Islamic Worldview

Since the 18th century to the present, the concept of worldview has been used in various forms by various writers and extensively in several fields of academic disciplines. The article provides a brief historical overview of its usage in the literature and demonstrates how worldview has been perceived differently over time. It presents the evolution of the concept, its essential characteristics, worldviews frameworks, Muslim worldviews, and the identity formation of young Muslims. Thus, it provides a detailed, overview of how the concept has been understood in the core disciplines, particularly in Islam and Western culture and most relevant for Muslim identity. 
The Worldview Theory has been popular in the West, but has not yet found a proper place in the Turkish context. This study aims to remedy the lack of the concept of worldview in the current literature. Nevertheless, exploring the Muslim identity is important. The meaning of identity is defined with Tariq Ramadan’s four foundational pillars. These four aspects provide sufficient idea of the basics of Muslim identity, individual and social, in a particular area of the world. Regarding this, religion and religious education have attempted to respond to the challenges faced by many young people seeking to find a worldview that holds the promise of a meaningful life. Thus, the religious worldview dimension of life is significant and is given special attention in this article. This paper is concerned to be one of the few attempts to discuss a need for professional care in dealing with the development of worldview and identity relations.

Introduction:
A correct understanding of the fundamental elements in the Islamic worldview vision is a pre-requisite for the development of Islamic understanding. This assignment begins by putting forward a conceptual understanding of these fundamental elements which include the nature of man, the universe and the concept of din. The assignment argues that due to differences in the Islamic worldview vision to those of western or secular worldview, with the methodological framework in Islamic scholarship, the development of Islamic world thought differs. While internal logic, coherence and consistency are necessary conditions for scientific exposition, Islamic worldview should be evaluated within its own framework and using its own criteria. Within acceptable parameters determined by revelation, this assignment also argues that varying opinions in worldview are possible and probable.
When Muslim scholars speak of Islamic worldview, to the contemporary secular scholars, some basic ideas and concepts may seem contradictory or at the least, meaningless. The very idea that a religion can determine Islamic worldview ideas would be dismissed as incoherent and emotional by the majority of contemporary western seculars. Naturally the positive impact of Worldview is to:
1. Helps us to know peoples and their cultures.
2. Helps us to interact with nature, individuals, nations, cultures and civilizations.
3. Helps us to correct our own values, perspectives, attitudes and behaviors.
4. Helps us to formulate theories of politics, sociology, culture, etc.

‎“...Gelin, Tanrı'nın zatına dair bizi şimdiye kadar kördüğümün ötesine götürmemiş eski sorularımızı terk edelim. İnsana, ‎insanın görev ve sorumluluklarına dönelim. Zaten bu görev ve sorumluluklar, Tanrı'nın istediklerinden başka bir şey ‎değildir. Bırakalım, kim olmak istediğine, Tanrı kendisi karar versin! Bütün insanların öncelikle ilahi iradeyi yerine getirmede ‎birleşmesi mümkün, hatta gerekli değil midir?”‎
‎ “...Şimdi soruyoruz: Hıristiyan dünyası İslam dünyası ile bu rasyonel temele dayalı olarak iletişim kurma davetini kabul ‎edecek midir? Hıristiyanlar, Tanrı'nın iradesinin dünyada egemen olmasını sağlama uğruna, sürekli bir epoche içinde, ‎kendi dogmatik teolojisinin öğretilerini askıya almaya hazır mıdır? Müslümanların ahlak yasaları çerçevesinde evrensel bir ‎kardeşlik kurma çabasına karşılık vermeye istekli midir?”‎

Sebelum memasuki pembahasan tentang Worldview Islam, alangkah baiknya memulai pembahan ini dengan beberapa pertanyaan agar memberi kemudahan dan pembatasan dalam pembahasan kali ini. Apa definisi Worldview, Bagaimana proses Worldview itu lahir, Apa definisi Worldview dalam Islam dan bagaimana proses Worlview Islam itu lahir. Dari beberapa pertanyaan diatas sudah memberikan sedikit gambaran apa yang akan dibahas berikut ini. Pembahasan Dalam pembahasan penulis akan menguraikan satu persatu disetiap variabel judul yaitu Worldview dan Islam serta bagaimana kedua variabel itu lahir kemudian disatukan dalam satu kalimat Worldview Islam. Worldview dalam kata lain yaitu Weltanschauung/ Weltanzincht (bahasa Jerman) yang berarti pandangan Hidup, menurut Ulama Kontemporer Worldview ialah Al-mabda' Al-Islamiy, atau At-showwur Al-Islamiy atau Ru'yatu-l-Islamiy, menurut Al-Maududi Worldview adalah Islamic Vission. Dari definisi dalam kerangka bahasa nampaknya mempunyai makna yang sama yaitu pandangan dalam hidup. Menurut Ninian Smart Worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.(Worldview,

Worldview adalah istilah bahasa Inggris, yang dalam bahasa Indonesia kita sebut pandangan hidup atau pandangan alam. Apa itu worldview? Jika dinisbatkan dengan Islam, apa maksudnya? Dalam istilah turath Islam kira-kira disebut apa? Tulisan pendek ini akan menjelaskan pengertian sekaligus pentingnya dalam pendidikan Islam. Penjelasan ini berdasarkan kepada pemikiran Prof. Habib M. Naquib al-Attas. Karena penulis memandang teori worldview of Islam dalam isu pemikiran modern ini layak merujuk kepada pemikiran beliau. Pandangan hidup (worldview) merupakan asas dari setiap aktifitas, termasuk aktifitas keilmuan. Maka, kegiatan pendidikan Islam haruslah memiliki landasan Islamic Worldview. Pandangan hidup Islam adalah pemahaman seorang Muslim terhadap konsep-konsep kunci dalam Islam, seperti konsep tentang Allah Swt, wahyu, nabi, manusia, ilmu, jiwa, alam, ilmu dan lain-lain. Lalu, menjadikan konsep-konsep kunci tersebut sebagai alat dalam memandang realitas. Oleh sebab itu, pembentukan karakter penuntut ilmu sangat dipengaruhi oleh worldview ini. Cara pandang, sikap dan etika seorang Muslim dikendalikan oleh pemikirannya dalam memahami realitas alam ini, baik realitas fisik maupun metafisik. Seorang Muslim yang memiliki visi keakhiratan memiliki perspektif berbeda dengan seseorang yang bervisi keduniawiyaan semata dalam melihat setiap realitas dalam kehidupan. Alparslan Acikgenc, pakar filsafat Islam asal Turki mengatakan, pikiran itu menjadi motor perbuatan (Alparslan, Islamic Science Towards A Definition, hal.29). Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa dalam istilah para ulama dahulu worldview of Islam itu dapat dipadankan, meski tidak sama persis, dengan istilah I'tiqad.

pemiliki nya mengatakan bahwa boneka tersebut memberikan aura positif, selalu mengajaknya sholat, memberi infaq kepada fakir miskin, dan kebodohan lainnya. Kalimat kebathilan yang dipermanis dengan kebaikan disinilah peranan iblis berfungsi. oleh karenanya para ulama berkata “Sesungguhnya Allah menunda siksaan namun Allah tidak lalai’’.

Pandangan tentang childfree beberapa hari belakangan ini menjadi sorotan kaum milenial. Apakah childfree ini akan menjadi sebuah trend dikalangan anak muda indonesia saat ini? bagaimana islam memandang hal ini? dan bukankah Alloh SWT memberikan kabar gembira kepada nabi Ibrahim AS berupa anak bernama Ismail AS

Pandangan alam Islam yang juga dikenali sebagai Tasawwur Islam merupakan
suatu falsafah hidup manusia yang terkandung dalam al-Qur’an, al-Sunnah dan apa yang
ditafsirkan oleh para ulama dari kedua-dua sumber utama Islam ini. Secara tamsilan suatu
pandangan alam itu merupakan kanta melaluinya kita melihat dan menilai segala benda dan
fenomena yang berlaku di sekitar kita. Berdasarkan dengan pergertian yang diberikan
mengenai pandangan alam, maka yang menjadi fokus utama artikel ini adalah untuk
meneroka lebih jauh lagi tentang pandangan alam Islam dari perspektif surah al-Fatihah
yang merupakan intipati keseluruhan surah yang terkandung dalam al-Quran. Sebagai
pengantar kepada tajuk utama penelitian ini, para peneliti akan membincangkan sepintas
lalu tentang apa yang dimaksudkan dengan pandangan alam serta beberapa jenisnya yang
pernah dan masih menjadi pegangan hidup masyarakat dunia. Penelitian ini juga sedikit
sebanyak akan menyentuh perbezaan yang terdapat di antara pandangan alam Barat dan
Islam. Mengenai pandangan alam dari perspektif Surah al-Fatihah, tumpuan akan diberikan
pada tiga aspek utama dari surah tersebut; iaitu Tuhan, manusia dan alam. Para peneliti
akan melihat hubungan ketiga-tiga aspek dari kacamata Islam. Adalah diharapkan bahawa
penelitian ini akan menonjolkan peri pentingnya pandangan alam dalam hidup manusia,
khususnya pandangan alam Islam yang agak komprehensif yang merangkumi kehidupan
dunia dan akhirat, keperluan material dan spiritual, kehidupan individu dan bermasyarakat
dan sebagainya. Sebagai kajian kualitatif, para peneliti akan guna pakai kaedah analisis
kandungan dan tekstual dalam usaha menterjemah data yang akan diperolehi dari hasil
karya ilmiah cendikiawan Islam silam dan para ahli dalam bidang pandangan alam
kontemporari. Justeru itu para peneliti berpendapat bahawa pandangan alam Islam yang
tulen yang bersumberkan al-Quran khususnya dalam surah al-Fatihah dapat membantu
menangani salah faham Islam yang berlaku dewasa ini.
The Islamic worldview which is also known as Tasawwur Islam is a philosophy of life-based
on the teachings of the Qur'an, al-Sunnah and the interpretation given by Muslims of what
they understand from these two main sources of Islam. Metaphorically explained, a
worldview is like a lens through which we see and evaluate all the things and phenomena that
are happening around us. Based on the understanding given on worldview, the main focus of
this article is to delve further into the subject of Islamic worldview from the perspective of
Surah al-Fatihah which is said to the essence of the entire message contained in the Quran.
As a prelude to the crux of this study, the researchers will briefly discuss what is meant by a
worldview and some of its characteristics that have been and still followed by many societies
in the world. This study will also passingly state the differences found in the Western and
Islamic worldviews. In discussing the Islamic worldview from the perspective of Surah al-
Fatihah, the researchers will focus on three main aspects of the Surah; that is God, man, and
nature. The researchers will look at the relationship between these three aspects found in the
Surah from the Islamic perspective. It is hoped that this study will highlight the important
role played by a worldview in human lives, particularly the Islamic worldview that is
comprehensive in nature that includes man’s life in this world and the hereafter, his material
and spiritual needs, aspects of his individual and communal life, etc. As a qualitative study,
the researchers will use the content and textual-analysis methods in their attempt to interpret
relevant data drawn from the works of ancient and contemporary Muslim scholars who have
written on the Islamic worldview. The researchers believe that understanding Islamic
worldview from the Quranic sources, especially from the Surah al-Fatihah’s perspective in a
way can be a great help in dealing with the misconception and misunderstanding of Islam
prevalent in today’s world.

Artikel ini bertujuan menganalisis pemikiran Muhammad Syukri Salleh berhubung pembinaan konsep pembangunan berteraskan Islam (PBI). PBI di sini merujuk kepada proses pembangunan yang komprehensif, bersepadu dan seimbang. Ia melibatkan semua aspek kehidupan seseorang, baik di peringkat individu mahupun komuniti dan merangkumi aspek pembangunan rohani dan jasmani. Selain itu, ia juga lahir daripada pelaksanaan fungsi individu dalam kehidupan sebagai hamba Allah SWT dalam perspektif perhubungan menegak (habl min Allah) dan sebagai khalifah Allah SWT dalam perspektif hubungan mendatar (habl min al-Nas). Persoalannya, bagaimanakah konsep PBI itu dibina? Apakah acuan yang digunapakai dalam pembinaannya? Artikel ini akan cuba menjawab semua persoalan ini dengan menganalisis tiga perkara utama. Pertama ialah meneliti konsep PBI. Kedua pula ialah meninjau acuan pembinaan konsep PBI tersebut, manakala ketiga ialah menganalisis proses pembinaan konsep PBI. Ketiga-tiga perkara ini dibuat dengan memfokuskan perbincangan kepada pemikiran Muhammad Syukri Salleh. Bagi tujuan pengukuhan, pemikiran ini disokong oleh pandangan-pandangan pemikir Islam kontemporari yang lain. Semua pandangan ini ditinjau berdasarkan penulisan-penulisan yang sedia ada. Akhirnya artikel ini merumuskan bahawa pembinaan konsep PBI bermula dari akar umbinya lagi, iaitu tasawwur Islam diletakkan sebagai acuannya.

Percayalah bahwa masuk kedalam surga itu mudah, mungkin para pembaca bertanya-tanya dan protes terhadap kepedean penulis yang terlalu percaya bahwa masuk surga itu mudah kan? Ya, memang seperti itu adanya, mari kita simak janji Alloh tersebut :

Ini adalah salah satu subbab dari buku "Islam Liberal 101" yang pertama kali terbit pada tahun 2010. Subbab ini menjawab retorika "Tuhan tidak perlu dibela!" yang selalu dimunculkan untuk meredam penentangan dari umat Muslim manakala terjadi penistaan agama.

Ketika mendefinisikan makna ilmu, Prof Wan membandingkan antara ilmu dalam pandangan Barat dan Islam, ternyata benar adanya, keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Menurut Guru Besar CASIS-UTM itu, pada zaman modern ini, makna ilmu telah dipersempit terhadap pengetahuan tentang informasi dan keterampilan saja terutama yang berpegang teguh pada prinsip sains, ilmu merujuk pada pengenalan atau persepsi jelas tentang fakta. Knowledge denotes acquaintance with, or clear perception of facts. Fakta juga merujuk pada masalah-masalah yang dapat dirasa oleh panca indera, yakin bersipat empiris. Adanya perkara lain di luar kemampuan panca indera lahiriah tersebut dianggap bukan fakta, dan tidak termasuk dalam kategori ilmu. Dalam hal ini, pandangan mereka, ajaran agama secara mutlak keluar dari definisi dan ruang lingkup ilmu, dan dianggap sebaga kepercayaan atau dugaan (bliefs or opinions) semata-mata. Begitulah pendapat mazhab empirisme, secara kasar, yang didukung oleh tokoh-tokoh seperti John Locke (wafat 1904), David Hume (wafat 1776), Herbert Spencer (wafat 1903), dan lain-lain (Wan Daud, 2007: 30).

Kecerdasan spiritual merupakan satu konsep psikologi moden yang sering dikaitkan dengan kepimpinan. Kajian ini ingin memaparkan kesahan instrumen pengukuran kecerdasan spiritual yang dibina khusus untuk pemimpin sekolah di Malaysia. Kerangka konsep kecerdasan spiritual di dalam kajian ini adalah berasaskan empat dimensi iaitu Kesedaran Spiritual, Akhlak, Amanah dan Pembelajaran Berterusan. Dalam fasa pertama kajian, kesahan awal konstruk Instrumen Kecerdasan Spiritual Pemimpin Sekolah (IKSiPS) diperoleh melalui kaedah Nisbah Kesahan Kandungan atau Content Validity Ratio (CVR) yang melibatkan 31 orang pakar. Kesahan kontruk fasa kedua diperoleh melalui Analisis Faktor Penerokaan atau Exploratory Factor Analysis (EFA) menggunakan perisian SPSS 22. Seramai 411 pemimpin sekolah yang menghadiri latihan di Institut Aminudin Baki (IAB) telah menjadi sampel kajian. Melalui kaedah analisis faktor ini, lapan faktor telah berjaya dihasilkan. Pemurnian instrumen seterusnya dilakukan menggunakan Analisis Faktor Pengesahan atau Confirmatory Factor Analysis (CFA) dengan perisian AMOS 22 melibatkan seramai 413 sampel pemimpin sekolah yang juga menghadiri kursus di IAB. Prosedur CFA telah menunjukkan kesepadanan model IKSiPS dengan data kajian. Ketiga-tiga fasa kesahan telah membuktikan IKSiPS mempunyai ciri-ciri psikometrik yang berwibawa. Oleh itu, kajian ini mencadangkan bahawa IKSiPS berpotensi digunakan sebagai instrumen untuk mengukur atribut kecerdasan spiritual dalam kalangan pemimpin sekolah di Malaysia dan juga memenuhi keperluan latihan kepimpinan dan pengurusan pendidikan di dalam domain afektif. IKSiPS juga boleh digunakan di dalam kajian berbentuk perhubungan sebab-akibat di masa hadapan.

Di dalam kehidupan, setiap insan memiliki konsep pandang hidup yang berbeda satu sama lainnya. Ini difaktori oleh sesuatu yang paling dominan dalam kehidupannya. Faktor ini bisa berasal dari kebudayaan, filsasat, agama, kepercayaan, tata nilai sosial masyarakat atau lainnya. Konsep pandang hidup ini popular sebutannya dengan istilah worldview. Dari dahulu, sudah banyak para cendekiawan dari berbagai belahan dunia yang menelitinya, mulai dari para pemikir, filsof, teolog, bahkan peneliti independen. Hal ini dikarenakan worldview berkaitan dengan konsep pandang hidup seseorang untuk melihat realitas yang terjadi di kehidupan, dan hal tersebut membentuk pikiran dan perbuatannya. Artinya, worldview sangat urgen karena ia merupakan penentu seluruh aspek kegiatan dan aktivitas manusia dalam menyikapi kehidupan. Istilah worldview yang menggambarkan pola pikir, perasaan dan sikap seseorang tentang kehidupan, menjadi sangat popular belakangan ini, baik di Barat maupun di Timur.2 Hinga saat ini setidaknya terdapat tiga kelompok besar yang telah melakukan penelitian bahkan pendefinisian tentang worldview, yaitu intelek sekuler, cendekiawan Kristen, dan cendekiawan Muslim. Semuanya mendefinisikan makna worldview dengan basic pemikiran masing-masing, sehingga menghasilkan nilai yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan tersebut sangat didasari oleh landasan pemikiran filosofis dan ideologis masing-masing cendikia. Oleh sebab itu, pembahasan tentang worldview selalu saja menarik dan hangat untuk dibicarakan. Makalah ini hadir dalam rangka membicarakan isu tersebut. Di dalamnya akan berusaha dibahas sejarah kata worldview, definisi konsep pandangan hidup (worldview) menurut tiga kelompok besar ini kemudian disimpulkan.

Skripsi ini ditulis oleh Muhammad Nidhal, mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jayabaya. Unit analisis dalam skripsi ini adalah terkait isu filosofis/etis yang secara garis besar membedah kemungkinan dilakukan teorisasi perspektif Islam dalam Studi Hubungan Internasional (HI) kontemporer. Upaya untuk menghidupkan kembali perspektif non-Barat dalam HI adalah upaya merayakan pluralitas berpikir Studi HI itu sendiri.

To Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islamic civilization is founded on religion as connoted by the key-term (DĪN). He has meticulously explicated the concept by way of semantic analysis, a major method of interpretation in the Islamic intellectual tradition which is concerned with correct application of linguistic symbols to arrive at correct meaning. His analysis of the term DĪN has marked a distinctive, deeper and interrelated understanding of revealed religion different from the Western conception. The root-word DYN comprises of four distinctive yet interconnected meanings embedded in the understanding of religion. This paper attempts at elucidating al-Attas' analysis of the keyword DĪN which bares a very significant basis to the definition of MADANĪ society, a term not equivalent to "civil society". The paper scrutinizes al-Attas' published and unpublished works on religion.

Kertas kerja ini bertujuan mengkaji tasawur yang mencorakkan pembangunan Negara Zikir (PNZ) di Negara Brunei Darussalam. Negara Zikir merupakan salah satu daripada pendekatan pembangunan berteraskan Islam (PBI) yang diilhamkan oleh Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan Haji Hassanal Bolkiah sebagai sasaran utama Negara Brunei Darussalam ke arah membangunkan sebuah negara maju dan makmur berdasarkan undang-undang Islam selaras dengan visi dan misi negara maju 2035. Dalam usaha melaksanakan PBI sebegini, aspek tasawur merupakan antara cabaran utama yang patut dihadapi. Terdapat sesetengah pihak terutamanya dalam kalangan ahli pembangunan Islam arus perdana yang mendakwa tasawur pembangunan lazim (PL) boleh diguna pakai dalam pelaksanaan PBI asalkan ia tidak bertentangan dengan akidah dan syariat Islam. Persoalannya, apakah tasawur yang mencorakkan PNZ di Negara Brunei Darussalam? Adakah ia dicorakkan oleh tasawur Islam atau sebaliknya? Kertas kerja ini akan menjawab kedua-dua persoalan ini dengan memfokuskan perbincangan kepada tiga perkara utama. Pertama, mengenal pasti petikan-petikan Titah Baginda Sultan Hassanal Bolkiah yang berkaitan tasawur PNZ; kedua, menganalisis tasawur PNZ berdasarkan petikan-petikan Titah Baginda Sultan Hassanal Bolkiah yang dikenal pasti itu; dan ketiga, merumuskan tasawur PNZ di Negara Brunei Darussalam. Kajian ini merupakan kajian perpustakaan. Ia dilakukan dengan menganalisis kandungan petikan-petikan Titah Baginda Sultan Hassanal Bolkiah yang berkaitan tasawur PNZ. Akhirnya kertas kerja ini mendapati tasawur PNZ dicorakkan oleh tasawur Islam yang menjadi acuan kepada PBI. Walau bagaimanapun, perkara ini tidaklah dinyatakan secara langsung dalam petikan-petikan Titah Baginda Sultan Hassanal Bolkiah.

Kata Kunci: tasawur, pembangunan, Negara Zikir, pembangunan berteraskan Islam

Buku Wajah Perdaban Barat ini adalah buku yang mengungkapkan fakta dan akar secara historis mengenai pergolakan besar yang terjadi di dunia ini, yang dimana, Peradaban Barat-lah yang menimbulkan banyak masalah, terutama dalam bidang idelogi yang sangat bertentangan dengan aqidah Islam. Tanpa masyarakat sadari, sebenarnya kebudayaaan barat telah mengakar pada kehidupan sosial mereka. Peradaban Barat pada dewsa, ini menjadi peradaban barat yang sangat dominan dikalangan masyarakat secara umum. Mereka juga berupaya merumuskan dan mencari solusi dari berbagai permasalahan agama, terutama islam. Menurut Al- Attas, peradaban Barat mengandung unsur teologi Kristen, Filsafat Yunani, dan Tradisi Eropa. Namun begitu, seiring berjalannya waktu, nilai- nilai Kristen bergeser menjadi Sekular- Liberal.

Kebenaran Islam sering dipertanyakan dari sudut pandang ilmiah, dan metode ilmiah yang digunakan saat ini adalah metode ilmiah Barat yang sekuler. Inilah sebabnya mengapa bias sering muncul. Dalam Islam, ada dua pendekatan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan rasional-spekulatif-idealistis dan pendekatan rasional-empiris.

This article does not claim that all Egyptian children view the world identically, but rather confirms certain significant underlying principles upon which their worldviews are constructed. The polarities of local-Global North and South are reconstituted through children’s narratives into flexible and positive attitudes implicit in their activities/worldviews.

Manusia merupakan pelaku pembangunan yang pencapaiannya diukur dengan pelbagai indeks pembangunan, antaranya ialah Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index - HDI). HDI merupakan indeks komposit yang digunakan sebagai satu piawaian dalam mengukur pencapaian manusia. Melalui pengukuran ini dapat ditentukan sama ada sesebuah negara itu maju, membangun atau mundur. Persoalannya, bagaimanakah pencapaian manusia diukur dalam HDI? Apakah aspek-aspek pengukurannya? Adakah pengukuran pencapaian manusia dalam HDI ini mencukupi dan selari dengan fungsi manusia berdasarkan tasawur pembangunan berteraskan Islam (PBI)? Untuk menjawab semua persoalan ini, makalah ini mempunyai dua objektif utama. Pertama, mengenal pasti aspek pengukuran pencapaian manusia dalam HDI; dan kedua, menganalisis kecukupan pengukuran pencapaian manusia dalam HDI itu berdasarkan tasawur PBI. Sebagai hasilnya, kajian kualitatif yang menggunakan kaedah analisis kandungan ini mendapati pencapaian manusia dalam HDI diukur berdasarkan aspek kesihatan, pendidikan dan taraf hidup. Jelaslah bahawa pengukuran pencapaian manusia dalam HDI hanya dari aspek fizikal dan keupayaannya semata-mata. Ia tidak mengambil kira aspek spiritual. Oleh itu, fungsi manusia yang diukur pencapaiannya dalam HDI hanyalah manusia fizikal, atau pseudo-manusia, iaitu manusia yang tidak lengkap sebagai satu manusia. Ia hanyalah merujuk kepada kekuatan fizikal, keupayaan produktiviti dan akal manusia. Aspek kerohanian seperti iman dan takwa tidak diambil kira. Hal ini jelas bertentangan dengan fungsi sebenar manusia berdasarkan tasawur PBI, iaitu sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. 

Kata Kunci: ukuran; pencapaian; indeks; pembangunan; tasawur

There are two images of Sir. Patrick Geddes that have been received by subsequent generations, Geddes the Liberal and Geddes the Mystic. This paper examines the ways in which revived sensitivity to the wisdom and limitations of Geddes the Mystic may help facilitate the process of transforming human-nature relations and staving off the cultural and ecological genocide of Modernity.

This paper attempts to seek answers, Firstly, it intends to
identify Jahiliyyah practices that are allegedly accepted and
practiced in Islam. Secondly, to analyze the worldview of
these Jahiliyyah-origin practices within an Islamic
worldview construct. The analysis was based on selected
practices of the Jahiliyyah that were adopted by Rasulullah
SAW. This historiography study concludes that the
similarities of these practices, if any, eventhough are similar
to those practiced by the Jahiliyyah, were only restricted to
its names and terms, while the structure and roots were
revamped by Rasulullah SAW. The divine revelations
received by Rasulullah SAW are proof that Islam is
absolutely free from Jahiliyyah practices. The arguments
used by those who advocate the use of conventional ideas to
solve problems related to Islam are therefore, incorrect.

Dalam buku ini penulis membicarakan mengenai hubungan antara tasawur Islam dengan pembangunan. Pembangunan yang penulis maksudkan ialah pembangunan berteraskan Islam (PBI). Sebenarnya, PBI ini adalah berbeza daripada pembangunan lazim. PBI terbina daripada tasawur Islam yang lahir daripada epistemologi Islam. Epistemologi Islam berakar umbi daripada empat sumber utama iaitu al-Qur’an, hadith, ijmak dan qiyas. Keempat-empat sumber ini membentuk tasawur Islam yang jauh berbeza daripada tasawur lazim. Malah ia menjadi acuan kepada pembentukan teori PBI. Pembangunan lazim pula terbina daripada tasawur lazim yang lahir daripada epistemologi Barat. Epistemologi Barat berakar umbi daripada hujah-hujah akal dan rasional semata-mata, iaitu pemikiran pengasas-pengasas teori pembangunan yang terikat dengan falsafah pembangunan lazim seperti Pasca-Klasikal dan Radikal.

PBI yang dibina beracuankan tasawur Islam itu mempunyai enam pola. Pertama, berpaksikan tauhid; kedua, berkaedahkan pengabdian diri kepada Allah SWT; ketiga, manusia hamba dan khalifah sebagai pelaku pembangunan; keempat, sumber alam sebagai alat atau wasilah pembangunan; kelima, keseimbangan antara dunia dan akhirat; dan keenam, bermatlamat mencapai keredhaan Allah SWT.

Akhir sekali penulis merumuskan bahawa PBI yang dibina beracuankan tasawur Islam ini paling tidak mempunyai lima kekuatan. Pertama, sumbernya adalah wahyu; kedua, tunjangnya adalah tauhid; ketiga, elemen-elemen asasnya adalah merangkumi hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia sesama manusia dan hubungan manusia dengan sumber alam; keempat, tempoh masanya adalah meliputi alam roh, alam dunia dan alam akhirat; dan kelima, matlamatnya adalah untuk mendapatkan keredhaan Allah SWT.

The International Islamic University Malaysia (IIUM) was established in 1983. Its vision is "to become a leading international centre of educational excellence which seeks to restore the dynamic and progressive role of the Muslim Ummah in all branches of knowledge and intellectual discourse". Its mission is abridged in the notions and values of integration, Islamization, internationalization and comprehensive excellence. As a philosophy, system and physical reality, IIUM is to be turned into a garden of knowledge and virtue. The creation of IIUM was envisioned as a turning point in the evolution of the Muslim postcolonial consciousness and maturity. Throughout the twentieth century, the Muslims were quick to try every existing development model so as to stand on their own feet and become active protagonists in civilization making processes worldwide. However, nothing seemed to genuinely work. The efforts were continuously hindered, both from inside and outside, as a result of which little authentic headway was effected. The predicament was most evident and disturbing in the realm of knowledge and education. Therein the Muslims were still extolling others and other people's histories, cultures and traditions. The systems and personnel were carefully enacted and employed from within and without for the projected agendas. It was perfectly clear that the colonial masters knew what they were doing. Colonization, in fact, never ceased to exist. It was only moved to another level and its modi operandi diversified. The dynamics of colonialism as a thought and ideology, and colonization as a phenomenon and process, functioned unabated. Knowledge as power ("scientia potentia est", an aphorism commonly attributed to Sir Francis Bacon), and education as the fundamental precondition for political development, empowerment, democracy and social justice, were targeted and manipulated most. Education as the most powerful weapon which can be used to change the world-to paraphrase Nelson Mandela's assertion-had to be divested from the Muslims' domain if colonization was to be perpetuated and its latest forms adequately operationalized. Thus, educational institutions with a local and international character, mushroomed across the Muslim world to serve the purpose. Myriads of servants and collaborators were engaged to accomplish and sustain the crusade. Consequently, the biggest Muslim dilemma was that of ideas, and the most devastating crisis that of the mind and thought. The Muslim religious and civilizational at once identity and wellbeing were at stake. The Muslims were increasingly alienated from their beliefs, values, culture, history and traditions. More tragically, they were estranged from each other and their own selves. Ignorance in the name of knowledge and education was propagated, as was backwardness in the name of progress, and inhibition and subdual in the name of empowerment and freedom.

Catterall's (2018) editorial note for issue 22.2 of CITY, like the final footnote in Barnesmoore's (2018a) editorial for the same issue, raises the question of 'what/whose order is to be asserted in the city'. This question leads us back to the age old question of authority in social, political, economic, religious, etc. systems—who or what has the authority to assert the order of things (in the city and beyond)? This question of authority, as noted by Springer (2014), is all too often understood in the banally hierarchical terms of the Artificial Worldview—which accepts the order of (human) nature as evil and views the production of social, political, economic, religious, etc. order as subsequently dependent upon hierarchical domination (Barnesmoore 2018b)—and the elite class, the state 1 , the legal system, the police, 'bigger scales' and other such edifices of the Artificial Worldview and its conception of order through hierarchical dominion are thus (oft unproblematically) accepted as the natural authority from which the order of things (in the city and beyond) is derived. I have been asked by a reviewer to " set up the critique of urban theory and develop it using examples " , and have done my best to fulfill this request, but, moving from Foucault's insightful and oft repeated observation that the power of what is said is often most clearly expressed in what is therefore not said, my critique of Urban and Geographical theory and the ontological-epistemological debates waged therein is rooted less in what has been said than in what has not been said. My critique is rooted in the lack of engagement with questions of worldview (of the nexus of cosmology and ontology) and the subsequent, unproblematic acceptance of the Colonial Modernist incarnation of the dominant, domineering Artificial Worldview (Four Arrows and Narvaez 2016; Barnesmoore 2018b) implied therein.