PENCUCIAN UANG : STUDI KASUS YAYASAN AKSI CEPAT TANGGAP
Chairunnisa Yumna Risti (2110611034)
E-mail : 2110611034@mahasiswa.upnvj.ac.id
Eliska Vioni (2110611033)
E-mail : 2110611033@mahasiswa.upnvj.ac.id
Irene Liansah (2110611030)
E-mail : 2110611030@mahasiswa.upnvj.ac.id
Dwi Desi Yayi Tarina, SH., M.H
(Coresponden Author)
E-mail : dwidesiyayitarina@upnvj.ac.id
ABSTRAK
Yayasan Aksi Cepat Tanggap merupakan yayasan yang berdiri guna untuk membantu
korban-korban yang terkena bencana alam atau yang sedang mengalami krisis ekonomi
(kemisikinan). Yayasan Aksi Cepat Tanggap diduga melakukan praktik pencucian uang
dengan cara memutar uang donatur melalui berbagai bisnis. Kasus ini diketahui 2020 dan izin
pencabutan yayasannya sudah dicabut oleh Kementrian Sosial. UU No. 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui sebab akibat dari kasus pencucian uang oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap
serta bagaimana hukum memandang kasus ini dalam penyelesaiannya. Penelitian ini
menghasilkan bahwa pencucian uang adalah proses ilegal dengan cara membuat uang pada
jumlah yang banyak yang didapatkan. Tindakan pencucian uang telah diatur pada pasal 1
angka (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan terhadap UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang. Berawal dari payung hukum Undang-undang Nomor 08 Tahun 2010 adalah perhatian
terhadap praktek uang pencucian uang di Indonesia tampaknya meningkat, meskipun
sebelumnya ada polemik tentang perlu tidaknya segera dikriminalisasi.
Kata kunci : yayasan, pencucian uang, kemanusiaan
ABSTRACT
Aksi Cepat Tanggap Foundation is a foundation that was established to help victims
affected by natural disasters or who are experiencing an economic crisis (poverty). Aksi
Cepat Tanggap Foundation is suspected of committing money laundering by turning donors'
money through various businesses. This case is known in 2020 and the permit to revoke the
foundation has been revoked by the Ministry of Social Affairs. UU no. 8 of 2010 concerning
the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering. The purpose of this study
is to find out the cause and effect of the money laundering case by the Aksi Cepat Tanggap
Foundation and how the law views this case in its settlement. This research results that
money laundering is an illegal process by making money in large amounts earned. The act of
money laundering has been regulated in Article 1 number (1) of Law Number 25 of 2003
concerning amendments to Law Number 15 of 2002 concerning the Crime of Money
Laundering and Law Number 8 of 2010 concerning the Prevention and Eradication of the
Crime of Money Laundering. . Starting from the legal umbrella of Law Number 08 of 2010 is
the attention to the practice of money laundering in Indonesia seems to be increasing,
although previously there was a polemic about whether or not to be immediately
criminalized.
Keywords: foundation, money laundering, humanity
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Aksi Cepat Tanggap (ACT) adalah sebuah Yayasan yang bergerak di bidang sosial
dan kemanusiaan. Aktivitas di bidang sosial dan kemanusiaan yang dilaksanakan oleh ACT
adalah kegiatan tanggap darurat, program pemulihan pasca bencana, dan program berbasis
spiritual misalnya Qurban, Zakat, dan Wakaf. Pada tahun 2012, ACT berubah menjadi
sebuah lembaga kemanusiaan yang berskala global serta memiliki jangkauan aktivitas yang
lebih luas. Aksi Cepat Tanggap (ACT) dikelola oleh tim manajemen yang terbagi menjadi
tiga yaitu dewan pembina, dewan pengawas, dan pengurus. Dewan pembina dan dewan
pengawas masing-masing memiliki seorang ketua dan anggotanya. Pengurus terdiri dari
ketua, sekretaris dan bendahara.
Dengan demikian, mereka yang memotong dana Yayasan teresebut melebihi apa yang
telah ditetapkan oleh undang-undang telah melakukan suatu perbuatan pidana yaitu
penggelapan. Perbuatan pidana yang mereka lakukan tersebut diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana, yaitu KUHP Pasal 374 : “Penggelapan yang dilakukan oleh orang
yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia
mendapat upah uang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun”
Yayasan tidak boleh memakai nama yang telah dipakai secara sah oleh yayasan lain.
Nama yang secara sah dipakai oleh yayasan lain yaitu nama yayasan yang telah didaftar
dalam daftar yayasan. Nama yayasan tidak boleh bertenttangan dengan ketertiban umum
dan/atau kesusilaan.1 Dalam UU No. 16 Tahun 2001 jo. UU No. 28 Tahun 2004 tentang
Yayasan disebutkan bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan,
dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Pada hakikatnya yayasan adalah harta
yang dipisahkan dan diberi status badan hukum serta diperuntukkan secara limitatif (khusus)
untuk melayani pekerjaan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Yayasan hanya
boleh memilih jalur yang memang sudah ditentukan dalam undang-undang.
Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas.
Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan (Pasal 31 ayat 1)
dan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan yayasan untuk kepentingan dan tujuan
1
Arie Prawira Sholeh, Pendirian Suatu Yayasan, 2018. Hlm. 17
yayasan serta berhak mewakili yayasan di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 35 ayat 1).
Pengurus terdiri dari sekurang-kurangnya seorang ketua, seorang sekretaris, dan seorang
bendahara yang diangkat serta diberhentikan oleh pembina untuk masa tugas 5 tahun. Jika
dipersamakan dengan Perseroan Terbatas (PT) Pengurus ini sama halnya
dengan
direksi. Sedangkan yang berada pada posisi komisaris yakni pengawas, dan pembina dapat
sedikit didefinisikan sama dengan RUPS PT.
Menurut UU Yayasan Pasal 3, “Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk
menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau
ikut serta dalam suatu badan usaha”. Dan kekayaan tersebut tidak boleh dibagikan kepada
pengurus, pembina, maupun pengawas. Kerja-kerja yang dilakukan dalam yayasan adalah
sukarela, jadi menjadi pengurus dalam yayasan tidaklah untuk mencari untung. “Kekayaan
Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan
berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak
langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai
kepentingan terhadap Yayasan.”
Organ yayasan tidak boleh digaji, hanya profesional yang diperbantukan dalam hal
tertentu seperti akuntan publik maka boleh digaji. Namun begitu masih terdapat celah hukum
dimana pengurus dapat mengambil keuntungan yayasan, walau sebetulnya hal tersebut juga
masih bermasalah. Dalam tindak pidana pencucian uang ketika berbicara pada yayasan hal
yang paling diwaspadai adalah dari mana uang tersebut berasal ketika ada
yang
menyumbang. karena dalam Pasal 26 UU Yayasan tidak dijelaskan mengenai kekayaan yang
disumbang harus di detailkan terkait sumbernya.
Tindak pidana pencucian uang (money laundering) dapat terjadi setelah dilakukannya
kejahatan awal atau asal (predicate offence). Pencegahan praktik pencucian uang tidak hanya
dapat diatasi dengan adanya Undang-Undang TPPU, melainkan juga harus dibantu dengan
adanya peraturan lain yang bersangkutan dengan praktik pencucian uang tersebut, misalnya
dalam yayasan, maka sangat diperlukan Undang-Undang Yayasan untuk membantu
terselenggaranya pencegahan praktik pencucian uang tersebut. Pengaturan yayasan dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan jo. Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2004.
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan,
(selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Yayasan), merupakan perwujudan politik
hukum nasional dalam pembentukan hukum baru. Dengan pengaturan tersebut, yayasan
ditegaskan sebagai badan hukum, sehingga mempunyai landasan hukum yang kuat dalam
melaksanakan kegiatan sesuai dengan maksud dan tujuannya. Dalam yayasan terdapat prinsip
akuntabilitas dan transparansi yang wajib dijadikan acuan utama oleh tiap-tiap yayasan dalam
menyusun kebijakan dan prosedur penerapan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Dengan
menerapkan prinsip akuntabilitas dan transparansi ini diharapkan tindak pidana pencucian
uang (money laundering) dapat dicegah terutama pada sektor keuangan.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana terjadinya pencucian uang yang dilakukan oleh yayasan aksi cepat
tanggap?
2. Bagaimana penyelesaian mengenai kasus pencucian uang yang dilakukan oleh
yayasan aksi cepat tanggap?
TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui lebih jelas terkait kasus pencucian uang oleh yayasan aksi cepat
tanggap.
2. Untuk mengetahui terkait pandangan hukum serta penyelesaian mengenai kasus
Yayasan Aksi Cepat Tanggap
BAB II
PEMBAHASAN
KASUS YAYASAN AKSI CEPAT TANGGAP
Dugaan kasus penyelewengan dana kemanusiaan pada Yayasan Aksi Cepat Tanggap
atau ACT bermula karena gaji para petinggi ACT yang mencapai 250 juta sampai
mempunyai berbagai deretan mobil mewah juga dugaan penggunaan dana umat untuk
kepentingan pribadi para pemilik ACT. Kemudian dugaan kasus penyelewengan dana ini
terus bergulir hingga ditetapkannya empat tersangka yaitu mantan Presiden ACT Ahyudin,
Presiden ACT Ibnu Khajar, anggota pembina ACT Hariyana Hermain dan anggota Pembina
ACT Novariadi Imam Akbari. Kasus ini bisa terungkap karena terdapat beberapa laporan,
salah satunya adalah laporan yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami langsung
peristiwa yang terjadi. Juga karena laporan polisi yang dibuat oleh anggota Polri atas
pengaduan yang diterima dari masyarakat karena terdapat korban terkait dengan penggunaan
dana yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Mengutip pemberitaan yang ditulis oleh Liputan 6 yayasan ACT mengelola dana
sebesar kurang lebih Rp. 2 triliun dimana kemudian terdapat pemotongan dana sebesar Rp
450 miliar rupiah untuk keperluan operasional yayasan. Pemotongan itu berkisar 20-30%.
Hal ini jelas salah karena dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 Pasal 6 ayat (1)
sudah jelas diatur bahwa pemotongan dana sumbangan guna kepentingan operasional
hanyalah 10% dari dana yang didapat. Karna hal ini kemudian Kemensos mencabut izin
Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang atau PUB. Kesalahan yang dilakukan oleh
ACT mengenai pemotongan biaya operasional ini juga menjadi tugas baru bagi Kemensos
untuk lebih giat mensosialisasikan aturan ini, karena bisa saja bukan hanya yayasan ACT
yang melakukan praktik yang bertentangan dengan aturan.
lebih dari itu dugaan pencucian uang yang dilakukan oleh yayasan ini juga disebabkan
dari temuan fakta oleh PPATK yang menemukan transaksi senilai Rp. 30 Miliar yang
melibatkan suatu perusahaan dengan ACT. Yayasan ini tidak langsung memberikan donasi
kepada para penerimanya melainkan melakukan pemutaran uang dari satu bisnis ke bisnis
yang lainnya guna mendapat keuntungan.2 Maka dapat disimpulkan bahwa pencucian uang
adalah kegiatan untuk menyamarkan harta kekayaan agar dapat digunakan tanpa terdeteksi. 3
Hal ini pula yang menyebabkan tindak pidana pencucian uang erat kaitannya dengan aksi
pendanaan terorisme.
Dari sana keempatnya dikenakan Pasal Tindak Pidana Penipuan atau Penggelapan
dalam Jabatan atau Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik atau Tindak Pidana
Yayasan atau Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP,
Pasal 374 KUHP, Pasal 45 a ayat 1 Jo Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang 19 tahun 2016 tentang
perubahan Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang ITE. Juga Pasal 70 ayat 1 dan ayat 2 Jo
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan. Pasal 3, 4, 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan Pasal 55 KUHP Jo Pasal 56 KUHP.4
PANDANGAN HUKUM MENGENAI KASUS YAYASAN AKSI CEPAT TANGGAP
PENCUCIAN UANG
Pencucian uang merupakan proses ilegal dengan membuat uang pada jumlah yang
banyak yang didapatkan menurut aktivitas kriminal, misalnya perdagangan narkoba, korupsi,
atau pendanaan teroris. Membuatnya seperti dari sumber yang sah. Uang hasil kejahatan
dipercaya kotor dan proses “mencuci” ini diterapkan supaya mampu membuatnya terlihat
bersih. Umumnya pelaku tindak pencucian uang berupaya untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan yang mana adalah hasil berdasarkan tindak pencucian
uang menggunakan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak pencucian uang susah
ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga akibatnya dengan leluasa menggunakan harta
kekayaan itu baik untuk aktivitas yang sah juga tidak sah. Lantaran itu, tindak pencucian
uang bukan hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian serta sistem
keuangan, namun juga bisa membahayakan sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
maupun bernegara menurut Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2
Kompas, 11 juli 2022, https://www.kompas.tv/article/307817/dugaan-penyelewengan-dana-actaliran-transaksi-ke-teroris-hingga-gelapkan-donasi-korban-lion-air?page=all, dikutip pada
tanggal
3
September 2022
3
Febriana Annisa, Prima Resi Putri, 2020, Penerapan Program Apu PPT untuk mencegah pencucian
uang dan pendanaan terorisme pada industri Fintech, jurnal hukum, Vol 11, No. 2, Hal.65.
4
DetikNews, Azhar Bagas Ramadhan, Bareskrin Limpahkan Berkas Perkara Tersangka Kasus ACT ke
Jaksa, https://news.detik.com/berita/d-6237415/bareskrim-limpahkan-berkas-perkara-4-tersangka-kasus-actke-jaksa, diakses pada tanggal 5 September 2022
Pelacakan harta kekayaan hasil tindakan pencucian uang biasanya dilakukan oleh lembaga
keuangan melalui prosedur yang sudah diatur pada peraturan perundang-undangan. Lembaga
keuangan mempunyai peranan penting tepatnya pada penerapan prinsip mengenali pengguna
jasa dan melaporkan Transaksi tertentu pada otoritas (financial intelligence unit) sebagai
petunjuk analisis dan agar selanjutnya disampaikan pada penyidik. Dalam perkembangannya,
tindakan pencucian uang semakin kompleks, melewati batas-batas yurisdiksi dan memakai
modus yang kian variatif, menggunakan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan sudah
menyebar ke banyak sekali sektor-sektor. Agar dapat mengantisipasi hal tersebut, Financial
Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar internasional
yang merupakan ukuran oleh setiap negara pada pencegahan dan penumpasan tindak
pencucian uang yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special
Recommendations, diantaranya tentang perluasan pihak pelapor (reporting parties). Dalam
mencegah dan memberantas tindak pencucian uang diperlukan kolaborasi regional dan
internasional dengan lembaga bilateral atau multilateral supaya intensitas tindakan ini yang
membentuk atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar bisa diminimalisasi.
Yayasan Aksi Cepat Tanggap ini merupakan yayasan yang berlandaskan kemanusiaan
dimana membuka donasi untuk membantu korban yang terkena bencana alam atau orangorang yang mengalami kemiskinan. Yayasan Aksi Cepat Tanggap melakukan tindak
pencucian uang yang mana membuat masyarakat kecewa dan marah. Lebih dari separuh
pemasukan donasi yayasan ini masuk ke kantong pribadi petinggi Yayasan Aksi Cepat
Tanggap ini. Tindak pencucian uang (money laundering) dapat terjadi setelah dilakukannya
kejahatan awal atau asal (predicate offence). Pencegahan praktik pencucian uang tidak hanya
dapat diatasi dengan adanya Undang-Undang TPPU, melainkan juga harus dibantu dengan
adanya peraturan lain yang bersangkutan dengan praktik pencucian uang tersebut, misalnya
dalam yayasan, maka sangat diperlukan Undang-Undang Yayasan untuk membantu
terselenggaranya pencegahan praktik pencucian uang tersebut. Pengaturan yayasan dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan jo. Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang
Yayasan, (selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Yayasan), merupakan perwujudan
politik hukum nasional dalam pembentukan hukum baru5. PPATK menyatakan bahwa
5
Dwi Cesaria Sitorus, Bismar Nasution, Windha, PRINSIP AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI
YAYASAN DALAM RANGKA MENCEGAH PRAKTIK PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING), Februari-Mei
2013, Volume 1 Nomor 1
adanya penyelewengan dana donasi yang dihimpun. PPATK menduga terdapat aliran
transaksi keuangan yang bersumber dari rekening Yayasan Aksi Cepat Tanggap kepada
anggota Al Qa'idah, yang mana merupakan salah satu dari 19 anggota yang pernah ditangkap
pihak keamanan Turki. Kemensos sudah mencabut izin pelaksanaan pengumpulan uang serta
barang sesuai dengan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 133/HUK/2022
tanggal 5 Juli 2022 terkait Pencabutan Izin Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan
Kepada Yayasan Aksi Cepat Tanggap di Jakarta Selatan yang ditandatangani oleh Menteri
Sosial Ad Interim Muhadjir Effendi. Beberapa program yang akan dilangsungkan oleh ACT
pun diketahui terlantar begitu saja, salah satunya seperti pembangunan rumah huni bagi
korban letusan gunung semeru, dimana seharusnya Aksi Cepat Tanggap membangun 100
rumah, tetapi hanya sampai beberapa bulan berselang yang terbangun hanya 29 dan tidak
sempurna. Aksi Cepat Tanggap mengatakan bahwa penanggung jawab terhadap program
tersebut telah ganti. Akan tetapi saat pihak Pemda mencoba menghubungi kontak
penanggung jawab baru yang diberikan oleh pihak Aksi Cepat Tanggap, mereka tidak
mendapat respons.
Tindakan pencucian uang sudah diatur pada pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 terkait perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Berawal dari payung hukum
Undang-undang Nomor 08 Tahun 2010 adalah perhatian terhadap praktek uang pencucian
uang di Indonesia tampaknya meningkat, meskipun sebelumnya ada polemik tentang perlu
tidaknya segera dikriminalisasi. Motivasi untuk mencuci hasil kejahatan setidaknya karena di
sini ada beberapa kekhawatiran pelakunya akan berurusan dengan petugas pajak, atau akan
diadili oleh penegakan hukum atau bahkan hasil kejahatan akan disita6. Pelanggaran pertama
Yayasan Aksi Cepat Tanggap merupakan status kelembagaan. Seperti diketahui, selama ini
Aksi Cepat Tanggap berbentuk yayasan, yang mana seharusnya nir boleh membentuk profit
bagi pemiliknya. Peraturan tentang yayasan yang tidak dikenakan pajak terpisah dengan
peraturan tentang CV atau PT yang pada dasarnya bertujuan mencari laba dan dibebani pajak.
Aksi Cepat Tanggap akan dijerat pelanggaran Pasal 6 Ayat 1 pada Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 29 Tahun 1980 mengenai Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Yayasan Aksi
Cepat Tanggap seharusnya tunduk kepada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 juncto
6
Yuni Priskila Ginting, Suspicious Financial Transactions From Narcotic Trading Result As Origin
Criminal Measures In Money Laundering, 2020, Volume 3 Nomor 1
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan berdasarkan pada prinsip
keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat. Dikarenakan Yayasan Aksi Cepat Tanggap
sudah sebagai yayasan yang berbadan hukum, yayasan ini dilarang untuk mengambil laba
dari yayasan maupun kegiatan usaha yayasan, baik oleh pendiri atau pengurusnya. Dalam PP
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tersebut menjelaskan bahwa
pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan semaksimalnya adalah sepuluh persen dari hasil
pengumpulan sumbangan yang bersangkutan. Bila benar pengurus yayasan ACT mengambil
keuntungan, digaji maka dapat dikenakan sanksi pidana terhadap perbuatan pelaku yang
menerima pembagian atau peralihan dari kekayaan yayasan dimaksudkan sebagaimana diatur
dalam Pasal 70 ayat (1) dan (2) UU Yayasan No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 tahun 2004 yang isinya menegaskan, "Setiap
anggota organ yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Selain dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana penjara, anggota organ yayasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang,
atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan kepada organ pengurus". Larangan dan
norma ini sangat tegas dan jelas diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Yayasan yang isinya
menegaskan, "Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang
diperoleh yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara
langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk
lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas”. Izin Yayasan
Aksi Cepat Tanggap yang dicabut digunakan agar yayasan ini tidak lagi mengumpulkan
donasi-donasi dan akan mempermudah proses hukum untuk mengetahui berapa jumlah uang
yang tersalurkan dan tidak tersalurkan. Diketahui Kemensos mencabut izin PUB lembaga
Aksi Cepat Tanggap Tahun 2022, dikarenakan Aksi Cepat Tanggap menggunakan 13,7
persen dana donasi untuk kebutuhan operasional. Pencabutan izin PUB yayasan Aksi Cepat
Tanggap ini adalah awal dugaan penyelewengan uang sumbangan umat pada yayasan
tersebut. Menyatakan, dana bantuan umat dipakai untuk kepentingan pribadi para pejabat
yayasan tersebut bersama keluarganya. Besaran gaji para petinggi Aksi Cepat Tanggap yang
besar pun menjadi sorotan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan, maka pada akhir penulisan ini dapat
diambil beberapa kesimpulan, yaitu : Keberadaan yayasan dalam sistem hukum Indonesia
merupakan suatu lembaga yang tujuannya bersifat sosial, kemanusiaan dan keagamaan yang
menjadikan yayasan sebagai badan hukum non profit/nirlaba. Organisasi nirlaba atau
organisasi non profit adalah suatu organisasi yang bersasaran pokok untuk mendukung suatu
isu atau perihal di dalam menarik perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersil,
tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter). Keberadaan
yayasan bukanlah suatu hal yang baru, bahkan sudah ada sejak zaman kolonial, tetapi belum
diakui. Namun keberadaan yayasan sekarang telah diakui dengan diberlakukannya hukum
positif yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan jo.
UndangUndang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 Tentang Yayasan, yang secara tegas menyebutkan bahwa yayasan adalah Badan
Hukum.
Penerapan prinsip akuntabilitas dan transparansi yayasan merupakan salah satu upaya
pemerintah dalam rangka mencegah praktik pencucian uang (money laundering). Penerapan
prinsip tersebut telah dilaksanakan dalam yayasan itu sendiri, hal ini dapat dilihat dengan
adanya kewajiban organ yayasan yang terdiri atas pembina, pengurus, dan pengawas yan g
harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar, misalnya
melalui ketentuan mengenai laporan tahunan dalam yayasan. Dalam prinsip akuntabilitas
harus menyampaikan sesuatu berdasarkan data memberikan laporan, berkomunikasi dan
bertindak sesuai dengan kenyataan dan data yang sebenarnya. Sedangkan dalam prinsip
transparansi harus memberikan laporan dengan terbuka dan obyektif, yang mencakup laporan
mengenai transaksi tanpa ada pemalsuan, berlebihan ataupun menyembunyikan sesuatu,
sehingga dapat diakses dengan mudah dan dipahami oleh pihak-pihak terkait Praktik tindak
pidana pencucian uang merupakan suatu hal yang sering dilakukan oleh orang yang tidak
bertanggung jawab dengan menggunakan banyak cara, misalnya melalui melalui bidang
perbankan, pasar modal, asuransi, yayasan, ataupun untuk melakukan kejahatan kembali,
misalnya di bidang narkotika ataupun kejahatan lainnya. Banyak pelaku tindak pidana
pencucian uang mulai beralih pada sektor non perbankan dalam melakukan pencucian
uangnya. Hal ini terutama sejak pemerintah mulai memperketat sistem pengawasan
perbankan, sehingga membuat para pelaku praktik pencucian uang ini beralih ke lembaga
keuangan non bank (LKNB), misalnya usaha asuransi jiwa dan yayasan. Penyebab terjadinya
pencucian uang ini pada dasarnya terletak pada faktor antara lain kelemahan dalam peraturan
keuangan atau perbankan serta keseriusan pihak perbankan atau pemerintah untuk mencegah
praktik pencucian uang.
SARAN
Beberapa saran yang dapat diajukan dari hasil pembahasan ini yaitu : Pemerintah
diharapkan agar tetap konsisten dalam melakukan pencegahan terhadap tindak pidana
pencucian uang (money laundering) sehingga Indonesia tidak masuk lagi ke dalam daftar
hitam (black list) sebagai negara yang dikategorikan tidak kooperatif dalam memerangi
kejahatan pencucian uang atau Non-Cooperative Countries and Teritories (NCCT’s).
Undang-Undang Yayasan perlu disosialisasikan, agar pengurus yayasan maupun masyarakat
luar memahami prosedur pendirian yayasan sebagai badan hukum. Untuk itu, pemerintah
diharapkan mengadakan pengawasan yang ketat terhadap praktik pengelolaan yayasan yang
melakukan kegiatan usaha komersil, karena kalau tidak yayasan akan kehilangan fungsi
sosialnya. Akuntan publik yang memiliki kewajiban dalam hal mengaudit laporan keuangan
yayasan haruslah melaksanakan kewajibannya dengan penuh bertanggung jawab sehingga
kekayaan yang dimiliki oleh yayasan dalam jumlah tertentu dapat diketahui oleh masyarakat
berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas yang terdapat dalam Undang-Undang
Yayasan.
DAFTAR PUSTAKA
Annisa , Febriana, Prima Resi Putri, 2020, Penerapan Program Apu PPT untuk mencegah
pencucian uang dan pendanaan terorisme pada industri Fintech, jurnal hukum, Vol 11,
No. 2, Hal.65.
DetikNews, Azhar Bagas Ramadhan, Bareskrin Limpahkan Berkas Perkara Tersangka Kasus
ACT ke Jaksa, https://news.detik.com/berita/d-6237415/bareskrim-limpahkan-berkasperkara-4-tersangka-kasus-act-ke-jaksa, diakses pada tanggal 5 September 2022
Ginting , Yuni Priskila, Suspicious Financial Transactions From Narcotic Trading Result As
Origin Criminal Measures In Money Laundering, 2020, Volume 3 Nomor 1
Kompas, 11 juli 2022, https://www.kompas.tv/article/307817/dugaan-penyelewengan-danaact-aliran-transaksi-ke-teroris-hingga-gelapkan-donasi-korban-lion-air?page=all,
dikutip pada tanggal 3 September 2022
Sholeh , Arie Prawira, Pendirian Suatu Yayasan, 2018. Hlm. 17
Sitorus , Dwi Cesaria, Bismar Nasution, Windha, PRINSIP AKUNTABILITAS DAN
TRANSPARANSI YAYASAN DALAM RANGKA MENCEGAH PRAKTIK
PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING), Februari-Mei 2013, Volume 1
Nomor 1