Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
Manusia merupakan subyek cinta. Manusia dan sesamanya adalah cinta yang saling mencintai. Cinta selalu tergerak untuk mencintai karena berasal dan menuju kepada kekekalan atau keabadian. Søren Aabye Kierkegaard menunjukkan bahwa jalan untuk menuju pada kekekalan hidup terletak pada cinta agape. Satu-satunya cara untuk memiliki cinta agape haruslah melalui lompatan-lompatan eksistensial dan penyangkalan diri sepanjang hayat.
Waktu kini berlalu ditepis sibuknya kehidupan. Kemarin kita beradu kata, hari ini kita saling tersenyum dan esok masih dalam balutan ketakpastian.
Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh. Kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur dan "gong" yang artinya gamelan. "Legong" dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan. Sebutan Legong Kraton adalah merupakan perkembangannya kemudian. Adakalanya tarian ini dibawakan oleh dua orang gadis atau lebih dengan menampilkan tokoh Condong sebagai pembukaan dimulainya tari Legong ini, tetapi ada kalanya pula tari Legong ini dibawakan satu atau dua pasang penari tanpa menampilkan tokoh Condong lebih dahulu. Ciri khas tari Legong ini adalah pemakaian kipas para penarinya kecuali Condong. Cerita tentang Tari Legong tercatat dalam Babad Dalem Sukawati yang disurat sekitar awal abad ke-19. Saat itu wilayah Sukawati, Gianyar, memang sudah masyur sebagai daerah yang memiliki penari-penari yang sangat handal. Menurut babad tersebut, suatu hari I Dewa Agung Made Karna yang dikenal memiliki kemampuan spiritual yang tinggi, melakukan pertapaan di Pura Yogan Agung di desa Ketewel, dekat Sukawati. Pada saat itu hadirlah dalam ciptanya beberapa sosok bidadari-bidadari melayang di angkasa. Para bidadari yang cantik jelita itu memperagakan tarian yang sangat menakjubkan. Mereka berbusana penuh warna. Kepala mereka bergelung tatahan emas penuh manikam yang cerlang-cemerlang. Begitulah, saat bangkit dari tapanya, sang raja memerintahkan penguasa desa Ketewel untuk mengumpulkan para seniman di sana dan meminta mereka membuat beberapa topeng sekaligus menciptakan tarian berdasarkan penglihatan (cipta) sang raja. Beberapa bulan kemudian, lahirlah sembilan topeng sebagai wujud sembilan bidadari dalam mitologi Hindu. Dua penari Sanghyang kemudian diperintahkan untuk menarikan topeng tersebut. Penari Sanghyang adalah penari-penari muda pilihan yang tidak hanya berbakat melenggokkan tubuh, melainkan juga memiliki kepekaan untuk trance, dan belum menstruasi. Tari topeng yang dipertunjukkan oleh kedua penari Sanghyang itu dinamakan dengan Sang Hyang Legong. Tarian ini –dengan topeng aslinya— hingga kini masih digelar di Pura Yogan Agung setiap upacara Piodalan yang diselenggarakan setiap 210 hari sekali di pura tersebut. Terinspirasi oleh Sanghyang Legong, tak berapa lama kemudian sebuah kelompok tari dari Blahbatuh yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Jelantik melahirkan sebuah tarian baru dalam gaya yang serupa. Bedanya, semua penarinya adalah laki-laki dan tidak mengenakan topeng. Tarian ini dinamakan dengan Nandir. Dalam sebuah acara, Raja Sukawati menyaksikan pertunjukan Nandir, dan amat terkesan. Beliau kemudian memerintahkan punggawanya untuk mengumpulkan para seniman di Sukawati untuk membuta tarian serupa untuk para gadis muda di istananya. Hasilnya adalah tarian Legong yang kita kenal sekarang. Rupanya, pesona para penari Legong jauh lebih memukau daripada penari Nandir. Maka lambat laun Nandir pun menghilang dan punah. Penari Nandir terakhir adalah I Wayan Rindi dari Denpasar telah meninggal pada tahun 1976. Pada pertengahan 1930-an hingga 1960-an beberapa tarian tunggal baru muncul. Tarian-tarian tersebut antara lain Panji Semirang dan Margapati. Karena kekurangan terminologi, tarian-tarian tersebut pun disebut Legong. Untuk membedakannya, legong yang asli diberi nama Legong Kraton.
Citra perempuan adalah semua wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian yang terekspresi oleh wanita Indonesia. Berbicara tentang perempuan merupakan hal yang cukup menarik. Tetapi dalam pandangan lain, perempuan seringkali dipandang sebagai orang kedua setelah laki-laki. Citra perempuan menjadi sebuah daya tarik sendiri untuk diceritakan dari banyak hal. Baik dari sifat kodratinya maupun perempuan sebagai manusia dengan hak-haknya.
Acta Medica Croatica, 2014
Anthropologie de l'islam-anthropologie dans l'islam, 2023
Anuario De Historia De La Iglesia, 31, 2022
Caricatura y sátira de la deshumanización. Inmigración china e insalubridad (Lima-Perú: 1900-1920), 2020
Journal of Macromarketing, 2017
Revista de la Federación Centroamericana de Obstetricia y Ginecología, 2023
Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 2009
International Journal of Modern Physics D, 2007
APA Studies. Philosophy and the Black Experience , 2023
Church History, 2008
Universidad Autónoma del Estado de Morelos eBooks, 2023