Pengaruh Aerasi Terhadap Bioreaktor Membran External Untuk Biodegradasi Zat Warna Azo
Pengaruh Aerasi Terhadap Bioreaktor Membran External Untuk Biodegradasi Zat Warna Azo
Pengaruh Aerasi Terhadap Bioreaktor Membran External Untuk Biodegradasi Zat Warna Azo
net/publication/284591548
CITATIONS READS
0 182
4 authors, including:
I Gede Wenten
Bandung Institute of Technology
425 PUBLICATIONS 1,560 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
[INDUSTRIAL PROJECT] Plant evaluation and Improvement of Separation System Performance (in term of heavy hydrocarbon removal)
Singa Gas Facilities View project
All content following this page was uploaded by Puti Sri Komala on 07 July 2017.
ABSTRAK
ABSTRACT
In this research a consecutive aerobic-anaerobic membrane bioreactor (MBR) is used for
azo dye biodegradation. The bioreactor consists of modified activated sludge process,
contact stabilization coupled with anoxic reactor which is combined with the external
ultrafiltration membrane. To mitigate membrane fouling, the membrane feed was aerated.
The experimental study used two parallel MBRs, with and without aeration on membrane
by using feed mixed of tempe industry wastewater and azo dye Remazol Black 5 in
concentration about 120 mg/L. The hydraulic retention time of anoxic, contact and
stabilization was kept constant in 3, 2 and 4 hours respectively. It shown that the aeration
of the incoming feed between 0.7-1 bar into the membrane and combined fitration and
backwash time 3 hrs-1 min arrangement allow to the stable permeate flux and reduced
color- and organics 45% and 75%, while that without aeration, was 46% and 55%
respectively. Introduction of aeration of membrane feed increased attached biomass on
membrane surface, that the aerobic microorganism growth shall utilize the co-substrate
lead to increase membrane bioreactor performance.
Key words: aeration, azo dye, membrane bioreactor (MBR), contact-stabilization
PENDAHULUAN
Teknologi bioreaktor membran (BRM) merupakan teknologi pengolahan limbah
yang menggabungkan proses membran ke dalam sistem pengolahan biologis lumpur aktif.
BRM menawarkan keuntungan lebih dibandingkan teknologi konvensional proses biologi
lumpur aktif, dimana BRM dapat beroperasi pada beban organik yang tinggi namun lahan
yang dibutuhkan lebih sedikit. Namun, tidak dapat dihindarkan kinerja filtrasi BRM
menurun terhadap waktu filtrasi. Penurunaan fluks disertai dengan peningkatan tekanan
(TMP) mengindikasikan terjadinya fouling. Fouling dalam proses membran dapat bersifat
tidak dapat berbalik atau dapat berbalik, dimana terjadi deposisi spesies yang tertahan pada
permukaan atau ke dalam bagian membran (Fane dan Cho, 2001). Banyak cara yang telah
dilakukan untuk mereduksi fouling. Sejauh ini aerasi merupakan metoda yang paling
umum yang sering digunakan untuk meminimasi fouling, sehubungan dengan
kemampuannya untuk menghasilkan tegangan geser pada permukaan membran. Aerasi
dalam sistem BRM mempunyai tiga fungsi, yaitu menyediakan oksigen bagi biomassa,
menjaga lumpur aktif dalam suspensi dan mengurangi fouling melalui scouring konstan
pada permukaan membran (Le-Clech dkk, 2006). Strategi pencucian baik fisika maupun
kimia merupakan cara lain untuk mereduksi fouling. Pencucian diketahui mampu
mengatasi kasus fouling yang dapat berbalik akibat penyumbatan pori, mengembalikan
foulant ke dalam bioreaktor dan mengeluarkan sebagian lapisan cake lumpur yang
menempel bebas dari permukaan membran.
Dalam penelitian ini digunakan bioreaktor membran dengan modifikasi proses lumpur
aktif kontak stabilisasi dengan reaktor anoksik yang dikombinasikan dengan sistem
membran untuk biodegradasi zat warna azo. Zat warna azo yang mempunyai karakteristik
utama ikatan ganda nitrogen (-N=N-), merupakan grup zat warna sintetis organik yang
paling banyak digunakan di industri-industri tekstil, pembuatan kertas, kosmetik serta
pangan. Sekitar 60-70% pemakaian zat warna azo digunakan pada industri tekstil di dunia.
Beberapa zat warna azo dan produk penguraiannya bersifat toksik dan/atau mutagenik bagi
kehidupan (Van der Zee, 2002). Ollgaard et al. (1999) menyatakan bahwa 4% produksi zat
warna azo hilang ke dalam air buangan domestik dan industri. Pengolahan zat warna azo
secara biologi umumnya dilakukan dengan kombinasi proses anaerob-aerob, namun proses
ini memerlukan volume hidrolis yang sangat tinggi khususnya untuk air buangan tekstil
yang mengkonsumsi air dalam jumlah yang besar. Sementara itu juga dibutuhkan peralatan
khusus untuk menjaga kondisi anaerob. Sebaliknya pengolahan dengan sistem aerob-
anoksik atau fakultatif anaerob lebih mudah dilakukan, karena pengolahan anoksik dapat
dilakukan pada kondisi operasi yang sama dengan pengolahan aerob (Smith, 2007).
Pada percobaan ini reaktor anoksik digunakan untuk proses pemotongan gugus azo oleh
mikroorganisme aerob yang terlebih dahulu diaerasi dan distabilisasi pada proses kontak-
stabilisasi, sedangkan membran ultrafiltrasi secara eksternal digunakan untuk
menggantikan proses sedimentasi pada proses lumpur aktif konvensional. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Komala dkk (2008) sebelumnya menggunakan modifikasi kontak-
stabilisasi dan tangki anoksik yang dihubungkan dengan membran eksternal untuk
penyisihan zat warna azo Remazol Black V pada waktu retensi hidrolis (HRT) tangki
anoksik ½ jam sampai 3 jam diperoleh penurunan fluks yang signifikan meskipun
dilakukan pencucian setiap hari. Demikian juga penelitian Ananthi dkk (2008) pada HRT
tangki anoksik yang lebih panjang (sampai 3 jam), terjadi penurunan fluks akibat fouling
biomassa pada permukaan dan pori membran sehingga waktu retensi biomassa yang
diperoleh menjadi sangat rendah. Dari penelitian tersebut diperoleh HRT 3 jam di tangki
anoksik sebagai HRT optimum untuk penyisihan warna. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut dalam penelitian ini penambahan aerasi pada membran akan dievaluasi
2
pengaruhnya terhadap kontinuitas fluks permeate, penyisihan warna dan senyawa organik
dan dibandingkan dengan aliran umpan membran tanpa penambahan aerasi.
3
terletak diantara tangki kontak dan stabilisasi menggantikan proses sedimentasi pada
proses lumpur aktif konvensional. Pada reaktor pertama, pada umpan membran tidak
diberikan aerasi. Larutan yang berasal dari tangki kontak dialirkan begitu saja melalui
tekanan pompa ke membran tanpa penambahan aerasi. Pada reaktor kedua pada umpan
membran dimasukkan aliran udara yang berasal dari kompresor agar terjadi turbulensi
biomassa dengan udara. Waktu retensi hidrolis (HRT) tangki anoksik, kontak dan
stabilisasi dijaga konstan yaitu 2, 4 dan 3 jam di kedua reaktor. Umpan dialirkan melalui
pompa dengan laju aliran 2 L/jam ke dalam reaktor anoksik yang dilengkapi mixer dengan
putaran 40 rpm untuk mengaduk larutan. Kemudian secara gravitasi larutan biomassa
dialirkan ke dalam tangki kontak dan diaerasi. Dari tangki kontak larutan dipompakan ke
membran eksternal dengan tekanan operasi yang berkisar antara 0.2-0.4 bar, menghasilkan
permeate sebagai hasil penyaringan dan retentate berupa konsentrasi biomassa yang
kemudian dialirkan ke tangki stabilisasi. Jenis membran yang digunakan adalah jenis
ultrafiltrasi hollow fiber terbuat dari bahan PAN (poly acrolynitrile) yang memiliki
MWCO 20 kDa (BRM1) dan 100 kDa (BRM2) dan luas membran 0.53 m2. Pengaliran
dalam membran dilakukan secara crossflow yaitu aliran air yang sejajar permukaan
membran sehingga diharapan dapat mempercepat penyisihan material yang terakumulasi
pada membran; Biomassa dari tangki stabilisasi diresirkulasikan ke tangki anoksik dan
bercampur kembali dengan umpan yang masuk. Skema instalasi bioreaktor membran
konsekutif aerob anaerob dapat dilihat pada Gambar 1.
Pencucian dengan air bersih dilakukan pada reaktor pertama secara periodik seminggu
sekali dengan memasukkan aliran air bersih berlawanan arah aliran normal dari arah sel ke
lumen membran. Pencucian mingguan ini dilakukan selama 21 hari pada BRM 1 tanpa
aerasi pada membran. Pada reaktor ke dua mulai hari pertama sampai hari ke 22
4
dioperasikan dengan aerasi pada dan pencucian mingguan. Hari ke 23 sampai hari ke 33
berikutnya digunakan kombinasi waktu filtrasi dan pencucian dengan waktu 3 jam dan 1
menit. Interval pencucian dikontrol dengan pengatur waktu dan katup solenoid. Secara
keseluruhan kondisi operasional pada reaktor 1 dan reaktor 2 diperlihatkan pada Tabel 2.
Fluks secara periodik diukur dengan menghitung waktu yang diperlukan untuk volume
filtrat tertentu. Konsentrasi warna umpan, bak anoksik, kontak, stabilisasi dan permeat
membran diamati setiap hari. Setelah kondisi tunak MLVSS, konsentrasi warna, dan COD
berturut-turut di setiap reaktor diukur.
Metoda Analisis
Kinerja bioreaktor membran aerob-anaerob dimonitor melalui hasil analisis sampel dari
tangki umpan, anoksik, kontak, stabilisasi dan permeat membran. Pengukuran COD
dilakukan dengan metoda refluks tertutup, MLVSS secara gravimetri dan warna dengan
spektrofotometer UV-vis, sesuai dengan Standard Method for the Examination of Water
and Wastewater (APHA, 1995).
5
Pada BRM aerasi diikuti dengan pencucian mingguan (Gambar 3), laju permeat pada
awalnya bervariasi, karena tekanan udara dari kompresor belum diatur dengan tepat agar
tekanan tidak terlalu besar atau terlalu kecil terhadap tekanan pompa umpan dari tangki
kontak. Jika udara kompresor terlalu besar, dapat terjadi aliran balik larutan menuju arah
pompa kontak, namun jika terlalu kecil tidak terjadi aerasi pada membran sama sekali.
Setelah intensitas aerasi diatur antara 10-15 lb/in2, dihasilkan tekanan yang relatif stabil ,
sehingga diperoleh aliran permeate dan retentate yang juga stabil. Namun seiring
berjalannya waktu aerasi dengan pencucian mingguan tidak dapat menjaga permeate
konstan akibat adanya penyumbatan pori membran, sehingga kombinasi waktu filtrasi-
pencucian dengan campuran air dan udara 3 jam-1menit diaplikasikan pada hari ke 23.
Kombinasi waktu filtrasi/pencucian dalam penelitian ini masih cukup besar jika
dibandingkan penelitian Schoeberl (2005) yang menggunakan BRM terendam untuk
pengolahan limbah industri tekstil dengan rentang waktu filtrasi 8-14,2 menit dan
pencucian (campuran udara dan air) berkisar antara 25.3 dan 45 detik. Diperkirakan dengan
berjalannya waktu filtrasi perioda filtrasi/pencucian pada penelitian ini akan berkurang
karena terjadinya penyumbatan di dalam dan permukaan pori membrane oleh biomassa dan
produk-produk metabolitnya.
Variasi permeate masih terjadi terjadi meskipun setelah dilakukan pengaturan waktu
filtrasi/pencucian, meskipun demikian volume permeate total yang dihasilkan masih relatif
stabil. Menurut Chang (2002) variasi tekanan dalam saluran membran diakibatkan oleh
pusaran air dapat menaikkan fluks permeate, sementara penurunan tekanan menyebabkan
transport balik permeate dapat membuat lapisan cake lepas dari membran. Chang juga
melaporkan, bahwa fluks naik sebesar 34% jika aerasi dalirkan pada modul air lift.
Fluktuasi debit permeate pada masing-masing instalasi tanpa aerasi dan dengan aerasi
dapat dilihat pada Tabel 3.
Gambar 2 Permeate BRM tanpa aerasi Gambar 3 Permeate BRM dengan aerasi
pada membran (BRM 1) pada membran (BRM 2)
6
Aerasi
Pada BRM1 tekanan yang diberikan pompa pada membran berkisar antara 0.4-0.8 bar.
Tekanan ini pada awalnya mampu memberikan efek scouring pada membran, sehingga
penyumbatan pada pori membran dapat direduksi. Namun dengan berjalannya waktu
terjadi peningkatan tekanan karena pori membran mulai tersumbat, sehingga diperlukan
pencucian membran yang lebih sering.
Tekanan aerasi dari kompresor pada umpan membran BRM2 berkisar antara (5-15) lb/in2
atau 0.3-1 bar. Akan tetapi pada tekanan aerasi 5 lb/in2 (0.3 bar), meskipun permeate dapat
mengalir retentate berhenti setelah beberapa saat. Pada tekanan aerasi lebih besar antara
10-15 lb/in2 (0.7-1 bar), aliran retentate maupun permeate relatif stabil.
Pada tangki stabilisasi terdapat penurunan biomassa (Tabel 4), hal ini terjadi karena aliran
retentat yang tidak stabil akibat tekanan di dalam membran yang tidak stabil pula, sehingga
biomassa yang dialirkan membran dari tangki kontak tidak ditransfer dengan sempurna ke
tangki stabilisasi. Transfer biomassa yang tidak sempurna akan berpengaruh terhadap
distribusi pengaliran biomassa secara kontinu di seluruh tangki kontak, stabilisasi maupun
7
anoksik, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi proses biodegradasi warna. Hal ini
terjadi baik di reaktor tanpa maupun dengan aerasi. Hal ini dilaporkan juga Chang (2002),
bahwa variasi tekanan di dalam saluran membran yang disebabkan oleh pusaran tekanan
dapat menaikkan fluks permeat, sehingga kebalikannya menurunkan retentate yang
mengalirkan biomassa ke tangki stabilisasi.
Selama distribusi aliran biomassa dari satu tangki ke tangki lainnya dapat berjalan dengan
lancar, pertumbuhan biomassa meningkat seiring dengan pertambahan waktu. Selama ko
substrat tersedia adanya warna di dalam medium tidak mempengaruhi pertumbuhan
mikroba. Hal ini pun dikemukakan oleh Sponza (2002), Méndez-Paz (2005), serta Lodato
(2007) pada proses anaerob maupun kombinasi anaerob-aerob.
Penyisihan Warna
Tingkat penyisihan warna di akhir percobaan pada reaktor tanpa aerasi pada membran
sedikit lebih tinggi yaitu 46% (Gambar 4) dibandingkan dengan aerasi yaitu 45%
(Gambar 5). Hal ini diperkirakan karena jumlah biomassa di kedua reaktor tidak jauh
berbeda (Tabel 4) serta HRT masing-masing reaktor yang juga sama. Mikroorganisme
berperan utama dalam mekanisme pemutusan warna melalui biodegradasi maupun
adsorpsi. Dalam percobaan ini konsentrasi biomasa penyisihan warna dalam bioreaktor
berfluktuasi sesuai dengan kestabilan operasi membran. Adanya konsentrasi biomassa
yang rendah dalam bioreaktor baik tanpa maupun dengan sistem aerasi menyebabkan
tingkat penyisihan warna masih rendah baik oleh biodegradasi maupun adsorbsi. Hal ini
diungkapkan pula oleh Brik (2006), bahwa terdapat hubungan yang erat antara
pertumbuhan biomassa dan penyisihan warna, peningkatan laju pertumbuhan
mikroorganisme menghasilkan efisiensi penyisihan warna yang lebih tinggi akibat lebih
banyaknya biomassa yang dihasilkan untuk mengadsorbsi warna.
Penyisihan COD
Bertolak belakang dengan penyisihan warna yang tidak terlalu jauh berbeda pada kedua
BRM, tingkat penyisihan COD pada membran yang diaerasi jauh lebih besar yaitu 75%
dibanding 55% pada reaktor tanpa aerasi. Mikroorganisme berperan utama dalam
8
mekanisme penyisihan senyawa organik melalui biodegradasi maupun adsorpsi, semakin
meningkatnya konsentrasi biomassa di setiap reaktor tingkat penyisihan senyawa
organikpun makin tinggi. Dengan adanya transfer oksigen langsung ke biomassa yang
melekat pada membran, maka laju transfer massa oksigen pada mikroba lebih tinggi
dibanding pada membran tanpa penambahan aerasi yang hanya memanfaatkan tekanan dari
pompa, sehingga penyisihan organik pada BRM dengan aerasi pada membran lebih tinggi.
KESIMPULAN
Biodegradasi zat warna Azo Remazol Black V dengan menggunakan bioreaktor membran
konsekutif aerob-anaerob pada HRT anoksik, kontak dan stabilisasi 3, 2 dan 4 jam baik
dengan pemberian aerasi maupun tanpa aerasi pada umpan membran mampu menghasilkan
tegangan geser di permukaan membran sehingga dapat meminimasi fouling pada membran
dan menjaga fluks permeate lebih stabil. Namun, peningkatan konsentrasi biomassa dan
produk-produk mikrobial dalam medium reaktor mengakibatkan pencucian lebih sering,
sehingga BRM aerasi menjadi lebih efektif. Kombinasi waktu filtrasi-pencucian 3 jam-1
menit dengan pemberian aerasi pada umpan sebesar 0.7-1 bar dapat menyisihkan warna
dan senyawa organik 45% - 75%, sedangkan membran tanpa aerasi dihasilkan penyisihan
warna 46% dan 55% senyawa organik. Adanya aerasi pada membran mendukung
pertumbuhan mikroorganisme yang melekat pada membran dengan suplai oksigen untuk
mendegradasi ko-substrat, sehingga kinerja BRM meningkat. Konsentrasi biomassa yang
rendah dalam BRM baik tanpa maupun dengan sistem aerasi menyebabkan tingkat
penyisihan warna rendah baik melalui proses biodegradasi maupun adsorbsi
DAFTAR PUSTAKA
Ananthi, N. Pengaruh waktu detensi hidrolis dalam tangki anoxic terhadap knerja
rangkaian bioreaktor membran kontak stabilsasi dalam penyisihan zat warna azo
Remazol Black V. Thesis Magister Program Studi Teknik Lingkungan Institut
Teknologi Bandung, 2008
9
American Public Health Association. Standard Methods for the Examination of Water and
Wastewater. A.D. Eaton, L.S. Clesceri, A.E.Greenberg (Eds.), 19th ed.,
Washington D.C. 1995
Brik, M., P. Schoeberl, B. Chamam, R. Braun, and W. Fuchs. “Advanced treatment of
textile wastewater towards reuse using a membrane bioreactor”, Process
Biochemistry 41. (2006): pp 1751–1757
Chang, I.S., S.J. Judd. “Air sparging of a submerged MBR for municipal wastewater
treatment”, Process Biochemistry 37 (2002): pp 915–920
Fane, A.G., D. Cho. Membrane Bioreactors-Design Options and Operational
Considerations: Fouling Control. Proceedings of Seminar on Membrane
Bioreactors and Hybrid Systems. UTS. Sydney. Australia, 2001
Gong, Z., F. Yang, S. Liu, H. Bao, S. Hu, and K. Furukawa. “Feasibility of a membrane-
aerated biofilm reactor to achieve single-stage autotrophic nitrogen removal based
on Anammox”, Chemosphere 69 (2007): pp 776–784
Komala, P.S., AJ Effendi, IG. Wenten, Wisjnuprapto. ”Pengaruh waktu retensi hidrolis
reaktor anoksik terhadap biodegradasi zat warna azo reaktif menggunakan
bioreaktormembran aerob-anoksik”, Jurnal Teknologi Lingkungan Jurusan Teknik
Lingkungan-Universitas Trisakti bekerja sama dengan Ikatan Ahli Teknik
Penyehatan dan Teknik Lingkungan Indonesia (IATPI). Vol. 4 No. 4, Desember
(2008), pp 91-96
Le-Clech, P., V. Chen, and A.G. Fane. ”Fouling in membrane bioreactors used in
wastewater treatment” Journal of Membrane Science 284 (2006): pp 17–53
Lodato, A., F. Alfieri, G. Olivieri, A. Di Donato, A. Marzocchella, and P. Salatino. “Azo-
dye conversion by means of Pseudomonas sp.OX1”, Enzyme and Microbial
Technology. (2007). doi:10.1016/j.enzmictec. 2007.05.017.
Méndez-Paz, D., F. Omil, J.M. Lema. “Anaerobic treatment of azo dye Acid Orange 7
under batch conditions”, Enzyme and Microbial Technology 36 (2005): pp 264–
272
Ollgaard, H., L. Frost, J. Galster, and O.C. Hensen, Survey of Azocolorants on Denmark:
Milgoproject 509. Danish Environmental Protection Agency, 1999
Schoeberl, P., Brik, M., Bertoni, M., Braun, R. And Fuchs, W. ”Optimization of
operational parameters for a submerged membrane bioreactor treating dyehouse
wastewater”, Separation and Purification Technology 44 (2005): pp 61–68
Smith, B., G. O’Neal, H. Boyter and J. Pisczek. “Decolorizing textile dye wastewater by
anoxic/aerobic treatment”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology 82,
(2007): pp 16–24.
Sponza, D.T., M. Işik. “Decolorization and azo dye degradation by anaerobic/aerobic
sequential process”, Enzyme and Microbial Technology 31 (2002): pp 102–110
10