Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
FILSAFAT KONTEMPORER DAN FILSAFAT POSMODERNISME Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah Filsafat Umum Dosen pengampu : Dr. Anda Juanda, M. Pd. Disusun oleh Anggit Aprilliani Firman Nurmukhlis Rina Anggraeni Dewi Surati Tursilawati Biologi B / Semester VI KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON 2013 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Filsafat Kontemporer dan Posmodernisme” untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Filsafat Umum. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Anda Juanda, M. Pd. selaku dosen pengampu mata kuliahy Filsafat Umum ang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Dan tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman dan pihak-pihak lain yang turut serta membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan. Penulis mengharapkan kepada teman-teman untuk bersedia memberikan kritik dan sarannya menyangkut pembuatan makalah ini, sebagai bahan pertimbangan untuk membuat makalah selanjutnya. Namun demikian, penulis sudah berusaha menyajikan makalah ini dengan sebaik mungkin. Semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca, peminat keilmuan dan calon penulis di masa mendatang. Cirebon, Februari 2013 Penulis DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 2 Tujuan Penulisan Makalah 2 BAB II FILSAFAT KONTEMPORER DAN FILSAFAT POSMODERNISME FILSAFAT KONTEMPORER 3 PRAGMATISME 3 Terminologi Pragmatisme 3 Tokoh-Tokoh, ajaran dan karya filosofis Pragmatisme 4 Sumbangan Filsafat Pragmatisme terhada Ilmu Pengetahuan Masa Kini 7 EKSISTENSIALISME 8 Tokoh dan ajaran filsafat eksistensialisme 9 Sumbangan Filsafat Eksistensialisme Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini 18 FENOMENOLOGI 18 Pengertian 18 Riwayat hidup tokoh 19 Ajaran dan karya kefilsafatannya 19 Sumbangan fenomenologi terhadap ilmu masa kini 22 POSTMODERNISME 25 Pengertian 25 Latar Belakang Lahirnya Postmodernisme 25 Tokoh Dan Ajaran Filsafat Postmodernisme 27 Fenomena faktual Posmodernisme 33 Sumbangsih Filsafat Postmodernisme 34 Keunggulan Dan Kekurangan Filsafat Postmodernisme 39 BAB III KESIMPULAN 41 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap perkembangan itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai periodesasi sejarah perkembangan ilmu sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer. Begitu pula dengan filsafat, dalam perkmbangannya filsafat dibagi menjadi 4 babakan yakni Filsafat klasik meliputi filsafat Yunani dan Romawi pada abad ke-6 SM dan berakhir pada 529 M dominasi oleh rasionalisme. Filsafat abad pertengahan meliputi pemikiran Boethius sampai Nicolaus pada abad ke-6 M dan berakhir pada abad ke-15 M didominasi dengan doktrin-doktrin agama Kristen. Filsafat modern dan filsafat kontemporer yang didominasi kritik terhadap filsafat modern. Pada tahun 1880-an Nietzsche menyatakan bahwa budaya Barat telah berada di pinggir jurang kehancuran karena terlalu mendewakan rasio. Hingga pada tahun 1990-an Capra menyatakan bahwa budaya Barat telah hancur juga karena terlalu mendewakan rasio. Rasionalisme Filsafat modern perlu di dekonstruksi karena ia Filsafat yang keliru dan juga keliru cara penggunaannya, akibatnya budaya Barat menjadi hancur (Tafsir, 2009 : 257). Renaisans yang secara berlebihan mendewakan rasio manusia. Mencerminkan kelemahan manusia modern. Akibatnya timbulah kecenderungan untuk menyisihkan seluruh nilai dan norma yang berdasarkan agama dalam memandang kenyataan hidup, sehingga manusia modern yang mewarisi sikap positivistik cenderung menolak keterkaitan antara substansi jasmani dan rohani manusia, mereka juga menolak adanya hari akhirat, akibatnya manusia terasing tanpa batas. Pada zaman kita hidup saat ini dikenal dengan zaman postmodern dimana perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan sangat pesat. Seluruh pengembangan tersebut bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran manusia dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Pemikiran pada periode ini memfokuskan diri pada teori kritis yang berbasis pada kemajuan dan emansipasi. Kemajuan dan emansipasi adalah dua hal yang saling berkaitan, seperti yang dinyatakan oleh Habermas bahwa keberadaan demokrasi ditunjang oleh sains dan teknologi. Dalam makalah ini penulis akan kemukakan sejarah munculnya filsafat kontemporer dan filsafat postmodern sebagai ‘isme’ yang mengritik modernitas, juga akan dipaparkan beberapa tokoh pada periode ini, ajarana-ajaran pokok dan sumbangih pemikirannya terhadap ilmu pengetahuan masa kini.. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: Bagaimana sejarah munculnya filsafat Kontemporer dan Posmodernisme? Apa yang dimaksud dengan Pragmatisme, Eksistensialisme, Fenomenologi dan Posmodernisme? Siapa tokoh filsafat Kontemporer dan Posmodernisme? Apa ajaran dan karya dari tokoh filsafat Kontemporer dan Posmodernisme? Apa sumbangan filsafat Kontemporer dan Posmodernisme terhadap ilmu pengetahuan masa kini? Apa kelebihan dan kekurangan dari filsafat Posmodernisme? Tujuan Penulisan Makalah Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut : Mengetahui sejarah munculnya filsafat Kontemporer dan Posmodernisme? Mengetahui pengertian Pragmatisme, Eksistensialisme, Fenomenologi dan Posmodernisme? Mengetahui tokoh filsafat Kontemporer dan Posmodernism Mengetahui Mengetahui ajaran dan karya dari tokoh filsafat Kontemporer dan Posmodernisme? Mengetahui sumbangan filsafat Kontemporer dan Posmodernisme terhadap ilmu pengetahuan masa kini? Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari filsafat Posmodernisme? BAB II FILSAFAT KONTEMPORER DAN FILSAFAT POSMODERNISME FILSAFAT KONTEMPORER Filsafat kontemporer yang di awali pada awal abad ke-20, ditandai oleh variasi pemikiran filsafat yang sangat beragam dan kaya. Mulai dari analisis bahasa, kebudayaan (antara lain, Posmodernisme), kritik social, metodologi (fenomenologi, heremeutika, strukturalisme), filsafat hidup (Eksistensialisme), filsafat ilmu, samapai filsafat tentang perempuan (Feminisme). Tema-tema filsafat yang banyak dibahas oleh para filsuf dari periode ini antara lain tentang manusia dan bahasa manusia, ilmu pengetahuan, kesetaraan gender, kuasa dan struktur yang mengungkung hidup manusia, dan isu-isu actual yang berkaitan dengan budaya, social, politik, ekonomi, teknologi, moral, ilmu pengetahuan, dan hak asasi manusia. Ciri lainnya adalah filsafat dewasa ini ditandai oleh profesionalisasi disiplin filsafat. Maksudnya, para filsuf bukan hanya professional di bidang masing-masing, tetapi juga mereka telah membentuk komunitas-komunitas dan asosiasi-asosiasi professional dibidang-bidang tertentu berdasarkan pada minat dan keahlian mereka masing-masing (Zaenal, 2011: 124). Sejumlah filsuf sebagai filsuf-filsuf kontemporer antara lain adalah: Wilhelm Dilthey (1833-1911), Edmund Husserl (1859-1938), Henri Bergson (1858-1941), Ernst Cassirer (1874-1945), Bertrand Russell (1872-1970) dll. PRAGMATISME Terminologi Pragmatisme Pragmatisme berasal dari kata “pragma” (bahasa Yunani) yang berarti artinya adalah tindakan atau perbuatan. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata ( Hakim, dkk, 2008:319). Pragmatism berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah jika segala sesuatu memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Misalnya, beragama sebagai kebenaran, jika agama memberikan kebahagiaan. Menjadi dosen adalah kebenaran jika memperoleh kenikmatan intelektual, mendapatkan gaji atau apapun yang bernilai kuantitatif atau kualitatif. Sebaliknya jika memberikan kemudharatan, tindakan yang dimaksud bukan kebenaran. Tokoh-Tokoh, ajaran dan karya filosofis Pragmatisme Pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914), filosof Amerika yang yang pertama kali menggunakan pragmatisme sebagai metode filsafat, tetapi pengertian pragmatisme telah terdapat juga pada Socrates, Aristoteles, Barkeley, dan Hume. Untuk mengetahui lebih jauh ajaran pragmatisme alangka baiknya kita mempelajari tokoh-tokoh yang menpopulerkan dan pandangannya : C.S. Peirce (1839-1914) Peirce, seorang matematikus, fisikawan, filosof pendiri aliran pragmatism, dilahirkan di Cambrigde, Massachausetts pada tahun 1839. Peirce mendalami filsafat dan logika hingga masa ia kerja pada instansi survei panata dan geodesi. Sebagai filosof yang sistematik, tulisan-tulisan Peirce mencakup hampir segala aspek filsafat. Sumbangannya yang terbesar adalah dalam bidang logika, tetapi ia juga secara luas menulis tentang epistimologi, metode ilmiah, semiotics, metafisika, kosmologi, ontology, matematika dan sedikit tentang etika, agama, sejarah, dan fenomenologi. Berbagai buah pemikiran filsafatnya di dalam beberapa system yang merupakan fase-fase perkembangan kematangannnya dalam olah intelektual. Akan tetapi, semua itu menyatu dan menjadi konsep yang utuh. Karya-Karya Charles Sanders Pierce diantaranya : Collected Papers of Charles Sanders Peirce, 8 vols. Edited by Charles Hartshorne, Paul Weiss, and Arthur Burks (Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1931-1958). The Essential Peirce, 2 vols. Edited by Nathan Houser, Christian Kloesel, and the Peirce Edition Project (Indiana University Press, Bloomington, Indiana, 1992, 1998). The New Elements of Mathematics by Charles S. Peirce, Volume I Arithmetic, Volume II Algebra and Geometry, Volume III/1 and III/2 Mathematical Miscellanea, Volume IV Mathematical Philosophy. Edited by Carolyn Eisele (Mouton Publishers, The Hague, 1976). Pierce banyak memberikan sumbangan pemikiran yang penting bagi filsafat pragmatisme. Diantara sumbangan terpenting pemikiran kefilsafatan pragmatisme pierce adalah theory of meaning sebagai salah satu aspek epistimologi, khususnya implikasinya dalam bahasa. Pragmatism berusaha menemukan asal mula serta hakikat terdalam segala sesuatu merupakan kegiatan yang sangat menarik, meskipun kegiatan tersebut luar biasa sulitnya. Penganut pragmatism menaruh perhatian pada praktik. Mereka memandang hidup manusia sebagai suatu perjuangan untuk hidup yang berlangsung terus-menerus dan yang terpenting ialah konsekuensi yang bersifat praktis. Konsekuensi tersebut erat sekali hubungannya dengan makna dan kebenaran. William James (1842-1910 M) William James lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya adalah orang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Selain kaya, keluarganya memang dibekali dengan kemampuan intelektual yang tinggi. Keluarganya juga menerapkan humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya. William James (1842-1910) adalah tokoh yang paling bertanggung jawab yang membuat pragmatism menjadi terkenal diseluruh dunia. William James mengatakan bahwa secara ringkas pragmatism adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui (Tafsir, Filsafat Umum: 190). Pemikiran filsafatnya lahir karena dalam sepanjang hidupnya ia mengalami konflik antara pandangan agam. Ia beranggapan bahwa masalah kebenaran tentang asal tujuan dan hakikat bagi orang Amerika adalah teoritis. James menginginkan hasil yang kongkret (Muzairi,2009:141). Dengan demikian, untuk mengetahui kebenaran dari ide atau konsep haruslah diselidiki konsekuensi-konsekuensi praktisnya. Kaitannya dengan agama, apabila ide-ide agama dapat memperkaya kehidupan maka ide-ide itu benar. Karya-karyanya antara lain, Tha Principles of Psychology (1890), The Sentiment of Rationality (1879), The Dilemma of Determinism (1884), The Will to Believe (1897), The Varietes of Religious Experience (1902), Pragmatism (1907), The Meaning of Truth (1909), dll. Karena terbitnya buku, Pragmatism (1907), The Meaning of Truth (1909), gerakan pragmatism meluncur seolah-olah akan menguasai filsafat abad ke-20. Pragmatism lebih banyak disangkutkan dengan James daripada dengan Peirce sekalipun James berhutang banyak pada Peirce dalam mengembangkan pragmatism sebagai suatu metode. James memang berbeda dengan Peirce. Peirce tidak bersedia menggunakan pragmatism dan filsafat ilmiahnya pada masalah penting yang vital seperti maslah agama, moral, atau kehidupan personal. Akan tetapi, justru disinilah filsafat pragmatism James memfokuskan diri. Bagi James kepercayaan bukanlah sekadar aturan-aturan bertindak atau idea yang dengannya kita siap untuk bertindak. Kepercayaan adalah sesuatu yang berguna di dalam membuat sesuatu terjadi, dalam membuat sesuatu pasti benar (Tafsir, 2001:194). John Dewey (1859-1952) John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika, pendidik dan pengkritik sosial yang  lahir di Burlington, Vermont dalam tahun 1859. Ia masuk ke Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884 ia meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut. Di universitas terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang menggagas munculnya pragmatisme. Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Sebagai pengikut filsafat pragmatism, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Oleh karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara praktis. Menurutnya tak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah, jika mengalami kesulitan, segera berfikir untuk mengatasi kesulitan itu. Oleh karena itu, berfikir merupakan alat (instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari berhasil tidaknya memengaruhi kenyataan, satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metode induktif. Metode ini tidak hanya berlaku bagi ilmu pengetahuan fisika, melainkan juga bagi persoalan-persoalan social dan moral (Hakim, dkk, 2008: 321). Karya-karya Dewey banyak mempengaruhi corak berpikir Amerika. Pengaruh ini juga banyak berasal dari buku-buku atau karya-karya yang dihasilkannya. Bukunya yang pertama yakni Psychology yang diterbitkan dalam tahun 1891. Dalam tahun 1891, bukunya Outlines of a Critica Theory of Etics diterbitkan. Tiga tahun kemudian, 1894, terbit lagi The Study Of Etics: A Syllabus. Ketika ia berkarya di Universitas Chicago, berturut-turut ia menerbitkan My Pedagogic Creed (1897), The School and Society (1903), dan Logical Conditions of a Scientific Treatment of Morality (1903), dll. Nampak jelas dari tulisan-tulisan Dewey bahwa ia menaruh minat besar pada bidang logika, metafisika dan teori  pengatahuan. Tetapi perhatian Dewey di bidang pragmatisme terutama dicurahkan pada realitas sosial daripada kehidupan individual. Hal ini nampak dalam tema-tema bukunya: pendidikan, demokrasi, etika, agama, dan seni. Sumbangan Filsafat Pragmatisme terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 – 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat, politik, dan pendidikan. Tulisan ini sendiri selanjutnya akan mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme pendidikan misalnya, menitikberatkan pada penguasaan proses berpikir kritis daripada metode hafalan materi pelajaran. Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut. Sumbangan dari pragmatisme yang lain adalah dalam praktik demokrasi. Dalam kondisi ini pragmatisme memfokuskan pada kekuatan individu untuk meraih solusi kreatif terhadap masalah yang dihadapi. Pandangan dan gagasan filsafat ilmu berkembang dalam dialektika yang sangat dinamis. Hal ini karena berbagai pemikiran baru muncul menggantikan konsep-konsep dan pikiran lama. EKSISTENSIALISME Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri. Ia berdiri sebagai “aku” atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein artinya berada) (Tafsir, 2009:218). Berdasarkan uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum, ia selalu sedang ini atau sedang itu (Tafsir, 1992:191) Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu dibedakan dengan filsafat eksistensi. Filsafat eksistensi yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia, sapi dan pohon juga, akan tetapi cara beradanya tidaklah sama antar keduanya. Manusia berada di dalam dunia, ia mengalami beradanya di dunia itu, manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya tersebut disebut dengan obyek (Hasan, 1974:7) Ciri-ciri aliran eksistensialisme meliputi: Orang yang dinilai dan ditempatkan pada kenyataan sesungguhnya; Orang yang berhubungan dengan dunia yang ada; Manusia merupakan satu kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badan; Orang berhubungan dengan segala sesuatu yang ada. Tokoh dan ajaran filsafat eksistensialisme Tokoh-tokoh pada aliran Eksistensialisme diantaranya: Sooren Kierkegaard (1815-1855), Martin Haidegger (1889-1976), Karr Jaspers (1883-1969). Ketiganya ini berasal dari Jerman, sedang tokoh dari Prancis adalah Gabriel Marcel (1889-1973), Jean Paul Sartre (1905-1980) dan masih banyak lagi diantaranya Albert Camus dan Simon Beauvoirh. Søren Aabye Kierkegaard Søren Aabye Kierkegaard adalah seorang filsuf pada abad ke-19. Dia lahir pada tanggal 5 Mei 1813 di Kopenhagen, Denmark dan meninggal dunia tanggal 11 November 1855 saat berumur 42 tahun.  saat ini soren dianggap sebagai bapak filsuf eksistensialisme. Ajarannya beraliran eksistensialisme dan dia sangat bertentangan dengan Hegelian. Ayah dari Søren Kierkegaard bernama Michael Pedersen Kierkegaard, adalah seseorang yang sangat taat terhadap agama. Dia yakin bahwa ia telah dikutuk Tuhan, dan karena itu ia percaya bahwa tak satupun dari anak-anaknya akan mencapai umumr melebihi usia Yesus Kristus, yaitu 33 tahun. Pekerjaan ayahnya sebagai pedagang grosir yang menjual kain, pakaian, dan makanan. Awal mula Søren Kierkegaard mempelajari ilmu filsafat ketika ia bersekolah di sekolah khusus kaum lelaki di Borgerdydskolen. Sedangkan ibu Søren Kierkegaard bernama Anne Sørensdatter Lund Kierkegaard. (Dagun, 1990:47). Søren Kierkegaard merupakan anak terakhir dari ketujuh bersaudaranya. Banyak dari saudara-saudaranya yang meninggal dunia ketika di usia muda. Ayah Kierkegaard meninggal dunia pada 9 Agustus 1838 pada usia 82 tahun. Sebelum ayahnya meninggal dunia, ayahnya meminta Søren agar menjadi pendeta. Saat itu Søren sangat merasa terbebani dengan permintaan dari ayahnya. Regine Olsen sangat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam hidup Søren, Regine merupakan orang yang dicintai oleh Søren. Søren berjumpa dengan Regine pada 8 Mei 1837 dan segera tertarik kepadanya, begitupun sebaliknya dengan Regine. Hingga akhirnya pada tanggal 8 September 1840, Søren resmi menikahi Regine. Namun pada akhirnya Søren merasakan kecewa dan melankolis dengan pernikahannya. Kurang dari satu tahun pernikahannya ia pun menyelesaikan pernikahannya dengan Regine. Dalam catatannya, Søren mengatakan bahwa sifat melankolis yang dimilikinya membuatnya tidak cocok untuk menikah. Walaupun sampai dia meninggal alasan mengapa dia menyelesaikan pernikahannya tidaklah jelas. (Dagun, 1990:48-49). Ajaran yang diberikan oleh Søren adalah mengenai eksistensialisme. Yang artinya adalah sebuah kebebasan yang bertanggung jawab, hal ini berpusat pada manusia individu. Kebebasan ini sering ditemukan oleh manusia. Karena setiap manusia menginginkan adanya sebuah kebebasan tanpa memikirkan yang mana yang benar dan yang tidak benar. Sesungguhnya bukan mereka tidak memikirkan hal tersebut, melainkan mereka mengetahui batas kebebasannya masing-masing. Karena kebebasan bersifat relatif. Søren juga dikenal akan filsuf yang mengajarkan akan kecemasan dan keputusasaan eksistensial. (Dagun, 1990:49). Eksistensialisme mempersoalkan akan adanya keberdaan manusia, dan keberadaan itu yang datang dari kebebasan. Kebebasan yang dimaksudkan adalah sebuah kebebasan yang bertanggung jawab, dimana setiap manusia mengetahui dimana kebebasan mereka. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah maksud dari eksitensialisme. Søren menggambarkan tentang eksistensialisme manusia dalam perkembangan religius. Dari apa yang disebutkan Søren tahap estetis, tahap etis, hingga tahapan religius. Tahapan estetis adalah tahapan pertama ketika manusia berada dalam pandangan kesenangan terhadap indrawi, dimana manusia mencari kesenangan mereka masing-masing. Tahapan selanjutnya merupakan pada saat manusia terjun ke dalam keberadaan itu dengan mulai mempertimbangkan hal yang benar dan salah. Lalu tahapan yang terkahir adalah tentang keimanan. Disini Soren menempatkan Abraham sebagai tolak ukur akan keimanan. Dalam hal ini kita tidak dapat membedakan mana yang salah dan benar, karena dalam keimanan ini adalah hubungan langsung manusia dengan Allah. Soren pun tidak dapat mengkategorikannya, karena menurutnya ini dinilai begitu tidak umum. Ajaran-ajaran Soren  baru terkenal setelah berpuluh-puluh tahun setelah kematiannya. Karyanya tersebar di daerah Eropa, khususnya di daerah Denmark. Namu saat itu Gereja-Gerejad di sekitar Denmark menolak akan adanya karya-karya Soren. Karena ada pengaruh akan karya yang dibuat oleh Soren  yang berjudul “Fear and Trembling”. Namun pada abad ke 20-an banyak filsuf yang ternyata menggunakan konsep Soren, mengenai pemahaman kecemasan, dan keputusasaan serta pentingnya individu manusia. Soren sangat bertentangan akan ajaran dari Hegelian. Sehingga dia sering menjadi kritikus akan ajaran Hegel. Pemikiran yang ia kemukakkan adalah sebagai kritik atas Hegel, yang menekankan pada aspek subjektivisme. Hal ini akan membuat individu melupakan tanggung jawab pribadinya secara etis, bahkan akan menghilangkan eksistensi. Jean Paul Sartre Tekanan Kiekegaard pada pentingnya arti eksistensi individu itu telah melahirkan semacam kesadaran umum pada tanggung jawab setiappribadi dalam kehidupan ini. Pandangan tentang pentingnya arti manusia sebagai pribadi inilah karyanya yang kelak menjadi intisari filsafat yang kelak dikembangkan oleh Sartre dalam nama eksistensialisme yang dengan cepat mendapat sambutan hampir diseluruh dunia. Seklipun pada dasarnya buah pikirannya merupakan pengembangan pemikiran kiekegaard, ia mengembangkannya sampai pada tahap yang teramat jauh. Bagi Sartre eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini amat janggal, karena biasanya sesuatu harus ada essensinya lebih dulusebelum keberadaannya. Filsafat eksistensialisme membicarakan cara berada didunia ini terutama cara beradanya manusia. Dengan kata lain, filsafat ini menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Cara itu khusus hanya ada pada manusia, karena hanya manusialah yang bereksistensi. Binatang, tumbuhan, bebatuan memang ada tetapi mereka tidak dapat disebut bereksistensi. Filsafat eksistensialisme mendamparkan manusia kedunianya dan menghadapkan manusia kepada dirinya sendiri. (Tafsir:225) Menurut ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului essensinya. Hal ini berbeda dengan tumbuhan, hewan dan bebatuan yang essensinya mendahului eksistensinya. Didalam filsafat idealisme, wujud nyata (existency) dianggap mengikuti hakekat (essen)-nya, jadi, hakekat manusia memliki cirri khas tertentu, dan cirri itu yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain. Manusia harus menciptakan eksistensinya sendiri. Oleh karena itu dikatakan eksistensi manusia mendahului essensinya. (Struhl dan Struhl, 972:33,35). Dan formula ini merupakan prinsip utama dan pertama didalam filsafat eksistensialisme. Berikut ini dijelaskan apa yang dimaksud dengan eksistensi manusia mendahului essensinya (existence precedes essence) itu. Jika seseorng ingin membuat suatu barang misalnya sebuah buku. Ia mestinya talah mempunyai konsep (image, atau dll) tentang buku yang akan dibuatnya itu. Selanjutnya dibuatlah buku tersebut sesuai dengan konsep yang telah ada padanya. Dalam konteks pembicaraan ini kita tidak dapat membayangkan seseorang dapat membuat buku tanpa didahului oleh suatu konsep tentang buku. Dapatlah dikatakan bahwa konsep buku merupakan essensi buku dan wujud buku adalaheksistensinya. Jelaslah bahwa kehadiran buku itu ditentukan oleh pembuatnya, yaitu manusia. Maka, untuk buku berlaku essensi mendahului eksistensinya. Ini tentulah formula yang biasa, yang tidak biasa adalah apabila eksistensi manusia mendahului essensinya. Sebagaimana yang telah diajarkan oleh eksistensialisme itu, untuk manusia. (Tafsir:225) Bagi Sartre adalah tidak adanya Tuhan. Jika Tuhan ada maka Tuhan akan membatasi kebebasan manusia. Bagi Sartre, karena manusia itu bebas maka Tuhan tidak boleh ada. Bagi Sartre Tuhan adalah esensi, manusia adalah eksistensi, maka eksistensi mendahului esensi. Manusia ada dan “terlibat” dalam dunia baru kemudian mendefinisikan dirinya. (Wibowo.2011:23) Sartre pada masa kecilnya mendapatkan gambaran mengenai Tuhan dari keluarganya. Tuhan dalam gambaran diri Sartre adalah polisi yang mahatahu dan mahabesar. Tuhan digambarkan sebagai “yang menakutkan” dan selalu mengawasi tindak tanduknya. Ketika dirinya melakukan kesalahan tatapan mata Tuhan (le regard) menjadi ancaman bagi dirinya. Segala suara seperti langkah kaki, suara pintu yang berdecit, suara gerakan seakan menjadi “tatapan” mata Tuhan yang selalu mengawasi. Tatapan Tuhan menjadi ancaman. Hingga pada suatu ketika dirinya berusia 12 tahun, Sartre mengatakan dengan terperanjat bahwa Tuhan tidak eksis, kemudian dirinya mengganggap perkara yang dihadapinya sudah selesai. (Wibowo.2011:2 Sartre menjelaskan, karena manusia mula-mula sadar bahwa ia ada, itu berarti ia menyadari bahwa ia menghadapi masa depan, dan ia sadar bahwa ia berbuat begitu. Hal ini menekankan suatu tanggung jawab pada manusia, inilah yang dianggap sebagi ajaran yang utama dan pertama dari filsafat eksistensialisme. Bila manusia itu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, itu bukan berarti ai bertanggung jawab untuk dirinya sendiri tetapi juga pada seluruh manusia. Tampaklah oleh kita bahwa pendapat Sartre tentang eksistensi manusia bukan hendak menjelaskan keadaan beradanya manusia ditengah manusia dan bukan manusia, lebih dari itu ia hendak menjelaskan tanggung jawab yang hendaknya dipukul manusia. Munculnya pemikiran ini tidaklah mengherankan apabila kita membayangkan keadaan dunia pada saat itu, khususnya eropa barat tempat tinggal Sartre. Di Eropa Barat hidup dinikmati dan dinikmatkan dengan cara yang sehebat-hebatnya (Drijakara:86). Keadaan ini merupakan pengaruh berbagai sistem pemikiran yang hidup ketika itu Sartre adalah filosof ateis: Itu dinyatakannya secara terang-terangan. Konsekuensi pandangan ateis itu ialah tuhan tidak ada, atau sekurang-kurangnya manusia bukanlah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, konsepnya tentang manusia ialah manusia bukan ciptaan Tuhan. Dari pemikiran ini ia menemukan bahwa eksistensi manusia, mendahului esensinya. Seandainya pemikiran ini diajukan untuk menekankan tanggung jawab manusia, itu tidaklah sulit jika ia percaya kepada Tuhan. Eksistensi manusia menunjukkan kesadaran manusia, terutama pada dirinya sendiri bahwa ia barhadapan dengan dunia. Dari konsep ini muncullah ciri lain hakikat keberadaan manusia. Orang eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia ialah takut. (Bierman dan Gauld, 1973:602). Takut itu datang dari kesadaran manusia tentang wujudnya di duni ini. Sartre menyatakan, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu juga ia telah bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan bagi keseluruhan manusia, dan pada saat itu pula manusia merasa tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab menyeluruh (StruhI dan StruhI:38 Manusia itu merdeka, bebas. Oleh karena itu, ia harus bebas menentukan, memutuskan. Dalam menentukan, memutuskan, ia bertindak sendirian tanpa orang lain yang menolong atau bersamanya. Ia harus menentukan untuk dirinya dan untuk seluruh manusia. Oleh karena itu, menurut Sartre, demikian juga Heidegger (Beerling,223-24), manusia tidak solider, tetapi soliter. Ia memikul berat dunia seoarang diri. Kenyataan manusia, sebagaimana dinyatakan oleh Sartre ”adalah nasibnya diserahkan kepada dirinya sendiri dengan tiada bantuan sedikitpun” (Beerling:232). Manusia harus memutuskan. Dalam memutuskan saya tidak mempunyai bukti atau alasan bahwa putusan itu benar. Hanya sayalah yang menjamin putusan saya itu benar, tanpa bantuan orang lain, dan saya harus mempertanggungjawabkannya. Ini menimbulkan rasa takut. Takut itu bukanlah suatu suasana batin yang biasa, melainkan suatu suasana batin yang pokok. Rasa ini harus dibedakan dari getar. Getar itu jelas objeknya, sedangkan takut tidak menentu objeknya, tidak jelas takut pada apa. Kita tidak pernah mengetahui dengan tepat terhadap apa kita takut. Takut itu datangnya tiba-tiba, secara tiba-tiba kadang-kadang ia menghilang. Seolah-olah manusia takut kepada yang tidak ada, seperti orang yang takut pada gelap. Takut itu sebenarnya adalah takut kepada wujud. Wujud itulah yang mengasingkan kita dan membuat kita menjadi terpecil (lihat Beerling: 223 -24). Akan tetapi, mestikah demikian? Tidak mungkinkah disamping rasa takut manusia memiliki rasa beranidan gembira karena ia boleh bartanggung jawab?. Sartre mengatakan bahwa dalam memutuskan manusia berdiri sendiri. Ini karena dia ateis. Apabila teis , manusia akan tahu bahwa dalam memutuskan ia tidak berdiri sendiri, ajaran tuhan selalu bersamanya dalam memutuskan. Rasa takut muncul arena adanya kesadaran pada manusia bahwa ia manusia. Rasa seperti itu tidak ada pada hewan, tumbuhan dan bebatuan. Bagi Sartre, karena manusia pengada yang sadar (letre-pour-soi) persoalannya menjadi rumit. Perta ia sadar. Dari sinilah muncul tanggung jawab. Karena tanggung jawab, manusia harus menentukan. Dari sinilah muncul kesendirian (kesepian), lalu rasa takut muncul. Kemudian Sartre menambahkan lagi”: dari kesadaran itu muncul penyangkalan (neantser) manusia itu selalu menyangkal. Dengan kesadaran itu manusia menyadari bahwa ia tidak berdiri sendiri. Dalam kenyataannnya manusia itu termuat dalam suatu perbuatan. Tentang berbuat itu manusia sadar ia berbuat. Tentang perbuatan itu manusia menyadari bahwa ia selalu dalam peralihan. Disinilah letak kerumitan manusia itu, demikian Sartr Manusia itu setelah menyadari dirinya, ia membantahnya, menyangkalnya. Ia membantah itu dengan mengalih, menuju yang lain. Setelah yang lain itu tercapai, pada waktu itulah ia menyanglkalnya. Apa yang telah dicapai pasti mengingkari. Manusia harus berbuat sementara hasil berbuatnya tidak akan memuaskan dirinya. Seakan-akan berbuat itu semacam hukuman yang tak terelakkan lagi.Jadi, manusia itu selalu berubah. Hakekat penyangkalan itu dapat dirumuskan dalam kalimt ini:“yang ada tidak dimaui, yang dimaui belum ada”. Jadi manusia itu laksana orang yang mengejar bayangannya. Menurut Sartre itulah hakekat manusia. Disini tergambarlah suatu filsafat pustus asauntuk apa mengejar sesuatu padahal sudah diketahui jika sesuatu itu dicapai, ia akan mengingkarinya. Jadi, semua usaha diketahui akan berakhir sia-sia. Tetapi manusia harus berbuat. Ia harus meluncur terus samapi ia terengah-engah kepayahan. Untuk membtbaskan diri dari hukuman ituhnya ada dua kemungkinan: menjadi yang tak berkesadaran (en-soi, hewan tumbuhan , batu) atau bunuh diri. Menjadi en-soi tidak mungkin, yang mungkin adalah bunuh diri. Akan tetapi, benarkah hakikat beradanya manusia seperti yang dikatakan oleh Sartre itu? Dengan mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal, Sartre lupa bahwa juga dapat membangun. Memang betul berbuat berarti mengalih, menuju kepada yang lain. Memang ada perbuatan yang tidak membangun. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa manusia harus bertanggung jawab? Ini haruslah berarti bahwa manusia harus membangun; ia harus membangun dirinya dan dunia. Terasa ada kontradiksi di sini. Bila Sartre mengatakan bahwa segala perbuataan manusia tanpa tujuan, karena tidak ada yang tetap (selalu disangkal), jadi manusia tanpa harapan, maka hal ini tidak harus diartikan dinamikan hidup, tanda manusia ingin membangun dirinya dan dunia. Masalahnya sebatulnya: apakah manusia dapat merasa puas? Jawabannya terletak pada orangnya. Bila orangnya dijajah oleh nafsunya, maka ia tidak akan pernah merasa puas. Yang inilah filsafat Sartre itu. Adapun orang yang selalu ingin yang lebih baik, tidak mesti ia selalu merasa tidak puas. Filsafat ini harus dipahami dari pandangan ateisme. Manusia harus berbuat, dan harus pula mengingkari hasilnya. Ini hukuman. Keadaan ini menimbulkan rasa muak (In nausee). Kata ini dapat berarti muak, mual, Jemu, rasa hendak muntah. Mengapa mual? Karena tidak ada harapan. Manusia itu dihukum. Ia harus menghadapi kenyataan itu. Manusia harus mengadakan perubahan, jadi akan muncul ketidaktetapan, kekacauan. Karena tidak ada yang tetap, maka tidak ada yang diharapkan. Jelas, hal ini menimbulkan kejemuan, kemualan, ketertindasan, putus asa. Demikian memang reallitas hidup ini menurut Sartre (Drijarkara:75) Pikiran ini satu mata rantai dalam rangkaian pemikiran Sartre tentang hakikat wujud manusia. Sangat erat dengan formula “yang ada tidak dimaui dan yang dimaui ilah yang belum ada”. Manusia selalu membelum, menjadi. Filsafat ini tidak sesuai dengan kenyataan. Ada juga, bahkan banyak, orang yang dalam hidupnya mempunyai harapan. Banyak orang yang tidak merasakan hidupnya kosong. Sartre kurang cermat dalam menggambarkan hakikat keberadaa manusia. Sebagian besar buku Sartre berisi uraian yang tajam damn sinis tentang hubungan antarmanusia: relasi antara kesadaran yang satu dengan kesadaran yang lain. Apa yang terjadi antara manusia dengan manusia, dalam instansi yang terakhir ialah revalitas dan konflik. Saya menekati orang lain, menurut Sartre tidak dapat diartikan selain bahwa saya hendak merebutnya, saya hendak menjadikannya objek (Beerling:230-31). Orang lain itu pun demikian terhadap saya. Selanjutnya Sartre menyimpulkan bahwa ada bersama itu berupa konflik atau permusuhan terus-menerus. Oleh karena itu, sifat malu, gentar, sombong adalah perasaan-perasaan asal, yang berupa reaksi saya tatkala bertemu dengan orang lain (Beerling:231). Jadi, di dalam hubungan antarmanusia itu, menurut Sartre, hanya ada dua kemungkinan: menjadi subjek atau maenjadi objek, memakan atau dimakan (Drijarkara:89). Kelihatannya Sartre sedikit “lembut” tatkala ia mengatakan bahwa relasi antarmanusia terjadi juga karena ikatan cinta kasih. Dalam cinta kasih pihak lain kepadaku, demikian Sartre, eksistensiku diakui, badanku diinginkan, aku dihargai (Peursen:226). Di sini sifat saling merendahkan, saling memakan, seperti menghilang dari filsafat Sartre. Sekalipun demikian, demikian Sartre, dalam hubungan cinta kasih ini pun konflik tetap ada (Peursen:226). Di sini kita menyaksikan untuk kesekian kalinya dilema dalam filsafat Sartre: di satu pihak seseorang memerlukan orang lain agar ia dapat menjalani eksistensinya, tetapi di pihak lain ada bersama itu merupakan permusuhan. Tepat kata Hobbes: manusia ditakdirkan saling memusuhi. Sekarang semakin lengkaplah keterhukuman manusia, keterdamparannya, dan kesengsaraannya. Semakin jelas mengapa hidup itu dikatakan memuakkan, putus asa. Berikut kita berikan sedikit komentar terhadap pikiran Sartre yang penuh dilema itu. Sartre memulai filsafatnya dengan menjelaskan hakikat eksistensi manusia: eksistensi manusia mendahului asensinya. Mulainya manusia bereksistensi ialah sejak ia mengenal drinya dan dunia yang dihadapinya. Itu berarti bahwa ia telah berkesadaran. Dari kesadaran itu muncullah tangging jawab. Karena bertanggung jawab, maka manusia harus memilih, menentukan, memutuskan. Itu dilakukannya sendirian. Timbullah rasa kesendirian, sepi, lalu takut. Takut itu tidak jelas objeknya, tidak jelas takut pada apa. Ini tentu menjadi penderitaan. Karena kesadarannya itu manusia harus berbuat, berarti ia selalu berubah, selalu mengalih, karena yang ada tidak dimaui dan yang dimaui ialah yang belum ada. Tentu saja manusia selalu mendobrak, berpindah, meluncur terus. Manusia laksana mengejar bayangannya sendiri: semakin cepet ia berlari, secepat itu pula bayangannya pergi. Manusia menjadi mual, muak, seperti mau muntah. Manusia dipaksa bekerja, tetapi tanpa harapan. Sial betul nasib manusia. Determinisme ditolak, tetapi manusia dihukum berarti determinisme juga. Kehidupan bersama diperlukan, tetapi ada bersama itu merupakan neraka bagi manusia. Dilema lagi. Memang filsafat Sartre penuh—kalau bukan seluruhnya oleh dilema. Sebenarnya kekacauan filsafat Sartre disebabkan oleh pandangannya yang ateis. Apa yang tidak dapat diselesaikannya itu sesungguhnya dapat diselesaikan dalam teisme. Pada akhir uraiannya tentang Sartre, Drijarkara menulis sebagai berikut (Drijakara:89): “Bagaimanapun juga, tampaklah dalam uraian diatas, bahwa pikiran Sartre bentrokan dengan realitas. Kita akui bahwa buah pikiram Sartre memuat pandangan-pandangan yang bagus. Akan tetapi dasar-dasarnya tidak tahan uji” Sumbangan Filsafat Eksistensialisme Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini Eksistensialisme telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi ilmu, terutama dalam membuka jalan terhadap kebutuan yang ditimbulkan oleh faham materialisme yang mengatakan bahwa : “manusia itu pada hakekatnya adalah barang material belaka, yang walaupun bentuknya lebih unggul, tetapi manusia itu adalah resultante dari proses-proses kimiawi”. Bagi eksistensialis, manusia itu tidak hanya sekedar material atau kesadaran, tetapi lebih daripada itu. Pengaruh yang sangat menonjol eksistensialisme terhadap pendidikan modern dewasa ini adalah kesadaran terhadap adanya perbedaan eksitensial pada setiap individu siswa, dan timbulnya penghargaan terhadap kebebasan siswa dalam menentukan pilihannya. Filsafat eksistensialisme bersifat individualistis sebagai paham yang mendorong manusia untuk berbuat dan berbuat terus memperbarui dirinya dengan bertitik tolak dari individu masing-masing apapun keadaannya. Filsafat eksistensialisme memberikan modal kekuatan dan keberanian dengan tidak perlu mencemaskan kelemahannya sebagai manusia. Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan yang menyajikan program menurut kelompok seperti program pendidikan formal di sekolah dewasa ini, karena bagi eksistensialis program kelompok semacam itu berarti telah mengikari eksistensi siswa sebagai individu. Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan profesi, misalnya pendidikan kejuruan atau pendidikan spesialis di pendidikan tinggi. Eksistensialis menganggap pendidikan profesi mempunyai sasaran utama pada pencarian obyektivitas, logika dan intelektualitas, dan kurang mengenai sasaran emosi, estetika dan moral yang merupakan kepentingan pokok eksistensialisme. Eksistensialisme mengingatkan bahwa ilmu hendaknya tidak menjadi sasaran atau tujuan pendidikan, tetapi ilmu itu harus ditempatkan secara proposional, hanya sebagai alat dalam pengembangan eksistensi manusia FENOMENOLOGI Pengertian Secara etomologis, asal kata fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phaenomeno  dan logos. Phaenomenon berarti tampak dan phaenen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan (Muzairi, 2009:141). Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak, atau ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran. Riwayat hidup tokoh Pada awalnya banyak ahli filsafat mendefinisikan fenomenologi hanya suatu gaya berfikir bukan sebagai mazhab filsafat, adapula yang mendefinisikan fenomenologi adalah suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan juga sebagai suatu pendirian atau aliran filafat. Akan tetapi dalam mazgab filsafat fenomenologi memiliki asumsi-asumsi sebagai dasarnya. Lalu kemudian Edmund Husserl (1859–1939) membawa fenomenologi berubah menjadi sebuah disiplin ilmu filsafat dan metodologi berfikir yang mengusung tema Epoche-Eiditic Vision danLebenswelt sebagai sarana untuk mengungkap fenomena dan menangkap hakikat yang berada dibaliknya. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Edmund Gustav Aibercht Husserladalah seorang filosof yang lahir di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia (Jerman) pada tanggal 8 April 1859 dari keluarga yahudi (Hamersma, 1983:114). Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat; mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Awalanya ia seorang filosof ilmu pasti. Setelah Edmund Husserl berada di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke Universitas Leuven di Belgia (Hamersma, 1983: 114). Ajaran dan karya kefilsafatannya Dalam pemahaman Edmund Husserl, fenomenologi adalah suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman yang didapat secara langsung seperti religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Ia juga menyarakan fokus utama filsafat hendaknya tertuju kepada penyelidikan susunan kesadaran itu sendiri, sehingga akan nampaklah objek kesadaran (fenomenon) tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Fenomenologi sebaiknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.( contohnya orang bersin-bersin/meler.. pada dunia kedokteran bahwa orang tersebut terkena flu.. tapi dalam fenomenologi hal tersebut belum dikatan penyakit flu karena dalam fenomenologi harus di selidiki dahulu,, apakah orang tersebut terkena virus flu atau yang lainnya... dan ternyata orang tersebut flu karena dia menghirup merica).... Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran. Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu : Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama maupun ilmu pengetahuan. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu. Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati. Fenomenologi menekankan upaya menggapai fenomena lepas dari segala presuposisi (peranggapan). Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri. Dengan begitu, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Selain itu, filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya (contohnya penyebab flu tadi apakah penyebabnya karena virus atau karena merica). Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu. Berikut karya filsafat dari Edmund Husserl Logische Untersucgsuchugen I dan II(Penyelidikan-penyelidikan logis), tahun 1900-1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran, karena itu harus dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana diarahkan (obyek memakai diri sendiri). Dengan membahas ini sekali lagi menunjukkan sikapnya yang menolak psikologi. Tidaklah mungkin memasukkan logika ke dalam psikologi, karena psikologi dapat mendeskripsikan proses faktual kegiatan akal, sedangkan logika hanya bisa mempertimbangkan sah atau tidaknya kegiatan akal tersebut. Edmund Hsserl menganalisa srtuktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan bagaimana struktur ini terarah pada obyek yang real dan ideal (http://makalahmahasiswamuslimterbaru.blogspot.com/2012/01/makalah-tentang-fenomenologi-edmund.html) Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie, 1913 (Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenolgi murni dan suatu filsafat fenomenologis). Untuk pertama kalinya terkuak kecenderungan idealistik ini. Seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan di antara tanda kurung”, artinya kenyataan di antara dunia luar. Yang utama ialah fenomenanya, dan fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Usaha untuk melakukan pendekatan terhadap dunia luar ini, memerlukan metode yang khas, karena keinsyafan serta-merta mengenai dunia luar ini masuk merembes di mana-mana dan menyebabkan analisa yang keliru (http://makalahmahasiswamuslimterbaru.blogspot.com/2012/01/makalah-tentang-fenomenologi-edmund.html) Meditations Cartesiennes, 1931 (Renungan-renungan Kartesian). Dalam buku ini dibahas beberapa permenungan Kartesian, di mana semakin lama semakin penting. “Aku bertolak dari kesadaranku untuk menemukan kesadaran transedental (prinsip dasar dari pemahaman murni yang melampaui atau mengatasi batas-batas pengalaman) di dalamnya, tetapi bagaimana caranya menemukan pihak lain dalam kesadaran? Apakah dengan demikian mau tidak mau aku akan terperosok di dalam solipisme (percaya akan diri sendiri), sehingga yang ada hanyalah kesadaranku sendiri? Bagaimana aku dapat mengetahui adanya dunia intersubjektif (http://makalahmahasiswamuslimterbaru.blogspot.com/2012/01/makalah-tentang-fenomenologi-edmund.html) Subjek filsfat adalah seseroang yang berfikir/ memikirkan hakekat sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal (Muslih, 2005 : 35). Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis. Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu. Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati. Sumbangan fenomenologi terhadap ilmu masa kini Husserl memunculkan beberapa poin penting. Namun, yang nantinya menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi fenomenologi agama adalah: epoché dan eidetic vision. Epoché merujuk kepada makna “menunda semua penilaian”, atau ia sama dengan makna “pengurungan” (bracketing) (ex. seorang yang meludahi Nabi Muhammad ketika beliau pulang solat dari mesjid. kita menganggap bahwa orang tersebut jahat, tapi kita lihat ke sisi yang lain, bahwa orang tersebut taat kepada ajarannya bahwa ajarannya menganngap bahwa Nabi adalah seorang musuh). Ini berarti ketiadaan praduga-praduga yang akan mempengaruhi pemahaman yang diambil dari sesuatu. Dengan kata lain, membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan seseorang kepada penyelidikannya dilihat sebagai sebuah pengaruh yang merusak terhadap hasil-hasilnya. Eidetic vision berhubungan dengan kemampuan untuk melihat apa yang sebenarnya ada di sana. Ia mengharuskan tindakan epoché, memperkenalkan kapasitas untuk melihat secara objektif esensi sebuah fenomena, namun juga mengarahkan isu tentang subjektifitas persepsi dan refleksi. Ia juga menganggap benar kapasitas untuk  memperoleh pemahaman intuitif tentang suatu fenomena yang bisa dibela sebagai pengetahuan yang “objektif”. Banyak sekali sumbangsi fenomenologi terhadap kemajuan ilmu saat ini, salah satunya yaitu terhadap gejala sosial atau ilmu sosial. Dalam peta tradisi teori ilmu sosial terdapat beberapa pendekatan yang menjadi landasan pemahaman terhadap gejala sosial yang terdapat dalam masyarakat. Salah satu dari pendekatan yang terdapat dalam ilmu sosial itu dalah fenomenologi. Fenomenologi secara umum dikenal sebagai pendekatan yang dipergunakan untuk membantu memahami berbagai gejala atau fenomena sosial dalam masyarakat. Peranan fenomenologi menjadi lebih penting ketika di tempat secara praxis sebagai jiwa dari metode penelitian sosial dalam pengamatan terhadap pola perilaku seseorang sebagai aktor sosial dalam masyarakat. Namun demikian implikasi secara teknis dan praxis dalam melakukan pengamatan aktor bukanlah esensi utama dari kajian fenomenologi sebagai perspektif. Fenomenologi Schutz sebenarnya lebih merupakan tawaran akan cara pandang baru terhadap fokus kajian penelitian dan penggalian terhadap makna yang terbangun dari realitas kehidupan sehari-hari yang terdapat di dalam penelitian secara khusus dan dalam kerangka luas pengembangan ilmu sosial. Dengan demikian, fenomenologi secara kritis dapat diinterpretasikan secara luas sebagai sebuah gerakan filsafat secara umum memberikan pengaruh emansipatoris (ranah pemikiran pembebasan (emansipatoris) ) secara implikatif kepada metode penelitian sosial. Pengaruh tersebut di antaranya menempatkan responden sebagai subyek yang menjadi aktor sosial dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya pemahaman secara mendalam tentang pengaruh perkembangan fenomenologi itu sendiri terhadap perkembangan ilmu sosial belum banyak dikaji oleh kalangan ilmuwan sosial. Pengkajian yang dimaksud adalah pengkajian secara historis sebagai salah satu pendekatan dalam ilmu sosial. Salah satu ilmuwan sosial yang berkompeten dalam memberikan perhatian pada perkembangan fenomenologi adalah Alfred Schutz. Ia mengkaitkan pendekatan fenomenologi dengan ilmu sosial. Selain Schutz, sebenarnya ilmuwan sosial yang memberikan perhatian terhadap perkembangan fenomenologi cukup banyak, tetapi Schutz adalah salah seorang perintis pendekatan fenomenologi sebagai alat analisa dalam menangkap segala gejala yang terjadi di dunia ini. Selain itu Schutz menyusun pendekatan fenomenologi secara lebih sistematis, komprehensif, dan praktis sebagai sebuah pendekatan yang berguna untuk menangkap berbagai gejala (fenomena) dalam dunia sosial. Dengan kata lain, buah pemikiran Schutz merupakan sebuah jembatan konseptual antara pemikiran fenomenologi pendahulunya yang bernuansakan filsafat sosial dan psikologi dengan ilmu sosial yang berkaitan langsung dengan manusia pada tingkat kolektif, yaitu masyarakat. Posisi pemikiran Alfred Schutz yang berada di tengah-tengah pemikiran fenomenologi murni dengan ilmu sosial menyebabkan buah pemikirannya mengandung konsep dari kedua belah pihak. Pihak pertama, fenomenologi murni yang mengandung konsep pemikiran filsafat sosial yang bernuansakan pemikiran metafisik dan transendental pada satu sisi. Di sisi lain, pemikiran ilmu sosial yang berkaitan erat dengan berbagai macam bentuk interaksi dalam masyarakat yang tersebar sebagai gejala-gejala dalam dunia sosial. Gejala-gejala dalam dunia sosial tersebut tidak lain merupakan obyek kajian formal (focus of interest) dari fenomenologi sosiologi. Dalam khasanah metodologi ilmu sosial, fenomenologi merupakan salah satu bentuk inovasi karena mampu meninggalkan syarat dalam sebuah penelitian yang termanifestasi dengan menggunakan sebuah hipotesa dalam kerangka penyusunan. Pendekatan model ini sedikit banyak terpengaruh oleh aliran positivistik. Pemikiran kritis yang selanjutnya muncul adalah bagaimana perkembangan fenomenologi sebagai sebuah pendekatan dalam ilmu sosial mensejajarkan posisinya. Dengan kata lain, pemikiran kritis dari tinjauan historis hermeneutis yang akan ditinjau dari tulisan singkat ini sedikit banyak juga akan membicarakan perjalanan fenomenologi sebagai sebuah pendekatan untuk secara akademis memperjuangkan kepentingan emansipatorisnya. Implikasi dari wujud perjuangan emansipatoris tersebut termanifestasi dalam inovasi pemikiran Edmund Husserl tentang fenomenologi. Pemikirannya meletakkan tradisi berpikir fenomenologi yang bersifat transendental. Pemikiran transendental ini dibangun berdasarkan konstruksi berpikir yang terpengaruh logika positivistik seperti aritmatika dan geometri. Alasan penggunaan logika berpikir fisik positivistik bagi Husserl hanya dijadikan jalan menuju ke pemikiran metafisik transendental. Tradisi pemikiran ini akhirnya diteruskan oleh Martin Heidegger dan Max Scheler yang juga akan dipaparkan pada bagian selanjutnya sebagai bahan yang memperkaya perspektif pemikiran fisafat fenomenologi. Pemikiran-pemikiran fenomenologi Schutz terutama banyak dilandasi oleh pemikiran Husserl. Dasar pemikiran Husserl dari fenomenologi yang menggunakan unsur metafisik fundamental merupakan kekuatan legitimasi sebagai landasan berpikir dari penerus metodologi ini (Tevenaz, 1962:38). POSTMODERNISME Pengertian Istilah postmodernist, pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada tahun 1939 lewat bukunya yang terkenal berjudul Study of History. Toynbee yakin benar bahwa sebuah era sejarah baru telah dimulai. Sampai saat ini belum ada kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut berhasil menarik perhatian banyak orang di Barat. Pada tahun 1960, untuk pertama kalinya istilah itu berhasil diekspor ke benua Eropa sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut (Septian, http://septian.wordpress.com/2007/10/06/apa-itu-meta-narrative/). Secara etimologis post modern terdiri dari dua kata yaitu “post” dan modern. Kata post yang berarti “later or after” dan modern. Selain itu, menurut kubu postmodernisme lainnya “post” berarti melampaui kematian modernism (Muzairi, 2009:148). Sedangkan secara terminologis postmodern merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalanya memenuhi janji-janjinya. Postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas, yaitu akumulasi pengalaman peradaban Barat. Postmodernisme merupakan aliran pemikiran yang menjadi paradigma baru sebagai antithesis dari modernisme yang dianggap gagal dan tidal lagi relevan dengan perkembangan zaman. (Maya Syifa dalam Aceng dkk, 2011: 104). Dari bebrapa pengertian di atas dapat pula diartikan bahwa posmodernisme merupakan suatu paham yang mengkritisi dan melampaui nilai-nilai dan pandangan yang diusung oleh zaman sebelumnya terkhusus pada modernisme yang dinilai gagal dan sebagai bentuk reaksi pemberontakan dan kritik atas janji modernisme. Latar Belakang Lahirnya Postmodernisme Pada tahun 1970-an Jean Francois Lyotard lewat karyanya The Postmodern Condition: A Report and Knowlage menolak ide dasar filsafat modern. Menurut Lyotard, aliran modernism dianggap bergantung dan terpaku pada grand narrative (cerita-cerita besar) dari kemapanan filsafat yang hanya mengandalkan akal. Lyotard menolak keras bentuk metanarasi, dan tidak percaya adanya kebenaran tunggal yang universal, sebab menurutnya kebenaran adalah kebenaran (Aceng dkk, 2011: 94). “The Grand Narrative” yang dianggap sebagai dongeng hayalan hasil karya masa Modernitas. Ketidakjelasan definisi sebagai mana yang telah disinggung menjadi penyebab munculnya kekacauan dalam memahami konsep tersebut. Tentu, kesalahan berkonsep akan berdampak besar dalam menentukan kebenaran berpikir dan menjadi ambigu. Sedang kekacauan akibat konsep berpikir akibat ketidakjelasan akan membingungkan pelaku dalam pengaplikasian konsep tersebut. Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak pernah tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang berkembang antara abad kelima belas sampai dengan delapan belas –dan mencapai puncaknya pada abad sembilan belas dan dua puluh awal— memiliki cita-cita yang tersimpul dalam lima kata, yaitu: reason, nature, happiness, progress dan liberty. Semangat ini harus diakui telah menghasilkan kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan dalam waktu yang relatif singkat. Nampaknya, mimpi untuk memiliki dunia yang lebih baik dengan modal pengetahuan berhasil terwujud. Namun, tidak lama, sampai kemudian ditemukan juga begitu banyak dampak negatif dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi mutakhir ternyata sangat membahayakan dalam peperangan dan efek samping kimiawi justru merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi orang-orang modernis ini tidaklah berjalan sesuai harapan (Surya, http://suyadian.wordpress.com/2010/17/06/mengenal-postmodern/). Rasionalitas modern gagal menjawab kebutuhan manusia secara utuh. Ilmu pengetahuan terbukti tidak dapat menyelesaikan semua masalah manusia. Teknologi juga tidak memberikan waktu senggang bagi manusia untuk beristirahat dan menikmati hidup. Di masa lampau, ketika hanya ada alat-alat tradisional yang kurang efektif, semua orang mengharapkan teknologi canggih akan memperingan tugas manusia sehingga seseorang dapat menikmati waktu senggang. Saat ini, teknologi telah berhasil menciptakan alat-alat yang memudahkan kerja manusia. Seharusnya, semua orang lebih senggang dibanding dulu, tetapi kenyataannya, justru semua orang lebih sibuk dibanding dulu. Teknolog instan yang ada saat ini justru menuntut pribadi-pribadi untuk lebih bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari efektifitas yang diciptakan. Ironis. Berangkat dari perbedaan mimpi dan kenyataan modernism inilah postmodern muncul dan berkembang. Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, dan sosiologi. Postmodern akhirnya menjadi kritik kebudayaan atas modernitas. Apa yang dibanggakan oleh pikiran modern, sekarang dikutuk, dan apa yang dahulu dipandang rendah, sekarang justru dihargai. . Tokoh Dan Ajaran Filsafat Postmodernisme Jean Francois Lyotard (1924-1998) Jean Francois Lyotard lahir pada tahun 1924 di Versailles di sebuah kota kecil di Paris bagian selatan. Setelah berakhir Perang Dunia ke II, ia belajar filsafat di Sorbonne dan mendapat gelar agre’gation de philosophie tahun 1950. Dari tahun 1950-1960 ia dikenal sebagai seorang aktivis yang beraliran Marxis, akan tetapi sejak tahun 1980-an ia dikenal sebagai pemikir posmodernisme non-Marxis yang terkemuka. Pada awal tahun 1970 Lyotard mulai mengajar di Universitas Paris VIII, Vincennes sampai 1987 ketika ia memasuki masa pensiun sebagai Professor atau Emeritus. Lyotard berulang-kali menegaskan tentang pemikiran Postmodern di dalam eseiesei yang terkumpul dalam bahasa Inggris sebagai The Postmodern Explained to Children, Toward the Postmodern, dan Postmodern Fables. Pada Tahun 1998, selagi bersiap-siap menghadapi suatu konferensi conference on Postmodernism and Media Theory, ia meninggal dengan tak diduga-duga karena leukemia yang telah mengendap dengan cepat. Ia dikuburkan di Le Père Lachaise Cemetery di Paris (Fahmi, http://sosok.kompasiana.com/2013/02/02/jean-francois-lyotard-530713.html). Jean Francois Lyotard merupakan pemikir postmodern yang penting karena ia memberikan pendasaran filosofis pada gerakan postmodern. Penolakannnya terhadap konsep Narasi Besar serta pemikirannya yang mengemukakan konsep perbedaan dan language game sebagai alternatif terhadap kesatuan (unity). Adapun ajaran Jean Francois Lyotard : Penolakan Grand- Naratives Meta-narrative berasal dari dua kata: meta- dan narrative. Meta- disini berarti transcending, encompassing, overarching. Dan narrative secara sederhana berarti cerita atau kisah. Kalau digabung, meta-narrative berarti sebuah kisah yang melingkupi semuanya (the overarching story). Atau, dalam pengkalimatan yang lebih baik, meta-narrative adalah sebuah ide yang menjelaskan secara ringkas suatu pengalaman, sejarah, atau kisah tertentu.. Karena itulah, meta-narrative dapat disebut pula master narrative atau grand narrative (Septian, http://septian.wordpress.com/2007/10/06/apa-itu-meta-narrative/ ). Bagi Lyotard penolakan posmodern terhadap narasi agung sebagai salah satu ciri utama dari postmodern, dan menjadi dasar baginya untuk melepaskan diri dari Grand- Narative (Narasi Agung, Narasi besar, Meta Narasi). Grand- Naratives (Meta-narasi) adalah teori-teori atau konstruksi dunia yang mencakup segala hal dan menetapkan kriteria kebenaran dan objektifias ilmu pengetahuan. Dengan konsekuensi bahwa narasi-narasi lain diluar narasi besar dianggap sebagai narasi nonilmiyah. Sebagaimana di jelaskan sebelumnya bahwa sains modern berkembang sebagai pemenuhan keinginan untuk keluar dari penjalasan pra ilmiah seperti kepercayaan dan mitos-mitos yang dipakai masyarakat primitif. Grand Narrative “narasi besar” seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum proletar dan sebagainya. Menurut Lyotard, narasi-narasi besar ini telah mengalami nasib yang sama dengan narasi-narasi besar sebelumnya seperti religi, negara-kebangsaan, kepercayaan tentang keunggulan Barat dan sebagainya, yaitu mereka pun kini menjadi sulit untuk dipercaya. (Fahmi, http://sosok.kompasiana.com/2013/02/02/jean-francois-lyotard-530713.html) Namun dalam pandangan kaum postmodernis termasuk Lyotard bahwa sains ternyata tidak mampu menghilangkan mitos-mitos dari wilayah ilmu pengetahuan. Sejak tahun 1700-an (abad pencerahan) dua narasi besar telah muncul untuk melegitimasi ilmu pengetahuan, yaitu : kepercayaan bahwa ilmu pengetahuan dapat membawa umat manusia pada kemajuan (progress). Namun era modern telah membuktikan banyak hal yang tidak rasional dan bertentangan dengan narasi besar itu seperti Perang Dunia ke- II, pembunuhan sekitar 6 (enam) juta yahudi oleh Nazi Jerman, hal ini menurut Lyotard merupakan bukti dari kegagalan proyek modernitas (Ummy, http://www.tokohposmodernisme.com/html/). Dalam bukunya “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge.” Lyotar diminta untuk menjelaskan dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi informasi terhadap ilmu pengetahuan pada akhir abad ke-20 tersebut. Ia mengatakan bahwa telah terjadi perkembangan dan perubahan yang luar biasa pada pengetahuan, sains dan pendidikan pada masyarakat informasi. Perkembangan dan perubahan tersebut telah menggiring masyarakat tersebut pada suatu kondisi yang dia sebut sebagai postmodern. Selama empat puluh tahun terakhir ilmu dan teknologi yang terdepan menjadi semakin terkait erat dengan bahasa, teori-teori linguistik, masalah komunikasi dan sibernetik, komputer dan bahasanya, persoalan penerjemahan, penyimpanan informasi, dan bank data. Transformasi teknologi berpengaruh besar pada pengetahuan. Miniaturisasi dan komersialisasi mesin telah merubah cara memperoleh, klasifikasi, penciptaan, dan ekspoitasi pengetahuan. Dan Lyotard percaya bahwa sifat pengetahuan tidak mungkin tidak berubah di tengah konteks transformasi besar ini. Status pengetahuan akan berubah ketika masyarakat mulai memasuki apa yang disebut zaman postmodern. Pada tahap lebih lanjut, pengetahuan tidak lagi menjadi tujuan dalam dirinya sendiri namun pengetahuan hanya ada dan hanya akan diciptakan untuk dijual (Akhyar, http://en.wikipedia.org/wiki/Jean-François_Lyotard). Language games Lyotard membatasi ilmu pengetahuan sebagai permainan bahasa dan mengungkapkan konsep Language games yang mengacu pada keanekaragaman penggunaaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, dimana masing-masing bahasa menggunakan aturannya sendiri-sendiri. Lyotard mengembangkan konsep perbedaan difference. Sesuai dengan konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, ada banyak genres de discours (wacana maka postmodern menghargai adanya perbedaan, membuka suara bagi yang lain (the other), penghargaan pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah sejarah, seni, politik, dan masyarakat. Penelitian yang bersifat lokal, etnik, menghasilkan deskripsi atau narasi khas dengan rezim frase dan genre diskursus masing-masing. Antifundasionalisme Antifundasionalisme dalam teori sosial budaya dan filsafat menegaskan bahwa metanarasi (metode, humanisme, sosialisme, universalisme) yang dijadikan fundasi dalam modernitas barat dan hak-hak istimemewanya adalah cacat. Karena itu kita harus mencoba menghasilkan model pengetahuan yang lebih sensitif terhadap berbagai bentu perbedaan. Hal ini dimungkinkan ketika para intektual menggantikan peran mereka sebagai legislator kepercayaan kepercayaan menjadi seorang interpreter. Karena itu Postmodernis lebih menerima metode interpretasi (hermeneutika) dari pada pendekatan logika/metode linear yang dominan pada era moder Berikut ini kara-karya dari Jean Francois Lyotard: The Postmodern Condotion: A Report On Knowledge, The Differend: Phrase in Dispute, The Inhuman: Reflections on Time, The Postmodern Explained to Children: Correpondence 1982-1985(http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism). Secara ringkas Pemahaman pemikiran postmodernis menurut Jean Francois Lyotard menjadi penting untuk memahami berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya yang tak lagi memadai untuk dianalisis hanya berdasarkan paradigma ilmiah modern yang lebih menekankan kesatuan, homogenitas, pobjektivitas, dan universalitas. Sementara ilmu pengetahuan dalam pandangan postmodernis lebih menekankan pluralitas, perbedaan, heterogenitas, budaya local/etnis, dan pengalaman hidup sehari-hari. Jacques Derrida (1930-2004 Derrida yang mempunyai nama lengkap Jacques Derrida ini adalah seorang keturunan Yahudi. Ia lahir di El-Biar, salah satu wilayah Aljazair yang agak terpencil, pada 15 Juli 1930. Setelah meraih gelar kesarjanaannya yang pertama, Derrida resmi mengajar di Husserl Archive. Pada 1960, dia diminta untuk mengajar filsafat di Universitas Sorbonne. Tahun 1967, Derrida mulai dikenal sebagai tokoh penting dalam pemikiran Prancis melalui dua karyanya, yakni: Pertama, La Voix et le Phenomene, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Speech and Phenomena (1973) oleh David Allison. Karya ini ditujukan untuk menganalisis gagasan Husserl tentang tanda. Kedua, De la Gramatologie, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Of Gramatology (1976) oleh Gayatri Spivak. Masih pada tahun yang sama, dia juga menerbit an L’ecriture et la Difference yang kemudian diterjemahkan menjadi Writing And Difference (http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi). Derrida seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi sebagai pendiri ilmu dekonstruktivisme. Istilah dekonstruksi sama sekali tidak menghancurkan metafisika lama. Ia justru berniat untuk menggali dan menghimpun konsep-konsep, metaphor-metafor atau makna laten (tersembunyi) di dalam keseluruhan narasi metafisika sehingga menjadi makna-makna penting dan sentral di dalam narasi tersebut. Dekonstruksi Dalam modernisme rasio dipandang sebagai kekuatan tunggal dan menentukan, baik dalam mengatur arah dan gerak sejarah, mengontrol kekuatan social ekonomi dan bahasa, maupun dalam berbagai aktivitas manusia lainnya. Sejarah atau peradaban tidak selalu ditentukan oleh rasio tetapi juga ada kuasa diluar control rasio. Hal tersebut terbukti dengan mengangkat ke permukaan peranan manusia-manusia marginal, manusia pinggiran atau manusia “irrasional” dalam lingkungan manusia yang “rasional”. Dekonstruksi merupakan sebuah gebrakan untuk menentang teori strukturalis dalam sastra yang mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai struktur yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapat dibaca dan dimengerti secara universal. Dekonstruksi, dalam hal ini, menganggap bahwa tidaklah benar demikian. Makna tidaklah terdapat dalam teks, tetapi pemaknaan muncul dari masing-masing pribadi yang membaca teks. Secara tidak langsung, hal ini seakan menyatakan bahwa seorang penulis tidak dapat menuntut haknya atas pemaknaan teks yang ditulisnya, semua orang boleh membaca teks tersebut dan memaknainya sesuai dengan penafsiran masing-masing (http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi). Difference Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih tua” ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri (presence-to- self), yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran. Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya persis sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata differer-differance-difference yang bisa berarti “berbeda” sekaligus “menangguhkan/menunda. Kata-kata ini berasal dari kata, tidak hanya dengan mendengar ujaran (karena pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak keistimewaan kata ini, hal inilah yang diyakini Derrida membuktikan bahwa tulisan lebih unggul ketimbang ujaran (http://profil.merdeka.com/mancanegara/j/jacques-derrida/). Proses differance ini menolak adanya petanda absolut atau “makna absolute,” makna transendental, dan makna universal, yang diklaim ada oleh pemikiran modern pada umumnya. Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing), di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran” ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan begitu seterusnya. Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang “ada di depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata adalah ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus ditunda atau ditangguhkan (deferred) sembari kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian. Selain itu, Derrida mengkritik adanya oposisi biner (Binary Opposition) yang selalu memberikan dikotomisasi dalam segala hal. Adanya dikotomi baik/buruk, makna/bentuk, jiwa/badan, transendental/imanen, maskulin/feminin, benar/salah, lisan/tulisan, dan sebagainya. Dikotomisasi seperti ini pada akhirnya akan memunculkan hirarki, yang menjadikan satu diatas dari yang lain. Misalnya, maskulin lebih baik dari feminim, lisan lebih baik dari tulisan, dan sebagainya. Oleh karena itu menurut Derrida, yang harus dilakukan adalah pembalikan (inverse). Maksudnya, segala sesuatu dalam dekonstruksi harus dianggap satu. Tidak ada lagi oposis biner yang memisah-misahkan. Fenomena faktual Posmodernisme Melihat dan menelaah situasi dunia saat ini, masalah postmoderrnisme juga kerap muncul. Modernisme dengan konsep universalismenya menghendaaki semua negara menerapkan sistem demokrasi ala Amerika yang konon katanya paling demokratis dan menjunjung tinggi HAM. Untuk dapat menjunjung tinggi HAM seperti Amerika Serikat, maka sistem demokrasi harus dianut terlebih dahulu. Jadi, Negara manapun yang ingin menghargai Hak Azasi warganya harus menerapkan sistem demokrasi ala Amerika Serikat. Sebab Amerika Serikat dianggap sebagai Negara terdepan pengimplementasi demokrasi. Hal tersebut kemudian lebih ditekankan lagi dalam peraturan lembaga internasional (United Nation). Semua Negara yang menjadi anggota United nation diwajibkan untuk menjunjung tinggi HAM. Tidak ada masalah jika Negara anggota United Nation diwajibkan menjunjung tinggi HAM. Yang menjadi masalah adalah ketika demokrasi dianggap satu-satunya jalan untuk menjunjung tinggi HAM. Secara tidak langsung, mereka telah menafikan sistem lain seperti Kerajaan Khilafah dan sistem politik lokal. Oleh karena demokrasi merupakan satu-satunya jalan, maka Negara yang ingin menjunjung tinggi HAM harus pula menganut sistem demokrasi. Barang siapa (negara) yang tidak mau menjunjung tinggi HAM (menganut demokrasi), maka akan dikenai sanksi oleh lembaga tertinggi dunia tersebut. Sanksi dapat beraneka ragam, mulai dari embargo sampai penjajahan yang berkedok penyelamatan umat manusia. Para postmodernis melihat proyek pendemokrasian tersebut sebagai akibat dari modernisme. Sebab dalam modernism terdapat satu ciri penting, yaitu universalisme dalam segala bidang. Selain universalisme, ada juga karakter penting dari modernism yaitu Oposisi Biner (jika A benar, maka B pasti salah). Modernism beranggapan bahwa demokrasi Amerika Serikat sudah benar, maka sesuai dengan prinsip oposisi biner, semua sistem diluar itu adalah salah. Postmodernisme lahir untuk mengkritik semua ambisi dan proyek mahabesar modernism tersebut. Universalisme yang ditawarkan oleh modernism tidak mungkin bisa tercapai, sebab dunia ini dipenuhi oleh perbedaan dan keanekaragaman baik dalam hal ekonomi, sosial, politik  dan terlebih lagi budaya. Merupakan sebuah kemustahilan jika kita ingin membuat semua Negara yang penuh dengan warna dan perbedaan tersebut hidup dengan satu cara yang sama. Selain hal tersebut diatas, satu karakter penting modernism yang dikritik oleh postmodernisme adalah Oposisi biner. Tidak ada yang salah dan benar dalam dunia ini. Akan tetapi semuanya memiliki kebenaran masing-masing. Contoh yang paling sering diangkat oleh para postmodernis adalah masalah budaya dan agama. Semua budaya yang terdapat dimuka bumi ini memiliki cerita dan makna masing-masing. Demikian juga halnya dengan agama, semua punya kebenaran tersendiri. Tidak ada agama yang salah dan agama yang benar, namun semua agama memiliki dan membawa kebenarannya. Demikian jugalah pula dengan sistem politik yang akan dianut oleh setiap Negara. Demokrasi yang dianut oleh Amerika serikat mempunyai kebenaran, tetapi sistem kerajaan yang dianut oleh Inggris juga mempunyai kebenarannya sendiri. Begitu juga dengan sistem politik di Negara atau daerah lain (politik local/identitas misalnya) mempunyai kebenaran tersendiri lagi. Untuk mengatasi semua perbedaan dan banyaknya kebenaran yang ada tersebut. Maka postmodernisme menawarkan satu prinsip baru, yaitu Paralogi. Bahwa semua bias hidup dalam keberagaman, yang dibingkai dalam prinsip Multikulturalisme. Atau jika kita melihat Negara Indonesia misalnya, ada istilah Bhineka Tungggal Ika (http://librarianship-umir.blogspot.com/2010/08/pendekatan-postmodernisme.html# uds-search-results). Sumbangsih Filsafat Postmodernisme Postmodern Dalam Bidang Agama Sumbangsih postmodernisme bagi agama, yakni paradigma berpikir dan cara beragama yang baru, manusia mempunyai hubungan dengan realitas tertinggi yakni Allah. Sebab, modernisme melupakan sisi manusia yang lain yakni kesadaran akan kekuatan yang diluar dirinya. Identitas manusia, ditentukan oleh dimensi hubungannya dengan Tuhan dan hubungannya dengan sesama. Dalam hal ini agama dan sains bekerja sama dalam membangun dan membuat manusia sejahtera. Manusia seharusnya menghargai nilai-nilai kemanusiaan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi berdasakan kemanusiaan sehingga nyata damai dan sejahtera bagi kehidupan manusia, manusia membutuhkan kepastian dari agama dipegang orang sebab pertanyaan yang selalu diperhadapkan kepada manusia dari manakah hakikat asalanya dan kemana akan pergi. Kepastian yang dinyatakan melalui pernyataan-pernyataan kitab suci dan simbol-simbol memperkuat keyakinan orang akan apa yang dipegangnya untuk menyatakan kesejahteraan dan kedamaian bukan peperangan karena kebenaran, penekanan saat ini adalah bagaimana hidup berdampingan untuk menyatakan kerajaan Allah yakni kehidupan tanpa penindasan dan kekerasan. Lihatlah kepada Yesus manusia yang sempurna tanpa dosa, di mana Ia menjaga hubungan yang akrab dengan sesama dan Allah dan telah mengorbankan diri-Nya sebagai rasa solidaritas-Nya atas keadaan manusia melalui salib, hubungan manusia dan sesama pulih, serta hubungan manusia dengan Allah. Postmodern Dalam Bidang Ilmu pengetahuan Sumbangsih filsafat postmodernisme terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi di jelaskan oleh Toffler yang manggambarkan peradaban pasca-modern itu sebagai datangnya industri-industri baru yang didasarkan pada komputer, elektronik, informasi, bioteknologi. Ini memungkinkan pabrikasi yang fleksibel, pasar lokal, meluasnya pekerjaan paruh-waktu, dan de-masivisasi media, dan mengambarkan fusi baru antara produser dan konsumer dan terbentuknya apa yang disebut sebagai prosumer. Ini menggambarkan pergeseran pekerjaan ke rumah dan perubahan-perubahan dalam bidang politik dan sistem pemerintahan. Postmodern Dalam Bidang Seni Arsitektur modern tidak menghargai gaya masa lalu. Pakar seni seperti Clement Greenberg menyatakan bahwa seni modern juga menolak gaya-gaya seni sebelumnya. Kaum modern menemukan identitas dirinya dengan membuang segala sesuatu yang lain dari dirinya. Dengan cara ini, para seniman modern mengatakan bahwa hasil karya seni mereka bersifat "murni" (orisinal). Kecenderungan modern dalam bidang seni sama dengan bidang arsitektur, yaitu: "univalence". Sebaliknya seni postmodern berangkat dengan kesadaran adanya hubungan erat antara miliknya dan milik orang lain. Karena itulah, seni postmodern menganut keanekaragaman gaya atau "multivalence". Kalau modern menyukai "murni." maka postmodern menyukai "tidak murni." Pada dasarnya seni postmodern tidak eksklusif dan sempit tetapi berbauran (sintetis). Karya seni tersebut dengan bebas memasukkan berbagai macam kondisi, pengalaman, dan pengetahuan jauh melampaui obyek yang ada. Karya ini tidak melukiskan pengalaman tunggal dan utuh. Justru yang hendak dicapai adalah keadaan seperti sebuah ensiklopedia, yaitu: masuknya jutaan elemen, penafsiran, dan respons. Banyak seniman postmodern menggabungkan keanekaragaman dengan teknik pencampuradukan. Seperti kita ketahui, teknik yang mereka sukai adalah "collage". Kenyataanya, Jacques Derrida (dijuluki "Aristoteles tukang campur") menegaskan collage sebagai bentuk utama dari wacana postmodern. Perlahan namun pasti, "collage" menarik para pecinta seni ke dalam makna yang dihasilkan "collage" tersebut. Karena "collage" bersifat heterogen, maka makna yang dihasilkannya tidak mungkin tunggal dan stabil. "Collage" menarik para pecinta seni untuk selalu memperoleh makna baru melalui aneka ragam campuran di dalamnya. Postmodern Dalam Bidang Teater Teater adalah wujud penolakan postmodern terhadap modern yang paling jelas. Kaum modern melihat jelas sebuah karya seni sebagai karya yang tidak terikat waktu dan ide-ide yang tidak dibatasi waktu. Etos postmodern menyukai tragedi, dan tragedi selalu ada dalam setiap karya seni. Kaum postmodern melihat hidup ini seperti sebuah kumpulan cerita sandiwara yang terpotong-potong. Maka teater adalah sarana terbaik untuk menggambarkan tragedi dan pertunjukan. Teater postmodern menampilkan usulan-usulan para ahli di atas. Mereka membuat berbagai elemen dalam teater, seperti suara, cahaya, musik, bahasa, latar-belakang, dan gerakan saling berbenturan. Dengan demikian, teater postmodern sedang menggunakan teori tertentu yang disebut dengan estetika ketiadaan (berbeda dengan estetika kehadiran). Teori estetika ketiadaan menolak adanya konsep kebenaran yang mendasari dan mewarnai setiap penampilan. Yang ada dalam setia penampilan adalah kekosongan ("empty presence"). Seperti etos postmodern, makna sebuah penampilan hanya bersifat sementara, tergantung dari situasi dan konteksnya. Postmodern Dalam Bidang Tulisan-Tulisan Fiksi Seperti gaya postmodern umumnya, tulisan fiksi postmodern menggunakan teknik pencampuradukan. Beberapa penulis mengambil elemen-elemen tradisional dan mencampurkannya secara berantakan untuk menyampaikan suatu ironi mengenai topik-topik yang biasa dibahas. Bahkan beberapa penulis lainnnya mencampurkan kejadian nyata dan khayalan. Pencampuradukan ini terjadi bahkan kepada tokoh-tokoh fiksi tersebut. Beberapa penulis postmodern memusatkan perhatian kepada tokoh-tokoh khayalan dengan segala perilakunya. Pada saat yang sama, tokoh-tokoh khayalan itu adalah tokoh-tokoh yang nyata dalam sejarah manusia. Beberapa penulis postmodern mencampuradukkan yang nyata dan yang khayal dengan menyisipkan diri mereka ke dalam cerita itu. Bahkan mereka pun turut membicarakan berbagai masalah dan proses yang diceritakannya. Melalui ini, sang penulis mencampurkan yang nyata dan yang fiksi. Teknik ini menekankan hubungan yang erat antara penulis dan tulisan fiksinya. Teknik pencampuradukan ini digunakan untuk menunjukkan sikap anti- modernisme. Tujuan para penulis modern adalah memperoleh makna tunggal. Sebaliknya, kaum postmodern ingin mengetahui bagaimana kenyataan-kenyataan yang amat berbeda, dapat berjalan dan saling bercampur. Postmodernisme Dalam Bidang Pendidikan Pendidikan pada saat sekarang tidak lagi dipahami sebagai peneguhan proses transformasi pengetahuan (knowledge) yang hanya dikuasai oleh sekolah (pendidikan formal). Guru dengan demikian tidak lagi dipandang sebagai ‘dewa’ dengan segala kemampuannya untuk melakukan proses pencerdasan masyarakat. Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi terpusat pada guru. Ruang pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang sempit, yang bernama sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat, entah itu melalui pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luar sekolah. Postmodernisme yang mengusung tema pluralitas, heterogenitas serta deferensiasi adalah bukti betapa pendidikan harus disebarkan melalui kerja-kerja yang tidak harus dibebankan pada sekolah. Apalagi, realitas membuktikan betapa sekolah justru seringkali memainkan peran dogmatis dan dominannya dalam melakukan transfer of value (transformasi nilai) serta transfer of knowledge (transformasi pengetahuan). Selama ini, pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran seringkali diarahkan pada penguasaan pada bidang-bidang tersebut. Padahal dalam perspektif postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami degradasi, krisis moral, krisis sosial dan sebagainya, yang dimulai dari dominasi iptek dengan penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya telah mendatangkan persoalan yang cukup berat menimpa masyarakat modern. Dalam kondisi yang demikian postmodernisme tampil memberikan berbagai alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan. Postmodernisme Sebuah Fenomena Dalam Budaya Pop Keterbukaan kepada etos postmodern melalui budaya pop adalah ciri khas postmodern. Ciri khas lainnya adalah tidak mau menempatkan "seni klasik tinggi" di atas budaya "pop." Postmodern unik karena ia menjangkau bukan kelas elite tetapi kelas masyarakat biasa, masyarakat yang terbiasa dengan budaya pop dan media massa. Hasil karya postmodern juga bermakna ganda. Mereka berbicara dengan sebuah bahasa dan menggunakan elemen-elemen yang dapat diterima oleh orang-orang awam ataupun seniman dan arsitek handal. Dengan cara demikian, postmodernisme berhasil menyatukan dua alam yang berbeda, yaitu profesional dan populer. Pembuatan Film Sebagai Dasar Pijakan Budaya Postmodern Perkembangan teknologi membantu penyebaran postmodern ke dalam sisi- sisi penting dan budaya pop. Salah satu sisi terpenting adalah industri film. Teknologi pembuatan film sangat cocok dengan etos postmodern, yakni: film menggambarkan yang tidak ada menjadi seolah-olah ada. Sekilas lalu, film adalah sebuah cerita utuh yang ditampilkan oleh para aktor dan aktris. Kenyataannya, film adalah rekayasa teknologi dengan bantuan ahli-ahli spesialis dari berbagai bidang yang tidak jarang kelihatan dalam film. Adanya kesatuan dalam sebuah film sebenarnya adalah ilusi. Film berbeda dengan teater. Film tidak pernah berisi penampilan sekelompok aktor/aktris sekaligus secara utuh dan berkesinambungan. Apa yang penonton lihat "berkesinambungan" adalah semacam sisa dari berbagai adegan dalam proses pembuatan film itu sendiri, yang tidak saling berhubungan baik secara waktu maupun tempat. Alur cerita sebuah film hanyalah tipuan. Apa yang nampak "berhubungan" atau "berkesinambungan" sebenarnya hanyalah kumpulan adegan yang diambil pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Alur sebuah film yang kita lihat, ternyata tidak seperti demikian alurnya pada waktu film berada dalam proses pembuatan tersebut. Yang menyatukan adegan-adegan yang terpecah-pecah itu adalah seorang editor. Dialah yang menyambungkan adegan-adegan yang tidak ada hubungannya satu sama lain. Kemampuan seorang sutradara menggabungkan berbagai potongan menjadi sebuah film yang utuh, memungkinkannya untuk melenyapkan perbedaan antara kebenaran dan dongeng, kenyataan dan khayalan. Sutradara- sutradara postmodern menggunakan kesempatan ini untuk mewujudnyatakan etos postmodern. Televisi Dan Penyebaran Budaya Postmodern Televisi merupakan sarana yang lebih efisien untuk menyebarkan etos postmodern ke seluruh lapisan masyarakat. Karena inilah televisi telah menjadi kriteria untuk membedakan yang nyata dan tidak. Televisi mampu menayangkan fakta secara langsung dan mampu menyebutkan produksi-produksi film. Kemampuan ganda demikian membuat televisi memiliki kekuatan yang unik. Ia mampu mencampurkan "kebenaran" (apa yang orang banyak anggap sebagai kejadian nyata) dengan "fiksi" (apa yang orang banyak anggap sebagai khayalan yang tidak pernah terjadi dalam kenyataan). Televisi mencampuradukkan masa lalu dan masa kini, yang jauh dan yang dekat, segala sesuatunya di- bawa menjadi kini dan di sini, di hadapan pemirsa televisi. Dengan cara ini, televisi memperlihatkan dua ciri khas postmodern: menghapus batas antara masa lalu dan masa kini, dan menempatkan pemirsa dalam ketegangan terus-menerus. Keunggulan Dan Kekurangan Filsafat Postmodernisme Kelebihan Posmodernisme adalah: Pertama, Pengingkaran atas semua jenis ideology. Konsep berfilsafat dalam era postmodernisme adalah hasil penggabungan dari berbagai jenis fondasi pemikiran. Mereka tidak mau terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk fondasi pemikiran filsafat tertentu. Kedua, menggantikan peran cerita-cerita besar menuju cerita-cerita kecil, dimana aliran modernism dianggap bergantung dan terpaku pada grand narrative dari kemapanan filsafat yang hanya mengandalkan akal, dialektika roh, emansipasi subjek yang rasional, dan sebagainya. Ketiga, aliran ini tidak meniru sesuatu yang ada (pemikiran) tetapi menggunakan sesuatu yang sudah ada dengan gaya baru. Kelemahan Postmodernisme adalah : Pertama, postmodernisme tidak memiliki asas-asa yang jelas (universal dan permanen). Bagaimana mungkin akal sehat manusia dapat menerima sesuatu yang tidak jelas asas dan landasannya? Jika jawaban mereka positif, jelas sekali hal itu bertentangan dengan pernyataan mereka sendiri, sebagaimana postmodernisme selalu menekankan untuk mengingkari bahkan menentang hal-hal yang bersifat universal dan permanen. Kedua, adalah segala pemikiran yang hendak merevisi modernisme, tidak dengan menolak modernisme itu secara total, melainkan dengan memperbaharui premis-premis modern di sana-sini saja. Ini dimaksudkan lebih merupakan "kritik imanen" terhadap modernisme dalam rangka mengatasi berbagai konsekuensi negatifnya. Misalnya, mereka tidak menolak sains pada dirinya sendiri, melainkan hanya sains sebagai ideologi dan scientism saja di mana kebenaran ilmiahlah yang dianggap kebenaran yang paling sahih dan meyakinkan. Ketiga, pemikiran-pemikiran yang terkait erat pada dunia sastra dan banyak berurusan dengan persoalan linguistik. Kata kunci yang paling populer dan digemari oleh kelompok ini adalah "dekontruksi". BAB III PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa: Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis, epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John Dewey. Mereka berdualah yang paling bertanggung jawab terhadap generasi Amerika sekarang, karena di Amerika Serikat pragmatisme mendapat tempat tersendiri dengan melekatnya nama William James sebagai tokohnya, disamping John Dewey. Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Inti pemikiran aliran eksistensialisme adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka. Søren Aabye Kierkegaard dan Jean Paul Sartre dianggap filosof yang dapat mewakili aliran ini. Søren menggambarkan tentang eksistensialisme manusia dalam perkembangan religius. Sartre sendiri mengatakan manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya sendiri. Posmodernisme merupakan suatu paham yang mengkritisi dan melampaui nilai-nilai dan pandangan yang diusung oleh zaman sebelumnya terkhusus pada modernisme yang dinilai gagal dan sebagai bentuk reaksi pemberontakan dan kritik atas janji modernisme. Filsafat postmodern pertama kali muncul di Perancis pada sekitar tahun 1970-an, ketika Jean Francois Lyotard menulis pemikirannya tentang kondisi legitimasi era posmodern, dimana narasi-narasi besar dunia modem. Aliran posmodernisme berkembang pesat pada 1970an dengan beberapa tokoh yang gigih menolak aliran modernism, tokoh-tokoh tersebut antara lain Jeans Francois Lyotard, Friedrich Wilhelm Nietzsche sche, Jacques Derrida, Michel Foucalt dan lain sebagainya. Fenomenologi adalah suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan juga sebagai suatu pendirian atau aliran filafat. Akan tetapi dalam mazgab filsafat fenomenologi memiliki asumsi-asumsi sebagai dasarnya. Edmund Husserl (1859–1939) membawa fenomenologi berubah menjadi sebuah disiplin ilmu filsafat dan metodologi berfikir yang mengusung tema Epoche-Eiditic Vision danLebenswelt sebagai sarana untuk mengungkap fenomena dan menangkap hakikat yang berada dibaliknya. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Dalam pemahaman Edmund Husserl, fenomenologi adalah suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman yang didapat secara langsung seperti religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Ia juga menyarakan fokus utama filsafat hendaknya tertuju kepada penyelidikan susunan kesadaran itu sendiri, sehingga akan nampaklah objek kesadaran (fenomenon) tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Fenomenologi sebaiknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris. Dalam khasanah metodologi ilmu sosial, fenomenologi merupakan salah satu bentuk inovasi karena mampu meninggalkan syarat dalam sebuah penelitian yang termanifestasi dengan menggunakan sebuah hipotesa dalam kerangka penyusunan. Postmodernisme bersifat relative. Kebenaran adalah relative, kenyataan (realita) adalah relative, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai  implikasi bagaimana kita memandang diri dan mengkonstruk identitas diri. Hal ini senada dengan devisi dari Friedrich Wiliam Nietzsche (1844-1900) yang dikenal sebagai nabi dari postmodernisme. Dia mengatakan bahwa ”Ada banyak macam mata. Bahkan sphink juga mamiliki mata, dan oleh sebab itu ada banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran. Sumbangsih postmodernisme bagi agama, yakni paradigma berpikir dan cara beragama yang baru, dialog dan cara beragama yang baru melalui kemanusiaan titik pijak yang baru. Manusia mempunyai hubungan dengan realitas tertinggi yakni Allah. Sedangkan sumbangsih filsafat postmodernisme terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi di jelaskan oleh Toffler yang manggambarkan peradaban pasca-modern itu sebagai datangnya industri-industri baru yang didasarkan pada komputer, elektronik, informasi, bioteknologi. Ini memungkinkan pabrikasi yang fleksibel, pasar lokal, meluasnya pekerjaan paruh-waktu, dan de-masivisasi media, dan mengambarkan fusi baru antara produser dan konsumer dan terbentuknya apa yang disebut sebagai prosumer. Ini menggambarkan pergeseran pekerjaan ke rumah dan perubahan-perubahan dalam bidang politik dan sistem pemerintahan. DAFTAR PUSTAKA Aceng, dkk. 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarata: Prenada Meda Grup. Cahyani, Rina. 2011. Derrida; Biografi Dan Pemikiran. Http://profil.merdeka.com/mancanegara/j/jacques-derrida/. Diakses tanggal 27 Februari 2013 pukul 15:51 WIB Hadiwijoyo, Harun, 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Percetakan Kanisius, Yogyakarta. Hadiwijono, H.1995. Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius. Hamersma, Herry. 1983. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern.Jakarta: Gramedia Kattsoft, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. (terjemah). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Magnis Suseno, Franz., 2000. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius. Magnis Suseno, Franz., 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius. Muzairi. 2009. Filsafat Umum. Yogyakarta: Teras. Rodliyah, Ummi. 2011. Postmodernisme Dalam Pandangan Jean Francois Lyotard. http://www.tokohposmodernisme.com/html/.(diakses tanggal 27 Februari 2013 pukul 15:51 WIB) Septin. 2007. Metanarative. http://septian.wordpress.com/2007/10/06/apa-itu-meta-narrative/ Solihin. 2007. Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern. Bandung: Pusta Setia Sudarsono, Drs. 1993. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta. Surya.2010. Mengenal Postmodern.http://suyadian.wordpress.com/2010/17/06/mengenal-postmodern/). Syadali, Ahmad dkk. 1997. Filsafat Umum. Cet 1. Bandung: Cv .Pustaka Setia Tafsir, A.2001. Filsafat Umum. Bandung: Rosda. Thevenaz, Pierre.1962. What is Phenomenology? Chicago: Quadrangle Books Yanur, Fadli. 2008. Hakekat Pragmatisme. Tersedia pada (http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html. diakses pada tanggal 14-02-2013 Yanur, Fadli. 2008. Pandangan Pragmatisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan. Tersedia pada (http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html) 48