qualitative & Quantitative Approach, New Delhi: Sage Publications. ------------------------, Vicki L., Plano. C. (2007), Designing and Conducting Mixed Methods Research, New Delhi: Sage Publications. Denzim, N.K., Lincoln, Yv.S. (Editor) (1994), Handbook of Qualitative Research, New Delhi: Sage Publications. Descartes, R. (1941), Meditation II, Descartes’ Meditations and Selections from the Principles of Philosophy, Translated by John Veitch, La Salle: Open Court. ------------------------ (1957), A Discourse on Method, Translated by John Veitch, London: J.M. Dent & Sons Ltd. Dewey, J. (1933), How We Think: A Restatement of the Relation of Reflective Thinking to the Education Process, Boston: D.C. Health. 69 Ercegovac, Z., Richardson, J.V Jr. (2004), Academic Dishonesty, Plagiarism Included in The Digital Age: Literature Review, Colledge and Research Libraries. Fakhrudin (2010), Menjadi Guru Faforit, Yogyakarta: Diva Press. Freire, P. (1971), Pedagogy of the Oppressed, New York: Seabury. ------------------------, (1998), Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy and Civic Courage, Lanham MD: Rowman and Littlefield Publishers Inc. Ginsberg, L. (2005), Lecture Notes: Neorology, London: Blackwell Publishing.Ltd. Giroux, H. (1983), Theory and Resistance in Education: Toward a Pedagogy for the Opposition, South Hadley: Bergin & Garvey. Greeley, A.M. (1977), The Mary Myth, New York: Seabury Press. Habermas, J. (1971), Knowledge and Human Interests, Boston: Beacon Press. ------------------------, (1974), Theory and Practice, London: Heinemann. Hartono, D. (2012), Menyontek: Mengungkap Akar Masalah dan Solusinya, Jakarta: Indeks. Husserl, E. (1960), Cartesian Meditation, tranlated by Dorion Cairns, The Hague: Martinus Nijhoff Publishers. ------------------------, (2005), Phantasy, Image Consciousness, and Memory, Translated by John B. Brough, Netherlands: Springer. Hick, J. (1995), A Christian Theology Of Religions: The Rainbow Of Faiths, USA: SCM Press. Kneller, G.F. (1971), Introduction to The Philosophy of Education, Second Edition, Toronto: John Wiley & Sons, Inc. Kuhn, Th. (1985), The Structure of Scientific Revolutions, Beverly Hills, CA: Sage. Lincoln. Yv. S., Guba, E.G. (1985), Naturalistic Inquiri. Washington: Sage Publications, Inc. Ma’arif, S. (2005), Pendidikan Pluralisme di Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka. Maslow, A. (1998), Toward a Psychology of Being, 3rd, New York: D. Van Nostrad. 70 Maslow, A. (2006), On Dominace, Self Esteen and Self Actualization, Ann Kaplan: Maurice Basset McMillan, J.H., Sally Sc. (2010), Research in Education, Evidence – Based Inquiry, Sevent Edition, New Jersey: Pearson Education, Inc. Mead, G.H. (1959), Mind Self and Society from The Standpoint of Social Behaviorist, Chicago: University of Chicago Press. Moran, D. (2000), Introduction to Phenomenology, London: Routledge. Morris, V.C., etc. (1963), Becoming an Educator, an Introduction by Specialists to the Study and Practice of Education, Boston: Houghton Mifflin Company. Nashori, F. (1994), Membangun Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta: SIPRESS. Phenix, Ph. (1964), Realm of Meaning, a Philosophy of the Curriculum for General Education, London: McGraw-Hill Book Company. Piaget, J. (1930), The Child’s Conception of Physical Causality, London: Kegan-Paul. -------------------------, (2001). Studies in Reflecting Abstraction. Hove, UK: Psychology Press Palto (1993), The Symposium and the Phaedrus: Plato's Erotic Dialogues, Transleted by R. E. Allen, New Haven: Yale University Press. Pivéeviae, E. (1970), Husserl and Phenomenology, London: Hustchinson University Library Reesir, O.L. (1966), Cosmic Humanism, USA: Schenkman Publishing Co. Ryle, G. (1949), The Concept Of Mind, London: Hutchinson. Sindhunata (2001), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Demokartisasi, Otonomi, Civil Society, Jakarta: Gramedia. Smith, D.W. (2007), Husserl, London: Routledge. Smith, J.A., Flowers, P., Larkin, M. (2009), Interpretative Phenomenological Analysis: Theory, Method and Research, Washington: Sage. Snijders, A. (2006), Manusia dan Kebenaran, Yogyakarta: Kanisius. Suparlan S. (2007), Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 71 Tafsir, A. (2009), Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, Bandung: Remaja Rosda Karya. Utorodewo (2007), Bahasa Indonesia, Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah, Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI. Voke, H. (2007), Pedagogy of the Oppressed, Civic Engagement and Education, Washington DC: Georgetown University. Vroom, V.H. (1964), Work and Motivation, Leadership and Decision Making and The New Leadership, New York: John Wiley.