Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
M. Rawa El Amady, 2024
Buku Lingkungan ini karya M. Rawa El Amady. Buku ini mengulas konflik lingkungan secara mendalam dan menawarkan strategi resolusi. Pada buku ini, tergambar ide bernas, baru, dan mendalam yang berkontribusi bagi literasi masyarakat terutama pemanfaatan lingkungan, berupa sumber daya lama, lahan, dan sungai. Bagi mahasiswa ilmu lingkungan dan aktivis lingkungan, membaca buku ini merupakan suatu keharusan mampu membuka pikiran untuk mencari solusi dalam penyelesaian konflik lingkungan. Buku ini memiliki tujuan utama sebagai bacaan untuk mahasiswa ilmu lingkungan, dengan fokus memberikan pemahaman bahwa ilmu lingkungan memiliki hubungan yang kuat dengan konflik, khususnya terkait kebijakan pengelolaan lingkungan dalam konteks politik lingkungan. Dampak dari kebijakan tersebut dipahami sebagai berada dalam ranah lingkungan sosial atau ekologi manusia. Tulisan-tulisan tentang konflik di bidang lingkungan masih terbatas dan buku ini mencoba mengisi kekosongan tersebut dengan menyoroti konflik sumber daya alam dan agraria sebagai bagian dari konflik lingkungan. Kehadiran buku ini diharapkan dapat menjadi kontribusi penting dalam literasi anak bangsa dan memperkaya perpustakaan mengenai konflik dan konflik lingkungan. Supaya lebih paham baca terlebih dahulu daftar isi Buku Lingkungan terbaik ini.
IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, 2006
Memasuki tahun 2006, upaya pemerintahan SBY-JK dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di beberapa daerah yang rawan konflik sebelumnya masih juga belum beranjak dari pola pendekatan bersifat struktural, dengan memanfaatkan struktur pemerintah pusat untuk terlibat dalam berbagai upaya penyelesaian konflik. Mulai dari keterlibatan lembaga kepresidenan hingga aparat pemerintahan daerah. Masih belum terlihat upaya pendekatan kepada kemunitas kultural yang ada. Demikian pula yang terjadi pada wilayah hukum. Upaya hukum terhadap para ‘pelaku’ di balik konflik yang terjadi masih juga belum tersentuh sesuai harapan. Justru setelah sekian lama konflik terjadi, upaya pemerintah masih ‘jalan di tempat’ dalam mengidentifikasi akar permasalahan yang terjadi. Upaya yang dilakukan hanya menyentuh level permukaan saja dengan memberikan ‘insentif politik’, berupa kebijakan-kebijakan populis. Tulisan ini dipersiapkan untuk bahan Laporan HAM 2006 IMPARSIAL ”The Absence of the Sense of Rights”, bab ’Kondisi HAM’.
Danau singkarak merupakan kesatuan ekosistem yang terpadu, baik itu sumber daya hutan, air dan tanah. Selain itu, danau singkarak adalah hulu (Upland) dari kesatuan Daerah Aliran Sungai (DAS) agam Kuantan yang signifikan bagi keberlangsungan supply air (catchment area) bagi DAS ini. Hal itu menjadikan danau singkarak penting bagi pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam sekaligus kelestarian lingkungan. Dalam bentang wilayah (landscape) ini, eksistensi sosial budaya berbasis kearifan lokal hidup. Nagari-nagari sekitar danau menganut hukum adat dan pengetahuan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan tanah dan sumber daya alam diatur berdasarkan sistem kekerabatan matrilineal minangkabau yang lazim disebut dengan hak ulayat. Nagari-nagari di sekitar danau singkarak adalah entitas autonom yang mempunyai pola penguasaan sumber daya alam sendiri-sendiri berdasarkan sistem kelarasan adat 2 yang disepakati masing-masing nagari. Sistem penguasaan ini telah eksis sebelum lahirnya entitas Negara. Paska lahirnya Negara, nagari-nagari ini menjadi entitas semi-autonom dari struktur Negara yang bekerja melalui hukum negaranya. Persinggungan antara struktur tradisional nagari dengan struktur Negara kemudian melahirkan ketegangan-ketegangan. Negara menciptakan system penguasaan sendiri atas sumber daya alam dengan klaim Hak Menguasainya Negara dan di sisi lain beririsan dengan klaim ulayat nagari-nagari.
GAMIN. Conflict Resolution in Forest Management to Support Implementation of REDD+. Supervised by BRAMASTO NUGROHO, HARIADI KARTODIHARDJO, LALA M KOLOPAKING and RIZALDI BOER. The implementation of policy on land tenure since the colonial era to the era of the New Order has left many unresolved land tenure conflicts in Indonesia. A more exploring of the Rapid Land Tenure Assessment (RaTA) method was used to map the conflicts for conflict resolution. Conflict Style Analysis (AGATA) was used to map the parties with their attitude in facing of conflict. Policy analysis was used to assess the performance of conflict resolution policies implemented by the government in the form either of rules or policies for Forest Management Unit (KPH) development and implementation mechanisms of reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD+) and enhancement of carbon stocks. Conflict resolution policies involve to the settlement of third parties rights, enclave, partial forest change, regional land use plan (RTRW), participatory mapping, the partnership between the community and forest business and law enforcement were explored. This study shows that forest tenure conflict resolution based on the contestation strength of the claim remain conflict unfairness in the allocation of land resources from community perspective. Through stylistic approach, it noted that there was conformity from conflicting parties for the settlement steps and the need for non partisan third party intervention. There were four critical notes of requirement of regulations for accommodating the tenure conflict problems: the absence of the team who can facilitate and mediate conflict resolution in the Boundary Management Committee, differences in the perception of the participatory mapping term, disagreement in species and composition in land management with the community scheme, and no strong tenure rights including state forest land. KPH is not an institution that could resolve conflicts forest tenure but KPH has an important role in identifying, facilitating and determining the choice of conflict resolution. Tenure rights arrangement toward forest use by various stakeholders was an important step to be taken to prepare the enabling conditions for sustainable forest management including the REDD+implementation. Establishment of institution for conflict resolution which can be reached by the parties including the community was feasible option to be considered. Conflict resolution strategy can be done both internally and externally. Within the Ministry of Forestry strengthening of the Directorate General of Forestry Planning (Ditjenplan) and the Center of Forestry Development Control (PUSDAL). Strengthening of Boundary Management Committee with additional elements of facilitator and mediator conflict resolution were more practical and effective. Establishment of an institution such as the Task Force on Social Conflict Resolution which can touch the forest tenure conflict was an external approach. As an institution at the site level, KPH has an important role in all conflict resolution strategies of forest tenure. The roles of KPH were concerned to conflict identifying, follow-up options facilitation, as well as recommendations towards resolving the conflict. This implemented conflict resolution strategy was expected to accelerate the consolidation of forest areas that contribute to the legitimate land tenure the higher pressure due to more land needed in the future. The theoretical implication of this study indicated that it was not right to crash legal claim with social claim. This study had at least three policy implications. Firstly, forest tenure conflict resolution should be more focus on of court settlement or alternative dispute resolution (ADR). Secondly, the government should to establish local tenure conflict resolution organizations that can be reached by all parties. Thirdly, the government should set conflict resolution sustainable forest criteria in every operational scheme such as REDD+. In terms of methodology implied that the use of AGATA would be more complete if considering political power, political sociology and legal political as foundation for the parties in determining their conflict style. *** Keywords : conflict, conflict styles, conflict resolution, evidence claims, facilitation, forest land tenure. GAMIN. Resolusi Konflik Dalam Pengelolaan Hutan Untuk Mendukung Implementasi REDD+. Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO, HARIADI KARTODIHARDJO, LALA M KOLOPAKING dan RIZALDI BOER. Penerapan kebijakan kepemilikan lahan sejak era kolonial sampai era Orde Baru telah meninggalkan banyak konflik tenurial yang belum terselesaikan di seluruh Indonesia. Suatu pendalaman dari metode Rapid Land Tenure Assessment (RaTA) digunakan untuk memetakan konflik dalam rangka resolusi konflik. Analisis Gaya Bersengketa (AGATA) digunakan untuk memetakan para pihak berikut sikapnya dalam menghadapi konflik. Analisis kebijakan digunakan untuk mengetahui kinerja kebijakan penyelesaian konflik yang dilaksanakan pemerintah baik berupa aturan main maupun kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan pelaksanaan mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta peningkatan stok karbon (REDD+). Kebijakan-kebijakan penyelesaian konflik terkait penyelesaian hak pihak ketiga, enclave, pelepasan secara parsial, review tata ruang wilayah (RTRW), pemetaan partisipatif, kemitraan antara pengelola dengan masyarakat, dan penegakan hukum didalami dalam penelitian ini. Penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan kontestasi kekuatan klaim penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan masih meninggalkan rasa ketidakadilan dalam alokasi sumberdaya lahan dari perspektif masyarakat. Melalui pendekatan gaya bersengketa diperoleh catatan perlunya kesesuaian gaya pihak yang berkonflik agar dapat ditempuh langkah penyelesaian dan perlunya intervensi pihak ketiga yang tidak terkait konflik. Terdapat empat catatan kritis atas peraturan yang tersedia untuk mengakomodasi permasalahan konflik tenurial yakni : absennya unsur tim yang dapat memfasilitasi dan memediasi penyelesaian konflik dalam Panitia Tata Batas, perbedaan persepsi istilah pemetaan partisipatif, ketidaksepakatan jenis dan komposisi jenis dalam skema pengelolaan lahan bersama masyarakat, dan belum kuatnya hak-hak tenurial termasuk kawasan hutan negara. KPH bukanlah institusi yang dapat menyelesaikan konflik tenurial kawasan hutan akan tetapi KPH memiliki peran penting dalam mengidentifikasi, memfasilitasi dan menentukan pilihan penyelesaian konflik. Penataan hak-hak tenurial terhadap penggunaan kawasan hutan oleh berbagai pihak merupakan langkah penting yang harus ditempuh untuk menyiapkan kondisi pemungkin guna mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan termasuk diantaranya implementasi skema REDD+. Membentuk suatu lembaga penyelesaian konflik yang dapat dijangkau para pihak termasuk masyarakat merupakan pilihan yang layak dipertimbangkan. Strategi resolusi konflik tersebut dapat dilakukan secara internal di Kementerian Kehutanan maupun secara eksternal. Memperkuat peran Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan dengan mewujudkan Unit Pelaksana Teknis Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) merupakan langkah internal. Memperkuat institusi Panitia Tata Batas dengan tambahan unsur fasilitator dan mediator penyelesaian konflik merupakan langkah praktis terdekat. Mewujudkan suatu lembaga seperti Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial yang dapat menyentuh konflik tenurial kawasan hutan merupakan suatu alternatif eksternal. Sebagai institusi di tingkat tapak, KPH memiliki peran penting pada semua strategi penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan. Peran KPH tersebut terkait identifikasi konflik, fasilitasi tindak lanjut pilihan, maupun rekomendasi arah penyelesaian konflik. Terlaksananya strategi penyelesaian konflik ini diharapkan dapat membantu mempercepat pemantapan kawasan hutan yang berkontribusi terhadap kepastian tenurial untuk menghadapi tekanan yang makin tinggi kebutuhan lahan di masa depan. Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah bahwa tidak tepat untuk membenturkan klaim hukum dengan klaim sosial. Penelitian ini setidaknya memiliki tiga implikasi kebijakan. Pertama, resolusi konflik tenurial kawasan hutan hendaknya lebih mengedepankan penyelesaian di luar pengadilan (out of court) atau (ADR). Kedua, pemerintah perlu membentuk organisasi penyelesaian konflik tenurial di daerah agar dapat dijangkau semua pihak. Ketiga, pemerintah perlu mensyaratkan kriteria penyelesaian konflik dan kriteria kelestarian hutan dalam setiap skema operasional seperti skema REDD+. Dari segi metodologis berimplikasi bahwa penggunaan AGATA akan lebih lengkap bila memperhatikan kekuatan politik, sosiologi politik dan politik hukum yang melandasi para pihak dalam menentukan gaya berkonflik.*** Kata kunci: bukti klaim, fasilitasi, gaya konflik, konflik, penguasaan kawasan hutan, penyelesaian konflik.
Kamaya: Jurnal Ilmu Agama
In general, researchers only focus on taking a practical approach to Paul trying to reconcile Philemon with Onesimus. Onesimus is a slave who has run away from his master, Philemon. Conflict resolution in Paul's letter to Philemon has not yet been researched. The purpose of this research is to find conflict resolution based on Philemon 1:1-25. The method used in this research is qualitative with a literature study approach. The result of the research on conflict resolution in Philemon 1:1-25 is that reconciliation must be realized based on the ties of brotherhood obtained from God's Ownership.
JURNAL KOMUNIKATIO
It can be said that mining projects, dam construction, and other similar endeavors present many obstacles. Mining, dam building, and similar businesses are complicated by environmental impact assessments and land acquisition issues. This research was conducted using the literature review method. This strategy is intended to search, evaluate, and synthesize the best available evidence in scientific journal publications. The aim is to collect informative and evidence-based responses to the research topic. In Axel Honneth's Theory of Recognition, the descriptive analysis provides a precise, objective, methodical, analytical, and critical description, and explanation of wadas conflict. We must not forget Abraham Maslow's description of the hierarchy of human needs in psychology. Maslow described the Hierarchy of Needs hierarchically, including physiological conditions, the need for security, the need for belonging and love, and the need for self-esteem. In conflict resolution, t...
kebijakan publik, 2018
Abstrak : Indonesia merupakan negara berkembang, perkembangan zaman yang semakakin maju membuat Indonesia ikut serta dalam perkembangan tekhnologi, kemudahan yang disajikan oleh tekhnologi menarik perhatian masyarakat untuk menggunakannya. Salah satunya yaitu layanan perjalanan online yang bisa diakses melalui smartphone saja, pro dan kontra yang terjadi dengan adanya layanan perjalanan online menimbulkan konflik sosial di masyarakat, contohnya bentrokan pengemudi ojek online dan ojek pengkolan, perkara sederhananya adalah rebutan penumpang. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui cara penyelesaian konflik sosial yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yaitu penelitian berangkat dari data lapangan dan menggunakan teori yang sudah ada sebagai pendukung, kemudian hasilnya akan memunculkan teori dari data-data tersebut. Dari hasil penelitian menyatakan bahwa masyrakat awam kurang memahami kemajuan tekhnologi dan akan berdampak pada konflik, tetapi dengan adanya pemahaman yang diberikan pihak-pihak dan seiring berjalannya waktu masyarakat awam bisa menerima. Pemerintah dalam konteks ini dapat berperan sebagai penengah dan bertindak adil di antara yang berseteru ini dengan tujuan mencari solusi keseimbangan kepentingan antara pihak-pihak yang berbeda ini. Kata kunci : resolusi konflik, ojek online, tekhnologi, masyrakat awam Absract : Indonesia is a developing country, the development of the era that is increasingly advanced makes Indonesia participate in technological developments, the ease presented by technology attracts the public's attention to use it. One of them is that online travel services that can be accessed only through smartphones, the pros and cons that occur with online travel services lead to social conflicts in the community, for example online motorcycle taxi drivers and motorcycle taxi drivers, the simple case is the seizure of passengers. This study has a purpose to find out how to resolve social conflicts that occur in the community. This study uses qualitative research, namely research departing from field data and using existing theories as support, then the results will bring the theory from these data. From the results of the study stated that ordinary people do not understand technological progress and will have an impact on conflict, but with the understanding given by the parties and as time goes by the public can accept. the government in this context can play a role as mediator and act fairly between these hostilities with the aim of finding a solution to the balance of interests between these different parties.
Loading Preview
Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Mexicon. Zeitschrift fur Mesoamerikaforschung, 2018
European Journal of Analytic Philosophy, 2024
Género y sexualidad en la Antigüedad y el Medievo, 2024
Charles Darwin and Jim Corbett: Parallel Biographies, 2023
Tạp chí Khoa học và công nghệ nông nghiệp Trường Đại học Nông Lâm Huế
FERNÁNDEZ-GÖTZ, M. (2019): A World of 200 Oppida: Pre-Roman Urbanism in Temperate Europe. In L. de Ligt and J. Bintliff (eds.), Regional Urban Systems in the Roman World, 150 BCE – 250 CE. Brill, Leiden: 35-66.
Falklands - Papal Bulls Treaty of Tordesillas, 2024
American journal of plant biology, 2022
Pareti dipinte : dallo scavo alla valorizzazione, 2024
North American Journal of Psychology, 2013
Coisa Edições, 2015
Pediatric Pulmonology, 1987
Colombia Medica, 1969
Proceedings of the Institution of Mechanical Engineers, Part C: Journal of Mechanical Engineering Science, 2020
Chemical Reviews, 2013