Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Tipus2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kusta 2.1.1. Definisi Penyakit Kusta Amiruddin dalam Harahap (2000) menjelaskan bahwa penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Menurut Depkes RI (2006) kusta merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Depkes RI (2006) juga menjelaskan bahwa penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, dan psikologis. 2.1.2 Epidemiologi Penyakit Kusta Distribusi penyakit kusta menurut tempat Penyakit kusta menyebar di seluruh dunia mulai dari Afrika, Amerika, Asia Tenggara, Mediterania Timur dan Pasifik Barat. Jumlah penderita kusta di dunia pada tahun 1997 sebanyak 888.340 orang. Jumlah penderita kusta baru pada tahun 2007 adalah sekitar 296.499 orang. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat pada regional Asia Tenggara 201.635 orang, Afrika 42.814 orang, Amerika 41.780 orang, dan sisanya terdapat di regional lain di dunia. Adapun situasi kusta menurut regional WHO pada awal tahun 2007 (di luar regional Eropa) adalah sebagai berikut : Tabel 2.1 Situasi Kusta Menurut Regional WHO Pada Awal Tahun 2007 (Di Luar Regional Eropa) Regional WHO Prevalensi awal 2007 Kasus baru dilaporkan selama tahun 2007 Afrika Amerika Asia Tenggara Mediterran Timur Pasifik Barat 40.830 (0,56) 32.904 (0,39) 133.422 (0,81) 4.024 (0,09) 8.646 (0,05) 42.814 (5,92) 41.780 (4,98) 201.635 (12,17) 3.133 (0,67) 7.137 (0,41) Total 219.826 296.499 Pada tahun 2002, di Indonesia, jumlah penderita kusta yang terdaftar 19.805 orang. Masih terdapat di 10 propinsi memiliki penderita kusta terbanyak diantara propinsi lainnya yaitu Jawa Timur 4.856 orang, Jawa Barat 1.721 orang, Jawa Tengah 2.334 orang, Sulawesi Selatan 1.779 orang, Papua 1.190 orang, Nanggroe Aceh Darusalam 736 orang, Daerah Kota Istimewa Jakarta 1.721 orang, Sulawesi Utara 404 orang, Maluku Utara 550 orang dan Kalimantan Selatan 473 orang, Maluku 522, Sulawesi Utara 404 orang (Depkes RI, 2006). Distribusi penyakit kusta menurut waktu Ada 17 negara melaporkan 1000 atau lebih kasus baru selama tahun 2007. Sejak tahun 2002 secara global terjadi penurunan penemuan kasus baru, tetapi ada juga peningkatan penemuan kasus baru, hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 2.2 Penemuan Kasus Baru Di 17 Negara No. Negara Jumlah kasus baru ditemukan 2007 2002 2007 2004 2007 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Angola Bangladesh Brazil China DR Congo Egypt Ethiopia India Indonesia Madagascar Mozambique Myanmar Nepal Nigeria Philipina Sri Langka United Republik of Tanzania 339 6943 34235 3755 3927 1042 4090 456000 12639740 740 1930 12018 6152 4381 3442 944 2731 4727 9844 38365 1646 5037 1318 4632 473658 12377 5482 5830 7386 13830 5078 2479 2214 6497 2933 8712 49206 1404 7165 1412 5193 367143 14641 5104 5907 3808 8046 4799 2397 1925 5279 2109 8242 49384 1499 11781 1216 4787 260063 16549 3710 4266 3748 6958 5276 2254 1995 5190 1877 7882 38410 1658 10737 1134 4698 161457 19695 2709 5371 3571 6150 5024 3130 1924 4237 Total 555307 (94%) 599945 (97%) 495074 (96%) 389027 (95%) 279664 (94%) Total Global 590933 620638 514718 407791 296499 Dari tabel di atas terlihat bahwa secara global terjadi penurunan penemuan kasus baru pada penderita kusta, tetapi sejak tahun 2002 sampai dengan 2007 ada beberapa negara mengalami peningkatan kasus baru yaitu seperti di Indonesia, Demokrasi Kongo dan Philippina. Dan sebagai negara terbanyak penderita kusta adalah negara India, diikuti Brazil dan Indonesia. Distribusi penyakit kusta menurut orang 1. Distribusi menurut umur Penyakit kusta jarang sekali ditemukan pada bayi. Angka kejadian penyakit kusta meningkat sesuai umur dengan puncak kejadian pada umur 10-20 tahun (Depkes RI, 2006). Penyakit kusta dapat mengenai semua umur dan terbanyak terjadi pada umur 15-29 tahun. Serangan pertama kali pada usia di atas 70 tahun sangat jarang terjadi. Di Brasilia terdapat peninggian prevalensi pada usia muda, sedangkan pada penduduk imigran prevalensi meningkat di usia lanjut (Harahap, 2000). Menurut Depkes RI (2006) kebanyakan penelitian melaporkan bahwa distribusi penyakit kusta menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. 2. Distribusi menurut jenis kelamin Kejadian penyakit kusta pada laki-laki lebih banyak terjadi dari pada wanita, kecuali di Afrika, wanita lebih banyak terkena penyakit kusta dari pada laki-laki (Depkes RI, 2006). Menurut Louhennpessy dalam Buletin Penelitian Kesehatan (2007) bahwa perbandingan penyakit kusta pada penderita laki-laki dan perempuan adalah 2,3 : 1,0, artinya penderita kusta pada laki-laki 2,3 kali lebih banyak dibandingkan penderita kusta pada perempuan. Menurut Noor dalam Buletin Penelitian Kesehatan (2007) penderita pria lebih tinggi dari wanita dengan perbandingannya sekitar 2 : 1. 2.1.3. Diagnosis dan Klasifikasi ‘ Penderita penyakit kusta menimbulkan gejala yang jelas pada stadium lanjut dan cukup didiagnosis dengan pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan bakteriologi. Ada 3 tanda – tanda utama yang dapat menetapkan diagnosis penyakit kusta yaitu: Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf, dan adanya bakteri tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit. Pemeriksaan kerokan hanya dilakukan pada kasus yang meragukan. Apabila ditemukan pada seseorang salah satu tanda - tanda utama seperti diatas maka orang tersebut dinyatakan menderita kusta (Depkes, 2006). Apabila petugas kesehatan ragu-ragu untuk menegakkan diagnosis, sebaiknya penderita dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk terapi anti kusta Multi Drug Therapy (MDT) agar tidak menjadi sumber penularan, selain menghindari kemungkinan cacat menjadi besar. Namun bila petugas ragu dan sulit merujuk ke rumah sakit karena alasan jauh maka orang tersebut dianggap sebagai suspek. Tanda-tanda tersangka kusta tidak dapat digunakan sebagai dasar diagnosis penyakit kusta. Tanda-tanda pada kulit tersangka penderita kusta adalah sebagai berikut : Bercak/kelainan kulit yang merah atau putih di bagian tubuh, kulit mengkilap, bercak yang tidak gatal, adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut, lepuh tidak nyeri dan tanda-tanda pada saraf adalah sebagai berikut: rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka, gangguan gerak anggota badan atau bagian muka, adanya cacat, dan luka yang tidak mau sembuh (Depkes RI, 2006). Seseorang yang telah didiagnosis menderita kusta selanjutnya akan ditentukan tipe/klasifikasi penyakit kusta. Tujuan klasifikasi penyakit kusta adalah untuk menentukan jenis, lamanya pengobatan, waktu penderita dinyatakan sembuh dan perencanaan logistik. Menurut Depkes RI (2006) pada tahun 1982 jenis klasifikasi World Health Organization (WHO) yang dipakai oleh petugas kesehatan di seluruh Indonesia untuk menentukan penderita kusta tipe Pauci Baciler atau Multi Baciler. Pedoman untuk menentukan penyakit kusta tersebut menurut klasifikasi World Health Organization yaitu : Tabel 2.3 Klasifikasi Kusta Menurut WHO Kelainan kulit dan hasil pemeriksaan PB MB 1.bercak (makula) mati rasa : Ukuran Distribusi Konsistensi Batas Kehilangan rasa pada bercak Kehilangan kemampuan berkeringat, rambut rontok pada bercak Kecil dan besar Uniteral atau bilateral asimetris Kering dan kasar Tegas Selalu ada dan jelas Selalu ada dan jelas Kecil-kecil Bilateral simetris Halus,berkilat Kurang tegas Biasanya tidak jelas,jika ada,terjadi pada yang sudah lanjut Biasanya tidak jelas,jika ada,terjadi pada yang sudah lanjut 2.infiltrat : Kulit Membran mukosa (hidung tersumbat, pendarahan di hidung) Ciri-ciri Nodulus Deformitas Tidak ada Tidak pernah ada Central healing (penyembuhan di tengah) Tidak ada Terjadi dini Ada,kadang-kadang tidak ada Ada,kadang-kadangtidak ada punched out lesion (lesi bentuk seperti donat) madarosis ginekomasti hidung pelana suara sengau Kadang-kadang ada Biasanya simetris, terjadi lambat 2.1.4. Pencegahan Penyakit Kusta Pencegahan primer Pencegahan primer dapat dilakukan dengan : a. Penyuluhan kesehatan Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2006) b. Pemberian imunisasi Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti pem’berian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006). Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan : Pengobatan pada penderita kusta Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006). Pencegahan tertier Pencegahan cacat kusta Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) : Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf. Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf. Rehabilitasi kusta Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi : Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur. Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan. Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi. Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal terbatas pada tangan. Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat. 2.1.5. Pengobatan Penderita Setelah menegakkan diagnosa dan terbukti seseorang menderita kusta maka harus segera diberikan pengobatan dengan kombinasi Multi Drug Therapy (MDT) secara gratis dan dicatat oleh petugas dalam kartu penderita. Memberikan penderita dosis pertama di puskesmas dan menganjurkan ambil obat secara teratur di puskesmas. Kemasan blister obat kombinasi atau Multi Drug Ttherapy (MDT) adalah gratis, disimpan ditempat yang kering, aman, teduh dan jauh dari jangkauan anak-anak. Selama menjalani pengobatan penderita dapat menjalani kehidupan normal, dapat tinggal dirumah, pergi kesekolah, bekerja, bermain, menikah, mempunyai anak serta dalam acara-acara sosial (Depkes RI, 2006). Tujuan pengobatan penderita untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita dan mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pada penderita yang sudah mengalami cacat permanen, pengobatan dilakukan hanya untuk mencegah cacat lebih lanjut. Bila penderita kusta tidak meminum obat secara teratur maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali dan dapat menimbulkan gejala-gejala baru yang akan memperburuk keadaan penderita. Pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur minum obat agar tidak timbul cacat yang baru. Sejak tahun 1982 Indonesia memberikan pengobatan secara gratis pada penderita kusta dengan kombinasi Multi Drug Therapy (MDT) yaitu kombinasi dua atau lebih obat anti kusta,yang slah satunya harus terdiri atas Rifampisin yang berfungsi sebagai obat anti kusta yang sifatnya bakterisid kuat dengan obat anti kusta lain yang bias bersifat bekteriostatik. berikut ini merupakan kelompok orang-orang yang membutuhkan MDT adalah : kasus baru, mereka dengan tanda kusta yang belum pernah mendapat pengobatan MDT. Ulangan, termasuk didalamnya : Relaps (kambuh), diobati dengan regimen pengobatan baik PB ataupun MB. Masuk Kembali setelah default adalah penderita yang datang kembali setelah dinyatakan default (baik PBmaupun MB). Pindahan (pindah masuk), harus dilengkapi dengan surat rujukan berisi catatan pengobatan yang telah diterima hingga saat tersebut. Ganti tipe, penderita dengan perubahan klasifikasi. Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO Regimen tersebut adalah sebagai berikut : Penderita Pauci Baciler (PB) Dewasa Pengobatan bulanan : hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas) adalah : 2 kapsul Rifampisin @ 300 mg (600 mg) 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg Pengobatan harian : hari ke 2-28 : 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg 1 blister untuk 1 bulan Lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan. Penderita Multi Baciler (MB) Dewasa Pengobatan bulanan : hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas) adalah : 2 kapsul Rifampisin @ 300 mg (600 mg) 3 tablet Lampren @ 100 mg (300 mg) 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg Pengobatan harian : hari ke 2-28 : 1 tablet Lamprene 50 mg 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg 1 blister untuk 1 bulan Lama pengobatan : 12 blister diminum selama 12-18 bulan. 2.1.6. Release From Treatment Apabila penderita kusta tipe Pauci Baciler (PB) dan Multi Baciler (MB) telah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan aturan maka penderita tersebut dinyatakan Release From Treatment (RFT) tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium, artinya penderita dianggap telah sembuh. Petugas harus memberikan keterangan tentang arti dan maksud Release From Treatment (RFT) kepada penderita bahwa tipe Pauci Baciler (PB) pengobatan 6 dosis selesai dalam waktu 6-9 bulan langsung dinyatakan sembuh untuk tipe Multi Baciler (MB) pengobatan 12 dosis selesai dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan sembuh (Release From Treatment). Walaupun sudah sembuh petugas tetap meyakinkan penderita bahwa bercak yang ada akan berangsur hilang dan menjelaskan cara mencegah terjadinya luka jika terjadi kecacatan yaitu dengan memelihara tangan dan kaki dengan baik dan bila penderita melihat bercak kulit yang baru atau tanda-tanda baru mereka harus datang kembali kontrol atau pemeriksaan ulang ke puskesmas. 2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketuntasan Pengobatan Kusta Tipe MB Skiner dalam Notoatmodjo (2007) mengeluarkan suatu teori yang disebut teori S-O-R (stimulus-organisme-respons) yang mengelompokkan prilaku menjadi dua yaitu perilaku tertutup dan perilaku terbuka. Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus masih belum dapat diamati orang lain secara jelas. Respons tersebut masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap. Perilaku terbuka terjadi bila respon terhadap stimulus sudah berupa tindakan atau praktek dan dapat diamati dari luar. Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi stimulus namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik orang yang bersangkutan, bersifat bawaan. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan prilaku. Determinan prilaku dapat dibedakan menjadi dua, yakni : 1. Faktor internal a. Umur Menurut La Greca dalam Smeat (1994) anak-anak mempunyai tingkat kepatuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja, meskipun anak-anak mendapatkan informasi yang kurang. Untuk penderita lanjut usia kepatuhan minum obat dapat dipengaruhi oleh daya ingat yang berkurang, ditambah lagi apabila penderita lanjut usia tinggal sendiri. Menurut Dunbar & Waszak dalam Smeat (1994) ketaatan dalam aturan pengobatan pada anak-anak, remaja dan dewasa adalah sama. Menurut Taylor dalam Smeat (1994) orang tua cenderung patuh minum obat karena mengikuti semua anjuran dokter. b. Jenis kelamin Jenis kelamin dapat mempengaruhi penderita untuk patuh minum obat. Penderita wanita biasanya akan lebih patuh untuk minum obat karena sesuai dengan kodrat wanita yang ingin tampak kelihatan cantik dan tidak ingin ada cacat pada tubuhnya, sehingga dalam penanggulangannya penyakit kusta akan lebih patuh minum obat dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Smeat (1994) di Amerika Serikat kaum wanita cenderung mengikuti anjuran dokter, termasuk anjuran teratur minum obat demi kesembuhannya. c. Pendidikan Penderita dengan pendidikan rendah dan kecerdasan yang terbatas perlu penanganan yang lebih teliti dalam instruksi tatacara penggunaan obat yang betul dan benar. Karena pendidikan yang rendah akan menganggap aturan minum obat 3x1 sama dan 1x3, sehingga obat untuk satu hari diminum sekaligus. Menurut Langevelt dalam Notoatmodjo (2007) pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan kepada anak, yang tertuju kepada kedewasaan yaitu kedewasaan jasmani dan rohani. Menurut Notoatmodjo (2007) pendidikan tersebut menuju kepada suatu perubahan yaitu mengubah perilaku kearah yang diinginkan, maka tujuan pendidikan kesehatan mengubah perilaku dari yang merugikan atau tidak sesuai dengan norma kesehatan ke arah tingkah laku yang menguntungkan kesehatan atau norma yang sesuai dengan kesehatan. Menurut penelitian Fajar (2005) di Kabupaten Gresik bahwa pendidikan tidak mempengaruhi keteraturan berobat pada penderita kusta.Tetapi menurut penelitian Masduki (2007) di Kabupaten Kuningan pendidikan mempunyai hubungan terhadap kepatuhan minum obat pada penderita kusta. d. Pekerjaan Penderita penyakit kusta yang bekerja seperti biasa akan termotivasi untuk lebih patuh minum obat demi kesembuhannya bila dibandingkan dengan penderita yang tidak bekerja, karena pekerjaannya adalah sumber mata pencahariannya, sumber untuk memberikan nafkah dan berguna bagi keluarganya walaupun kondisi tubuh menderita penyakit kusta, tetap bekerja. Hasil penelitian Masduki (2007) di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat bahwa pekerjaan memberikan kontribusi paling besar terhadap kepatuhan berobat atau minum obat. e.Pengetahuan Definisi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007) adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya.Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Teori L.W. Green dalam Notoatmojo (2007), menyatakan bahwa pengetahuan merupakan faktor awal dari suatu perilaku yang diharapkan dan pada umumnya berkorelasi positif dengan perilaku. Menurut Azwar (2007) fungsi pengetahuan mempunyai dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencari penalaran dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Menurut penelitian Masduki (2007) di Kabupaten Kuningan Jawa Barat pengetahuan mempunyai hubungan terhadap kepatuhan berobat pada penderita kusta. Apabila penderita kusta memiliki pengetahuan yang baik dan memadai tentang penyakit kusta, cara pengobatannnya, jenis obat,cara memakan obat tersebut dan akibat bila tidak patuh meminum obat yang akan berakibat buruk terhadap dirinya akan mampu mengimplementasikannya di dalam kehidupannya sehari-hari maka diharapkan angka kesembuhan pada penderita kusta meningkat. Rendahnya pengetahuan tentang kusta dan masih kuatnya stigma terhadap penyakit kusta sangat berpengaruh terhadap ketaatan penderita untuk minum obat. f. Sikap Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang, tidak senang, setuju dan tidak setuju, baik dan tidak baik). Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2007) sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Menurut Thustone dan Likert dalam Azwar (2007) sikap adalah suatu bentuk evalusi, reaksi perasaan yang mendukung, memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut. Menurut Taylor dalam Azwar (2007) ketaatan penderita minum obat sering diartikan sebagai usaha pasien untuk mengendalikan perilakunya apakah pasien mengikuti apa yang dianjurkan oleh petugas untuk dilaksanakan guna mencapai kesembuhan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fajar (2005) di Kabupaten Gresik pada penderita kusta, ada pengaruh sikap penderita terhadap pengobatan dini dan upaya pengobatan teratur oleh penderita kusta. 2. Faktor eksternal a. Dukungan keluarga Keluarga merupakan sebagai lembaga sosial yang mempunyai fungsi tradisional keluarga seperti fungsi sosial ekonomi, karena sebagian hasil kerja yang dilakukan di dalam atau di luar rumah dikelola dalam keluarga, yang ditunjukkan dengan adanya pembentukan kerabat, keturunan dan hubungan sosial melalui keluarga dan fungsi proses pendidikan termasuk di dalamnya penanaman nilai dan ideologi kepada anggota keluarga, oleh karena itu penangan yang baik terhadap persoalan-persoalan keluarga akan memberikan kontribusi yang positif bagi upaya kesehatan para anggotanya (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005). Orang-orang yang mendapat perhatian dan penghiburan maupun pertolongan dari keluarganya cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis, karenanya peranan keluarga sangat besar bagi penderita dalam mendukung perilaku atau tindakan dalam memamfaatkan pelayanan kesehatan. Menurut hasil penelitian Rachmalina dan Sunanti (2004) di Kabupaten Bangkalan peran anggota keluarga membantu penderita kusta teratur minum obat. b. Dukungan petugas kesehatan Pelayanan yang baik dari petugas kesehatan dapat menyebabkan berperilaku positip. Perilaku petugas yang ramah dan segera mengobati pasien tanpa menunggu lama-lama serta dan mengambil obat diperiksa dokter terlebih dahulu, maka penderita merasa dihargai datang ke puskesmas, penderita diberi penjelasan tentang obat yang diberikan dan pentingnya makan obat yang teratur. Kebanyakan orang hanya kadang-kadang datang ke tenaga kesehatan, karena hampir semua orang mempunyai keluhan yang menakutkan tentang kunjungan pada petugas kesehatan (Smet,1994). Dari hasil penelitian Rachmalina dan Sunanti (2004) di Kabupaten Bangkalan peran petugas kesehatan sangat berpengaruh terhadap ketaatan penderita untuk berobat. Menurut Zulaicha dalam Smet (1994) di Indonesia kualitas interaksi antara petugas kesehatan terutama dokter dan penderita berbeda-beda berdasarkan tingkat pendidikannya, karena si petugas harus memberikan informasi dengan kalimat atau kata-kata sesuai dengan tingkat pendidikan pasiennya. Dari hasil penelitian Masduki (2007) di Kabupaten Kuningan bahwa peran petugas mempunyai hubungan yang bermakna terhadap ketidakteraturan berobat pada penderita kusta. Menurut Depkes RI (2006) Penderita sering terputus pengobatannya karena keterbatasan obat di puskesmas, pelayanan puskesmas yang buruk dan tidak ada petugas dipuskesmas ketika datang mengambil obat dengan memperhatikan besarnya masalah kusta yang dapat menimbulkan penularan pada masyarakat, perlunya penderita untuk berobat, pencegahan kecacatan dan keteraturan minum obat maka kegiatan penyuluhan kesehatan yang diberikan oleh petugas merupakan komponen sangat penting perlu dilanjutkan, dikembangkan, dan ditingkatkan perannya dalam pemberantasan penyakit kusta. c. Dukungan Tokoh Panutan. Tokoh panutan (Reference Group) adalah sekelompok social yang menjadi acuan bagi seseorang untuk membentuk pribadi dan perilakunya (Soekanto, 2007). Tokoh panutan merupakan faktor social yang sangat penting dalam suatu proses adopsi atau perubahan. Perilaku orang lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap penting. Apabila seseorang penting bagi seseorang individu, maka apa yang dia katakana atau perbuatannya cenderung untuk dicontoh oleh individu tersebut. Demikian halnya dalam keinginan seseorang untuk meminum obat secara teratur, keberadaan tokoh panutan akan sangat menentukan dalam pengambilan keputusan. Apabila seorang tokoh panutan mendukung atau ikut berpartisipasi dalam mengontrol pengobatan kusta, maka orang-orang yang mengangapnya sebagai panutan akan cenderung untuk mengikutinya dan demikian juga sebaliknya. (Notoatmodjo, 2007) Berhasil atau tidak suatau program pemerintah khususnya program pengobatan kusta tidak cukup hanya dengan tersedianya obat dan logistic lainnya, tetapi juga diperlukan petugas kesehatan yang berdedikasi, dukungan lintas program dan lintas sektoral serta yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan atau peran serta masyarakart agar tujuan program pengobatan kusta tercapai sesuai dengan yang diharapkan maka dukungan dari berbagai pihak di wilayah puskesmas sangat dibutuhkan baik dari tokoh masyarakat, tokoh agama, guru, LSM, serta kelompok-kelompok khususnya lainnya yang berada di wilayah tersebut. Notoatmodjo (2007) menyebutkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap perilaku kesehatan selain adanya dukungan dari keluarga juga adanya dukungan dari tokoh masyarakat di sekitarnya. 2.3. Kerangka Konsep Berdasarkan landasan teori tersebut di atas maka sebagai kerangka konsep tidak semua variabel dioperasionalkan dalam penelitian ini mengingat peneliti hanya ingin mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi ketuntasan pengobatan kusta tipe MB, sehingga variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai variabel independent yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, dukungan keluarga, dukungan petugas kesehatan, dan dukungan tokoh panutan ; sebagai variabel dependent adalah ketuntasan pengobatan. Kerangka konsep tersebut dapat kita lihat dalam bagan dibawah ini : ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘‘ Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Keterangan :’ ‘ = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti Penyakit kusta adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) dan menyerang syaraf tepi, kulit serta jaringan tubuh lainnya. Menyembuhkan penderita kusta dan mencegah timbulnya cacat merupakan tujuan dari pengobatan penyakit kusta. Penderita kusta yang berobat dini dan teratur akan cepat sembuh tanpa menimbulkan cacat, akan tetapi bagi penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen pengobatan hanya dapat mencegah cacat yang lebih lanjut. (Depkes RI, 2006) Selesai atau tidaknya seorang penderita dalam menjalani pengobatannya dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor yang berasal dari diri si penderita (internal) maupun faktor yang berasal dari luar tubuh si penderita (eksternal). Hal ini sesuai dengan teori Skiner dalam Notoatmodjo (2007) yang menyatakan bahwa determinan perilaku terdiri dari faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam penderita (internal) seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap; maupun faktor yang berasal dari luar penderita (eksternal) seperti kurangnya dukungan keluarga, dukungan petugas, dan dukungan tokoh panutan. Selain itu, ketuntasan pengobatan penderita kusta dapat disinergiskan dengan kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan sesuai dengan konsep Health Belief Model (HBM) yang dikemukakan oleh Rosentock (1980), bahwa kepercayaan individu terhadap pelayanan kesehatan dalam hal ini kepatuhan berobat mencakup tiga unsur utama yaitu: persepsi individu tentang kerentanan dirinya terhadap suatu penyakit, persepsi individu terhadap keseriusan penyakit tertentu dan persepsi individu tentang manfaat yang diperoleh dari tindakan yang diambil. 2.4.Hipotesis Terdapat pengaruh faktor internal kusta terhadap ketuntasan pengobatan penderita kusta tipe MB di Kecamatan Jenggawah tahun 2008. Terdapat pengaruh faktor eksternal kusta terhadap ketuntasan pengobatan penderita kusta tipe MB di Kecamatan Jenggawah tahun 2008. PAGE \* MERGEFORMAT 26 PAGE \* MERGEFORMAT 9