Islamisasi Sains
(Makna Sains, Sejarah Naturalisasi Ilmu dalam Islam, Urgensi
Islamisasi dan Peran Al-Ghazali)
Short Course Gen-UlulAlbab Via Whatsapp
Oleh: Alvin Qodri Lazuardy S.Ag/ UNIDA-Gontor 3
Ilmu, Ilmu Pengetahuan, dan Sains
Dalam bahasa Indonesia lazim dikenal istilah ilmu dan ilmu pengetahuan
belakangan muncul istilah sains sebagai kata serapan dari bahasa Inggris science.Ilmu,
ilmu pengetahuan dan sains sering di sama artikan. Hal Itu bisa diketahui dari definisi
yang dikemukakan oleh para ilmuwan namun sebuah istilah dihadirkan dan
mengandung makna yang unik sehingga antara ketiganya memiliki perbedaan. Sebelum
membahas perbedaan arti dari ketiganya, penulis mencoba mengutip beberapa
pandangan ilmuwan tentang definisi ilmu.
Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya Ilmu,
Filsafat dan Agama
mengatakan, salah satu corak pengetahuan adalah pengetahuan yang ilmiah, yang lazim
disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu. Yang ekuivalen Artinya dengan sains
dalam bahasa Inggris dan Perancis, Jerman dan Belanda. Sebagaimana juga science
berasal dari kata scio,scire (Bahasa Latin) yang berarti tahu, begitupun ilmu berasal
dari kata ‘alima(Bahasa Arab) yang juga berarti tahu. Jadi baik Ilmu maupun scene
secara etimologis berarti pengetahuan. Namun secara terminologis, ilmu dan science itu
semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat-syarat yang
khas.
Muhammad Hatta mengatakan, tiap-tiap ilmu adalah pengetahuan yang teratur
karena pekerjahukum kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya maupun
menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunnya dari dalam.
Achmad baiquni, Seorang guru besar di Universitas Gadjah Mada merumuskan
bahwa sainsmerupakan general consensus dari masyarakat yang terdiri dari para saintis.
Berbeda halnya dengan Harsono, seorang guru besar antropologi dari Universitas
Padjadjaran menerangkan bahwa ilmu itu mempunyai tiga pengertian : pertama, ilmu
merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasi, Kedua, suatu pendekatan atau
suatu metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh
faktor ruang dan waktu dan dapat dicermati oleh panca indra manusia, Ketiga, suatu
cara menganalisa yang mengizinkan kepada ahli-ahli Nya untuk menyatakan sesuatu
proposisi dalam bentuk jika..... maka....
Sementara itu BJ Habibie dalam pidatonya tatkala menerima gelar Doktor
Honoris Causadari Universitas Hasanuddin Makassar mendefinisikan tentang ilmu
pengetahuan,Beliau mengatakan “ilmu pengetahuan adalah suatu proses pemikiran dan
analisis yang rasional, sistematik, logik dan konsisten. Hasilnya dapat dibuktikan
dengan percobaan yang transparan dan objektif. Ilmu pengetahuan mempunyai
spektrum analisis amat luas mencakup persoalan sifatnya supermakro, makro dan mikro.
Berbeda halnya dengan filsafat seperti ilmu pengetahuan yang juga dapat dilaksanakan
secara rasional, sistematik, logis dan konsisten namun hasil pemikiran dan analisis
filsafat sementara sukar dibuktikan. Dengan spektrum analisis filsafat yang bersifat
super makro dan mikro saja. Sementara agama atau kepercayaan harus diyakini karena
tidak dapat dibuktikan kebenarannya Keyakinan itu menjadi titik tolak dari pemikiran
dan analisis yang juga berlangsung secara rasional, sistematik, logis dan konsisten.
Dengan spektrum analisis biasanya hanya bersifat super makro saja.”
Penjelasan yang lebih filosofis datang dari Jujun S... Menurut Jujun,
pengetahuan atau knowledge merupakan terminologi generik yang mencakup segenap
bentuk seperti ekonomi, filsafat, seni bela diri, cara menyulam dan biologi itu sendiri.
Bagi Jujun, penjelasan sebuah ilmu harus memenuhi tiga syarat, yaitu objek ontologis
(pengalaman indrawi manusia), landasan epistemologis (metode ilmiah yang berupa
gabungan logika deduktif dan induktif), dan landasan aksiologis (kemaslahatan manusia
yang artinya segenap wujud pengetahuan secara moral ditujukan untuk kebaikan hidup
manusia).
Definisi ilmu menurut ilmuwan muslim tentu berbeda dengan yang sudah
disebutkan di atas. Imam Al Ghazali memaknai ilmu sebagai pengenalan sesuatu atas
dirinya. Ini berarti, untuk sampai pada pengetahuan harus mengenali sesuatu itu
sebagaimana adanya. Di sini Imam Ghazali menekankan bahwa ilmu merupakan
masalah perorangan dan ilmu mewakili keadaan dimana sesuatu itu tidak asing lagi bagi
orang tersebut, sebab telah dikenali oleh jiwa orang tersebut. Manusia tidak dapat
mengklaim bahwa dirinya berilmu atas sesuatu sebelum ia mengetahui sesuatu itu apa
adanya. Hal ini sejatinya menunjukkan sesuatu simpulan penting, bahwa dugaan,
khayalan, ilusi, dan juga mitos, sekuat apapun itu tidak bisa disebut ilmu.
Al-Ghazali membagi Ilmu menjadi 2 kategori, ini dijelaskan oleh Syed Naquib
al-Attas sebagai pemangku sanad ilmu al-Ghazali beliau menguraikan sebagai berikut:
ilmu terbagi menjadi 2 kategori yaitu pertama, ilmu Fardhu Ain terdiri dari al-Qur’an
(tafsir dan ta’wilnya), Sunnah (kehidupan Nabi Saw, sejarah risalah nabi-nabi terdahulu
hadith dan periwayatnya), Teologi (Tuhan, Dzat-Nya, Sifat, Nama dan Perbuatan-Nya),
Metafisika Islam (at-tasawuf, psikologi Islam, kosmologi, dan ontologi), Ilmu bahasa,
tata bahasa dan sastra), kedua Fardhu Kifayah terdiri dari ilmu kemanusiaan, ilmu alam,
ilmu terapan, ilmu teknologi, perbandingan Agama, kebudayaan barat dan linguistik dan
sejarah).
Di sini jelas bahwa dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu. Sedangkan
dalam pandangan Barat, wahyu tidak termasuk ilmu karena tidak dapat dibuktikan
kebenarannya. Di sinilah salah satu perbedaan yang mencolok antara definisi ilmu
dalam Islam dengan ilmu dalam pandangan Barat.
Penjelasan yang lebih terang bisa didapatkan dari Mulyadhi Kartanegara, guru
besar filsafat lulusan Universitas Chicago, Amerika Serikat. Menurut beliau dalam
bukunya Menyibak Tirai Kejahilan: istilah ilmu dalam epistemologi Islam mempunyai
kemiripan dengan istilah science dalam epistemologi Barat. Sebagaimana sains dalam
epistemologi Barat dibedakan dengan knowledge, ilmu dalam epistemologi Islam
dibedakan dengan opini (ra’y). Sementara sains dipandang sebagai anyorganized
knowledge, ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana
adanya. Dengan demikian ilmu bukan sembarang pengetahuan atau sekedar opini
melainkan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Pengertian ilmu sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan sains, hanya sementara sains dibatasi pada bidang-bidang
fisik atau indrawi, ilmu melampauinya pada bidang bidang non fisik, seperti metafisika.
Simpulan ini ditegaskan pula oleh Prof Al-Atas, bahwa ilmu itu datang dari
Allah SWT melalui Wahyu, dan diperoleh oleh jiwa kreatif di satu sisi, dan penyikapan
realitas atas sesuatu, sebagaimana adanya di sisi yang lain. Dari pendekatan integratif,
ini ada dua capaian dan pendefinisian ilmu, pertama, ilmu sebagai sesuatu yang datang
dari Allah SWT. Maka dapat disebut sebagai tibanya khusul makna sesuatu atau objek
ilmu ke dalam jiwa. Kedua, sebagai sesuatu yang didapat lewat jiwa yang aktif dan
kreatif, wusul
Makna Sains Islam
Melakukan proses naturalisasi ilmu pengetahuan dan sains melalui Islamisasi
menjadi mustahil jika kita tidak mengetahui arti atau makna dari sains Islam. Adi Setya,
dalam artikelnya “Tiga Pengertian Sains Islam” di dalam buku Islamic Science
Paradigma, Fakta dan Agenda, menguraikan 3 makna sains Islam, makna pertama
sebagai disiplin ilmu yang mengkaji sejarah perkembangan sains dan teknologi dalam
peradaban Islam serta kaitannya dengan perkembangan sains dan teknologi di dunia
Barat. Pengertian ini menjadikan Sains Islam sebagai salah satu cabang dari Sejarah
Sains yang lebih luas.
Makna kedua, yang berkaitan dengan pokok bahasan dari sub disiplin dalam
filsafat Islam yang berperan memaparkan dan menjernihkan istilah prinsip-prinsip
metodologis dan filosofis kontemporer yang objektif dan telah memandu atau
menopang penuaian sains dalam peradaban Islam. Makna ini menjadikan sense Islam
bagian dari filsafat dan filsafat ilmu secara umum. Lebih berpusat pada aspek aspek
konseptual atau intelektual daripada aspek aspek empiris praktis atau artifaktual dari
sains Islam.
Makna ketiga dalam sains Islam merujuk kepada unsur aksiologi. Dengan pokok
bahasan disiplin-disiplin yang berperan merumuskan konsep konsep sains Islam sebagai
program kreatif jangka panjang, dilakukan sebagai penerapan sistematik nilai etis dan
kognitif pada sains dan teknologi di dunia kontemporer. Definisi ulang programatik atas
sains Islam akan mengalihkannya menjadi cakupan paradigma atau program riset baru
yang mengandung implikasi empiris dan metodologi baru, guna memanifestasi ulang
alam pandang Islami dalam kehidupan perorangan dan masyarakat melalui visi dan
praktek sains dan teknologi Islam yang non Barat dan otentik. Yang pertama dan utama
diarahkan pada Identifikasi dan pemecahan permasalahan dan memuaskan kebutuhan
sesungguhnya dari umat. Dimana proses Islamisasi ilmu pengetahuan dan sains erat
kaitannya dengan masalah filosofi. Bagian dari filsafat versi Islam adalah pandangan
Islam mengenai alam atau filsafat alam menurut Islam.
Konsep Ilmu Menurut Islam
Berbicara tentang Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer atau Islamisasi
sains tidak luput dari persamaan dan perbedaan istilah keduanya. Dimana kedua ilmu
pengetahuan tersebut tidak dapat lepas dari konsep dasar ilmu menurut pandangan Islam.
Konsep dasar ilmu menurut Islam berbeda secara diametral dengan konsep ilmu
menurut Barat. Pada uraian yang akan datang penulis mencoba untuk menunjukkan
perbedaan yang nyata antara konsep ilmu dalam Islam dengan konsep ilmu menurut
Barat. Kesalahan dalam memahami konsep ilmu ini akan menyebabkan kekeliruan
dalam memahami Proses Islamisasi ilmu pengetahuan. Sebab Islamisasi ilmu
pengetahuan mensyaratkan suatu konsep ilmu yang benar menurut Islam.
Diantara syarat membahas Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu menerima konsep
bahwa ilmu itu tidak Netral atau tidak bebas nilai. Seluruh ilmu selalu terikat dengan
nilai tertentu yang berupa paradigma ideologi atau pemahaman seseorang. Pada
kenyataannya mengingat bahwa sifat ilmu dapat dinaturalisasi, ilmu pengetahuan
kontemporer termasuk di dalamnya adalah sains telah terbaratkan (westerned) dalam
arti telah menjadi sekuler. Westernisasi atau sekularisasi ilmu inilah yang menimbulkan
permasalahan di dunia Islam dan kaum muslimin pada umumnya. Solusi dari
permasalahan tersebut adalah Islamisasi ilmu pengetahuan, dengan memahami dan
memperjelasterlebih dahulu mengenai konsep dasar mengenai ilmu, ilmu pengetahuan,
dan sains menurut Islam.
Ilmu Pengetahuan Dapat diIslamkan
Dalam konteks membangun peradaban Islam yang berlandaskan ilmu
pengetahuan, de-westernisasi berarti Islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu yang
dimaksud tentu hanyalah ilmu pengetahuan Barat modern kontemporer, tidak termasuk
turats Islami. Ilmu ini (turats) tidak pernah terpisah dari Tuhan sebagai hakikat
sebenarnya dan sumber ilmu pengetahuan. Ide Islamisasi ilmu pengetahuan muncul dari
premis bahwa ilmu pengetahuan kontemporer tidak bebas nilai, namun sarat akan nilai.
Ilmu pengetahuan yang tidak netral telah di infus ke dalam praduga praduga agama,
budaya, filosofi yang sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman
manusia Barat. Jadi ilmu modern harus diislamkan.
Islamisasi tidak semudah seperti labelisasi Selain itu tidak semua dari barat
berarti ditolak karena terdapat sejumlah persamaan dengan Islam. Oleh sebab itu
seseorang yang mengislamkan ilmu perlu memenuhi prasyarat, yaitu ia harus mampu
mengidentifikasi pandangan hidup Islam sekaligus mampu memahami peradaban Barat.
Menurut al-attas Islamisasi adalah pembebasan manusia dari unsur magic,
mitologi, animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan serta dari penguasaan sekuler
atas akal dan bahasanya. Ini berarti pembebasan akal atau pemikiran dari pengaruh
pandangan hidup yang diwarnai oleh kecenderungan sekuler, primordial dan mitologis.
Jadi Islamisasi ilmu pengetahuan adalah program epistemologi dalam rangka
membangun peradaban Isla, bukan masalah labelisasi seperti Islamisasi teknologi yang
secara peyoratif dipahami sebagai Islamisasi kapal terbang, pesawat, radio, handphone,
internet dan sebagainya. Bukan pula Islamisasi dalam arti konversi yang terdapat dalam
pengertian kristenisasi.
Faktor Pendorong Apropriasi Ilmu Pengetahuan di Dunia Islam
Menurut Syamsuddin Arif ada paling tidak lima faktor pendorong apropriasi
ilmu pengetahuan di dunia. Pertama, kemurniaan dan keteguhan dalam mengimani,
memahami dan mengamalkan ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam Alquran dan
Sunnah. Kedua, adanya motivasi agama. Sebagaimana motivasi belajar atau menuntut
ilmu yang tertuang dalam Kitab suci Alquran. Seperti perintah untuk membaca,
melakukan observasi, eksplorasi dan eksploitasi, dan berpikir secara ilmiah rasional.
Ketiga, adalah faktor sosial politik. Tumbuh dan berkembangnya budaya ilmu
dan tradisi ilmiah pada masa itu dimungkinkan antara lain oleh kondisi masyarakat
Islam yang bermacam-macam etnis dengan latar belakang bahasa dan budaya masingmasing namun berarti diikat oleh tali Aqidah Islam. Dengan demikian terwujudlah
stabilitas keamanan dan persatuan.
Keempat adalah faktor ekonomi. Kesejahteraan masyarakat pada masa itu
membuka peluang bagi setiap individu untuk mengembangkan diri dan mencapai apa
yang diinginkannya. Pemerintah daerah umumnya mengalokasikan dana khusus untuk
para penuntut ilmu di Universitas Uiversitas atau sekolah sekolah tinggi. Baik staf
pengajar maupun pelajar, dijamin kehidupannya oleh badan wakaf masing-masing
sehingga mereka bisa konsentrasi penuh pada bidang dan karyanya serta produktif
menghasilkan karya karya ilmiah. Dengan kemakmuran tersebut kaum muslim
terdahulu dapat membangun istana yang megah, perpustakaan yang besar, dan sejumlah
rumah sakit.
Faktor terakhir adalah dukungan dan perlindungan politis dari penguasa saat itu
cukup menentukan dan mengingat implikasi finansial serta sosialnya. Itulah sebabnya
para saintis seperti Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Nasiruddin al-Tusi dan lain-lain, berpindah
dari satu tempat ke tempat lain mengikuti patron-nya. Mereka menjadi penasehat Sultan
dokter istana sekaligus menjadi pejabat.
Itulah faktor-faktor yang membuat peradaban Islam mampu menyerap dan
membangun serta mengembangkan sains sehingga unggul dibanding peradaban lain
ketika itu. Semua informasi tentang kejayaan sains dalam peradaban Islam tertulis rapi
dalam kitab-kitab sejarah maupun sains Islam yang sebagian besar berada dalam
perpustakaan di negara-negara barat dan bisa diakses kapanpun tanpa kesulitan.
Maju dan berkembangnya sains dalam peradaban Islam tersebut ditopang oleh
pandangan atau worldview Islam yang dianut oleh para saintis muslim pada waktu itu.
Hal itu menunjukkan, bahwa ilmu pengetahuan yang sebelumnya berada dalam buaian
peradaban Yunani beralih ke peradaban Islam melalui worldview yang mendasari
peradaban tersebut. Peralihan ilmu pengetahuan antar peradaban ini juga sekaligus
menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan termasuk sains tidak netral.
Urgensi Islamisasi Sains
Kemajuan sains dan teknologi dari barat yang tidak kita nafikan manfaatnya
bagi kehidupan. Namun dampak dan efek negatif terutama yang menimpa umat Islam
juga harus diantisipasi. Jangan sampai kita terlena dengan kenikmatan atas hadirnya
sains dan teknologi Barat. Dari kalangan ilmuwan muslim kritik terhadap sains tidak
kurang gencarnya. Nama-nama seperti Sayyed Hossein Nasr, Syed Muhammad Naquib
Al Attas, Ismail Raji Al faruqi, Ziauddin Sardar, dan lain-lain adalah ilmuwan Islam
kontemporer yang keras mengkritik sains Barat dan menyerukan de-westernisasi atau
lebih dikenal dengan Islamisasi sains.Mereka secara senada mengatakan bahwa sains
yang berkembang di Barat dan di dunia muslim saat ini tidak bebas nila, tapi sarat
dengan nilai, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam paham sekularisme, materialisme,
rasionalisme, empirisme, idealisme dan positivisme.
Nilai-nilai yang terkandung dalam paham tersebut telah jauh dari nilai-nilai
spiritual dan agama. Karena tidak ada tolak ukur kebenaran agama di san, maka aspek
aksiologi sains menjadi tidak terkendali dan sekedar menjadi pemuas hawa nafsu
maupun kepentingan ekonomi kapitalis.Ilmu pengetahuan yang sudah terberat kan itu
harus dikembalikan ke tujuan semula sebagaimana Islam turun ke bumi untuk
membawa rahmat bagi alam. Oleh karena itu, solusi kerusakan dunia yang diakibatkan
oleh rusaknya ilmu ini hanya dapat diatasi dengan Islamisasi ilmu.Sebab keduanya
(Islam dan Barat) berbeda secara prinsip dan diametral. Jiika peradaban Barat (western)
telah menginfeksi ilmu, maka penyembuhannya adalah Islamisasi ilmu.Hamid Fahmy
zarkasyi menulis: Dan sudah tentu menerima westernisasi berimplikasi pada
peminggiran peradaban Islam.Jawaban bagi problem westernisasi sudah tentu adalah
de-westernisasi.Namun dalam kerangka pembangunan peradaban Islam yang intinya
adalah membangun ilmu pengetahuan Islam, de-westernisasi berarti Islamisasi ilmu
pengetahuan kontemporer.
Sains yang Mana Mesti Di-Islamkan?
Cakupan sains sangat luas bisa ilmu alam bisa Ilmu Sosial dan bisa ilmu agama.
Oleh karena itu Islamisasi sains perlu dibatasi Karena tidak semua ilmu bermasalah.
Pada pembahasan kali ini, lebih dibatasi pada Islamisasi sains di bidang sains Barat
modern khususnya sains alam (natural sciences). Adapun sains alam yang dimaksud
adalah sains Barat modern yang dalam istilah al-Attas disebut Ilmu Pengetahuan
Kontemporer, bukan sains alam yang pernah dikembangkan oleh ilmuwan muslim di
abad pertengahan, juga tidak termasuk didalamnya sains sosial maupun ilmu-ilmu
humaniora dan ilmu agama seperti turats.
Perkembangan Islamisasi sains alam Barat modern berjalan sangat cepat
terutama mulai akhir abad ke-19 setelah terjadi revolusi teknologi, telekomunikasi,
dunia Internet, teknologi digital dan sebagainya. Namun demikian perkembangan sains
alam modern ini belum banyak dibahas oleh ilmuwan Islam secara mendasar. Tulisan
tulisan ilmiah tentang Islamisasi sains lebih banyak membahas bidang ilmu-ilmu sosial.
Kerja Keras Para Intelektual Islam
Sejak digulirkan pertama kali oleh Syed Muhammad naquib al-attas
dipersidangan sedunia pertama mengenai pendidikan Islam di Mekkah tahun 1977 dan
kemudian dipertegas gagasannya dalam sebuah buku karangan beliau berjudul Islam
and secularism tahun 1978. Disusul buku islamization of knowledge karangan Ismail Al
faruqi tahun 1983. Kemudian muncul gerakan Islamisasi sains dan kampus yang
dimotori oleh cendekiawan muslim A.M. Saefuddin dari Bogor. Universitas Ibnu
Khaldun Bogor menjadi percontohan gerakan ini yaitu dengan memadukan kampus
pesantren dan masjid dalam satu tempat.
Isu Islamisasi ilmu pengetahuan meredup lagi di awal tahun 80-an dan kemudian
kembali mengemuka dengan munculnya lembaga pendidikan tinggi ISTAC(Institute of
Islamic thought and Civilization) di Malaysia yang didirikan oleh Syed Muhammad
Naquib al-Aattas, selaku penggagas ide Islamisasi ilmu pengetahuan. Di Indonesia,
memasuki milenial baru beberapa perguruan tinggi Islam berubah menjadi Universitas
Islam Negeri. Ini berarti telah terjadi integrasi ilmu sebagai langkah awal memulai nya
Islamisasi.
Peran Al Ghazali
Awal tuduhan kepada Al Ghazali sebagai penyebab kemunduran sains di dunia
islam muncul setelah ada para orientalis. Salah satunya adalah Ignaz Goldziher yang
menyatakan bahwa kemunduran sains di dunia islam adalah karena suatu “conservative
religious forces”. Tuduhan kepada al-ghazali juga dapat kita lihat dalam tulisan Giorgio
De Santillana Ketika memberikan pengantar pada buku sains dan peradaban di dalam
Islam karangan Seyyed Hossein Nasr. Katanya Al Ghazali dengan kebijakan masyhur
tidak mencolok secara intelektual seperti adanya, dan bagi kita secara etik tidak
mengilhami, mulai membangun pusaran intoleransi dan fanatisme buta yang
meruntuhkan bukan saja sains tapi sistem madzhab itu sendiri dan sesuatu yang agung,
yaitu ijtihad. Di mana pemikirannya di kemudian hari, diikuti ilmuwan Barat modern
seperti Steven Weiberg , Richard Dawkins, dan juga beberapa ilmuwan muslim.
Menurut George Saliba, kebanyakan orientalis mendasarkan tuduhannya pada
asumsi terjadinya konflik antara agama dan sains. Paradigma ini mungkin berdasarkan
pengalaman mereka di Eropa pada waktu revolusi ilmiah. Bagi mereka, Al Ghazali
merepresentasikan golongan tradisi Ortodoks dalam Islam dan dengan kitab Tahafut
yang ditulis pada abad ke-11 masehi. Mereka berasumsi bahwa pemikiran Ortodoks
kaum agamawan memenangkan pertempuran dengan aliran rasional atau pemikiran
ilmiah. Dengan asumsi seperti ini mereka beranggapan bahwa kemunduran sains dalam
Islam dan dunia islam tidak lagi memproduksi dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Salib menyebut tuduhan kaum orientalis bahwa Al Ghazali bertanggung jawab
terhadap kemunduran sains di dunia Islam sebagai “classical narrative”. Hal ini
kontradiksi dengan fakta bahwa ilmu pengetahuan terus berkembang dan tidak pernah
berhenti dari awal perkembangannya di abad ke-8 bahkan setelah Al Ghazali wafat.
Ilmu pengetahuan terus berkembang hingga mempengaruhi munculnya revolusi ilmiah
di Barat.
Berbeda lagi dengan Cemil Akdogan, selain menepis tuduhan terhadap alGhazali sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kemunduran sains Islam,
juga membela al-Ghazali dengan menyajikan fakta bahwa justru al-Ghazali untuk
pertama kalinya menghancurkan otoritas Aristoteles, dan pada saat yang sama menabur
bibit-bibit filsafat mekanika pondasi metafisika untuk sains modern. Alih-alih
menghambat perkembangan sains, Al Ghazali adalah seorang agen dalam memfasilitasi
kemajuan yang lebih jauh. Sebagai seorang individu, ia telah mencapai untuk pertama
kalinya antara tahun 1094 dan 1108 hal hal yang sama seperti apa dicapai orang-orang
Eropa selama lima abad, yaitu akhir abad ke-12 hingga abad ke-17. Dengan demikian ia
mensimulasikan individualisme, suatu pemikiran yang bernilai pada zaman Renaissance,
dalam cara yang paling baik dan alih-alih mengikuti otoritas filsafat, Iya menyerang dan
menghancurkan ide-ide Bid’ah Aristoteles dan Aristotelianisme dalam 3 tahun yaitu
tahun 1092 hingga 1095.
Menurut Cemil, ada tiga hal Mengapa mereka keliru menempatkan sosok alghazali sebagai Orang yang bertanggung jawab atas mundurnya sains di dunia Islam.
Yang pertama, sebuah pertanyaan mengemuka bagaimana mungkin al-ghazali seorang
pemikir religius yang tanpa kuasa politik mampu menghentikan perkembangan sains
hanya oleh dirinya sendiri?. Yang kedua, Bagaimana menjelaskan fenomena maraknya
penemuan dan aktivitas lain setelah wafatnya Al Ghazali?. Dan yang ketiga, Cemil
menjelaskan bahwa Al Ghazali tidak pernah menyerang sains, tetapi metafisika
Aristoteles yang dikembangkan oleh Al Farabi dan Ibnu Sina. Setelah Al Ghazali
meninggal, sains tidak surut namun justru semakin berkembang, terutamanya dalam
aritmatika dan astronomi.
Apabila kita membaca Tahafut al- Falasifah dan buku-buku lain karya Al
Ghazali, tidak ditemukan ungkapan bahwa Al Ghazali menolak sains. Justru ia
mendukung sains empiris dan tidak berminat untuk menyelisihinya. Perhatikan
pernyataan al-Ghazali sebagaimana dikutip Cemil melalui Watt dalam jurnal Islamia:
ilmu matematika meliputi aritmatika, geometri dan astronomi. Tidak ada dan hasilhasilnya yang berhubungan dengan masalah-masalah agama, baik yang menolak
maupun yang menegaskannya. Ilmu ini adalah masalah-masalah demonstrasi yang tidak
mungkin ditolak jika ilmu ini dipahami dan dikuasai.
Al Ghazali juga menyatakan bahwa “Kita tidak tertarik untuk menolak teori
fenomena alam, karena penolakan itu tidak mempunyai tujuan apa-apa. Orang yang
berpikir bahwa tidak mempercayai hal-hal itu (sains) sebagai bentuk kewajiban agama
telah
bertindak
tidak
adil
terhadap
agama
dan
melemah
fondasinya”.
Ia
memperingatkan kaum muslimin untuk tidak menyerang sains. Bahkan ia pun
mengatakan, “Pernyataan anda itu (bahwa sains bertentangan dengan agma) akan
mengguncangkan keimanan pada agama”.
Jadi sekali lagi Al Ghazali tidak mengkritik sains, namun mengkritik pendapat
para filosof. Justru kritikan Al Ghazali terhadap filosof itulah dalam kitab Tahafut yang
merupakan bangunan dasar filsafat mekanika, yang telah diadopsi oleh David Hume dan
dijadikan landasan kebangkitan sains di Barat. Kemudian, Al Ghazali merangkum
seluruh kesalahan pendapat kaum filosof dalam kitab Tahafut dan menyimpulkannya
dalam 20 poin. Tiga di antaranya harus dianggap kafir jika mempercayainya dan 17
lainnya termasuk bidah. Yang tiga pendapat itu adalah pendapat filosof tentang tidak
adanya kebangkitan tubuh (fisik) atau hanya ruh saja, mengatakan Tuhan hanya
mengetahui hal-hal yang mini fersal tapi tidak mengetahui yang partikular dan
mengatakan bahwa alam ini kekal tanpa awal.
Pembahasan tentang peran Al Ghazali dalam mengembangkan sains Islam dan
juga berkontribusi terhadap kebangkitan sains di dunia Barat, sepatutnya mengilhami
kaum muslimin di abad modern untuk melakukan kebangkitan di bidang seni Islam.
Umat Islam harus mengislamisasi sains modern melalui proses sebagaimana kaum
muslimin awal di abad pertengahan melakukannya di antaranya adalah Al Ghazali.
Pelurusan sejarah abad pertengahan khususnya peran Al Ghazali dalam sains
merupakan landasan bagi kebangkitan Islam di abad modern jika umat mengetahui dan
memahami nya. Dengan landasan yang benar, proses Islamisasi sains Barat modern
akan berjalan sesuai dengan relnya karena kita pernah melewati jalan yang sama.
Perkembangan Islamisasi Sains di Indonesia
Ide Islamisasi sains yang dikumandangkan oleh para ilmuwan penggagas ide
tersebut bergaung pula di Indonesia. Tahun 1980-an merupakan tahun-tahun dimana
kalangan intelektual muslim Indonesia bangkit. Para intelektual yang kebanyakan telah
belajar bukan di negeri Islam melainkan di negeri barat mulai memainkan peran mereka
di tanah air. Di kampus, mereka mempunyai pengikut dan sering memberikan ceramah
ilmiah di seminar seminar keislaman nasional. Mereka adalah Harun Nasution,
Nurcholis Madjid, M. Amin Rais, A.M.Saefuddin, Kuntowijoyo, Jalaludin Rahmat,
ArmahediMahzar dan Dawam Rahardjo.
Di atas, penulis sudah memaparkan kelima model pendekatan utama Islamisasi
Sains. Dari berbagai konsep Islamisasi Sains yang dikembangkan di Indonesia, para
intelektual tanah air menggunakan kelima pendekatan tersebut. Meskipun tidak bisa
dikatakan bahwa ilmuwan a mengikuti konsep tertentu. Namun penjabaran kelima
konsep Islamisasi sains termasuk dengan mudah dapat kita temukan di berbagai institusi
pendidikan. Misalnya, konsep Islamisasi sains yang dikembangkan oleh lembaga
INSIST merupakan penjabaran dari ide paradigma yang di sampaikan oleh al-Attas.
Permulaan pembahasan Islamisasi sains di Indonesia sejak akhir abad ke-20,
dapat dilihat dengan adanya pemaparan ide dalam karya ilmiah yang dihasilkan oleh
ilmuwan Indonesia. Yaitu salah satu buku karya S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam
kepada Ilmu dan Peradaban Modern (P3M, 1981). Selain itu tidak ada Hal menonjol
kecuali perbincangan Islamisasi ilmu pengetahuan yang berkembang di luar Indonesia.
Zainal mencatat salah satu seminar pertama yang cukup berarti untuk dapat
dikatakan menandai munculnya wacana Islamisasi ilmu adalah “Diskusi Panel
Epistemologi Islam”, di Masjid Istiqlal 23 November 1985. Paham “epistemologi”
dalam tema diskusi tersebut tampaknya dipahami lebih dalam kaitannya dengan upaya
penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islami daripada sebagai suatu bagian dari
pengkajian filsafat pada umumnya.
Di sisi lain, makalah-makalah A.M. Saefuddin,ArmahediMahzar,M. Amin Rais
dan Jalaludin Rahmat berusaha menggali unsur-unsur epistemologi Islam dengan visi
penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islami. Unsur-unsur tersebut antara lain adalah
prinsip-prinsip metafisik yang menjadi pra-anggapan ilmu pengetahuan, cara
memperoleh ilmu, sumber-sumber ilmu dan tujuan pencarian ilmu.
Kuntowijoyoberpendapat bahwasanya yang benar itu adalah pengilmuan Islam
bukan Islamisasi ilmu. Secara harfiah, frasa pengilmuan Islam berarti menjadikan Islam
sebagai ilmu. Dengan pengilmuan Islam yang ingin dituju nya adalah aspek
universalitas klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta, bukan hanya bagi pribadipribadi atau masyarakat muslim tetapi untuk semua orang bahkan setiap makhluk di
alam semesta ini. Rahmat bagi alam semesta adalah tujuan akhir pengilmuan Islam.
Rahmat itu dijanjikan bukan hanya untuk muslim tapi untuk semuanya. Tugas muslim
adalah mewujudkan nyapengilmuan Islam adalah caranya secara lebih spesifik Islam di
ilmu kan dengan cara mengobjektifkannya.
Satu cara untuk memahami gerak pengilmuan Islam adalah dengan
memperhatikan periodisasi sistem pengetahuan muslim yang dibuat oleh Kuntowijoyo.
Yaitu, periodisasi penting untuk memahami apa yang akan dikerjakan pada suatu
periode tertentu keputusan yang diambil belum tentu akan bermanfaat di periode yang
lain. Dalam periodisasi ini, umat Islam bergerak dari periode pemahaman Islam sebagai
mitos, lalu sebagai Ideologi, dan terakhir sebagai ilmu.
Pada periode pertama Islam dipahami lebih sebagai mitos sesuatu yang sudah
selesai dan tinggal perlu dipertahankan, jika perlu dipertahankan dari serangan pihak
luar. Tradisi ini bersifat deklaratif. Sedangkan pada periode Islam sebagai ideologi,
sudah bersifat lebih rasional tapi masih terlalu non logis. Di sini Islam ditampilkan
sebagai ideologi tandingan bagi ideologi-ideologi dunia seperti kapitalisme dan
komunisme. Dan dalam periode ilmu, yang diperlukan adalah objektifikasi Islam.
Gagasan objektifikasi Islam, diharapkan dapat membebaskan umat dari prasangka
politik pihak-pihak birokrasi umat sendiri dan non umat. Menjadikan nilai-nilai Islam
sesuatu yang dapat diterima orang, muslim, ataupun non muslim karena kebaikan nilainilai itu sendiri bukan karena nilai-nilai itu disebut Islami.
Jika para intelektual kampus membuat berbagai wacana Islamisasi ilmu
pengetahuan Maka terdapat gerakan nyata sebagai implementasi wacana yang sudah ada.
Salah satu gerakan tersebut adalah gagasan dan gerakan Islamisasi Kampus (ISK) yang
dipelopori oleh A.M. Saefuddin. Beliau aktif menyerukan program Islamisasi ilmu
pengetahuan pada tahun 1980-an. Beliau adalah salah satu delegasi muslim Indonesia
yang hadir di konferensi internasional tentang pendidikan Islam di Mekkah tahun 1977
dan mengenal secara langsung oleh pembawa gagasan awal tersebut yaitu Muhammad
Naquib Al Attas.
A.M. Saefuddin memulai gagasan ISK-nya dengan mengeluarkan sebuahbuku
yang berjudul “Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi” yang diterbitkan oleh
penerbit Mizan Bandung 1987. Yang kemudian diperbaharui dengan judul “Islamisasi
Sains dan Kampus” diterbitkan oleh PPA, Jakarta 2010. Konsep ISK adalah
menyatukan komponen intelektual dan agama dalam satu atap. Komponen-komponen
tersebut adalah kampus, pesantren dan masjid. Dimana masjid berada di tengah-tengah
sebagai pusat kedua kegiatan. Sebagai contoh adalah Pesantren Ulil Albab, yang berada
di lingkungan kampus mewakili pendidikan Islam dengan kampus UIKA yang
mewakili fakultas-fakultas pendidikan umum. Dan Masjid Al-Hijri II yang berada di
tengah-tengah kampus, sebagai pusat dari kedua kegiatan tersebut.
Konsep ISK tersebut digagas A.M.Saefuddin dengan premis-premis sebagai
berikut:
1. Pembangunan Indonesia melibatkan tata nilai agama, ulama serta
cendekiawan maka hendaknya mengkaji kemungkinanmemadukan ilmu
dan teknologi dengan nilai agama di seluruh jenjang pendidikan, dengan
mempertemukan kitab kuning (buku-buku agama)
dan kitab putih
(buku-buku umum).
2. Dosen dan guru harus menunjukkan keteladanan tingkah laku yang
sesuai dengan nilai agama. Baik di dalam maupun di luar kampus.
3. Materi pendidikan agama harus disusun agar tampak jelas hubungan erat
antara agama dan masalah kehidupan nyata.
4. Menyimak semua buku teks di sekolah dan perguruan tinggi yang format
dan isinya menimbulkan keraguan terhadap kekuasaan Allah kemudian
menggantinya dengan buku teks yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
5. Guru
atau
dosen
dan
pelajar
atau
mahasiswa
bersama-sama
melaksanakan fungsi pendidikan dengan menjadi rahmatan lil alamin
menjamin
konsistensinya
dan
berusaha
menjauhi
sikap-sikap
keangkuhan intelektual.
Konsep is ini lebih mirip kepada Islamisasi Ilmu Pengetahuan Allah Ismail
faruqi yaitu integrasi ilmu. Namun kemudian pada sikap tertentu, integrasi tersebut
berubah menjadi pelarutan bukan lagi percampuran. Proyek ISK diluncurkan pertama
kali tahun 1980 namun isinya timbul tenggelam dan kemudian benar-benar tenggelam.
Tahun 2000-an dengan keluarnya buku tersebut, UIKA kembali mengaktifkan dan
mensosialisasikan kembali program ISK tersebut terutama di pascasarjana.
Selanjutnya, pada tahun 2000-an gema integrasi ilmu terus bergaung.
Kementerian Agama membuat projek integrasi ilmu dengan mentransformasi IAIN
menjadi UIN. Dengan tiga kampus yang menjadi proyek percontohan projek tersebut
yaitu IAIN Jakarta Yogyakarta dan Malang. Ketiganya memiliki kekhususan dalam
melakukan integrasi ilmu, namun sama-sama mengacu pada konsep Islamisasi ilmu
pengetahuan Al-Faruqi.
Misi UIN Syarif Hidayatullah (Syahid) sendiri sangat kental dengan integrasi
dan Islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana yang digagas oleh Al Attas dan Al Faruqi.
Adapun misi UIN Syahid Jakarta adalah :
1. Melakukan reintegrasi keilmuan pada tingkat epistemologi, ontologi dan
aksiologi.
2. Memberikan landasan moral terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) serta melakukan pencerahan dalam pembinaan iman dan taqwa
(imtak), Sehingga, Iptek dan Imtak dapat sejalan
3. Mengartikulasikan ajaran Islam secara ilmiah akademis ke dalam
konteks kehidupan masyarakat.
4. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan
aspek
keislaman,
keilmuan,
kemanusiaan,
kemodernan
dan
keindonesiaan.
5. Meningkatkan kualitas penelitian dan pengabdian yang bermanfaat untuk
kepentingan ilmu dan masyarakat.
A.M. Saefuddin memandang integrasi yang dilakukan oleh UIN Syahid
mengambil tiga bentuk. Yang pertama, integrasi institusional sebagai bentuk pengakuan
positif akan adanya jenis ilmu lain yang tidak serumpun berupa pemasukan program
studi ilmu-ilmu umum ke dalam Fakultas agama. Kedua, integrasi disiplin ilmu, yaitu
eberapa jenis ilmu dari rumpun yang berbeda dapat dipelajari di jurusan apapun. Yang
ketiga, mengembangkan mata kuliah lintas disiplin ilmu. Dan yang keempat, sistem
kredit semester dinyatakan dalam SKS yang memungkinkan mahasiswa mengambil
beberapa mata kuliah yang masuk ilmu Quraniyah maupun Kauniyah.
Untuk kedua kampus lainnya UIN Sunan Kalijaga dan UIN Maulana Malik
Ibrahim, dalam proses integrasi ilmu didalamnya baik dari rumpun ilmu yang dibuka
maupun dalam kurikulumnya hampir sama dengan UIN Syahid Jakarta. Biasanya pihak
UIN segan untuk menyebut proses transformasi dari IAIN ke UIN bukan Islamisasi tapi
integrasi. Namun menurut Hamid Fahmi Zarkasyi, integrasi merupakan langkah awal
menuju Islamisasi.
Selain lembaga formal ada pula institusi non formal yang didirikan oleh para
intelektual muslim Indonesia, dalam rangka menyebarkan ide Islamisasi ilmu
pengetahuan
atau
sains.
Lembaga
kajian
tersebut
aktif
adalah
INSIST(InstitutefortheStudy of Islamic ThoughtandCivilization). Didirikan pada hari
Kamis 1 Muharram 1424 atau yang bertepatan dengan 4 Maret 2003, di desa Segambut,
Kuala Lumpur, Malaysia.Pendirinya ialah para mahasiswa dan dosen International
Instituteof Islamic ThoughtandCivilization (ISTAC) asal indonesiadengan sejumlah
dosen di sana.Dengan dimotori oleh Hamid Fahmy Zarkasyi, lembaga ini berdiri dengan
latar belakangi oleh kompetisi atas peradaban yang berlangsung sepanjang zaman.
INSIST adalah sebuah lembaga dakwah yang berbasis kajian ilmiah dan
penelitian. Didirikan untuk mengklarifikasi dan merumuskan kembali konsep dan
metodologi penting dalam khazanah pemikiran dan peradaban Islam, yang relevan
dengan problem yang dihadapi umat dalam keilmuan pendidikan, sejarah, peradaban,
politik, ekonomi, sosial dan gender equality. Kemudian mengembangkan framework
pemikiran Islam yang berangkat dari konsep pandangan hidup Islam, serta
menghadirkan respon Islam terhadap berbagai pemikiran keislaman yang berasal dari
arus kebudayaan, aliran pemikiran dan ideologi modern.
Mengingat hampir semua pendiri INSIST lulusan ISTAC yang digagas dan
dikembangkan oleh Muhammad Naquib Al-Attas yang dalam kategori di atas
merupakan model Islamisasi paradigma (worldview), maka kiprah mereka pun dalam
mengembangkan aktivitasnya selaras dengan pemikiran Al-Attas.boleh dikatakan
pengembangan kajian ilmiah INSIST berkisar pada Islamic worldview dan pergolakan
pemikiran didalamnya serta Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer.
Diantara jaringan INSIST yang secara Intens menjalin hubungan adalah INPAS
(Institut pemikiran dan peradaban Islam) di Surabaya yang berdiri tahun 2008. Dengan
aktivis yang rata-rata berasal dari Program Kaderisasi Ulama (PKU), UNIDA Gontor.
Ada juga PIMPIN(Institut Pemikiran Islam dan Pembinaan Insan)di Bandung berdiri
tahun 2009.INSIST juga mempunyai jaringan di kalangan mahasiswa kampus negeri.
Di antaranya di DISC (Depok Islamic SrudyCircle). Adapun salah satu jaringan INSIST
di kalangan anak muda milenial adalah ITJ, Indonesia Tanpa JIL (Jaringan Islam
Liberal) yang dikomandoi oleh Akmal Syafril, berdiri tahun 2012 sebagai reaksi atas
gerakan singkat aktivis Islam liberal.
INSIST dan jaringannya memang tidak secara langsung menggabungkan ide
Islamisasi saina. Kajian mereka lebih sering membahas tentang Islamic worldview.
Namun dengan banyaknya kajian seperti itu secara tidak langsung mereka telah
menanamkan dasar-dasar Islamisasi sains model paradigma (worldview). Dengan artian
Jika seseorang telah paham Islamic worldview tentu akan mudah menguasai konsep
Islamisasi sains.
Pola Pendekatan Utama dalam Islamisasi Sains Barat Modern dan Para Tokohnya
Apabila dipahami secara mendalam dari berbagai ide Islamisasi sains yang
berkembang saat ini, paling tidak ada limapendekatan utama dalam Islamisasi sains
Barat modern. Berikut kelima pendekatan tersebut.
Pertama, pendekatan Instrumentalistik. Instrumentalistik merupakan suatu
konsep yang menganggap ilmu atau sains sebagai alas (instrumen). Reaksi pertama
ilmuwan atau tokoh muslim terhadap sains barat diawali dengan pendekatan ini.
Menurut Zainal Abidin Bagir, salah satu tanggapan terpenting di dunia islam diberikan
oleh Jamaluddin al-Afghani. Idenya mengenai pengambilalihan teknologi Barat untuk
dikuasai sarjana-sarjana muslim memberikan dampak yang luas tidak saja di Turki tapi
juga di Iran Mesir India termasuk di Indonesia. Ia bersama muridnya, Muhammad
Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha mendukung gerakan instrumentalistik. Itulah ide
Islamisasi sains di abad modern yang pertama kali muncul dengan embrio masih berupa
pandangan instrumentalistik.
Konsep Islamisasi sains dengan pendekatan ini sebenarnya tidak termasuk dalam
konsep Islamisasi sains yang tengah kita bahas sesuai dengan syarat-syaratnya. Sebab
dalam pendekatan instrumentalistik konsep ilmu itu tidak bebas nilai, tidak berjalan.
Mereka justru menganggap ilmu adalah bebas nilai, sehingga siapa pun bisa
menggunakannya untuk mencapai tujuan.Walaupun demikian Konsep ini telah
memberikan kesadaran bagi umat untuk bangkit melawan ketertinggalan. Konsep ini
sangat tepat untuk memulai menyadari bahwa umat Islam di dunia modern saat ini
tertinggal dari bangsa Barat.
Pendekatan kedua adalah Justifikasi. Dimana Islamisasi sains yang paling
menarik bagi sebagian ilmuwan dan kalangan awam adalah Islamisasi sains dengan
konsep justifikasi. Yang dimaksud dengan konsep ini adalah penemuan ilmiah modern,
terutama di bidang ilmu-ilmu alam diberikan justifikasi (pembenaran) melalui ayat
Alquran maupun al-Hadits. Tokoh yang kerap kali mengemukakan masalah kesesuaian
ayat-ayat al-quran dengan penemuan ilmiah modern adalah Maurice Bucaille.
Menurutnya penemuan sains modern sesuai dengan Alquran, ya sekaligus menunjukkan
kebenaran bahwa Alquran adalah wahyu bukan karangan Muhammad.Metodologinya
adalah dengan cara mengukur kebenaran Alquran dengan fakta-fakta objektif dalam
sains modern. Menurutnya sains dalam peradaban barat telah menghilangkan realitas
transenden.
Buku-buku tentang kesesuaian penemuan sains modern dengan Alquran sangat
banyak. Penemuan tersebut termasuk dalam proses Islamisasi yang memberikan
justifikasi penemuan sains Barat modern dari Alquran. Salah satu bukunya adalah, buku
yang berjudul ayat-ayat semesta karangan Agus Purwanto, dosen Institut Teknologi
Surabaya yang merupakan ahli fisika teoritis lulusan Universitas Hiroshima Jepang.
Salah satu ayat yang menyebutkan kesesuaian sains Barat modern dengan Alquran.
Allah berfirman di dalam Alquran Surat Al Anbiya’ ayat 33 tentang orbit benda-benda
langit.“Dan dialah yang telah menciptakan malam dan siang matahari dan bulan
masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya”.
Pendekatan ketiga merupakan pendekatan Sakralisasi yang artinya, sains
modern yang sekarang ini bersifat sekuler dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas,
diarahkan menuju sains mempunyai nilai sakral. Ide ini dikembangkan pertama kali
oleh Sayyid HoosenNasr dilanjutkan oleh muridnya yang paling aktif Usman Bakar.
Menurut Nasr, dalam pandangan sekuler tentang alam semesta ia tidak melihat ada
jejak Tuhan di dalam keteraturan alam. Alam bukan lagi sebagai ayat-ayat Allah tetapi
entitas yang berdiri sendiri. Dimana alam digambarkan secara mekanistik bagaikan
mesin dan jam. Nasr kemudian mengemukakan idenya tentang sains sakral yang
membahas tentang kebenaran pada tiap tradisi konsep manusia dari konsepintelek dan
rasio.
Dalam seni sakral, iman tidak terpisah dari ilmu dan intelek tidak terpisah dari
iman. Ilmu pengetahuan akhirnya terkait dengan intelek Ilahi yang bermula dari segala
yang sakral. Nasr menegaskan bahwa sains sakral bukan hanya milik ajaran islam, tetapi
juga dimiliki oleh agama lainnya. Ide sakralisasi sains mempunyai persamaan dengan
proses Islamisasi sains yang lain dalam hal mengkritisi sains sekuler modern. Namun
perbedaannya cukup mencolok, karena menurut pandangan Nasr jika Sains Sakral
dibangun di atas konsep semua agama sama pada level batin maka Islamisasi ilmu
pengetahuan dibangun di atas kebenaran Islam. Sains sakral menafikan keunikan hanya
milik Islam karena keunikan adalah milik semua agama. Sedangkan Islamisasi ilmu
pengetahuan menegaskan bahwa keunikan ajaran Islam sebagai agama yang benar.
Sakralisasi ini akan tepat sebagai konsep Islamisasi jika nilai dan unsur kesakralan yang
dimaksud adalah nilai-nilai Islam tauhid. Yang dimaksud ini seyogyanya adalah
tauhidullah, tauhid kepada Allah bukan Tuhan Tuhan lainnya.
Pendekatan keempat adalah Integrasi. Yaitu mengintegrasikan sains barat
dengan ilmu-ilmu Islam Ide ini diketengahkan oleh Ismail R. Al-faruqi. Al faruqi
menyimpulkan bahwa solusi terhadap persoalan sistem pendidikan dualisme yang
terjadi pada kaum muslimin saat ini adalah dengan Islamisasi ilmu pengetahuan atau
sains. Sistem pendidikan harus dibenahi. Dualisme sistem pendidikan harus dihapuskan
dan disatukan dengan jiwa Islam dan berfungsi sebagai bagian yang integral dari
paradigmanya.Sistem pendidikan harus diisi dengan sebuah misi yang tidak lain adalah
menanamkan visi Islam. Menancapkan hasrat untuk merealisasikan visi Islam dalam
ruang dan waktu.
Menurutnya Islamisasi dibangun di atas konsep Tauhid, penciptaan kebenaran
dan ilmu pengetahuan kehidupan dan kemanusiaan. Sistem pendidikan dunia muslim
saat ini selain terpengaruh dengan sense sekuler juga memiliki kekurangan dan
kelemahan internal. Ia menjelaskan bahwa pengertian Islamisasi sains sebagai usaha
yaitu memberikan definisi baru mengatur data-data mengevaluasi kembali kesimpulankesimpulan memproyeksikan kembali tujuan tujuan dan melakukan semua itu
sedemikian rupa sehingga disiplin disebut disiplin itu memperkaya wawasan Islam dan
bermanfaat bagi cita-cita Islam.konsep inilah yang sekarang banyak dikembangkan oleh
para ilmuwan mengingat organisasi yang dibentuknya bergerak sangat aktif.
Rencana kerja dan metode islamisasi sains al-Faruqi yaitu:
a) Menguasai disiplin modern.
b) Menguasai warisan Islam.
c) Menetapkan relevansi khusus pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern.
d) Mencari jalan untuk sintesis khusus kreatif antara warisan (Islam) dan ilmu
pengetahuan modern.
e) Meluncurkan pemikiran Islam pada jalan yang mengarah pada kepatuhan
pada hukum Tuhan.
Sementara itu untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut Al-faruqi menyusun
12 langkah yang harus ditempuh terlebih dahulu langkah-langkah tersebut adalah
Pertama penguasaan disiplin ilmu modern dengan konsep metodologi masalah tema
dan perkembangannya, kedua survei disiplin ilmu yang ketiga penguasaan Khazanah
Islam dalam segi ontologi keempat penguasaan Khazanah ilmiah Islam: analisis kelima
penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplink, keenam ilmu penilaian
secara kritis terhadap disiplin ilmu modern dan tingkat perkembangannya di masa kini,
ketujuh penilaian secara kritis terhadap Khazanah Islam dan tingkat perkembangannya
dewasa ini, kedelapan survei permasalahan yang dihadapi umat Islam, kesembilan
survei permasalahan yang dihadapi manusia, kesepuluh kreatif dalam memadukan
konsep-konsep yang ada, kesebelas penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam
kerangka Islam, keduabelas penyebarluasan ilmu yang sudah di islamkan
Pendekatan selanjutnya yaitu pendekatan yang berlandaskan Paradigma
(worldview) Islam. Ide ini disampaikan pertama kali secara sistematis oleh Al-Attas, Ia
menyebut permasalahan Islamisasi adalah permasalahan mendasar yang bersifat
epistemologis. Menurutnya tantangan terbesar yang dihadapi kaum muslimin adalah
ilmu pengetahuan modern yang tidak netral telah merasuk kedalam praduga praduga
agama, budaya dan filosofis yang sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran dan
pengalaman manusia barat. Jadi sains modern harus di islamkan.
Al-Attas menyerukan suatu konsep ilmu yang berdasarkan pada wahyu. Karena
merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan
makhluk ciptaan dan penciptanya. Oleh karena itu Allah atas memberikan pengertian
Islamisasi sains ini sebagai berikut :
“Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis,animistis, kultur nasional
yang bertentangan dengan Islam dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran
dan bahasa. Pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan
tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya sebab manusia dalam wujudnya fisik
cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya dan berbuat tidak adil
terhadapnya. Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya yang tidak sekuat
proses evolusi dan revolusi”.
Gagasan al-Attas memberikan kritik pada aspek metafisik yang mendasari sains
modern sebagai salah satu bentuk ketidaknetralannya. Ketidaknetralan itu ditunjukkan
dalam ranah epistemologis, bahwa sains tidak hanya terkait dengan objek empiris,
metodologi penelitian ilmiah dan perumusan teori. Justru aspek epistemologis sains
memuat pandangan filosofis tertentu, yaitu positivisme dan mengesampingkan
kebenaran metafisik agama. Positivisme dalam sains yang mengantarkan kepada
ateisme dan paham-paham lainnya seperti materialisme, sekulerisme dan lainnya.
Dengan menetapkan asumsi metafisik sebagai bagian dari sains dalam pengertian proses
aktifitas ilmiah (sains), maka memasukkan pandangan dunia Islam untuk menggantikan
pandangan dunia sekuler, dapat dianggap sebagai model integrasi metafisik. Dalam
proses Islamisasi ilmu pengetahuan, al-Attas hanya merumuskan dua proses ganda yang
bersifat filosofis, yakni memfilter atau mengevaluasi, dan menginterpretasikan,
ditambah juga menilai ide-ide dan fakta; kemudian menciptakan dan menghasilkan
makna yang relevan yang mencakup individu dan sosial, sesuai dengan metafisika Islam,
epistemologi dan prinsip-prinsip etika hukum dalam Islam.
Dengan demikian Islamisasi sains akan membuat umat Islam terbebaskan dari
belenggu hal-hal yang bertentangan dengan Islam, sehingga timbul keharmonisan dan
kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya. Yaitu melalui dua cara, cara pertama
saling berhubungan dan sesuai urutan yaitu cara melakukan proses pemisahan elemenelemen dan konsep-konsep kunci yang bentuk kebudayaan dan peradaban Barat.
Adapun cara kedua yaitu memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci
ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.
Menurut al-attas Islamisasi sains tidak bisa tercapai hanya dengan menempel
atau melabeli sains dan prinsip Islam atau sains sekuler. Padahal tujuan dari Islamisasi
sains itu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari sains yang sudah tercemar
yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Adapun tujuan dari Islamisasi sains
adalah untuk mengembang kepribadian muslim yang sebenarnya, sehingga menambah
keimanannya kepada Allah dan dengan Islamisasi ini akan
mampu melahirkan
keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan iman.
Al-Attas mendukung metode tauhid, di mana terdapat kesatuan dalam kaidah
empiri, rasional, deduktif dan induktif. Beliau juga menggunakan kaidah tafsir dan
tak’wil sebagai kaidah memperoleh sains dengan kajian dan tafsiran tentang alam tabii
dan signifikannya dalam konsepsi sains dan pendidikan sebagai kaidah yang sah.
Dengan demikian konsep Islamisasi sains secara paradigma ini akan berakar kuat dan
sesuai dengan jiwa Islam.
Perkembangan Islamisasi Sains di Indonesia
Ide Islamisasi sains yang dikumandangkan oleh para ilmuwan penggagas ide
tersebut bergaung pula di Indonesia. Tahun 1980-an merupakan tahun-tahun dimana
kalangan intelektual muslim Indonesia bangkit. Para intelektual yang kebanyakan telah
belajar bukan di negeri Islam melainkan di negeri barat mulai memainkan peran mereka
di tanah air. Di kampus, mereka mempunyai pengikut dan sering memberikan ceramah
ilmiah di seminar seminar keislaman nasional. Mereka adalah Harun Nasution,
Nurcholis Madjid, M. Amin Rais, A.M.Saefuddin, Kuntowijoyo, Jalaludin Rahmat,
ArmahediMahzar dan Dawam Rahardjo.
Di atas, penulis sudah memaparkan kelima model pendekatan utama Islamisasi
Sains. Dari berbagai konsep Islamisasi Sains yang dikembangkan di Indonesia, para
intelektual tanah air menggunakan kelima pendekatan tersebut. Meskipun tidak bisa
dikatakan bahwa ilmuwan a mengikuti konsep tertentu. Namun penjabaran kelima
konsep Islamisasi sains termasuk dengan mudah dapat kita temukan di berbagai institusi
pendidikan. Misalnya, konsep Islamisasi sains yang dikembangkan oleh lembaga
INSISTS merupakan penjabaran dari ide paradigma yang di sampaikan oleh al-Attas.
Permulaan pembahasan Islamisasi sains di Indonesia sejak akhir abad ke-20,
dapat dilihat dengan adanya pemaparan ide dalam karya ilmiah yang dihasilkan oleh
ilmuwan Indonesia. Yaitu salah satu buku karya S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam
kepada Ilmu dan Peradaban Modern (P3M, 1981). Selain itu tidak ada Hal menonjol
kecuali perbincangan Islamisasi ilmu pengetahuan yang berkembang di luar Indonesia.
Zainal mencatat salah satu seminar pertama yang cukup berarti untuk dapat
dikatakan menandai munculnya wacana Islamisasi ilmu adalah “Diskusi Panel
Epistemologi Islam”, di Masjid Istiqlal 23 November 1985. Paham “epistemologi”
dalam tema diskusi tersebut tampaknya dipahami lebih dalam kaitannya dengan upaya
penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islami daripada sebagai suatu bagian dari
pengkajian filsafat pada umumnya.
Di sisi lain, makalah-makalah A.M. Saefuddin,ArmahediMahzar,M. Amin Rais
dan Jalaludin Rahmat berusaha menggali unsur-unsur epistemologi Islam dengan visi
penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islami. Unsur-unsur tersebut antara lain adalah
prinsip-prinsip metafisik yang menjadi pra-anggapan ilmu pengetahuan, cara
memperoleh ilmu, sumber-sumber ilmu dan tujuan pencarian ilmu.
Kuntowijoyoberpendapat bahwasanya yang benar itu adalah pengilmuan Islam
bukan Islamisasi ilmu. Secara harfiah, frasa pengilmuan Islam berarti menjadikan Islam
sebagai ilmu. Dengan pengilmuan Islam yang ingin dituju nya adalah aspek
universalitas klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta, bukan hanya bagi pribadipribadi atau masyarakat muslim tetapi untuk semua orang bahkan setiap makhluk di
alam semesta ini. Rahmat bagi alam semesta adalah tujuan akhir pengilmuan Islam.
Rahmat itu dijanjikan bukan hanya untuk muslim tapi untuk semuanya. Tugas muslim
adalah mewujudkan nyapengilmuan Islam adalah caranya secara lebih spesifik Islam di
ilmu kan dengan cara mengobjektifkannya.
Satu cara untuk memahami gerak pengilmuan Islam adalah dengan
memperhatikan periodisasi sistem pengetahuan muslim yang dibuat oleh Kuntowijoyo.
Yaitu, periodisasi penting untuk memahami apa yang akan dikerjakan pada suatu
periode tertentu keputusan yang diambil belum tentu akan bermanfaat di periode yang
lain. Dalam periodisasi ini, umat Islam bergerak dari periode pemahaman Islam sebagai
mitos, lalu sebagai Ideologi, dan terakhir sebagai ilmu.
Pada periode pertama Islam dipahami lebih sebagai mitos sesuatu yang sudah
selesai dan tinggal perlu dipertahankan, jika perlu dipertahankan dari serangan pihak
luar. Tradisi ini bersifat deklaratif. Sedangkan pada periode Islam sebagai ideologi,
sudah bersifat lebih rasional tapi masih terlalu non logis. Di sini Islam ditampilkan
sebagai ideologi tandingan bagi ideologi-ideologi dunia seperti kapitalisme dan
komunisme. Dan dalam periode ilmu, yang diperlukan adalah objektifikasi Islam.
Gagasan objektifikasi Islam, diharapkan dapat membebaskan umat dari prasangka
politik pihak-pihak birokrasi umat sendiri dan non umat. Menjadikan nilai-nilai Islam
sesuatu yang dapat diterima orang, muslim, ataupun non muslim karena kebaikan nilainilai itu sendiri bukan karena nilai-nilai itu disebut Islami.
Jika para intelektual kampus membuat berbagai wacana Islamisasi ilmu
pengetahuan Maka terdapat gerakan nyata sebagai implementasi wacana yang sudah ada.
Salah satu gerakan tersebut adalah gagasan dan gerakan Islamisasi Kampus (ISK) yang
dipelopori oleh A.M. Saefuddin. Beliau aktif menyerukan program Islamisasi ilmu
pengetahuan pada tahun 1980-an. Beliau adalah salah satu delegasi muslim Indonesia
yang hadir di konferensi internasional tentang pendidikan Islam di Mekkah tahun 1977
dan mengenal secara langsung oleh pembawa gagasan awal tersebut yaitu Muhammad
Naquib Al Attas.
A.M. Saefuddin memulai gagasan ISK-nya dengan mengeluarkan sebuahbuku
yang berjudul “Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi” yang diterbitkan oleh
penerbit Mizan Bandung 1987. Yang kemudian diperbaharui dengan judul “Islamisasi
Sains dan Kampus” diterbitkan oleh PPA, Jakarta 2010. Konsep ISK adalah
menyatukan komponen intelektual dan agama dalam satu atap. Komponen-komponen
tersebut adalah kampus, pesantren dan masjid. Dimana masjid berada di tengah-tengah
sebagai pusat kedua kegiatan. Sebagai contoh adalah Pesantren Ulil Albab, yang berada
di lingkungan kampus mewakili pendidikan Islam dengan kampus UIKA yang
mewakili fakultas-fakultas pendidikan umum. Dan Masjid Al-Hijri II yang berada di
tengah-tengah kampus, sebagai pusat dari kedua kegiatan tersebut.
Konsep ISK tersebut digagas A.M.Saefuddin dengan premis-premis sebagai
berikut:
6. Pembangunan Indonesia melibatkan tata nilai agama, ulama serta
cendekiawan maka hendaknya mengkaji kemungkinanmemadukan ilmu
dan teknologi dengan nilai agama di seluruh jenjang pendidikan, dengan
mempertemukan kitab kuning (buku-buku agama)
dan kitab putih
(buku-buku umum).
7. Dosen dan guru harus menunjukkan keteladanan tingkah laku yang
sesuai dengan nilai agama. Baik di dalam maupun di luar kampus.
8. Materi pendidikan agama harus disusun agar tampak jelas hubungan erat
antara agama dan masalah kehidupan nyata.
9. Menyimak semua buku teks di sekolah dan perguruan tinggi yang format
dan isinya menimbulkan keraguan terhadap kekuasaan Allah kemudian
menggantinya dengan buku teks yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
10. Guru
atau
dosen
dan
pelajar
atau
mahasiswa
bersama-sama
melaksanakan fungsi pendidikan dengan menjadi rahmatan lil alamin
menjamin
konsistensinya
dan
berusaha
menjauhi
sikap-sikap
keangkuhan intelektual.
Konsep is ini lebih mirip kepada Islamisasi Ilmu Pengetahuan Allah Ismail
faruqi yaitu integrasi ilmu. Namun kemudian pada sikap tertentu, integrasi tersebut
berubah menjadi pelarutan bukan lagi percampuran. Proyek ISK diluncurkan pertama
kali tahun 1980 namun isinya timbul tenggelam dan kemudian benar-benar tenggelam.
Tahun 2000-an dengan keluarnya buku tersebut, UIKA kembali mengaktifkan dan
mensosialisasikan kembali program ISK tersebut terutama di pascasarjana.
Selanjutnya, pada tahun 2000-an gema integrasi ilmu terus bergaung.
Kementerian Agama membuat projek integrasi ilmu dengan mentransformasi IAIN
menjadi UIN. Dengan tiga kampus yang menjadi proyek percontohan projek tersebut
yaitu IAIN Jakarta Yogyakarta dan Malang. Ketiganya memiliki kekhususan dalam
melakukan integrasi ilmu, namun sama-sama mengacu pada konsep Islamisasi ilmu
pengetahuan Al-Faruqi.
Misi UIN Syarif Hidayatullah (Syahid) sendiri sangat kental dengan integrasi
dan Islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana yang digagas oleh Al Attas dan Al Faruqi.
Adapun misi UIN Syahid Jakarta adalah :
6. Melakukan reintegrasi keilmuan pada tingkat epistemologi, ontologi dan
aksiologi.
7. Memberikan landasan moral terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) serta melakukan pencerahan dalam pembinaan iman dan taqwa
(imtak), Sehingga, Iptek dan Imtak dapat sejalan
8. Mengartikulasikan ajaran Islam secara ilmiah akademis ke dalam
konteks kehidupan masyarakat.
9. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan
aspek
keislaman,
keilmuan,
kemanusiaan,
kemodernan
dan
keindonesiaan.
10. Meningkatkan kualitas penelitian dan pengabdian yang bermanfaat untuk
kepentingan ilmu dan masyarakat.
A.M. Saefuddin memandang integrasi yang dilakukan oleh UIN Syahid
mengambil tiga bentuk. Yang pertama, integrasi institusional sebagai bentuk pengakuan
positif akan adanya jenis ilmu lain yang tidak serumpun berupa pemasukan program
studi ilmu-ilmu umum ke dalam Fakultas agama. Kedua, integrasi disiplin ilmu, yaitu
eberapa jenis ilmu dari rumpun yang berbeda dapat dipelajari di jurusan apapun. Yang
ketiga, mengembangkan mata kuliah lintas disiplin ilmu. Dan yang keempat, sistem
kredit semester dinyatakan dalam SKS yang memungkinkan mahasiswa mengambil
beberapa mata kuliah yang masuk ilmu Quraniyah maupun Kauniyah.
Untuk kedua kampus lainnya UIN Sunan Kalijaga dan UIN Maulana Malik
Ibrahim, dalam proses integrasi ilmu didalamnya baik dari rumpun ilmu yang dibuka
maupun dalam kurikulumnya hampir sama dengan UIN Syahid Jakarta. Biasanya pihak
UIN segan untuk menyebut proses transformasi dari IAIN ke UIN bukan Islamisasi tapi
integrasi. Namun menurut Hamid Fahmi Zarkasyi, integrasi merupakan langkah awal
menuju Islamisasi.
Selain lembaga formal ada pula institusi non formal yang didirikan oleh para
intelektual muslim Indonesia, dalam rangka menyebarkan ide Islamisasi ilmu
pengetahuan
atau
sains.
Lembaga
kajian
tersebut
aktif
adalah
INSISTS(InstitutefortheStudy of Islamic ThoughtandCivilization). Didirikan pada hari
Kamis 1 Muharram 1424 atau yang bertepatan dengan 4 Maret 2003, di desa Segambut,
Kuala Lumpur, Malaysia.Pendirinya ialah para mahasiswa dan dosen International
Instituteof Islamic ThoughtandCivilization (ISTAC) asal indonesiadengan sejumlah
dosen di sana.Dengan dimotori oleh Hamid Fahmy Zarkasyi, lembaga ini berdiri dengan
latar belakangi oleh kompetisi atas peradaban yang berlangsung sepanjang zaman.
INSISTS adalah sebuah lembaga dakwah yang berbasis kajian ilmiah dan
penelitian. Didirikan untuk mengklarifikasi dan merumuskan kembali konsep dan
metodologi penting dalam khazanah pemikiran dan peradaban Islam, yang relevan
dengan problem yang dihadapi umat dalam keilmuan pendidikan, sejarah, peradaban,
politik, ekonomi, sosial dan gender equality. Kemudian mengembangkan framework
pemikiran Islam yang berangkat dari konsep pandangan hidup Islam, serta
menghadirkan respon Islam terhadap berbagai pemikiran keislaman yang berasal dari
arus kebudayaan, aliran pemikiran dan ideologi modern.
Mengingat hampir semua pendiri INSISTS lulusan ISTAC yang digagas dan
dikembangkan oleh Muhammad Naquib Al-Attas yang dalam kategori di atas
merupakan model Islamisasi paradigma (worldview), maka kiprah mereka pun dalam
mengembangkan aktivitasnya selaras dengan pemikiran Al-Attas.boleh dikatakan
pengembangan kajian ilmiah INSISTS berkisar pada Islamic worldview dan pergolakan
pemikiran didalamnya serta Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer.
Diantara jaringan INSISTS yang secara Intens menjalin hubungan adalah
INPAS (Institut pemikiran dan peradaban Islam) di Surabaya yang berdiri tahun 2008.
Dengan aktivis yang rata-rata berasal dari Program Kaderisasi Ulama (PKU), UNIDA
Gontor. Ada juga PIMPIN(Institut Pemikiran Islam dan Pembinaan Insan)di Bandung
berdiri tahun 2009.INSISTS juga mempunyai jaringan di kalangan mahasiswa kampus
negeri. Di antaranya di DISC (Depok Islamic SrudyCircle). Adapun salah satu jaringan
INSISTS di kalangan anak muda milenial adalah ITJ, Indonesia Tanpa JIL (Jaringan
Islam Liberal) yang dikomandoi oleh Akmal Syafril, berdiri tahun 2012 sebagai reaksi
atas gerakan singkat aktivis Islam liberal.
INSISTS dan jaringannya memang tidak secara langsung menggabungkan ide
Islamisasi saina. Kajian mereka lebih sering membahas tentang Islamic worldview.
Namun dengan banyaknya kajian seperti itu secara tidak langsung mereka telah
menanamkan dasar-dasar Islamisasi sains model paradigma (worldview). Dengan artian
Jika seseorang telah paham Islamic worldview tentu akan mudah menguasai konsep
Islamisasi sains.
Buku Rujukan :
1. Ach. Maimun Syamsuddin, Integrasi Multidimensi Agama dan Sains: Analisis
Sains Islami Al-Attas dan Mehdi Gholsani, Yogyakarta: IRCiSoD, 2012
2. Dr. Budi Hadrianto, Islamisasi Sains Upaya Mengislamkan Sains
Modern, INSISTSS-Kalibata Jakarta, 2019
3. Wan Mohd Nor Wan Daud, Islamisasi Ilmu-ilmu Kontemporer dan Peran
Universitas Islam dalam Konteks Dewesternisasi dan Dekolonisasi, Bogor,
Universitas Ibnu Khaldun & CASIS UTM, 2013