Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
2020, https://figshare.com
https://doi.org/10.6084/m9.figshare.12967739…
5 pages
1 file
Mass media studies, covering journalism, news and facts. Its dynamic coverage is growing rapidly, starting from the era of the invention of the printing press to the industrial revolution 4.0. The presence of digital media or online media, shifting print media with paper-based materials, does not affect journalists and facts, only makes it easier for them to process for the perfection of the news and facts contained in it. Good skills are needed, from a journalist, through formal university education, to courses that make them more skilled and reliable in producing quality news, with adequate empirical facts and opinions. ABSTRAK Studi media massa, mencakup jurnalisme, berita dan fakta. Cakupannya yang dinamis bertumbuh pesat, dimulai sejak era penemuan mesin cetak hingga revolusi industry 4.0. Kehadiran media digital atau juga media online, menggeser media cetak dengan bahan dasar kertas, tidak mempengaruhi jurnalis dan fakta, hanya memudahkan mereka berproses untuk sebuah kesempurnaan berita dan fakta yang terdapat di dalammnya. Diperlukan kemampuan yang baik, dari seorang jurnalis, melalui pendidikan formal universitas, hingga kursus-kursus yang menjadikan mereka bisa lebih terampil dan dapat diandalkan melahirkan beritayang berkualitas, dengan suguhan fakta empiric dan opini yang memadai.
2020
Mass media studies, covering journalism, news and facts. Its dynamic coverage is growing rapidly, starting from the era of the invention of the printing press to the industrial revolution 4.0. The presence of digital media or online media, shifting print media with paper-based materials, does not affect journalists and facts, only makes it easier for them to process for the perfection of the news and facts contained in it. Good skills are needed, from a journalist, through formal university education, to courses that make them more skilled and reliable in producing quality news, with adequate empirical facts and opinions.
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan penyusunan makalah dalam mata pelajaran B Indonesia" tentang "fakta dan opini dalam sebuah artikel "Kami berharap supaya makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat memahami serta mendapat pengetahuan yang lebih baik, sebagaimana isi yang ada dalam makalah ini, sehingga dapat diaplikasikan untuk ilmu sepengetahuan.
gambaran tentang fakta dan situasi malaria di Indonesia
Forum Ilmiah, 2012
Apakah berita mencermin realitas, atau berita merupakan hasil reproduksi atas realitas yang disebut dengan istilah konstruksi? Itulah dua pertanyaan yang senantiasa mengemuka ketika memandang berita dalam media. Bagi para penganut pendekatn konstruktivis, berita adalah hasil memilah, memilih dan menonjolkan fakta atau realitas yang ada. Karenanya, keberadaan berita sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh subyektivitas pewartanya, lingkungan internal organisasi media dan kekuatan eksternal yang ada yang memberi tekanan terhadap media tersebut.Untuk memahami bagaimana sebuah berita direproduksi dan dikonstruksi, maka digunakan analisis framing (frame analysis) untuk memahaminya.
Memenuhi tugas pengganti UTS matakuliah Apresiasi Prosa yang diampu oleh Bapak Maulfi Syaiful Rizal, M.Pd. Oleh Nurul Hidayati NIM 125110706111001 PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS BRAWIJAYA Maret 2013 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra adalah hasil pekerjaan seni kreatif pengarang yang menampilkan kehidupan di dalamnya, yang tidak hanya berisi imajinasi tetapi juga realita sosial. Karya sastra contohnya prosa memiliki beberapa jenis, seperti cerpen, novel, drama, dan novelet. Karya sastra seperti novel dan cerpen menurut pandangan tradisional memiliki dua unsur pembangun yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan karya sastra tersebut. Stanton (2012:20-47) membedakan unsur pembangun novel atau karya fiksi ke dalam tiga macam yaitu fakta, tema dan sarana pengucapan. Fakta meliputi karakter atau penokohan, plot (alur), dan setting (latar) ketiganya secara fakta dan nyata bisa dibayangkan peristiwa dan eksistensinya. Tema adalah dasar cerita atau makna yang disampaikan pengarang, yang bersinonim dengan ide cerita. Pengucapan atau sarana sastra (literary devices) adalah teknik yang digunakan pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Sarana sastra pada umumnya meliputi sudut pandang, gaya dan nada, simbolisme, dan ironi. Metode atau sarana pengucapan ini bertujuan agar pembaca dapat melihat fakta-fakta cerita yang disampaikan pengarang Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk dapat memahaminya haruslah karya sastra dianalisis (Hill dalam Pradopo, 1995:108). Menganalisis karya sastra berarti memahami fakta-fakta, dan tema yang menjadi unsurnya. Untuk dapat memahami fakta dan tema tersebut maka haruslah terlebih dulu dipahami teknik-teknik atau sarana yang digunakan pengarang menyampaikannya. Dengan demikian menganalisis berarti mamahami fakta-fakta cerita, tema, dan sarana cerita dalam karya sastra.
Jurnalisme sastrawi merupakan salah satu bagian dari jurnalisme baru atau new journalism yang dicetuskan oleh Tom Wolfe pada awal 1960-an. Saat itu media cetak tengah bersaing ketat dengan popularitas siaran televisi. Sebenarnya pada tahun 1700-an sudah mulai muncul esai-esai naratif yang ditulis oleh beberapa penulis seperti Ernest Hemingway, A.J. Liebling dan Joseph Mitchell. Bahkan pada tahun 1946 John Harsey menulis Hiroshima sebanyak satu majalah penuh di majalah The New Yorker, dan berhasil meraih penghargaan Pulitzer Prize.
Pada bulan Desember 2002 lalu, kota London menjadi tuan rumah acara tahunan kontes kecantikan Miss World yang ke-52. Menurut jadwal, acara tersebut semestinya diselenggarakan di Nigeria, namun akhirnya terpaksa dipindahkan karena munculnya reaksi negatif dari kaum Muslim Nigeria yang berunjuk rasa memenuhi jalan-jalan, menentang acara yang mempertontonkan sekelompok wanita berbusana minim hingga sebagian besar auratnya terbuka di depan publik. Namun, ironisnya, kontes tahun ini dimenangkan oleh satusatunya peserta Muslimah dalam kontes ini, yaitu 'Miss Turki'. Setelah dinyatakan sebagai pemenang kontes, Azra Akin -Miss Turki itu-membuat pernyataan sebagai berikut, "Saya berharap akan dapat menjadi gambaran tentang perempuan yang baik. Saya merasa sangat terhormat menjadi Miss World. Saya pikir, mendapatkan kedudukan sebagai Miss World merupakan sesuatu yang amat baik, dan saya berharap akan dapat membuat suatu perbedaan". Meskipun Azra berpandangan demikian, namun banyak perempuan di seluruh dunia -baik Muslim maupun non-Muslim-yang tidak menganggap kontes-kontes semacam itu akan mendatangkan kehormatan bagi kaum perempuan. Bahkan sebaliknya, kontes seperti itu justru akan menurunkan status perempuan dan hanya membuat perempuan menjadi objek pemuas syahwat kaum laki-laki. Namun demikian, apabila kita telaah lebih jauh konsep mengenai citra perempuan yang sempurna atau kepribadian yang ingin diraih oleh setiap perempuan, termasuk di dalamnya gambaran mengenai ukuran kecantikan menurut Azra dan para kontestan lainnya, maka kita akan mendapati betapa masih banyak perempuan di dunia ini -baik Muslim maupun non-Muslim-yang berpandangan seperti Azra. Kenyataan menunjukkan bahwa pandangan yang dominan di tengah-tengah masyarakat dunia saat ini tentang apa yang dimaksud dengan "Wanita Cantik" adalah pandangan yang bersumber dari masyarakat kapitalis Barat. Yang dimaksud dengan "Wanita Cantik" -menurut mereka-adalah perempuan yang tinggi, ramping, dan berkulit putih. Selain itu, pandangan umum masyarakat dunia tentang kepribadian perempuan yang sempurna lebih banyak diukur dari sisi penampilan dan cara berbusana ala perempuan Barat. Penting untuk dipahami bahwa citra yang ingin diraih seorang perempuan sebenarnya memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang perempuan tersebut, tidak sekedar menunjukkan bagaimana perempuan ingin menampilkan dirinya kepada dunia secara fisik. Citra yang ingin diraih seorang perempuan itu akan dapat memberikan gambaran mengenai pandangannya tentang kehidupan, serta bagaimana ia ingin menjalani kehidupan ini. Naomi Wolf dalam bukunya "The Beauty Myth" menulis, "Sifat-sifat yang dianggap sebagai ukuran kecantikan pada suatu zaman tertentu sesungguhnya hanya merupakan simbol-simbol perilaku perempuan yang diinginkan pada masa itu. Mitos kecantikan (yang dijadikan patokan oleh masyarakat) sebenarnya menentukan perilaku (yang diinginkan masyarakat dari seorang perempuan), bukan sekedar penampilannya." Lantas, seperti apa sebenarnya jati diri yang menjadi landasan citra perempuan sekuler Barat? Jati diri perempuan sekuler Barat itu dibangun atas dasar pemikiran bahwa kaum perempuan harus bebas menentukan segala aspek kehidupan dirinya menurut jalan pikirannya dan keinginannya sendiri. Mulai dari penampilannya, etika berbusananya, bentuk pergaulannya dengan laki-laki, serta peran yang dilakukannya di dalam keluarga dan masyarakat. Singkat kata, jati diri itu dibangun di atas pemikiran bahwa tidak boleh ada satu pihak pun yang menentukan citra atau gaya hidupnya, atau memberikan batasan-batasan kepadanya. Tidak juga Allah Swt, Zat yang menciptakannya. Inilah jati diri yang ditunjukkan masyarakat sekuler Barat kepada dunia, manakala mereka menyebarluaskan citra perempuan Barat ke seluruh muka bumi. Inilah jati diri yang mereka harapkan bakal dianut oleh setiap perempuan di dunia, termasuk kaum perempuan di Dunia Islam. Media Barat memainkan peranan yang sangat penting dalam upaya meraih tujuan ini. Mulai dari industri musik dan film yang mengekspor produk mereka ke negeri-negeri kaum Muslim untuk mengagung-agungkan citra perempuan Barat, hingga iklan-iklan pakaian, kosmetik, dan asesoris kecantikan di berbagai majalah dan papan-papan iklan yang bertebaran di jalanan Turki, dunia Arab, dan negeri-negeri Islam lainnya. Penayangan kontes kecantikan Miss World merupakan contoh nyata upaya mereka dalam meraih tujuan ini. Pada bulan Desember 2002 itu, lebih dari dua milyar penduduk bumi menonton acara kontes kecantikan tersebut. Sementara itu, citra perempuan yang dibangun di atas landasan jati diri lainnya, seperti Islam atau kaum Muslimah, yang menentukan bentuk penampilan dan gaya hidup mereka berdasarkan ketentuan Sang Khaliq -bukan jalan pikirannya sendiri-dianggap sebagai sesuatu yang buruk, terbelakang, dan menindas. Pandangan ini terungkap melalui pernyataan beberapa tokoh Barat. Pada tahun 2001, Cherie Blair pernah menyampaikan pandangan ini secara terbuka di sebuah konferensi pers tentang etika pakaian Muslimah. Saat
Fenomena perspektif di dalam wacana berita memperlihatkan sudut pandang pemberitaan yang dipengaruhi oleh latar belakang ideologis penulis dalam melaporkan suatu peristiwa. Fenomena perspektif ini nyata dan semakin menguat dalam era kebebasan informasi saat ini. Perspektif pemberitaan dalam suatu wacana berita dapat berwujud uraian favorable, unfavorable, atau netral yang mencerminkan sikap penulis terhadap objek berita. Fenomena perspektif ini dapat diungkap dengan mengkaji tranformasi ideologi di dalam wacana berita melalui piranti-piranti dalam Critical Linguistics (CL) atau Linguistik Kritis dan Critical Discourse Analysis (CDA) atau Analisis Wacana Kritis. Kata Kunci: perpspektif, bahasa, ideology, CL, CDA PENDAHULUAN Kata perspektif, menurut ten Thije (2006), sudah digunakan sejak abad pertengahan sebagai istilah teknis dalam cabang khusus ilmu terapan, yaitu optik. Kata perspektif ini berasal dari kata kerja bahasa Latin perspicere, yang berarti 'mengamati secara akurat'. Konsep perspektif ini terus dipahami sebagai 'doktrin atau ajaran mengamati secara akurat" hingga sampai pada zaman Renaissance. Dalam perkembangannya, Leibniz (1646-1716) adalah sarjana yang memperkenalkan gagasan perspektif ini dalam bidang filsafat. Ia merumuskan gagasan bahwa setiap representasi tergantung pada sudut pandang pengamat. Hal ini sesuai dengan 1 Groumann Dan Kallmeyer (2002: 2) mengamati perkembangan dua sisi berdampingan konsep perpsektivitas. Baik tradisi Leibniz, Nietzshe dan Husserl yang mengakibatkan konsep epistemologis perspectivitas sebagai karakteristik umum kesadaran manusia dan pengetahuan, maupun tradisi Herbert Mead dan Alferd Schultz yang menghasilkan konsep sosial-interaksional. 2 Berkembangnya Sosiolinguistik dan Analisis Wacana menyebabkan kajian bahasa tidak lagi hanya berkutat pada persoalan bunyi, kata, dan kalimat, seperti yang dilakukan oleh Linguistik Struktural, namun mencapai tataran yang lebih tinggi di atas kalimat. 3 Kajian ini berkembang pasca "Debate Ilmu Sosial" yang dilaksanakan di Jerman pada tahun 1960 an. Pemikiran-pemikiran tentang teori sosial dari Pierre Bourdieu, Michel Foucault dan Jurgen Habermas mempengaruhi kajian bahasa dari Roger
Journal of Psychiatric Research, 1995
Bioelectrochemistry, 2015
Marine Drugs, 2015
Microbiology, 1987
CPM in Construction Management, Seventh Edition
A World of Art (8th Edition) by Henry M. Sayre
Canada communicable disease report = Relevé des maladies transmissibles au Canada
International Journal of Engineering & Scientific Research, 2014
Environment, Development and Sustainability, 2011
Methods in Enzymology, 2008
Yearbook of Slovakia's Foreign Policy 2018, 2019
Medical Journal Armed Forces India, 2012
Investigating the Impact of Selenium Deficiency on Thyroid Function in Iodine-Deficient New Zealand Women, 2024
POSTMODERNISM:, 2025
Bulletin of University of Agricultural Sciences and Veterinary Medicine Cluj-Napoca. Veterinary Medicine, 2015
Studies in Business and Economics, 2023
Zenodo (CERN European Organization for Nuclear Research), 2023