Tanggap Darurat Bencana

Seiring dengan pembentukan daerah perumahan besar di DAS Beringin, pada pertengahan 1990-an flash banjir mulai terjadi selama musim therainy. Puncak Beringin DAS banjir terjadi di 9 November 2010. Banjir menyebabkan gangguan lalu lintas Pantura yang berfungsi sebagai jalan nasional. Itu terjadi di jembatan Wonosari, Mangkang. jalur kereta api Semarang-Jakarta juga terendam dan tidak bisa dilalui oleh kereta sampai beberapa hari. Karakteristik banjir di DAS Beringin yang terjadi tiba-tiba dalam waktu singkat (1-2 jam). Karakteristik banjir ini muncul akibat kerusakan penyerapan air (perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan gundul), di bagian hulu sungai, atau munculnya aliran baru sebagai perluasan sungai kuno karena manusia kegiatan. Kelompok masyarakat siaga bencana memiliki peran penting untuk melakukan bencana respon manajemen, langkah ini memastikan masyarakat siap untuk acara yang mungkin terjadi dan mengurangi kerentanan . Keberadaan kelompok masyarakat siap siaga bencana meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana dan memiliki fungsi untuk memobilisasi komunitas yang lebih besar, termasuk ahli waris sumber daya sendiri. Tim pengembangan masyarakat dan KSB membuat skenario evakuasi dan membentuk kelompok masyarakat. Istilah "kelompok masyarakat" adalah KSB di tingkat masyarakat, yang dikelompokkan berdasarkan perjanjian masyarakat, unit administrasi (RT atau RW) unit perumahan, berdasarkan jalur evakuasi atau situs atau kelompok kegiatan sosial (contoh: pengajian kelompok atau pengajian kelompok Muslim). Masyarakat di DAS Beringin pasti membutuhkan solusi untuk masalah banjir. Masyarakat memiliki banyak keterbatasan untuk mengurangi risiko bencana, tapi itu tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki ide yang cerdas untuk memecahkan masalah sendiri sendiri. Masyarakat perlu fasilitator untuk membawa ide-ide bersama-sama untuk mengurangi risiko bencana, maka mereka memiliki kesepakatan bersama dalam bentuk rencana kontingensi masyarakat.

Kertas kerja ini disusun sebagai bahan panduan pelatihan fasilitator Pengurangan Risiko Bencana. Tujuannya adalah agar fasilitator Pengurangan Risiko Bencana dapat membedakan istilah jenis-jenis latihan yang digunakan dalam pelatihan dan latihan untuk membangun kesiapsiagaan penanggulangan bencana. Disadari bahwa dalam konteks latihan dan kesiapsiagaan penanggulangan bencana, peran militer sangat besar baik sebagai pelatih, mentor, maupun sebagai pelaku. Penggunaan strategy, taktik, dan istilah militer untuk tanggap darurat bencana alam juga kerap ditemui dalam pelatihan kesiapsiagan, tanggap darurat dan penanggulangan bencana secara umum. Olehnya, penting bagi fasilitator Pengurangan Risiko Bencana untuk mengetahui definisi dari istilah latihan kesiapsiagaan yang kerap digunakan, baik oleh sipil maupun militer, tatacara pelaksanaannya serta perbedaannya. Diharapkan, dengan memahami definisi dari istilah-istilah latihan kesiapsiagaan yang kerap digunakan dapat mengurangi dan menghilangkan kerancuan serta kebingungan penggunaan istilah tersebut. Pelatihan (training) dan Latihan (exercise) merupakan suatu elemen yang berperan sangat penting dalam meningkatkan upaya kesiapsiagaan secara sistematis. Dalam tahap pelatihan, para pemangku kepentingan yang terkait dari unsur institusi pemerintah, non pemerintah, maupun masyarakat, dibekali dengan berbagai 1 Kertas kerja sebagai bahan panduan pelatihan fasilitator Pengurangan Risiko Bencana.

Indonesia terletak di wilayah cincin api (ring of fire) memiliki konsekuensi pada masyarakat harus selalu waspada dan menjadikan bencana sebagai bagian dari hidup (Darmawan, 2009). Faktanya selama 2 bulan awal tahun 2014 sudah tercatat  korban meninggal dan hilang akibat bencana sebanyak 254 jiwa dalam 424 kejadian bencana (www.dibi.bnpb.go.id).  Pemerintah melalui BNPB dan BPBD bertanggungjawab atas terjadinya bencana dengan penanggulangan resiko bencana. Penyuluhan bencana selama ini hanya terfokus di daerah rawan bencana tinggi. Padahal setiap daerah di Indonesia memiliki kerawanan bencana.

Jumlah korban meninggal atau hilang dan yang mengalami stress atau trauma akibat bencana di kalangan anak-anak semakin meningkat. Pemerintah melalui BNPB membuat Program Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana yang cenderung penanggulangan dari sisi infrastruktur yang memerlukan waktu dan biaya. Pada kurikulum 2013 pendidikan bencana sudah dimasukkan tetapi diselipkan di pelajaran lain. Padahal, pendidikan bencana seharusnya menjadi pelajaran tersendiri.
Berdasarkan kondisi di atas maka diperlukan solusi berupa gagasan Pendidikan Siaga Bencana yang dijadikan pelajaran sebagai muatan lokal nasional di tingkat SD sampai SMA. Penyusunan materi dilakukan oleh lembaga ahli terkait untuk mengumpulkan data dan informasi kebencanaan di setiap daerah. Konsep pendidikannya dilakukan melalui pendekatan budaya masyarakat dan perkembangan peserta didik sehingga pelaksanaannya efektif dan efisien.

Penerapan gagasan dapat direalisikan dengan baik jika memperhatikan langkah-langkah implementasi dan strategis sehingga mampu mencapai tujuan. Pihak-pihak terkait harus bekerja sama dan berpartisipasi aktif sesuai bidangnya dan tahap pelaksanaan yaitu koordinasi awal dan persiapan, penyusunan materi, sosialisasi, pelaksanaan, monitoring, dan pengembangan.

Adanya Pendidikan Siaga Bencana diharapkan membantu program pemerintah dalam penanggulangan bencana jangka panjang sehingga mampu bentuk masyarakat Indonesia tanggap bencana. Konsep ini akan menumbuhkan rasa kepedulian dan kemanusiaan dari peserta didik sehingga terbentuk relawan yang sudah terlatih dan terdidik untuk ikut serta membantu bencana di suatu daerah.