Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Pengaruh Suhu Dan Lama Curing Terhadap Kandungan Senyawa Bioaktif Ekstrak Etanol Bunga Kecombrang (Nicolaia Speciosa Horan)

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

PENGARUH SUHU DAN LAMA CURING TERHADAP KANDUNGAN SENYAWA

BIOAKTIF EKSTRAK ETANOL BUNGA KECOMBRANG (Nicolaia speciosa Horan)


Panji Hasbi Muhamad1, Luh Putu Wrasiati2, A. A. M. Dewi Anggreni 2.
E-mail: panjihasby33@yahoo.com
ABSTRACT
This research were aimed to 1) investigate the effect of curing temperature and curing
time to bioactive compounds of kecombrang flower extract 2) to determine an appropriate
curing temperature and curing time that was able to produce the higest bioactive compounds
of kecombrang flower extract. Solvent used for the extraction was ethanol.
This experiment used randomized block design with 2 factors. The first factor was the
curing temperature consists of 2 levels namely 30 2 oC and 40 2 oC. The second factor was
curing time consists of 4 levels namely 3 hours, 6 hours, 9 hours and 12 hours. The objective
data analyzed using ANOVA followed by Duncan test and subjective data analyzed with the
Friedman test. This research conducted twice to obtain 16 units experiment.
The results showed that curing temperature and curing time had high significantly effect
on rendement, tannin, anthocyanin of kecombrang flower extract while the interaction was not
significant. Curing temperature, curing time and its interaction had high significantly effect on
pH. The curing treatment at 40 2 oC for 3 hours had the highest characteristic extract of
kecombrang flower at 3.51% rendement, 4.68 pH, 0.81% tannin, 2.06 mg/L anthocyanin, 5.1
score of hedonic (between rather like to like) and 7.10 flavor strength.

Keywords: bioactive compounds, curing, kecombrang flower, Nicolaia speciosa Horan


PENDAHULUAN

Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) merupakan salah satu jenis tanaman rempah yang
tersebar cukup luas di Indonesia. Tanaman ini banyak dimanfaatkan sebagai obat-obatan dan
penyedap masakan, selain itu berkhasiat sebagai penghilang bau badan dan bau mulut (Hidayat
dan Hutapea 1991). Menurut Chan et al. (2007) bunga dari tanaman ini bisa digunakan sebagai
bahan kosmetik alami dimana bunganya dipakai untuk campuran cairan pencuci rambut dan
daun serta rimpang dipakai untuk bahan campuran bedak oleh penduduk lokal di Malaysia.
Selanjutnya bunga dari tanaman ini biasa dijadikan sebagai tanaman hias karena keindahan
warna dan wanginya yang khas. Bunga kecombrang biasa digunakan dalam keadaan segar,
tetapi sering pula dimasak, ditumis, ataupun dipanaskan, seperti pada proses pengolahan ikan
(pepes ikan, ikan bakar dan ikan goreng). Citarasa produk ikan menjadi lebih baik dan aroma
amis berkurang.

1 Mahasiswa Jurusan Teknologi Industri Peratnian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana

2 Dosen Jurusan Teknologi Industri Peratnian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana

92
93

Menurut Tampubolon et al. (1983), senyawa yang terdapat dalam bunga kecombrang yaitu
alkaloid, flavonoid, polifenol, terpenoid, steroid, saponin, dan minyak atsiri. Chan et al. (2007)
menyatakan bahwa ekstrak etanol dan metanol bunga, daun dan rimpang kecombrang
mempunyai aktivitas antioksidan. Istianto (2008), mengemukakan bahwa dari bagian-bagian
tanaman kecombrang, ternyata bagian bunga mempunyai aktivitas antibakteri tertinggi
terhadap E. coli dan B. cereus dibandingkan bagian batang dalam, daun, dan rimpang
kecombrang. Menurut Jaffar et al. (2007) pada daun, batang, bunga, dan rimpang tanaman
kecombrang menunjukkan adanya beberapa jenis minyak esensial yang kemungkinan bersifat
bioaktif. Bunga kecombrang antara lain mengandung minyak atsiri 0,4 persen, serta tanin
sebesar 1 persen (Naufalin dan Rukmini, 2010).
Istilah curing digunakan untuk menyatakan perlakuan terhadap bahan antara pemanenan
sampai pengolahan, berhubungan dengan proses metabolisme bahan tanaman yang masih
hidup. Curing juga tercakup dalam proses penundaan, penyimpanan dan pengeringan bahan
yang seringkali dilakukan pada pengolahan minyak atsiri karena terbatasnya kapasitas proses
pengolahan. Proses oksidasi merupakan dasar curing, yang menyebabkan perubahan fisik dan
kimia pada bahan, seperti tembakau dan vanili, yang berdampak pada citarasa karena selama
proses tersebut terjadi reaksi enzimatik (Abdullah dan Soedarmanto, 1986; Man dan Jones,
1995 didalam Wartini et al. 2007). Terdapat beberapa faktor yang dapat mengakibatkan
terjadinya oksidasi kimia senyawa aktif diantaranya adalah waktu, suhu, kelembapan udara di
sekitarnya, kelembapan bahan atau kandungan air dari bahan, ketebalan bahan yang
dikeringkan, sirkulasi udara, dan luas permukaan bahan.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya oksidasi kimia senyawa
aktif diantaranya adalah waktu, suhu, kelembapan udara di sekitarnya, kelembapan bahan atau
kandungan air dari bahan, ketebalan bahan yang dikeringkan, sirkulasi udara, dan luas
permukaan bahan. Pemilihan proses curing yang tepat akan menghasilkan simplisia dengan
kualitas yang baik dan mempunyai kandungan bahan aktif, warna, serta metabolit sekunder
yang tinggi. Pada curing tembakau berlangsung aktivitas enzim malat dehidrogenase, polifenol
oksidase, diaphorase, asam glikolat oksidase dan glutamat dehidrogenase. Perubahan-
perubahan yang terjadi pada proses curing tembakau yaitu penurunan kadar air, pemecahan
protein, penurunan kadar pati dan perubahan komposisi asam organik (Abubakar et al. 2003).
Pada proses curing vanili perubahan aroma dan komposisi kimia disebabkan terjadinya reaksi
hidrolisis, oksidasi, eterifikasi atau esterifikasi (Ranadive, 1994). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Hernani dan Rahmawati (2009) daun tempuyung yang dikeringkan dengan oven,
produk berwarna lebih hijau dibandingkan dengan penjemuran matahari karena suhu oven
94

bersifat lebih stabil dibandingkan dengan suhu sinar matahari yang sangat bervariasi (35-47oC).
Kadar flavonoid yang tertinggi dihasilkan dari lama pelayuan 1 hari dengan pengeringan oven
suhu 40oC. Hernani et al. (1997) menyatakan bahwa pada proses curing terhadap daun
tempuyung ternyata cara pengeringan dan lama pelayuan akan berpengaruh terhadap kadar
flavonoidnya.
Perlakuan curing pada bunga kecombrang untuk mengetahui perubahan senyawa bioaktif,
dan sifat sensoris aromanya belum pernah diteliti. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian
yang mendalam mengenai pengaruh suhu dan lama curing terhadap hal-hal tersebut pada
ekstrak etanol bunga kecombrang (Nicolaia spesiosa Horan). Tujuan penelitian (1) untuk
mengetahui pengaruh suhu dan lama curing terhadap kandungan senyawa bioaktif ekstrak
etanol bunga kecombrang, (2) untuk menentukan suhu dan lama curing yang tepat untuk
mendapatkan kandungan senyawa bioaktif bunga kecombrang tertinggi.

METODE PENELITIAN

Tempat dan waktu penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Pangan, Laboratorium Biokimia dan
Nutrisi, Laboratorium Pengolahan Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana
pada bulan Mei Juli 2015.

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan adalah oven pengering (Ecocell), rotary evaporator (Janke & Kunkel
RV 06-ML), erlenmeyer (Pyrex), pipet mikro, spektrofotometer (UV-Vis), vortex, kuvet,
kertas saring biasa, thermometer ruangan, kertas Whatman no.1, alumunium foil, pisau
stainlessteel, timbangan analitik (Metler Toledo AB-204), pH meter, batang pengaduk, tabung
reaksi, gelas ukur, gelas beker dan kertas label.
Bahan yang dipergunakan adalah bunga kecombrang yang diperoleh dari daerah Apuan,
Tabanan dengan cara memesan ke pedagang bunga (Florist Sharon) di Jalan Kartini Denpasar..
Kriteria bunga kecombrang yang digunakan yaitu bunga kecombrang dengan umur panen
optimal (3 bulan), warna merah segar dan mekar sempurna. Bahan kimia yang digunakan yaitu
etanol pa, etanol teknis 96%, asam tanat, metanol pa, aquadest, Folin Denis, HCl, NaOH,
Na2CO3 dan KCl.

Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola
faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah suhu curing yang terdiri dari 2 taraf yaitu: S1
95

= 30 2 oC; S2 = 40 2 oC. Faktor kedua adalah lama curing yang terdiri dari 4 taraf yaitu: C1
= 3 jam; C2 = 6 jam; C3 = 9 jam; C4 = 12 jam.
Dari 2 faktor di atas diperoleh 8 kombinasi perlakuan. Percobaan dikelompokkan menjadi
2 kelompok berdasarkan waktu pelaksanaan sehingga diperoleh 16 unit percobaan. Data yang
diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan apabila terdapat pengaruh perlakuan terhadap
parameter objektif yang diamati, maka akan dilakukan dengan uji Duncan sedangkan data
subyektif dianalisis dengan Friedmen test. Pemilihan perlakuan terbaik ditentukan dengan
metode multiple attribute berdasarkan hasil analisa tertinggi dari parameter yang diamati yaitu
rendemen, kadar tanin, antosianin, uji kesukaan dan uji kekuatan aroma.

Pelaksanaan penelitian
Bunga kecombrang segar disiapkan lalu disortir dan diambil 10-12 helaian terluar dari
bunga kecombrang. Bahan hasil sortir dicuci dengan air mengalir kemudian ditiriskan
selanjutnya disiapkan 100 g bunga kecombrang lalu dilakukan curing sesuai dengan perlakuan.
Proses curing dilakukan pada suhu curing 30 2 oC yang dilakukan di ruangan tertutup dengan
cara diangin-anginkan selama 3, 6, 9 dan 12 jam dan pada suhu curing 40 2 oC yang dilakukan
di dalam oven selama 3, 6, 9 dan 12 jam. Bunga kecombrang yang telah dicuring kemudian
diiris 1 cm untuk memperluas permukaan bahan pada saat diekstrak.
Pembuatan ekstrak bunga kecombrang dilakukan secara maserasi. Mula-mula menimbang
bunga kecombrang yang telah diberikan perlakuan suhu dan lama curing sebanyak 20 g,
kemudian ditambahkan dengan pelarut etanol teknis 96% dengan perbandingan bahan dan
etanol 1:10. Proses maserasi dilakukan selama 24 jam pada suhu 302 oC. Selama proses
maserasi, campuran diaduk setiap 6 jam, kemudian disaring dengan dua kali penyaringan.
Penyaringan pertama menggunakan kain saring kasar untuk menyaring ampas yang berukuran
besar, penyaringan kedua menggunakan kertas saring Whatman no. 1 untuk menyaring ampas
yang berukuran kecil dan lebih halus sehingga didapatkan ekstrak bunga kecombrang yang
masih tercampur dengan pelarut. Ampas yang didapat dibilas kembali menggunakan etanol
teknis 96% dengan perbandingan 1:5, kemudian filtrat yang dihasilkan dievaporasi pada suhu
50oC dengan tekanan 100 mBar untuk menguapkan pelarut yang terdapat dalam ekstrak
sehingga dihasilkan ekstrak murni. Proses evaporasi dihentikan hingga pelarut berhenti
menetes. Ekstrak kental yang diperoleh kemudian ditambahkan etanol pa sampai volume 15
ml lalu dimasukkan dalam botol gelas gelap dan disimpan di ruang dingin sebelum dianalisis.
96

Variabel yang diamati


Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah rendemen (AOAC.,1990), pH
(AOAC,1975), tanin (Ranggana, 1979), antosianin (Giusti dan Wrolstad, 2001), uji kesukaan
aroma (penilaian dilakukan dengan skor yaitu 1 : sangat tidak suka, 2 : tidak suka, 3 : agak
tidak suka, 4 : netral, 5 : agak suka, 6 : suka, 7 : sangat suka) (Meilgaard et al. 1999) dan uji
kekuatan aroma (penilaian dilakukan dengan memberi nomor urut ke-1 untuk sampel yang
paling lemah aromanya, kemudian yang lebih kuat dan seterusnya diberi nomor urut hingga
urutan terakhir yaitu 8) (Meilgaard et al. 1999).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan lama curing berpengaruh
sangat nyata (P<0,01), sedangkan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap
rendemen ekstrak etanol bunga kecombrang. Nilai rata-rata rendemen ekstrak etanol bunga
kecombrang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai rata-rata rendemen (%) ekstrak etanol bunga kecombrang pada perlakuan suhu
dan lama curing.
Lama curing (jam)
Suhu Rata-rata
3 6 9 12
30 2 oC 3,13 2,96 2,92 2,73 2,94 b
40 2 oC 3,51 3,22 3,14 3,07 3,23 a
Rata-rata 3,32 a 3,09 b 3,03 c 2,90 d
Keterangan : huruf berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata (P<0,01).
Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai rata-rata rendemen ekstrak etanol bunga kecombrang
berkisar anatara 3,51% sampai dengan 2,73%. Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa rendemen
semakin menurun selama proses curing. Penurunan ini disebabkan karena terjadinya
penguapan air dan senyawa yang mudah menguap selama proses curing. Menurut
Kusumaningrum et al.(2013), pelayuan yang dilakukan terhadap bunga lotus menunjukkan
bahwa nilai rendemen dengan kombinasi lama pelayuan 10 jam memiliki rendemen yang lebih
rendah dibandingkan lama pelayuan 8 jam. Dengan adanya perlakuan lama curing tersebut,
maka akan terjadi pengurangan kadar air dan senyawa-senyawa lain yang hilang pada bunga
kecombrang, sehingga diduga berakibat pada tinggi dan rendahnya rendemen ekstrak etanol
bunga kecombrang.
Nilai rata-rata rendemen yang dihasilkan terhadap pengaruh suhu menunjukkan bahwa
penggunaan suhu curing 40 2 oC menghasilkan rendemen ekstrak etanol bunga kecombrang
yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu 30 2 oC. Meningkatnya rendemen kemungkinan
97

disebabkan oleh senyawa-senyawa yang terkandung dalam bunga kecombrang pada suhu yang
lebih tinggi (402 oC) lebih mudah keluar dari bahan pada saat ekstraksi karena dinding-
dinding sel pada bunga kecombrang akan terbuka akibat suhu yang lebih tinggi.

Derajat Keasaman (pH)


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu, lama curing dan interaksinya
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap derajat keasaman ekstrak etanol bunga
kecombrang. Nilai rata-rata pH ekstrak etanol bunga kecombrang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai rata-rata derajat keasaman (pH) ekstrak etanol bunga kecombrang pada
perlakuan suhu dan lama curing.
Lama Curing (jam)
Suhu
3 6 9 12
30 2 oC 4,38 c 4,72 d 4,18 f 4,87 b
40 2 oC 4,68 b 4,82 c 4,28 e 4,92 a
Keterangan : Huruf berbeda di belakang nilai menunjukkan perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01)
Tabel 2 menunjukkan rata-rata pH ekstrak etanol bunga kecombrang berkisar antara 4,18
sampai 4,92. Pada kedua metode curing terjadi kecendrungan peningkatan pH ekstrak etanol
bunga kecombrang, dengan semakin lama curing. Hal ini berkaitan dengan naik turunnya
senyawa bioaktif ekstrak etanol bunga kecombrang yang berperan sebagai antioksidan akibat
proses curing. Seiring dengan peningkatan pH maka senyawa bioaktif akan semakin menurun.
Hal ini karena pada pH rendah, densitas ion hidrogen meningkat sehingga menekan pelepasan
ion hidrogen dari senyawa fenolik. Ion hidrogen ini berfungsi sebagai pendonor untuk
menstabilkan radikal.

Kadar Tanin
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan lama curing berpengaruh
sangat nyata (P<0,01), sedangkan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap
kadar tanin ekstrak etanol bunga kecombrang. Nilai rata-rata kadar tanin ekstrak etanol bunga
kecombrang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai rata-rata kadar tanin (%) ekstrak etanol bunga kecombrang pada perlakuan
suhu dan lama curing.
Lama Curing (jam)
Suhu Rata-rata
3 6 9 12
30 2 oC 0,72 0,68 0,67 0,63 0,68 b
o
40 2 C 0,81 0,74 0,72 0,71 0,74 a
Rata-rata 0,76 a 0,71 b 0,70 bc 0,67 c
Keterangan : Huruf berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata (P<0,01)
98

Kadar tanin cenderung menurun dengan semakin lama curing dan meningkat dengan
semakin tingginya suhu curing. Hal tersebut terjadi karena semakin lama proses curing
senyawa tanin yang terkandung dalam bunga kecombrang mengalami reaksi oksidasi
enzimatis, sedangkan pada suhu yang lebih tinggi peningkatan kadar tanin terjadi karena
inaktivasi enzim katekol oksidase. Kusumaningrum et al. (2013) melaporkan bahwa kadar
tanin pada bunga lotus menurun seiring dengan semakin lama waktu pelayuan hal terebut
diakibatkan terjadi perubahan-perubahan senyawa hasil metabolisme yang terkandung dalam
sel-sel tanaman akibat reaksi oksidasi enzimatis. Hal tersebut dikemukakan juga oleh Arpah
(1993) bahwa pada proses pelayuan ini terjadi peningkatan atau penurunan komponen tertentu
yang diinginkan dan komponen yang tidak diinginkan.
Berdasarkan penelitian Suryaningrum et al. (2007) menyatakan bahwa tanin pada daun teh
hijau setelah dilakukan pemanasan dengan oven dapat menginaktifkan enzim katekol oksidase
sehingga kadar tanin teh hijau tetap tinggi karena hanya mengalami sedikit reaksi oksidasi
enzimatis. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian pada perlakuan suhu curing 40 2 oC
pada bunga kecombrang didapatkan kadar tanin yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan pada
suhu curing 30 2 oC.

Antosianin
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan lama curing berpengaruh
sangat nyata (P<0,01) sedangkan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap
antosianin ekstrak etanol bunga kecombrang. Nilai rata-rata kadar antosianin ekstrak etanol
bunga kecombrang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai rata-rata kadar antosianin (mg/L) ekstrak etanol bunga kecombrang pada
perlakuan suhu dan lama curing.
Lama Curing (jam)
Suhu Rata-rata
3 6 9 12
30 2 oC 1,84 1,73 1,72 1,60 1,72 b
40 2 oC 2,06 1,89 1,84 1,80 1,90 a
Rata-rata 1,95 a 1,81 b 1,78 bc 1,70 c
Keterangan : Huruf berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukan perbedaan yang sangat
nyata (P<0,01).
Berdasarkan Tabel 4 kadar antosianin yang didapat berkisar antara 2,06 mg/L sampai 1,60
mg/L selanjutnya terlihat bahwa semakin lama curing baik pada suhu 30 2 oC maupun suhu
40 2 oC kadar antosianin semakin menurun. Hal tersebut dikarenakan terjadinya degradasi
antosianin diakibatkan perlakuan lama curing. Suhartatik et al. (2013) melaporkan bahwa lama
penyimpanan akan mengakibatkan antosianin terdegradasi. Antosianin merupakan senyawa
yang bersifat sangat reaktif, mudah teroksidasi maupun tereduksi, serta ikatan glikosida mudah
99

terhidrolisis (Hutching, 1999). Degradasi warna pada antosianin disebabkan oleh perubahan
kation flavilium yang berwarna merah menjadi basa karbinol dan akhirnya menjadi kalkon
yang tidak berwarna dan berakhir pada produk degradasi yang berwarna coklat (Sari et al.
2005).
Pada umumnya, degradasi antosianin dapat terjadi karena adanya enzim polifenol
oksidase. Enzim ini dapat diinaktivasi dengan pemanasan sedang (< 50 oC). Hal inilah yang
menjelaskan mengapa curing pada bunga kecombrang pada suhu 402 oC menunjukkan kadar
antosianin yang lebih banyak daripada suhu 30 2 oC. Hasil senada juga dilaporkan pada
penelitian sebelumnya oleh Suhartatik et al. (2013) saat melakukan percobaan dengan beras
ketan hitam bahwa selama proses penyimpanan dan pemanasan pada suhu 402 oC
menunjukan kadar antosianin lebih banyak dibandingkan suhu 30 2 oC.

Kesukaan Aroma
Hasil analisis non parametik (uji Friedman), menunjukkan bahwa suhu dan lama curing
tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kesukaan aroma ekstrak etanol bunga kecombrang.
Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap aroma ekstrak etanol bunga kecombrang dapat dilihat
pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai rata-rata kesukaan aroma dan kekuatan aroma ekstrak etanol bunga kecombrang
Perlakuan Nilai rerata kesukaan aroma Nilai rerata kekuatan aroma
Suhu 30 2 oC , 3 jam 4,45 a 4,20 bc
o
Suhu 40 2 C, 3 jam 5,10 a 7,10 a
Suhu 30 2 oC , 6 jam 4,40 a 3,80 bc
Suhu 40 2 oC, 6 jam 4,90 a 5,20 b
Suhu 30 2 oC , 9 jam 4,85 a 3,90 bc
Suhu 40 2 oC, 9 jam 4,90 a 4,70 b
Suhu 30 2 oC , 12 jam 4,75 a 2,20 c
o
Suhu 40 2 C, 12 jam 4,60 a 4,90 b
Keterangan : Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata kesukaan aroma menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata (P>0,05)
Nilai rata-rata kesukaan aroma pada ekstrak etanol bunga kecombrang ekstrak etanol
bunga kecombrang hasil curing menunjukkan semua perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05)
dengan kisaran nilai antara 4,40 (netral sampai tidak suka) sampai 5,10 (agak suka sampai
suka).
100

Kekuatan Aroma
Hasil analisis non parametik (uji Friedman), menunjukkan bahwa suhu dan lama curing
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tingkat kekuatan aroma ekstrak etanol bunga
kecombrang. Nilai rata-rata tingkat kekuatan aroma ekstrak etanol bunga kecombrang dapat
dilihat pada Tabel 5.
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa ekstrak etanol bunga kecombrang pada perlakuan
curing suhu 40 2 oC dengan lama 3 jam mempunyai skor kekuatan aroma khas kecombrang
paling kuat dibanding perlakuan lain. Hal ini sejalan dengan nilai rata-rata rendemen ekstrak
etanol bunga kecombrang yang dihasilkan pada perlakuan suhu 40 2 oC dengan lama 3 jam
paling tinggi dibandingkan perlakuan yang lain. Diduga pada rendemen yang tinggi
terekstrak minyak atsiri yang terkandung dalam bunga kecombrang dalam jumlah yang lebih
banyak.
Pemilihan perlakuan terbaik dipilih berdasarkan metode multiple attribute dengan hasil
analisa tertinggi dari setiap parameter yang diamati yaitu rendemen, kadar tanin, antosianin,
uji kesukaan aroma dan uji kekuatan aroma sehingga perlakuan curing suhu 40 2 oC selama
3 jam dipilih sebagai perlakuan terbaik.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Perlakuan suhu dan lama curing berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen, kadar tanin,
antosianin ekstrak etanol bunga kecombrang sedangkan interaksinya tidak berpengaruh
nyata. Perlakuan suhu, lama curing dan interaksinya berpengaruh sangat nyata terhadap
derajat keasaman (pH) ekstrak etanol bunga kecombrang.
2. Suhu 40 2 oC dengan lama curing 3 jam merupakan perlakuan yang terbaik berdasarkan
metode multiple attribute untuk mendapatkan karakteristik ekstrak etanol bunga
kecombrang tertinggi dengan rendemen 3,51 %, tanin 0,81%, antosianin 2,06 mg/L, skor
kesukaan aroma 5,10 (antara agak suka sampai suka) dan kekuatan aroma 7,10.
Saran
1. Berdasarkan hasil penelitian disarankan untuk menggunakan suhu 40 2 oC dengan lama
curing 3 jam untuk mendapatkan kandungan senyawa bioaktif dan sensoris tertinggi pada
ekstrak etanol bunga kecombrang.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap perlakuan lama curing kurang dari 3 jam.
101

DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis (15th Ed.). K. Helrich (Ed.). Virginia.
Abubakar, Y., J.H. Young, W.H., Johnson and W.W.Weeks. 2003. Modelling moisture and
chemical changes during bulk curing of Flue-Cured Tobacco. American Society of
Agricultural Engineers . 46(4): 1123 1134.
Chan, E.W.C, Y.Y. Lim dan M. Omar. 2007. Antioxidant and antibacterial activity of leaves
of Etlingera species (Zingiberaceae) in Peninsular Malaysia. Food Chemistry. 104: 1586
1593.
Giusti, M. M. and Wrolstad R. E. 2001. UnitF1.2: Anthocynins. Characterization and
measurement with UV-visible spectroscopy. In Current Protocols in Food Analitical
Chemistry. pp. 1-13. Wrolstad, R.E., ed. John Wiley and Sons. New York, USA.
Hernani, Sudiarto, M. Rahardjo, dan H. Muhammad. 1997. Aspek stadia pertumbuhan dan
pascapanen terhadap mutu tempuyung. Warta Perhimpunan Peneliti Bahan Obat Alami
(Perhipba) 5 (IV) : 14-17.
Hernani dan Rahmawati, M. 2009.Aspek Pengeringan Dalam Mempertahankan Kandungan
Metabolit Sekunder Pada Tanaman Obat.Perkembangan Teknologi TRO 21 (2): 33-39
Hidayat, S.S. dan J.R. Hutapea. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. (I): 440-441. Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Hutching, JB. 1999. Food Colour and Appearance. Gaitersburg, Maryland: Aspen Publ. Inc.
Istianto, T. 2008. Efektivitas Anti Mikroba Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan): Pengaruh
Bagian-bagian Tanaman Kecombrang Terhadap Bakteri Patogen Pangan dan Kapang
Salak. Skripsi. Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto. (Tidak dipublikasikan).
Jaffar, F. M., C.P. Osman, N. H. Ismail dan K. Awang. 2007. Analysis of essential oils of
leaves, stems, flowers and rhizomes of Etlingera Elatior (JACK) R. M. SMITH. The
Malaysian Journal of Analytical Sciences, (11): 269-273.
Kusumaningrum, R., A., Supriadi dan S., Hanggita R.J.. 2013. Karakteristik dan Mutu Teh
Bunga Lotus (Nelumbo nucifera). Jurnal. Volume II No.01. November 2013. (Online).
(http://www.thi.fp.unsri.ac.id., diakses pada 12 September 2015).
Meilgaard, M., G.V. Civille and B. T Carr,. 1999. Sensory Evaluation Techniques 3rd Edition.
CRC Press, New York.
Naufalin, R. dan H. S. Rukmini. 2010. Potensi Antioksidan Hasil Ekstraksi Tanaman
Kecombrang (Nicolaia speciosa horan) Selama Penyimpanan. Draft Seminar.
Purwokerto: Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal
Soedirman.
Naufalin, R. 2004. Antioksidan. Laporan Praktikum Komponen Bioaktif Pangan. Bogor,
Program Studi Ilmu Pangan, institit Pertanian Bogor.
Ranadive, A.S., 1994. Vanilla Cultivation, Curing, Chemistry, Technology and Commercial
Products in Spices, Herbs, and Edible Fungi. Elsivier Science Inc., Netherlands. p.
Ranggana, S. 1979. Manual of Analysis of Fruit and Vegetables Product. MC Graw Hill, New
Delhi.
102

Rivai, H., H. Nurdin, H. Suyani dan A. Bachtiar. 2011. Pengaruh Cara Pengeringan Terhadap
Mutu Herba Meniran (Phyllanthus niruri LINN.). Majalah Farmasi Indonesia, 22 (1): 73-
76
Sari, P., F. Agustina, M. Komar, Unus, M. Fauzi dan T. Lindriati. 2005. Ekstraksi dan Stabilitas
Antosianin dari Kulit Buah Duwet (Syzgiumcumini). Jurnal Teknologi dan Industri
Pangan, XVI (2): 142-146
Suhartatik, N., M., Karyantina, A., Mustofa, M. N., Cahyanto, S., Raharjo dan E. S. Rahayu.
2013. Stabilitas Ekstrak Antosianin Beras Ketan (Oryza sativa var. glutinosa) Hitam
Selama Proses Pemanasan dan Penyimpanan. Jurnal. Aghritech, 33 (4): 384-390
Suryaningrum, R.D., Sulthon, M., Prafiadi, S dan Maghfiroh, K. 2007. Peningkatan kadar tanin
dan penurunan kadar klorin sebagai upaya peningkatan nilai guna teh celup. Program
Kreativitas Mahasiswa. Penulisan Ilmiah. Universitas Muhammadiyah Malang, (Tidak
dipublikasikan).
Tampubolon, O.T, Suhatsyah dan Sastrapradja. 1983. Penelitian pendahuluan kimia
kecombrang (Nicolaia spesiosa Horan). Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan Obat
III. Fakultas Farmasi UGM. Yogyakarta.
Wartini, N.M., T. Harijono, R. R. Susanto, dan Yunianta. 2007. Pengaruh Proses Curing
Terhadap Komposisi Daun Salam (Eugenia polyantha Wight.), Profil Komponen dan
Tingkat Kesukaan Ekstrak Flavor Hasil Distilasi-Ekstraksi Simultan. Jurnal Teknologi
Pertanian, 8 (1) : 10-18

You might also like