G10B.765
KEAMANAN GLOBAL 2
KEAMANAN KOMPREHENSIF
Kontributor:
Annisa Rizki Aulia
170210110017
Claudia Henyka
170210110073
Denisa Ruvianty
170210110051
Devita Eka Sari
170210110043
Greaty Fitraharani
170210110085
Ika Fitriyana Kusumaningrum
170210110061
Jessica Krisheilla Martua
170210110120
Maleakhi Misael Sutanto
170210110075
Ravio Patra (Editor)
170210110019
Shinta Permata Sari
170210110111
Swittri Dewi Tambun
170210110025
Viddy M. Naufal Ranawijaya
170210110131
PROGRAM SARJANA HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
OKTOBER 2014
ABSTRAK
Dari masa ke masa, kebutuhan akan rasa aman menjadi determinan yang
krusial bagi manusia dalam membuat keputusan, termasuk dalam ranah
politik. Kebutuhan akan rasa aman ini terkadang membuat manusia
melakukan berbagai hal yang destruktif dan egois, seperti memulai konflik
dan perang.
Di masa lalu, keamanan terbatas hanya pada sekadar isu-isu militer.
Akan tetapi, dinamika peradaban manusia telah mengubah persepsi terhadap
keamanan. Setidaknya dalam 20 tahun terakhir, diskursus keamanan dihiasi
oleh perdebatan mengenai kebutuhan akan keamanan yang lebih inklusif
dengan tujuan menciptakan rasa aman yang sebenarnya. Konsep keamanan
komprehensif adalah salah satu jawaban yang memberikan wadah bagi
kebutuhan ini.
Suatu keamanan yang komprehensif digambarkan sebagai rasa aman
yang, di samping memberikan rasa aman berkat adanya kapasitas militer,
juga menghiraukan rasa aman secara ekonomi (economic security),
lingkungan (environmental security), energi (energy security), dan rasa aman
bagi manusia secara alamiah (human security). Meskipun konsep keamanan
komprehensif tidak terbatas hanya pada empat jenis ini, tulisan berikut
mencoba menyediakan pemahaman yang holistik dan terfokus pada
keempatnya saja tanpa maksud mengesampingkan varian keamanan lainnya.
Kata kunci: sekuritisasi, keamanan komprehensif, keamanan ekonomi,
keamanan lingkungan, keamanan energi, keamanan manusia.
i
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................................... i
DAFTAR ISI .....................................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... v
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................................. vi
BAB I – LATAR BELAKANG
1.1 Studi Keamanan dalam Hubungan Internasional ............................................. 1
1.2 Perkembangan Studi Keamanan dalam Hubungan Internasional ............. 1
1.2.1 Perang Dunia I ........................................................................................................ 2
1.2.2 Perang Dunia II ...................................................................................................... 2
1.2.3 Perang Dingin ......................................................................................................... 3
1.2.4 Pasca-Perang Dingin ............................................................................................ 3
1.2.5 Globalisasi dan Perang terhadap Teror........................................................ 4
1.3 Kebutuhan akan Keamanan Komprehensif ........................................................... 4
BAB II – INTERPRETASI DAN ANALISIS
2.1 Mengenal Keamanan Komprehensif ..................................................................... 6
2.2 Sekuritisasi dan Keamanan Komprehensif ........................................................ 8
2.2.1 Tingkatan Analisis Sekuritisasi Berdasarkan Sektor .............................. 8
2.2.2 Ilustrasi Analisis Sekuritisasi (Studi Kasus: Prancis) ........................... 10
2.3 Keamanan Manusia .................................................................................................... 12
2.4 Keamanan Ekonomi ................................................................................................... 15
2.5 Keamanan Lingkungan ............................................................................................. 17
2.6 Keamanan Energi ........................................................................................................ 18
2.6.1 Sekuritisasi Energi.............................................................................................. 19
2.6.2 Bertahan dengan Bahan Bakar Fosil ........................................................... 24
2.6.3 Mencapai Keamanan Energi Berbasis Bahan Bakar Fosil ................... 25
ii
2.7 Keamanan Komprehensif di Asia-Pasifik........................................................... 27
2.7.1 Keamanan Manusia ............................................................................................ 27
2.7.2 Keamanan Ekonomi ........................................................................................... 29
2.7.3 Keamanan Lingkungan ..................................................................................... 32
2.8 Keamanan Komprehensif di Eropa ..........................................................................37
2.8.1 Keamanan Komprehensif yang Kooperatif ............................................... 38
2.8.2 Upaya OSCE dalam Mewujudkan Keamanan Komprehensif ............. 39
KESIMPULAN .............................................................................................................. 41
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 44
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tingkatan Analisis Sekuritisasi Berdasarkan Sektor .............................. 8
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Prancis dalam Analisis Sekuritisasi di Tiga Tingkatan .................... 10
v
DAFTAR SINGKATAN
AS
: Amerika Serikat
CIA
: Central Intelligence Agency
CSCAP
: Council for Security Cooperation in Asia-Pacific
DoD
: Department of Defense
DoE
: Department of Energy
FoM
: Representative on Freedom of the Media (OSCE)
GDP
: Gross Domestic Product
HAM
: Hak Asasi Manusia
HCNM
: High Commissioner on National Minorities (OSCE)
HDR
: Human Development Report
HI
: Hubungan Internasional
IMF
: International Monetary Fund
IS
: Islamic State (sebelumnya ISIS)
ISIS
: Islamic State of Iraq and Syria
JI
: Jamaah Islamiyah
LBB
: Liga Bangsa-Bangsa
LoN
: League of Nations
NEPDG
: National Energy Policy Development Group
ODHR
: Office for Democratic Institution and Human Rights (OSCE)
OSCE
: Organization for Security and Co-operation in Europe
PBB
: Perserikatan Bangsa-Bangsa
PDB
: Produk Domestik Bruto
SARS
: Severe Acute Respiratory Syndrome
TOC
: Transnational Organized Crime
UN
: United Nations
UNDP
: United Nations Development Programme
UNEP
: United Nations Environmental Programme
UNESCO
: United Nations Educational, Scientific, Cultural Organization
US
: United States (of America)
vi
1
BAB I
LATAR BELAKANG
1.1 Studi Keamanan dalam Hubungan Internasional
Perjalanan waktu telah mengubah wajah dan dinamika dari disiplin ilmu
Hubungan Internasional. Upaya untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman
yang coba diwujudkan melalui kerja sama antarnegara di bawah panji
organisasi internasional—seperti Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations),
sebelum dilanjutkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations)—
ternyata belum dapat memberikan jawaban yang konklusif terhadap
perdebatan berkepanjangan mengenai konsep dan makna universal dari
kemanan.
Studi dan masalah keamanan, yang selama ini selalu gagal mencapai
konsensus, dianggap sebagai studi yang sekadar menghiraukan pertentangan
antara perdamaian (peace) dan peperangan (war); suatu persepsi yang
begitu sempit dan eksklusif. Oleh karena itulah, kemudian, para akademisi
Hubungan Internasional mengembangkan konsep keamanan baru yang
dipercaya lebih inklusif dan dinamis dalam kerangka suatu konsep yang
dinamai keamanan komprehensif (comprehensive security)
1.2 Perkembangan Studi Keamanan dalam Hubungan Internasional
Semenjak pertama kali dipelajari secara formal sebagai sebuah disiplin ilmu
yang independen di Wales-Aberystwyth University pada tahun 1919, studi
Hubungan Internasional terus berupaya memberikan pemahaman yang
holistik dan
dinamis
terkait
hubungan
antarnegara dalam
sistem
internasional dengan cara mengembangkan hirauannya. Studi keamanan
adalah salah satu hirauan yang paling kencang diperdebatakan dari waktu ke
waktu oleh para intelektual Hubungan Internasional.
Berbagai peristiwa besar dan bersejarah bagi peradaban manusia yang
terjadi sebelum dan sesudah dimulainya studi Hubungan Internasional
memiliki
pengaruh
krusial
dalam
mengubah
Universitas Padjadjaran © 2014
dan
mengembangkan
2
konseptualisasi diskursus studi keamanan dari yang bersifat tradisional
(militeristik) hingga kini mulai mengenali hirauan nontradisional.
Menurut Otmar Höll (2011), beberapa peristiwa penting dan bersejarah
yang berpengaruh terhadap perkembangan studi keamanan tersebut di
antaranya adalah Perang Dunia I, Perang Dunia II, Perang Dingin, serta
Globalisasi dan Perang terhadap Teror.
1.2.1 Perang Dunia I
Pada masa Perang Dunia I, perang umumnya dipicu oleh perebutan
kekuasaan teritori antarnegara maupun antarkerajaan yang diyakini bermula
di daratan Eropa. Persepsi pada masa itu adalah bahwa dengan menguasai
wilayah yang besar, melalui ekspansi, maka penguasa dapat memperluas
kedaulatannya dan menguasai segala bentuk sumber daya yang ada di dalam
wilayah tersebut.
Dari pemahaman ini, dapat disimpulkan bahwa asumsi terhadap
konsep keamanan didominasi oleh kekuasaan dalam artian tradisional
seputar geopolitik dan politik kekuasaan (power politics).
1.2.2 Perang Dunia II
Pada masa Perang Dunia II, negara-negara mulai menghiraukan
kebutuhan untuk memperkuat pertahanan negara melalui penguatan
kemampuan militer. Bukan hanya untuk memperluas kekuasaan, namun juga
untuk menghalau serangan dari luar (defensif).
Salah satu negara yang gencar mengembangkan kapasitas militernya
pada masa itu adalah Jepang. Dari peristiwa Perang Dunia II, dapat ditarik
kesimpulan bahwa studi keamanan telah berkembang hirauannya dari
sekadar politik kekuasaan dan geopolitik kepada penguatan kemanan dan
ketahanan nasional untuk menangkal (defensif) dan melawan (ofensif)
ancaman dari luar yang ditimbulkan oleh pihak-pihak berbahaya.
Universitas Padjadjaran © 2014
3
1.2.3 Perang Dingin
Kemerdekaan banyak negara pasca-Perang Dunia II menimbulkan
dampak yang masif terhadap konstelasi perpolitikan dunia. Begitu pula
halnya dengan studi keamanan yang mengalami pergeseran fokus; dari
asumsi keamanan tradisional pada keamanan nontradisional. Hal ini ditandai
oleh mulai hiraunya para penstudi keamanan akan pentingnya keamanan
ekonomi dan lingkungan.
Kesadaran ini dipicu pula oleh pemahaman utama yang bergeser dari
sekadar menciptakan perdamaian (to make peace) pada menciptakan
keamanan (to make secure). Pergeseran ini dilatarbelakangi oleh oleh
kemunculan krisis ekonomi yang berdampak pada kemakmuran dan
degradasi lingkungan yang disebabkan oleh masifnya industrialisasi.
1.2.4 Pasca-Perang Dingin
Setelah berakhirnya Perang Dingin, keamanan tidak lagi dianggap
sebagai sebuah konsep yang sekadar membahas kemampuan militer untuk
menghadapi ancaman dari serangan, namun mulai merambah pada
pembahasan akan pentingnya keamanan masyarakat dan manusia (societal
and human security).
Runtuhnya Uni Soviet menyebabkan berakhirnya bipolaritas politik
dunia. Penasbihan Amerika Serikat sebagai hegemon tunggal ternyata tidak
berlangsung lama akibat bermunculannya anggapan bahwa Amerika Serikat
tidak bisa menyelesaikan berbagai permasalahan keamanan global. Pada
dekade 1990-an, walau konflik antarnegara dianggap telah hilang, muncul
banyak isu baru mengenai konflik di dalam negara (intrastate conflict)
seperti konflik antaretnis dan antaragama; di samping berbagai perang
saudara memperebutkan kekuasaan atas negara. Selain itu, berbagai macam
krisis yang bermunculan juga menambah beban secara transnasional. Di
dalamnya termasuk masalah seputar arus pengungsi (refugee), pemerintahan
yang buruk (malgovernance), kejatuhan ekonomi, degradasi lingkungan,
serta penjaminan terhadap kebebasan dan rasa aman.
Universitas Padjadjaran © 2014
4
1.2.5 Globalisasi dan Perang terhadap Teror
Globalisasi merupakan salah satu pemicu utama yang banyak
berkontribusi dalam perubahan dinamika keamanan global. Fenomena ini
menjadi hirauan yang amat sangat penting berkat munculnya kesadaran
peradaban timur untuk mau dengan sendirinya ikut menuju tatanan dunia
baru (new world order) selagi peradaban barat, yang selama ini selalu
diposisikan sebagai superior, harus siap menghadapi keberagaman
(heterogenitas) dan kerumitan (kompleksitas) kebangkitan dunia timur.
Di samping itu, globalisasi menjadi katalis bagi industrialisasi dan
percepatan penyebaran efeknya melalui sistem ekonomi yang semakin
condong pada kapitalisme global. Hal ini menciptakan interdependensi yang
belum pernah ada sebelumnya antarnegara (unprecedented phenomenon).
Masalah-masalah seperti emisi polusi udara dan tanah, perubahan iklim,
perang asimetris, terorisme, kejahatan terorganisir, serta migrasi ilegal yang
selalu menuntut kerja sama internasional pun mulai bermunculan dalam
skala yang mengkhawatirkan.
Salah satu fokus utama dalam beberapa dekade terakhir adalah
masalah terorisme yang, terutama pascaberakhirnya Perang Dingin, semakin
terasa keberadaannya sehingga menuntut negara untuk meningkatkan
kapabilitas militernya. Kampanye perang terhadap teror (war on terror) yang
diprakarsai oleh Amerika Serikat pascatragedi 11 September 2001 telah
mengubah wajah studi keamanan global secara permanen. Upaya ini
ditunjang oleh kerja sama militer di tingkat kawasan dengan tujuan menekan
potensi regenerasi di dalam tubuh kelompok-kelompok teroris, terutama di
daerah dengan banyak penduduk tidak sejahtera yang lebih rentan direkrut
oleh kelompok teroris.
1.3 Kebutuhan akan Keamanan Komprehensif
Transformasi studi keamanan secara jelas terlihat pada Perang Dunia I,
dengan fokus pada kekuasaan wilayah, dan Perang Dunia II, di mana konsep
keamananan ditekankan pada pertahanan dan keamanan nasional negara,
namun hal ini tidak mengurangi fokus kemanan militer sebelumnya untuk
Universitas Padjadjaran © 2014
5
menguasai dan memperluas wilayah. Masa Perang Dingin, sementara itu,
menambah cakupan isu keamanan pada tatanan lingkungan dan ekonomi;
namun juga tidak mengubah dan mengurangi stategi keamanan dan/atau
mengeliminasi konsep keamanan sebelumnya, apalagi hingga mengeliminasi
fokus terhadap kapabilitas militer. Baru pada masa pasca-Perang Dingin lah
kemudian kompleksitas dinamika keamanan global menjadi berubah dengan
menjamurnya aktor-aktor nonnegara yang menambah potensi ancaman
terhadap keamanan global. Dengan kata lain, perkembangan dan perluasan
isu hirauan keamanan global tidaklah mengurangi atau mengeliminasi
konsep keamanan yang sudah ada sebelumnya, sehingga memperkaya
khasanah studi keamanan.
Konsep keamanan komprehensif hadir untuk meretas kompleksitas dan
cakupan isu keamanan yang terus meluas. Dengan pernyataan sebelumnya,
keamanan komprehensif merupakan konsep yang fleksibel dan dapat terus
meluas sejalan dengan dinamika keamanan global sendiri.
Keamanan manusia dan masyarakat yang muncul sebagai derivate dari
keamanan komprehensif menunjukkan revolusi pembeda atau diferensiasi
utama jika dibandingkan dengan konsep keamanan tradisiona. Keamanan
tradisional yang berhaluan militeristik bukan dihilangkan, namun tidak
dianggap sebagai konsep penyokong, melainkan ada dengan kerangka
konseptualnya sendiri.
Lebih lanjut, menurut Buzan (1991), sekuritisasi adalah proses yang
kemudian dengan jelas menunjukkan fleksibilitas dari konsep keamanan
komprehensif terhadap semua isu politik dan fenomena baru yang tidak
dapat diprediksi relevansinya secara permanen terhadap studi keamanan.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa keamanan komprehensif menjadi
solusi bagi perwujudan keamanan dalam artian yang lebih luas dan
kontemporer dengan aksi-aksi kelompok ekstrimis dan separatis yang tak
bosan menimbulkan ancaman terhadap keamanan global.
Universitas Padjadjaran © 2014
6
BAB II
INTERPRETASI DAN ANALISIS
2.1 Mengenal Keamanan Komprehensif
Barry Buzan (1991) telah berhasil memprakarasai transformasi pemahaman
mengenai keamanan yang sempit menjadi keamanan komprehensif yang
lebih kompleks. Konsep ini memperluas cakupan studi keamanan, yang
tadinya hanya membahas mengenai keamanan militer dan negara, dengan
menyertakan pembahasan mengenai keamanan dalam aspek sosial, ekonomi,
dan juga perasaan yang integral dari keamanan individu. Menurutnya,
keamanan memiliki tujuan untuk meraih kebebasan dari ancaman di
samping kemampuan negara dan masyarakat menjaga identitas independen
serta integritas fungsional melawan pemaksaan akan perubahan. Garis yang
paling mendasar dari konsep keamanan adalah kebertahanan (survival).
Lebih lanjut, Buzan (1991) menjabarkan kerangka konseptual dari
keamanan komprehensif yang ditopang oleh beberapa konsep, yaitu:
Keamanan manusia (human security), yang menjadikan individu
manusia, atau kumpulannya dalam masyarakat, sebagai objek utama.
Pendekatan ini memperluas arti keamanan negara yang tadinya berupa
pertahanan (defense) menjadi konsentrasi yang universal serta
pencegahan konflik (conflict prevention). Konsep ini banyak dikritik
karena tidak memberikan batasan yang jelas terhadap definisi dari
keamanan dengan tidak lagi hanya berfokus pada beberapa fenomena
tertentu yang spesifik saja. Dengan kata lain, segala hal—sesepele
apapun bagi orang tertentu—dapat berpengaruh terhadap keamanan..
Implikasi dari ide ini adalah bahwa pada kasus atau krisis yang
dianggap mengancap keamanan manusia, aktor yang pertama kali akan
dimintai pertanggungjawabannya adalah negara. Jika negara tidak
dapat menanganinya, maka komunitas internasional boleh ikut campur
(mengintervensi) karena diasumsikan bertanggung jawab untuk
melindungi keamanan manusia.
Universitas Padjadjaran © 2014
7
Keamanan masyarakat (societal security), yang memberi penekanan
pada kemampuan masyarakat untuk terus bertahan pada karakter
esensialnya seiring dengan kondisi yang terus berubah terlepas dari
ancaman yang terus datang. Dengan kata lain, keamanan masyarakat
sangat mementingkan keberlangsungan identitas unik dari tiap
kelompok dalam masyarakat.
Sekuritisasi (securitization), yang memiliki penekanan utama pada
upaya mentransformasi isu-isu tertentu menjad hirauan keamanan
melalui upaya politisasi yang ekstrim. Dalam sekuritisasi, beberapa fase
esensial
adalah
memahami
siapa
yang
melakukan
sekuritiasi
(securitizing actor), isu apa yang disekuritisasi (existential threat),
untuk siapa sekuritisasi dilakukan (referent object), serta mengapa,
dengan hasil apa, dan dalam kondisi apa sekuritisasi dilakukan.
Dunia barat kadang salah memprersepsikan konsep keamanan komprehensif
sehingga menganggap bahwa seluruh permasalahan keamanan yang berbeda
dapat diretas melalui aksi militer. Padahal, pemahaman yang benar adalah
bahwa setiap subtopik dari keamanan komprehensif membutuhkan
penyelesaian isu yang berkesesuaian dengan subtopik tersebut; tidak harus
dengan menerapkan pendekatan militeristik. Hal ini berarti bahwa
proporsionalitas adalah pertimbangan utama.
Permasalahan militer tentunya diselesaikan secara militer, sementara
permasalahan sektor politik diselesaikan menekankan hubungan kekuasaan,
status
pemerintahan,
dan
pengakuan.
Begitu
pula
halnya
dengan
permasalahan di sektor ekonomi yang dapat diselesaikan melalui hubungan
perdagangan, produksi, dan keuangan; sektor sosial mengenai hubungan
idektitas yang kolektif; serta sektor lingkungan mengenai hubungan antara
aktivitas manusia dan biosfer.
Memahami keamanan komprehensif berhubungan dengan memahami
kompleksitas dunia yang makin interdependen satu sama lain. Oleh karena
itu, kerja sama yang bersifat lintas batas negara adalah kebutuhan yang tidak
dapat diabaikan.
Universitas Padjadjaran © 2014
8
2.2 Sekuritisasi dan Keamanan Komprehensif
Mengkaji keamanan, baik dalam skala lokal, regional, maupun global
seringkali menjadi polemik tersendiri. Namun, sekalinya isu dalam skala
global sudah ditetapkan, akan jauh lebih mudah untuk menjelaskan isu dalam
skala yang lebih kecil. Pasca-Perang Dingin, dengan berakhirnya bipolaritas
politik dunia, isu-isu keamanan tidak lagi hanya bersifat militeristik namun
menyentuh banyak sektor yang substansial bagi tercapainya keamanan.
2.2.1 Tingkatan Analisis Sekuritisasi Berdasarkan Sektor
Di tiap sektor, sekuritisasi membahas objek tujuan (referent object) dan
ancaman (existential threat) yang dapat diidentifikasi dari kecenderungan
dalam proses globalisasi, regionalisasi, ataupun lokalisasi. Tabel berikut,
menyajikan tingkatan analisis sekuritisasi di tiap-tiap sektor. Proses global
berada di level sistem, kawasan dan nonkawasan di level subsistem, serta
lokal berada di level subunit.
Tingkat | Sektor
Militer
Lingkungan
Ekonomi
Sosial
Politik
Global
**
****
****
**
***
**
**
**
**
*
Kawasan
****
***
***
****
****
Lokal
***
****
**
***
**
Subsistem
Nonkawasan
Tabel 2.1 Tingkatan Analisis Sekuritisasi Berdasarkan Sektor
(Buzan et al. 1998, h. 165)
Keterangan:
**** sekuritisasi dominan
*** sekuritisasi subdominan
** sekuritisasi minor
* tidak ada sekuritisasi
Universitas Padjadjaran © 2014
9
Tabel di atas, meskipun masih diperdebatkan, dapat digunakan sebagai
dasar bagi setiap sektor untuk mengukur derajat kompleksitas sekuritisasi
dan juga mempertimbangkan kepentingan dari tipe dari setiap isu ketika
terjadi tumpang tindih antarsektor. Ketika terjadi konflik militer, misalnya,
sektor militer menjadi yang paling utama dibahas dibandingkan lingkungan
bukan dikarenakan pandangan tradisional terhadap militer, namun kepada
isu apa yang paling besar dampaknya pada saat konflik itu terjadi.
Dari tabel tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya dalam
tingkat kawasan, isu militer, politik, dan kemasyarakatan masih dominan.
Pada tingkat global, isu ekonomi bersifat dominan. Sementara isu lingkungan
masih menjadi perdebatan dikarenakan isu lingkungan dapat muncul di
semua tingkatan. Secara umum, dapat dinyatakan bahwa sekuritisasi paling
sukses berada di tingkat lokal.
Mencari titik temu untuk menggeneralisasi proses sekuritisasi di tiap
kawasan merupakan suatu hal yang tidak mungkin karena perbedaan
karakteristik dari setiap kawasan. Untuk menjawab apakah kompleksitas
keamanan regional cocok di segala sektor dapat dilakukan identifikasi
keterkaitan antarsektor. Sebuah perang, misalnya, bisa jadi dilatarbelakangi
oleh perselisihan politik atau bisa pula oleh masalah kerusakan lingkungan
atau alasan-alasan lain.
Pembagian sektor keamanan menjadi lima sektor seperti yang
dilakukan sebelumnya dimaksudkan untuk dapat menjadikan isu keamanan
lebih transparan dengan melihat setiap kasus dari sudut pandang aktor.
Beberapa unit, seperti negara, muncul di beberapa atau keseluruhan sektor,
namun dengan kontribusi yang berbeda. Sektor dilihat sebagai alat analisis,
meskipun tidak hanya muncul di dalam fase teoretis namun juga pembuatan
kebijakan, di mana konsep sekuritisasi sangatlah penting. Unit tidak muncul
di dalam sektor, namun sektor muncul di dalam unit sebagai tipe dari tujuan
sekuritisasi (politik, ekonomi, lingkungan, dan sebagainya). Setiap unit
melihat
ancaman
keamanan
secara
berbeda-beda
persepsinya (perception of threats).
Universitas Padjadjaran © 2014
tergantung
pada
10
Lebih lanjut, menurut Buzan et al. (1998), analisis sekuritisasi yang
spesifik tidak dimulai dengan membagi sektor, namun dibagi berdasarkan:
(1) sekuritisasi sebagai fenomena dan tipe dari pelatihan, (2) unit keamanan
ialah unit yang dibentuk sebagai objek tujuan (referent object) dalam aksi
keamanan dan unit yang dapat disekuritisasi oleh aktor sekuritisasi
(securitizing actor), dan (3) bentuk dari referensi yang sama diantara unit
adalah security complex. Perhatian terhadap analisis dinamis antarsektor,
selain tiga acuan ini, juga berguna untuk menjawab permasalahan untuk
hanya menyelesaikan satu atau beberapa sektor spesifik dari security
complex, terutama di tingkat kawasan.
2.2.2 Ilustrasi Analisis Sekuritisasi (Studi Kasus: Prancis)
Terdapat tiga unit penting dalam analisis sekuritisasi, yaitu objek yang
dituju (referent object), pelaku sekuritisasi (securitizing actor), dan aktor
fungsional (functional actor).
Gambar 2.1 Prancis dalam Analisis Sekuritisasi di Tiga Tingkatan
(Buzan et al. 1998, h. 172)
Memahami keamanan komprehensif menggunakan analisis sekuritisasi
dapat dikaji, misalnya, dengan mengidentifikasi terlebih dahulu peran
Prancis di tiga tingkatan seperti berikut (Buzan et al., 1998): (1) Prancis
sebagai bagian dari kawasan Eropa, sering diidentikkan sebagai wajah dari
kawasan, (2) Prancis sebagai negara, dirundung permasalahan integrasi
Universitas Padjadjaran © 2014
11
terhadap kawasan yang membagi masyarakat kepada dua kelompok:
prointegrasi
dan
anti-integrasi,
serta
(3)
Prancis
sebagai
bangsa,
mendapatkan ancaman dari integrasi ke Uni Eropa dalam hal identitas.
Imigran seringkali dianggap sebagai ancaman terhadap identitas otentik
bangsa Prancis.
Selanjutnya, terdapat tiga pertanyaan yang dapat diajukan terkait
dengan pengamatan empiris, yaitu: (1) pemilihan unit, (2) pemilihan metode,
serta (3) pemilihan materi dan sumber.
Parlemen
Eropa
juga
seringkali
memperdebatkan
tema-tema
sekuritisasi di kawasan yang kemudian menghasilkan delapan pemikiran
untuk menciptakan keamanan yang komprehensif, yakni:
Ancaman terbesar adalah tingginya angka pengangguran, marjinalisasi
sosial, dan xenofobia;
Model sosial Eropa sebagai bentuk kesejahteraan negara yang hanya
dapat tercipta jika dibandingkan dengan negara non-Eropa untuk
menyatukan negara-negara di kawasan;
Eropa harus lebih kompetitif dalam melawan dominasi teknologi asing;
Bantuan dari sesama masyarakat Eropa diperlukan untuk menekan
angka pengangguran sebagai ancaman serius;
Integrasi perdamaian melalui dialog dibutuhkan demi mendukung
terciptanya integrasi yang kuat selaras dengan nasionalisme;
Kurangnya upaya memperjuangkan hak asasi manusia;
Penguatan keamanan internal melalui kerja sama dan pemenuhan hakhak sipil setiap orang; serta
Lingkungan merupakan faktor penting ketika ancaman lainnya muncul.
Dari
ilustrasi
ini,
dapat
dipahami
bahwa
sekuritisasi
untuk
mewujudkan keamanan komprehensif di berbagai sektor yang berbeda
memiliki keterkaitan satu sama lain. Seperti halnya bangsa yang memiliki
identitas, kedaulatan negara sebagai prinsip dan fokus keamanan harus
melihat integerasi sebagai asas dasar dari kesetaraan. Selain perbedaan nilai-
Universitas Padjadjaran © 2014
12
nilai nasional dan politik, perbedaan institusional dan peran aktor juga
memiliki pengaruh cukup serius terhadap proses sekuritisasi dalam
mencapai keamanan komprehensif.
2.3 Keamanan Manusia
Konsep keamanan manusia menekankan bahwa setiap orang haruslah
mampu untuk mengurus dan bertanggungjawab atas dirinya sendiri; bahwa
setiap orang harus dibekali dengan kesempatan yang sama untuk memenuhi
kebutuhannya serta memiliki penghasilan untuk menghidupi diri sendiri.
Keamanan manusia menjadi unsur yang penting dalam pembangunan yang
bersifat partisipatif, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai konsep yang
defensif sebagaimana halnya keamanan dalam artian tradisional (militeristik;
kewilayahan). Sebaliknya, konsep keamanan manusia bersifat integratif;
tercamkan dalam solidaritas masyarakat. Keamanan manusia tidak dapat
dicapai dengan kekerasan ataupun paksaan melalui kekuatan militer, namun
haruslah melalui suatu proses yang disetujui dan melibatkan setiap unsur
masyarakat (United Nations Development Programme, 1994).
Dalam New Dimensions of Human Security (United Nations Development
Programme 1994, h. 24), dijelaskan bahwa keamanan manusia terdiri atas
dua komponen utama: (1) kebebasan dari rasa takut (freedom from fear) dan
(2) kebebasan dari deprivasi (freedom from want). Dua komponen ini telah
dikenali
oleh
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB)
semenjak
awal
pendiriannya. Meskipun begitu, pada kenyataannya, komponen pertama
selalu dianggap lebih penting. Padahal, untuk mencapai suatu kondisi di
mana keamanan manusia benar-benar terjamin secara utuh, tidak bisa hanya
dengan melindungi salah satu saja. Keduanya—kebebasan dari rasa takut
dan dari deprivasi—harus sama-sama terpenuhi tanpa pengecualian.
Dalam rangka mewujudkan keamanan manusia, dibutuhkan paradigma
baru dalam memahami keamanan melalui pergeseran paradigma berikut:
Dari penekanan yang eksklusif terhadap keamanan militer (pendekatan
kewilayahan) kepada penekanan yang lebih besar pada keamanan
individual manusia (human security)
Universitas Padjadjaran © 2014
13
Dari pencapaian keamanan melalui persenjataan (armaments) kepada
pencapaian
keamanan
melalui
pembangunan
manusia
yang
berkelanjutan (sustainable human development)
Konsep keamanan manusia menjadi sebuah perluasan yang unik dalam
kajian keamanan karena tidak lagi memosisikan negara dan kedaulatannya
sebagai objek referen utama, melainkan individu. Menurut Human
Development Report (United Nations Development Programme, 1994),
keamanan manusia berorientasi pada empat karakteristik utama, yaitu: (1)
merupakan hirauan universal yang utama karena sifatnya yang relevan bagi
seluruh umat manusia, (2) komponen yang menjadi hirauan keamanan
manusia saling berketergantungan satu sama lain, (3) lebih mudah
diwujudkan melalui langkah-langkah pencegahan, bukan penanganan, dan
(4) berorientasi pada manusia dan kehidupannya.
Karakteristiknya yang bersifat universal membuat konsep keamanan
manusia berhasil menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia tanpa
memandang apakah suatu negara berstatus sebagai negara maju,
berkembang, ataupun tertinggal. Dilema keamanan yang menjadi masalah
bagi keamanan manusia tidak lagi berada pada tataran militeristik,
melainkan pada setiap individu. Menurut United Nations Development
Programme (1994), keamanan manusia mencakup tujuh aspek utama, yaitu
keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan
lingkungan, keamanan personal, keamanan komunitas/kelompok, dan
keamanan politik. Apabila tujuh bentuk keamanan ini telah tercapai, barulah
keamanan manusia yang seutuhnya terwujud. Pun begitu, ketujuh aspek ini
potensial meningkatkan kompleksitas upaya pencapaian keamanan di tiap
negara atau kawasan, seperti kawasan Asia-Pasifik yang akan dibahas lebih
lanjut dalam tulisan ini. Di samping itu, keamanan manusia juga dikaitkan
dengan
bentuk-bentuk
kekerasan
struktural
yang
mengakar
pada
ketidaksetaraan dalam masyarakat, termasuk kesenjangan pendapatan dan
kesempatan untuk memeroleh pendidikan; sebagaimana dinyatakan dalam
Lloyd Axworthy (1999, h. 8—11). Axworthy menjelaskan bahwa keamanan
Universitas Padjadjaran © 2014
14
manusia
seringkali berakar dari konflik
struktural domestik atau
ketidakseimbangan di dalam masyarakat seperti ketidakmerataan distribusi
pendapatan serta penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah seperti yang
terjadi di Rwanda. Akan tetapi, fenomena seperti bukan hanya terjadi di
Afrika, namun juga di Eropa, seperti peristiwa di Kosovo.
Selain kekerasan struktural, keamanan manusia juga menghiraukan
masalah-masalah kesehatan seperti wabah dan penyakit menular yang
berpotensi memakan korban jiwa dalam jumlah besar. Penyakit berupa virus
yang mematikan juga merupakan subjek kajian dari keamanan manusia.
Wabah ebola yang merebak di berbagai negara Afrika dalam beberapa bulan
terakhir, merupakan hirauan dari keamanan manusia karena memaparkan
ancaman terhadap rasa aman tiap individu. Untuk dapat mewujudkan
keamanan yang sebenarnya, dibutuhkan pemahaman yang luwes terhadap
konsep keamanan itu sendiri.
Kofi Annan (2001) menyatakan bahwa untuk dapat mencapai
keamanan dan perdamaian yang sesungguhnya, setiap orang harus memiliki
perspektif yang lebih luas. Perdamaian, menurut Annan, bukan hanya
sekadar ketiadaan perang (the absence of war). Memahami keamanan
manusia juga tidak dapat dipasangkan dalam kerangka yang militeristik,
akan tetapi menjangkau dimensi-dimensi lain seperti pembangunan
ekonomi, keadilan sosial, perlindungan terhadap lingkungan, demokratisasi,
pelucutan senjata, dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan
peraturan hukum.
Dalam mendefinisikan keamanan manusia, perlu digarisbawahi bahwa
keamanan
manusia
tidaklah
sama
dengan
pembangunan
manusia.
Pembangunan manusia memiliki makna yang lebih luas sebagai proses
berkepanjangan dari pilihan hidup setiap orang; sementara keamanan
manusia hanya memberikan jaminan bagi orang-orang untuk dapat
melaksanakan pilihan ini dengan aman dan bebas tanpa pengecualian.
Kegagalan memenuhi kebutuhan akan keamanan manusia tak ubahnya
menghambat laju pembangunan manusia, karena keduanya berjalan secara
simultan dan sinergis. Pemahaman ini sejalan dengan penjelasan George
Universitas Padjadjaran © 2014
15
MacLean (1998) mengenai keamanan manusia yang mengedepankan
keamanan individu di dalam komunitas dan lingkungan personalnya,
termasuk perlindungan dari kekerasan dan kejahatan, akses untuk
memenuhi kebutuhan dasar, perlindungan dari tindak kriminal dan teror,
wabah-wabah pandemic, korupsi politik, perpindahan yang dipaksa, dan
ketiadaan hak-hak asasi manusia. Kebebasan haruslah tercapai dari
kekerasan berdasarkan gender, hak-hak akan komunitas politik dan budaya,
pembangunan
politik,
ekonomi,
dan
demokratis,
serta
pencegahan
penyalahgunaan dan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam di
samping juga keberlanjutan lingkungan dan upaya-upaya menekan tingkat
polusi lingkungan.
2.4 Keamanan Ekonomi
Salah satu dimensi yang paling berpengaruh dalam terciptanya keamanan
nasional yang komprehensif adalah keamanan ekonomi. James C. Hsiung
(2004) menjelaskan bahwa keamanan ekonomi atau disebut juga sebagai
geoekonomi saat ini semakin menjadi perhatian utama dalam menyusun
tujuan, kepentingan, maupun perilaku kebijakan luar negeri suatu negara;
bahkan hingga mampu menyaingi geopolitik yang selama ini selalu menjadi
fokus utama. Kemunculan geoekonomi pun bukanlah semata-mata karena
berakhirnya Perang Dingin, tetapi juga karena efek globalisasi terhadap
ekonomi
dunia
berupa
interdependensi
atau
hubungan
saling
berketergantungan yang kompleks.
Pemahaman mengenai geoekonomi dapat dilihat pada dua tingkatan,
yaitu makro dan mikro. Pada tingkat makro, geoekonomi berkaitan dengan
kegiatan
manufaktur,
pemasaran,
pendanaan,
serta
penelitian
dan
pengembangan yang bersifat transnasional dan global. Sementara pada
tingkat mikro, kekuatan nasional tidak lagi diukur secara eksklusif
berdasarkan kapabilitas militer, namun lebih cenderung oleh keamanan
ekonomi; meskipun dalam tatanan strategis, kekuatan militer tetaplah
dibutuhkan untuk mendukung tercapainya kepentingan nasional negara.
Kekuatan nasional dalam konteks ini pun tidak hanya berupa kekuatan
Universitas Padjadjaran © 2014
16
militer, tetapi juga agregat dari sejumlah komponen nonmiliter seperti
sumber daya manusia dan teknologi, modal ekspor, produksi yang efisien
dan modern, dampak kebijakan terhadap ekonomi global terutama terkait
kepentingan vital, serta kemauan dan keseriusan dalam memobilisasi
kemampuan ekonomi untuk pencapaian kepentingan nasional.
Formulasi yang mengombinasikan antara manajemen kekuatan
ekonomi tingkat makro dan implikasi tingkat mikro pada masing-masing
negara ini terjebak pada pergeseran game power (Stone, 2009). Selain
mendefinisikan konfigurasi kekuatan, formulasi ini juga menunjukkan bahwa
perhitungan geoekonomi merupakan hal yang amat penting—jika bukan
yang terpenting—dalam percaturan politik dunia. Dengan kata lain, aspek
geoekonomi adalah salah satu prioritas utama dalam pengambilan kebijakan
luar negeri negara. Geoekonomi di sini, meskipun begitu, bukannya mencoba
menggnatikan kemapanan geopolitik, melainkan bersifat saling melengkapi
guna
menciptakan
situasi
keamanan
yang
kondusif.
Negara
yang
bertentangan secara politik bisa saja menjadi mitra ekonomi terbaik,
sementara negara sekutu politik ternyata bukan berarti tidak menjadi
ancaman secara ekonomi, sehingga harus ada kombinasi antara keduanya.
Barry Buzan (Stone, 2009) menekankan dalam tulisannya tentang
analisis keamanan komprehensif bahwa keamanan ekonomi dapat dianggap
sebagai indikator kunci dalam tercapainya keamanan suatu negara secara
umum, karena keamanan militer yang selama ini menjadi perhatian utama
tidak akan mampu diaplikasikan ketika negara memiliki keterbatasan dalam
hal pembiayaan atau anggaran. Dengan kata lain, dapat diasumsikan bahwa
keamanan ekonomi yang baik berbanding lurus dengan bentuk-bentuk
keamanan lainnya dalam kerangka keamanan komprehensif. Pembuktian
terhadap postulasi ini dapat dilihat dengan melakukan studi komparatif
antara kapabilitas militer dan kemampuan ekonomi dari negara-negara maju
dan negara-negara berkembang.
Universitas Padjadjaran © 2014
17
2.5 Keamanan Lingkungan
Keamanan lingkungan atau ekopolitik adalah kombinasi dari konsep-konsep
ekonomi, ekologi, dan politik. Dennis Pirages (1978, h. 5), yang dikenal
sebagai pencetus konsep ini, menyatakan bahwa:
global ecopolitics involves the use of environment issues, control over
natural resources, scarcity arguments, and related concerns of social
justice to overturn the international hierarchical expansion.
Revolusi ekopolitik dihasilkan karena adanya pertumbuhan populasi
manusia yang menyebabkan terjadinya konflik internasional dalam bidang
lingkungan yang meliputi penipisan sumber daya, kekurangan sumber
energi, kekurangan sumber daya air, serta kelangkaan mineral nonbahan
bakar dan makanan. Kondisi ini diperparah oleh maraknya aksi pembuangan
limbah tanpa mengindahkan aturan perlindungan lingkungan.
Ancaman akan degradasi lingkungan sebenarnya lebih serius daripada
yang kita sadari. Lester Brown (2000) melihat bahwa ancaman keamanan
yang paling berbahaya saat ini sebenarnya adalah perubahan iklim atau
pemanasan global yang dipicu oleh peningkatan konsentrasi karbon dioksida
(CO2) di atmosfer akibat industrialisasi yang masif, sehingga akan membuat
ekosistem berubah secara permanen. Kondisi lingkungan yang seakan-akan
dikorbankan demi kemajuan ekonomi ini membuat munculnya desakan agar
ilmu ekonomi digantikan oleh ilmu ekologi (Brown 2000, h. 10).
Tingginya kenaikan temperatur Bumi rentan memicu terjadinya
kekeringan dan kebakaran hutan yang pada akhirnya akan berujung pada
penderitaan dan kematian. Menurut Hsiung (2004), kerugian di bidang
pertanian akibat iklim yang terus memburuk diperkirakan dapat mencapai
hitungan miliar dolar hanya dalam beberapa tahun ke depan.
Perubahan iklim merupakan masalah yang bersifat global karena
perikanan, kehutanan, dan sumber daya lainnya berakibat pada melemahnya
kegiatan perekonomian global sehingga menimbulkan ketidakpastian
mengenai keberlanjutan pembangunan ekonomi global. Di samping itu,
tingkat polutan yang semakin tinggi dan seringkali melintasi batas negara
Universitas Padjadjaran © 2014
18
bukan hanya berpotensi menimbulkan masalah kesehatan, namun juga
memperburuk hubungan antarnegara; seperti yang terjadi pada hubungan
Indonesia dengan beberapa negara tetangga—terutama Malaysia dan
Singapura—akibat berbagai kiriman asap hasil kebakaran hutan. Contoh
peristiwa seperti ini dengan jelas menunjukkan bagaimana masalah
lingkungan dapat menjadi hirauan keamanan. Sejalan dengan dilema ini,
berikut adalah salah satu fokus utama dari United Nations Environment
Programme (2014):
Health risks and involuntary migration due to water scarcity, inequitable
access to land resources, uncontrolled stocks of obsolete pesticides or
other forms of radioactive waste and hazardous substances have been
identified as threats to stability and peace. However, common problems
linked to the use of natural resources can also bring people to work
together towards a common goal; thus, environmental co-operation can
act as a powerful tool for preventing conflicts and promoting peace
between communities and societies.
Aspek penting lainnya dalam hubungan antara lingkungan dan keamanan
adalah dampak konflik terhadap lingkungan/ekosistem. Konflik berupa
kekerasan fisik, arus pengungsi akibat bencana alam, dan sejenisnya
berakibat menurunnya tingkat keamanan lingkungan. Dalam Myers (2004),
dinyatakan bahwa:
The sustainable use of natural resources and joint efforts to protect the
environment across national borders and social divisions can contribute to
conflict prevention and peace building. For example, the predictions of
future wars over access to water have thus far failed to come true. On the
contrary, various forms of cross-border water cooperation are
contributing to stability and peace in regions of latent conflict.
2.6 Keamanan Energi
Pembahasan mengenai keamanan energi di dalam studi keamanan baru saja
muncul dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun masalah ketersediaan
pasokan energi sudah menjadi isu yang ramai dibahas sejak tahun 1979
(Klare, 2008), pembahasannya dalam kerangka studi keamanan adalah
Universitas Padjadjaran © 2014
19
perkembangan yang terbilang baru. Hal ini dikarekanakan keamanan energi
dianggap memegang peranan penting sebagai elemen kunci dalam ranah
kebijakan domestik dan prioritas bagi kebijakan luar negeri.
2.6.1 Sekuritisasi Energi
Keamanan energi dianggap sentral bagi kehidupan manusia karena
berkenaan langsung dengan kebutuhan manusia untuk bertahan hidup.
Semakin kompleks dan produktif masyarakat, maka akan semakin besar pula
kebutuhan akan energi. Seluruh aktivitas yang dilakukan manusia saat ini
membutuhkan energi. Tanpa ketersediaan energi, masyarakat industri tidak
bisa memeroleh penghidupan yang layak dan tidak bisa mempertahankan,
apalagi meningkatkan, ritme produktivitasnya.
Senator Amerika Serikat untuk negara bagian Indiana, Richard G. Lugar,
menyatakan bahwa oil is not just another commodity...it occupies a position of
singular importance in the American economy and way of life
Klare 2008, h.
484). Lugar secara gamblang mengasersi bahwa energi, terutama minyak dan
gas bumi, memiliki posisi yang teramat penting dalam perekonomian dan
kehidupan bangsa Amerika. Berkat globalisasi dan perekonomian dunia yang
makin berkembang, pernyataan ini tidak lagi hanya berlaku bagi Amerika
Serikat, namun bagi masyarakat dunia.
Pembahasan mengenai keamanan energi memang masih didominasi
oleh pemikiran-pemikiran barat dengan fokus pada situasi seputar energi di
Amerika Serikat. Keamanan energi dapat dilihat sebagai salah satu dimensi
dari kebijakan luar negeri. Konsumsi minyak bumi Amerika Serikat saja,
sebagai negara industri maju, mencapai rata-rata 6,4 juta ton minyak setiap
tahunnya atau sekitar seperempat dari total pasokan minyak dunia (Klare,
2008). Bekas presiden Amerika Serikat, George W. Bush (2000, dalam Klare,
2008) menyatakan bahwa target jangka panjang pembahasan keamanan
energi adalah membangun National Energy Policy Development Group
(NEPDG) untuk mengurus kebutuhan energi sembari menyusun strategi
menyeimbangkan pasokan dan permintaan energi.
Universitas Padjadjaran © 2014
20
Laporan final dari NEPDG (2001 dalam Klare, 2008) menunjukkan
bahwa Amerika Serikat belum optimal dalam mengembangkan sumbersumber energi di dalam negeri, sehingga dapat meningkatkan dependensi
terhadap negara-negara pemasok utama minyak bumi. Oleh karena itulah,
keamanan energi dilihat sebagai manifestasi dari dimensi kebijakan luar
negeri dan dimensi militer dalam fokus keamanan global.
Pentingnya peranan energi di dalam kehidupan manusia membuat
negara tak ragu untuk melakukan intervensi dalam proses pengelolaan
energi. Selain negara, terdapat pula perusahan multinasional yang bergerak
dalam pengelolaan energi oleh sektor privat dengan orientasi utama
terhadap
keuntungan
yang
begitu
besar.
Perusahaan-perusahaan
multinasional memegang peran kunci dalam memproses, memproduksi, dan
mendistribusikan energi kepada konsumen. Negara jelas tidak bisa sertamerta menutup akses bagi aktor swasta di bidang energi, sehingga yang
dilakukan adalah memastikan kepatuhan mereka terhadap instrumen
kebijakan serta memberikan insentif yang tepat.
Proses pengadaan energi yang kompleks menjadi landasan dalam
menggambarkan definisi dari keamanan energi itu sendiri. Secara umum,
keamanan energi adalah kondisi dimana berjalannya proses distribusi yang
terjamin, dari ketersediaan pasokan hingga keterjangkauan sumber energi
untuk memenuhi kebutuhan manusia; sekalipun dalam situasi konflik atau
krisis internasional; sejalan dengan pernyataan Michael T. Klare: ...the
assured delivery of adequate supplies of affordable energy to meet a state’s
vital requirements, even in times of international crisis or conflict (2008, h.
484). Akan tetapi, tentu hal ini tidak berlaku bagi negara tanpa kapabilitas
untuk mengelola energinya secara mandiri. Oleh karena itulah keamanan
energi juga membahas upaya untuk menekan dependensi terhadap
penguasaan sumber energi oleh pemasok tunggal karena berpotensi
memanfaatkan dominasinya atas energi untuk bertindak sesuka hati. Salah
satu contoh dependensi akibat pasokan energi dapat dilihat pada hubungan
negara-negara seperti Ukraina, Belarus, dan Georgia dengan Rusia.
Universitas Padjadjaran © 2014
21
Posisi energi sebagai kebutuhan sentral manusia modern membuat
keberadaannya harus dilindungi dan digandakan sejalan dengan terus
meningkatnya permintaan. Padahal, di sisi lain, para elite harus menghindari
potensi terjadinya ketergantungan yang terlalu tinggi (overreliance) karena
dapat menjadi ancaman di masa depan dalam bentuk krisis energi, bencana
ekonomi, perubahan iklim, dan sebagainya. Pembatasan penggunaan bahan
bakar fosil—minyak dan gas bumi serta batubara—misalnya, ditujukan
untuk menekan efek rumah kaca yang berbahaya bagi atmosfer Bumi
(Wlliams, 2008). Kekhawatiran inilah yang kemudian mendorong upaya
pencarian sumber-sumber energi alternatif.
Michael T. Klare (2008, h. 488) menyatakan bahwa terdapat setidaknya
tiga masalah utama dalam topik keamanan energi, yaitu: (1) kekhawatiran
akan menurunnya hasil produksi dan ketersediaan minyak dan gas bumi di
masa depan, (2) berpindahnya pusat produksi minyak dunia dari negaranegara Utara (global north) ke negara-negara Selatan (global south), dan (3)
ancaman dari kelompok-kelompok insurgensi, teroris, dan ekstrimis
terhadap fasilitas-fasilitas produksi minyak.
Industri minyak yang bernilai sangat tinggi menciptakan politisasi yang
sangat tinggi dari berbagai dalam konteks sekuritisasi energi itu sendiri. Isuisu seperti ketidakpastian ketersediaan minyak bumi, penurunan stok
minyak dunia, kegagalan mengembangkan potensi ladang minyak baru, dan
rendahnya akses pengelolaan potensi ladang minyak baru menjadi beberapa
masalah utama dalam bahasan keamanan energi.
Pertama, ketidakpastian ketersediaan minyak dunia. Peranan negara
maupun aktor-aktor nonnegara dalam masalah ini sangatlah krusial. Analisis
dari British Petroleum (2006 dalam Klare, 2008) mengindikasikan bahwa
industri energi masih mampu menyediakan stok permintaan energi global
yang, pada tahun 2006, berkisar di angka 82,5 juta barel perharinya. Sebagai
respon terhadap analisis ini, , United States of America Department of Energy
(US DoE) merilis dalam International Energy Outlook (2006 dalam Klare
2008, h. 489) bahwa konsumsi minyak dunia akan meningkat menjadi 111
juta barel perharinya pada tahun 2025. Prediksi ini memicu perdebatan
Universitas Padjadjaran © 2014
22
sengit. Di atu sisi, peningkatan permintaan haruslah diikuti oleh peningkatan
ketersediaan pasokan. Padahal, tingkat pembukaan pengelolaan sumbersumber energi fosil baru sangatlah rendah; terutama karena sifatnya yang
tidak dapat diperbarui (unrenewable energy). Banyak ladang minyak di
wilayah Amerika Utara, Asia Timur, Siberia Barat, dan Arab Saudi
diperkirakan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan energi di masa depan.
Kedua, penurunan stok minyak dunia akibat eksploitasi ladang minyak
lama dan tidak dibukanya ladang-ladang minyak baru. Hal ini mengakibatkan
stok energi tidak terjamin kejelasannya. Terlebih lagi, beberapa laporan
menunjukkan bahwa banyak upaya pembukaan ladang produksi minyak
baru di berbagai titik di dunia berakhil dengan kegagalan (Klare, 2008).
Ketiga, penemuan potensi ladang minyak bumi dalam beberapa tahun
terakhir cenderung berada di lokasi yang sulit untuk diakses, baik dalam
konteks geografis, lingkungan, maupun politis. Hal ini menghambat upaya
pengembangan potensi energi baru sehingga bukan tidak mungkin suatu hari
dunia akan kehabisan pasokan sumber energi.
Michael T. Klare (2008) menyatakan bahwa fenomena ini adalah hasil
dari keserakahan manusia. Upaya eksploitasi sumber-sumber energi jarang
diimbangin dengan upaya konservasi karena terlalu banyak mementingkan
keuntungan finansial. Negara-negara di subsahara Afrika, misalnya,
meskipun memiliki cadangan minyak yang tinggi, harus hidup dalam
kemiskinan dan kemelaratan.
Konsorsium minyak raksasa dunia seperti Chevron, British Petroleum,
dan Exxon memang mempunyai kapasitas psikis dan teknis yang mumpuni
untuk beroperasi di daerah-daerah yang sulit untuk diakses tersebut. Namun,
pertanyaan adalah akankah mereka, dengan orientasi utama pada
keuntungan, bersedia mengambil risiko menginvestasikan miliaran dolar di
daerah sulit tersebut dengan model infrastruktur yang harus terus menerus
dikelola keberadaannya dan memakan biaya besar demi keberlangsungan
energi dunia?
Pembahasan mengenai isu ketersediaan energi akan membawa kita
kedalam pembahasan regionalisme dalam konteks Global North dan Global
Universitas Padjadjaran © 2014
23
South. Dalam penggambarannya, pada tiap-tiap daerah terdapat stereotip
tertentu. Global North digambarkan sebagai kawasan yang aman dan
bersahabat, sedangkan Global South adalah kawasan yang berbahaya dan
tidak bersahabat (Klare, 2008). Stereotip ini tentu sedikit banyak
berkontribusi pada rendahnya upaya eksplorasi energi di negara-negara
selatan dibandingkan utara.
US Department of Energy (2006, dalam Klare 2008, h. 492) menyatakan
bahwa pada tahun 1990 para produsen dari Global North (Amerika Serikat,
Kanada, Rusia, Australia, dan lain-lain) menyumbang 39% dari total pasokan
minyak dunia saat itu. Prediksi lanjutan dari US DoE menerangkan bahwa
pada tahun 2030, kombinasi dari produksi-produksi Global North akan turun
menjadi hanya 26%; sementara negara-negara Global South berpotensi
meningkatkan kontribusinya terhadap pasokan minyak dunia dari 31% pada
tahun 2003 menjadi 48% pada tahun 2030.
Pembahasan keamanan energi sebagai salah satu dimensi kebijakan
luar negeri dan militer memengaruhi proses dan laju berpikir dari para
pembuat kebijakan dalam menghasilkan solusi-solusi yang dibutuhkan demi
keamanan global. Terdapat setidaknya dua hal yang dipengaruhi secara
substansial, yaitu (1) penggunaan kekuataan militer guna melindungi proses
produksi dan distribusi minyak dunia serta (2) penggunaan pendekatan
saintifik dalam pencarian akan sumber-sumber energi baru yang dapat
diperbaharui (contoh: matahari, angina, energi bio, dan lain-lain).
Terdapat berbagai macam argumen mengenai bentuk dan peranan
pendekatan militer di dalam ranah keamanan energi ini karena dianggap
dapat memantik persaingan militer yang memberikan kebiasan dalam
pembahasan keamanan energi serta berpotensi menjadi sumber konflik di
masa depan. Dalam penerapannya, para aktor yang terlibat sebaiknya dapat
menggunakan implementasi dari pendekatan militer ini hanya dalam situasi
dengan urgensi tinggi, terutama negara-negara dengan kapasitas militer
mumpuni seperti Amerika Serikat dan Rusia, yang juga merupakan bagian
dari kelompok negara pemasok minyak.
Universitas Padjadjaran © 2014
24
2.6.2 Bertahan dengan Bahan Bakar Fosil
Dihadapkan dengan berbagai ancaman dan kerentanan di atas, sekilas
terlihat bahwa langkah logis yang sebaiknya diambil pemerintah untuk
mencapai keamanan energi adalah melakukan pergeseran dari bahan bakar
fosil (minyak bumi, gas alam, dan batu bara) ke bahan bakar alternatif.
Pergeseran ini tidak hanya akan meningkatkan melepaskan negara-negara
dari ketergantungan energi, tetapi juga mengurangi usaha dan biaya yang
perlu dilakukan untuk mengamankan ketiga sasaran utama dari terorisme
minyak tadi (kilang minyak, laut lepas dan titik cekik, dan jalur pipa) dan
memindahkan komoditas-komoditas rentan ini (Luft dan Korin, 2003).
Akan tetapi, sampai saat ini, kebanyakan negara-negara industri masih
menggunakan bahan bakar fosil dan sangat terlibat dalam berbagai kejadian
yang berkaitan dengan perolehan dan pengaturan persebarannya, terlepas
dari segala ancaman dan kerentanan yang muncul. Amerika Serikat,
misalnya, sekarang terlibat dalam persaingan lobi yang intensif melawan
Rusia, Cina, dan Iran, untuk membangun jalur-jalur pipa migas dari Asia
Tengah ke Eropa tanpa melewati wilayah kedaulatan ketiga negara tersebut
Washington s Blog,
dan beberapa bulan lalu, dengan dukungan
Perancis, melakukan serangan-serangan udara untuk melindungi kilangkilang minyak di sekitar Kurdistan yang merupakan situs operasi 40
perusahaan asing (seperempatnya merupakan perusahaan dari Amerika
Serikat) dari gerakan Islamic State (IS).
Menimbang ketidakpopuleran misi-misi militer Amerika Serikat di
Timur Tengah di antara masyarakat Amerika Serikat dan janji-janji Presiden
Barrack Obama terkait berbagai isu lingkungan, keputusan untuk
mempertahankan bahan bakar fosil kemungkinan besar dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain di luar kepentingan strategis, salah satunya kelompok lobi
migas. Berdasarkan Center for Responsive Politics, ada 763 orang pelobi
yang bekerja untuk sektor migas, atau hampir dua pelobi peranggota dewan
(termasuk 48 orang yang bekerja di Gedung Putih), dengan pengeluaran
sebesar USD 119.611.939 untuk kepentingan lobi dan kontribusi sebesar
USD 10.500.549 dalam kampanye anggota Konggres tahun ini (Taxpayers for
Universitas Padjadjaran © 2014
25
Common Sense, 2014). Di luar pemerintah, lobi-lobi migas juga menekan
kajian-kajian terkait eksternalitas yang muncul dalam produksi, distribusi,
dan konsumsi bahan bakar fosil, termasuk resiko terhadap keamanan
nasional (Froomkin, 2012).
2.6.3 Mencapai Keamanan Energi Berbasis Bahan Bakar Fosil
Dengan asumsi bahwa lobi-lobi migas dan berbagai kepentingan yang
terkait membatasi dan mencengkram pemerintah seperti keadaannya di
Amerika Serikat tadi, maka pemerintah-pemerintah terpaksa harus
berhadapan dengan berbagai ancaman seperti terorisme, bajak laut, dan
kelompok pemberontak. Seperti telah disinggung dalam bagian sebelumnya,
negara-negara biasanya menggunakan aset teknologi mereka untuk
mengatasi ancaman tersebut (serangan udara Amerika Serikat). Akan tetapi
setidaknya ada dua alternatif lain yang dapat digunakan oleh negara-negara,
yakni kerjasama dan dobrakan infrastruktur.
Kisah sukses penggunaan kerjasama internasional untuk mengatasi
ancaman terhadap keamanan energi terlihat dalam kerjasama Indonesia,
Malaysia, Singapura, Thailand, India, dan Jepang, dalam melawan bajak laut
di Selat Malaka (salah satu dari tiga jalur pelayaran dan titik cekik yang
paling sibuk dan rentan setelah Teluk Aden dan Selat Hormuz), di mana pada
tahun 2005, ketiga negara yang pertama kali disebutkan meluncurkan
inisiatif patroli udara mingguan yang dikoordinasikan bertajuk eyes in the
Sky
(Lutfia, 2011), dibantu oleh Thailand dalam operasi patroli laut
(Maritime Security Asia, 2011), dan India dalam penyediaan teknologi drone
(Strategy Page, 2007), serta Jepang dalam penyediaan mekanisme
penyebaran dan pembagian informasi (Maritime Security Asia, 2011).
Kolaborasi multiaktor ini berhasil menurunkan tingkat insiden bajak laut di
Selat Malaka hingga hampir nol insiden (Montlake, 2006).
Di sisi lain, dobrakan infrastruktur mungkin lebih populer bagi negaranegara yang lebih maju atau mandiri atau keduanya. Dalam menghadapi
kasus yang sama (bajak laut di Selat Malaka), Cina telah mencanangkan
untuk membangun kanal melalui daerah Kra isthmus, Thailand, sejak tahun
Universitas Padjadjaran © 2014
26
2003, sehingga kapal-kapal dari dan ke Asia Selatan dan Asia Timur tidak
harus melalui Selat Malaka lagi dan dengan demikian menghemat waktu dan
biaya terkait proses pelayaran. Hal serupa juga dilakukan Amerika Serikat
dalam lobi jalur pipa migas di atas (untuk melewati wilayah-wilayah para
pesaingnya) dan Israel yang hendak mengalihkan rute minyak yang selama
ini harus melalui Teluk Persia (Luft dan Korin, 2003).
Masing-masing dari ketiga alternatif di atas memiliki keunggulan dan
kelemahan masing-masing di dalam konteks keamanan nontradisional yang
lebih luas dari sekedar peniadaan ancaman . Intervensi langsung seperti
yang dilakukan Amerika Serikat di Kurdistan menuai kritik publik yang
melihat kepalsuan motivasi Amerika Serikat dalam melakukan intervensi dan
dapat mendorong eskalasi konflik. Setelah beberapa kali berperang di
wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, wacana yang diberikan Presiden
Obama—perlindungan kaum minoritas (Kurdi) —tidak lagi efektif dalam
mengaburkan label neoimperialis yang telah dicapkan pada Amerika
Serikat, terutama karena wacana tersebut tidak konsisten secara historis—
merujuk pada sejarah pembantaian suku Kurdi pada Perang Teluk Kedua
Washington s Blog,
4 . Selain itu, keberadaan kekuatan tempur Amerika
Serikat dan pemberian senjata dari Amerika Serikat kepada para pejuang
Kurdi dapat mendesak IS untuk meningkatkan kekuatan tempur mereka
guna menyamaratakan power di antara pihak-pihak yang berperang (Rudaw,
2014).
Kisah sukses di Selat Malaka juga masih diragukan karena International
Maritime Bureau melaporkan bahwa aktivitas bajak laut di Selat Malaka telah
bergeser ke Selat Singapura dan Laut Cina Selatan (International Maritime
Bureau of the International Chamber of Commerce, 2014) dan masih ada
beberapa kelemahan struktural (misalnya, penyogokan dan kolusi) serta
pertimbangan ekonomi yang menghambat proses pelaporan insiden
pembajakan, sehingga data yang dijadikan acuan pun masih belum dapat
dinyatakan akurat (Hunt, 2012). Kemudian program-program ambisius yang
dicanangkan Cina, Amerika Serikat, dan Israel, juga memiliki dampakdampak yang tidak dapat dikatakan positif terhadap hubungan luar negeri
Universitas Padjadjaran © 2014
27
negara-negara tersebut dengan negara-negara di dalam kawasan yang
merasa dirugikan oleh pengalihan-pengalihan jalur tersebut, di samping
pertimbangan terkait pembiayaan proyeknya yang sama sekali tidak murah.
Dampak-dampak ini menunjukkan bahwa meskipun negara-negara
dapat bertahan menggunakan bahan bakar fosil melalui berbagai cara, jalan
yang harus mereka lalui tidak mudah dan pada akhirnya mereka harus mulai
menggunakan alternatif sumber energi terbarukan yang lebih ramah
lingkungan dan efisien. Tidak dapat dipungkiri bahwa bahan bakar fosil telah
mengumpulkan kekuatan politik dan ekonomi yang besar dalam peradaban
manusia, setelah menjalankannya selama lebih dari seabad, sehingga
pergeseran dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan sangat sulit.
Akan tetapi pergeseran ini akan lebih menguntungkan untuk jangka panjang
dan dengan maraknya isu keamanan lingkungan (dibahas dalam bagian
lainnya), kebutuhan untuk segera melakukannya semakin mendesak.
2.7 Keamanan Komprehensif di Asia-Pasifik
2.7.1 Keamanan Manusia
Kawasan Asia-Pasifik memiliki dilema tersendiri dalam menghadapi
persoalan keamanan manusia. Kemiskinan, meskipun relatif tinggi, tidak
menjadi salah satu bahasan utama di kawasan ini karena tidak tersebar
merata. Hirauan utamanya cenderung berorientasi pada permasalahan sosial
seperti kesenjangan pendapatan, ledakan populasi dan usia penduduk,
konflik etnis, perdagangan obat-obatan ilegal, serta hak-hak perempuan.
Lebarnya jurang antara kaum kaya dan di banyak negara memunculkan
variasi kecemburuan sosial yang berakumulasi menjadi dilema keamanan
manusia, teruatama di negara-negara yang lebih makmur seperti Singapura
dan Hong Kong; di mana perbedaan pendapatan sangatlah tinggi.
Dilema selanjutnya adalah usia penduduk. Asia-Pasifik, secara agregat,
memiliki penduduk terbanyak di kelompok usia produkif sekaligus
nonproduktif. Permasalahannya, di beberapa negara, ada kecenderungan
tingkat pertumbuhan penduduk yang negatif, terutama Jepang. Pertumbuhan
Universitas Padjadjaran © 2014
28
penduduk yang negatif dapat megakibatkan kurangnya tenaga kerja usia
produktif dan dikhawatirkan berpotensi menjadi ancaman di berbagai sektor
dalam jangka panjang. Guna melengkapi kebutuhan akan sumber daya
manusia yang mumpuni, akhirnya muncul kebutuhan akan impor tenaga
kerja. Secara eksplisit, kebijakan seperti ini juga malah menjadi ancaman
tersendiri karena merebut lahan perekonomian penduduk pribumi.
Akhirnya, masalah usia populasi ini seperti lingkaran setan yang tak ada
habisnya.
Masalah konflik etnis dan rasial juga merupakan salah satu bahasan
utama karena banyaknya negara dengan diversitas kesukuan dan ras yang
tinggi; berbeda dengan konsep satu bangsa di kawasan Eropa. Konflik
seperti ini merupakan warisan zaman kolonial yang lama mengokupasi
negara-negara di kawasan Asia-Pasifik, terutama Asia Tenggara.
Permasalahan perdagangan obat-obatan ilegal pun menjadi manifestasi
ancaman terhadap keamanan negara yang menyentuh hingga ranah paling
privat sekalipun. Tingkat konsumsi obat-obatan ilegal di negara-negara AsiaPasifik dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat seiring dengan makin
masifnya jaringan sindikat obat-obatan transnasional.
Pun sekenaan dengan diskriminasi gender dan pembatasan hak-hak
wanita, negara-negara di kawasan Asia Pasifik masih cenderung berkembang
dan mengadaptasi nilai-nilai mainstream dalam kerangka kebijakan negara.
Ironisnya, fenomena ini paling kentara terjadi di negara yang dapat disebut
paling maju, yaitu Jepang; yang sering menerima kritikan dari masyarakat
global karena meminggirkan peran dan fungsi wanita di ranah publik.
Berbagai permasalahan keamanan manusia seperti yang dijelaskan di
atas haruslah ditangani dengan mengedepankan langkah-langkah preventif
agar menekan potensi konflik dan kekacauan. Hal ini juga mesti diikuti oleh
perbaikan birokrasi dan pembentukan kebijakan yang lebih mengakomodasi
kebutuhan setiap individu tanpa pandang bulu.
Apabila berbagai kelemahan dalam perwujudan keamanan manusia ini
diberantas, maka kawasan Asia-Pasifik dapat menjadi model kawasan
pertama di dunia yang berhasil mewujudkan keamanan manusia meskipun
Universitas Padjadjaran © 2014
29
dihadapkan pada diversitas yang sangat tinggi. Kondisi seperti ini akan
memberikan insentif yang baik terhadap perkembangan kawasan yang lebih
responsif terhadap pola-pola keamanan individu. Begitu keamanan individu
diraih, maka keamanan nasional, keamanan kawasan, atau bahkan keamanan
global juga semestinya dapat lebih mudah diwujudkan.
Dinamika hubungan internasional kekinian yang begitu interdependen
membuat tiap negara tidak bisa tinggal diam saja jika mengetahui adanya
ancaman instabilitas dari negara lain karena akan memengaruhi stabilitas
negaranya secara tidak langsung. Peristiwa yang terjadi di belahan bumi
utara juga akan berdampak terhadap situasi di belahan bumi selatan.
Semenjak konstruksi tersebut tertanam dalam komunitas negara, maka
individu satu dengan lainnya pula akan saling terkait. Oleh karena itulah,
upaya mewujudkan keamanan individu sudah semestinya diupayakan
beriringan dengan upaya mewujudkan keamanan nasional.
2.7.2 Keamanan Ekonomi
Pandangan mengenai keamanan ekonomi Asia dapat dilihat dari
pengalaman-pengalaman yang pernah dilalui.
Negara-negara Asia telah
melalui sebuah peristiwa di mana langkah-langkah yang diambil oleh
pemerintah negara-negara dapat merefleksikan upaya serta kerja keras
untuk menjaga stabilitas keamanan ekonomi kawasan. Peristiwa ini adalah
krisis finansial pada periode 1997 hingga 1999 silam. Dalam jangka waktu
tersebut,
Asia
mengalami
keterpurukan
secara
ekonomi
yang
mengkhawatirkan. Akan tetapi, negara-negara Asia berhasil bangkit dan
membangun kembali perekonomiannya. Pascakrisis, menarik untuk melihat
kondisi keamanan ekonomi negara-negara Asia kini agar dapat dianalisis
bagaimana kondisi keamanan komprehensif kawasan Asia-Pasifik di masa
mendatang.
Asia-Pasifik menikmati kestabilan ekonomi pada rentang waktu awal
1960-an hingga akhir 1980-an dengan pertumbuhan ekonomi negaranegaranya yang mencapai 6—9 persen dalam kurun waktu lebih dari dua
dekade. Tercatat 8 negara memiliki performa ekonomi yang sangat baik,
Universitas Padjadjaran © 2014
30
yaitu Hong Kong, Indonesia, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Singapura,
Taiwan, dan Thailand. Bahkan menurut World Bank (Hsiung, 2004) selama
1960-1990, pertumbuhan ekonomi 8 negara ini dapat dianalogikan sebagai
dua kali pertumbuhan ekonomi rata-rata kawasan Asia Timur (di luar 8
tersebut), tiga kali pertumbuhan ekonomi rata-rata kawasan Amerika Latin
dan Asia Tenggara, serta 25 kali pertumbuhan ekonomi rata-rata kawasan
subsahara Afrika. Pertumbuhan yang pesat dari 8 negara ini diyakini menular
ke negara-negara lain di kawasan yang sama, sehingga abad ke-21 tak jarang
dijuluki sebagai the pacific century (siung
4, h.
.
Pesatnya pertumbuhan ekonomi Asia ketika itu menstimulasi
munculnya permainan kekuasaan geopolitik (power game geopolitics) yang
merujuk pada peningkatan kekuatan militer secara masif karena telah
terbilang mapan secara ekonomi. Penguatan militer negara-negara di
kawasan ini tentu menciptakan dilema keamanan bagi negara-negara lain.
Akan tetapi, belum sempat mencapai puncak kejayaan, negara-negara AsiaPasifik harus dihadapkan pada kenyataan pahit ketika krisis finasial merebak
pada 2 Juli 1997. Hanya dalam hitungan minggu, perekonomian dan nilai
mata uang negara-negara Asia yang sebelumnya kuat dan stabil mengalami
depresiasi drastis.
Krisis finansial yang melanda ketika itu diibaratkan sebagai musibah
kebakaran yang kemudian diselamatkan oleh pemadam kebakaran berupa
bantuan dari badan moneter internasional, International Monetary Fund
(IMF). Akan tetapi, IMF tidak langsung memadamkan api krisis finansial
yang tengah membara; melainkan merombak arsitektur perekonomian
negara-negara Asia yang tengah terpuruk dengan mendikte kebijakan
ekonomi pemerintah.
Meskipun benar-benar dalam kondisi terpuruk, saat itu IMF sudah
meramalkan bahwa kawasan Asia akan kembali baik, meskipun butuh
bertahun-tahun atau berdekade-dekade. Termasuk bagi negara-negara
dengan dampak terburuk sekalipun: Indonesia, Thailand, Malaysia, Korea
Selatan, dan Filipina. Prediksi ini didasari kondisi dua tahun setelah krisis
yang menunjukkan adanya perbaikan mendasar sehingga kondisi tiap negara
Universitas Padjadjaran © 2014
31
cepat memulih dan membaik. Secara umum, krisis finansial ini dipicu oleh 3
hal: (1) beban hutang luar negeri yang besar, (2) serangan dari spekulan
valuta asing, dan (3) lemahnya kendali berupa aturan serta pengawasan dari
pemerintah.
Thailand, misalnya, pada saat itu memiliki beban debit luar negeri
privat setara dengan 50% dari nominal produk domestik bruto (gross
domestic product), sehingga menyebabkan efek domino terhadap negaranegara di kawasan. Negara-negara di kawasan yang sama menyadari
lemahnya sektor finansial secara umum dikarenakan oleh ketidakcakapan
regulasi dan pengawasan, sehingga pemerintah terpaksa mengambil alih
kendali arus modal sebagai upaya revitalisasi perekonomian. Malaysia, yang
sebelumnya termasuk negara paling terbuka dalam menerima suntikan
modal asing, kemudian berubah menjadi sangat ketat setelah krisis. Bahkan
pada Agustus 1998, kontrol pemerintah yang terlalu ketat membuat ringgit
tergusur dari perdagangan valuta asing global. Sementara Hong Kong dan
Taiwan, yang mengintervensi dengan mengontrol logistik dan pasar modal
asing, berupaya menolak serangan dari spekulan mata uang. Korea Selatan
juga tidak ketinggalan dalam meningkatkan kontrol terhadap pasar modal.
Pemerintah mengadopsi kebijakan moneter dan fiskal yang ketat sembari
membiarkan pertumbuhan ekonomi yang lebih lamban untuk menjaga inflasi
di bawah 5 persen. Akan tetapi, berbagai upaya ini tidak dilakukan oleh
Thailand, sehingga akhirnya harus benar-benar bergantung pada bantuan
dari IMF. Meskipun IMF mengontrol kebijakan pemerintah secara besarbesaran—bertentangan dengan prinsip laissez-faire a la ekonomi liberal,
Thailand berhasil memulihkan perekonomiannya.
Pengendalian ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah negara-negara
Asia bekerja baik karena memenuhi sepasang kebutuhan yang bersifat
inklusif terhadap seluruh negara di dalam kawasan, yaitu: (1) perlindungan
terhadap kelebihan aliran modal luar negeri, terutama peminjaman jangka
pendek, dan (2) ekonomi terbuka yang adil untuk mendirikan kembali
pertumbuhan yang stabil pascakrisis.
Universitas Padjadjaran © 2014
32
Masa depan keamanan ekonomi di kawasan Asia-Pasifik bergantung
pada dua kondisi yang saling berhubungan. Pertama, bahwa tindakantindakan pemerintah Asia dalam menanggapi krisis adalah langkah-langkah
yang memang bertanggung jawab untuk membawa mereka keluar dari
keterpurukan dan dapat memberikan kekebalan terhadap krisis ke
depannya. Kedua, bahwa pemerintah harus tetap memegang kendali namun
tidak secara keseluruhan, karena memang bukan sepenuhnya tanggung
jawab pemerintah.
Pengalaman menghadapi krisis ini memberikan justifikasi bagi
pembuatan rezim internasional untuk mengontrol dan menahan spekulasi
mata uang global. Upaya pemulihan harus diiringi oleh kiat-kiat preventif
mencegah terjadinya kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Berbagai
peluang tersedia bagi negara-negara di kawasan Asia-Pasifik dengan modal
kestabilan dan keamanan ekonomi yang dimiliki. Bukan tidak mungkin
kemudian negara-negara Asia-Pasifik kembali menjadi macan perekonomian
dunia seperti di masa lalu. Oleh karena itulah, negara-negara di kawasan
Asia-Pasifik perlu memberikan perhatian lebih terhadap berbagai kelemahan
ekonomi yang dimiliki saat ini, karena keamanan ekonomi kawasan baru
dapat terwujud jika didukung oleh adanya kerja sama untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi yang merata dan stabil.
2.7.3 Keamanan Lingkungan
Asia-Pasifik merupakan kawasan yang terdiri dari daratan Asia bagian
timur, sedikit selatan dan tenggara, serta wilayah lautan Samudra Pasifik. Di
dalamnya, terdapat gugusan pulau-pulau yang tergabung dalam tiga puluh
entitas kedaulatan politik. Negara-negara yang tergabung dalam kawasan
Asia-Pasifik cenderung memiliki kerentanan biofisik seperti bencana alam,
terutama gunung berapi, badai, dan gelombang tinggi, serta kontaminasi
limbah nuklir (termonuklir) dan limbah percobaan senjata.
Di masa Perang Dingin dan setelahnya, wilayah ini memiliki peran
strategis yang sangat krusial bagi Amerika Serikat. Negara-negara AsiaPasifik memiliki otoritas atas berbagai rute pelayaran internasional yang
Universitas Padjadjaran © 2014
33
strategis sebagai menjadi jalur distribusi hasil minyak dan gas bumi dari
kawasan Timur Tengah serta hasil sumber daya lain seperti hasil laut dan
pertanian. Berbagai fungsi strategis ini membuat kawasan Asia-Pasifik tak
jarang menjadi pusat geopolitik dan geoekonomi. Oleh sebab itu, dalam
analisis keamanan komprehensif, Hsiung memusatkan perhatian pada empat
aspek utama terkait keamanan lingkungan, yaitu ancaman kenaikan
permukaan laut, persengketaan memperebutkan kekuasaan tunggal atas
sumber daya strategis, polusi akibat limbah industri dan transportasi, serta
ancaman terorisme dan pembajakan di laut.
Ancaman naiknya permukaan laut akibat pemanasan global adalah
krusial karena, secara geografis, negara-negara Asia-Pasifik banyak yang
berupa kepulauan (Indonesia dan Filipina), negara dengan beberapa pulau
(Jepang), negara dengan pulau yang kecil (Singapura), negara dengan pulau
yang lebih besar (Cina, Malaysia, dan Vietnam), serta negara dengan garis
pantai yang panjang (Kamboja dan Thailand). Satu-satunya negara yang tidak
dikelilingi laut (landlocked) hanya Laos.
Peningkatan
temperatur
global
telah
mengakibatkan
naiknya
permukaan laut dan diperkirakan bahwa pada tahun 2100 nanti, permukaan
air laut akan meningkat setinggi satu meter. Dampaknyam seperti banjir
bandang, telah dapat dirasakan dari sekarang. Kondisi seperti ini rentan
melumpuhkan aktivitas bisnis di negara-negara dengan perekonomian yang
sibuk, terutama Jepang, Singapura dan Hong Kong yang sangat bergantung
pada pelabuhan. Setelah banjir, muncul pula permasalahan lain seperti
terkontaminasinya cadangan air tanah oleh air asin akibat banjir tadi.
Degradasi
lingkungan
dan
ketidakstabilan
kondisi
bumi
juga
menyebabkan munculnya berbagai wabah penyakit seperti flu burung (bird
flu) di Hongkong pada tahun 1999, virus nipah di semenanjung Malaysia
bagian Sarawak pada tahun 1999, virus gangguan saluran pernapasan akut,
SARS, pada tahun 2003. Berbagai ancaman seperti ini tidak mengenal
batasan kewilayahan sehingga dapat mengancam negara di kawasan, bahkan
dalam skala global, dalam waktu singkat; terutama dengan mobilitas yang
semakin tinggi berkat globalisasi.
Universitas Padjadjaran © 2014
34
Persengketaan memperebutkan kuasa atas sumber daya juga
berpotensi memicu terjadinya konflik domestik ataupun internasional.
Secara umum, terdapat tiga wilayah utama yang rawan konflik akibat
persoalan sumber daya: (1) Laut Cina Selatan yang kaya akan biota laut serta
cadangan minyak dan gas bumi, (2) Sungai Mekong sebagai sumber
penghidupan masyarakat di wilayah Cina, Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja
hingga Vietnam, serta (3) Alur laut (sea lane) yang menghubungkan Asia di
bagian timur laut, Selat Taiwan, Laut Cina Selatan, dengan titik-titik pantai di
Asia Tenggara yang berakhir di Samudra Hindia.
Jalur laut juga penting untuk pendistribusian minyak, di mana pada
tahun 2003 saja, sekitar 60% dari pasokan minyak dunia bergantung dari
ketersediaan minyak Timur Tengah. Cina dan Rusia juga memiliki perjanjian
distribusi minyak dari Siberia Barat ke Cina yang mengangkut 5,13 miliar
barel pertahun dari pada periode 2005 hingga 2030. Beberapa contoh
ancaman keamanan lingkungan di wilayah-wilayah ini misalnya: (1)
perebutan kekuasaan atas Pulau Paracel (antara Vietnam dan Cina) dan
Pulau Spratly (antara Cina, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam,
Taiwan, danFilipina) di Laut Cina Selatan, (2) penangkapan nelayan Taiwan
terkait penangkapan ikan ilegal di perairan Malaysi, serta (3) konflik
antarkelompok memperebutkan air di pemukiman miskin sekitaran Sungai
Mekong yang dihuni oleh hampir 230 juta orang. Apabila terjadi pencemaran
air dari hulunya di Cina, maka lima negara yang dilalui Sungai Mekong tentu
tidak akan tinggal diam. Rencana ke depannya, untuk mengatasi
kemungkinan terjadinya konflik di Sungai Mekong, akan dibuat kesepakatan
antarnegara (seperti Cina dan Vietnam dalam sengketa Pulau Paracel) untuk
berjanji menangguhkan, tanpa prasangka, klaim masing-masing negara atas
sumber daya bersama tersebut.
Polusi udara dan kebakaran hutan akibat limbah industri dan
transportasi juga merupakan ancaman keamanan lingkungan yang serius. Di
Hong Kong, misalnya, tercatat data yang mencengangkan dengan rata-rata 15
juta ton limbah industri perharinya. Selain itu, pencemaran udara yang
diakibatkan oleh banyaknya asap tidak ramah dari berbagai alat transportasi
Universitas Padjadjaran © 2014
35
dengan bahan bakar fosil telah berkontribusi terhadap sekitar 2000
kematian bayi prematur setiap tahun. Bukan hanya di Hong Kong, fenomena
ini juga terjadi di berbagai negara lain di kawasan Asia-Pasifik. Kebakaran
hutan di Indonesia juga seringkali menjadi sumber permasalahan dengan
negara-negara tetangga akibat kabut asap ekstrim; terutama Singapura,
Malaysia, dan Filipina. Kebakaran hutan seringkali diakibatkan oleh
pembakaran lahan dan produksi kelapa sawit. Selain berbahaya bagi
kesehatan manusia, asap akibat kebakaran hutan juga menghambat kegiatan
ekonomi
karena
berpengaruh
terhadap
kelancaran
berbagai
moda
transportasi serta meningkatkan pemanasan global karena menghilangkan
pohon-pohon di hutan hujan tropis.
Masalah lain adalah terorisme dan pembajakan di laut. Di Filipina, yang
jauh sebelum tragedi 11 September 2001 telah berkutat dengan gerakan
teroris kelompok Abu Sayaf, kelompok insurgensi separatis menuntut
diakuinya pembentukan negara baru dan restorasi hak-hak memancing bagi
nelayan lokal. Negara lain, seperti Indonesia, juga pernah menjadi sorotan
dunia setelah kejadian Bom Bali pada tahun 2002 serta Bom Hotel JW
Marriott di Jakarta pada tahun 2003 oleh kelompok Jamaah Islamiyah (JI).
Kedua kelompok teroris tersebut ditengarai memiliki hubungan dekat
dengan kelompok Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Pembajakan di laut,
sementara itu, kerap terjadi di wilayah Selat Taiwan, perairan IndonesiaMalaysia, dan Filipina. Secara keseluruhan, 40% dari kasus bajak laut terjadi
di wilayah perairan Indonesia. Meningkatnya aktivitas pembajakan di akhir
tahun 1990-an dipicu oleh krisis finansial di kawasan Asia yang berdampak
pada peningkatan angka pengangguran dan penduduk miskin.
Kekayaan sumber daya alam di kawasan Asia-Pasifik, yang meliputi
negara-negara di Asia Timur (Cina, Hongkong, Jepang, Korea Utara, Korea
Selatan, Macau, Taiwan), Asia Tenggara (Brunei, Myanmar, Kamboja,
Indonesia, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Timor
Timur), Pulau Paracel dan Spratly, serta Mongolia (Central Intelligence
Agency, 2014) membuat kawasan ini rentan mengalami konflik perebutan
sumber daya alam. Bagi negara-negara seperti Cina dengan sumber daya
Universitas Padjadjaran © 2014
36
yang bahkan lebih banyak daripada sekadar kekayaan laut—batu bara, bijih
besi, minyak bumi, gas alam, timah, alumunium, uranium dan potensi tenaga
air (hydropower) nomor satu di dunia—kemudian Indonesia dengan minyak
bumi, timah, gas alam, nikel, bauksit tembaga, batu bara, emas dan perak,
serta Thailand dengan timah, karet, gas alam, ikan, gipsum, lignit, dan fluorit
(Central Intelligence Agency, 2014), kondisinya bahkan lebih rawan lagi.
Berdasarkan data dari oleh World Shipping Council (2012), tiga jalur
perdagangan laut utama dunia adalah rute Asia-Amerika Utara, Asia-Eropa
Utara, dan Asia-Mediterania. Data ini menunjukkan dengan jelas betapa
strategisnya kawasan Asia-Pasifik bagi aktivitas perekonomian global
sehingga dibutuhkan pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
Bagi kebanyakan negara di sekitar Asia Tenggara, iklim tropis dan
subtropis berdampak pada kesuburan tanah yang sangat baik untuk aktivitas
pertanian. Pun begitu halnya dengan daerah selatan Cina hingga Vietnam
yang dialiri oleh Sungai Mekong. Potensi salah hutan hujan tropis terluas di
dunia yang berada di Pulau Kalimantan (Borneo) juga memberikan manfaat
besar bagi Brunei, Malaysia, dan Indonesia serta bagi seluruh dunia karena
fungsinya sebagai penyerap emisi karbon dan distributor oksigen.
Meskipun begitu, terdapat ketimpangan hasil alam negara yang
menimbulkan kesenjangan yang potensial menjadi sumber konflik. Di
beberapa negara, terutama di kawasan Asia Tenggara, ketidakstabilan cuaca
dan iklim juga berpengaruh terhadap ketahanan pangan masing-masing
negara.
Untuk mengatasi masalah ini, negara-negara di kawasan Asia-Pasifik
haruslah bekerjasama agar tidak terjadi persengketaan, terutama dalam
pemanfaatan sumber daya alam. Di samping itu, demi kelangsungan
pemanfaatan energi secara global, negara-negara di Asia-Pasifik tercatat
telah unggul di beberapa bidang energi terbarukan, seperti energi tenaga air
oleh Cina, energi tenaga nuklir oleh Jepang, serta potensi energi panas bumi
(geotermal), angina, dan air di negara-negara Asia Tenggara. Kerjasama juga
harus dijalin oleh negara-negara dalam mengelola kepemilikan sumber daya
bersama seperti Laut Cina Selatan dan Sungai Mekong.
Universitas Padjadjaran © 2014
37
2.8 Keamanan Komprehensif di Eropa
Konsep keamanan komprehensif di kawasan Eropa dikembangkan oleh
Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) yang
pendiriannya memiliki landasan utama untuk mempromosikan keamanan
dalam dimensi hak asasi manusia. Kerangka keamanan komprehensif yang
dikembangkan oleh OSCE memiliki tujuan untuk mengeliminasi konflik di
kawasan tersebut. Pendekatan keamanan komprehensif menurut OSCE
(Zannier, 2012) mencakup tiga dimensi, yaitu: (1) keamanan politik dan
militer, (2) keamanan ekonomi dan lingkungan, serta (3) keamanan
individual.
Secara umum, tujuan pendirian OSCE (Zannier, 2012) juga sejalan
dengan cita-cita dari keamanan komprehensif, yaitu: (1) menegakkan hakhak asasi manusia dan kebebasan dasar individual, (2) memelihara
ketertiban hukum, (3) mempromosikan prinsip-prinsip demokrasi dengan
cara membangun, memperkuat, dan melindungi institusi demokratis, serta
(4) mempromosikan toleransi di seluruh wilayah negara anggota OSCE.
Dari berbagai tujuan di atas, didapati bahwa tujuan utama OSCE adalah
untuk memastikan bahwa seluruh individu yang ada di wilayah kekuasaan
OSCE bebas dan aman. Untuk mencapai kondisi ini, bukan hanya dilakukan
perwujudan keamanan dalam dimensi politik dan militer, namun juga
keamanan ekonomi, lingkungan, dan individual (manusia); sehingga selaras
dengan asas-asas keamanan komprehensif.
Akan tetapi, terdapat beberapa perdebatan mengenai bagaimana
menerapkan konsep keamanan komprehensif yang diusung oleh OSCE. Salah
satu perdebatan yang paling besar adalah ketika kewajiban untuk menjaga
keamanan bersama dibenturkan dengan prinsip nonintervensi. Pada tahun
1991, para anggota OSCE sepakat bahwa komitmen yang telah disepakati
oleh seluruh anggota, yaitu untuk menjaga keamanan, merupakan suatu hal
yang sah secara hukum merupakan tanggung jawab seluruh negara anggota,
bukan urusan dalam negeri suatu negara. Hal ini mengindikasikan bahwa
sebagai anggota OSCE, suatu negara harus menyerahkan kepercayaannya
Universitas Padjadjaran © 2014
38
secara penuh kepada institusi tersebut, karena kedaulatan institusi dalam
urusan penjagaan keamanan, berada di atas kedaulatan negara.
2.8.1 Keamanan Komprehensif yang Kooperatif
Dari tingkat komitmen yang diberikan oleh anggotanya terhadap OSCE,
dapat dikatakan bahwa keanggotaan OSCE bukan hanya didasarkan pada niat
baik
saja, melainkan sarat nilai-nilai politis. Setiap keputusan yang
dikeluarkan oleh OSCE didasarkan pada konsensus atau persetujuan secara
aklamasi dari seluruh anggota tanpa terkecuali dan akan langsung berlaku
mengikat secara hukum begitu tercapainya persetujuan tersebut. Jika ada
satu negara yang tidak menjalankan komitmennya yang telah disepakati,
maka negara anggota lainnya dapat menuntut pertanggungjawaban dari
negara pelanggar tersebut. Hal ini disebut dengan konsep keamanan yang
kooperatif; maksudnya, setiap negara yang harus saling membantu dalam
usaha
penerapan
komitmen
bersama
untuk
mencapai
keamanan
komprehensif.
Upaya OSCE ini dijalankan melalui tiga institusi, yaitu: (1) Office for
Democratic Institution and Human Rights (Kantor untuk Institusi Demokratis
dan Hak-Hak Asasi Manusia), (2) High Commissioner on National Minorities
(Komisi Tinggi untuk Minoritas Nasional), dan (3) Representative on
Freedom of the Media (Perwakilan untuk Kebebasan Media). Di samping itu,
terdapat pula dua badan tambahan yang memiliki tugas membantu negaranegara anggota dalam menjalankan komitmennya menciptakan keamanan di
kawasan, yaitu OSCE Field Operations (Operasi Lapangan) dan OSCE Special
Representative and Coordinator for Combating Trafficking in Human Beings
(Perwakilan Khusus dan Koordinator untuk Memerangi Perdagangan
Manusia).
Dalam praktiknya, OSCE telah berkontribusi terhadap usaha-usaha
perdamaian di berbagai negara di Eropa, di antaranya: (1) misi OSCE di
Kosovo pada 6 dan 20 Mei 2012 untuk mengawasi pemilihan umum presiden
dan parlemen warga Serbia, (2) misi gabungan OSCE dengan Uni Eropa dan
UNHCR di Bosnia untuk mengembalikan pengungsi pada wilayah asalnya
Universitas Padjadjaran © 2014
39
pascakonflik di Yugoslavia (sekarang Serbia), (3) misi OSCE di Moldova
untuk mempromosikan hak-hak asasi manusia dan demokrasi, (4)
pembangunan 6 cabang Human Rights Defender’s Office di Armenia pada
tahun 2012, serta (5) pembangunan 11 Women Research Centre di Tajikistan
untuk membantu upaya emansipasi wanita di daerah tertinggal.
2.8.2 Upaya OSCE Mewujudkan Keamanan Komprehensif
Hingga kini, OSCE terbilang adalah cukup efektif dalam menggalang
kerjasama di bidang keamanan kawasan di Eropa. Dalam menanggapi krisis
di Ukraina, misalnya, OSCE dapat memiliki kontrol yang cukup signifikan
dalam menentukan jumlah drone dan pasukan yang akan dikirim beserta
negara-negara yang akan mengirimnya (Tass, 2014). Legitimasi OSCE yang
cukup kuat sebagai organisasi keamanan kawasan ini muncul dari prinsip
yang telah disepakati oleh negara-negara anggotannya yaitu prinsip bahwa
keamanan merupakan tanggung jawab langsung dari OSCE, bukan lagi
wewenang eksklusif dari suatu negara. Hal ini merepresentasikan bentuk
kepercayaan yang diberikan oleh negara-negara anggotanya terhadap OSCE
sebagai organisasi internasional. Kepercayaan tersebut menghasilkan
kedaulatan yang mampu mendorng fungsi efektif OSCE dalam menjaga
keamanan di kawasan Eropa.
Akan tetapi, asas konsensus dalam pengambilan keputusannya menjadi
kelemahan yang mengurangi efektivitas OSCE. Masih dalam kasus yang sama,
krisis di Ukraina, OSCE sempat beberapa kali gagal untuk mencapai
konsensus mengenai metode pengawasan yang akan dilakukan di Ukraina
(Shields, 2014). Hal ini disebabkan karena penolakan dari delegasi Rusia.
Dengan kata lain, asas konsensus meskipun menjaga OSCE agar tidak
gegabah juga menjadi batu hambatan yang menyulitkan pencapaian
keamanan komprehensif di kawasan.
Partisipasi OSCE dalam mewujudkan keamanan komprehensif di Eropa
terlihat dari upayanya yang menyentuh berbagai spektrum keamanan.
Pendekatan militeristik dalam krisis di Ukraina, mendorong kesejahteraan
wanita di Tajikistan, dan pengawasan proses pemilihan umum yang
Universitas Padjadjaran © 2014
40
demokratis di Kosovo mengindikasikan komitmen OSCE dalam menciptakan
keamanan yang menyeluruh di Eropa, bukan hanya dalam dimensi
militeristik yang tradisional saja.
Sifat keamanan yang sensitif dan seringkali menjadi sorotan menambah
tingkat kesulitan bagi OSCE di samping masih kuatnya pengaruh negara
secara agregat. Agar OSCE dapat bekerja lebih efektif, negara-negara anggota
haruslah memiliki kepercayaan yang lebih tinggi dan menekan ego
kedaulatannya. Apabila tidak, maka cita-cita keamanan komprehensif yang
kooperatif di Eropa akan sulit dicapai.
Meskipun
belum
optimal,
kinerja
OSCE
terbukti
lebih
baik
dibandingkan organisasi keamanan di kawasan lain, termasuk Asia-Pasifik.
Oleh karena itu, tidak heran jika OSCE sering menjadi model kerja sama
keamanan bagi negara-negra di kawasan lain. Di era globalisasi ini, negara
sudah tidak dapat lagi bertanggung jawab secara eksklusif terhadap
keamanan, karena memang ancaman yang datang kini cenderung bersifat
lintas batas (transboundary). Kehadiran konsep keamanan komprehensif
juga memberikan wadah yang holistik bagi upaya pencapaian keamanan di
berbagai belahan dunia melalui kerjasama antarnegara tanpa harus
mengorbankan kedaulatan masing-masing.
Universitas Padjadjaran © 2014
41
KESIMPULAN
Pembahasan mengenai keamanan komprehensif dalam tulisan ini dibatasi
pada dimensi keamanan manusia, ekonomi, lingkungan, dan energi. Bukan
berarti dimensi keamanan lainnya tidak penting, namun memang sangat sulit
mengidentifikasi semua dimensi keamanan yang ada saat ini; terutama
dengan adanya proses sekuritisasi secara berkelanjutan di hampir setiap
aspek kehidupan manusia.
Dari pembahasan mengenai keamanan komprehensif, dengan studi
kasus di kawasan Asia-Pasifik, dapat disimpulkan bahwa:
1. Dalam bidang keamanan ekonomi, kawasan Asia Pasifik memiliki
kapabilitas yang terbilang baik, karena telah terbukti mampu memacu
pertumbuhan ekonomi di secara berkelanjutan meskipun sempat
diterpa krisis finansial besar-besaran pada medio 1990-an;
2. Dalam bidang keamanan manusia, kawasan Asia Pasifik masih harus
melakukan banyak perbaikan. Meskipun angka kemiskinan berkurang,
masih banyak masalah-masalah lain, seperti ketidaksetaraan gender,
perdagangan obat-obatan ilegal, arus imigran ilegal, penyelundupan
orang, serta maraknya praktik perdagangan manusia, terutama wanita
dan anak-anak.
3. Dalam bidang keamanan lingkungan, kawasan Asia Pasifik masih
dilanda beberapa masalah, seperti peningkatan permukaaan air laut
karena perubahan iklim, pengelolaan dan kepemilikan sumber daya
bersama, polusi akibat limbah industri, terorisme, perompakan di laut,
serta berbagai bentuk degradasi lingkungan seperti kebakaran hutan
dan pencemaran sumber air.
4. Keamanan energi adalah spektrum keamanan yang sangat krusial
dalam peta perpolitikan global saat ini karena nilai strategis sumbersumber energi tidak terbarukan seperti minyak dan gas bumi; sehingga
rentan menjadi sumber konflik perebutan pengelolaan dan pengelolaan
sumber daya.
Universitas Padjadjaran © 2014
42
Setelah melihat poin-poin kesimpulan di atas maka timbul pertanyaan
apakah Asia Pasifik, seperti halnya Eropa, dapat mencapai keamanan
komprehensif? Titik yang paling aman adalah keamanan ekonomi. Sementara
kekhawatiran terbesar terletak pada keamanan lingkungan. Pun masalah
kejahatan transnasional seperti terorisme dan bajak laut membutuhkan
solusi pada tingkatan kawasan.
Negara-negara di kawasan ini seharusnya mampu menysusun strategi,
membangun rasa saling percaya (confidence-building), mengesampingkan
rasa saling curiga, dan menekan persaingan politik. Misalnya, pada saat
Jepang menurunkan beberapa pasukan untuk mengurangi pembajakan laut
di kawasan, Jepang mendapat respon yang dingin dari negara-negara
tetangga. Mestinya, seperti apa yang dilakukan oleh negara-negara Eropa
melalui OSCE, negara-negara di kawasan Asia-Pasifik juga harus menginisiasi
dibentuknya kerangka kerja sama keamanan yang kooperatif demi
mewujudkan keamanan komprehensif dalam artian sebenarnya.
Menciptakan
keamanan
komprehensif
di
kawasan
Asia-Pasifik
bukanlah tugas yang mudah, namun bukan pula mustahil. Kehadiran
berbagai wadah kerja sama regional menjadi indikasi yang baik, meskipun
masih didominasi oleh aliansi ekonomi melalui rezim perdagangan bebas.
Kehadiran negara-negara industri maju di kawasan Asia-Pasifik juga bak dua
mata pisau; dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi keamanan
kawasan.
Negara-negara seperti Amerika Serikat, Cina, dan Jepang cenderung
memegang peran kunci dalam menentukan arah kebijakan dan mendorong
integrasi dalam skala global. Dukungan militer dari negara-negara kuat
seperti Amerika Serikat dan Cina adalah asset bagi kawasan Asia-Pasifik
dalam mencapai keamanan komprehensif; begitu pula halnya dukungan
dalam dimensi keamanan lainnya. Melalui organisasi Council for Security
Cooperation in the Asia-Pacific (CSCAP), negara-negara di kawasan ini harus
berani mendobrak tradisi-tradisi lama seperti yang telah berlangsung di
Eropa melalui OSCE.
Universitas Padjadjaran © 2014
43
Berdasarkan
pembahasan
panjang
dalam
tulisan
ini,
dapat
diidentifikasi 5 asas utama yang haruslah dijadikan landasan dalam upaya
perwujudan keamanan komprehensif, yaitu:
1. Interdependensi yang saling menguntungkan (mutual interdependence);
2. Kemandirian (self-reliance) yang merepresentasikan nilai-nilai seperti
rasa saling percaya, kemandirian, solidaritas, serta menekan rasa saling
curiga dan tensi politik demi kemajuan bersama;
3. Kolaborasi yang inklusif (inclusive collaboration);
4. Hubungan yang damai (peaceful engagement) dengan mengedepankan
solusi damai melalui kiat-kiat diplomasi dan dialog antarnegara; dan
5. Partisipasi warga negara yang baik (good citizenship).■
Universitas Padjadjaran © 2014
44
DAFTAR PUSTAKA
Annan, Kofi (2001) Toward a Culture of Peace. United Nations Educational,
Scientific, and Cultural Organization. Tersedia di: http://unesco.org/cul
ture/aic/echoingvoices/kofi-annan.php (diakses 20 Oktober 2014).
Asian Developmment Bank (2012) Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara
Berkembang di Asia Akan Menurun Tetapi Stabil. Asian Development
Bank. Tersedia di: http://www.adb.org/news/developing-asia-growthsubdued-steady-adb-report-ino (diakses 20 Oktober 2014).
Axworthy, Lloyd (1999) NATO New Security Vocation. NATO Review, Winter,
h. 8—11.
Bajpai, Kanti (2000) Human Security: Concept and Measurement. Kroc
Institute Occasional Paper. Indiana: University of Notre Dame.
Brown, Lester R. (2000) Challanges of the New Century. Dalam: Lester R.
Brown, Christopher Flavin, dan Hillary French (eds.) (2000), State of the
World: A Worldwatch Institute Report on Progress Toward a Sustainable
Society. New York: W. W. Norton.
Bush, George W. (2001) Energy Security. The White House. Tersedia di:
http://www.whitehouse.gov (diakses 20 Oktober 2014).
Buzan, Barry, Ole Wæver, dan Jaap de Wilde (1998) Security: A Framework
for Analysis. Colorado: Lynne Publisher.
Central Intelligence Agency (2014) East and Southeast Asia. CIA World
Factbook. Tersedia di: https://www.cia.gov/library/publications/theworld-factbook/geos/pf.html (diakses 21 Oktober 2014).
Froomkin, Dan (2012) Auction 2012: Energy Lobby Finds Power in Money
and Fear. The Huffington Post. Tersedia di: http://www.huffingtonpost.c
om/2012/01/31/auction-2012-energy-lobby_n_1242134.html (diakses
21 Oktober 2014).
Gasper, Der dan Oscar A. Gomez (2013) Human Security: A Thematic
Guidance, Note for Regional and National Human Reports Team. UNDP
Human Development Report Office. Tersedia di: http://hdr.undp.org/si
Universitas Padjadjaran © 2014
45
tes/default/files/human_security_gui dance_note_r-nhdrs.pdf (diakses
20 Oktober 2014).
Höll, Otmar (2011) Concepts of Comprehensive Security. Dipublikasikan
pada Conference on Studying Jihadism . Vienna: Oriental )nstitute of
Vienna University, Jihadism Online Project, Austrian Oriental Institute
Hammer-Purgstall, Austrian Institute for International Affairs.
Hsiung, James C. (2004) Comprehensive Security: Challenge for Pacific Asia.
New York: New York University Press.
Hunt, Katie (2012) Report: Sea piracy drops to lowest level in four years.
Cable News Network. Tersedia di: http://edition.cnn.com/2012/10/23/
world/sea-piracy-decline (diakses 21 Oktober 2014).
International Maritime Bureau of the International Chamber of Commerce
(2014) Piracy & Armed Robbery Prone Areas and Warnings.
International Maritime Bureau of the International Chamber of
Commerce. Tersedia di: http://www.icc-ccs.org/piracy-reporting-centr
e/prone-areas-and-warnings (diakses 21 Oktober 2014).
Osborne, Randall E. dan Paul Kriese (eds.) (2008) Global Community, Global
Security. New York dan Amsterdam: Rodopi B. V.
King, Gary dan Christoper J. L Murray (2001) Rethinking Human Security.
Euro Akademia. Tersedia di: http://euroakadeemia.ee/materjalid/
King-Murray/Rethinking-Human-Security.pdf
(diakses 20 Oktober
2014).
Klare, Michael T. (2008) Energy Security. Dalam: Paul D. Williams (2008),
Security Studies: An Introduction. Oxon: Routledge, h. 483—496.
Luft, Gal dan Anne Korin (2003) Terror s Next Target, dalam The Journal of
International Security Affairs. Institute for the Analysis of Global
Security. Tersedia di: http://www.iags.org/n0111041.htm (diakses 21
Oktober 2014).
Lugar, Richard G. (2005) Opening Statement, Hearing on the High Costs of Oil
Dependency. Dipublikasikan pada US Senate Committee on Foreign
Relations. Dalam: Paul D. Williams (ed.) (2008), Security Studies: An
Introduction. Oxon: Routledge, h. 495.
Universitas Padjadjaran © 2014
46
Lutfia, Ismira (2011) Pirate Attacks in Indonesian Waters Increase. The
Jakarta Globe. Tersedia di: http://www.thejakartaglobe.com/home/pir
ate-attacks-in-indonesian-waters-increase (diakses 21 Oktober 2014).
MacLean, George (1998) The Changing Perception of Human Security:
Coordinating National and Multilateral Responses. United Nations
Association in Canada. Tersedia di: http://www.unac.org/canada/secu
rity/maclean.html (diakses 20 Oktober 2014).
Maritime Security Asia (2011) Drastic Drop in Piracy in Malacca Strait.
Maritime Security Asia. Tersedia di: http://maritimesecurity.asia/free2/
piracy-2/drastic-drop-in-piracy-in-malacca-straits (diakses 21 Oktober
2014).
Montlake, Simon (2006) Hard Times for Pirates in Busy World Waterway.
The Christian Science Monitor. Tersedia di: http://www.csmonitor.com/
2006/1030/p01s04-woap.html (diakses 21 Oktober 2014).
Myers, Norman (2004) Environmental Security: What s New and Different?
Institute for Environmental Security. Tersedia di: http://www.enviro
security.org/conference/working/newanddifferent.pdf
(diakses
20
Oktober 2014).
Pirages, Dennis (1978) Global Ecopolitics: The Context for International
Relations. North Scituate: Duxbury Press.
Rofiq, Aunur (2013) Komitmen APEC Mendorong Konektivitas Kawasan.
Berita Satu. Tersedia di: http://www.beritasatu.com/blog/ekonomi/
2881-komitmen-apec-mendorong-konektivitas-kawasan.html (diakses
20 Oktober 2014).
Rudaw (2014) US Airdrops Weapons and Supplies to Kobane Fighters.
Rudaw. Tersedia di: http://rudaw.net/english/middleeast/syria/2010
2014 (diakses 21 Oktober 2014).
Shields, Michael (2014) OSCE Fails Again to Reach Deals in Ukraine Monitors.
Yahoo! News. Tersedia di: http://news.yahoo.com/osce-fails-again-reac
h-deal-ukraine-monitors-154837565.html (diakses 20 Oktober 2014).
Stone, Marianne (2009) Security According to Buzan: A Comprehensive
Security Analysis. Security Discussion Papers Series, 1, Spring.
Universitas Padjadjaran © 2014
47
Strategy Page (2007) Naval Air: Indian Robots Rule the Seas. Strategy Page.
Tersedia di: http://www.strategypage.com/htmw/htnavai/articles/20
070328.aspx (diakses 21 Oktober 2014).
Tass (2014) Media: OSCE Rejects Germany Military Assistance in Ukraine.
Tass. Tersedia di: http://en.itar-tass.com/world/755205 (diakses 20
Oktober 2014).
Taxpayers for Common Sense (2014) Political Footprint of the Oil and Gas
Industry Lobby. Taxpayers for Common Sense. Tersedia di: http://www.
taxpayer.net/library/article/political-footprint-of-the-oil-and-gas-indu
stry-lobby (diakses 21 Oktober 2014).
United Nations Development Programme (1994) New Dimension of Human
Security. Dalam: Human Development Report. Oxford dan New York:
Oxford University Press, h. 22—46.
United Nations Environment Programme (2014) Environmental Security.
United Nations Environment Programme. Tersedia di: http://www.unep.
org/roe/KeyActivities/EnvironmentalSecurity/tabid/54360/Default.as
px (diakses 20 Oktober 2014).
United States Department of Energy (2006) International Energy Outlook
2006. Dalam: Paul D. Williams (ed.) (2008), Security Studies: An
Introduction. Oxon: Routledge, h. 494.
United States National Energy Policy Development Group (2001) National
Energy Policy. Dalam: Paul D. Williams (ed.) (2008), Security Studies: An
Introduction. Oxon: Routledge, h. 494.
Washington s Blog
Are the Wars in the Middle East and North Africa
Really About Oil? Washington’s Blog. Tersedia di: http://washingtonsbl
og.com/2012/10/the-wars-in-the-middle-east-and-north-africa-are-no
t-just-about-oil-theyre-also-about-gas.html (diakses 21 Oktober 2014).
—— (2014) The REAL Reason for New U.S. and French Military Involvement
in Iraq. Washington’s Blog. Tersedia di: http://washingtonsblog.com/20
14/08/real-reason-obamas-new-military-deployment-iraq.html
(diakses 21 Oktober 2014).
Universitas Padjadjaran © 2014
48
World Bank (2012) Asia Timur dan Pasifik Tetap Menjadi Titik Cerah di
Kondisi Perekonomian Global yang Sulit. World Bank. Tersedia di:
http://www.worldbank.org/in/news/press-release/2012/12/19/eastasia-pacific-remains-bright-spot-difficult-global-landscape (diakses 20
Oktober 2014).
World Shipping Council (2012) Trade Routes. World Shipping Council.
Tersedia di: http://www.worldshipping.org/about-the-industry/glob
al-trade/trade-routes (diakses 21 Oktober 2014).
Zannier, Lamberto (2012 (uman Rights and OSCE s Comprehensive Security
Concept. Dipublikasikan pada Vienna Manual on Human Rights. Vienna:
Organization for Security and Co-operation in Europe.
Universitas Padjadjaran © 2014