Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Islam Priangan: Pergulatan Identitas dan Politik Kekuasaan

Islam Priangan: Pergulatan Identitas dan Politik Kekuasaan 1 Oleh Amin Mudzakkir 2 Pendahuluan Kemunculan gerakan-gerakan Islam radikal di Indonesia pasca Orde Baru tentu tidak lahir begitu saja atau hanya sekedar respon terhadap situasi transisi politik Indonesia pasca jatuhnya rezim otoritarian Orde Baru. Akar-akar kemunculannya mempunyai genealogi pada wacana dan aksi serupa di masa lalu. Paling tidak, menurut Martin van Bruinessen, ada dua preseden yang menjadi akar dari fenomena itu, yaitu gerakan DI/TII dan Partai Masyumi. Dua preseden ini, bersama dengan pengaruh-pengaruh jaringan transnasional Islam kontemporer, telah mengilhami banyak kaum Muslim Indonesia untuk kembali merevitalisasi identitas politik mereka di ruang publik.3 Di beberapa ‘kota kecil’ di bagian timur Indonesia, gerakan-gerakan Islam radikal diyakini ikut terlibat dalam berbagai ‘perang’ komunal yang mengiringi jatuhnya salah satu rezim otoriter terlama dalam sejarah politik abad ke-20.4 Meskipun tidak menyebabkan disintegrasi nasional dalam skala besar sebagaimana terjadi di negara-negara Balkan eks-komunis, perang komunal di kota-kota kecil Indonesia itu memunculkan sejumlah pertanyaan penting tentang peran dan relasi agama dalam kehidupan publik, khusususnya dalam bidang politik. Sementara itu, di tempat lain, banyak gerakan Islam yang mengambil bentuk strategi perjuangan lebih lunak. Bagi yang mengusung ide dan semangat Islam politik, kesempatan yang diberikan struktur politik Indonesia pasca Orde Baru memberi ruang kepada mereka untuk mengimplementasikan apa yang mereka imajinasikan sebagai bentuk ideal politik Islam. Di masa lalu, bentuk ideal itu adalah negara Islam, tetapi sekarang bentuk ideal itu mengalami transformasi menjadi apa yang sering disebut sebagai ‘perda syariat’ (‘peraturan daerah syariat’). Fenomena yang disebut terakhir marak terjadi di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat dan beberapa provinsi lain yang, menariknya, mempunyai kaitan dengan preseden yang disebut van Bruinessen di atas. Dari sini terlihat bahwa gerakan-gerakan Islam menempuh beragam jalan untuk mengekpresikan dirinya. Keragaman itu muncul sebagai bentuk respon terhadap situasi zaman yang berubah. Tulisan ini adalah sebuah studi sejarah politik yang hendak melihat variasi dan transformasi ekspresi politik kaum Muslim di Priangan. Istilah 1 Tulisan ini pernah dimuat dalam Tashwirul Afkar, Edisi No. 26, 2008, hlm. 64-85. Peneliti PSDR-LIPI, Jakarta dan mahasiswa pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta (amin.mudzakkir@gmail.com) 2 Martin van Brunessen, “Geneologies of Islamic Radicalism in post-Soeharto Indonesia”, South East Asia Research, vol. 10, no. 2 3 4 Gerry van Klinken, Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: KITLV dan YOI, 2007) 1 ‘Islam Priangan’ yang dipakai dalam tulisan ini tidak mengacu pada pengertian kultural, melainkan lebih pada pengertian politik, yakni tentang bagaimana relasi antara keyakinan relijius dan kepentingan politik saling berkelindan membentuk ekspresi kaum Muslim di Priangan dalam berbagai situasi zaman yang berbeda. Dibuka dengan sebuah pengantar tentang bagaimana kuasa pengetahuan kolonial mengonstruksi gerakan-gerakan Islam di Priangan pada awal abad ke-20, tulisan ini akan membahas bagaimana politik identitas Islam dikontestasikan selama masa Orde Baru dan apa pengaruh yang ditimbulkannnya pada perubahan-perubahan yang terjadi setelah jatuhnya kekuasaan Soeharto sebagai penopang utama rezim otoritarian itu. Bagian akhir tulisan ini akan melihat bagaimana Islam sebagai sebuah identitas politik dimainkan oleh kaum elit Muslim dalam pertarungan politik lokal di Cianjur dan Tasikmalaya di era pasca-Soeharto. Meski kedua daerah ini tidak bisa mewakili Priangan karena masing-masing kota dan kabupaten di Priangan mempunyai karakteristik dan pengalaman historis yang khas, tetapi paling tidak cerita dari kedua daerah itu bisa memberi gambaran singkat tentang bagaimana variasi dan transformasi gerakan-gerakan Islam bekerja dalam realitas Priangan pada masa sekarang. Sebelum masuk ke inti diskusi, perlu kiranya mengklarifikasi istilah ‘Priangan’ yang disebut dalam tulisan ini. Dalam perbincangan sehari-hari, istilah ‘Priangan’ sering dipertukarkan dengan ‘Jawa Barat’. Ini tentu saja tidak tepat karena Priangan adalah nama salah satu daerah bekas keresidenan di Jawa Barat yang dibentuk pada 1815 berdasarkan sebuah keputusan pada masa pemerintahan Raffles. Pusat pemerintahan pertamanya terletak di Cianjur, tetapi sejak 1864 pindah ke Bandung. Wilayah yang tercakup ke dalam teritori administratifnya mengalami perubahan. Pada pertengahan abad ke-19, Priangan terdiri dari lima kabupaten, yaitu Bandung, Cianjur, Sumedang, Limbangan (sekarang Garut), dan Sukapura (sekarang Tasikmalaya). Pada awal abad ke-20, wilayah Priangan bertambah dengan masuknya Galuh (sekarang Ciamis) dan Sukabumi.5 Sementara itu, Jawa Barat adalah konsep wilayah yang dibentuk pada awal abad ke-20 sebagai realisasi reorganisasi administrasi pemerintah kolonial pada waktu itu. Pada tanggal 1 Januari 1924 Pulau Jawa dibagi tiga provinsi, salah satunya adalah Provinsi Jawa Barat dengan ibukota pertamanya Batavia. Setelah kemerdekaan, ibukota Jawa Barat dipindahkan ke Bandung dan tetap bertahan sampai sekarang. Jejak-jejak Radikal Pencitraan bahwa ekspresi politik Muslim di Priangan pada dasarnya adalah radikal diciptakan oleh kuasa pengetahuan kolonial. Laporan-laporan resmi pemerintah pada akhir abad ke-19 telah menyebut adanya potensi radikalisme dalam tubuh gerakan-gerakan Muslim di pedesaan. Gerakan-gerakan itu Nina H. Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan, 1800-1942 (Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998), hlm. 33-34 5 2 umumnya adalah komunitas tarekat. Selain disatukan oleh solidaritas spiritual, komunitas-komunitas tarekat itu tampaknya telah terpengaruh oleh ideologi politik. Dari sini pengimajinasian sebuah ruang memori kolektif dimulai. Berita mengenai perlawanan rakyat terhadap kolonialisme di sebuah daerah mempunyai resonansi politik sehingga akan segera menimbulkan tanggapan dari sejawat mereka di daerah lain. Sebuah gerakan rakyat di Cicalengka, Bandung, muncul pada 1891 sebagai bentuk respon terhadap sejawat mereka yang sedang berperang di Aceh. Mereka secara sukarela menggalang dukungan dan mengumpulkan bahan makanan. Meskipun menggunakan istilah-istilah keagamaan seperti ‘perang fisabilillah’, ‘kafir’, dan sebagainya, apa yang dilakukan gerakan rakyat di Cicalengka jelas merupakan bentuk mobilisasi politik.6 Gerakan rakyat di Cicalengka itu menandai sebuah era baru dimana agama dan politik telah saling terkoneksi satu dengan yang lain. Bagi rakyat Priangan, ini adalah fenomena baru yang belum ditemukan pada masa sebelumnya disaat agama dan politik masih merupakan dua dunia yang terpisah. Fenomena gerakan rakyat yang memadukan sentimen keagamaan dan bentuk-bentuk mobilisasi politik adalah fenomena akhir abad ke-19. Oleh karena itu, sejak itulah kuasa kolonial mulai mempopulerkan wacana radikalisme dalam kebijakan mereka yang menyangkut pengelolaan kaum Pribumi, khususnya kaum Muslim. Mereka mengerahkan segala usaha untuk mengawasi munculnya bibit-bibir ideologi yang mengancam status quo negara kolonial itu dan menumpasnya sedini mungkin. Fobia terhadap radikalisme itu semakin menjadi-jadi setelah meletusnya sebuah pemberontakan petani di Banten pada tahun 1888.7 Pengaruh yang ditimbulkan oleh pemberontakan ini cukup luas. Pada tahun 1892 Residen Priangan melaporkan adanya potensi radikalisme yang disebarkan komunitas tarekat Naqshandiyyah dan Qadiriyyah di Cianjur yang dipercaya mendapatkan pengaruh dari Pemberontakan Banten. Sang Residen kemudian memerintahkan pejabat-pejabat pribumi di bawahnya untuk sesegera mungkin mengatasi keadaan yang membahayakan itu.8 Pada tahun 1899 pemerintah kolonial mendirikan kantoor voor Inlandsche zaken yang bertugas secara khusus menangani persoalan-persoalan yang menyangkut kaum pribumi, khususnya soal Islam dan kaum Muslim.9 Pada saat yang hampir bersamaan pemerintah merestrukturisasi birokrasi dengan membuat sebuah jabatan baru bernama penghulu. Jabatan ini diduduki kaum pibumi dengan tugas utamanya mengatur beberapa urusan kegamaan kaum pribumi, seperti pernikahan, pembayaran zakat, dan pengurusan haji. Biasanya, kaum pribumi yang menduduki jabatan ini adalah kaum bangsawan Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kyai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950 (Yogyakarta, Mata Bangsa: 2001), hlm. 55 6 7 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984) 8 Iskandar, op. cit., hlm. 61. 9 Lihat H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta:LP3ES, 1996) 3 atau, kalau dalam istilah di Priangan, kaum menak. Seorang penghulu di Priangan yang populer adalah Haji Hasan Musthafa. Selain menjadi hoofdpenghulu di Bandung, tokoh ini pernah juga menduduki jabatan serupa di Banda Aceh. Karena kecakapannya, Haji Hasan Musthafa memperoleh reputasi yang terhormat di kalangat elit birokrat dan akademisi kolonial. Snouck Hurgronje, pendiri dan direktur pertama Kantoor voor Inlandsche Zaken, dikabarkan sering mendiskusikan masalah-masalah Islam dengannya.10 Kehadiran penghulu yang diangkat oleh pemerintah kolonial telah merubah peta sosial elit Muslim Indonesia. Kalau pada masa sebelumnya otoritas keagamaan hampir sepenuhnya berpusat di sekitar figur kyai atau guru tarekat yang lahir secara kultural bersama dengan dinamika masyarakat pendukungnya, sekarang otoritas keagamaan itu harus dibagi dengan kehadiran para penghulu yang menjalankan fungsi birokrasi dalam urusan keagamaan. Dualisme elit Muslim ini akan mempengaruhi dinamika masyarakat Muslim untuk jangka panjang. Dalam banyak kasus, dualisme ini menimbulkan perseteruan dalam memperebutkan pengaruh dan kesetiaan umat. Seperti dilaporkan di Priangan pada akhir tahun 1930-an, para penghulu umumnya tidak bisa menerima aktivitas para kyai atau guru agama di kampung-kampung yang menunjukan sikap kritisisme tertentu terhadap eksistensi pemerintah kolonial. Di Tasikmalaya pada akhir tahun 1930-an dilaporkan adanya para kyai atau guru agama kampung yang tidak mau menjalankan arahan dari penghulu yang meminta mereka mendoakan bupati dalam setiap khutbah jumat. Sebaliknya, para kyai dan guru agama kampung itu malah seringkali menggunakan media khutbah jumat untuk mengkritik kebijakan bupati dan aparat pemerintah kolonial lainnya.11 Pada awal abad ke-20, bersamaan dengan menyebarnya ide nasionalisme dan meluasnya modernisasi, komunitas-komunitas Muslim mendapatkan energi baru untuk melakukan transformasi. Sejak itu mereka memusatkan pusat gerakannya di perkotaan, meski anggota terbesar mereka tetaplah tinggal di pedesaan. Lahirnya Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912 adalah manifestasi dari transformasi itu. Diluar dugaan para pendirinya, pengaruh SI terhadap dinamika gerakan-gerakan rakyat ternyata sangat luas dan dalam. Hampir semua gerakan radikal yang muncul di Priangan dalam dua dekade awal abad ke-20 selalu dikaitkan dengan keberadaan dan pengaruh SI. Preseden paling populer yang menujukan radikalisme SI di Priangan pada periode itu adalah peristiwa Cimareme pada tahun 1919. Nina H. Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942 (Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998) 10 Lihat, Maman Abdul Malik Sya’roni, Dinamika Kaum Santri: Kajian tentang Aktvitas Umat Islam di Tasikmalaya 1905-1942, tesis S-2, Program Pascsarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1992 11 4 Pasca merebaknya aksi-aksi radikal SI di beberapa kota di Jawa sepanjang dekade kedua abad ke-20, pemerintah kolonial semakin memperketat kontrol terhadap terhadap kegiatan gerakan-gerakan Muslim yang bernuansa politik. Akibatnya, pengaruh SI benar-benar merosot. Selanjutnya terjadilah perubahan orientasi di kalangan mereka. Sejak itu gerakan-gerakan Muslim berbasis kegiatan dakwah (non-politik) bermunculan. Salah satunya adalah Persatuan Islam (Persis) yang didirikan di Bandung pada tahun 1923. Didirikan oleh dua orang pedagang asal Palembang yang hijrah ke Bandung, Haji Zamzam dan Haji Mahmud Yunus, Persis tidak menunjukan kegiatan yang keras dalam bidang politik. Hal sebaliknya terjadi pada bidang dakwah. Di bawah kepemimpinan Ahmad Hasan yang memimpin Persis sejak 1924, Persis tampil sebagai organisasi yang bersemangat dalam mewujudkan ide-ide pembaharuan dalam Islam.12 Dalam menjalankan aktifitasnya, mereka secara keras menyerang berbagai tradisi komunitas-komunitas Muslim tradisional yang dianggapnya menyimpang dari al-Qur’an dan al-Hadits. Sampai batas tertentu, kehadiran Persis telah memancing reaksi kalangan kyai tardisional yang merasa otoritas keagamaannya terusik. Meski demikian, perseteruan yang berlangsung dalam tubuh internal komunitas-komunitas Muslim ini sepenuhnya berlangsung dalam koridor yang tidak menyentuh isu politik. Kaum Muslim tradisional di Priangan mempunyai sejarah yang berbeda dengan sejawat mereka di tanah Jawa. Jika kaum Muslim tradisional di tanah Jawa sebagian besar berafiliasi secara kelembagaan dengan Nahdlatul Ulama (NU), kaum Muslim tradisional di Priangan mempunyai afiliasi organisasi yang lebih beragam. Organisasi-organisasi kaum Muslim tradisional telah berdiri di Priangan sejak dekade-dekade awal abad ke-20 dan beberapa diantaranya masih berkembang sampai sekarang meski dengan lingkup pengaruh yang tidak pernah besar. Salah satu organisasi yang bertahan adalah PUI (Persatuan Umat Islam). Sejarah PUI diawali oleh berdirinya beberapa organisasi Islam lokal. KH Abdul Halim mendirikan Persyarikatan Ulama di Majalengka pada tahun 1917. KH Ahmad Sanusi mendirikan al-Ittihadiyyatul Islamiyyah di Sukabumi pada tahun 1931. Kedua kyai itu pada tahun 1952 sepakat menggabungkan organisasi yang didirikannya ke dalam wadah baru bernama PUI dengan berkantor pusat di Bandung. Umumnya pendirian organisasiorganisasi Islam lokal yang bercorak tradisional berdiri di berbagai tempat di Priangan itu merupakan reaksi terhadap serangan kaum Muslim modernis yang dipandang mengusik kehormatan tradisi keagamaan mereka.13 Diantara organisasi kaum Muslim tradisional di Priangan, Nahdlatul Ulama (NU) dianggap yang terbesar. Meski demikian ini adalah klaim. Di Priangan, selama tahun 1930-an, NU sama sekali belum menunjukan peran Uraian lengkap mengenai Persis, lihat Howard Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam di Indonesia Abad XX (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996); Howard Federspiel, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia 1923-1957( Jakarta: Serambi, 2004) 12 13 Iskandar, op. cit., hlm. 176-190 5 yang signifikan.14 Pada masa pasca kolonial, peran NU mulai terlihat, tetapi itu pun terbatas pada bidang politik. Akan tetapi, bahkan, kalau ukurannya adalah afiliasi dalam politik pun, perolehan suara Partai NU dalam Pemilu 1955 masih kalah dibanding seterunya, Masyumi. Di Tasikmalaya, salah satu kota yang menjadi basis terbesar NU di Priangan, suara Partai NU pada pemilu 1955 memang cukup besar, meski tetap di bawah peroleh suara Masyumi.15 Lebih daripada di tempat lain, pengaruh para penghulu di Priangan sangat besar. Ini adalah alasan kenapa gerakan-gerakan Islam di Priangan tidak terlalu berkembang. Kehadiran para penghulu itu didukung oleh akses mereka yang besar terhadap sumberdaya ekonomi sehingga mereka menjadi patron tidak hanya dalam hal keagamaan tetapi juga dalam hal sosial ekonomi. Mereka adalah para pemilik tanah luas dimana rakyat menggantungkan kehidupannya. Pada masa kolonial, para penghulu bahkan memiliki kontrol terhadap irigasi dan moda produksi pertanian lainnya.16 Sementara itu, di sisi lain, para kyai non-penghulu tidak mempunyai cukup sumberdaya untuk memobilisasi rakyat. Peran mereka terbatas di dalam komunitas spiritual seperti pesantren dan kelompok-kelompok tarekat. Ini pula penjelasan mengapa peran pesantren di Priangan tidak sekuat di Jawa. Kalaupun ada pesantren yang besar umumnya tidak saling terhubung antara satu pesantren dengan pesantren lain. Apa yang digambarkan sebagai ‘tradisi pesantren’ oleh Dhofier dan jaringan-jaringan yang menopangnya sulit untuk ditemukan dalam realitas Priangan.17 Meski demikian, bukan berarti resistensi terhadap para penghulu tidak eksis sama sekali. Solidaritas politik yang dibangun oleh SI selama dekadedekade awal abad ke-20 telah mewariskan bibit-bibit radikalisme dalam tubuh beberapa komunitas Muslim Priangan. Bibit-bibit radikalisme itu dikembangkan oleh para kyai atau guru agama di pedesaan. Akan tetapi, setelah peranan SI merosot pada dekade ketiga abad ke-20, tidak ada satupun gerakan yang mampu merevitalisasi potensi radikalisme itu. Gerakan-gerakan Muslim yang ada tidak berhasil menarik minat para kyai dan guru agama itu karena dipandang terlalu lunak dan akaomodatif terhadap pemerintah. NU dalam sebuah muktamarnya di Menes, Banten, pada tahun 1936 bahkan mengatakan bahwa pemerintah kolonial adalah pemerintah yang sah secara syariah.18 14 Iskandar, op. cit., hlm. 164 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967 ( Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 216. Lihat juga Feith, Pemilihan Umum1955 di Indonesia (Jakarta: KPG, 1999), hlm. 97. 15 16 Antlov, op. cit., hlm. 20-22. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994) 17 Andree Feillard, NU vis-a-vis Negara: Pencarian Bentuk, Isi, dan Makna (Yogyakarta: LKiS, 1999) 18 6 Organisasi yang mampu merevitalisasi bibit-bibit radikalisme dalam tubuh komunitas Muslim Priangan adalah Darul Islam (DI). Didirikan pada akhir tahun 1940-an oleh Kartosuwiryo, seorang Jawa yang menikah dengan gadis Malangbong, Garut, DI pada awalnya adalah ‘barisan sakit hati’ akibat kebijakan reorganisasi tentara.19 Selama dekade 1950-an, DI meluaskan pengaruhnya hampir di seluruh wilayah Priangan. Banyak kyai dan tokoh-tokoh masyarakat yang awalnya bergabung dengan gerakan ini. Didorong oleh semangat keagamaan yang kuat, mereka berharap DI akan menjadi kendaraan politik untuk mewujudkan imajinasi mereka mengenai negara Islam. Akan tetapi, harapan itu lama kelamaan semakin pudar karena DI dalam perkembangannya lebih menampilkan diri sebagai organisasi militer daripada organisasi politik. Kenyataan ini membuat banyak kyai yang awalnya bersimpati pada perjuangan DI mengurungkan dukungannya. Digenapi dengan ‘penumpasan’ oleh TNI yang semakin kuat, gerakan DI akhirnya harus menerima kenyataan bahwa mereka telah gagal. Kegagalan DI/TII menjadi akhir dari cerita perjuangan gerakan-gerakan radikal Islam di Priangan melalu jalur militer. Perjuangan lewat jalur ini tidak mampu menarik minat kaum Muslim di Priangan dalam mewujudkan imajinasi politiknya. Mereke lebih memilih jalur partai politik dimana Pemilu 1955 menjadi ajang pembuktian kuatnya partai Islam. Partai Masyumi meraih kemenangan besar di Jawa Barat. Khusus untuk Priangan, angka raihan yang diperoleh empat partai besar adalah sebagai berikut: Masyumi 578.000, PNI 478.000, NU 199.000, dan PKI 332.000. Sementara itu, hasil pemilihan untuk seluruh Jawa Barat adalah sebagai berikut20 Tabel. 1. Hasil Pemilu 1955 di Jawa Barat (lima partai besar) Partai Suara Parlemen Konstituante Perbedaan PNI 1.541.927 1.586.507 +44.580 Masyumi 1.844.442 1.761.406 -83.036 NU 673.466 692.755 +19.289 PKI 755.643 827.858 +72.215 PSII 393.174 384.790 -8.384 Sumber: Herbert Feith (1999: 97) Uraian mengenai DI, lihat C. van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (Jakarta: Grafiti Pers, 1983) 19 20 Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia (Jakarta: KPG, 1999), hlm. 123. 7 Akan tetapi, kemenangan Masyumi di Priangan pada Pemilu 1955 tidak mampu memberi resonansi politik lebih lanjut. Nasib Islam politik di Priangan benar-benar terkubur seiring pembekuan partai Masyumi oleh Soekarno dan represi oleh Soeharto selama masa-masa awal kekuasaannnya. Potensi radikal gerakan-gerakan Islam secara umum diamputasi sedemikan rupa. Kesetiaan mereka dimobilisasi untuk kepentingan negara melalui politik partisipasi pembangunan. Pada tahun 1970-an dan 1980-an muncul beberapa kasus populer yang dikaitkan dengan DI/TII. Beberapa aktivis Islam mencoba melawan kekuasaan Soeharto dengan cara-cara yang radikal. Akan tetapi, perlawanan mereka dapat segera dipadamkam. Ada dugaan munculnya nama DI/TII dalam beberapa kasus kekerasan yang melibatkan aktivis Islam pada masa Orde Baru tak lebih dari skenario politik untuk memberi citra buruk bagi gerakan Islam politik.21 Revitalisasi yang Terbelah Kegagalan gerakan DI/TII pada awal tahun 1960-an telah mengubah orientasi gerakan-gerakan Islam di Priangan khususnya dan di Indonesia umumnya. Sejak itu isu politik hilang dari ruang publik Muslim digantikan oleh perdebatan lama mengenai soal-soal ‘furu’iyyah’. Istilah ‘furu’iyyah’ secara bahasa bermakna ‘cabang’, berarti sesuatu yang bukan prinsip, tetapi dalam konteks wacana gerakan Islam di Indonesia istilah itu bisa dimaknai sebagai sesuatu yang ‘bukan politik’. Di sisi lain, perdebatan lama antara kaum Muslim tradisionalis dan Muslim modernis justeru menemukan musim seminya kembali. Beberapa laporan etnografis mengenai kehidupan keagamaan di sebuah desa di daerah Garut meluskiskan hebatnya perseteruan antara kedua kubu Muslim itu dalam mempertahankan argumentasi praktik ibadahnya masing-masing.22 Pola transformasi dan variasi orientasi gerakan Islam di Indonesia pada tahun 1960-an juga menerima pengaruh penting dari penghancuran gerakan komunis (PKI) yang mengiringi terbentuknya rezim Orde Baru. Dengan mengerahkan segenap aparatus militer dan ideologisnya, Orde Baru menumpas habis semua potensi yang dianggap berkait dengan komunisme. Beberapa laporan menyebut angka ratusan ribu bahkan jutaan orang yang menjadi korban dari politik kekerasan Orde Baru itu. Lebih dari itu, komunisme kemudian menjadi hantu yang sengaja dirawat dalam ingatan publik sebagai sesuatu yang mengancam dan oleh karena itu harus terus menerus dibungkam. Di Priangan, dalam kondisi dimana komposisi kepemilikan tanah sangat timpang, PKI mempunyai dukungan yang cukup luas. Pada Pemilu 1955, Lihat Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004), hlm.68-70 21 Lihat, Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987); Lynda Newland, ‘Under the Banner of Islam: Mobilising Religious Identities in West Java’, the Australian Journal of Anthropology, Vol. 11, No. 2, 2000. 22 8 jumlah angka dukungan terhadap PKI menempati tempat ketiga setelah Masyumi dan PNI. Pada tahun 1963, sekitar 75% pegawai pemerintah pada tingkat sub-distrik (kecamatan) di Priangan berafiliasi dengan PKI dan PNI.23 Akan tetapi, sejauh ini belum ada keterangan mengenai bagaimana dan ke mana eksistensi orang-orang itu pada masa Orde Baru. Satu hal yang jelas, pasca penghancuran komunisme, terjadilah apa yang oleh Hefner disebut ‘Islamisasi’ besar-besaran dalam tubuh masyarakat Jawa.24 Mirip dengan politik Islam yang dipakai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, Orde Baru memberi kesempatan yang luas bagi perkembangan ‘Islam ibadah’ sambil pada saat yang sama menekan sekuat tenaga potensi ‘Islam politik’. Revitalisasi Islam politik di Indonesia menemukan menemukan ruang ekspresinya kembali pada awal tahun 1990-an. Selain mengambil inspirasi dari, setelah dipengaruhi oleh, gejala serupa di tingkat global, revitalisasi pada periode ini merupakan konsekuensi dari dinamika politik domestik.25 Bagaimanapun sulit untuk disangkal bahwa ruang revitalisasi bagi ekspresi politik Muslim Indonesia ketika itu disediakan oleh Soeharto demi melanggengkan kekuasaan di tengah kemerosotan dukungan politik sekutusekutu lamanya. Soeharto menyadari bahwa ketika itu telah lahir kelas menengah Muslim baru yang bisa dieksploitasi kesetiannya di tengah arus revitalisasi yang terkotak-kotak.26 Meski demikian, harus pula diingat bahwa di sisi lain pada saat yang bersamaan kesadaran publik Indonesia mengenai isu demokratisasi sedang meningkat. Ini merupakan bagian dari transnasionalisasi gerakan demokrasi yang melintas batas, sehingga bahkan rezim paling otoriter sekalipun dan dimanapun sulit untuk mengelak dari gelombang ini.27 Dalam perkembangannya, pertemuan antara dua arus gelombang dari arah yang berbeda ini akan dihadapi secara kompleks oleh kelompok-kelompok Muslim. Hasil akhirnya, seperti akan ditunjukan nanti, adalah berbagai variasi ekspresi Muslim dalam mendefinisikan makna kehadirannya dalam politik. Jika dilihat dalam spektrum yang lebih panjang, revitalisasi ekspresi politik Muslim pada awal tahun 1990-an menandai terbentuknya relasi kekuasaan baru dalam panggung politik Indonesia Orde Baru. Pada masa awal kekuasaannya, Soeharto membatasi sedemikian rupa ruang gerak politik Muslim, sehingga beberapa aksi politik Muslim pada tahun 1980-an terpaksa 23 Pendapat Karl Jackson, seorang ahli mengenai DI/ITT, dikutipdalam Newland, ibid. Lihat Robert R. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: TAF dan ISAI, 2001), terutama bab 1. 24 25 Martin van Bruienssen, Global dan Local in Indonesian IslamSoutheast Asian Studies (Kyoto) vol. 37, no.2 (1999) Robert W. Hefner, Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal,Kapitalisme, dan Demokrasi (Yogyakarta: LKiS, 2000) hlm. 2. 26 27 Anders Uhlin, Oposisi Bergerak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga (Bandung: Mizan, 1997) 9 menggunakan jalur kekerasan, tetapi itu pun dapat dengan segera dilenyapkan. Didukung secara penuh oleh aparat militer yang sangat loyal, kekuasaan Soeharto pada masa itu tampak tidak mungkin tergoyahkan. Perubahan terjadi ketika sebagian loyalis di kalangan militer itu mulai menjaga jarak dan membangun sikap oposisi diam-diam terhadap kepemimpinannya. Memasuki awal tahun 1990-an, Soeharto menyadari kontrol dirinya terhadap militer tak lagi utuh, sehingga oleh karena itu perlu dicari kekuatan lain untuk menggantinya. Dalam situasi inilah ekspresi politik Muslim Indonesia yang sedang mengalami revitalisasi itu mendapatkan tempatnya. Aktor utamanya adalah kaum elit dari sebuah kelas menengah Muslim yang sedang mencari identitas. Secara sosiologis mereka adalah generasi muda yang dididik di sekolah-sekolah hasil pembangunan Orde Baru, dengan wawasan global yang cukup, tetapi mewarisi suatu ambiguitas tertentu ketika memaknai kehadirannya dalam politik. Oleh karena itu, ekspresi politik Muslim dimanapun pada akhirnya tidak pernah berwajah tuggal. Alih-alih seragam, ekspresi politik Muslim, seperti juga jenis ekspresi politik lainnya, selalu melibatkan ambiguitas dan kompetisi, baik mengenai penafsiran simbol-simbol maupun demi penguasaan atas institusi-institusi, formal maupun informal, yang melahirkan dan menyokong penafsiran itu.28 Oleh karena itu, akar dari ekspresi politik Muslim tidak pernah hanya berdasar pada alasan keagamaan. Sebagai bagian dari wacana politik identitas, penafsiran terhadap simbol-simbol keagamaan dan penguasaan atas institusi yang menyokong simbol itu selalu bekerja dalam sebuah sistem yang kompleks.29 Dalam kondisi ini, kemampuan memobilisasi sentimen yang diungkapkan dalam bahasa simbolis memegang peranan penting dalam memenangkan persaingan. Menyadari hal ini, Soeharto pada masa akhir kekuasaannya menciptakan apa yang oleh Hefner disebut sebagai wacana ‘Islam rezimis’.30 Wacana ini menjadi bagian dari proyek pencitraan Soeharto sebagai seorang Muslim yang sebenar-benarnya. Dengan menonjolkan peran dirinya yang besar dalam pendirian sebuah organisasi intelektual Muslim dan berbagai kegiatan dakwah lainnya, Soeharto seperti hendak menghapus kesan dirinya di masa lalu yang represif terhadap Islam dan lebih khusus lagi terhadap ekspresi politik Muslim. Lebih lanjut, Soeharto kemudian mengakomodasi politik Muslim dengan merekrut sejumlah elit Muslim ke dalam kabinetnya. Strategi politik Soeharto ini membuat kalangan Muslim yang telah terkotak-kotak itu ke dalam kelompok-kelompok yang saling berseberangan secara politis. Sayangnya, kelompok-kelompok Muslim yang telah terkotak-kotak itu terjebak ke dalam perseteruan identitas yang semata-mata berangkat dari perbedaan penafsiran Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 16. 28 29 Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas (Jakarta: Marjin Kiri, 2007), hlm. 85-88. Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: ISAI dan the Asia Foundation, 2001), hlm. 44. 30 10 atas simbol-simbol keagamaan. Di sisi lain, sistem dan institusi politik yang mendasari perseteruan itu berlangsung hampir luput dari perhatian. Apa yang dimaksud dengan sistem dan institusi tempat perseteruan politik identitas berlangsung adalah negara. Secara normatif, negara dalam sistem yang demokratis seharusnya menjamin adanya ruang publik yang bebas bagi bermacam perseteruan politik identitas warga negaranya. Pada saat yang sama negara mempunyai kewajiban menyiapkan perangkat hukum agar perseteruan tersebut tidak menjurus kepada kekerasan. Namun, selama Soeharto berkuasa, ruang publik itu didominasi sepenuhnya oleh kepentingan penguasa dengan cara membungkam berbagai identitas warga negara yang berbeda itu ke dalam kategori tunggal. Ketika Soeharto jatuh, perseteruan politik identitas itu meledak menjadi konflik komunal tanpa ada sistem sosial politik yang mampu mengkanalisasikannya. Rezim penguasa berikutnya tampaknya belum mampu keluar dari warisan struktural Soeharto itu. Tetapi inilah problem transisi politik, yaitu kejatuhan sebuah rezim otoriter tidak secara otomatis akan mengantarkan perjalanan politik sebuah negara menuju demokrasi. Dalam banyak kasus, negara pasca otoriter boleh jadi akan berjalan menuju ‘sesuatu yang lain’. Apa yang disebut ‘sesuatu yang lain’ menyiratkan ketidakpastian. Oleh karena itu, O’Donnell dan Schmitter menyebutkan, “…hasilnya mungkin kekisruhan, yakni penggiliran kekuasaan di antara serangkaian pemerintahan yang gagal menyodorkan alternatif pemecahan yang dapat bertahan atau dapat diramalkan bagi masalah pelembagaan kekuatan politik…”31 Perseteruan politik identitas pasca Soeharto akhirnya meledak menjadi konflik komunal. Dari semua konflik itu, isu mengenai etnisitas dan agama menempati porsi terbesar.32 Belakangan, isu mengenai etnisitas mulai menemukan kanalisasinya melalui ajang kontestasi politik lokal yang semakin ekspresif pasca pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Hal yang berbeda terjadi dalam isu agama. Sampai sekarang, kanalisasi untuk isu ini belum ditemukan, atau kalaupun ada, belum cukup meyakinkan. Arus demokratisasi yang berlangsung intensif pasca Soeharto belum mampu menciptakan sebuah sistem kenegaraan yang mampu mengakomodasi dan memediasi berbagai perbedaan afiliasi agama. Batas dan irisan antara wilayah negara dan agama masih sangat kabur, sehingga praktik interpenetrasi antara keduanya terjadi dalam skala yang sangat massif. Persoalan sebenarnya bukan terletak pada ketidakmampuan kedua wilayah itu untuk saling bertemu secara mutual, dan kemudian secara sinergis membangun sebuah sistem sosial politik yang lebih demokratis, tetapi ketiadaan perangkat normatif untuk memisahkan bagian mana dalam kedua wilayah itu yang sifatnya privat dan dan mana yang sifatnya publik. Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 1. 31 Lihat, Gerry van Klinken, Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, 2007) 32 11 Wacana politik Muslim, bagaimanapun, merupakan refleksi dari perjalanan politik sebuah negara tempat Muslim itu hidup.33 Di luar itu, harus diperhatikan pula bahwa kemajemukan internal di kalangan Muslim mengenai bagaimana memaknai kehadiran mereka dalam politik adalah sesuatu yang eksis. Harus diakui, banyak Muslim yang hingga sekarang masih tetap percaya bahwa Islam adalah agama dan sekaligus negara. Penyebab yang membuat kepercayaan ideologis ini tetap eksis tentu sangat kompleks. Meski demikian, fenomena ini bukan berarti Abad Pertengahan kini menyerbu dunia modern, melainkan modernitas itu sendiri menciptakan bentuk-bentuk protesnya.34 Seperti akan dilihat nanti, perjuangan menegakkan negara Islam—atau ‘perda syariat’—tetap dilakukan dalam kerangka negara modern dengan segala macam aturan mainnya. Selain itu, aktor-aktor dari perjuangan itu bukanlah guru atau kyai tarekat seperti protes Muslim di pedesaan Jawa abad ke-19, melainkan generasi muda lulusan sekolah Orde Baru yang hidup di kota-kota dengan tata cara modern. Yang menarik dalam wacana politik Muslim di Indonesia pasca Soeharto adalah adanya fenomena penyebaran perjuangan penegakkan syariat Islam ke daerah-daerah mengiringi pemberlakuan kebijakan desentralisasi.35 Perjuangan menegakkan syariat Islam sekarang mengalami lokalisasi. Kalau pada masa lalu ide tersebut terfokus pada usaha untuk mengubah dasar negara dan sistem pemerintahan, sekarang ide tersebut terfokus pada usaha untuk memberi warna ‘syariat’ pada peraturan daerah. Lalu, lahirlah apa yang disebut peraturan daerah (perda) syariat Islam yang merupakan ekspresi politik Muslim Indonesia pasca Orde Baru yang paling sering mendapat sorotan. Siapa aktor dan bagaimana proses politik yang melahirkan perda syariat di daerah merupakan pertanyaan penting yang harus dijawab. Wacana yang mendasarinya tentu saja tidak pernah hanya berangkat dari persoalan keagamaan. Dalam lingkup yang lebih luas, persoalan yang lebih krusial berasal dari adanya akses dan kesempatan yang diberikan sistem politik pasca Orde Baru. Pada sisi lain, persoalan ini juga merupakan refleksi dari pergulatan sebuah masyarakat yang sedang menghadapi modernitas.36 Dalam kasus perda syariat, kerinduan Samsu Rizal Panggabean, “Kemajemukan Internal dan Masalah Stateness” dalam Hamid Basyaib (peny.), Dari Colombus untuk Indonesia: 70 Tahun Profesor Bill Liddle dari Murid dan Sahabat (Jakrta: KPG, 2008), hlm. 157. 33 34 Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik (Jakarta: Serambi), hlm. 1 Kalau melihat UU No. 22/1999, persoalan agama tidak dilimpahkan kewenangan pengaturannya ke daerah. Namun fakta menunjukan lain. Akibatnya, selain menimbulkan problem karena seringkali bertentangan dengan produk hukum di atasnya, kehadiran perda syariat ini secara umum menunjukan ketidakmampuan negara berdiri di atas semua elemen warga negara yang berdeba-beda. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa “kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lain”. Dikutip dalam Taufik Adnan Amal dan Syamu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004), hlm. 98. 35 36 Roy, op. cit., hlm 12 terhadap otentisitas keagamaan berhasil menggalang solidaritas yang dibutuhkan oleh sebuah masyarakat yang sedang resah. Produk perundangundangan yang ada selama ini dianggap produk Barat yang telah gagal dan oleh karena itu harus segera diganti dengan produk baru yang lebih otentik. Politik Muslim Priangan Pasca-Orde Baru Transisi politik Indonesia pasca-Orde Baru telah menyediakan akses dan kesempatan bagi elit Muslim di daerah untuk memberi makna baru kehadiran mereka dalam politik. Di tingkat permukaan mereka sekarang mempunyai kebebasan untuk mengungkapkan simbol-simbol Islam. Meskipun berangkat dari alasan keagamaan, konsekuensi dari kehadiran elit Muslim dengan simbolsimbol Islam dalam politik seringkali, bahkan sebagian besar, bersifat nonkeagamaan. Di tengah transisi politik yang belum mampu menghasilkan sebuah pelembagaan kekuatan-kekuatan politik baru yang efektif, pilihan yang dilakukan elit Muslim di daerah itu terlihat cukup masuk akal. Berkaitan dengan problem transisi politik yang seringkali membingungkan, mereka menawarkan alternatif pemecahan dengan pemberlakuan ‘syariat Islam’. Dalam argumentasi mereka, ‘syariat Islam’ adalah solusi yang bisa dijalankan di Indonesia setelah pada saat yang sama mereka menganggap sistem yang ada selama ini—mereka menyebutnya sebagai sistem ‘sekuler’—telah gagal. Karena sadar bahwa ide tersebut harus diperjuangkan melalui jalur konstitusional, mereka pun ikut terlibat secara aktif dalam mekanisme politik formal. Dua daerah di Priangan yang kencang menyuarakan aspirasi penegakan syariat Islam adalah Cianjur dan Tasikmalaya. Beberapa kelompok Islam politik di kedua daerah itu mencoba memanfaatkan situasi transisional pasca Orde Baru sebagai momentum untuk merevitalisasi kembali imajinasi kaum Muslim mengenai negara Islam. Akan tetapi, sadar bahwa wacana tersebut telah kehilangan konteksnya, para elit Muslim dari kelompok Islam politik berusaha memobilisasi potensi ummat untuk sebuah bentuk perjuangan baru yang bernama ‘Perda Syariat’. Dalam hal ini, peran bupati di kedua daerah itu sangat besar. Mereka secara piawai memainkan simbol-simbol Islam tetapi mereka pun tetap bekerja dalam retorika sistem pemerintahan modern. Yang mengherankan, isu etnisitas, dalam hal ini Sunda atau ke-Sunda-an, hampir tidak dimainkan sama sekali. Identitas ‘Islam’ yang muncul seakan tidak ada referensinya secara kultural dengan ‘Sunda’ sebagai sebuah identitas budaya. Contoh tentang bagaimana kuatnya mobilisasi politik yang dikawal kaum elit dalam wacana dan ekspresi politik Muslim Priangan dapat dilihat dalam pengalaman Cianjur. Kita akan melihat bagaimana Wasidi Swastomo, Bupati Cianjur 2001-2006, mampu mengeksploitasi kesetiaan ummat terhadap simbolsimbol Islam melalui mobilisasi tokoh-tokoh ulama dan berbagai perangkat otoritas tradisional agama lainnya. Cerita dimulai dari proses seksesi bupati Cianjur pada tahun 2001. Dari sekian calon yang mengajukan diri dalam pemilihan, Wasidi Swastomo—selanjutnya akan ditulis Wasidi—adalah satu13 satunya calon yang secara terbuka menjanjikan akan memberlakukan ‘syariat Islam’ jika kelak terpilih menjadi bupati.37 Singkat cerita, dalam sebuah pemilihan oleh anggota DPRD Cianjur yang sangat ketat, Wasidi Swastomo akhirnya terpilih menjadi Bupati Cianjur 2001-2006.38 Setelah terpilih, Wasidi Swastomo pada 1 Muharram 1422/26 Maret 2001 segera memenuhi janjinya untuk memberlakukan ‘syariat Islam’ di Cianjur dengan mendeklarasikan ‘Gerbang Marhamah’ (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah). Sadar bahwa apa yang dideklarasikannya adalah sebuah gerakan yang mengawang-awang, Wasidi melalui SK. Bupati Cianjur No. 34/2001 membentuk Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI) yang bertugas menyusun teknis pelaksanaan pemberlakuan ‘syariat Islam’ di Cianjur. Lembaga ini beranggotkan tokoh-tokoh kyai dan aktivis politik Muslim. Banyak pihak mengkritik legitimasi lembaga ini karena dibentuk atas dasar prosedur yang tidak jelas.39 Menjawab kritik itu, Wasidi mengeluarkan SK No. 451/277/ Asda-1/2001 yang berisi petunjuk tentang apa yang menjadi materi Gerbang Marhamah. Materi-materi itu adalah: (1) Membiasakan/membudayakan shalat berjamaah terutama pada saat jam kerja (dhuhur berjamaah); (2) Membiasakan/membudayakan mengeluarkan zakat, infak, dan shadaqah setiap rizqi/pendapatan yang diterima; (3) Meningkatkan kegiatan pengajian di unit kerja, majelis taklim, dan tempat lainnya; dan (4) Menciptakan lingkungan yang Islami dan kepada aparatur pemerintah hendaknya memberi contoh keteladanan (uswatun hasanah). Belum cukup dengan itu, Wasidi kemudian membentuk Penyuluh Akhlakul Karimah (PAK) yang bertugas memberi bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat berkaitan dengan program-program Gerbang Marhamah. Mereka disebar ke berbagai tempat. Selain ke desa-desa, PAK juga disebar ke rumah sakit, kantor polisi, dan instansi-instansi pemerintah. Tenaga PAK direkrut dari pengurus MUI Cianjur dari mulai tingkat kabupaten hingga ke tingkat desa. Untuk mendukung keberadaan mereka, Wasidi mengalokasikan anggaran khusus untuk gaji PAK yang diambil dari APBD sebesar Rp. 400.000.000/tahun. Tidak hanya itu, dalam beberapa kesempatan Wasidi dikabarkan melakukan kampanye Gerbang Marhamah melalui program Jum’at Janji Wasidi adalah respon terhadat tawaran beberapa kelompok Muslim di Cianjur yang tergabung Mimbar (Majelis Islam Bersatu) yang akan menggalang dukungan massa bagi siapapun calon bupati yang secara terbuka menunjukan kesiapan akan memnberlakukan ‘syariat Islam’ di Cianjur. Lihat, Gerbang Marhamah sebagai Strategi Penerapan Syariat Islam di Kabupaten Cianjur (Cianjur: Fraksi PBB DPRD Cianjur,2007). 37 Wasidi memperoleh dukungan 22 suara, mengalahkan rival terkuatnya, Drs. Tjetjep Muhtar Sholeh, yang memperoleh dukungan 21 suara, sementara dua suara lainnya dianggap abstain. Komposisi anggota DPRD Cianjur 1999-2004: Partai Golkar 12 kursi, PDI-P 10 kursi, PPP 10 kursi, F-TNI 5 kursi, PKB 2 kursi, PBB 2 kursi, PAN 1 kursi, PNU 1 kursi, PKP 1 kursi, dan Partai Persatuan 1 kursi 38 39 Taufik Adnan Amal dan Syamu Rizal Panggabean, op. cit., hlm. 91. 14 keliling ke desa-desa. Beberapa desa diumumkan sebagai desa percontohan dalam program Gerbang Marhamah. Akan tetapi, Gerbang Marhamah adalah gerakan yang tidak mempunyai payung hukum yang kuat. Oleh karena itu, Wasidi mengusulkan kepada DPRD agar Gerbang Marhamah dijadikan peraturan daerah. Selain itu, Wasidi mengumumkan juga usulannya kepada publik dan mengirim surat pernyataan kepada tokoh-tokoh organisasi Islam yang berisi komitmen dia terhadap penegakan syariat Islam di Cianjur. Karena saat itu dinamka politik Cianjur sedang menghangat menghadapi Pilkada 2006, langkah Wasidi dengan usulan Raperda Gerbang Marhamah-nya mau tidak mau dimaknai oleh banyak kalangan sebagai langkah politis. Ini berkait dengan kenyataan bahwa Sekutu politik Wasidi sejak awal adalah tokoh-tokoh organisasi Islam. Wasidi tampaknya masih yakin bahwa menjelasng Pilkada Canjur 2006, sekutusekutunya itu masih eksis dalam mendukung agenda politiknya. Dan memang gayung pun bersambut. Tokoh-tokoh organisasi Islam pada saat yang sama meyakinkan Wasidi bahwa ummat Islam di Cianjur masih berada dalam kontrol mereka.40 Lebih lanjut, untuk memobilisasi dukungan terhadap Wasidi dalam Pilkada Cianjur 2006, tokoh-tokoh organisasi Islam dari NU, Muhammadiyah, PUI, Persis, dan tentu saja MUI membentuk ‘Relawan Marhamah’. Tidak cukup dengan itu, tokoh-tokoh ormas Islam yang tergabung dalam Relawan Marhamah itu pun kemudian mengeluarkan fatwa yang merekomendasikan ummat Islam di Cianjur memilih pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah (disingkat Mawaddah). Menurut mereka, memilih pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah berarti mendukung tegaknya syariat Islam di Cianjur.41 Namun, meski diusung oleh partai-partai kuat di DPRD Cianjur dan didukung oleh tokoh-tokoh organisasi Islam yang besar, Wasidi akhirnya harus menerima kekalahan dirinya.42 Kekalahan Wasidi Swastomo ternyata tidak menyurutkan langkah kelompok-kelompok Muslim untuk tetap mendorong formalisasi Gerbang 40 Secara kuantitatif, Renstra Kabupaten Cianjur 2001 mencatat bahwa 99,23 persen dari total penduduk kab. Cianjur adalah Muslim. Untuk kepentingan Gerbang Marhamah, Renstra itu juga mencata tadanya potensi 4.169 ulama, 4.046 juru dakwah, 9.965 khatib Jumat, dan 510 penyuluh penerangan agama Islam yang terdapat di Cianjur. Pilkada Cianjur 2006 sendiri diikuti oleh empat pasang calon, yaitu pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah yang diusung oleh partai Golkar, PKB, PBB, dan beberapa partai kecil yang tidak punya kursi di DPRD Cianjur (PAN, PNBK, PKPB, dan Partai Pelopor); kemudian, pasangan Dadang Rahmat dan Kusnadi Sanjaya yang diusung oleh PDI-P; lalu, pasangan Tjetjep Muhtar Sholeh dan Dadang Sufianto yang diusung oleh Partai Demokrat dan PKS; dan terakhir, pasangan Yayat Rustandi dan Titin Suastini yang diusung oleh PPP. Komposisi anggota DPRD Cianjur 2004-2009: Partai Golkar 17 kursi, PDIP 8 kursi, PPP 8 kursi, Partai Demokrat 4 kursi, PKS 3 kursi, PKB 2 kursi, PBB 2 kursi 41 42 Pasangan Tjetjep Muhtar Sholeh-Dadang Sufianto menang dengan 311.802 suara, lalu disusul pasangan Wasidi Swastomo-Ade barkah dengan 309.181 suara, pasangan Dadang RahmatKusnadi Sandjaya dengan 218.391 suara, dan pasangan Yayat Rustandi-Titin Suastini dengan 67.936 suara 15 Marhamah menjadi sebuah peraturan daerah. Di luar dugaan, Bupati Cianjur yang baru saja terpilih, Tjetjep Muhtar Sholeh, ternyata ikut memberi dukungan terhadap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Gerbang Marhamah. Alasannya, Raperda Gerbang Marhamah telah menjadi bahan pembahasan DPRD periode sebelumnya dan tidak ada cukup alasan untuk menghentikannya. Akhirnya, Raperda Gerbang Marhamah akhirnya disetujui menjadi Perda No.3/2006 pada tanggal 20 Juli 2006. Ada 12 (dua belas) bidang yang diatur dalam ini, yakni bidang akhlak, peribadatan, pemerintahan, politik, pendidikan, dakwah, ekonomi, kemasyarakatan, hukum, seni dan budaya, lingkungan hidup, serta pembinaan dan pengembangan. Menyusul penetapan Perda No.3/2006 tentang Gerbang Marhamah, Tjetjep Muhtar Soleh kemudian mengeluarkan dua peraturan untuk mengimplementasikan perda tersebut. Pertama, Peraturan Bupati Cianjur No.15/2006 tentang Pakaian Dinas Harian Pegawai dilingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur. Kedua, Instruksi Bupati Cianjur No.2/2007 tentang pemasangan papan visi dan misi Kabupaten Cianjur serta penyelenggaraan pengajian/tadarrus al-Qur’an. Sementara itu, absennya partisipasi publik adalah problem yang mengiringi proses politik dalam keseluruhan narasi mengenai Gerbang Marhamah. Sejak awal hingga akhir, Gerbang Marhamah jelas sekali merupakan refleksi dari kepentingan elit daerah dalam menjaga keseimbangan relasi kekuasaan yang menopang rezim pemerintahannya. Bahkan pada tingkat elit di DPRD, saluran-saluran kritisisme ditutup sedemikian rupa. Ini bisa dilihat dalam proses pembahasan Raperda Gerbang Marhamah yang nyaris absen perdebatan. Sebuah panitia khusus (pansus) yang dibentuk untuk mengawal proses pembahasan Raperda tidak pernah mengundang sama sekali kelompok-kelompok masyarakat di luar kelompok politik arus utama. Bahkan di tingkat Pansus sendiri, terlepas dari kontestasi politik yang lumrah terjadi, suara-suara kritis hampir tidak pernah mendapat tempat yang memadai. Seorang anggota DPRD dari PDIP pernah mengkritik materi Raperda karena secara hukum bertentangan dengan UU No. 10/2004 tentang tata cara penyusunan perundang-undangan dan UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah. Dalam kedua UU tersebut disebutkan bahwa azas sebuah perda adalah pancasila dan UUD 1945, sementara dalam Raperda Gerbang Marhamah disebutkan bahwa azasnya adalah Islam. Selain itu, dalam kedua UU itu juga disebutkan bahwa setiap perundang-undangan harus bersifat kebangsaan dan kebhinekaan, bukan hanya mengurusi satu kelompok agama atau golongan. Lebih lanjut, anggota DPRD dari PDIP itu berpendapat bahwa praktik keberagamaan yang diatur dalam Perda Gerbang Marhamah sebenarnya telah menjadi living law yang berkembang di masyarakat dan biarlah tetap berlangsung demikian tanpa perlu diatur oleh sebuah Perda. Atas dasar itu, Fraksi PDIP menolak menandatangani laporan hasil pansus. 43 Beberapa kalangan dalam masyarakat Cianjur juga menilai materi dalam Perda Gerbang Marhamah sangat elitis dan tidak mencerminkan kebutuhan 43 Wawancara dengan Iwan Permana, 7 Mei 2008, di Cianjur 16 warga. Seorang ketua organisasi masyarakat menilai materi dalam Perda Gerbang Marhamah justeru akan merendahkan substansi syariat Islam itu sendiri, karena menurutnya substansi materi yang diatur dalam Perda tersebut sebenarnya telah menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.44 Kritik senada muncul menanggapi peraturan-peraturan yang lahir pasca penetapan Perda Gerbang Marhamah. Mengenai program pengajian dan tadarrus al-Qur’an yang diatur dalam Instruksi Bupati No.2/2007, seorang kepala dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur mengakui tidak pernah menjalankan peraturan itu di lingkungan kantornya. Pengakuan yang sama disampaikan oleh beberapa pegawai di beberapa kantor intansi pemerintah. Mereka menilai instruksi tersebut tidak jelas, karena jika dilanggar pun tidak mempunyai sanksi. Seperti di Cianjur, transisi politik pasca Soeharto telah menyediakan akses dan kesempatan elit Muslim di Tasikmalaya untuk memberi makna baru kehadiran mereka dalam politik. Perbedaanya, jika elit Muslim di Cianjur menggunakan kendaraan politik lama—Partai Golkar—dalam menggapai agenda politiknya, elit Muslim di Tasikmalaya melihat partai Islam sebagai simbol keagamaan yang potensial dieksploitasi dalam rangka memperjuangkan agenda politik mereka. Dan hasilnya memang membuktikan bahwa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memenangkan pemilihan umum pertama pasca Soeharto pada tahun 1999.45 Di sini penting kiranya melihat figur Tatang Farhanul Hakim—selanjutnya ditulis Tatang—sebagai aktor yang sangat mendominasi wacana politik Muslim di Tasikmalaya. Sebagai Ketua Umum PPP Kabupaten Tasikmalaya, Tatang mempunyai akses dan kesempatan yang luas untuk mengimplementasikan agenda-agenda politiknya ke dalam kebijakan publik. Kontroversi pertama dalam wacana politik Muslim di Tasikmalaya pasca Soeharto adalah perseteruan soal visi rencana strategis kabupaten yang harus segera disusun sesuai dengan PP No. 108/2000 yang mengharuskan setiap pemerintah daerah membuat rencana strategis (renstra) bagi acuan pelaksanaan pembangunan di daerah bersangkutan. Kalangan politisi dari partai-partai Islam mengajukan ide untuk memasukan nuansa ‘syariat Islam’ ke dalam renstra. Sementara itu, sejawat mereka dari partai-partai lain tampak hati-hati menyikapi ide tersebut. Mereka menyadari adanya wacana yang dominan yang menempatkan visi syariat dalam renstra pararel dengan substansi ajaran Islam itu sendiri. Jika tidak mendukung visi syari’at dalam renstra, seseorang akan segera dituding sebagai tidak Islam, tidak ‘nyantri’ atau bahkan anti-Islam. Konstruksi seperti ini dianggap dilematis bagi kalangan politisi yang mempertimbangkan Islam sebagai komoditas yang penting dalam pertarungan politik. Meskipun tidak setuju dengan formalisasi syari’at, banyak 44 Wawancara dengan Abah Ruskawan, 7 Mei 2008, di Cianjur PPP meraih 11 kursi di DPRD Kabupaten Tasikmalaya, diikuti Partai Golkar yang meraih 9 kursi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 7 kursi, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 5 kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) meraih 3 kursi, Partai Bulan Bintang (PBB) 2 kursi, dan Partai Kedilan dan Persatuan (PKP) 1 kursi. 45 17 politisi yang tidak mengungkapkan sikapnya secara terbuka karena khawatir akan kontraproduktif terhadap agenda-agenda kepentingan politik mereka. Bahkan bagi kalangan politisi dari partai non-agama, pilihan untuk mendukung—atau tidak menolak secara terbuka—visi syariat dalam renstra merupakan hal yang dianggap perlu diambil, apalagi di tengah kondisi masyarakat Tasikmalaya yang dipercaya sangat kental dengan tradisi santri 46 Renstra Kabupaten Tasikmalaya 2001-2005 itu akhirnya disepakati dan dituangkan dalam Perda No. 13/2001. Bagian dalam perda itu yang kemudian menjadi bahan perseteruan adalah adanya penyantuman visi Kabupaten Tasikmalaya “yang religius/Islami sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur serta mampu menempatkan diri menjadi kabupaten yang maju di Jawa Barat pada tahun 2010”. Sebagai bentuk realisasi dari visi Tasikmalaya yang religius/Islami itu, Bupati Tasikmalaya, Tatang Farhanul Hakim, mengeluarkan Surat Edaran No. 451/SE/Sos/2001 tentang upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan. Setelah itu, keluar juga Keputusan Bupati Tasikmalaya No. 13/2003 451/Se/04/Sos/2001 tentang persyaratan memasuki jenjang pendidikan SD, MI, SMP, dan MTs. Dalam perkembangannya, karena banyaknya kritik terhadap visi kabupaten sebagaimana tertuang dalam Perda No. 13/200, dua tahun kemudian visi renstra direvisi dengan Perda No. 13/2003. Dalam perda revisi ini, visi Kabupaten Tasikmalaya diubah sedikit menjadi “Tasikmalaya yang religius/Islami sebagai kabupaten yang maju dan sejahtera serta kompetitif dalam bidang agribisnis di Jawa Barat tahun 2010”. Peraturanperaturan yang disebut di atas oleh sebagian elit Muslim di Tasikmalaya dipandang sebagai ‘perda syariat’, apalagi mengingat visi Tasikmalaya yang telah dicantumkan dalam renstra sebagai kabupaten yang ‘religius/Islami’. Salah satu fenomena menarik yang mengiringi kontroversi ‘perda syariat’ di Tasikmalaya adalah kemunculan kelompok ‘ajengan bendo’. Mereka awalnya adalah para juru dakwah yang laris. Pada awal tahun 2000-an, ketika isu mengenai perda syariat untuk pertama kalinya lahir di Tasikmalaya, mereka adalah kelompok yang paling nyaring mendukung kehadiran jenis perda tersebut. Terlepas dari sikap mereka terhadap perda syariat, keberadaan kelompok ‘ajengan bendo’ dalam konfigurasi sosiologis elit Muslim seringkali menimbulkan reaksi dari kalangan kyai atau ajengan lama.47. Kemunculan mereka yang belakangan tetapi kemampuan mereka yang besar untuk mempengaruhi wacana publik dalam waktu yang relatif singkat, baik dalam isuisu politik maupun keagamaan, dianggap oleh kalangan kyai atau ajengan yang telah mapan hanya sekedar menumpang antusiasme publik terhadap gerakan ‘reformasi’. 48 46 Wawancara dengan Asep Nurjaeni, 4 Mei 2008 dan Ade Sugianto, 8 Mei 2008, di Tasikmalaya. 47 Wawancara dengan Kyai Abdul Hamid, 2 Mei 2008, di Tasikmalaya Biasanya, kelompok kyai atau ajengan lama berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), sedangkan kelompok ajengan bendo membangun komunitas-komuniats keagamaan baru di perkotaan 48 18 Kritik paling tajam dan paling konsisten terhadap keberadaan kelompok ajengan bendo datang dari Acep Zamzam Noor.49 Menurutnya, kemunculan kalangan ajengan bendo dimulai setelah peristiwa kerusuhan Tasikmalaya 1996. Meski tidak terlibat secara langsung dengan peristiwa tersebut, mereka dengan cepat mengambil simpati publik dengan memerankan diri sebagai kritikus Soeharto yang kukuh. Bersamaan dengan kemenangan PPP dan beberapa partai Islam lainnya di Tasikmalaya dalam Pemilu 1999, keberadaan kalangan ajengan bendo ini semakin menemukan tempat kuat dalam wacana politik Muslim Tasikmalaya. Selain terlibat di beberapa partai politik Islam, mereka adalah para pemimpin organisasi-organisasi Islam radikal, seperti FPI, Lasykar Taliban, MMI, dll. Selain itu, mereka pun mendirikan organisasiorganisasi yang lebih taktis, seperti GAM (Gerakan Anti Maksiat), TSM (Tasikmalaya Solidarity of Muslim), FSPP (Forum Silaturahmi Pondok Pesantren), dll. Bagian terbesar kritik terhadap kelompok ‘ajengan bendo’ berdasar pada informasi yang menyebut mereka melakukan premanisme terhaap kelompok lain yang tidak setuju dengan pandangan mereka. Bahasa simbolis bahwa Tasikmalaya adalah kota santri yang religius/Islami sering dijadikan alat legitimasi aksi-aksi mereka.50 Penutup Agama dan politik adalah sepasang identitas yang hampir tak bisa dipisahkan secara sendiri-sendiri dalam perjalanan sejarah kaum Muslim Priangan. Pada masa kolonial, kecemasan negara terhadap potensi politik Muslim membuat mereka didefinisikan sebagai kelompok radikal yang harus terus menerus diawasi. Kondisi ini ternyata berlanjut pada masa pasca kolonial. Berbagai potensi politik Muslim, apalagi yang mengambil sikap beroposisi dengan negara, diamputasi dengan segala cara. DI/TII dan Partai Masyumi adalah dua representasi Islam politik yang harus menerima kenyataan itu. Berbagai usaha untuk merevitalisasi pengaruh dari dua gerakan itu pada periode belakangan tampaknya mengalami kegagalan. Kaum Muslim di Priangan adalah entitas yang tidak secara ekslusif mempunyai karakter kultural yang khas. Dinamika yang terjadi dalam tubuh internal mereka adalah respon terhadap berbagai perubahan di tingkat yang lebih besar. Jika di Jawa kita mengenal secara streotipikal apa yang disebut ‘Islam Jawa’, hal yang sama akan sulit ditemukan dalam realitas Muslim Priangan. Afinitas dan afiliasi mereka terhadap ‘Islam’ tampaknya telah menempati posisi primer dalam dunia mental mereka. Sunda atau ke-Sunda-an sebagai sebagai sebuah identitas kultural, sebaliknya, tampak kurang menonjol. Acep Zamzam Noor adalah putra (alm) KH Ilyas Ruhiat, mantan Rais Aam PBNU. Selain karena mempunyai kedudukan khusus di lingkungan Muslim tradisional, Acep adalah seorang aktivis sosial budaya yang mempunyai jaringan luas dan seorang kritikus pemerintah daerah yang dihormati. 49 50 Wawancara dengan Acep Zamzam Noor, 8 Mei 2008. 19 Makna dari menjadi orang Sunda, dengan kata lain, tidak mempunyai resonansi politik, berbeda dengan makna dari menjadi Muslim. Meskipun dalam kenyataannya dua ragam identitas ini tidak bisa pertentangkan secara hitam putih, dalam kenyataanya kaum Muslim Priangan tidak memiliki preseden konfliktual yang berakar pada wacana kultural. Dalam kenyataannya, tidak semua gerakan Islam di Priangan mengusung ide Islam politik. Akan tetapi, harus diakui, kiprah gerakan-gerakan yang lebih berorientasi sosial dan kultural kurang memiliki gaung yang cukup kuat jika dibanding gerakan-gerakan yang berorientasi politik. Sampai tingkat tertentu, kondisi ini pararel dengan kondisi wacana akademis mengenai gerakan-gerakan Islam. Perhatian yang berlebihan terhadap fenomena Islam politik membuat kesan seolah gerakan Islam itu hanya gerakan politik. Sayangnya, tulisan ini lebih banyak menyisakan pertanyan daripada jawaban. Diperlukan usaha-usaha lain, di luar apa yang bisa disampaikan oleh tulisan ini, untuk menjawab tantangan akademis yang menarik itu. [] 20