Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
JAWA 2.1. Pola Tektonik Regional Pulau Jawa Fisiografi Fisiografi Pulau Jawa telah diutarakan oleh Van Bemmelen. Pada Jawa Barat telah digambarkan terdiri atas empat zona, yang dimulai dari selatan ke utara, yaitu : Zona Pegunungan Selatan, Zona Bandung, Zona Bogor dan Dataran pantai Utara Gambar 1. Zona Fisiografi Daerah Jawa Barat (Van Bemmelen) Untuk Jawa-Tengah juga dapat dikenal adanya 4 zona fisiografi, masing-masing dari arah Selatan (Gambar 2) : Dataran pantai Selatan, Pegunungan Serayu Selatan, Pegunungan Serayu Utara, dan Dataran pantai Utara. Gambar 2. Zona Fisiografi Daerah Jawa Tengah Terdapat perbedaan yang cukup menonjol pada Dataran Pantai Selatan apabila dibandingkan dengan disebelah Barat dan Timurnya, dimana dikedua wilayah tersebut tidak terdapat suatu dataran yang luas dan lebar. Bagian Barat dari Pegunungan Serayu Selatan (Zona b), dicirikan oleh pola “antiklinorium” yang berarah Barat-Timur, dan berakhir di sebelah Timur pada singkapan batuan pra-Tersier terbesar di Jawa yang dikenal sebagai daerah “Luh-Ulo”. Pegunungan Progo yang berada di sebelah Timurnya, dapat dipisahkan sebagai kesatuan fisiografi tersendiri yang membujur Utara-Selatan memotong pola struktur umum Jawa-Tengah (Jawa), yang berarah Barat-Tmur. Pegunungan ini sekaligus merupakan punggungan pemisah antara 2 (dua) cekungan pengendapan yang berada di sebelah Barat dan Timurnya. Pegunungan Serayu Utara merupakan jalur tektonik yang terdiri dari endapan-endapan marin yang ditutupi oleh endapan gunung-api muda. Jalur Dataran Pantai Utaranya agak berbeda dengan di Jawa-Barat dan Jawa-Timur, dimana di Jawa-Tengah ini hanya mempunyai lebar beberapa puluh km saja. Di Jawa Timur dapat dikenali adanya 6 (enam) satuan fisiografi, masing-masing dari selatan ke utara adalah : Pegunungan Selatan, Jalur Solo, Jalur Kendeng, Depresi Randublatung, Jalur Rembang, dan Masif G.Muria. Pegunungan Selatan sendiri bukan merupakan suatu rangkaian pegunungan yang menerus, tetapi terpotong-potong oleh dataran-dataran rendah diantaranya, yang dibatasi oleh sesar-sesar yang berarah Timurlaut-Baratdaya dan Barat-Tenggara ( Gambar 3). Jalur Solo merupakan jalur gunung-api, sedangkan jalur Kendeng terdiri dari struktur “antiklinorium”dengan pola utama Barat-Timur dan umumnya terdiri dari sedimen-sedimen marin. Mempunyai panjang  250 km dengan lebar rata-rata 20 km serta menunjam kebawah dataran aluvial dan Selat Madura. Jalur Randublatung secara struktural merupakan sinklin dan kebanyakan tertutup oleh endapan aluvial dengan panjang hampir sama dengan Jalur Kendeng serta lebar atara 10 dan 200 km. Gambar 3. Penampang Utara-Selatan melalui G.Lawu Jawa Timur Jalur Rembang adalah suatu struktur “antiklinorium” dengan lebar  80 km, dan Masip Muria terdiri dari batuan hasil gunung-api yang mengandung mineral Leucit. Gunung-api Muria dan Lasem keduanya terletak diluar jalur umum gunung-api Kuarter Jawa, dan kedua gunung-api tersebut dihubungkan oleh dataran aluvial dengan daratan utama. 2.1.2 Tektonik Secara regional Unsur-unsur tektonik yang membentuk Pulau Jawa dapat diamati sebagai terdiri dari: Jalur subduksi purba berumur Kapur-Paleosen yang dapat diikuti mulai dari Jawa Barat Selatan ( Ciletuh ), Pegunungan Serayu (Jawa Tengah) dan Laut Jawa bagian Timur ke Kalimantan Tenggara. Jalur magmatik Kapur yang menempati lepas pantai Utara Jawa. Jalur subduksi purba berumur Tersier yang membentuk struktur positip (punggungan) bawah permukaan laut yang terletak di Selatan pulau Jawa. Jalur ini merupakan kelanjutan dari deretan pulau-pulau yang berada di sebelah barat P.Sumatra yang terdiri dari singkapan melange (P.Nias) yang berumur Miosen. Punggungan ini berimpit dengan nilai anomali gayaberat negatif. Bentuk ini merupakan satuan tektonik yang penting yang dikaitkan dengan terangkatnya masa yang ringan dibanding sekitarnya, sebagai akibat dari penyusupan Lempeng Australia kebawah Lempeng Mikro-sunda. Jalur magmatik Tersier yang menempati sepanjang pantai selatan P.Jawa. Jalur magmatik ini tersingkap dengan baik di Jawa Timur Selatan, berupa endapan - endapan volkaniklastik, lava dan di beberapa lokasi juga nampak jenjang-jenjang volkanik (daerah Pacitan-Ponorogo-Tegalombo). Endapan cebakan tembaga di wilayah ini, juga dikaitkan dengan kegiatan volkanisma Tersier tersebut. Di Jawa Barat Selatan, juga dapat diamati. Gambar 4. Pulau jawa Secara garis besar, jalur magma Tersier ini dapat dibagi menjadi 2 perioda kegiatan, yakni Jalur kegiatan magmatik yang berlangsung sepanjang Eosen Akhir-Miosen Awal, dan yang berlangsung pada Miosen Akhir-Pliosen. Produk kegiatan magmatik yang pertama yang menempati jalur paling Selatan P.Jawa ini, sebelumnya adalah yang dikelompokan sebagai Fm.Andesit Tua oleh van BEMMELEN (1949). Singkapan-singkapannya dapat diamati dengan baik di (1) Pacitan Jawa-Timur, (2) Bayat dan Parangtritis Jawa-Tengah, (3) Kulon Progo, Jawa-Tengah, (4) Karangsambung, Jawa-Tengah (5) Pangandaran, Jawa-Barat dan (6) Pelabuhan Ratu, Jawa-Barat. Palung atau parit laut (“”oceanic trench”) terletak di Selatan P.Jawa dan punggung bawah permukaan laut. Parit ini sekaligus merupakan batas lempeng antara Lempeng Australia di selatan dan Lempeng Mikro-Sunda di utara, dimana Lempeng Australia yang bergerak ke utara dengan kecepatan 6.5 Cm\th, menunjam dan menyusup kebawah Lempeng Mikro-Sunda dan membentuk jalur Benioff dengan pusat-pusat gempa di selatan P.Jawa. Jalur magma atau volkanik Kuarter yang membentang sepanjang pulau dan meliputi hampir seluruh pulau. Cekungan depan busur. Menempati rumpang antara punggung bawah laut dengan busur vulkanik. Cekungan antar-busur (ïntra-arc-basin). Merupakan bentuk-bentuk amblesan yang menempati bagian puncak daripada busur vulkanik, arahnya sejajar dengan busur dan umumnya diisi oleh material asal gunung-api dan sedimen darat, transisi dan sedikit marin. Cekungan belakang busur; menempati pantai utara P.Jawa. Di kawasan lepas pantai utara Jawa (Laut Jawa Utara), pola tektoniknya dicirikan oleh bentuk-bentuk tinggian dan depresi (cekungan), yang dilihat dari arah serta bentuknya dapat dibedakan antara wilayah cekungan Laut Jawa bagian Barat dan wilayah cekungan Laut Jawa bagian Timur Di wilayah Laut Jawa bagian Barat, bentuk daripada cekungannya umumnya membulat dan lebar (C.Arjuna, Sunda dan Biliton) dan dikontrol oleh sesar-sesar utama yang arahnya Utara-Selatan. Sedangkan di wilayah Laut Jawa Bagian Timur, terdapat bentuk-bentuk pembubungan (“arch”) yang berbentuk punggungan yang memanjang dengan arah Timurlaut-Baratdaya ( Kariminjawa arch, Bawean arch dan punggungan Pulau Laut ). Diantara pembubungan-2 tersebut terdapat cekungan-cekungan pengendapan yang juga bentuknya memanjang dan sempit, serta dikontrol oleh sesar-sesar yang arahnya Timurlaut-Baratdaya. Meskipun secara regional seluruh pulau mempunyai pola dan perkembangan tektonik yang sama, tetapi karena pengaruh daripada jejak-jejak tektonik yang lebih tua yang mengontrol pola struktur daripada batuan dasar, khususnya pada perkembangan tektonik yang lebih muda, maka akan timbul perbedaan-perbedaan yang spesifik antara pola dan perkembangan tekjtonik antara Jawa-Barat, Jawa-Tengah dan Jawa-Timur. 2.2. Tatanan Geologi dan Tektonik JAWA BARAT Van Bemmelen (1949) berdasarkan ciri-ciri fisiografi dari daerah Banten (bagian barat dari Jawa Barat) sangat mendekati atau mirip sekali dengan sifat-sifat fisiografis dari P.sumatra, apabila dibandingkan dengan wilayah Jawa-Barat yang berada di sebelah Timurnya (Priangan). Disamping adanya kemiripan dalam bentuk bentang-alamnya (morfologi), juga terdapat kesamaan dalam susunan produk gunung-apinya, antara lain banyaknya tufa yang bersusunan asam (dikenal sebagai tufa Banten), seperti juga yang dijumpai di Lampung (tufa Lampung). 2.2.1 Pola struktur Didasarkan kepada data gayaberat, seismik, foto udara, citra Landsat serta pengamatan lapangan ( singkapan ), pola struktur di Jawa Barat dapat dibedakan adanya 3 (tiga) pola sesar atau struktur, yaitu : Struktur yang berarah Baratlaut-Tenggara (atau arah Sumatra), Timur - Barat (atau arah Jawa) dan arah Utara-selatan yang sangat dominan di jumpai di bagian Utara P.Jawa dan kawasan Laut. Dari gambaran citra Landsat digabung dengan sebaran episentra gempa, ternyata ada satu pola lagi yang berarah Timurlaut-Baratdaya yang menonjol yang terletak di sudut Baratdaya pualu Jawa (Cimandiri\sukabumi). Karena korelasinya yang erat dengan sebaran daripada episentra gempa menengah dan dangkal, maka pola sesar ini dapat ditafsirkan sebagai masih aktif. Adapun pola yang berarah Baratlaut-Tenggara, hanya dapat direkam dari data gayaberat. Ini berarti bahwa letaknya sangat dalam dan mungkin hanya melibatkan batuan dasar. Pola sesar ini dapat ditafsirkan sebagai kelanjutan daripada jejak tektonik yang lebih tua yang terjadi di Sumatra. Pola sesar dengan arah Barat-Timur , umumnya berupa sesar-sesar naik kearah Utara, serta melibatkan sedimen-sedimen Tersier. Sedangkan yang berarah Utara-selatan yang terdapat di bagian utara P.Jawa, dari pengamatan data seismik terlihat bahwa kecuali memotong batuan dasar ( pra-Tersier ), ternyata juga mengontrol batuan sedimen berumur Tersier. Salah satu sesar yang berarah Utara-Selatan ini, adalah yang memisahkan segmen Banten dari Bogor dan Pegunungan Selatan. Kedudukannya sebagai unsur tektonik dinilai penting karena keberadaannya juga ternyata bukan saja memisahkan pola struktur yang berbeda, tetapi juga mengontrol pola pengendapan antara segmen Banten dengan sekitarnya. 2.2.2 Satuan-satuan Tektonik Batuan Tersier tertua yang tersingkap di Jawa-Barat adalah batuan berumur Eosen awal yang terdapat di Ciletuh (selatan Pelabuhan Ratu), yang berupa olistostrom. Satuan ini berhubungan secara tektonis dengan batuan ofiolit yang terbreksikan dan mengalami serpentinisasi pada jalur-jalur persentuhannya. Batuan ofilolit tersebut adalah bahagian dari jalur subduksi purba yang berupa melange yang berumur Kapur. Pengukuran-pengukuran terhadap struktur kelurusan dan sesar yang banyak memotong komplek ofiolit, semuanya menunjukkan arah umum Timurlaut-Baratdaya atau sesuai dengan arah yang dinamakan “arah Meratus”. Batuan berumur pra-Tersier lainnya di Jawa -Barat hanya dijumpai dari data pemboran minyak dalam di Utara yang terdiri dari batuan beku granitis, asosiasi batuan gunung-api (breksi volkanik, lava dan tufa) yang berkomposisi andesitan ( Fm Jatbarang), dan juga batuan malihan seperti batusabak, filit dan marmer. Hasil penarikan umur baik melalui fosil maupun radiometrik, memberikan umur Kapur (kecuali untuk batuan volkanik yang juga ternyata sampai umur Eosen). Sebaran daripada Fm.Jatibarang diduga lebih luas dari yang diperkirakan semula, yaitu sampai didaerah Cikotok, Bayah.Kumpulan batuan tersebut diatas dapat dihubungkan dengan jalur subduksi Kapur. 2.2.3 Jalur magma Tersier Satuan tektonik Tersier lainnya adalah jalur magma Tersier, dapat dibedakan adanya 2 (dua) perioda kegiatan, yaitu Eosen Akhir-Miosen Awal, dan Miosen Akhir-Pliosen. Satuan hasil kegiatan magmatik ini tersingkap hampir sepanjang pantai selatan P.Jawa, kecuali di Jawa Tengah. Terdiri terutama dari kumpulan batuan volkanik yang dinamakan Formasi “andesit Tua” (Old Andesite Fm) yang berumur Oligo-Miosen Awal. Di Jawa Barat, hasil kegiatan magmatik Eosen Akhir-Miosen Awal tersingkap di Pangandaran-Cikatomas berupa aliran lava dan breksi lahar yang tergolong dalam Fm.Jampang. Umurnya berkisar antara N1-N7 atau Oligosen-Miosen Awal. Penentuan umur radiometrik terhadap beberapa contoh batuan volkanik memberikan angka berkisar antara 25-28 Ma dan 17.6-17.9 Ma. Singkapan lainnya terdapat di Pelabuhan Ratu-Bayah berupa aliran lava yang tersisipkan didalam Fm.Jampang dan susunannya berkisar antara basaltis-andesitan. Umur radiometrik menunjukkan angka 32.3 Ma Dalam peta anomali gayaberat Bouguer, diantara P.Jawa dan Bali yang dibuat oleh Direktorat Geologi ( Untung, 1974), terlihat adanya suatu peningkatan anomali positif yang agak menonjol sampai +200 miligal di sepanjang pantai selatan P.jawa. Menurut Sano, Untung dan Fuji (1978), anomali positif tersebut jelas terpisah dari gayaberat Bouguer yang meningkat kearah palung laut. Anomali positip yang terdapat disepanjang pantai selatan ini ternyata juga direkam oleh Vening Meinez dalam pengukurannya dibawah permukaan laut, sehingga dapat ditafsirkan sebagai suatu bentuk tonjolan (“Horst”) yang melibatkan batuan yang bersusunan basaltis. Karena di satu tempat anomali gayaberat positip ini berimpitan dengan anomali magnet positip, maka oleh Sujono (1984) ditafsirkan sebagai pencerminan daripada deretan gunung-api Miosen awal. Penafsirannya ini disokong oleh data seismik dan pemboran di lepas pantai Jawa-Tengah (Boliger dan Ruiter,1975). Penelitian terhadap sebaran dan umur daripada batuan volkanik Tersier lainnya di Jawa-Barat, ternyata diperoleh gambaran bahwa jalur magma Tersier ini sebarannya lebih luas lagi, yaitu hampir meliputi seluruh bagian tengah dari Jawa-Barat, bahkan mungkin sampai ke utara. Namun demikian pada umurnya secara berangsur menjadi bertambah muda ke arah utara. Kegiatan magmatik Tersier yang lebih muda (Miosen Akhir-Pliosen) di Jawa Barat dapat diamati di Cianjur di daerah komplek Pegunungan Sanggabuana, sebelah Barat Laut Bandung. Didaerah ini diperkirakan sedikitnya ada 3 (tiga) komplek batuan volkanik, yaitu (a) Komplek volkanik Sanggabuana, (b) kubah lava di Jatiluhur serta jenjang-jenjang volkanik dan sumbat lava di sebelah Selatan Sanggabuana. Petrografi batuannya berkisar antara basalt hingga andesit-piroksen, sedangkan susunan kimianya berkisar antara kalk-alkalin dan kalk-alkalin kaya K. Umurnya berdasarkan penentuan radiometrik memberikan kisaran antara 5.35 Ma dan 2 Ma. Beberapa singkapan batuan volkanik Tersier Akhir di Jawa Barat juga dapat diamati di komplek Wayang-Windu dengan catatan umur 12.0 Ma, berupa lava kalk-alkalin proksin-andesit. Demikian pula sejumlah aliran lava bersusunan basaltis dijumpai di daerah Bayah (sebelah Barat Cikotok). Penentuan umur radiometrik menghasilkan 13.7 Ma yang berarti Miosen-Tengah. Susunan kimiawinya menunjukkan hasil busur kepulauan toleitis. Dengan demikian terdapat kemungkinan bahwa kegiatan vulkanisma selama jaman Tersier ini diawali dari bagian selatan Jawa (Miosen Awal \N-4) dan kemudian secara berangsur bergeser ke arah utara. Mengingat bahwa jalur subduksinya sendiri bergeser secara berangksur ke Selatan dimulai dari kedudukannya pada awal Tersier di “punggungan bawah permukaan laut” di Selatan Jawa, dan sekarang berada di sebelah Selatannya, maka sudah dapat dipastikan bahwa sudut penunjaman jalur Benioff-nya menjadi semakin landai. 2.2.4 Cekungan pengendapan Tersier Didasarkan kepada mayoritas ciri-ciri fasies pengendapannya, Soejono M (1984) membagi daerah Jawa-Barat menjadi 3 (tiga) mandala sedimentasi, yaiitu: Mandala Paparan Kontinen yang menempati bagian Utara Jawa-Barat, Mandala Cekungan Bogor di bagian tengah, dan suatu Mandala yang tidak begitu jelas statusnya, Yaitu Mandala Banten yang terletak dibagian paling Barat . Mandala Paparan Kontinen bertepatan dengan zona stratigrafi Dataran Pantai Utaranya dari Van Bemmelen, Mandala ini dicirikan oleh pengendapan fasies laut dangkal paparan yang pada umumnya terdiri dari b.gamping, lempung dan pasir kuarsa, tanpa adanya endapan volkanik yang berarti. Didaerah Utara yang mempunyai ciri-ciri endapan laut dangkal ini meliputi Jawa Barat bagian Utara yang dikenal sebagai cekungan minyak Jawa Barat Utara.. Ketebalannya dapat mencapai lebih dari 5000 meter. Adapun Mandala Cekungan Bogor meliputi beberapa zona fisiografinya dari Van Bemmelen (1949), yakni: Zona Bogor, Zona Bandung dan Zona Pegunungan Selatan. Mandala sedimentasi Cekungan Bogor ini dicirikan oleh endapan-endapan “aliran gravitasi” yang sebagian besar terdiri fragmen batuan beku dan sedimen seperti andesit, tufa dan gamping. Ketebalannya ditaksir mencapai hampir 7000 meter. Mandala sedimentasi Banten, mempunyai ciri-ciri yang serupa dengan Mandala Cekungan Bogor, terutama bagian bawahnya, dan Mandala Paparan Kontinen pada bagian atasnya, yang berumur Tersier akhir adalah diagram korelasi stratigrafi antara ke 3 Mandala sedimentasi tersebut. Satuan tektonik lainnya adalah jalur magma atau vulkanik Kuarter yang menempati bagian tengah Jawa-Barat atau dapat juga dikatakan berimpit dengan jalur magmatik Tersier muda. 2.3 JAWA TENGAH 2.3.1 Fisiografi Secara fisiografis, Jawa-Tengah dapat dibagi menjadi 5 satuan, yaitu dari selatan ke utara masing-masing : (1) Dataran pantai Selatan, (2) Pegunungan Serayu Selatan, (3) Pegunungan Serayu Utara, (4) Dataran pantai utara, dan (5) secara tersendiri, Komplek Pegunungan Kulon Progo. Dataran pantai selatan yang lebarnya berkisar antara 10 hingga 25 Km, merupakan bentuk fisiografi yang kontras terhadap kelanjutannya ke arah Barat maupun Timur, yang terdiri dari Pegunungan Selatan. Di bagian Barat dari Pegunungan Serayu Selatan yang berarah Barat-Timur dicirikan oleh bentuk antiklinorium yang berakhir di Timur pada suatu singkapan batuan tertua terbesar di P.Jawa, yaitu daerah Luh-Ulo, Kebumen. Luh-Ulo adalah nama sebuah sungai yang memotong Pegunungan ini tepat dibagian tengahnya. Daerah yang terkenal mempunyai tatanan geologi yang rumit ini banyak dipelajari dan diteliti sehingga menghasilkan beberapa desertasi doktor. Pada tahun 1929 Harloff melakukan penelitian geologi didaerah ini, dan mengidentifikasi sebagai daerah yang geologinya sangat komplek. Kemudian berturut-turut melakukan penelitian dan menghasilkan desertasi doktor adalah Tjia H.D. 1966, Asikin Sukendar th.1972 dan M.E.SUPARKA. Untuk pertama kali hasil penelitian Sukendar itu kemudian diterapkan untuk menjelaskan evolusi tektonik dari Jawa-Tengah khususnya dan Jawa Umumnya berdasarkan konsep tektonik yang baru (konsep tektonik lempeng). Pegunungan Kulon Progo merupakan satuan fisiografi tersendiri yang membujur hampir Utara-Selatan sehingga cenderung memotong tegaklurus arah umum pola struktur Jawa. Pegunungan ini akhirnya bertindak sebagai pemisah antara cekungan Tersier yang berada di sebelah Barat dan Timurnya. Dataran pantai utaranya agak berbeda dengan yang ada di Jawa Barat dan Jawa Timur. Disini dataran pantainya hanya mempunyai lebar beberapa puluh Km saja. 2.3.2 Pola struktur dan tektonik Seperti umumnya perkembangan tektonik di Jawa, evolusi tektonik diJawa-Tengah juga dapat dibagi 3 (tiga), yaitu Tektonik Akhir Paleogen, Tektonik intra Neogen dan Tektonik akhir Neogen. Tektonik Akhir Paleogen seperti ditempat-tempat lain dihampir seluruh Daratan Sunda (Lempeng Mikro-Sunda), dicirikan oleh pembentukan sesar-sesar regangan yang menghasilkan tinggian (“horst”) dan depresi (“graben\half graben”). Berdasarkan data seismik dimana dapat diamati dengan jelas adanya gejala-gejala ketidak selarasan, maka diyakini bahwa pada akhir Paleogen hampir sebagian besar daerah mengalami pengangkatan dan muncul dipermukaan dan mengalami pengikisan yang kuat. Eosen Akhir, pusat kegiatan magma berada di Pegunungan Serayu Selatan hingga ke Bayat dan Parangtritis di Selatan. Kegiatan magma Eosen ini ditandai dengan dijumpainya singkapan-singkapan batuan beku dan volkanik berupa aliran lava, jenjang dan sumbat volkanik dan sejumlah korok yang memotong batuan pra-Tersier dan Eosen. Di Bayat dan Parangtritis terdapat sejumlah singkapan korok dan intrusi-intrusi yang sebagian besar bersusunan basaltis yang memotong batuan pra-Tersier dan batugamping Eosen. Penentuan umur secara radiometri memberikan angka berkisar antara 33.1 - 24.3 Ma. Susunan kimiawinya menunjukkan asosiasi batuan kalk-alkalin andesit basaltis. Di Kulon Progo, yang merupakan komplek pegunungan volkanik yang tererosi dan tersingkap dengan baik, sedikitnya dapat dikenali adanya 3 (tiga) sumber vulkanisma yang berupa aliran lava dan breksi andesit. Beberapa jenjang dan sumbat vulkanik, kubah lava dan breksi piroklastik dapat diamati dengan jelas. Penentuan umur secara radiometrik terhadap beberapa contoh menghasilkan angka antara 29.6 hingga 25.4 Ma. Di daerah Luh-Ulo (Karangsambung) ditandai oleh beberapa korok, sill dan jenjang\sumbat vulkanik yang memotong komplek me’lange pra-Tersier. Susunan batuannya berkisar antara basaltis dan andesitan. Dari susunan kimiawinya dipastikan tergolong serie toleit busur-kepulauan. Penentuan umur secara radiometrik menghasilkan angka 39.9 Ma dan 37.5 Ma. (Eosen Akhir). Pusat kegiatan magma Eosen Akhir-Miosen Awal ini sekaligus merupakan pusat tinggian di Jawa Selatan (Busur magmatis). Kegiatan magma yang lebih muda lagi (Miosen Akhir-Pliosen) nampaknya agak bergeser ke utara dengan dijumpainya singkapan batuan volkanik di daerah Karangkobar (sebelah Utara Luh-Ulo, daerah Banjarnegara). Dijumpai dalam bentuk korok-korok, jenjang dan sumbat vulkanik, aliran lava serta intrusi-intrusi dangkal. Umurnya secara radiometrik berkisar antara 11.16 Ma, 8.9 Ma dan 3 Ma. Batuan volkanik Tersier muda juga didapatkan di daerah Cilacap berupa korok dan sill yang memotong Fm.Halang yang berumur N16-N18. Secara petrografis memperlihatkan kesamaan dengan batuan andesit dan basalt di daerah Karangkobar. Penentuan umur memberikan angka 8.7 dan 5.1 Ma. Pada Tersier Awal pusat-pusat pengendapan terjadi di Utara (depresi Bobotsari sebagai cekungan belakang busur dan di Selatan (depresi Kebumen sebagai cekungan depan busur) dengan diisi oleh endapan-endapan gravitasi (“turbidit”) yang sebagian besar terdiri dari bahan klastika gunung-api. Kegiatan vulkanisma Tersier tersebut berlangsung hingga Pliosen dengan pergeseran lebih ke Utara. Gaya kompresi yang melibatkan endapan-endapan dalam cekungan-cekungan di Jawa-Tengah, kecuali di “Western Sub-Basin”, berlangsung pada Tertsier Akhir. Akibat kompresi ini di Cekungan Serayu Utara terjadi perlipatan yang kuat disertai sesar-sesar naik. 2.3.3 Pola struktur Dari data gayaberat, pola struktur di Jawa-Tengah memperlihatkan adanya 3 (tiga) arah utama, yaitu: (1) Barat Laut-Tenggara, dekat perbatasan dengan Jawa-Barat, (2) Timur Laut-Barat Daya di Selatan dan sekitar G.Muria, dan (3) Barat-Timur yang umumnya berupa perlipatan regional. Di daerah Luh-Ulo, dimana batuan pra-Tersier dan Tersier tersingkap, dapat dibedakan adanya 2 (dua) pola struktur utama, yaitu yang arahnya Timur Laut-Barat Daya dan yang Barat-Timur. Yang pertama melibatkan batuan pra-Tersier yang terdiri dari komplek me’lange yang berumur Kapur Atas-Paleosen (Sukendar A,1974). Hubungan antara satu satuan batuan dengan lainnya yang mempunyai lingkungan dan genesa pembentukan yang berbeda yang terdapat didalam me’lange, umumnya bersifat tektonik (sesar) yang berarah Timur Laut-Barat Daya, atau arah Meratus. Pola yang arahnya Barat-Timur terdiri dari perlipatan dan sesar, dan umumnya melibatkan batuan berumur Tersier. Dengan demikian maka dapat dissimpulkan bahwa pola yang arahnya TimurLaut-BaratDaya yang sangat dominan di bagian Timur Jawa-Tengah ini, merupakan jejak tektonik berumur Kapur-Paleosen yang berbentuk “jalur subduksi” yang terjadi sebagai akibat daripada interaksi antara Lempeng Australia dengan Lempeng Mikro Sunda. Jalur tersebut juga merupakan kelanjutan daripada jalur subduksi yang tersingkap di Ciletuh Jawa-Barat. Pada gerak tektonik yang lebih muda, beberapa daripada sesar-sesar tua itu dapat menjadi di-aktifkan dan kemudian dikenali sebagai sesar-sesar Tersier bahkan Kuarter. Nmun arahnya masih tetap yang lama, yaitu jejak pola pra-Tersier, seperti yang mungkin juga dikenali di selatan komplek G.Muria. Didaerah lepas pantai utara Jawa-Tengah, jejak sesar-sesar tua itu bahkan membentuk cekungan-cekungan pengendapan Tersier dengan arah Meratus, setelah pada jaman Tersier diaktipkan kembali namun dengan gerak yang berbeda. Apabila sebelumnya merupakan sesar-sesar “anjak” (naik), maka pada jaman Tersier geraknya berubah menjadi sesar-sesar turun, sebagai akibat daripada pelepasan tegasan (“stress release”). Itu pula sebabnya bentuk daripada cekungan Tersier di kawasan ini adalah panjang dan sempit. Berbeda dengan yang berada di kawasan sebelah baratnya, yang bentuknya umumnya lebar-lebar dan membulat karena dikontrol oleh sesar-sesar regangan yang arahnya utara-selatan. Data gayaberat (Untung dan Sato, 1978 ), sepanjang penampang utara-selatan memotong Jawa-Tengah, dan dilengkapi pula dengan data geologi permukaan, memperlihatkan suatu perbedaan yang menonjol pada urut-urutan lapisan Miosen antara bagian Utara dan Selatan Jawa-Tengah. Di bagian Utara urut-urutan lapisan batuan berumur Miosen, sebahagian besar terdiri dari endapan gravitasi kipas laut dalam ( turebidit ). Jenis endapan tersebut menyebar luas hingga mencapai hampir dekat Cilacap di Selatan. Namun kearah selatannya stratigrafinya berubah, dan disini didominasi oleh endapan laut dangkal dengan lingkungan yang tenang dengan pengendapan batupasir dan batulempung. Menurut analisa Paltrinelli dkk (1976), di daerah Luh-Ulo pada jaman Eosen Tengah lingkungan pengendapannya telah berubah dari endapan laut dalam menjadi laut dangkal pada jaman-jaman berikutnya, yakni Eosen Akhir hingga Oligosen. Ini dapat diartikan bahwa pada jaman sebelum Miosen Akhir, daerah Luh-Ulo dan sekitarnya merupakan suatu jalur pengangkatan yang membentuk jalur pemisah antara daerah pengendapan (cekungan) di Utara dan selatannya. Jalur pemisah tersebut, menurut penafsiran Untng dan Sato (1978), mungkin membentang dari Semarang-Wonosaba-Banjarnegara-Cilacap, serta sekaligus mungkin merupakan batasan tektonik yang penting antara bagian Barat dan Timur Pulau Jawa. Disebelah Barat dari batas tektonik ini, poros-poros perlipatan mengarah Barat Laut-Tenggara, sedangkan di sebelah Timurnya mengarah Barat-Timur, seperti halnya yang dapat diamati di wilayah Zona Kendeng. Pada akhir Kapur-Paleosen, Jawa-Tengah mungkin merupakan jalur subduksi dan akrasi. Eosen-Oligosen terjadi pengangkatan daripada jalur akrasi, yang porosnya pada waktu itu hampir Barat-timur, dan mungkin pada waktu itu juga P.Jawa terbagi menjadi 2 mandala sedimentasi yaitu di Utara dengan lingkungan darat-lakustrin, sedangkan di selatan paralis. Mungkin juga pada awal Tersier itu terjadi tumbukan antara fragmen kerak benua yang bersumber dari Selatan (Gondwana\Australia), dengan jalur subduksi Kapur-Paleosen. Pada jaman Miosen wilayah Jawa-Tengah merupakan daerah pengendapan yang berbentuk sub-sub cekungan yang mungkin terjadi sebagai pengaruh sesar bongkah melalui sesar-sesar lama yang aktip kembali dengan arah-arah Barat Laut-Tenggara dan sesar-sesar baru yang arahnya Utara-Selatan dan Barat-Timur. Sub-sub cekungan yang dimaksudkan adalah sub-cekungan Banyumas, Kebumen, dan Yogyakarta. Sedangkan yang ada di Utara adalah Sub-cekungan Bogor sebagai kelanjutan dari Jawa-Barat. Kemudian disebelah utaranya lagi terdapat Cekungan Jawa-Tengah Utara, yang dipisahkan dari Cekungan Bogor oleh suatu busur magma Miosen. 2.4 JAWA TIMUR Di Jawa-Timur tidak atau belum pernah dilaporkan munculnya batuan yang berumur pra-Tersier. Bagian tengahnya ditempati oleh jalur volkanik Kuarter. Satuan-satuan fisiografi yang ada dapat dibedakan 5 (lima) satuan, dari Selatan ke Utara masing-masing : Pegunungan Selatan Jalur depresi tengah Jalur Kendeng Depresi Randublatung dan Zona Rembang yang dapat diteruskan ke P.Madura. Pegunungan Selatan di Jawa Timur berkembang sebagai fasies volkanik dan karbonatan yang berumur Miosen. Di sebelah Utara dari Jalur Volkanik Kuarter adalah Jalur Kendeng, yang terdiri dari endapan-endapan Tersier yang amat tebal. Menurut Genevraye dan Samuel (1972), tebalnya lapisan Tersier disini mencapai beberapa ribu meter. Dekat kota Cepu mereka terlipat dan tersesarkan dengan kuat. Di beberapa tempt lapisan-lapisan itu bahkan terpotong-potong oleh sesar naik dengan sudut kemiringan yang kecil. 2.4.1 Pola struktur Berdasarkan pola strokturnya, Jalur Kendeng merupakan bentuk “antiklinorium”dengan arah Barat-Timur dan terutama melibatkan batuan sedimen marin. Sebarannya kurang-lebih 250 Km panjang dan rata-rata 20 Km lebar. Kearah Timur antiklinorium ini menunjam kebawah dataran aluvial dan Selat Madura. Pola strukturnya sangat ketat dengan lipatan-lipatan bentuk a-simetris dengan disertai sesar-sesar yang rumit di bagian dalamnya (hasil penafsiran seismik). Depresi Randublatung, secara struktural merupakan suatu bentuk negatip yang didisi umumnya oleh endapan aluvial, dan hanya sedikit sekali mengalami pengaruh deformasi. Terdapat beberapa antiklin seperti “Ngimbang”dan “Pegat”, namun itupun hanya merupakan lipatan yang lebar, landai dan tidak begitu komplek seperti yang dijumpai di Zona Kendeng, Panjangnya hampir sama dengan Zona Kendeng dan lebarnya sekitar 10 Km sampai 20 Km. Zona Rembang merupakan suatu bentuk “antiklinorium”dengan lebar  80 Km. Pola strukturnya terdiri dari bentuk-bentuk perlipatan yang intensip dengan bentuk a-simetri dan sempit. Seringkali berurutan secara “merencong” (en-echelon). Sayap yang curam mengarah ke Utara, tetapi di bagian tengah justru mengarah ke selatan. Masip Muria yang berada disebelah baratnya merupakan bentuk gunung-api yang menyendiri (menyimpang dari busur utama Jawa) atau “soliter”, dan dikenal sebagai gunung-api yang mengandung mineral “leusit” (juga menyimpang dari susunan umum di Jawa). Muria dan Lasem yang terletak agak kesebelah Timurnya, keduanya berada di luar dari jalur uatama busur gunung-api Kuarter. Suatu penelitian gayaberat semi-detil yang dilakukan oleh Pertamina di daerah Semarang-Purwodadi-Cepu (Gatot Karyoso dkk.1977), memperlihatkan adanya suatu pola yang menarik, yaitu adanya suatu anomali Bouguer yang tinggi yang ditafsirkan sebagai tinggian batuan dasar, yang arahnya Timur Laut-Barat Daya. Pegunungan Selatan Jawa-Timur sebenarnya bukan merupakan suatu rangkaian yang menerus, tetapi diselingi oleh dataran-dataran rendah seperti Dataran Lumajang. Satuan satuan batuan yang membentuk Pegunungan Selatan,nmenurut beberpa tulisan (Sartono, 1964; Jan Sopa Heluwaken, 1976 dan Nahrowi dkk 1978 ), umumnya terdiri dari : lava bantal dengan sisipan breksi polimik, endapan turbidit yang terdiri dari pasir-tufaan, pasir, tufa dan batugamping dengan matrik tufa. Di beberapa tempt satuan batuan andesit ini diterobos oleh andesit-porfir. Satuan batuan tersebut didalam literatur lama dikenal sebagai “Formasi Andesit Tua”. Sekarang sudah mempergunakan nama-nama resmi yang memenuhi persyaratan kode stratigrafi seperti “Formasi Besole” dsb. Adjat Sudrajat serta Untung dkk (1975) telah menyusun suatu peta struktur Jawa - Timur dari hasil penafsiran citra Landsat dan gayaberat. Dalam peta tersebut nampak bahwasanya Pegunungan Selatan Jawa-Timur terpotong-potong oleh pola kelurusan yang menyerupai huruf “V”. Pola tersebut diduga merupakan pencerminan dari pola sesar bongkah. Dengan demikian, maka dataran Lumajang diatas dapat ditafsirkan sebagai suatu struktur amblesan atau “graben”. Berdasarkan data sesar dan gayaberat tersebut, maka Pegunungan Selatan Jawa-Timur dapat dibagi menjadi beberapa bentuk “tinggian”dan “depresi”. 2.4.2 MADURA Secara fisiografis pulau Madura masih merupakan bagian dari cekungan Jawa-Timur Utara, dan termasuk kedalam Zona Rembang. Zona ini di sebelah utaranya dibatasi oleh suatu struktur penting yang arahnya Barat-Timur dari paparan Madura Utara. Batas tersebut ternyata juga merupakan batas tektonik, dimana pola struktur yang berada disebelah utaranya mengarah Timur Laut-Barat daya, sedangkan di selatannya (di Pulau Madura), strukturnya umumnya berarah Barat-Timur. P.Madura dengan singkapan-singkapannya yang baik dan juga dapat diamati dari foto udara, memperlihatkan adanya 2 (dua) pola struktur, yaitu yang berarah Barat-Timur ( yang paling menonjol ), dan mengarah Timur Laut-Barat Daya. Pola struktur yang kedua ini dapat dilihat pengaruhnya pada bentuk pantai yang mengarah Barat-Timur pulau Madura. Secara regional, susunan stratigrafi Miosen Awal hingga Tengah dari P.Madura ini sangat mirip dengan Zona Rembang, yang umumnya terdiri dari serpih laut dalam. Susunan stratigrafi Miosen Akhir memperlihatkan adanya beda fasies dimana sebagian daerah ini rupanya sudah berada diatas permukaan laut (suatu bidang erosi), dan sebagian lagi masih dibawah permukaan laut, sehingga terbentuk daerah-daerah tinggian dan depresi setempat-setempat (lihat paleogeografi Miosen akhir). Disamping itu, dari data seismik yang banyak didapat (PERTAMINA), terlihat pola pantulan yang rumit yang umumnya berimpit dengan bentuk “antiklin” dan tersingkapnya lapisan serpih\lempung dari Formasi Tuban. Pola dan bentuk tersebut ditafsirkan sebagai akibat daripada mekanisma “diapir” atau “argillo kinetis“. Penafsiran ini juga didukung dengan dijumpainya “gunug-api lumpur” atau “mud-volkano”di Madura Barat. 2.4.3 Analisa Tektonik P.Jawa Perkembangan tektonik P.jawa pada jaman Tersier tidak terlepas dari pengaruh interaksi konvergen antara Lempeng litosfir Hindia-Australia dengan Lempeng Mikro Sunda.