Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
BAB II LANDASAN TEORI II.1. Tinjauan Pustaka II.1.1 Masa Remaja a. Definisi remaja Remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa dan merupakan masa pencarian jati diri. Selalu mencoba sesuatu yang baru dan saat memulai suatu hubungan dengan lawan jenis (Djaja,2002). Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12-24 tahun. Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologis, psikologis, dan sosial (Notoatmodjo, 2007). b. Perubahan masa remaja Perubahan yang terjadi pada masa ini antara wanita dan laki-laki berbeda. Pada laki-laki perubahan seksual yang terjadi meliputi pembesaran skrotum dan testis, sedangkan wanita meliputi perkembangan payudara dan terjadinya menstruasi atau haid. Perubahan fisik yang terjadi meliputi perubahan komposisi tubuh (penambahan masa otot dan jaringan lemak tubuh) serta penambahan berat badan dan tinggi badan. Sebanyak 50% berat badan dewasa, 15% tinggi badan dewasa dan 45% massa tulang dewasa dibentuk pada masa remaja, sedangkan perubahan psikososial meliputi perubahan emosional, kognitif dan sosial. Remaja juga mengalami perubahan pola makan (Silbernagl & Lang, 2007). II.1.2. Pubertas Pubertas merupakan onset dari kehidupan seksual dewasa. Sedangkan menarche berarti permulaan siklus menstruasi. Periode pubertas terjadi karena kenaikan sekresi hormon gonadotropin oleh hipofisis yang perlahan, dimulai pada sekitar tahun kedelapan kehidupan dan mencapai puncak pada onset terjadinya pubertas dan menstruasi, yaitu antara usia 11 dan 16 tahun pada anak wanita (ratarata 13 tahun) (Guyton, 2007). 6 Pada wanita kelenjar hipofisis dan ovarium yang infantil akan mampu menjalankan fungsi penuh apabila dirangsang secara tepat. Akan tetapi, seperti yang berlaku pada pria dan karena alasan yang masih belum diketahui, hipotalamus tidak menyekresi jumlah GnRH yang bermakna selama masa kanak-kanak. Eksperimen menunjukkan bahwa hipotalamus sendiri sebenarnya mampu menyekresi hormon ini, tetapi sinyal yang tepat dari beberapa daerah otak yang lain menyebabkan tidak terjadinya sekresi. Oleh karena itu, pubertas dirangsang oleh beberapa proses pematangan yang berlangsung dimanapun di daerah otak selain di hipotalamus, mungkin juga di sistem limbik (Guyton, 2007). II.1.3. Menstruasi a. Menstruasi Normal Menstruasi merupakan suatu hal yang berulang, akibat adanya interaksi hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus, hipofisis dan ovarium. Lamanya siklus menstruasi adalah tenggang waktu antara hari pertama haid sampai hari pertama siklus berikutnya. Rata-rata lama siklus menstruasi 21 sampai 35 hari dengan ratarata keluarnya darah 3 sampai 7 hari dan kehilangan darah 30 sampai 40 ml setiap hari. Darah yang keluar > 80 mL per siklusnya adalah abnormal dan dapat menyebabkan anemia (Indriyani, 2010). Perubahan di uterus yang terjadi selama daur haid mencerminkan perubahan hormon selama siklus ovarium dimana fluktuasi kadar estrogen dan progesteron dalam sirkulasi (plasma) yang terjadi pada saat siklus ovarium berlangsung menyebabkan perubahan-perubahan mencolok di uterus. Hal ini menyebabkan timbulnya daur haid atau siklus uterus (siklus menstruasi). Karena mencerminkan perubahan-perubahan hormon yang terjadi selama siklus ovarium, daur haid berlangsung rata-rata 28 hari seperti siklus ovarium, walaupun dapat terjadi variasi yang cukup besar bahkan pada orang dewasa normal. Variabilitas tersebut terutama mencerminkan perbedaan durasi fase folikel dimana durasi fase luteal hampir konstan. Manifestasi nyata perubahan siklik yang terjadi di uterus adalah perdarahan haid yang berlangsung sekali setiap daur haid. Namun, selama siklus tersebut terjadi perubahan-perubahan yang kurang nyata, ketika uterus dipersiapkan untuk menerima implantasi ovum yang dibuahi 7 dan kemudian lapisannya dilepaskan jika tidak terjadi pembuahan (haid), hanya untuk memperbaiki dirinya kembali dan mulai mempersiapkan diri untuk ovum yang akan dikeluarkan pada siklus berikutnya (Sherwood, 2009). Pengaruh estrogen dan progesteron pada uterus dan kemudian memperhitungkan efek fluktuasi siklik kedua hormon tersebut pada struktur dan fungsi uterus. Uterus terdiri dari 3 lapisan yaitu miometrium, lapisan otot polos di sebelah luar, dan endometrium, lapisan mukosa yang mengandung banyak pembuluh darah dan kelenjar. Estrogen merangsang pertumbuhan miometrium dan endometrium. Hormon ini juga meningkatkan sintesis reseptor progesteron di endometrum. Dengan demikian, progesteron mampu mempengaruhi endometrium hanya setelah endometrium dipersiapkan oleh estrogen. Progesteron bekerja pada endometrium yang telah dipersiapkan oleh estrogen untuk mengubahnya menjadi lapisan yang ramah dan mengandung banyak nutrisi bagi ovum yang sudah dibuahi. Di bawah pengaruh progesteron, jaringan ikat endometrium menjadi longgar dan edematosa akibat penimbunan elektrolit dan air, yang mempermudah implantasi ovum yang dibuahi. Progesteron juga mempersiapkan endometrium untuk menampung mudigah yang baru berkembang dengan merangsang kelenjar-kelenjar endometrium agar mengeluarkan dan menyimpan glikogen dalam jumlah besar dan dengan menyebabkan pertumbuhan besar-besaran pembuluh darah endometrium. Progesteron juga menurunkan kontraktilitas uterus agar lingkungan di uterus tenang dan kondusif untuk implantasi dan pertumbuhan mudigah (Sherwood, 2009). b. Siklus Haid Daur haid terdiri dari tiga fase, yaitu: 1. fase menstruasi (haid) 2. fase proliferasi 3. fase sekresi atau progestasional Fase menstruasi adalah fase yang paling jelas karena ditandai oleh pengeluaran darah dan debris endometrium dari vagina. Hari pertama haid dianggap sebagai awal siklus baru. Fase ini bersamaan dengan berakhirnya fase luteal ovarium dan permulaan fase folikel. Sewaktu corpus luteum berdegenerasi 8 karena tidak terjadi pembuahan dan implantasi ovum yang dikeluarkan dari siklus sebelumnya. Kadar estrogen dan progesteron di sirkulasi turun drastis oleh karena efek estrogen dan progesteron adalah mempersiapkan endometrium untuk implantasi ovum yang dibuahi. Penarikan kembali kedua hormon steroid tersebut menyebabkan lapisan endometrium yang kaya akan nutrisi dan pembuluh darah itu tidak lagi ada yang mendukung secara hormonal. Penurunan kadar hormon ovarium itu juga merangsang pengeluaran prostaglandin uterus yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh-pembuluh endometrium, sehingga aliran darah ke endometrium terganggu. Penurunan penyaluran oksigen yang terjadi menyebabkan kematian endometrium, termasuk pembuluh-pembuluh darahnya. Perdarahan yang timbul melalui disintegrasi pembuluh darah itu melepas jaringan endometrium yang mati ke dalam lumen uterus. Pada setiap kali haid, seluruh lapisan endometrium terlepas, kecuali suatu lapisan dalam dan tipis yang terdiri dari sel-sel epitel dan kelenjar yang akan menjadi bakal regenerasi endometrium. Prostaglandin uterus juga merangsang kontraksi ritmik ringan miometrium. Kontraksi-kontraksi itu membantu mengeluarkan darah dan debris endometrium dari rongga uterus melalui vagina sebagai darah haid. Kontraksi uterus yang kuat akibat pembentukan prostaglandin yang berlebihan merupakan penyebab kejang haid atau dismenore yang dialami oleh sebagian wanita (Sherwood, 2009). Jumlah rata-rata darah yang keluar setiap kali haid adalah 50-150 ml. darah yang mengalir lambat melalui endometrium akan membeku di dalam rongga uterus. Fibrinolisin, suatu pelarut fibrin yang menguraikan fibrin yang membentuk jalinan bekuan yang akan bekerja pada pembekuan ini. Dengan demikian, darah haid biasanya tidak lagi membeku karena darah tersebut sudah dicairkan sebelum keluar dari vagina. Namun, apabila darah terlalu cepat mengalir keluar, fibrinolisin mungkin belum memiliki cukup waktu untuk bekerja, sehingga darah haid dapat membeku terutama jika jumlahnya sangat banyak. Selain darah dan debris endometrium, darah haid mengandung banyak leukosit. Sel-sel darah putih ini berperan penting dalam pertahanan endometrium terhadap infeksi (Sherwood, 2009). 9 Haid biasanya berlangsung selama 5-7 hari setelah degenerasi korpus luteum, bersamaan dengan bagian awal fase folikel ovarium. Penurunan estrogen dan progesteron akibat degenerasi korpus luteum secara simultan menyebabkan terlepasnya endometrium (haid) dan perkembangan folikel-folikel baru di ovarium di bawah pengaruh hormon-hormon gonadotropik yang kadarnya meningkat. Penurunan sekresi hormon gonad menghilangkan efek inhibisi pada hipotalamus dan hipofisis anterior, sehingga sekresi FSH dan LH, folikel-folikel yang baru kembali dimulai. Setelah 5-7 hari di bawah pengaruh FSH dan LH, folikel-folikel yang baru berkembang mengeluarkan cukup banyak estrogen untuk mendorong pemulihan dan pertumbuhan endometrium (Sherwood, 2009). Fase Proliferatif siklus uterus dimulai bersamaan dengan bagian terakhir fase folikel ovarium pada saat endometrium mulai memperbaiki dirinya dan mengalami proliferasi di bawah pengaruh estrogen yang berasal dari folikel-folikel baru yang sedang tumbuh. Sewaktu darah haid berhenti, di uterus tertinggal satu lapisan tipis endometrium setebal < 1 mm (Sherwood, 2009). Perubahan yang terjadi pada ovarium, uterus, dan serviks pada saat siklus haid berlangsung. Hari pertama, mulai perdarahan haid, lamanya kurang lebih 2-6 hari. Hari ke 5-14 merupakan fase folikuler atau fase proliferasi, yang dimulai setelah perdarahan berakhir dan berlangsung sampai saat ovulasi. Fase ini sebagai persiapan suatu kehamilan. Pada fase ini, di dalam ovarium terjadi pematangan folikel. Akibat pengaruh FSH, folikel tersebut akan menghasilkan estradiol dalam jumlah besar. Mulut serviks kecil dan tertutup, getahnya jadi makin encer sehingga dapat ditarik seperti benang (spinnbar-keit). Pembentukan estradiol akan terus meningkat sampai saat akan terjadinya ovulasi (kira-kira hari ke-13). Setelah itu kadar estradiol turun lagi dan pada fase sekresi meningkat lagi untuk kedua kalinya. Peningkatan kedua ini membuktikan bahwa korpus luteum tidak hanya memproduksi progesteron, melainkan juga estrogen. Hal ini penting diketahui untuk mengobati kasus-kasus dengan insufisiensi korpus luteum (Sherwood, 2009). Peningkatan estradiol ketika akan terjadi ovulasi mengakibatkan terjadinya pengeluaran LH yang banyak (umpan balik positif dari estradiol). Puncak LH ini akan memicu ovarium dan terjadilah ovulasi pada hari ke-14 (pada siklus haid 28 10 hari). Dalam waktu yang sama suhu basal badan (SBB) juga meningkat kira-kira 0,5 oC. Selama ovulasi, getah serviks encer dan bening, dan mulut serviks sedikit terbuka, yang memungkinkan masuknya spermatozoa. Hari ke-14-28 merupakan fase luteal atau fase sekresi, yang memiliki ciri khas, yaitu terbentuknya korpus luteum dan penebalan kelenjar endometrium. Pengaruh progesteron terhadap endometrium paling terlihat pada hari ke-22 yaitu pada nidasi seharusnya terjadi. Peningkatan progesteron sesudah ovulasi akan menghambat sekresi FSH dari hipofisis, sehingga pertumbuhan folikel selama fase luteal akan terhambat pula. Bilamana tidak terjadi nidasi, terjadi penyempitan pembuluh-pembuluh darah endometrium yang berlanjut dengan iskemik, sehingga terlepas dan timbul haid (Sherwood, 2009). 11 Gambar 1. Siklus Menstruasi Normal c. Gangguan Haid dan Siklusnya Gangguan haid dan siklusnya khususnya dalam masa reproduksi dapat digolongkan dalam: a. Kelainan dalam banyaknya darah dan lamanya perdarahan pada haid: 1). Hipermenorea atau menoragia Hipermenorea adalah perdarahan haid yang lebih banyak dari normal, atau lebih lama dari normal ( > 8 hari). Penyebabnya karena gangguan hormonal, kelainan dalam uterus, seperti mioma uteri dengan permukaan endometrium lebih luas dari biasa dan dengan kontraktilitas yang terganggu, polip endometrium, gangguan pelepasan endometrium pada waktu haid (irregular endometrial shedding), dan sebagainya. Pada gangguan pelepasan endometrium biasanya terdapat juga gangguan dalam pertumbuhan endometrium yang diikuti dengan gangguan pelepasannya pada waktu haid (Prawirohardjo, 1999). 12 2). Hipomenorea Hipomenorea ialah perdarahan haid yang lebih pendek/atau lebih kurang dari biasa. Penyebabnya dapat terletak pada konstitusi penderita, pada uterus seperti sesudah miomektomi, pada gangguan endokrin, dan lain-lain. Kecuali jika ditemukan sebab yang nyata, terapi terdiri atas menenangkan penderita. Adanya hipomenorea tidak mengganggu fertilitas (Prawirohardjo, 1999). b. Kelainan siklus 1). Polimenorea Pada polimenorea siklus haid lebih pendek dari biasa (< 21 hari). Perdarahan kurang lebih sama atau lebih banyak dari haid biasa. Hal terakhir ini diberi nama polimenoragia atau epimenoragia. Polimenorea dapat disebabkan oleh gangguan hormonal yang mengakibatkan gangguan ovulasi, atau menjadi pendeknya masa luteal. Sebab lain ialah kongesti ovarium karena peradangan, endometriosis, dan sebagainya (Prawirohardjo, 1999). 2). Oligomenorea Siklus haid lebih panjang, lebih dari 35 hari. Apabila panjangnya siklus lebih dari 3 bulan, hal itu sudah mulai dinamakan amenorea. Perdarahan pada oligomenorea biasanya berkurang. Oligomenorea dan amenorea sering kali mempunya dasar yang sama, perbedaannya terletak dalam tingkat. Pada kebanyakan kasus oligomenorea, kesehatan wanita tidak terganggu dan fertilitas cukup baik. Siklus haid biasanya juga ovulatoar dengan masa proliferasi lebih panjang dari biasa (Prawirohardjo, 1999). 3). Amenorea Amenorea ialah keadaan tidak adanya haid untuk sedikitnya 3 bulan berturut-turut. Lazim diadakan pembagian antara amenorea primer dan amenorea sekunder. Kita berbicara tentang amenorea primer apabila seorang wanita berumur 18 tahun ke atas tidak pernah dapat haid, sedang pada amenorea sekunder penderita pernah mendapat haid, tetapi kemudian tidak dapat lagi. Amenorea primer umumnya disebabkan oleh hal yang lebih berat dan sulit untuk diketahui, seperti 13 kelainan kongenital dan kelainan genetik. Adanya amenorea sekunder lebih menunjuk kepada sebab-sebab yang timbul kemudian dalam kehidupan wanita, seperti gangguan gizi, gangguan metabolism, tumor, penyakit infeksi, dan lain-lain (Prawirohardjo, 1999). Istilah kriptomenorea menunjuk kepada keadaan dimana tidak tampak adanya haid karena darah tidak keluar berhubung ada yang menghalangi, misalnya ginatresia himenalis, penutupan kanalis servikalis, dan lain-lain. Selanjutnya ada pula amenorea fisiologik, yakni yang terdapat dalam masa sebelum pubertas, masa kehamilan, masa laktasi, dan sesudah menopause (Prawirohardjo, 1999). c. Gangguan yang ada hubungan dengan haid: 1. Dismenorea 2. Premenstrual tension (ketegangan prahaid) 3. Mastodinia II.1.4. Dismenore a. Definisi Dismenore merupakan salah satu dari keluhan utama ginekologis yang menyebabkan pasien datang ke dokter (Jamieson & Steege, 1996) Dismenore adalah nyeri pada saat haid merupakan suatu gejala dan bukan suatu penyakit (Baziad, 2003). Istilah dismenore (dysmenorrhea) berasal dari bahasa “Greek” yang artinya adalah dys (gangguan/nyeri hebat/abnormalitas) – meno (bulan) – rrhea (flow/aliran). Dismenore adalah gangguan aliran darah haid atau nyeri haid. Dismenore merupakan nyeri siklik pada panggul atau abdomen bagian bawah, rasa nyeri dapat menjalar ke arah punggung dan paha bagian depan, terjadi sebelum dan atau selama periode haid. Dismenore dibagi menjadi 2 yaitu dismenore primer (spasmodik) dan dismenore sekunder (kongestif) (Dawood, 1985). Dismenore juga merupakan nyeri selama menstruasi yang disebabkan oleh kejang otot uterus. Disebut dismenore primer apabila tidak terdapat gangguan fisik yang menjadi penyebab dan hanya terjadi selama siklus-siklus ovulatorik. Dismenore sekunder timbul karena adanya masalah fisik seperti endometriosis, polip uteri, leiomioma, 14 stenosis serviks, atau penyakit radang panggul (PID) (Sylvia & Lorraine, 2006). Nyeri haid ini timbul akibat suatu kontraksi disritmik miometrium yang menimbulkan satu atau lebih gejala mulai dari nyeri yang ringan sampai berat pada perut bagian bawah, bokong, dan nyeri spasmodik pada sisi medial paha. Mengingat sebagian besar wanita mengalami beberapa derajat nyeri pelvik selama haid, maka istilah dismenorea hanya dipakai untuk; nyeri haid yang cukup berat sampai yang menyebabkan penderita terpaksa mencari pertolongan dokter atau pengobatan sendiri dengan analgesik. Yang dimaksud dengan dismenorea berat adalah nyeri haid yang disertai mual, muntah, diare, pusing, nyeri kepala, dan bahkan sampai menyebabkan pingsan (Sylvia & Lorraine, 2006). b. Epidemiologi Dismenore merupakan gangguan ginekologi yang sering terjadi. Sekitar 3075% wanita mengalami dismenore. Secara umum didapatkan terjadi lebih dari 50% wanita. Biasanya kejadiannya tergantung dari rata-rata usia yang telah ditetapkan. Sekitar 10% wanita yang mengalami dismenore sering mengakibatkan tidak masuknya wanita tersebut 1-3 hari di sekolah maupun pekerjaan mereka (Sylvia&Lorraine, 2006). Angka kejadian pasti dismenorea di Indonesia belum ada secara detail. Sebenarnya angka kejadiannya cukup tinggi, namun yang datang berobat ke dokter sangatlah sedikit, yaitu 1-2% saja. Pada tahun 2002 telah dilakukan penelitian di 4 SLTP di Jakarta untuk mencari angka kejadian haid primer. Dari 733 orang yang diterima sebagai subyek penelitian, 543 orang mengalami nyeri haid dari derajat ringan sampai berat (74,1%), sedangkan sebanyak 190 orang (25,9%) tidak mengalami nyeri haid. Di Amerika Serikat, dismenorea dialami oleh 30-50% wanita usia reproduksi. Sekitar 10-15% diantaranya terpaksa kehilangan kesempatan kerja, sekolah dan kehidupan keluarga. Di Swedia ditemukan angka kejadian dismenorea pada wanita berumur 19 tahun sebanyak 72,42% (Baziad, 2003). 15 Dismenore paling sering terjadi pada masa remaja, dalam 2-5 tahun setelah menarche atau haid yang pertama sekali terjadi. Dismenore terjadi pada lebih dari setengah wanita usia reproduksi dengan prevalensi yang beragam. Sebuah penelitian terhadap 113 pasien praktek pribadi menunjukkan angka prevalensi sekitar 29-44% (Cameron, 1999). Tabel 1. Dismenore Primer pada populasi 586 wanita di Swedia, diatas usia 19 tahun Persentase Derajat Jumlah (%) 162 27.6 Ringan * 201 34.3 Sedang ** 133 22.7 Berat *** 90 15.4 Tidak Menderita * Tidak terdapat gejala sistemik. Jarang menggunakan obat, jarang mengganggu aktivitas sehari-hari ** Terdapat beberapa gejala sistemik, selalu memerlukan obat, sering mengganggu aktivitas sehari-hari *** Gejala sistemik sangat banyak, memberikan respons terapi yang buruk, selalu mengganggu aktivitas sehari-hari Sumber dari: Andersch B. dan Milsom I. Am J Obstetrics & Gynaecology.1982.144:655 c. Etiologi Berdasarkan klasifikasi masing-masing penyebab kejadian dismenore primer yaitu adanya jumlah prostaglandin F2α yang berlebihan pada darah menstruasi yang pada akhirnya merangsang hiperaktivitas uterus, F2α merupakan stimulan kuat terhadap uterus dan vasokonstriktor pada endometrium dalam fase 16 sekresi, sedangkan pada dismenore sekunder timbul karena adanya masalah penyakit fisik seperti endometriosis, polip uteri, leiomioma, stenosis serviks, atau penyakit radang panggul (PID) (Bickley, 2009). d. Faktor Risiko Faktor risiko terjadinya dismenore secara umum yaitu: 1). Olahraga/senam Latihan-latihan olahraga yang ringan sangat dianjurkan untuk mengurangi dismenore. Olahraga/senam merupakan salah satu teknik relaksasi yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri. Hal ini disebabkan saat melakukan olahraga/senam tubuh akan menghasilkan endorphin. Endorphin dihasilkan di otak dan susunan syaraf tulang belakang. Sesuai dengan teori Endorfin-Enkefalin mengenai pemahaman mekanisme nyeri adalah ditemukannya reseptor opiat di membran sinaps. Reseptor opiat terutama terdapat di daerah PAG, nucleus rafe medial, dan kornu dorsalis medula spinalis. Terdapat tiga golongan utama peptide opioid endogen, yaitu golongan enkefalin, beta-endorfin, dan dinorfin. Betaendorfin yang dihasilkan saat melakukan olahraga merupakan analgesik yang lebih poten dari enkefalin (Sylvia&Lorraine, 2006). Hormon ini dapat berfungsi sebagai obat penenang alami yang diproduksi otak sehingga menimbulkan rasa nyaman (Harry,2007). Dari hasil penelitian ternyata dismenore lebih sedikit terjadi pada olahragawati dibandingkan wanita yang tidak melakukan olahraga/senam (Sumudarsono,1998). 2). Stres/cemas Dismenore atau nyeri haid adalah normal, namun dapat berlebihan apabila dipengaruhi oleh faktor fisik dan psikis seperti stres serta pengaruh dari hormon prostaglandin dan progesteron. Selama dismenore, terjadi kontraksi otot rahim akibat peningkatan prostaglandin sehingga menyebabkan vasospasme dari arteriol uterin yang menyebabkan terjadinya iskemia dan kram pada abdomen bagian bawah yang akan merangsang rasa nyeri di saat datang bulan (Robert dan David, 2004). Pengeluaran prostaglandin F2alfa dipengaruhi oleh hormon progesteron 17 selama fase luteal dari siklus menstruasi dan mencapai puncaknya pada saat menstruasi. Fungsi progesteron terhadap endometrium pada saat terjadi perubahan sekretorik menyebabkan degenerasi endometrium, pada miometrium menurunkan tonus miometrium sehingga kontraksi lambat, maka jika kadar progesteron sedikit maka mengakibatkan kontraksi miometrium semakin hebat sehingga mudah terjadi dismenore (Wiknjosastro,1999). 3). BMI (obesitas) Terdapat hubungan antara obesitas terhadap kejadian dismenore. Menurut Jeffcoate orang dengan Indeks Massa Tubuh yang lebih dari normal menunjukkan terdapat peningkatan kadar prostaglandin (PG) yang berlebih, sehingga memicu terjadinya spasme miometrium yang dipicu oleh zat dalam darah haid, mirip lemak alamiah yang dapat ditemukan di dalam otot uterus Tabel 2: Klasifikasi Indeks Massa Tubuh Menurut BMI Asia Klasifikasi BMI(kg/m2) Underweight <18.50 Normal range 18.50 – 23.00 Overweight 23.00 -27.50 Obesity >27.50 Source: Adapted from WHO, 1995, WHO, 2000 and WHO 2004. Beberapa faktor yang diduga berperan dalam timbulnya dismenore primer yaitu: 18 1. Prostaglandin Penelitian dalam tahun-tahun terakhir menunjukkan bahwa peningkatan kadar prostaglandin (PG) penting peranannya sebagai penyebab terjadinya dismenore primer. Jeffcoate berpendapat bahwa terjadinya spasme miometrium dipicu oleh zat dalam darah haid, mirip lemak alamiah yang kemudian diketahui sebagai prostaglandin. Kadar zat ini meningkat pada keadaan dismenore dan ditemukan di dalam otot uterus. Pickles, dkk mendapatkan kadar PGE2 dan PGF2-alfa sangat tinggi dalam endometrium, miometrium dan darah haid wanita yang menderita dismenore primer. PG menyebabkan peningkatan aktivitas uterus dan serabut-serabut saraf terminal rangsang nyeri. Kombinasi antara peningkatan kadar PG dan peningkatan kepekaan miometrium menimbulkan tekanan intrauterus sampai 400 mm Hg dan menyebabkan kontraksi miometrium yang hebat. Atas dasar itu disimpulkan bahwa PG yang dihasilkan uterus berperan dalam menimbulkan hiperaktivitas miometrium. Selanjutnya kontraksi miometrium yang disebabkan oleh PG akan mengurangi aliran darah, sehingga terjadi iskemia sel-sel miometrium yang mengakibatkan timbulnya nyeri spasmodik. Jika PG dilepaskan dalam jumlah berlebihan ke dalam peredaran darah, maka selain dismenore timbul pula pengaruh umum lainnya seperti diare, mual, muntah (Anonim, 2009). 2. Hormon steroid seks Dismenore primer hanya terjadi pada siklus ovulatorik. Artinya, dismenore hanya timbul bila uterus berada di bawah pengaruh progesteron. Sedangkan sintesis PG berhubungan dengan fungsi ovarium. Kadar progesteron yang rendah akan menyebabkan terbentuknya PGF2-alfa dalam jumlah yang banyak. Kadar progesteron yang rendah akibat regresi korpus luteum menyebabkan terganggunya stabilitas membran lisosom dan juga meningkatkan pelepasan enzim fosfolipase-A2 yang berperan sebagai katalisator dalam sintesis PG melalui perubahan fosfolipid menjadi asam arakhidonat. Ylikorkala, dkk pada penelitiannya menemukan bahwa kadar estradiol lebih tinggi pada wanita 19 yang menderita dismenore dibandingkan wanita normal. Estradiol yang tinggi dalam darah vena uterina dan vena ovarika disertai kadar PGF2-alfa yang juga tinggi dalam endometrium. Hasil terpenting dari penelitian ini adalah ditemukannya perubahan nisbah E2/P (Anonim, 2009). 3. Sistem saraf (neurologik) Uterus dipersarafi oleh sistem saraf otonom (SSO) yang terdiri atas sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Jeffcoate mengemukakan bahwa dismenore ditimbulkan oleh ketidakseimbangan pengendalian SSO terhadap miometrium. Pada keadaan ini terjadi perangsangan yang berlebihan oleh saraf simpatik sehingga serabut-serabut sirkuler pada istmus dan ostium uteri internum menjadi hipertonik (Anonim, 2009) 4. Vasopresin Akarluad, dkk pada penelitiannya mendapatkan bahwa wanita dengan dismenore primer ternyata memiliki kadar vasopresin yang sangat tinggi, dan berbeda bermakna dari wanita tanpa dismenore. Ini menunjukkan bahwa vasopresin dapat merupakan faktor etiologi yang penting pada dismenore primer. Pemberian vasopresin pada saat haid menyebabkan meningkatnya kontraksi uterus dan berkurangnya darah haid. Namun demikian peranan pasti vasopresin dalam mekanisme dismenore sampai saat ini belum jelas (Anonim, 2009) 5. Psikis Semua nyeri tergantung pada hubungan susunan saraf pusat, khususnya talamus dan korteks. Derajat penderitaan yang dialami akibat rangsang nyeri tergantung pada latar belakang pendidikan penderita. Pada dismenore, faktor pendidikan dan faktor psikis sangat berpengaruh; nyeri dapat dibangkitkan atau diperberat oleh keadaan psikis penderita. Seringkali segera setelah perkawinan dismenore hilang, dan jarang masih menetap setelah melahirkan. Diduga kedua keadaan tersebut (perkawinan dan melahirkan) membawa perubahan fisiologik pada genitalia maupun perubahan psikis. 20 Beberapa faktor yang diduga berperan dalam timbulnya dismenore sekunder dimana nyeri di mulai pada saat haid dan meningkat bersamaan dengan keluarnya darah haid dapat disebabkan oleh: (Anonim, 2009) a) Endometriosis b) Stenosis kanalis servikalis c) Adanya AKDR d) Tumor ovarium e. Klasifikasi Secara klinis, dismenorea dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu dismnenorea primer dan dismenorea sekunder. 1. Dismenore Primer Dismenore primer (dismenore sejati, intrinsik, esensial ataupun fungsional) adalah nyeri haid yang terjadi sejak menarche atau sejak usia pertama sekali datang haid yang disebabkan oleh faktor intrinsik uterus, berhubungan erat dengan ketidakseimbangan hormon steroid seks ovarium tanpa adanya kelainan organik dalam pelvis dan tidak terdapat kelainan pada alat kandungan (Baziad, 2003). Nyeri haid timbul sejak menarche pada bulan-bulan atau tahun-tahun pertama haid. Biasanya terjadi pada usia 15-25 tahun dan kemudian hilang pada usia akhir 20-30 tahun dan tidak ditemukan kelainan alat-alat kandungan (Anonim, 2009). Penyebab dismenore primer paling banyak ditemukan pada siklus ovulatorik. Diduga rendahnya kadar progesteron pada akhir korpus luteum menyebabkan timbulnya nyeri haid. Menurunnya kadar progesteron akan menyebabkan terjadinya peningkatan sintesis prostaglandin. Prostaglandin sangat berperan terhadap timbulnya haid. Dismenore primer dapat disebabkan oleh kelainan organik seperti retrofleksia uterus dan hipoplasia uterus, serta juga bisa disebabkan oleh gangguan psikis yang disebabkan oleh hilangnya tempat berteduh, ketakutan seksual, rasa bersalah, ketakutan akan kehamilan, konflik dengan kewanitaannya dan imaturitas (Baziad, 2003). 21 Selain itu penelitian tersebut membuktikan bahwa mereka yang mengalami kecemasan ringan atau tidak mengalami kecemasan sama sekali, lebih sedikit mengalami nyeri haid dibandingkan dengan yang mengalami kecemasan sedang sampai berat (Baziad, 2003). Dismenore primer dapat disebabkan oleh faktor psikis, konstitusionil seperti anemia, endokrin seperti peningkatan kadar prostaglandin, hormon steroid seks, kadar vasopresin tinggi. Terdapat nyeri haid dari bagian perut menjalar ke daerah pinggang dan paha, terkadang disertai mual dan muntah, diare, sakit kepala dan emosi labil. Biasanya diberikan psikoterapi, analgetika, hormonal (Rusdiana, 2010). 2). Dismenore sekunder Dismnenore sekunder adalah nyeri haid yang muncul pada usia dewasa, dan menyerang wanita yang semula belum pernah merasakan dismenore. Penyebab tersering adalah kelainan organik, seperti: a). Endometriosis pelvis dan adenomiosis b). Uterus miomatosus, terutama mioma submukosum c). Penyakit radang panggul kronik d). Tumor ovarium, polip endometrium e). Anomalia kongenital traktus genitalia f). Stenosis atau striktura kanalis servikalis,varikosis pelvik dan adanya AKDR Hal ini terjadi pada wanita yang sebelumnya tidak mengalami dismenore dan biasanya diberikan terapi sesuai penyebabnya (Sylvia&Lorraine, 2006). Dismenore sekunder biasanya disebabkan oleh kelainan alat-alat kandungan (Anonim, 2009). 22 f. Gejala klinis Pada dismenore primer gejala utama adalah nyeri, dimulai pada saat awitan menstruasi. Nyeri dapat tajam atau tumpul, siklik atau menetap, dapat berlangsung beberapa jam sampai 1 hari atau lebih, tapi jarang melebihi 72 jam. Biasanya terjadi pula gejala-gejala sistemik yang menyertai biasanya berupa mual, diare, sakit kepala, dan perubahan emosional (Stephen&Maxine, 2010). Selain nyeri dirasakan, kram pelvis juga sering terjadi biasanya terjadi 6-12 bulan setelah menarche. Secara umum nyeri dimulai beberapa jam sebelum atau saat menstruasi, kejadiannya selama beberapa jam sampai hari dan sekitar 48-72 jam. Gejala lain yang dapat dirasakan adalah mual, muntah, lelah, diare, sakit kepala dan lain sebagainya (Sylvia&Lorraine, 2006). Pada dismenore sekunder merupakan nyeri haid yang muncul pada usia dewasa, dan menyerang wanita yang semula belum pernah merasakan dismenore (Anonim,2009). 23 Tabel 3. Perbandingan gejala Dismenore Primer dan Dismenore Sekunder Dismenore Primer Dismenore Sekunder Usia lebih muda Usia lebih tua Timbul segera setelah Tidak tentu terjadinya siklus haid yang teratur Tidak berhubungan Sering pada nulipara Nyeri sering terasa sebagai dengan paritas Nyeri terus-menerus kejang uterus dan spastik Nyeri timbul mendahului Nyeri mulai pada saat haid, meningkat pada hari haid dan meningkat pertama dan kemudian dengan bersamaan dengan keluarnya keluarnya darah menghilang darah haid bersamaan dengan keluarnya darah haid. Sering memberikan respon terhadap pengobatan medika Sering memerlukan tindakan operatif mentosa Sering disertai mual, Tidak muntah, diare, kelelahan, dan nyeri kepala Sumber : D:\http\16_PengobatanDismenorescrAkupuntur.html 24 g. Patogenesis Dismenore dapat terjadi karena adanya korelasi antara produksi dari prostaglandin dan kram. Diketahui bahwa jika produksi jumlah prostaglandin meningkat maka dapat menyebabkan kram uterus meningkat yang berakibat pada iskemik uterus sehingga terjadilah nyeri tersebut. Diketahui bahwa peningkatan produksi prostaglandin terjadi saat 48-72 jam pertama saat menstruasi. Selain dari produksi prostaglandin yang meningkat dismenore juga dapat terjadi karena hipersensitisasi ujung-ujung terminal nyeri ke stimulus fisik dan kimia. (Gunawan, 2002) Bagan 1. Patofisiologi Dismenore h. Pemeriksaan Secara umum pemeriksaan untuk menentukan dismenore biasanya harus dilakukan anamnesis terlebih dahulu, pemeriksaan fisik, USG, hysterosalpingogram, laparoskopi, histeroskopi, dilatasi dan kuretase. Untuk pemeriksaan dismenore primer, pada pemeriksaan fisik biasanya normal, tidak didapatkan massa pada bagian abdomen dan pelvis. Pemeriksaan rectovaginal juga normal. Diluar dari pemeriksaan nyeri atau kram pelvis, biasanya didapatkan nyeri sedang pada pergerakan dan tekanan dari uterus dan cerviks. Evaluasi episode pertama nyeri, kemungkinan infeksi pelvis dan kehamilan pasien juga harus dievaluasi (Gunawan, 2002). 25 i. Penatalaksanaan Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi dismenore adalah pertama evaluasi dari anamnesa sampai pemeriksaan fisik, jika dari pemeriksaan fisik hasilnya normal dan dari anamnesa menguatkan ke diagnosis dismenore primer, maka dapat diberikan control pills (kontrasepsi oral) atau antiprostaglandin juga bisa menjadi pilihan untuk mengatasi dismenore primer. Pemberian terapinya dimulai saat hari pertama kram sampai 2-3 hari selanjutnya, lalu dilanjutkan beberapa bulan selanjutnya dan dievaluasi. Pills control atau kontrasepsi oral bekerja dengan cara mengurangi ketebalan dari dinding endometrium dan mengubah jumlah status hormon ke level yang sama pada saat awal proliferasi oleh karena pada stadium ini produksi prostaglandin sangat rendah. Dengan penurunan produksi prostaglandin maka kram, iskemik uterus, dan nyeri pun berkurang (Fredericson&Wilkins, 1997). Supaya efek dari pengobatannya maksimal dan kram/nyeri berkurang maka disarankan pada pasien supaya cukup istirahat, mengurangi caffeine dan tidak stress. j. Diagnosis Dismenorea primer sering ditemukan pada usia muda. Nyeri sering timbul segera setelah mulai timbul haid teratur. Nyeri sering terasa sebagai kejang uterus dan spastik juga sering disertai mual, muntah, diare, kelelahan dan nyeri kepala. Nyeri haid timbul mendahului haid dan meningkat pada hari pertama atau kedua haid. Pada pemeriksaan ginekologis jarang ditemukan kelainan genitalia. Cepat memberikan respons terhadap pengobatan medikamentosa (Fredericson&Wilkins, 1997). Dismenorea sekunder lebih sering ditemukan pada usia tua, dan setelah 2 tahun mengalami siklus haid teratur. Nyeri dimulai saat haid dan meningkat bersamaan dengan keluarnya darah haid. Sering ditemukan kelainan ginekologik. Pengobatannya sering sekali memerlukan tindakan operatif (Fredericsn&Wilkins, 1997). 26 k. Pengobatan Untuk dismenorea primer dapat diberikan obat-obat penghambat sintesis prostaglandin seperti asam mefenamat, acetaminophen, indometasin, fenilbutazon, asam arakanoat (ibuprofen, fenoprofen, naproksen). Obat-obat jenis ini diberikan 12 hari menjelang haid dan diteruskan sampai hari kedua atau ketiga siklus haid. Terapi hormonal telah banyak digunakan dalam pengobatan dismenore primer, sehingga nyeri haid dapat dikurangi. Pemberian progestogen akan mengurangi sintesis prostaglandin di endometrium. Sediaan progestogen yang banyak digunakan pada dismenorea primer adalah didrogesteron dan medroksiprogesteron asetat (MPA). Didrogesteron diberikan dalam bentuk tablet 10 mg, 2x per hari (Baziad, 2003). Secara sederhana untuk pengobatan dismenore primer adalah dengan memberikan pil kontrasepsi kombinasi. Pil kontrasepsi kombinasi selain dapat menghilangkan nyeri haid, juga dapat mengurangi jumlah darah haid yang keluar dan haid menjadi teratur setiap bulan. Pil kontrasepsi kombinasi sangat efektif pada dismenorea yang berat. Jenis pengobatan ini hanya terbatas diberikan pada wanita yang belum ingin hamil atau menunda kehamilan. Dewasa ini telah mulai digunakan analog GnRH untuk pengobatan dismenorea primer. Cara kerjanya adalah dengan menekan fungsi ovarium. Obat ini merupakan pilihan terakhir, bila dengan pengobatan yang lain tidak memberikan efek yang baik. Kadang-kadang harus dilakukan tindakan operatif pada kasus-kasus yang refrakter, berupa neurektomi prasakral (Baziad, 2003). Dismenorea sekunder dengan kelainan organik ditangani secara kausal. Pada kasus-kasus yang menolak untuk tindakan operatif, maka dapat dilakukan pengobatan medikamentosa seperti penanganan pada dismenorea primer. Pemberian analog GnRH selama 6 bulan sangat efektif menghilangkan nyeri haid yang disebabkan oleh endometriosis (Baziad, 2003). 27 l. Prognosis Pada terapi dismenore seperti yang telah dibahas diatas maka dilihat dari efektivitasnya memperlihatkan bahwa prostaglandin sintetase inhibitor dapat mengurangi nyeri dismenore >70% (Fredericson&Wilkins, 1997). II.1.5. Nyeri Nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau berpotensi terjadi, atau dijelaskan berdasarkan kerusakan tersebut (International Association for the Study of Pain). Sensasi nyeri ditimbulkan oleh suatu cedera atau rangsangan yang cukup kuat untuk berpotensi mencederai. Pada kasus cedera, nyeri memiliki fungsi protektif, memicu respons terhadap stress berupa imobilisasi bagian tubuh lalu sering disertai oleh suatu respons stres berupa meningkatnya rasa cemas, denyut jantung, tekanan darah, dan kecepatan pernapasan (Sylvia&Lorraine, 2006). Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri: transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi nyeri adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri. Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran impuls nyeri dari tempat transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal medulla spinalis dan neuronneuron pemancar yang naik dari medulla spinalis ke otak. Modulasi nyeri melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dari otak yang dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medulla spinalis. Modulasi juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri aferen primer. Akhirnya, persepsi nyeri adalah pengalaman subjektif nyeri yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri oleh saraf (Sylvia&Lorraine, 2006) . 28 II.1.6. Penelitian yang terkait 1. Judul penelitian: Efektivitas Senam Dismenore dalam Mengurangi Dismenore Pada Remaja Putri di SMUN 5 Semarang Nama peneliti: Istiqomah Puji A. Tempat dan Tahun Penelitian: Remaja di SMU N 5 Semarang bulan Maret-April 2009 Rancangan Penelitian: Penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dalam satu kelompok (one group pre test – post test design) Variabel Penelitian: Senam Dismenore dan nyeri saat menstruasi sebelum dan sesudah melakukan senam Hasil Penelitian: Dari hasil penelitian didapatkan 15 responden remaja putri yang mengalami dismenore. Responden-responden tersebut telah memenuhi kriteria inklusi dan telah melakukan senam dismenore ternyata diketahui senam tersebut dalam mengatasi maupun mengurangi nyeri haid efektif. 2. Judul Penelitian: Hubungan Dismenore dengan Olahraga pada Remaja Usia 1618 tahun di SMA ST.Thomas 1 Medan Nama peneliti: Dyana Novia Tempat dan Tahun penelitian: SMA St. Thomas 1 Medan tahun 2009 Rancangan Penelitian: Penelitian ini menggunakan analisis Chi-square Variabel Penelitian: Olahraga dan kejadian dismenore Hasil Penelitian: Hasil dari analisis dengan menggunakan Chi-square menunjukkan variabel independen yaitu olahraga berhubungan dengan kejadian dismenore. Hasil analisis menunjukkan kejadian dismenore menurun dengan adanya olahraga (p<0,05). 29 3. Judul Penelitian: Hubungan Beberapa Faktor Remaja Putri Kelas II dan III dengan Kejadian dismenore Primer di SMPN 30 Semarang Bulan Maret-Mei Tahun 2007 Nama Peneliti: Indah Prastiwi Tempat dan Tahun Penelitian: SMPN 30 Semarang Bulan Maret-Mei Tahun 2007 Rancangan Penelitian: Penelitian ini menggunakan analisis Chi-square Variabel Penelitian: Psikologi (kecemasan), status gizi (IMT), dan kejadian dismenore Hasil Penelitian: Hasil dari analisis Chi-square ada hubungan umur menarche remaja putri kelas II dan III dengan kejadian dismenore primer 30 II.2. Kerangka Teori fosfolipid Enzim fosfolipid A2 Vitamin E Asam arakidonat Enzim cyclooksigenase-2 PGF2α PG E2α Vasopresin Obstruksi serviks OAINS penghambat Cox-2 Iskemik uterus Kontraksi miometrium vasokonstrikso pembuluih darah Faktor yang tidak dkiketahui Dismenore Primer Sekunder Psikologis, usia menarche, genetik, obesitas, konsumsi alkohol, rokok 31 II.3. Kerangka Konsep Variabel independen variabel dependen Faktor Psikis : - Tingkat Kecemasan/stres Dismenore Faktor Fisik : - Olahraga - Indeks Massa Tubuh 32 II.4. Hipotesis a. Mahasiswa Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta yang memiliki tingkat kecemasan yang lebih cenderung akan meningkatkan kejadian dismenore dibandingkan mahasiswa yang tidak stres b. Mahasiswa Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta yang jarang berolahraga cenderung meningkatkan kejadian dismenore dibandingkan dengan mahasiswa yang rajin berolahraga c. Mahasiswa Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta yang memiliki BMI lebih cenderung meningkatkan kejadian dismenore dibandingkan dengan mahasiswa yang memiliki BMI normal 33