Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Terapi Inhalasi

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 4

ENGLISH SUMMARY

TINJAUAN PUSTAKA

Terapi Inhalasi
Pradjnaparamita
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

VO2.max Difference
between Students
who Regularly Play
Soccer Compared
with Students who
Dont Play Soccer in
Darul Hijrah
Pesantren, South
Kalimantan
Huldani
Dept. of Physiology, Faculty of Medicine,
Lambung Mangkurat University, Banjarbaru,
South Kalimantan, Indonesia

VO2max is a physiological parameter in


standard measurement of cardiorespirative endurance as the most important
component in physical fitness. VO2max
,
is body s ability to take, distribute and
use oxygen maximally.
Soccer can increase cardiorespirative endurance, because soccer consists of 4
important components of physical fitness:
heart endurance and blood circulation,
strength, muscle endurance and elasticity.
A method to measure VO2max is multistage fitness test.
To find out VO2max difference between
student who practice soccer and those
,
who don t, an analytical study was conducted with cross sectional approach.
Sampling technique was purposive, analysed with t test. Every group contained
40 students. The result of research t test
= 6,423 and t table = 2,020 with significance level of 0,05, There is significant
VO2max difference between students
who practice soccer and students who
do not.
Cermin Dunia Kedokt. 2008; 35(7): 394-395

388

PENDAHULUAN
Terapi inhalasi adalah cara pemberian obat dalam bentuk
partikel aerosol melalui saluran napas.
Sasaran terapi inhalasi yang utama adalah saluran napas atas
dan saluran napas bawah. Saluran napas atas dimulai dari
rongga hidung, dengan sinus di sekitarnya, laring dan farings,
proksimal trakea. Saluran napas bawah dimulai dari bronkus,
bronkioli sampai ke alveoli. Target sasaran ini termasuk mukosa
dan ujung reseptor neuron di dalamnya.

Ukuran partikel berkisar antara 100 mikron sampai 0,01 mikron.


Penyebaran partikel obat akan tergantung kepada besaran
mikronnya; partikel dengan ukuran 5-10 mikron akan menempel pada orofaring, 2-5 mikron pada trakeobronkial sedangkan
partikel <1 mikron akan keluar dari saluran napas bersama
proses ekspirasi (Gb.1).
Gb.1. Besar Partikel dan Penetrasinya ke Saluran Napas

Hypothesis from available data

Hypertonic Saline
Bronchial Provocation
Test (BPT)
Bambang Supriyatno,
Nastiti N. Rahajoe
Dept. of Child Health, Faculty of Medicine,
University of Indonesia, Jakarta, Indonesia

Asthma is diagnosed based on history


and supporting examinations. Bronchial
provocation test (BPT) using histamine or
metacholine is the diagnostic standard for
asthma; but since histamine and metacholine are not easily available, another
agent is used as an alternative, such as
hypertonic saline (NaCl 4.5%).
The aim of this study is to measure the
sensitivity and specificity of this agent
compared with histamine.

BPT using histamine and hypertonic saline


(HS) were applied to asthma patients diagnosed according to National Consensus
of Child Asthma. Thirty patients underwent HS BPT and 22 patients underwent
histamine BPT. The age mode was 9 years
old, male : female ratio was 3 : 1; 70%
were classified as infrequent episodic
asthma, 30% were frequent episodic
asthma. no persistent asthma was found.
Atopy history in family were found in 70%
patients, and 66.7% patients have atopy.
Among 30 patients who underwent HS
BPT, 53.3% gave positive results, and
among 22 histamine BPT patients, 68.2%
were positive.
Among infrequent episodic asthma
patients, 42.9% showed positive results
to HS, and 60% to histamine, compared
with 77.8% and 85.7% in the group of
frequent episodic asthma. The sensitivity
and specificity of HS as provocation agent
were 86.7% and 85.7% respectively;
the positive predictive value was 92.9%
and the negative predictive value was 75%.
HS can be used as an alternative to histamine in BPT for diagnosing asthma with
86.7% sensitivity and and 85.7% specificity.
Cermin Dunia Kedokt. 2008; 35(7): 396-400

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Terdapat berbagai macam bentuk obat atau cara pemberian


terapi inhalasi, seperti bentuk aerosol, yang biasanya dikemas
dalam bentuk Inhalasi Dosis Terukur dan biasa disebut Metered
Dose Inhaler [ MDI ], DPI atau Dry Powder Inhalation, yaitu obat
berbentuk bubuk kering yang dikemas dalam satu bentuk obat
jadi atau kapsul yang digunakan dengan alat bantu. Bentuk
lainnya adalah cairan yang dapat berupa solutio atau suspensi,
bentuk ini juga harus digunakan dengan alat bantu nebuliser.
Karena langsung pada target sasaran, dosis yang digunakan
dalam terapi inhalasi sangat kecil, penyerapan sistemik juga
sedikit sehingga efek samping obat jarang terjadi.
Terapi inhalasi pertamakali memang ditujukan untuk target
sasaran di saluran napas, tetapi dalam beberapa penelitian
obat inhalasi mulai digunakan untuk penggunaan sistemik
yang memerlukan dosis kecil dan waktu yang cepat seperti
dalam penggunaan insulin.
MEKANISME KERJA
Obat dalam bentuk partikel aerosol yang dapat dibentuk dari
cairan ( pada nebulizer ) atau partikel aerosol yang dimampatkan dengan gas sebagai zat pembawa ( MDI = Meterred Doze
Inhaler ) atau aerosol yang berasal dari bubuk kering ( Dry
Powder Inhalation = DPI ), akan mencapai sasaran di saluran
napas bersama proses respirasi sesuai dengan ukuran partikel
yang terbentuk dengan mekanisme hukum Brown yaitu
impaksi, sedimentasi dan difusi. Impaksi adalah membentur
dan menempelnya partikel obat pada mukosa bronkus yang
terjadi karena pergerakan udara melalui inspirasi dan ekspirasi,
sedangkan sedimentasi adalah sampainya partikel sampai pada
mukosa bronkus karena mengikuti efek dari gravitasi.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Particle size
(microns)

Regional
deposition

Efficacy

Safety

>5

Mouth /
oesophageal
region

No clinical
effect

Absorption
from GI tract
if swallowed

2-5

Upper / Central
airways

Clinical
effect

Subsequent
absorption
from lung

<2

Peripheral
airways / alveoli

Some local
clinical effect

High
systemic
absorption

Dikutip dari Chrystin, Workshop Aerosol Medicine ERS, 2005

BENTUK OBAT DAN ALAT BANTU


Sebagai obat berbentuk partikel dengan target sasaran di
saluran napas, terapi inhalasi obat dapat berupa:
- Metered Dose Inhaler ( MDI ) atau dapat disebut Inhalasi
Dosis Terukur ( IDT )
- Dry Powder Inhalation ( DPI ), yang dapat berbentuk
Turbuhaler, Handihaler atau Diskus
- Cairan yang dapat berbentuk solutio atau suspensi.
Untuk dapat menjadi partikel, bentuk cairan ini harus
menggunakan alat bantu nebuliser
Metered Dose Inhaler
MDI berbentuk tabung kecil yang digunakan dengan cara disemprotkan. Diperlukan koordinasi antara semprot dan sedot
bagi penggunanya. Sulit dilakukan oleh anak-anak atau lanjut
usia, atau mereka yang mengalami gangguan neurologi. Dapat
digunakan dengan alat bantu berupa nebuhaler atau spacer;
dengan alat bantu ini obat dapat dihirup dengan lebih perlahan,
sehingga lebih disukai pasien PPOK lanjut usia. Pada pasien yang
menggunakan ventilasi mekanik dapat digunakan dengan konektor
pada pipa inspirasi ( tergantung dengan jenis/merk ventilator ).

389

TINJAUAN PUSTAKA
Dalam keadaan tidak sesak napas berat MDI disemprotkan bersamaan dengan inspirasi dalam, sangat diperlukan koordinasi
yang baik antara gerakan menyemprotkan obat dan inspirasi
yang dalam.
Dry Powder Inhalation
DPI dapat lebih mudah digunakan, karena tidak memerlukan
koordinasi yang cepat antara semprot dan sedot. Tetapi pengguna obat jenis ini memerlukan kekuatan otot pipi, sehingga
sulit pada pasien geriatri karena kekuatan otot pipinya sudah
berkurang.
Nebuliser
Nebuliser terdiri dari beberapa bagian yang terpisah, antara lain
generator aerosol, nebuliser, tempat obat cair dan alat hisapnya
yang dapat berupa masker, mouthpiece atau kanul ( kanul
hidung, kanul trakeostomi )
Generator aerosol adalah sumber tenaga yang diberikan
kepada nebuliser sehingga dapat mengubah cairan menjadi
aerosol atau partikel halus (Gb.2). Beberapa macam dasar cara
kerja adalah kompresor, ultrasound atau oksigen. Mekanisme
kerja nebuliser sampai saat ini selalu berkembang, secara
teknologi disesuaikan dengan kebutuhan penggunaan obat,
seperti misalnya untuk obat hipertensi pulmoner, atau insulin,
dibuat secara khusus hanya untuk obat tersebut.
Di samping itu harus diperhatikan pula mengenai kontinuitas
kerja alat nebuliser, karena ada yang menggunakan tombol
pengatur keluarnya aerosol, atau tanpa tombol pengatur sehingga
aerosol keluar terus menerus. Pada tipe kontinu banyak dosis
obat dapat terbuang, sedangkan yang menggunakan tombol
pengatur produksi aerosol dapat disesuaikan dengan pola napas
pemakai. Ada pula tipe nebuliser dengan klep di mouthpiecenya yang akan secara otomatis tertutup bila pemakai tidak
menarik napas, penggunaan obat juga menjadi efektif.
nebulised aerosol size is unstable in entrained ambient
air and rapidly loses water vapour, decreasing size
entrained
ambient air
e.g. 15-7=8 L/min

Gb.2.

patient inhalation
e.g. 15 L/min

compressed air
e.g. 7 L/min

Dikutip dari Dennis, JC, Workshop Aerosol Medicine, ERS 2005

390

Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar nebuliser dapat


memberikan hasil yang maksimal :
- kekuatan kompresor 6-8 l/menit
- volume obat 2-5 ml
- partikel yang dihasilkan sebagian besar 2-5 mikron
- persentase partikel yang optimal > 50 %
- kekuatan inspirasi ( bila menggunakan ventilator harus
disesuaikan )
- lama pemberian 5-10 menit
Macam Alat Bantu Nebuliser
Masker
Digunakan pada pasien dengan kesadaran menurun. Tidak
memerlukan koordinasi inspirasi atau ekspirasi dari pasien.
Hati hati pada penggunaan kortikosteroid atau antikolinergik.
Mouthpiece
Obat yang terhirup akan lebih efektif. Diperlukan koordinasi
inspirasi dan ekspirasi yang baik. Berikan sambungan konektor di sisi ekspirasi untuk mengurangi obat yang terbuang
melalui ekspirasi. Mouthpiece terbaru menggunakan klep
untuk mengurangi obat yang terbawa keluar saat ekspirasi.
Konektor ventilator
Beberapa konektor telah mempunyai saluran langsung; bila
tidak ada, dapat digunakan T konektor pada pipa inspirasi.
Pada trakeostomi diperlukan konektor khusus; dapat juga
dengan T konektor biasa.
PEMAKAIAN TERAPI INHALASI DALAM KLINIK
Dalam penanganan masalah respirasi, terapi inhalasi dapat
berfungsi sebagai :
- diagnostik
- terapi.
Sebagai alat diagnostik inhalasi digunakan pada :
- uji bronkodilator dengan beta2 agonis
- uji provokasi bronkus dengan metakolin
- induksi sputum dengan NaCl 3 %.
Jika digunakan untuk pengobatan perlu diperhatikan be berapa
hal agar tercapai sasaran, terhindar dari efek samping dan
nyaman bagi pasien, misalnya :
- tujuan pengobatan
- problem atau simptom respirasi yang menonjol
- kesadaran pasien
- diagnosis kerja saat itu
- lama penggunaan, jangka pendek atau jangka panjang
- bentuk obat dan alat bantu yang digunakan
- jenis obat
- tempat kerja, ruang gawat darurat, ICU dengan mesin
bantu napas, ruang rawat atau di rumah.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

TINJAUAN PUSTAKA
Penggunaan terapi inhalasi dalam masalah respirasi biasanya
ditujukan untuk :
- bronkodilatasi
- mukolitik
- antiinflamasi mukosa bronkus
- antibiotik mukosa bronkus dan alveolus
- anastesi lokal bronkus untuk tindakan bronkoskopi.
Kesadaran pasien
Kesadaraan pasien sangat penting untuk mendapatkan hasil
terapi yang maksimal; misal menggunakan masker; sedangkan
pada penderita yang kompos mentis dan kooperatif penggunaan mouthpiece akan lebih efektif. Pada penggunaan nebuliser yang diskontinu, pengaturan pemasukan obat dapat
disesuaikan dengan waktu inspirasi pasien.
Diagnosis kerja
Diagnosis problem respirasi yang dapat menggunakan terapi
inhalasi.
- Asma
- PPOK
- Bronkiektasis
- Fibrosis kistik
- Gagal jantung dengan hipereaktif bronkus
- Stroke dengan retensi sputum
- Pneumoni aspirasi
- Infeksi Pneumocystis carinii
- Hipertensi pulmoner
Saat penggunaan
Dalam keadaan akut :
- Asma serangan akut
- PPOK eksaserbasi
- Gagal jantung dengan hiperaktifitas bronkus
Pada penatalaksanaan jangka panjang :
- Asma persisten sedang sampai berat
- PPOK stabil
- Bronkiektasis
- Fibrosis kistik
- Pencegahan infeksi Pneumocystis carinii
Bentuk obat dan alat bantu
Pemilihan bentuk obat dan alat bantu (MDI, DPI atau nebuliser)
harus disesuaikan dengan kemampuan koordinasi gerakan
pasien. Penggunaan di ruang gawat darurat lebih mudah
dengan nebuliser. Dalam penggunaan jangka panjang bentuk
MDI atau DPI lebih mudah. Nebuliser jet dapat digunakan untuk
suspensi maupun solutio. Nebuliser ultrasound hanya dapat
digunakan untuk solutio.

392

Masker untuk wajah (facemask) sebaiknya tidak digunakan


untuk kortikosteroid atau antikolinergik untuk mencegah efek
samping akibat partikel obat yang tertinggal di kulit sekitar
muka/wajah atau daerah mata.
Jenis obat
Obat akan selalu disesuaikan dengan diagnosis atau kelainan
saat itu. Kortikosteroid digunakan sebagai anti inflamasi bukan
bronkodilator jadi tidak digunakan pada keadaan akut. Sebaliknya
beta2agonis merupakan bronkodilator yang digunakan pada
keadaan akut; jika bronkodilatasi sudah tercapai, fungsinya
dapat saja berkurang sehingga dapat timbul efek samping
seperti tremor atau berdebar.
Tidak setiap obat berbentuk solutio dapat digunakan untuk
terapi inhalasi. Farmasi membuat khusus solutio untuk terapi
inhalasi, antara lain beta2agonis, kortikosteroid tertentu, NaCl,
antibiotik tertentu. Penggunaan obat secara kombinasi tidak dianjurkan kecuali diketahui tidak timbul reaksi antar obat tersebut.
Obat obatan yang telah tersedia dalam kemasan terapi inhalasi
antara lain :
- beta2agonis misal salbutamol, terbutalin, fenoterol,
formoterol, salmeterol
- antikolinergik misal ipratroprium bromide, tiotropium
- kortikosteroid misal budesonide, fluticasone
- antibiotik misal tobramycin
- prostacyclin
Tempat perawatan
Bila ditinjau dari tempat terapi inhalasi digunakan, dapat dibedakan :
- terapi inhalasi di ruang gawat darurat
- terapi inhalasi di ICU
- terapi inhalasi di ruang rawat
- terapi inhalasi di rumah atau perorangan.
Ruangan terapi inhalasi dilaksanakan dapat menggambarkan
tujuan terapi dan kondisi penderita, obat dan alat yang digunakan.
Ruang Gawat Darurat
Di ruang gawat darurat masalah respirasi yang sering ditemui
adalah obstruksi bronkus sedang sampai berat. Obstruksi berat
kadang kadang disertai dengan kesadaran menurun atau hipoksemi berat. Pada kondisi seperti ini keadaan mengancam jiwa
adalah masalah utama, tindakan yang pertama dilaksanakan
adalah membebaskan jalan napas dan oksigenasi. Nebuliser dengan
bronkodilator, pemberian oksigen dan perbaikan posisi saluran
napas penderita harus segera dilakukan.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

T I N J A UA N PUST A K A
Pemberian dapat membantu melepaskan sputum yang mukoid.
Penambahan antikolinergik dapat meningkatkan efek bronkodilatasi. Kortikosteroid atau antibiotik inhalasi tidak berfungsi
dalam kondisi seperti ini. Pemilihan alat bantu inhalasi sangat
penting, bila kesadaran masih baik pemilihan bentuk mouthpiece akan memberikan efek yang lebih maksimal, bila kesadaran
menurun dapat digunakan masker oro-nasal.
Ruang ICU
Di sini biasanya pasien dalam mesin bantu napas. Pasien dengan
sputum produktif dan mukoid dapat diberi inhalasi mukolitik,
sebaiknya ditambahkan bronkodilator untuk mencegah bronkospasme. Dosis bronkodilator lebih kecil dari dosis untuk bronkodilatasi. Penggunaan steroid inhalasi diberikan untuk menunjang
steroid sistemik pada kasus inflamasi saluran napas cukup nyata
dan memerlukan terapi steroid jangka panjang, misalnya pada
serangan asma berat atau PPOK eksaserbasi akut yang mempunyai
respons positif dengan kortikosteroid.
Antibiotik inhalasi hanya bermanfaat bila infeksi mukosa bronkus
dapat terbukti, ( biasanya pada penggunaan mesin bantu napas
yang sudah beberapa waktu). Penggunaan antibiotik untuk
pencegahan/prevensi infeksi tidak direkomendasi karena dapat
menyebabkan resistensi kuman. Inhalasi pulmonary vasodilator
jangka pendek, misalnya prostacycline atau nitric oxide dapat
menurunkan hipertensi pulmoner dan meningkatkan oksigenasi pada ARDS. Pemilihan alat nebuliser disesuaikan dengan
tipe mesin bantu napas yang digunakan, tidak setiap tipe mesin
bantu napas dapat digunakan untuk terapi inhalasi, bila dimodifikasi harus tetap diperhatikan mekanisme inhalasi yang terjadi,
apakah dapat berefek maksimal.

Obat berbentuk solutio tidak dapat dicampur dengan suspensi


karena berat molekul yang berbeda tidak akan terdispersi
menjadi partikel dengan maksimal. Sebagai pengencer sebaiknya
digunakan NaCl karena bersifat fisiologis.
EFEK SAMPING
- Palpitasi, karena kelebihan dosis [ bronkodilator beta2agonis ]
- Retensi CO2, bila menggunakan oksigen sebagai sumber
tenaga nebuliser pada terapi inhalasi pasien PPOK dalam
waktu yang lama
- Depresi SSP bila menggunakan morfin
- Bronkospasme pada beberapa obat
- Glaukoma, pada penggunaan antikolinergik dengan masker
- Mikosis kulit wajah bila menggunakan steroid inhalasi
dengan masker
- Kontaminasi mikroorganisme bila desinfeksi kurang
- Kerusakan partikel obat bila menggunakan jenis nebuliser
yang tidak sesuai
- Batuk bertambah karena iritasi laring bila terdapat laringitis
atau faringitis

DAFTAR PUSTAKA
1. ERS Workshop Medical Aerosol. Budapest 2005
2. ERS guideline on the use of nebulizer. Eur Respir J 2001;18:228-242
3. Device Selection and Outcome of Aerosol Therapy: Evidence Based
Guidelines: American College of Chest Physicians/American College of
Asthma, Allergy and Immunology. Chest 2005; 127;335-371

Ruang rawat
Di ruang rawat penggunaan terapi inhalasi berdasarkan berbagai tujuan baik sebagai alat bantu diagnostik ataupun terapi.
Diagnostik inhalasi dengan NaCl pekat dilakukan untuk induksi
sputum sebagai salah satu cara pengumpulaan sputum untuk
bahan pemeriksaan. Uji bronkodilator dilakukan untuk melihat
kecukupan dosis bronkodilator. Pada umumnya terapi inhalasi
di ruang rawat banyak dimanfaatkan untuk obstruksi saluran
napas, bronkokonstriksi cepat teratasi dengan pemberian inhalasi
yang adekuat, dosis maupun kekerapan pemberian.
PEMILIHAN OBAT
Obat yang digunakan dalan terapi inhalasi nebuliser berbentuk
solutio, suspensi atau obat khusus yang memang dibuat untuk
terapi inhalasi, seperti bronkodilator atau kortikosteroid.
Kombinasi obat dalam terapi inhalasi sebaiknya dilakukan
secara rasional.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

393

TINJAUAN PUSTAKA
Penggunaan terapi inhalasi dalam masalah respirasi biasanya
ditujukan untuk :
- bronkodilatasi
- mukolitik
- antiinflamasi mukosa bronkus
- antibiotik mukosa bronkus dan alveolus
- anastesi lokal bronkus untuk tindakan bronkoskopi.
Kesadaran pasien
Kesadaraan pasien sangat penting untuk mendapatkan hasil
terapi yang maksimal; misal menggunakan masker; sedangkan
pada penderita yang kompos mentis dan kooperatif penggunaan mouthpiece akan lebih efektif. Pada penggunaan nebuliser yang diskontinu, pengaturan pemasukan obat dapat
disesuaikan dengan waktu inspirasi pasien.
Diagnosis kerja
Diagnosis problem respirasi yang dapat menggunakan terapi
inhalasi.
- Asma
- PPOK
- Bronkiektasis
- Fibrosis kistik
- Gagal jantung dengan hipereaktif bronkus
- Stroke dengan retensi sputum
- Pneumoni aspirasi
- Infeksi Pneumocystis carinii
- Hipertensi pulmoner
Saat penggunaan
Dalam keadaan akut :
- Asma serangan akut
- PPOK eksaserbasi
- Gagal jantung dengan hiperaktifitas bronkus
Pada penatalaksanaan jangka panjang :
- Asma persisten sedang sampai berat
- PPOK stabil
- Bronkiektasis
- Fibrosis kistik
- Pencegahan infeksi Pneumocystis carinii
Bentuk obat dan alat bantu
Pemilihan bentuk obat dan alat bantu (MDI, DPI atau nebuliser)
harus disesuaikan dengan kemampuan koordinasi gerakan
pasien. Penggunaan di ruang gawat darurat lebih mudah
dengan nebuliser. Dalam penggunaan jangka panjang bentuk
MDI atau DPI lebih mudah. Nebuliser jet dapat digunakan untuk
suspensi maupun solutio. Nebuliser ultrasound hanya dapat
digunakan untuk solutio.

392

Masker untuk wajah (facemask) sebaiknya tidak digunakan


untuk kortikosteroid atau antikolinergik untuk mencegah efek
samping akibat partikel obat yang tertinggal di kulit sekitar
muka/wajah atau daerah mata.
Jenis obat
Obat akan selalu disesuaikan dengan diagnosis atau kelainan
saat itu. Kortikosteroid digunakan sebagai anti inflamasi bukan
bronkodilator jadi tidak digunakan pada keadaan akut. Sebaliknya
beta2agonis merupakan bronkodilator yang digunakan pada
keadaan akut; jika bronkodilatasi sudah tercapai, fungsinya
dapat saja berkurang sehingga dapat timbul efek samping
seperti tremor atau berdebar.
Tidak setiap obat berbentuk solutio dapat digunakan untuk
terapi inhalasi. Farmasi membuat khusus solutio untuk terapi
inhalasi, antara lain beta2agonis, kortikosteroid tertentu, NaCl,
antibiotik tertentu. Penggunaan obat secara kombinasi tidak dianjurkan kecuali diketahui tidak timbul reaksi antar obat tersebut.
Obat obatan yang telah tersedia dalam kemasan terapi inhalasi
antara lain :
- beta2agonis misal salbutamol, terbutalin, fenoterol,
formoterol, salmeterol
- antikolinergik misal ipratroprium bromide, tiotropium
- kortikosteroid misal budesonide, fluticasone
- antibiotik misal tobramycin
- prostacyclin
Tempat perawatan
Bila ditinjau dari tempat terapi inhalasi digunakan, dapat dibedakan :
- terapi inhalasi di ruang gawat darurat
- terapi inhalasi di ICU
- terapi inhalasi di ruang rawat
- terapi inhalasi di rumah atau perorangan.
Ruangan terapi inhalasi dilaksanakan dapat menggambarkan
tujuan terapi dan kondisi penderita, obat dan alat yang digunakan.
Ruang Gawat Darurat
Di ruang gawat darurat masalah respirasi yang sering ditemui
adalah obstruksi bronkus sedang sampai berat. Obstruksi berat
kadang kadang disertai dengan kesadaran menurun atau hipoksemi berat. Pada kondisi seperti ini keadaan mengancam jiwa
adalah masalah utama, tindakan yang pertama dilaksanakan
adalah membebaskan jalan napas dan oksigenasi. Nebuliser dengan
bronkodilator, pemberian oksigen dan perbaikan posisi saluran
napas penderita harus segera dilakukan.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

T I N J A UA N PUST A K A
Pemberian dapat membantu melepaskan sputum yang mukoid.
Penambahan antikolinergik dapat meningkatkan efek bronkodilatasi. Kortikosteroid atau antibiotik inhalasi tidak berfungsi
dalam kondisi seperti ini. Pemilihan alat bantu inhalasi sangat
penting, bila kesadaran masih baik pemilihan bentuk mouthpiece akan memberikan efek yang lebih maksimal, bila kesadaran
menurun dapat digunakan masker oro-nasal.
Ruang ICU
Di sini biasanya pasien dalam mesin bantu napas. Pasien dengan
sputum produktif dan mukoid dapat diberi inhalasi mukolitik,
sebaiknya ditambahkan bronkodilator untuk mencegah bronkospasme. Dosis bronkodilator lebih kecil dari dosis untuk bronkodilatasi. Penggunaan steroid inhalasi diberikan untuk menunjang
steroid sistemik pada kasus inflamasi saluran napas cukup nyata
dan memerlukan terapi steroid jangka panjang, misalnya pada
serangan asma berat atau PPOK eksaserbasi akut yang mempunyai
respons positif dengan kortikosteroid.
Antibiotik inhalasi hanya bermanfaat bila infeksi mukosa bronkus
dapat terbukti, ( biasanya pada penggunaan mesin bantu napas
yang sudah beberapa waktu). Penggunaan antibiotik untuk
pencegahan/prevensi infeksi tidak direkomendasi karena dapat
menyebabkan resistensi kuman. Inhalasi pulmonary vasodilator
jangka pendek, misalnya prostacycline atau nitric oxide dapat
menurunkan hipertensi pulmoner dan meningkatkan oksigenasi pada ARDS. Pemilihan alat nebuliser disesuaikan dengan
tipe mesin bantu napas yang digunakan, tidak setiap tipe mesin
bantu napas dapat digunakan untuk terapi inhalasi, bila dimodifikasi harus tetap diperhatikan mekanisme inhalasi yang terjadi,
apakah dapat berefek maksimal.

Obat berbentuk solutio tidak dapat dicampur dengan suspensi


karena berat molekul yang berbeda tidak akan terdispersi
menjadi partikel dengan maksimal. Sebagai pengencer sebaiknya
digunakan NaCl karena bersifat fisiologis.
EFEK SAMPING
- Palpitasi, karena kelebihan dosis [ bronkodilator beta2agonis ]
- Retensi CO2, bila menggunakan oksigen sebagai sumber
tenaga nebuliser pada terapi inhalasi pasien PPOK dalam
waktu yang lama
- Depresi SSP bila menggunakan morfin
- Bronkospasme pada beberapa obat
- Glaukoma, pada penggunaan antikolinergik dengan masker
- Mikosis kulit wajah bila menggunakan steroid inhalasi
dengan masker
- Kontaminasi mikroorganisme bila desinfeksi kurang
- Kerusakan partikel obat bila menggunakan jenis nebuliser
yang tidak sesuai
- Batuk bertambah karena iritasi laring bila terdapat laringitis
atau faringitis

DAFTAR PUSTAKA
1. ERS Workshop Medical Aerosol. Budapest 2005
2. ERS guideline on the use of nebulizer. Eur Respir J 2001;18:228-242
3. Device Selection and Outcome of Aerosol Therapy: Evidence Based
Guidelines: American College of Chest Physicians/American College of
Asthma, Allergy and Immunology. Chest 2005; 127;335-371

Ruang rawat
Di ruang rawat penggunaan terapi inhalasi berdasarkan berbagai tujuan baik sebagai alat bantu diagnostik ataupun terapi.
Diagnostik inhalasi dengan NaCl pekat dilakukan untuk induksi
sputum sebagai salah satu cara pengumpulaan sputum untuk
bahan pemeriksaan. Uji bronkodilator dilakukan untuk melihat
kecukupan dosis bronkodilator. Pada umumnya terapi inhalasi
di ruang rawat banyak dimanfaatkan untuk obstruksi saluran
napas, bronkokonstriksi cepat teratasi dengan pemberian inhalasi
yang adekuat, dosis maupun kekerapan pemberian.
PEMILIHAN OBAT
Obat yang digunakan dalan terapi inhalasi nebuliser berbentuk
solutio, suspensi atau obat khusus yang memang dibuat untuk
terapi inhalasi, seperti bronkodilator atau kortikosteroid.
Kombinasi obat dalam terapi inhalasi sebaiknya dilakukan
secara rasional.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

393

You might also like