Pengertian, Persamaan dan Perbedaan Syari'ah dan Fiqih
Pengertian Syari'ah
Kata syarî’ah itu asalnya dari kata kerja syara’a. kata ini menurut ar-Razi dalam bukunyaMukhtâr-us Shihah,bisa berarti nahaja (menempuh), awdhaha (menjelaskan) dan bayyan-al masâlik (menunjukkan jalan). Sedangkan ungkapan syara’a lahum – yasyra’u – syar’an artinya adalah sanna (menetapkan). Sedang menurut Al-Jurjani, syarî’ah bisa juga artnya mazhab dantharîqah mustaqîmah /jalan yang lurus.Jadi arti kata syarî’ah secara bahasa banyak artinya.Ungkapan syari’ah Islamiyyah yang kita bicarakan maksudnya bukanlah semua arti secara bahasa itu.
Kata syarî’ah juga seperti itu, para ulama akhirnya menggunakan istilah syarîah dengan arti selain arti bahasanya, lalu mentradisi. Maka setiap disebut kata syarî’ah, langsung dipahami dengan artinya secara tradisi itu. Imam al-Qurthubi menyebut bahwa syarî’ah artinya adalah agama yang ditetapkan oleh Allah Swt untuk hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan.Hukum dan ketentuan Allah itu disebut syariat karena memiliki kesamaan dengan sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Makanya menurut Ibn-ul Manzhur syariat itu artinya sama dengan agama.
Persamaan Syari'ah dan Fiqih
Syariah dan Fiqih , adalah dua hal yang mengarahkan kita ke jalan yang benar . Dimana , Syariah bersumber dari Allah SWT, Al-Qur'an, Nabi Muhammad SAW, dan Hadist. Sedangkan Fiqh bersumber dari para Ulama dan ahli Fiqh , tetapi tetap merujuk pada Al-Qur'an dan Hadist .
Perbedaan Syari'ah dan Fiqih
Perbedaan yang perlu diketahui yaitu :
Perbedaan dalam Objek :
Syariah
Objeknya meliputi bukan saja batin manusia akan tetapi juga lahiriah manusia dengan Tuhannya (ibadah)
Fiqih
Objeknya peraturan manusia yaitu hubungan lahir antara manusia dengan manusia, manusia dengan makhluk lain.
Perbedaan dalam Sumber Pokok
Syariah
Sumber Pokoknya ialah berasal dari wahyu ilahi dan atau kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari wahyu.
Fiqih
Berasal dari hasil pemikiran manusia dan kebiasaan-kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat atau hasil ciptaan manusia dalam bentuk peraturan atau UU
Perbedaan dalam Sanksi
Syariah
Sanksinya adalah pembalasan Tuhan di Yaumul Mahsyar, tapi kadang-kadang tidak terasa oleh manusia di dunia ada hukuman yang tidak langsung
Fiqih
Semua norma sanksi bersifat sekunder, dengan Menunjuk sebagai Pelaksana alat pelaksana Negara sebagai pelaksana sanksinya.
pengertian fiqh
PENGERTIAN
Fiqh (الفقه) adalah bahasa Arab dalam bentuk mashdar (kata dasar) yang fi’il-nya (kata kerjanya) adalah فقه يفقه فقها. Kata fiqh semula berarti العلم (pengetahuan) dan الفهم (pemahaman). Al-fiqh, al-‘ilm dan al-fahm merupakan kata-kata yang sinonim. Dalam bahasa Arab dikatakan:
فلان يفقه الخير و الشر
Demikian pula sabda Rasulullah SAW:
من يرد الله خيرا يفقهه في الدين
“Barang siapa dikehendaki Allah mendapat kebaikan, niscaya Allah akan berikan kepadanya mengerti tentang agama”.
Jelaslah bahwa kata al-Fiqh menurut bahasa, dari semua ayat dan hadits di atas, berarti pengetahuan, pemahaman dan pengertian terhadap sesuatu secara mendalam. Pengertian ini sangat luas karena meliputi aqidah, ‘ibadah, mu’amalah dan akhlak.
Secara istilah (terminologi), fiqh didefinisikan secara eksklusif yang terbatas pada hukum-kuhum yang praktis (‘amali) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili). Definisi tersebut bisa dilihat berikit ini:
Imam Abu Zahrah mengatakan bahwa al-Fiqh adalah:
العلم بالأحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية
“Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali)yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”.
Abdul Wahab Khalaf mengemukakan bahwa al-Fiqh adalah:
العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسبة من أدلتها التفصيلية
“Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali) yang diusahakan dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”.
Persamaan Fiqih dan Syari'at :
1. Sama-sama aturan hukum yang berasal dari alqur'an dan hadits
2. Sama-sama aturan hukum yang diterapkan kepada umat manusia
B. Perbedaan antara Syari’at dengan Fiqh
Perbedaan Fiqh dan Syari’at adalah sebagai berikut :
1. Syari’at bersifat umum dan mencakup semua hukum baik I’tiqodiah (keyakinan), akhlak dan perbuatan. Sedangkan Fiqh merupakan satu bagian dari Syari’at dan hanya membahas tentang hukum-hukum Furu’iyah praktis seperti shalat, hudud (pidana Islam), Jual-beli, Qadha’, dan semua perbuatan seorang hamba.
2. Syari’at adalah kumpulan beberapa hukum dan kaidah yang dibawa Al-Qur’an dan juga sunnah Rasullulah saw. Sedangkan Fiqh adalah pemahaman dan Istinbat yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah dan ia merupakan sisi praktis (Amaliyah) dari syari’at.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa syari’at lebih umum dari makna fiqh, dan fiqh adalah satu bagian saja, namun begitu tidak salah jika orang memakai istilah syari’at dan yang di maksud adalah fiqh seperti yang sudah biasa diistilahkan dalam fakultas undang-undang, mereka menamakan fiqh dengan nama syari’at. Meskipun bukan makna yang sebenarnya, namun termasuk dalam kategori menyebutkan sesuatu yang umum tetapi maksudnya adalah yang khusus.[3]
Perbedaan pokok antara syariat dan fiqh dapat juga diartikan sebagai berikut.
Syari’at
Fiqh
1. Berasal dari wahyu Ilahi (Al-Qur’an) dan sunnah rasul (hadis).
2. Bersifat fundamental.
3. Hukumnya bersifat Qath’i (tetap tidak berubah).
4. Hukum syari’at hanya Satu (Universal).
5. Menunjukkan kesatuan.
6. Langsung dari Allah yang kini terdapat dalam Al-Qur’an dan jika kurang dapat dipahami,penjelasannya terdapat dalam hadis.
7. Disebut juga Islamic Law.
1. Karya manusia yang dapat berubah dari masa ke masa.
2. Bersifat instrumental.
3. Hukumnnya Zhanni (dapat berubah).
4. Banyak berbagai ragam (Insidental).
5. Menunjukkan keragaman.
6. Berasal dari ijtihad dari para ahli hukum sebagai hasil pemahaman manusia yang dirumuskan oleh Mujtahid.
7. Disebut juga Islamic Jurisprudence.
C. Contoh Syari’at dan Fiqh
Sebelum mengerjakan shalat, orang Islam disyari’atkan mengerjakan wudlu terlebih dahulu dengan syari’at Allah dalam firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى اْلمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا
بِرُؤُوْسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى اْلكَعْبَيْنِ....
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu, dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah mukamu, kepalamu, dan (basuh) kakimu sampai dengan mata kaki... “ (QS. Al-Maidah : 6)
Untuk mengerjakan wudlu, para Imam Madzhab sepakat bahwa membasuh muka, membasuh kedua tangan, dan kedua kaki serta menyapu kepala adalah keempat hal yang harus dikerjakan sebagai rukun wudlu. Hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai kadar seberapa bagian kepala yang harus disapu.
Golongan Maliki berpendapat bahwa yang harus disapu adalah seluruh kepala, sedangkan menurut golongan Syafi’i sebagian kepala saja walaupun hanya sehelai rambut, dan sebagian berpendapat minimal tiga helai rambut. Sebagian golongan Hanafi berpendapat seperempat kepala,dan sebagian lain berpendapat sebatas tiga jari. Sebagian golongan Ahmad yang terkuat berpendapat sama dengan golongan Maliki yaitu seluruh kepala dan sebagian lagi berpendapat sebesar ubun-ubun saja.
Untuk melaksanakan wudlu, golongan Maliki berpendapat hanya empat itulah yang harus dikerjakan, sedangkan golongan Syafi’i, Maliki, dan Ahmad menambahkan adanya niat. Selain itu, golongan Syafi’i dan golongan Ahmad berpendapat bahwa empat hal tersebut harus dikerjakan berturut-turut atau tertib sesuai dengan urut-urutan yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Sedangkan golongan Maliki dan golongan Ahmad berpendapat bahwa untuk mengerjakan empat hal itu harus berkesinambung yaitu dari melaksanakan satu hal harus segera melaksanakan hal yang lain (muwalah). Cara membasuh dan menyapu empat anggota wudlu itu golongan Maliki mengharuskan menggosok-gosok (tadlik).
Dengan demikian, mengenai rukun wudlu, terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut :
a. Menurut golongan Hanafi, membasuh muka, membasuh kedua
tangan, menyapu kepala, dan membasuh kedua kaki.
b. Menurut golongan Syafi’i, niat, membasuh muka, membasuh
kedua tangan, menyapu kepala, membasuh kedua kaki, dan tertib.
c. Menurut golongan Ahmad, niat, membasuh muka, membasuh
kedua tangan, menyapu kepala, membasuh kedua kaki, tertib, dan
muwalah.
d. Menurut golongan Maliki, niat, membasuh muka, membasuh
kedua tangan, menyapu kepala, membasuh kedua kaki, muwalah,
dan tadlik.
Demikian sebagai contoh hasil ijtihad para Fuqaha terhadap ketentuan. Syari’at. Hasil ijtihad itu disebut Fiqh.[4]
Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer. Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sesebenarya bisa dibagi dalam dua periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri.Periodisasi menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:
Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.
Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur’an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
Di irak, Ibnu Mas’ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan Madinah). Saat itu, di irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas’ud mengikuti pola yang telah di tempuh umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas’ud karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan. Atas dasar ini, penggunaan nalar(analisis) dalam berijtihad lebih dominan. Dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra’yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra’yi).
Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirahahlulhadits.
Ibnu Mas’ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha’i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha’i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa’id bin Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di Yaman.
Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai generasi thabi’in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani berbagai persoalan hukum di zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi’in tersebut, diantaranya fiqh al-Auza’i, fiqh an-Nakha’i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan as-Sauri.
Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periodeKemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma’mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja’far al-Mansur (memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul al-Muwaththa’(Yang Disepakati).
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan ahlurra ’yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra’yiberupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra’yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhaditsdapat menerima pengertian ra’yu yang dimaksudkan ahlurra’yi, sekaligus menerima ra’yu sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum.
Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa’yang merupakan salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi’i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang dapat mendukung fiqh ahlurra’yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra’yu.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa’oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi’i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadiroleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi’i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab(mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta’assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan(kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam, sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana yang tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu, namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab.
Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- ’Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya’ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.
Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrirtersebut.
Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun ini disistematisasikan sesuai dengan pembagian dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab fatwa ini mencerminkan perkembangan fiqh ketika itu, yaitu menjawab persoalan yang diajukan kepada ulama fiqh tertentu yang sering kali merujuk pada kitab-kitab mazhab ulama fiqh tersebut.
Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara’, tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su ’ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-’Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.
Periode pengkodifikasian fiqh. Periode ini di mulai sejak munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah sampai sekarang. Upaya pengkodifikasian fiqh pada masa ini semakin berkembang luas, sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi hukum tertentu dan dalam mazhab tertentu pula, misalnya dalam bidang pertanahan, perdagangan dan hukum keluarga. Kontak yang semakin intensif antara negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum Barat sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim. Disamping itu, bermunculan pula ulama fiqh yang menghendaki terlepasnya pemikiran ulama fiqh dari keterikatan mazhab tertentu dan mencanangkan gerakan ijtihad digairahkan kembali.
Pada zaman modern, suara yang menginginkan kebangkitan fiqh kembali semakin vokal, khususnya setelah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melakukan studi komparatif antara fiqh Islam dan hukum produk Barat.
OBJEK FIQIH :
Hukum yang diatur dalam fiqih Islam itu terdiri dari hukum wajib, sunat,mubah, makruh dan haram; disamping itu ada pula dalam bentuk yang lain sepertisah, batal, benar, salah, berpahala, berdosa dan sebagainya.
Meskipun ada perbedaan pendapat para ulama dalam menyusun urutan pembahasaan dalam membicarakan topik-topik tersebut, namun mereka tidak berbeda dalam menjadikan Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Al-Ijtihad sebagai sumber hukum.Walaupun dalam pengelompokkan materi pembicaraan mereka berbeda, namun mereka sama-sama mengambil dari sumber yang sama.
Karena rumusan fiqh itu berbentuk hukum hasil formulasi para ulama yang bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad, maka urutan dan luas pembahasannya bermacam-macam. Setelah kegiatan ijtihad itu berkembang, muncullah imam-imam madzhab yang diikuti oleh murid-murid mereka pada mulanya, dan selanjutnya oleh para pendukung dan penganutnya. Diantara kegiatan para tokoh-tokoh aliran madzhab itu, terdapat kegiatan menerbitkan topik-topik (bab-bab) kajian fiqih. Menurut yang umum dikenal di kalangan ulama fiqih secara awam, objek pembahasan fiqih itu adalah empat, yang sering disebut Rubu diantaranya:
1) Rubu’ ibadat;
2) Rubu ‘ muamala;
3) Rubu’ munakaha, dan
4) Rubu’jinayat.
Ada lagi yang berpendapat tiga saja; yaitu: bab ibadah, bab mu’amalat, bab ’uqubat. Menurut Prof. T.M. Hasbi Ashiddieqqi, bila kita perinci lebih lanjut, dapat dikembangkan menjadi 8 (delapan) objek kajian:
a) Ibadah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan berikut ini:
1) Tharah (bersuci);
2) Ibadah (sembahyang);
3) Shiyam (puasa);
4) Zakat;
5) Haji, dan lain-lain.
b) Ahwalusy Syakhshiyyah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pribadi (perorangan), kekeluargaan, harta warisan, yang meliputi persoalan:
1) Nikah;
2) Khitbah;
3) Mu’asyarah;
4) Talak;
5) Fasakh, dan lain-lain.
c) Muamalah Madaniyah
Biasanya disebut muamalah saja, dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan, harta milik, harta kebutuhan, cara mendapatkan dan menggunakan, yang meliputi masalah:
1) Buyu’ (jual-beli);
2) Khiyar;
3) Riba’;
4) Sewa- menyewa;
5) Pinjam meminjam;
6) Waqaf, dan lain-lain.
*Dari segi niat dan manfaat, waqaf ini kadang-kadang dimasukkan dalam kelompok ibadah, tetapi dari segi barang/benda/harta dimasukkan ke dalam kelompok muamalah.
d) Muamalah Maliyah
Kadang-kadang disebut Baitul mal saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan milik bersama, baik masyarakat kecil atau besar seperti negara (perbendaharaan negara = baitul mal). Pembahasan di sini meliputi;
1) Status milik bersama baitul mal;
2) Sumber baitul mal;
3) Cara pengelolaan baitul mal, dan lain-lain.
e) Jinayah dan ‘Uqubah (pelanggaran dan hukum)
Biasanya dalam kitab-kitab fiqih ada yang menyebut jinayah saja, dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pelanggaran, kejahatan, pembalasan, denda, hukuman dan sebagainya. Pembahasan ini meliputi;
1) Pelanggaran;
2) Qishash;
3) Diyat;
4) Hukum pelanggaran, kejahatan, dan lain-lain.
f) Murafa’ah atau Mukhashamah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan peradilan dan pengadilan. Pembahasan pada bab ini meliputi:
1) Peradilan dan pendidikan;
2) Hakim dan Qadi;
3) Gugatan;
4) Pembuktian dakwah;
5) Saksi, dan lain-lain.
g) Ahkamud Dusturiyyah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan ketatanegaraan. Pembahasan ini meliputi:
1) Kepala Negara dan waliyul amri;
2) Syarat menjadi kepala negara dan Waliyul amri;
3) Hak dan kewajiban Waliyul amri;
4) Hak dan kewajiban rakyat;
5) Musyawarah dan demokrasi;
6) Batas-batas toleransi dan persamaan, dan lain-lain.
h) Ahkamud Dualiyah (hukum internasional)
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok masalah hubungan internasional. Pembicaraan pada bab ini meliputi;
1) Hubungan antar negara, sesama Islam, atau Islam dan non-Islam, baik ketika damai atau dalam situasi perang;
2) Ketentuan untuk orang dan damai;
3) Penyerbuan;
4) Masalah tawanan;
5) Upeti, Pajak, rampasan;
6) Perjanjian dan pernyataan bersama;
7) Perlindungan;
8) Ahlul ’ahdi, ahluz zimmi, ahlul harb; dan
9) Darul Islam, darul harb, darul mustakman.
Setelah memperhatikan begitu luasnya objek kajian fiqih. dapatlah kita bayangkan seluas apa pula ruang lingkup pengajaran agama.
4. Sumber Fiqih Islam
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.
Sebagai contoh:
Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
2. As-Sunnah
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari muslim, HR.Tirmidzi, HR.Nasa’i, HR.IbnuMajah, HR.Ahmad)
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR.K M Bukhari)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.[2]
3. Ijma’
Ijma’ mengandung dua makna, yaitu menyusun dan mengatur suatu hal yang tidak teratur, dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat. Menurut istilah fuqaha, ijma’ ialah kesepakatan pendapat diantara para mujtahid, atau persetujuan pendapat di antara ulama fiqih di abad tertentu mengenai hukum syara’. Persetujuan pendapat ini diwujudkan dalam tiga cara:
Dengan qauli (ijma’ qauli), yaitu pendapat yang diucapkan oleh para mujtahid yang diucapkan oleh para mujtahid yang diakui sah.
Dengan fi’il (ijma’ ‘amali), yaitu apabila ada kesepakatan dalam praktik.
Dengan diam (ijma’ sukkuti), yaitu apabila para mujtahid tidak membantah atas suatu atau beberapa mujtahid. Pada umumnya ulama berpendapat, bahwa ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid saja, sehingga orang tidak alim dalam hukum islam tidak boleh mengambil bagian dalam ijma’. Ada juga yang berpendapat, bahwa ijma’ berarti persetujuan pendapat di antara kaum muslimin, hanya anak kecil dan orang gila saja yang tidak dilibatkan dalam ijma’. [3]
Ijma’ juga bermakna Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut baik pada generasi sahabat atau sesudahnya akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Maka Rosulullah bersabda tentang ijma’ :
إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ
“sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat terhadap hal-hal yang sesat”. (HR Ibnu majah dalam sunannya, dan dihasankan syaikh Albani)
Begitu pula syaikh utsaimin berkata dalam ushul min ‘ilmi al ushul :
“kita katakan, bersepakatnya umat ini atas suatu hal, bisa jadi hal itu adalah benar, dan bisa jadi hal itu adalah salah. Jika hal itu adalah benar, maka itu menjadi dalil, namun jika hal tersebut adalah sesat, maka bagaimana mungkin, umat ini yang merupakan semulia-mulianya umat diantara umat-umat yang lain, dari masa nabinya sampai pada hari kiamat, berada pada perkara yang menyesatkan yang tidak diridhoi oleh Allah ta’ala?? Ini merupakan perkara yang sangat mustahil”.
4. Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti ukuran. Dalam teori hukum Islam istilah tersebut berarti menghubungkan atau menyamakan hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadis, dengan hukum suatu peristiwa yang ditegaskan hukuimnya dalam sumber-sumber tersebut, karena ada persamaan ‘illat (motif hukum) antara kedua peristiwa tersebut. Dengan demikian dipahami, bahwa qiyah adalah suatu metode untuk menemukan hukum suatu peristiwa yang tidak ada kejelasan hukumnya dalam sumber-sumber hukum utama. Ia dibutuhkan, karena Al-Qur’an dan sunnah telah terhenti dengan wafatnya Rasulullah sedangkan peristiwa dalam kehidupan manusia terus berkambang dan tidak berhenti.[5]
Qiyas juga berarti mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Begitu pula qiyas, dimana dengan adanya qiyas, segala permasalahan yang tidak disebutkan dalam al-qur’an dan hadits atau karena permasalahan baru yang disebabkan perkembangan jaman, maka bisa diketahui hukumnya dengan membandingkan dan menyerupakannya dengan dalil-dalil yang lain dan keadaan pada jaman nabi.[6]
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
KARAKTERISTIK FIQIH ISLAM
Fiqih Islam memiliki karakteristik khusus yang membedakan dengan hukum-hukum lainnya. Karakteristik ini bisa dijadikan landasan berbijak atau paradigma ketika menyusun hukum formal Islam yang akan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karakteristik yang dimaksudkan antara lain:
Sempurna. Syariat Islam diturunkan dalam bentuk umum dan garis besar. Karena itu, hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-ubah karena perubahan masa dan tempat. Bagi hukum-hukum yang lebih rinci, syariat Islam hanya menetapkan kaidah dan memberikan patokan umum. Penjelasan dan rinciannya diserahkan kepada ijtihad pemuka masyarakat.
Dengan menetapkan patokan-patokan umum tersebut, syariat Islam dapat benar-benar menjadi petunjuk yang universal dan dapat diterima di semua tempat dan di setiap saat. Selain itu, umat manusia dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis-garis kebijaksanaan al-Qur’an, sehingga mereka tidak melenceng.
Penetapan al-Qur’an terhadap hukum dalam bentuk global dan simpel itu dimaksudkan untuk memberikan kebebasan pada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Dengan sifatnya yang global ini diharapkan hukum Islam dapat belaku sepanjang masa.
Elastis. Fiqih Islam juga bersifat elastis (lentur dan luwes), ia meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk, hubungan makhluk dengan Khalik, serta tuntutan hidup dunia dan akhirat terkandung dalam ajarannya. Fiqih Islam memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik bidang ibadah, muamalah, jinayah dan lain-lain. Meski demikian, ia tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan memaksa. Ia hanya memberikan kaidah-kaidah umum yang mesti dijalankan oleh manusia.
Universal dan Dinamis. Ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi alam tanpa batas, tidak seperti ajaran-ajaran Nabi sebelumnya. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘ajam (non arab), kulit putih dan kulit hitam. Universalitas hukum Islam ini sesuai dengan pemilik hukum itu sendiri yang kekuasaan-Nya tidak terbatas. Di samping itu hukum Islam mempunyai sifat dinamis (cocok untuk setiap zaman).
Bukti yang menunjukkan apakah hukum Islam memenuhi sifat tersebut atau tidak, harus dikembalikan kepada al-Qur’an, karena al-Qur’an merupakan wadah dari ajaran Islam yang diturunkan Allah kepada umatnya di muka bumi. Al-Qur’an juga merupakan garis kebijaksanaan Tuhan dalam mengatur alam semesta termasuk manusia.
Sistematis. Arti dari pernyataan bahwa hukum Islam itu bersifat sistematis adalah bahwa hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Perintah sholat dalam al-Qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Perintah beriman dan bertakwa senantiasa dibarengi dengan perintah beramal saleh. Ini berarti hukum Islam tidak mandul yang hanya berkutat pada hubungan vertikal kepada Allah dan hanya berupa keyakinan semata. Akan tetapi merupakan hukum yang menyatu dengan hubungan horizontal sesama manusia dan hukum yang harus diamalkan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Hukum Islam Bersifat Ta’aqquli dan Ta’abbudi. Hukum Islam mempunyai dua dasar pokok; al-Qur’an dan sunnah Nabi. Di samping dua sumber pokok tersebut, ajaran Islam juga memiliki sumber lain yaitu konsensus masyarakat (ulama) yang mencerminkan suatu transisi ke arah satu hukum yang berdiri sendiri (penafsiran terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah).
Untuk memahami kedua sumber tersebut perlu digunakan kejernihan hati dan fikiran, kecerdasan dan pengetahuan dan mempertimbangkan konteks masyarakat yang ada. Hal ini karena di dalam kedua sumber tersebut terdapat ajaran yang bersifat ta’abbudi (tidak bisa dirasionalisasika) dan ada yang bersifat ta’aqquli(bersifat rasional).
KEISTIMEWAAN FIQIH
A. Bersumber Dari Wahyu
1. Tuduhan Para orientalis
Para orientalis dan sejarawan Barat yang anti Islam seringkali menghujamkan tuduhan keji kepada fiqih dan para ulama fiqih. Mereka menuduh bahwa ilmu fiqih tidak lebih sekedar hasil karya para ulama, yang ditulis jauh sepeninggal Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para khulafa’ rasyidah.
Lebih jauh mereka bahkan sampai hati mencemooh para ulama itu sebagai para penjilat penguasa, yang dibayar dengan harga yang pantas untuk meligitimasi kezaliman dan keangkara-murkaan para penindas rakyat.
Mereka sering menghubungkan kelahiran ilmu fiqih dengan masa kehidupan empat imam mazhab, yaitu Abu Hanifah (70-150 H), Al Imam Malik (93-179 H), Asy Syafi’i (150-202 H) dan Al Imam Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H).
Tuduhan seperti ini -sayangnya- disenangi oleh banyak mahasiswa Muslim yang mendapat beasiswa untuk belajar di negeri para orientalis itu berteori. Dan tanpa punya rasa kritis dan cemburu sedikit pun, para mahasiwa yang lugu itu pun menjadi pemuja dan pembela pemikiran para orientalis, bahkan membanggakan diri sebagai murid dan kader mereka.
Padahal ilmu fiqih bukan karangan para ulama, juga bukan baru muncul di masa yang jauh dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam hidup. Dan ilmu fiqih tidak punya latar belakang kisah penjilatan kepada para penguasa. Keempat imam mazhab itu, tidak ada satu pun yang menjadi mufti suatu kerajaan, atau menjadi penasehat khalifah tertentu. Ilmu fiqih adalah ilmu yang sudah ada di masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup.
Pada dasarnya ilmu fiqih lahir, tumbuh dan berkembang bersama dengan perjalanan dakwah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabat. Karena itu kita mengenal istilah fiqih para shahabat, misalnya Fiqih Abu Bakar, Fiqih Umar, Fiqih Ustman dan juga Fiqih Ali. Sebab mereka ternyata memang ahli fiqih, yang juga sekaligus menjadi pengganti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam memimpin umat.
Sumber ilmu fiqih juga bukan otak dan logika manusia belaka. Tetapi sumber ilmu fiqih murni Al Quran dan As Sunnah yang diterima secara muktabar, dan kemudian dipahami dengan manhaj yang telah dibakukan secara ilmiyah dan diterima oleh seluruh umat Islam.
2. Fiqih vs Hukum Buat Manusia
Berbeda dengan undang-undang buatan manusia, atau yang sering disebut sebagai al ahkam al wadh’iyah (الأحكام الوضعیة), yang bersumber dari akal dan nalar manusia, fiqih bersumber dari wahyu Allah, yaitu Al Quran dan Sunnah.
Setiap ahli fiqih atau mujtahid pasti memiliki kemampuan mengambil hukum dari sumber fiqih yang ada, dan mereka semua terikat dengan Al Quran dan sunnah. Tidak satu pun dari mereka yang hanya sekedar menuruti logika belaka dan atau sekedar berlandaskan kepada filsafat. Kesimpulan hukum yang dihasilkan merupakan makna turunan secara langsung atau sesuai dengan ruh syariat, atau tujuan umum dari syariat Islam.
Karena sumber fiqih adalah wahyu Allah, maka ia sangat sesuai dengan tuntutan manusia dan kebutuhan manusia secara keseluruhan. Sebab Allah adalah Pencipta manusia yang mengetahui seluk-beluk manusia itu sendiri, baik yang lahir atau yang batin. Allah menciptakan syariat yang lengkap mengatur seluruh bidang kehidupan manusia. Allah berfirman:
“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui; dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Al Mulk: 14)
“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan yang disembelih untuk berhala. Dan mengundi nasib dengan anak panah , adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Maidah: 3)
Jika dibandingkan dengan undang-undang dan hukum yang dibuat manusia, perbedaan antara keduanya sangat jauh, seperti bedanya antara Pencipta jagad raya, Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan makluknya yang kecil.
Hukum yang dibuat manusia banyak kelemahan dan keterbatasan karena ia produk akal manusia yang serba terbatas. Akal manusia tidak mengetahui hakikat jiwa manusia dan kebutuhan dirinya sesuai dengan fitrah penciptaan yang digariskan oleh Allah. Sehingga hasil pikiran manusia banyak yang tidak sesuai dengan tabiat manusia itu sendiri.
Jalan satu-satunya adalah kembali kepada hukum yang diciptakan oleh Allah, Tuhan Yang Maha Tahu tentang manusia.
B. Mencakup Semua Aspek Kehidupan
Dibanding dengan hukum-hukum lain, Fiqih memiliki keistimewaan, yaitu bahwa ia mencakup tiga hubungan manusia; hubungan manusia dengan Allah sebagai Tuhan satu-satunya, hubungan dengan dirinya sendiri, dan hubungan dengan masyarakat. Sebab fiqih ini adalah untuk kepentingan dunia dan akhirat, kepentingan agama dan negara, dan untuk semua manusia hingga hari kiamat.
Hukum-hukum fiqih adalah perpaduan kekuatan antara akidah, ibadah, akhlak, dan muamalat. Dari kesadaran jiwa, perasaan tanggung jawab, merasa diawasi Allah dalam segala kondisi, penghargaan atas hak-hak maka lahirlah sikap ridha, ketenangan, keimanan, kebagiaan, dan kehidupan individu social yang teratur.
Hukum-hukum terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti hukum-hukum shalat, puasa, dan lain-lain. Sebagian ahli fiqih menyatakan bahwa jumlah ayat yang berkenaan dengan ibadah ini ada 140 ayat. Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya, seperti apa yang boleh dia lakukan dan apa yang tidak boleh dari makanan, minuman dan pakaian. Hal ini disyariatkan untuk menjaga diri manusia; akal dan fisik. Untuk hubungan manusia dengan sesama diatur dengan hukum-hukum muamalat dan uqubat (hukum pidana), seperti jual beli, sewa-menyewa, nikah, qishash, hudud, ta’zir, peradilan, persaksian.
Untuk itu dalam fiqih ada dua bab besar dalam fiqih yaitu hukum- hukum ibadah dan hukum-hukum mualat, seperti yan dijelas sebelumnya. Dengan demikian, fiqih diciptakan untuk menjaga lima prinsip dasar manusia; yaitu akal, agama, jiwa, agama, dan kehormatan. Maka fiqih sesungguhnya ingin mecetak manusia yang religi, sehat akal, sehat jiwa, terhormat, suci hartanya.
C. Konsep Halal Haram
Semua perbuatan, sikap dan tindakan sosial dalam fiqih selalu ada konsep agama tentang halal haram. Dalam hal ini ada dua bentuk hukum muamalat:
a. Hukum duniawi yang diambil berdasarkan indikasi tindakan dan bukti lahir dan tidak ada hubungannya dengan batin. Ini adakah hukum pengadilan; karena seorang hakim memberikan vonis sesuai dengan bukti yang ada semampunya. Vonis hakim ini tidak bisa mengubah sesuatu yang batil menjadi benar dan. sebaliknya dalam realitas, tidak mengubah yang haram menjadi halal dan sebaliknya. Vonis seorang hakim bersifat mengikat, berbeda dengan fatwa.
b. Hukum ukhrawi yang didasarkan kepada sesuatu yang sebenarnya (hakikat sesuatu baik yang lahir atau batin.
Hal ini berlaku antara seseorang dengan Allah. Hukum inilah yang dijadikan dasar oleh seorang ahli fatwa; fatwa adalah pemberian informasi tentang hukum syariat tanpa mengikat.
Kedua jenis hukum inilah yang ditegaskan dalam sebuah hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Malik, Ahmad dan lainnya,
”Sesungguhnya aku manusia. Jika kalian bersengketa kepadaku, mungkin salah satu dari kalian lebih kuat bukti dan alasannya dari yang lain, maka saya menghukumi berdasarkan apa yang saya dengar. Jika saya memutuskan sesuatu yang berpihak kepada seseorang dengan mengambil hak seorang Muslim secara tidak benar (tanpa saya ketahui) maka itu adalah potongan dari neraka. Jika ia mau silahkan mengambil atau meninggalkannya.”
Hukum-hukum duniawi semacam ini kebanyakan terkait dengan talak (perceraian), sumpah, utang, pelepasan hak, pemaksaan. Misalnya, seseorang yang secara tidak sengaja mencerai istrinya. Maka keputusan hakim adalah jatuh talak sementara menurut hukum ukhrawi tidak jatuh talak.
D. Berlandaskan Kaidah Paten Tapi Fleksibel
Landasan itu adalah Al Quran dan sunnah tertulis dengan rapi dan teliti. Teks-teks di kedua sumber ini bersifat suci dan sacral yang mengandung hukum-hukum global dan tidak terinci. Ini memungkinkan para ahli fiqih melakukan ijtihad menyimpulkan hukum secara terinci sesuai dengan kondisi dan realitas dilapangan. Namun demikian ada batasan yang selalu dijaga oleh para mujtahid. Muncullah kemudian kaidah-kaidah fiqih yang dijadikan pegangan dalam pengambilan hukum.
Nash-nash (teks) syariat, misalnya, tidak menyinggung system hukum secara detail, tapi hanya memberikan garis besarnya seperti; menjamin keadilan antar rakyat, taat kepada ulil amr (penguasa pemerintahan), konsep syura, kerja sama dalam kebajikan dan ketakwaan dan seterusnya.
Penerapan garis-garis besar itu diserahkan kepada kondisi dan realitas di lapangan. Yang terpenting adalah bagaimana tujuannya tercapai terlepas dari sarana yang digunakan asal tidak bertentangan dengan syariat.
E. Prinsip Memberi Kemudahan
Sebaliknya, fiqih memberikan kemudahan dan keringanan kepada manusia. Islam hanya mewajibkan shalat lima kali sehari semalam. Jika tidak mampu dilakukan dengan berdiri, boleh dilakukan dengan duduk, jika tidak mampu duduk, maka dengan berbaring.
Dan keringanan lain terkait dengan tayammum, shalat qasar, jamak, qadha, dan lain-lain. Juga ada keringanan dalam puasa, zakat, kaffarat (denda) akibat kesalahan yang dilakukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS Al Baqarah: 185)
Karenanya, Allah juga melarang kepada seseorang untuk menyakan sesuatu yang menimbulkan hukum yang lebih berat.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah mema’afkan tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS Al Maidah: 101).
F. Fiqih Adalah Khazanah Islam Yang Luas
Sepanjang sejarah, tidak ada referensi dan karangan yang sarat dengan khazanah ilmu dan pemikiran melebihi fiqih. Disana akan ditemui segala macam pandangan ulama dari berbagai mazhab dan aliran.
Dalam Islam ada empat aliran fiqih besar dan masing-masing madzab itu memiliki riwayat dan pendapat, baik yang disepakati atau yang dipersilihkan dan setiap pandang memiliki alasan dan dalil.
Setiap masalah dalam kehidupan manusia seakan tak luput dari pembahasan fiqih dari masalah yang terkecil hingga terbesar.
G. Mengikuti Perkembangan Zaman
Fiqih memiliki kaidah yang tidak akan berubah hingga akhir zaman, seperti kaidah; transaksi harus dilakukan saling ridha, pemberian ganti rugi jika ada kerusakan, pemberantasan kriminal, pemeliharaan hak-hak, tanggung jawab individu. Sementara fiqih yang didasarkan atas qiyas, masalahil mursalah, dan adat istiadat bisa berubah sesuai dengan kebutuhan zaman dan kemaslahatan manusia, dengan batasan yang tidak bertengangan dengan syariat.
ISTILAH FIQIH
Untuk memudahkan pemahaman kita maka pada bagian ini akan kita bahas satu persatu dalam bentuk seri.
Berikut ini akan kita bahas istilah fikih dalam segi Mukallaf.
1. Mukallaf
Mukallaf adalah seorang muslim yang telah dibebani hukum Islam karena mencapai usia dewasa, baligh dan berakal sehat.Menurut sebagian ulama seorang anak laki-laki dikatakan baligh apabila telah berusia minimal 15 tahun atau telah bermimpi dengan keluar mani. Sedangkan bagi anak perempuan yakni bila telah mencapai usia minimal 9 tahun atau mengalami haid (datang bulan).
2. Rukun
Rukun adalah suatu amalan/pekerjaan yang harus dilakukan dalam melaksanakan suatu ibadah tertentu yang apabila ditinggalkan maka ibadahnya tidak sah. Contoh, membaca Al Fatihah dalam shalat adalah termasuk rukun shalat sehingga apabila seseorang meninggalkan Al Fatihah dalam shalatnya maka shalatnya menjadi tidak sah/tidak diterima.
3. Syarat
Syarat adalah suatu ketetapan atau batasan yang harus di penuhi seseorang sebelum melaksanakan ibadah tertentu. Apabila syarat tidak dipenuhi maka ibadahnya tidak sah atau tidak sempurna. Bersuci adalah salah satu syarat shalat, maka barang siapa yang shalat tanpa bersuci maka shalatnya tidak sah.
4. Batal
Batal adalah suatu konsekuensi hukum tidak sah atau tidak diterimanya suatu amalan ibadah yang disebabkan oleh terlepasnya atau tidak terpenuhinya salah satu syarat atau rukun suatu amalan ibadah.
5. Sah
Sah adalah diakuinya sesuatu sebagai amalan ibadah apabila telah di penuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan oleh syara’.
Diantara Istilah Fiqih
Dari istilah-istilah Fiqih ada yang sudah sangat familiar seperti istilah haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah, tetapi kebanyakan istilah fiqih mungkin masih sangat asing di telinga kebanyakan kita. Jadi, bila ditanyakan apakah ada istilah lain selain yang telah disebutkan diatas dalam ilmu fiqih, jawabannya : sangat banyak, diantaranya yaitu :
1. Wajib /Fardhu
Lazimnya istilah Wajib dimaknai dengan : suatu perkara yang harus dilakukan seorang mukmin, mengerjakannya berpahala sedangkan meninggalnya adalah berdosa.
Fardhu dan wajib mempunyai makna yang sama menurut jumhur ulama selain kalangan Hanafiyyah. Menurut mazhab Hanafi, pengertian Fardhu adalah kewajiban yang dituntut dengan dalil yang Qath’I (pasti), semisalshalat, haji dan zakat. Sedangkan wajib adalah kewajiban yang dituntut dengan dalil zhanni (ada kesamaran) seperti khitan, akikah dll.[2]
Wajib atau fardu terdiri atas dua jenis yaitu :
- Wajib 'ain (fardu ‘ain) adalah suatu hal yang harus dilakukan oleh semua orang muslim mukalaf seperti shalat fardu, puasa ramadan, zakat, haji bila telah mampu dan lain-lain.
- Wajib Kifayah adalah perkara yang harus dilakukan oleh muslim namun jika sudah ada yang malakukannya maka menjadi tidak wajib lagi bagi yang lain seperti mengurus jenazah.
2. Sunnah/mandub
Sunnat adalah suatu perkara yang bila dilakukan akan mendapat pahala dan jika tidak dilaksanakan tidak berdosa.
Dalam pengertian lain, sunnah didefinisikan dengan : Sesuatu yang dituntut oleh syariat supaya dilakukan, tetapi tuntutan itu bukan tuntutan pasti, atau diberikan pujian kepada yang mengerjakannya dan yang meninggalkan tidak dicela.[3]
Jumhur ulama selain kalangan Malikiyyah menyamakan istilah sunnah dengan mandub, nafilah,mustahab, tathawu’, murghab fih,ihsan, dan husn.[4]
Contoh amaliayah yang dihukumi sunnah/ mandub adalah seperti saolat sunnat, puasa senin kamis, shalat tahajud, memelihara jenggot, dan lain sebagainya.
Sunah terbagi atas dua jenis/macam:
- Sunah Mu'akkad adalah sunnat yang sangat dianjurkan Nabi MuhammadSAW seperti shalat ied dan shalat tarawih.
- Sunat Ghairu Mu'akad yaitu adalah sunnah yang jarang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW seperti puasa senin kamis, dan lain-lain.
3. Haram
Haram adalah suatu perkara yang mana tidak boleh sama sekali dilakukan, karena jika dilakukan akan mendapat dosa dan siksa di neraka kelak. Contohnya seperti bermain judi, minum minuman keras, zina, durhaka pada orang tua, riba, membunuh, fitnah, dan lain-lain.
Haram juga diistilahkan sebagai perkara yang dituntut untuk ditinggalkan syara’ dengan tuntutan yang jelas dan pasti.[5]
4. Makruh
Makruh adalah suatu perkara yang dianjurkan untuk tidak dilakukan akan tetapi jika dilakukan tidak berdosa dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala dari Allah Swt.
Menurut Mazhab Hanafi, makruh terbagi menjadi dua, yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih. Makruh tahrim yaitu makruh yang dilarang dengan dalil yang tidak pasti, contohnya : bertunangan dengan tunangan orang lain. Sedangkan makruh tanzih yaitu larangan melalui larangan yang tidak pasti dan tidak mengisyaratkan adanya hukuman, seperti memakan daging kuda dan berwudhu dari bejana.
Sedangkan jumhur ulama memandang makruh hanya satu jenis saja.[6]
5. Mubah
Mubah adalah suatu perkara yang jika dikerjakan seorang muslim mukallaf tidak akan mendapat dosa dan tidak mendapat pahala. Contoh : makan dan minum, belanja, bercanda, melamun, dan lain sebagainya.
Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah selama tidak ada larangan atau pengharaman. Hukumnya adalah tidak ada pahala dan tidak ada hukuman (siksa) bagi orang yang melakukannya, ataupun orang yang meninggalkannya. Kecuali dalam kasus apabila meninggalkan perkara mubah itu akan menyebabkan kebinasaan. Dalam keadaan seperti itu, makan menjadi wajib, dan meninggalkannya adalah haram untuk menjaga nyawa.[7]
6. Syarat
Syarat ialah yang adanya sesuatu yang lain bergantung pada adanya, dan ia merupakan unsur luar dari hakikat sesuatu itu. Umpamanya adalah wudhu menjadi syarat bagi shalat, padahal ia ia merupakan unsur luar dari amalan shalat.[8]
7. Rukun
Rukun menurut ulama’ Hanafi adalah sesuatu yang kewujudan sesuatu yang lain adalah bergantung padda kewujudannya, dan ia merupakan bagian dari hakikat itu. Menurut jumhur, rukun ialah perkara yang menjadi asas bagi kewujudan sesuatu, meskipun ia berada diluar hakikat sesuatu itu.[9]