Analisis Neraca Pembayaran Indonesia Dengan Pendekatan Keynesian Dan Monetaris
Analisis Neraca Pembayaran Indonesia Dengan Pendekatan Keynesian Dan Monetaris
Analisis Neraca Pembayaran Indonesia Dengan Pendekatan Keynesian Dan Monetaris
JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Malang,
Dosen Pembimbing, 7 Juli 2014
This paper analyzes how in the short term and long term fluctuations in the balance of payments
of Indonesia can be explained by Keynesian approach (elasticity and absorption) and Monetary
approach. The basic approach used is the monetary approach, using foreign exchange reserves
(NFA) as a proxy the balance of payments. But also included in the exchange rate and GDP to study
the influence of Keynesian approach to the variables of the balance of payments. Using Error
Correction Model (ECM) with two steps, the first step in using the OLS to analyze the effect of long
term between balance of payments and its determinants. The second step uses ECM to analyse the
influence of short-term. As a result, that the exchange rate has a positive and significant impact on
the balance of payments in the short term and long term. The GDP has only positive and significant
influence on the balance of payments in the short term. While inflation and interest rates as
variables of monetary approach does not significantly affect the balance of payments in the short
and the long term.
Keyword: Balance of Payment, Keynesian Approach, Monetary Appoach, OLS, and ECM
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan bagian dari perekonomian dunia yang sangat besar. Perubahan teknologi
dan transportasi benar-benar mengubah dunia menjadi semakin kecil. Inilah yang dinamakan
dengan globalisasi. Globalisasi walaupun memiliki efek samping yang kadang merugikan tetapi
disisi lain dapat membuat unit-unit ekonomi nasional di segala penjuru dunia saling berinteraksi
membentuk perdagangan internasional yang besar tetapi dihubungkan oleh jarak yang sangat dekat
dan batas-batas yang sangat tipis. Melalui Globalisasi perusahaan-perusahaan di tiap-tiap negara
saling berlomba untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangan internasional. Dalam membuat
keputusan untuk berdagang atau tidak dengan negara lain tentu dibutuhkan
pertimbanganpertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan itu berupa indikator-indikator
perekonomian yang berguna untuk melihat kesehatan perekonomian dari suatu negara. Neraca
pembayaran merupakan salah satu indikator yang penting bagi perekonomian selain pendapatan
domestik bruto (PDB), inflasi, tingkat suku bunga, tingkat nilai tukar (exchange rate), dan
pertumbuhan ekonomi. Neraca pembayaran (balance of payment) suatu negara adalah catatan
yang sistematis tentang transaksi internasional antara penduduk negara itu dengan penduduk negara
lain dalam jangka waktu tertentu (Nopirin, 1988). Transaksi ekonomi yang tercakup dalam neraca
pembayaran Indonesia (NPI) terbagi menjadi dua kelompok, yaitu: (1) Transaksi berjalan (current
accounts) yang terdiri dari ekspor dan impor barang (goods) dan jasa (service), pendapatan
(income) dan transfer berjalan (current transfers); (2) Transaksi modal dan finansial (capital and
financial accounts) yang terdiri dari modal dan finansial (Bank indonesia, 2008).
Terdapat tiga pendekatan untuk mempelajari neraca pembayaran, yaitu: pendekatan elastisitas,
pendekatan absorpsi dan pendekatan moneter. Pendekatan elastisitas dan absorpsi seringkali
disebut dengan pendekatan Keynesian. Pendekatan elastisitas berpusat pada perubahan nilai tukar
sebagai alat pengubah untuk memperbaiki ketidakseimbangan neraca pembayaran Pendekatan
absorpsi merupakan gabungan kombinasi perubahan pendapatan, pengeluaran dan kurs untuk
memulihkan keseimbangan eksternal (neraca pembayaran) (Jamli, 2001). Sedangkan pendekatan
moneter adalah pendekatan yang menganggap bahwa neraca pembayaran adalah fenomena moneter,
dimana ada hubungan antara neraca pembayaran dan jumlah uang beredar suatu negara
(Chacoliades dalam Adamu dan Otsede, 2009).
Menurut Jamli (2001), aplikasi serta interprestasi dari neraca pembayaran berpokok pada dua
hal. Pertama, neraca pembayaran mencakup baik barang dan jasa akhir maupun barang dan jasa
antara (intermediate). Dengan demikian neraca pembayaran bukan merupakan indikator langsung
dari kesejahteraan ekonomi. Kedua, Ketidakseimbangan dalam neraca pembayaran mencerminkan
surplus-defisit, bukan untung rugi. Walaupun tentunya jika negara terus-menerus mengalami defisit
neraca pembayaran maka hal ini akan berakibat buruk pada perekonomian dimana cadangan devisa
akan terus tergerus untuk membiayai defisit tersebut.
Neraca pembayaran Indonesia seringkali berfluktuasi dari masa ke masa. Neraca pembayaran
dekade 1971-1990an menunjukkan bahwa neraca berjalan selalu defisit kecuali pada tahun 1974,
1979, dan 1980 yang masing-masing mencatat surplus sebesar USD0,026 Miliar, USD0,952 Miliar
dan USD2,754 Milyar. Kondisi ini disebabkan kenaikan harga minyak (Oil booming) dan juga
kenaikan ekspor minyak. Defisitnya neraca berjalan tidak membuat neraca pembayaran defisit
karena adanya modal masuk yang mendorong naiknya neraca modal dan mengimbangi defisit dari
neraca berjalan kecuali pada tahun 1975 dimana neraca pembayaran defisit yang diakibatkan
defisitnya neraca modal akibat pembayaran hutang Pertamina oleh pemerintah. Selanjutnya dekade
pasca krisis moneter 1998 berlalu, neraca pembayaran cenderung stabil karena neraca berjalan yang
masih surplus juga dengan masih adanya modal masuk ke Indonesia.
Neraca berjalan setelah tahun 1998 sampai tahun 2011 selalu mengalami surplus walaupun
kadangkala terjadi fluktuasi hebat seperti pada tahun 2005 yang hanya mencatat neraca berjalan
sebesar USD0,278 Miliar, padahal pada tahun 2003 dan 2004 masing-masing sebesar USD8,107
milyar dan USD1,563 milyar. Hal ini disebabkan oleh lonjakan harga minyak dunia sehingga
meningkatkan impor minyak Indonesia. Pada tahun 2006 neraca pembayaran jauh membaik yang
disebabkan kenaikan harga BBM oleh pemerintah pada akhir tahun 2005 yang akhirnya bisa
mendorong pengurangan penggunaan BBM yang kemudian mengurangi jumlah impor. Pada tahun
2006 neraca berjalan mencapai USD10,859 milyar jauh daripada neraca berjalan tahun 2005. Hal
ini karena didorong kenaikan pertumbuhan ekonomi dunia dan kenaikan harga barang ekspor
Indonesia.
Tren ini terus berlanjut hingga tahun 2007, tetapi pada tahun 2008 neraca berjalan Indonesia
kembali jatuh pada titik terendah menjadi sebesar USD0,125 Miliar yang merupakan imbas dari
krisis global yang bermula dari krisis keuangan Amerika Serikat. Neraca berjalan membaik pada
tahun 2009 yang mencapai sebesar USD10,629 Milyar, tetapi kembali jatuh pada nilai USD5,146
milyar pada tahun 2010 dan USD1,685 milyar pada tahun 2011. Hal ini terjadi karena dipengaruhi
oleh krisis keuangan yang kini melanda negara-negara Eropa yang merupakan negara-negara tujuan
ekspor Indonesia. Yang akhirnya terjadi defisit neraca berjalan pada tahun 2012 dan masih berlanjut
sampai triwulan kedua tahun 2013.
Dalam kurun waktu 30 tahun, terlihat bahwa neraca pembayaran di Indonesia selalu mengalami
fluktuasi. Fenomena fluktuasi Neraca Pembayaran Indonesia menjadi sesuatu yang menarik untuk
dicermati lebih lanjut. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana dalam jangka pendek
dan jangka panjang fluktuasi neraca pembayaran Indonesia dapat dijelaskan dengan pendekatan
Keynesian (elastisitas dan absorpsi) dan Monetaris.
B. KERANGKA TEORI
Definisi, Posisi dan Struktur Neraca Pembayaran Indonesia
Neraca pembayaran adalah suatu catatan yang disusun secara sistematis tentang seluruh
transaksi ekonomi yang meliputi perdagangan barang/jasa, transfer keuangan dan moneter antara
penduduk (resident) suatu negara dan penduduk luar negeri (rest of the world) untuk suatu periode
waktu tertentu, biasanya satu tahun (Hady, 2009). Neraca pembayaran disusun dengan sistem
akuntansi yang dikenal dengan “double entry book” yang mana setiap transaksi akan tercatat dua
kali, yaitu sebagai debet dan kredit. Sehingga neraca pembayaran selalu seimbang.
Menurut Bank Indonesia (2008), neraca pembayaran dibuat dengan tujuan untuk (1)
mengetahui peranan sektor eksternal dalam perekonomian; (2) mengetahui aliran sumber daya
dengan negara lain; (3) mengetahui struktur ekonomi dan perdagangan; (4) mengetahui
permasalahan utang luar negeri; (5) mengetahui perubahan posisi cadangan devisa dan potensi
tekanan terhadap nilai tukar; (6) sebagai sumber data dan informasi dalam menyusun anggaran
devisa; serta (7) sebagai sumber data penyusunan statistik neraca nasional (national account).
Indonesia membuat neraca pembayaran berdasarkan Balance of Payment Manual dan Balance of
Payment Text Book yang diterbitkan oleh IMF (Hady, 2009). Berikut ini adalah struktur BOP
Indonesia yang dipublikasikan oleh Departemen Keuangan dan Bank Indonesia:
Dimana Ms= penawaran uang, Md= permintaan uang, R= cadangan devisa (NFA), D= kredit
domestik, Y= pendapatan nasional, P= tingkat harga, dan i= tingkat suku bunga.
Persamaan 6 menjelaskan bahwa penawaran uang ditentukan oleh ketersediaan cadangan
devisa dan jumlah kredit domestik. Sedangkan persamaan 7 menjelaskan bahwa permintaan uang
merupakan fungsi dari pendapatan nasional, tingkat inflasi dan tingkat suku bunga. Dengan
menggabungkan persamaan 6 dan 7 pada persamaan 8 dan membuat cadangan devisa menjadi
variabel terikat, maka dapat dibuat persamaan baru sebagai berikut:
ΔR = Δ [f(Y,P,I)] – ΔD (9)
Penelitian Terdahulu
Sugema (2005) telah melakukan penelitian mengenai neraca pembayaran dan pengaruh nilai
tukar terhadapnya di Indonesia. Hasil yang didapatkan bahwa depresiasi nilai tukar akan
meningkatkan neraca perdagangan riil melaui ekspansi ekspor riil dan penurunan impor. Hasil lain
menunjukkan bahwa impor lebih sensitif tehadap depresiasi nilai tukar dan nilai ekspor akan tetap
positif selama proses penyesuain neraca perdagangan. Ini berarti bahwa depresiasi nilai tukar akan
berpengaruh positif terhadap neraca pembayaran di Indonesia. Selanjutnya, Sahminan dkk. (2009)
meneliti tentang faktor-faktor determinan neraca berjalan Indonesia dan sustainabilitas dari neraca
berjalannya selama periode 1994-2008. Hasilnya menunjukkan bahwa konsumsi, investasi dan nilai
tukar riil berpengaruh signifikan terhadap pergerakan neraca berjalan Indonesia. Konsumsi atau
investasi yang berlebihan begitu juga dengan apresiasi nilai tukar rupiah berpotensi menghasilkan
neraca berjalan yang tidak sustainabel.
Penelitian Sugema (2005) menunjukkan hasil yang sama dengan teori pendekatan elastisitas
dimana devaluasi nilai tukar akan berpengaruh positif terhadap neraca pembayaran. Sedangkan
penelitian Sahminan dkk. (2009) menunjukkan kecocokan dengan teori pendekatan absorpsi
dimana tidak hanya nilai tukar saja yang berpengaruh terhadap neraca pembayaran, tetapi konsumsi
(absorpsi hasil produksi) juga memiliki pengaruh yang positif terhadap neraca pembayaran.
Selain di dalam negeri, penelitian mengenai neraca pembayaran juga banyak dilakukan di luar
negeri. Umoru dan Odjegba (2013) melakukan penelitian tentang hubungan antara fluktuasi nilai
tukar dan kegagalan penyesuaian neraca pembayaran di Nigeria dengan menggunakan data dari
tahun 1973 sampai dengan 2012 menggunakan VECM (Vector Error Correction Mechanism).
Hasilnya adalah bahwa apresiasi nilai tukar memiliki korelasi negatif dengan neraca pembayaran,
berbeda dengan hasil peneltian Sugema dan Sahminan, dkk. Hal ini karena apresiasi nilai tukar
memberikan pengaruh negatif terhadap posisi neraca pembayaran dengan membuat impor
teknologi dan mesin dengan murah sehingga bisa mengembangkan industri dalam negeri. Ini
berbeda dengan kebijakan devaluasi yang berguna untuk mendorong ekspor untuk meningkatkan
neraca pembayaran.
Duasa (2004) menganalisa neraca pembayaran Malaysia dengan menggunakan dua teori
pendekatan yang berbeda, yaitu: Monetaris dan Keynesian serta menyelidiki apakah akun riil atau
akun moneterkah yang lebih cepat memberikan dampak terhadap neraca pembayaran di Malaysia.
Hasilnya menunjukkan bahwa neraca perdagangan (TB/Trade balance) di Malaysia mendukung
pandangan Keynesian, sedangkan Official Reserve Transaction Balance (ORTB) mendukung
pandangan baik Keynesian maupun Monetaris. Ini berarti bahwa neraca pembayaran di Malaysia
bisa dipelajari dengan dua pendekatan Monetaris dan Keynesian. Selain itu disampaikan bahwa
ORTB lebih cepat dari TB dalam hal melakukan penyesuaian neraca pembayaran di Malaysia.
Selanjutnya pada tahun 2007 Duasa kembali meneliti mengenai neraca pembayaran di
Malaysia. Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan nilai tukar dengan neraca perdagangan di
Malaysia dengan menggunakan pendekatan elastisitas. Selain itu Duasa juga memasukkan money
supply dan PDB untuk menguji relevansi pendekatan absorpsi dan pendekatan monetaris pada
neraca pembayaran Malaysia. Hasilnya menunjukkan bahwa money supply dan PDB (pendapatan)
lebih memiliki peran penting dalam perilaku jangka panjang neraca perdagangan Malaysia
dibandingkan dengan nilai tukar. Sehingga bisa dilihat bahwa untuk mempelajari neraca
pembayaran Malaysia, akan lebih tepat dengan menggunakan pendekatan absorpsi ataupun
pendekatan monetaris.
Kerangka Pikir
Penelitian ini sebenarnya mengadopsi dari penelitian Duasa (2007) mengenai neraca
perdagangan Malaysia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Duasa adalah terletak pada
variabel terikat dan pendekatan dasarnya. Pada penelitian Duasa variabel terikatnya adalah nilai
tukar dan dilakukan dengan pendekatan elastisitas dengan menggunakan variabel nilai tukar
sebagai variabel utamanya. Selain itu juga menambahkan variabel PDB dan jumlah uang beredar
(JUB) untuk menguji relevansi pendekatan absorpsi dan monetaris terhadap neraca perdagangan.
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah cadangan devisa (NFA) sebagai reprentasi dari neraca
pembayaran Indonesia dan menggunakan pendekatan monetaris sebagai pendekatan dasarnya
sehingga menjadikan penawaran dan permintaan uang sebagai model dasarnya. Namun, penelitian
ini juga ingin menguji relevansi pendekatan elastisitas dan absorpsi terhadap neraca pembayaran
sehingga menambahkan variabel nilai tukar dan variabel PDB sebagai variable bebas. Setelah
melihat penjelasan mengenai ketiga pendekatan mengenai neraca pembayaran di atas. Maka dapat
diduga bahwa nilai tukar, PDB, kredit domestik, suku bunga, dan inflasi merupakan faktor-faktor
yang mempengaruhi neraca pembayaran (NFA). Dan lewat penelitian ini akan dibuktikan apakah
benar variabel-variabel tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi neraca pembayaran.
Berikut ini adalah bagan kerangka penelitian dari penelitian ini:
Neraca Pembayaran
Suku Bunga
Inflasi
C. METODOLOGI PENELITIAN
Model Regresi.
Untuk menganalisis bagaimana dalam jangka pendek dan jangka panjang fluktuasi neraca
pembayaran Indonesia dapat dijelaskan dengan pendekatan Keynesian (elastisitas dan absorpsi)
dan Monetaris, penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif berupa two step Error
Correction Model (ECM) dari Engle Granger. langkah pertama menggunakan OLS untuk
menganalisis pengaruh jangka panjang antara neraca pembayaran dan faktor-faktornya. Langkah
kedua menggunakan ECM untuk menganalisis pengaruh jangka pendeknya. Adapun model tersebut
dapat diformulasikan sebagai berikut :
Dimana: NFAt= Saldo Cadangan Devisa (neraca pembayaran), ERt= Kurs atau nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS, PDBt= Pendapatan Nasional atau PDB, INFt= Inflasi dalam CPI, IRt= Suku
bunga perbankan di Indonesia, KDt= Kredit Domestik, dan Ut= Error . Beberapa variabel
diekspresikan dengan log natural, sehingga persamaan 11 berubah menjadi persamaan 12.
Persamaan ECM dari model di atas adalah sebagai berikut:
∆ = + + + + +
+ + (13)
Dimana: ΔLNFAt= First Difference dari variabel neraca pembayaran, ΔERt= First difference dari
variabel nilai tukar, ΔPDBt= First difference dari variabel pendapatan, ΔINFt= First difference dari
variabel inflasi, ΔIRt= First difference dari variabel suku bunga, ΔLKDt= First difference dari
variabel kredit domestik, ECTt-1= Error Correction Term (nilai lag error tem dari persamaan).
Penelitian ini menggunakan uji stasioner dan uji kointegrasi. Kemudian dilakukan uji validasi
model seperti uji asumsi klasik (uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, uji multikolinearitas dan
uji spesifikasi model) dan uji kesesuaian (uji t, uji F dan koefisien Rsquared).
D. HASIL
Untuk menganalisis bagaimana fluktuasi neraca pembayaran Indonesia dalam jangka pendek
dan jangka panjang dapat dijelaskan dengan pendekatan Keynesian dan Monetaris digunakan
metode analisis kuantitatif berupa two step Error Correction Model (ECM) Engle Granger.
Langkah pertama menggunakan OLS untuk menganalisis pengaruh jangka panjang antara neraca
pembayaran dan faktor-faktornya. Langkah kedua menggunakan ECM untuk menganalisis
pengaruh jangka pendeknya.
Sebelum dilakukan analisis terhadap hasil regresi dalam tabel 2, pemenuhan asumsi klasik
perlu dipastikan terlebih dahulu. Dari tabel 2 terlihat bahwa hasil LM test menunjukkan nilai prob.
χ2 adalah sebesar 0,000 yang lebih kecil daripada tingkat signifikansi 0,05 yang berarti bahwa model
mengalami masalah autokorelasi. Selain itu, terdeteksi pula masalah multikolinearitas dalam model
di atas. Multikolinearitas ini ditunjukkan oleh nilai VIF pada variabel PDB dan kredit domestik
yang masing-masing memiliki nilai lebih besar dari 10 yaitu 71,428 dan 76,923. Hasil uji Jarque-
Berra yang menghasilkan nilai prob-JB sebesar 0,770. Nilai probabilitas tersebut lebih besar dari
tingkat signifikansi α=5% sehingga bisa disimpulkan bahwa residual model mempunyai distribusi
normal atau memenuhi asumsi normalitas. Uji Heterokedastisitas dengan menggunakan Breusch-
Pagan-Godfrey menghasilkan prob.χ2 Obs*R-square=0,499 lebih besar dari α=5% sehingga bisa
disimpulkan tidak terdapat heterokedastisitas dalam model.
Karena diketahui bahwa model mengalami masalah multikolineaitas dan autokorelasi, maka
perlu dilakukan upaya perbaikan. Untuk memperbaiki multikolinearitas akan dilakukan perbaikan
dengan cara mengeluarkan variabel bebas yang mempunyai korelasi linier tinggi dengan variabel
bebas yang lain dengan menggunakan cara mengeluarkan variabel. Gujarati (2010), mengatakan
bahwa hal paling sederhana yang dapat dilakukan untuk mengatasi multikolinearitas adalah dengan
cara mengeluarkan salah satu variabel yang berkolinear tinggi. Dalam model terdapat dua variabel
yang berkolinear tinggi yaitu kredit domestik dan PDB, sehingga salah satu dari variabel tersebut
akan dikeluarkan. Keputusan variabel yang dikeluarkan dari model adalah variabel kredit domestik
karena memiliki nilai VIF yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai VIF PDB. Untuk
memperbaiki autokorelasi ada banyak cara yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah dengan
metode Generalized Least Square (GLS). Metode GLS diaplikasikan pada model yang telah
ditransformasi dan memenuhi asumsi klasik (Gujarati, 2010). Dalam metode ini bisa dikatakan
bahwa ada variabel baru hasil dari transformasi yang dibuat dengan mengurangkan variabel dengan
rho (ρ) yang dikalikan dengan variabel pada waktu lampau. Variabel transformasi dari variabel
kredit domestik tidak akan didapatkan, karena sudah dikeluarkan untuk menghilangkan
multikolinearitas. Setelah variabel tranformasi didapatkan maka dapat dilakukan regresi OLS dan
hasilnya adalah:
Tabel 3 menunjukkan hasil regresi yang sudah diperbaiki dengan metode GLS. Variabel XER,
XPDB, XINF, XINF dan XNFA adalah variabel baru yang terbentuk dari variabel-variabel
sebelumnya setelah melakukan transformasi GLS. Setelah melakukan perbaikan dengan
mengeluarkan variabel LJUB dan metode GLS diharapkan sudah tidak terjadi masalah autokorelasi,
multikolinearitas dan masalah asumsi klasik lainnya. Koefisien determinasi (R²) yang didapatkan
kini menjadi lebih kecil daripada koefisien determinasi (R²) sebelumnya. Sebelumnya R² sebesar
0,955, setelah diperbaiki R²-nya menjadi 0,873. R² sebesar 0,873 berarti bahwa variabel neraca
pembayaran Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel nilai tukar, PDB, suku bunga dan tingkat
inflasi sebesar 87,3%. Sedangkan sisanya sebesar 12,7% dijelaskan oleh variabel-variabel lain di
luar model.
Untuk mendapatkan estimasi jangka pendek, maka dilakukan pemodelan Error correction
Model (ECM). Karena analisis ini menggunakan data runtut waktu, maka uji stasioneritas data
harus dilakukan terlebih dahulu untuk memastikan bahwa data time series tersebut bersifat stasioner.
Model yang terkointegrasi akan menunjukan bahwa model tersebut dalam kondisi keseimbangan
jangka panjang. Setelah uji kointegrasi dilakukan, analisis selanjutnya adalah dengan
mengembangkan model regresi ECM. Analisis ini dilakukan untuk mengoreksi ketidakseimbangan
dalam jangka pendek menuju jangka panjang
Hasil uji root dalam tingkat first difference menunjukkan bahwa semua variabel (neraca
pembayaran, nilai tukar, pendapatan suku bunga dan inflasi) adalah stasioner. Hal ini terlihat dari
nilai t-hitung absolut masing masing variabel yaitu: 7,088, 7,460, 8,296, 6,351 dan 9,343 yang lebih
besar dari nilai kritisnya pada tingkat signifikansi 5% (-2,923). Dengan hasil ini menunjukkan
bahwa regresi yang nantinya dihasilkan dari variabel di atas tidak akan menjadi regresi yang
lancung. Karena data yang tidak stasioner akan menyebabkan regresi yang lancung.
Uji Kointegrasi
Setelah mengetahui bahwa ada beberapa variabel yang tidak stasioner pada tingkat level tetapi
stasioner pada first difference, maka patut diduga bahwa variabel tersebut memiliki kointegrasi.
Kointegrasi bisa berarti bahwa terdapat hubungan jangka panjang atau keseimbangan antara
variabel (Gujarati, 2010). Uji kointegrasi yang digunakan adalah metode uji Engle Granger dan uji
Johansenn.
Tabel 5. Hasil Uji Engle Granger
Residual t-hitung Prob
Nilai Δu -5,659 0,0000
Sumber: E-views 6.0 (diolah)
Hasil Uji Engle Granger pada tabel 5 menunjukkan hasil t-hitung dari nilai residual Δu adalah
sebesar -5,659 yang nilai absolutnya lebih besar dari nilai kritisnya pada 1%, 5% dan 10% yaitu
3,571, -2,923 dan -2,607. Hal ini menunjukkan bahwa model ini memiliki hubungan kointegrasi
walaupun variabel-variabelnya ada yang tidak stasioner pada tingkat level.
Hasil Uji Johansen pada tabel 6 menemukan bahwa paling tidak terdapat dua kointegrasi antara
variabel-variabel tersebut karena paling tidak terdapat dua nilai Trace Statistic dan MaxEigen Value
yang lebih besar dari nilai kritisnya. Artinya terdapat kointegrasi atau hubungan jangka panjang
antar variabel.
Error Correction Model (Model Jangka Pendek)
Melalui uji kointegrasi terlihat bahwa terdapat hubungan jangka panjang di antara variabel,
tetapi kemungkinan terdapat ketidakseimbangan dalam jangka pendek. Karena itulah digunakan
ECT (Error Correction Term) untuk menghilangkan ketidakseimbangan tersebut. Regresi
menggunakan ECM antara variabel terikat terhadap variabel bebasnya dapat dilihat hasilnya pada
tabel berikut:
Dari tabel 7 terlihat model ECM yang dibentuk. Model ini diasumsikan tidak mengalami
sprurious regresion karena semua variabel stasioner pada tingkat first difference. Selanjutnya
melihat apakah ECT yang dihasilkan valid atau tidak. ECT dari model ECM dikatakan valid apabila
nilai koefisien bernilai negatif dan signifikan (Widarjono,2013).
Dari tabel 7 terlihat bahwa nilai ECT adalah -0,328 dan memiliki probabilitas 0,010 yang
berarti ECT adalah valid karena bernilai negatif dan signifikan dalam tingkat signifikansi 5%.
Koefisien ECT sebesar -0,328 berarti bahwa speed of adjustment atau kecepatan dari penyesuaian
dari ketidakseimbangan jangka pendek dalam model ECM adalah sebesar 32,8 %. Dapat diartikan
juga bahwa dalam satu periode (kuartalan), ketidaksesuaian atau ketidakseimbangan dapat
dikoreksi sebesar 32,8.
E. PEMBAHASAN
Pada hasil di atas, terlihat nilai tukar mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap
variabel neraca pembayaran baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini
menunjukkan bahwa jika nilai tukar naik (mengalami devaluasi) maka akan meningkatkan neraca
pembayaran. Hal ini sesuai dengan teori Keynesian (pendekatan elastisitas) yang mengemukakan
bahwa devaluasi akan bisa memperbaiki neraca pembayaran. Apabila neraca pembayaran bisa
diperbaiki dengan adanya devaluasi, maka mengindikasikan bahwa di Indonesia masih terjadi
kondisi Marshal-Lerner. Dalam kondisi Marshal-Lerner, devaluasi akan bisa memperbaiki neraca
pembayaran jika elastisitas permintaan impor domestik dan asing lebih dari satu .Tetapi, hal
sebaliknya akan terjadi (neraca pembayaran memburuk) jika gabungan elastisitas permintaan impor
domestik dan asing lebih dari satu. Hal ini berarti bahwa di Indonesia, ekspor dan impor elastis
terhadap harga, sehingga setiap ada perubahan harga karena devaluasi maka permintaan ekspor
naik dan impor akan turun. Hal ini juga sesuai dengan pendekatan absorpsi, bahwa jika konsumsi
impor menurun, maka penggunaan devisa akan semakin sedikit sehingga tidak terlalu banyak
mengurangi devisa. Sedangkan ekspor akan menambah devisa sehingga akan bisa memperbaiki
neraca pembayaran.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Sugema (2005) dan Sahminan, dkk
(2009) bahwa nilai tukar di Indonesia berpengaruh positif terhadap neraca berjalan, karena
devaluasi nilai tukar akan dapat mendorong ekspor. Nilai tukar memperbaiki neraca pembayaran
melalui neraca berjalan. Hal ini karena devaluasi nilai tukar di Indonesia berarti harga barang luar
negeri akan naik dan impor akan turun dan menyebabkan penggunaan devisa berkurang.
Sebaliknya, harga barang dalam negeri akan turun dan akan meningkatkan ekspor yang akan
menambah devisa atau menambah neraca pembayaran.
Hal ini didukung oleh jumlah PDB Indonesia yang terus meningkat sebagaimana ditunjukkan
dalam gambar 3 bahwa jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh Indonesia selalu meningkat
setiap periodenya dari kuartal I tahun 2004 sampai dengan kuartal IV tahun 2006. Nilai ekspor terus
bertambah dari periode ke periode selanjutnya, dari hanya sebesar 13.600 juta USD pada kuartal I
tahun 2004 menjadi hampir 23.000 juta USD pada kuartal II tahun 2013. Bahkan pernah melebihi
angka 40.000 juta USD pada kuartal II tahun 2011. Peningkatan PDB Indonesia akan mendorong
ekspor yang lebih besar.
Gambar 4. Perkembangan Neraca Perdagangan 2007-2009
Pada gambar 4, terlihat nilai ekspor terus bertambah. Dari nilai ekspor sekitar 22.500 juta USD
pada kuartal awal tahun 2007 meningkat terus sampai mencapai nilai lebih dari 28.000 juta USD
kuartal III tahun 2008. Walaupun merosot pada beberapa kuartal selanjutnya yang merupakan
pengaruh dari krisis keuangan yang terjadi di Amerika, namun kembali membaik dan kembali
mencapai nilai lebih dari 28.000 juta USD pada kuartal IV tahun 2009. Pada gambar 5, terlihat nilai
ekspor juga terus bertambah. Dari nilai ekspor sekitar 29.000 juta USD pada kuartal awal tahun
2010 meningkat terus sampai mencapai nilai lebih dari 40.000 juta USD kuartal III tahun 2011.
Nilai ekspor naik turun tetapi masih dikisaran nilai 40.000 juta USD sampai dengan pencatatan
nilai ekspor pada kuarta; II 2013.
Hasil estimasi dalam jangka panjang PDB menunjukkan bahwa PDB berpengaruh positif dan
signifikan, sedangkan dalam jangka pendek PDB berpengaruh positif tetapi tidak signifikan
terhadap variabel neraca pembayaran. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan PDB dalam jangka
panjang akan dapat memperbaiki neraca pembayaran, tetapi tidak dalam jangka pendek. Menurut
pendekatan absorpsi, cara meningkatkan neraca pembayaran adalah dengan cara meningkatkan
pendapatan nasional. Peningkatan PDB yang berupa peningkatan produksi nasional akan dapat
mendorong ekspor. Hal ini akan mendatangkan devisa yang akan dapat memperbaiki neraca
perdagangan.
Sedangkan menurut pendekatan monetaris, kenaikan PDB akan membuat permintaan uang
akan naik. Jika permintaan uang dalam jangka pendek masih dapat dipenuhi oleh jumlah uang yang
ada di dalam negeri, maka hal ini tidak akan mempengaruhi neraca pembayaran. Namun jika
permintaan uang terjadi dalam jangka panjang, akan membuat kekurangan penawaran jumlah uang
sehingga mendorong adanya impor modal ke Indonesia. Impor modal tersebut akan meningkatkan
jumlah saldo cadangan devisa yang berarti bisa memperbaiki neraca pembayaran. Hal ini
menunjukkan bahwa kebijakan yang mendorong peningkatan PDB harus dilakukan, karena
walaupun secara jangka pendek tidak mempengaruhi neraca pembayaran, namun dalam jangka
panjang akan bisa untuk memperbaiki neraca pembayaran.
Pengaruh PDB yang signifikan terhadap neraca pembayaran berbeda dengan hasil penelitian
Sahminan, dkk (2009) yang menemukan bahwa pertumbuhan PDB di Indonesia tidak berpengaruh
pada neraca pembayaran. Sedangkan Duasa (2007) menemukan bahwa di Malaysia, pertumbuhan
PDB berpengaruh positif signifikan terhadap neraca pembayaran dalam jangka panjang, namun
berpengaruh negatif dan signifikan dalam jangka pendek, yang berarti ini berbeda dengan hasil
yang ada.
Inflasi dalam jangka pendek dan jangka panjang berpengaruh positif tetapi tidak signifikan
terhadap variabel neraca pembayaran. Hal ini berbeda dengan teori bahwa jika inflasi naik maka
akan mengurangi neraca pembayaran. Inflasi bisa berpengaruh positif karena kenaikan inflasi di
Indonesia relatif rendah dan selanjutnya bisa sebagai pelumas dalam perekonomian dan selanjutnya
bisa meningkatkan pendapatan nasional. Saat pendapatan nasional naik maka neraca pembayaran
akan naik. Sayangnya kenaikan pendapatan nasional karena inflasi tidaklah terlalu besar sehingga
tidak signifikan meningkatkan neraca pembayaran.
Suku bunga dalam jangka pendek dan jangka panjang berpengaruh negatif tetapi tidak
signifikan. Sehingga jika suku bunga naik maka akan memperburuk neraca pembayaran. Hal ini
berbeda dengan teori bahwa peningkatan suku bunga akan mendorong modal asing masuk ke
Indonesia sehingga akan meningkatkan neraca pembayaran. Hal ini bisa terjadi karena tingkat suku
bunga yang tinggi akan menarik “hot money” masuk ke Indonesia dan akan membuat nilai tukar
mengalami apresiasi. Selanjutnya akan membuat ekspor lebih mahal daripada impor yang
kemudian akan memperburuk neraca pembayaran, begitu pula sebaliknya. Yang membuat kenapa
suku bunga tidak signifikan adalah bahwa “hot money” yang masuk ataupun keluar tidak
berpengaruh banyak terhadap fluktuasi nilai tukar. Dengan hasil kedua variabel moneter tidak
signifikan, hal ini berarti bahwa kebijakan moneter di Indonesia belum bisa digunakan secara
maksimal untuk mengontrol neraca pembayaran Indonesia.
Secara keseluruhan, variabel neraca pembayaran yang diwakili oleh cadangan devisa sangat
dipengaruhi oleh variabel pendekatan Keynesian dibandingkan dengan variabel pendekatan
monetaris. Hal ini terlihat dari hasil jangka pendek dan jangka panjang, yang signifikan
berpengaruh terhadap neraca pembayaran adalah variabel pendekatan Keynesian, yaitu nilai tukar.
PDB yang bisa merepresentasikan sebagai variabel dari kedua pendekatan hanya signifikan dalam
jangka panjang, sedangkan variabel suku bunga dan inflasi sebagai variabel pendekatan monetaris
tidak berpengaruh signifikan terhadap neraca pembayaran.
Dalam jangka panjang, variabel nilai tukar berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel
neraca pembayaran. Hal yang sama berlaku dalam hubungan jangka pendek. Hal ini berarti bahwa
kenaikan nilai tukar (devaluasi) akan dapat meningkatkan neraca pembayaran. Devaluasi akan
meningkatkan harga dalam negeri, sehingga konsumsi akan turun. Hal ini akan dapat mendorong
ekspor, selain karena ekspor lebih murah dibandingkan impor. Peningkatan ekspor akan
meningkatkan cadangan devisa sehingga meningkatkan neraca pembayaran.
Dalam jangka panjang, variabel pendapatan nasional (PDB) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap variabel neraca pembayaran. Namun dalam jangka pendek, variabel PDB masih
berpengaruh positif tetapi tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan PDB dalam
jangka panjang akan dapat memperbaiki neraca pembayaran, tetapi tidak dalam jangka pendek.
Variabel moneter berupa variabel inflasi dan suku bunga memiliki pengaruh yang berbeda.
Dalam jangka pendek dan jangka panjang variabel inflasi memiliki pengaruh yang positif terhadap
neraca pembayaran namun tidak signifikan. Sedangkan variabel suku bunga, dalam jangka pendek
dan jangka panjang memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap neraca pembayaran.
Keduanya tidak sesuai dengan pendekatan monetaris. Sedangkan menurut pendekatan Keynesian,
suku bunga dan inflasi bukanlah variabel yang bisa mempengaruhi neraca pembayaran.
Secara keseluruhan, variabel neraca pembayaran yang diwakili oleh cadangan devisa sangat
dipengaruhi oleh variabel pendekatan Keynesian dibandingkan dengan variabel pendekatan
monetaris. Walaupun begitu, Pemerintah selaku pelaku kebijakan fiskal harus selalu berkoordinasi
dengan Bank Indonesia selaku pelaku kebijakan moneter untuk menentukan kebijakan yang tepat
untuk mencapai keseimbangan neraca pembayaran. Kebijakan nilai tukar dapat dijadikan patokan
pengambil kebijakan mengenai neraca pembayaran dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Walaupun Indonesia telah menganut sistem kurs mengambang, diharapkan pemerintah dan bank
Indonesia tetap mengikuti perkembangan nilai tukar agar tidak terlalu berfluktuasi. Selain itu
kebijakan fiskal yang bisa meningkatkan pendapatan nasional dapat dijadikan patokan dalam upaya
menyeimbangkan neraca pembayaran dalam jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Adamu, Patricia A., C, Itsede. Balance of Payments Adjustment: The West African Monetary Zone
Experience. Wami (West African Of Monetary And Economic Integration) Journal,
Vol. 11 (No. 1): 100-116. http://www.wami-imao.org diakses pada 27 Agustus 2013
Bank Indonesia. 2008. Neraca Pembayaran Indonesia dan Posisi Investasi Internasional Indonesia.
http://www.bi.go.id terakhir diakses pada 28 Agustus 2013
Basri, F., dan Munandar, H. 2010. Dasar-Dasar Ekonomi Internasional: Pengenalan dan Aplikasi
Metode Kuantitatif. Jakarta: Kencana.
Duasa, Jarita. 2004. The Malaysian Balance Of Payments: Keynesian Approach Versus Monetary
Approach. Series Computing in Economics and Finance,
(No. 26). http://ideas.repec.org/p/sce/scecf4/26.html diakses pada 27 Agustus 2013
Gujarati, Damodar N. 2010. Dasar-Dasar Ekonometrika. Buku 1. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat.
Gujarati, Damodar N. 2010. Dasar-Dasar Ekonometrika. Buku 2. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat.
Hady, Hamdy. 2009. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Keuangan Internasional. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Halwani, R. Hendra. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Edisi Kedua. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Jamli, Ahmad. 2001. Dasar-Dasar Keuangan Internasional. Yogyakarta: BPFE.
Kemp, Donald S. 1975. A Monetary View Of The Balance Of Payment. Federal Reserve Bank Of
Saint Louis. http://research.stlouisfed.org diakses pada 24 November 2013
Kennedy, Osoro. 2013. Determinants of balance of Payment in Kenya. European Scientific journal,
Vol. 9 (No. 16): 112-134. http://eujournal.org diakses pada 20 Agustus 2013
Sahminan, dkk. 2009. Determinants and Sustainability of Indonesia’s Current Account Balance.
WP/09/2009. Bank Indonesia. http://www.bi.go.id diakses pada 26 Agustus 2013
Sugema, Iman. 2005. The Determinants of Trade Balance and Adjustment to the Crisis in Indonesia.
Centre for Internatonal Economics Studies. University of Adelaide.
http://www.adelaide.edu.au/cies/papers/0508.pdf diakses pada 26 Agustus 2013
Todaro, Michael P. 1994. Ekonomi Untuk Negara Berkembang 2 Suatu Pengantar tentang Prinsip-
Prinsip Masalah, dan Kebijakan Pembangunan. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Umoru, D. And Odjegba, O.P. 2013. Exchange Rate Misalignment and Balance Of Payment
Adjustment In Nigeria. European Scientific Journal, Vol. 9 (No. 13): 260-173.
http://eujournal.org/index.php/esj/article/view/1052 diakses pada 27 Agustus 2013
Widarjono, Agus. 2013. Ekonometrika: Pengantar dan Aplikasinya Disertai Panduan EVIEWS.
Yogyakarta: UPP STIM YKPN.