Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Tesis

Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 140

PERAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM KABUPATEN

BANYUASIN DALAM PENEGAKAN HUKUM PEMILIHAN UMUM


(Studi Tentang Interaksi Kelembagaan dalam Penanganan Pelanggaran
Pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014 di Provinsi
Lampung)

Oleh

ISWADI

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PALEMBANG
2017
ABSTRACT

THE ROLE OF THE GENERAL ELECTION SUPERVISION


DEPARTMENT IN THE ELECTORAL LAW ENFORCEMENT

(The Study of Institutional Interaction in The Handling of Violations in General


Elections of DPR, DPD and DPRD Members Year 2014 in Lampung Province)

By
ALI SIDIK

This study uses descriptive qualitative method with institutional and management
approaches. The variables were studied are patterns of relationship and
communication, as well as accommodation and governance functions. The data
were obtained from interviews informants and secondary data on laws,
regulations, and reading materials that have relevance to the problems examined.

The results showed that Bawaslu role in the handling of violations in the general
elections of DPR, DPD and DPRD members year 2014 in Lampung province is
still less than optimal, it is caused by several factors: first, the lack of capacity of
human resources (HR); weak human resource capacity of election supervisors at
the district / city and election supervisory ranks below to understand and carry out
their duties and functions. This condition occurs because of the nature of
institutional panwaskab / town which is adhoc, adhoc election recruitment pattern
is still not good, and the low budgetary allocation surveillance in the area. Second,
regulatory factors, there are a number of provisions that restrict Bawaslu in
maximizing its role, such as: short handling time violation, Bawaslu is not
authorized to forcedly call in the clarification process, and the obligation to
prepare minimum of two (2) evidence in forwarding the recommendations.

While seen from the institutional relations, functions of accommodation, and


governance held Bawaslu of Lampung province has been going well, and be a
driving factor for Bawaslu of Lampung province in the implementation of
institutional management to optimize the role of Bawaslu of Lampung province in
the handling of violations and electoral law enforcement in the election of DPR,
DPD and DPRD year 2014.

Keywords: Institutional, accommodation, governance, Bawaslu Lampung


province, procedural violations, the election of DPR, DPD and DPRD 2014
ABSTRAK

PERAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM DALAM PENEGAKKAN


HUKUM PEMILIHAN UMUM
(Studi Tentang Interaksi Kelembagaan dalam Penanganan Pelanggaran Pada
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014 di Provinsi Lampung)

Oleh

ALI SIDIK

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif dengan pendekatan


kelembagaan dan manajemen. Variabel yang diteliti yaitu pola hubungan dan
komunikasi, serta fungsi akomodasi dan tata kelola. Data dalam penelitian ini
diperoleh dari hasil wawancara para narasumber dan data sekunder ya i t u dari
undang-undang, peraturan-peraturan, dan sumber bacaan yang memiliki relevansi
dengan masalah yang diteliti.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peran Bawaslu dalam penanganan


pelanggaran pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014 di Provinsi
Lampung masih kurang optimal, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu: pertama, Lemahnya Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM); masih
lemahnya kapasitas sumber daya manusia Pengawas Pemilu di tingkat
Kabupaten/Kota dan jajaran Pengawas Pemilu dibawahnya dalam memahami dan
menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Kondisi ini terjadi karena sifat
kelembagaan Panwaskab/kota yang adhoc, pola rekruitmen Pengawas Pemilu
adhoc masih kurang baik, serta rendahnya alokasi anggaran pengawasan di
Daerah. Kedua, Faktor Regulatif, masih ada sejumlah ketentuan yang membatasi
Bawaslu dalam memaksimalkan perannya, seperti: waktu penanganan pelanggaran
singkat, Bawaslu tidak diberi kewenangan melakukan pemanggilan paksa dalam
proses klarifikasi, dan adanya kewajiban untuk menyiapkan minimal 2 (dua) bukti
dalam penerusan rekomendasi.

Sedangkan dilihat dari hubungan kelembagaan, fungsi akomodasi dan tata kelola
yang diselenggarakan Bawaslu Provinsi Lampung sudah berlangsung baik, dan
menjadi faktor pendorong bagi Bawaslu Provinsi Lampung dalam penerapan
manajemen kelembagaan untuk mengoptimalkan peran Bawaslu Provinsi
Lampung dalam penanganan pelanggaran dan penegakkan hukum pemilu pada
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014.

Kata kunci: Kelembagaan, Akomodasi, Tata Kelola, Bawaslu Provinsi Lampung,


Penanganan Pelanggaran, Pemilu DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014.
PERAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM DALAM PENEGAKAN
HUKUM PEMILIHAN UMUM
(Studi Tentang Interaksi Kelembagaan dalam Penanganan Pelanggaran Pada
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014 di Provinsi Lampung)

Oleh

ALI SIDIK

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar


MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
pada
Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
RIWAYAT HIDUP

Ali Sidik, lahir di Tanjung Harapan pada tanggal 18 Maret

1973, merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, putra

dari Bapak Hasbi Japilus dan Ibu Rumini. Jenjang akademis

penulis dimulai dengan menempuh pendidikan di Sekolah

Dasar (SD) Negeri Sidodadi Gunung Balak lulus pada tahun

1985. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri

1 Pugung Raharjo dan lulus pada tahun 1988. Pada tahun yang sama penulis

melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Kota Metro

dan lulus pada tahun 1991. Selanjutnya tahun 1991 penulis terdaftar sebagai

mahasiswa program Sarjana (Strata 1) pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Lampung setelah dinyatakan lulus tes

seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Pendidikan program

sarjana (Strata 1) diselesaikan penulis pada tahun 1999. Pada tahun 2013 penulis

meneruskan pendidikan Strata 2 di kampus yang sama pada Program Studi

Magister Ilmu Pemerintahan dengan konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi

Daerah.

Sejak masih menjadi mahasiswa program sarjana (Strata 1) penulis telah memiliki

ketertarikan pada kegiatan keorganisasian dan kemasyarakatan sehingga

mendorong penulis bergabung dengan sejumlah organisasi yang berorientasi di


bidang tersebut. Sampai dengan sekarang penulis masih menjadi anggota tetap

organisasi sosial kemasyarakatan Jamus Kalimosodo Lampung, Pengurus

Gabungan Bridge Seluruh Indonesia (GABSI) Provinsi Lampung, dan Pengurus

Lembaga Seni Budaya Muslim (Lesbumi) Provinsi Lampung. Selain itu, penulis

juga memiliki minat yang tinggi dalam bidang kepemiluan sehingga pada rentang

waktu tahun 1999 sampai dengan 2001 penulis juga pernah bergabung dengan

organisasi yang mengkhususkan pada pemantauan pemilu sebagai Koordinator

Daerah Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kota Metro, dan pada tahun

2003 terpilih menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Metro masa

jabatan tahun 2003 sampai dengan tahun 2008.

Saat ini penulis masih menjabat sebagai Pimpinan Badan Pengawas Pemilihan

Umum (Bawaslu) Provinsi Lampung masa jabatan tahun 2012 sampai dengan

tahun 2017.
MOTO

„TERUSLAH BERUSAHA JADI MANUSIA YANG BERGUNA BAGI SESAMA”

(Ali Sidik)

“JADILAH SEPERTI MATA AIR, MEMBAWA PERUBAHAN PADA SETIAP

TEMPAT YANG DILALUINYA”

(Rudy Habibie)
PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya sederhana ini


Untuk orang-orang yang luar biasa dalam hidupku:

“Ayah dan Ibu Tercinta”


yang telah berkorban segalanya dan selalu
berdo’a yang terbaik untukku. Maafkan anakmu
ini karena belum bisa sedikitpun membuatmu
bahagia wahai ayah ibuku.
“Istri dan kedua putriku”
Yang telah mengikhlaskan waktu bersamanya
denganku serta selalu
memdo’akan keselamatan dalam setiap langkah tugasku.
Terima kasih atas motivasi dan dorongan yang telah kalian
berikan.
Kalianlah orang-orang tersayang dalam
hidupku.

Untuk sahabat terbaik yang telah


mendukung dan memotivasiku,
serta kolega dan para guru yang
telah mengajariku Ilmu Kehidupan
dan membantuku dalam proses
penyusunan karya yang
sederhana ini.
Semoga Allah SWT. memberikan yang terbaik
atas budi baik kalian.
“UNTUK BAWASLU TEMPATKU BERBAKTI
“Semoga selalu menjadi lembaga terdepan
dalam menyelamatkan pemilu di Indonesia”

DAN
UNTUK ALMAMMATER TERCINTA UNIVERSITAS
LAMPUNG”
“Terima kasih telah memberikan banyak pengetahuan dan
pengalaman”
SANWACANA

Alhamdulillahirobbialamin, dengan mengucap rasa syukur atas semua nikmat yang


telah diberikan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, penulis berhasil
menyelesaikan tesis dengan judul, “Peran Badan Pengawas Pemilihan Umum Dalam
Penegakkan Hukum Pemilihan Umum: Studi Kelembagaan Dalam Penanganan
Pelanggaran Pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014 di Provinsi
Lampung” ini. Tesis ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh derajat
Magister Ilmu Pemerintahan pada Program Pasca sarjana Universitas Lampung,
Bandar Lampung.

Selesainya penulisan tesis ini tidak terlepas hutang budi penulis kepada sejumlah
individu, untuk itu dari relung hati yang terdalam penulis mengucapkan terimakasih
kepada :

1. Ibu Dr. Dra. Ari Darmastuti, M.A. selaku dosen pembimbing pertama dan Bapak
Dr. Drs. Soewondo, M.A. selaku dosen pembimbing kedua sekaligus Sekretaris
Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, yang pada setiap
kesempatan bertemu selalu memberikan dorongan, arahan dan bimbingan dalam
arti yang sesungguhnya dalam penulisan tesis ini.
2. Bapak Drs. Hertanto, M,Si., Ph.D., selaku dosen pembahas sekaligus Ketua
Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, yang telah banyak
memberikan masukan serta saran yang konstruktif dalam penulisan tesis ini.
3. Bapak Dr. Drs. Syarief Makhya, M.Si. selaku Pembimbing Akademik yang tiada
henti mendorong penulis menyelesaikan tesis dan studi di sela-sela kesibukan
tugas di Bawaslu Provinsi Lampung,
4. Bapak Drs. Yana Ekana PS, M.Si dosen sesepuh yang selalu perhatian pada
kelangsungan studi mahasiswanya.

Ucapan terimakasih yang tidak terkira juga penulis sampaikan kepada para
narasumber yaitu:

1. Fatikhatul Khoiriyah, S.Hi., M.H., Ketua Bawaslu Provinsi Lampung, Ipda.


Hengky Kurniawan anggota Tim Gakkumdu Provinsi Lampung dari unsure
kepolisian, dan Bapak M. Syarief , S.H., M.H., anggota Tim Gakkumdu Provinsi
Lampung dari unsure Kejaksaan,
2. Dr. Nanang Trenggono, M.Si., Ketua KPU Provinsi Lampung dan Sholihin,
S.Hi., M.H. anggota KPU Provinsi Lampug yang menjadi Koordinator Divisi
Hukum pada Pemilu Legislatif Tahun 2014.
3. Dr. Wahyu Sasongko, S.H. M.Hum. Koordinator Tim Pemeriksa Daerah (TPD)
DKPP di Provinsi Lampung.
4. Prof. Dr. Komsarial Romli, M,Si. ahli Ilmu Komunikasi dari IAIN Radin Intan
Bandar Lampung,
5. Dr. Budiono, S.H., M.H., ahli Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Unila,
6. Saudara Yoso Mulyawan, S,Sos. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar
Lampung.
7. Saudara Fathul Muin, S.H., M.H., Ketua Komunitas Jurnalis Pemantau Pemilu
(KJPP) Provinsi Lampung, serta
8. Teman-teman pengawas pemilu legislative tahun 2014 yang menjadi informan
dalam tesis ini yaitu : Siti Khotijah, S.H., Radityo Aryadi Nugroho, Cecep
Ramdani, S.I.P., M.I.P, dan M. Sopingi, S.Pd, Edwin Nur, S,E., Tulus Basuki,
S.Pd., dan Zainal Abidin, serta M. Suthon, S.Pdi, Sandi Ishadi Supriyono, dan
Erlenawati Solfihayanti.

Selanjutnya, penyelesaian penulisan tesis ini juga tidak terlepas dari jasa yang tidak
terhingga dari teman-teman penulis, seperti Alvindra, Asyil Aripatriansyah,
Candrawansah, Dedi Fernando, Gesit Yudha, Martharia Putri Tanjung, Maulida Ulfa,
Nazarudin Togakratu, serta sejumlah individu yang tidak bias penulis sebutkan satu
per satu tanpa mengurangi hormat untuk seluruhnya saya mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga. Khusus bagi sahabatku Alvindra, terimakasih yang tak terhingga
dan setulus-tulusnya atas dedikasi dan dukungannya hingga melapangkan jalan dalam
penyelesaian pengerjaan tesis ini.

Dari almamater tercinta Universitas Lampung, Bandar Lampung, kepada Rektor Prof.
Dr. Ir. Hassriadi Mat Akin, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Drs. Agus
Hadiawan, M.Si., Ketua dan Sektretaris Program Studi Ilmu Pemerintahan Drs.
Denden Kurnia Drajat, M. Sidan Drs. R. Sigit Krisbiantoro, M.I.P., Ketua dan
Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Drs. Hertanto, M.Si., Ph,D.,
dan Dr. Drs. Soewondo, M.A., segenap dosen dan staf di lingkungan FISIP Unila,
serta para senior dan seniorita, saya mengucapkan berjuta terimakasih.

Terakhir, kepada istriku Sri “Jatie” Astuti dan kedua Anakku “kakak” Aliya Nur
Imani Siddiq dan “adek” Ana Fakhiranissa Nur Islami Siddiq yang sering ditinggal
pergi atas nama pekerjaan, namun tetap luar biasa pengertian dan kelapangan hatinya
demi memahami suami dan ayahnya, penulis hanya bias berdo’a semoga
pengorbanan kalian berbalas ganjaran setimpal dari Allah azzawajalla, amien.

Gedong meneng, 22 Jul 2016

Penulis
ii

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................. iv
DAFTAR TABEL ......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... viii

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah............................................................................... 11
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................ 12
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 12
1.5 Penelitian Terdahulu ........................................................................... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemilihan Umum ................................................................................ 15


2.2 Konsep Pemilu .................................................................................... 18
2.2.1 Pengertian Pemilu .................................................................... 18
2.2.2 Asas dan Fungsi Pemilu ........................................................... 21
2.2.3 Kualitas dan Tujuan Pemilu ..................................................... 23
2.2.4 Penyelenggara Pemilu.............................................................. 26
2.2.5 Pengawasan Pemilu ................................................................. 27
2.3 Penegakkan Hukum dan Unsur-unsur Penegakan Hukum Pemilu.... 32
2.3.1 Tindak Pidana Pemilu Umum ........................................ 39
2.4 Fungsi Tata Kelola dan Akomodasi .................................................. 42
2.4.1 Transparansi dan Akuntabilitas. .............................................. 43
2.4.2 Efektivitas dan Keadilan ............................................................. 50
2.4.3 Supremasi Hukum .................................................................... 54
2.4.4 Akomodasi ............................................................................... 57
2.5 Pendekatan Kelembagaan Baru ................................................... 64
2.5.1 Sejarah Pendekatan Kelembagaan Baru................................... 64
2.5.2 Ciri-ciri Khusus Paradigma Kelembagaan Baru ...................... 66
2.5.3 Madzab Institusionalisme Baru ................................................ 68
2.6 Kerangka Pikir .................................................................................... 81

III. METODE PENELITIAN


3.1 Jenis Penelitian ................................................................................... 85
3.2 Pendekatan Penelitian ......................................................................... 86
3.3 Lokasi Penelitian ................................................................................ 86
iii

3.4 Fokus Penelitian ................................................................................. 86


3.5 Sumber Data ............................................................................. 88
3.6 Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 89
3.7 Teknik Pengolahan Data ................................................................. 90

IV. GAMBARAN UMUM

4.1 Gambaran Umum Bawaslu Provinsi Lampung …. ............................. 94

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Peran Bawaslu Provinsi Lampung dalam Penegakan Hukum


Pemilu pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014..... 110
5.1.1 Penanganan Pelanggaran Administrasi ........................................ 117
5.1.2 Penanganan Pelanggaran Kode Etik .............................................. 122
5.1.3 Penanganan Pelanggaran Pidana Pemilu ...................................... 130
5.2 Analisis Strategi Bawaslu Untuk Mengoptimalkan Peran Bawaslu dalam
Penegakkan Hukum Pemilu Pada Pemilu DPR, DPD, dan DPRD tahun
2014 ...................................................................................................... 142
5.2.1 Strategi Internal Kelembagaan .................................................... 145
5.2.2 Analisis Pola Hubungan dan Komunikasi .................................. 151
5.2.3 Analisis Fungsi Tata Kelola ........................................................ 167
5.2.3.1 Transparansi dan Akuntabilitas ........................................ 168
5.2.3.2 Efektivitas dan keadilan ................................................... 175
5.2.3.3 Supremasi Hukum ............................................................. 179
5.2.4 Analisis Fungsi Akomodasi .......................................................... 181

VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan................................................................................................................186
6.2 Saran.......................................................................................................................189

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iv

DAFTAR SINGKATAN

AJI : Aliansi Jurnalis Independen

BAWASLU : Badan Pengawas Pemilu

DKPP : Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

DPD : Dewan Perwakilan Daerah

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DPS : Daftar Pemilih Sementara

DPSHP : Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan

DPT : Daftar Pemilih Tetap

DP4 : Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu

GAKKUMDU : Penegakkan Hukum Terpadu

GOLKAR : Golongan Karya

GOLPUT : Golongan Putih

JURDIL : Jujur dan Adil

KJPP : Komunitas Jurnalis Peduli Pemilu

KPPS : Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara

KPU : Komisi Pemilihan Umum

KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


v

LAPAS : Lembaga Pemasyarakatan

LUBER : Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia

MK : Mahkamah Konstitusi

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia

PANWAS : Panitia Pengawas

PANWASLAK : Panitia Pengawasan Pelaksanaan

PANWASLU : Panitia Pengawas Pemilu

PARPOL : Partai Politik

PDI-P : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Plt. : Pelaksana tugas

PEMILU : Pemilihan Umum

PNS : Pegawai Negeri Sipil

POLRI : Kepolisian Republik Indonesia

PPD : Panitia Pemilihan Daerah

PPI : Panitian Pemilihan Indonesia

PPK : Panitia Pemungutan Kecamatan

PPL : Pengawas Pemilu Lapangan

PPP : Partai Persatuan Pembangunan

PPS : Panitia Pemungutan Suara

SDM : Sumber Daya Manusia

SIDALIH : Sistem Pendataan Pemilih

SILOG : Sistem Logistik

SILON : Sistem Pencalonan


vi

SOP : Standard Operational Prosedure

TNI : Tentara Nasional Indonesia

TPS : Tempat Pemungutan Suara

UUD : Undang-Undang Dasar

UU : Undang-Undang

UNDP : United Nations Development Program

WASKAT : Pengawasan Melekat


vii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1 Rekapitulasi Dugaan Pelanggaran Pada Pemilu Angggota DPR,


DPD, dan DPRD Tahun 2014 di Provinsi Lampung .................................. 10
2.2 Pelaksanaan Pemilu Menurut Tipe Sistem Politik ..................................... 18
2.3 Unsur-Unsur yang Mempunyai Tingkat Keterlibatan dalam Penegakan
Hukum ........................................................................................................ 35
5.1 Hasil Penelitian Tentang Peran Bawaslu Lampung Dalam Penegakkan
Hukum Pemilu Pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun
2014 ............................................................................................................. 115
5.4 Hasil Penelitian Tentang Strategi Internal Kelembagaan Bawaslu Provinsi
Lampung Untuk Mengoptimalkan Perannya Dalam Penegakkan Hukum
Pemilu Pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 ........... 145
viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Bagan Kerangka Pikir....................................................................................................84


4.2 Bagan Struktur Badan Pengawas Pemilu Provinsi Lampung.........................109
1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pasca Orde Baru, tuntutan penggiat demokrasi tentang pembentukan

penyelenggara pemilu yang bersifat mandiri semakin menguat. Tuntutan ini

muncul didasari oleh pengalaman bahwa pada pemilu-pemilu di era Orde

Baru terjadi kecurangan-kecurangan sistematis yang dilakukan

penyelenggara sehingga pemilu di era Orde Baru tersebut kehilangan

kepercayaan publik. Salah satu respon utama atas kecurangan tersebut

adalah munculnya golongan putih (golput). Golongan Putih (golput)

merupakan representasi kekecewaan langsung terhadap Golongan Karya

(Golkar), sebuah kekuatan baru yang diharapkan membawa perubahan

tetapi berlaku curang demi melanggengkan kekuasaannya.

Pemilu tahun 1971 yang merupakan pemilu pertama di era Orde Baru

diikuti oleh 10 (sepuluh) kontestan dan Golkar meraih 62,83% suara.

Menjelang pemilu tahun 1977 diberlakukan kebijakan fusi partai sehingga

peserta pemilu menjadi 3 (tiga) yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP),

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya (Husein, 2014:

600). Pemilu tahun 1977 “diwarnai” sejumlah kecurangan yang terjadi

secara massif sehingga mengakibatkan terjadinya protes dari Partai

Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI),


2

mahasiswa dan tokoh nasional. Pemerintah kemudian melakukan revisi

aturan kepemiluan yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang

Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan

Umum Anggota Badan Permusyawaratan Rakyat/Perwakilan Rakyat

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975.

Peraturan perundang-undangan tersebut menegaskan bahwa pertama: unsur

Partai Politik dan Golkar menjadi anggota panitia pemilu dari pusat sampai

kecamatan disebut dengan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), Panitia

Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), Panitia pemilihan Daerah Tingkat II

(PPD II), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Kedua: Pembentukan

lembaga baru untuk mengawasi pemilu disebut dengan Panitia Pengawasan

Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu. Namun perubahan aturan tersebut justru

semakin memposisikan lembaga penyelenggara pemilu menjadi alat

penguasa untuk mempertahankan kekuasaan politiknya. Manajemen

kepemiluan tetap menjadi tanggung jawab Departemen Dalam Negeri,

sehingga jabatan-jabatan strategis dalam lembaga penyelenggara pemilu

secara ex officio dijabat oleh Menteri Dalam Negeri dan para Kepala

Daerah. Meskipun ada perwakilan peserta pemilu, namun hanya bersifat

simbolik saja. Begitu juga pada Lembaga Pengawas Pemilu dari tingkat

pusat sampai dengan tingkat daerah dijabat secara ex officio oleh Jaksa

Agung, Kepala Kejaksaan Tinggi, dan Kepala Kejaksaan Negeri. Bahkan,

pada stuktur kepanitiaan pemilu terendah yang berinteraksi dengan pemilih

yaitu Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tidak ada unsur

di luar pemerintah yang dilibatkan. (Husein, 2014: 602-603).


3

Menurut Fachrudin (2014:17) lembaga penyelenggara pemilu pada masa

Orde Baru dianggap telah mengalami disfungsi secara sistematis, dan

pemilu-pemilu pada masa Orde Baru dinilai oleh sejumlah pengamat politik

tidak memenuhi kriteria sebagai pemilu yang demokratis. Hal ini karena

secara sengaja pemilu dilaksanakan dengan memanipulasi prinsip-prinsip

demokrasi untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan. Pemilu di

Indonesia pada masa Orde Baru menjadi alat kepentingan mesin politik

Orde Baru guna memperkuat legitimasi kekuasaan pemerintahan Presiden

Soeharto.

Menurut R. William Liddle (1994: 36-38) rekayasa politik pemilu Orde

Baru ini dijalankan dengan sejumlah strategi yaitu pertama, penggunaaan

secara luas kekuasaan pengangkatan (tanpa mengikuti proses pemilu)

anggota legislatif dari kalangan angkatan bersenjata, utusan daerah, dan

kelompok-kolempok masyarakat lainnya yang oleh Presiden dianggap tidak

terwakili di DPR. Kedua, membentuk Golongan Karya (Golkar) sebagai

organisasi massa yang dapat mengikuti pemilihan umum selain partai

politik. Keberadaan Golkar ini kemudian diorganisir oleh Pemerintah Orde

Baru sebagai mesin politik untuk selalu memenangkan pemilu antara lain

dengan diterapkannya kebijakan monoloyalitas pegawai birokrasi kepada

Golkar. Selain itu, kebijakan pemerintah memanfaatkan struktur birokrasi

dan kekuatan keamanan untuk mengendalikan lembaga pemilihan umum

dan mengawasi jalannya pemilihan umum semakin menekan ruang gerak


4

partai-partai politik di masa pemilu sehingga menghasilkan kemenangan

Golkar secara mencolok.

Jika ditinjau lebih jauh, posisi dan fungsi Panitia Pengawas Pelaksanaan

Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) dalam struktur kepanitiaan tidak

jelas. Peran pertama adalah mengawasi pelaksanaan pemilu, tetapi peran

lainnya adalah harus bertanggungjawab kepada ketua panitia pemilihan

sesuai dengan tingkatannya. Artinya, Panwaslak Pemilu adalah subordinat

dari panitia pelaksana pemilu. Susunan dan struktur organisasi tersebut

memiliki tujuan untuk mengontrol pelaksanaan pemilu. Fungsi pengawasan

oleh Panwaslak Pemilu diselewengkan untuk kepentingan Golkar dengan

melegalkan kasus-kasus pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan

Golkar, selain itu Panwaslak melakukan diskriminasi dengan cara mengusut

kasus-kasus yang dilakukan oleh peserta Pemilu non-Golkar (dalam Topo

Santoso, 2014: 37-38)

Memasuki era reformasi, terjadi perubahan yang sangat mendasar terhadap

sistem dan tatanan kelembagaan dalam kehidupan politik di Indonesia,

termasuk juga perubahan terhadap tatanan kelembagaan penyelenggara

pemilu. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 22E

ayat (5) menyebutkan bahwa “Pemilu diselenggarakan oleh suatu lembaga

penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Bersifat

nasional maksudnya bahwa penyelenggaraan pemilu mencakup seluruh

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bersifat tetap maksudnya

Lembaga Penyelenggara Pemilu menjalankan tugasnya secara


5

berkesinambungan, meskipun keanggotaannya dibatasi oleh masa jabatan

tertentu. Sedangkan bersifat mandiri maksudnya bahwa dalam

melaksanakan pemilu, penyelenggara pemilu bersikap mandiri dan bebas

dari pengaruh pihak manapun, dan memiliki pertanggungjawaban yang jelas

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 tersebut menjadi dasar dibentuknya lembaga

penyelenggara pemilihan umum yang independen. Pemerintah kemudian

mengimplemetasikan amanat pasal 22E ayat (5) UUD 1945 tersebut dengan

menetapkan undang-undang yang secara khusus mengatur tentang

Penyelengara Pemilu yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 yang

lebih baik dari undang-undang sebelumnya dalam mengatur

penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Faktanya, meskipun berdasarkan

laporan dari pemantau pemilu dan media massa tentang penanganan kasus-

kasus kecurangan pemilu tahun 1999 tersebut jauh lebih banyak. Namun

merujuk pada laporan Panwaslu Pusat untuk Pemilu tahun 1999 dapat

dilihat bahwa lembaga tersebut hanya mampu menyelesaikan kasus-kasus

pelanggaran yang bersifat administratif sedangkan pelanggaran yang

menyangkut pidana pemilu termasuk money politic tidak tertangani dengan

baik. Sebanyak 270 (dua ratus tujuh puluh) kasus pelanggaran pidana

pemilu yang dilimpahkan ke kepolisian namun hanya 26 (dua puluh enam)

yang diproses sampai pengadilan. Untuk kasus money politic tidak ada satu

pun yang diproses sampai pengadilan meski indikasinya sangat kuat dan

menjadi isu publik (dalam Topo Santoso 2014: 49-50)


6

Kondisi penyelenggaraan pemilu mengalami perubahan setelah amandemen

ketiga UUD 1945 yang disahkan dalam Sidang Umum-MPR pada bulan

November 2001. Peraturan perundang-undangan yang merupakan turunan

dari hasil amandemen tersebut adalah UU No 12 Tahun 2003 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan UU No 23 Tahun 2003

Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Kedua landasan

hukum tersebut menjadikan kinerja Pengawas Pemilu di tahun 2004 lebih

baik dari pemilu sebelumnya.

Pada pemilu legislatif tahun 2004 terdapat 8013 (delapan ribu tiga belas)

kasus pelanggaran administrasi tetapi hanya 2822 (dua ribu delapan ratus

dua puluh dua) kasus yang diselesaikan oleh Komisi Pemilihan

Umum/Komisi Pemilihan Umum Daerah. Untuk pelanggaran pidana dari

2413 (dua ribu empat ratus tiga belas) kasus yang dilimpahkan hanya 1065

(seribu enam puluh lima) kasus yang berhasil disidangkan. Kasus sengketa

sebanyak 644 (enam ratus empat puluh empat) yang diterima pengawas

pemilu ada 380 (tiga ratus delapan puluh) yang diselesaikan secara

musyawarah, sebanyak 33 (tiga puluh tiga) diselesaikan secara alternatif

serta sebanyak 61 (enam puluh satu) sampai dengan keputusan final.

Sedangkan pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 dari 1158

(seribu seratus lima puluh delapan) kasus pelanggaran administratif hanya

259 (dua ratus lima puluh sembilan) yang diselesaikan. Kasus pelanggaran

pidana sebanyak 274 (dua ratus tujuh puluh empat) laporan yang berhasil

diteruskan sebanyak 187 (seratus delapan puluh tujuh) namun hanya 82


7

(delapan puluh dua) yang sampai ke pengadilan dan 79 (tujuh puluh

sembilan) yang mendapatkan vonis. Untuk sengketa terdapat 43 (empat

puluh tiga) kasus yang diterima, sebanyak 33 (tiga puluh tiga) diselesaikan

secara musyawarah, 6 (enam) kasus melalui cara alternatif dan sampai

keputusan final sebanyak 2 (dua) kasus (Topo Ssantoso, 2014: 52-62)

Memperhatikan penyelenggaraan pemilu yang terjadi dari Orde Baru

sampai dengan era Reformasi menunjukkan adanya perbedaan dan

peningkatan peran dari penyelenggara pemilu termasuk pengawas pemilu.

Pemerintah berusaha untuk memperbaiki penyelenggaraan pemilu dengan

membuat peraturan perundang-undangan yang mendukung kinerja dari

penyelenggara. Berdasarkan hasil evaluasi penyelenggaraan pemilu di

tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2011 Pemerintah mengeluarkan

peraturan perundang-undangan baru yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun

2011 tentang Penyelenggara Pemilu, sebagai pengganti Undang-undang

Nomor 22 tahun 2007. Diantara perubahan mendasar pada Undang-undang

Nomor 15 Tahun 2011 yaitu peningkatan status kelembagaan Pengawas

Pemilu di tingkat Provinsi yang semula berbentuk Kepanitian (bersifat ad

hoc) menjadi berbentuk Badan (bersifat tetap).

Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 menyebutkan bahwa

“Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu

yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu

sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu untuk memilih

anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan


8

Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung

oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati dan walikota secara

demokratis”. Selain itu dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 ini

juga disebutkan satu lembaga lainnya yaitu Dewan Kehormatan

Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memiliki tugas mengawasi perilaku

dan menegakkan kode etik penyelenggara pemilu.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga penyelenggara pemilu

yang bertugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu

memiliki wewenang antara lain mengawasi pelaksanaan tahapan-tahapan

pemilu, menerima laporan-laporan dugaan pelanggaran pemilu, dan

menindaklanjuti temuan atau laporan kepada instansi yang berwenang.

Dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut Bawaslu

sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 kemudian

membentuk Bawaslu Provinsi di seluruh Indonesia. Tugas utama Bawaslu

Provinsi adalah mengawasi penyelenggaraan pemilu di wilayah provinsinya

masing-masing, menerima dan menindaklanjuti temuan dan laporan dugaan

pelanggaran pemilu, serta melaporkannya kepada Bawaslu Republik

Indonesia.

Sejak dibentuk pada tanggal 20 September 2012, Badan Pengawas Pemilu

(Bawaslu) Provinsi Lampung telah menangani dan menindaklanjuti

berbagai dugaan pelanggaran baik yang berasal dari temuan pengawas

pemilu ataupun dari pelaporan yang disampaikan oleh masyarakat pada

penyelenggaran pemilu termasuk pada pemilu anggota DPR, DPD, dan


9

DPRDtahun 2014. Dilihat dari jenisnya dugaan pelanggaran yang ditangani

oleh Bawaslu Lampung dan jajarannya dapat diklasifikasikan menjadi 3

(tiga) yaitu dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, dugaan

pelanggaran Administrasi dan dugaan pelanggaran Tindak Pidana Pemilu.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota

DPR, DPD, dan DPRD menjelaskan pengertian pelanggaran-pelanggaran

pemilu tersebut sebagai berikut: (1) Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara

Pemilu adalah pelanggaran terhadap etika Penyelenggara Pemilu yang

berpedomankan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai

Penyelenggara Pemilu. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu

diselesaikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)

dengan tata cara penyelesaian yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

undang-undang tentang Penyelenggara Pemilu; (2)Pelanggaran Administrasi

Pemilu adalah pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan

mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam

setiap tahapan penyelenggaraan pemilu di luar tindak pidana pemilu dan

pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Dugaan pelanggaran

administrasi diteruskan kepada KPU dan jajarannya untuk ditindaklanjuti

selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak direkomendasikan oleh Pengawas

Pemilu; (3) Tindak Pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran

dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu yang diatur

dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012. Dugaan pelanggaran tindak

pidana pemilu diteruskan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia

untuk ditindaklanjuti sejak direkomendasikan oleh Pengawas Pemilu.


10

Terhadap berbagai dugaan pelanggaran pemilu tersebut jajaran pengawas

pemilu selambat-lambatnya dalam jangka waktu 5 (lima) hari sejak dugaan

pelanggaran tersebut dilaporkan atau ditemukan diwajibkan oleh undang-

undang untuk melakukan proses pengkajian dalam rangka mengambil

keputusan untuk meneruskan atau tidak meneruskan pemeriksaan dugaan

pelanggaran dimaksud. Jika keputusanya adalah meneruskan pemeriksaan

maka pengawas pemilu mengeluarkan rekomendasi kepada instansi yang

berwenang (kepolisian) untuk menindaklanjuti pemeriksaan terhadap

dugaan pelanggaran dimaksud. Data selengkapnya tentang jumlah

penanganan dugaan pelanggaran pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan

DPRD tahun 2014 di Provinsi Lampung dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1.1
Rekapitulasi Dugaan Pelanggaran Pada Pemilu Angggota DPR, DPD, dan
DPRD Tahun 2014 Di Provinsi Lampung

Tindak Lanjut
No Jenis Dugaan Jumlah Tidak Direkomendasikan
Pelanggaran Kasus Memenuhi Dihentikan
Putusan
Unsur Pemeriksaannya
1 Kode Etik 27(100%) 18(66,67%) 2(7,40%) 7(25,93%)
2 Administrasi 57(100%) 39(68,42%) 2(3,51%) 16(28,07%)
3 Pidana Pemilu 137(100%) 114(83,21%) 5(3,65%) 18(13,14%)
Total 221(100%) 171(77,38%) 9(4,07%) 41(18,55%)
Sumber: Diolah dari data Bawaslu Provinsi Lampung Pada Pemilu Tahun 2014.

Memperhatikan tabel pada halaman sebelumnya sekurangnya ada 2 (dua)

permasalahan terkait penanganan pelanggaran pada Pemilu Anggota DPR,

DPD, dan DPRD tahun 2014 di Provinsi Lampung yaitu:

1. Dugaan pelanggaran yang terjadi pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan

DPRD tahun 2014 di Provinsi Lampung masih cukup tinggi; Data


11

statistik pada lembar sebelumnya memperlihatkan jumlah dugaan

pelanggaran yang ditangani oleh Bawaslu Provinsi Lampung selama

pelaksanaan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014

sebanyak 221 kasus. Dari jumlah tersebut, tindak pidana pemilu adalah

dugaan pelanggaran yang paling sering ditangani oleh Bawaslu

Provinsi. Tercatat dari 221 kasus dugaan pelanggaran pemilu sebanyak

137 kasus (61,99%) diantaranya adalah dugaan pelanggaran tindak

pidana pemilu.

2. Hanya sebagian kecil saja yaitu 41 kasus (18,55%) dari dugaan

pelanggaran pemilu yang ditangani oleh Pengawas Pemilu bisa

ditidaklanjuti sampai tahapan putusan. Sedangkan sebagian besar kasus

yaitu sebanyak 180 kasus (81,45%) tidak dapat dilanjutkan proses

penanganannya. Dari 180 kasus tersebut, 171 (77,38%) kasus tidak

dapat dilanjutkan karena dinyatakan tidak memenuhi unsur.

Berdasarkan fakta tersebut timbul pertanyaan mendasar bagaimanakah

sebenarnya proses penanganan pelanggaran pada Pemilu Anggota DPR,

DPD, dan DPRD tahun 2014 tersebut dijalankan dan bagaimanakah

peran Bawaslu Provinsi Lampung dalam proses penanganan

pelanggaran pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014

tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada latar belakang maka yang

menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :


12

1. Bagaimana Peran Bawaslu Provinsi Lampung dalam penegakkan

Hukum Pemilu pada Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Tahun 2014?

2. Bagaimana strategi yang dilakukan Bawaslu Provinsi Lampung

untuk mengoptimalkan perannya dalam penegakkan hukum pemilu

Pada Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2014?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

1. Peran Bawaslu Provinsi Lampung dalam penegakan Hukum Pemilu

pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 di Provinsi

Lampung.

2. Strategi yang dilakukan Bawaslu Provinsi Lampung untuk

mengoptimalkan perannya dalam penegakan hukum pemilu Pada

Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2014.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan tentang kepemiluan beserta hal-hal yang berkaitan

dengannya termasuk di dalamnya proses penanganan pelanggaran

pemilu.
13

b. Manfaat praktis, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan

kontribusi dalam penyelesaian permasalahan dalam penanganan

pelanggaaran pemilu secara efektif.

1.5 Penelitian Terdahulu

Tesis Yolly Maristo (2014: 2-24) pada Program Studi Magister Ilmu

Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung tahun

2014 dengan Judul Bawaslu dan Politik Uang (Studi Tentang Proses

Pengawasan dan Hambatan-Hambatan Bawaslu dalam Menangani

Pelanggaran Pemilihan Gubernur Lampung 2014). Perbedaan antara tesis

Yolly Maristo dengan tesis ini ialah pada analisis dan fokusnya, tesis ini

menganalisis interaksi kelembagaan yang dibangun oleh Bawaslu Provinsi

Lampung dalam proses penanganan pelanggaran kode etik, adiministrasi,

dan tindak pidana pemilu pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD

tahun 2014 di Provinsi Lampung serta mengetahui strategi yang dijalankan

oleh Bawaslu Provinsi Lampung dalam mengoptimalkan perannya dalam

proses penanganan pelanggaran kode etik, adnimistrasi, dan tindak pidana

pemilu pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 di Provinsi

Lampung, sedangkan Tesis Yolly Maristo lebih condong untuk mengkaji

bentuk-bentuk politik uang dalam Pemilihan Gubernur Lampung di Kota

Bandar Lampung Tahun2014, untuk mengkaji dan menganalisis hambatan-

hambatan Bawaslu dalam melakukan pengawasan Pelanggaran Pemilihan

Gubernur Lampung tahun 2014. Tahap analisis data dalam penelitian ini

meliputi reduksi data, pengorganisasian data, dan interprestasi.


14

Pada tesis ini pendekatan penelitian menggunakan teori jaringan

kelembagaan (networking institusionalism) sedangkan pada tesis Yolly

Maristo menggunakan teori pengawasan.

Penelitian skripsi sejenis lainnya dilakukan oleh Rengga Utomo (2013) yang

berjudul “Evaluasi Kinerja Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwaslu

Kecamatan) Dalam Pengawasan Pemilihan Umum Kepala Daerah Tahun

2013 Di Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara”. Adapun hasil

penelitiannya diperoleh gambaran secara keseluruhan bahwa kinerja Panitia

Pengawas Pemilu Kecamatan Samboja dalam pengawasan Pemilu Kepala

Daerah Kalimantan Timur tahun 2013 sudah baik dalam hal pengawasan

terhadap pemutahiran data, pengawasan terhadap pelaksanaan kampanye,

pengawasan terhadap logistik pemilu dan pendistribusiannya, pengawasan

terhadap pelaksanaan dan perhitungan suara pemilu, pengawasan terhadap

pergerakkan surat suara dari TPS ke PPK, dan pengawasan terhadap

rekapitulasi suara oleh PPK. Hal ini dapat dilihat dari pengawasan yang

dilakukan oleh Panwaslu Kecamatan dapat meminimalisir pelanggaran

pemilu yang ada di Kecamatan Samboja.


15

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemilihan Umum

Pemilihan umum adalah pasar politik tempat individu atau masyarakat

berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial (perjanjian masyarakat) antara

peserta pemilihan umum (partai politik/perorangan) dengan pemilih (rakyat)

yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian

aktivitas politik yang meliputi kampanye, propaganda, iklan politik melalui

media massa cetak, audio (radio) maupun audio visual (televisi) serta media

lainnya seperti spanduk, pamflet, selebaran bahkan komunikasi antar pribadi

yang berbentuk face to face (tatap muka) atau lobby yang berisi

penyampaian pesan mengenai program, platform, azas, idiologi serta janji-

janji politik lainnya guna meyakinkan pemilih sehingga pada pencoblosan

dapat menentukan pilihannya terhadap salah satu partai politik/peserta

perorangan yang menjadi peserta pemilihan umum untuk mewakilinya

dalam badan legislatif maupun eksekutif (Firmanzah, 2008: 272)

Pemilu merupakan proses pengambilan kebijakan umum, mempunyai

makna penting, yaitu merupakan proses terbaik dibanding, misalnya sistem

karir atau pengangkatan untuk menentukan pemimpin politik, kemudian

memungkinkan pergantian kekuasaan secara berkala dan membuka akses


16

bagi aktor-aktor baru masuk ke dalam arena kekuasaan, dan memungkinkan

partisipasi rakyat secara langsung untuk menentukan pemimpin sesuai

dengan kehendak mereka.

Pemilihan umum adalah pemberian suara oleh rakyat melalui pencoblosan

atau pencontrengan tanda gambar untuk memilih wakil-wakil rakyat

menjadi anggota legislatif, atau menjadi kepala pemerintahan. Fungsi

pemilu adalah mengatur prosedur seseorang untuk dipilih menjadi anggota

legislatif atau kepala pemerintahan. Sementara tujuan dari pemilu ada tiga :

a) Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan

dan alternatif kebijakan umum.

b) Mekanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat

kepada legislatif maupun eksekutif sehingga integrasi masyarakat

tetap terjamin.

c) Sarana memobilisasikan atau menggalang dukungan rakyat terhadap

negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.

Menurut UU Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa Pemilihan

Umum selanjutnya disebut Pemilu, adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat

yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu


17

dalam UUD 1945 Pasal 22 E ayat 1 diartikan bahwa Pemilihan Umum

dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap

lima tahun sekali.

Pemilu sebagaimana kita pahami merupakan perwujudan dari negara yang

menganut sistem demokrasi. Sutoro Eko (2006) mengemukakan bahwa

pemilu yang demokratis (kompetitif, liberal, dan partisipatif)

membutuhkan partisipasi pemilih yang rasional-otonom, yaitu pemilih

yang menggunakan hak pilihnya secara bebas, terbuka, dan mandiri

dengan menggunakan referensi secara rasional berdasarkan idiologi dan

program partai.

Eep Syaepulah Fatah (1997) mengatakan bahwa pemilu yang demokratis

harus memiliki dua syarat yaitu :

a) Ada pengakuan terhadap hak pilih universal, semua warga negara,

tanpa pengecualian yang bersifat politik dan idiologis, diberi hak

untuk memilih dan dipilih dalam pemilu.

b) Ada keleluasaan untuk membentuk tempat penampungan bagi

pluralitas aspirasi masyarakat.

Deskripsi pemilu yang dilaksanakan pada negara dengan sistem

demokratis dapat kita perbandingkan dengan negara yang menggunakan

sistem sebaliknya sehingga dapat terlihat diferensiasi antara keduanya,

dengan membandingkannya dengan pemilu yang dilaksanakan pada

negara dengan sistem tidak demokratis dapat dilihat pada tabel 2 berikut.
18

Tabel 2.2
Pelaksanaan Pemilu Menurut Tipe Sistem Politik

Sistem Politik Sistem politik Sistem Politik


Kategori
Demokrasi Otoriterian Totaliterian
Berkala, tak
Keberkalaan Berkala Berkala, tak berkala
berkala
Hak Pilih Seleksi
Ada batasan
(memilih Universal sentralistis,
idiologis dan politis
Dan dipilih terkomando
Dikendalikan, ada
Pendaftaran Bebas/otonom, Terkomando, over
mobilisasi,
Pemilih non birokratis birokratis
birokratis
Terkomando,
Penempatan Otonom/bebas, Terkendali, top
dropping
calon bottom up down
sentralistik
Penentuan Bebas, terbatas,
Bebas otonom Terkomando
pilihan politik mobilisasi
Persepsi
Dihargai sebagai Dianggap destruktif,
terhadap Subversi
pilihan politik diberi sanksi
golput
Disupervisi
Independen, Alat kekuasaan
kekuasaan, tidak
Komite pemilu representatif, negara/partai,
representatif,
netral tidak representatif
memihak
Penghitungan Transparan terbatas, Tertutup,
Jujur, transparan
suara manipulatif manipulatif
Sumber : Eep Saepulloh Fatah, 1997.

2.2 Konsep Pemilu

2.2.1 Pengertian Pemilu

R. William Liddle (Efriza, 2012:358) menyatakan bahwa:

“Dalam sistem pemerintahan demokrasi, Pemilu sering dianggap


sebagai penghubung antara prinsip kedaulatan rakyat dan praktik
pemerintahan oleh sejumlah elit politik. Setiap warga negara yang
telah dianggap dewasa dan memenuhi persyaratan menurut UU,
dapat memilih wakil-wakil mereka di parlemen, termasuk para
pimpinan pemerintahan. Kepastian bahwa hasil pemilihan itu
mencerminkan kehendak rakyat diberikan oleh seperangkat
jaminan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan Pemilu.”
19

Selanjutnya Aurel Croissant (Andrianus Pito, 2013:298-299). juga

memberikan pendapatnya mengenai Pemilu. Croissant menegaskan

bahwa:

“Pemilu adalah kondisi yang diperlukan bagi demokrasi. Tetapi,


Pemilu saja tidak menjamin demokrasi, karena demokrasi
memerlukan lebih dari sekedar Pemilu. Namun, demokrasi
perwakilan sangat tergantung pada Pemilu. Pemilu bukan hanya
seharusnya mencerminkan kehendak rakyat dan mengintegrasikan
warga negara ke dalam proses politik saja, melainkan juga
meligitimasi dan mengontrol kekuasaan pemerintahan. Sarana
penting untuk mencapai sasaran-sasaran ini ialah sistem Pemilu.

Indria Samego (dalam Efriza, 2012:359) menyatakan Pemilu dapat

disebut juga sebagai pasar politik (political market). Lebih lanjut

beliau menegaskan bahwa:

“Pemilu adalah pasar politik tempat individu atau masyarakat


berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial (perjanjian
masyarakat) antara peserta Pemilu (partai politik – parpol)
dengan pemilih (rakyat) yang memiliki hak pilih setelah terlebih
dahulu melakukan serangkaian aktivitas politik yang meliputi
kampanye dsb. guna meyakinkan pemilih sehingga pada
pencoblosan dapat melakukan pilihannya terhadap salah satu
parpol yang menjadi peserta Pemilu untuk mewakilinya dalam
badan legislatif maupun eksekutif.”
Robert M. MacIver dkk (dalam Andrianus Pito, 2013:299).

memberikan gagasannya mengenai Pemilu. Menurutnya:

“Pada umumnya mereka memilih antara calon-calon yang tidak


diajukan mereke sendiri. Organisasi partai menguasai bagian yang
terbesar dari seleksinya. Partai hanya memberikan kepada rakyat,
pemutusan antara calon-calonnya dan calon-calon partai lain.
Kandidat yang “merdeka” sangat dipersulit dan sekurang-
kurangnya ia membaurkan persoalan. Seleksi oleh partai adalah
jauh daripada suatu proses yang demokratis. Ia dipengaruhi oleh
pertimbangan-pertimbangan; jasa yang telah diberikan dalam hal
keuangan atau dengan cara lain kepada organisasi, tentang gengsi
yang melekat pada golongan-golongan keluarga yang terkenal,
tentang kesediaan calon untuk menaati perintah partai dan tentang
20

keinginan-keinginan daripada pemimpin-pemimpin inti pusat


partai yang mengendalikan partai.”

Beberapa hal dikaitkan oleh Sigit Pamungkas (2009: 3-4) sehingga

Pemilu menjadi sesuatu konsep yang penting. Alasan-alasannya

antara lain:

“Pertama, Pemilu menjadi mekanisme terpenting bagi


keberlangsungan demokrasi perwakilan. Ia adalah mekanisme
tercanggih yang ditemukan agar rakyat tetap berkuasa atas
dirinya. Kedua, Pemilu menjadi indikator negara demokrasi.
Bahkan, tidak ada satupun negara yang mengklaim dirinya
demokratis tanpa melaksanakan Pemilu sekalipun negara itu pada
hakikatnya adalah otoriter. Ketiga, Pemilu penting dibicarakan
juga terkait dengan implikasi-implikasi yang luas dari Pemilu.
Dalam gelombang ketiga demokratisasi, Pemilu menjadi suatu
cara untuk memperlemah dan menghakhiri rezim-rezim otoriter.”

Pemilu pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012

tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah

sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemilu sejatinya adalah proses demokratisasi sebuah bangsa. Karena

dengan adanya Pemilu dapat menyalurkan hasrat rakyat untuk

memberikan suaranya kepada negaranya sehingga rakyat merasa

sudah memberikan partisipasinya dalam bidang politik dan bernegara

serta memberikan ruang gerak bagi pemerintah dan penguasa agar

tidak dicap (diberi label otoriter).


21

2.2.2 Asas dan Fungsi Pemilu

Asas-asas Pemilu (Andrianus Pito, 2013:311-312) diantaranya:

a. Berkala; Pemilu dilaksanakan secara teratur sesuai dengan

konstitusi dan ketentuan yang diatur oleh negara yang

bersangkutan.

b. Langsung; Pemilih mempunyai hak untuk secara langsung

memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya,

tanpa perantara dalam memilih wakil-wakil yang akan duduk di

lembaga perwakilan rakyat dan di pemerintahan.

c. Umum; Pemilu diikuti oleh setiap orang yang sudah memenuhi

syarat.

d. Bebas; Ketika memberikan suara, pemilih tidak mendapat

tekanan dari pihak manapun yang memungkinkan dia

memberikan suara tidak sesuai dengan hati nuraninya.

e. Rahasia; Kerahasiaan pemberi suara atas calon atau organisasi/

parpol peserta Pemilu yang dipilihnya tidak akan diketahui oleh

siapapun, termasuk panitia pemungutan suara.

f. Jujur; Tidak diperbolehkan terjadi kecurangan-kecurangan dalam

Pemilu, baik oleh penyelenggara yang memanipulasikan suara-

suara untuk kepentingan parpol/organisasi tertentu maupun para

peserta Pemilu.

g. Adil; Perlakuan yang sama akan didapat oleh penyelenggaraan

dan peserta setiap diadakannya Pemilu.


22

Andrew Haywood (dalam Pamungkas, 2009:4-5) merumuskan fungsi

Pemilu dalam dua perspektif yaitu :

2.1 Perspektif bottom-up;

Pemilu dalam perspektif ini dilihat sebagai sarana politisi dapat

dipanggil untuk bertanggung jawab dan ditekan untuk

mengantarkan bagaimana kebijakan merefleksikan opini publik.

Termasuk dalam perspektif bottom-up diantaranya adalah fungsi

Pemilu sebagai rekrutmen politisi dan membentuk pemerintahan.

2.2 Perspektif top-down.

Pemilu dilihat sebagai sarana elit melakukan kontrol terhadap

rakyat agar tetap tanpa gerak/diam (quiescent), dapat ditundukkan

(malleable) dan pada akhirnya dapat diperintah (governable).

Selain itu, Pemilu juga menjadi sarana dimana elit dapat

memanipulasi dan mengontrol massa. Termasuk dalam perspektif

top-down fungsi Pemilu adalah sebagai memberikan legitimasi

kekuasaan.

Lebih lanjut dinyatakan bahwa, selain kedua perspektif di atas yang

bersifat vertikal, terdapat juga fungsi Pemilu lainnya yang bersifat

horizontal. Kedua fungsi tersebut yakni pertama sebagai arena

pengelolaan konflik kepentingan dan kedua sebagai sarana menciptakan

kohesi dan solidaritas sosial. Slogan asas Pemilu pada masa Orde Baru

disingkat menjadi Luber, setelah bergulirnya Orde Reformasi

ditambahkan kata dibelakangnya dengan Jurdil. Pelaksanaan asas Luber


23

dan Jurdil ini tidak bisa langsung kita berikan pada saat Pemilu

berlangsung, karena memang harus banyak hal yang dikaji untuk bisa

mengatakan bahwa Pemilu tersebut sudah maksimal menggunakan asas

Luber dan Jurdil.

2.2.3 Kualitas dan Tujuan Pemilu

Pemilu dikatakan demokratis apabila memiliki makna. Istilah

bermakna bagi Axel Hadenius (dalam Andrianus Pito, 2013: 314)

merujuk pada tiga kriteria yaitu keterbukaan, ketepatan dana dan

keefektifan Pemilu. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa partisipasi

politik yang bermakna dari rakyat demi tujuan legitimasi vertikal dari

kekuasaan politik dan akuntabilitas pemegang kekuasaan politik

kepada warga negara juga memerlukan tambahan hak-hak politik

yang efektif. Masih dalam sumber yang sama, Elklit dan Svensson

(dalam Andrianus Pito, 2013:314) menambahkan Pemilu hanya akan

kompetitif bila secara hukum (de jure) tidak menetapkan pembatasan

dalam rangka untuk menyingkirkan calon atau kelompok tertentu atas

alasan politik.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar Pemilu dapat menjadi

parameter demokrasi yakni pertama, Pemilu yang demokratis akan

memperkuat legitimasi dan kredibilitas pemerintahan hasil Pemilu;

kedua, konflik akibat ketidakpuasan hasil Pemilu dapat ditekan

karena Pemilu dapat dipertanggungjawabkan secara baik kepada


24

publik; dan ketiga, dalam beberapa kasus dapat meningkatkan

partisipasi politik karena apatisme yang disebabkan oleh kecurangan

dalam Pemilu dapat dinetralisir (Pamungkas, 2009:10-11).

Daniel Sparingga (dalam Andrianus Pito, 2013:302) memberikan

empat dari tujuh prinsip pelaksanaan Pemilu yang demokratis antara

lain tersedianya kesempatan bagi setiap warga negara untuk

berpartisipasi; memungkinkan setiap pemilih dapat menentukan

pilihannya tanpa adanya intimidasi; mampu menyediakan mekanisme

dimana partai-partai berkompetisi secara sehat dan fair; dan

mengadakan Pemilu sebagai sarana damai untuk mengadakan

perubahan.

Selanjutnya Robert A. Dahl (dalam Pamungkas, 2009:11) pada

tulisannya berjudul A Preface to Democratic Theory, menyebutkan

kriteria Pemilu yang demokratis yang dklasifikasikan meliputi

kriteria sebelum, selama dan setelah pemilihan. Lebih lengkap Dahl

menyampaikan:

“Sebelum pemilihan (prevoting period), Pemilu yang demokratis


adalah (1) Setiap pemilih merasakan seperangkat alternatif,
setidaknya satu darinya dianggap sebagai lebih baik dari alternatif
yang dijadwalkan, dan dapat memilih alternatif yang disukainya dari
yang dijadwalkan ketika pemungutan suara. (2) Semua individu
memiliki informasi yang identik tentang alternatif.

Sementara itu, selama pemilihan (voting period), syarat Pemilu yang

demokratis meliputi:
25

“(1) Setiap anggota organisasi melakukan tindakan yang


diasumsikan merupakan ekspresi dari preferensi diantara alternatif
yang dijadwalkan, misalnya, pemungutan suara. (2) Dalam tabulasi
ekspresi ini (suara), pembobotan ditentukan kepilihan masing-
masing individu (3) Alternatif dengan jumlah suara terbanyak
dinyatakan sebagai pemenang.

Pada masa setelah pemilihan (postvoting period), Pemilu demokratis

meliputi syarat:

(1) Alternatif (pemimpin politik) dengan jumlah suara terbanyak


menggantikan alternatif (pemimpin politik) dengan hasil suara yang
lebih sedikit. (2) Keputusan dari penyelenggara pemilihan
dilaksanakan."

Tujuan Pemilu, seperti dikemukakan oleh Ramlan Surbakti (dalam

Pito, 2013:308-309) antara lain :

1. Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin

pemerintahan dan alternatif kebijakan umum;

2. Sebagai mekanisme memindahkan konflik kepentingan dari

masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat yang terpilih

melalui partai-partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi

masyarakat tetap terjamin;

3. Pemilumerupakansaranamemobilisasikandanatau

menggalangkan dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintah

dengan jalan ikut serta dalam proses politik.

Kualitas dan tujuan Pemilu sebenarnya juga terletak pada

terwakilinya atau tidak aspirasi pemilih setelah pemenang pesta

demokrasi merengkuh tampuk kepemimpinan. Apakah dalam kurun


26

waktu lima tahun benar-benar terwakili aspirasi rakyat ataukah para

pemimpin tersebut mengalami gejala amnesia politik.

2.2.4 Penyelenggara Pemilu

Pada Pemilu yang demokratis keberadaan lembaga penyelenggara

Pemilu yang terpercaya adalah sangat penting. International IDEA

(Pamungkas, 2009: 47-48) menjabarkan kredibilitas lembaga

penyelenggara Pemilu dapat dijaga apabila memperhatikan sejumlah

hal dalam desain dan cara bertindak. Pertama, independen dan

ketidak-berpihakan. Kedua, efisiensi dan keefektifan. Ketiga,

profesionalisme.

Terdapat variasi bagaimana model penyelenggara Pemilu didesain.

Peter Harris dalam Pamungkas (2009:50) membagi beberapa model

desain kelembagaan penyelenggara Pemilu:

1. Pendekatan pemerintah;

Model ini menempatkan penyelenggara Pemilu dalam

kementerian dan berwenang untuk melaksanakan dan mengatur

Pemilu dan menggunakan seluruh sumber daya dalam

kementerian dan layanan sosial untuk melaksanakan tugasnya itu.

2. Pendekatan pengawasan atau hukum;

Kementerian ditugaskan untuk melaksanakan proses Pemilu

tetapi diawasi oleh KPU yang independen yang terdiri dari

hakim-hakim yang terpilih.


27

3. Pendekatan mandiri;

Model ini menempatkan lembaga penyelenggara Pemilu bersifat

independen yang secara langsung dipercaya oleh menteri, komite

dalam parlemen atau oleh parlemen.

4. Pendekatan multi-partai.

Model ini menempatkan semua partai politik yang terdaftar

sebagai peserta Pemilu menugaskan wakil-wakil mereka dalam

KPU nasional.

Khusus di Indonesia saat ini sesuai dengan Undang-undang Nomor

15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dikenal adanya 3 (tiga)

lembaga penyelenggara Pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum

(KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) sebagai

lembaga pengadil penyelenggara Pemilu apabila ada pelanggaran

kode etik.

2.2.5 Pengawasan Pemilu

Keberadaan Lembaga pengawas Pemilu menjadi ciri khas Indonesia.

Negara-negara yang berpengalaman menyelenggarakan Pemilu yang

demokratis, tidak memiliki lembaga pengawas. Pengawasan pemilu

di negara-negara lain dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum

(KPU) yang menjadi event organizer sekaligus pengawas pemilu.


28

Bahkan di sejumlah negara, KPU diberikan ”power” quasiyudisial

sehingga dapat memutus pelanggaran pemilu (Harun Husein, 2014:

600).

Termasuk penyelenggaraan Pemilu tahun 1955 (yang kerap dianggap

paling demokratis sepanjang Pemilu di Indonesia) tidak memakai

Lembaga Pengawas Pemilu. Namun, pihak-pihak yang merancang

peraturan tentang Pengawas Pemilu melihat adanya posisi yang

strategis dalam upaya menegakkan Pemilu yang Luber Jurdil.

Keberadaan Lembaga Pengawas Pemilu di Indonesia dimulai sejak

diberlakukannya UU Nomor 2 tahun 1980 tentang Perubahan UU

Nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan

Permusyawaratan Rakyat/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah

diubah dengan UU Nomor 4 tahun 1975. (Harun Husein, 2014: 601)

Menurut UU Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara

Pemilihan Umum Pasal 1 ayat 16 dinyatakan bahwa Bawaslu adalah

lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas mengawasi

penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI). Bawaslu memiiliki perangkat organisasi

antara lain Bawaslu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu)

Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan

(PPL) –berada di wilayah desa/kelurahan atau sebutan lainnya serta

Pengawas Pemilu Luar Negeri (PPLN) yang bertugas di negara lain.


29

Upaya yang dilakukan Bawaslu sebenarnya tidak jauh berbeda

dengan yang dilakukan oleh pengamat/pemantau Pemilu atau bahkan

masyarakat biasa, yakni sama-sama mengkritik, menghimbau

ataupun memberikan protes apabila terdapat hal-hal yang diduga

akan melanggar ketentuan undang-undang. Namun yang

membedakan adalah pengawas Pemilu menjadi satu-satunya lembaga

yang berhak menerima laporan dari masyarakat, melakukan kajian

terhadap dugaan pelanggaran tersebut serta meneruskannya kepada

pihak-pihak yang terkait (KPU, Kepolisian atau DKPP).

Lebih lanjut dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 dinyatakan bahwa

Bawaslu beserta jajarannya bertugas mengawasi penyelenggaraan

Pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran untuk

terwujudnya Pemilu yang demokratis. Sesuai dengan slogan yang

kerap disampaikan dalam berbagai forum Bawaslu yakni

“pencegahan berorientasi pada hasil dan penindakan berorientasi

pada proses”.

Pengawasan Pemilu menurut Pasal 1 Angka 25 Peraturan Bawaslu

Nomor 11 tahun 2014 tentang Pengawasan Pemilihan Umum adalah

kegiatan mengamati, mengkaji, memeriksa dan menilai proses

penyelenggaraan Pemilu sesuai peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut dalam Pasal 2 termaktub bahwa pengawasan Pemilu

bertujuan untuk:
30

a. Memastikan terselenggaranya Pemilu secara langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, adil, dan berkualitas, serta dilaksanakannya

peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu secara

menyeluruh;

b. Mewujudkan Pemilu yang demokratis; dan

c. Menegakkan integritas, kredibilitas penyelenggara, transparansi

penyelenggaraan dan akuntabilitas hasil Pemilu.

Lebih lanjut daalam Peraturan Bawaslu Nomor 11 tahun 2014

disebutkan bahwa Pengawasan Pemilu dilaksanakan dengan

menggunakan strategi pencegahan dan penindakan [Pasal 8 Ayat

(1)]. Pencegahan pelanggaran adalah tindakan, langkah-langkah,

upaya mencegah secara dini terhadap potensi pelanggaran yang

mengganggu integritas proses dan hasil Pemilu (Pasal 1 Angka 26).

Sedangkan penindakan adalah serangkaian proses penanganan

pelanggaran yang meliputi temuan, penerimaan laporan,

pengumpulan alat bukti, klarifikasi, pengkajian, dan/atau pemberian

rekomendasi, serta penerusan hasil kajian atas temuan/laporan

kepada instansi yang berwenang untuk ditindaklanjuti (Pasal 1 angka

27).

Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu pada tiap

tingkatan adalah:
31

1. Pengawasan terhadap persiapan penyelenggaraan Pemilihan

Umum antara lain:

a. Jadwal tahapan;

b. Logistik Pemilu;

c. Sosialisasi;

d. Daerah pemilihan dan jumlah kursi.

2. Pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemilu yakni berkenaan

dengan:

a. Daftar pemilih;

b. Partai politik;

c. Penetapan peserta;

d. Pencalonan;

e. Kampanye;

f. Logistik Pemilu;

g. Pungut hitung suara;

h. Pergerakan surat suara;

i. Rekapitulasi suara;

j. Pungut hitung suara (ulang, lanjutan dan susulan);

k. Penetapan hasil Pemilu

l. Pengawasan terhadap tindak-lanjut temuan dan laporan

pelanggaran;

m. Pengawasan terhadap putusan pengadilan dan DKPP serta

pelaksanaan rekomendasi pengawas Pemilu.


32

2.3 Penegakkan Hukum dan Unsur-unsur Penegakkan Hukum Pemilu

Penegakkan hukum adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan

secara rasional, memenuhi keadilan dan berdaya guna, dalam rangka

menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang

dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non

hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainya. Apabila

sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan

dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk

mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan

dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang (Arief,

2005: 109).

Penegakkan hukum dalam pandangan Soerjono Soekanto (1983:15),

dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau faktor perundang-

undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang

terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan

dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang

mendukung peroses penegakkan hukum. Keempat, faktor masyarakat yakni

lingkungan sosial dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi

dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya,

cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan

hidup. Secara konseptual, inti penegakkan hukum terletak pada kegiatan

menyelesaikan hubungan nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah


33

yang menetap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap

akhir. Untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian

pergaulan hidup.

Sudarto (1983:5) menyatakan bahwa penegakkan hukum seringkali

dibedakan menjadi tiga yaitu:

a. Penegakkan hukum yang bersifat preventif

b. Penegakkan hukum bersifat represif

c. Penegakkan hukum bersifat kuratif.

Penegakkan hukum yang bersifat represif, dimaksudkan untuk menghadapi

onrecth in potenle (perbuatan melawan hukum yang bersifat potensial) dan

bersifat kriminogen, akan tetapi bila kondisinya sangat potensial, maka yang

nampak disebut sebagai police hazard yang perlu mendapat perhatian

khusus. Penegakkan hukum yang bersifat kuratif, pada hakekatnya juga

merupakan usaha preventif dalam arti seluas-luasnya ialah dalam usaha

menanggulangi kejahatan oleh sebab itu untuk membedakanya sebenarnya

tindakan kuratif ini merupakan segi lain dari tindak represif, namun lebih

dititikberatkan pada tindakan pada orang yang melakukan tindak kejahatan.

Penegakkan hukum yang berkeadilan penuh dengan landasan etis dan

moral. Penegasan ini bukanlah tidak beralasan, selama kurun waktu lebih

dari empat dasawarsa bangsa ini hidup dalam ketakutan, ketidakpastian

hukum, dan hidup dalam hubungan yang tidak sempurna antara sesamanya.

Apa yang sesungguhnya dialami tidak lain adalah pencabikan moral bangsa
34

sebagai akibat dari kegagalan bangsa ini dalam menata manajemen

Pemerintahan yang berlandaskan hukum. Penegakkan hukum adalah proses

yang tidak sederhana, karena didalamnya terlibat subjek hukum yang

mempersepsikan hukum menurut kepentingan masing-masing, faktor moral

sangat berperan dalam menetukan corak hukum suatu bangsa. Hukum

dibuat tanpa landasan moral dapat dipastikan tujuan hukum yang

berkeadilan tidak mungkin akan terwujud.

Penegakkan hukum khususnya hukum pidana apabila dilihat dari suatu

proses kebijakan pada hakekatnya melalui beberapa tahap yaitu:

a. Tahap Formulasi

b. Tahap Aplikasi

c. Tahap eksekusi

Pada tahap kebijakan penegakkan hukum tersebut terkandung didalamnya

tiga kekuasaan atau kewenangan, yaitu kekuasaan Legislatif pada tahap

formulasi, yaitu kekuasaan dalam menetapkan atau merumuskan perbuatan

apa yang dapat diberikan sanksi. Pada tahap ini kebijakan legislatif

menetapkan sistem pemidanaan, pada hakekatnya sistem pemidanaan itu

merupakan sistem kewenangan atau kekuasaan menjatuhkan pidana. Kedua

adalah kekuasaan Yudikatif pada tahap aplikasi dalam menerapkan hukum

pidana, dan kekuasaan eksekutif pada tahap eksekusi dalam hal

melaksanakan hukum pidana. (Arief, 2005: 30).


35

Unsur-unsur yang terlibat dalam penegakkan hukum dibagi ke dalam dua

golongan besar, yaitu; unsur-unsur yang mempunyai tingkat keterlibatan

yang agak jauh dan yang dekat (Raharjo, 2009: 24). Dengan mengambil

badan-badan pembuat undang-undang dan polisi sebagai wakil, Chambliss

dan Seidman (dalam Raharjo 2009: 24) berpendapat bahwa unsur-unsur

yang mempunyai keterlibatan dalam penegakkan hukum dapat diidentifikasi

dalam suatu matriks sebaga berikut:

Tabel 2.3
Unsur-Unsur yang Mempunyai Tingkat Keterlibatan
dalam Penegakkan Hukum

Terlibat dekat Terlibat jauh


Unsur-unsur
Legislatif Polisi Pribadi Sosial
Pembuat undang-undang + - - -
Penegak hukum - + - -
Lingkungan - - + +
Sumber: identifikasi unsur-unsur dan lingkungan dalam proses hukum (adaptasi
dari Chambliss & Seidman, dalam Raharjo, 2009: 24)

Peranan peraturan hukum cukup besar dalam hubunganya dengan

pelaksanaan peraturan yang dilakukan oleh para penegak hukum. Dalam

kalimat yang agak ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan atau

kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya

sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan tersebut dibuat.

Misalnya, badan legislatif membuat peraturan yang sulit dilaksanakan

dalam masyarakat, maka sejak saat itu sebetulnya badan tersebut telah

menjadi arsitek bagi kegagalan para penegak hukum dalam menerapkan

peraturan tersebut. Hal ini, misalnya dapat terjadi karena peraturan tersebut
36

memerintahkan dilakukanya sesuatu yang tidak didukung oleh sarana yang

mencukupi. Akibatnya, tentu saja peraturan tersebut gagal dijalankan oleh

penegak hukum. Dapat juga terjadi bahwa pembuat undang-undang

mengeluarkan peraturan yang mewajibkan rakyat untuk melakukan sesuatu,

katakanlah untuk menanam jenis tanaman tertentu. Perintah peraturan

tersebut kemudian ternyata mendapatkan perlawanan dari rakyat.

Berhadapan dengan situasi tersebut, tindakan penegak hukum tergantung

dari tanggapan yang diberikan terhadap tantangan pada waktu itu. Penegak

hukum dapat tetap bertekad untuk menjalankan keinginan serta perintah

yang terkandung dalam peraturan. Bertindak demikian berarti penegak

hukum harus menggunakan kekuatan untuk memaksa. Sebaliknya, dapat

juga terjadi penegak hukum menyerah pada perlawanan rakyat, yang berarti

penegak hukum mengendorkan penerapan dari peraturan tersebut. Uraian di

atas telah dapat menjelaskan apa yang dimaksud dari peranan badan

legislatif dalam peroses penegakan hukum, dan memasukkan badan tersebut

sebagai salah satu unsur dalam penegakkan hukum.

Van Doorn (dalam Raharjo 2009:27) mengisyaratkan bahwa agar dalam

pembahasan mengenai penegakkan hukum memberikan perhatian yang

seksama terhadap peranan dari faktor manusia. Faktor manusia menjadi

penting karena hanya melalui faktor tersebut penegakkan hukum itu

dijalankan. Kutipan pendapat dari Van Doorn di muka memberikan dasar

untuk membicarakan masalah lingkungan pribadi dari sang penegak hukum.

Dengan baik sekali Van Doorn mengatakan bahwa dalam kedudukanya


37

sebagai pemegang fungsi di dalam rangka suatu organisasi, seorang penegak

hukum cenderung untuk menjalankan fungsinya menurut tafsirnya sendiri

yang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Penekanan pada pengaruh

lingkungan terhadap pribadi penegak hukum, sama sekali tidak dapat

ditinggalkan. Pembahasan terhadap penegakkan hukum tanpa melibatkan

pengaruh lingkungan dirasakan masih ada kekuranganya.

Menurut Satjipto Rahardjo (2009: 35), penegakkan hukum pada hakikatnya

merupakan proses perwujudan ide-ide (ide keadilan, ide kepastian hukum,

dan ide kemanfaatan sosial) yang bersifat abstrak menjadi kenyataan. Tiga

unsur yang perlu diperhatikan dalam penegakan hukum, yaitu:

1. Kepastian hukum, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel

terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan

dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.

Masyarakat mengharap adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih

tertib.

2. Kemanfaatan hukum adalah untuk manusia, maka hukum atau penegak

hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, jangan

sampai timbul keresahan di dalam masyarakat karena pelaksanaan atau

penegak hukum.

3. Keadilan hukum itu tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat

umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sebaliknya

keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.


38

Penelitian ini akan memfokuskan pada aspek penegakkan hukum pemilu

khususnya pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 di

Provinsi Lampung. Penegakkan hukum pemilu dimaknai sebagai proses

penanganan pelanggaran pemilu. Merujuk undang-undang Nomor 8 Tahun

2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD bentuk

pelanggaran pemilu ada 3 (tiga) jenis yaitu pertama, Pelanggaran Kode Etik

Penyelenggara Pemilu adalah pelanggaran terhadap etika Penyelenggara

Pemilu yang berpedomankan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan

tugas sebagai Penyelenggara Pemilu. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara

Pemilu diselesaikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

(DKPP) dengan tata cara penyelesaian yang dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan undang-undang tentang Penyelenggara Pemilu.

Kedua, Pelanggaran Administrasi Pemilu adalah pelanggaran yang meliputi

tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi

pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu di luar

tindak pidana pemilu dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.

Dugaan pelanggaran administrasi ini diteruskan kepada KPU dan

jajarannya, dan harus ditindaklanjuti selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari

sejak direkomendasikan oleh Pengawas Pemilu.

Ketiga, Tindak Pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau

kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur

dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012. Dugaan pelanggaran tindak


39

pidana pemilu diteruskan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia

untuk ditindaklanjuti sejak direkomendasikan oleh Pengawas Pemilu.

2.3.1 Tindak Pidana Pemilihan Umum

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara

Pemilihan Umum tidak secara jelas menyebutkan pengertian tindak

pidana Pemilihan Umum. Secara definitif pengertian tindak pidana

pemilu sulit ditentukan, Sebagaimana yang berlaku bagi terminologi

hukum, untuk tindak pidana pemilu juga tidak ada satu rumusan

yang dapat memberikan definisi atau pengertian secara utuh tentang

tindak pidana Pemilu, yang sekaligus dapat dijadikan pegangan baku

atau standar bagi semua orang. Namun demikian salah satu rumusan

pasal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa "setiap orang, badan

hukum, ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum,

mengacaukan, menghalang-halangi, atau mengganggu jalannya

pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang

merupakan perbuatan pidana Pemilu“. Menurut Topo Santoso

(2006:4), pelaku tindak pidana Pemilu adalah setiap orang, badan

hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum,

mengacaukan, menghalang-halangi atau menggangu jalannya

pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang.


40

Pengertian dan cakupan dari tindak pidana Pemilu secara sederhana

dapat dikatakan bahwa ada tiga kemungkinan, yaitu: pertama, semua

tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu yang

diatur didalam undang-undang Pemilu. Kedua, semua tindak pidana

yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu yang diatur baik di

dalam, maupun di luar undang-undang Pemilu, (misalnya di dalam

undang-undang partai politik ataupun di dalam KUHP), dan ketiga,

semua tindak pidana yang terjadi pada saat Pemilu (t erm asuk

pelanggaran lalu lintas, penganiayaan (kekerasan), perusakan dan

sebagainya (dalam Santoso, 2006:5).

Topo Santoso (2006: 6) mendefinsikan kembali pengertian tindak

pidana pemilihan umum adalah semua tindak pidana yang berkaitan

dengan penyelenggaran Pemilu yang diatur dalam undang-undang

Pemilu maupun di dalam undang-undang tindak pidana Pemilu.

Lebih khusus lagi tindak pidana Pemilu yakni tindak pidana yang

berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu yang diatur dalam

Undang-Undang Pemilu (termasuk juga didalam undang-udang

tindak pidana Pemilu). Karena fokusnya adalah tindak pidana,

dengan begitu berbagai kecurangan yang terkait dengan

penyelenggaraan Pemilu, tetapi bukan termasuk tindak pidana tidak

menjadi objek yang dikaji. Seperti diketahui bahwa tidak semua

kekurangan atau praktik curang dalam pemilu oleh pembuat undang-

undang dikualifikasi sebagai tindak pidana Pemilu.


41

Topo Santoso tidak memberikan redefenisi tindak pidana pemilu

pada saat tahapan pemilu sudah selesai, misalnya pada saat tahapan

kasus itu di tingkat penyelidikan belum selesai, atau pada tahap

penuntutan kasus tersebut masih berada di tangan Kejaksaan namun

tidak ditangani lagi hingga ke Pengadilan karena penyelenggaraan

pemilu sudah berakhir. Berkenaan dengan masalah tersebut maka

Dedi Mulyadi (2012: 418) melakukan redefenisi tindak pidana

pemilu, terhadap pengertian tindak pidana pemilu menjadi dua

kategori:

1. Tindak pidana pemilu khusus adalah semua tindak pidana yang

berkaitan dengan pemilu dan dilaksanakan pada tahapan

penyelenggaraan pemilu baik yang diatur dalam undang-undang

pemilu maupun dalam undang-undang tindak pidana pemilu.

2. Tindak pidana pemilu umum adalah semua tindak pidana yang

berkaitan dengan pemilu dan dilaksanakan pada tahap

penyelenggaraan pemilu baik yang diatur dalam UU Pemilu

maupun dalam UU Tindak Pidana Pemilu dan penyelesaiannya

di luar tahapan pemilu melalui Peradilan Umum.

Pengertian pertama yang dikemukakan oleh Dedi Mulyadi tersebut

dikhususkan bagi penyelesaian perkara pidana pemilu yang

disesuaikan dengan tahapan pemilu, sedangkan pengertian yang

kedua untuk perkara pada saat tahapan pemilu selesai, perkara


42

tersebut masih dalam proses baik penyidikan, prapenuntutan, dan

penuntutan.

Pada konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu

merupakan undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur

tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu. Secara umum KUHP

(lex generalis) juga telah mengaturnya dalam Pasal 148 sampai

dengan Pasal 153 KUHP. Hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi

terhadap hampir seluruh perbuatan/tindakan dalam setiap tahapan

pelaksanaan Pemilu yang menghambat terlaksananya Pemilu.

Meskipun penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu

pada dasarnya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana/KUHAP (lex generalis) namun dalam UU Pemilu juga

menentukan mekanisme/hukum acaranya sendiri (lex specialis)

mengingat segala penyelesaian yang berkaitan dengan pemilu

temasuk penegakkan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan

cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan

demokrasi dapat dilaksanakan secara demokratis dan bersih.

2.4 Fungsi Tata Kelola dan Akomodasi

Dalam formulasi kebijakan pengawasan pemilu, Bawaslu perlu

memperhatikan dan menganalisis dinamika dari dalam maupun dari luar

organisasi agar tercipta kebijakan yang baik bagi seluruh elemen dan tidak

melanggar undang-undang yang berlaku. Tesis ini juga menggunakan


43

analisis fungsi tata kelola dan akomodasi untuk melihat Peran Bawaslu

Provinsi Lampung dalam penegakkan Hukum Pemilu pada Pemilu Anggota

DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 di Provinsi Lampung. Tata kelola

merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran,

kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran, serta adanya saling mengontrol

yang dilakukan oleh komponen terkait. Sutiono (2004) memberi contoh

bahwa UNDP (United Nations Development Program) mendeskripsikan

adanya 6 indikator untuk kesuksesan tata kelola yang baik yaitu:

1. Mengikutsertakan semua (Partisipasi);


2. Transparan dan Bertanggung jawab (Akuntabel);
3. Efektif dan Adil;
4. Menjamin supremasi hukum;
5. Menjamin bahwa prioritas politik, sosial, dan ekonomi didasarkan
pada konsensus masyarakat;
6. Memperhatikan yang paling lemah dalam pengambilan keputusan.

2.4.1 Transparansi dan Akuntabilitas

Konsep transparansi didefinisikan oleh Hardjasoemantri (2003)

yaitu “seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi

perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan

informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan

dipantau.” Krina P. (2003) mendefinisikan transparansi sebagai

“prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang

memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan,

yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan

pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai.” Dari pengertian


44

transparansi yang dikemukakan tersebut dapat ditarik kesimpulan

bahwa prinsip transparasi itu sesungguhnya dibangun atas informasi

yang bebas. Bebas diakses oleh siapa saja yang membutuhkan, dan

pemerintah berkewajiban untuk membeberkan informasi tersebut,

terutama yang berkaitan dengan segala sesuatu yang diputuskan

dan/atau telah dilakukan dan tidak dilakukan untuk urusan publik.

Kendati demikian, perlu diketengahkan bahwa pemerintah yang

transparan tidak saja berarti adanya keterbukaan informasi dan akses

bagi masyarakat (karena boleh jadi ada informasi yang asimetris),

tetapi penekanannya lebih pada makna “tanggung jawab”. Tanggung

jawab untuk memberikan informasi yang benar dan relevan kepada

siapa saja yang membutuhkan atau kepada publik. Hal ini sejalan

dengan pendapat Haryatmoko (2011:112) yang memberikan

pemahamannya terhadap konsep transparasi bahwa, “organisasi

pemerintah bisa mempertanggungjawabkan apa yang telah

dilakukan dengan memberi informasi yang relevan atau laporan

yang terbuka terhadap pihak luar atau organisasi mandiri (legislator,

auditor, publik) dan dipublikasikan.” Dengan pemahaman demikian

maka, sesungguhnya transparansi merupakan bentuk akuntabilitas

pemerintah yang sangat rasional untuk menghadapi sistem ekonomi

dan administrasi. Untuk mencapai tata kelola yang baik, kadang-

kadang diperlukan suatu gerakan perubahan budaya organisasi

secara simultan, yaitu gerakkan


45

yang mampu mengubah semua kelemahan dan ketidakberdayaan

organisasi menjadi lebih handal dan produktif. Dengan demikian

kadang-kadang diperlukan reorganisasi dan pemberdayaan di semua

lini organisasi sehingga dengan tata kelola yang baik akan dapat

dicapai kesuksesan organisasi sebagaimana dicita-citakan.

Selanjutnya Akuntabilitas (accountability) yang berarti “pemerintah

harus bertanggung jawab secara moral, hukum dan politik atas

kebijakan dan tindakan-tindakannya kepada rakyat” (Haryatmoko,

2011:106). Ini berarti akuntabilitas dipakai untuk mengukur atau

menilai apakah “mandat rakyat” dijalankan dengan baik.

Paling tidak ada tiga aspek penting yang ditekankan dalam

pengertian akuntabilitas, yakni: (i) tekanan akuntabilitas pada

pertanggungjawaban kekuasaan melalui keterbukaan pemerintah

atau adanya akses informasi bagi pihak luar organisasi pemerintah

(G.E. Caiden, 1988); (ii) memahami akuntabilitas sekaligus sebagai

tanggung jawab dan liabilitas sehingga tekanannya lebih pada sisi

hukum, ganti rugi, dan organisasi” (J.G. Jobra, 1989); (iii) tekanan

lebih pada hak warga negara untuk bisa mengoreksi dan ambil

bagian dalam kebijakan publik sehingga akuntabilitas disamakan

dengan transparansi (B. Guy Peters, 1989).

Dari tiga aspek tersebut di atas dapat dipahami bahwa akuntabilitas

berarti kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau


46

untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan pemerintah

kepada pihak yang memiliki hak atau wewenang untuk meminta

pertanggungjawaban atau keterangan. Melalui penerapan prinsip

ini, suatu proses pengambilan keputusan atau kinerja dapat

dimonitor, dinilai dan dikritisi oleh warga negara karena pada

prinsipnya kekuasaan bersumber dari rakyat. Akuntabilitas juga

menunjukkan adanya traceableness yang berarti dapat ditelusuri

sampai ke bukti dasarnya serta reasonableness yang berarti dapat

diterima secara logis.

Ada tiga bentuk akuntabilitas menurut Guy Peters (1989) dalam

Haryatmoko (2011:109), yakni:

a. Akuntabilitas disamakan dengan transparansi: tuntutan terhadap


organisasi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan apa yang
telah dilakukan;
b. Akuntabilitas dipahami dalam kerangka tanggung jawab, yaitu
menjamin perilaku pejabat agar sesuai dengan deontologi yang
mengatur pelayanan publik;
c. Akuntabilitas dipahami sebagai kemampuan merespon kebutuhan
public atau kemampuan pelayan publikmbertanggungjawab
terhadap pemimpin politiknya;

Dari tiga bentuk akuntabilitas ini, menurut penulis fokus kajian

tentang akuntabilitas lebih ditekankan pada bentuk pertama dan

kedua. Sedangkan pada bentuk ketiga, meskipun penting karena

sering bisa bertentangan mengenai kepentingan publik, hanyalah

merupakan konsekuensi dari definisi pertama. Gagasan dasar

akuntabilitas bertolak dari upaya memperluas lingkup partisipasi

masyarakat dalam pengambilan keputusan kebijakan publik.


47

Menurut Taliziduhu Ndraha, konsep akuntabilitas berawal dari

konsep pertanggungjawaban, konsep pertanggungjawaban sendiri

dapat dijelasakan dari adanya wewenang. Wewenang yang

dimaksud ialah kekuasaan yang sah. Menurut Weber ada tiga

macam tipe ideal wewenang, pertama wewenang tradisional, kedua

wewenang karismatik, dan ketiga wewenang legal rasional. Tipe

wewenang ketiga inilah yang menjadi basis wewenang pemerintah.

Dalam perkembanganya, muncul konsep baru tentang wewenang

yang dikembangkan oleh Chester I. Barnard yang bermuara pada

prinsip dasar bahwa setiap penggunaan wewenang harus dapat

dipertanggungjawabkan.

Mohamad Mahsun membedakan akuntabilitas dalam arti sempit dan

arti luas. Akuntabilitas dalam pengertian yang sempit dipahami

sebagai bentuk pertanggungjawaban yang mengacu kepada siapa

organisasi (atau pekerja individu) bertangungjawab dan untuk apa

organisasi bertanggungjawab. Sedangkan pengertian akuntabilitas

dalam arti luas dapat dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang

amanah (agen) untuk mempertanggungjawabkan, menyajikan,

melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang

menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah

(principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta

pertanggungjawaban tersebut.
48

Menurut The Oxford Advance Learner’s Dictionary sebagaimana

dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara, akuntabilitas diartikan

sebagai “required or excpected to give an explanation for one’s

action” Akuntabilitas diperlukan atau diharapkan untuk memberikan

penjelasan atas apa yang telah dilakukan. Dengan demikian

akuntabilitas merupakan kewajiban untuk memberikan

pertanggungajwaban atau menjawab dan menerangkan kinerja atas

tindakan seseorang atau badan hukum atau pimpinan suatu

organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk

meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Miriam Budiarjo

mendefinisikan akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban pihak

yang diberi kuasa mandat kepada pihak yang memberi mereka

mandat. Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan

menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada

berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan

kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi.

Sedang Sedarmayanti mendefinsiskan akuntabilitas sebagai suatu

perwujudan dari kewajiban untuk mempertanggungjawabkan

keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam

mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui media

pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik. Lembaga

Administrasi Negara menyimpulkan akuntabilitas adalah kewajiban

seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan


49

pengelolaan dan pengendalian sumberdaya dan pelaksanaan

kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian

tujuan yang telah ditetapkan melalui pertanggungjawaban secara

periodik. Akuntabilitas dibedakan dalam beberapa macam atau

tipe. Jabra dan Dwidevi sebagaimana dijelaskan oleh Sadu

Wasistiono mengemukakan adanya lima perspektif akuntabilitas

yaitu:

a. Akuntabilitas administratif/organisasi adalah suatu bentuk


pertanggungjawaban antara pejabat yang berwenang dengan
unit bawahanya dalam hubungan hierarki yang jelas.
b. Akuntabilitas legal, akuntabilitas jenis ini merujuk pada domain
public dikaitkan dengan proses legislatif dan yudikatif.
Bentuknya dapat berupa peninjauan kembali kebijakan yang
telah diambil oleh pejabat publik maupun pembatalan suatu
peraturan oleh institusi yudikatif. Ukuran akuntabilitas legal
adalah peraturan perundang undangan yang berlaku.
c. Akuntabilitas politik. Dalam tipe ini terkait dengan adanya
kewenangan pemegang kekuasaan politik untuk mengatur,
menetapkan prioritas dan pendistribusian sumber-sumber dan
menjamin adanya kepatuhan melaksanakan tanggungjawab
administrasi dan legal. Akuntabilitas ini memusatkan pada
tekanan demokratik yang dinyatakan oleh administrasi publik.
d. Akuntabilitas professional, hal ini berkaitan dengan pelaksanaan
kinerja dan tindakan berdasarkan tolak ukur yang ditetapkan
oleh orang profesi yang sejenis. Akuntabilitas ini lebih
menekankan pada aspek kualitas kinerja dan tindakan.
e. Akuntabilitas moral. Akuntabilitas ini berkaitan dengan tata
nilai yang berlaku di kalangan masyarakat. Hal ini lebih banyak
berbicara tentang baik atau buruknya suatu kinerja atau tindakan
yang dilakukan oleh seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif
berdasarkan ukuran tata nilai yang berlaku setempat.

Polidano (1998) juga menawarkan kategorisasi baru yang disebutnya

sebagai akuntabilitas langsung dan akuntabilitas tidak langsung.

Akuntabilitas tidak langsung merujuk pada pertanggungjawaban

kepada pihak eksternal seperti masyarakat, konsumen atau kelompok

klien tertentu, sedangkan akuntabilitas langsung berkaitan dengan


50

pertanggungjawaban vertikal melalui rantai komando tertentu.

Polidano lebih lanjut mengidentifikasi 3 elemen utama akuntabilitas,

yaitu:

a. Adanya kekuasaan untuk mendapatkan persetujuan awal sebelum


sebuah keputusan dibuat. Hal ini berkaitan dengan otoritas untuk
mengatur perilaku para birokrat dengan menundukkan mereka di
bawah persyaratan prosedural tertentu serta mengharuskan adanya
otorisasi sebelum langkah tertentu diambil. Tipikal akuntabilitas
seperti ini secara tradisional dihubungkan dengan badan/lembaga
pemerintah pusat (walaupun setiap departemen/lembaga dapat
saja menyusun aturan atau standarnya masing-masing).

b. Akuntabilitas peran, yang merujuk pada kemampuan seorang


pejabat untuk menjalankan peran kuncinya, yaitu berbagai tugas
yang harus dijalankan sebagai kewajiban utama. Ini merupakan
tipe akuntabilitas yang langsung berkaitan dengan hasil
sebagaimana diperjuangkan paradigma manajemen publik baru
(new public management). Hal ini mungkin saja tergantung pada
target kinerja formal yang berkaitan dengan gerakan manajemen
publik baru.
c. Peninjauan ulang secara retrospektif yang mengacu pada analisis
operasi suatu departemen setelah berlangsungnya suatu kegiatan
yang dilakukan oleh lembaga eksternal seperti kantor audit,
komite parlemen, ombudsmen, atau lembaga peradilan. Bisa juga
termasuk badan-badan di luar negara seperti media massa dan
kelompok penekan. Aspek subyektivitas dan
ketidakterprediksikan dalam proses peninjauan ulang itu
seringkali bervariasi, tergantung pada kondisi dan aktor yang
menjalankannya. (sumber:http://mariathersiakara.blogspot.com/
2012/07/akuntabilitas dan transparansi-sebagai.html diakses pada
25 Mei 2015 pukul 09.20 WIB).

2.4.2 Efektivitas dan Keadilan

Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang

berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik.

Kamus ilmiah populer mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan

penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Efektivitas di


51

definisikan oleh para pakar dengan berbeda-beda tergantung

pendekatan yang digunakan oleh masing-masing pakar. Berikut ini

beberapa pengertian efektivitas dan kriteria efektivitas organisasi

menurut para ahli sebagai berikut:

1. Drucker (1964:5) mendefinisikan efektivitas yaitu melakukan

pekerjaan yang benar (doing the rights things).

2. Chung dan Megginson (1981:506, dalam Siahaan, 1999:17)

mendefinisikan efektivitas sebagai istilah yang diungkapkan

dengan cara berbeda oleh orang-orang yang berbeda pula.

Namun menurut Chung dan Megginson yang disebut dengan

efektivitas ialah kemampuan atau tingkat pencapaian tujuan

dan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan agar

organisasi tetap survive (hidup).

3. Pendapat Arens and Lorlbecke yang diterjemahkan oleh Amir

Abadi Jusuf (1999:765), mendefinisikan efektivitas sebagai

berikut: “Efektivitas mengacu kepada pencapaian suatu

tujuan, sedangkan efisiensi mengacu kepada sumber daya

yang digunakan untuk mencapai tujuan itu”. Sehubungan

dengan pendapat yang disampaikan oleh Arens dan Lorlbecke

tersebut, maka efektivitas dapat menjadi ukuran dalam rangka

tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan

sebelumnya.

4. Menurut Supriyono pengertian efektivitas, sebagai berikut:


52

“Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran suatu pusat

tanggung jawab dengan sasaran yang mesti dicapai, semakin

besar kontribusi daripada keluaran yang dihasilkan terhadap

nilai pencapaian sasaran tersebut, maka dapat dikatakan

efektif pula unit tersebut” (Supriyono, 2000:29).

5. Gibson dkk (1994:31) memberikan pengertian efektivitas

dengan menggunakan pendekatan sistem yaitu (1) seluruh

siklus input-proses-output, tidak hanya output saja, dan (2)

hubungan timbal balik antara organisasi dan lingkungannya.

6. Menurut Cambel J.P., pengukuran efektivitas secara umum dan

yang paling menonjol adalah :

1. Keberhasilan program
2. Keberhasilan sasaran
3. Kepuasan terhadap program
4. Tingkat input dan output
5. Pencapaian tujuan menyeluruh (Cambel, 1989:121)

Sehingga efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan

operasional dalam melaksanakan program-program kerja yang sesuai

dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Secara

komprehensif, efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat

kemampuan dari suatu lembaga atau organisasi untuk dapat

melaksanakan semua tugas-tugas pokoknya atau untuk mencapai

sasaran yang telah ditentukan sebelumnya (Cambel,1989:47).

Menurut Hani Handoko (2000) efektivitas merupakan hubungan

antara output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan)


53

output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi,

program atau kegiatan. Efektivitas berfokus pada outcome (hasil)

program atau kegiatan yang dinilai efektif apabila output yang

dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan.

Mengingat keanekaragaman pendapat mengenai sifat dan komposisi

dari efektivitas, maka tidaklah mengherankan jika terdapat banyak

pertentangan pendapat sehubungan dengan cara meningkatkan,

mengatur dan bahkan cara menentukan indikator efektivitas, sehingga

dengan demikian akan lebih sulit lagi untuk menentukan bagaimana

cara mengevaluasi efektivitas. Dari beberapa uraian definisi efektivitas

menurut para ahli tersebut dapat dijelaskan bahwa efektivitas

merupakan taraf sampai sejauh mana peningkatan kesejahteraan

manusia dengan adanya suatu program tertentu, karena kesejahteraan

manusia merupakan tujuan dari proses pembangunan. Adapun untuk

mengetahui tingkat kesejahteraan tersebut dapat pula dilakukan dengan

mengukur beberapa indikator spesial misalnya: pendapatan,

pendidikan, ataupun rasa aman dalam mengadakan pergaulan

(Soekanto, 1989: 48). Dari beberapa pendapat dan teori efektivitas yang

telah diuraikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam mengukur

efektivitas suatu kegiatan atau aktivitas perlu diperhatikan beberapa

indikator, yaitu pertama pemahaman program, kedua tepat sasaran,

ketiga tepat waktu, keempat tercapainya tujuan, dan keempat adanya

perubahan yang nyata (Sutrisno, 2007: 125).


54

2.4.3 Supremasi Hukum

Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum apabila negara

tersebut telah memiliki superioritas hukum yang dijadikan sebagai

aturan main. Dalam salah satu karyanya John Locke,

mengisyaratkan tiga unsur yang dapat dijadikan ukuran suatu negara

dapat disebut sebagai negara hukum antara lain:

1. Adanya pengaturan hukum yang mengatur bagaimana warga

negaranya dapat menikmati hak asasinya sendiri.

2. Terdapat suatu badan tertentu yang digunakan sebagai sarana

penyelesaian sengketa yang timbul di pemerintahan.

3. Terdapat suatu badan tertentu yang digunakan sebagai sarana

penyelesaian sengketa yang timbul di antara sesama anggota

masyarakat.

Indonesia telah menasbihkan dirinya sebagai negara hukum, dan

semua kegiatan di setiap sendi kehidupan negara didasarkan pada

kedaulatan hukum, hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat isi

dari Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945, yang merumuskan bahwa

Negara Indonesia adalah Negara hukum. Penghormatan khusus yang

dilakukan terhadap supremasi hukum yang bertujuan dengan

gencarnya pembangunan pada saat ini membentuk hukum dalam

artian perundang-undangan, akan tetapai perlu diingat kembali

bahwa bagaimana hukum tersebut dibentuk dengan sebenar-

benarnya dan dapat diberlakukannya dengan jalan yang positif.


55

Hukum dikatakan sebagai sarana penggerak apabila hukum mampu

diterima sebagai suatu sistem yang hidup dan berkembang pada

masyarakat, sehingga pelaksanaan hukum dan berlakunya hukum

tidak dapat dikatakan sebagai paksaan.

Supremasi hukum sendiri akan berarti dengan baik jika penegakkan

hukum berjalan dengan responsif. Dari sedikit penjabaran di atas

perlu kiranya kita mengetahui bahwa supremasi hukum penting

adanya untuk negara, oleh karenanya penting pula kita mengetahui

dengan jelas apa pengertian dari supremasi hukum itu secara

spesifik.

Berikut ini beberapa ahli yang berpendapat mengenai apa itu arti

dari supremasi hukum:

1. Hornby A.S. menyatakan bahwa supremasi hukum merupakan

kekuasaan tertinggi, dalam hal ini dapat diartikan lebih luas lagi

bahwa hukum sudah sepantasnya diletakkan pada posisi yang

tertinggi dan memiliki kekuasaan penuh dalam mengatur

kehidupan seseorang.

2. Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan bahwa supremasi hukum

merupakan upaya untuk menegakkan dan menempatkan hukum

pada posisi tertinggi yang dapat melindungi seluruh lapisan

masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun

termasuk oleh penyelenggara negara.


56

3. Abdul Manan menyatakan bahwa berdasarkan pengertian secara

terminologis tentang supremasi hukum, maka dapat disimpulkan

bahwa supremasi hukum adalah upaya atau kiat untuk

menegakkan dan memosisikan hukum pada tempat tertinggi dari

segala-galanya, menjadikan hukum sebagai panglima untuk

melindungi dan menjaga stabilitas kehidupan berbangsa dan

bernegara.

Rumusan sederhana yang dapat diberikan mengenai supremasi

hukum adalah sebuah pengakuan dan penghormatan penuh terhadap

superioritas hukum sebagai aturan main (rule of the game) dalam

seluruh aktivitas kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan

dan bermasyarakat yang dilakukan dengan jujur (fair play). Lantas

apa sesungguhnya tujuan dari supremasi hukum itu sendiri? Jelas

secara tinjauan supremasi hukum bertujuan untuk menjadikan

hukum sebuah kepala untuk melindungi dan menjaga stabilitas

kehidupan bangsa.

Adapun beberapa tujuan supremasi hukum adalah sebagai berikut:

1. Menjadi dasar tanggung jawab ahli hukum untuk dilaksanakan

dan harus dikerjakan tidak hanya untuk melindungi dan

mengembangkan hak-hak perdata dan politik perorangan dalam

masyarakat bebas, tetapi juga untuk menyelenggarakan dan

membina kondisi sosial, ekonomi, pendidikan dan kultural yang


57

dapat mewujudkan aspirasi rakyat serta meningkatkan integritas

sumber daya manusianya.

2. Menempatkan kebebasan individu sebagai prinsip dasar dari

organisasi sosial, untuk menjamin kemerdekaan individu.

3. Memberi keadilan sosial dan perlindungan terhadap harkat martabat

manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum yang pada

hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap

“rasa” keadilan bagi rakyat Indonesia.

4. Menjamin terjaga dan terpeliharanya nilai-nilai moral bangsa

Indonesia.

5. Melindungi kepentingan warga.

6. Menciptakan masyarakat yang demokratis.

7. Memberikan jaminan terlindunginya hak-hak individu dalam

bernegara dan bermasyarakat. (Sumber:Error! Hyperlink

reference not valid.menurut-para-ahli/ Diakses pada Jumat,

Tanggal 19 Juni Pukul 00.09 WIB.)

2.4.4 Akomodasi

Akomodasi adalah cara menyelesaikan pertentangan antara dua

pihak tanpa menghancurkan salah satu pihak, sehingga kepribadian

masing-masing pihak tetap terpelihara. Akomodasi memiliki

beberapa bentuk, berikut ini adalah bentuk akomodasi:

1. Koersi, bentuk akomodasi yang terjadi karena adanya pemaksaan

kehendak pihak tertentu kepada pihak lain yang lebih lemah.


58

2. Kompromi yaitu suatu bentuk akomodasi dimana pihak yang

berselisih saling mengurangi tuntutan supaya menemukan

sebuah penyelesaian, serta seluruh pihak bersedia untuk

memahami dan merasakan keadaan pihak yang lain.

3. Arbitrasi yaitu suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang

terlibat dalam perselisihan tidak dapat mencapai kompromi

sendiri. Untuk itu, akan diundang pihak ketiga yang tidak

memihak/netral untuk mengusahakan penyelesaian pertentangan

tersebut. Pihak ketiga disini dapat pula ditunjuk atau

dilaksanakan oleh sebuah badan yang mempunyai wewenang.

4. Mediasi yaitu bentuk akomodasi yang mirip dengan arbitrasi.

Tetapi, pihak ketiga yang bertindak sebagai penengah dan tidak

berwenang untuk memberi keputusan penyelesaian terhadap

pertikaian pada kedua belah pihak.

5. Konsiliasi yaitu suatu bentuk akomodasi untuk mempertemukan

keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya

suatu persetujuan bersama.

6. Toleransi yaitu bentuk akomodasi tanpa adanya kesepakatan

yang resmi. Biasanya terjadi karena adanya keinginan-keinginan

untuk sebisa mungkin menghindarkan diri dari pertikaian yang

dapat merugikan kedua belah pihak.

7. Stalemate yaitu suatu bentuk akomodasi pada saat kelompok

yang terlibat pertentangan mempunyai kekuatan seimbang.


59

8. Ajudikasi yaitu penyelesaian sengketa atau permasalahan melalui

jalur hukum atau pengadilan.

Akomodasi dilakukan dengan tujuan untuk:

a. Mengurangi pertentangan akibat perbedaan paham.

b. Mencegah meluasnya pertentangan untuk sementara waktu.

c. Mewujudkan kerja sama antara kelompok yang hidup terpisah.

Akomodasi adalah usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu

pertentangan. Akomodasi dilakukan dengan tujuan tercapainya

kestabilan dan keharmonisan dalam kehidupan. Akomodasi

sebenarnya merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan

tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan

kepribadiannya. Artinya, akomodasi merupakan bentuk penyelesaian

tanpa mengorbankan salah satu pihak. Adakalanya, pertentangan

yang terjadi sulit diatasi sehingga membutuhkan pihak ketiga

sebagai perantara. Misalnya, perkelahian antara dua orang siswa di

sekolah. Guru dapat menjadi perantara untuk mendamaikan kedua

siswa setelah guru mempelajari penyebab terjadinya perkelahian.

Tujuan akomodasi adalah sebagai berikut :

1. Mengurangi pertentangan antara orang perorangan atau

kelompok-kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham.

2. Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu

atau secara temporer.


60

3. Memungkinkan terwujudnya kerja sama antara kelompok-

kelompok sosial yang hidupnya terpisah sebagai akibat faktor-

faktor sosial psikologis dan kebudayaan.

4. Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok sosial yang

terpisah, misalnya lewat perkawinan campuran.

Istilah akomodasi digunakan dalam dua arti, yaitu sebagai suatu

keadaan dan suatu proses. Sebagai suatu keadaan, akomodasi berarti

adanya kenyataan suatu keseimbangan (equilibrium) hubungan antar

individu atau kelompok dalam berinteraksi sehubungan dengan

norma-norma sosial dan kebudayaan yang berlaku. Sebagai suatu

proses, akomodasi berarti sebagai usaha manusia untuk meredakan

atau menghindari konflik dalam rangka mencapai kestabilan

(menurut Soerjono Soekanto), atau suatu proses dalam hubungan-

hubungan sosial yang mengarah kepada adaptasi sehingga antar

individu atau kelompok terjadi hubungan saling menyesuaikan untuk

mengatasi ketegangan-ketegangan (menurut Gillin and Gillin).

Dengan demikian dapat dikatakan akomodasi merupakan suatu

proses sosial atau interaksi guna mencapat keseimbangan sosial

dalam masyarakat baik antar individu, kelompok atau golongan guna

meredakan ketegangan yang timbul akibat adanya perselisihan.


61

Akomodasi memiliki berbagai macam bentuk yaitu :

1. Koersi (Coercion)

Adalah suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan

karena adanya paksaan. Hal ini terjadi disebabkan salah satu

pihak berada dalam keadaan yang lemah sekali bila

dibandingkan dengan pihak lawan. Contohnya: perbudakan,

penjajahan. Kemudian koersi secara psikologis adalah, tekanan

yang diberikan kepada para renteinir atau debt collcector kepada

para peminjam dana.

2. Kompromi (Compromize)

Suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat

masing-masing mengurangi tuntutannya agar dicapai suatu

penyelesaian terhadap suatu konflik yang ada. Sikap untuk

dapat melaksanakan compromise adalah sikap untuk bersedia

merasakan dan mengerti keadaan pihak lain. Contohnya:

kompromi antara sejumlah partai politik untuk berbagi

kekuasaan sesuai dengan suara yang diperoleh masing-masing.

Lolosnya seorang tahanan atau terdakwa dari meja hijau

(dakwaan).

3. Arbitrasi (Arbitration)

Cara mencapai compromise dengan cara meminta bantuan pihak

ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh badan yang

berkedudukannya lebih dari pihak-pihak yang bertikai.

Contohnya: konflik antara buruh dan pengusaha


62

dengan bantuan suatu badan penyelesaian perburuan Depnaker

sebagai pihak ketiga.

4. Mediasi (Mediation)

Cara menyelesaikan konflik dengan jalan meminta bantuan

pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini hanyalah

mengusahakan suatu penyelesaian secara damai yang sifatnya

hanya sebagai penasihat. Sehingga pihak ketiga ini tidak

mempunyai wewenang untuk memberikan keputusan-keputusan

penyelesaian yang mengikat secara formal. Contoh kasus ini

adalah penyelesaian sengketa tanah yang dibawa ke kepala

desa, atau mediasi yang dilakukan oleh Pemerintah Finlandia

dalam penyelesaian konflik antara pemerintah Indonesia dengan

pihak Gerakkan Aceh Merdeka.

5. Konsiliasi (Conciliation)

Suatu usaha mempertemukan keinginan-keinginan pihak-pihak

yang bertikai untuk mencapai persetujuan bersama. Contohnya:

pertemuan beberapa partai politik di dalam lembaga legislatif

untuk duduk bersama menyelesaikan perbedaan-perbedaan

sehingga dicapai kesepakatan bersama. Contoh lain konsultasi

antara pengusaha dengan KPP mengenai Pajak yang tertunda.

6. Toleransi (Tolerance)

Sering juga dinamakan toleran-participation yaitu suatu bentuk

akomodasi tanpa adanya persetujuan formal, akomodasi yang


63

dilandasi sikap saling menghormati kepentingan sesama

sehingga perselisihan dapat dicegah atau tidak terjadi. Dalam

hal ini, toleransi timbul karena adanya kesadaran masing-

masing individu yang tidak direncanakan. Contohnya: beberapa

orang atau kelompok menyadari akan keberadaan pihak lain

dalam rangka menghindari pertikaian. Dalam masyarakat Jawa

dikenal dengan istilah “tepa selira” atau tenggang rasa agar

hubungan sesamanya bisa saling menyadari kekurangan diri

masing-masing. Contoh lain, penghormatan perbedaan hari raya

keagamaan baik antar umat seagama maupun beda agama.

7. Stalemate

Suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang bertikai atau

berkonflik karena kekuatannya seimbang kemudian berhenti

pada suatu titik tertentu untuk tidak melakukan pertentangan.

Dalam istilah lain dikenal dengan “Moratorium” yaitu kedua

belah pihak berhenti untuk tidak saling melakukan pertikaian.

Namun, moratorium tidak bisa dilakukan antara dua belah pihak

yang kurang seimbang kekuatannya.

8. Pengadilan (Adjuction)

Merupakan bentuk penyelesaian perkara atau perselisihan di

pengadilan oleh lembaga negara melalui peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Contohnya penyelesaian kasus

sengketa tanah, atau kasus perceraian di pengadilan.


64

2.5 Pendekatan Kelembagaan Baru (New Institutionalism)

2.5.1 Sejarah Pendekatan Kelembagaan Baru

Sejak ribuan tahun yang lalu para filosof Yunani telah menyadari

bahwa antara institusi yang satu dengan yang lainnya saling

berinteraksi. Abad 19-an Max weber mencoba mengkaji birokrasi

dan institusi secara sistematis. Madzab institusionalisme di Amerika

Serikat berkembang sejak tahun 1880-an dipengaruhi oleh madzab

institusianlisme yang berkembang di Jerman dan pemikiran-

pemikiran Thorten Zveblen (1899). Dalam perkembangannya karena

pertentangan internal para institusionalis, menyebabkan pengaruh

pemikiran para institusionalis memudar di kalangan akademisi di

Amerika Serikat.

Para pengkritik menunjukkan bahwa institusionalisme tradisional

memiliki keterbatasan dari segi lingkup dan metode, serta hanya

berkutat pada institusi pemerintahan, dan juga beroperasi dengan

pemahaman terbatas dalam hal subyek masalahnya. Fokusnya

terbatas pada aturan formal dan organisasi serta terhadap struktur

resmi pemerintahan dan bukannya pada konvensi informal serta

batasan institusional yang lebih luas tentang kepemerintahan (Marsh

dan Stoker, 2012: 110).

Semakin kuatnya pengaruh kelompok marginalis dalam kajian

akademik di banyak perguruan tinggi besar di Amerika Serikat


65

seperti Universitas Havard dan Universitas Chicago membuat

pengaruh institusionalis semakin memudar. Pada tahun 1920-an

tinggal beberapa perguruan tinggi seperti di University of Colombia

(dengan tokohnya Wisley C Mitchell) dimana pengaruh para

institusioanalis masih dirasakan. Situasi mulai berubah pada era

tahun 1980-an dengan kemunculan kelompok ilmuwan New

Institutionalism (sering disebut Neo Institutionalism). Pendekatan

new institutionalism (institusionalisme baru) ini memutar balik

asumsi pendekatan traditional institusionalisme. Goodin dan

Klingemann (1996: 25) menggambarkan institusionalisme baru

sebagai revolusi berikutnya dalam ilmu politik. Lebih lanjut

dijelaskan:

“Institusionalisme baru beroperasi dengan definisi yang lebih


ekspansif terhadap subyek masalahnya, dan dengan kerangka
teoritis yang lebih eksplisit.Institusi politik tidak lagi disamakan
dengan organisasi politik; institusi dipahami lebih luas untuk
menunjukkan suatu pola perilaku yang berulang dan
stabil.Institusionalisme baru berkutat dengan konvensi informal
kehidupan politik dan juga dengan konstitusi formal dan struktur
organisasional. Diberikan perhatian baru terhadap cara institusi
memuat nilai dan hubungan kekuasaaan, dan terhadap rintangan
sekaligus peluang yang merintangi desain institusional. Yang sangat
penting, institusional baru mencermati bukan hanya dampak
institusi terhadap individu, tetapi interaksi antara institusi dengan
individu.” (Marsh dan Stoker, 2012: 108)

Di bidang sosiologi-politik beberapa tokoh seperti Paul Di Maggio

dan Walter Powell memberikan sumbangan pemikiran dengan

melakukan pengkajian ulang atas pemikiran Weber. Saat ini banyak

penelitian Institusionalisme-baru mengkaji pengaruh besar institusi


66

terhadap perilaku manusia melalui aturan dan norma yang dibangun

oleh institusi. Berkaitan dengan pengaruh institusi terhadap perilaku

manusia, ada dua anggapan yaitu: pertama menyebabkan individu

berusaha memaksimalkan manfaat aturan dalam institusi; yang

kedua perilaku sekedar menjalankan tugas sesuai aturan.

Institusionalisme baru memperkaya dengan menambahkan aspek

kognitif, yaitu bahwa individu dalam institusi berperilaku tertentu

bukan karena takut pada hukuman atau karena sudah menjadi

kewajiban (duty), melainkan karena konsepsi individu mengenai

norma-norma soaial dan tatanan nilai yang ada.

2.5.2 Ciri Khusus Paradigma Kelembagaan Baru

Ciri pembeda paradigma institusionalisme baru adalah dalam melihat

hakekat organisasi. Paradigma institusionalime baru memandang

organisasi lebih merupakan sistem sosial yang bentuknya

dipengaruhi oleh sistem simbolis, budaya dan aspek sosial yang lebih

luas dimana organisasi tersebut berada. Organisasi dibentuk oleh

lingkungan institusional yang mengitarinya. Pengamatan tentang

kehidupan organisasi harus dilihat sebagai totalitas simbol, bahasa,

atau ritual-ritual yang melingkupinya. Oleh sebab itu pendekatan

institusionalisme baru menolak anggapan bahwa organisasi dan

kontek institusionalnya yang lebih besar bisa dipahami dengan

melakukan agregasi atas pengamatan terhadap perilaku individu.


67

Kajian yang dilakukan oleh para institusioanalis menyatakan bahwa

struktur organisasional seharusnya bukan untuk dipahami sebagai

adaptasi rasional terhadap faktor-faktor kontijensi dalam modus

teknikal instrumentalis, tapi lebih dari itu harus juga dipahami

dengan merujuk pada norma, kewajiban legitimasi, mitos,

kepercayaan dan faktor–faktor teknikal instrumentalitas (Donaldson,

dalam Sri Rejeki, 2015). Tentu saja normal jika mitos, kepercayaan

dan faktor budaya lainnya bisa saja konsisten ataupun tidak konsisten

dengan faktor teknikal instrumentalitas.

Hal yang terpenting adalah tidak ada pemikiran apriori bahwa kedua

macam pemikiran tersebut harus konsisten atau tidak konsisten satu

sama lainnya. Pemikiran tersebut bersifat independen. Teori-teori

institusional justru sering menjadi teori tandingan dari teori

kontijensi struktural. Kajian empiris para institusionalis, terutama

pendukung teori kontijensi menggambarkan organisasi sebagai hal

yang irrasional. Namun, tidak berarti bahwa teori institusional

memiliki penjelasan yang sama dengan teori non fungsionalis

lainnya. Analisis institusionalisme cenderung melihat parameter

sosial (Societalparameters). Para Institusionalis seperti DiMaggio

dan Powell berteori bahwa organisasi terbentuk oleh kekuatan–

kekuatan diluar dirinya melalui proses peniruan (mimikri) dan

ketaatan (compliance). Teori DiMaggio dan Powell tersebut adalah

contoh konsep institusional isomorphisme yang terdapat pada


68

paradigma institusional dan di dalamnya berisi macam-macam teori

dan konsep yang berbeda.

Robert E. Goodin (dalam Budiardjo, 2012: 98-99) merumuskan inti

dari Pendekatan Institusionalme Baru sebagai berikut:

1. Aktor dan kelompok melaksanakan proyeknya dalam suatu


konteks yang dibatasi secara kolektif.
2. Pembatasan-pembatasan itu terdiri dari institusi-institusi, yaitu a)
pola norma dan pola peran yang telah berkembang dalam
kehidupan sosial, dan b) perilaku dari mereka yang memegang
peran itu. Peran itu telah ditentukan secara sosial dan mengalami
perubahan terus-menerus.
3. Sekalipun demikian, pembatasan-pembatasan ini dalam banyak
hal juga memberi keuntungan bagi individu atau kelompok dalam
mengejar proyek mereka masing-masing.
4. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang membatasi kegiatan
individu dan kelompok, juga memengaruhi pembentukan
preferensi dan motivasi dari aktor dan kelompok-kelompok.
5. Pembatasan-pembatasan ini mempunyai akar historis, sebagai
peninggalan dari tindakan dan pilihan-pilihan masa lalu.
6. Pembatasan-pembatasan ini mewujudkan, memelihara, dan
memberi peluang serta kekuatan yang berbeda kepada individu
dan kelompok masing-masing.

2.5.3 Madzab Institusionalisme Baru

Madzab atau aliran pada Pendekatan Institusionalisme Baru antara

lain normative institusionalism, rational choice institusionalism,

historical institusionalism, constructivis institusionalism, networking

institusionalism, economic institusionalism, radical institusionalism.

Lima aliran pertama menonjol di bidang sosiologi dan politik, aliran

keenam merupakan cabang institusionalisme di bidang ekonomi, dan

aliran ketujuh memiliki pengaruh di bidang sosiologi maupun

ekonomi.
69

a. Normative Institusionalism

Institisionalisme Normatif merupakan asal usul institusionalisme

di bidang sosiologi, oleh karena itu sering disebut juga

sociological institusionalism. Istilah normatif berasal dari sudut

pandang peneliti yang menganggap ada norma atau standar

perilaku (logic of appripriateness) yang menentukan kewajaran

bertindak para aktor dalam institusi. Para aktor tidak bisa

seenaknya bertindak memaksimalkan utility function dia, atau

berperilaku kalkulatif seperti pandangan aliran pilihan rasional

(rattional choice theory) karena para aktor tersebut terikat tatanan

nilai yang ada yang menentukan apakah tindakan para aktor

tersebut bisa diterima (acceptable) di dalam lingkup institusi

tersebut. Institusionalisme normatif menekankan pada konteks

budaya di mana organisasi menjalankan fungsinya serta tata nilai

yang memberi inspirasi para aktor.

Institusionalisme normatif menggambarkan organisasi sebagai

system of belief. Para aktor lebih berfungsi sebagai anggota

asosiasi profesi atau corp daripada mahluk kalkulatif dan selalu

memaksimalkan kepuasan pribadinya. Para individu terikat pada

nilai-nilai umum dan akan menentukan tingkat kecenderungan

mereka untuk berubah dan juga kapasitas organisasi untuk

berproduksi.
70

b. Rational Choice Institutionalism

Rational Choice Institutionalism memiliki dua sudut pandang yang

lazim dianut dalam melihat institusi. Pertama, melihat institusi

sebagai kendala yang bersifat eksogenus, yaitu institusi merupakan

kumpulan aturan yang mengatur perilaku individu di dalam

organisasi dan masing-masing individu tidak memiliki daya untuk

merubahnya. Sudut pandang kedua melihat aturan dalam institusi

diciptakan sendiri (bisa diubah-ubah) oleh para pemain di

dalamnya. Pada sudut pandang ini institusi merupakan cara

ekuilibirium dalam melakukan sesuatu.

Menurut aliran Rational Choice Institutionalism untuk memahami

institusi dengan baik kita harus memahami interaksi antar individu,

dimana individu bersifat kalkulatif dan berhadapan dengan game

teory. Arti kalkulatif yaitu pilihan tindakan yang dilakukan

individu adalah dalam rangka mengoptimalkan kepuasan individu

tersebut. Aliran Institusionalisme Pilihan Rasional ini berusaha

menggabungkan metode berpikir dalam paham individualisme

dengan institusional. Fokus riset dalam aliran ini adalah bagaimana

merancang institusi sebagai instrumen untuk membatasi efek

negatif perilaku individu yang cenderung memaksimalkan

kepuasan pribadinya.
71

c. Networking Institutionalism (Christopher Ansell dalam Rhodes:


2006, 75-86).

Dalam beberapa hal, ''jaringan kelembagaan'' adalah istilah

oxymoron. Kata “jaringan” cenderung menyiratkan informalitas

dan personalisme, sedangkan kata ''kelembagaan'' menunjukkan

formalitas dan impersonalisme. Perspektif jaringan juga cenderung

lebih kepada perilaku dari institusi. Namun demikian, adalah wajar

untuk memahami jaringan sebagai lembaga informal (meskipun

mungkin dalam beberapa kasus menjadi formal). Dalam hal ini,

jaringan dapat dianggap sebagai lembaga, sejauh interaksi perilaku

atau pertukaran antara individu atau organisasinya merupakan pola

yang stabil atau berulang. Peter Hall menyatakan pandangan

pendekatan kelembagaan sebagai variabel mediasi penting yang

mempengaruhi distribusi kekuasaan, pembangunan kepentingan

dan identitas, dan dinamika interaksi.

Tidak ada satu Paradigma Jaringan-Kelembagaan yang eksis, yang

terjadi adalah adanya diskusi yang tumpang tindih dalam ilmu

politik, teori organisasi, administrasi publik, sosiologi, dan

ekonomi. Namun ada empat asumsi dasar di berbagai uraian

tentang pendekatan jaringan kelembagaan, pertama dan paling

umum adalah prinsip perspektif relasional pada aksi sosial, politik,

dan ekonomi, kontras relasional dengan pendekatan atribusi

penjelasan sosial. Pada yang terakhir, fenomena yang dijelaskan


72

dalam hal atribut individu, kelompok, atau organisasi. Pendekatan

Jaringan Kelembagaan, sebaliknya, menekankan hubungan, yang

tidak dapat direduksi ke atribut individu sebagai unit dasar

penjelasan.

Asumsi dasar kedua adalah anggapan kompleksitas. Hubungan

antara individu, kelompok, dan organisasi diasumsikan kompleks,

dalam arti bahwa keterkaitan antara mereka tumpang tindih dan

lintas sektoral. Kelompok dan organisasi yang tidak rapi dibatasi,

tentu tidak menyatu, dan sering yang saling meniadakan. Asumsi-

dasar ketiga dari Pendekatan Jaringan Kelembagaan adalah bahwa

jaringan yang baik menjadi sumber daya dan juga kendala pada

perilaku. Sebagai sumber daya, mereka adalah saluran informasi

dan bantuan termobilisasi dalam mengejar keuntungan tertentu;

sebagai kendala, mereka adalah struktur dari pengaruh sosial dan

kontrol yang membatasi tindakan. Asumsi-dasar terakhir adalah

bahwa jaringan memobilisasi informasi, pengaruh sosial, sumber

daya, dan modal sosial dalam cara yang sangat dibedakan. Tidak

hanya kompleks, dunia sosial juga sangat bias. Jaringan

menyediakan akses ke sumber daya, informasi, dan dukungan yang

beraneka ragam.

Pendekatan Jaringan Kelembagaan menjadi kajian menarik dalam

ilmu politik karena pertama, para ilmuwan politik telah lama


73

tertarik mempelajari cara kerja dan pengaruh kekuasaan melalui

koneksi pribadi. Dalam hal ini “Jaringan Kelembagan” memiliki

daya tarik dengan menawarkan pendekatan yang sistematik. Kedua,

banyak masalah dalam ilmu politik melibatkan tawaran yang

kompleks dan hubungan koordinatif antara kelompok-kelompok

kepentingan, lembaga-lembaga publik, atau bangsa. Hubungan

dimaksud dapat berupa “koalisi”, ''faksi'' atau ''aliansi''. Dalam hal

ini pendekatan jaringan kelembagaan dapat digunakan untuk

menjelaskan dengan tepat pola hubungan politik dimaksud. Ketiga

pendekatan jaringan kelembagaan menolak setiap dikotomi

sederhana antara penjelasan individualis dengan berorientasi

kelompok. Ini menegaskan bahwa perilaku individu harus dipahami

secara kontekstual, tetapi menolak asumsi kesatuan perspektif

kelompok yang bermanfaat mengingat ketegangan dalam ilmu

politik antara pendekatan individualis dan berorientasi kelompok.

Makna dari istilah ''jaringan'' memberikan survei singkat dari teknik

yang digunakan untuk menganalisis jaringan, dan kemudian

berfokus pada domain substantif dalam jaringan kelembagaan yang

menonjol yaitu: (a) jaringan kebijakan; (b) organisasi; (c) pasar; (d)

mobilisasi politik dan gerakan sosial; dan (e) pengaruh sosial,

psikologi sosial, dan budaya politik.

Sebuah jaringan adalah satu set hubungan antara individu,

kelompok, atau organisasi. Suatu hubungan, misalnya,


74

persahabatan antara dua anggota Parlemen atau pertukaran

kerjasama antara dua lembaga-lembaga publik. Meskipun konflik

antara dua individu atau organisasi juga bisa dianggap sebagai

suatu hubungan, pendekatan jaringan kelembagaan cenderung lebih

memperhatikan jenis hubungan yang positif. Merujuk pada

perspektif Durkheimian pada solidaritas sosial, banyak penelitian

jaringan menekankan fokus kajian pada basis sosial dan basis

affectual dari suatu hubungan. Namun, hal ini tidak berarti bahwa

jaringan yang dimaksud harus jaringan yang memiliki solidaritas.

Jaringan mungkin saja hanya berupa pola interaksi atau koneksi.

Misalnya, dua kelompok pemangku kepentingan sering dapat

berinteraksi dalam konteks karena kebijakan atau dua LSM

mungkin berbagi direksi yang sama. Hubungan tersebut tidak

selalu menghasilkan solidaritas sosial dan mungkin penuh dengan

konflik, tetapi mereka menyiratkan kemungkinan bahwa koneksi

ini adalah saluran, bahkan mungkin secara tidak disengaja, untuk

informasi, ide, atau sumber daya. Interaksi yang intens di komisi

legislatif misalnya, mungkin saja bisa menjadi sumber saluran

informasi penting (terlepas apakah para pelaku yang terlibat

memiliki rasa saling bertanggung jawab). Interdependensi

menawarkan cara ketiga untuk menafsirkan jaringan. Misalnya,

salah satu pelobi mungkin memiliki informasi yang diperlukan

pelobi lain atau dua negara mungkin memiliki hubungan


75

perdagangan yang luas. Saling ketergantungan ini dapat

memotivasi mereka untuk terlibat dalam hubungan pertukaran satu

sama lain. Pertukaran yang sukses pada gilirannya, menghasilkan

norma-norma yang kuat dari kewajiban bersama yang bersifat

timbal balik (kadang-kadang disebut sebagai ''pertukaran umum'').

Keunggulan daya tawar dalam hubungan politik membuat

pendekatan pertukaran pada jaringan ini menjadi sesuatu ruang

wajar pada ilmu politik.

Banyak analisis jaringan yang berkaitan dengan sifat global

jaringan sebagai struktur sosial yang tunggal, sebagai agregasi

yang saling berhubungan. Dalam jaringan analitik, hirarki

organisasi adalah salah satu yang khas dari jenis jaringan. Bawahan

yang terhubung ke koordinat super mereka, pada gilirannya, akan

mencapai ke seseorang yang ada di posisi puncak piramida.

Namun, banyak diskusi, terutama dalam teori organisasi,

menunjukkan bahwa jaringan berbeda dari hierarki. Seperti yang

ditunjukkan oleh Kontopoulos (1993), perbedaannya adalah bahwa

hierarki dibedakan dengan ''banyak-ke-satu'' hubungan, di mana

banyak bawahan terkait dengan hanya satu yang super ordinat.

Sebuah jaringan sebaliknya ''terjerat'' pada jaringan hubungan yang

ditandai dengan hubungan ''banyak-ke-banyak''. Ansell (2000)

menggunakan kriteria hubungan “banyak-ke-banyak” ini untuk

mengkarakterisasi kebijakan daerah di Eropa. Dengan demikian,


76

jaringan dapat dibedakan baik oleh isi dari hubungan (relasi

berulang positif, dibangun di atas saling kewajiban, kasih sayang,

kepercayaan, rasa timbal balik, dll) dan dengan struktur global

(saling berhubungan, hubungan “banyak-ke-banyak”).

Teknik menonjol dari analisis jaringan sosial yaitu identifikasi

Sentralitas dan '' Sub-kelompok ''. Sentralitas adalah ukuran yang

sangat berguna karena mengidentifikasi kepentingan relatif atau

keunggulan aktor individu dalam jaringan berdasarkan informasi

dari semua aktor dalam jaringan. Berbagai ukuran sentralitas telah

dikembangkan (derajat, kedekatan, betweenness, dll) yang

berusaha untuk menangkap aspek yang berbeda dari apa artinya

menjadi aktor sentral. Teknik analisis jaringan lainnya yaitu dengan

mengidentifikasi '' sub-kelompok '' dalam jaringan, teknik ini

sangat berguna untuk mengidentifikasi perpecahan sosial atau

faksi. Teknik-teknik ini mengidentifikasi orang-orang dari sub-

kelompok yang relatif inklusif (misalnya analisis komponen) untuk

orang-orang yang jauh lebih ketat (misalnya deteksi klik).

Analisis jaringan sosial juga membedakan antara ''kohesi'' dan

''kesetaraan'' sebagai dasar untuk sub-kelompok. Pendekatan kohesi

menunjukkan bahwa sub-kelompok didasarkan pada kerapatan

ikatan. Oleh karena itu, semakin besar jumlah ikatan dalam

kelompok, seharusnya lebih kohesif. Sebaliknya, pendekatan


77

kesetaraan berpendapat bahwa sub-kelompok akan terdiri dari

aktor yang memiliki hubungan setara dengan pihak ketiga. Analisis

Marx tentang pembentukan kelas adalah contoh klasik analisis ini.

Pekerja dibawa berjuang bersama-sama bukan karena ikatan

solidaritas mereka, tetapi karena oposisi bersama mereka terhadap

majikan.

Perbedaan antara kohesi dan kesetaraan terkait dengan satu set

diskusi yang lebih luas dalam analisis jaringan. Penelitian tentang

apa yang kemudian dikenal sebagai ''fenomena dunia kecil''

menemukan bahwa orang sering dihubungkan dengan orang lain

melalui sejumlah langkah intervensi singkat yang mengejutkan. As

Watts (2003) menemukan bahwa jaringan dunia kecil memiliki

sifat tertentu. Mereka menunjukkan tingginya pengelompokan

local dikombinasikan dengan sejumlah ''jalan pintas'' antara cluster.

Granovetter (1973) juga membangun argument tentang ''kekuatan

ikatan lemah” terkait fenomena dunia kecil. Dia menemukan

misalnya, bahwa pekerjaan sering tidak didapat secara langsung

melalui teman (ikatan yang kuat), tetapi melalui teman dari teman

(ikatan lemah). Logikanya adalah bahwa ikatan lemah sering

menjadi ''jembatan'' di cluster. Burt (1992) lebih menyempurnakan

logika ini dalam karyanya tentang ''Lubang Struktural''. Dia

berpendapat bahwa informasi kecil merajut erat di cluster secara

berlebihan (semua orang tahu urusan semua orang). Selain itu,


78

pengelompokan menciptakan ''lubang'' dalam jaringan yang

membatasi mengalirnya informasi. Dengan demikian, ikatan

“jembatan” melintasi lubang struktural (''jalan pintas'' yang

diistilahkan oleh Watt atau ''ikatan lemah'' yang diistilahkan oleh

Granovetter) menjadi saluran informasi yang efektif.

Perspektif kohesi menunjukkan bahwa mekanisme penting dalam

jaringan beroperasi melalui hubungan langsung. Perpanjangan dari

logika ini menunjukkan bahwa jika interaksi lebih sering, intim,

dan intens maka hubungan akan lebih kohesif. Pada tingkat

jaringan global, jaringan padat dianggap menjadi lebih kohesif.

Logikanya meluas ke beberapa jaringan. Analisis jaringan mengacu

pada situasi di mana dua aktor terikat bersama dalam jenis yang

berbeda dengan cara misalnya, persahabatan, saran, atau rekan

kerja. Dalam konteks logika kohesi dapat diasumsikan bahwa

semakin multiplex jaringan semakin kuat dia. Sebaliknya,

perspektif kesetaraan menekankan pentingnya hubungan langsung.

Aktor mirip bukan karena antar mereka memiliki ikatan yang kuat

satu sama lainnya, tetapi karena antar mereka memiliki hubungan

yang sama dengan orang lain. Oleh karena itu setara ditafsirkan

sebagai memiliki posisi yang sama dalam jaringan. Beberapa

jaringan menjadi penting ketika antar mereka memperkuat

kesetaraan struktural.
79

Ada 2 (dua) cara yang digunakan dalam mengumpulkan data pada

analisis jaringan sosial. Pertama, cara “egosentris”, cara ini dimulai

dengan mengetahui dan mewawancarai aktor vokal/dominan (ego)

di jaringan dan kemudian mengumpulkan informasi jaringan pada

hubungan ego kepada orang lain (alter). Setelah itu, fase

berikutnya mengumpulkan informasi lebih lanjut tentang hubungan

antara ego dengan alter. Masalah umum dengan data egosentris

adalah bahwa hal itu sangat selektif, karena definisi jaringan hanya

mencerminkan “ego”. Padahal jaringan yang lengkap menyediakan

perspektif yang lebih komprehensif. Data lengkap untuk jaringan

dikumpulkan dengan mengidentifikasi kelompok pelaku dan

kemudian mengumpulkan informasi tentang hubungan antara

mereka semua. Data tersebut bisa sulit untuk dikumpulkan karena

dua alasan. Pertama, mengidentifikasi hubungan antara semua

aktor dalam jaringan menciptakan volume besar data bahkan untuk

sejumlah kecil pelaku. Kedua, jaringan lengkap menghadapi

masalah spesifikasi batas. Sebagai fenomena dunia kecil

menunjukkan semua orang mungkin (di beberapa menghapus)

yang terhubung ke orang lain. Jadi batas mana yang harus ditarik?

Analis Jaringan umumnya memecahkan masalah ini dalam salah

satu dari dua cara tersebut. Masing-masing cara memiliki teknik

yang berbeda untuk mengumpulkan data.


80

Satu pendekatan lainnya adalah dengan menentukan batas pada

awal atas dasar non-jaringan, kriterianya misalnya batas unit

organisasi atau kerja, kebijakan sektor, atau unit geografis. Dalam

kasus tersebut, seringkali berguna untuk memulai dengan lengkap

daftar individu, kelompok, atau organisasi yang terkandung dalam

batas ini. Peneliti kemudian meminta komentar dari masing-masing

aktor dalam daftar tentang hubungan mereka dengan setiap aktor

dalam daftar. Pendekatan kedua ini sering digunakan ketika batas

sulit untuk ditentukan. Bahkan, identifikasi yang merupakan bagian

dari jaringan mungkin menjadi salah satu tujuan utama untuk

mengumpulkan data. Dalam hal ini, snowball sampling digunakan

untuk mengumpulkan data jaringan. Sama seperti data yang

egosentris, pendekatan ini dimulai dengan mewawancarai beberapa

aktor kunci dan kemudian meminta komentarnya tentang hubungan

mereka. Kemudian meminta mereka menentukan yang

berhubungan dengannya pada wawancara putaran pertama.

Sampling dapat terus dilakukan hingga ditemukannya aktor baru.

d. Metodologi Riset Institusionalisme

Institusionalisme dikenal karena dua hal pertama, karena

pendekatannya yang holistis dalam memahami situasi ataupun juga

problematika dan dinamika ke masyarakat. Kedua, serangannya

terhadap pandangan mainstream ekonomi neoklasik atau


81

kapitalisme pasar bebas. Dalam Institusionalisme ada sejumlah

variasi metode riset yaitu:

1. Comparative analysis (disebut juga dengan historical

comparative method) yaitu peneliti melakukan analisis

sosialogis dalam bentuk perbandingan proses sosial antara dua

institusi. Ada dua pendekatan komparatif analisis yaitu: 1)

dengan mencari persamaan-persamaan yang ada, dan 2) dengan

mencari perbedaan-perbedaan yang ada.

2. Studi kasus dengan pendekatan etnografis, yaitu peneliti

memilih sebuah institusi sebagai kasus yang akan diamati

dengan mencermati aspek sosio kultural yang ada.

3. Metode riset kuantitatif, yaitu pada umumnya bertitik tolak pada

positivisme yang cenderung meneliti hanya sebagian fenomena,

pendekatan ini ditandai dengan pengembangan teori dan

hipotesa, modeling dan penggunaan data kuantitatif serta alat

statistik.

2.6 Kerangka Pikir

Perhelatan demokrasi yang utama adalah Pemilu, bahkan Pemilu sudah

menjadi ukuran demokratisnya sebuah negara. Oleh karena itu, tidak ada

negara demokrasi yang tidak menjalankan Pemilu secara reguler dan

berkelanjutan. Pemilu memerlukan jaminan konstitusional agar

keberlangsungannya dapat berjalan dengan lancar dan menghasilkan produk


82

Pemilu yaitu pemimpin yang menyejahterakan rakyat dan juga taat hukum,

nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat.

Provinsi Lampung telah mengalami transisi demokrasi langsung sejak tahun

2005 sehingga banyak sekali kemelut dan permasalahan saat

pelaksanaannya, penyelenggaraan Pemilu tahun 2014 ini juga menjadi

perhatian karena pertama kalinya Bawaslu di setiap provinsi dibentuk

sehingga sangat banyak sekali masukan dan koreksi agar lebih baik lagi

dalam perjalanan selanjutnya. Pada proses penanganan pelanggaran pemilu,

ada sejumlah lembaga yang selalu bersinergi dalam rangka optimalisasi

penegakkan hukum pemilu yaitu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) beserta jajaran dibawahnya

dalam penanganan pelanggaran administrasi, serta Dewan Kehormatan

Penyelenggara Pemilu (DKPP) yaitu lembaga yang bertugas menangani

pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu dan merupakan satu kesatuan

fungsi penyelenggaraan Pemilu. Selain itu dalam penanganan pidana pemilu

ada 3 (tiga) lembaga yang bersinergi yaitu Bawaslu, Kepolisian, dan

Kejaksaan yang membentuk Sentra Penegakkan Hukum Pemilu (Sentra

Gakkumdu). Sinergisitas dan interaksi antar lembaga tersebut dalam proses

penanganan pelanggaran pemilu akan sangat berpengaruh terhadap

keberhasilan penegakkkan hukum dalam pelaksanaan pemilu anggota DPR,

DPD, dan DPRD tahun 2014.


83

Kenyataannya, di Provinsi Lampung pada Pemilu anggota anggota DPR,

DPD, dan DPRD tahun 2014 menyisakan sejumlah catatan dalam

penyelenggaraannya. Banyaknya laporan dan temuan tentang adanya

kecurangan-kecurangan, dilakukannya politik uang (money politic),

kekisruhan hasil pemilihan, laporan dan pengaduan kepada Sentra

Gakkumdu (Penegakkan Hukum Terpadu) hingga gugatan di Mahkamah

Konstitusi (MK).

Meninjau hal di atas patut dipertanyakan apakah hal tersebut terjadi karena

lemahnya lembaga pengawas Pemilu dalam menjalankan fungsi dan

perannya dalam penegakkan hukum pemilu, ataukah terjadi karena ada

faktor penyebab lainnya. Secara sederhana alur atau kerangka pikir

penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut ini.


84

Gambar 2.1
Kerangka Pikir
PENEGAKKAN HUKUM PEMILU

Peran Bawaslu dalam Penanganan


Pelanggaran Pemilu:
- Penanganan Pelanggaran Administrasi
- Penanganan Pelanggaran Kode Etik
- Penanganan Tindak pidana pemilu

Strategi yang dilakukan Bawaslu Lampung untuk


mengoptimalkan Peran dalam penanganan
pelanggaran pemilu :
1. Penguatan kapasitas
2. Pembinaan
3. Pola hubungan dan komunikasi
4. Fungsi akomodasi dan tata kelola

Tertib Hukum Pemilu


85

III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Menurut Sugiyono (2011:

13) metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan

pada filsafat post positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek

yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) di mana peneliti

sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara

triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif (kualitatif) dan hasil

penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna dari pada generalisasi.

Sedangkan menurut Lexy J Moleong (1999: 6) penelitian kualitatif adalah

penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang

dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,

tindakan dan lainya secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk

kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

N.K. Denzin dan Y.S. Lincoln dalam bukunya Handbook of Qualitative

Research dalam Ritchie (2003: 2-3) menyatakan:

"Penelitian kualitatif terdiri dari satu set interpretatif, praktek materi


yang membuat dunia terlihat. Praktik-praktik ini mengubah dunia
menjadi serangkaian representatif termasuk catatan lapangan,
wawancara, percakapan, foto, rekaman dan memo untuk diri sendiri.
86

Pada tingkat ini, penelitian kualitatif melibatkan interpretatif,


pendekatan naturalistik kepada dunia. Ini berarti bahwa peneliti
kualitatif mempelajari hal-hal dalam pengaturan alam mereka,
berusaha untuk memahami, atau untuk menafsirkan fenomena dalam
hal makna orang membawa kepada mereka"

Seperti yang telah diungkapkan di atas dalam penelitian ini, pengolahan dan

penyajian data dilakukan menggunakan teknik analisis kualitatif dengan

prosedur penelitian yang bersifat menjelaskan, mengelola, menggambarkan

dan menafsirkan hasil penelitian sebagai suatu ciri, karakter, atau gambaran

tentang kondisi, ataupun fenomena tertentu sebagai jawaban atas

permasalahan yang diteliti.

3.2 Pendekatan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan kajian pada penelitian ini yang

menekankan pada institusi penyelenggara Pemilu, maka pendekatan utama

yang digunakan adalah pendekatan jaringan kelembagaan (networking

institutionalism).

3.3 Lokasi Penelitian

Lokasi utama penelitian ini dilakukan di Sekretariat Badan Pengawas

Pemilu (Bawaslu) Provinsi Lampung. Jl. Nusantara No.49 Kota Sepang

Bandar Lampung.

3.4 Fokus Penelitian

Fokus penelitian ditentukan bertujuan memberikan batasan dalam studi dan

pengumpulan data, sehingga penelitian akan fokus dalam memahami

masalah-masalah yang menjadi tujuan penelitian. Menurut Lexy J Moleong


87

(1999: 63) fokus penelitian dimaksudkan untuk membatasi penelitian guna

memilih mana data yang relevan dan data yang tidak relevan agar tidak

dimasukkan ke dalam sejumlah data yang sedang dikumpulkan walaupun

data tersebut menarik.

Sejalan dengan Lexy J. Moleong, Sugiyono (2006:233) menyebutkan bahwa

batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus, yang

berisi pokok masalah yang masih bersifat umum. Tanpa adanya fokus

penelitian, maka peneliti akan terjebak pada melimpahnya volume data yang

diperolehnya di lapangan. Fokus penelitian memiliki peranan yang sangat

penting dalam membimbing dan mengarahkan jalannya penelitian.

Melalui fokus penelitian ini, suatu informasi di lapangan dapat dipilah-pilah

sesuai dengan konteks permasalahan. Sehingga rumusan masalah dan fokus

penelitian saling berkaitan karena permasalahan penelitian dijadikan acuan

penentuan fokus penelitian, meskipun fokus dapat berubah dan berkurang

sesuai dengan data yang ditentukan di lapangan.

Berdasarkan uraian di atas yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah

peran dan interaksi kelembagaan yang dilakukan oleh Bawaslu Provinsi

Lampung dalam rangka penegakkan hukum pemilu dan strategi yang

dilakukan oleh Bawaslu Provinsi Lampung dalam mengoptimalkan

perannya dalam proses penanganan pelanggaran pada Pemilu Anggota DPR,

DPD, dan DPD Tahun 2014 di Provinsi Lampung. Hal penting yang akan

diketahui dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


88

1. Tatacara dan proses penanganan pelanggaran pada Pemilu Anggota

DPR, DPD, dan DPD tahun 2014 di Provinsi Lampung.

2. Peran Bawaslu Provinsi Lampung dalam penegakkan hukum pemilu

pada pelaksanaan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014.

3. Interaksi kelembagaan dalam penanganan pelanggaran pada Pemilu

anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014, yang meliputi:

a. Pola hubungan dan komunikasi antara lembaga dalam penanganan

pelanggaran pemilu.

b. Fungsi akomodasi dan tata kelola Bawaslu Lampung dalam interaksi

antar lembaga penegak hukum pemilu (Sentra Gakkumdu) dalam

penanganan pelanggaran pada Pemilu anggota DPR, DPD, dan

DPRD tahun 2014 di Provinsi Lampung Tahun 2014.

3.5 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pada data primer dan

sekunder dengan rincian:

1. Data primer yaitu data yang diperoleh dari studi lapangan atau

penelitian empiris melalui wawancara dengan responden. Penetapan

sumber data dilakukan secara purposive sampling atau sampel

bertujuan. Sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subyek

bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas

adanya tujuan tertentu.

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari: (1) Ketua dan Anggota

Bawaslu Provinsi Lampung; (2) Ketua dan Anggota KPU Provinsi


89

Lampung, (3) Unsur Tim Pemeriksa Daerah (TPD) DKPP di Provinsi

Lampung, (4) Unsur Kepolisian dan Kejaksaan di Sentra Gakkumdu

Provinsi Lampung, (5) akdemisi, (6) Jurnalis, serta (7) Jajaran Panitia

ad hoc pengawas pemilu yang terdiri dari Ketua atau anggota Panwas

Kabupaten, Panwas Kecamatan, dan PPL pada Pemilu anggota DPR,

DPD, dan DPRD tahun 2014. Informan ini dipilih secara sengaja

dengan mempertimbangkan bahwa mereka dapat memberikan

informasi tentang hal-hal yang ingin diketahui oleh peneliti

menyangkut obyek penelitian.

2. Data sekunder yaitu data yang diperlukan untuk melengkapi data dan

informasi yang diperoleh dari data primer. Data ini diperoleh dari

dokumentasi hasil-hasil Pemilu, peraturan perundang-undangan, buku-

buku, majalah, koran, internet dan sumber lainnya yang sesuai dengan

kebutuhan.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka memperoleh data dalam penelitian ini, digunakan prosedur

pengumpulan data sebagai berikut :

1. Wawancara

Menurut Hadari Nawawi (1991:111) wawancara diartikan sebagai usaha

mengumpulkan data dan informasi dengan mengajukan sejumlah

pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula. Teknik ini dilakukan

dengan cara tanya jawab secara langsung dengan informan berdasarkan

panduan wawancara yang sudah disiapkan. Teknik wawancara dilakukan

dengan model triangulasi, artinya terhadap informasi dan data yang telah
90

diperoleh peneliti melakukan pengecekan, pengecekan kembali,

kemudian di cross chek (chek, recheck dan cross chek) sehingga

diperoleh informasi yang valid. David Marsh dan Gerry Stoker (2012:

242) menambahkan bahwa wawancara intensif memungkinkan orang

untuk bicara bebas dan memberikan tafsiran terhadap suatu peristiwa.

Wawancara mendalam memungkinkan orang untuk menceritakan kisah

mereka sendiri dengan bahasa yang akrab bagi mereka.

2. Dokumentasi

Prosedur ini merupakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan

cara atau berdasarkan catatan-catatan yang terdokumentasi (otentik),

berupa data statistik, kumpulan peraturan dan perundang-undangan,

kepustakaan, gambar, selebaran atau brosur yang terdapat atau dijumpai

di lokasi penelitian yang berkaitan serta mendukung pelaksanaan

penelitian.

3.7 Teknik Pengolahan Data

Data primer dan sekunder yang akan dikumpulkan tidak langsung dianalisis,

melainkan terlebih dahulu diperiksa dengan tujuan untuk menguji apakah

data mengalami kekurangan dan kesalahan. Setelah melalui proses ini, data

kemudian diedit secara keseluruhan sehingga menghasilkan data yang

lengkap dan sempurna, jelas dan mudah dibaca serta konsisten. Proses ini

disebut editing, yaitu langkah yang dilakukan untuk meneliti kembali data-

data yang telah diperoleh di lapangan, baik itu yang diperoleh melalui
91

wawancara atau dokumentasi. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan

validitas data yang hendak diolah dan dianalisis.

a. Teknik Analisis Data

Untuk mengolah dan mendeskripsikan agar data lebih bermakna dan

mudah dipahami maka digunakan prosedur analisis data yang

dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992:15-20), adapun

prosedur analisis data tersebut adalah sebagai berikut:

1. Reduksi data dapat diartikan sebagai suatu proses pemikiran,

pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan

transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di

lapangan, dalam hal ini yang dapat dilakukan adalah pengkodean,

menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang

tidak perlu dan mengorganisasi data.

2. Penyajian data diartikan sebagai sekumpulan informasi tersusun

yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan, dengan melihat penyajian-penyajian peneliti

dan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus

dilakukan. Kecenderungan kognitifnya akan menyederhanakan

informasi yang kompleks ke dalam bentuk yang disederhanakan

dan diseleksi atau konfigurasi yang mudah dipahami, polanya

berupa matrik, jaringan dan bagan.

3. Kegiatan analisis yang ketiga adalah menarik kesimpulan atau

verifikasi. Makna-makna yang muncul dari data harus diuji


92

kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya yakni yang

merupakan validitasnya.

Tiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan pengumpulan data merupakan

proses siklus dan interaktif. Dengan demikian, siklus interaktif ini juga

dapat menunjukkan adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk

memahami atau mendapatkan pengertian yang mendalam,

komprehensif dan rinci mengenai suatu masalah, sehingga dapat

melahirkan kesimpulan-kesimpulan.

b. Kriteria dan Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Menurut Moleong (1999:173) untuk menetapkan keabsahan (truth

warthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik

pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu salah satunya

adalah derajat kepercayaan (credibility) dengan teknik triangulasi.

Triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Adapun yang

dipakai penulis adalah triangulasi dengan sumber, artinya

membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu

informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda.

Pada penelitian kualitatif hal itu dapat dicapai dengan jalan:

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil

wawancara;
93

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan

apa yang dikatakannya secara pribadi;

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi

penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu;

4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan

berbagai pendapat dan pandangan orang lain;

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang

berkaitan.
4594

IV. GAMBARAN UMUM

4.1 Gambaran Umum Bawaslu Provinsi Lampung

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang

berkedaulatan rakyat atau negara demokrasi. Salah satu ciri penting

suatu negara demokrasi adalah diselenggarakannya pemilihan umum

yang kompetitif secara berkala. Penyelenggaraan pemilihan umum

pada akhirnya akan ikut menyumbang proses pembangunan bangsa

yang adil dan demokratis. Melalui penyelenggaraan pemilihan umum,

rakyat secara langsung dan nyata terlibat dalam proses pembuatan

keputusan politik yang menggunakan hak dan kewajiban politiknya

sebagai warga negara yang bertanggung jawab.

Sesuai dengan amanat reformasi, penyelenggaraan pemilu harus

dilaksanakan secara berkualitas agar lebih menjamin derajat kompetisi

yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih

tinggi dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Oleh

karena itu pelaksanaan pemilu diselenggarakan secara demokratis,

transparan, jujur dan adil dengan menggunakan pemungutan suara

secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Pemilihan umum yang

disingkat Pemilu merupakan wadah penyaluran aspirasi masyarakat

dalam rangka keberlangsungan berbangsa dan


95

bernegara. Badan Pengawas Pemilihan Umum sebagaimana diatur di

Undang-Undang No 15 tahun 2011 berdasarkan kewenangannya

berupaya bekerja dengan maksimal agar pemilihan umum berjalan

secara luber dan jurdil dan sesuai azas-azas pemilu.

Menurut undang-undang pemilu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)

sebenarnya adalah nama lembaga pengawas pemilu tingkat nasional.

Sedangkan di tingkat provinsi disebut Bawaslu Provinsi, di tingkat

Kabupaten/Kota disebut Panwaslu Kabupaten/Kota, dan di tingkat

kecamatan disebut Panwaslu Kecamatan. Pengawas Pemilu adalah

lembaga adhoc yang dibentuk sebelum tahapan pertama pemilu

(pendaftaran pemilih) dimulai dan dibubarkan setelah calon yang

terpilih dalam pemilu dilantik. Pengawas Pemilu dibentuk untuk

mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu, menerima pengaduan, serta

menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi dan pelanggaran

pidana pemilu.

Provinsi Lampung merupakan daerah yang menjadi sorotan baik itu di

tingkat lokal, nasional bahkan internasional karena pada pada Pemilu

anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 Provinsi Lampung

menjadi Pilot Project pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Eksekutif

secara bersamaan sehingga mengharuskan Penyelenggara Pemilu baik

KPU maupun Bawaslu bekerja ekstra agar dapat melaksanakan tugas

dan fungsinya secara makasimal.


96

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Lampung mulai

melaksanakan tugas pengawasan setelah adanya Keputusan Badan

Pegawasan Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 595-KEP

Tahun 2012 Tanggal 20 September 2012 tentang Penetapan Anggota

Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Lampung. Berpedoman

pada surat keputusan tersebut Pimpinan Bawaslu Provinsi Lampung

yaitu Nazarudin, S.IP., Ali Sidik, S.Sos. dan Fatikhatul Khoiriyah,

S.H.I., M.H. menjalankan tugas pengawasan di 14 (empat belas)

kabupaten/kota dikarenakan Panwaslu Kabupaten/Koa saat itu belum

terbentuk.

Pada bulan Oktober 2012, Pimpinan Badan Pengawas Pemilihan

Umum Provinsi Lampung melaksanakan perekrutan Panwaslu

Kabupaten/Kota, dan pada bulan Desember 2012 Badan Pengawas

Pengawas Pemilihan Umum Provinis Lampung telah melantik

Panwaslu Kabupaten/Kota se-Provinsi Lampung. Kantor Badan

Pengawas Pengawas Pemilihan Umum Provinis Lampung berada di

jalan Nusantara No.49 Kota Sepang, Kedaton, Kota Bandar Lampung,

sedangkan kesekretariatannya berasal dari tenaga PNS yang

diperbantukan dari Pemerintah Provinsi Lampung dan tenaga kontrak.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga penyelenggara

pemilu yang bertugas melakukan pengawasan terhadap

penyelenggaraan pemilu memiliki wewenang antara lain mengawasi

pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu, menerima laporan-laporan


97

dugaan pelanggaran pemilu, dan menindaklanjuti temuan atau laporan

kepada instansi yang berwenang. Dalam rangka menjalankan tugas

dan wewenangnya tersebut Bawaslu sesuai dengan amanat Undang-

undang Nomor 15 Tahun 2011 kemudian membentuk Bawaslu

Provinsi di seluruh Indonesia. Tugas utama Bawaslu Provinsi adalah

mengawasi penyelenggaraan pemilu di wilayah provinsinya masing-

masing, menerima dan menindaklanjuti temuan dan laporan dugaan

pelanggaran pemilu, serta melaporkannya kepada Bawaslu Republik

Indonesia. Sejak dibentuk pada tanggal 20 September 2012, Badan

Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Lampung telah menangani dan

menindaklanjuti berbagai dugaan pelanggaran baik yang berasal dari

temuan pengawas pemilu ataupun dari pelaporan yang disampaikan

oleh masyarakat pada pemilu termasuk Pemilu anggota DPR, DPD,

dan DPRD tahun 2014. Dilihat dari jenisnya dugaan pelanggaran yang

ditangani oleh Bawaslu Lampung dan jajarannya dapat

diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) yaitu dugaan pelanggaran kode etik

penyelenggara Pemilu, dugaan pelanggaran Administrasi dan dugaan

pelanggaran Tindak Pidana Pemilu. Undang-undang Nomor 8 Tahun

2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD

menjelaskan pengertian pelanggaran-pelanggaran pemilu tersebut

sebagai berikut: (1) Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu

adalah pelanggaran terhadap etika Penyelenggara Pemilu yang

berpedoman pada sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas

sebagai Penyelenggara Pemilu. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara


98

Pemilu diselesaikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

(DKPP) dengan tata cara penyelesaian yang dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan undang-undang tentang Penyelenggara Pemilu; (2)

Pelanggaran Administrasi Pemilu adalah pelanggaran yang meliputi

tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan

administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan

penyelenggaraan pemilu di luar tindak pidana pemilu dan pelanggaran

kode etik penyelenggara pemilu. Dugaan pelanggaran administrasi

diteruskan kepada KPU dan jajarannya untuk ditindaklanjuti selambat-

lambatnya 7 (tujuh) hari sejak direkomendasikan oleh Pengawas

Pemilu; (3) Tindak Pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran

dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu yang

diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012. Dugaan

pelanggaran tindak pidana pemilu diteruskan kepada Kepolisian

Negara Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti sejak

direkomendasikan oleh Pengawas Pemilu.

Hasil pengawasan pemilu dan proyeksi kesiapan pengawasan tahapan

Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD tahun 2014 adalah untuk

mengetahui sejauh mana kualitas pemilu di Provinsi Lampung apakah

berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan sejauh

mana kinerja Badan Pengawas Pemilu dan jajarannya dalam

melaksanakan tugasnya selaku penyelenggara yang berpedoman pada

azas penyelengara pemilu seperti mandiri, jujur, adil, kepastian

hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proposional,


99

akuntanbilitas, efisiensi dan efektifitas serta mematuhi peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

2. Visi dan Misi Bawaslu Provinsi Lampung

VISI

Tegaknya integritas penyelenggara, penyelenggaraan, dan hasil

pemilu melalui pengawasan pemilu yang berintegritas dan

berkredibilitas untuk mewujudkan pemilu yang demokratis. MISI

1. Memastikan penyelenggaraan pemilu untuk taat asas dan taat

peraturan.

2. Memastikan Bawaslu memiliki integritas dan kredibilitas.

3. Memastikan Bawaslu mampu mengawal integritas dan

kredibilitas dalan penegakkan hukum pemilu.

4. Memastikan Bawaslu mampu meningkatkan kapasitas

kelembagaan dalam pengawasan penyelenggaraan pemilu guna

pencegahan dan penindakan pelanggaran.

5. Memastikan terciptanya pengawasan partisipatif berbasis

masyarakat sipil.

3. Tujuan Bawaslu Provinsi Lampung

Menegakkan integritas penyelenggara, penyelenggaraan dan hasil

pemilu melalui pengawasan pemilu berintegritas dan berkredibilitas

utnuk mewujudkan pemilu yang demokratis dan memastikan

terselenggaranya pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia,


100

jujur, adil dan berkualitas serta dilaksanakannya peraturan

perundang-undangan mengenai pemilu secara menyeluruh.

4. Tugas dan Wewenang Bawaslu Provinsi Lampung

Dalam pelaksanaan pengawasan pemilihan umum sebagaimana

diatur dalam Undang-undang 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara

pemilihan umum pasal 75 Ayat 1 disebutkan bahwa :

Tugas dan Wewenang Bawaslu Provinsi:

a. Mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu di Provinsi yang

meliputi:

1. Pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan

dan penetepan daftar pemilih sementera dan daftar pemilih

tetap.

2. Pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara

pencalonan anggota DPRD Provinsi dan pencalonan

Gubernur.

3. Proses penetapan calon anggota DPRD Provinsi dan calon

Gubernur.

4. Penetapan Calon Gubernur.

5. Pelaksanaan kampanye.

6. Pengadaan logistik pemilu dan pendistribusiannya.

7. Pelaksanaan pemungutan suara dan perhitungan suara.

8. Pengawasan seluruh proses penghitungan suara di wilayah

kerjanya.
101

9. Pergerakkan surat suara dari tingkat TPS sampai ke PPK

10. Proses rekapitulasi suara dari seluruh Kabupaten/Kota yang

dilakukan oleh KPU Provinsi.

11. Pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang,

dan pemilu lanjutan serta pemilu susulan.

12. Proses hasil penetapan hasil pemilu anggota DPRD

Provinsi dan pemilihan Gubernur.

b. Mengelola, memelihara, dan merawat arsip/dokumen serta

melaksanakan penyusutannya berdasaarkan jadwal retensi arsip

yang disusun oleh Bawaslu Provinsi dan lembaga kearsipan

Provinsi berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Bawaslu

dan ANRI.

c. Menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Provinsi

untuk ditindaklanjuti.

d. Meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi

kewenangannya kepada instansi yang berwenang.

e. Menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk

mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan

adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya

tahapan penyelenggaraan pemilu oleh penyelenggara pemilu di

tingkat Provinsi.

g. Mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu

tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU Provinsi

sekretaris dan pegawasi sekretariat dan pegawai sekertariat


102

Provinsi yang terbukti melakukan tindakan yang

mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu

yang sedang berlangsung.

h. Mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan pemilu.

i. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Identitas Informan

Informan dalam penelitian ini terdiri dari 18 (delapan belas)

orang yaitu :

1. Ketua Bawaslu Lampung

Nama : Fatikhatul Khoiriyah, S.H.I., M.H.

Alamat : Jl. M.H Thamrin No. 103 T. Karang

Jenis Kelamin : Perempuan

Pendidikan : S2 Ilmu Hukum

Pekerjaan : Ketua Bawaslu Lampung

Tanggal Wawancara : 22 November 2015 Pukul 20.20 WIB

Tempat Wawancara : Bandar Lampung


103

2. Anggota KPU Lampung

Nama : Solihin, M.H.

Alamat : Jl. Puri Audistia Blok P.1 No. 21


Wayhalim Bandar Lampung

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pendidikan : S2 Ilmu Hukum

Pekerjaan : Anggota KPU Lampung

Tanggal Wawancara : 17 Januari 2016 Pukul 16.17 WIB

Tempat Wawancara : Jl. Puri Audistia Blok P.1 No. 21


Wayhalim Bandar Lampung
3. Kepolisian Daerah

Nama : IPDA. Hengky Darmawan

Alamat : Perum Sultan Haji Blok A7

Jenis Kelamin : Laki – Laki

Pendidikan : S1
Pekerjaan : Polri (Tim Sentra Gakumdu Polda
Lampung pada Pileg 2014)
Tanggal Wawancara : 12 Januari 2016 Pukul 13.20 WIB

Tempat Wawancara : Bandar Lampung

4 TPD DKPP

Nama : Dr. Wahyu Sasongko, M.H.

Alamat : Bandar Lampung

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pendidikan : S3 Ilmu Hukum

Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum Unila

Tanggal Wawancara : Desember 2015

Tempat Wawancara : Fakultas Hukum Unila


104

5. Akademisi

Nama : Dr. Budiono

Alamat : Bandar Lampung

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pendidikan : S3 Ilmu Hukum

Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum Unila

Tanggal Wawancara : Desember 2015

Tempat Wawancara : Fakultas Hukum Unila

6. Akademisi

Nama : Prof. Dr. Komsahrial Romli, M,Si.

Alamat : Bandar Lampung

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pendidikan : S3 Ilmu Hukum

Pekerjaan : Guru Besar IAIN Raden Intan

Tanggal Wawancara : Januari 2016

Tempat Wawancara : IAIN Raden Intan Lampung


7. Jurnalis

Nama : Yoso Muliawan, S.Sos

Alamat : Bandar Lampung

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pendidikan : S1 Sosiologi

Pekerjaan : Ketua AJI Bandar Lampung /


Redaktur Politik Tribun Lampung

Tanggal Wawancara : Maret 2016

Tempat Wawancara : Kantor Tribun Lampung


105

8. Jurnalis

Nama : Fathul Muin, S.H. M.H.

Alamat : Bandar Lampung

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pendidikan : S2 Ilmu Hukum

Pekerjaan : Ketua KJPPmProvinsi Lampung/


Redaktur Lampung Post
Tanggal Wawancara : Maret 2016

Tempat Wawancara : Kantor Lampung Post

9. Kejaksaan Tinggi

Nama : M. Syarif, S.H. M.H.

Alamat : Bandar Lampung

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pendidikan : S2 Ilmu Hukum

Pekerjaan : Jaksa di Kajati Lampung (Tim Sentra


Gakumdu)

Tanggal Wawancara : 12 April 2016

Tempat Wawancara : Kantor Kajati Lampung

10 Panwaslu Kabupaten
.
Nama : Cecep Ramdhani, S.IP., M.I.P.

Alamat : Tulang Bawang Barat

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pendidikan : S2 Ilmu Pemerintahan

Pekerjaan : Ketua Panwaskab. Tubabar

Tanggal Wawancara : 28 Mei 2016

Tempat Wawancara : Tumijajar


106

11 Panwaslu Kabupaten
.
Nama : M. Sofingi, S.Pd.

Alamat : Tulang Bawang Barat

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pendidikan : S1

Pekerjaan : Anggota Panwaskab Tubabar


(Kordinator Divisi SDM dan
Organisasi)
Tanggal Wawancara : 28 Mei 2016

Tempat Wawancara : Tumijajar

12 Panwaslu Kecamatan
.
Nama : Zainal Abidin

Alamat : Tulang Bawang Barat

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pendidikan :-

Pekerjaan : Panwascam Tulang Bawang Tengah

Tanggal Wawancara : 28 Mei 2016

Tempat Wawancara : Tumijajar


13 PPL
.
Nama : Ishadi Supriyono

Alamat : Tulang Bawang Barat

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pendidikan :-

Pekerjaan : PPL Gunung Terang

Tanggal Wawancara : 28 Mei 2016

Tempat Wawancara : Tumijajar


107

14 Panwaslu Kabupaten
.
Nama : Siti Khotidjah, S.H.

Alamat : Lampung Tengah

Jenis Kelamin : Perempuan

Pendidikan : S1

Pekerjaan : Ketua Panwaskab Lampung Tengah

Tanggal Wawancara : 26 Mei 2016

Tempat Wawancara : Lampung Tengah

15 Panwaslu Kecamatan
.
Nama : Edwin Nur, S.E.

Alamat : Lampung Tengah

Jenis Kelamin : Laki - Laki

Pendidikan : S1

Pekerjaan : Ketua Panwascam Gunung Sugih

Tanggal Wawancara : 28 Mei 2016

Tempat Wawancara : Lampung Tengah

16 Panwaslu Kecamatan
.
Nama : Tulus Basuki, S.Pd.

Alamat : Lampung Barat

Jenis Kelamin : Laki - Laki

Pendidikan : S1

Pekerjaan : Ketua Panwascam Pesisir Tengah

Tanggal Wawancara : 27 Mei 2016

Tempat Wawancara : Lampung Barat


108

17 PPL
.
Nama : M. Sulton, S.Pd.I

Alamat : Lampung Barat

Jenis Kelamin : Laki - Laki

Pendidikan : S1

Pekerjaan : PPL Pekon Bandar Agung

Tanggal Wawancara : 27 Mei 2016

Tempat Wawancara : Lampung Barat

18 PPL
.
Nama : Erlenawati Solfi Hayanti

Alamat : Lampung Tengah

Jenis Kelamin : Perempuan

Pendidikan :-

Pekerjaan : PPL Yukum Jaya Terbanggi Besar

Tanggal Wawancara : 30 Mei 2016

Tempat Wawancara : Lampung Tengah


109

Gambar 4.2
Bagan Struktur Badan Pengawas Pemilu Provinsi Lampung

PIMPINAN
FATTIKHATUL KHOIRIYAH : KETUA
NAZARUDDIN, S.IP. : ANGGOTA
ALI SIDIK, S.Sos. : ANGGOTA

KEPALA SEKRETARIAT TIM ASISTENSI


1. MARTHARIA PUTRI, M.I.P.
E. DWI MULYONO
2. DEDI FERNANDO, M.H.
3. CHANDRAWANSYAH, S.Kom.

Kasubbag Kasubbag Hukum, Kasubbag Teknis


Bendahara Administrasi Humas & Hubal Penyelenggaraan
Pengeluaran Pengawasan
TAJUDIN ERWIN PRIMA
KUSTANTI PUJI INDRA DARMAWAN,
M.M. RINALDO, S.IP.
RAHAYU, S.Sos

KELOMPO
K
STAF STAF STAF JABATAN
Andi Trisandi, A.Md. Siti Wurian, M.Kom.I Amelia Puspita Sari, FUNGSION
S.H.
Puput Putri Sari, S.E. Yanur Rizal, S.Pd.I AL
Amri Fahada Syehrun,
Yusef Permana, S.E. Rifky Apriyansyah, S.IP.
M. Iqbal, A.Md. S.H.
Desti Aryani, S.Pd.
Fajria Rahayu, S.Pd. Hamid Badrul Amir
Fiqril Suryadilaga
Sri Winarni, S.E.
Galih Radityo Utomo,
S.Ds
Riduan Anang Bahtiar
Okqi Fernanda, A.Md.
Alfa Robi Fajri. T.
A.Md.
David anang
Fitra Ramdani
Hendi

PANWASLU
KAB/KOTA

PANWASLU
KECAMATAN
186

VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis “Peran Badan Pengawas

Pemilihan Umum dalam Penegakkan Hukum Pemilihan Umum studi

tentang interaksi kelembagaan dalam penanganan pelanggaran pada

pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tahun 2014 di Provinsi

Lampung”, maka disimpulkan bahwa:

1. Peran Bawaslu Provinsi Lampung dalam penanganan pelanggaran

administrasi, kode etik, dan pidana pemilu pada pelaksanaan pemilu

legislatif tahun 2014 belum dapat berjalan secara optimal. Ada

beberapa faktor yang perlu menjadi perbaikan dalam penanganan

pelanggaran yaitu:

a. masih lemahnya kapasitas sumber daya manusia pengawas

pemilu di tingkat kabupaten/kota dan jajaran pengawas pemilu di

bawahnya dalam memahami tugas pokok dan funsinya sebagai

pengawas pemilu. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh:

- Kelembagaan pengawas pemilu di tingkat Kabupaten/Kota

yang bersifat kepanitiaan (adhoc) mengakibatkan proses

pembekalan dan pembinaan tidak dapat berlangsung secara

berkelanjutan;
187

- Pola rekrutmen pengawas pemilu terutama yang bersifat

adhoc masih kurang baik, sehingga seringkali menghasilkan

pengawas pemilu yang tidak kompeten dan kredibel;

- Masih rendahnya alokasi anggaran bagi Bawaslu Provinsi,

Panwaslu Kabupaten/Kota, serta jajaran pengawas pemilu di

tingkat bawahnya sehingga berimplikasi pada kurang

maksimalnya kinerja pengawas pemilu terutama dalam hal

penegakkan hukum pemilu;

b. Khusus dalam penanganan dugaan pelaggaran pidana pemilu

masih ada sejumlah ketentuan yang membatasi Bawaslu dalam

memaksimalkan perannya, yaitu:

- Bawaslu tidak diberi kewenangan panggilan paksa dalam

proses klarifikasi;

- Waktu penanganan dugaan pelanggaran yang terlalu singkat;

- adanya “kewajiban” untuk pemenuhan minimal 2 (dua) bukti

dalam penerusan rekomendasi;

- Perbedaan persepsi antara pihak Kepolisian, Kejaksaan dan

Bawaslu yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu dalam

menafsirkan sebuah pelanggaran hukum pemilu terutama

mengenai politik uang;

2. Strategi yang dilakukan Bawaslu Provinsi Lampung untuk

mengoptimalkan perannya dalam penegakkan hukum pemilu Pada

Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2014 sudah


188

cukup baik, hal tersebut terlihat dari upaya Bawaslu Provinsi

Lampung baik secara internal dan eksternal kelembagan. Secara

internal kelembagaan strategi Bawaslu Provinsi Lampung untuk

mengoptimalkan perannya yaitu sebagai berikut:

a. Penguatan kapasitas kelembagaan jajaran pengawas pemilu di

tingkat Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa/Kelurahan yang

dilakukan secara berjenjang melalui kegiatan:

- bimbingan teknis (bimtek) tentang kelembagaan,

pengelolaan keuangan, strategi pengawasan, serta tata cara

penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa;

- rapat-rapat koordinasi pengawasan pada setiap tahapan

pemilihan umum;

b. Pembinaan jajaran pengawas pemilu di tingkat Kabupaten/Kota,

Kecamatan, dan Desa/Kelurahan melalui kegiatan supervisi,

pendampingan penanganan pelanggaran dan sengketa pemilu,

serta konsultasi/komunikasi internal baik secara personal maupun

kelembagaan.

Secara Eksternal Bawaslu Provinsi Lampung juga telah melakukan

langkah-langkah strategis untuk mengoptimalkan perannya dalam

penegakkan hukum pemilu Pada Pemilu Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Tahun 2014 yaitu menjalin hubungan dan komunikasi yang

intens dengan lembaga penegak hukum pemilu seperti dengan Komisi

Pemilihan Umum dalam hal penanganan


189

pelanggaran administrsi, dengan pihak Kepolisian Daerah dan

Kejaksan Tinggi yang menjadi mitra kerja dalam Sentra Gakkumdu

dalam penanganan dugaan pelanggaran pidana pemilu, serta dengan

unsur Tim Pemeriksa Daerah (TPD) DKPP dalam penanganan

dugaan pelanggaran etika.

Selain itu, Bawaslu Provinsi Lampung juga telah menjalin hubungan

dan komunikasi yang baik dengan stakeholders pemilu seperti Partai

Politik, akademisi dan Perguruan Tinggi, media massa, ormas dan

penggiat pemilu lainnya dalam membantu memberikan informasi

dan melaporkan dugaan pelanggaraan pada pemilu anggota DPR,

DPD, dan DPRD tahun 2014.

.
Pola Hubungan dan komunikasi, serta pelaksanaan fungsi

akomodasi dan tata kelola yang diselenggarakan Bawaslu Provinsi

Lampung dapat mengoptimalkan peran Bawaslu Pada pelaksanaan

penanganan pelanggaraan pada pemilu anggota DPR, DPD, dan

DPRD tahun 2014.

6.2 Saran

Untuk kemajuan penyelenggaraan pemilu di masa yang akan datang

terutama di bidang pengawasan maka diperlukan beberapa perubahan

baik secara substansi maupun secara teknis dalam bentuk saran-saran

berikut:
190

1. Harus ada perubahan undang-undang pemilu untuk memperkuat

kelembagaan dan kewenangan Pengawas Pemilu dalam

penegakkan hukum pemilu. Penguatan tersebut antara lain

meliputi:

a. Penguatan kewenangan dan kelembgaan Bawaslu menjadi

lembaga khusus yang memiliki funsi sebagai lemabaga yang

menangani pelanggaran pemilu.

b. Dalam hal penanganan pelanggaran administrasi, Bawaslu

diberi kewenangan sampai dengan pemberian sanksi.

c. Sedangkan dalam hal penanganan pelanggaran pidana pemilu,

Bawaslu diberi kewenangan sampai dengan melakukan

penyidikan dan penuntutan. Penguatan kewenangan ini tentu

saja harus disertai dengan penguatan kelembagaan dan sumber

daya manusia.

2. Pengawas Pemilu di tingkat Kabupaten/Kota ditetapkan menjadi

lembaga permanen;

3. Proses seleksi Pengawas Pemilu di tingkat Kabupaten/Kota sampai

dengan ke Pengawas TPS lebih di perketat dan harus memenuhi

kualifikasi terutama dalam hal pendidikan dan kopetensi.

4. Alokasi anggaran untuk Pengawasan Pemilu di Daerah agar

ditingkatkan sehingga dapat mendukung peningkatan kualitas

sumber daya manusia dan program pengawas pemilu di tingkat

kabupaten sampai Pengawas TPS.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali. 2009. Mewujudkan Pemilu Yang Lebih Berkualitas


(PemiluLegislatif).Rajawali Press. Jakarta.

Andrianus Pito, Toni dkk.. 2013. Mengenal Teori-teori Politik. Nuansa Cendekia.
Bandung.

Aribowo, dkk. 1996. Mendemokratiskan Pemilu. Lembaga Studi dan Advokasi


Masyarakat (ELSAM). Jakarta.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.


Rineka Cipta. Jakarta.

Ardiantoro, Juri F. (penyunting).1999. Transisi Demokrasi, Evaluasi Kritis


Penyelenggaraan Pemilu 1999. Komisi Independen Pemantau Pemilu.
Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly. 2014. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi. Sinar Grafika.
Jakarta.

Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama.


Jakarta.

Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif. Kencana. Jakarta.

D. Tansey, Stephen. 1995.Politics The Basics.Routledge. London.

E. Apter, David. 1996. Pengantar Analisa Politik. Pustaka LP3ES Indonesia.


Jakarta.

Efriza. 2012. Political Explore. Alfabeta. Bandung.

F. Gaus, Gerald dan Chandran Kukathas. 2012. Handbook Teori Politik.


Nusamedia. Bandung.

Fachrudin, Achmad. 2013. Jalan Terjal Menuju Pemilu 2014: Mengawasi Pemilu
Memperkuat Demokrasi. Gramedia Utama Publishindo. Jakarta.

Harrison, Lisa. 2007. Metodologi Penelitian Politik. Kencana. Jakarta.


Husein, Harun. 2014. Pemilu Indonesia; Fakta, Angka, Analisis, danStudi
Banding. Perludem. Jakarta

J. Moleong, Lexy. 1999. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya.


Bandung.

Junaidi, Veri. 2013. Pelibatan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan


Pemilu. Perludem. Jakarta.

Kencana Syafiie, Inu. 2007. Ilmu Pemerintahan. Mandar Maju. Bandung.

Gaffar, Afan. 2006. Politik Indonesia. Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka


Pelajar. Yogyakarta.

M. Gaffar, Janedjri. 2013. Politik Hukum Pemilu. Konpress. Jakarta.

_______________. 2013. Demokrasi dan Pemilu di Indonesia. Konpress. Jakarta.

_______________. 2013. Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah


Konstitusi. Konpress. Jakarta.

Marsh, David dan Gerry Stoker. 2012. Teori dan Metode dalam Ilmu Politik.
Nusa Media. Bandung.

Munawar Rachman, Budhy. 2012. Ensiklopedi Nurcholis Madjid. Yayasan Abad


Demokrasi. Jakarta.

N. Kerlinger, Fred. 2006. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Gadjah Mada


University Press. Yogyakarta.

Nawawi, Hadari. 1991. Metode Penelitian Sosial. Gajah Mada Press. Yogyakarta.

Ndraha, Taliziduhu. 2003. Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru) 1. Rineka


Cipta. Jakarta.

P. Huntington, Samuel. 2001. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Pustaka Utama


Grafiti. Jakarta.

Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu. Laboratorium Jurusan Ilmu


Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.

Rhodes, R.A.W. dkk. 2006. The Oxford Handbooks of Political Science. Oxford
University Press. New York.

Romli, Khomsahrial. 2014. Komunikasi Organisasi Lengkap. PT. Grasindo.


Jakarta.
Santoso, Topo. dkk.. 2014. Penegakan Hukum Pemilu. Perludem. Jakarta

Sardini, Nur Hidayat. 2015. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Kode Etik


Penyelenggara Pemilu. Lembaga Pengembangan Pendidikan Anak Bangsa
(LP2AB). Jakarta.

Saydam, Gouzali. 1999. Dari Bilik Suara ke Masa Depan Indonesia. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.

Silalahi, Ulber. 2010. MetodePenelitianSosial.RefikaAditama. Bandung.

Sorensen, Georg. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi. Pustaka


Pelajar.Yogyakarta.

Sugiyono. 2006.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta.


Bandung.

Supriyanto,Didik. dkk. 2012. Penguatan Bawaslu Optimalisasi Posisi, Organisasi


dan Fungsi dalam Pemilu 2014. Perludem. Jakarta.

Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. PT. Gramedia Widiasaarana


Indonesia (Grasindo). Jakarta.

Surbakti, Ramlan dkk. 2008. Perekayasaan Sistem Pemilihan Umum untuk


Pembangunan Tata Politik Demokratis. Kemitraan bagi Pembaharuan Tata
Pemerintahan di Indonesia. Jakarta.

Jurnal, Undang-Undang, Peraturan, Arsip, dan Internet:

Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Jurnal Bawaslu Edisi


Ulang Tahun Bawaslu ke 7: Penguatan Strategi Pengawasan Partisipatif.

Bawaslu Provinsi Lampung. 2014.Pengawasan Pemilu Tahun 2014: Sosialisasi


Pengawasan Pemilu bagi Media Massa dan Organisasi Kemasyarakaatan
di Provinsi Lampung TahunAnggaran 2013.

Perludem. 2013. Jurnal Pemilu dan Demokrasi Seri 6:Memotret Penegakan


Hukum Pemilu 2014.

________. Januari 2015.Jurnal Pemiludan Demokrasi Seri 7, Evaluasi


Penegakan Hukum Pemilu 2014.

Undang-Undang Pemilu 2012 (UU RI Nomor 8 Tahun 2012) dilengkapidengan


UU RI Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, UU Nomor 2
Tahun 2011 Tentang Perubahan atas UU RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik, dan UU RI Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
Penerbit Sinar Grafika, Tahun 2012
Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia.Peraturan Badan
Pengawas PemilihanUmumRepublik Indonesia.

BadanPengawasPemilihan UmumProvinsi Lampung. Data


DugaanPelanggaranpadaPemiluAnggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun
2014.

Mahkamah Konstitusi. 2013. Rekapitulasi Perkara Pengujian Perselisihan Hasil


Pemilihan Umum 2014.

http://www.mahkamah.konstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPHPU.
diunduh pada Selasa. 2September 2014. pukul 11.00 WIB.

Rumah Pemilu. 2013. Perjalanan Sejarah Pemilu Tidak Selalu Progresif.


http://www.rumahPemilu.org/read/165/Pendahuluan-Perjalanan-Pemilu-
Tidak-Selalu-Progresif. diunduh pada Senin. 1September 2014. pukul 11.00
WIB.

SriRejekiBlog-okeblogspot.com/2012/01/akuntansi-
management,23Maret 2015.diaksespukul 23.00 WIB

You might also like