View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
brought to you by
CORE
provided by eJournal of Sunan Gunung Djati State Islamic University (UIN)
ARTIKEL
PALANG PINTU: POLITIK IDENTITAS LAKI-LAKI
MINANGKABAU SEBAGAI SEBUAH RESPON
TERHADAP STIGMA JANDA
Jelly1, Afrizal2 & Maskota Delfi3
123Universitas Andalas Padang, Indonesia
Email: jelly.bintidaimi@yahoo.co.id
Abstract
This article discusses Minangkabau male identity politics in response to the
widow's stigma. The method of collecting data are interview and observation.
Minangkabau is a society that adopt a matrilineal system. The lineage, management
and utilization of inheritance are in the hands of women. The present of men like abu di
ateh tunggua (second lead and weak). This condition maked the man use identity
political and maked stigma for widows in their social life. Man strengthen their position
as palang pintu for widows. Man used maota dan malapau as tools to grow up their
position. (This study uses the concept of stigma by Parker (2016).
Keywords: matrilineal, stigma, identity political, palang pintu.
A.
PENDAHULUAN
Keberadaan kaum laki-laki di Minangkabau disimbolkan dengan abu di
ateh tunggua (abu di atas tunggul kayu). Makna penyimbolan ini diibarakan
dengan keberadaan kaum laki-laki yang rapuh dalam adat Minangkabau. lakilaki dianggap abu yang bisa ditiup dan diterbangkan oleh angin kapan saja.
keberadaan laki-laki diibaratkan dengan abu yang terletak di atas tunggul kayu
yang tidak memiliki tempat yang kuat untuk berpegang. Sehingga keberadaan
kaum laki-laki dalam adatnya sendiri juga tidak begitu kuat jika dihadapkan
dengan kekuasaan kaum perempuan dalam adat.
Di rumah gadang atau dalam kaumnya sendirinya, laki-laki tidak
memiliki tempat. ia tidak diberi ruang untuk tinggal di rumah gadang. Pada
masa lampau bahkan anak laki-laki harus tinggal dan dibesarkan di surau.
Sehingga keberadaan laki-laki dalam kaumnya justru ia dianggap sebagai
“orang luar” yang menjadi penjaga kepentingan kaum perempuan terutama
dalam hal harta pusaka. Di lain pihak, ketika telah menikah laki-laki akan
tinggal di rumah istrinya dan dianggap sebagai urang sumando. Urang sumano
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
251
ARTIKEL
merujuk kepada “orang luar” yang menjadi penghuni di rumah istrinya karena
adanya ikatan pernikahan. Di keluarga atau kaum istrinya, laki-laki tettap
diposisikan sebagai “orang luar” yang harus menjaga etika dan kaum atau
keluarga luas isrinya harus memposisikan hubungan yang sopan dengan urang
sumando. Sehingga bisa dikatakan posisi kaum laki-laki tidak diberi ruang
dalam kaumnya dan dianggap sebagai orang luar di rumah istrinya.
Menurut Arifin (2014), kaum laki-laki dianggap sebagai orang luar di
keluarga istrinya dengan disimbolkan sebagai abu di ateh tunggua. Sehingga
keberadaan kaum laki-laki di engah-tengah keluarga istrinya tergantung
kepada “kemurahan hati” keluarga istrinya dalam mempertahankan posisinya
sebagai urang sumando. Sementara iu, dalam kaumnya, laki-laki dianggap juga
sebagai orang luar yang akan inggal dan menetap dalam kaum keluarga
istrinya. Hal ini juga yang menyebabkan kaum laki-laki melakukan politik
identitas untuk menonjolkan eksistensi mereka. salah satu cara yang ditemukan
oleh Arfin (2014) sebagai suatu upaya menonjolkan eksistensi kaum laki-laki
yaitu dengan mengadakan buru babi. Buru babi dianggap sebagai suatu
metode atau cara melakukan politik identitas kaum laki-laki. Buru babi
diajadikan sebagai salah satu prakik sosial yang ada dalam masyarakat guna
unuk menonjolkan identitas kelaki-laki dalam masyarakat Minangkabau yang
matriarkat.
Sejalan dengan pemikiran Arifin (2012), mengenai buru babi yang
dijadikan sebagai ajang politik identitas bagi laki-laki, hal yang sama juga
terjadi dalam riset mengenai stigmatisasi terhadap janda. kaum laki-laki
melakukan hal yang serupa yaitu politik identitas dalam menguatkan eksistensi
mereka dalam masyarakat. Setelah bercerai, laki-laki merasa bahwa masyarakat
akan menuding dan menyalakannya laki-laki atas perceraiannya sehingga lakilaki merasa perlu untuk menunjukkan eksisensi mereka dalam menyikapi
reaksi sosial. Selain itu, posisi laki-laki yang “tidak dianggap dalam kaum
maupun keluarga istrinya menjadikan laki-laki membentuk identitas untuk
membuktikan keberadaan mereka.
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
252
ARTIKEL
Pada masa lampau, keberadaan laki-laki di minangkabau hanya
dianggap sebagai “tampang” atau benih untuk me;anjutkan keturunan saja.
yang memiliki kewajiban untuk membesarkan anak-anak mereka adalah mamak
dari anaknya-anaknya tersebut. Hal ini karena istrinya memiliki harta pusaka
dalam kaumnya yang menjadi basis utama ekonomi keluarga. Hal ini yang
menjadi penyebab realita kawin cerai banyak terjadi pada masa lampau di
Minangkabau. Pada saat sekarang ini, sebagian besar perempuan Minangkabau
tidak lagi memiliki harta pusaka berupa tanah pusako. Sehingga banyak
perempuan yang menjanda menjadikan pekerjaan mereka sebagai basis utama
finansial
setelah
bercerai.
Hal
ini
tetap
mengibaratkan
perempuan
Minangkabau adalah perempuan yang mandiri (binti Daimi, 2018) dan
membuat posisi laki-laki tetap berada pada posisi yang termarjinalkan. Untuk
itu laki-laki tetap menguatkan identitas mereka dalam kehidupan kaum
perempuan.
Politik identitas yang dibentuk oleh laki-laki adalah Palang Pintu. Lakilaki mengibaratkan diri mereka adalah Palang Pintu yang bisa diterjemahkan
sebagai pemagar atau tanda tidak boleh masuk yang tertempel di depan pintu.
Menurut laki-laki, posisi mereka adalah pemberi tanda bahwa pintu yang
memiliki anda tidak boleh dimasuki. Analoginya, walaupun sebuah pintu kuat,
tetapi jika tidak ada palang pintu yang tertera di depannya, maka orang lain
akan tetap mendekati pintu tersebut. Lain halnya jika sebuah pintu tidak terlalu
kuat, tetapi jika ia memiliki palang pintu, maka orang lain tidak akan berani
memasuki ataupun mendekati pintu tersebut.
Hal yang sama dianggap serupa dengan kehidupan janda. janda
dianggap sebagai pintu yang tidak memiliki palang. Sehingga janda mudah
untuk diganggu ataupun didekati oleh laki-laki lain. kaum laki-laki
melanggengkan posisi mereka dengan cara mengungkapkan bahwa janda
mereka akan rugi karena tidak memiliki palang pintu. Kaum laki-laki
mengibaratkan diri mereka sebagai palang atau tanda yang akan memberi rasa
aman terhadap kaum perempuan. Tetapi jika seorang perempuan menjadi
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
253
ARTIKEL
janda, maka kerugian besar yang di dapatkan oleh janda adalah tidak lagi
memiliki palang pintu yang akan menjaga mereka. Fungsi laki-laki sebagai
Palang Pintu dibentuk dan dilanggengkan oleh kaum laki-laki untuk
menguatkan keberadaan mereka penting dalam kehidupan kaum perempuan.
B.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam riset ini adalah metode penelitian
kualitatif. Hal ini karena penelitian kualitatif adalah salah satu penelitian yang
bisa mengungkapkan akar dari suatu realita sosial. Selain iu metode penelitian
kualitatif mampu mendekati suatu problem secara menyeluruh mengenai
kehidupan janda. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi
dan wawancara. Dua metode ini dipakai karena bisa mendapatkan data
mengenai kehidupan janda dan bagaimana kaum laki-laki membentuk
identitas mereka sebagai respon dari reaksi sosial. Selain itu, alat analisis yang
digunakan dalam riset ini yaitu teori pembentukan identitas dan teori
mengenai stigma janda oleh parker (2016).
C.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ada banyak aspek sosial yang terkait dengan kehidupan wanita. Baik
dari segi pembangunan, dunia kerja, dan keluarga. Dari aspek pembangunan
wanita menjadi sasaran utama pembangunan tetapi suara mereka tidak
memiliki tempat dalam rencana program. Dalam masyarakat yang didominasi
oleh kekuasaan laki-laki, suara wanita dianggap diwakili oleh keputusan kaum
pria. Kaum wanita dianggap selalu setuju dan sepakat dengan pendapat
mereka (Nurhayati, 2010). Hal ini berbeda dengan yang terjadi dalam
masyarakat matrilineal. Dalam masyarakat matrilineal, baik dahulu maupun
sekarang, perempuan berada pada urutan yang paling penting dalam
pengambilan sebuah keputusan, terutama yang berkaitan dengan adat. Kaum
laki-laki yang dalam hal ini adalah mamak, menjadi perpanjangan tangan
kaum perempuan daam melaksanakan keputusan tersebut. Sehingga dalam
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
254
ARTIKEL
prakteknya, kaum laki-laki menjadi alat yang digunakan oleh kaum perempuan
untuk mendapatkan kepentingan-kepentingan mereka. hal ini banyak ditemui
di lapangan ketika peneliti melakukan riset terhadap janda. Ada banyak lakilaki yang tidak tahan kemudian diusir oleh mantan istrinya, bahkan yang lebih
parahnya, perempuan atau pihak yang istri yang terlebih dahulu mengingkan
cerai.
Laki-laki melakukan politik identitas dalam kehidupan mereka di
masyarakat matrilineal. Politik identitas ini bisa terjadi karena masyarakat
Minangkabau memiliki sisi dualitas dalam kehidupannya. Bagaikan dua mata
uang yang tidak bisa dipisahkan, keberadaan laki-laki di satu sisi dianggap
lemah, tetapi di sisi lain juga dianggap sebagai kedudukan yang penting dalam
adat sebagai urang suamndo. Ketika fungsi laki-laki dalam kaumnya dianggap
lemah karena dijadikan sebagai “pelaksana tugas” urusan kaumnya, di sisi lain
laki-laki juga dianggap penting sebagai urang sumando. Ketika terjadi acara
adat sebuah pernikahan, maka posisi urang sumando menjadi penting dalam
hal meminang. Sehingga laki-laki bisa melakukan politik identitas untuk
mengukuhkan keberadaan mereka dalam ranah sosial.
Masyarakat Minangkabau mengakui dualitas dalam adatnya. Tidka
hanya peran laki-laki yang mengalami dualitas, tetapi perempuanpun
mengalami hal yang sama. Menurut Arifin (2012) bahwa dalam adat
Minangkabau wanita memiliki dua peran strategis yaitu sebagai aktor utama
dan sebagai aktor pendamping (dibalik layar). Sehingga dalam menjalankan
perannya tersebut, kaum perempuan membutuhkan laki-laki. Dalam ranah
kepentingan inilah kaum laki-laki bisa melakukan politik identitas dalam
upaya menguatkan posisi mereka. Bahkan dalam novel dan cerita-cerita
mengenai perempuan Minangkabau, juga merefleksikan bahwa kehidupan
wanita Minangkabau penuh dengan berbagai macam konflik yang akhirnya
menciptakan ranah baru bagi kaum laki-laki untuk menyelesaikan konflik
tersebut (Asri, 2013).
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
255
ARTIKEL
Selasih (1986) mengatakan bahwa wanita kehidupan wanita dan laki-laki
berbeda setelah bercerai. Wanita cenderung mengalami pelecehan setelah
bercerai dan laki-laki lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah
setelah bercerai. Hal ini juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
laki-laki dapat melakukan politik identitas setelah mereka bercerai. Laki-laki
menguakan eksistensi diri mereka sebagai sosok yang dibutuhkan dalam
melindungi kaum perempuan yang dalam hal ini secara budaya mereka disebu
sebagai palang pintu. Perempuan yang telah menikah dianggap sebagai sebuah
rumah yang harus dijaga oleh Palang Pintu.
Masyarakat Minangkabau di Kelurahan Korong Gadang mengakui
posisi laki-laki sebagai Palang pintu. Sehingga ketika seseorang menikah ia
dikatakan sebagai sosok yang telah dikenai adat dan memiliki palang pintu
dalam kaumnya. Hal inilah yang dikatakan oleh Wignjodipuro (1985) “tuntutan
adat”, yaitu kondisi dimana seseorang mengalami berbagai tuntutan akibat dari
diterimanya mereka dalam adat. Dengan menikah, menjadikan seorang
perempuan diunut secara adat untuk memiliki palang pintu. Sehingga
perempuan yang sudah bercerai dianggap menyia-nyiakan palang pintunya.
Walaupun status bundo kanduang didapatkan oleh seorang wanita setelah
menikah (Selasih, 1989), tetapi jika ia bercerai atau ditinggal mati oleh
suaminya, tidak membuat statusnya sebagai bundo kanduang hilang. Tetapi
perannya sebagai bundo kanduang tidak lagi menjadi sempurna, karena ia
membutuhkan peran laki-laki untuk menjalan perannya tersebut. Bahkan
bundo kanduang sendiripun membutuhkan Palang Pinu sebagai perpanjangan
tangan dan perlindungan secara ada dalam kehidupan sosialnya. Beberapa
alasan inilah yang menyebabkan perempuan takut untuk menjadi janda. salah
satu alasannya tersebut karena keberadaan laki-laki diakui secara adat dalam
fungsinya sebagai palang pintu.
Menurut Giddens (2002) ada alasan utama kenapa wanita takut
menjanda. Hal ini karena mereka cemas dengan keadaan keuangan mereka
setelah bercerai atau takut dengan konsekuensi emosi dan psikologis setelah
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
256
ARTIKEL
bercerai. Alasan yang paling banyak dijadikan sebagai tujuan mereka tetap
mempertahankan pernikahannya yaitu berharap bisa memberikan rasa
berkeluarga yang nyaman untuk anak-anak mereka. Dalam masyarakat
Minangkabau alasan utama yang membuat wanita tidak mau menjanda adalah
karena akan menjadi bahan pergunjingan. Menjadi objek gunjingan dan ota
(pembicaraan) masyarakat menjadikan janda menjadi hal yang tidak diinginkan
oleh wanita. Hal inilah yang disebut oleh Kalmre (2017) sebagai “kekuatan
rumor”. Seseorang akan bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
masyarakat karena takut akan dijadikan sebagai objek rumor. Janda menjadi
objek rumor, karena ia dianggap memiliki kekurangan karena tidak memiliki
suami, padahal ia mendapatkan hak-haknya sebagai seorang bundo kanduang.
Fenomena inilah yang terjadi jika seorang perempuan tidak memiliki palang
pintu. Sehingga dalam realitanya, banyak janda yang “dipaksa” untuk menikah
lagi karena masyarakat mengharuskan mereka untuk memiliki palang pintu lagi.
Kehidupan laki-laki dan wanita tidak sama setelah mengalami
perceraian. Penerimaan masyarakat terhadap duda dan janda secara fisik dan
psikologis berbeda terhadap perceraian. Jika seorang duda menjalani pola
hidup yang sama sebelum bercerai, maka hal itu dianggap sebagai hal yang
lazim dan biasa, tetapi jika wanita yang telah bercerai menjalani pola hidup
yang sama, maka hal itu dianggap tabu dan tidak pantas (Desiningrum, 2014).
Wanita yang telah bercerai cenderung mengalami tekanan dan hambatan
dalam bersikap serta mendapat label atau stigma dari orang lain. Stigma yang
diberikan kepada janda ditinggal mati ataupun cerai hidup menjadikan janda
sasaran gosip dan pelecehan seksual (Parker, 2016).
Setelah bercerai maka wanita akan menanggung banyak konsekuensi
dalam kehidupannya. Konsekuensi tersebut bisa berasal dari dalam maupun
dari luar. Menurut Bharathi, Sridevi dan Kumar (2015) kehilangan pasangan
hidup merupakan peristiwa yang signifikan dan memiliki dampak yang kuat
pada sosial dan personal terhadap penyesuaian, kesehatan dan kepuasan
kehidupan
seseorang.
Ketika
seseorang
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
bercerai,
tidak
hanya
harus
257
ARTIKEL
menyesuaikan diri dengan hilangnya pola hubungan yang bersama dan
mengambil keputusan, tetapi juga berpengaruh terhadap penyesuaian diri
dengan lingkungan. Menjanda dianggap sebagai posisi baru yang melibatkan
perubahan besar dalam diri perempuan, baik peran dan tujuan dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat.
Masyarakat selalu memandang status janda sebagai bukti kegagalan bagi
wanita. Setidaknya seperti itulah pandangan umum masyarakat terhadap
janda. Status janda dianggap sebagai aib dan merupakan beban sosial bagi
masyarakat. Menjanda dianggap sebagai suatu kondisi yang menjadi beban
bagi keluarga dan masyarakat. Hal inilah yang disebut oleh Milles (2012)
sebagai deskredit sosial terhadap janda. Janda mengalami deskreditisasi oleh
masyarakat karena dianggap memiliki kekurangan.
Menurut Hurlock (1980) stigmatisasi terhadap janda dibangun oleh
masyarakat
karena
anggapan
yang
merendahkan
perempuan
dan
mengangungkan laki-laki. Karena keberadaan laki-laki dalam masyarakat
patrilinial dianggap agung maka banyak pelecehan dan perendahan terhadap
kaum wanita. Salah satunya di India wanita dianggap pantas mati jika
suaminya meninggal dunia. Bahkan di beberapa Negara wanita yang menjanda
kehilangan hak-haknya sebagai seorang wanita.
Uniknya, dalam masyarakat Minangkabau yang menganut sistem
matrilineal juga terjadi stigmatisasi terhadap janda. Keberadaan adat dan
agama yang saling melengkapi membuat stigmatisasi terhadap janda berbeda
dengan yang dialami oleh masyarakat patrilinial. Dalam masyarakat patrilinial
janda dianggap rendah karena ia dianggap tidak berdaya jika tidak ada lakilaki, maka dalam masyarakat Minangkabau janda dianggap berbeda dengan
wanita lainnya karena tidak memiliki suami. Hal ini yang memicu munculnya
stigmatisasi terhadap janda dalam masyarakat Minangkabau.
Laki-laki membentuk stigma terhadap janda untuk menegaskan
identitas mereka. menurut Arifin (2014) posisi laki-laki Minangkabau yang
lemah dalam adat membuat mereka menciptakan identitas untuk menegaskan
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
258
ARTIKEL
eksistensi kelaki-lakiannya. Uniknya dalam masyarakat Minangkabau tidak
hanya laki-laki yang membentuk stigma terhadap janda. Perempuan juga
menciptakan stigmatisasi terhadap janda dengan cara membuat rumor
(Kalmre, 2003) dan akhirnya masyarakat secara massif akan membentuk
stigmatisasi terhadap janda (Hulock, 1998). Dengan menciptakan stigmatisasi
terhadap janda, laki-laki Minangkabau mencoba mengukuhkan keberadaan
mereka dengan melakukan politik identitas sebagai palang pintu.
1. Maota: Sebagai Sarana Pembentuk Identitas Laki-Laki
Dalam masyarakat Minangkabau, Maota merupakan kebiasaan yang
lumrah. Hal ini karena masyarakat Minangkabau mewarisi budaya tutur/lisan
dalam sendi kehidupannya. Bahkan sejarah Adat Alam Minangkabau yang
disebut tambo tidak diwariskan dalam bentuk tertulis, tetapi dalam bentuk
lisan. Petatah dan petitih adat Minangkabau juga diwariskan dalam bentuk
lisan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Walaupun saat ini sudah ada
dalam bentuk tertulis, itu merupakan budaya lisan yang dituliskan
(Sukmawati,
2006).
Sehingga
dengan
budaya
lisan
tesebut
semakin
mengukuhkan kebiasaan maota dalam masyarakat Minangkabau. laki-laki
menjadikan maota sebagai sarana sosial dalam mengukuhkan identitas mereka.
Berkumpul dan maota dengan masyarakat memberikan ruang bagi lakilaki untuk membentuk stigma terhadap janda dalam rangka menguatkan
identitas mereka. laki-laki menjadikan janda sebagai bahan ota. Mereka
mengungkapkan hal-hal buruk yang dialami oleh mantan istri mereka sebagai
akibat dari tidak mengukuhkan posisi mereka sebagai palang pintu. Seandainya
saja perempuan atau mantan istrinya tersebut tetap mempertahankan palang
pintu, maka kehormatan mereka akan bisa dipertahankan. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh MD (50 tahun) ketika maota di Lapau MRN pada tanggal 26
agustus 2018:
“itulah, padusi ko bana nan mada, bantuak indak butuh laki-laki, iyo bana nyo
bisa mncari pitih surang, pandai maiduik an anak, tapi nan kecek urang ko jo a
ka diambek? Ndak adoh palang pintu, rasaian lah kecek urang maarah ka awak,
lai ka talok maadok i nyo?”
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
259
ARTIKEL
(itulah perempuan memiliki sifat yang keras kepala. Walaupun mereka
bisa mencari uang, menghidupi anak, tetapi kalau tidak memiliki palang
pintu, dengan apa semua perkataan orang akan dihalangi. Hadapilah
kalau mereka bisa).
Dengan maota, laki-laki terus menerus menguatkan identitas mereka.
pada setiap kesempatan mereka akan menyebarkan berita mengenai keadaan
janda yang melanggar adat sebagai akibat dari tidak memiliki suami. mereka
menegaskan bahwa posisi dan fungsi laki-laki penting dalam menghambat
perkataan orang lain terhadap janda. bahkan yang lebih ketatnya lagi, laki-laki
menjadikan maota sebagai sarana mengukuhkan identitas mereka sebagai orang
yang akan menghambat perilaku buruk atau nakal janda. kaum laki-laki
menjadikan alasan tidak memiliki palang pintu sebagai dasar utama bagi ajnda
berperilaku genit dan nakal. Sarana lainnya yang digunakan oleh laki-laki
untuk menguatkan identitas mereka adalah malapau.
2. Malapau: Pengikat Relasi Kaum Laki-laki.
Sebagian besar kaum laki-laki yang ada di Kelurahan Korong Gadang
memiliki kebiasaan malapau. Kebiasaan ini dilakukan pada pagi hari sebelum
pergi bekerja. Kegiatan yang dilakukan di lapau adalah sarapan pagi berupa
pical aau lontong dan meminum kopi. Kegiatan ini disebut malapau karena
warung yang menjadi tempat berkumpul kaum laki-laki tersebut dalam bahasa
Minangkabau disebut dengan lapau. Sehingga aktivitas pergi ke lapau disebut
juga dengan malapau. Kegiatan ini bisa berlangsung lama bahkan ada yang
berlangsung sampai satu jam. Sehingga memungkinkan bagi laki-laki untuk
bercerita atau maota berbagai hal.
Kesempatan malapau ini digunakan oleh kaum laki-laki sebagai sarana
membentuk stigma terhadap janda. Pada saat yang sama ketika stigma
terhadap janda terbentuk, maka juga terjadi penguatan identitas mereka
sebagai palang pintu bagi janda. kaum laki-laki akan memanfaatkan sarana
malapau ini untuk mengungkapkan kerugian-kerugian yang dialami janda
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
260
ARTIKEL
karena tidak memiliki suami. Dalam membentuk sigma tersebut, mereka
menguatkan peran laki-laki sebagai penjaga dan pelindung perempuan yang
dalam bahasa setempat disebut sebagai palang pintu. Di bawah ini adalah
bentuk-bentuk stigmatisasi yang dibentuk oleh laki-laki dalam rangka
menguatkan identitas mereka sebagai palang pintu.
3. Palang Pintu: Politik identitas laki-laki Minangkabau
Palang pintu merupakan konsepsi yang digunakan oleh masyarakat
Minangkabau di Kelurahan Korong Gadang untuk menyebutkan suami bagi
seseorang. Ketika seorang perempuan sudah menikah, maka ia akan
diposisikan sebagai seseorang yang sudah memiliki palang pintu. Jadi
perempuan yang sudah menikah, dianggap oleh adat Minangkabau sebagai
orang yang sudah dikenai oleh adat karena ia sudah memiliki palang pintu.
Palang pintu sendiri merujuk kepada fungsi sosial dari laki-laki yang menjadi
suami.
Posisi relasi sosial laki-laki Minangkabau di Kelurahan Korong Gadang
sebagai palang pintu, memang tidak dieksplisitkan secara jelas. Posisi dan fungsi
laki-laki sebagai palang pintu hadir juga bukan ketika seseorang menjadi suami
atau ayah bagi perempuan. Uniknya fungsi sosial ini justru ditegaskan setelah
seorang laki-laki menjadi duda. Hal ini terkait erat dengan stigma yang terjadi
dalam kehidupan janda. laki-laki akan menegaskan bahwa kaum perempuan
yang sudah menjadi janda tidak lagi memiliki palang pintu. Jadi ketika seorang
perempuan menjadi janda, maka laki-laki atau mantan suaminya akan
menganggap bahwa janda tersebut tidak memiliki palang pintu lagi. Hal inilah
yang mengindikasikan bahwa posisi laki-laki sebagai palang pintu dijadikan
sebagai sarana politik identitas. Hal ini Karen ia tidak dihadirkan ketika
menikah, tetapi jika ada perceraian, maka posisi ini akan ditegaskan dalam
kaitannya dengan stigma terhadap janda. Hal ini seperti yang diungkapkan
oleh ZR (perempuan:70 tahun) pada tanggal 20 mei 2018:
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
261
ARTIKEL
“…wakatu balaki yo ndak takanan doh, ndak tau baa paguno e laki ko doh, kini
lah marando baru tahu baa raso e ndak balaki, ndak bapalang pintu ko yo
masuak sado e kecek urang ka awak…”
(sewaktu memiliki suami memang tidak tahu bahwa suami sangat
berguna, kalau sudah menjadi janda, baru tahu bahwa suami sangat
berguna dalam kehidupan perempuan, kalau tidak memiliki palang
pintu, maka orang lain tidak akan segan terhadap perempuan).
Menurut hasil wawancara di atas, fungsi laki-laki sebagai palang pintu
ditegaskan setelah janda tidak lagi memiliki suami. bahkan setelah bercerai,
semua sikap dan perilaku janda selalu dikaitkan dengan fakta bahwa ia tidak
lagi memiliki palang pintu. Hal inlah yang dilakukan oleh laki-laki dalam
membentuk eksisensi keberadaan mereka sebagai palang pintu. Melalui sarana
maota dan malapau, laki-laki menegaskan bahwa keberadaan mereka penting
bagi kehidupan kaum perempuan. Jika ada yang tidak beres dengan kehidupan
janda hal itu dianggap sebagai akibat dari janda tersebut yang membuang
palang pintu (dalam hal ini merujuk kepada perceraian).
Menurut hasil wawancara di atas juga dapat dianalisa bahwa peran dari
palang pintu baru bisa dirasakan setelah bercerai. Fungsi palang pintu dianggap
sebagai penghalag kata-kata buruk orang lain terhadap janda yang dlaam hal
ini yaitu stigma. Sehingga laki-laki menegaskan bahwa stigma yang dibentuk
oleh masyarakat terhadap janda merupakan akibat dari perempuan atau janda
yang tidak memiliki suami.
Laki-laki menegaskan bahwa stigma merupakan bagian dari kehidupan
janda yang diakibatkan tidak lagi memiliki suami. Dalam kata lain stigma hadir
karena keberadaan laki-laki penting bagi wanita untuk menghindari stigma. Di
sini kaum laki-laki mengeaskan keeksisan identitas mereka sebagai penghalang
stigma terhadap janda. tidak hanya kaum laki-laki, kaum perempuan pun
memperceyaia hal ini. Sehingga laki-laki merasa lebih mudah untuk melakukan
politik identitas mereka sebagai palang pintu dalam kehidupan sehari-hari.
Jika dianalisa secara bahasa, kata palang pintu terdiri dari dua bahasa
yaitu palang dan pintu. Palang bisa diartikan secagai plang, penghambat, tanda
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
262
ARTIKEL
atau sesuatu yang menghalangi. Sedangkan pintu berarti pintu yang dalam
kaitannya dengan riset ini diartikan sebagai pintu luar. Hal ini karena pintu
yang berada di teras dan berhubungan langsung dengan dunia luar harus
diberi tanda, diberi penghalang supaya tidak sembarangan orang bisa masuk
ke rumah. Kaitannya dengan fungsi sosial palang pintu yaitu bisa menghambat
kata-kata buruk orang lain atau stigma yang diberikan kepada janda.
Palang pintu dikatakan sebagai sebuah politik identitas karena ia hadir
dan ditegaskan setelah seseorang bercerai. Setelah ebrcerai, maka laki-laki akan
menegaskan bahwa kehidupan janda menjadi lebih buruk karena ia tidak
memiliki laki-lakis sebagai palang pintu. Padahal ketika menikah, laki-laki tidak
pernah mengungkapkan bahwa ia memiliki peran sebagai palang pintu. Karena
posisi dan peran palang pintu ditegaskan setelah bercerai dan dibentuk melalui
kegiatan malapau dan maota, maka ini jelas merupakan sebuah tindakan politik
identitas dari kaum laki-laki untuk menegaskan peran mereka. uniknya lagim
peran laki-laki sebagai palang pintu tidak bisa dipisahkan dari stgma yang
diberikan masyarakat terhadap janda. karena semakin buruk stigma yang
melekat terhadap janda, semakin menegaskan bahwa posisi palang pintu
penting bagi seorang wanita. Sehingga peran laki-laki sebagai palang pintu
merupakan sebuah respon laki-laki terhadap stigma dan mereka gunakan
sebagai ajang politik identitas mereka.
4. Stigma terhadap janda: Penguat Eksisensi Kaum laki-laki
a. Sigma Janda Jadi baban (Menjadi Beban)
Keluarga janda lebih banyak memberikan pandangan yang buruk
tentang janda. mereka mengatakan bahwa janda merupakan beban bagi
keluarga. Tidak hanya beban secara finansial tetapi juga menjadi beban sosial.
Hal ini karena janda lebih sering menjadi bahan pergunjingan orang lain.
Sehingga keluarga dan kerabatnya merasa janda merupakan beban bagi
mereka. Pandangan menjadi beban ini peneliti temukan dalam keluarga luas
janda. Masing-masing keluarga inti yang tinggal bersama sebagai keluarga luas
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
263
ARTIKEL
membuat aturan tertentu. Aturan tersebut tidak terlihat tetapi dipatuhi oleh
masing-masing anggota keluarga luas. Masing-masing anggota keluarga tidak
boleh saling melampaui kepentingan anggota lain. Misalnya saja untuk
membuat sumur dan kamar mandi di rumahnya, haruslah memperhatikan
rumah yang ada di depan atau belakangnya.
b. Janda sebagai perempuan yang Kancang Ka Laki-Laki ( Genit Kepada
Laki-laki)
Masyarakat Kelurahan korong Gadang memiliki stigmatisasi yang buruk
terhadap janda. Mereka memberikan cap atau label yang berkaitan dengan
seksualitas. Masyarakat Kelurahan korong Gadang percaya bahwa janda
memiliki tingkat seksualitas yang tinggi. Mereka menyebutnya dengan istilah
kancang ka laki laki. Pandangan ini menyiratkan bahwa masyarakat masih
mengaitkan perilaku janda dengan seksualitas. Alasan utamanya yaitu
masyarakat percaya bahwa wanita yang sudah pernah melakukan hubungan
badan akan selalu menginginkannya.
Dengan pandangan ini masyarakat meyakini bahwa janda akan selalu
menginginkan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas. Sehingga masyarakat
menganggap janda akan selalu mau jika di rayu oleh laki laki. Bahkan ada
masyarakat yang mengatakan walaupun janda tersebut mencoba menahan diri,
tetap saja tubuhnya tidak bisa berdusta. Hal ini menyiratkan bahwa
bagaimanapun keadaannya janda akan selalu dikaitkan dengan seksualitas
yang tinggi. Masyarakat menganggap bahwa janda selalu menginginkan
perhatian dari orang lain. Masyarakat percaya bahwa wanita akan selalu
membutuhkan perhatian dari lawan jenis. Perhatian tersebut dianggap sebuah
kebutuhan dasar bagi seorang wanita. Jika ia tidak mendapatkannya dari
suaminya, maka pasti ia akan mencarinya dari orang lain. Dengan pandangan
ini membuat stigmatisasi terhadap janda lebih mudah terbentuk.
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
264
ARTIKEL
c. Janda sebagai Perempuan yang Ndak pandai balaki (tidak pandai
mengurus suami)
Sangat unik, ketika peneliti mengatakan bahwa salah satu stigmatisasi
janda oleh masyarakat adalah ndak pandai balaki. Padahal sebelumnya peneliti
mengungkapkan bahwa janda dianggap mahir dalam hal pelayanan seks. Dua
hal ini memang terjadi dalam masyarakat Minangkabau di Kelurahan Korong
gadang. Janda dianggap sebagai orang yang tidak becus mengurus suami.
Pernikahannya dianggap sebagai sebuah kegagalan karena tidak pandai
mengurus suami. Menjadi janda merupakan suatu bukti nyata bagi masyarakat
bahwa ia tidak pandai mengurus suami. Jika janda pandai mengurus suaminya,
maka tidak akan terjadi perceraian.
Menjadi janda dianggap sebagai bentuk kegagalan bagi wanita
Minangkabau. Ia dianggap tidak mampu mengurus dan menjaga keluarganya.
Walaupun dalam masyarakat Minangkabau wanita adalah pemegang garis
keturunan dan tanah pusaka, tetap saja pandangan ini terjadi. Uniknya
pandangan tersebut berasal dari kaum wanita. Pandangan yang menganggap
janda sebagai sebuah kegagalan justru berasal dari kaum wanita. Kaum wanita
selalu membandingkan dirinya dengan janda dan mengatakan bahwa janda
tidak bisa mengurus keluarga dan suaminya.
Menurut peneliti hal tersebut terjadi karena kaum wanita Minangkabau
di Kelurahan Korong Gadang selalu manyantiangan diri. Manyantiangan diri
merupakan salah satu kebiasaan masyarakat Minangkabau di Kelurahan
Korong Gadang. Kebiasaan ini menimbulkan sikap iri wanita lainnya terhadap
janda yang mereka anggap mandiri. Rasa iri ini akhirnya berubaha wujud
menjadi kesalahan-kesalahan janda. Salah satu Kesalahan janda bagi wanita
Minangkabau di Kelurahan Korong Gadang yaitu tidak pandai mengurus
suami. Masyarakat menyebutnya dengan istilah ndak pandai balaki.
d. Janda ibarat Maracak Kudo Pandai
Masyarakat Minangkabau mengibaratkan janda dengan istilah maracak
Kudo pandai. Dalam Bahasa Indonesia ini bisa diartikan dengan menunggangi
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
265
ARTIKEL
kuda yang telah mahir. Kata “Mahir” mengacu kepada pelayanan seksualitas.
Janda dianggap lebih berpengalaman dalam pelayanan seksualitas. Sehingga
dengan menikahi janda maka laki-laki tersebut sudah mendapatkan wanita
yang berpengalaman dalam hal pelayanan seksual.
Pandangan ini merupakan stigma yang buruk terhadap janda. Janda
disimbolkan dengan Kudo atau kuda. Yang merupakan simbol binatang yang
kuat. Kenapa janda diartikan dengan kuda karena mereka dianggap kuat dan
mampu bertahan. Selain itu kuda juga merupakan simbol hewan yang memiliki
seksualitas yang tinggi. Sehingga menganalogikan janda dengan kuda sama
halnya dengan mengatakan mereka memiliki seksualitas yang tinggi juga.
Pengibaratan janda dengan kuda juga bisa dianalisa sebagai bentuk
perendahan wanita. Kuda adalah hewan tunggangan yang selalu membawa
beban berat. Kuda juga dianggap sebagai hewan kuat yang bodoh. Hal ini bisa
diartikan bahwa janda dianggap sebagai wanita yang tidak mampu
menentukan arah hidupnya sendiri. Walaupun masyarakat juga mengakui
kemandirian janda, tetapi tetap saja mereka mengibaratkan janda dengan kuda
merupakan hewan yang dianggap bodoh. Pengibaratan ini selain mengacu
kepada pelayanan seksual, juga mengarah pada perendahan janda yang
diibaratkan dengan kuda.
Kata maracak yang berarti menunggangi merupakan istilah yang kasar
bagi janda. Banyak janda yang mengetahui pandangan tersebut dan merasa
tidak nyaman dengan hal itu. Kata Maracak atau menunggangi merupakan
kata kerja yang menjadkan janda sebagai objek. Kata ini menunjukkan bahwa
janda dianggap sebagai manusia yang pasif dan tidak memiliki kebebasan
menentukan pilihan. Selayaknya hewan tunggangan yang tidak boleh menolak
perintah majikannya, sama halnya dengan janda yang dianggap harus patuh
kepada perintah laki-laki. Maka istilah ini menunjukkan bahwa janda di
kelurahan Korong Gadang mengalami stigmatisasi. Masyarakat Minangkabau
di Kelurahan Korong Gadang membangun stigmatisasi terhadap janda.
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
266
ARTIKEL
e. Janda sebagai Perempuan Pambuek Malu (Memberi Malu Keluarga)
Janda dianggap memberi malu keluarga luasnya. Hal ini karena janda
menjadi
pembicaraan
masyarakat.
Bahkan
dalam
temuan
penelitian
diungkapkan bahwa ada janda yang ternyata”terpaksa” harus menyetujui
anggapan orang lain terhadap saudaranya yang janda. Hal ini karena saudara
atau kerabat janda merasa malu untuk membela saudaranya.
Janda yang
sering dianggap buek malu adalah janda muda. Walaupun janda tua
mengalaminya tetapi tidak seperti yang dialami oleh janda muda. Janda muda
selalu saja dianggap membuat malu keluarga. Apapun yang dilakukan oleh
janda muda selalu dianggap membuat malu. Bahkan janda muda tetap saja
dianggap membuat malu keluarga jika ia tersenyum manis kepada orang lain.
D.
KESIMPULAN
Keberadaan laki-laki dalam masyarakat matrilineal berada pada posisi
yang lemah, sehingga diibaratkan abu di ateh tunggua (abu di atas tunggul
kayu). Hal ini merupakan cerminan dari posisi kaum perempuan yang kuat
dalam masyarakat matrilineal. Selain itu, posisi laki-laki juga dianggap sebagai
“orang luar” dari kaum istrinya. Sehingga keberadaan laki-laki tidak dianggap
begitu penting. Selain itu, pada saat sekarang ini, banyak istri yang meminta
cerai dengan alasan sudah bekerja dan bisa menghidupi anak-anaknya.
Untuk
mengantisipasi
hal
tersebut,
masyarakat
Minangkabau
membentuk identitas laki-laki sebagai Palang Pintu yang menguatkan eksistensi
mereka dalam ruang sosial. Kaum laki-laki membentuk stigma terhadap janda
untuk membuktikan bahwa keberadaan mereka sangat penting dalam hal
melindungi dan menjaga perempuan. Walaupun kaum perempuan bisa
menghidupi diri dan anak-anaknya, tetapi laki-laki mencoba menguatkan
identitas mereka sebagai Palang Pintu untuk menegaskan posisi mereka.
Melalui sarana Maota dan malapau, kaum laki-laki menguatkan identitas mereka
sebagai palang pintu dalam kehidupan sosial kaum perempuan.
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
267
ARTIKEL
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Z. (2012). Buru Babi: Politik Identitas Laki-Laki Minangkabau. Jurnal
Humaniora, 24(1), 29-36.
Arifin, Z. (2012). Dualitas Praktik Perkawinan Minangkabau. Jurnal
Humaniora, 21(2), 150-161.
Asri, Y. (2013). Refleksi Ideologi Wanita Minangkabau dalam Novel Negeri
Perempuan Karya Wisran Hadi. Humaniora, 25(1), 69-81.
Desiningrum, D. R. (2015). Kesejahteraan psikologis lansia janda/duda ditinjau
dari persepsi terhadap dukungan sosial dan gender. Jurnal
Psikologi, 13(2), 102-106.
Endaswara, S. (2012). Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta. UGM
University Press.
Giddens, A., & Birdsall, K. (2002). Sociology fourth edition. Camridge: Blackwell
Publisher Ltd.
Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta: Gramedia.
binti Daimi, J. (2018). Politik Kepentingan: Analisis Antropologis Mengenai
Dualitas Stigma Terhadap Janda Dalam Masyarakat Matilineal. Jurnal
Analisis Sejarah, 7(2), 137-154.
Kalmre, E. (2013). The Human Sausage Factory: A Study of Post-War Rumour in
Tartu. Estonia: Estonian Literary Museum.
Kalmre, E. (2017). Introduction: The Social and Political Dynamic of Conspiracy
Theories, Rumours, Fake News, and Belief Narratives. Folklore: Electronic
Journal of Folklore, (69), 7-14.
Parker, L. (2016). The Theory and Context of the Stigmatisation of Widows and
Divorcees (Janda) in Indonesia. Indonesia and the Malay World, 44(128), 726.
Selasih. (1989). Bundo Kanduang. Jakarta. Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah.
JISPO VOL. 9 No. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2019
268