Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Rancang Bangun Otomatisasi Irigasi: (Desain Pintu Air Dan Simulasi Sistem Kendali Level Muka Air Sawah)

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 96

RANCANG BANGUN OTOMATISASI IRIGASI

(Desain Pintu Air dan Simulasi Sistem Kendali


Level Muka Air Sawah)

AHMAD TUSI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Rancang Bangun Otomatisasi Irigasi –
Desain Pintu Air dan Simulasi Sistem Kendali Level Muka Air Sawah” adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2010

Ahmad Tusi
NRP. F152080011

i
ABSTRACT

AHMAD TUSI. Automation of Irrigation System Design (Water Gate Design


and Simulation of Paddy Field Water Level Control System). Under the
supervision of BUDI I. SETIAWAN, SATYANTO K. SAPTOMO, and
MOCHAMMAD AMRON.

Application of the System of Rice Intensification (SRI) needs to supply water


intermittently in order to maintain water level around the soil surface. This needs
more frequent operation of water gates and has become another heavy workload
faced by farmers since most of the water gates made of metal materials and it is
easily corosive. The objective of the study was to design water gates made of
lighter materials with two function (regulator and measurement) which were also
capable for applying automated irrigation. Mixtures of materials were conducted
composed of concrete and glass fibre with varied treatments such as normal
concrete (NC), fibre-concrete with 1 kg of fibre Woven Roving (FC1), FC2, FC3,
fibre-concrete with 1 sheet Woven Roving (WR) in the midle of sample (FCM),
and fibre-concrete with 1 sheet WR in the bottom (FCB). Furthermore, materials
for fibreglass gate were used Chopped Strand Mat and WR with polyester resin
(157 BQTN EX-Series). Material testings were conducted according to the
Japanese Industrial Standard for Concrete (slump test, flexural strength, etc). The
weight of a full fiberglass gate with its dimension of 150 cm x 54 cm x 1,2 cm
was 15 kg. It has a flexural strength about 206 kg/cm2 for maximum deflection of
10 mm. While, the fibre-concrete has a maximum result of the FCB treatment
with flexural strength 72 kg/cm2 and its dimension is 75 cm x 56 cm x 3 cm and
35 kg of weigth. The full fiberglass gate with round shape in the bottom has
contraction coefcient (Cc) = 0,951, and a value of dischage coeficient (Cd) can be
k
determined by C = C .  h1 − w  ; with k0 = 15 and k1=0,062. Automation
1

d c  h + k .w
 1 0 
irrigation was conducted with a water balance model approach on SRI paddy field
and fuzzy logic controller. The model inputs consist of climatic data and
discharge capacity. The model is formulated to simulate various processes such
as evapotranspiration, percolation, surface run off, depth of irrigation water and
drainage to be applied on a daily. It is also simulates an automated daily ponding
depth in the field used simple fuzzy logic control. The model could simulate the
actual daily ponding depth of paddy with alternating shallow inundation (±2 cm)
pretty well by treating a number and discharge capacity of actuator (solenoid
valve) and set up a paddy levee height. Average performance index with Root
Mean Square Error is about 8,41 in drought and rainy seasons, with value of f1
and f2 were 0,85 and 1,00.

Keywords : water gates, discharge coeficient, fiberglass, fibre-concrete, fuzzy


logic control.

ii
RINGKASAN

AHMAD TUSI. Rancang Bangun Otomatisasi Irigasi (Desain Pintu Air dan
Simulasi Sistem Kendali Level Muka Air Sawah). Dibimbing oleh BUDI I.
SETIAWAN, SATYANTO K. SAPTOMO, dan MOCHAMMAD AMRON.

Penerapan irigasi intermittent pada teknik budidaya padi SRI (System of


Rice Intensification) membutuhkan pengaturan air yang akurat agar kadar air
tanah tetap terjaga sesuai dengan kebutuhan tanaman. Pengaturan air irigasi di
lahan persawahan umumnya menggunakan pintu air. Hal ini akan menjadi beban
yang berat apabila dilakukan secara manual (konvensional) dalam penerapan SRI
untuk skala luasan lahan yang lebih besar, misalnya 1 daerah irigasi (DI),
mengingat pola kesetimbangan air yang sulit diperkirakan. Oleh sebab itu
implementasi sistem kendali perlu dilakukan dalam pengaturan muka air di lahan
padi sawah.
Kondisi pintu air yang ada saat ini (sebagian besar terbuat dari bahan besi)
mengalami kerusakan akibat proses korosi dan pencurian. Oleh karena itu
diperlukan bahan alternatif pintu air selain dari besi. Salah satu bahan yang dapat
digunakan adalah bahan komposit (beton serat dan fiberglass). Dalam penelitian
ini telah dilakukan pengendalian muka air (genangan) di lahan padi sawah secara
otomatis, dan untuk menunjang otomatisasi tersebut diperlukan prasarana pintu air
irigasi yang mampu menyediakan total kebutuhan air irigasi yang diperlukan di
saluran irigasi. Tujuan penelitian ini adalah merancang pintu air irigasi dari bahan
beton serat dan fiberglas; kalibrasi debit aliran dari pintu fiberglass; dan simulasi
pengendalian muka air di lahan padi sawah menggunakan pengontrol fuzzy.
Pembuatan pintu beton serat menggunakan bahan semen, pasir
menggunakan Pasir Bangka Belitung yang sudah lolos ayakan 2 mm dengan berat
jenis pasir 2,61 gr/cm3 dengan modulus kehalusan 1,50. Dimensi pintu adalah 56
cm x 75 cm x 3 cm dengan proporsi campuran beton yang dibuat menggunakan
standar nasional Indonesia untuk beton kedap air (SNI-03-2914-1992) dengan
rasio semen pasir adalah 1 : 2 dan uji slump 12 cm. Dosis serat yang
dicampurkan dalam mortar sebanyak 3 perlakuan, yaitu : 1, 2, dan 3 kg/m3 beton,
dimana serat dipotong-potong dengan ukuran panjang 18 mm + 2. Berat jenis
serat gelas (woven roving) yang akan digunakan memiliki berat jenis sebesar
1.200 kg/m3. Pengujian mekanik pintu beton serat menggunakan standar JIS
(Japan Industrial Standart) untuk pengujian slump test, dan flexural test.
Pengujian kuat lentur (flexural test) dilakukan pada 6 jenis perlakuan, yaitu
normal concrete (NC), fiber concrete (FC) dengan dosis 1 kg/m3 atau FC1, FC2,
FC3, FCM (serat diletakkan ditengah-tengah sampel dalam bentuk lembaran), dan
FCB (serat diletakkan di bagian bawah). Pengujian dilakukan dengan ulangan
sebanyak 2 kali untuk umur beton serat 28 hari dengan ukuran sampel 56 cm x 15
cm x 3 cm.
Sedangkan pintu fiberglass dibuat menggunakan bahan resin jenis
Unsaturated Polyester Resin tipe Orthopthaltic dan Isopthaltic Resin, dua jenis
serat gelas (woven roving/WR dan chopped strand mat/CSM), erosil, pigmen

iii
warna, cobalt, dan katalis. Ukuran sampel yang dibuat dengan dua ketebalan
yang berbeda yaitu tebal 12 mm (FG12) dan 30 mm (FG30), dengan ukuran 65
cm x 15 cm (panjang x lebar). Pengujian dilakukan dengan standar JIS dengan
ulangan sebanyak dua kali.
Simulasi pengontrolan muka air pada kondisi macak-macak antara 0 – 5
mm dilakukan secara otomatis menggunakan bidang polar sistem kendali fuzzy
sederhana untuk keperluan irigasi dan drainase melalui pendekatan konsep neraca
air dengan parameter masukan berupa curah hujan, evapotranspirasi, perkolasi
(dibuat tetap selama masa pertumbuhan), dan tinggi genangan air di saluran kecil
yang terdapat di sawah. Simulasi hanya dilakukan selama masa pertumbuhan
tanaman (tanpa kegiatan pengolahan tanah dan pelumpuran) dengan interval
waktu 24 jam atau 1 hari.
Berdasarkan hasil uji kuat lentur untuk sampel beton serat menunjukkan
bahwa peningkatan dosis serat berbentuk potongan kecil (18 mm) ke dalam
campuran beton untuk perlakuan FC1, FC2, dan FC3 dapat menurunkan kuat
lentur seiring dengan bertambahnya kandungan dosis serat jika dibandingkan
dengan sampel kontrol (NC). Sedangkan untuk perlakuan penambahan serat gelas
dalam bentuk lembaran (tidak dipotong-potong) memiliki pengaruh yang cukup
signifikan mampu meningkatkan kuat lentur dari beton serat tesebut, baik untuk
perlakuan FCB dan FCM, dengan peningkatan kekuatan sebesar 82,1% dan
25,6% dari sampel kontrol. Dimana kuat lentur untuk FCM dan FCB sebesar 49
dan 72 kg/cm2. Selain itu, berat sampel pada FCB dan FCM lebih rendah
dibandingkan dengan yang lain. Berdasarkan hasil ini, maka perlakuan FCB
merupakan hasil yang terbaik dan ini akan digunakan dalam pembuatan pintu air
modifikasi dengan dimensi 56 cm x 75 cm x 3 cm.
Sampel pintu fiberglass FG30 memiliki nilai kuat lentur yang lebih tinggi
dibandingkan dengan FG12, dimana apabila depleksi maksimum yang diijinkan
10 mm, maka kekuatan lentur maksimum yang mampu ditahan oleh FG12 dan FG
30 adalah 206 dan 299 kg/cm2. Kekuatan lentur yang dihasilkan sampel fiberglass
lebih besar dibandingkan sampel beton serat FCB (72 kg/cm2). Hubungan grafik
kuat lentur dan depleksi pada FG12 dan FG30 akan berpotongan pada kuat lentur
sekitar 100 kg/cm2 dengan lendutan lebih dari 4 mm. Sampel pintu 12 mm akan
digunakan untuk pembuatan pintu fiberglass dengan lebar pintu 58 cm.
Kalibrasi dan uji hidrolika pada pintu air fiberglass hasil rancangan dengan
tambahan tonjolan berbentuk ½ lingkaran dengan radius 10 cm pada bagian
bawah pintu terbukti mampu meningkatkan koefisien pengaliran (Cd) dan
koefisien kontraksi (Cc) hampir mendekati nilai 1. hal ini akan berdampak pada
tingkat akurasi penghitungan debit aliran semakin tinggi. Nilai Cd untuk pintu ini
k
dapat ditentukan dengan persamaan C = C .  h1 − w  ; dengan nilai Cc = 0,951, k0
1

d c  h + k .w
 1 0 
= 15, dan k1 = 0,062. Jadi pintu hasil rancangan ini mampu mengatur dan
mengukur aliran air. Ini amat membantu dalam kegiatan operasional pintu dan
otomatisasi irigasi.
Simulasi pengendalian muka air sawah dilakukan pada dua musim yang
berbeda, yaitu hujan dan kemarau dengan menggunakan Ms. Excel dengan
fasilitas Visual Basic Application. Dari simulasi pada kedua musim tersebut,
sistem pengendalian ini memiliki setting parameter sistem yang optimum (yang
dilakukan menggunakan fasilitas SOLVER dalam Ms. Excel) : rata-rata nilai f1

iv
dan f2 adalah 0,85 dan 1,00 dengan nilai indeks performansi (IP) rata-rata sebesar
8,41. Selain itu, jumlah solenoid valve dan kapasitas keluaran pipa (diameter
pipa) mempengaruhi nilai IP. Kapasitas solenoid valve yang digunakan dalam
sistem ini sebesar 0,70 l/det/ha (6,08 mm/hari) sebanyak dua buah, baik untuk
irigasi dan drainase.
Kondisi level muka air dapat dipertahankan mendekati level 0 – 5 mm
akan tetapi sistem kendali mengalami gangguan yang cukup besar dalam
pengendalian muka air pada saat hujan. Tetapi hal tersebut dapat ditangani
dengan baik dengan adanya tanggul limpasam dengan tinggi 20 mm. Sehingga
kelebihan air dapat dibuang menjadi surface run off. Hal ini terbukti dengan
tingginya surface run off yang terjadi pada saat musim hujan, yaitu sebesar 964,32
mm atau 43,93% dari total air yang diberikan (hujan dan irigasi). Pemilihan
kapasitas debit dan jumlah solenoid valve (aktuator jenis lainnya) yang tepat
menjadi hal paling penting dalam sistem ini. Selain itu, faktor biaya juga menjadi
faktor pembatas yang perlu dipertimbangkan selain faktor teknis tadi.
Secara umum dapat dilihat bahwa sistem kendali fuzzy sederhana ini dapat
digunakan untuk pengendalian muka air pada lahan pertanian SRI. Akan tetapi
kondisi lapang dan kemampuan sistem kendali akan membatasi kinerja sistem
irigasi otomatis ini. Output dari kendali ini dapat juga dilakukan dengan
menggunakan pintu air GFRP hasil rancangan dengan beberapa level bukaan
pintu.

Kata kunci : pintu air, koefisien pengaliran, fiberglass, beton serat, kontrol fuzzy.

v
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

vi
RANCANG BANGUN OTOMATISASI IRIGASI
(Desain Pintu Air dan Simulasi Sistem Kendali
Level Muka Air Sawah)

AHMAD TUSI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

vii
Penguji Luar Komisi : Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS.

viii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Rancang Bangun Otomatisasi Irigasi
(Desain Pintu Air dan Simulasi Sistem Kendali Level
Muka Air Sawah)
Nama : Ahmad Tusi
NRP : F152080011

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Budi I. Setiawan, MAgr.


Ketua

Dr. Satyanto K. Saptomo, STP., MSi. Dr. Ir. Mochammad Amron, MSc.
Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Teknik Sipil dan Lingkungan

Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

Tanggal Ujian: 21 Juli 2010 Tanggal Lulus:11Agustus 2010

ix
To:
- My beloved family; my beautiful wife, Erika Kartini, and my
daughters Ara and Aisyah for their love and support -
- In memory of my mother, Mundiroh. -
- People who always encourage me -

I dedicate this work.

x
UCAPAN TERIMA KASIH

Karya ilmiah ini telah selesai ditulis. Segenap pujian hanya milik Allah
dari awal hingga akhir. Allah-lah yang telah menyempurnakan segala kebaikan
dengan kenikmatan yang Dia anugerahkan kepada kita.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
a) Komisi Pembimbing Tesis, Prof. Dr. Budi I. Setiawan, MAgr (Ketua), Dr.
Satyanto K. Saptomo, MSi (anggota) dan Dr. Mochammad Amron, MSc
(anggota) atas bimbingan, saran dan arahan selama dalam proses penelitian
dan penyusunan tesis ini.
b) Penguji Luar Komisi, Prof. Dr. Asep Sapei, MS yang telah berkenan untuk
menguji dan memberikan saran dalam penelitian ini.
c) Koordinator Mayor Teknik Sipil dan Lingkungan, Dr. Nora H. Pandjaitan,
DEA, atas segala nasehat, perhatian dan dukungannya selama saya study S2 di
Teknik Sipil dan Lingkungan, IPB.
d) Kepala Puslitbang SDA, Dr. Arie Setiadi Moerwanto, MSc atas dukungan,
saran dan kritiknya dalam penelitian ini. Salah satu hal yang terus saya ingat
sampai sekarang adalah pertahankan konsep desain pintu air yang sederhana
bagi petani....”Keep it Simple”
e) Kepala Balai Irigasi, Ir. Lolly M. Martief, MT, atas segala dukungan baik
moril dan materil selama penelitian ini.
f) Pak Hanhan, Pak Bejo, Pak Muqorrobin, Pak Bambang, Dadan, dan seluruh
staf Balai Irigasi, Bekasi atas kerjasamanya dalam pelaksanaan penelitian ini.
g) Teman-teman SIL 2008 (angkatan I), Mba Dona, Titin, Suci, Taufik atas
kerjasama, bantuan dan persahabatan yang telah terbangun selama ini.
Semoga kita tetap ..”keep in touch...kawan”
h) Teman-teman Wisma Wageningen, Kang Mulyawatullah, Pak Gardjito, Ibu
Meiske, Ibu Poppy, Pak Yanto, dan yang lainnya.. terima kasih atas
dukungan, saran dan kritiknya dalam penelitian saya.
i) Untuk istriku tercinta, Erika Kartini, dan anak-anaku tersayang, bulanku,Ara
Athifa M, dan bintangku, Aisyah N. Sakhi untuk semua kasih sayang yang
diberikan dan menemani papa baik suka maupun duka.
j) Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah dan Ibu tercinta serta
seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Coming together is a beginning. Keeping together is progress. Working together


is success. —Henry Ford

xi
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2009 sampai dengan Juni
2010 ini adalah irigasi, dengan judul “Rancang Bangun Otomatisasi Irigasi”.
Karya ilmiah ini berisi tentang desain pintu air irigasi dan simulasi sistem kendali
level muka air sawah.
Alasan utama pemilihan topik penelitian mengenai irigasi adalah karena
ini merupakan concern bidang ilmu yang saya geluti dan kembangkan, selain itu
banyaknya permasalahan yang muncul di lapangan, terutama mengenai kondisi
pintu air yang ada di Indonesia. Secara umum, desain irigasi pemukaan
berdasarkan kriteria fisik (hidrolika, agronomi, dan engineering). Namun ketika
kita bandingkan dengan kondisi real di lapangan, kondisi performansi pintu jauh
dari harapan karena kondisinya yang rusak, hilang, pembagian air yang tidak
tepat, dll. Lalu muncul pertanyaan : “Would it be possible to design irrigation
water gate taking into account human aspect? If so, what would be the
repercussions on the type of technology?”
Operasional pintu air di Daerah Irigasi Cimanuk, Garut (dan kemungkin
juga di daerah irigasi lain) mengalami keterbatasan juru pengairan. Tentunya hal
ini akan berdampak pada tingkat kelelahan yang tinggi pada juru pengairan dalam
menangani pembagian air irigasi dan akhirnya adalah performansi pengaliran air
menurun. Maka muncullah pertanyaan : “Are these complicated technology and
operational procedures realistic and really necessary? Would it be possible to
achieve better performance by simplifying the technology and the operational
procedures?”
Dalam karya ilmiah telah dicoba menjawab pertanyaan tersebut melalui
desain pintu air dan simulasi sistem kendali otomatis level muka air sawah. Tak
ada gading yang tak retak, karya ilmiah ini masih banyak kekurangan, jadi saran
dan kritik sangat diharapkan demi pengembangan penelitian ini ke depan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi
dalam pengembangan irigasi di Indonesia.

Bogor, Juli 2010

Ahmad Tusi

xii
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Juni 1981 sebagai


anak ke-2 dari tiga bersaudara dari ayah M. Pur’adi dan Ibu
Mundiroh (alm.). Tahun 1999 penulis lulus dari SMA Negri 66
Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih
Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, dan menamatkannya
pada tahun 2003.
Penulis sempat menekuni pekerjaan di sektor perkebunan sawit di PT.
TOR GANDA, Medan (tahun 2003), dan PT. Perusahaan Gas Negara, Tbk (tahun
2004 – 2005). Saat ini penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Teknik Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung sejak tahun 2005.
Selama mengikuti program S2, penulis sempat merasakan pengalaman
yang berharga untuk mengikuti kegiatan Workshop dan Symposium International
di Ibaraki University, Jepang. Karya ilmiah yang disampaikan pada kegiatan
tersebut berjudul “Design Of Automatic Water Gate To Control Water Level In
Paddy Fields” pada bulan Desember 2009.
(Korespondensi : ahmad_tusi@yahoo.com)

xiii
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiv
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xix
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 3
1.3. Batasan Penelitian ............................................................................................ 3
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 4
2.1. Sistem Irigasi Padi SRI .................................................................................... 4
2.2. Pintu Air ........................................................................................................... 6
2.3. Kontrol Fuzzy ................................................................................................. 10
2.4. Material Komposit ......................................................................................... 10
III. PENDEKATAN DESAIN .............................................................................. 13
3.1. Rancangan Fungsional Pintu Air ................................................................... 14
3.2. Rancangan Struktural Pintu Air ..................................................................... 15
IV. METODE PENELITIAN ............................................................................... 21
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................ 21
4.2. Bahan dan Alat ............................................................................................... 21
4.3. Tahapan Penelitian ......................................................................................... 21
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 32
5.1. Rekayasa Material Pintu Air Beton Serat ...................................................... 32
5.2. Rancang Bangun Pintu Air Fiberglass ........................................................... 35
5.3. Analisa Biaya Pembuatan Daun Pintu ........................................................... 39
5.4. Kalibrasi Pintu Air Rancangan....................................................................... 41
5.5. Pengedalian Muka Air dengan Sistem Kendali Fuzzy ................................... 45
5.6. Peluang dan Tantangan Otomatisasi Irigasi ................................................... 52
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 55
6.1. Kesimpulan .................................................................................................... 55

xiv
6.2. Saran............................................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 57
LAMPIRAN .......................................................................................................... 60

xv
DAFTAR TABEL

Halaman
1. Sifat-sifat Mekanik Bahan Dasar Fibreglasss ................................................... 12
2. Perlakuan Pengujian Bending untuk Beton Serat ............................................. 23
3. Perlakuan Pengujian Bending Fiberglass .......................................................... 23
4. Kuat Lentur dan Depleksi Fiberglass ................................................................ 37
5. Biaya Pembuatan Daun Pintu Beton Serat (GFRC).......................................... 40
6. Biaya Pembuatan Daun Pintu Fiberglass (GFRP) ............................................ 40
7. Kalibrasi Pintu Air GFRP Bentang 50 cm ........................................................ 42
8. Indeks Performansi Masing-masing Metode .................................................... 43
9. Nilai Parameter yang Optimum ........................................................................ 45
10. Neraca Air Selama Pengendalian dengan Logika Fuzzy................................. 48
11. Hubungan Q, Um, dan IP. ............................................................................... 51
12. Simulasi Perhitungan Debit Aliran dari Pintu GFRP ..................................... 54

xvi
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Kondisi aliran bebas (free flow) dan tenggelam (submerged flow).................... 6
2. Gaya Hidrostatik Pada Bidang Datar Tegak ....................................................... 9
3. Skema Sistem Kendali Fuzzy ............................................................................ 10
4. Jenis Fiberglass Reinforcement untuk Plastik................................................... 12
5. Skema Sistem Kontrol Irigasi di Sawah ........................................................... 13
6. Pintu Air Beton Serat ........................................................................................ 16
7. Motor dan Mekanik ........................................................................................... 17
8. Pintu Air Fiberglass .......................................................................................... 19
9. Model Struktur yang Digunakan dalam Eksperimen ........................................ 24
10 . Model Neraca Air Padi Sawah ....................................................................... 26
11. Kc Tanaman Padi SRI Field Trial MT I 2008 ................................................ 26
12. Tanggul Limpasan di Sawah ........................................................................... 26
13. Pembuatan Sawah Baru dengan Lapisan Basin Plastic................................... 27
14. Kondisi Level Muka Air ................................................................................. 28
15. Bidang Polar Sistem Kendali Fuzzy Sederhana .............................................. 28
16. Fungsi Keanggotaan (a) Sudut Fasa, (b) Magnitudo ...................................... 29
17. Bagan Alir Pemrograman Pengendalian Level Muka Air ............................. 31
18. Hasil Uji Kuat Lentur Beton Serat .................................................................. 32
19. Kondisi Sampel Setelah Pengujian Lentur...................................................... 33
20. Pintu Air GFRC .............................................................................................. 34
21. Sistem Pengangkatan Pintu ............................................................................. 35
22. Proses Pembuatan Sampel Pengujian ............................................................. 36
23. Pengujian Bending dengan Universal Testing Machine ................................. 36
24. Kondisi Sampel Fiberglass Selama Pengujian ................................................ 38
25. Pemasangan Pintu GFRP di DI Cimanuk, Garut ............................................ 39
26. Grafik Hubungan (h1/w) dengan Cd ................................................................ 43

xvii
27. Evapotranspirasi pada Musim Hujan dan Kemarau di Bekasi ........................ 46
28. Run Off pada MH selama musim tanam ......................................................... 46
29. Kondisi Muka Air Hasil Pengendalian dengan Um=2 buah ........................... 48
30. Nilai Um Diperbesar dan QSolenoid valve Diperkecil ............................................ 49
31. Pengendalian Level Muka Air tanpa Solenoid valve Drainase ....................... 50
32. Spesifikasi Pintu Air Glass Fiber Reinforced Plastic (GFRP) ........................ 53

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Rancangan Pintu Air dari Bahan Fiberglass ..................................................... 61
2. Rancangan Pintu Air dari Bahan Beton Serat ................................................... 63
3. Perhitungan Modulus Elastisitas Fiberglass ..................................................... 65
4. Analisa Gaya pada Pintu Air ............................................................................. 67
5. Perhitungan Tebal Pintu .................................................................................... 69
6. Perhitungan Slab Beton Pintu Beton Serat ....................................................... 71
7. Proses Pembuatan Pintu Air GFRP ................................................................... 73
8. Proses Pembuatan Beton Serat .......................................................................... 74
9. Tampilan Program Simulasi Kendali Muka Air Sawah.................................... 75

xix
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

System of Rice Intensification (SRI) dewasa ini telah dikenal sebagai teknik
budidaya padi hemat air dan memberikan hasil yang lebih baik dari pada cara
budidaya konvensional. Pola pemberian air di sawah SRI dilakukan secara
intermittent dan disesuaikan dengan umur tanaman. Air akan berfungsi selain
untuk memenuhi kebutuhan tumbuh tanaman, juga untuk mencegah tumbuhnya
gulma yang akan mengganggu pertumbuhan bibit padi.
Penerapan irigasi intermittent pada teknik budidaya padi SRI membutuhkan
pengaturan air yang akurat agar kadar air tanah tetap terjaga sesuai dengan
kebutuhan tanaman. Pada budidaya padi SRI umumnya petani akan lebih
intensif berada di areal persawahan untuk melakukan kegiatan budidaya (seperti
pemupukan, penyianyan, dll) dan tinggi muka air di lahan diatur supaya dalam
kondisi macak-macak (0 – 5 mm). Hal ini dapat dilakukan petani dengan baik
pada ukuran petakan yang kecil. Bagaimana bila penerapan teknik budidaya padi
SRI dilakukan dalam skala besar, misalnya satu daerah irigasi (DI)? Tentu ini
merupakan hal yang tidak mudah untuk mengatur pemberian air ke seluruh
petakan lahan. Kondisi ini makin bertambah berat dengan minimnya juru
pengairan. Jadi ini akan menjadi beban tambahan apabila dilakukan secara
manual (konvensional), mengingat pola kesetimbangan air yang sulit
diperkirakan. Oleh sebab itu implementasi sistem kendali perlu dilakukan dalam
pengaturan muka air di lahan padi sawah.
Pengembangan model neraca air untuk padi sawah dengan praktek irigasi
secara intermittent telah dikembangkan oleh Khepar et al., (2000) untuk keperluan
memprediksi komponen neraca air yang ada di suatu lahan. Sedangkan untuk
sistem kendali untuk pengaturan muka air telah secara intensif dikembangkan oleh
Iskandar et al., (1999), Setiawan et al., (2001), Setiawan et al., (2002) , Saptomo
et al., (2004), dan Arif et al., (2009) untuk mengatur muka air di lahan basah
dengan mengendalikan air di saluran yang membatasi lahan. Sistem kendali muka

1
air secara otomatis menjaga permukaan air di lahan pada level tertentu yang aman
bagi tumbuhan dan cukup bagi lahan untuk terhindar dari kekeringan berlebihan
dan deformasi. Sistem ini pada dasarnya dapat diterapkan untuk berbagai kasus
pengendalian muka air, seperti pengaturan air dalam teknik padi dengan pola SRI.
Pengendalian level muka air di lahan padi SRI tentu akan menjadi lebih kompleks
dalam sistem neraca air di sawah, akibat adanya pengaruh hujan,
evapotransipirasi, run off, perkolasi. Oleh karena itu, diperlukan sebuah sistem
kendali muka air sawah yang memasukkan beberapa parameter di tersebut.
Namun, pengaturan pemberian air irigasi harus juga memperhatikan
kondisi eksisting yang ada di lapangan. Pemberian air pada lahan irigasi teknis
yang ada di Indonesia, hampir seluruh areal menggunakan sistem irigasi
permukaan (secara gravitasi) dan pengendalian pemberian air dilakukan
menggunakan pintu air irigasi dan saluran pembuang (drainase). Untuk dapat
menghasilkan pengaturan air secara baik tentunya memerlukan kondisi pintu air
dalam kondisi yang baik. Namun, kondisi pintu air yang ada saat ini (sebagian
besar terbuat dari bahan besi) mengalami kerusakan akibat proses korosi dan
pencurian. Berdasarkan hasil pemantauan lapang di DI. Cimanuk1, Garut; dimana
hampir 60% kondisi pintu air rusak akibat korosi dan dicuri, dan kasus ini
dijumpai juga hampir di sebagian besar DI di Indonesia seperti yang diberitakan
dalam berbagai media cetak dan elektronik (www.wawasandigital.com,
23/07/2009; www.kompas.com, 08/02/2009; www.newspaper.pikiran-rakyat.com,
22/6/2009).
Kondisi pintu yang rusak dan hilang pada bangunan bagi/sadap telah
menimbulkan dampak yang cukup serius dalam hal alokasi pembagian air dan
menurunnya kinerja delivery performance ratio (DPR)2 pada setiap bangunan
bagi. Hal ini merupakan kondisi yang tidak baik untuk kegiatan usaha tani.
Selain itu, ini akan mempersulit upaya otomatisasi irigasi di lahan irigasi teknis
karena kondisi pintu air yang rusak dan tidak berfungsi dengan baik
Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dilakukan pengendalian muka air
(genangan) di lahan padi sawah secara otomatis, dan untuk menunjang otomatisasi
1
Hasil pengamatan di lapangan pada bulan Juli 2009
2
Hasil pengamatan lapang bulan Juli 2009 dengan perhitungan DPR mengacu pada Bos (2005),
menunjukkan sebanyak 45,8% pemberian irigasi berlebihan, 33,3% kurang, dan sisanya sesuai dengan
debit rencana.

2
tersebut diperlukan prasarana pintu air irigasi yang mampu menyediakan total
kebutuhan air irigasi yang diperlukan di saluran irigasi. Untuk memperoleh
ketepatan dalam pemberian air, maka diperlukan pintu air yang mampu mengatur
dan mengukur (regulator and measurement) serta otomatisasi irigasi. Dalam
penelitian ini akan dirancang pintu air irigasi dari bahan alternatif selain besi,
yaitu menggunakan bahan komposit sepeti beton serat dan fiberglass.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah a) merancang pintu air dari beton serat dan
fiberglass; b) membangun persamaan kalibrasi pintu air irigasi (antara tinggi
bukaan pintu, water level, dan debit air); c) menyusun simulasi sistem kendali
level muka air otomatis pada tanaman Padi SRI.

1.3. Batasan Penelitian

Penelitian ini akan melakukan rancang bangun pintu irigasi mulai dari
pemilihan bahan material, pembuatan, pengujian di laboratorium dan lokasi
penelitian di Bekasi serta simulasi sistem otomatisasi level muka air pada sawah
menggunakan kontrol fuzzy.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Irigasi Padi SRI

Tujuan utama irigasi adalah untuk mensuplai air untuk memenuhi


kebutuhan air tanaman. Pada budidaya padi SRI umumnya menggunakan irigasi
intermittent yang didasarkan pada fase pertumbuhan tanaman dan kondisi cuaca
tempat budidaya. Sehingga proses aerasi pada daerah perakaran dapat berjalan
dengan baik dan tentunya akan meningkatkan jumlah anakan dan mendukung
aktivitas mikroorganisme di daerah perakaran dan pada akhirnya meningkatkan
produksi. Menurut Kalsim et al. (2007), pengelolaan air di petakan SRI di Jawa
Barat pada prinsipnya dibagi dalam 5 fase, yaitu fase awal, vegetatif-anakan,
pembungaan, pengisian bulir sampai masak susu, dan pematangan bulir sampai
panen. Irigasi diberikan dalam kondisi macak-macak (0 – 5 mm), sedangkan
untuk penyiangan gulma dilakukan 3 – 4 kali dalam satu musim tanam dengan
tinggi genangan 20 mm.

2.1.1. Neraca Air Padi Sawah


Konsep neraca air dapat digunakan untuk mendekati nilai-nilai hidrologis
proses yang terjadi di lapangan. Secara garis besar neraca air merupakan
penjelasan tentang hubungan antara aliran ke dalam (inflow) dan aliran ke luar
(outflow) di suatu daerah untuk suatu periode tertentu dari proses sirkulasi air. Di
lahan padi sawah beririgasi, komponen-komponen yang mempengaruhi neraca air
adalah inflow (irigasi dan hujan) dan outflow (drainase, perkolasi, seepage,
evapotranspirasi, dan surface run off)
Secara umum kesetimbangan air di lahan padi sawah dapat dijabarkan
seperti dalam persamaan berikut ini (Khepar et al., 2000) :

H(t) = H(t-1) + R(t)– (ET(t) + P(t) + RO(t)) + Q(t) /1/


dimana,
H(t) = kedalaman genangan air di sawah pada saat hari ke-t (mm)
H(t-1) = kedalaman genangan air di sawah pada hari ke t-1 (mm)

4
Q(t) = Jumlah air irigasi (+) atau drainase (-) yang pada hari ke-t (mm)
ET(t) = Evapotranspirasi tanaman (mm)
P(t) = jumlah air yang hilang melalui perkolasi (mm)
RO(t) = aliran permukaan yang terjadi di lahan sawah, jika ada (mm)
t = perioda waktu

2.1.2. Evapotranspirasi
Evapotranspirasi terdiri dari dua proses, yaitu proses menguapnya air dari
tanah (evaporasi) dan proses menguapnya air dari tajuk tanaman (transpirasi).
Karena sulit untuk dibedakan, proses evaporasi (E) dan transpirasi (T) dirumuskan
sebagai satu kesatuan sebagai evapotranspirasi (ETc). Menurut Allen et.al. (1998)
kebutuhan air tanaman dirumuskan dalam bentuk :

ETc = ETo x Kc /2/

dimana, ETc : evapotranspirasi tanaman potensial (mm/hari), ETo : evaporasi


tanaman acuan (mm/hari), Kc : koefisien tanaman.

ETo merupakan evapotranspirasi tanaman acuan yaitu rumput setinggi 10


cm yang tumbuh subur dan tidak kekurangan air. ETo hanya bergantung kepada
faktor iklim, oleh karena itu telah banyak dikembangkan rumus-rumus pendekatan
untuk menghitung ETo yang umumnya berupa rumus-rumus empiris berdasarkan
kondisi yang ada di lapangan.

2.1.3. Limpasan Permukaan (Run off)


Run off (RO) akan terjadi pada suatu hari di lahan jika tinggi genangan air
(height of ponding / H) pada hari ke-t telah melampaui tinggi tanggul limpasan /
HL (height of levee). Pada sawah biasanya terdapat tanggul limpasan dengan
tinggi tertentu dari permukaan lahan sesuai dengan keinginan petani. Sehingga
jumlah RO dapat diprediksi dengan menggunakan persamaan di bawah ini :
RO(t) = H(t) – HL /3/
dimana, H(t) = tinggi genangan air pada hari akhir ke-t (mm); HL = height of levee
(tinggi tanggul limpasan di sawah).

5
2.2. Pintu Air
Pintu air (gate, sluice) merupakan sebuah bangunan struktur hidrolik yang
biasa dibangun memotong tanggul saluran/sungai yang berfungsi sebagai pengatur
aliran air untuk irigasi dan drainase, penyadap dan pengaturan lalu lintas air
(Sosrodarsono dan Tominaga, 1984). Namun begitu, pintu air dapat digunakan
dengan baik untuk keperluan pengukuran debit.
Pintu air yang umum digunakan di Indonesia adalah jenis pintu sorong
dengan sistem mekanik ke atas (vertical lift) dengan tipe gate dan sluice. Jenis ini
umumnya digunakan untuk mengatur muka air dan laju aliran di saluran.
Mekanisme pengangkatan pintu yang naik dan turun menjadikannya lebih simpel
(mudah) untuk dioperasikan bagi seorang juru pengairan secara manual, dengan
sistem mekanik (worm gear atau rack and pinion drive) atau secara elektrik
(otomatis).

2.2.1. Kondisi Aliran


Kondisi aliran air yang melalui bawah pintu (undershot) akan mengalami
dua jenis aliran yang berbeda, yaitu kondisi aliran bebas (free flow condition) dan
aliran tenggelam (submerged flow condition) seperti pada Gambar 1. Kondisi
aliran bebas terjadi apabila sebuah lompatan hidrolik (hydraulic jump) terjadi di
bagian hilir pintu, sedangkan aliran tenggelam terjadi apabila muka air di hilir
pintu lebih besar dari pada tinggi muka air di bawah pintu. Biasanya sering terjadi
di dalam saluran tertutup yang kecil.

Gambar 1. Kondisi aliran bebas (free flow) dan tenggelam (submerged flow)

Dalam penelitian ini tidak akan dilakukan kajian tentang penentuan jenis
aliran ini secara mendalam, tetapi cukup menggunakan beberapa formula atau

6
teori yang telah dikembangkan sebelumnya, seperti formula yang dikembangkan
oleh Swamee (1992) seperti berikut :

0.72
h 
Free flow : h1 ≥ 0.81 h3  3  /4/
 l 
0.72
h 
Submerged flow : h3 < h1 < 0.81 h3  3  /5/
 l 
dimana, h1 : tinggi muka air di hulu pintu, h3 : tinggi muka air di hilir pintu, dan l :
bukaan pintu.

2.2.2. Perhitungan Debit Aliran


Perhitungan debit aliran yang mengalir di bawah pintu (undershot)
bukanlah perkara yang mudah. Secara teori, memang aliran ini dapat dihitung
menggunakan formula apabila telah diketahui koefisien kontraksi yang terjadi
pada pintu tersebut. Persamaan umum perhitungan debit klasik secara umum
adalah sebagai berikut :

Q = C d . w . b . 2 . g . h1 /6/

dimana Cd : koefisien pengaliran, w : bukaan pintu (m), b : lebar saluran, g :


percepatan gravitasi (9,81 m/det2), dan h1 : tinggi aliran di hulu pintu (m), dan Q :
laju aliran (m3/det).
Nilai koefisien pengaliran (Cd) merupakan suatu fungsi dari koefisien
kontraksi (Cc), lebar saluran (b), tinggi muka aliran di hulu pintu, dan jenis aliran.
Berikut ini adalah persamaan penentuan nilai Cd untuk aliran free flow yang
digambarkan seperti dalam persamaan berikut :
Cc Cc . b
Cd = ; dimana η = /7/
1 +η h1

nilai Cc akan bervariasi tergantung dari besaran bukaan pintu, bentuk daun pintu
yang digunakan, kedalaman aliran air di hulu dan jenis aliran (Lin et al., 2002).
Rajaratnam dan Subramanya (1967) menyatakan bahwa untuk aliran free
flow, penentuan debit aliran bawah pada pintu sorong ditetapkan dengan
persamaan berikut :

7
Q = Cd w b 2 g ( h1 − C c w) /8/

Rajaratnam dan Subramanya (1967) menyatakan telah menetapkan nilai Cc untuk


rumus aliran bawah pada pintu bentuk persegi sebesar 0,61, dengan nilai C d akan
linier pada saat nilai w/h1 < 0,3, dan nilai Cd dihitung dengan rumus Cd = 0,0297
x w/h1 + 0,585.
Sementara itu, Swamee (1992) telah menetapkan nilai Cd untuk aliran free
flow adalah sebagai berikut :
k1
 h −w 
C d = C c  1  /9/
h + k
 1 0 . w

Swamee (1992) melaporkan bahwa berdasarkan hasil eksperimen untuk pintu


sorong berbentuk persegi dengan nilai Cc sebesar 0,611, memiliki nilai konstanta
k0 dan k1 sebesar 15 dan 0.072 dengan nilai Cd sesuai dengan Nomogram Henry,
yaitu akan memiliki nilai Cd maksimum yang konstan sebesai 0,611.
Untuk menghasilkan rancang bangun pintu air irigasi yang mampu
mengatur dan mengukur aliran air, maka nilai koefisien dari Cd dan Cc harus
diperhatikan dan diharapkan mampu ~ 1. Nilai koefisien yang mendekati 1,
diharapkan mampu meningkatkan tingkat akurasi perhitungan debit di lapangan.
Pada model Crump-de Guyter telah dikembangkan pintu air dengan tambahan
tonjolan pintu berbentuk ¼ lingkaran pada bagian ujung bawah, yang
dimaksudkan untuk meningkatkan nilai koefisien Cc dan Cd mendekati 1. Oleh
karena itu pembuatan desain harus memperhatikan faktor-faktor tersebut,
sehingga pengembangan otomatisasi irigasi dapat dilakukan dengan baik dan
mudah apabila pintu air sendiri memiliki tingkat akurasi dalam pengaturan dan
pengukuran air dengan baik.

2.2.3. Perhitungan Beban Pintu dan Pengangkat

(a) Pembebanan Pintu


Pada pintu sorong tekanan air diteruskan ke sponeng, dan pada pintu radial
ke bantalan pusat. Apabila suatu benda berada di dalam zat cair yang diam, maka
akan mengalami gaya hidrostatik yang diakibatkan oleh tekanan zat cair. Tekanan
tersebut bekerja tegak lurus terhadap permukaan benda. Gaya hidrostatik yang

8
bekerja pada benda tersebut, dipengaruhi oleh bentuk permukaan benda. Gaya
hidrostatik pada bidang datar tegak (Gambar 2), dapat ditentukan sebagai berikut
1
F= ρ g h2 B /10/
2
2
at = h /11/
3
dimana, F : gaya hidrostatik, at : titik tangkap gaya hidrostatik diukur dari
permukaan air, h : kedalaman air, dan B : lebar bidang yang ditinjau tegak lurus
bidang Gambar.
z=0

at
h
F

z=-h
p= ?.g.h B
p = ρ.g.h

Gambar 2. Gaya Hidrostatik Pada Bidang Datar Tegak

(b) Alat Pengangkat


Alat pengangkat dengan stang biasanya dipakai untuk pintu-pintu lebih
besar. Untuk pintu-pintu yang dapat menutup sendiri, karena digunakan rantai
berat sendiri atau kabel baja tegangan tinggi. Pemilihan tenaga manusia atau
mesin tergantung kepada ukuran dan berat pintu, tersedianya tenaga listrik, waktu
eksploitasi, mudah/tidaknya eksploitasi, dan pertimbangan-pertimbangan
ekonomis. Perhitungan gaya pengangkatan pintu dapat dilakukan dengan
menggunakan rumus :
F = f T bc + W + ρ g h1 bc L /12/

dimana, F : gaya angkat yang diperlukan (N), f : koefisien gesekan (0.6 pada saat
akan diangkat, dan 0.3 pada saat pintu sedang diangkat/berjalan), T : luas
pembebanan/segitiga (kg/det2), bc : lebar pintu (m), W : berat pintu (N), ρ : berat
jenis air (1000 kg/m3), h1 : tinggi muka air (m), dan L : lebar weir (jika memiliki
ambang lebar pada pintu tersebut)

9
2.3. Kontrol Fuzzy
Pembuatan kontrol dengan logika fuzzy secara ringkas adalah menghitung
error dan beda error, fuzifikasi, menentukan aturan kontrol (matrik keputusan) dan
menghitung nilai maksimum, dan defuzikasi (Gambar 3). Besaran yang
berpengaruh pada sistem kontrol fuzzy adalah error (Er) yang merupakan selisih
antara set point dengan kondisi aktual, dan beda error (dEr) yang merupakan
selisih antara error dengan error sebelumnya. Pada sistem kontol logika fuzzy
diharapkan bahwa keluaran tidak memiliki lewatan (overshot) dan waktu yang
seminimal mungkin untuk mencapai set point.

Gambar 3. Skema Sistem Kendali Fuzzy

Teknik logika fuzzy telah banyak diaplikasikan dalam sistem kontrol


otomatis. Setiawan dan Saptomo (1996), Iskandar et al., (1999), Setiawan et al.,
(2001), Setiawan et al., (2002) , Saptomo et al., (2004), dan Arif et al., (2009)
melaporkan bahwa simulasi pengendalian tinggi muka air tanah dengan algoritma
logika fuzzy dapat menstabilkan level air pada kedalaman yang diinginkan (set
point yang direncanakan) pada keadaan pemberian air yang berfluktuasi pada
kondisi batas yang ditentukan. Iskandar et al. (1999) telah mengembangkan
bidang polar sistem kendali fuzzy sederhana untuk keperluan irigasi dan drainase.

2.4. Material Komposit

Smith dan Jayad (2006) menyatakan bahwa bahan komposit merupakan


sebuah sistem material yang tersusun atas kombinasi dari dua atau lebih bahan
penyusun mikro atau makro dengan lapisan pemisah diantara mereka yang
berbeda dalam bentuk maupun susunan kimiawinya dan tidak larut/dapat
dipecahkan secara esensial antara satu dengan bahan penyusun lainnya.
Beberapa jenis bahan komposit yang penting dalam dunia keteknikan dan
kehidupan kita adalah beton, fiberglass (fibre-reinforced plastics), aspal, kayu,
dan sebagainya.

10
2.4.1. Beton Serat (fiber-concrete)
Beton serat atau fibre concrete adalah bahan komposit yang terdiri dari
beton biasa dan bahan lain yang berupa serat. Serat pada umumnya berupa
batang-batang dengan diameter antara 5 dan 500 µm, dan panjang sekitar 25 – 100
mm. Bahan serat dapat berupa : serat asbestos, serat tumbuh-tumbuhan (rami,
ijuk, bambu), serat plastik (polypropylene), atau potongan kawat baja. Maksud
utama penambahan serat ke dalam beton adalah untuk :
- Menambah kuat tarik, karena beton merupakan bahan yang memiliki kuat
tarik yang rendah
- Menambah daktilitas, karena beton merupakan bahan yang getas, dan
- Menambah ketahanan terhadap retak.

Jika serat yang digunakan mempunyai modulus elastisitas yang lebih


tinggi dari pada beton, misalnya kawat baja, maka beton serat akan mempunyai
kuat tekan, kuat tarik, maupun modulus elastisitas yang sedikit lebih tinggi dari
pada beton biasa. Ernawati (1998) dalam Tjokrodimuljo (2007) menyatakan
bahwa peningkatan kandungan serat berdampak terhadap meningkatnya kuat tarik
lentur dan daktilitas tetapi tidak meningkatkan kuat tekannya. Beton serat bersifat
lebih tahan benturan dan lenturan, maka cocok dipakai pada landasan pesawat
udara, jalan raya, lantai jembatan. Sehingga bila dilihat dari sifat beton serat ini,
maka beton serat memiliki potensi untuk dijadikan sebagai bahan daun pintu
irigasi.

2.4.2. Fibreglass
Fiberglass adalah bahan paduan atau campuran beberapa bahan kimia
(bahan komposit) yang bereaksi dan mengeras dalam waktu tertentu. Bahan ini
mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan bahan lainya (seperti logam),
diantaranya: ringan; mudah dibentuk; memiliki kekuatan yang tinggi (tergantung
rasio beratnya); memiliki stabilitas dimensi yang baik; tahan terhadap panas,
dingin, lembab, dan korosi; sebagai bahan insulasi listrik yang baik; dan murah
(Smith dan Jayad, 2006). Pada Tabel 1 disajikan beberapa sifat-sifat bahan serat
untuk sebagai bahan campuran untuk pembuatan fibreglass /reinforced fibreglass
plastic (Smith dan Jayad, 2006).

11
Tabel 1. Sifat-sifat Mekanik Bahan Dasar Fibreglasss
Glass Carbon Aramid
Sifat Mekanik Bahan
(E) (HT) (Kevlar 49)
Tensile strength, ksi (Mpa) 450 (3.100) 500 (3.450) 525 (3.600)
Tensile Modulus, Msi (Gpa) 11,00 (76) 33 (228) 19 (131)
Elongation at break (%) 4,50 1,6 2,80
Density (g/cm3) 2,54 1,8 1,44

Jenis Fiberglass reinforcements untuk plastik adalah fiberglass yarn


(bentuk rajutan benang), woven fabric of fiberglass yarn (lembaran), continous-
strand roving, dan woven roving. Sedangkan untuk fiberglass reinforcing mats
adalah continous-strand mat, surfacing mat, chopped-strand mat, dan kombinasi
woven roving dengan chopped-strand mat. Pada Gambar 4 disajikan dua jenis
serat gelas yang ada di pasaran.

Mat/Mesh Woven Roving

Gambar 4. Jenis Fiberglass Reinforcement untuk Plastik

Untuk membentuk menjadi sebuah fiberglass atau glass fiber reinforced plastic
memerlukan liquid, yaitu plastiknya (matrix). Jenisnya ada banyak, namun yang
umum dipakai adalah polyester dan epoxy resin.

12
III. PENDEKATAN DESAIN

Rancang bangun sistem irigasi otomatis ini direncanakan untuk lahan


irigasi teknis pada suatu daerah irigasi yang umumnya telah memiliki prasana
jaringan irigasi seperti : bangunan sadap/bagi, saluran irigasi dan drainase, serta
pintu air. Rancang bangun pintu air otomatis akan menggunakan sistem
komunikasi data menggunakan wireless (tanpa kabel) mengingat kondisi lokasi
yang jauh antara pintu air pada bangunan bagi/sadap dengan areal lahan yang
diberikan air irigasi. Skema rencana irigasi otomatis (Gambar 5) memiliki :
komputer utama (host control), sebagai kontrol sistem otomatis pintu air secara
keseluruhan; Ethernet Gateway (NI WSN-9791), berfungsi sebagai pemancar dan
penerima sinyal dari beberapa sensor yang terpasang di lapang; dan Node (WSN-
3202), berfungsi sebagai penerima sinyal dari sensor dan akan diteruskan ke
gateway dan komputer utama.

Gambar 5. Skema Sistem Kontrol Irigasi di Sawah

13
Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menyediakan air irigasi
dengan jumlah dan waktu pemberian yang tepat dan fleksibel sesuai dengan
kebutuhan pada suatu areal lahan yang dilayani pada sebuah bangunan sadap/bagi.
Hal ini dapat diterjemahkan sebagai bagaimana mengatur kondisi level muka air
pada saluran agar mampu diambil/disadap oleh pipa klep pada areal sawah. Salah
satu perangkat dalam sistem ini adalah pintu air, yang berfungsi sebagai pengatur
air yang akan masuk ke dalam saluran dan kemudian disadap oleh pipa klep yang
menuju ke lahan. Oleh karena itu diperlukan sebuah pintu air yang dapat
mengatur sekaligus mengukur, sehingga langkah menuju otomatisasi dapat
berjalan dengan baik.
Dalam penelitian ini fokus pada bagian perangkat komponen pintu air
untuk kebutuhan otomatisasi tersebut dengan menggunakan material dari bahan
komposit (fiberglass dan beton serat), mengingat banyaknya pintu air yang rusak
dan hilang. Selain itu, penelitian ini juga membuat simulasi program sistem
kendali muka air sawah untuk penentuan kapan (waktu) dan jumlah air
irigasi/drainase yang harus dilakukan. Sehingga total kebutuhan volume air yang
harus disediakan pada bangunan bagi/sadap bisa dapat diprediksi dan besar
kapasitas debit pipa klep (solenoid valve) yang harus digunakan pada suatu lahan
dapat kita tentukan dengan baik.

3.1. Rancangan Fungsional Pintu Air

Secara fungsional pintu air yang dibuat menggunakan dua jenis bahan yang
berbeda, yaitu beton serat dan fiberglass, memiliki fungsi mengatur dan mengukur
aliran air. Sistem pengangkatan pintu air dari bahan fiberglass digerakkan secara
manual (tetapi dapat juga digerakkan secara mekanik), sedangkan pintu beton
serat digerakkan menggunakan sistem mekanik.
Berikut ini adalah komponen penyusun pintu air beton serat :
a) Daun pintu, berfungsi sebagai komponen utama untuk penahan gaya-gaya
dari tekanan air dan sedimen (bila ada) yang terjadi pada saluran.
b) Poros pintu (stem atau screw jack), berfungsi sebagai penghubung antara
daun pintu dengan unit sistem mekanik.

14
c) Sistem mekanik, berfungsi sebagai penggerak pintu, yang terdiri dari lifting
nut, worm gear, drive shaft.
d) Unit penggerak sistem mekanik, befungsi untuk menggerakkan sistem
mekanik, yang dilakukan dengan motor atau secara manual (dengan
tangan). Pintu air yang dibuat bersifat knock down, sehingga
memungkinkan untuk digerakkan dengan motor dan manual.
e) Rangka pintu, berfungsi untuk penahan pintu dan sistem mekanik.
f) Penutup sistem mekanik (Cover), berfungsi untuk mengamankan sistem
mekanik dan perlengkapan lainnya dari kondisi lingkungan dan pencuri.
Pintu air fiberglass memiliki beberapa komponen berupa :
a) Daun pintu, berfungsi sebagai komponen utama untuk penahan gaya-gaya
dari tekanan air dan sedimen (bila ada) yang terjadi pada saluran.
b) Handle/pegangan, berfungsi untuk pegangan dalam kegiatan operasional
pintu, seperti menaikkan dan menurunkan pintu air.
c) Tonjolan pintu, berfungsi untuk meningkatkan koefisien kontraksi dan
pengaliran yang terjadi di bawah pintu air (undershot).

3.2. Rancangan Struktural Pintu Air

Rancangan struktural pintu air yang dirancang adalah jenis pintu sorong
dengan aliran bawah (undershot), karena sebagian besar pintu air yang ada di DI
Indonesia menggunakan jenis pintu ini.

3.2.1. Rancangan Struktural Pintu Air Beton Serat

Gambar 6 menunjukkan gambar rancangan pintu air beton serat dengan


unit-unitnya. Rancangan struktural pintu beton serat ini terdiri dari beberapa
komponen utama, yaitu daun pintu, sistem mekanik, rangka pintu, dan penutup
pintu (cover). Komponen sistem mekanik dilindungi oleh cover (penutup pintu)
yang terbuat dari beton serat dan berada di atas lantai kerja.

15
Gambar 6. Pintu Air Beton Serat

a) Daun Pintu
Daun pintu ini dibuat menggunakan bahan beton serat dengan komposisi
bahan terdiri dari pasir “bangka-belitung”, semen, air, dan serat gelas jenis woven
roving. Dimensi pintu dirancang untuk pintu bagi/sadap sekunder dan tersier
dengan ukuran 56 cm x 75 cm x 3 cm (lebar x tinggi x tebal). Bentang efektif
pintu adalah 50 cm dan bagian pintu yang masuk ke alur sponeng/rangka sebesar
3 cm (Lampiran 2).
Apabila tinggi muka air maksimum di saluran adalah 50 cm, maka tekanan
hidrostatis air terhadap pintu pada saat kondisi tertutup adalah sebesar 613 N atau
62,48 kg.f (Lampiran 4). Nilai ini menjadi acuan dalam penentuan perlakuan
beton serat mana yang harus dipilih, baik dari segi kekuatan dan berat pintu
sendiri. Karena berat pintu akan menentukan jenis motor penggerak yang harus
digunakan.

b) Sistem Mekanik
Sistem mekanik pintu beton serat terdiri dari poros pintu (stem), lifting
nut, worm gear, drive shaft. Komponen lifting nut, worm gear, dan driveshaft
terletak di dalam kotak pelat dengan tebal 8 mm, dengan ukuran 24 x 25 x 10 cm3.
Sistem mekanik dipasang di bawah slab beton serat menggunakan sistem mur-

16
baut. Slab beton dibuat dengan tebal 5 cm dengan sistem tulangan dengan baja
polos diameter 6 mm sebanyak dua buah (Lampiran 6). Sistem mekanik ini dapat
digerakkan secara manual dan menggunakan motor.
Motor biasanya memiliki kecepatan sekitar 1700 RPM (atau lebih cepat
lagi), karena cepatnya gerak putar yang dihasilkan oleh motor, maka harus
dikurangi agar pengangkatan dan penurunan pintu dapat bergerak secara baik dan
halus. Biasanya pergerakan poros pintu antara 2,5 – 15 cm/menit (Irrigation
Training and Research Center, www.itrc.org). Untuk mereduksinya maka
memerlukan gear box, chain drive, atau worm gear. Dalam penelitian ini
diusulkan menggunakan reduction gear sebesar 5 : 1 dan drive ke motor
menggunakan rantai dengan perbandingan 1 : 1. Drive shaft ini akan
dihubungkan dengan worm gear/lifting nut yang telah terpasang pada pintu
rancangan di lapangan. Worm gear yang terpasang memiliki rasio 25:1, maka
kombinasi dari gear box, drive chain, dan worm gear adalah 125 : 1. ini berarti
membutuhkan 125 putaran motor untuk 1 putaran keluaran worm gear.

Pada motor dengan putaran 1700 rpm dan output pada gearbox sebesar 5
maka menjadi 1700/5 = 340 RPM dan nilai chain drive hanya 1:1 maka ini akan
menghasilkan 340 RPM pada worm gear. Dengan rasio 25 : 1 pada worm gear,
maka akan menghasilkan putaran sebesar 13,6 RPM. Jika pintu memiliki tinggi
pengangkatan dalam 1 putaran = 10 mm, maka pengangkatan pintu
membutuhkan :
13,6 rev/min x 10mm/rev = 136 mm/menit

Gambar 7. Motor dan Mekanik

17
c) Rangka Pintu
Rangka pintu menggunakan besi siku ukuran 60 x 60 x 6 (mm3) dengan
lebar rangka pintu 50 cm dan tinggi tergantung kondisi bangunan bagi di
lapangan. Pada bangunan bagi di DI Cimanuk Garut (B. CMK 5), beda elevasi
antara dasar saluran dan lantai kerja adalah 100 cm. Maka tinggi rangka pintu
dibuat 150 cm. Tinggi rangka pintu yang muncul di atas lantai kerja sebesar 50
cm, sehingga dengan jarak 50 cm, diharapkan penggunaan panjang chain drive
untuk menghubungkan driveshaft dengan motor tidak terlalu panjang.
Rangka besi ini akan dicor dengan adukan beton agar posisi rangka pintu
tetap kokoh.

d) Penutup Sistem Mekanik (Cover)


Penutup sistem mekanik menggunakan bahan beton serat hasil pilihan
dalam perlakuan penelitian ini. Bagian penutup yang berfungsi untuk menunjang
sistem mekanik (slab beton) didesain dengan sistem plat satu arah dengan dimensi
panjang 80 cm, lebar 30 cm dan tebal 5 cm; tulangan besi dengan diameter 6 mm.
Perhitungan slab beton ini dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada bagian penutup
lainnya, yaitu sisi kiri dan kanan digunakan beton serat tanpa tulangan besi
dengan tebal 3 cm. Gambar detail penutup sistem mekanik dapat dilihat pada
Lampiran 2.
Penutup sistem mekanik dibuat dengan sistem knock down dengan mur-
baut jenis Ferrule yang tertanam dalam beton serat.

3.2.2. Rancangan Struktural Pintu Air Fiberglass

Gambar 8 menunjukkan desain pintu fiberglass dengan beberapa


bagiannya. Pintu ini terdiri dari daun pintu, handle, dan tonjolan pintu. Desain
pintu ini direncanakan untuk pintu dengan beda elevasi antara saluran dengan
lantai kerja sebesar 100 cm. Untuk keperluan otomatisasi, bagian handle pintu
bisa dipotong dan digantikan dengan sistem mekanik seperti pada pintu beton
serat, namun diameter poros dan motor yang digunakan jauh lebih kecil karena
bobot pintu fiberglass lebih ringan dibandingkan dengan beton serat.

18
Handle Pintu

Daun Pintu

Tonjolan pintu

Gambar 8. Pintu Air Fiberglass

a) Handle/Pegangan Pintu
Pada bagian pegangan pintu ini terdapat lubang untuk mengunci posisi
pintu pada jarak bukaan tertentu; bagian untuk pegangan pintu dengan ukuran 15
cm x 5 cm dengan bentuk yang ergonomis, mengikuti pola jari manusia; dan
bagian kosong/bolong pada pintu dengan dimensi 32 cm x 60 cm, ini
dimaksudkan untuk memperingan bobot pintu.

b) Daun Pintu
Daun pintu merupakan bagian utama dari pintu ini, dimana pintu langsung
berhadapan langsung dengan air. Bagian ini memiliki dimensi 58 cm x 75 cm,
dimana tinggi air maksimum yang bisa ditahan adalah 75 cm, sedangkan rata-rata
tinggi muka air di lapangan adalah sebesar 50 cm dengan besar tekanan hidrostatis
sebesar 613 N atau 62,48 kg.f (Lampiran 4).
Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa tebal daun pintu yang
direncanakan untuk tinggi muka air 50 cm adalah 10 mm dan untuk keamanan
maka tebal ditetapkan 12 mm (Lampiran 5) dengan nilai modulus elastisitas
fiberglass sebesar 40.500 kg/cm2 (lihat Lampiran 3), dimana komposisi

19
perbandingan volume antara polymer dan serat gelas (glass content) adalah 60 % :
40%.

c). Tonjolan Pintu


Bagian ini terbuat dari fiberglass dengan sistem knock down. Bentuk
tonjolan berupa ½ lingkaran dengan radius 10 cm dan panjang 49 cm. Tonjolan
ini merupakan tambahan pada daun pintu yang dimaksudkan untuk meningkatkan
nilai koefisien pengaliran dan kontraksi dari pintu, sebagaimana yang telah
dikembangkan dalam pintu air Crump-de Gruyter dengan bentuk ¼ lingkaran
pada bagian bawah pintu.

20
IV. METODE PENELITIAN

4.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 – Juni 2010. Penelitian


dilakukan di Laboratorium Beton dan Hidrolika milik Departemen Pekerjaan
Umum, Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sumber Daya Air, Balai Irigasi, Bekasi; Wisma Wageningen – IPB Bogor; dan
pengujian lapang di DI Cimanuk, Garut.

4.2. Bahan dan Alat

a) Bahan yang diperlukan dalam pembuatan daun pintu : beton serat (Semen,
Pasir, Air, serat gelas); Fiberglass (serat gelas jenis : woven roving bentuk
lembaran, chooped strand mat; hardener, mirror glass, filler berupa calsium
cabonat/talc dan erosil, moulding/cetakan dari kayu (papan multiplex).
Sedangkan untuk sistem pengangkatan membutuhkan besi siku, worm gear,
besi bulat, mur-baut.
b) Alat yang digunakan adalah i) rancangan pintu : ayakan, molen, oven, pressure
testing machine, proving ring, dll. Pengujian pintu dilakukan menggunakan
pompa, reservoir, saluran (berupa pasangan bata), dan kalibrator debit dengan
ISO Standar Rechbock weir.; ii) simulasi kontrol fuzzy genangan air padi
sawah SRI : seperangkat komputer, software Microsoft Excel dengan Visual
Basic Application (VBA).
c) Data Sekunder berupa data iklim : curah hujan, evapotranspirasi.

4.3. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada dua bagian yang berbeda, yaitu bagian
rekayasa material pintu dan pengujian hidrolika, dan simulasi kontrol level
genangan air di sawah. Penelitian dilakukan dengan membuat komponen utama

21
dalam penelitian, yaitu pintu dari bahan beton serat dan fiberglas dengan sistem
pengangkatan pintu, program pengendalian fuzzy dibuat dengan software Ms.
Excel dengan VBA.

4.3.1. Rekayasa Material Pintu Air

a) Pembuatan Daun Pintu


Pembuatan daun pintu dibuat dengan fiberglass dan kombinasi serat dan
mortar. Campuran mortar dibuat berdasarkan rancangan campuan untuk kedap air
(dengan merujuk pada peraturan SNI-03-2914-1992, Spesifikasi Beton Bertulang
Kedap Air); dengan nilai FAS (Faktor Air Semen) sebesar 0,50. Pasir yang
digunakan terlebih dahulu halus lolos saringan ukuran 2,0 mm. Perbandingan
volume semen dan pasir yang digunakan adalah 1 : 2 dengan nilai slump test
sebesar 12 cm. Dosis serat yang dicampurkan dalam mortar sebanyak 3 perlakuan,
yaitu : 1, 2, dan 3 kg/m3 beton. Berat jenis serat gelas (woven roving) yang akan
digunakan memiliki berat jenis sebesar 1.200 kg/m3.
Sedangkan untuk bahan komposisi pintu air dari fiberglass akan dibuat
menggunakan bahan serat gelas (kasar dan halus) dengan jenis Woven Roving
(WR) sebanyak dan Chopped Strand Mat (CSM), serta liquid (matrix)
menggunakan Unsaturated Polyester Resin jenis orthopthaltic dan isopthaltic
resin dan katalis untuk membentuk menjadi polimer. Tebal pintu dari fiberglass
direncanakan setebal 12 mm dan 30 mm.
Sistem pengangkatan dibuat dengan dua jenis pengangkatan yang berbeda,
yaitu : pertama, menggunakan tuas pengangkat langsung (biasa) untuk pintu air
dari fibreglass; kedua, dengan menggunakan sistem untuk pintu air dari mortar-
serat. Kerangka pondasi sistem pengangkatan memanfaatkan kerangka yang sudah
ada (besi siku 60 x 60 x 6 mm3) dan akan ditutupi dengan selubung dari adukan
beton untuk mencegah korosi dan mengalihkan pandangan orang agar tidak dicuri.
Sistem tuas pemutar dari besi dengan panjang 20 cm. Kedua jenis pengangkat
pintu ini bersifat knockdown (pasang-lepas). Untuk penggambaran detail rencana
pintu dan sistem pengangkatan dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.

22
b) Pengujian Kekuatan Pintu Air Rancangan
Pengujian dilakukan dalam dua tahap, yaitu pengujian di laboratorium dan
pengujian di lapangan. Pengujian di lapang dilakukan dengan menggunakan daun
pintu pilihan dari hasil percobaan di laboratorium. Pengujian di laboratorium
adalah pengujian kekuatan beton serat, dan fiberglass. Untuk mengetahui
kelecakan adukan beton serat maka perlu dilakukan uji slump. Sedangkan untuk
mutu beton serat (setelah keras), maka perlu dilakukan uji bending (flexural test).
Semua pengujian dilakukan menggunakan Standar dari Jepang untuk Beton (JIS /
Japan Industrial Standard), (1975). Pada Tabel 2 disajikan perlakuan yang
dilakukan di laboratorium untuk pengujian bending dengan menggunakan sampel
berukuran 53 x 15 x 3 cm3 untuk beton serat dan pada Tabel 3 dijelaskan
perlakuan untuk fiberglass berukuran 65 x 15 x 1,2 cm3 dan 65 x 15 x 3 cm3.

Tabel 2. Perlakuan Pengujian Bending untuk Beton Serat

Jumlah Sampel
Kode Variasi Perlakuan
Umur 28 hari
NC Beton Normal 2
FC1 Beton-Serat 18mm dosis 1 kg 2
FC2 Beton-Serat 18mm dosis 2 kg 2
FC3 Beton-Serat 18mm dosis 3 kg 2
FCM Beton+ Roving di tengah mortar 2
FCB Beton+Roving di bawah mortar 2

Tabel 3. Perlakuan Pengujian Bending Fiberglass

Kode Variasi Perlakuan Jumlah Sampel


FG12 Fiberglass tebal 12mm 2
FG30 Fiberglass tebal 30mm 2

Perhitungan kekuatan lentur/bending menggunakan rumus berikut :


PL
σb = x 1000 /13/
bd2
dimana, σb (kuat lentur, kg/cm2), P (tekanan maksimum mesin, ton), l (jarak
tumpuan batang, cm), b (lebar sample, cm), d (tebal sampel, cm).

23
c) Pengujian dan Kalibrasi Hidrolika Aliran Air
Pengujian hidrolika dan kalibrasi aliran air yang tejadi di bawah pintu
(undershot) dilakukan untuk pintu air dari bahan fiberglass dengan lebar pintu
efektif 50 cm dengan tambahan tonjolan di bawah pintu berupa ½ lingkaran
dengan D (diameter) sebesar 20 cm. Pintu dipasang dalam saluran dengan tinggi
saluran 60 cm dan lebar saluran 50 cm. Bagian bawah pintu terdapat weir dengan
tinggi 10 cm dari dasar saluran (Gambar 9).

1 2 3

Tampak Samping

Arah aliran
h1
h2 h3

a=10 1 a
4
75 50 40

Tampak Atas

B1 = 50 B2 = 50 B3 = 50

Semua dimensi dalam cm

Gambar 9. Model Struktur yang Digunakan dalam Eksperimen

Pengambilan data dilakukan pada 3 lokasi yang berbeda, yaitu di hulu,


dekat/tepat, dan hilir dari pintu. Parameter yang diamati adalah tinggi aliran air
dan bukaan pintu pada lokasi-lokasi potongan tesebut. Pengukuran menggunakan
mistar dengan tingkat ketelitian 1 mm. Bukaan pintu dilakukan mulai 1 – 11 cm,
dengan kondisi aliran berbentuk free flow (aliran bebas). Penentuan jenis aliran
akan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Swamee (1992) seperti
dijabarkan dalam Persamaan 4, dengan membandingkan antara h1 (muka air hulu)
dengan rasio h3/l (perbandingan antara muka air hilir dengan bukaan pintu).
Perhitungan debit aliran dari pintu dianalisa menggunakan dua metode,
yaitu persamaan yang dikembangkan oleh Rajaratnam dan Subramanya (1967)
dan Swamee (1992) seperti yang telah dijabarkan dalam persamaan 6, 7, 8, dan 9.

24
Untuk mendapatkan nilai koefisien pengaliran (Cd) dan koefisien kontraksi (Cc)
dari pintu hasil rancangan maka digunakan fasilitas SOLVER yang terdapat dalam
Ms. Excel dengan VBA (Visual Basic Application) untuk memperoleh nilai
koefisien yang optimum.
Sebagai pembanding (kalibrator) hasil analisa menggunakan rumus, maka
dipasang alat Standard Suppressed Rectangular Weir (Rehbock) berbentuk
persegi dengan lebar 36 cm. Alat ini dipasang pada bagian hilir pintu, sedangkan
pengamatan tinggi muka air pada potongan ke-3 dilakukan pada jarak 100 cm dari
Rehbock. Berikut ini adalah persamaan dari alat tersebut :
Q = 2 µ L H 2 gH L /14/
3
1   H  
2

µ = 0,615 1 +  1 + 0,5   L /15/
 H + 1,6    H + D  

dimana, Q (m3/det), L: lebar ambang (m); H: beda elevasi antara ambang dengan
muka air pada weir pool 3(m); µ: koefisien debit ; D: jarak dari ambang ke dasar
approach channel (mm); H: head (mm untuk Persamaan 15).

4.3.2. Simulasi Kendali Level Muka Air dengan Logika Fuzzy

(a) Model Kesetimbangan Air Padi Sawah


Model keseteimbangan air di lahan padi sawah dengan SRI menggunakan
Persamaan 1. Parameter input dalam model ini adalah curah hujan harian,
perkolasi (yang dibuat tetap selama musim tanam), Evapotranspirasi dengan
menggunakan metoda panci evaporasi (Persamaan 2) dengan nilai Kc padi SRI
(Gambar 11) berdasarkan penelitian Tim Balai Irigasi (2008), kondisi level muka
air awal (H0) di lahan sebelum tanam, tinggi tanggul di sawah. Tinggi tanggul
dibuat 20 mm di atas permukaan sawah (Gambar 12). Parameter surface run off
(RO) diprediksi menggunakan Persamaan 3, dimana run off akan terjadi apabila
genangan H(t) yang ada pada hari ke-t melampaui tinggi tanggul limpasan yang
ada. Apabila H(t) masih di bawah HL, maka RO bernilai nol.

3
weir pool: kolam tenang dekat approach channel

25
Gambar 10 . Model Neraca Air Padi Sawah

Gambar 11. Kc Tanaman Padi SRI Field Trial MT I 2008

HL Keluar menuju
saluan drainase

Gambar 12. Tanggul Limpasan di Sawah

Perioda waktu (t) yang digunakan dalam simulasi kontrol muka air di
sawah adalah 24 jam atau 1 harian. Dimana simulasi dilakukan pada dua musim
tanam yang berbeda, yaitu musim hujan (Januari – April 2009) dan musim
kemarau (Juni – September 2009). Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pertama, bahwa tinggi level muka air pada setiap titik sama/seragam, dan
air irigasi yang diberikan akan cepat tersebar merata ke seluruh lahan; kedua,
seepage (aliran ke samping tanggul dalam tanah) tidak terjadi dan sudah diwakili

26
oleh besarnya perkolasi yang diasumsikan terjadi sebesar 5 mm/hari selama masa
pertumbuhan tanaman hingga panen. Besarnya perkolasi diatur dengan
menggunakan kran seperti pada Gambar 12. Kondisi lahan sawah yang dibuat
telah diberi lapisan basin plastic sedalam 60 cm untuk mencegah terjadinya
kehilangan air yang berlebihan (Gambar 13); ketiga, perhitungan simulasi
dilakukan sejak mulai tanam hingga panen, sehingga perhitungan kebutuhan air
untuk pengolahan tanah dan pelumpuran tidak dilakukan; keempat, kondisi lahan
yang digunakan dalam hampir rata (flat) dan terdapat saluan cacing/rorak di dalam
sekeliling lahan.

(a) (b)
Gambar 13. Pembuatan Sawah Baru dengan Lapisan Basin Plastic

(b) Simulasi Pengendalian Level Muka Air dengan Pengontrol Fuzzy


Dengan menggunakan dasar dari Persamaan 1 diatas, maka model simulasi
kontrol genangan air pada sawah SRI dikembangkan untuk memprediksi jumlah
air irigasi atau drainase yang harus dilakukan agar dapat mempertahankan level
muka air di lahan padi SRI sesuai dengan fase pertumbuhan. Dimana perlakuan
genangan air pada tanaman padi SRI mengacu pada pengelolaan padi SRI Jawa
Barat, dimana irigasi diberikan dalam kondisi macak-macak (0 – 5 mm),
sedangkan untuk penyiangan gulma dilakukan 3 – 4 kali dalam satu musim tanam
dengan tinggi genangan 20 mm (Kalsim et al., 2007).
Pengendalian level muka air sawah diilustrasikan seperti pada Gambar 14.
Tujuan pengendalian adalah mengupayakan ketinggian muka air sawah selalu
berada di sekitar tinggi yang diinginkan/setpoint (hsp), dimana tinggi muka air
yang diinginkan adalah 0 – 5 mm (kondisi macak-macak). Deviasi tinggi muka

27
air aktual pada waktu k merupakan selisih antara ketinggian air hk dengan hsp,
yang diberi notasi Ek. Demikian pula deviasi pada waktu k-1 diberi notasi Ek-1.

Gamba
r 14.
Kondis
i Level
Muka
Air

Ek =
hk - hsp
/14/
∆Ek = Ek – Ek-1 /15/
dimana, ∆Ek adalah perubahan deviasi pada waktu k dan k = 1,2,3, .... Kondisi
level muka air pada saluran di dalam sawah yang akan dikendalikan
direpresentasikan dengan deviasi E dan perubahan deviasi ∆E dari nilai aktual
terhadap nilai yang diinginkan, yang diamati pada setiap waktu sampling (T).
Untuk memudahkan pengamatan, keadaan level muka air, nilai E dan ∆E diubah
dalam bentuk koordinat polar D dan θ dari titik p (D, θ) seperti yang dikemukakan
oleh Iskandar et al., (1999) seperti pada Gambar 15.

Gambar 15. Bidang Polar Sistem Kendali Fuzzy Sederhana

28
Dk = E k + f 1 ∆E k
2 2 2
/16/

Ek
θ k = cos −1 /17/
Dk
dimana, D adalah magnitudo, θ adalah sudut fasa, f1 adalah parameter yang dapat
disetel.
Pengoperasian solenoid valve irigasi dan drainase tergantung pada posisi
vektor Dk dalam bidang fasa dan magnitudonya. Bila Dk berada pada kuadran I,
ini berarti bahwa ketinggian muka air berada pada level yang lebih tinggi dari
pada ketinggian yang diinginkan dan level muka air cenderung bertambah. Ini
berarti solenoid valve drainase harus dioperasikan untuk menurunkan level muka
air mencapai kondisi yang diinginkan, yaitu titik 0 secepat mungkin. Sebaliknya,
bila Dk berada pada Kuadran III, berarti kondisi level muka air berada pada level
yang lebih rendah dari pada ketinggian yang diinginkan, dan level muka air
cenderung menurun. Ini berarti solenoid valve irigasi harus dioperasikan.
Pada kuadran II dan IV merupakan daerah dimana solenoid valve irigasi
atau drainase dapat beroperasi, sedangkan di sepanjang garis ZL (zero line),
solenoid valve irigasi dan drainase sama sekali tidak beroperasi. Garis ZL
merupakan garis perpindahan pengoperasian
pengoperasian dari drainase ke irigasi atau
sebaliknya. Dari logika tersebut, maka dibuat suatu fungsi keanggotaan fuzzy dari
sudut fasa θ seperti pada Gambar 16.a.

(a) (b)
Gambar 16. Fungsi Keanggotaan (a) Sudut Fasa, (b) Magnitudo

29
Pada Gambar 16.a, N dan P adalah label fungsi keanggotaan sudut fasa,
yang menunjukkan kondisi operasi solenoid valve drainase (N:Negatif), dan
solenoid valve irigasi (P:Positif). µN dan µP adalah grade, yaitu derajat
keanggotaan sudut fasa θk terhadap label N dan P dari fungsi keanggotaan
tersebut. Berdasarkan fungsi keanggotaan pada Gambar 16.a, maka sinyal kendali
setara dengan inferensi sebagai berikut :
µN − µP
Uk ≈ /18/
µN + µP
Selanjutnya pada Gambar 16.b, G adalah label fungsi keanggotaan
magnitudo Dk, yang menunjukkan banyaknya air yang harus diberikan atau
dibuang ke atau dari lahan, dimana µD adalah grade, yaitu derajat keanggotaan
magnitudo Dk terhadap fungsi keanggotaan tersebut. Berdasarkan fungsi tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa sinyal kendali juga setara dengan derajat
keanggotaan Dk, atau Uk ~ µD. Lebih lanjut, nilai maksimum sinyal
kendalidibatasi pada suatu nilai Um yang besarnya disesuaikan dengan nilai
optimalnya dari hasil penyetelan serta kelayakan teknis. Dengan menggabungkan
dari semua logika yang dijelaskan di atas, maka didapatkan suatu formula
inferensi fuzzy untuk menentukan Uk sebagai berikut :
µN − µP
UK = µ DU m
µN + µP /19/
dengan hubungan µP = 1 –µN, maka didapat persamaan yang sederhana berikut
ini :
U K = (1 − 2 µ N ) µ DU m
/20/
Pada kasus ini Um dan Uk adalah laju irigasi/drainase (mm/hari) yang
diberikan langsung untuk mengatur level muka air. Untuk mengoptimalkan hasil
pengendalian, maka beberapa parameter teknik kendali fuzzy dalam sistem ini,
yaitu f1 dan f2 harus diset pada nilai yang meminimumkan suatu indeks
performansi tertentu. Dalam penelitian ini indeks performansi (IP) dihitung
menggunakan Root Mean Square Error (RMSE) :
N

∑ (E )
1 /21/
RMSE =
2
k
N i =1

dimana, Ek : error pada waktu ke-n; N : jumlah data.

30
Simulasi pengendalian level muka air dengan menggunakan sistem kendali
fuzzy sederhana melalui pendekatan neraca air ini dilakukan menggunakan
Software Ms. Excel dengan fasilitas VBA (Visual Basic Application) dan
SOLVER, dengan bagan alir program seperti pada Gambar 17.

Gambar 17. Bagan Alir Pemrograman Pengendalian Level Muka Air

31
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Rekayasa Material Pintu Air Beton Serat


5.1.1. Pengaruh Kandungan Serat Terhadap Sifat Mekanik

Salah satu tujuan penambahan serat dalam penelitian ini untuk menambah
kekuatan lentur dari bahan komposit yang dibuat, dimana mampu menahan beban
tegak lurus (gaya hidrostatis dan kecepatan
kecepatan aliran air) dalam saluran terhadap
pintu air yang dirancang ini.

Gambar 18. Hasil Uji Kuat Lentur Beton Serat

Berdasarkan hasil uji pada Gambar 18, menunjukkan bahwa peningkatan


dosis serat berbentuk potongan kecil (18 mm) ke dalam campuran beton untuk
perlakuan FC1, FC2, dan FC3 terus menurunkan kuat lentur seiring dengan
bertambahnya kandungan dosis serat jika dibandingkan dengan sampel kontrol
(NC). Menurut Libre et al., (2008), homogenitas dan kompaksi dari design mix
suatu beton merupakan hal yang penting dalam menentukan kekuatan sampel
yang diuji. Oleh karena itu, hal ini dapat dijelaskan bahwa telah terjadi
ketidakstabilan dalam design mix untuk beton yang dicampur dengan serat, karena
pasta semen dalam sampel
sampel menjadi tidak stabil akibat meningkatnya volume serat

32
dalam sampel (baik panjang dan isinya). Hal ini sejalan dengan apa yang
diungkapkan oleh Stegmaier (2003), yang menyatakan bahwa peningkatan
kandungan serat di dalam campuran beton dapat menurunkan fraksi agregat dalam
campuran tersebut. Dengan demikian, ini dapat dijelaskan bahwa penambahan
dosis serat akan menyebabkan permukaan spesifik dari beton menjadi lebih besar
(mengembang) dibandingkan dengan serat yang sedikit atau tidak ada sama sekali.
Hal ini mengakibatkan kuat ikat antar fraksi agregat di dalam campuran pasir,
semen, dan serat menjadi menurun seiring dengan bertambahnya dosis serat dalam
design mix.
Dari sisi pengerjaan (workability), peningkatan kandungan serat dalam
sampel yang dibuat memerlukan rasio air-semen (Faktor Air Semen) yang lebih
besar untuk membuat mudah dalam pengerjaannya, namun peningkatan
kandungan air akan menyebabkan tidak stabilnya design mix yang dibuat (Libre et
al., 2008). Proses pencampuran serat dengan panjang 18 mm dengan dosis 1, 2,
dan 3 kg/m3 tidak mampu meningkatkan kekuatan lentur dari sampel yang dibuat.
Sedangkan untuk perlakuan penambahan serat gelas dalam bentuk
lembaran (tidak dipotong-potong) memiliki pengaruh yang cukup signifikan,
dimana mampu meningkatkan kuat lentur dari beton serat tesebut, baik untuk
perlakuan FCB dan FCM. Peningkatan kekuatan sebesar 82,1% dan 25,6% dari
sampel kontrol. Dimana kuat lentur untuk FCM dan FCB sebesar 49 dan 72
kg/cm2. Selain itu, berat sampel pada FCB dan FCM lebih rendah dibandingkan
dengan yang lain. Berdasarkan hasil ini, maka perlakuan FCB merupakan hasil
yang terbaik dan ini akan digunakan dalam pembuatan pintu air modifikasi.
.

(a) Sampel Uji NC, FC1-3 : terbelah (b) Sampel FCB tidak terbelah
Gambar 19. Kondisi Sampel Setelah Pengujian Lentur
Kondisi sampel setelah pengujian ada yang terbelah dan juga tidak
terbelah. Untuk sampel kontrol, FC1, 2, dan 3 mengalami patahan, sedangkan
FCM dan FCB tidak mengalami patahan. Pada sampel FCM dan FCB dengan

33
penambahan serat gelas dalam bentuk lembaran dengan bentuk ikatan antar serat
membentuk sudut 90° (menyerupai tikar). Ikatan-ikatan inilah yang menyebabkan
sampel FCM dan FCB mampu menopang kekuatan lentur dari sampel tersebut
baik searah sumbu x maupun y. Berbeda dengan kondisi sampel NC, FC1,2, dan
3 yang tanpa serat dan dengan serat gelas dalam bentuk potongan. Sebaran
potongan serat dalam design mix perlakuan tersebut tidak memiliki ikatan antara
serat yang satu dengan yang lain, belum lagi ditambah efek dari homogenitas dari
pencampuran serat dalam design mix.

5.1.2. Rancang Bangun Pintu Irigasi Beton Serat

Berdasarkan hasil pengujian kekuatan di laboratorium, maka telah


dipilih perlakuan FCB untuk membuat prototipe pintu air irigasi. Berikut ini
adalah hasil rancang bangun pintu air FCB yang diberi nama “Glass Fiber
Reinforced Concerete” atau disingkat GFRC (Gambar 20).
Pintu GFRC didesain berdasarkan hasil survey kondisi pintu air di
Daerah Irigasi (DI) Cimanuk. Adapun lebar efektif pintu sebesar 50 cm, tinggi 75
cm, dan bagian pintu yang masuk ke dalam alur rangka pintu (sponeng) sebesar 3
cm baik kiri dan kanan. Maka total lebar pintu adalah 56 cm. Bobot daun pintu
hasil rancangan sebesar 35 kg (dimensi 56 cm x 75 cm x 3 cm).

Gambar 20. Pintu Air GFRC


Pengoperasian pintu dilakukan menggunakan sistem mekanik. Bobot
sistem mekanik yang digunakan sebesar 15 kg. Sistem mekanik diletakkan pada
bagian bawah slab beton (Gambar 21) dengan tebal 6 cm dengan menggunakan

34
sistem plat satu arah dengan tulangan besi sebanyak 2 buah dengan diameter 6
mm. Sistem mekanik dikunci menggunakan baut Ferrule. Tuas pemutar/handle
pintu menggunakan sistem knock-down (bongkar pasang). Poros pintu (stem)
menggunakan besi dengan diameter 1”.

Handle
Stem

Slab Beton

Worm Gear

Gambar 21. Sistem Pengangkatan Pintu

5.2. Rancang Bangun Pintu Air Fiberglass

Rancang bangun pintu air fiberglass ini didesain berdasarkan kondisi


lapang di DI Cimanuk Garut untuk bangunan sadap sekunder. Dimana memiliki
bentang efektif sebesar 50 cm dan tinggi lantai antara dasar saluran dan lantai
kerja sebesar 120 – 135 cm.

5.2.1. Analisa Gaya Tekan Pada Pintu Air


Pada pintu sorong tekanan air diteruskan ke sponeng. Pintu sorong
fiberglass direncanakan tidak menggunakan tulangan. Gaya hidrostatik yang
terjadi pada bidang datar tegak seperti pada Persamaan 10 dan 11.
Besarnya gaya hidrostatis yang terjadi pada saat pintu air menutup dengan
lebar efektif pintu 50 cm dengan kedalaman air maksimum 50 cm sebesar 613 N
(62,5 kg.f). Perhitungan detail dapat dilihat pada Lampiran 4.

5.2.2. Pengujian Sampel

Sampel yang dibuat berukuran 650 mm x 150 mm dengan dua ketebalan yang
berbeda. Komposisi bahan sampel fiberglass yang direncanakan ada dua formula,
yaitu pertama untuk ketebalan 12 mm (FG12) dan kedua untuk 30 mm (FG30).

35
(a. Bahan Serat Gelas : Strand Mat dan Woven Roving; b. Pengecoran dengan polymer/matrix;
c. Sampel jadi tampak atas; d. Sampel
Sampel jadi tampak isometri)

Gambar 22. Proses Pembuatan Sampel Pengujian

Pengujian kekuatan lentur pintu dilakukan menggunakan alat Universal


Testing Machine dengan kapasitas 2,5 ton untuk tebal sampel 30 mm dan 1 ton
untuk tebal 12 mm yang dilengkapi proving ring untuk mengukur lendutan yang
terjadi setiap milimeter (lihat Gambar 23).

Gambar 23. Pengujian Bending dengan Universal Testing Machine

Tabel 4 menunjukkan hasil uji lentur dengan elongation / lendutan


maksimum dan kuat tekan (kg/cm2), dimana sampel FG30 memiliki nilai kuat
lentur yang lebih tinggi dibandingkan dengan FG12, jika depleksi maksimum
yang diijinkan hanya 10 mm, maka kekuatan lentur maksimum yang mampu
ditahan oleh FG12 dan FG30 adalah 206 dan 299 kg/cm2. Kekuatan lentur yang
dihasilkan sampel fiberglass lebih besar dibandingkan sampel beton serat FCB (72

36
kg/cm2). Nilai kuat lentur FG12 dan FG30 bernilai hampir sama besar pada kuat
lentur sekitar 100 kg/cm2 pada lendutan lebih dari 4 mm.

Tabel 4. Kuat Lentur dan Depleksi Fiberglass


Kuat Lentur
Depleksi Pavg (kg.f)
(kg/cm2)
(mm)
FG12 FG30 FG12 FG30
0 0,00 0,00 0,00 0,00
1 28,44 7,50 59,25 2,50
2 36,36 117,50 75,75 39,17
3 43,20 222,50 90,00 74,17
4 51,30 325,00 106,88 108,33
5 59,40 422,50 123,75 140,83
6 66,96 532,50 139,50 177,50
7 74,52 630,00 155,25 210,00
8 82,62 722,50 172,13 240,83
9 90,54 807,50 188,63 269,17
10 99,00 897,50 206,25 299,17

Selama pengujian berlangsung, sampel tidak mengalami patah tetapi hanya


mengalami retakan kecil yang menunjukkan lepasnya ikatan roving antar lapisan
pada bagian tengah untuk sampel FG30 (Gambar 24), sedangkan pada sampel
FG12 tidak mengalami retak ataupun patah sama sekali. Hal ini menunjukkan
bahwa sifat bahan fiberglass adalah elatis. Ini dibuktikan dengan tidak berubah
bentuk sampel yang telah diuji. Dengan demikian, bahan ini cukup aman apabila
terjadi impact (hantaman kejut) pada pintu air, karena sifatnya yang elastis.
Berdasarkan data hasil pengujian sampel tersebut, diketahui bahwa sampel
yang dibuat tersebut mampu menahan tekanan hidrostatis yang terjadi. Dimana
untuk pintu dengan bentang efektif 50 yang direncanakan masih dibawah depleksi
maksimum yang direncanakan sebesar 10 mm. Untuk bentang 50 cm akan
melendut sebesar 6 mm dengan beban maksmimum yang terjadi sebesar 62,5 kg.f
pada kondisi level muka air maksimum 50 cm.
Sampel yang dibuat ini tanpa diperkuat dengan tulangan, jadi murni hanya
serat gelas dan polymer/matrix dengan komposisi perbandingan 40% : 60%.

37
retakan

sebelum

sesudah

Gambar 24. Kondisi Sampel Fiberglass Selama Pengujian

5.2.3. Pembuatan Pintu Air Fiberglass

Pintu air yang dibuat merupakan hasil dari pengujian sampel sebelumnya.
Pintu air dengan fiberglass ini atau diberi nama “Glass Fiber Reinforced Plastic”
(GFRP) memiliki tampilan desain seperti : adanya tampilan logo PU pada bagian
depan, handle/pegangangan pintu yang lebih ergonmis dengan mengikuti pola jari
tangan manusia, dan bentuk yang lebih kokok, dan yang lebih menarik lagi, pintu
ini direncanakan mampu mengatur dan mengukur aliran air (regulator and
measurement function) seperti terlihat pada Lampiran 1.

Pintu air GFRP tahap pertama (sebelum evaluasi desain) telah


diaplikasikan di bangunan sadap sekunder dan tersier B.BYB 2 dan B.CMK 22 di
DI Cimanuk, Garut menggunakan desain pintu GFRP dengan tebal 8 mm. Sistem
pengangkatan pintu ini menggunakan tangan, karena bobot pintu hasil rancangan
cukup ringan dan mampu diangkat oleh manusia, dimana untuk pintu dengan
bentang 50 cm dan tinggi 150 cm, memiliki bobot 6,4 kg untuk tebal 8 mm dan 15
kg untuk tebal 12 mm. Menurut Dreyfus (1967), kekuatan rata-rata manusia
untuk mengangkat benda pada posisi 1ft (30,48 cm) dari lantai sebesar 145 lb
(644,19 N = 65,7 kg.f); pada posisi 2 ft (60,96 cm) dari lantai mampu mengangkat
sebesar 556,03 N (56,7 kg.f) dan terus menurun kekuatannya apabila jarak posisi
tangan ke lantai semakin jauh. Posisi pegangan pintu GFRP berada di bawah

38
dengkul/lutut operator (<50 cm dari lantai), sehingga bobot pintu tersebut masih
mampu diangkat manusia secara normal. Tetapi pintu ini dapat juga
menggunakan sistem mekanik untuk sistem pengangkatannya dengan cara
memotong bagian handle pintu, jadi hanya cukup bagian daun pintu dan tonjolan
dengan dimensi 58 cm x 75 cm.
Berikut ini adalah penggambaran pintu hasil pemasangan di lapangan.
Secara keseluruhan, pintu dapat dioperasikan dengan baik dan sampai sekarang
masih dalam proses pemantauan untuk dilakukan evaluasi desain dan
pengembangan lebih lanjut.

Gambar 25. Pemasangan Pintu GFRP di DI Cimanuk, Garut

5.3. Analisa Biaya Pembuatan Daun Pintu

Tabel 5 dan 6 menunjukkan besarnya biaya pembuatan daun pintu yang


dan GFRP, yaitu sebesar Rp. 321.000,- dan
dibutuhkan baik untuk pintu GFRC dan
Rp. 1.448.000,-.
Biaya pembuatan daun pintu GFRC lebih murah dibandingkan dengan
GFRP, hal ini diakibatkan oleh dimensi tinggi pintu GFRC lebih kecil dari pada
GFRP, dimana GFRC memiliki dimensi 75 cm x 56 cm x 3 cm
cm dan GFRP 150 cm
x 58 cm x 1,2 cm. Walaupun demikian, pintu GFRP tidak memerlukan sistem
mekanik, sedangkan pintu GFRC memerlukan sistem mekanik untuk
pengangkatannya. Dalam Tabel 5, biaya sistem mekanik belum dimasukkan
dalam perhitungan. Jadi apabila dimasukkan dalam analisa biaya, maka biaya

39
pembuatan pintu GFRC menjadi 1.321.000,-. Oleh karena itu secara keseluruhan,
baik pintu GFRP dan GFRC memiliki total biaya pembuatan yang mendekati
sama.

Tabel 5. Biaya Pembuatan Daun Pintu Beton Serat (GFRC)


Harga
No. Kebutuhan Bahan Konst. Vol. Biaya
Satuan
A Bahan
Pasir Bangka Belitung
1 (kg) 2.650 17 250.000 1.604
2 Semen (zak) 1 0.16 56.000 8.960
3 Woven roving (lembar) 1 1 10.000 10.000
4 Frame Pintu 1 1 100.000 100.000
B Pembuatan
1 Tukang Kayu 1 1 100.000 100.000
2 Tukang Bangunan 1 1 100.000 100.000
Total Biaya Pembuatan Daun Pintu GFRC 320.564
Keterangan : ini diluar biaya sistem mekanik dan rangka pintu

Tabel 6. Biaya Pembuatan Daun Pintu Fiberglass (GFRP)


Harga
No. Kebutuhan Bahan Konst. Vol. Biaya
Satuan
A Bahan Fiberglass
1 Komposisi Polymer per kg 0,001 8.136 69.000 642.953
2 Chopped Strand Mat - lembar 0,261 4 26.000 27.144
3 Woven Roving - lembar 0,392 7 26.000 71.253
4 Mirror Glaze 0,250 1 90.000 22.500
5 PPA 0,250 1 80.000 20.000
B Pembuatan Cetakan Kayu
1 Papan Multipleks 1 1 180.000 180.000
2 Kayu Reng 0,25 1 15.000 3.750
3 Paku triplek 0,25 1 15.000 3.750
4 Dempul 0,02 1 50.000 1.000
C Biaya Tukang
1 Tukang Kayu (Cetakan) 1 1 100.000 100.000
2 Tukang Fiberglass 1 2 150.000 300.000
3 Finishing 1 1 75.000 75.000
Total Biaya Pembuatan Pintu Fiberglass (GFRP) 1.447.350
Keterangan : ini diluar biaya rangka pintu
Komponen biaya terbesar dalam pembuatan pintu GFRP adalah komposisi
polymer/matrix dari fiberglass sebesar Rp. 642.953,-. Komponen ini akan
semakin besar biayanya, apabila tebal dan dimensi luasan pintu semakin besar.
Namun secara keseluruhan daun pintu alternatif ini masih mampu bersaing
dengan pintu yang terbuat dari plat besi ataupun kayu. Harga plat besi dengan

40
tebal 5 mm saat ini sekitar Rp. 1.500.000,- dan ini belum ditambah biaya tukang
dan besi siku untuk penguat pintu plat besi (frame). Jadi berdasarkan perhitungan
analisa biaya pembuatan daun pintu ini, maka pintu GFRP dan GFRC layak dan
bersaing dengan jenis bahan pintu yang lain.

5.4. Kalibrasi Pintu Air Rancangan

Untuk meningkatkan fungsi utama saluran irigasi untuk memberikan air


secara tepat, akurat, dan fleksible seperti yang diungkapkan oleh Burt (1987)
dalam Schuurmans et al. (1999). Pemberian harus tepat dan akurat, berarti irigasi
diberikan harus tepat pada waktunya (saat dibutuhkan) dan akurat jumlah yang
diberikan. Fleksibel, berarti dapat menyesuaikan dengan kebutuhan pengguna.
Semua ini tentu bukanlah perkara yang mudah dikerjakan jika dilakukan secara
manual. Oleh karena itu perlu masukan teknologi untuk melakukan pembagian
air secara otomatis.
Otomatisasi irigasi di daerah irigasi teknis memerlukan prasarana pintu air
dalam kondisi baik. Pintu air yang hanya berfungsi sebagai regulator, tentu sulit
untuk menentukan besarnya air irigasi yang harus diberikan. Oleh karena itu
perlu pintu air yang mampu mengatur sekaligus mengukur air (regulator and
measurement).
Pada sub-bab ini coba dibahas mengenai study kalibrasi pintu air hasil
rancangan, yaitu pintu air GFRP. Pintu ini dipilih dalam uji kalibrasi hidrolika
aliran karena sifatnya yang lebih ringan bila dibandingkan dengan pintu hasil
rancangan GFRC, sehingga apabila dilakukan otomatisasi ke depan akan
memperingan kerja motor penggerak pintu tersebut. Selain itu, pintu GFRP sudah
dilengkapi dengan tonjolan berupa ½ lingkaran yang diharapkan akan
meningkatkan nilai koefisien pengaliran (Cd) dan koefisien kontraksi (Cc)
mendekati nilai 1. sehingga tingkat akurasi pengukuran menjadi lebih baik.
Untuk mencapai hal tersebut, maka dilakukan pengujian hidrolika aliran
air pada bawah pintu (undershot) menggunakan formula klasik yang
dikembangkan oleh Rajaratnam dan Subramanya (1967) dan Swamee (1992).

41
Namun bedanya, pada penelitian sebelumnya mereka menggunakan pintu persegi
(datar) dengan bahan terbuat dari besi.
Berdasarkan hasil pengujian menggunakan persamaan 6, 7, 8, dan 9
diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 7. Kalibrasi Pintu Air GFRP Bentang 50 cm


Depth of Water (h) Cd Q (l/det)
w
(mm) hulu hilir
1 2 1 2 3
(mm) (mm)
10 97 25 0,891 0,422 6,143 2,746 6,011
10 87 15 0,886 0,403 5,789 2,464 6,233
10 99 27 0,891 0,426 6,212 2,802 6,011
15 48 25 0,833 0,309 6,063 1,830 5,901
15 52 25 0,838 0,321 6,350 2,014 6,121
15 44 27 0,827 0,297 5,764 1,644 6,011
20 32 25 0,773 0,256 6,121 1,152 6,121
20 32 24 0,773 0,256 6,121 1,152 6,233
50 120 80 0,812 0,462 31,154 13,110 31,269
70 220 125 0,832 0,583 60,489 34,282 60,610
70 215 130 0,830 0,578 59,686 33,407 60,610
70 210 125 0,829 0,573 58,873 32,525 60,610
90 175 140 0,794 0,536 66,185 29,705 60,610
90 175 145 0,794 0,536 66,185 29,705 60,610
110 165 145 0,764 0,524 75,614 27,288 60,610
110 165 145 0,764 0,524 75,614 27,288 60,610
Keterangan : 1 ) Swamee Method (1992)
2 ) Rajaratnam and Subramanya Method (1967)
3 ) Kalibrator menggunakan ISO Standart Rehbock Weir

Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa perhitungan nilai Cd dan prediksi debit


dengan persamaan yang dikembangkan Swamee (1992) diperoleh nilai Cd sebesar
0,761 – 0,891 (rata-rata sebesar 0,82) untuk bukaan pintu 1 – 11 cm. Hasil ini
merupakan nilai yang sudah dioptimasi dengan nilai konstanta k0 = 15,00; k1 =
0,06; dan Cc = 0,95. Sedangkan pehitungan yang dilakukan dengan pendekatan
rumus yang dikembangkan oleh Rajaratnam dan Subramanya (1967) diperoleh
nilai Cd yang lebih rendah (maksimum 0,580) dengan nilai Cc sebesar 1,08.
Tingkat akurasi pengukuran debit pintu GFRP dengan menggunakan
pendekatan Metode Swamee lebih rasional, karena nilai prediksi debit aliran
hampir mendekati dengan nilai kalibrator. Hal ini diperkuat dengan nilai indeks
performansi, yaitu berupa perhitungan Root Mean Square Error (RMSE) dan
Mean Absolut Percentage Error (MAPE).

42
Tabel 8. Indeks Performansi Masing-masing Metode

Indeks Formula Swamee Method RS* Method


~
100 N
Yi − Yi
MAPE ∑
N i =1 Yi 5,44% 174,16%
2
 
N ~
1
RMSE N
∑  Yi − Yi 
i =1   5,68 l/det 20,65 l/det
Keterangan : *) RS : Rajaratnam and Subramanya

Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai MAPE untuk metode Swamee sebesar


5,44% jauh lebih kecil dibandingkan dengan metode RS. Ini menunjukkan bahwa
nilai porsentase relative error Swamee lebih baik dibandingkan dengan RS,
dengan bias error pengukuran sebesar 5,68 l/det. Menurut Clemmens et al.
(free flow) secara
(2003), nilai error pengukuran debit dalam kondisi aliran bebas (free
umum sebesar + 5%, sedangkan untuk kondisi submerged flow (tergenang) adalah
lebih dari 50%. Oleh karena itu, maka hasil kalibrasi dan pengujian pintu GFRP
lebar 50 cm untuk kondisi aliran free flow dapat diterima dan masuk akal.
Untuk memudahkan pengukuran dan pengaturan di tingkat lapangan dan
keperluan otomatisasi
otomatisasi pintu irigasi, maka perlu dibuatkan kurva hubungan antara
rasio tinggi aliran di hulu pintu (h1) dan bukaan pintu (w) dengan koefisien
pengalirannya (Cd). Pada Gambar 26 terlihat bahwa kurva yang dihasilkan dari
eksperimen untuk pintu GFRP tersebut memiliki
memiliki karakteristik pola yang sama
dengan Henry’s Nomogram yang dibuat oleh Henry (1950) dalam Toepfer (2007).
untuk jenis aliran free flow.

Gambar 26. Grafik Hubungan (h1/w) dengan Cd

43
Berdasarkan hasil study kalibrasi pintu GFRP semakin memperkuat
metode Swamee (1992) yang mengembangkan formulasi perhitungan debit aliran
bawah pintu dari persamaan klasik yang diperfomansi menggunakan regresi non
linier pada Nomogram Henry. Dan yang mengejutkan lagi adalah bahwa nilai
konstanta k0 dan k1 yang ditetapkan Swamee hampir dikatakan bersesuaian
dengan nilai k0 dan k1 hasil eksperimen pada pintu GFRP, yaitu pada Swame
diperoleh nilai k0=15 dan k1=0,072. sedangkan hasil eksperimen pintu GFRP
menunjukkan hasil k0=15 dan k1=0.062.
Perbedaannya adalah bahwa temuan baru dari penelitian ini dengan
menggunakan jenis pintu GFRP dengan tambahan tonjolan ½ lingkaran pada
bagian bawah pintu mampu meningkatkan nilai Cd hampir mendekati nilai 1
dengan nilai Cc = 0,951, sedangkan Henry (1950), Rajaratnam dan Subramanya
(1967) dan Swamee (1992) mendekati nilai konstan pada nilai 0,611 dan nilai Cc
sebesar 0,61. Hal ini berbeda akibat jenis pintu, baik bahan pintu, bentuk desain
pintu yang digunakan berbeda. Ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan
oleh Lin et al., (2002), yang menyatakan bahwa nilai Cc akan bervariasi
tergantung dari besaran bukaan pintu, bentuk daun pintu yang digunakan,
kedalaman aliran air di hulu dan jenis aliran.
Sehingga dengan dapat ditingkatkannya nilai koefisien Cd dan Cc hampir
mendekati nilai 1, maka pintu air GFRP memiliki tingkat akurasi
pengukuran/prediksi debit yang baik. Maka pintu ini layak digunakan untuk
pengaturan dan pengukuran air di dalam saluran. Dengan peningkatan akurasi
pengukuran debit ini diharapkan jalan menuju otomatisasi pintu air irigasi dapat
tewujud. Maka langkah selanjutnya adalah bagaimana agar pemberian air itu bisa
tepat waktu dan fleksibel. Hal ini hanya mungkin dilakukan menggunakan
otomatisasi. Pada sub-bab di bawah ini akan dibahas mengenai simulasi
pengendalian muka air secara otomatis menggunakan teknik kendali fuzzy
sederhana.

44
5.5. Pengedalian Muka Air dengan Sistem Kendali Fuzzy

5.5.1. Setting Parameter untuk Optimasi Pengendalian

Berdasarkan hasil uji pada kedua musim (hujan dan kemarau) diperoleh
nilai IP yang minimum pada setiap musim tersebut. Dengan menggunakan
bantuan fasilitas SOLVER dalam Ms. Excel, maka diperoleh nilai f1 dan f2
optimum yang dapat menghasilkan nilai IP yang minimum. Nilai parameter f1
dan f2 yang digunakan dalam sistem kendali muka air dengan logika fuzzy sebesar
0,85 dan 1,00 (Tabel 9). Selain itu, jumlah solenoid valve dan kapasitas debit
yang digunakan mempengaruhi nilai IP.

Tabel 9. Nilai Parameter yang Optimum

Parameter Kapasitas Aliran / Q Indeks


Musim
f1 f2 (mm/hari - l/det/ha) Performansi
Hujan 0,83 1,00 5,56 (0,64) 10,62
Kemarau 0,87 1,00 6,60 (0,77) 6,21
Rata-rata 0,85 1,00 6,08 (0,70) 8,41

Jumlah solenoid valve (Um) yang digunakan untuk menghasilkan hasil


yang optimum seperti pada Tabel 2, sebanyak 2 buah dengan diameter pipa yang
digunakan untuk irigasi dan drainase sebesar 2” dan kapasitas aliran rata-rata yang
digunakan sebesar 6,08 mm/hari (0,70 l/det/ha) baik pada saat Musim Hujan
maupun Kemarau. Maka dengan menggunakan data Um tersebut dapat ditentukan
berapa besarnya debit aliran (Q) yang harus dialirkan atau dibuang untuk
mempertahankan level muka air sesuai dengan muka air rencana (set point).
Data parameter dari sistem kendali fuzzy tersebut selanjutnya digunakan
untuk analisa neraca air yang digunakan dan keluar dari lahan padi sawah dengan
pola SRI.

5.5.2. Kondisi Evapotranspirasi


Selama proses pengendalian muka air di lahan padi SRI, kondisi
evapotranspirasi menggunakan data pada dua musim, yaitu musim hujan (MH)
dan kemarau (MK), pada tahun 2009 di Bekasi (Gambar 27). Nilai
evapotranspirasi yang terjadi pada musim hujan lebih rendah dibandingkan pada

45
musim kemarau. Rata-rata evapotranspirasi yang terjadi pada MH sebesar 3,61
mm/hari (0,10 – 9,03) dan MK sebesar 5,52 mm/hari (2,17 – 9,04). Hal ini
dikarenakan jumah curah hujan yang terjadi selama musim tanam pada saat MH
sebesar 1.610,6 mm, sedangkan MK dengan total hujan yang terjadi 131,6 mm.
10.0

9.0

8.0

7.0
ETc (mm/hari)

6.0

5.0

4.0

3.0

2.0

1.0

0.0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 105
HST (hari)

MH (Jan-Apr) MK (Jun-Sept)

Gambar 27. Evapotranspirasi pada Musim Hujan dan Kemarau di Bekasi


5.5.3. Limpasan Permukaan (Run off)
Komponen Run off diperhitungkan apabila genangan yang terjadi pada
suatu waktu melebihi tanggul limpasan (HL) yang ada pada lahan. HL di lahan
dibuat sebesar 20 mm dari permukaan sawah, hal ini disebabkan tinggi genangan
maksimum yang diharapkan, terutama untuk kebutuhan pengolahan lahan dan
penyiangan gulma sekitar angka tersebut. Total run off yang terjadi pada saat
musim kemarau, yaitu sebesar 964,32 mm
musim hujan lebih besar dari pada musim
(Gambar 28). Hal ini sebanding dengan tingginya curah hujan yang terjadi pada
bulan Januari – April 2009.

Gambar 28. Run Off pada MH selama musim tanam

46
5.5.4. Pengendalian Level Muka Air

Pada waktu inisial, tanah seluruhnya jenuh


dengan muka air seragam di semua titik sama dengan tinggi muka air di saluran
yaitu 200 mm (saluran penuh) atau sejajar dengan permukaan tanah. Kemudian
karena pada hari setelah tanam pertama kali diperlukan penggenangan air sedalam
5 mm, maka diperlukan irigasi untuk mencapai Hsp tersebut dan memenuhi
kebutuhan perkolasi dan evapotranspirasi yang terjadi pada waktu itu. Perubahan
ini dideteksi terus menerus oleh sistem kendali sehingga sistem merespon dengan
menyalakan solenoid valve irigasi untuk menjaga level muka air tetap pada
setpoint yang direncanakan.
Kinerja pompa untuk mengendalikan muka air dapat dilihat pada laju
irigasi dan drainase. Dimana solenoid valve yang digunakan untuk irigasi dan
drainase dapat berfungsi dengan baik. Baik dalam irigasi dan drainase, solenoid
valve dapat mati (tidak beroperasi) dan beroperasi dengan menghidupkan selenoid
valve sebanyak 1 atau 2 buah, sesuai dengan keperlun untuk mempertahankan
muka air sesuai dengan rencana. Debit maksimum untuk irigasi dan drainase pada
saat musim hujan dan kemarau sebesar 13,2 mm/hari atau 1,5 l/det/ha. Pada
Gambar 29 ditampilkan kondisi aktual level muka air yang terjadi di lahan pada
saat MH dan MK dengan jumlah solenoid valve maksimum dua buah dan
diameter 2”.
Kondisi level muka air dapat dipertahankan mendekati level 0 – 5 mm
akan tetapi sistem kendali mengalami gangguan yang cukup besar dalam
pengendalian muka air pada saat hujan terjadi. Tetapi hal tersebut dapat ditangani
dengan baik dengan adanya tanggul limpasan. Sehingga kelebihan air dapat
dibuang menjadi surface run off. Hal ini terbukti dengan tingginya surface run off
yang terjadi pada saat musim hujan, yaitu sebesar 964,32 mm (Tabel 10) atau
43,93% dari total air yang diberikan (hujan dan irigasi).

47
80 0
75 20
70 40
65
60 60
55 80
50 100
45
40 120
(mm) 35 140

(mm)
Level (mm)
30 160
25
WaterGenangan

180

(mm)
20

Hujan
15 200
10 220
5 240

Hujan
0
-5 260
-10

0
280
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
0
5

10
-15 300
-20
-25 320
-30 340
-35
-40
Musim Hujan 360
-45 380
-50 400
HST (hari)
Rainfal Hsetpoint Hactual

80 0
75
70 10
65
60
55 20
50
45 30
40
(mm)
Level (mm)

35 40
30

(mm)
(mm)
25
20 50
Genangan

15

Hujan
10 60

Hujan
5
0 70
Water

-5
-10

0
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
0
5

80

10
-15
-20
-25 90
-30
-35 100
-40 Musim Kemarau
-45
-50 110
-55
-60 120
HST (hari)
Rainfal Hsetpoint Hactual

Gambar 29. Kondisi Muka Air Hasil Pengendalian dengan Um=2 buah

Tabel 10. Neraca Air Selama Pengendalian dengan Logika Fuzzy


Musim Hujan Musim Kemarau
Komponen
mm % mm %
A. Inflow
Hujan (Rainfall) 1.610,60 73,37 131,60 11,33
Irigasi 584,55 26,63 1.029,40 88,67
B. Outflow
Perkolasi 520,00 23,69 520,00 44,79
Evapotranspirasi 375,50 17,11 577,01 49,70
Run Off 964,32 43,93 19,47 1,68
Drainase 367,01 16,72 74,66 6,43

Pada waktu 62 – 68 HST tedapat sedikit keanehan yang muncul, dimana


meskipun dalam kondisi musim hujan, tetapi kondisi aktual muka air hasil

48
pengendalian berada jauh di bawah setpoint dengan rata-rata tinggi genangan 1,3
mm (setpoint 5 mm). Pada 62 – 68 HST tidak terjadi hujan, dan sistem
pengendalian sudah tepat menjalankan aktuasi berupa solenoid valve irigasi untuk
bekerja pada hari-hari tersebut dengan jumlah solenoid valve maksimum, tetapi
kondisi muka air belum mampu mencapai setpoint. Hal ini dikarenakan kapasitas
solenoid valve yang digunakan lebih kecil bila dibandingkan dengan solenoid
valve pada saat musim kemarau.
Apabila jumlah solenoid valve dari sistem ini ditingkatkan menjadi 4 buah
dan kapasitas debit diperkecil menjadi 2,9 mm/hari dengan diameter pipa yang
digunakan 1”. Adapun nilai parameter sistem f1 dan f2 tetap sama. Hal ini dapat
sedikit memperbaiki kondisi tersebut (lihat Gambar 30). Dimana rata-rata tinggi
genangan pada 62-68 HST sebesar 3,3 mm dari setpoint 5 mm.

Gambar 30. Nilai Um Diperbesar dan QSolenoid valve Diperkecil


Kondisi muka air hasil pengendalian pada musim kemarau sedikit lebih
baik dengan kondisi aktual hampir mendekati kondisi yang direncanakan. Namun
ada sedikit keanehan pada hari ke-88 setelah tanam. Walaupun telah terjadi hujan
sebesar 6,4 mm pada hari sebelumnya dan meningkatkan muka air di lahan sawah
menjadi 15 mm, tetapi keesokan harinya (88 HST) kondisi muka air turun secara
drastis menjadi jauh dibawah setpoint yang direncanakan bahkan kondisi muka air
turun hingga di bawah permukaan sedalam 5 mm. Hal ini diakibatkan kondisi
sistem pengendalian fuzzy yang cukup responsif terhadap perubahan lingkungan
(hujan), sehingga langsung menghidupkan solenoid valve drainase sebanyak 1
buah untuk bekerja membuang. Hal inilah yang telah mengakibatkan perubahan

49
drastis yang terjadi pada 89 sampai 91 HST, dimana muka air berada di bawah
permukaan tanah.
Jika melihat nilai porsentase drainase dari total inflow yang ada, pada
musim kemarau memang relatif cukup kecil (6,43%). Apabila dalam sistem
pengendalian muka air ini hanya menyalakan solenoid valve irigasi saja atau air
akan hilang secara alamiah melalui evapotanspirasi, seepage, perkolasi, dan run
off. Berdasarkan simulasi pengendalian muka air tanpa menggunakan solenoid
valve drainase dan nilai parameter tetap sama seperti pada Tabel 7, menunjukkan
hasil yang cukup baik dan dapat memperbaiki kejanggalan yang terdapat pada
simulasi sebelumnya (Gambar 31).

80 0
75
70 10
65
60
55 20
50
45 30
40
(mm)

35 40
30

(mm)(mm)
Level (mm)

25
20 50
Genangan

15

Hujan
10 60
5
0 70

Hujan
-5
Water

-10
0
10

30
35

45
50
55
60

70
75

95
15
20
25

40

65

80
85
90
0
5

80
-15
-20 10
-25 90
-30
-35 100
-40
-45
-50 Rainfal Hsetpoint Hactual 110
-55
-60 120
HST
HST(hari)
(hari)

Gambar 31. Pengendalian Level Muka Air tanpa Solenoid valve Drainase
Respons sistem yang tidak dapat mencapai tepat pada level yang
diinginkan, diakibatkan oleh keterbatasan sistem pada setting pengendalian ini. Ini
terbukti dengan nilai kondisi Indeks Performansi (IP) yang ada. Indeks
performansi dengan Root Mean Square Error diperoleh hasil kendali muka air
untuk MH dan MK sebesar 10,62 dan 6,21 (lihat Tabel 9). Indeks performansi
merupakan indikator yang menunjukkan akar dari total rata-rata dari kuadrat error
yang terjadi selama pengendalian muka air (yaitu selama musim tanam). Nilai IP
yang kecil atau minimum menunjukkan kinerja pengendalian yang hampir
mendekati dengan setpoint muka air rencana.
Untuk mengoptimumkan nilai IP dari sistem pengendalian ini, dapat
dilakukan dengan cara merubah kapasitas debit aliran dan jumlah (dari solenoid

50
valve, pompa, atau jenis aktuator lainnya). Namun begitu, pemilihan kapasitas
debit yang digunakan harus diperhitungkan secara matang, baik dari segi teknis
dan ekonomi. Pada Tabel 11 menunjukkan beberapa alternatif pilihan
penggunaan kapasitas debit, jumlah aktuator, diameter pipa yang digunakan, dan
indikator nilai indeks performansi yang dihasilkan. Pada simulasi ini
menggunakan nilai rata-rata penyetelan parameter sistem pada musim hujan dan
kemarau, yaitu f1=0,85 dan f2=1,00. Berdasarkan hasil analisa dari sistem
simulasi ini menunjukkan bahwa dengan pemilihan kapasitas dan jumlah solenoid
valve yang tepat dapat mengoptimumkan nilai IP dari sistem kedali ini.
Penggunaan Q = 1,5 m3/jam sebanyak 4 buah dengan diameter pipa 1” terlihat
menjadi pilihan yang sedikit lebih baik untuk diterapkan, baik pada MH dan MK.

Tabel 11. Hubungan Q, Um, dan IP.


Kapasitas Debit (Q) Um D
3 IP
mm/hari l/det/ha m /jam (buah) (inchi)
Musim Hujan
6,5 0,75 2,7 2 2 11,26
6,0 0,70 2,5 2 2 10,97
5,5 0,64 2,3 2 2 10,75
5,0 0,58 2,1 2 2 11,51
4,0 0,46 1,7 3 1 10,97
3,5 0,41 1,5 3 1 11,40
3,0 0,35 1,3 3 1 11,64
3,0 0,35 1,3 4 1 10,97
2,5 0,29 1,0 4 1 11,51
2,0 0,23 0,8 4 1 11,81
Musim Kemarau
7,0 0,81 2,9 2 2 6,37
6,5 0,75 2,7 2 2 6,28
6,0 0,70 2,5 2 2 7,09
4,5 0,52 1,9 3 1 6,23
4,0 0,46 1,7 3 1 7,09
3,5 0,41 1,5 4 1 6,37
3,0 0,35 1,3 4 1 7,09

Walaupun demikian, sistem kendali ini masih mampu mempertahankan


level muka air mendekati setpoint dengan maksimum tinggi muka air yang terjadi
sebesar + 30 mm dari tinggi maksimum rencana 20 mm dari permukaan lahan.
Adapun tinggi muka air yang berada di bawah permukaan lahan berkisar antara 1

51
– 35 mm di bawah permukaan lahan, dimana kondisi terbesar ini terjadi pada saat
menjelang panen dan harus dikeringkan.
Secara umum dapat dilihat bahwa sistem kendali fuzzy sederhana ini dapat
digunakan untuk pengendalian muka air pada lahan pertanian SRI. Akan tetapi
kondisi lapang dan kemampuan sistem kendali akan membatasi kinerja sistem
irigasi otomatis ini. Output dari kendali ini dapat juga dilakukan dengan
menggunakan pintu air GFRP hasil rancangan dengan beberapa level bukaan
pintu.

5.6. Peluang dan Tantangan Otomatisasi Irigasi

Berdasarkan hasil analisa kalibrasi pengujian hidrolika aliran air bawah


pintu dan simulasi pengendalian muka air pada saluran di lahan sawah,
menunjukkan ada sebuah tantangan dan peluang dalam pengembangan
otomatisasi irigasi, khususnya di daerah irigasi teknis, yang luasnya mencapai 7,4
juta ha (KEPMEN PU NO 390/KPTS/M/2007).
Peluang dan tantangan ini terdapat pada tingkat lahan (field level).
Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana mengatur level muka air pada saluran
agar dapat meningkatkan efisiensi irigasi. Tantangan ini dapat menjadi peluang
untuk dapat mengembangkan sistem pengontrolan muka air secara otomatis.
Salah satu perangkat dalam sistem ini adalah pintu air, yang berfungsi sebagai
pengatur air yang akan masuk ke lahan. Namun apabila hanya berfungsi sebagai
pengatur, ini akan menjadi kerja tambahan bagi sistem kendali muka air tersebut
karena tidak diketahui berapa bukaan pintu yang harus dibuka dan berapa jumlah
debit yang keluar, serta berapa lama. Oleh karena itu diperlukan sebuah pintu air
yang dapat mengatur sekaligus mengukur, sehingga langkah menuju otomatisasi
dapat berjalan dengan baik.
Pada penelitian ini telah dihasilkan pintu air dari bahan fiberglass yang
dapat menjalankan kedua fungsi tersebut. Berikut ini adalah gambaran pintu air
tersebut dengan spesifikasi debit aliran yang dihasilkan (Gambar 32). Pintu ini
memiliki nilai koefisien kontraksi sebesar 0,951. Untuk dapat mengukur debit
secara langsung dengan pintu ini diperlukan sebuah sensor tekanan (pressure

52
tansducer) untuk mengetahui tinggi muka air di bagian hulu pintu (h1) serta sensor
posisi pintu untuk mengetahui besarnya bukaan pintu (w). Kedua data ini akan
dikirimkan menuju komputer sebagai masukan bagi sistem untuk mengetahui
besarnya koefisien pengaliran yang terjadi pada saat itu (Cd) serta dapat langsung
menghitung debit yang terjadi pada saat itu juga. Perhitungan Cd dengan
k1
 h −w 
persamaan C d = C c .  1  ; dimana nilai koefisien Cc, k0, dan k1
 h1 + k 0 . w 
bedasarkan hasil eksperimen adalah 0,951 , 15, dan 0,062. Kemudian pehitungan
debit menggunakan persamaan Q = C d . w . b . 2 . g . h1 . Nilai Cd akan mendekati
nilai konstan pada nilai 0,951.

1.0

0.9

0.8 R= 10 cm
0.7 Q = Cflow
Free Condition
d . w . b . 2 . g . h1
k
0.6  h −w  1
Cd = Cc . 1 
 h1 + k0 . w 
Cd

0.5
Cc = 0,95 k0 =15,00 k1 = 0,062
0.4

0.3

0.2 Q = Cd . w. b . 2. g . h1
k
 h −w  1
0.1 Cd = Cc . 1 
 h1 + k0 . w 
0.0 Cc = 0,95 k0 =15,00 k1 = 0,062
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
(h1/w)

Gambar 32. Spesifikasi Pintu Air Glass Fiber Reinforced Plastic (GFRP)

Berikut ini adalah simulasi perhitungan debit pada pintu dengan lebar 50
cm dengan beberapa alternatif bukaan pintu dan kondisi muka air di hulu pintu
(Tabel 12). Pada hasil simulasi pengendalian muka air dengan logika fuzzy,
diketahui bahwa kebutuhan air selama masa pertumbuhan padi sawah adalah 1,5
l/det/ha. Jika suatu petak tersier memiliki luas areal sebesar 10 ha dengan
efisiensi pengaliran air dalam saluran sebesar 70%, maka kebutuhan air yang
harus disediakan pada bangunan bagi/sadap adalah 21,4 l/det. Pada Tabel 12
terdapat nilai debit sebesar 25,6 l/det dengan kondisi bukaan pintu sebesar 2 cm
dan tinggi muka air hulu 40 cm.

53
Dengan pintu ini diharapkan akan membantu mempercepat mengetahui
debit aliran yang keluar dari pintu, sehingga diharapkan pemberian air dapat
diberikan secara tepat dan peluang langkah menuju otomatisasi semakin mudah
dan baik. Namun sayangnya, dalam penelitian ini baru menghasilkan spesifikasi
debit aliran pada pintu untuk kondisi aliran free flow. Jadi ini merupakan
tantangan selanjutnya untuk membuat nomogram atau persamaan untuk aliran
submerged (tenggelam).

Tabel 12. Simulasi Perhitungan Debit Aliran dari Pintu GFRP


Tinggi Muka Bukaan Koefisien Q
Air di Hulu (h1) Pintu (w) Pengaliran
(cm) (cm) (Cd) (l/det)
1 0,930 13,0
2 0,915 25,6
3 0,902 37,9
40 5 0,882 61,8
10 0,847 118,7
15 0,821 172,4
20 0,797 223,3
1 0,932 13,8
2 0,918 27,3
3 0,906 40,4
45 5 0,887 65,9
10 0,854 126,9
15 0,829 184,7
20 0,807 239,9
1 0,934 14,6
2 0,920 28,8
3 0,909 42,7
50 5 0,892 69,8
10 0,860 134,6
15 0,836 196,4
20 0,816 255,5

54
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

a) Penelitian ini telah berhasil mengembangkan pintu air dari bahan alternatif
selain besi dan kayu, yaitu menggunakan bahan komposit (beton serat dan
fiberglass). Pintu air dari beton serat memiliki dimensi 56 cm x 75 cm x 3 cm
dengan nilai kuat lentur 72 kg/cm2 dan bobot pintu adalah 35 kg. Sementara
pintu air fiberglass memiliki dimensi 58 cm x 150 cm x 1,2 cm dengan nilai
kuat lentur 206 kg/cm2 (untuk depleksi sebesar 10 mm). Biaya pembuatan
satu buah daun pintu dari bahan beton serat dan fiberglass adalah Rp.
321.000,- dan Rp. 1.448.000,-
b) Kalibrasi pintu air dilakukan pada pintu air fiberglass hasil rancangan yang
memiliki tonjolan pada bagian bawahnya berbentuk ½ lingkaran dengan
radius 10 cm. Pintu ini memiliki nilai koefisien kontraksi (Cc) adalah 0,951,
sedangkan nilai koefisien pengaliran (Cd) bervariasi tergantung pada tinggi
muka air di hulu pintu dan besar bukaan pintu, dan dapat dihitung
k1
menggunakan persamaan  h −w  ; dengan nilai konstanta k0 dan k1
C d = C c .  1 
 h1 + k 0 . w 

sebesar 15 dan 0,062.


c) Sistem kendali fuzzy sederhana telah diterapkan dalam simulasi pengendalian
tinggi muka air /genangan pada pola tanam padi SRI. Sistem kendali dapat
bekerja dengan baik sesuai dengan algoritma kendali yang digunakan, namun
sistem kendali ini memiliki keterbatasan dalam pengendalian muka air,
terutama untuk menjaga tepat pada setpoint pada saat musim hujan. Masalah
ini dapat diatasi dengan teknik pemilihan kapasitas debit dan jumlah solenoid
valve (jenis aktuator lainnya) yang tepat, sehingga mampu mengoptimumkan
nilai indeks performansi dari sistem kendali. Sistem kendali fuzzy yang
dibangun memiliki rata-rata nilai parameter adalah f1 = 0,85, f2 = 1,00, IP=
8,41, kapasitas aliran air (Q) yang digunakan sebesar 6,08 mm/hari (0,70

55
l/det/ha), dan jumlah solenoid valve yang digunakan sebanyak 2 buah baik
untuk irigasi dan drainase.

6.2. Saran

a) Perlu dilakukan pengujian hidrolika aliran pintu fiberglass lebih lanjut dengan
variasi tinggi aliran, bukaan pintu yang lebih banyak, serta studi untuk aliran
tenggelam.
b) Perlu dilakukan uji ketahanan pintu fiberglass terhadap kondisi iklim (panas,
kelembaban, dll).
c) Untuk peningkatan performansi sistem kendali fuzzy untuk mengontrol muka
air, perlu memperhatikan kapasitas debit dan jumlah dari aktuator agar dapat
meningkatkan indeks performansi sistem kendali yang lebih baik
d) Perlu pengujian sistem kendali di lapangan dengan menggunakan pintu air
sebagai aktuatornya.

56
DAFTAR PUSTAKA

Allen,R.G., Luis S.P, Dirk Raes, and M. Smith. 1998. Crop evapotranspiration -
Guidelines for computing crop water requirements - FAO Irrigation and
drainage paper 56. Food and Agriculture Organization of the United
Nations. Rome.
Anonim. 2009. Maraknya Pencurian Mur Baut Pintu Irigasi.
http://www.wawasandigital.com/index.php. tanggal 23 Juli 2009. (diakses
tanggal 1 September 2009)
Anonim. 2009. Ratusan Pintu Irigasi di Tangerang Tidak Befungsi.
www.kompas.com. Tanggal 8 Pebruari 2009. (diakses tanggal 1 September
2009).
Anonim. 2009. Komponen Pintu Irigasi Banyak Hilang Dicuri.
http://newspaper.pikiran-rakyat.com. Tanggal 22 Juni 2009. (diakses tanggal
1 Setember 2009).
Arif, Chusnul, S.K. Saptomo, B.I. Setiawan, dan M.A. Iskandar. 2009. Simulasi
Komputer Penerapan Teknik Kendali Fuzzy Sederhana untuk Pengaturan
Muka Air Tanah di Lahan Padi SRI. Jurnal Irigasi. Vol. 4, No. 2, November
2009 : 131-144.
Dreyfus, H. 1967. The Measure of Man : Human Factors in Design. Whitney
Library of Design. New York.
Iskandar, M.A., Y. Susanti, S.K. Saptomo dan B.I. Setiawan. 1999. Pengendalian
Muka Air Tanah menggunakan Sistem Kendali Fuzzy Sederhana. Buletin
Keteknikan Pertanian. 13(1):66 - 74.
Japan Standards Associations. 1975. Japanese Industrial Standard (JIS).
Translated and Published by Japanese Standards Associations. Japan.
Kalsim, D.K., Yushar, Subari, Deon M dan Hanhan A, 2007, Rancangan Operasi
Irigasi untuk Pengembangan SRI, Seminar KNI-ICID 24 Nopember,
Bandung.
Khepar, S.D., A.K. Yadav, S.K. Sondhi, and M. Siag. 2000. Water Balance Model
for Paddy Fields Under Intermittent Irrigation Practices. Irrigation Science
Journal No. 19 : 199 – 208.
Libre, N.A., I. Mehdipour, Alinejad, and Nouri. 2008. Rheological Properties of
Glass Fiber Reinforced Highly Flowable Cement Paste. The 3rd ACF
International Conference – ACF/VCA Proceeding : 310 – 316.
Lin, C.H., J. F. Yen, and C. T. Tsai. 2002. Influence of sluice gate contraction
coefficient on distinguishing condition. Journal of Irrigation and Drainage
Engineering, 128(4):249–252.

57
Bos, M.G., M.A. Burton and D.J. Molden. 2005. Irrigation And Drainage
Performance Assessment : Practical Guidelines. CABI Publishing. London,
UK.
Rajaratnam, N and K. Subramanya. 1967. Flow Equation for The Sluice Gate.
Journal of Irrigation and Drainage Engineering. No. 93 (3) : 167 – 186.
Saptomo, S.K., B.I. Setiawan and Y. Nakano. 2004. Water Regulation in Tidal
Agriculture using Wetland Water Level Control Simulator. The CIGR
Journal of Scientific Research and Development. Manuscript LW 03 001.
Schuurmans, J., A.J. Clemens, S. Dijkstra, A. Hof, and R. Brouwer. 1999.
Modelling of Irrigation and Drainage Canals for Control Design. Journal of
Irrigation and Drainage Engineering. Vol. 125, No. 6 : 338 – 344.
Setiawan, B.I, Y. Sato, S.K. Saptomo and E. Saleh. 2002. Development of water
control for tropical wetland agriculture. Advances in GeoEcology, Catena
Verl., Reikirchen, Germany No. 35 : 259-266.
Setiawan, B.I., S.K. Saptomo and R.S.B.Waspodo. 2001. A model for controlling
groundwater in tidal wetland agricultures. 2nd IFAC-CIGR Workshop on
Intelligent Control for Agricultural Applications. Bali, 22~24 August 2001 :
185 - 189.
Setiawan, B.I. dan S.K. Saptomo. 1996. Simulasi Pengendalian Tinggi Muka Air
Tanah di Lahan Gambut dengan Pengontrol Fuzzy. Jurnal Pertanian
Indonesia. Vol. 6 (2) : 64-70.
Smith, W.F., and H. Jayad. 2006. Foundations of Materials Science and
Engineering (4th ed). McGraw-Hill. New York.
SNI [Standar Nasional Indonesia]. 1992. Spesifikasi Beton Bertulang Kedap Air.
SNI-03-2941-1992.
Sosrodarsono, S dan M. Tominaga. 1984. Perbaikan dan Pengaturan Sungai. PT.
Pradnya Paramita. Jakarta.
Stegmaier, M. 2003. Fiber Reinforced Drainage Concrete. Otto-Graf-Journal, Vol.
14, p. 67 – 78.
Swamee, P. K. 1992. Sluice-gate discharge equations. Journal of Irrigation and
Drainage Engineering,118(1):56–60.
Tim Balai Irigasi. 2008. Penelitian Irigasi Hemat Air pada Budidaya Padi dengan
Metode System of Rice Intensification (SRI) di Laboratorium Lapangan
(Field Trial). Balai Irigasi, Badan Penelitian dan Pengembangan, Puslitbang
SDA. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
Tjokrodimuljo, K. 2007. Teknologi Beton. Biro Penerbit. Teknik Sipil Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta
Toepfer, C.A.S. 2007. Instrumentation, Model Identification and Control of an
Experimental Irrigation Canal. Disertation. Universitat Politecnica de
Catalunya. Barcelona.
www.itrc.org. Irrigation and Training Center. Diakses tanggal 1 Desember 2009.

58
59
LAMPIRAN

60
Lampiran 1. Rancangan Pintu Air dari Bahan Fiberglass

61
Lampiran 1. (lanjutan)

62
Lampiran 2. Rancangan Pintu Air dari Bahan Beton Serat

63
Lampiran 2. (lanjutan)

64
Lampiran 3. Perhitungan Modulus Elastisitas Fiberglass

Kondisi : Tegangan diberikan tegak lurus serat


Asumsi :
- menggunakan jenis serat yang berbentuk lembaran (continous)
- tegangan yang diberikan ke material tegak lurus serat menyebabkan terjadi
tegangan ke semua lapisan pada bahan komposit seragam
- ikatan antar lapisan (serat-epoxy resin-dst) tetap utuh/kuat dalam bahan
komposit (fiberglass)
σ

Ac
Lapisan serat
Lapisan Matrix/Polymer
lc

Vc = luas Ac x lc

σ
Gambar 3.1. Komposit Struktur (Isostress Conditions)

Tegangan pada struktur komposit = tegangan pada lapisan serat/fiber = tegangan


pada matrix, atau :

σ c = σf = σm /1/

maka,Total regangan yang terjadi pada bahan komposit adalah total dari regangan
fiber dan matrix, atau :
εc = ε f + εm /2/

Diasumsikan luas area dan panjang bahan yang diberi tegangan tidak
berubah/tetap, maka :
ε c = ε f .V f + ε m .V m
/3/
Dimana Vf dan Vm adalah volume fraksi dari fiber dan matrix.

Dengan mengasumsikan bahwa Hukum Hooke adalah valid, maka :


σ σ σ
εc = εf = εm =
Ec Ef Em /4/
Substitusikan persamaan 4 ke pers. 3, menjadi :

65
Lampiran 3. (lanjutan)

σ σ Vf σ Vm
= =
Ec Ef Em
/5/
Bagi persamaan 5 dengan σ, menjadi :
1 Vf V
= + m
Ec Ef Em
/6/

E f . Em
Ec =
V f . E m + Vm . E f
diubah menjadi : /8/

Jika diketahui data komposisi Fiberglas (Glass Fiber Reinforced Epoxy Resin) :
60 % Volume serat gelas (E-glass)
- Ef = 10,5 x 106 psi
- σf = 350.000 psi
40 % volume epoxy resin
- Em = 0,45 x 106 psi
- σm = 9.000 psi

Modulus Elastisitas Bahan Komposit ini adalah :


E f . Em
Ec =
V f . E m + Vm . E f
(10,5 x 10 6 psi ) . (0,45 x 10 6 psi )
= (0,60) . (0,45 x 10 psi ) + (0,40) . (10,5 x 10 psi )
6 6

= 1,06 x 106 psi


= 7, 30 GPa

Berdasarkan hasil ini menunjukkan bahwa nilai Modulus Elastisitas bahan


komposit ini (pada kondisi isostress) memiliki nilai lebih rendah sebanyak 6 kali
dari pada kondisi Isostrain.

Tabel 4.1. Modulus Elastisitas pada Beberapa Rasio Serat Gelas dan Matrix
% Volume Ec
Fiber Matrix psi Gpa kg/cm2
65 35 739.843 5,10 52.016
60 40 700.309 4,83 49.237
55 45 664.787 4,58 46.739
50 50 632.693 4,36 44.483
45 55 603.556 4,16 42.434
40 60 576.985 3,98 40.566
35 65 552.654 3,81 38.855
30 70 530.292 3,66 37.283

66
Lampiran 4. Analisa Gaya pada Pintu Air

Gaya hidrostatik yang bekerja pada pintu air adalah :


1
F = . ρ . g .h2 . B
2
2
at = . h
3

Dimana, F : gaya hidrostatik, at : titik tangkap gaya hidrostatik diukur dari


permukaan air, h : kedalaman air, dan B : lebar bidang yang ditinjau tegak lurus
bidang gambar.

z=0

at
h
F

z=-h
p= ?.g.h B

Gambar 4.1. Gaya Hidrostatis Pada Pintu

a) Saat Pintu Air Menutup


Jik kedalaman air (h) adalah 50 cm dengan lebar pintu / saluran (B) sebesar 50
cm, maka :

F = 0,5 . ρ. g. h2 . B
= 0,5 x 1000 x 9,81 x (0,50)2 x 0,50
= 613 N
= 62,48 kg.f.
= 125 kg.f / m

b) Saat Pintu Air Membuka

Gambar 4.2. Gaya-gaya Pada Saat Pintu Air Membuka

67
Lampiran 4. (lanjutan)

Σ Fx = 0
F1 – F2 – Ff – Rx = ρ.Q (v2 - v1)
Jika gaya gesek (Ff) ~ 0
Maka,
Rx = ½ . ρ.g.b.(h12 – h22) - ρQ (v2 - v1)
Jika h1 > h2 maka v1 < v2, sehingga :
Rx = ½ . ρ.g.b.(h12 – h22) - ρ.v22.b.h2

Jika diketahui bentang efektif pintu (b) 50 cm, tinggi muka air di hulu 50 cm dan
hilir 30 cm, dan kecepatan air sebesar 1 m/det, maka :
Q = debit per unit lebar saluran
= h1.v1 = h2.v2
= 0,50 m3/det/m

V2 = Q/h2 = 1,67 m/det.

Sehingga Rx diperoleh
Rx = - 25,93 N (tanda minus menunjukkan arah gaya ke kiri).

Jadi gaya yang terjadi pada pintu saat tertutup lebih besar dibandingkan dengan
saat terbuka. Sehingga penentuan kekuatan pintu akan mengacu pada nilai
tekanan hidrostatis yang harus mampu ditahan oleh pintu itu sendiri.

68
Lampiran 5. Perhitungan Tebal Pintu

Jika beban maksimum yang terjadi pada pintu sepanjang bentang pintu selebar 50
cm tersebar secara merata (uniform), maka :

x
wx w Nm -1

O x
Reaksi-reaksi:
x/2
R1 = wL/2
R1 L R2 R2 = wL/2
R1

V
Persamaan:
R2 0<x<L
Mmax
Vx = R1 – wx
Mx = R1x – wx2/2
M

Gambar 5.1. Analisa beban dan momen pada bentang pintu air

Momen maksimum yang terjadi pada bentang L=50 cm adalah :

Mmax = R1.x – w.x2/2


= (w.L/2).L/2 – w.L2/8
= w.L2/8

Besarnya w adalah 125 kg/m (Lampiran 4), maka besarnya Mmax = 3,9 kgf.m.

Jika defleksi maksimum (δmax) yang diijinkan adalah 5 mm. Dan momen inersia
(I) untuk bentuk persegi adalah I = b.h 3 / 12 . Dimana nilai lebar (b) adalah sama
dengan tinggi pintu rencana. Sedangkan h adalah besarnya tebal pintu yang akan
direncanakan.

Defleksi maksimum yang terjadi pada pintu adalah :

5 . w . L4
δ max = ;
384 . E . I

69
Lampiran 5. (lanjutan)

dimana nilai modulus elastisitas (E) pada bahan komposit yang digunakan. Untuk
bahan fiberglass (berdasarkan hasil analisa pada Lampiran 3) sebesar Ef = 40.500.
Sedangkan untuk beton serat dengan σ = 72 kg/cm2 = 7,06 MPa(hasil uji lab),
maka nilai modulus elastisitas (Efc) = 4.700 . (fc)0,5 = 4.700 . (7,06)0,5 = 12.435
MPa = 125.000 kg/cm2.

a) Tebal Pintu Fiberglass :


Sehingga dengan persamaan : I = b.h 3 / 12 , diperoleh besarnya tebal pintu adalah
0,93 cm ~ 10 mm. Untuk keamanan dalam desain ini digunakan tebal pintu 12
mm untuk bentang efektif pintu 50 cm.

b) Tebal Pintu Beton Serat :


Sehingga dengan persamaan : I = b.h 3 / 12 , diperoleh besarnya tebal pintu adalah
0,7 cm ~ 10 mm. Mengingat sifat beton yang tidak elastis (seperti fiberglas) dan
rentan terhadap impact (beban kejut) yang terjadi, misal dari batang pohon yang
hanyut di dalam saluran. Oleh karena itu untuk keamanan dalam desain ini
digunakan tebal pintu 30 mm untuk bentang efektif pintu 50 cm.

70
Lampiran 6. Perhitungan Slab Beton Pintu Beton Serat

• Slab Beton untuk Pintu Beton Serat direncanakan menggunaka sistem plat
satu arah untuk keperluan penutup dan penahan beban sistem mekanik pintu
air dengan intensitas beban hidup 150 kg/m2.
• Jarak antar kolom 50 cm (sesuai dengan lebar saluran) pada arah memanjang.
• Kualitas beton serat berdasarkan hasil uji adalah fc = 7.06 MPa dan baja
tulangan yang digunakan fy = 400 MPa (tulangan polos / BJTP 24)

Beban
θ ..?

d ..?

L=80 cm

Gambar 6.1. Rencana Slab Beton Penahan Sistem Mekanik

• Rasio panel slab beton serat ly/lx = (80-15) / 30 = 2,17, maka didesain dengan
plat satu arah.
• Dimensi lebar pondasi (rangka pintu) = 15 cm
• Bentang bersih (ln) = 80 – 15 = 65 cm = 650 mm
• Estimasi Tebal Plat (d) minimum = ln / 20 = 650/20 = 32,5 mm. (Pada
perhitungan awal diambil tebal 50 mm).

Pembebanan yang terjadi pada Slab Beton Serat :


a) Beban Hidup (L) = 150 kg/m2
b) Beban Mati (D) :
- Pelat 50 mm = 109 kg/m2
- Beban mekanik dan hidrostatis = 436 kg/m2
TOTAL = 695 kg/m2
Beban Terfaktor = 1,2.D + 1,6.L = 1.074 kg/m2

Momen Maksimum pada tumpuan dan tengah bentang :


a) Momen tumpuan dan lapangan arah x = 0,093 . q . ln2 = (0,093) . (1.074) .
(0,65)2 = 42,2 kg.m
b) Pada tengah bentang = 0,079 . q . ln2 = (0,079). (1.074).(0,65)2 = 35,8 kg.m

Porsentase tulangan :
 0,85 . f c '   600 
ρ b = β  
  600 + f 
 ; dimana β = 0,85. Maka ρb = 0,0077
 f y  y 

Ambil nilai ρ = 0,5 . ρb = 0,0038

71
Lampiran 6. (lanjutan)

Luas tulangan , As = ρ.b.d = (0,0038) . (30) . (5) = 0,574 cm2


Digunakan baja tulangan polos BJTP P6 (diameter 6 mm) dengan luas As = 0,283
cm2. Langkah berikutnya adalah mengecek momen nominal penampang :

0,283 . 2 buah
ρ aktual = = 0,57
30 . 5
Jadi, gunakan baja tulangan polos sebanyak 2 buah dengan diameter 6 mm.

As . f y 0,574 . 400
Lengan momen dalam : a = = = 1,257 cm.
0,85 . f c . b 0,85 . 7,06 . 30

Jadi Momen nominal adalah :


Mn = As . fy . ( d - a/2 ) = 0,574 . 400 . (5 – 1,257/2 ) = 989,643 kg.m

Nilai Mn aktual > Mn Perlu...... OK.

• Maka berdasarkan hasil perhitungan , diperlukan tebal slab beton serat 5


cm dengan menggunakan tulangan baja polos sebanyak 2 buah dengan
diamter 6 mm sepanjang 65 cm.

Beban
2 bh θ6 mm

d=5 cm

L=80 cm

Gambar 6.2. Slab Beton Penahan Sistem Mekanik

72
Lampiran 7. Proses Pembuatan Pintu Air GFRP

73
Lampiran 8. Proses Pembuatan Beton Serat

74
Lampiran 9. Tampilan Program Simulasi Kendali Muka Air Sawah

Syntax program di dalam Visual Basic Application di Ms. Excel.

' Teknik Kendali dengan Fuzzy


Const Pi = 3.141592654
Function fngrade(X, x1, x2)
fngrade = (X - x1) / (x2 - x1)
End Function

Function Theta(f1, Er, dEr)


If dEr = 0 Then Er = 0.00001
sudut = Atn(f1 * dEr / Er) * 180 / Pi
Rem 0<=theta<=90 Kuadran I
If Er > 0.00001 And dEr > 0 Then Theta = sudut
Rem 90<theta<=180 Kuadran II
If Er < 0.00001 And dEr > 0 Then Theta = 180 - Abs(sudut)
If Er = 0.00001 And dEr > 0 Then Theta = 180
Rem 180<theta<=270 Kuadran III
If Er < 0.00001 And dEr < 0 Then Theta = 180 + Abs(sudut)
Rem 270<theta<=360 Kuadran IV
If Er > 0 And dEr < 0 Then Theta = 360 - Abs(sudut)
End Function

Function mN(Theta)
Rem 0<=theta<=90
If Theta >= 0 And Theta <= 90 Then mN = 1
Rem 90<theta<=180
If Theta > 90 And Theta < 180 Then mN = fngrade(Theta, 180, 90)
Rem 180<theta<=270
If Theta >= 180 And Theta <= 270 Then mN = 0
Rem 270<theta<=360
If Theta > 270 And Theta < 360 Then mN = fngrade(Theta, 270, 360)

75
Lampiran 9. (lanjutan)

End Function

Function Dk(f1, Er, dEr)


Dk = (Er ^ 2 + (f1 ^ 2 * dEr ^ 2)) ^ 0.5
End Function

Function mD(Dk, f2)


Rem 0<= mD <=f2
If Dk >= 0 And Dk <= f2 Then mD = fngrade(Dk, 0, f2)
Rem mD >f2
If Dk > f2 Then mD = 1
End Function

Function Uk(mN, mD, Um)


Uk = (1 - 2 * mN) * mD * Um
End Function

Function SVdrain(Uk, Um)


If Uk < 0 And Uk > -Um Then SVdrain = Abs(Uk)
If Uk > 0 And Uk < Um Then SVdrain = 0
If Uk = Um Then SVdrain = 0
If Uk = -Um Then SVdrain = Um
End Function

Function SVirr(Uk, Um)


If Uk < 0 And Uk > -Um Then SVirr = 0
If Uk > 0 And Uk < Um Then SVirr = Uk
If Uk = Um Then SVirr = Um
If Uk = -Um Then SVirr = 0
End Function

Function Q(SVdrain, SVirr, Qsv)


If SVdrain = 0 Then Q = SVirr * Qsv
If SVirr = 0 Then Q = -SVdrain * Qsv
End Function

' Analisis Water Balance


Function HPa(HPo, RF, ET, P)
HPa = HPo + RF - ET - P
End Function
Function RO(HPa, HL)
If HPa > HL Then RO = HPa - HL Else RO = 0
End Function
Function HPn(HPa, RO)
HPn = HPa - RO
End Function

76

You might also like