Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
0% found this document useful (0 votes)
378 views123 pages

2006dhe PDF

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1/ 123

PENGARUH SEDIMEN TERHADAP KOMUNITAS

KARANG BATU (SCLERACTINIAN CORALS)


DI KEPULAUAN DERAWAN, KALIMANTAN TIMUR

DEDE SUHENDRA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Sedimen


Terhadap Komunitas Karang Batu (Scleractinian Corals) Di Kepulauan Derawan,
Kalimantan Timur adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2006

Dede Suhendra
NRP. C651030101
ABSTRACT

DEDE SUHENDRA. Effect Of Sediment on Scleractinian Corals Community in


Derawan Islands, East Kalimantan. Under the direction of NEVIATTY P.
ZAMANI and I WAYAN NURJAYA

There are some indications that run-off from Berau River gives negative
impact on scleractinian corals community in Derawan Islands. Many activities
occured in the upland beside of the Berau River such as deforestation, coal and
sand mining increased the sedimentation in the Derawan Islands waters, direct or
indirectly. Sediment through shading and smothering cause corals in stress
condition and eventually death for some species. The purpose of this research is
to study about the effect of sedimentation on scleractinian corals in Derawan
Islands, East Kalimantan. The quadrate transects placed at each station to estimate
live coral coverage. The stations represent distance from Berau River. Rapid
Ecological Assessment (REA) used to get coral species richness by The Nature
Conservancy (TNC) in 2003. A sediment trap placed for 14 days in each station to
have sedimentation rate. Sample of sediment were analyzed in the laboratory.
Sedimentation rate (mg/cm2/day) decrease in number from station Panjang Island
to Maratua Island. The coverage and species richness of coral reefs have negative
correlation to sedimentation rate, which mean high sedimentation tend to cause
low species richness and coral coverage. The lowest number of species richness
and scleractinian coral coverage found in Station 1 which nearest distance to
Berau River with high sedimentation rate.

Keyword: Sedimentation, scleractinian corals, coral community, Derawan


Islands, Berau River
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut PErtanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebaginya.
PENGARUH SEDIMEN TERHADAP KOMUNITAS
KARANG BATU (SCLERACTINIAN CORALS)
DI KEPULAUAN DERAWAN, KALIMANTAN TIMUR

DEDE SUHENDRA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister sains pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian
: Pengaruh Sedimen Terhadap Komunitas Karang Batu
(Scleractinian Corals) Di Kepulauan Derawan, Kalimantan
Timur
Nama Mahasiswa : Dede Suhendra
NRP : C651030101
Program Studi : Ilmu Kelautan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc.
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 13 Oktober 2006 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyusun tesis dengan judul
Pengaruh Sedimen Terhadap Komunitas Karang Batu (Scleractinian Corals) Di
Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur. Tesis ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dan proses penyusunan tesis ini dapat berlangsung dengan baik
atas kerjasama dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya,
M.Sc. selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan
dan saran selama penyusunan tesis ini.
2. The Nature Conservancy (TNC) Marine Portfolio Bali; Joint Program TNC –
WWF Kabupaten Berau dan seluruh stafnya yang telah memberikan
kesempatan serta dukungan baik moril maupun materil selama pelaksanaan
penelitian.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA yang telah bersedia menjadi
penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis.
4. Bidang INSDAL, Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut BAKOSURTANAL
beserta seluruh stafnya yang banyak membantu dalam proses pengambilan dan
pengolahan data lapangan.
5. Keluarga tercinta (Ayahanda Atang Adipraja, Ibunda Mursih, Kakanda
Sutriaman, dan Kakanda Dewi Laelasari) yang senantiasa memberikan doa
dan restu selama penulis menempuh pendidikan.
6. Mbak Katrin, Toni dan Pak Made secara pribadi yang telah membantu penulis
dalam proses pengambilan data di lapangan
7. Bapak Hamdani, teman seperjuangan yang telah banyak memberikan masukan
selama analisis data dan proses penulisan tesis.
8. Rekan-rekan kuliah Program Studi Ilmu Kelautan Angkatan 2003 (B.R.
Febriana, Baharudin, Cut Rosa, Laode Alirman, Mustamin, Sussana, Sussana
Rafiani, Yuli Erina, Lilik Maslukah, Riska Eka Putri) serta kakak kelas Wike
Ayu Eka Putri yang telah memberikan inspirasi dan menjadi teman diskusi.
9. Teman-teman satu kost (Hawis H. Madduppa, Ramadian Bachtiar, dan M.
Yazid) yang telah menjadi keluaraga selama penulis menempuh pendidikan.
10. Serta personal dan lembaga yang telah memberikan kontribusi dalam
pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis yang tidak dapat saya sebutkan satu
per satu.
Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini masih terdapat berbagai
kekurangan. Oleh karena itu penulus mengharapkan kritik dan saran dari berbagai
pihak yang bersifat membangun untuk kesempurnaan tesis ini. Semoga hasil dari
penelitian dan tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu
kelautan di masa yang akan datang.

Bogor, Oktober 2006


Dede Suhendra
RIWAYAT HIDUP

Dede Suhendra dilahirkan di Ciamis (Jawa Barat) pada tanggal


6 Febuari 1979 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara.
Penulis mengawali pendidikan dasar di SD Negeri
Pangandaran 5 (1986 – 1992). Penulis melanjutkan pendidikan
di SMP Negeri 1 Pangandaran pada tahun 1992 – 1995, dan
pada tahun 1995 – 1998 dilanjutkan di SMU Negeri 1 Ciamis.
Selanjutnya penulis diterima di Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan Institut Pertanian Bogor melalui jalur
USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 1998, dan
lulus pada tahun 2003).
Selama di IPB, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Manajemen
Sumberdaya Perairan (HIMASPER), Fisheries Diving Club (FDC - IPB) dan
Aquatic Mountain Zone (AMAZON). Penulis juga tercatat sebagai asisten luar
biasa pada mata ajaran Biologi Perikanan dan Biologi Laut. Penulis juga banyak
mengikuti kegiatan penelitian di dalam maupun di luar akademik. Kegiatan
tersebut antara lain: Reef Check 2001 di Pangandaran (2001), monitoring terumbu
karang di Daerah Perlindungan Laut (DPL) Pulau Sebesi, Lampung (2002),
tergabung dalam team Ekspedisi Zooxantellae VI di Kepulauan Belitung (2002).
Untuk menyelesaikan studi di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
FPIK – IPB, penulis melakukan penelitian dengan judul “Studi Kondisi Ekosistem
Terumbu Karang di Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi, Lampung. Penulis
dinyatakan lulus dan memperoleh gelar sarjana pada tanggal 17 Januari 2003.
Pada tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana pada
Program Studi Ilmu Kelautan IPB. Selama menjadi mahasiswa pascasarjana,
penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan menjadi ketua umum
Wahana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan (WATERMASS)
periode 2003/2004. Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister
Sains, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh Sedimentasi
Terhadap Komunitas Karang Batu (Scleractinian Corals) di Kepulauan Derawan,
Kalimantan Timur.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... vii

PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
Latar Belakang ............................................................................................ 1
Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 3
Hipotesis ...................................................................................................... 3
Pendekatan Masalah .................................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 7


Deskripsi Lokasi Penelitian ......................................................................... 7
Administrasi dan kependudukan ......................................................... 7
Perekonomian ....................................................................................... 8
Kondisi iklim dan oseanografi ............................................................ 9
Sungai Berau ....................................................................................... 10
Terumbu Karang .......................................................................................... 11
Anatomi karang ................................................................................... 11
Reproduksi karang .............................................................................. 12
Alga simbion - zooxanthellae .............................................................. 13
Tipe-tipe terumbu karang ..................................................................... 15
Sebaran dan faktor lingkungan ............................................................ 15
Bentuk pertumbuhan ............................................................................ 17
Terumbu karang di Kepulauan Derawan ............................................. 19
Sedimen ........................................................................................................ 21
Karakteristik alami ............................................................................... 21
Pengaruh sedimen terhadap terumbu karang ....................................... 23
Adaptasi karang terhadap sedimen ....................................................... 24

i
BAHAN DAN METODE .................................................................................. 26
Waktu dan lokasi penelitian ......................................................................... 26
Peralatan yang digunakan ............................................................................ 28
Tahapan Penelitian ....................................................................................... 28
Metode Pengambilan Data ........................................................................... 29
Pengamatan terumbu karang ................................................................ 29
Pengamatan sedimen dan parameter kualitas air ................................. 30
Preparat histologis karang .................................................................... 31
Analisis Data ............................................................................................... 33
Persentase penutupan dan mortalitas karang batu ............................... 33
Padatan tersuspensi (TSS) .................................................................... 33
Analisis Sedimen .................................................................................. 34
Pengelompokan jenis karang batu ........................................................ 35
Analisis Komponen Utama (PCA) ....................................................... 35
Analisis ragam (ANOVA) .................................................................... 36
Analisis regresi ..................................................................................... 36

HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 39


Parameter oseanografi .................................................................................. 39
Suhu ..................................................................................................... 39
Salinitas ................................................................................................ 40
Kecerahan ............................................................................................. 40
Padatan tersuspensi (TSS) ..................................................................... 41
Nutrien ................................................................................................ 42
Arus permukaan ................................................................................... 43
Sedimen ........................................................................................................ 45
Analisis ukuran butir ............................................................................ 45
Laju sedimentasi ................................................................................... 48
Terumbu Karang .......................................................................................... 49
Persentase penutupan dan tingkat kematian karang batu ..................... 49
Analisis bentuk pertumbuhan karang batu ........................................... 51
Analisis Komponen Utama (PCA) ................................................................ 57

ii
Hubungan antara laju sedimentasi dengan karang batu ............................... 60
Pengelompokan spesies karang batu ............................................................ 62
Analisis Tingkat Jaringan ............................................................................. 64

KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 70


Kesimpulan ................................................................................................. 70
Saran ............................................................................................................. 71

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 72


LAMPIRAN ....................................................................................................... 76

iii
DAFTAR TABEL

Halaman
1 Jumlah penduduk dan pendapatan per kepala keluarga
di Kecamatan Derawan dan Maratua (Sumber: Profil Kepulauan
Derawan) ................................................................................................ 7

2 Kategori bentuk pertumbuhan karang (English et al. 1994) .................. 18

3 Sepuluh spesies karang tertinggi yang ditemukan pada masing-masing


tipe komunitas (Turak, 2003). ................................................................. 20

4 Klasifikasi ukuran butir sedimen berdasarkan Skala Wentworth


(Dyer, 1986; Davis, 1993)....................................................................... 22

5 Posisi geografis stasiun penelitian .......................................................... 26

6 Peralatan dan metode yang digunakan untuk pengamatan


parameter perairan ................................................................................... 28

7 Rerata dan standar deviasi parameter oseanografi pada


masing-masing stasiun pengamatan ........................................................... 39

8 Sebaran persentase fraksi sedimen pada masing-masing stasiun


pengamatan ............................................................................................. ... 46

9 Laju sedimentasi pada masing-masing stasiun pengamatan ...................... 48

10 Penutupan karang batu (%) pada masing-masing stasiun


pengamatan ................................................................................................ 50

11 Indeks mortalitas karang keras pada masing-masing stasiun


pengamatan ................................................................................................. 50

12 Uji taraf nyata (signifikansi) pada masing-masing stasiun


berdasarkan persentase penutupan karang batu (P<*0,05) ..................... ... 60

13 Densitas zooxanthellae pada spesimen karang Acropora formosa


dan Porites cyllindrica ............................................................................ ... 66

iv
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Peta sebaran sedimen dari Sungai Berau menuju perairan
Kepulauan Derawan (Sumber: Citra Landsat ETM, 8 Juni 2001) ............ 4

2 Kerangka konseptual pendekatan masalah................................................ 6

3 Anatomi karang (Veron, 2000) ................................................................. 12

4 Tipe-tipe terumbu karang (Sumber: Microsoft Encarta, 2006) ................. 16

5 Variasi bentuk pertumbuhan Pocillopora damicornis di Great Barrier


Reef dalam kaitannya dengan lingkungan (Veron, 1995) ........................ 17

6 Peta stasiun pengamatan ........................................................................... 27

7 Diagram alur tahapan penelitian ............................................................... 29

8 Metode pengambilan data karang dengan transek kuadrat ....................... 30

9 Pengukuran parameter oseanografi ........................................................... 31

10 Peta prediksi rata-rata bulanan arus dan suhu permukaan Laut


Sulawesi (sumber: TNC) ........................................................................... 44

11 Karang batu yang mengalami kematian pada bagian tertentu


akibat sedimen .......................................................................................... 51

12 Grafik persentase penutupan karang batu di Stasiun 1 ............................. 52

13 Grafik persentase penutupan karang batu di Stasiun 2 ............................. 53

14 Penutupan sedimen pada bentuk Acropora tabulate di Stasiun 2 ............. 54

15 Grafik persen penutupan karang batu di Stasiun 3.................................... 54

16 Mekanisme pembersihan sedimen pada karang bentuk foliose


(Riegl et al, 1996)...................................................................................... 55

17 Grafik persentase penutupan karang keras di Stasiun 4 ........................... 56

18 Zonasi berdasarkan distribusi sedimen dan bentuk pertumbuhan


karang batu di Kepulauan Derawan ......................................................... 57

v
19 Grafik hasil analisis komponen utama (PCA): (a) korelasi antar
variabel. (b) distribusi individu (stasiun penelitian) pada
masing-masing kuadran ............................................................................ 59

20 Grafik regresi antara (a). laju sedimentasi dengan persentase


penutupan karang batu, (b). laju sedimentasi dengan jumlah jenis
karang batu ................................................................................................ 61

21 Foto jaringan polip Acropora formosa (a: spesimen Acropora formosa;


b: jaringan perbrsaran.200x, c: perbesaran 400x). .................................... 68

22 Foto jaringan polip Porites cyllindrica (a: spesimen Porites cyllindrica;


b: jaringan perbrsaran.200x, c: perbesaran 400x) ..................................... 69

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Bentuk pertumbuhan karang batu (English et al. 1994) ........................... 77

2 Peta TSM hasil interpretasi citra Sea Wifs (Sumber: TNC) ..................... 80

3 Hasil analisis Gradistat.............................................................................. 82

4 Persentase penutupan karang dan biota penyusun substrat dasar

lainnya ....................................................................................................... 84

5 Hasil pengolahan data dengan menggunakan PCA ................................. 86

6 Spesies karang yang ditemukan pada masing-masing stasiun .................. 87

7 Hasil Cluster Analisis dengan menggunakan SPSS.10 ............................. 97

8 Profil terumbu karang di Stasiun 1........................................................... 103

9 Profil terumbu karang di Stasiun 2........................................................... 104

10 Profil terumbu karang di Stasiun 3........................................................... 105

11 Profil terumbu karang di Stasiun 4........................................................... 106

vii
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sebagai salah satu ekosistem pantai, terumbu karang memiliki peranan
penting dan erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat pesisir. Disadari
maupun tidak, sebagian besar masyarakat pesisir menggantungkan perekonomian
mereka pada sektor perikanan. Ekosistem terumbu karang hadir dengan
keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, baik keanekaragaman jenis biota
karang sebagai penyusun utama ekosistem tersebut maupun keanekaragaman
biota laut lainnya. Berbagai macam jenis ikan, Moluska, Krustasea, serta
Ekhinodermata yang memiliki nilai ekonomis tinggi hidup berasosiasi dalam
ekosistem tersebut. Biota laut ekonomis merupakan target utama penangkapan
nelayan yang telah menghidupi mereka secara turun temurun.
Selain memiliki fungsi ekonomis, ekosistem terumbu karang juga
memiliki fungsi secara ekologis. Fungsi ekologis ekosistem terumbu karang
diantaranya adalah sebagai pelindung pantai dari energi mekanik gelombang yang
dapat menyebabkan abrasi. Dalam kaitannya dengan siklus dan keberlanjutan
hidup biota laut, ekosistem terumbu karang berperan sebagai daerah perlindungan,
pemijahan, asuhan, dan tempat mencari makan.
Ekosistem terumbu karang di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati
yang tinggi. Lebih dari 480 jenis karang batu telah teridentifikasi di bagian timur
Indonesia dan merupakan 60% dari jenis karang batu di dunia yang sudah
dideskripsikan (Burke et al. 2002). Namun demikian kondisi saat ini berbagai
ancaman baik dari faktor alam maupun manusia semakin meningkat. Sedimentasi
merupakan salah satu bentuk ancaman yang secara langsung maupun tidak
langsung telah mengakibatkan degradasi terumbu karang. Kasus di Kepulauan
Derawan, berbagai aktifitas seperti penebangan hutan, kegiatan pertambangan
serta kegiatan pengerukan pasir yang terjadi di sepanjang aliran Sungai Berau
disinyalir sebagai pemasok terbesar sedimen di perairan Kepulauan Derawan
(Wiryawan et al. 2005). Hal ini tentunya akan menjadi ancaman serius tehadap
komunitas terumbu karang yang terdapat di Kepulauan Derawan.
Kajian mengenai pengaruh sedimentasi terhadap terumbu karang telah
banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti di dunia. Melalui mekanisme shading
dan smothering sedimen dapat menyebabkan pertumbuhan karang terhambat atau
bahkan mematikannya (Hubbard, 1997). Efek dari sedimentasi dapat
menyebabkan bioerosi pada karang oleh berbagai organisme macroboring seperti
spons, cacing, bivalva (Macdonald dan Perry 2003). Sedimentasi juga merupakan
faktor utama yang mengakibatkan kematian karang batu pada saat proses
rekrutmen melalui mekanisme smothering (Fabricius et al. 2003). Pada tingkat
jaringan, sedimentasi mempengaruhi ketebalan jaringan polip karang (Barnes dan
Lough, 1999). Kondisi stress pada karang yang diakibatkan oleh sedimentasi juga
dapat terlihat dari menurunnya densitas zooxanthellae dan konsentrasi klorofil
pada jaringan polip karang (Philipp dan Fabricius, 2003).
Bagaimanapun juga beberapa jenis karang batu masih dapat beradaptasi
pada tingkat sedimentasi tertentu melalui sediment rejection. Sedimen rejection
dilakukan secara aktif melalui destensi jaringan, aksi sillia dan tentakel, serta
produksi mucus (Barnes dan Lough, 1999), atau secara pasif melalui morfologi
koralum dan bentuk pertumbuhannya (Stafford-Smith dan Ormond 1992 dalam
Tomascik et al. 1997). Terdapat beberapa jenis karang yang rentan terhadap
sedimentasi, namun terdapat pula jenis karang yang tahan terhadap sedimentasi,
yang tentunya akan berpengaruh terhadap ekologi serta komposisi dari komunitas
karang batu (Stafford-Smith, 1993).
Hingga saat ini belum dilakukan penelitian yang secara khusus mengkaji
mengenai pengaruh sedimentasi terhadap ekosistem terumbu karang di Kepulauan
Derawan. Di sisi lain informasi ini sangat diperlukan sebagai dasar evaluasi
terhadap pengelolaan terumbu karang di Kepulauan Derawan. Berdasarkan
pertimbangan tersebut maka dilakukan penelitian dengan tujuan: (1) Mengetahui
sebaran parameter oseanografi dan sedimen pada area terumbu karang; (2)
Mengetahui perbedaan komunitas karang batu yang didasarkan atas kondisi
sedimentasi pada masing-masing lokasi penelitian; (3) Mengkaji pengaruh
sedimentasi terhadap komunitas karang batu.

2
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah ini adalah untuk:

1. Mengetahui sebaran parameter oseanografi dan sedimen pada area terumbu


karang secara spasial.

2. Mengetahui perbedaan komunitas karang batu yang didasarkan atas kondisi


sedimentasi pada masing-masing lokasi penelitian.

3. Mengkaji pengaruh sedimentasi terhadap komunitas karang batu.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai


pengaruh masukan sedimen dari darat terhadap ekosistem terumbu karang.
Selanjutnya seluruh informasi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan masukan
untuk mengkaji dan mengevaluasi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara
berkelanjutan di Kepulauan Derawan.

Hipotesis
Pada penelitian kali ini, hipotesis yang dikemukakan adalah terdapatnya
pengaruh sedimentasi terhadap karakteristik karang batu (sclerectinia) di
Kepulauan Derawan. Semakin tinggi laju sedimentasi akan menyebabkan
keragaman spesies karang batu semakin rendah.

Pendekatan Masalah
Di Kabupaten Berau mengalir dua sungai utama, yaitu Sungai Kelay dan
Sungai Segah yang mulai dan berakhir di Kabupaten yang sama. Sistem sungai ini
membentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 15.000 kilometer persegi.
Berbagai aktifitas terjadi di sepanjang aliran sungai tersebut, mulai dari kegiatan
rumah tangga, transportasi, industri hingga penebangan hutan. Selanjutnya
Sungai-sungai tersebut bergabung membentuk Sungai Berau di kota Tanjung
Redeb, Iibu Kota Kabupaten Berau, dan mengalir sekitar 40 kilometer ke arah
timur menuju Laut Sulawesi dimana Kepulauan Derawan berada.
Faktor anthropogenik yang menjadi ancaman terhadap ekosistem terumbu
karang di Kepulauan Derawan memang cukup kompleks, diantaranya adalah
kegiatan pengeboman, penggunaan trawl, sampah, serta kegiatan bekarang, yaitu

3
kegiatan masyarakat sekitar yang berjalan diatas terumbu karang untuk
mengambil biota-biota yang berasosiasi di daerah tersebut. Akan tetapi faktor
yang paling besar pengaruhnya terhadap ekosistem terumbu karang adalah
sedimentasi yang sebagian besar merupakan pasokan dari keberadaan Sungai
Berau. Hal ini didukung juga dengan semakin banyaknya kegiatan pembukaan
hutan di daerah atas, serta iklim dimana hujan di daerah ini berlangsung sepanjang
tahun dan jarang sekali terjadi bulan-bulan kering.
Berdasarkan citra Landsat ETM tanggal 8 Juni 2001, sedimen yang berasal
dari Sungai Berau mencapai perairan di sekitar Pulau Panjang dan Pulau
Derawan. Secara visual sedikit sekali dan bahkan tidak ada kandungan sedimen
dari Sungai Berau yang mencapai Pulau Sangalaki dan Maratua (Gambar 1) Atas
dasar sebaran sedimen tersebut penelitian difokuskan di Pulau Panjang, Pulau
Derawan, Pulau Sangalaki, dan Pulau Maratua. Hal ini dimaksudkan untuk
melihat perbedaan komunitas karang batu pada daerah yang terkena dampak
sedimen berat hingga daerah yang tidak terekspose oleh sedimen.

Gambar 1. Peta sebaran sedimen dari Sungai Berau menuju perairan Kepulauan
Derawan (Sumber: Citra Landsat ETM, 8 Juni 2001).

Pengaruh sedimen terhadap terumbu karang terjadi secara langsung


maupun tidak langsung. Secara langsung sedimen yang terdeposit akan menutupi
permukaan polip karang sehingga akan meningkatkan kebutuhan energi metabolik
untuk menghilangkannya kembali. Secara tidak langsung sedimen yang

4
tersuspensi dapat menghalangi masuknya penetrasi sinar matahari yang
dibutuhkan untuk fotosintesis alga simbion karang zooxanthellae. Apabila jumlah
sedimen cukup tinggi dan melebihi batas kemampuan polip karang untuk
beradaptasi, maka akan terjadi kematian dan penurunan penutupan terumbu
karang pada daerah tersebut. Di sisi lain apabila sedimen mengandung sejumlah
besar bahan organik akan terjadi invasi oleh alga.
Jenis-jenis karang tertentu dapat beradaptasi terhadap kondisi sedimen di
sekitarnya sampai pada kisaran tertentu. Karang yang memiliki ukuran polip yang
lebih besar akan lebih bertahan pada kondisi yang keruh daripada karang dengan
ukuran polip yang kecil. Bentuk adaptasi lain dari terumbu karang terhadap
sedimentasi adalah melalui adaptasi morfologi, yaitu dengan memiliki bentuk
pertumbuhan tertentu. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa sedimentasi baik
yang terdeposit maupun yang tersuspensi akan berpengaruh terhadap struktur
komunitas terumbu karang (kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman dan
dominansi).
Mengacu pada praduga interaksi di atas, secara lebih lanjut akan dilakukan
kajian mengenai struktur komunitas karang pada daerah yang diduga mengalami
sedimentasi tinggi, moderat, hingga sedimentasi rendah di Kepulauan Derawan.
Selanjutnya kerangka pendekatan masalah dalam mengkaji hal ini dapat dilihat
pada Gambar 2.

5
Sungai Berau

Sedimen Laut Dangkal

Tersuspensi Terdeposit

Penetrasi Penutupan
Cahaya Polip

Faktor Karang Batu Faktor Alami


Anthropogenik (sclerectinia)

Mortalitas Adaptasi

Komunitas Karang
Penutupan Karang Batu
Jumlah dan Komposisi Jenis

Gambar 2. Kerangka konseptual pendekatan masalah

6
TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Lokasi Penelitian


Administrasi dan kependudukan
Kepulauan Derawan yang terdiri dari Kecamatan Pulau Derawan dan
Kecamatan Maratua termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Berau,
Provinsi Kalimantan Timur. Kabupaten Berau bagian utara dan barat berbatasan
dengan Kabupaten Bulungan, bagian timur berbatasan langsung dengan Selat
Makassar, serta bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Kutai Timur. Secara
keseluruhan Kabupaten Berau terdiri dari 13 kecamatan, yaitu Tanjung Redeb,
Gunung Tabur, Teluk Bayur, Segah, Kelay, Sambaliung, Derawan, Maratua,
Tabalar, Biatan Lempake, Talisayan, Batu Putih, dan Biduk-biduk.
Kepulauan Derawan secara geografis terletak di semenanjung utara dari
wilayah perairan laut Kabupaten Berau yang terdiri dari beberapa pulau, yaitu
Pulau Panjang, Pulau Rabu-rabu, Pulau Samama dan Pulau Sangalaki, Pulau
Kakaban dan Pulau Maratua serta beberapa gosong karang seperti gosong Muaras,
Pinaka, Buliulin, Masimbung, Tababinga dan beberapa gosong pulau lainnya.
Kecamatan Pulau Derawan dan Maratua terdiri dari beberapa
desa/kampung, secara rinci sebaran penduduk berdasarkan Kepala Keluarga (KK)
dan jiwa dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Jumlah penduduk di Kecamatan Derawan dan Maratua (Sumber: Hasil


survei Program Bersama Kelautan, 2005)

Kecamatan Kampung Jumlah KK Jumlah jiwa


Pulau Derawan Pulau Derawan 371 1.370
Tanjung Batu 547 2.188
Kasai 472 1.960
Teluk Semanting 80 458
Pegat Batumbuk 131 450
Pulau Maratua Payung payung 118 538
Bohe Silian 182 682
Teluk Harapan 162 707
Teluk Alulu 126 558
Perekonomian
Secara umum perekonomian di Kepulauan Derawan sudah berkembang
dengan baik, sebagian besar masyarakat memiliki mata pencaharian sebagai
nelayan tangkap. Hasil tangkapan nelayan Kepulauan Derawan merupakan
pemasok terbesar perekonomian Kabupaten Berau dari sektor perikanan. Jumlah
kapal penangkapan yang ada di Kecamatan Derawan dan Maratua pada tahun
2001 sebanyak 426 unit, dengan jumlah perahu tanpa motor sebanyak 77 unit,
motor tempel 93 unit, dan kapal motor sebanyak 256 unit. Jenis alat tangkap yang
digunakan bermacam-macam, diantaranya adalah payang, purse sein, gill net,
jaring angkat, pancing dan bubu.
Selain dari kegiatan perikanan, masyarakat Kepulauan Derawan juga
menggantungkan hidupnya pada sektor perdagangan dan pariwisata dan
perkebunan. Masyarakat membuka toko untuk menjual kebutuhan sehari-hari,
peralatan rumah tangga, bahkan ada yang menjadi penjual bahan bakar seperti
bensin dan solar untuk keperluan nelayan setempat. Perkebunan diusahakan
sebatas untuk kebutuhan internal.
Kondisi alam di Kepulauan Derawan yang eksotis sangat mendukung
kegiatan pariwisata di daerah tersebut. Masyarakat Pulau Derawan terlibat dalam
kegiatan ekonomi dibidang pariwisata hanya pada skala kecil, mereka
menyediakan penginapan, rumah makan, serta menyediakan jasa angkutan, baik
untuk memancing, diving, maupun sarana transportasi ke darat. Masyarakat lokal
yang sudah memiliki dive licence biasanya bekerja pada pengusaha resort sebagai
dive guide. Di Pulau Maratua masih belum ada kegiatan pariwisata yang
diusahakan masyarakat setempat. Untuk skala yang lebih besar kegiatan
pariwisata diperankan oleh pihak swasta. Sampai saat ini terdapat 4 dive resort
yang sudah berkembang di Kepulauan Derawan, yaitu: PT Bumi Manimboran
Interbuwana (BMI) di P. Derawan, PT Sangalaki Dive Lodge (SDL) di P.
Sangalaki, PT Nabucco Island Dive Resort dan PT Paradise Dive Resort di P.
Maratua. Mereka menjual paket-paket wisata terutama wisata selam.

8
Kondisi iklim dan oseanografi
Kondisi iklim dan oseanografi kawasan Kepulauan Derawan sangat
dipengaruhi oleh kondisi iklim di Samudra Pasifik. Secara umum iklim akan
dipengaruhi oleh musim barat dan musim timur, dan untuk oseanografi akan
dipengaruhi pergerakan arus secara musiman dan Arus Lintas Indonesia dari
Samudra Pasifik Menuju Samudra Hindia yang melewati Selat Makasar.
Arah angin secara umum di kawasan Kepulauan Derawan akan mengikuti
musim yang ada di Indonesia yaitu musim barat dan musim timur. Kecepatan
angin yang paling rendah di Kepulauan Derawan pada bulan Oktober dan
November yang mencapai 4,3 knot dengan arah rata-rata 330o dan kecepatan
angin maksimum terjadi pada bulan Juli dan Agustus dengan arah 270o. Suhu
udara berkisar antara 22,3 oC sampai 32 oC.
Iklim di kawasan Kepulauan Derawan berdasarkan klasifikasi Koppen
diklasifikasikan sebagai iklim tipe alpha, menurut klasifikasi Schmidt dan
Fergusson kawasan Kepulauan Derawan termasuk golongan iklim A yaitu hujan
berlangsung sepanjang tahun dan jarang terjadi bulan kering. Curah hujan harian
di Kepulauan Derawan berkisar antara 0,6 mm sampai 21,8 mm dengan jumlah
hari hujan antara 4 sampai 28 hari.
Kondisi oseanografi Kepulauan Derawan dipengaruhi oleh dinamika aliran
Sungai Berau dan dinamika laut lepas Selat Makasar. Kisaran suhu permukaan air
laut yang ada Kepulauan Derawan berkisar antara 29,5 oC sampai 30,5 oC untuk
kawasan yang berhadapan dengan Sungai Berau dan berkisar antara 29,5 oC
sampai 30 oC untuk kawasan yang berhadapan dengan laut lepas. Kisaran suhu
rata-rata pada dasar perairan untuk kawasan yang berhadapan dengan Sungai
Berau berkisar antara 27,5 oC sampai 29 oC dan untuk kawasan yang berhadapan
dengan laut lepas berkisar 21 oC sampai 28 oC.
Salinitas pada kawasan yang berhadapan dengan Sungai Berau berkisar
antara 32,5 ppt sampai 33 ppt dan pada kawasan yang berdekatan dengan laut
lepas mempunyai salinitas 33,5 ppt. Salinitas pada kedalaman 100 meter untuk
kawasan yang berhadapan dengan sungai Berau adalah 33,5 ppt dan pada kawasan
yang berhadapan dengan laut lepas berkisar antara 34 sampai 34,5 ppt.

9
Sungai Berau
Sungai Kelay adalah sungai yang terpanjang di Berau, sejauh 254
kilometer dari Gunung Mantam area di sebelah barat daya Berau, sebelah hulu
kampung Dayak Long Gi. Sungai Kelay dan anak-anak sungainya mengaliri
setengah area Berau sebelah selatan sampai bergabung dengan Sungai Segah di
Tanjung Redeb membentuk Sungai Berau. Secara tradisional, Sungai Kelay
melayani rute pengangkutan utama bagi penumpang dan barang ke bagian selatan
Berau. Industri skala besar sepanjang Sungai Kelay tidak sebanyak seperti di
sepanjang Sungai Segah, meskipun beberapa kegiatan HPH terbukti ada di
sepanjang antara Tanjung Redeb dan kampung Pagat Bukur. Industri yang paling
terkemuka sepanjang Sungai Kelay adalah PT Berau Coal di Desa Pagat Bukur.
Pelayanan jalan yang ditingkatkan antara masyarakat sepanjang Sungai Kelay ke
Tanjung Redeb dan daerah pesisir sekarang menjadi jalur utama untuk
pengangkutan kayu dan batu bara.
Kebanyakan lahan di dekat Sungai Kelay, ditanami beberapa jenis produk
pertanian, yang paling mencolok adalah perkebunan pisang ekstensif antara Pagat
Bukur dengan Tumbit Melayu. Beberapa area sekitar Tumbit Dayak dan Long
Lanuk telah dibuka untuk padang penggembalaan sapi dan babi. Di kalangan
masyarakat ini sungai melayani fungsi pengangkutan tradisional, membantu
pengangkutan produk pertanian masyarakat lokal menuju pasar di bagian hilir.
Kegiatan yang mencolok lainnya di sepanjang Sungai Kelay, bagian hulu Tumbit
Melayu adalah pendulangan emas.
Sungai Segah membentang sepanjang 152 kilometer dari hulu sungainya,
di area Gunung Kundas, bagian hulu kota Malinau di sudut timur laut Berau, ke
arah Tanjung Redeb. Sungai Segah mengaliri setengah area Berau sebelah utara,
dan di pasok oleh beberapa sungai yang lebih kecil seperti Sungai Malinau (58
kilometer), Pura (72 kilometer), Siagung (38 km) dan Siduung (83 km). Sungai
menjadi saluran utama untuk pengangkutan kayu dari pedalaman ke kapal, dan
banyak jalan menghubungkan HPH dengan fasilitas pembongkaran sepanjang
sungai Segah tampak antara Labanan dan Tanjung Redeb. PT Berau Coal juga
menggunakan sungai untuk mengangkut batubara dari lokasi operasional dekat
Teluk Bayur ke Tanjung Redeb dan sekitarnya. Pembabatan vegetasi dan lalu

10
lintas kendaraan pada fasilitas pembongkaran memberi kontribusi terhadap erosi
tanah dan meningkatkan sedimentasi sungai.
Sungai Kelay dan Sungai Segah bergabung di Tanjung Redeb menjadi
Sungai Berau. Sungai Berau lebar, berarus lambat dibatasi terutama oleh Nipah
dan mangrove sepanjang 40 km dari Laut Sulawesi. Sungai tersebut merupakan
koridor pengangkutan industri yang penting dengan banyak stasiun pembongkaran
untuk kayu dan batu bara, dan menjadi rute utama untuk pengangkutan barang
dan orang dari Tanjung Redeb ke Samarinda, Balikpapan dan tempat lain. Sungai
tersebut juga merupakan rute pengangkutan penting bagi fasilitas wisata di
Kepulauan Derawan (misalnya dive resort di pulau Derawan, Sangalaki, Kakaban
dan Maratua). Di samping pengangkutan batu bara dan kayu, industri lokal
sepanjang Sungai Berau antara lain penambangan pasir (misalnya pasir yang
dikeruk dari dasar sungai) dan perikanan. Konversi hutan Nipah menjadi tambak
terjadi di sepanjang sungai, dan terutama di dekat kampung Kassai.

Terumbu Karang
Anatomi karang
Komponen terpenting terumbu karang adalah karang keras. Karang
merupakan hewan sederhana, berbentuk tabung dengan mulut berada di atas yang
juga berfungsi sebagai anus (Suharsono, 1996). Daerah datar yang berada sekitar
mulut disebut oral disc. Mulut karang dikelilingi oleh rangkaian tentakel-tentakel
berkapsul yang dapat melukai (nematokis) dan berfungsi sebagai penangkap
makanan berupa plankton (Nybakken, 1993). Mulut dan rongga perut
dihubungkan oleh tenggorokan yang pendek. Rongga perut berisi semacam usus
disebut filamen mesentari yang berfungsi sebagai alat pencernaan (Suharsono,
1996). Untuk tegaknya seluruh jaringan, polip didukung oleh kerangka kapur
sebagai penyangga. Kerangka kapur ini berupa lempengan-lempengan yang
tersusun secara radial dan berdiri tegak yang disebut septa, septa tersusun dari
bahan organik dan kapur yang merupakan hasil sekresi dari polip karang.
Dinding polip karang terdiri dari 3 lapisan, yaitu ektodermis, mesoglea dan
endodermis.

11
1. Ektodermis: Jaringan terluar dimana banyak dijumpai sel glandula yang berisi
mukus dan sel knidoblast yang berisi sel nematokis. Nematokis merupakan sel
penyengat yang berfungsi sebagai alat penangkap makanan dan
mempertahankan diri dari pemangsaan.
2. Mesoglea: Merupakan jaringan yang di bagian tengahnya berupa jelly. Di
dalam lapisan jelly terdapat fibril-fibril sedangkan di lapisan luar terdapat sel
semacam otot.
3. Endodermis: Lapisan dalam yang sebagian besar selnya berisi sel algae yang
merupakan simbion karang (zooxanthellae).
Seluruh permukaan jaringan karang juga dilengkapi dengan silia dan
flagella, yang berkembang dengan baik di lapisan luar tentakel dan di dalam sel
mesenteri. Karang mempunyai sistem saraf, jaringan otot dan reproduksi yang
sederhana akan tetapi telah berkembang dan berfungsi secara baik. Selanjutnya
gambaran mengenai anatomi karang dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

Gambar 3. Anatomi karang (Veron, 2000)

Reproduksi karang
Karang memiliki dua cara dalam reproduksi, yaitu dengan cara seksual
dan aseksual. Reproduksi seksual karang menghasilkan larva planula yang
berenang bebas dalam kolom perairan untuk sementara waktu, yang kemudian
melekat pada substrat dan mengalami tahap perkembangan selanjutnya.

12
Menurut Harrison dan Wallace (1990) in Tomascik at al. (1997), karang
sclerectinia memiliki empat prinsip dasar dalam reproduksi seksual. Hal ini
berkaitan anatara hubungan hermaphrodit - gonochorisme dengan pemijahan
(pembuahan eksternal) - melahirkan (pembuahan internal). Mayoritas (60%)
karang sclerectinia yang memiliki sel kelamin ganda (hermaphrodit) melakukan
pembuahan diluar (eksternal). Hanya 15% karang hermaphrodit yang melakukan
pembuahan di dalam dan mengeluarkan planula dalam tahap awal reproduksinya.
Demikian halnya dengan karang yang memiliki sel kelamin terpisah
(gonochorisme) atau dioceous, mereka juga memiliki dua macam pembuahan
(eksternal dan internal). Sekitar 70% dari gonochorisme yang diketahui
melakukan pembuahan dengan cara eksternal. Penelitian secara ekstensif yang
dilakukan di Great Barier Reef, Laut Merah, dan di beberapa tempat di Laut
Karibia memperlihatkan bahwa 70% karang sclerectinia yang diteliti melakukan
pembuahan diluar, hanya 23% yang melakukan pembuahan didalam (Harrison
dan Wallace, 1990 in Tomascik at al., 1997).
Setelah karang melekat pada substrat maka ia akan mengalami perubahan
struktur dan histologi. Ketika polip menjadi dewasa dan membentuk koralit,
maka ia mulai melakukan reproduksi secara aseksual untuk memperbesar koloni.
Reproduksi aseksual pada karang dapat terjadi melalui intratentacular budding
maupun extratentacular budding. Intratentacular budding adalah tumbuhnya
individu baru dari individu yang lama dan hasilnya terdapat dua individu yang
identik. Extratentacular budding adalah tumbuhnya individu baru diantara
individu yang lama.

Alga simbion - zooxanthellae


Zooxanthellae merupakan istilah umum yang dipakai untuk
menggambarkan alga simbiotik yang hidup bersimbiosis dengan hewan, termasuk
karang. Zooxanthellae termasuk dalam kelas Dinoflagellata dengan nama genus
Symbiodinium, dan yang bersimbiosis dengan karang adalah Symbiondium
midroadriaticum. Selain memiliki klorofil a dan c, zooxanthellae juga memiliki
pigmen (diadinoxanthine dan piridin) yang berguna dalam fotosintesis. Mereka

13
umumnya berwarna cokelat atau merah kecokelatan sehingga umumnya karang
terlihat berwarna cokelat (Brikeland,1998)
Selanjutnya Brikeland (1998) menjelaskan bahwa zooxanthella ditransfer
ke dalam tubuh individu karang baru melalui proses reproduksi, baik reproduksi
aseksual maupun seksual. Dalam reproduksi aseksual, zooxanthellae secara
langsung ditransmisi dalam fragmen dasar koloni baru. Sedangkan melalui
reproduksi secara seksual, zooxanthellae diperoleh secara langsung dari induk
karang atau secara tidak langsung dari lingkungan. Pada saat reproduksi secara
seksual, zooxanthellae langsung ditransfer ke dalam telur atau larva yang
dikeluarkan. Zooxanthellae juga diperoleh secara tidak langsung dari lingkungan
atau sisa dari organisme pemakan karang dan pemakan zooplankton yang
didalamnya mengandung zooxanthellae.
Hubungan simbiosis yang terjadi antara karang dengan zooxanthellae
adalah simbiosis mutualisme atau hubungan yang saling menguntungkan untuk
keduanya. Zooxanthellae mendapatkan beberapa keuntungan dari hubungan ini,
terutama tempat hidup yang cukup baik dan terlindung (jaringan karang). Selain
itu mereka juga memperoleh suplai nutrien dasar yang keberadaannya berlanjut
(PO4 dan NH3) serta produk metabolik lainnya (Urea dan Asam Amino) hasil
ekskresi hewan karang. Polip karang juga mensuplai zooxanthellae dengan CO2
sebagai hasil dari produk respirasi, yang berguna bagi zooxanthellae dalam proses
fotosintesis (Tomascik et al. 1997).
Keuntungan dari hubungan ini bagi hewan karang adalah sejumlah gula
dan oksigen sebagai hasil fotosintetis zooxanthellae yang dibutuhkan karang
sebagai makanan dan respirasi (Byatt et al. 2001). Keuntungan paling penting dari
simbiosis antara karang – zooxanthellae bagi karang adalah dalam proses
kalsifikasi, sebagai proses perkembangan struktur skeleton karang (Pearse dan
Muscatine, 1971 dan Muscatine et al. 1972 dalam Tomascik et al. 1997).
Pada kondisi lingkungan yang tidak normal, zooxanthellae dapat
mengalami ekspulsi (keluar dari jaringan karang) sebagai indikator stress pada
karang. Penelitian mengenai hilangnya zooxanthellae dari jaringan polip karang
telah banyak dilaporkan oleh beberapa author. Peristiwa pemutihan karang
(bleaching) sebagai konsekuensi keluarnya zooxanthellae dari jaringan polip

14
karang disebabkan oleh beberapa faktor seperti perubahan suhu, perubahan
salinitas, limbah panas, masukan lumpur, polusi minyak (Brown dan Howard,
1985), serta short-term sedimentasi (Philipp dan Fabricius, 2003).

Tipe-tipe terumbu karang


Sumich (1992) menyebutkan pengelompokkan tipe-tipe terumbu karang
berdasarkan tahap pembentukan formasi dari yang termuda, fringing reef,
kemudian barrier reef, hingga yang terakhir atoll (Gambar 4).

1. Terumbu karang tepi (Fringing Reef), yaitu terumbu karang yang terdapat di
sepanjang pantai dan dalamnya tidak lebih dari 40 meter. Terumbu ini
tumbuh ke permukaan dan ke arah laut terbuka.
2. Terumbu karang penghalang (Barrier Reef), berada jauh dari pantai yang
dipisahkan oleh gobah (lagoon) dengan kedalaman 40 – 70 meter.
Umumnya terumbu karang ini memanjang menyusuri pantai.
3. Atoll, merupakan karang berbentuk melingkar seperti cincin yang muncul
dari perairan dalam, jauh dari daratan dan melingkari gobah yang memiliki
terumbu gobah.

Sebaran dan faktor lingkungan


Terumbu karang tersebar di laut dangkal baik daerah tropis maupun
subtropis, yaitu antara 35o LU dan 32o LS mengelilingi bumi. Garis lintang
tersebut merupakan batas maksimum dimana karang masih dapat tumbuh. Dari
berbagai belahan dunia, terdapat tiga daerah besar terumbu karang yaitu: laut
Karibia, laut Hindia, dan Indo-pasifik. Di laut Karibia terumbu karang tumbuh di
tenggara pantai Amerika sampai sebelah barat laut pantai Amerika Selatan. Di
laut Hindia sebaran karang meliputi pantai timur Afrika, Laut Merah, teluk Aden,
teluk Persia, teluk Oman. Sebaran karang di laut Pasifik meliputi laut Cina Selatan
sampai pantai timur Australia, pantai Panama sampai pantai selatan teluk
California (Suharsono, 1996).
Sebaran karang tidak hanya terdapat secara horisontal, tetapi juga secara
vertikal. Pertumbuhan, penutupan, dan kecepatan tumbuh karang berkurang
secara eksponensial dengan kedalaman. Beberapa faktor lingkungan yang

15
mempengaruhi pertumbuhan ekosistem terumbu karang antara lain: suhu,
salinitas, cahaya, sedimentasi, arus dan gelombang.

Gambar 4. Tipe-tipe terumbu karang: 1. Fringing reef; 2. Barrier reef; 3. Atoll


(Sumber: Microsoft Encarta, 2006)

16
Bentuk pertumbuhan

Bentuk pertumbuhan karang batu umumnya merupakan refleksi dari


kondisi lingkungan di sekitarnya, morfological plasticity memberikan kesempatan
bagi terumbu karang untuk beradaptasi secara lokal. Contohnya spesies karang
dengan bentuk percabangan yang ramping umumnya terdapat pada area dengan
energi gelombang yang rendah, koloni karang di daerah dengan konsentrasi
cahaya rendah umumnya sprawl atau berbentuk seperti tabung, dan banyak
terumbu karang pada daerah keruh memiliki bentuk pertumbuhan yang lebih
vertikal (ke atas) dibanding bentuk pertumbuhan yang datar atau flat (Riegl, 1996)

Variasi bentuk koloni dari spesies karang yang sama sangat tergantung
dari kondisi lingkungan perairannya. Veron (1995) mememperlihatkan
keragaman bentuk dan morfologi jenis karang Pocillopora damicornis. Di Great
Barier Reef, karang jenis Pocillopora damicornis memiliki morfologi dan bentuk
pertumbuhan yang berbeda antara daerah karang depan mangrove, laguna, reef
flat hingga karang bagian dalam. Karang di daerah yang keruh seperti laguna dan
mangrove bentuk percabangan lebih ramping sebagai adaptasi terhadap sedimen.
Di daerah reef flat dengan adanya energi gelombang, bentuk koloni lebih padat
dan kokoh. Dan di daerah slope bagian dalam percabangan kembali ramping,
tetapi tidak seramping daerah yang keruh di bagian darat (Gambar 5).

Reef flat Reef back Mangrove


Turbid lagoon

Upper reef slope

Lower reef slope

Gambar 5. Variasi bentuk pertumbuhan Pocillopora damicornis di Great Barrier


Reef dalam kaitannya dengan lingkungan (Veron, 1995)

17
English et al. (1994) menggolongkan bentuk pertumbuhan karang menjadi
dua kelompok besar, yaitu Acropora dan Non-acropora. Secara lengkap bentuk
pertumbuhan dari masing-masing kelompok tersebut dapat dilihat pada Tabel 2
berikut.

Tabel 2. Kategori bentuk pertumbuhan karang (English et al. 1994)


Kategori Kode Keterangan
Dead Coral DC Karang yang baru mati, Berwarna
putih
Dead Coral with DCA Karang mati yang ditumbuhi alga
Alga
Hard Coral:
Acropora Branching ACB Bercabang seperti ranting. contoh:
A. Formosa, A. palmata
Encrusting ACE Bentuk merayap, seperti Acropora
yang belum sempurna. Contoh : A.
cuneata
Submassive ACS Bercabang lempeng dan kokoh.
Contoh : A..palifera
Digitate ACD Percabangan rapat seperti jari
tangan. Contoh : A. digitifera, A.
humilis
Tabular ACT Percabangan arah mendatar. Contoh
: A. hyacinthus
Non Acropora Branching CB Bercabang seperti ranting pohon.
Contoh : Seriatopora hystrix
Encrusting CE Bentuk merayap, menempel pada
substrat. Contoh : Montipora
undata
Foliose CF Bentuk menyerupai lembaran.
Contoh : Merulina ampliata
Massive CM Bentuk seperti batu besar. Contoh :
Platygyra daedalea
Submassive CS Bentuk kokoh dengan tonjolan.
Contoh : Porites lichen
Mushroom CMR Bentuk seperti jamur, soliter.
Contoh : Fungia repanda
Millepora CME Semua jenis karang api, warna
kuning diujung koloni.
Heliopora CHL Karang biru, adanya warna biru
pada skeleton.
Other Fauna
Soft Coral SC Karang dengan tubuh lunak
Sponge SP
Zoanthids ZO
Others OT Anemon, teripang, gorgonian, kima

18
Kategori Kode Keterangan
Algae Alga AA Terdiri lebih dari satu jenis alaga
Assemblage
Coralline CA Alga yang mempunyai struktur
Algae kapur
Halimeda HA Alga dari genus Halimeda
Macroalgae MA Alga berukuran besar
Turf Agae TA Menyerupai rumput-rumput halus
Abiotik Sand S Pasir
Rubble R Pecahan karang yang berserakan
Silt SI Lumpur
Water WA Kolom air /celah dengan
ketdalaman lebih dari 50 cm
Rock RCK
Other DDD Data tidak tercatat atau hilang

Terumbu karang di Kepulauan Derawan


Tipe terumbu karang yang terdapat di Kepulauan Derawan adalah:
fringing reef (terumbu karang tepi), barrier reef (terumbu karang penghalang),
atoll (terumbu karang cincin) dan patch reef (gosong terumbu karang). Gosong
terumbu karang yang terdapat di daerah ini meliputi gosong Pulau Panjang,
gosong Masimbung, gosong Buliulin, gosong Pinaka, gosong Tababinga, dan
gosong Muaras. Atoll yang terdapat di Kepulauan Derawan telah terbentuk
menjadi pulau, yaitu Maratua dengan luasan 690 km2 dan Muaras dengan luas 288
km2; serta ada pula yang terbentuk menjadi danau air asin, yaitu Kakaban dengan
luas 19 km2 (Wiryawan et al. 2004).
Hasil dari REA (Rapid Ecologycal Assesment), tercatat sebanyak 444
spesies karang yang telah teridentifikasi, serta 63 spesies tambahan yang belum
teridentifikasi dan statusnya masih dalam menunggu konfirmasi dari museum
Tropical of Queensland, Australia. Apabila spesies tersebut telah terkonfirmasi,
ini akan menambah kekayaan spesies karang di Kepulauan Derawan menjadi 507
spesies. Hal ini akan menjadikan Kepulauan Derawan menduduki urutan kedua
dunia dalam keanekaragaman spesies terumbu karang setelah Raja Ampat, Irian
dengan jumlah 523 spesies terumbu karang (Turak, 2003).
Selanjutnya Turak (2003) mengelompokkan komunitas terumbu karang di
Kepulauan Derawan ke dalam 6 tipe komunitas yang terdiri dari 3 komunitas
dangkal (Tipe A, B, C) dan 3 komunitas dalam (tipe D, E, F). Pengelompokan ini

19
didasarkan atas komposisi serta kelimpahan dari spesies-spesies karang yang
ditemukan pada masing-masing stasiun. Komunitas dangkal tipe A dicirikan
dengan perairan yang jernih, ditemukan pada daerah jauh dari pantai dan
cenderung berasosiasi dengan komunitas dalam tipe E. Komunitas dangkal tipe B
ditemukan pada daerah flat, slope bagian atas dengan pengadukan yang moderat.
Komunitas dangkal tipe C ditemukan pada daerah yang tertutup pada flat bagian
luar serta reef crest dan upper slope, dicirikan dengan turbiditas yang tinggi.
Komunitas dalam tipe D ditemukan pada daerah slope bagian dalam dan
terlindung, turbiditas tinggi sebagai pengaruh dari sungai Berau. Komunitas
dalam tipe E dicirikan dengan perairan yang jernih di bagian luar dan di sekitar
atoll, biasanya berasosiasi dengan komunitas dangkal tipe A. Komunitas dalam
tipe F ditemukan pada daerah lebih ke luar dimana pengaruh dari pantai masih
cukup kuat. Komposisi dari masing-masing tipe komunitas kemungkinan besar
dipengaruhi oleh adanya Sungai Berau. Masukan sedimen dan materi lain yang
terbawa dari darat menjadi faktor pembatas bagi spesies-spesies karang tertentu,
sehingga penyebaran karang membentuk pola tersendiri pada area terumbu karang
yang dekat dengan daratan hingga area terumbu karang pada bagian luar (atoll).
Selanjutnya sepuluh spesies-spesies karang tertinggi yang ditemukan pada masing
masing tipe komunitas disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Sepuluh spesies karang tertinggi yang ditemukan pada masing-masing


tipe komunitas (Turak, 2003).

Tipe A Kelimpahan Tipe B Kelimpahan


Porites massive 28 Favia matthai 31
Porites cylindrical 27 Favites abdita 27
Acropora millepora 24 Porites massive 32
Galaxea fasicularis 23 Pocillopora verrucosa 28
Acropora palifera 35 Montipora grisea 27
Acropora formosa 30 Pocillopora danae 26
Stylophora pistillata 26 Acropora digitifera 23
Pocillopora verrucosa 24 Symphyllia recta 23
Acropora subulata 23 Acropora humilis 22
Acropora nasuta 21 Seriatopora caliendrum 31

Tipe C Kelimpahan Tipe D Kelimpahan


Fungia concinna 15 Herpolitha limax 14
Fungia repanda 15 Oxypora glabra 13
Favia pallida 13 Favia favus 13
Porites cylindrical 13 Montipora florida 12
Porites nigrescens 13 Galaxea fasicularis 12

20
Fungia horrida 12 Pectinia alcicornis 12
Echinopora lamellosa 12 Pavona cactus 15
Merulina ampliata 10 Seriatopora hystrix 13
Platygyra daedelea 10 Plerogyra simplex 11
Acropora Formosa 9 Pachyseris foliosa 11

Tipe E Kelimpahan Tipe F Kelimpahan


Pavona varians 29 Favia matthai 29
Platygyra daedelea 29 Favites russelli 27
Echinopora lamellosa 28 Diploastrea heliopora 21
Favia matthai 26 Pachyseris speciosa 24
Hydnophora exesa 22 Galaxea fasicularis 22
Acropora horrida 31 Goniasatrea pectinata 22
Porites vaughani 31 Porites massive 26
Acropora divaricata 30 Seriatopora caliendrum 24
Porites massive 30 Porites lichen 23
Stylophora pistillata 29 Mycedium elephantotus 21

Sedimen
Karakteristik alami
Secara umum terdapat dua macam sedimen yang terdapat dalam air laut.
Pertama adalah terrigenous sediment, yang terbentuk dari hasil pelapukan; erosi
dari daratan yang kemudian ditransfer masuk ke laut melalui sungai; gletser dan
angin. Mereka terdiri dari gravel, pasir, lumpur dan tanah liat (clay). Kedua
adalah biogenous sediment, yang terbentuk dari hasil proses-proses biologis
organisme planktonik (dominan) yang mensekresikan skeleton dari kalsium
karbonat atau silica (Bearman, 1989). Selanjutnya Tomascik et al. (1997)
mengemukakan bahwa terrigenous sediment lebih dominan terdapat di daerah
yang memiliki curah hujan yang tinggi. Pada daerah ini (misalnya: pantai utara
Jawa dan selatan Kalimantan), masukan lumpur dan pasir (yang kaya akan clay
mineral) banyak dijumpai sebagai penyusun habitat dasar. Untuk daerah yang
lebih kering serta kawasan non-vulkanik (Banda Arc bagian luar), sedimen pada
perairan dangkalnya lebih didominasi oleh biogeous sediment.
Komposisi dan jumlah sedimen yang masuk ke daerah pantai (termasuk
kawasan terumbu karang) dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama adalah
kondisi geologis yang meliputi lithologi dan fisiografi, dimana dengan kondisi
geologis yang berbeda akan menghasilkan sedimen yang berbeda dalam hal
jumlah dan kualitas (ukuran partikel, minerologi). Faktor kedua yang tidak kalah

21
pentingnya adalah iklim yang dapat mempengaruhi laju pelapukan serta erosi
tanah, intensitas dan durasi curah hujan. Faktor lainnya yang mempengaruhi
masukan sedimen adalah angin yang membawa debu dan pasir, kapasitas infiltrasi
dari tanah dan batuan, serta adanya penutupan oleh tanaman vegetasi di sekitarnya
(Meijerink, 1977 dalam Tomascik et al. 1997; Milliman, 2001).
Selanjutnya berdasarkan ukuran butirnya, sedimen dikelompokkan menjadi
beberapa jenis, yakni batu (stone), pasir (sand), lumpur (silt), dan lempung (clay).
Klasifikasi ini didasarkan pada Skala Wentworth seperti yang disajikan pada
Tabel 4. Skala tersebut menunjukkan ukuran standar kelas sedimen dari fraksi
berukuran mikron sampai beberapa mm dengan spektrum yang bersifat kontinyu
(Wibisono, 2005).

Tabel 4. Klasifikasi ukuran butir sedimen berdasarkan Skala Wentworth


(Wibisono, 2005))
Nama Partikel Ukuran (mm)
Batu (stone) Bongkah (boulder) > 256
Krakal (coble) 64 – 256
Kerikil (peble) 4 – 64
Butiran (granule) 2–4
Pasir (sand) Pasir sangat kasar (v. coarse sand) 1–2
Pasir kasar (coarse sand) ½–1
Pasir sedang (medium sand) ¼–½
Pasir halus (fine sand) 1/8 – ¼
Pasir sangat halus (v. fine sand) 1/16 – 1/8
Lumpur (silt) Lumpur kasar (coarse silt) 1/32 – 1/16
Lumpur sedang (medium silt) 1/64 – 1/32
Lumpur halus (fine silt) 1/128 – 1/64
Lumpur sangat halus (v. fine silt) 1/256 – 1/128
Lempung (clay) Lempung kasar (coarse clay) 1/640 – 1/256
Lempung sedang (medium clay) 1/1024 – 1/640
Lempung halus (fine clay) 1/2360 – 1/1024
Lempung sanat halus (v. fine clay) 1/4096 – 1/2360
Keterangan: v = very; istilah lumpur umumnya disebut lanau

Ukuran-ukuran partikel tersebut diatas sangat mungkin untuk menutupi


polip karang yang memiliki variasi ukuran dari beberapa milimeter sampai
beberapa sentimeter. Penutupan oleh sedimen seperti ini secara langsung
berpengaruh terhadap kehidupan polip karang.
Sirkulasi sedimen di daerah pantai serta transport dari dan ke arah laut lepas
lebih dipengaruhi oleh angin, arus, gelombang dan pasang surut. Hasil dari
pelapukan dan erosi terbawa oleh aliran sungai dalam bentuk padatan tersuspensi,

22
kemudian melalui proses mekanik sebagian didepositkan dan terakumulasi pada
lapisan dasar, peristiwa ini disebut sedimentasi (Bates and Jackson, 1980 in
Tomascik, 1997). Selanjutnya Tomasik (1997) menyebutkan bahwa laju
sedimentasi dari padatan tersuspensi ini dipengaruhi oleh struktur fisik dari
partikel itu sendiri (contoh: volume, luas permukaan, densitas, dan porositas), sifat
fisik dari air (contoh: densitas), serta kondisi hidrologis di sekitar lokasi (contoh:
velositas arus, shear stress, pengadukan).

Pengaruh sedimen terhadap terumbu karang


Komunitas terumbu karang identik dengan kondisi lingkungan dengan
perairan yang jernih, oligotropik, dan substrat dasar yang keras. Sedimen yang
tersuspensi maupun yang terdeposit umumnya diketahui memberikan efek yang
negatif terhadap komunitas karang (McLaughin et al. 2003). Rogers (1990) in
Tomascik et al. (1997) menyebutkan bahwa laju sedimentasi dapat menyebabkan
kekayaan spesies yang rendah, tutupan karang rendah, mereduksi laju
pertumbuhan dan laju recruitment yang rendah, serta tingginya pertumbuhan
karang bercabang.
Pengaruh sedimen terhadap komunitas karang secara garis besar terjadi
melalui beberapa mekanisme. Pertama, partikel sedimen menutupi permukaan
koloni/individu karang sehingga polip karang memerlukan energi yang lebih
untuk menyingkirkan partikel-partikel tersebut. Kedua, sedimen menyebabkan
peningkatan kekeruhan dan dapat menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke
dasar perairan sehingga dapat mengganggu kehidupan spesies-spesies karang
yang kehidupannya sangat bergantung terhadap penetrasi cahaya (Salvat, 1987).
Ketiga, selain mampu mengikat unsur hara, sedimen juga dapat mengadsorpsi
bahan toksik dan penyakit yang dapat menyebabkan terganggunya kesehatan
karang. Selanjutnya Hubbard (1997) menyebutkan bahwa sedimentasi juga dapat
menghalang-halangi penempelan larva karang pada substrat dasar. Sebagaimana
diketahui bahwa larva karang membutuhkan substrat yang keras untuk menempel,
dengan adanya penutupan substrat oleh sedimen, larva tersebut tidak mendapatkan
kestabilan dalam penempelan sehingga tahap perkembangan selanjutnya tidak
dapat tercapai.

23
Dalam banyak kasus, adanya sedimentasi di daerah terumbu karang
menyebabkan kematian dan degradasi bagi beberapa spesies karang. Hubbard
(1997) mengemukakan bahwa pertumbuhan karang (dan mungkin penutupan) di
sepanjang terumbu karang Costa Rica mengalami penurunan secara gradual
dengan meningkatnya tekanan lingkungan, terutama sedimentasi sebagai
pengaruh dari lahan pertanian sejak 1950. Selanjutnya aktivitas pengerukan yang
terjadi di pelabuhan Castle, Bermuda sekitar 30 tahun yang lalu, telah
memyebabkan kematian karang di beberapa area karang sekitarnya yang
dipengaruhi sistem sirkulasi perairan dari daerah pengerukan tersebut (Dodge dan
Vaisnys, 1977 dalam Hubbard, 1997). Di Ko Phuket, Thailand pengerukan pada
daerah dalam selama 8 bulan secara signifikan telah menyebabkan reduksi
penutupan karang pada area terumbu karang intertidal yang berdekatan dengan
aktifitas tersebut (Brown et al. 1990 dalam Hubbard, 1997).
Di Indonesia, Sungai Solo di Jawa Timur memasok sekitar 1200 ton.km-2
/thn sedimen (Hoekstra et al. 1989 dalam Tomascik et al. 1997). Selanjutnya
masukan sedimen dari Sungai Solo ini berpengaruh terhadap degradasi dan
penyebaran karang di pantai utara Jawa dan Madura (Tomascik et al. 1997).
Berdasarkan data yang tersedia, terlihat bahwa pengaruh yang paling kuat terjadi
di bagian timur, selama puncak run off yaitu pada muson barat laut, ketika arus
dari laut jawa mengalir ke arah timur (Wyrtki, 1961; Hoekstra, et al. 1989 dalam
Tomascik et al. 1997).

Adaptasi karang terhadap sedimen


Bagaimanapun juga jenis karang tertentu masih memiliki kemampuan
untuk beradaptasi terhadap sedimentasi pada lingkungan perairannya, baik secara
fisiologi maupun morfologi. Adaptasi secara fisiologi merupakan bentuk adaptasi
secara aktif dari karang dalam menolak sedimen (active sediment rejection),
sedangkan adaptasi secara morfologi merupakan kemampuan karang secara pasif
dalam menolak sedimen (passive sediment rejection). Kondisi hidrologi lokal dan
bentuk umum corallum karang merupakan dua faktor kunci kemampuan karang
dalam menolak sedimen secara pasif (Tomascik et al. 1997). Kenyataan bahwa
setiap jenis karang memiliki kemampuan yang berbeda untuk beradaptasi
terhadap keberadaan sedimen, akan menyebabkan pola penyebaran dari jenis-jenis

24
karang serta struktur komunitas benthic lainnya berbeda pula antara daerah
dengan sedimentasi tinggi hingga daerah yang sedikit sekali mengalami
sedimentasi ( Litz et al. 1985; Hallock, 1998 dalam Hallock et al. 2004).
Sebagai contoh karang dari jenis Fungia dapat beradaptasi secara
morfologi dan fisiologi terhadap kondisi perairan dengan turbiditas tinggi.
Turbinari peltata dan Echinopora mammiformis merupakan jenis karang yang
mampu bertahan pada kondisi perairan dengan turbiditas tinggi, yaitu dengan
memiliki morfologi corallum (unifacial lamine) yang memfasilitasi untuk
menolak sedimen secara pasif (Stafford-Smith dan Ormond, 1992 dalam
Tomascik et al. 1997). Dengan memiliki kemampuan tersebut, keduanya
mengalami kesuksesan yang cukup tinggi untuk bertahan di area karang dengan
turbiditas tinggi di Kepulauan Berau, bahkan keberadaannya sangat melimpah
(Tomascik et al. 1997).
Jenis-jenis karang yang memiliki kemampuan secara aktif dalam menolak
sedimen telah banyak diteliti oleh beberapa peneliti (Marshall dan Orr, 1931;
Hubbard dan Pacock, 1972; Bak dan Elgershuizen, 1976; Rogers, 1978, 1983;
Logan, 1988 dalam Tomascik et al. 1997). Hasilnya mengindikasikan bahwa
terdapat variasi dalam kempuan penolakan sedimen diantara masing-masing grup
taksa. Selanjutnya Stafford-Smith dan Ormond (1992) dalam Tomascik et al.
(1997) mengemukakan bahwa terdapat 42 spesies karang yang diteliti di Great
Barier Reef yang memiliki kemampuan aktif dalam menolak sedimen. Sebagai
contoh, Leptoria phyriga, yang umumnya terdapat pada daerah upper reef slope
yang jernih, tapi masih memiliki kemampuan mentolerir sedimentasi hingga 25
mg.cm-2 /hari tanpa mengalami kerusakan (Stafford-Smith, 1993 dalam Tomascik
et al. 1997). Jenis lain yang memiliki kemampuan tinggi dalam menolak sedimen
adalah Diploastrea heliopora, Gardineroseris planulata dan Favia pallida, dan
keberadaannya cukup melimpah pada daerah turbiditas tinggi di Kepulauan Berau
dengan kedalaman kurang dari 5 meter (Tomascik et al. 1997).

25
BAHAN DAN METODE

Waktu dan lokasi penelitian


Penelitian dilakukan secara berkala dengan tiga periode pengambilan data.
Pengambilan data pertama dilakukan pada bulan Mei, 2005, kemudian
pengambilan data kedua dilakukan pada bulan September, 2005, dan pengambilan
data ketiga dilakukan pada bulan Februari, 2006. Tiga periode pengambilan data
ini dianggap sebagai ulangan yang mewakili musim barat dan musim timur.
Stasiun pengambilan data ditetapkan pada empat pulau di Kepulauan
Derawan, yaitu Pulau Panjang, Pulau Derawan, Pulau Sangalaki, dan Pulau
Maratua (Gambar 6). Selanjutnya posisi geografis dari masing-masing stasiun
dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Posisi geografis stasiun penelitian


Jarak dari
Stasiun Lokasi Muara Sungai Posisi Geografis
Berau (km)
1 Pulau Panjang 34,6 2° 18’ 05” LU, 118° 14’ 14” BT
2 Pulau Derawan 37,2 2° 17’ 05” LU, 118° 14’ 55” BT
3 Pulau Sangalaki 43,6 2° 05’ 23” LU, 118° 23’ 38” BT
4 Pulau Maratua 69,5 2° 11’ 43” LU, 118° 35’ 38” BT

Pertimbangan pemilihan lokasi adalah jarak terhadap sumber utama


masukan sedimen (Sungai Berau), dimana diduga terjadi degradasi sedimentasi
dari sedimentasi tinggi, moderat hingga sedimentasi kecil. Dengan terdapatnya
perbedaan kondisi sedimen diharapkan dapat dilihat pengaruhnya terhadap
struktur komunitas terumbu karang pada masing-masing stasiun. Pertimbangan
lainnya adalah lokasi tersebut merupakan titik-titik penyelaman yang telah
dilakukan pada kegiatan Rapid Ecologycal Assesment (REA) oleh The Nature
Conservancy (TNC) sehingga selain ketersediaan mengenai data awal kondisi
terumbu karang di Kepulauan Derawan, juga titik-titik tersebut relatif aman untuk
dilakukan penyelaman.
Peralatan yang digunakan
Alat bantu utama yang digunakan dalam pengamatan terumbu karang
adalah peralatan selam SCUBA (Self Contained Underwater Breathing
Apparatus), roll meter, transek kuadrat dengan ukuran 1 x 1 m, serta alat tulis
bawah air (underwater paper dan pensil). Alat pendukung lainnya yang digunakan
untuk mengamati terumbu karang diantaranya adalah kamera bawah air Canon
Powershot S50, tetrapod, pasak besi yang digunakan untuk memasang transek
permanen, serta speed boat sebagai alat transportasi dalam pengambilan data.
GPS digunakan untuk mencatat posisi geografis lokasi stasiun pengamatan. Alat
yang digunakan untuk mengukur sedimen adalah sedimen traps yang terbuat dari
pipa PVC dengan diameter dalam 8 cm. Alat yang digunakan untuk mengambil
contoh air adalah Van Dorn Water Sampler. Selanjutnya peralatan serta metode
yang digunakan untuk mengukur parameter perairan secara lengkap dapat dilihat
pada tabel berikut (Tabel 6).

Tabel 6. Peralatan dan metode yang digunakan untuk pengamatan parameter


oseanografi
Parameter Satuan Metode/Alat Keterangan
o
Arah arus Kompas in situ
Kecepatan arus m/dt Floating drouge in situ
Kedalaman m Deep gauge in situ
Suhu °C SCT-meter in situ
Kecerahan m Secchi disc in situ
Salinitas ppt SCT-meter in situ
Nitrat mg/l Tetrimetrik Laboratorium
Posphat mg/l Tetrimetrik Laboratorium
TSS mg/l Gravimetrik Laboratorium
Fraksi sedimen Pipet Laboratorium
Laju sedimentasi m3/hari Sediment traps in situ

Tahapan Penelitian
Secara umum penelitian kali ini meliputi 3 tahap, yaitu (1) penentuan
stasiun yang didasarkan atas jarak terhadap muara Sungai Berau, kemudian
dilanjutkan dengan pengamatan karang batu, sedimen dan parameter oseanografi
di lapangan. (2) Analisis laboratorium untuk parameter nutrien, tekstur sedimen,
dan pembuatan preparat histologis karang. (3) Analisis dan interpretasi data.
Selengkapnya alur penelitian tersaji pada diagram berikut (Gambar 7)

28
Mulai

Penentuan stasiun

Karang batu Sedimen Parameter


oseanografi

Persentase Laju Sedimentasi Suhu, salinitas,


penutupan , Indeks dan Tekstur kecerahan, TSS,
mortalitas dan sedimen nitran, ortofosfat
struktur jaringan

Analisis komponen
utama (PCA)

Mengetahui sebaran stasiun


Analisis ragam dan hubungan antar
(ANOVA)
variabel penelitian

Menguji perbedaan Analisis regresi dan


persentase penutupan korelasi
karang diantara stasiun
penelitian

Mengetahui pengaruh
sedimentasi terhadap karang
batu

Selesai

Gambar 7. Diagram alur tahapan penelitian

Metode pengambilan data


Pengamatan terumbu karang
Pengamatan terumbu karang dilakukan dengan menggunakan modifikasi
dari metode transek kuadrat (English et al. 1994). Metode ini cocok digunakan
untuk mengamati penutupan terumbu karang dengan periode waktu yang lama.

29
Dalam metode ini terdapat tiga tahapan yang dilakukan, yaitu pembentangan roll
meter, pemasangan pasak, dan pengambilan foto transek.
Pemasangan roll meter dilakukan untuk menetapkan transek garis, dimana
transek garis ini berfungsi dalam penentuan arah dan jarak yang konstan dari
pemasangan transek kuadrat. Roll meter dibentangkan sepanjang 50 meter sejajar
dengan garis pantai, kemudian pemasangan transek kuadrat dilakukan setiap
selang 5 meter. Sebelum pengambilan foto transek, terlebih dahulu dilakukan
pemasangan pasak besi di setiap sudut transek kuadrat dengan tujuan sebagai
tanda untuk pengamatan berikutnya. Selanjutnya pengambilan foto transek
dilakukan dengan menggunakan kamera bawah air. Agar jarak pengambilan
gambar selalu konstan maka setiap pengambilan foto dibantu dengan
menggunakan tetrapod. Pengolahan foto dilakukan didarat dengan menggunakan
software Image-G sampai pada taraf bentuk pertumbuhan karang batu (Lampiran
2). Output yang dihasilkan berupa data kondisi penutupan karang yang terdapat
dalam transek kuadrat.

Gambar 8. Metode pengambilan data karang dengan transek kuadrat

Pengamatan sedimen dan parameter kualitas air


Pengamatan sedimen yang terdeposit dilakukan dengan menggunakan
sedimen traps yang terbuat dari pipa PVC dengan tinggi 20 cm dan diameter 3
inci. Sedimen traps dipasang pada masing-masing stasiun selama 14 hari.
Pengamatan dilakukan pada hari terakhir setelah pemasangan dengan mencatat

30
volume dan mengambil sedimen yang terperangkap selama periode waktu
pemasangan. Selanjutnya volume yang didapat dikonversi ke dalam mg/cm2/hari
sebagai laju sedimentasi. Untuk mengetahui fraksi sedimen pada masing-masing
stasiun pengamatan maka contoh sedimen dianalisis di laboratorium Pusat
Penelitian Tanah dengan menggunakan metode pipet.
Contoh air diambil dengan menggunakan Van Dorn Water Sampler, yang
kemudian dipindahkan ke dalam botol sample untuk dilakukan analisis Nitrat,
Posphat, dan TSS di laboratorium. Pengukuran parameter suhu dan salinitas
dilakukan secara langsung dilapangan dengan menggunakan SCT-meter.
Demikian juga dengan parameter fisika-kimia lainnya seperti kecerahan, dan arus
dilakukan secara langsung di lapangan (Gambar 9).

Gambar 9. Pengukuran parameter oseanografi

Preparat histologis karang


Untuk melihat pengaruh dari sedimen terhadap struktur jaringan polip
karang maka perlu adanya pengamatan terhadap struktur jaringan polip tersebut.
Pembuatan preparat histologis polip karang dilakukan dengan mengikuti langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Untuk memisahkan polip karang dari kerangka kapur, terlebih dahulu
dilakukan Decaltifikasi dengan menggunakan larutan Formik Acid 100 ml,
HCL pekat 80 ml, Akuades 820 ml kemudian ditambah larutan Formalin 10%.

31
2. Lakukan fiksasi dengan menggunakan larutan Bouin, yaitu larutan yang terdiri
dari Formaldehid 25%, Asam pikarat 75% dan Asam asetat glasial 5% selama
24 jam. Kemudian ganti larutan dengan Alkohol 75%.
3. Lakukan dehidrasi dengan menggunakan larutan Alkohol dengan konsentrasi
berturut-turut sebagai berikut: 70% selama 24 jam, 80% selama 2 jam, 90%
selama 2 jam, 95% selama 2 jam, 95% selama 2 jam. Kemudian masukkan
dalam Alkohol 100% selama 12 jam, Alkohol 100% selama 1 jam.
4. Tahap selanjutnya adalah memasukkan polip karang ke dalam larutan
Alkohol dan Xilol selama 30 menit. Kemudian pindahkan ke dalam larutan
Xilol selama 3 kali 30 menit.
5. Sebelum dilakukan infiltrasi, masukkan terlebih dahulu polip karang ke dalam
larutan Xilol dan Parafin. Selanjutnya dilakukan infiltrasi dengan
menggunakan parafin yang telah dicairkan beberapa minggu sebanyak 3 kali
ganti, masing-masing selama 45 menit.
6. Selanjutnya dilakukan blocking (pencetakan) kemudian didinginkan. Pada
proses pencetakan ini bidang permukaan yang akan dipotong diletakkan
menghadap ke bawah dengan menggunakan forcep atau pinset.
7. Setelah pencetakan kemudian dilakukan proses section atau pemotongan
menggunakan microtom dengan ketebalan 4 – 6 mikron.
8. Langkah terakhir adalah pewarnaan. Preparat terlebih dahulu direndam dalam
larutan Xilol 2 kali selama 3 – 5 menit. Selanjutnya masukkan dalam Alkohol
dengan konsentrasi berturut-turut 100%, 100%, 95%, 90%, 80%, 70%, 50%,
masing-masing selama 2 menit. Kemudian masukkan dalam Haematoxylin (5
– 7 menit), air mengalir (5 – 7 menit), Eosin (3 – 5 menit.). Kemudian
masukkan dalam alkohol dengan konsentrasi seperti diatas tetapi urutannya
dibalik dari 50% hingga 100%. Selanjutnya masukkan kembali ke dalam Xilol
2 kali bergantian masing-masing selama 2 menit. Kemudian di-mounting
dengan cover glass. Preparat siap untuk diamati.

32
Analisis Data
Persentase penutupan dan mortalitas karang batu
Persentase penutupan karang beserta penyusun substrat dasar lainnya
dianalisis dengan menggunakan software Image-G. Prinsip kerja dari metode ini
adalah: pertama mengkonversi foto yang diambil dengan menggunakan kamera
Canon Powershot S50 dari satuan meter (mengacu pada transek kuadrat dengan
dengan luas 1x1m) ke dalam satuan pixel; selanjutnya melakukan digitasi
terhadap bentuk pertumbuhan karang beserta substrat dasar lainnya yang telah
diketahui genusnya. Hasil akhir dari pengolahan ini adalah berupa persentase
penutupan baik bentuk pertumbuhan ataupun genus karang serta penyusun
substrat dasar lainnya yang terdapat dalam transek kuadrat.
Untuk melihat tingkat kematian karang batu pada masing-masing stasiun
penelitian didekati dengan indeks mortalitas. Nilai indeks mortalitas karang
didapatkan dari persentase penutupan karang mati dan patahan karang dibagi
dengan persentase karang hidup (modifikasi dari Gomez and Yap, 1988):

A
MI =
A+ B
Keterangan : MI = Indeks mortalitas
A = Persentase karang mati dan patahan karang
B = Persentase karang hidup

Padatan tersuspensi (TSS)


Penentuan sedimen yang tersuspensi di dalam air dilakukan berdasarkan
metode gravimetrik yang dikembangkan oleh Banse et al. (1963) serta Strickland
dan Parson (1968) dalam Hutagalung et al. (1997). Metode ini didasarkan pada
selisih berat kertas saring sesudah dan sebelum penyaringan contoh air.
Selanjutnya proses analisis dilakukan melalui langkah-langkah berikut:
1. Siapkan kertas saring (millipore dengan porositas 0,45µm), keringkan dalam
o
oven selama 1 jam pada suhu 103 – 105 C kemudian dinginkan dalam
desikator. Timbang dan dicatat beratnya (W1).

33
2. Ambil 100 ml air contoh dengan gelas ukur, aduk, kemudian disaring dalam
Vacuum Pump dengan menggunakan kertas saring yang telah ditimbang
sebelumnya.
3. Keringkan kertas saring dan residu dalam oven 103 – 105 oC selama kurang
lebih 1 jam, dinginkan dalam desikator, kemudian timbang (W2).
4. Hitung nilai TSS dengan menggunakan rumus:

1000
TSS (mg / l ) = W2 − W1
ml sampel

dimana: W1 = Berat filter sebelum digunakan untuk menyaring (mg)


W2 = Berat filter setelah digunakan untuk menyaring (mg)

Analisis Sedimen
Laju sedimentasi dinyatakan dalam mg/cm3/hari (Roger et al, 1994).
Pengamatan dilakukan dengan mengkoleksi sedimen yang terperangkap dalam
sediment traps yang dipasang selama 14 hari. Selanjutnya dihitung berat kering
sedimen (dalam mg) dengan menggunakan timbangan analitik. Perhitungan laju
sedimentasi dilakukan melalui pesamaan berikut

BS
LS =
Jumlah hari x π r 2

dimana: LS = Laju sedimentasi (mg/cm2/hari)


Bs = Berat kering sedimen (mg)
π = konstanta (3,14)
r = Jari jari lingkaran sedimen traps (cm)

Selanjutnya contoh sedimen diambil untuk kemudian dilakukan analisis


fisik sedimen berupa diameter partikel di laboratorium.
Berdasarkan hasil nalisis fisik tersebut di atas, selanjutnya dilakukan analisis
lanjutan menggunakan software GRADISTAT versi 4.0 (Blot 2000). Keluaran dari
analisis GRADISTAT adalah berupa parameter statistik sedimen yang meliputi
ukuran partikel sedimen, sorting, skewness, kurtosis dan persentase jenis sedimen.
Selanjutnya pengelompokan klasifikasi menurut Skala Wenworth seperti yang

34
disajikan pada Tabel 3. Skala tersebut menunjukkan ukuran standar kelas sedimen
dari fraksi berukuran mikron sampai beberapa mm dengan spektrum yang bersifat
kontinyu.

Pengelompokan jenis karang batu


Cluster analisis dengan menggunakan indeks jarak euclidean dilakukan
untuk melihat terdapatnya pengelompokan jenis karang batu yang didasarkan atas
keberadaannya pada stasiun penelitian. Dengan ini akan terlihat adanya jenis yang
menjadikan ciri dari masing-masing stasiun penelitian. Analisis dilakukan dengan
menggunakan software Statistica 6.0. Indeks ini dihitung berdasarkan jumlah
kuadrat perbedaan antara individu-individu (baris) untuk variabel (kolom) yang
sesuai melalui persamaan:

p
d 2 (i, i ' ) = ∑ ( xij − xi ' j )
j =1

dimana: i dan i’ = indeks untuk individu atau baris


j (1 sd p) = indeks variabel atau kolom
p = banyaknya peubah yang diamati dari setiap individu

Analisis Komponen Utama (PCA)


Untuk melihat sebaran spasial terumbu karang beserta karakteristik
perairan di sekitarnya dilakukan analisis menggunakan statistik multivariabel
PCA (Principal Components Analysis) dengan software Statistica 6.0 (Ludwig
and Reynolds, 1988). Analisis Komponen Utama (PCA) merupakan metode
analisis statistika deskriptif untuk merepresentasikan data dalam bentuk grafik
informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data terdiri
dari stasiun pengamatan sebagai individu (baris), serta penutupan karang dan
parameter fisika-kimia perairan sebagai variabel (kolom).
Parameter yang dilibatkan dalam analisis ini adalah persentase penutupan
karang serta parameter fisika-kimia perairan di sekitarnya seperti suhu, salinitas,
kecerahan dan sedimen. Karena parameter-parameter tersebut tidak memiliki
satuan yang sama maka harus dilakukan penormalan data melalui serangkaian

35
proses pemusatan dan pereduksian. Pemusatan dilakukan dengan melihat selisih
antara nilai parameter inisial tertentu dengan nilai rata-rata parameter tersebut.
Pereduksian merupakan hasil bagi antara nilai pemusatan dengan standar deviasi
parameter tersebut.

Ni − x
R=
S
dimana: R = nilai hasil reduksi x = nilai rataan dari parameter
Ni = nilai parameter awal S = standar deviasi

Agar pengelompokan dapat dilakukan, harus diketahui dahulu kedekatan


antar komponen, untuk itu digunakan jarak Euclidean yang merupakan jumlah
kuadrat perbedaan antara stasiun (baris) terhadap variabel/parameter (kolom) yang
berhubungan.

Analisis ragam (ANOVA)


Analisis ragam digunakan untuk mengkaji apakah terdapat perbedaan
persentase penutupan karang batu diantara stasiun penelitian. Analisis dilakukan
dengan menggunakan software SPSS 10, dalam taraf nyata 95%. Hipotesis yang
akan dibuktikan melalui uji kali ini adalah:
H0: Tidak terdapat perbedaan penutupan karang batu diantara masing-masing
stasiun
H1: Sekurang-kurangnya dua stasiun memiliki penutupan karang batu yang
berbeda dengan stasiun lainnya
Uji statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis nol adalah dengan
uji F. Apabila F hitung lebih besar daripada F tabel maka H0 ditolak. Sebaliknya
apabila F hitung lebih kecil daripada F tabel maka H0 diterima.

Analisis regresi
Untuk menganalisis hubungan antara sedimentasi dengan karang batu,
dilakukan analisis Regresi dengan menggunakan software Microsoft Excel 2003.
Regresi merupakan suatu model matematika yang dapat digunakan untuk
memprediksi suatu variabel dengan variabel lainnya. Variabel yang diprediksi

36
disebut variabel dependent yang umumnya ditulis dengan lambang y, sedangkan
variabel yang memprediksi disebut variabel independent, yang biasa ditulis
dengan simbol x (Walpole, 1995, Kountur, 2006).
Dalam kaitannya dengan penelitian kali ini, yang menjadi variabel
dependent adalah jenis dan penutupan karang batu, sedangkan yang menjadi
variabel independent adalah laju sedimentasi. Secara matematis rumus regresi
dapat ditulis sebagai berikut (Walpole 1995) :

yˆ = a + bx
n
⎛ n ⎞⎛ n ⎞
n∑ xiyi − ⎜ ∑ xi ⎟⎜ ∑ yi ⎟
b = i =1 ⎝ i =1 ⎠⎝ i =1 ⎠
2
n
⎛ n ⎞
n∑ xi 2 − ⎜ ∑ xi ⎟
i =1 ⎝ i =1 ⎠
a = y − bx
Dimana: ŷ = jumlah jenis dan penutupan karang batu yang diprediksi
x = laju sedimentasi
a, b = koefisien regresi
y = rata-rata y
x = rata-rata x
Setelah diketahui persamaan regresi, selanjutnya dilakukan analisis
hubungan antara sedimentasi dengan penutupan dan jumlah jenis karang batu.
Analisis dilakukan dengan penghitungan koefisien korelasi (r). Persamaan untuk
koefisien korelasi dapat dituliskan sebagai berikut (Walpole, 1995):

n
⎛ n ⎞⎛ n ⎞
n∑ xiyi − ⎜ ∑ xi ⎟⎜ ∑ yi ⎟
r= i =1 ⎝ i =1 ⎠⎝ i =1 ⎠
⎡ n 2 ⎛ n ⎞2 ⎤ ⎡ n 2 ⎛ n ⎞2 ⎤
⎢n∑ xi − ⎜ ∑ xi ⎟ ⎥ ⎢n∑ yi − ⎜ ∑ yi ⎟ ⎥
⎢⎣ i =1 ⎝ i =1 ⎠ ⎥⎦ ⎢⎣ i =1 ⎝ i =1 ⎠ ⎥⎦

Dalam menginterpretasi model regresi digunakan koefisien determinasi


2
(R ). Koefisien determinasi menunjukkan berapa besar perubahan pada variabel

37
dependent yang dapat dijelaskan oleh variabel independent. Penghitungan
koefisien determinasi dilakukan melalui persamaan berikut:

JKG
R2 =
(n − 1) s y
2

Dimana: Sy = simpangan baku y


n = jumlah data
JKG = jumlah kuadrat (n – 1) (sy2 – (b2sx2))

38
HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter oseanografi
Salinitas memiliki kecenderungan semakin tinggi menuju ke arah laut
lepas. Kecerahan di setiap stasiun masih mampu menembus dasar perairan.
Kandungan TSS pada stasiun yang dekat dengan aliran sungai lebih tinggi
dibandingkan stasiun yang jauh dari aliran sungai. Stasiun 1 dan 2 memiliki nilai
rerata TSS yang sama akan tetapi fluktuasi secara periodik berbeda. Konsentrasi
TSS paling rendah terdapat pada Stasiun 3. Berbeda dengan parameter lainnya,
kandungan ortofosfat paling tinggi justru ditemukan di Stasiun 4. Hal ini
kemungkinan disebabkan pengukuran dilakukan pada lokasi yang dekat dengan
aktifitas penduduk. Kecepatan arus paling tinggi terdapat di Stasiun 3 sedangkan
paling rendah terdapat di Stasiun 1. Hasil pengukuran-pengukuran tersebut
selanjutnya disajikan dalam bentuk Tabel 7 di bawah ini.

Tabel 7. Rerata dan standar deviasi parameter oseanografi pada masing-masing


stasiun pengamatan
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Parameter
Rerata St.dev Rerata St.dev Rerata St.dev Rerata St.dev
Suhu (ºC) 29,567 0,058 29,833 0,321 29,933 0,513 30,133 0,709
Salinitas (ppt) 29,833 0,874 30,267 0,208 31,467 0,503 31,833 0,777
Kecerahan (m) 5,237 0,071 8,893 0,430 5,993 0,190 7,173 0,162
TSS (mg/l) 12,667 5,508 12,667 9,018 6,667 2,309 5,000 4,359
NO3 (mg/l) 0,182 0,115 0,167 0,105 0,068 0,071 0,128 0,077
PO4-orto (mg/l) 0,004 0,005 0,003 0,004 0,004 0,005 0,039 0,065
Kec. Arus (m/s) 0,207 0,043 0,238 0,064 0,290 0,028 0,284 0,064

Suhu
Pengukuran suhu sangat tergantung dari waktu pengukuran dan cuaca pada
saat itu. Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa secara umum suhu di Kepulauan
Derawan memiliki kisaran yang tidak terlalu lebar, yaitu berkisar antara 29,567 oC
– 30,133 oC. Kisaran tersebut masih termasuk dalam kriteria suhu dimana terumbu
karang dapat tumbuh dan berkembang. Menurut Sukarno et al. (1983) suhu yang
paling baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25 oC – 30 oC . Selanjutnya
Nybakken (1993) mengatakan bahwa terumbu karang masih dapat mentolerir
suhu tahunan maksimum 36 oC – 40 oC dan tahunan minimum 18 oC. Suhu dapat
mempengaruhi tingkah laku makan karang. Kebanyakan karang kehilangan
kemampuan untuk menangkap makanan pada suhu diatas 33,5 oC dan dibawah 16
o
C (Mayor, 1918 dalam Supriharyono, 2000).
Coles dan Jokiel (1978) dan Neudecker (1981) dalam Supriharyono (2000)
mengatakan bahwa perubahan suhu secara mendadak sekitar 4 oC – 6 oC dibawah
atau diatas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan
mematikannya. Selanjutnya Tomascik et al. (1997) mengemukakan bahwa
terumbu karang pada suatu lokasi hanya dapat mentolelir perubahan suhu sekitar 2
o
C – 3 oC.

Salinitas
Tabel 4 memperlihatkan salinitas paling tinggi terdapat di Stasiun 4
(31,833 ± 0,777 ppt) sedangkan paling rendah terdapat di Stasiun 1 (29,833 ±
0,874 ppt). Semakin tingginya salinitas pada stasiun yang menjauhi Sungai Berau
memperlihatkan adanya pengaruh dari Sungai Berau terhadap distribusi salinitas
di Kepulauan Derawan.
Salinitas permukaan air laut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
runoff, presipitasi, epavorasi, dan pola arus permukaan. Fluktuasi salinitas
permukaan terutama di perairan pantai berkaitan erat dengan keberadaan sungai
dan hujan lebat. Salinitas akan mempengaruhi distribusi terumbu karang. Menurut
Tomascik et al. (1997) terumbu karang yang dekat dengan sungai besar seperti
Sungai Berau akan memperlihatkan keragaman rendah yang didominasi oleh
beberapa spesies karang. Spesies dominan antara lain Porites lobata, P. lutea, P.
cylindrica, Montipora turlensis, M. mollis, M. hispida, Goniastrea favulus, G.
aspera, Goniopora djibuotiensis, G. stokesi, dan G. lobata. Spesies-spesies
tersebut merupakan spesies karang yang umumnya toleran terhadap salinitas yang
rendah dan turbiditas yang tinggi.

Kecerahan
Hasil pengukuran memperlihatkan terdapat perbedaan kecerahan antara
masing-masing stasiun penelitian. Hal ini terlihat pada saat penyelaman, dimana
visibilitas perairan di Stasiun 1 dan 2 lebih rendah dibanding stasiun lainnya.
Kondisi seperti ini kemungkinan disebabkan jarak kedua stasiun tersebut yang

40
lebih dekat dengan muara Sungai Berau. Namun demikian secara umum
kecerahan pada masing-masing stasiun selama tiga periode pengamatan masih
mampu menembus dasar perairan. Perubahan nilai kecerahan pada masing-masing
periode pengamatan terjadi karena pengaruh waktu pengukuran yang terkait
dengan pasang surut. Meskipun demikian nilai tersebut masih berkisar di sekitar
nilai kedalaman perairan
Dalam ekosistem terumbu karang, kecerahan erat kaitannya dengan cahaya
matahari. Cahaya matahari sangat diperlukan terutama oleh alga simbion karang
zooxanthellae untuk melakukan fotosintesis, selanjutnya hasil dari fotosintesis
dimanfaatkan oleh karang untuk melakukan proses respirasi dan kalsifikasi
(Hubbard, 1997). Kecerahan berbanding terbalik dengan padatan tersuspensi
(TSS), dimana semakin meningkat TSS maka kecerahan dan penetrasi cahaya
matahari semakin berkurang. Hal ini menurut Hubbard (1997) dapat berpengaruh
terhadap morfologi karang.

Padatan tersuspensi (TSS)


Selain berpengaruh terhadap salinitas, aliran sungai Berau juga
mempengaruhi total padatan tersuspensi (TSS) perairan Kepulauan Derawan. Di
perairan, TSS berpengaruh terhadap penetrasi cahaya matahari yang masuk ke
dasar perairan dimana terumbu karang berada. Pengaruh ini berbanding terbalik
dengan kecerahan, yaitu semakin tinggi nilai TSS maka penetrasi cahaya semakin
berkurang. Kaitannya dengan keberadaan terumbu karang, TSS menyebabkan
terhalangnya penetrasi cahaya matahari . Sebagaimana disebutkan diatas bahwa
cahaya matahari sangat diperlukan untuk pertumbuhan karang terkait dengan
fotosintesis alga simbion zooxanthellae. Menurut Hubbard (1997) dengan
tingginya nilai TSS maka kemampuan karang untuk tumbuh dan berkembang
akan terhambat, selanjutnya TSS juga dapat menyebabkan kematian karang secara
individu, serta pada akhirnya dapat membangun pola zonasi secara alami.
Konsentrasi TSS paling tinggi terdapat di Stasiun 1 dan 2. Di Stasiun 1
TSS sebesar 12,677 ± 5,508 mg/l dan Stasiun 2 sebesar 12,677 ± 9,018 mg/l.
Sedangkan konsentrasi TSS paling rendah dijumpai di Stasiun 4 (5,000 ± 4,359
mg/l). Pada Stasiun 1 tidak terdapat aktifitas penduduk sehingga sumber utama

41
pasokan TSS berasal dari Sungai Berau. Pada Stasiun 2 selain masukan dari
Sungai Berau, pada stasiun ini terdapat perkampungan penduduk yang sedikit
banyak dapat menyumbangkan konsentrasi TSS ke perairan di sekitarnya.
Kajian yang dilakukan oleh TNC mengemukakan bahwa berbagai aktifitas
di sepanjang Sungai Berau seperti penggundulan hutan, penambangan batubara
dan penambangan pasir diduga merupakan faktor utama kontribusi TSS pada
kedua stasiun tersebut.

Nutrien
Nutrien merupakan suatu elemen mikro yang keberadaannya sangat
dibutuhkan oleh semua makhluk hidup. Di perairan pesisir, dua nutrien yaitu
nitrogen and fosfor hadir dengan konsentrasi rendah sehingga mereka akan
menghalangi pertumbuhan yang penuh (full growth). Nitrat (NO3) adalah bentuk
utama nitrogen di perairan yang merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan
tanaman dan algae, dimana keberadaannya sangat mudah larut dalam air dan
bersifat stabil. Fosfor dalam bentuk ortofosfat merupakan elemen yang dapat
dimanfaatkan secara langsung oleh alga dan tumbuhan air, sedangkan polifosfat
harus mengalami hidrolisis terlebih dahulu membentuk ortofosfat sebelum dapat
dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Keberadaan fosfor secara berlebihan dengan
diiringi keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan algae.
Kadar nitrogen dalam bentuk nitrat di Kepulauan Derawan paling tinggi
terjadi di Stasiun 1 (0,182 ± 0,115 mg/l) sedangkan paling rendah ditemukan di
Stasiun 3 (0,068 ± 0,071 mg/l). Menurut Effendi (2003) kadar nitrat di perairan
alami hampir tidak pernah melebihi 0,1 mg/l. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l
menandakan telah terjadi pencemaran anthropogenik dari aktifitas manusia. Kadar
nitrat lebih dari 0,2 mg/l berpotensi untuk dapat menyebabkan terjadinya
eutrofikasi dan selanjutnya memicu pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara
pesat. Kadar nitrat di beberapa stasiun yang melebihi 0,1 mg/l bersumber dari
masukan Sungai Berau dan aktifitas penduduk setempat.
Meskipun kandungan nitrat di pada beberapa stasiun di Kepulauan
Derawan mencapai nilai yang berpeluang menyebabkan terjadinya pertumbuhan
alga dan tumbuhan air secara pesat, namun hal ini tidak terjadi karena tidak

42
diimbangi dengan tingginya nilai ortofosfat. Kadar ortofosfat di Kepulauan
Derawan berkisar antara 0,003 ± 0,004 mg/l (stasiun 2) hingga 0,039 ± 0,065 mg/l
(Stasiun 4).
Nutrien seperti nitrogen dan fosfor dibutuhkan dalam jumlah sedikit oleh
terumbu karang terkait dengan kebutuhan alga simbion zooxanthellae. Secara
alami terumbu karang mampu mengkonservasi keberadaan nutrien dengan
memiliki katabolisme protein yang rendah serta mengkatabolis lipid dan
karbohidrat. Dalam jumlah yang cukup banyak justru akan membahayakan
bahkan dapat menyebabkan kematian terumbu karang. Terumbu karang tidak
dapat beradaptasi pada saat pengkayaan nutrien terjadi, umumnya mereka tidak
mampu berkompetisi dengan makroalga bentik. Pengkayaan nutrien juga dapat
menurunkan laju kalsifikasi karena fosfat akan mengikat kristal aragonite pada
saat proses kalsifikasi (Parker and D’Elia, 1997).

Arus permukaan
Berdasarkan Tabel 4 diatas, arus permukaan di Kepulauan Derawan
berkisar antara 0,207 ± 0,043 m/detik (Stasiun 1) hingga 0,290 ± 0,028 m/detik
(Stasiun 3). Gerakan air di permukaan laut terutama dipengaruhi oleh adanya
angin yang bertiup di atasnya. Dalam kenyataannya hubungan tersebut tidak
sesederhana itu, karena pergerakan arus juga dipengaruhi paling tidak oleh
beberapa faktor, yaitu topografi dasar dan pulau-pulau yang ada di sekitarnya,
serta adanya gaya coriolis dan arus ekman. Menurut Wiryawan et al. (2005)
secara umum arah angin di perairan laut Berau mengikuti musim yang ada di
Indonesia, yaitu musim barat dan musim timur. Pada musim barat di perairan laut
Berau akan memicu terjadinya angin utara, sedangkan pada musim timur bertiup
angin selatan. Kecepatan angin yang paling rendah terjadi pada bulan Oktober dan
November, sedangkan kecepatan angin paling tinggi terjadi pada bulan Juli dan
Agustus. Selanjutnya Wiryawan et al. (2005) juga mengemukakan bahwa kondisi
oseanografi laut Berau dipengaruhi oleh arus musiman dan Arus Lintas indonesia
(Arlindo). Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh TNC secara umum pergerakan
arus Laut Sulawesi yang melintasi perairan Kepulauan Derawan memiliki
kecenderungan menuju ke bagian selatan (Gambar 10)

43
Gambar 10. Peta prediksi rata-rata bulanan arus dan suhu permukaan Laut Sulawesi (sumber: TNC)
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, arus berperan terutama dalam transport
sedimen. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Wibisono, 2005 dimana
disamping ukuran partikel sedimen, arus juga merupakan komponen yang sangat
penting dalam distribusi sedimen baik secara vertikal maupun horizontal. Makin
kecil ukuran partikel yang akan diendapkan maka pengaruh arus laut akan
semakin besar. Hal ini berarti tempat terjadinya sedimentasi partikel yang lebih
kecil mungkin terletak cukup jauh dari sumber dimana partikel tersebut berasal.
Biasanya sedimen lithogenous akan diendapkan di daerah sekitar muara sungai .

Sedimen
Analisis ukuran butir
Sedimen merupakan microscale control bagi terumbu karang, yaitu suatu
faktor yang mempengaruhi perkembangan terumbu karang dalam area yang relatif
sempit. Pengaruh sedimen terhadap perkembangan terumbu karang umumnya
adalah pengaruh negatif dimana melalui shading dan covering dapat
menyebabkan perkembangan terumbu karang terhambat atau bahkan
mematikannya. Keseluruhan pengaruh tersebut dapat berperan bersama-sama
sebagai kontrol alami dalam penyebaran karang (Hubbard, 1997).
Dalam ekosistem terumbu karang terutama di daerah tropis dan subtropis
sedimen yang dominan adalah endapan kalsium karbonat (CaCO3). Sedimen
tersebut berasal dari biogenik berupa pecahan halus terumbu karang, moluska,
serta coralline algae. Kondisi seperti ini ditandai dengan perairan yang hangat dan
cukup jernih seperti yang dibutuhkan oleh terumbu karang untuk tumbuh dan
berkembang. Pasir karbonat dan lumpur anorganik dapat juga eksis di daerah ini,
sebagai hasil presipitasi secara langsung kalsium karbonat dari air laut yang
hangat. Di daerah lintang tinggi karbonat anorganik tidak terbentuk akan tetapi
karbonat biogenik masih dapat terbentuk (Bearman, 1999). Dominasi pasir
karbonat terjadi apabila terrigenous sedimen sebagai masukan dari darat sedikit.
Pada area terumbu karang yang dekat dengan muara sungai besar dimana suplai
terrigenous sedimen cukup besar maka sedimen yang lebih halus juga dapat eksis
dengan jumlah yang cukup banyak.

45
Berdasarkan hasil analisis ukuran butir diperoleh sebaran fraksi sedimen di
Kepulauan Derawan adalah sebagai berikut: pasir sangat kasar (VCS) dengan
kisaran 3,8 – 7,3%; pasir kasar (CS) dengan kisaran 13,9 – 18,5%; pasir sedang
(MS) dengan kisaran 27,2 – 35,1%; pasir halus (FS) dengan kisaran 30,0 – 36,8%;
pasir sangat halus (VFS) dengan kisaran 1,4 – 4,2%; Lumpur sangat kasar (VCSi)
dengan kisaran 0,3 – 2,5%; Lumpur kasar (CSi) dengan kisaran 0,5 – 2,2%;
Lumpur sedang (MSi) dengan kisaran 0,5 – 2,5%; Lumpur halus (FSi) dengan
kisaran 3,7 – 7,6%. Lebih lengkap sebaran persentase fraksi sedimen serta jenis
sedimen pada masing-masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Sebaran persentase fraksi sedimen pada masing-masing stasiun


pengamatan
Fraksi Sedimen (%)
Stasiun Jenis Sedimen
VCS CS MS FS VFS VCSi CSi MSi FSi
1 7,3 18,5 27,9 30,0 4,2 2,5 0,5 1,4 7,6 Fine Sand
2 6,1 15,8 27,2 36,8 4,1 2,4 1,3 2,5 3,7 Fine Sand
3 5,0 16,2 35,1 33,6 1,4 1,9 1,2 0,5 5,1 Medium Sand
4 3,8 13,9 33,1 36,2 2,9 0,3 2,2 1,5 6,1 Fine Sand
Keterangan:
VCS : Very Coarse Sand VCSi : Very Coarse Silt
CS : Coarse Sand CSi : Coarse Silt
MS : Medium Sand MSi : Medium Silt
FS : Fine Sand FSi : Fine Silt
VFS : Very Fine Sand

Pada keempat stasiun memiliki jenis sedimen hampir sama, mulai dari
pasir halus (fine sand) hingga pasir sedang (medium sand). Stasiun 1, 2, dan 4
memiliki jenis sedimen yang sama yaitu pasir halus sedangkan stasiun 3 memiliki
jenis sedimen pasir sedang. Secara umum di semua stasiun pengamatan memiliki
fraksi sedimen yang bervariasi mulai dari pasir sangat kasar hingga lumpur halus,
akan tetapi komposisinya tidak merata. Pada Stasiun 1, 2, dan 4 lebih didominasi
oleh pasir halus dengan komposisi masing-masing 30,0%, 36,8%, dan 36,2%.
Pada Stasiun 3 lebih didominasi pasir sedang dengan komposisi 35,1%.
Indikasi terjadinya masukan sedimen dari darat dapat dilihat dari
komposisi fraksi lumpur yang terdapat pada masing-masing stasiun. Pada Stasiun
1 fraksi lumpur paling banyak ditemukan, yaitu sebesar 12,0% dengan komposisi
lumpur sangat kasar 2,5%, lumpur kasar 0,5%, lumpur sedang 1,4%, dan lumpur

46
halus 7,6%. Hal ini dimungkinkan karena Stasiun 1 jaraknya paling dekat dengan
daratan utama dimana terdapat muara Sungai Berau. Pada saat musim hujan
dengan sirkulasi arus yang kurang kuat (paling lemah dibanding stasiun lainnya)
maka sedimen yang terbawa melalui Sungai Berau akan terdeposit di daerah ini.
Stasiun yang memiliki fraksi lumpur paling sedikit adalah Stasiun 3 di
Pulau Sangalaki. Fraksi lumpur pada stasiun ini sebesar 8,7% dengan komposisi
lumpur sangat kasar sebesar 1,9% , lumpur kasar 1,2% , lumpur sedang 0,5%, dan
lumpur halus 5,1%. Pada stasiun ini selain cukup jauh dari daratan, juga tidak
terdapat pemukiman penduduk melainkan hanya terdapat resort penyelaman dan
stasiun monitoring penyu. Dengan sirkulasi arus yang cukup baik, sedimen yang
terbawa menuju daerah ini akan lebih sulit untuk terdeposit.
Fraksi lumpur pada Stasiun 2 dan Stasiun 4 hampir sama, yaitu masing-
maing sebesar 9,9% dan 10,1%. Diduga pada Stasiun 2 selain masukan dari
Sungai Berau, sedikit banyak terdapatnya pemukiman penduduk juga turut
memberikan kontribusi pasokan sedimen. Pada Stasiun 4 jarak dari Sungai Berau
paling jauh serta sirkulasi arus yang cukup kuat, sehingga kontribusi sedimen
paling besar disinyalir berasal dari aktifitas penduduk yang terdapat di pulau
tersebut.
Menurut Wiryawan et al. (2005) peningkatan pasokan sedimen ke dalam
ekosistem perairan pesisir Kepulauan Derawan disebabkan oleh tingginya laju
erosi tanah akibat penggundulan hutan, pertanian dan kontruksi bangunan di
sepanjang hulu Sungai Berau. Dengan kondisi penyangga sempadan sungai yang
memprihatinkan maka masalah sedimentasi akan menjadi ancaman yang serius
terhadap ekosistem pesisir dan laut di Kepulauan Derawan.
Selanjutnya berdasarkan citra Sea Wifs (Lampiran 2) dapat dilihat secara
umum sedimen dari Sungai Berau terdistribusi hingga mencapai Stasiun 1 dan 2.
Pada bulan-bulan tertentu sedimen mencapai Stasiun 3 akan tetapi dengan
konsentrasi yang cukup kecil, yaitu sekitar 2 – 3 mg/l. Pada bulan Juni dan Juli
2001, yaitu pada saat debit air sungai minimum, batas sedimen (sedimen plume)
telah mendekati sekitar 20 km, atau setengah jalan menuju Kepulauan Derawan

47
dengan kisaran 40 – 150 mg/liter. Sekitar 9 – 12 mg/l terdistribusi hingga Pulau
Panjang dan Pulau Derawan.

Laju sedimentasi
Sedimentasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengendapan
sedimen yang tersuspensi dalam air laut atau sebagai suatu proses pembentukan
dan akumulasi sedimen pada lapisan permukaan dasar perairan (Tomascik et al.
1997). Laju sedimentasi dari bahan tersuspensi tergantung dari struktur fisik
bahan itu sendiri (volume, permukaan, densitas, dan porositas), sifat fisik air laut
(densitas), kondisi hidrologi dari area yang bersangkutan (velositas arus, shear
stress, turbulensi). Umumnya efek smothering terhadap terumbu karang adalah
akibat dari terjadinya pengendapan sedimen tersuspensi ke dasar perairan dimana
terumbu karang berada. Besar kecilnya efek tersebut terhadap kondisi terumbu
karang tergantung dari banyaknya sedimen yang terdeposit serta lamanya
peristiwa itu berlangsung (Hubbard, 1997).
Laju sedimentasi rata-rata di lokasi penelitian berkisar antara 8,67 – 30,50
mg/cm2/hari (Tabel 9). Laju sedimentasi yang paling tinggi terjadi Stasiun 1
sebesar 30,50 mg/cm2/hari. Nilai tersebut menurut kategori Pastorok dan Bilyard
(1985) memiliki dampak sedang sampai berat terhadap terumbu karang. Di
Stasiun 3 laju sedimentasi paling rendah dibanding stasiun lainnya, yaitu sebesar
8,67 mg/cm2/hari. Hal ini berarti laju sedimentasi memiliki dampak yang ringan
sampai sedang terhadap terumbu karang.

Tabel 9. Laju sedimentasi pada masing-masing stasiun pengamatan


Laju sedimentasi Tingkat Kategori Pastorok & Bilyard
Stasiun
(mg/cm2/hari) dampak 1985
1 30,50 sedang-berat 10 - 50 mg
2 22,72 sedang-berat 10 - 50 mg
3 8,67 ringan - sedang 0 - 10 mg
4 9,91 ringan - sedang 0 - 10 mg

Pada penelitian kali ini laju sedimentasi berbanding terbalik dengan


kecepatan arus. Stasiun 1 dengan kecepatan arus paling rendah memiliki nilai laju
sedimentasi paling tinggi. Stasiun 1 di Pulau Panjang merupakan daerah yang

48
terlindung dan menghadap ke daratan utama, dengan kecepatan arus paling rendah
ketika mendapat masukan sedimen kemungkinan terjadi pengendapan lebih besar.
Sementara Stasiun 3 dengan kecepatan arus paling tinggi, laju sedimentasi
yang terjadi lebih rendah dibanding stasiun lainnya. Celah antara Pulau Sangalaki
dengan Karang Baliulin menyebabkan kecepatan arus pada daerah ini relatif
tinggi, sehingga sedimen yang masuk akan lebih sulit untuk mengendap. Pada
area karang dengan arus dan turbulent mixing dalam keadaan baik maka sedimen
dan nutrien akan dilewatkan sehingga pertumbuhan karang akan lebih baik
(Hubbard, 1997). Sebaliknya dalam keadaan energi mekanik dari arus dan
gelombang yang rendah, sedimen akan terdeposit ke dasar perairan dan menutupi
permukaan terumbu karang dan organisme lainnya (Phillip dan Febricius, 2003).

Terumbu Karang
Persentase penutupan dan tingkat kematian karang batu
Terumbu karang di Kepulauan Derawan tersebar luas diantara pulau dan
gosong terumbu karang. Atoll yang terdapat di Kepulauan Derawan telah
berkembang membentuk daratan dan danau air asin. Secara umum kondisi
terumbu karang di Kepulauan Derawan masih baik dengan keanekaragaman yang
cukup tinggi. Pada daerah yang dekat daratan dengan tingkat kekeruhan tinggi
banyak ditemukan karang lunak dan gorgonian serta beberapa karang eksotis yang
memiliki tentakel dengan ukuran besar. Dalam perkembangannya karang lunak
masih mampu mentolelir kondisi perairan dengan tingkat kekeruhan yang tinggi,
demikian juga dengan terumbu karang yang memiliki tentakel lebih besar
memiliki kemampuan yang lebih untuk membersihkan sedimen yang
menutupinya.
Persentase penutupan karang keras di daerah penelitian berkisar antara 41,
72 – 90,1% pada pengamatan pertama bulan Mei 2005; Pada pengamatan ke dua
bulan September 2005 penutupan karang keras berkisar antara 39,50 – 90,36%;
dan pada pengamatan ke tiga bulan Februari 2006 penutupan karang keras
berkisar antara 41,97 – 91,57% (Tabel 10).

49
Tabel 10. Penutupan karang batu (%) pada masing-masing stasiun pengamatan.
Periode Penutupan karang batu (%)
Pengamatan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
T1 41,72 47,80 90,10 48,21
T2 39,50 49,35 90,36 47,33
T3 41,97 48,78 91,57 46,94
Keterangan:
T1: Bulan Mei 2005 T2: Bulan September 2005 T3: Bulan Februari 2006

Berdasarkan tabel diatas secara umum terlihat bahwa kondisi terumbu


karang paling tinggi terdapat di Stasiun 3 dengan penutupan berkisar antara 90,10
– 91,57% sedangkan paling rendah terdapat di Stasiun 1 dengan penutupan 39,50
– 41,97%. Kondisi penutupan karang keras di Stasiun 2 dan Stasiun 3 relatif sama
berkisar pada angka 47%.
Untuk mengukur tingkat kematian karang batu didekati dengan indeks
mortalitas (MI). Indeks mortalitas merupakan perbandingan antara karang mati
dan patahan karang dengan karang hidup yang menunjukkan besarnya resiko
kematian karang. Secara umum resiko kematian karang lebih tinggi terjadi pada
stasiun yang dekat dengan pemukiman penduduk, yaitu Stasiun 2 dan 4. Tingkat
kematian karang paling tinggi terdapat di Stasiun 2 dengan nilai MI berkisar 0,21
– 0,22, sedangkan paling rendah di Stasiun 3 dengan nilai MI berkisar 0,06 – 0,08
(Tabel 11).

Tabel 11. Indeks mortalitas karang batu pada masing-masing stasiun pengamatan
Periode Indeks mortalitas (MI)
Pengamatan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
T1 0,15 0,21 0,07 0,18
T2 0,19 0,22 0,08 0,21
T3 0,19 0,21 0,06 0,21
Keterangan:
T1: Bulan Mei 2005 T2: Bulan September 2005 T3: Bulan Februari 2006

Kematian karang akibat sedimentasi terjadi melalui dua mekanisme.


Pertama, sedimen yang tersuspensi menghalangi penetrasi cahaya yang diperlukan
untuk fotosintesis zooxanthellae. Densitas zooxanthellae dan konsentrasi klorofil
per unit area menjadi berkurang akibat adanya ekspos sedimen, selanjutnya terjadi

50
pemutihan yang diikuti kematian pada beberapa koloni karang (Phillip dan
Fabricius, 2003). Kedua, sedimen menutupi permukaan koloni karang dan
menyebabkan kerusakan pada jaringan yang kemudian diikuti oleh kematian.
Mekanisme untuk menghilangkan sedimen dari permukaan koloni melalui silia,
pergerakan tentakel dan sekresi mukus memerlukan waktu dan energi yang lebih
sehingga akan berpengaruh terhadap aktifitas menangkap makanan ( Barnes dan
Lough, 1999).
Pada penelitian kali ini ditemukan karang yang ditutupi sedimen pada
bagian permukaan koloni dan mengalami kematian secara lokal. Beberapa jenis
karang ditemukan mengalami pemutihan (bleaching) akibat hilangnya
zooxanthellae (Gambar 11).

Gambar 11. Karang batu yang mengalami kematian pada bagian tertentu akibat
sedimen

Analisis bentuk pertumbuhan karang batu


Bentuk pertumbuhan karang batu di Stasiun 1 ditemukan sebanyak 12
jenis dengan persentase penutupan karang massive yang paling tinggi (9,15 –
9,38%) kemudian diikuti karang bentuk foliose dengan penutupan berkisar antara
8,14 – 8,97%. Karang bentuk branching baik Acropora maupun non-Acropora
ditemukan dengan penutupan yang relatif sama, yaitu antara 6 – 7%. Bentuk
pertumbuhan karang batu yang lainnya ditemukan dengan penutupan dibawah
5%. Secara lengkap persentase penutupan bentuk pertumbuhan karang di stasiun 1
tersaji dalam grafik berikut (Gambar 12). Banyak karang masif yang ditemukan
memiliki pertumbuhan ke arah samping dan membentuk microatoll, sementara
pada bagian atas koloni mengalami kematian dan ditutupi partikel sedimen.

51
40

35

30

% Penutupan
25

20

15

10

0
ACB ACD ACS ACT CB CE CF CM CS CM R CHL CTU

T1 7,88 0,17 0,16 1,90 7,74 2,99 8,97 9,16 0,47 0,11 1,49 0,70
T2 6,58 0,32 0,18 1,72 7,65 3,12 8,14 9,38 0,31 0,16 1,12 0,82
T3 7,15 1,36 0,15 1,88 6,25 3,04 8,74 9,25 0,48 1,62 1,37 0,68

Gambar 12. Grafik persentase penutupan karang batu di Stasiun 1

Di stasiun 1 banyak ditemukan karang lunak terutama genus Sarcophyton,


Lobophytum, Sinularia, Nephthea, dan Xenia. Karang lunak pada stasiun ini
ditemukan mencapai 21,68 – 24,65%. P2O LIPI (2003) mengemukakan jumlah
genera karang lunak di perairan Berau menunjukkan kesamaan dengan perairan
Sulawesi dan Ambon. Pada perairan dangkal kurang dari 15 meter , dekat muara
Sungai Berau banyak ditemukan gorgonian serta karang lunak dari famili
Ellisellidae.
Alasan mengapa karang lunak masih mampu untuk bertahan pada daerah
dengan tingkat sedimentasi tinggi telah dikemukakan oleh Cornish dan DiDonato
(2003). Jenis karang lunak famili Alcyonidae seperti Sarcophyton dan Sinularia
memiliki laju pertumbuhan yang lambat dengan tingkat mortalitas yang kecil serta
dapat tumbuh stabil dalam waktu yang lama. Dalam kondisi perairan tertekan
karang lunak mampu bersaing dengan karang batu dengan menghalangi
recruitment larva karang batu disekitarnya. Karang lunak juga mampu
memproduksi metabolit sekunder yakni senyawa terpen yang dapat menyebabkan
kematian karang batu dalam skala lokal. Disamping itu predator karang lunak
sangat sedikit serta kematian yang disebabkan oleh predator sepertinya tidak
terlalu berpengaruh terhadap kelimpahannya. Adanya masukan sedimen dari darat
dengan berbagai muatannya terutama nutrien, dapat berpeluang menyebabkan

52
peningkatan predator karang batu, misalnya Acanthaster plancii. Tetapi hal ini
tidak terlalu berpengaruh terhadap karang lunak.
Di stasiun 2 ditemukan sebanyak 10 bentuk pertumbuhan karang batu.
Persentase penutupan paling tinggi adalah karang massive, yaitu 15,14 – 15,82%,
diikuti bentuk karang branching dengan persentase penutupan 13,15 – 15,21%.
Bentuk pertumbuhan karang batu lainnya ditemukan dengan persentase penutupan
dibawah 10% (Gambar 13).

40

35
% Penutupan

30

25

20

15

10

0
ACB ACD ACS ACT CB CE CF CM CS CM E

T1 0,48 0,20 0,76 6,81 13,15 5,64 0,69 15,82 3,81 0,44
T2 1,08 0,18 1,28 5,42 15,21 5,29 0,12 16,14 3,96 0,67
T3 0,97 0,36 1,73 5,68 15,08 3,35 0,52 16,48 4,07 0,54

Gambar 13. Grafik persentase penutupan karang batu di Stasiun 2

Pada beberapa karang Acropora bentuk tabulate ditemukan tertutup


sedimen di bagian permukaannya, serta pada bagian tertentu sudah mengalami
kematian. Karang yang memiliki ukuran polip kecil memiliki kemampuan relatif
kecil untuk membersihkan sedimen yang menutupinya. Kemampuan karang yang
memiliki ukuran polip kecil umumnya memiliki adaptasi morfologis untuk dapat
bertahan pada daerah dengan tingkat sedimentasi tinggi (Tomascik et al. 1997).
Karang dengan betuk pertumbuhan tabulate memiliki kemampuan yang lemah
dalam mereduksi sedimen.

53
Gambar 14. Penutupan sedimen pada bentuk Acropora tabulate di Stasiun 2

Di stasiun 3, dari 10 bentuk pertumbuhan karang batu yang ditemukan,


bentuk foliose memiliki persentase penutupan paling tinggi, yaitu sebesar 32,36 –
34,05%. Selanjutnya karang bentuk branching dan karang bentuk encrusting
dengan persentase penutupan 19,49 – 19,82% untuk karang branching dan 15,45
– 19,25% untuk karang bentuk encrusting. Bentuk pertumbuhan karang lainnya
memiliki persentase penutupan dibawah 10%.

40

35
% Penutupan

30

25

20

15

10

0
ACB ACS ACT CB CE CF CM CS CM R CHL

T1 7.37 1.75 2.01 19.82 19.25 32.36 2.17 4.65 0.71 0.00
T2 6.12 2.33 2.84 19.68 16.45 32.91 3.05 4.33 1.13 1.52
T3 6.24 2.16 3.01 18.49 18.11 34.05 2.88 4.17 1.34 1.12

Gambar 15. Grafik persentase penutupan karang batu di Stasiun 3

Tingginya penutupan karang foliose disebabkan pergerakan arus yang


cukup kencang di stasiun 3, sehingga sedimen di daerah tersebut yang menutupi
koloninya dapat dilewatkan.. Menurut Riegl et al. (1996) pada daerah berarus
kencang, karang dengan bentuk pertumbuhan foliose mampu menciptakan arus
mikro di bagian dalam, sehingga secara pasif mampu membersihkan sedimen
yang menutupi permukaan koloninya (Gambar 16).

54
Arah aliran

Arah transport sedimen


dalam koloni
vortex dan arah
vortex shedding
daerah akumulasi
sedimen

Gambar 16. Mekanisme pembersihan sedimen pada karang bentuk foliose (Riegl
et al. 1996)

Selain kondisi terumbu karang yang masih sangat baik, Stasiun 3 dikenal
sebagai tempat agregasi manta ray yang datang untuk memangsa zooplankton.
Pulau ini juga merupakan tempat peneluran penyu hijau terbesar di Asia
Tenggara. Sekitar 20 ekor penyu betina bertelur di Sangalaki per malamnya.
Dengan luas 180 ha, Pulau Sangalaki ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi.
Melalui SK Menteri Pertanian tahun 1982 kawasan ini ditetapkan sebagai Taman
Wisata Laut. Dengan adanya status ini, disamping kondisi perairannya yang lebih
baik dibanding stasiun lainnya telah memberikan kesempatan kepada terumbu
karang untuk tumbuh dan berkembang dengan lebih baik.
Stasiun 4 merupakan bagian terluar dari dari cakupan wilayah penelitian
kali ini. Atoll yang telah berkembang menjadi daratan ini memiliki laguna yang
cukup luas pada bagian dalamnya. Kontur dasar mulai dari slope pada bagian
yang menghadap daratan hingga bentuk wall pada bagian yang menghadap Laut
Sulawesi. Penempatan transek dilakukan di bagian barat laut pulau ini dengan
kemiringan sekitar 40o. Di bagian darat stasiun ini terdapat pemikiman penduduk
Desa Payung payung yang memiliki kepadatan 541 jiwa. Penutupan karang batu
di Stasiun 4 berkisar antara 48,21 – 47,33% dengan masing-masing persentase
penutupan bentuk pertumbuhan seperti yang terdapat pada grafik berikut (Gambar
17)

55
40

35

% Penutupan
30

25

20
15

10
5

0
ACB ACD ACS ACT CB CE CF CM CS CM E CHL

T1 1,12 0,10 2,08 1,17 12,87 3,53 3,41 17,63 5,18 0,93 0,18
T2 1,14 0,21 2,15 1,81 10,29 4,28 3,19 17,35 6,02 0,77 0,12
T3 1,27 0,14 2,20 1,55 12,09 4,46 3,11 15,27 6,51 0,18 0,16

Gambar 17. Grafik persentase penutupan karang batu di Stasiun 4

Berdasarkan grafik diatas, bentuk pertumbuhan karang batu ditemukan


sebanyak 11 jenis. Penutupan karang massive ditemukan paling tinggi, yaitu
berkisar antara 15,27 – 17,63%, kemudian diikuti dengan karang branching
dengan penutupan antara 10,29 – 12,87%. Karang dengan bentuk pertumbuhan
submassive ditemukan dengan penutupan sebesar 5,18 – 6,51%, sedangkan bentuk
pertumbuhan lainnya memiliki penutupan kurang dari 5%. Secara umum tipikal
karang batu yang ditemukan di Stasiun 4 memliki bentuk yang kokoh sebagai
strategi adaptasi terhadap ekspos dari energi mekanik gelombang yang biasa
terjadi pada daerah karang di pulau bagian luar. Sebagai gambaran mengenai
kondisi terumbu karang di Stasiun 4 dapat dilihat pada lampiran 11.
Dengan mengkaitkan distribusi sedimen dan karakteristik bentuk
pertumbuhan karang batu pada masing-masing stasiun, maka dapat ditarik garis
imajiner yang memperlihatkan adanya zonasi dari lokasi yang dekat dengan
muara sungai hingga lokasi yang jauh dari muara sungai. Terdapat 3 zonasi yang
terbentuk, yaitu zona 1 yang didalamnya terdapat stasiun 1, zona 2 yang
mencakup stasiun 2, dan zona 3 yang mencakup stasiun 3 dan stasiun 4 (Gambar
18).
Pada zona 1 masukan sedimen dari sungai paling tinggi, terumbu karang
massive banyak ditemukan dengan arah pertumbuhan ke samping. Biota lain
yang mendominasi pada daerah ini adalah karang lunak.

56
1

3
1

Gambar 18. Zonasi berdasarkan distribusi sedimen dan bentuk pertumbuhan


karang batu di Kepulauan Derawan

Di zona 2 masukan sedimen relatif berkurang, bentuk pertumbuhan


massive dan branching paling tinggi ditemukan, karang bentuk tabulate banyak
ditemukan tertutup sedimen pada permukaan koloni. Di zona 3 yang relatif bebas
dari masukan sedimen, bentuk pertumbuhan karang batu lebih teradaptasi dengan
kondisi energi mekanik yang kuat seperti bentuk padat dan percabangan yang
kokoh.

Analisis komponen utama (PCA)


Bagaimanapun juga keberadaan terumbu karang tidak lepas kaitannya
dengan kondisi perairan di sekitarnya. Untuk mengetahui keterkaitan antara
terumbu karang dengan parameter perairan di sekitarnya, serta hubungan antara
parameter yang satu dengan lainnya maka dilakukan analisis komponen utama
(PCA).
Hasil pengolahan data memperlihatkan beberapa variabel yang memiliki
hubungan dengan variabel lainnya, baik yang berbanding lurus (korelasi positif)

57
maupun yang berbanding terbalik (korelasi negatif). Berdasarkan lingkaran
korelasi (sumbu 1 dan 2) dapat dijelaskan bahwa penutupan karang memiliki
kontribusi yang hampir sama pada kedua sumbu. Di sisi lain sedimen, TSS, arus
dan salinitas memiliki kontribusi yang besar terhadap sumbu 1 (horizontal),
sedangkan PO4 dan kecerahan memilki kontribusi terhadap sumbu 2 (vertikal) .
Selanjutnya gambaran mengenai hubungan antar variabel dapat dilihat pada
Gambar 19 (a).
Dari matrik korelasi dapat dilihat bahwa persentase penutupan karang
batu (HC) memiliki korelasi negatif yang kuat terhadap kematian karang (MI).
TSS dan laju sedimentasi mempunyai pengaruh yang tidak kuat terhadap
penutupan karang batu, akan tetapi pola hubungan terlihat memiliki
kecenderungan berbanding terbalik (negatif). Parameter yang memiliki korelasi
positif dengan terumbu karang antara lain arus dan salinitas (sal). Besarnya nilai
korelasi antar variabel secara lengkap tersaji dalam matriks korelasi pada lampiran
5.
Dengan melihat sudut korelasi antara arus dengan TSS dan laju
sedimentasi dapat dijelaskan bahwa di Kepulauan Derawan konsentrasi TSS
berbanding lurus dengan laju sedimentasi, artinya semakin tinggi TSS maka akan
menyebabkan semakin tinggi pula sedimen yang terdeposit. Kondisi seperti ini
berhubungan dengan kecepatan arus yang terjadi pada masing-masing lokasi
stasiun penelitian. Semakin tinggi kecepatan arus maka akan semakin kecil
konsentrasi TSS dan laju sedimentasi yang terjadi pada lokasi yang bersangkutan.

Analisis PCA juga menggambarkan bahwa stasiun penelitian di Kepulauan


Derawan memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Hal ini terlihat pada
Gambar 20 dimana masing-masing stasiun penelitian menempati kuadran yang
berlainan. Apabila kedua grafik diatas dilakukan overlay maka akan terlihat
bahwa Stasiun 1 lebih dicirikan dengan konsentrasi TSS dan laju sedimentasi.
Stasiun 2 lebih dicirikan dengan laju indeks kematian karang (MI) kandungan
NO3. Stasiun 3 dicirikan dengan persentase penutupan karang batu, dimana
penutupan pada stasiun ini mencapai 90%. Selanjutnya pada Stasiun 4 lebih
dicirikan oleh variabel PO4 dan temperatur.

58
Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2)

1.0

HC
0.5
Factor 2 : 30.35%

TSS
Sed

0.0 Arus
Sal
NO3

-0.5 Tem

Vis MI

PO 4
-1.0

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0


Active
Factor 1 : 62.33%

(a)
Projection of the cases on the factor-plane ( 1 x 2)
Cases with sum of cosine square >= 0.00
3.0
2.5
2.0 3

1.5 1
1.0
Factor 2: 30.35%

0.5
0.0
-0.5
-1.0 2

-1.5 4
-2.0
-2.5
-3.0
-3.5
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5
Active
Factor 1: 62.33%

(b)
Gambar 19. Grafik hasil analisis komponen utama (PCA): (a) korelasi antar
variabel. (b) distribusi individu (stasiun penelitian) pada masing-
masing kuadran

59
Hubungan antara laju sedimentasi dengan karang batu
Untuk membuktikan terdapatnya perbedaan persentase penutupan karang
batu pada masing-masing stasiun penelitian digunakan analisis ragam (ANOVA)
pada selang kepercayaan 95%. Berdasarkan analisis tersebut terlihat bahwa secara
umum stasiun penelitian berbeda nyata satu sama lain berdasarkan persentase
penutupan karang batu. Selanjutnya dengan melihat hasil Post Hoc Test melalui
analisis Tukey HSD dapat dilihat stasiun mana saja yang berbeda nyata (Tabel
12).

Tabel 12. Uji taraf nyata (signifikansi) pada masing-masing stasiun berdasarkan
persentase penutupan karang batu (P<*0,05)
St.1 vs St.2 St.1 vs St.3 St.1 vs St.4 St.2 vs St.3 St.2 vs St.4 St.3 vs St.4
Beda rata-rata 7,580 * 49,623 * 6,430 * 42,033 * 1,150 43,183 *
Standar eror 0,764 0,764 0,764 0,764 0,764 0,764
Signifikansi 0,000 0,000 0,000 0,000 0,477 0,000

Dari tabel diatas terlihat bahwa pada selang kepercayaan 95%


perbandingan setiap stasiun berbeda nyata kecuali perbandingan antara Stasiun 2
dengan Stasiun 4. Pada penelitian ini perbedaan antara Stasiun 2 dengan Stasiun 4
hanya dapat diterima pada selang kepercayaan 60%. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan oleh terdapatnya aktifitas penduduk yang terdapat pada kedua stasiun
tersebut seperti kegiatan transportasi laut, kegiatan bekarang dan lain lain.
Setelah diketahui perbedaan masing-masing stasiun berdasarkan
penutupan karang batu, selanjutnya dilakukan analisis regresi untuk mengetahui
pengaruh sedimentasi terhadap persentase penutupan dan jumlah jenis karang
batu. Dari hasil analisis diketahui bahwa laju sedimentasi lebih berpengaruh
terhadap kekayaan jenis dibanding pengaruhnya terhadap persentase penutupan.
Pengaruh sedimentasi terhadap persentase penutupan karang batu:
Keeratan hubungan selanjutnya dilihat berdasarkan koefisien determinasi
2
(R ). Dari hasil analisis dapat dikatakan bahwa laju sedimentasi berpengaruh
terhadap persentase penutupan karang hanya sebesar 44% (R2 = 0,4421),
sementara sekitar 56% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain. Berbeda dengan
persentase penutupan, besarnya pengaruh sedimentasi terhadap kekayaan jenis
hanya dijelaskan sebesar sekitar 94% (R2 = 0,9447), sisanya sekitar 6%

60
dipengaruhi oleh faktor lain. Selanjutnya grafik masing-masing hubungan
disajikan pada Gambar 20.

100 y = 82.775 - 1.4377x


R2 = 0.4421
90

Penutupan enutupan HC (%)


80
70
60
50
40
30
20
10
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Laju sedim entasi (m g/cm ²/hari)

(a)

250 y = 239.56 - 3.778x


R2 = 0.9447

200
Jumlah jenis

150

100

50

0
0 5 10 15 20 25 30 35
Laju sedim entasi (m g/cm ²/hari)

(b)
Gambar 20. Grafik regresi antara (a). laju sedimentasi dengan persentase
penutupan karang batu, (b). laju sedimentasi dengan jumlah jenis
karang batu

61
Pengelompokan spesies karang batu
Data mengenai spesies karang yang ditemukan pada stasiun penelitian di
Kepulauan Derawan yang mencakup Pulau Panjang, Pulau Derawan, Pulau
Sangalaki, dan Pulau Maratua diperoleh dari hasil survei yang dilakukan oleh
TNC pada tahun 2003. Survei dilakukan dengan metode time swim. Pengamat
berenang secara zig zag, mencacah spesies karang dengan menggunakan peralatan
SCUBA. Pengamatan dilakukan mulai dari titik terdalam dimana masih
ditemukan terumbu karang hingga titik terdangkal dari keberadaan terumbu
karang.
Secara keseluruhan di kepulauan Derawan (termasuk wilayah selatan)
ditemukan sebanyak 507 spesies. Terumbu karang pada lokasi penelitian kali ini
ditemukan sebanyak 306 spesies. Jumlah spesies karang batu paling tinggi
ditemukan di Pulau Sangalaki, yakni sebanyak 209 spesies. Selanjutnya Pulau
Maratua menempati urutan kedua dengan ditemukan sebanyak 205 spesies karang
batu. Di Pulau Derawan tercacah 140 jenis karang batu, sementara di Pulau
Panjang spesies karang batu ditemukan dengan jumlah paling kecil, yakni 133
spesies. Secara rinci spesies karang batu yang ditemukan pada masing-masing
stasiun tersaji pada lampiran 6.
Untuk mengetahui karakteristik dan penyebaran spesies terumbu karang
pada masing-masing stasiun penelitian maka dilakukan cluster analisis. Hasil
analisis tersebut memperlihatkan beberapa pengelompokan jenis karang terhadap
stasiun (lampiran 7). Sedikitnya 58 jenis karang dapat ditemukan di setiap stasiun
penelitian, beberapa diantaranya adalah Porites cylindrica, P. massive, P. lichen,
Pocillopora verrucossa, P. danae, Pachyseris speciosa, Mycedium elephantotus,
Montipora tuberculosa, M. informis, Lobophyllia hemprichii, Goniopora
tenuidens, Goniopora lobata, Galaxea fascicularis, Acropora pallifera, Favites
russelli, F. abdita, Favia speciosa, F. pallida, F. matthai.
Beberapa spesies karang hanya dapat ditemukan pada stasiun tertentu saja
dan tidak ditemukan pada stasiun lainnya. Hal ini dapat dijadikan ciri dari masing-
masing stasiun penelitian di Kepulauan Derawan. Spesies karang yang terdapat
pada Stasiun 1 dengan karakteristik perairan yang dicirikan oleh TSS dan laju

62
sedimentasi ditemukan sebanyak 15 spesies karang. Beberapa diantaranya adalah
Turbinaria patula, T. reniformis, Alveopora gigas, Psammocora explanulata,
Scolymia australis, Montipora millepora, Pectinia maxima, Favia maxima,
Favites paraflexuosa, Euphyllia cristata, dan Cynarina lacrymalis.
Terdapat 16 pesies karang yang hanya ditemukan di Stasiun 2, dimana
karakteristik perairan lebih dicirikan oleh variable NO3, TSS, dan laju
sedimentasi. Spesies karang tersebut antara lain Psammocora digitata, P.
superficialis, Acropora elseyi, A. nana, A. spicifera, Favia danae, Favites spinosa,
Goniopora stokesi, Leptoria irregularis, Pocillopora kelleheri, Montipora nodosa,
dan Porrites evermanni.
Spesies karang yang hanya ditemukan di Stasiun 3 sebanyak 36 spesies,
yang dicirikan oleh arus dan persentase penutupan karang, antara lain Scolymia
vitiensis, Seriatopora hystrix, Psammocora contigua, Polyphyllia talpina,
Psammocora contigua, Porites solida, Pectinia paeonia, Platygyra yayamaensis,
Oulophyllia levis, Montipora plawanensis, M. samarensis, , M. floweri,
Montastrea colemani, Hydnophora pilosa, Leptoseris foliosa, Euphyllia divisa,
Cycloseris cyclolites, Alveopora minuta, Acropora robusta, A. latistella, A.a
echinata, A.. aspera, dan Acanthastrea regularis.
Stasiun 4 yang merupakan lokasi paling luar dari penelitian kali ini
memiliki variabel ciri kandungan PO4 dan temperatur. Karang batu yang hanya
ditemukan pada lokasi ini sebanyak 37 spesies. Spesies tersebut diantaranya
adalah Stylocoeniella armata, Zoopilus echinatus, Psammocora haimeana,
Porites cumulates, Porites horizontalata, Pectinia teres, Pocillopora ankeli,
Montipora hispida, M. mactanensis, M. calcarea, M. aequituberculata, Leptoseris
mycetoseroides, Goniopora stutchburyi, Halomitra clavator, Galaxea horrescens,
Echinopora mammiformis, Euphyllia yaeyamensis, Anacropora matthai,
Acropora caroliniana, A. plumose, A. mirabilis, dan A. bifurcate.
Beberapa jenis karang yang menjadi spesies ciri di perairan keruh seperti
Pulau Panjang merupakan jenis karang yang memang lebih teradaptasi dan umum
hidup di perairan dengan turbiditas tinggi. Beberapa karang polip besar seperti
Alveopora gigas, Scolymia australis, Euphyllia cristata dan Cynarina lacrimalis

63
Menurut Tomascik et al. (1997) merupakan jenis yang mampu bertahan di
perairan keruh, bahkan untuk genus Euphyllia bisa membentuk hamparan pada
kondisi perairan seperti itu dimana jenis yang lain terhambat pertumbuhannya.
Selanjutnya spesies ciri yang ditemukan di Pulau Panjang yang memang penghuni
perairan keruh adalah genus Turbinaria patula dan T. reniformis. Turbinaria
mudah dikenali dengan koralit yang membulat, setengah tenggelam atau berupa
tabung kecil dengan dinding yang porus, septa kecil dan pendek, kolumela besar
dan padat, polip relatif besar dan padat (Suharsono, 2004). Turbinaria patula dan
T. Reniformis sering ditemukan di dekat tubir pada daerah yang agak terlindung
dan sangat keruh (Suharsono, 2004; Tomascik et al. 1997). Selanjutnya Tomascik
et al. (1997) mengemukakan bahwa di bagian utara Sungai Berau dengan
kekeruhan yang sangat tinggi ditemukan Turbinaria frondens dengan koloni yang
besar dan kelimpahan tinggi. Jenis Turbinaria lainnya yang mencirikan daerah
karang dengan kadungan sedimen tinggi adalah Turbinaria mesenterina yang
memiliki bentuk foliose lebih mendatar.

Analisis tingkat jaringan


Analisis mengenai pengaruh sedimentasi terhadap terumbu karang telah
banyak dilaporkan oleh para peneliti terumbu karang. Salah satu penelitian
mengenai pengaruh sedimentasi terhadap penutupan dan kelimpahan terumbu
karang di Laut Merah dilaporkan oleh Wielgus et al. (2003). Penelitian mengenai
pengaruh partikel dan sedimen lumpur terhadap recruitment karang batu telah
dikemukakan oleh Fabricius et al. (2003). Analisis kelimpahan organisme
pengebor pada terumbu karang yang dapat menyebabkan degradasi secara biologi,
dalam kaitannya dengan sedimentasi pada beberapa laguna telah dilaporkan oleh
Macdonald dan Perry (2003). Selanjutnya penelitian mengenai pengaruh
sedimentasi terhadap respon pada taraf jaringan telah banyak dipublikasikan pada
berbagai jurnal ilmiah di berbagai belahan dunia.
Respon pada tingkat jaringan merupakan salah satu pendekatan yang
efektif untuk mengestimasi pengaruh sedimentasi terhadap terumbu karang.
Pengaruh sedimentasi terhadap terumbu karang dan endosimbion zooxanthellae

64
umumnya dilakukan untuk melihat respon terumbu karang. Beberapa jenis karang
mampu secara efektif membersihkan sedimen yang terdeposit menutupi
permukaan koloni dan memperlihatkan tidak adanya kerusakan berarti (Wesseling
et al. 1999). Pada jenis yang lain dengan adanya sedimentasi telah menyebabkan
penurunan laju fotosintesis, peningkatan respirasi, dan produksi mucus (Yentsch
et al. 2002; Phillipp dan Fabricius, 2003). Dengan peningkatan sedimentasi
pertumbuhan karang terhambat, karang mengalami penurunan densitas
zooxanthellae, dan memperlihatkan terjadinya kerusakan jaringan (Roger, 1990).
Hilangnya zooxanthellae dari jaringan polip karang dapat menyebabkan
berkurangnya laju fotosintesis. Phillip dan Fabricius (2003) melaporkan bahwa
ekspos dari sedimentasi telah menyebabkan perubahan laju fotosintesis. Karang
yang paling sensitif adalah karang bentuk foliose atau karang yang memiliki
ukuran polip kecil, seperti Echinopora lammellosa, Montipora spp., dan Porites
spp. Umumnya laju fotosintesis berkurang setelah terekspos selama kurang dari
24 jam. Sementara terumbu karang yang memiliki ukuran polip lebih besar atau
karang yang memiliki struktur skeleton terbuka, seperti Fungia crassa, Galaxea
fascicularis, atau Pectinia lactuca tampak tidak terpengaruh oleh sedimentasi.
Pada penelitian kali ini, analisis pada tingkat jaringan dilakukan untuk
mengetahui secara visual indikasi pengaruh sedimentasi yang terjadi terhadap
komposisi zooxanthellae sebagai indikator stress terumbu karang. Contoh jaringan
diambil dari fragmen karang jenis Acropora formosa dan Porites cyllindrica yang
terdapat di Stasiun 1 dengan tingkat sedimentasi paling tinggi dibanding stasiun
lainnya. Kedua jenis karang tersebut memiliki bentuk bercabang sehingga
memudahkan dalam pengambilan fragmen.
Hasil sayatan preparat jaringan polip pada dua jenis karang batu (Acropora
formosa dan Porites cyllindrica) memperlihatkan adanya perubahan struktur
jaringan polip akibat tekanan lingkungan. Pengaruh dominan dari faktor
lingkungan tersebut diduga endapan sedimen, TSS dan NO3. Hal ini didukung
oleh hasil analisis PCA dimana korelasi negatif dari kedua ketiga parameter
tersebut cukup tinggi terhadap terumbu karang.

65
Dari hasil perhitungan, densitas zooxanthellae pada spesimen Acropora
formosa lebih rendah dibanding Porites cyllindrica. Rata-rata densitas
zooxanthellae pada spesimen Acropora formosa sekitar 1,07 x 105 sel/cm2,
sementara Porites cyllindrica 1,27 x 105 sel/cm2. Lebih lengkap densitas
zooxanthellae pada masing-masing spesimen dapat dilihat pada Tabel 13. Secara
visual pada kedua spesimen tersebut tidak memperlihatkan terjadinya bleaching.
Indikasi stress akibat sedimentasi terlihat pada sejumlah sel zooxanthellae yang
keluar dari lapisan endodermis ke dalam coelenteron. Pada lapisan endodermis
tampak beberapa bagian sel yang kosong dimana sebelumnya ditempati oleh
zooxanthellae. Densitas zooxanthelae yang keluar pada Acropora formosa lebih
tinggi dibanding Porites cyllindrica, hal ini terlihat dari susunan zooxanthellae
pada lapisan endodermis dan banyaknya ruang-ruang kosong pada jaringan kedua
spesies karang tersebut (Gambar 21 dan 22).

Tabel 13. Densitas zooxanthellae pada spesimen karang Acropora formosa dan
Porites cyllindrica.
Spesimen Lp. pandang DZ (sel/cm2) Rerata DZ
1 120755
Acropora formosa 2 91824 107547
3 110063
1 128931
Porites cyllindrica 2 134591 126834
3 116981
DZ: Densitas Zooxanthellae

Sedimentasi di Pulau Panjang yang menyebabkan tingginya penutupan


karang lunak juga disinyalir memicu keluarnya zooxanthellae dari jaringan polip
karang. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Aceret et al. (1995) dimana
karang lunak melalui senyawa diterpennya telah menyebabkan berkurangnya
aktifitas polip karang, selanjutnya terjadi pengeluaran zooxathellae yang diikuti
dengan keluarnya nematokis dari jaringan polip karang. Dari hasil penelitiannya
dilaporkan bahwa pada konsentrasi 5 ppm senyawa diterpen flexibide sejumlah
sel zooxanthellae keluar dari jaringan polip karang Acropora formosa dan Porites
cyllindrica, kemudian pada 10 ppm keluarnya zooxanthellae meningkat secara

66
signifikan. Konsentrasi keluarnya zooxanthellae pada Porites cyllindrica lebih
sedikit dibanding Acropora formosa.
Lebih lanjut Phillip dan Fabricius (2003) mengemukakan bahwa
penutupan sedimen terhadap fragmen karang memperlihatkan penurunan
komposisi zooxanthellae dan konsentrasi klorofil terhadap unit luas dan waktu.
Dilaporkan setelah 36 jam komposisi zooxanthellae pada terumbu karang yang
terekspos sedimen memiliki densitas 1,5 – 1,9 x 106 sel/cm2, sementara pada
terumbu karang kontrol densitas mencapai 2,6 – 4,1 x 106 sel/cm2. Disisi lain
konsentrasi klorofil pada terumbu karang kontrol berkisar antara 4,0 – 8,6 µg/cm2,
sedangkan pada terumbu karang yang terekspos sedimen selama 36 jam
konsentrasi klorofil berkisar 1,3 – 2,5 µg/cm2.

67
a

Gambar 21. Foto jaringan polip Acropora formosa (a: spesimen Acropora
formosa; b: jaringan perbrsaran.200x, c: perbesaran 400x).

68
a

Gambar 22. Foto jaringan polip Porites cyllindrica (a: spesimen Porites
cyllindrica; b: jaringan perbrsaran.200x, c: perbesaran 400x).

69
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain:
1. Secara spasial salinitas mengalami peningkatan mulai dari stasiun yang dekat
dengan aliran Sungai Berau menuju ke stasiun yang paling jauh dari aliran
Sungai Berau. Konsentrasi TSS dan nitrat justru memiliki kecenderungan
semakin menurun menuju stasiun yang jauh dari daratan. Sementara itu kadar
ortofosfat lebih tinggi di Pulau Maratua dan Pulau Derawan.
2. Berdasarkan citra Landsat ETM tahun 2001 sebaran sedimen dari muara
Sungai Berau di perairan Kepulauan Derawan mencapai Pualu Panjang dan
Pulau Derawan, bahkan dengan konsentrasi yang relatif rendah mencapai
Pulau Sangalaki. Sedimen dari Sungai Berau tidak terdistribusi hingga Pulau
Maratua yang merupakan stasiun terluar dari penelitian ini.
3. Terdapat perbedaan persentase penutupan karang batu diantara masing-masing
stasiun penelitian yang dibandingkan, kecuali perbandingan antara Stasiun 2
dengan Stasiun 4.
4. Bentuk pertumbuhan karang batu pada daerah dekat muara Sungai Berau
memiliki karakteristik yang dipengaruhi sedimen, sementara pada daerah yang
jauh ke arah laut, bentuk pertumbuhan karang batu lebih teradaptasi terhadap
energi mekanik yang ditimbulkan arus dan gelombang.
5. Laju sedimentasi paling tinggi terjadi di daerah yang dekat dengan muara
Sungai Berau. Selain jarak terhadap sumber, arus diduga merupakan faktor
yang paling berpengaruh terhadap penyebaran sedimen dan laju sedimentasi.
Sedimentasi lebih berpengaruh terhadap kekayaan jenis daripada persentase
penutupan karang batu.
Saran
Setelah dilakukan penelitian ini terdapat beberapa ide yang disarankan
untuk dilakukan, yaitu:
1. Penelitian lanjutan mengenai pengaruh sedimen terhadap perubahan struktur
komunitas karang akibat sedimentasi. Akan tetapi hal ini membutuhkan waktu
yang sangat lama
2. Kajian terhadap kompetisi karang batu dengan organisme lain di dalam
ekosistem terumbu karang yang terekspos oleh sedimen
3. Studi mengenai pengaruh sedimen terhadap karang batu melalui pendekatan
biologis
4. Dalam pengelolaan, adanya treatment yang serupa dengan Pulau Sangalaki
terhadap daerah terumbu karang yang lain sehingga akan memperbanyak
jumlah area karang dengan penutupan yang sangat tinggi.

71
DAFTAR PUSTAKA

Aceret TL, Sammarco PW, Coll JC. 1995. Toxic Effect of Alcyonacean Deterpens
on Sclerectinian Corals. Journal of Experimental Marine Biology And
Ecology (188): 63 – 78.

Baghdasarian G, and Muscatine L. 2000. Prefertial Expultion of Dividing Algal


Cell As A Mechanism For Regulating Algal Cnidarian Symbiosis. Biol.
Bull. (1998): 278 – 286.

Barnes DJ, Lough JM. 1999. Porites Growth Characteristics In A Changed


Environment: Misima Island, Papua New Guinea. Coral Reef (18): 213 –
218.

Bearman G. 1999. Waves, Tides, And Shallow Water Processes. Open University,
Walton Hall, Milton Keynes, MK7 6AA, And Butterworth-Heinemann.
England.

Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh Dan Analisis Data
Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan
Lautan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Jakarta.

Burke L, Elisabeth S, Spalding M. 2002. Terumbu Karang Yang Terancam Di


Asia Tenggara Diterjemahkan Dari Reef Of Risk In South East Asia.
World Resources Institute. Washington DC.USA.

Cervino JM, Hayes RL, Honovich M, Goreau TJ, Jones S, Rubec PJ. 2003.
Changes In Zooxanthellae Density, Morphology, And Mytotic Index In
Hermatypic Corals And Anemones Exposed To Cyanide. Marine Pollution
Bulletin (46): 573 – 586.

Clark, Jhon R. 1998. Coastal Management (Hand Book). Lewis Publisher. Boca
Raton, New York, London, Yokyo.

Connel DW, Hawker DW (Ed). Pollution In Tropical Aquatic System. CRC Press,
Inc. London.

Cornish AS and DiDonato EM. 2003. Resurvey Of A Reef Flat In American


Samoa After 85 Years Reveals Devastation To A Soft Coral (Alcyonacea)
Community. Marine Pollution Bulletin (In Press).

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan


Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.xxxiii +
412 halaman.

Davis RA Jr. 1993. An Introduction to Sedimentology and Stratigraphy


Depositional System. New York: Prencite Hall-Englewood Cliffs.
Dyer KR. 1986. Coastal and Estuarine Sediment Dynamics. New York: John
Wiley dan Sons Ltd,.

English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine


Resources. Australian Institut of Marine Science. Townsville. p.34-80.

Fabricius KE. 2004. Efect of Terestrial Runoff On The Ecology of Coral and
Coral Reef: Review and Synhesis. Elsevier Ltd. All right reserved.
Australia.

Febricius KE, Wild C, Wolanski E, Abele D. 2003. Effect of Transparent


Exopolymer Particles And Muddy Sediments On The Survival of Hard
Coral Recruits. Estuarine Coastal And Shelf Science (57): 613 – 621.

Hallock P, Barnes K, Fisher EM. 2004. Coral Reef Risk Assessment From
Satelites To Molecules: A Multiscale Approach To Environmental
Monitoring And Risk Assessment of Coral Reef. Environmental
Micropaleontology, Microbiology and Meiobenthology. University of
South Florida. USA. p 11-39.

Hubbard DK. 1997. Reef as Dynamic System. Edited by Charles Brikeland. Life
and Death of Coral Reef. Champman and Hall. USA. p.43 – 67.

Kountur, R. 2006. Statistik Praktis. Pengolahan Data Untuk Penyusunan Skripsi


Dan Tesis. PPM. Jakarta Pusat.

Krebs CJ. 1972. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and


Abundance. Harper and Row Publisher. New York. 694 p.

Ludwig JA, Reynold JF. 1988. Statistical Ekology. A Primer On Methods And
Computing. John Wiley and Sons. USA.

MacDonald IA, Perry CT. 2003. Biological Degradation Of Coral Framework In


Turbid Lagoon Environmrnt, Discovery Bay, North Jamaica. Coral Reefs
(22): 523 – 535.

Mapstone GM. 1990. Reef Coral and Sponges of Indonesia: A Vedeo-Based


Learning Module. Division of Marine Science. United Nation Educational
Scientific and Cultural Organization. Netherlands.

McLaughlin CJ, Smith CA, Buddermeier BA, Bartley JD, Maxwell BA. 2003.
River, Runoff, And Reef. Global And Planetary Change (39): 191 – 199.

Nybakken JW. 1993. Marine Biology An Ecological Approach. Third Edition.


Harper Collins College Publisher. USA.

Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. WB Sounders Co. Philadelphia.

73
Philip E and Katharina F. 2003. Photophysiological Stress In Sclerectinian Corals
In Response To Short Term Sedimentation. Jurnal of Experimental Marine
Biology and Ecology (287): 57 – 78.

Riegl, B, C Heine, GM Branch. 1996. Function Of Funnel-shaped Coral Growth


In A High Sedimentation Environment. Marine Ecology Progress Series
(145): 87 – 93.

Roger CS. 1990. Responses Of Coral Reef And Reef Organism To Sedimentation.
Marine Ecology Progress Series (62): 185 – 202.

Salvat B. 1987. Human Impacts On Coral Reef: Facts And Recomendation.


Impacts Des Activities Humaines Sur Les Recifs Coralliens:
Connaissances Et Recomendatuions. Antene de Tahiti Museum E.P.H.E.
B.P. 1013. Papetoai, Moorea, Polynese Francaise.

Sorokin YI. 1993. Coral Reef Ecology. Springer - Verlag Berlin Heidelberg.
Germany.

Stafford-Smith MG. 1993. Sediment Rejection Efficiency Of 22 Species Of


Australian Sclerectinian Corals. Marine Biology (115): 229 – 243.

Suharsono. 1996. Jenis-jenis Karang yang Umum Dijumpai di Perairan


Indonesia. P3O- LIPI. Jakarta. p. 2-13.

Sumich JL. 1992. An Introduction to the Biology of Marine Life. Fifth Edition.
Wm.C.Brown Publisher. USA.

Susanto HA. 2004. Study Kelayakan Pengembangan Perikanan Ramah


Lingkungan di Pulau Derawan. The Nature Conservancy, East
Kalimantan Portfolio. Indonesia.

Sya’rani L. 1982. Karang : Determinasi Genus. Universitas Diponegoro.


Semarang.

Szamant AM. 2002. Nutrient Enrichment on Coral Reef: Is It A Major Couse of


Coral Reef Decline?. Estuarine Research Federation. North Carolina. p.
743 – 766.

Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The Ecology of the Indonesian
Seas: Part One. Periplus Edition (HK) Ltd. Singapore.

Turak E. 2003. Coral Biodiversity and Reef Status. For The Nature Conservancy
East Kalimantan.

Veron, JEN. 1995. Corals In Space And Time. The Biogeography And Evolution
Of The Sclerectinia. UNSW Press. Sidney.

Veron, JEN. 1986. Corals of Australian and Indopacific. Angus and Robertson.
Australia

74
Walpole, RE. 1995. Pengantar Statistika. Edisi Ke-3. Alih Bahasa Oleh B.
Sumantri. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Wesseling I, Uychiaoco AJ, Alino PM, Aurin T, Vermaat JE. 1999. Damage And
Recovery Of Four Philippine Corals From Short-Term Sediment Burial.
Marine Ecology Progress Series (176): 11 – 15.Wielgus, J., D. Glassom,
L. Fishelson. 2003. Long-term Persistence of Low Coral Cover And
Abundance On A Disturbed Coral Reef In The Nothern Red Sea. Journal
of Experimental Marine Biology And Ecology (297): 31 – 41.

Wibisono, MS. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT Gramedia Widiasarana


Indonesia. Jakarta

Wiryawan B, Stanley SA, Yulianto I, Susanto HA. 2004. Profil Kepulauan


Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kerjasama The Nature
Conservancy dan Pemerintah Kabupaten Berau, Tanjung Redeb-
Kalimantan Timur. Indonesia. 71 pp.

75
LAMPIRAN

76
Lampiran 1. Bentuk pertumbuhan karang batu (English et al. 1994)

77
Lampiran 1. Lanjutan

78
Lampiran 1. Lanjutan

79
Lampiran 2. Peta TSM hasil interpretasi citra Sea Wifs (Sumber: TNC)

80
Lampiran 2. Lanjutan

81
Lampiran 3. Hasil analisis Gradistat

Stasiun 1

SAMPLE IDENTITY: P Panjang1 Gravel Gravel: 0.0%


Sand: 87.9%
TEXTURAL GROUP: Muddy Sand
Mud: 12.1%
SEDIMENT NAME: Fine Silty Fine Sand
Gravel
Very Coarse 0.0%
80% Coarse Gravel: 0.0%
Medium Gravel: 0.0%
Fine Gravel: 0.0%
Very Fine Gravel: 0.0%
Sandy Very Coarse Sand: 7.3%
Gravel
Coarse Sand: 18.5%
Muddy Gravel Muddy Sandy
Gravel % Gravel Medium 27.9%
Fine Sand: 30.0%
Very Fine 4.2%
Very Coarse Silt: 2.5%
Coarse Silt: 0.5%
30% Medium Silt: 1.4%
Fine Silt: 7.6%
Gravelly
Very Fine Silt: 0.0%
Gravelly Mud Gravelly Muddy Sand Sand
Clay: 0.0%

5%
Slightly
Slightly Gravelly
Slightly Gravelly Slightly Gravelly
Gravelly Sand
Sandy Mud Muddy Sand
Mud
Trace
Sand
Mud Sandy Mud Muddy Sand
Mud Sand
1:9 1:1 9:1
Sand:Mud Ratio

Stasiun 2

SAMPLE IDENTITY: P Derawan Gravel Gravel: 0.0%


Sand: 90.0%
TEXTURAL GROUP: Sand
Mud: 10.0%
SEDIMENT NAME: Poorly Sorted Fine Sand
Gravel
Very Coarse 0.0%
80% Coarse Gravel: 0.0%
Medium Gravel: 0.0%
Fine Gravel: 0.0%
Very Fine Gravel: 0.0%
Sandy Very Coarse Sand: 6.1%
Gravel
Coarse Sand: 15.8%
Muddy Gravel Muddy Sandy
Gravel % Gravel Medium 27.2%
Fine Sand: 36.8%
Very Fine 4.1%
Very Coarse Silt: 2.4%
Coarse Silt: 1.3%
30% Medium Silt: 2.5%
Fine Silt: 3.7%
Gravelly
Very Fine Silt: 0.0%
Gravelly Mud Gravelly Muddy Sand Sand
Clay: 0.0%

5%
Slightly
Slightly Gravelly
Slightly Gravelly Slightly Gravelly
Gravelly Sand
Sandy Mud Muddy Sand
Mud
Trace
Sand
Mud Sandy Mud Muddy Sand
Mud Sand
1:9 1:1 9:1
Sand:Mud Ratio

82
Lampiran 3. Lanjutan

Stasiun 3

SAMPLE IDENTITY: P Sangalaki Gravel Gravel: 0.0%


Sand: 91.3%
TEXTURAL GROUP: Sand
Mud: 8.7%
SEDIMENT NAME: Poorly Sorted Medium Sand
Gravel
Very Coarse 0.0%
80% Coarse Gravel: 0.0%
Medium Gravel: 0.0%
Fine Gravel: 0.0%
Very Fine Gravel: 0.0%
Sandy Very Coarse Sand: 5.0%
Gravel
Coarse Sand: 16.2%
Muddy Gravel Muddy Sandy
Gravel % Gravel Medium 35.1%
Fine Sand: 33.6%
Very Fine 1.4%
Very Coarse Silt: 1.9%
Coarse Silt: 1.2%
30% Medium Silt: 0.5%
Fine Silt: 5.1%
Gravelly
Very Fine Silt: 0.0%
Gravelly Mud Gravelly Muddy Sand Sand
Clay: 0.0%

5%
Slightly
Slightly Gravelly
Slightly Gravelly Slightly Gravelly
Gravelly Sand
Sandy Mud Muddy Sand
Mud
Trace
Sand
Mud Sandy Mud Muddy Sand
Mud Sand
1:9 1:1 9:1
Sand:Mud Ratio

Stasiun 4

SAMPLE IDENTITY: P Maratua Gravel Gravel: 0.0%


Sand: 89.9%
TEXTURAL GROUP: Muddy Sand
Mud: 10.1%
SEDIMENT NAME: Fine Silty Fine Sand
Gravel
Very Coarse 0.0%
80% Coarse Gravel: 0.0%
Medium Gravel: 0.0%
Fine Gravel: 0.0%
Very Fine Gravel: 0.0%
Sandy Very Coarse Sand: 3.8%
Gravel
Coarse Sand: 13.9%
Muddy Gravel Muddy Sandy
Gravel % Gravel Medium 33.1%
Fine Sand: 36.2%
Very Fine 2.9%
Very Coarse Silt: 0.3%
Coarse Silt: 2.2%
30% Medium Silt: 1.5%
Fine Silt: 6.1%
Gravelly
Very Fine Silt: 0.0%
Gravelly Mud Gravelly Muddy Sand Sand
Clay: 0.0%

5%
Slightly
Slightly Gravelly
Slightly Gravelly Slightly Gravelly
Gravelly Sand
Sandy Mud Muddy Sand
Mud
Trace
Sand
Mud Sandy Mud Muddy Sand
Mud Sand
1:9 1:1 9:1
Sand:Mud Ratio

83
Lampiran 4. Persentase penutupan karang dan biota penyusun substrat dasar lainnya

Kategori P. Panjang P. Derawan


Karang Keras
(HC) T1 T2 T3 T1 T2 T3
Acropora
ACB 7.88% 6.58% 7.15% 0.48% 1.08% 0.97%
ACD 0.17% 0.32% 1.36% 0.20% 0.18% 0.36%
ACE - - - - - -
ACS 0.16% 0.18% 0.15% 0.76% 1.28% 1.73%
ACT 1.90% 1.72% 1.88% 6.81% 5.42% 5.68%
Non Acropora
CB 7.74% 7.65% 6.25% 13.15% 15.21% 15.08%
CE 2.99% 3.12% 3.04% 5.64% 5.29% 3.35%
CF 8.97% 8.14% 8.74% 0.69% 0.12% 0.52%
CM 9.16% 9.38% 9.25% 15.82% 16.14% 16.48%
CS 0.47% 0.31% 0.48% 3.81% 3.96% 4.07%
CMR 0.11% 0.16% 1.62% - - -
CME - - - 0.44% 0.67% 0.54%
CHL 1.49% 1.12% 1.37% - - -
CTU 0.70% 0.82% 0.68% - - -
Fauna Lain
SC 21.68% 24.65% 24.24% 2.67% 2.15% 2.92%
SP 1.74% 1.84% 1.57% 0.59% 1.54% 1.97%
ZO - - - - - -
ASC - - - 0.03% - -
OT 3.55% 4.16% 2.98% 0.87% 2.10% 1.44%
Alga
CA 2.26% 2.90% 1.05% 1.30% 0.21% 0.15%
MA 0.19% 1.25% 2.11% - - -
Abiotik
DC 0.27% 0.32% 0.23% - - -
DCA 7.00% 9.14% 9.36% 12.13% 14.04% 12.59%
R 12.98% 9.52% 10.20% 20.72% 18.37% 18.72%
RCK - - - 1.24% 1.69% 1.12%
S 8.62% 6.72% 6.29% 12.65% 10.55% 12.31%

84
Lampiran 4. Lanjutan

Kategori P. Sangalaki P. Maratua


Karang Keras
(HC) T1 T2 T3 T1 T2 T3
Acropora
ACB 7.37% 6.12% 6.24% 1.12% 1.14% 1.27%
ACD - - - 0.10% 0.21% 0.14%
ACE - - - - - -
ACS 1.75% 2.33% 2.16% 2.08% 2.15% 2.20%
ACT 2.01% 2.84% 3.01% 1.17% 1.81% 1.55%
Non Acropora
CB 19.82% 19.68% 18.49% 12.87% 10.29% 12.09%
CE 19.25% 16.45% 18.11% 3.53% 4.28% 4.46%
CF 32.36% 32.91% 34.05% 3.41% 3.19% 3.11%
CM 2.17% 3.05% 2.88% 17.63% 17.35% 15.27%
CS 4.65% 4.33% 4.17% 5.18% 6.02% 6.51%
CMR 0.71% 1.13% 1.34% - - -
CME - - - 0.93% 0.77% 0.18%
CHL - 1.52% 1.12% 0.18% 0.12% 0.16%
CTU - - - - - -
Fauna Lain
SC 2.12% 1.85% 1.26% 1.15% 1.58% 2.06%
SP - - - 8.15% 7.79% 7.41%
ZO - - - - - -
ASC - - - - 0.04% 0.06%
OT - - 0.19% 0.06% 0.17% -
Alga
CA 0.29% 0.16% 0.21% 1.19% 2.05% 1.59%
MA - - - - - -
Abiotik
DC 1.24% 1.30% 1.36% - - -
DCA 5.11% 6.12% 4.37% 10.46% 12.25% 12.36%
R 1.14% 0.21% 1.04% 19.52% 18.41% 15.28%
RCK - - - 2.77% 2.08% 1.97%
S - - - 8.49% 8.30% 12.33%

85
Lampiran 5. Hasil pengolahan data dengan menggunakan PCA

Statistika dasar

Variabel Mean Std, Dev,


Sed 11,39 6,67
HC 56,97 22,72
NO3 0,14 0,05
PO4 0,02 0,02
TSS 9,25 4,00
Tem 29,87 0,24
Sal 30,85 0,95
Arus 0,25 0,04
Vis 6,82 1,59

Matriks korelasi

Sed HC NO3 PO4 TSS Tem Sal Arus Vis


Sed 1,00
HC -0,66 1,00
NO3 0,89 -0,92 1,00
PO4 -0,31 -0,43 0,15 1,00
TSS 0,93 -0,47 0,78 -0,33 1,00
Tem -0,90 0,30 -0,60 0,69 -0,86 1,00
Sal -0,97 0,50 -0,79 0,42 -0,98 0,93 1,00
Arus -1,00 0,68 -0,89 0,31 -0,92 0,90 0,97 1,00
Vis -0,10 -0,21 0,18 0,73 0,12 0,40 0,05 0,11 1,00

Diagonalisasi
Baris 1: Akar ciri (ragam pada sumbu utama)
Baris 2: Kontribusi variasi total (persentase yang dijelaskan oleh sumbu utama)
Sumbu 1 Sumbu 2 Sumbu 3
5,9635 2,3308 0,7055
66,26% 25,90% 7,84%

Vektor ciri (koefisien variabel dalam fungsi linier sumbu utama)


Variabel Factor 1 Factor 2 Factor 3
Sed -0,4092 0,0067 0,0421
HC 0,2637 -0,4192 -0,4992
NO3 -0,3593 0,2937 0,2028
PO4 0,1331 0,6158 0,1206
TSS -0,3859 0,0087 -0,3983
Tem 0,3713 0,2748 0,0524
Sal 0,4012 0,0559 0,2149
Arus 0,4088 -0,0095 -0,0686
Vis 0,0369 0,5291 -0,6936

86
Lampiran 6. Spesies karang yang ditemukan pada masing-masing stasiun

Takson P. Panjang P. Derawan P. Sangalaki P. Maratua


Family Astrocoeniidae
Genus Stylocoeniella
Stylocoeniella armata - - - +
Stylocoeniella guentheri + + + +
Family Pocilloporidae
Genus Pocillopora
Pocillopora ankeli - - - +
Pocillopora damicornis - + + +
Pocillopora danae + + + +
Pocillopora elegans - - - -
Pocillopora eydouxi + + + -
Pocillopora kelleheri - + - -
Pocillopora meandrina - - - -
Pocillopora verrucosa + + + +
Pocillopora woodjonesi - - - -
Genus Seriatopora
Seriatopora aculeata - + + +
Seriatopora caliendrum + + + +
Seriatopora guttatus - - - -
Seriatopora hystrix - - + -
Seriatopora stellata - + + +
Genus Stylophora
Stylophora pistillata + + + +
Stylophora subseriata - - - -
Family Acroporidae
Genus Montipora
Montipora aequituberculata - - - +
Montipora altasepta - - + -
Montipora cactus - - - +
Montipora calcarea - - - +
Montipora capitata - - - -
Montipora cebuensis - + - +
Montipora confusa + + - +
Montipora corbetensis - - + +
Montipora crassituberculata - - - -
Montipora danae + - + +
Montipora digitata - + + -
Montipora florida - - - -
Montipora floweri - - + -
Montipora foliosa - + + +
Montipora foveolata + - - -
Montipora friabilis - - + -
Montipora grisea + + + +
Montipora hispida - - - +

87
Lampiran 6. Lanjutan

Montipora hodgsoni - - - -
Montipora hoffmeisteri + + + +
Montipora incrassata - + - -
Montipora informis + + + +
Montipora mactanensis - - - +
Montipora malampaya - - - +
Montipora millepora + - - -
Montipora monasteriata - + + +
Montipora nodosa - + - -
Montipora plawanensis - - + -
Montipora samarensis - - + -
Montipora spongodes + + + +
Montipora stellata - - - -
Montipora tuberculosa + + + +
Montipora turgescens + + + +
Montipora turtlensis - - - +
Montipora undata - + + -
Montipora verriculosa - - - -
Montipora vietnamensis - - + +
Genus anacropora
Anacropora forbesi - - - -
Anacropora matthai - - - +
Anacropora puertogalerae - - + +
Anacropora reticulata - - - -
Genus Acropora
Acropora abrotonoides - - - -
Acropora aculeus - - + +
Acropora acuminata - - - -
Acropora aspera - - + -
Acropora austera - + + +
Acropora awi - - - +
Acropora bifurcata - - - +
Acropora bruggemanni - - + +
Acropora carduus - - - -
Acropora caroliniana - - - +
Acropora cerealis + - + -
Acropora clathrata - + + +
Acropora cophodactyla - - - -
Acropora cytherea - + + +
Acropora derewanensis - - + -
Acropora digitifera + + + +
Acropora divaricata + + + +
Acropora echinata - - + -
Acropora elegans - - + -
Acropora elseyi - + - -

88
Lampiran 6. Lanjutan

Acropora florida + + + +
Acropora formosa - + + +
Acropora gemmifera + + - -
Acropora grandis - - + +
Acropora granulosa + + + +
Acropora hoeksemai - + - -
Acropora horrida - - + +
Acropora humilis + + + +
Acropora hyacinthus - + - +
Acropora indonesia - - + +
Acropora insignis - - - +
Acropora kirstyae - - + +
Acropora latistella - - + -
Acropora listeri - + - +
Acropora loripes - + + +
Acropora lutkeni - - - -
Acropora microclados - + + +
Acropora microphthalma - - + +
Acropora millepora - + + +
Acropora mirabilis - - - +
Acropora nana - + - -
Acropora nasuta + - + +
Acropora nobilis - + + -
Acropora palifera + + + +
Acropora paniculata - - + -
Acropora plumosa - - - +
Acropora robusta - - + -
Acropora samoensis + - + -
Acropora sarmentosa - + + -
Acropora secale - + - +
Acropora selago - - - +
Acropora seriata - - - -
Acropora solitaryensis - - - +
Acropora speciosa - - + -
Acropora spicifera - + - -
Acropora striata - - + +
Acropora subglabra - - + +
Acropora subulata - + + +
Acropora tenuis + + - +
Acropora valenciennesi - + + +
Acropora valida - + - +
Acropora verweyi - + - -
Acropora williase - - - -
Acropora yongei - + - +

89
Lampiran 6. Lanjutan

Genus Astreopora
Astreopora expansa - - + -
Astreopora gracilis + - + +
Astreopora listeri - + + +
Astreopora myriophtalama + + - -
Astreopora ocellata - - - +
Astreopora randalli - + + -
Astreopora suggesta - - - -
Family Euphyllidae
Genus Euphyllia
Euphyllia ancora + - + +
Euphyllia cristata + - - -
Euphyllia divisa - - + -
Euphyllia glabrescens + + - -
Euphyllia yaeyamensis - - - +
Genus Plerogyra
Plerogyra simplex + - + +
Plerogyra sinuosa + - + +
Genus Physogyra - + - -
Physogyra lichstenteini + - + +
Family Oculindae
Genus Galaxea
Galaxea archelia - - + +
Galaxea astreata - - - -
Galaxea fascicularis + + + +
Galaxea horrescens - - - +
Galaxea longisepta - - - -
Galaxea paucisepta - - - +
Family Siderasteridae
Genus Psammocora
Psammocora contigua - - + -
Psammocora digitata - + - -
Psammocora explanulata + - - -
Psammocora haimeana - - - +
Psamocora niestraszi - - - +
Psammocora profundacella + + + +
Psammocora superficialis - + - -
Genus Coscinaraea
Coscinaraea columna - + - +
Coscinaraea exesa - - - -
Coscinaraea wellsi - - + -
Family Agaricidae
Genus Pavona
Pavona bipartita + - - +
Pavona clavus + - - +

90
Lampiran 6. Lanjutan

Pavona decussata + - + +
Pavona duerdeni + - - +
Pavona explanulata + - - +
Pavona varians + + + +
Pavona venosa - + + +
Genus Leptoseris
Leptoseris explanata + + + +
Leptoseris foliosa - - + -
Leptoseris hawaiiensis - - + +
Leptoseris incrustans - - - +
Leptoseris mycetoseroides - - - +
Leptoseris papyracea - - - -
Leptoseris scabra + + + +
Leptoseris yabei - - - -
Genus Gardineroseris
Gardineroseris planulata - - - +
Genus Coeloseris
Coeloseris mayeri + + + +
Genus Pachyseris
Pachyseris foliosa + - - +
Pachyseris gemmae - - + +
Pachyseris rugosa + + - +
Pachyseris speciosa + + + +
Family Fungiidae
Genus Cycloseris
Cycloseris cyclolites - - + -
Genus Heliofungia
Heliofungia actiniformis + - + +
Genus Fungia
Fungia concinna + + + +
Fungia corona - + - -
Fungia danai - + + +
Fungia fralinae - - - -
Fungia fungites - + + +
Fungia granulosa - + + +
Fungia gravis - - + +
Fungia horrida + + + +
Fungia moluccensis - - + +
Fungia paumotensis - + + +
Fungia repanda - - + +
Fungia scabra - - + -
Fungia scruposa + - + +
Fungia scrutaria - - - -
Genus Ctenactis
Ctenactis albitentaculata - - + +

91
Lampiran 6. Lanjutan

Ctenactis crassa - + + +
Ctenactis echinata - + + +
Genus Herpolitha
Herpolitha limax + + + -
Genus Polyphyllia
Polyphyllia talpina - - + -
Genus Sandalolitha
Sandalolitha robusta - - + -
Genus Halomitra
Halomitra clavator - - - +
Halomitra pileus - + + +
Genus Zoopilus
Zoopilus echinatus - - - +
Genus Lithophyllon
Lithophyllon mokai - - - +
Genus Podabacia
Podabacia crustacea + + + +
Podabacia motuporensis - - + +
Family Pectinidae
Genus Echinophyllia
Echinophyllia aspera + - + +
Echinophyllia echinata - - + -
Echinophyllia echinoporoides + + + +
Genus Oxypora
Oxypora crassispinosa - - + +
Oxypora glabra + - + -
Oxypora lacera + + + +
Genus Mycedium
Mycedium elephatotus + + + +
Mycedium robokaki - - + +
Mycedium mancaoi - - + +
Mycedium steeni - - + -
Genus Pectinia
Pectinia alcicornis + + + -
Pectinia elongata - - + +
Pectinia lactuca + + - +
Pectinia paeonia - - + -
Pectinia teres - - - +
Pectinia maxima + - - -
Family Merulinidae
Genus Hydnophora
Hydnophora exesa + + + +
Hydnophora microconos - + + +
Hydnophora pilosa - - + -
Hydnophora rigida - - + +

92
Lampiran 6. Lanjutan

Genus Merulina
Merulina ampliata + - + +
Merulina scabricula + + - +
Genus Scapophyllia
Scapophyllia cylindrica - + + +
Family Dendrophyllidae
Genus Turbinaria
Turbinaria irregularis + - - +
Turbinaria mesenterina - - - -
Turbinaria patula + - - -
Turbinaria peltata + - + -
Turbinaria reniformis + - - -
Turbinaria stellulata + - + -
Family Mussidae
Genus Acanthastrea
Acanthastrea echinata + - + -
Acanthastrea hemprichii - - + -
Acanthastrea regularis - - + -
Acanthastrea subechinata + + + +
Genus Lobophyllia
Lobophyllia flabelliformis + - - -
Lobophyllia hataii - - + +
Lobophyllia hemprichii + + + +
Lobophyllia robusta - + + +
Genus Symphyllia
Symphyllia agaricia + - - +
Symphyllia radians + - + +
Symphyllia recta + + + +
Symphyllia valenciennesii - - + +
Genus Scolymia
Scolymia australis + - - -
Scolymia vitiensis - - + -
Genus Australomussa
Australomussa rowleyensis + - - -
Genus Cynarina - - - -
Cynarina lacrymalis + - - -
Family Faviidae
Genus Favia
Favia danae - + - -
Favia favus + + + +
Favia lizardensis + - + +
Favia matthai + + + +
Favia maxima + - - -
Favia pallida + + + +
Favia rotundata + - + +

93
Lampiran 6. Lanjutan

Favia speciosa + + + +
Favia stelligera + + + +
Favia truncatus + - + -
Genus Barabottoia
Barabottoia amicorum + - + -
Barabattoia laddi - + + -
Genus Favites
Favites acuticulis + - + -
Favites abdita + + + +
Favites complanata + + + +
Favites flexuosa + - + +
Favites halicora + - + -
Favites micropentagona - + + -
Favites paraflexuosa + - - -
Favites pentagona - + + +
Favites russelli + + + +
Favites spinosa - + - -
Genus Goniastrea
Goniastrea aspera - + + -
Goniastrea australensis - - - +
Goniastrea edwardsi - + + +
Goniastrea pectinata + + + +
Goniastrea retiformis - + + +
Genus Platygyra
Platygyra acuta - - + +
Platygyra contorta - - + +
Platygyra daedalea + + + +
Platygyra lamellina + - + -
Platygyra pini + + + -
Platygyra sinensis + + + +
Platygyra verweyi + - + -
Platygyra yayamaensis - - + -
Genus Oulophyllia
Oulophyllia bennettae + - + -
Oulophyllia crispa + - + +
Oulophyllia levis - - + -
Genus Leptoria
Leptoria irregularis - + - -
Leptoria phyrigia - + + +
Genus Montastrea
Montastrea colemani - - + -
Montastrea curta + + + +
Montastrea magnistellata + - + -
Montastrea salebrosa + - + -
Genus Plesiastrea

94
Lampiran 6. Lanjutan

Plesiastrea versipora - + + +
Genus Diploastrea
Diploastrea heliopora - + + +
Genus Leptastrea
Leptastrea pruinosa + + + +
Leptastrea purpurea + + - +
Leptastrea transversa - + + +
Genus Cyphastrea
Cyphastrea chalcidium + - - -
Cyphastrea decadia - - - +
Cyphastrea japonica - - - -
Cyphastrea microphtalama + + + +
Cyphastrea serailia + + + +
Genus Echinopora
Echinopora gemmacea + - + +
Echinopora horrida - - + +
Echinopora lamellosa + + + +
Echinopora mammiformis - - - +
Echinopora pacificus + - - +
Echinopora taylorae - - + -
Family Poritidae
Genus Porites
Porites cumulatus - - - +
Porites cylindrica + + + +
Porites deformis - - - -
Porites evermanni - + - -
Porites horizontalata - - - +
Porites lichen + + + +
Porites monticulosa + - - +
Porites napopora - - + +
Porites negrosensis + - - +
Porites nigrescens - + + -
Porites rugosa + + + +
Porites rus - + - +
Porites solida - - + -
Porites tuberculosa + + + -
Porites vaughani + + + +
Porites massive + + + +
Genus Goniopora
Goniopora burgosi + - + -
Goniopora columna - + + -
Goniopora djibuotiensis - - + +
Goniopora fruticosa
Goniopora lobata + + + +
Goniopora minor + - - +

95
Lampiran 6. Lanjutan

Goniopora pendulus
Goniopora somaliensis + + + +
Goniopora stokesi - + - -
Goniopora stutchburyi - - - +
Goniopora tenuidens + + + +
Genus Alveopora
Alveopora gigas + - - -
Alveopora minuta - - + -
Alveopora spongiosa + - - +
Alveopora tizardi - - + +
Total 133 140 209 205
Total Spesies 306

96
Lampiran 7. Hasil Cluster Analisis dengan menggunakan SPSS.10

Cluster Analisis

Dendrogram using Average Linkage (Between Groups)

Rescaled Distance Cluster Combine

C A S E 0 5 10 15 20 25
Label Num +---------+---------+---------+---------+---------+

Stylocoeniella armata
Zoopilus echinatus
Acropora awi
Psammocora haimean
Psamocora niestraszi
Porites cumulates
Porites horizontalata
Pectinia teres
Pocillopora ankeli
Montipora malampaya
Montipora turtlensis
Montipora hispida
Montipora mactanensis
Montipora cactus
Montipora calcarea
Lithophyllon mokai
Montipora aequituberculata
Leptoseris incrustans
Leptoseris mycetoseroides
Goniopora stutchburyi
Halomitra clavator
Gardineroseris planulata
Goniastrea australensis
Galaxea horrescens
Galaxea paucisepta
Echinopora mammiformis
Euphyllia yaeyamensis
Astreopora ocellata
Cyphastrea decadia
Acropora solitaryensis
Anacropora matthai
Acropora plumosa
Acropora selago
Acropora insignis
Acropora mirabilis 4
Acropora bifurcata
Acropora caroliniana
Symphyllia agaricia
Turbinaria irregularis
Alveopora spongiosa
Porites monticulosa
Porites negrosensis
Pavona duerdeni
Pavona explanulata
Pavona bipartita
Pavona clavus 1,4
Goniopora minor
Pachyseris foliosa
Echinopora pacificus
Plerogyra sinuosa
Symphyllia radians
Acropora nasuta
Physogyra lichstenteini
Plerogyra simplex
Oulophyllia crispa
Pavona decussata
Merulina ampliata
Montipora danae
Fungia scruposa

97
Heliofungia actiniformis
Favia rotundata
Favites flexuosa
Euphyllia ancora
Favia lizardensis 1,3,4
Echinophyllia aspera

Echinopora gemmacea
Astreopora gracilis
Porites napopora
Symphyllia valenciennesii
Acropora aculeus
Platygyra contorta
Podabacia motuporensis
Pectinia elongate
Platygyra acuta
Oxypora crassispinosa
Pachyseris gemmae
Mycedium mancaoi
Mycedium robokaki
Montipora corbetensis
Montipora vietnamensis
Leptoseris hawaiiensis
Lobophyllia hataii
Goniopora djibuotiensis
Hydnophora rigida
Fungia repanda
Galaxea archelia
Fungia gravis
Fungia moluccensis
Ctenactis albitentaculata
Echinopora horrida
Alveopora tizardi
Anacropora puertogalerae
Acropora striata
Acropora subglabra
Acropora kirstyae
Acropora microphthalma 3,4
Acropora horrida

Acropora Indonesia
Acropora bruggemanni
Acropora grandis
Pachyseris rugosa
Pectinia lactuca
Acropora tenuis 1,2,4
Merulina scabricula

Montipora confuse
Leptastrea purpurea
Symphyllia recta
Stylophora pistillata
Stylocoeniella guentheri
Seriatopora caliendrum
Psammocora profundacella
Porites vaughani
Porites rugosa
Porites massive
Porites lichen
Porites cylindrica
Podabacia crustacea
Pocillopora verrucosa
Pocillopora danae
Platygyra sinensis
Platygyra daedalea
Pavona varians
Pachyseris speciosa
Oxypora lacera
Mycedium elephatotus
Montipora turgescens
Montipora tuberculosa
Montipora spongodes
Montipora informis

98
Montipora hoffmeisteri
Montipora grisea
Montastrea curta
Lobophyllia hemprichii
Leptoseris scabra
Leptastrea pruinosa
Acanthastrea subechinata
Leptoseris explanata
Hydnophora exesa
Goniopora tenuidens
Goniopora somaliensis
Goniopora lobata
Goniastrea pectinata
Galaxea fascicularis
Fungia horrida
Fungia concinna
Favites russelli
Favites complanata
Favites abdita
Favia stelligera
Favia speciosa
Favia pallida
Favia matthai
Favia favus
Echinopora lamellose
Echinophyllia echinoporoides
Cyphastrea serailia
Cyphastrea microphtalama
Coeloseris mayeri
Acropora palifera

Acropora humilis
Acropora granulose 1,2,3,4
Acropora divaricata

Acropora florida
Acropora digitifera
Montipora cebuensis
Porites rus
Acropora hyacinthus
Acropora yongei
Coscinaraea columna 2,4
Acropora secale

Acropora valida
Acropora listeri
Seriatopora aculeate
Seriatopora stellata
Acropora austere
Pocillopora damicornis
Scapophyllia cylindrical
Pavona venosa
Plesiastrea versipora
Montipora foliosa
Montipora monasteriata
Leptoria phyrigia
Lobophyllia robusta
Hydnophora microconos
Leptastrea transversa
Goniastrea retiformis
Halomitra pileus
Fungia paumotensis
Goniastrea edwardsi
Fungia fungites
Fungia granulose
Favites pentagona
Fungia danai
Ctenactis echinata
Diploastrea heliopora
Astreopora listeri
Ctenactis crassa
Acropora subulata
Acropora valenciennesi

99
Acropora microclados
Acropora millepora 2,3,4
Acropora Formosa

Acropora loripes
Acropora clathrata
Acropora cytherea
Psammocora digitata
Psammocora superficialis
Acropora elseyi
Pocillopora kelleheri
Porites evermanni
Montipora incrassate
Montipora nodosa
Goniopora stokesi
Leptoria irregularis
Favites spinosa
Fungia corona
Acropora verweyi
Favia danae 2
Acropora nana

Acropora spicifera
Acropora hoeksemai
Montipora undata
Porites nigrescens
Acropora nobilis
Goniopora columna
Montipora digitata
Favites micropentagona
Goniastrea aspera 2,3
Astreopora randalli

Barabattoia laddi
Acropora sarmentosa
Scolymia vitiensis
Seriatopora hystrix
Acanthastrea hemprichii
Psammocora contigua
Sandalolitha robusta
Polyphyllia talpina
Porites solida
Pectinia paeonia
Platygyra yayamaensis
Mycedium steeni
Oulophyllia levis
Montipora plawanensis
Montipora samarensis
Montipora floweri
Montipora friabilis
Montastrea colemani
Montipora altasepta
Hydnophora pilosa
Leptoseris foliosa
Euphyllia divisa
Fungia scabra
Echinophyllia echinata
Echinopora taylorae
Coscinaraea wellsi
Cycloseris cyclolites
Alveopora minuta
Astreopora expansa
Acropora robusta
Acropora speciosa
Acropora latistella
Acropora paniculata
Acropora echinata
Acropora elegans 3
Acropora aspera

Acropora derewanensis
Acanthastrea regularis
Pocillopora eydouxi

100
Porites tuberculosa 1,2,3
Herpolitha limax

Pectinia alcicornis
Platygyra pini
Turbinaria peltata
Turbinaria stellulata
Acanthastrea echinata
Platygyra lamellina
Platygyra verweyi
Oulophyllia bennettae
Oxypora glabra
Montastrea magnistellata
Montastrea salebrosa
Favites halicora
Goniopora burgosi
Favia truncates
Favites acuticulis 1,3
Acropora samoensis

Barabottoia amicorum
Acropora cerealis
Turbinaria patula
Turbinaria reniformis
Alveopora gigas
Psammocora explanulata
Scolymia australis
Montipora millepora
Pectinia maxima
Lobophyllia flabelliformis
Montipora foveolata
Favia maxima
Favites paraflexuosa 1
Cyphastrea chalcidium
Euphyllia cristata
Australomussa rowleyensis
Cynarina lacrymalis
Astreopora myriophtalama 1,2
Euphyllia glabrescens
Acropora gemmifera

101
Lampiran 8. Profil terumbu karang di Stasiun 1

103
Lampiran 9. Profil terumbu karang di Stasiun 2

104
Lampiran 10. Profil terumbu karang di Stasiun 3

105
Lampiran 10. Profil terumbu karang di Stasiun 3

105
Lampiran 11. Profil terumbu karang di Stasiun 4

106
Referensi

Sediment efect
Riegl dan Bloomer (1995) menemukan bahwa sediment memberikan efek histopologi
yang serius terhadap karang scleractinia dan alcyonacea. Efek tersebut lebih sering
ditemukan dalam alcyonacea dibanding scleractinia. Efek sedimentasi umumnya mudah
terlihat dalam necroses jaringan karang baik scleractinia maupun alcyonacea. Necross
pada jaringan berkaitan dengan terjadinya akumulasi sedimen pada permukaan koloni.
Necroses selalu terjadi pada area dimana sediment terakumulasi.

You might also like