Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Islamisasi Sains (Makna Sains, Sejarah Naturalisasi Ilmu dalam Islam, Urgensi Islamisasi dan Peran Al-Ghazali) Short Course Gen-UlulAlbab Via Whatsapp Oleh: Alvin Qodri Lazuardy S.Ag/ UNIDA-Gontor 3 Ilmu, Ilmu Pengetahuan, dan Sains Dalam bahasa Indonesia lazim dikenal istilah ilmu dan ilmu pengetahuan belakangan muncul istilah sains sebagai kata serapan dari bahasa Inggris science.Ilmu, ilmu pengetahuan dan sains sering di sama artikan. Hal Itu bisa diketahui dari definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan namun sebuah istilah dihadirkan dan mengandung makna yang unik sehingga antara ketiganya memiliki perbedaan. Sebelum membahas perbedaan arti dari ketiganya, penulis mencoba mengutip beberapa pandangan ilmuwan tentang definisi ilmu. Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya Ilmu, Filsafat dan Agama mengatakan, salah satu corak pengetahuan adalah pengetahuan yang ilmiah, yang lazim disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu. Yang ekuivalen Artinya dengan sains dalam bahasa Inggris dan Perancis, Jerman dan Belanda. Sebagaimana juga science berasal dari kata scio,scire (Bahasa Latin) yang berarti tahu, begitupun ilmu berasal dari kata ‘alima(Bahasa Arab) yang juga berarti tahu. Jadi baik Ilmu maupun scene secara etimologis berarti pengetahuan. Namun secara terminologis, ilmu dan science itu semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat-syarat yang khas. Muhammad Hatta mengatakan, tiap-tiap ilmu adalah pengetahuan yang teratur karena pekerjahukum kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunnya dari dalam. Achmad baiquni, Seorang guru besar di Universitas Gadjah Mada merumuskan bahwa sainsmerupakan general consensus dari masyarakat yang terdiri dari para saintis. Berbeda halnya dengan Harsono, seorang guru besar antropologi dari Universitas Padjadjaran menerangkan bahwa ilmu itu mempunyai tiga pengertian : pertama, ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasi, Kedua, suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu dan dapat dicermati oleh panca indra manusia, Ketiga, suatu cara menganalisa yang mengizinkan kepada ahli-ahli Nya untuk menyatakan sesuatu proposisi dalam bentuk jika..... maka.... Sementara itu BJ Habibie dalam pidatonya tatkala menerima gelar Doktor Honoris Causadari Universitas Hasanuddin Makassar mendefinisikan tentang ilmu pengetahuan,Beliau mengatakan “ilmu pengetahuan adalah suatu proses pemikiran dan analisis yang rasional, sistematik, logik dan konsisten. Hasilnya dapat dibuktikan dengan percobaan yang transparan dan objektif. Ilmu pengetahuan mempunyai spektrum analisis amat luas mencakup persoalan sifatnya supermakro, makro dan mikro. Berbeda halnya dengan filsafat seperti ilmu pengetahuan yang juga dapat dilaksanakan secara rasional, sistematik, logis dan konsisten namun hasil pemikiran dan analisis filsafat sementara sukar dibuktikan. Dengan spektrum analisis filsafat yang bersifat super makro dan mikro saja. Sementara agama atau kepercayaan harus diyakini karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya Keyakinan itu menjadi titik tolak dari pemikiran dan analisis yang juga berlangsung secara rasional, sistematik, logis dan konsisten. Dengan spektrum analisis biasanya hanya bersifat super makro saja.” Penjelasan yang lebih filosofis datang dari Jujun S... Menurut Jujun, pengetahuan atau knowledge merupakan terminologi generik yang mencakup segenap bentuk seperti ekonomi, filsafat, seni bela diri, cara menyulam dan biologi itu sendiri. Bagi Jujun, penjelasan sebuah ilmu harus memenuhi tiga syarat, yaitu objek ontologis (pengalaman indrawi manusia), landasan epistemologis (metode ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif dan induktif), dan landasan aksiologis (kemaslahatan manusia yang artinya segenap wujud pengetahuan secara moral ditujukan untuk kebaikan hidup manusia). Definisi ilmu menurut ilmuwan muslim tentu berbeda dengan yang sudah disebutkan di atas. Imam Al Ghazali memaknai ilmu sebagai pengenalan sesuatu atas dirinya. Ini berarti, untuk sampai pada pengetahuan harus mengenali sesuatu itu sebagaimana adanya. Di sini Imam Ghazali menekankan bahwa ilmu merupakan masalah perorangan dan ilmu mewakili keadaan dimana sesuatu itu tidak asing lagi bagi orang tersebut, sebab telah dikenali oleh jiwa orang tersebut. Manusia tidak dapat mengklaim bahwa dirinya berilmu atas sesuatu sebelum ia mengetahui sesuatu itu apa adanya. Hal ini sejatinya menunjukkan sesuatu simpulan penting, bahwa dugaan, khayalan, ilusi, dan juga mitos, sekuat apapun itu tidak bisa disebut ilmu. Al-Ghazali membagi Ilmu menjadi 2 kategori, ini dijelaskan oleh Syed Naquib al-Attas sebagai pemangku sanad ilmu al-Ghazali beliau menguraikan sebagai berikut: ilmu terbagi menjadi 2 kategori yaitu pertama, ilmu Fardhu Ain terdiri dari al-Qur’an (tafsir dan ta’wilnya), Sunnah (kehidupan Nabi Saw, sejarah risalah nabi-nabi terdahulu hadith dan periwayatnya), Teologi (Tuhan, Dzat-Nya, Sifat, Nama dan Perbuatan-Nya), Metafisika Islam (at-tasawuf, psikologi Islam, kosmologi, dan ontologi), Ilmu bahasa, tata bahasa dan sastra), kedua Fardhu Kifayah terdiri dari ilmu kemanusiaan, ilmu alam, ilmu terapan, ilmu teknologi, perbandingan Agama, kebudayaan barat dan linguistik dan sejarah). Di sini jelas bahwa dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu. Sedangkan dalam pandangan Barat, wahyu tidak termasuk ilmu karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Di sinilah salah satu perbedaan yang mencolok antara definisi ilmu dalam Islam dengan ilmu dalam pandangan Barat. Penjelasan yang lebih terang bisa didapatkan dari Mulyadhi Kartanegara, guru besar filsafat lulusan Universitas Chicago, Amerika Serikat. Menurut beliau dalam bukunya Menyibak Tirai Kejahilan: istilah ilmu dalam epistemologi Islam mempunyai kemiripan dengan istilah science dalam epistemologi Barat. Sebagaimana sains dalam epistemologi Barat dibedakan dengan knowledge, ilmu dalam epistemologi Islam dibedakan dengan opini (ra’y). Sementara sains dipandang sebagai anyorganized knowledge, ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya. Dengan demikian ilmu bukan sembarang pengetahuan atau sekedar opini melainkan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Pengertian ilmu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sains, hanya sementara sains dibatasi pada bidang-bidang fisik atau indrawi, ilmu melampauinya pada bidang bidang non fisik, seperti metafisika. Simpulan ini ditegaskan pula oleh Prof Al-Atas, bahwa ilmu itu datang dari Allah SWT melalui Wahyu, dan diperoleh oleh jiwa kreatif di satu sisi, dan penyikapan realitas atas sesuatu, sebagaimana adanya di sisi yang lain. Dari pendekatan integratif, ini ada dua capaian dan pendefinisian ilmu, pertama, ilmu sebagai sesuatu yang datang dari Allah SWT. Maka dapat disebut sebagai tibanya khusul makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa. Kedua, sebagai sesuatu yang didapat lewat jiwa yang aktif dan kreatif, wusul Makna Sains Islam Melakukan proses naturalisasi ilmu pengetahuan dan sains melalui Islamisasi menjadi mustahil jika kita tidak mengetahui arti atau makna dari sains Islam. Adi Setya, dalam artikelnya “Tiga Pengertian Sains Islam” di dalam buku Islamic Science Paradigma, Fakta dan Agenda, menguraikan 3 makna sains Islam, makna pertama sebagai disiplin ilmu yang mengkaji sejarah perkembangan sains dan teknologi dalam peradaban Islam serta kaitannya dengan perkembangan sains dan teknologi di dunia Barat. Pengertian ini menjadikan Sains Islam sebagai salah satu cabang dari Sejarah Sains yang lebih luas. Makna kedua, yang berkaitan dengan pokok bahasan dari sub disiplin dalam filsafat Islam yang berperan memaparkan dan menjernihkan istilah prinsip-prinsip metodologis dan filosofis kontemporer yang objektif dan telah memandu atau menopang penuaian sains dalam peradaban Islam. Makna ini menjadikan sense Islam bagian dari filsafat dan filsafat ilmu secara umum. Lebih berpusat pada aspek aspek konseptual atau intelektual daripada aspek aspek empiris praktis atau artifaktual dari sains Islam. Makna ketiga dalam sains Islam merujuk kepada unsur aksiologi. Dengan pokok bahasan disiplin-disiplin yang berperan merumuskan konsep konsep sains Islam sebagai program kreatif jangka panjang, dilakukan sebagai penerapan sistematik nilai etis dan kognitif pada sains dan teknologi di dunia kontemporer. Definisi ulang programatik atas sains Islam akan mengalihkannya menjadi cakupan paradigma atau program riset baru yang mengandung implikasi empiris dan metodologi baru, guna memanifestasi ulang alam pandang Islami dalam kehidupan perorangan dan masyarakat melalui visi dan praktek sains dan teknologi Islam yang non Barat dan otentik. Yang pertama dan utama diarahkan pada Identifikasi dan pemecahan permasalahan dan memuaskan kebutuhan sesungguhnya dari umat. Dimana proses Islamisasi ilmu pengetahuan dan sains erat kaitannya dengan masalah filosofi. Bagian dari filsafat versi Islam adalah pandangan Islam mengenai alam atau filsafat alam menurut Islam. Konsep Ilmu Menurut Islam Berbicara tentang Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer atau Islamisasi sains tidak luput dari persamaan dan perbedaan istilah keduanya. Dimana kedua ilmu pengetahuan tersebut tidak dapat lepas dari konsep dasar ilmu menurut pandangan Islam. Konsep dasar ilmu menurut Islam berbeda secara diametral dengan konsep ilmu menurut Barat. Pada uraian yang akan datang penulis mencoba untuk menunjukkan perbedaan yang nyata antara konsep ilmu dalam Islam dengan konsep ilmu menurut Barat. Kesalahan dalam memahami konsep ilmu ini akan menyebabkan kekeliruan dalam memahami Proses Islamisasi ilmu pengetahuan. Sebab Islamisasi ilmu pengetahuan mensyaratkan suatu konsep ilmu yang benar menurut Islam. Diantara syarat membahas Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu menerima konsep bahwa ilmu itu tidak Netral atau tidak bebas nilai. Seluruh ilmu selalu terikat dengan nilai tertentu yang berupa paradigma ideologi atau pemahaman seseorang. Pada kenyataannya mengingat bahwa sifat ilmu dapat dinaturalisasi, ilmu pengetahuan kontemporer termasuk di dalamnya adalah sains telah terbaratkan (westerned) dalam arti telah menjadi sekuler. Westernisasi atau sekularisasi ilmu inilah yang menimbulkan permasalahan di dunia Islam dan kaum muslimin pada umumnya. Solusi dari permasalahan tersebut adalah Islamisasi ilmu pengetahuan, dengan memahami dan memperjelasterlebih dahulu mengenai konsep dasar mengenai ilmu, ilmu pengetahuan, dan sains menurut Islam. Ilmu Pengetahuan Dapat diIslamkan Dalam konteks membangun peradaban Islam yang berlandaskan ilmu pengetahuan, de-westernisasi berarti Islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu yang dimaksud tentu hanyalah ilmu pengetahuan Barat modern kontemporer, tidak termasuk turats Islami. Ilmu ini (turats) tidak pernah terpisah dari Tuhan sebagai hakikat sebenarnya dan sumber ilmu pengetahuan. Ide Islamisasi ilmu pengetahuan muncul dari premis bahwa ilmu pengetahuan kontemporer tidak bebas nilai, namun sarat akan nilai. Ilmu pengetahuan yang tidak netral telah di infus ke dalam praduga praduga agama, budaya, filosofi yang sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Jadi ilmu modern harus diislamkan. Islamisasi tidak semudah seperti labelisasi Selain itu tidak semua dari barat berarti ditolak karena terdapat sejumlah persamaan dengan Islam. Oleh sebab itu seseorang yang mengislamkan ilmu perlu memenuhi prasyarat, yaitu ia harus mampu mengidentifikasi pandangan hidup Islam sekaligus mampu memahami peradaban Barat. Menurut al-attas Islamisasi adalah pembebasan manusia dari unsur magic, mitologi, animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan serta dari penguasaan sekuler atas akal dan bahasanya. Ini berarti pembebasan akal atau pemikiran dari pengaruh pandangan hidup yang diwarnai oleh kecenderungan sekuler, primordial dan mitologis. Jadi Islamisasi ilmu pengetahuan adalah program epistemologi dalam rangka membangun peradaban Isla, bukan masalah labelisasi seperti Islamisasi teknologi yang secara peyoratif dipahami sebagai Islamisasi kapal terbang, pesawat, radio, handphone, internet dan sebagainya. Bukan pula Islamisasi dalam arti konversi yang terdapat dalam pengertian kristenisasi. Faktor Pendorong Apropriasi Ilmu Pengetahuan di Dunia Islam Menurut Syamsuddin Arif ada paling tidak lima faktor pendorong apropriasi ilmu pengetahuan di dunia. Pertama, kemurniaan dan keteguhan dalam mengimani, memahami dan mengamalkan ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam Alquran dan Sunnah. Kedua, adanya motivasi agama. Sebagaimana motivasi belajar atau menuntut ilmu yang tertuang dalam Kitab suci Alquran. Seperti perintah untuk membaca, melakukan observasi, eksplorasi dan eksploitasi, dan berpikir secara ilmiah rasional. Ketiga, adalah faktor sosial politik. Tumbuh dan berkembangnya budaya ilmu dan tradisi ilmiah pada masa itu dimungkinkan antara lain oleh kondisi masyarakat Islam yang bermacam-macam etnis dengan latar belakang bahasa dan budaya masingmasing namun berarti diikat oleh tali Aqidah Islam. Dengan demikian terwujudlah stabilitas keamanan dan persatuan. Keempat adalah faktor ekonomi. Kesejahteraan masyarakat pada masa itu membuka peluang bagi setiap individu untuk mengembangkan diri dan mencapai apa yang diinginkannya. Pemerintah daerah umumnya mengalokasikan dana khusus untuk para penuntut ilmu di Universitas Uiversitas atau sekolah sekolah tinggi. Baik staf pengajar maupun pelajar, dijamin kehidupannya oleh badan wakaf masing-masing sehingga mereka bisa konsentrasi penuh pada bidang dan karyanya serta produktif menghasilkan karya karya ilmiah. Dengan kemakmuran tersebut kaum muslim terdahulu dapat membangun istana yang megah, perpustakaan yang besar, dan sejumlah rumah sakit. Faktor terakhir adalah dukungan dan perlindungan politis dari penguasa saat itu cukup menentukan dan mengingat implikasi finansial serta sosialnya. Itulah sebabnya para saintis seperti Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Nasiruddin al-Tusi dan lain-lain, berpindah dari satu tempat ke tempat lain mengikuti patron-nya. Mereka menjadi penasehat Sultan dokter istana sekaligus menjadi pejabat. Itulah faktor-faktor yang membuat peradaban Islam mampu menyerap dan membangun serta mengembangkan sains sehingga unggul dibanding peradaban lain ketika itu. Semua informasi tentang kejayaan sains dalam peradaban Islam tertulis rapi dalam kitab-kitab sejarah maupun sains Islam yang sebagian besar berada dalam perpustakaan di negara-negara barat dan bisa diakses kapanpun tanpa kesulitan. Maju dan berkembangnya sains dalam peradaban Islam tersebut ditopang oleh pandangan atau worldview Islam yang dianut oleh para saintis muslim pada waktu itu. Hal itu menunjukkan, bahwa ilmu pengetahuan yang sebelumnya berada dalam buaian peradaban Yunani beralih ke peradaban Islam melalui worldview yang mendasari peradaban tersebut. Peralihan ilmu pengetahuan antar peradaban ini juga sekaligus menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan termasuk sains tidak netral. Urgensi Islamisasi Sains Kemajuan sains dan teknologi dari barat yang tidak kita nafikan manfaatnya bagi kehidupan. Namun dampak dan efek negatif terutama yang menimpa umat Islam juga harus diantisipasi. Jangan sampai kita terlena dengan kenikmatan atas hadirnya sains dan teknologi Barat. Dari kalangan ilmuwan muslim kritik terhadap sains tidak kurang gencarnya. Nama-nama seperti Sayyed Hossein Nasr, Syed Muhammad Naquib Al Attas, Ismail Raji Al faruqi, Ziauddin Sardar, dan lain-lain adalah ilmuwan Islam kontemporer yang keras mengkritik sains Barat dan menyerukan de-westernisasi atau lebih dikenal dengan Islamisasi sains.Mereka secara senada mengatakan bahwa sains yang berkembang di Barat dan di dunia muslim saat ini tidak bebas nila, tapi sarat dengan nilai, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam paham sekularisme, materialisme, rasionalisme, empirisme, idealisme dan positivisme. Nilai-nilai yang terkandung dalam paham tersebut telah jauh dari nilai-nilai spiritual dan agama. Karena tidak ada tolak ukur kebenaran agama di san, maka aspek aksiologi sains menjadi tidak terkendali dan sekedar menjadi pemuas hawa nafsu maupun kepentingan ekonomi kapitalis.Ilmu pengetahuan yang sudah terberat kan itu harus dikembalikan ke tujuan semula sebagaimana Islam turun ke bumi untuk membawa rahmat bagi alam. Oleh karena itu, solusi kerusakan dunia yang diakibatkan oleh rusaknya ilmu ini hanya dapat diatasi dengan Islamisasi ilmu.Sebab keduanya (Islam dan Barat) berbeda secara prinsip dan diametral. Jiika peradaban Barat (western) telah menginfeksi ilmu, maka penyembuhannya adalah Islamisasi ilmu.Hamid Fahmy zarkasyi menulis: Dan sudah tentu menerima westernisasi berimplikasi pada peminggiran peradaban Islam.Jawaban bagi problem westernisasi sudah tentu adalah de-westernisasi.Namun dalam kerangka pembangunan peradaban Islam yang intinya adalah membangun ilmu pengetahuan Islam, de-westernisasi berarti Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Sains yang Mana Mesti Di-Islamkan? Cakupan sains sangat luas bisa ilmu alam bisa Ilmu Sosial dan bisa ilmu agama. Oleh karena itu Islamisasi sains perlu dibatasi Karena tidak semua ilmu bermasalah. Pada pembahasan kali ini, lebih dibatasi pada Islamisasi sains di bidang sains Barat modern khususnya sains alam (natural sciences). Adapun sains alam yang dimaksud adalah sains Barat modern yang dalam istilah al-Attas disebut Ilmu Pengetahuan Kontemporer, bukan sains alam yang pernah dikembangkan oleh ilmuwan muslim di abad pertengahan, juga tidak termasuk didalamnya sains sosial maupun ilmu-ilmu humaniora dan ilmu agama seperti turats. Perkembangan Islamisasi sains alam Barat modern berjalan sangat cepat terutama mulai akhir abad ke-19 setelah terjadi revolusi teknologi, telekomunikasi, dunia Internet, teknologi digital dan sebagainya. Namun demikian perkembangan sains alam modern ini belum banyak dibahas oleh ilmuwan Islam secara mendasar. Tulisan tulisan ilmiah tentang Islamisasi sains lebih banyak membahas bidang ilmu-ilmu sosial. Kerja Keras Para Intelektual Islam Sejak digulirkan pertama kali oleh Syed Muhammad naquib al-attas dipersidangan sedunia pertama mengenai pendidikan Islam di Mekkah tahun 1977 dan kemudian dipertegas gagasannya dalam sebuah buku karangan beliau berjudul Islam and secularism tahun 1978. Disusul buku islamization of knowledge karangan Ismail Al faruqi tahun 1983. Kemudian muncul gerakan Islamisasi sains dan kampus yang dimotori oleh cendekiawan muslim A.M. Saefuddin dari Bogor. Universitas Ibnu Khaldun Bogor menjadi percontohan gerakan ini yaitu dengan memadukan kampus pesantren dan masjid dalam satu tempat. Isu Islamisasi ilmu pengetahuan meredup lagi di awal tahun 80-an dan kemudian kembali mengemuka dengan munculnya lembaga pendidikan tinggi ISTAC(Institute of Islamic thought and Civilization) di Malaysia yang didirikan oleh Syed Muhammad Naquib al-Aattas, selaku penggagas ide Islamisasi ilmu pengetahuan. Di Indonesia, memasuki milenial baru beberapa perguruan tinggi Islam berubah menjadi Universitas Islam Negeri. Ini berarti telah terjadi integrasi ilmu sebagai langkah awal memulai nya Islamisasi. Peran Al Ghazali Awal tuduhan kepada Al Ghazali sebagai penyebab kemunduran sains di dunia islam muncul setelah ada para orientalis. Salah satunya adalah Ignaz Goldziher yang menyatakan bahwa kemunduran sains di dunia islam adalah karena suatu “conservative religious forces”. Tuduhan kepada al-ghazali juga dapat kita lihat dalam tulisan Giorgio De Santillana Ketika memberikan pengantar pada buku sains dan peradaban di dalam Islam karangan Seyyed Hossein Nasr. Katanya Al Ghazali dengan kebijakan masyhur tidak mencolok secara intelektual seperti adanya, dan bagi kita secara etik tidak mengilhami, mulai membangun pusaran intoleransi dan fanatisme buta yang meruntuhkan bukan saja sains tapi sistem madzhab itu sendiri dan sesuatu yang agung, yaitu ijtihad. Di mana pemikirannya di kemudian hari, diikuti ilmuwan Barat modern seperti Steven Weiberg , Richard Dawkins, dan juga beberapa ilmuwan muslim. Menurut George Saliba, kebanyakan orientalis mendasarkan tuduhannya pada asumsi terjadinya konflik antara agama dan sains. Paradigma ini mungkin berdasarkan pengalaman mereka di Eropa pada waktu revolusi ilmiah. Bagi mereka, Al Ghazali merepresentasikan golongan tradisi Ortodoks dalam Islam dan dengan kitab Tahafut yang ditulis pada abad ke-11 masehi. Mereka berasumsi bahwa pemikiran Ortodoks kaum agamawan memenangkan pertempuran dengan aliran rasional atau pemikiran ilmiah. Dengan asumsi seperti ini mereka beranggapan bahwa kemunduran sains dalam Islam dan dunia islam tidak lagi memproduksi dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Salib menyebut tuduhan kaum orientalis bahwa Al Ghazali bertanggung jawab terhadap kemunduran sains di dunia Islam sebagai “classical narrative”. Hal ini kontradiksi dengan fakta bahwa ilmu pengetahuan terus berkembang dan tidak pernah berhenti dari awal perkembangannya di abad ke-8 bahkan setelah Al Ghazali wafat. Ilmu pengetahuan terus berkembang hingga mempengaruhi munculnya revolusi ilmiah di Barat. Berbeda lagi dengan Cemil Akdogan, selain menepis tuduhan terhadap alGhazali sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kemunduran sains Islam, juga membela al-Ghazali dengan menyajikan fakta bahwa justru al-Ghazali untuk pertama kalinya menghancurkan otoritas Aristoteles, dan pada saat yang sama menabur bibit-bibit filsafat mekanika pondasi metafisika untuk sains modern. Alih-alih menghambat perkembangan sains, Al Ghazali adalah seorang agen dalam memfasilitasi kemajuan yang lebih jauh. Sebagai seorang individu, ia telah mencapai untuk pertama kalinya antara tahun 1094 dan 1108 hal hal yang sama seperti apa dicapai orang-orang Eropa selama lima abad, yaitu akhir abad ke-12 hingga abad ke-17. Dengan demikian ia mensimulasikan individualisme, suatu pemikiran yang bernilai pada zaman Renaissance, dalam cara yang paling baik dan alih-alih mengikuti otoritas filsafat, Iya menyerang dan menghancurkan ide-ide Bid’ah Aristoteles dan Aristotelianisme dalam 3 tahun yaitu tahun 1092 hingga 1095. Menurut Cemil, ada tiga hal Mengapa mereka keliru menempatkan sosok alghazali sebagai Orang yang bertanggung jawab atas mundurnya sains di dunia Islam. Yang pertama, sebuah pertanyaan mengemuka bagaimana mungkin al-ghazali seorang pemikir religius yang tanpa kuasa politik mampu menghentikan perkembangan sains hanya oleh dirinya sendiri?. Yang kedua, Bagaimana menjelaskan fenomena maraknya penemuan dan aktivitas lain setelah wafatnya Al Ghazali?. Dan yang ketiga, Cemil menjelaskan bahwa Al Ghazali tidak pernah menyerang sains, tetapi metafisika Aristoteles yang dikembangkan oleh Al Farabi dan Ibnu Sina. Setelah Al Ghazali meninggal, sains tidak surut namun justru semakin berkembang, terutamanya dalam aritmatika dan astronomi. Apabila kita membaca Tahafut al- Falasifah dan buku-buku lain karya Al Ghazali, tidak ditemukan ungkapan bahwa Al Ghazali menolak sains. Justru ia mendukung sains empiris dan tidak berminat untuk menyelisihinya. Perhatikan pernyataan al-Ghazali sebagaimana dikutip Cemil melalui Watt dalam jurnal Islamia: ilmu matematika meliputi aritmatika, geometri dan astronomi. Tidak ada dan hasilhasilnya yang berhubungan dengan masalah-masalah agama, baik yang menolak maupun yang menegaskannya. Ilmu ini adalah masalah-masalah demonstrasi yang tidak mungkin ditolak jika ilmu ini dipahami dan dikuasai. Al Ghazali juga menyatakan bahwa “Kita tidak tertarik untuk menolak teori fenomena alam, karena penolakan itu tidak mempunyai tujuan apa-apa. Orang yang berpikir bahwa tidak mempercayai hal-hal itu (sains) sebagai bentuk kewajiban agama telah bertindak tidak adil terhadap agama dan melemah fondasinya”. Ia memperingatkan kaum muslimin untuk tidak menyerang sains. Bahkan ia pun mengatakan, “Pernyataan anda itu (bahwa sains bertentangan dengan agma) akan mengguncangkan keimanan pada agama”. Jadi sekali lagi Al Ghazali tidak mengkritik sains, namun mengkritik pendapat para filosof. Justru kritikan Al Ghazali terhadap filosof itulah dalam kitab Tahafut yang merupakan bangunan dasar filsafat mekanika, yang telah diadopsi oleh David Hume dan dijadikan landasan kebangkitan sains di Barat. Kemudian, Al Ghazali merangkum seluruh kesalahan pendapat kaum filosof dalam kitab Tahafut dan menyimpulkannya dalam 20 poin. Tiga di antaranya harus dianggap kafir jika mempercayainya dan 17 lainnya termasuk bidah. Yang tiga pendapat itu adalah pendapat filosof tentang tidak adanya kebangkitan tubuh (fisik) atau hanya ruh saja, mengatakan Tuhan hanya mengetahui hal-hal yang mini fersal tapi tidak mengetahui yang partikular dan mengatakan bahwa alam ini kekal tanpa awal. Pembahasan tentang peran Al Ghazali dalam mengembangkan sains Islam dan juga berkontribusi terhadap kebangkitan sains di dunia Barat, sepatutnya mengilhami kaum muslimin di abad modern untuk melakukan kebangkitan di bidang seni Islam. Umat Islam harus mengislamisasi sains modern melalui proses sebagaimana kaum muslimin awal di abad pertengahan melakukannya di antaranya adalah Al Ghazali. Pelurusan sejarah abad pertengahan khususnya peran Al Ghazali dalam sains merupakan landasan bagi kebangkitan Islam di abad modern jika umat mengetahui dan memahami nya. Dengan landasan yang benar, proses Islamisasi sains Barat modern akan berjalan sesuai dengan relnya karena kita pernah melewati jalan yang sama. Perkembangan Islamisasi Sains di Indonesia Ide Islamisasi sains yang dikumandangkan oleh para ilmuwan penggagas ide tersebut bergaung pula di Indonesia. Tahun 1980-an merupakan tahun-tahun dimana kalangan intelektual muslim Indonesia bangkit. Para intelektual yang kebanyakan telah belajar bukan di negeri Islam melainkan di negeri barat mulai memainkan peran mereka di tanah air. Di kampus, mereka mempunyai pengikut dan sering memberikan ceramah ilmiah di seminar seminar keislaman nasional. Mereka adalah Harun Nasution, Nurcholis Madjid, M. Amin Rais, A.M.Saefuddin, Kuntowijoyo, Jalaludin Rahmat, ArmahediMahzar dan Dawam Rahardjo. Di atas, penulis sudah memaparkan kelima model pendekatan utama Islamisasi Sains. Dari berbagai konsep Islamisasi Sains yang dikembangkan di Indonesia, para intelektual tanah air menggunakan kelima pendekatan tersebut. Meskipun tidak bisa dikatakan bahwa ilmuwan a mengikuti konsep tertentu. Namun penjabaran kelima konsep Islamisasi sains termasuk dengan mudah dapat kita temukan di berbagai institusi pendidikan. Misalnya, konsep Islamisasi sains yang dikembangkan oleh lembaga INSIST merupakan penjabaran dari ide paradigma yang di sampaikan oleh al-Attas. Permulaan pembahasan Islamisasi sains di Indonesia sejak akhir abad ke-20, dapat dilihat dengan adanya pemaparan ide dalam karya ilmiah yang dihasilkan oleh ilmuwan Indonesia. Yaitu salah satu buku karya S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern (P3M, 1981). Selain itu tidak ada Hal menonjol kecuali perbincangan Islamisasi ilmu pengetahuan yang berkembang di luar Indonesia. Zainal mencatat salah satu seminar pertama yang cukup berarti untuk dapat dikatakan menandai munculnya wacana Islamisasi ilmu adalah “Diskusi Panel Epistemologi Islam”, di Masjid Istiqlal 23 November 1985. Paham “epistemologi” dalam tema diskusi tersebut tampaknya dipahami lebih dalam kaitannya dengan upaya penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islami daripada sebagai suatu bagian dari pengkajian filsafat pada umumnya. Di sisi lain, makalah-makalah A.M. Saefuddin,ArmahediMahzar,M. Amin Rais dan Jalaludin Rahmat berusaha menggali unsur-unsur epistemologi Islam dengan visi penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islami. Unsur-unsur tersebut antara lain adalah prinsip-prinsip metafisik yang menjadi pra-anggapan ilmu pengetahuan, cara memperoleh ilmu, sumber-sumber ilmu dan tujuan pencarian ilmu. Kuntowijoyoberpendapat bahwasanya yang benar itu adalah pengilmuan Islam bukan Islamisasi ilmu. Secara harfiah, frasa pengilmuan Islam berarti menjadikan Islam sebagai ilmu. Dengan pengilmuan Islam yang ingin dituju nya adalah aspek universalitas klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta, bukan hanya bagi pribadipribadi atau masyarakat muslim tetapi untuk semua orang bahkan setiap makhluk di alam semesta ini. Rahmat bagi alam semesta adalah tujuan akhir pengilmuan Islam. Rahmat itu dijanjikan bukan hanya untuk muslim tapi untuk semuanya. Tugas muslim adalah mewujudkan nyapengilmuan Islam adalah caranya secara lebih spesifik Islam di ilmu kan dengan cara mengobjektifkannya. Satu cara untuk memahami gerak pengilmuan Islam adalah dengan memperhatikan periodisasi sistem pengetahuan muslim yang dibuat oleh Kuntowijoyo. Yaitu, periodisasi penting untuk memahami apa yang akan dikerjakan pada suatu periode tertentu keputusan yang diambil belum tentu akan bermanfaat di periode yang lain. Dalam periodisasi ini, umat Islam bergerak dari periode pemahaman Islam sebagai mitos, lalu sebagai Ideologi, dan terakhir sebagai ilmu. Pada periode pertama Islam dipahami lebih sebagai mitos sesuatu yang sudah selesai dan tinggal perlu dipertahankan, jika perlu dipertahankan dari serangan pihak luar. Tradisi ini bersifat deklaratif. Sedangkan pada periode Islam sebagai ideologi, sudah bersifat lebih rasional tapi masih terlalu non logis. Di sini Islam ditampilkan sebagai ideologi tandingan bagi ideologi-ideologi dunia seperti kapitalisme dan komunisme. Dan dalam periode ilmu, yang diperlukan adalah objektifikasi Islam. Gagasan objektifikasi Islam, diharapkan dapat membebaskan umat dari prasangka politik pihak-pihak birokrasi umat sendiri dan non umat. Menjadikan nilai-nilai Islam sesuatu yang dapat diterima orang, muslim, ataupun non muslim karena kebaikan nilainilai itu sendiri bukan karena nilai-nilai itu disebut Islami. Jika para intelektual kampus membuat berbagai wacana Islamisasi ilmu pengetahuan Maka terdapat gerakan nyata sebagai implementasi wacana yang sudah ada. Salah satu gerakan tersebut adalah gagasan dan gerakan Islamisasi Kampus (ISK) yang dipelopori oleh A.M. Saefuddin. Beliau aktif menyerukan program Islamisasi ilmu pengetahuan pada tahun 1980-an. Beliau adalah salah satu delegasi muslim Indonesia yang hadir di konferensi internasional tentang pendidikan Islam di Mekkah tahun 1977 dan mengenal secara langsung oleh pembawa gagasan awal tersebut yaitu Muhammad Naquib Al Attas. A.M. Saefuddin memulai gagasan ISK-nya dengan mengeluarkan sebuahbuku yang berjudul “Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi” yang diterbitkan oleh penerbit Mizan Bandung 1987. Yang kemudian diperbaharui dengan judul “Islamisasi Sains dan Kampus” diterbitkan oleh PPA, Jakarta 2010. Konsep ISK adalah menyatukan komponen intelektual dan agama dalam satu atap. Komponen-komponen tersebut adalah kampus, pesantren dan masjid. Dimana masjid berada di tengah-tengah sebagai pusat kedua kegiatan. Sebagai contoh adalah Pesantren Ulil Albab, yang berada di lingkungan kampus mewakili pendidikan Islam dengan kampus UIKA yang mewakili fakultas-fakultas pendidikan umum. Dan Masjid Al-Hijri II yang berada di tengah-tengah kampus, sebagai pusat dari kedua kegiatan tersebut. Konsep ISK tersebut digagas A.M.Saefuddin dengan premis-premis sebagai berikut: 1. Pembangunan Indonesia melibatkan tata nilai agama, ulama serta cendekiawan maka hendaknya mengkaji kemungkinanmemadukan ilmu dan teknologi dengan nilai agama di seluruh jenjang pendidikan, dengan mempertemukan kitab kuning (buku-buku agama) dan kitab putih (buku-buku umum). 2. Dosen dan guru harus menunjukkan keteladanan tingkah laku yang sesuai dengan nilai agama. Baik di dalam maupun di luar kampus. 3. Materi pendidikan agama harus disusun agar tampak jelas hubungan erat antara agama dan masalah kehidupan nyata. 4. Menyimak semua buku teks di sekolah dan perguruan tinggi yang format dan isinya menimbulkan keraguan terhadap kekuasaan Allah kemudian menggantinya dengan buku teks yang sesuai dengan tujuan pendidikan. 5. Guru atau dosen dan pelajar atau mahasiswa bersama-sama melaksanakan fungsi pendidikan dengan menjadi rahmatan lil alamin menjamin konsistensinya dan berusaha menjauhi sikap-sikap keangkuhan intelektual. Konsep is ini lebih mirip kepada Islamisasi Ilmu Pengetahuan Allah Ismail faruqi yaitu integrasi ilmu. Namun kemudian pada sikap tertentu, integrasi tersebut berubah menjadi pelarutan bukan lagi percampuran. Proyek ISK diluncurkan pertama kali tahun 1980 namun isinya timbul tenggelam dan kemudian benar-benar tenggelam. Tahun 2000-an dengan keluarnya buku tersebut, UIKA kembali mengaktifkan dan mensosialisasikan kembali program ISK tersebut terutama di pascasarjana. Selanjutnya, pada tahun 2000-an gema integrasi ilmu terus bergaung. Kementerian Agama membuat projek integrasi ilmu dengan mentransformasi IAIN menjadi UIN. Dengan tiga kampus yang menjadi proyek percontohan projek tersebut yaitu IAIN Jakarta Yogyakarta dan Malang. Ketiganya memiliki kekhususan dalam melakukan integrasi ilmu, namun sama-sama mengacu pada konsep Islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi. Misi UIN Syarif Hidayatullah (Syahid) sendiri sangat kental dengan integrasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana yang digagas oleh Al Attas dan Al Faruqi. Adapun misi UIN Syahid Jakarta adalah : 1. Melakukan reintegrasi keilmuan pada tingkat epistemologi, ontologi dan aksiologi. 2. Memberikan landasan moral terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta melakukan pencerahan dalam pembinaan iman dan taqwa (imtak), Sehingga, Iptek dan Imtak dapat sejalan 3. Mengartikulasikan ajaran Islam secara ilmiah akademis ke dalam konteks kehidupan masyarakat. 4. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan aspek keislaman, keilmuan, kemanusiaan, kemodernan dan keindonesiaan. 5. Meningkatkan kualitas penelitian dan pengabdian yang bermanfaat untuk kepentingan ilmu dan masyarakat. A.M. Saefuddin memandang integrasi yang dilakukan oleh UIN Syahid mengambil tiga bentuk. Yang pertama, integrasi institusional sebagai bentuk pengakuan positif akan adanya jenis ilmu lain yang tidak serumpun berupa pemasukan program studi ilmu-ilmu umum ke dalam Fakultas agama. Kedua, integrasi disiplin ilmu, yaitu eberapa jenis ilmu dari rumpun yang berbeda dapat dipelajari di jurusan apapun. Yang ketiga, mengembangkan mata kuliah lintas disiplin ilmu. Dan yang keempat, sistem kredit semester dinyatakan dalam SKS yang memungkinkan mahasiswa mengambil beberapa mata kuliah yang masuk ilmu Quraniyah maupun Kauniyah. Untuk kedua kampus lainnya UIN Sunan Kalijaga dan UIN Maulana Malik Ibrahim, dalam proses integrasi ilmu didalamnya baik dari rumpun ilmu yang dibuka maupun dalam kurikulumnya hampir sama dengan UIN Syahid Jakarta. Biasanya pihak UIN segan untuk menyebut proses transformasi dari IAIN ke UIN bukan Islamisasi tapi integrasi. Namun menurut Hamid Fahmi Zarkasyi, integrasi merupakan langkah awal menuju Islamisasi. Selain lembaga formal ada pula institusi non formal yang didirikan oleh para intelektual muslim Indonesia, dalam rangka menyebarkan ide Islamisasi ilmu pengetahuan atau sains. Lembaga kajian tersebut aktif adalah INSIST(InstitutefortheStudy of Islamic ThoughtandCivilization). Didirikan pada hari Kamis 1 Muharram 1424 atau yang bertepatan dengan 4 Maret 2003, di desa Segambut, Kuala Lumpur, Malaysia.Pendirinya ialah para mahasiswa dan dosen International Instituteof Islamic ThoughtandCivilization (ISTAC) asal indonesiadengan sejumlah dosen di sana.Dengan dimotori oleh Hamid Fahmy Zarkasyi, lembaga ini berdiri dengan latar belakangi oleh kompetisi atas peradaban yang berlangsung sepanjang zaman. INSIST adalah sebuah lembaga dakwah yang berbasis kajian ilmiah dan penelitian. Didirikan untuk mengklarifikasi dan merumuskan kembali konsep dan metodologi penting dalam khazanah pemikiran dan peradaban Islam, yang relevan dengan problem yang dihadapi umat dalam keilmuan pendidikan, sejarah, peradaban, politik, ekonomi, sosial dan gender equality. Kemudian mengembangkan framework pemikiran Islam yang berangkat dari konsep pandangan hidup Islam, serta menghadirkan respon Islam terhadap berbagai pemikiran keislaman yang berasal dari arus kebudayaan, aliran pemikiran dan ideologi modern. Mengingat hampir semua pendiri INSIST lulusan ISTAC yang digagas dan dikembangkan oleh Muhammad Naquib Al-Attas yang dalam kategori di atas merupakan model Islamisasi paradigma (worldview), maka kiprah mereka pun dalam mengembangkan aktivitasnya selaras dengan pemikiran Al-Attas.boleh dikatakan pengembangan kajian ilmiah INSIST berkisar pada Islamic worldview dan pergolakan pemikiran didalamnya serta Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Diantara jaringan INSIST yang secara Intens menjalin hubungan adalah INPAS (Institut pemikiran dan peradaban Islam) di Surabaya yang berdiri tahun 2008. Dengan aktivis yang rata-rata berasal dari Program Kaderisasi Ulama (PKU), UNIDA Gontor. Ada juga PIMPIN(Institut Pemikiran Islam dan Pembinaan Insan)di Bandung berdiri tahun 2009.INSIST juga mempunyai jaringan di kalangan mahasiswa kampus negeri. Di antaranya di DISC (Depok Islamic SrudyCircle). Adapun salah satu jaringan INSIST di kalangan anak muda milenial adalah ITJ, Indonesia Tanpa JIL (Jaringan Islam Liberal) yang dikomandoi oleh Akmal Syafril, berdiri tahun 2012 sebagai reaksi atas gerakan singkat aktivis Islam liberal. INSIST dan jaringannya memang tidak secara langsung menggabungkan ide Islamisasi saina. Kajian mereka lebih sering membahas tentang Islamic worldview. Namun dengan banyaknya kajian seperti itu secara tidak langsung mereka telah menanamkan dasar-dasar Islamisasi sains model paradigma (worldview). Dengan artian Jika seseorang telah paham Islamic worldview tentu akan mudah menguasai konsep Islamisasi sains. Pola Pendekatan Utama dalam Islamisasi Sains Barat Modern dan Para Tokohnya Apabila dipahami secara mendalam dari berbagai ide Islamisasi sains yang berkembang saat ini, paling tidak ada limapendekatan utama dalam Islamisasi sains Barat modern. Berikut kelima pendekatan tersebut. Pertama, pendekatan Instrumentalistik. Instrumentalistik merupakan suatu konsep yang menganggap ilmu atau sains sebagai alas (instrumen). Reaksi pertama ilmuwan atau tokoh muslim terhadap sains barat diawali dengan pendekatan ini. Menurut Zainal Abidin Bagir, salah satu tanggapan terpenting di dunia islam diberikan oleh Jamaluddin al-Afghani. Idenya mengenai pengambilalihan teknologi Barat untuk dikuasai sarjana-sarjana muslim memberikan dampak yang luas tidak saja di Turki tapi juga di Iran Mesir India termasuk di Indonesia. Ia bersama muridnya, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha mendukung gerakan instrumentalistik. Itulah ide Islamisasi sains di abad modern yang pertama kali muncul dengan embrio masih berupa pandangan instrumentalistik. Konsep Islamisasi sains dengan pendekatan ini sebenarnya tidak termasuk dalam konsep Islamisasi sains yang tengah kita bahas sesuai dengan syarat-syaratnya. Sebab dalam pendekatan instrumentalistik konsep ilmu itu tidak bebas nilai, tidak berjalan. Mereka justru menganggap ilmu adalah bebas nilai, sehingga siapa pun bisa menggunakannya untuk mencapai tujuan.Walaupun demikian Konsep ini telah memberikan kesadaran bagi umat untuk bangkit melawan ketertinggalan. Konsep ini sangat tepat untuk memulai menyadari bahwa umat Islam di dunia modern saat ini tertinggal dari bangsa Barat. Pendekatan kedua adalah Justifikasi. Dimana Islamisasi sains yang paling menarik bagi sebagian ilmuwan dan kalangan awam adalah Islamisasi sains dengan konsep justifikasi. Yang dimaksud dengan konsep ini adalah penemuan ilmiah modern, terutama di bidang ilmu-ilmu alam diberikan justifikasi (pembenaran) melalui ayat Alquran maupun al-Hadits. Tokoh yang kerap kali mengemukakan masalah kesesuaian ayat-ayat al-quran dengan penemuan ilmiah modern adalah Maurice Bucaille. Menurutnya penemuan sains modern sesuai dengan Alquran, ya sekaligus menunjukkan kebenaran bahwa Alquran adalah wahyu bukan karangan Muhammad.Metodologinya adalah dengan cara mengukur kebenaran Alquran dengan fakta-fakta objektif dalam sains modern. Menurutnya sains dalam peradaban barat telah menghilangkan realitas transenden. Buku-buku tentang kesesuaian penemuan sains modern dengan Alquran sangat banyak. Penemuan tersebut termasuk dalam proses Islamisasi yang memberikan justifikasi penemuan sains Barat modern dari Alquran. Salah satu bukunya adalah, buku yang berjudul ayat-ayat semesta karangan Agus Purwanto, dosen Institut Teknologi Surabaya yang merupakan ahli fisika teoritis lulusan Universitas Hiroshima Jepang. Salah satu ayat yang menyebutkan kesesuaian sains Barat modern dengan Alquran. Allah berfirman di dalam Alquran Surat Al Anbiya’ ayat 33 tentang orbit benda-benda langit.“Dan dialah yang telah menciptakan malam dan siang matahari dan bulan masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya”. Pendekatan ketiga merupakan pendekatan Sakralisasi yang artinya, sains modern yang sekarang ini bersifat sekuler dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas, diarahkan menuju sains mempunyai nilai sakral. Ide ini dikembangkan pertama kali oleh Sayyid HoosenNasr dilanjutkan oleh muridnya yang paling aktif Usman Bakar. Menurut Nasr, dalam pandangan sekuler tentang alam semesta ia tidak melihat ada jejak Tuhan di dalam keteraturan alam. Alam bukan lagi sebagai ayat-ayat Allah tetapi entitas yang berdiri sendiri. Dimana alam digambarkan secara mekanistik bagaikan mesin dan jam. Nasr kemudian mengemukakan idenya tentang sains sakral yang membahas tentang kebenaran pada tiap tradisi konsep manusia dari konsepintelek dan rasio. Dalam seni sakral, iman tidak terpisah dari ilmu dan intelek tidak terpisah dari iman. Ilmu pengetahuan akhirnya terkait dengan intelek Ilahi yang bermula dari segala yang sakral. Nasr menegaskan bahwa sains sakral bukan hanya milik ajaran islam, tetapi juga dimiliki oleh agama lainnya. Ide sakralisasi sains mempunyai persamaan dengan proses Islamisasi sains yang lain dalam hal mengkritisi sains sekuler modern. Namun perbedaannya cukup mencolok, karena menurut pandangan Nasr jika Sains Sakral dibangun di atas konsep semua agama sama pada level batin maka Islamisasi ilmu pengetahuan dibangun di atas kebenaran Islam. Sains sakral menafikan keunikan hanya milik Islam karena keunikan adalah milik semua agama. Sedangkan Islamisasi ilmu pengetahuan menegaskan bahwa keunikan ajaran Islam sebagai agama yang benar. Sakralisasi ini akan tepat sebagai konsep Islamisasi jika nilai dan unsur kesakralan yang dimaksud adalah nilai-nilai Islam tauhid. Yang dimaksud ini seyogyanya adalah tauhidullah, tauhid kepada Allah bukan Tuhan Tuhan lainnya. Pendekatan keempat adalah Integrasi. Yaitu mengintegrasikan sains barat dengan ilmu-ilmu Islam Ide ini diketengahkan oleh Ismail R. Al-faruqi. Al faruqi menyimpulkan bahwa solusi terhadap persoalan sistem pendidikan dualisme yang terjadi pada kaum muslimin saat ini adalah dengan Islamisasi ilmu pengetahuan atau sains. Sistem pendidikan harus dibenahi. Dualisme sistem pendidikan harus dihapuskan dan disatukan dengan jiwa Islam dan berfungsi sebagai bagian yang integral dari paradigmanya.Sistem pendidikan harus diisi dengan sebuah misi yang tidak lain adalah menanamkan visi Islam. Menancapkan hasrat untuk merealisasikan visi Islam dalam ruang dan waktu. Menurutnya Islamisasi dibangun di atas konsep Tauhid, penciptaan kebenaran dan ilmu pengetahuan kehidupan dan kemanusiaan. Sistem pendidikan dunia muslim saat ini selain terpengaruh dengan sense sekuler juga memiliki kekurangan dan kelemahan internal. Ia menjelaskan bahwa pengertian Islamisasi sains sebagai usaha yaitu memberikan definisi baru mengatur data-data mengevaluasi kembali kesimpulankesimpulan memproyeksikan kembali tujuan tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin disebut disiplin itu memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita Islam.konsep inilah yang sekarang banyak dikembangkan oleh para ilmuwan mengingat organisasi yang dibentuknya bergerak sangat aktif. Rencana kerja dan metode islamisasi sains al-Faruqi yaitu: a) Menguasai disiplin modern. b) Menguasai warisan Islam. c) Menetapkan relevansi khusus pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern. d) Mencari jalan untuk sintesis khusus kreatif antara warisan (Islam) dan ilmu pengetahuan modern. e) Meluncurkan pemikiran Islam pada jalan yang mengarah pada kepatuhan pada hukum Tuhan. Sementara itu untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut Al-faruqi menyusun 12 langkah yang harus ditempuh terlebih dahulu langkah-langkah tersebut adalah Pertama penguasaan disiplin ilmu modern dengan konsep metodologi masalah tema dan perkembangannya, kedua survei disiplin ilmu yang ketiga penguasaan Khazanah Islam dalam segi ontologi keempat penguasaan Khazanah ilmiah Islam: analisis kelima penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplink, keenam ilmu penilaian secara kritis terhadap disiplin ilmu modern dan tingkat perkembangannya di masa kini, ketujuh penilaian secara kritis terhadap Khazanah Islam dan tingkat perkembangannya dewasa ini, kedelapan survei permasalahan yang dihadapi umat Islam, kesembilan survei permasalahan yang dihadapi manusia, kesepuluh kreatif dalam memadukan konsep-konsep yang ada, kesebelas penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam, keduabelas penyebarluasan ilmu yang sudah di islamkan Pendekatan selanjutnya yaitu pendekatan yang berlandaskan Paradigma (worldview) Islam. Ide ini disampaikan pertama kali secara sistematis oleh Al-Attas, Ia menyebut permasalahan Islamisasi adalah permasalahan mendasar yang bersifat epistemologis. Menurutnya tantangan terbesar yang dihadapi kaum muslimin adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral telah merasuk kedalam praduga praduga agama, budaya dan filosofis yang sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia barat. Jadi sains modern harus di islamkan. Al-Attas menyerukan suatu konsep ilmu yang berdasarkan pada wahyu. Karena merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan penciptanya. Oleh karena itu Allah atas memberikan pengertian Islamisasi sains ini sebagai berikut : “Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis,animistis, kultur nasional yang bertentangan dengan Islam dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa. Pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya sebab manusia dalam wujudnya fisik cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya dan berbuat tidak adil terhadapnya. Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya yang tidak sekuat proses evolusi dan revolusi”. Gagasan al-Attas memberikan kritik pada aspek metafisik yang mendasari sains modern sebagai salah satu bentuk ketidaknetralannya. Ketidaknetralan itu ditunjukkan dalam ranah epistemologis, bahwa sains tidak hanya terkait dengan objek empiris, metodologi penelitian ilmiah dan perumusan teori. Justru aspek epistemologis sains memuat pandangan filosofis tertentu, yaitu positivisme dan mengesampingkan kebenaran metafisik agama. Positivisme dalam sains yang mengantarkan kepada ateisme dan paham-paham lainnya seperti materialisme, sekulerisme dan lainnya. Dengan menetapkan asumsi metafisik sebagai bagian dari sains dalam pengertian proses aktifitas ilmiah (sains), maka memasukkan pandangan dunia Islam untuk menggantikan pandangan dunia sekuler, dapat dianggap sebagai model integrasi metafisik. Dalam proses Islamisasi ilmu pengetahuan, al-Attas hanya merumuskan dua proses ganda yang bersifat filosofis, yakni memfilter atau mengevaluasi, dan menginterpretasikan, ditambah juga menilai ide-ide dan fakta; kemudian menciptakan dan menghasilkan makna yang relevan yang mencakup individu dan sosial, sesuai dengan metafisika Islam, epistemologi dan prinsip-prinsip etika hukum dalam Islam. Dengan demikian Islamisasi sains akan membuat umat Islam terbebaskan dari belenggu hal-hal yang bertentangan dengan Islam, sehingga timbul keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya. Yaitu melalui dua cara, cara pertama saling berhubungan dan sesuai urutan yaitu cara melakukan proses pemisahan elemenelemen dan konsep-konsep kunci yang bentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Adapun cara kedua yaitu memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Menurut al-attas Islamisasi sains tidak bisa tercapai hanya dengan menempel atau melabeli sains dan prinsip Islam atau sains sekuler. Padahal tujuan dari Islamisasi sains itu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari sains yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Adapun tujuan dari Islamisasi sains adalah untuk mengembang kepribadian muslim yang sebenarnya, sehingga menambah keimanannya kepada Allah dan dengan Islamisasi ini akan mampu melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan iman. Al-Attas mendukung metode tauhid, di mana terdapat kesatuan dalam kaidah empiri, rasional, deduktif dan induktif. Beliau juga menggunakan kaidah tafsir dan tak’wil sebagai kaidah memperoleh sains dengan kajian dan tafsiran tentang alam tabii dan signifikannya dalam konsepsi sains dan pendidikan sebagai kaidah yang sah. Dengan demikian konsep Islamisasi sains secara paradigma ini akan berakar kuat dan sesuai dengan jiwa Islam. Perkembangan Islamisasi Sains di Indonesia Ide Islamisasi sains yang dikumandangkan oleh para ilmuwan penggagas ide tersebut bergaung pula di Indonesia. Tahun 1980-an merupakan tahun-tahun dimana kalangan intelektual muslim Indonesia bangkit. Para intelektual yang kebanyakan telah belajar bukan di negeri Islam melainkan di negeri barat mulai memainkan peran mereka di tanah air. Di kampus, mereka mempunyai pengikut dan sering memberikan ceramah ilmiah di seminar seminar keislaman nasional. Mereka adalah Harun Nasution, Nurcholis Madjid, M. Amin Rais, A.M.Saefuddin, Kuntowijoyo, Jalaludin Rahmat, ArmahediMahzar dan Dawam Rahardjo. Di atas, penulis sudah memaparkan kelima model pendekatan utama Islamisasi Sains. Dari berbagai konsep Islamisasi Sains yang dikembangkan di Indonesia, para intelektual tanah air menggunakan kelima pendekatan tersebut. Meskipun tidak bisa dikatakan bahwa ilmuwan a mengikuti konsep tertentu. Namun penjabaran kelima konsep Islamisasi sains termasuk dengan mudah dapat kita temukan di berbagai institusi pendidikan. Misalnya, konsep Islamisasi sains yang dikembangkan oleh lembaga INSISTS merupakan penjabaran dari ide paradigma yang di sampaikan oleh al-Attas. Permulaan pembahasan Islamisasi sains di Indonesia sejak akhir abad ke-20, dapat dilihat dengan adanya pemaparan ide dalam karya ilmiah yang dihasilkan oleh ilmuwan Indonesia. Yaitu salah satu buku karya S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern (P3M, 1981). Selain itu tidak ada Hal menonjol kecuali perbincangan Islamisasi ilmu pengetahuan yang berkembang di luar Indonesia. Zainal mencatat salah satu seminar pertama yang cukup berarti untuk dapat dikatakan menandai munculnya wacana Islamisasi ilmu adalah “Diskusi Panel Epistemologi Islam”, di Masjid Istiqlal 23 November 1985. Paham “epistemologi” dalam tema diskusi tersebut tampaknya dipahami lebih dalam kaitannya dengan upaya penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islami daripada sebagai suatu bagian dari pengkajian filsafat pada umumnya. Di sisi lain, makalah-makalah A.M. Saefuddin,ArmahediMahzar,M. Amin Rais dan Jalaludin Rahmat berusaha menggali unsur-unsur epistemologi Islam dengan visi penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islami. Unsur-unsur tersebut antara lain adalah prinsip-prinsip metafisik yang menjadi pra-anggapan ilmu pengetahuan, cara memperoleh ilmu, sumber-sumber ilmu dan tujuan pencarian ilmu. Kuntowijoyoberpendapat bahwasanya yang benar itu adalah pengilmuan Islam bukan Islamisasi ilmu. Secara harfiah, frasa pengilmuan Islam berarti menjadikan Islam sebagai ilmu. Dengan pengilmuan Islam yang ingin dituju nya adalah aspek universalitas klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta, bukan hanya bagi pribadipribadi atau masyarakat muslim tetapi untuk semua orang bahkan setiap makhluk di alam semesta ini. Rahmat bagi alam semesta adalah tujuan akhir pengilmuan Islam. Rahmat itu dijanjikan bukan hanya untuk muslim tapi untuk semuanya. Tugas muslim adalah mewujudkan nyapengilmuan Islam adalah caranya secara lebih spesifik Islam di ilmu kan dengan cara mengobjektifkannya. Satu cara untuk memahami gerak pengilmuan Islam adalah dengan memperhatikan periodisasi sistem pengetahuan muslim yang dibuat oleh Kuntowijoyo. Yaitu, periodisasi penting untuk memahami apa yang akan dikerjakan pada suatu periode tertentu keputusan yang diambil belum tentu akan bermanfaat di periode yang lain. Dalam periodisasi ini, umat Islam bergerak dari periode pemahaman Islam sebagai mitos, lalu sebagai Ideologi, dan terakhir sebagai ilmu. Pada periode pertama Islam dipahami lebih sebagai mitos sesuatu yang sudah selesai dan tinggal perlu dipertahankan, jika perlu dipertahankan dari serangan pihak luar. Tradisi ini bersifat deklaratif. Sedangkan pada periode Islam sebagai ideologi, sudah bersifat lebih rasional tapi masih terlalu non logis. Di sini Islam ditampilkan sebagai ideologi tandingan bagi ideologi-ideologi dunia seperti kapitalisme dan komunisme. Dan dalam periode ilmu, yang diperlukan adalah objektifikasi Islam. Gagasan objektifikasi Islam, diharapkan dapat membebaskan umat dari prasangka politik pihak-pihak birokrasi umat sendiri dan non umat. Menjadikan nilai-nilai Islam sesuatu yang dapat diterima orang, muslim, ataupun non muslim karena kebaikan nilainilai itu sendiri bukan karena nilai-nilai itu disebut Islami. Jika para intelektual kampus membuat berbagai wacana Islamisasi ilmu pengetahuan Maka terdapat gerakan nyata sebagai implementasi wacana yang sudah ada. Salah satu gerakan tersebut adalah gagasan dan gerakan Islamisasi Kampus (ISK) yang dipelopori oleh A.M. Saefuddin. Beliau aktif menyerukan program Islamisasi ilmu pengetahuan pada tahun 1980-an. Beliau adalah salah satu delegasi muslim Indonesia yang hadir di konferensi internasional tentang pendidikan Islam di Mekkah tahun 1977 dan mengenal secara langsung oleh pembawa gagasan awal tersebut yaitu Muhammad Naquib Al Attas. A.M. Saefuddin memulai gagasan ISK-nya dengan mengeluarkan sebuahbuku yang berjudul “Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi” yang diterbitkan oleh penerbit Mizan Bandung 1987. Yang kemudian diperbaharui dengan judul “Islamisasi Sains dan Kampus” diterbitkan oleh PPA, Jakarta 2010. Konsep ISK adalah menyatukan komponen intelektual dan agama dalam satu atap. Komponen-komponen tersebut adalah kampus, pesantren dan masjid. Dimana masjid berada di tengah-tengah sebagai pusat kedua kegiatan. Sebagai contoh adalah Pesantren Ulil Albab, yang berada di lingkungan kampus mewakili pendidikan Islam dengan kampus UIKA yang mewakili fakultas-fakultas pendidikan umum. Dan Masjid Al-Hijri II yang berada di tengah-tengah kampus, sebagai pusat dari kedua kegiatan tersebut. Konsep ISK tersebut digagas A.M.Saefuddin dengan premis-premis sebagai berikut: 6. Pembangunan Indonesia melibatkan tata nilai agama, ulama serta cendekiawan maka hendaknya mengkaji kemungkinanmemadukan ilmu dan teknologi dengan nilai agama di seluruh jenjang pendidikan, dengan mempertemukan kitab kuning (buku-buku agama) dan kitab putih (buku-buku umum). 7. Dosen dan guru harus menunjukkan keteladanan tingkah laku yang sesuai dengan nilai agama. Baik di dalam maupun di luar kampus. 8. Materi pendidikan agama harus disusun agar tampak jelas hubungan erat antara agama dan masalah kehidupan nyata. 9. Menyimak semua buku teks di sekolah dan perguruan tinggi yang format dan isinya menimbulkan keraguan terhadap kekuasaan Allah kemudian menggantinya dengan buku teks yang sesuai dengan tujuan pendidikan. 10. Guru atau dosen dan pelajar atau mahasiswa bersama-sama melaksanakan fungsi pendidikan dengan menjadi rahmatan lil alamin menjamin konsistensinya dan berusaha menjauhi sikap-sikap keangkuhan intelektual. Konsep is ini lebih mirip kepada Islamisasi Ilmu Pengetahuan Allah Ismail faruqi yaitu integrasi ilmu. Namun kemudian pada sikap tertentu, integrasi tersebut berubah menjadi pelarutan bukan lagi percampuran. Proyek ISK diluncurkan pertama kali tahun 1980 namun isinya timbul tenggelam dan kemudian benar-benar tenggelam. Tahun 2000-an dengan keluarnya buku tersebut, UIKA kembali mengaktifkan dan mensosialisasikan kembali program ISK tersebut terutama di pascasarjana. Selanjutnya, pada tahun 2000-an gema integrasi ilmu terus bergaung. Kementerian Agama membuat projek integrasi ilmu dengan mentransformasi IAIN menjadi UIN. Dengan tiga kampus yang menjadi proyek percontohan projek tersebut yaitu IAIN Jakarta Yogyakarta dan Malang. Ketiganya memiliki kekhususan dalam melakukan integrasi ilmu, namun sama-sama mengacu pada konsep Islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi. Misi UIN Syarif Hidayatullah (Syahid) sendiri sangat kental dengan integrasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana yang digagas oleh Al Attas dan Al Faruqi. Adapun misi UIN Syahid Jakarta adalah : 6. Melakukan reintegrasi keilmuan pada tingkat epistemologi, ontologi dan aksiologi. 7. Memberikan landasan moral terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta melakukan pencerahan dalam pembinaan iman dan taqwa (imtak), Sehingga, Iptek dan Imtak dapat sejalan 8. Mengartikulasikan ajaran Islam secara ilmiah akademis ke dalam konteks kehidupan masyarakat. 9. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan aspek keislaman, keilmuan, kemanusiaan, kemodernan dan keindonesiaan. 10. Meningkatkan kualitas penelitian dan pengabdian yang bermanfaat untuk kepentingan ilmu dan masyarakat. A.M. Saefuddin memandang integrasi yang dilakukan oleh UIN Syahid mengambil tiga bentuk. Yang pertama, integrasi institusional sebagai bentuk pengakuan positif akan adanya jenis ilmu lain yang tidak serumpun berupa pemasukan program studi ilmu-ilmu umum ke dalam Fakultas agama. Kedua, integrasi disiplin ilmu, yaitu eberapa jenis ilmu dari rumpun yang berbeda dapat dipelajari di jurusan apapun. Yang ketiga, mengembangkan mata kuliah lintas disiplin ilmu. Dan yang keempat, sistem kredit semester dinyatakan dalam SKS yang memungkinkan mahasiswa mengambil beberapa mata kuliah yang masuk ilmu Quraniyah maupun Kauniyah. Untuk kedua kampus lainnya UIN Sunan Kalijaga dan UIN Maulana Malik Ibrahim, dalam proses integrasi ilmu didalamnya baik dari rumpun ilmu yang dibuka maupun dalam kurikulumnya hampir sama dengan UIN Syahid Jakarta. Biasanya pihak UIN segan untuk menyebut proses transformasi dari IAIN ke UIN bukan Islamisasi tapi integrasi. Namun menurut Hamid Fahmi Zarkasyi, integrasi merupakan langkah awal menuju Islamisasi. Selain lembaga formal ada pula institusi non formal yang didirikan oleh para intelektual muslim Indonesia, dalam rangka menyebarkan ide Islamisasi ilmu pengetahuan atau sains. Lembaga kajian tersebut aktif adalah INSISTS(InstitutefortheStudy of Islamic ThoughtandCivilization). Didirikan pada hari Kamis 1 Muharram 1424 atau yang bertepatan dengan 4 Maret 2003, di desa Segambut, Kuala Lumpur, Malaysia.Pendirinya ialah para mahasiswa dan dosen International Instituteof Islamic ThoughtandCivilization (ISTAC) asal indonesiadengan sejumlah dosen di sana.Dengan dimotori oleh Hamid Fahmy Zarkasyi, lembaga ini berdiri dengan latar belakangi oleh kompetisi atas peradaban yang berlangsung sepanjang zaman. INSISTS adalah sebuah lembaga dakwah yang berbasis kajian ilmiah dan penelitian. Didirikan untuk mengklarifikasi dan merumuskan kembali konsep dan metodologi penting dalam khazanah pemikiran dan peradaban Islam, yang relevan dengan problem yang dihadapi umat dalam keilmuan pendidikan, sejarah, peradaban, politik, ekonomi, sosial dan gender equality. Kemudian mengembangkan framework pemikiran Islam yang berangkat dari konsep pandangan hidup Islam, serta menghadirkan respon Islam terhadap berbagai pemikiran keislaman yang berasal dari arus kebudayaan, aliran pemikiran dan ideologi modern. Mengingat hampir semua pendiri INSISTS lulusan ISTAC yang digagas dan dikembangkan oleh Muhammad Naquib Al-Attas yang dalam kategori di atas merupakan model Islamisasi paradigma (worldview), maka kiprah mereka pun dalam mengembangkan aktivitasnya selaras dengan pemikiran Al-Attas.boleh dikatakan pengembangan kajian ilmiah INSISTS berkisar pada Islamic worldview dan pergolakan pemikiran didalamnya serta Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Diantara jaringan INSISTS yang secara Intens menjalin hubungan adalah INPAS (Institut pemikiran dan peradaban Islam) di Surabaya yang berdiri tahun 2008. Dengan aktivis yang rata-rata berasal dari Program Kaderisasi Ulama (PKU), UNIDA Gontor. Ada juga PIMPIN(Institut Pemikiran Islam dan Pembinaan Insan)di Bandung berdiri tahun 2009.INSISTS juga mempunyai jaringan di kalangan mahasiswa kampus negeri. Di antaranya di DISC (Depok Islamic SrudyCircle). Adapun salah satu jaringan INSISTS di kalangan anak muda milenial adalah ITJ, Indonesia Tanpa JIL (Jaringan Islam Liberal) yang dikomandoi oleh Akmal Syafril, berdiri tahun 2012 sebagai reaksi atas gerakan singkat aktivis Islam liberal. INSISTS dan jaringannya memang tidak secara langsung menggabungkan ide Islamisasi saina. Kajian mereka lebih sering membahas tentang Islamic worldview. Namun dengan banyaknya kajian seperti itu secara tidak langsung mereka telah menanamkan dasar-dasar Islamisasi sains model paradigma (worldview). Dengan artian Jika seseorang telah paham Islamic worldview tentu akan mudah menguasai konsep Islamisasi sains. Buku Rujukan : 1. Ach. Maimun Syamsuddin, Integrasi Multidimensi Agama dan Sains: Analisis Sains Islami Al-Attas dan Mehdi Gholsani, Yogyakarta: IRCiSoD, 2012 2. Dr. Budi Hadrianto, Islamisasi Sains Upaya Mengislamkan Sains Modern, INSISTSS-Kalibata Jakarta, 2019 3. Wan Mohd Nor Wan Daud, Islamisasi Ilmu-ilmu Kontemporer dan Peran Universitas Islam dalam Konteks Dewesternisasi dan Dekolonisasi, Bogor, Universitas Ibnu Khaldun & CASIS UTM, 2013